Vous êtes sur la page 1sur 27

Laboratorium/SMF Kedokteran Ilmu Bedah

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman


RSUD A.W. Sjahranie Samarinda

Laporan Kasu

CARCINOMA RECTI

Disusun oleh :
Nesia Yaumi

1410029043

Pembimbing
dr. Bambang Suprapto Sp.B-KBD

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Laboratorium Bedah
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
201

DAFTAR ISI
BAB 1...................................................................................................... 2
PENDAHULUAN....................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 2
1.2 Tujuan.............................................................................................. 3
BAB 2...................................................................................................... 4
RESUME KASUS....................................................................................... 4
2.1 Anamnesis........................................................................................ 4
2.2 Pemeriksaan Fisik................................................................................ 5
2.3 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................6
2.4 Diagnosis.......................................................................................... 8
2.5 Penatalaksanaan.................................................................................. 8
BAB 3.................................................................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................10
3.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum.............................................................10
3.2 Definisi........................................................................................... 14
3.3 Epidemiologi.................................................................................... 14
3.4 Manifestasi Klinis.............................................................................. 15
3.5 Penegakkan Diagnosis........................................................................16
3.6 Stadium.......................................................................................... 18
3.7 Faktor Risiko.................................................................................... 19
3.8 Patofisiologi..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang


paling sering terjadi didunia. Diseluruh dunia 9,5% pria penderita
kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3% dari toal jumlah penderita kanker.
Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden
kanker kolorektal yang tinggi. Pada tahun 2004 terdapat 2.886.800
insiden dan 1.711.000 kematian karena kanker, kanker kolorektal
menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian
juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal
menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada
pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat
ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti,
tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah
kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Karsinoma rekti atau kanker rektal merupakan salah satu jenis
kanker yang tercatat sebagai penyakit mematikan di dunia. Diagnosis
karsinoma rekti pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya
penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga
pembedahan kuratif sering kali tidak dapat dilakukan. Padahal, jika
penderita terdeteksi secara dini menderita karsinoma rekti sebelum
stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50%.
Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis
yang paling tepat, dimana 90% diagnosis karsinoma rekti dapat
ditegakkan dengan colok dubur, namun pada kenyataannya pada
penelitian hanya 13% dokter puskesmas dan dokter umum yang

melakukan colok dubur pada penderita dengan keluhan BAB


berdarah.
Tingginya angka kematian akibat karsinoma rekti mendorong upaya
untuk menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan
adalah dengandeteksi karsinoma rekti secara dini. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Riwanto dkk bahwa angka kemungkinan untuk bertahan hidup dalam 5
tahun pada pasien dengankarsinoma rekti stadium dini adalah sebesar 58,9 sampai
78,8%, dan angka ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya stadium yaitu
hanya sebesar 7% saja padakarsinoma rekti stadium akhir.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuanmengenai
karsinoma rekti sehingga dokter muda dapat mengenali penyakit ini
danmenangani sesuai dengan kompetensinya

BAB 2
RESUME KASUS

Alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 02 Maret 2016


pukul 17.00 WITA di ruang Aster RSUD AW. Sjahranie Samarinda.
2.1 Anamnesis
Identitas Pasien :

Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat

: Ny. D
: 55 tahun
: Perempuan
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Jl. KS Tubun

Keluhan Utama :
Sulit buang air besar
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien menegluhkan sulit buang air besar sejak 1 tahun yang lalu, setiap
kali bab pasien membutuhkan waktu yang lama, selain itu ketika bab sering
diserti dengan darah, terkadang darah bercampur dengan kotoran, dan
menurut pengakuan pasien ukuran feses kecil kecil berwarna kehitaman
seperti kotoran kambing, selain itu pasien sering mengeluhkan rasa tidak
nyaman di perut, sering bersendawa, dan sering mual dan muntah setiap kali
perut diisi makanan, semenjak itu pasien menjadi malas makan dan hanya
sedikit minum, nafsu makan pasien menurun hingga berat badan pasien turun
sebanyak 15 kg dalam 6 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit dahulu :


Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, perawtan di rumah sakit
sebelumnya di sangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat ataupun
keluhan serupa. Riwayat hipertensi (-), DM (-), asma (-).
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal : 02 Maret 2016
Keadaan Umum
Kesadaran

: composmentis

Tanda Vital
Tekanan Darah

: 110 / 70 mmHg

Frekuensi nadi

: 74 x/menit, reguler, kuat angkat

Frekuensi napas

: 20 x/menit, reguler

Suhu aksiler

: 36,9C

Kepala
Mata

: cowong (-), anemis (+), ikterik (-), pupil

(3mm/3mm), Refleks cahaya (+/+)


Leher
Pembesaran kelenjar : (-)
Pulmo
Inspeksi

: bentuk normal, pergerakan dada simetris, retraksi (-)

Palpasi

: krepitasi (-), fremitus raba dan fremitus suara simetris

Perkusi

: sonor
5

Auskultasi

: suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus Cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra

Perkusi

: Batas Kanan = ICS III Parasternal line dextra

Auskultasi

Batas Kiri = ICS V Midclavicula line sinistra


: S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi

: distended (-)

Palpasi

: soefl, defans muskular (-), organomegali (-), nyeri tekan(-)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Akral Hangat, sianosis (-), edema (-) pada kedua tungkai.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah
Leukosit
Hb
Hct
Plt
HbsAg
Ab HIV
GDS
SGOT
SGPT
Ur
Cr
Na
K
Cl
Albumin
CEA

09 -02-2016
17.760
14,3
44,0
388.000
NR
NR
140
10
7
18
1,1

3,9
2.98

03-03-2016
24.150
12,9
37,3
288.000

07-03-2016
9.100
9,1
29,3
222.000

165

20,6
0,5
144
3,5
112
3,2

23,2
0,6
141
3,4
105
2,6

Normal
4,00-10,00 10^3/uL
11,0-16,0 g/dL
37,0-54,0%
100-300 10^3/uL

60-150 mg/dL
P<25/W<31
P<41/W<32
10-40 mgdL
0,5-1,5 mgdL
Mmol/L
3,6-6,5 mmol/L
95-108 mmol/L
3,2-4,5 g/dL
<10.00 ng/mL

Hasil Pemeriksaan Kolonoskopi dan Biopsi (Rektum dan Sigmoid) :


Anus : tampak mukosa hiperemis (+), erosi (+), polip (+), tumor (+),
perdarahan (+),
Rektum : tampak mukosa hiperemis (+), erosi (+), polip (+), tumor (+),
perdarahan (+).
Sigmoid : tampak mukosa hiperemis (+), erosi (+), polip (+), tumor (+),
perdarahan (+).
Kolon desenden : normal
Kolon transversum : normal
Kesimpulan :
1. Ullcer pada anus dan rectum
2. Massa dan polip pada rectum
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi
Mikroskopis
Sediaan jaringan terlihat struktur kelenjar colon rectosigmoid
dengan epitel yang pleimorfik ringa, inti hiperkromatik, bentuk kelenjar
jelas, mitosis dapat ditemuka, infiltrative kedalam stroma jaringan ikat
fibrous.
Kesimpulan :
Tu. Rectosigmoid, biopsi :
Adenokarsinoma differensiasi baik

2.4 Diagnosis
Carcinoma Recti

2.5 Penatalaksanaan
Pro Miles Laparoscopy
Diet lunak tanpa serat

Follow Up Pasien di Ruangan


02 Maret 2016

S : BAB darah (+) nyeri

P:

(Aster)

(+), keras (+), mual (+)

Pro Miles Laparoscopy

O:

(3/3/2016)

TD : 110/70 mmHg, N

Persiapan colon :

74x/ RR 20x/m

Diet lunak tanpa serat

Anemis (+/+)

Fleet phospasoda lanjut

Thoraks : dbn

minum banyak minimal

Abd : flat, soefl, Bu (+)

2L

A : tumor recti dd

Puasa mulai jam 06.00

keganasan

(3/3/2016)
Fleet enema jam 09.00
Siap PRC 2 unit
Co. Anestesi

03 Maret 2016

S : BAB darah (+) nyeri

Co. jantung
P:

(Aster)

(+), keras (+), mual (+)

Miles Laparoscopy

O:
TD : 120/90 mmHg, N
82x/ RR 20x/m
Anemis (+/+)
Thoraks : dbn
Abd : flat, soefl, Bu (+)
A : tumor recti dd
04 Maret 2016 (HCU)
05 Maret 2016

keganasan keganasan
S

P:

06 Maret 2016

S:

P:

O:
TD
07 Maret 2016

S : BAB darah (+) BAB

P:

keras (+)
O:
08 Maret 2016

TD :
S:

P:

O:
TD :

09 Maret 2016

S:

P:

O:

Diet lunak

TD :

IVFD furtrolit 16 tpm


Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr
Inj. Kalnex 3 x 250 mg
Inj. Santagesik 3 x 1 amp
Amlodipin tab 1 x 10 mg
Micardis tab 1 x 80 mg
Tunggu hasil PA, pro
APR

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum


Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai ke
garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian
ampula dan spinchter. Bagian spinchter disebut juga annulus hemoroidalis,
dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian
ampula terbentang dari vertebra sakrum ke-3 sampai diafragma pelvis pada
insersio muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar antara 10-15 cm dengan
keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction, dan 35 cm pada bagian yang
terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu
mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), serta lapisan serosa

Gambar 1. Anatomi rektum

10

Gambar 2. Vaskularisasi arteri pada rektum


Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,
media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis superior)
merupakan kelanjutan dari arteri mesentrika inferior, arteri ini memiliki 2 cabang
yaitu dekstra dan sinistra. Arteri hemoroidalis media (arteri rektalis media)
merupakan cabang dari arteri iliaka interna, dan arteri hemoroidalis inferior (arteri
rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan
berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya
melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup,
sehingga tekanan dalam rongga perut atau intraabdominal sangat menentukan
tekanan di dalam vena tersebut. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya
hemoroid interna pada pasien-pasien dengan kebiasaan sulit buang air besar dan
11

sering mengejan. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda


interna, untuk kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena kava.

Gambar 3. Vaskularisasi vena pada rektum


Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut
simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3,
dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk
serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur
fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal
ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien
dengan karsinoma rekti, yaitu berupa disfungsi ereksi dan tidak bisa mengontrol
buang air kecil atau miksi.
Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir

12

di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.


Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi
bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot
yang penting untuk menunda BAB.
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari
(involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat
oleh adanya kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos
dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot rangka. Sfingter ani eksterna diatur
oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik, sehingga ani
eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung ujung
serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses.
Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme continence dan juga sensasi
pengisian rectum merupakan bagian integral penting pada defekasi normal. Hal ini
dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat volume kolon sigmoid menjadi
besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan mengosongkan isinya ke
dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum ini mendeskripsikan tiga
tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1) Simple contraction yang terjadi sebanyak 5
10 siklus/menit ; (2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan
amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow Propagated Contractions dengan
frekuensi amplitudo tinggi. Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang
pada dinding rectum, lantai pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki rektum,
distensi dinding rectum mengirim signal aferent yang menyebar melalui pleksus
mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang peristaltik pada kolon

13

desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah
gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi
oleh adanya sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani
eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah
defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal
oleh kontraksi otototot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis,
muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan
diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan
relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area
anorektal membuat sudut 900 antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga
akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 1300 1400
sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus
sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke kanalis
analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada
di bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani
interna akan tertutup, rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi
feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme volunter dari proses defekasi ini
nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses evakuasi feses selesai,
terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan muskulus puborektalis
akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini
memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya
dan menutup kanalis analis.
3.2 Definisi
Kanker recti merupakan penyakit dimana sel kanker berasal dari jaringan
rektum; Kanker kolorektal muncul pada kolon atau rektum.

3.3 Epidemiologi
Kejadian dari kanker kolorektal telah meningkat secara drastis mengikuti
perkembangan ekonomi dan industri. Saat ini, kanker kolorektal merupakan

14

penyebab terbanyak ketiga kematian oleh kanker pada pria dan wanita di Amerika
Serikat.
Walaupun kejadian kanker kolon dan rektal bervariasi di antar Negara,
diperkirakan 944.717 kasus telah teridentifikasi pada tahun 2000. Angka kejadian
yang tinggi ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, sebagian Eropa,
Selandia Baru, Israel, dan Australia. Angka kejadian terendah yakni di Algeria dan
India.
Kejadian keganasan kolorektal sedikit lebih banyak terjadi pada pria
dibanding wanita dengan rasio 1,32 : 1. Angka mortalitas dari kanker kolorektal
juga lebih tinggi pada pria (18,6 per 100.000) dibanding wanita (13,1 per 100.000)
pada tahun 2008-2012.
Kejadian kanker kolorektal mulai meningkat pada usia lebih dari 35 tahun
dan meningkat secara cepat pada usia lebih dari 50 tahun. Lebih dari 90% kanker
kolon terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak dari kanker kolon dan rektal (98%);
bentuk jarang dari kanker rektal meliputi limfoma (1,3%), karsinoid (0,4%), dan
sarkoma (0,3%). Diperkirakan 20% dari kanker kolon muncul di daerah sekum,
20% lainnya did aerah rectum, dan 10% di perbatasan rectosigmoid.

3.4 Manifestasi Klinis


Karsinoma colon dan rectum dapat menyebabkan ulserasi, atau
perdarahan, menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi)
keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi
perforasi dan menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala tergantung
juga dari lokasi dan besarnya tumor.

Karsinoma Colon Sebelah Kanan


Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma pada

caecum atau pada ascending colon biasanya memperlihatkan gejala nonspesifik


seperti kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan
kemungkinan terjadinya karsinoma colon yang belum terdeteksi, yang lebih
cenderung berada di proksimal daripada di colon distal. Beberapa tanda gejala
yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit perut pada bagian bawah

15

yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan di anus. Pada 50-60% pasien
terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut.

Karsinoma colon sebelah kiri


Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan

ada gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses.
Beberapa karsinoma pada transversa colon dan colon sigmoid dapat teraba
melalui dinding perut. Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi,
sehingga terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja
yang masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.

Karsinoma Rectum
Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering

terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun.
Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rectum.
Kadangkadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.

3.5 Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis yang tepat
Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun
konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar),
penurunan berat badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam
keluarga, riwayat polip usus, riwayat colitis ulserosa, riwayat kanker
payudara/ovarium, uretero sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah
serat, banyak lemak).
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang
air besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin
distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke
distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit,
bahkan bisa disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna
perdarahan sangat bervariasi, merah terang, purple, mahogany, dan kadang kala
merah kehitaman. Makin ke distal letak tumor warna merah makin pudar.
Perdarahan sering disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai
adanya proses patologis pada colorectal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya
16

yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara perlahan
makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase
lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.
3. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi
pemeriksaan
tinja
apakah

ada

darah

secara

makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta


pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang dianggap normal
adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor epitelial dan
mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati,
pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang
sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis
karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang
kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.
4. Double-contrast barium enema (DCBE)
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras
procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium).
Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih
detail. Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan
(lebih dari 1 cm). DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96%
dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi
polips di rectosigmoid-colon. Angka kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000
sedangkan pada Single Contras Barium Enema (SCBE) 1/10.000.
5. Flexible Sigmoidoscopy
Flexible Sigmoidoscopy (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang
dapat dilakukan pada rectum dan bagian bawah dari colon sampai jarak 60 cm
(sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan
biopsi. Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat karsinoma
colorectal hingga 60%-80% dan memiliki sensistivitas yang hampir sama
dengan colonoscopy 60%-70% untuk mendeteksi karsinoma colorectal.
Walaupun jarang, FS juga mengandung resiko terjadinya perforasi 1/20.000
pemeriksaan.
Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal,
prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS)
merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan jaringan

17

adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada


pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.
6. Endoscopy dan biopsi
Endoscopy dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainankelainan sampai 25 cm 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari
rectum sampai caecum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis
anatomis jenis tumor.
7. Colonoscopy
Colonoscopy adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang
panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum dan usus besar.
Colonoscopy umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema,
terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar,
maka biasanya diangkat dengan menggunakan colonoscope dan dikirim ke ahli
patologi untuk kemudian diperiksa jenis kankernya.

Tingkat

sensitivitas

colonoscopy dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip colorectal adalah


95%. Namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya
sangat tergantung pada persiapan colon, sedasi, dan kompetensi operator.
Colonoskopi memiliki resiko dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan
FS. Angka kejadian perforasi pada skrining karsinoma colorectal antara 361/10.000 pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000
pemeriksaan.
8. Colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan tujuan
untuk menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada
rectum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai
adalah pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rectum. Kedua,
mobilitas tumor untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Ketiga,
ekstensi penjalaran yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi.

3.6 Stadium
Prognosis dari pasien kanker colorectal berhubungan dengan dalamnya
penetrasi tumor ke dinding colon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau

18

metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem
staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.

3.7 Faktor Risiko


Penyebab utama dari kanker kolorektal tidak diketahui, namun terdapat
bebedapa faktor risiko dari genetic dan lingkungan yang mengikuti penyebab dari
penyakit ini. Berdasarkan faktor risiko dibagi menjadi tiga golongan yaitu high
risk, average risk dan increased risk. High risk dan increased risk terdiri dari
pasien yang memiliki riwayat herediter penyakit kolorektal seperti polip atau
kanker.
Kasus kanker kolorektal menunjukan pasien dengan riwayat polip,
lingkungan dan gaya hidup akan mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal.
Beberapa faktor tersebut adalah faktor ekstrinsik
FAKTOR EKSTRINSIK
Diet Tinggi Serat, Daging dan Lemak
Gaya hidup rendah fiber dan tinggi lemak (daging) meningkatkan risiko
terjadinya kanker kolorektal. Namun, konsumsi makanan tinggi serat pun belum
tentu akan menurunkan risiko terjadinya kanker kolorektal. Dilain sisi pemilihan
19

jenis lemak yang dikonsumsi seperti asam lemak omega-3 yang ditemukan pada
minyak ikan, memiliki efek protektif terhadap kanker kolorektal. Hal ini
menunjukan bukan jumlah lemak yang mengendalikan, namun jenis dan kualitas
lemak dalam tubuh. Efek protektif yang terdapat pada buah dan sayur, karena
makanan tinggi serat dank arena efek antioksidan dan antiproliferatif
(isothocynates)
Kalsium, Vitamin dan Mikronutrien
Penelitian menunjukan konsumsi kalsium dan selenium dapat mencegah
terjadinya polip dan kanker kolorektal. Mekanisme bagaimana kalsium dapat
mencegah terjadinya kanker kolon adalah. Pertama,kalsim dapat mengikat
bilirubin dan asam lemak dalam kotoran sehingga kotoran tidak bersifat toksik
(mengganggu) mukosa kolon. Kedua, kalsium dapat mempengaruhi sel mukosa
kolon dan menurunkan potensial proliferasi.
Beberapa vitamin menunjukan perannya sebagai cancer protective.
Vitamin A, C dan E memiliki aktivitas antioksidan. Namun, hal ini masih sebuah
kontroversial.
Aspirin dan Penghambat COX-2
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid lainnya dapat menggangu
pembentukan

neoplasa

dengan

menghambat

cyclooksigenase

tergantung

prostaglandin. Pemberian obat anti inflamasi ini akan menurunkan penyebaran


kanker kolorektal.
Cholecystectomy dan Asam Empedu
Bukti data epidemiologi menunjukan, paparan dengan asam empedu
meningkatkan proliferasi dari mukosa usus melalui mekanisme intraseluler.
Cholecystectomy yang mempengaruhi jalur enterohepatik dari empedu, biasanya
diikuti dengan kanker kolon proksimal.
Rokok dan Alkohol
Risiko terjadinya kanker kolorektal meningkat diantara perokok lama
dibandingkan pada kelompok non perokok. Data menunjukan hubungan antara
jumlah rokok yang dikonsumsi dalam satu tahun dengan pembentukan polip.
Beberapa data juga menunjukan penggunaan alcohol meningkatkan risiko kanker
kolon.

20

FAKTOR INTRINSIK
Riwayat Keluarga
Terdapat sekitar 10-20% dari pasien penderita kanker kolorektal memiliki
riwayat keluarga dengan kanker kolorektal. Populasi dengan riwayat kanker kolon
dalam keluarga memiliki risiko 2 4 kali lebih besar untuk terjadi kanker
kolorektal. Riwayat polip kolon juga memiliki risiko terbentuknya kanker kolon.
Inflammatory Bowel Disease
Pasien dengan inflammatory bowel disease (IBD) memiliki risiko tinggi
terjadinya kaker kolorektal, hal ini berdasarkan lamanya dan luasnya penyebaran
penyakit. Penderita colitis ulseratif memiliki risiko 0,5 1,0 % untuk menjadi
kanker kolon dalam 8-10 tahun. Semakin lama seseorang terpapar dengan IBD
semakin tinggi risiko untuk muncul kanker kolon.

21

3.8 Patofisiologi

Terbentuknya kanker kolon, disebabkan oleh mutasi gen pada gen spesifik,
DNA mismatch pada gen yang mengatur perbaikan dan proto-onkogen. Gen
tumor supresor menghasilkan protein yang menghambat regulasi aktivitas mitotic
dan mengendalikan produksi sel. Gen ini berperan sebagai gatekeeper genes,
karena menjaga pembentukan sel dan regulitas produksi sel. Kegagalan gen tumor
supresor untuk mengendalikan pertumbuhan sel disebut sebagai loss of function.
Gen APC adalah gen tumor supresor yang terdapat pada kromosom 5q21. Gen ini
memproduksi 2843 asam amino dan membentuk komplek GSK-3B, B-catenin dan
aksin.
Mutasi pertama pada proses terjadinya adenoma-carcinoma kolorektal
adalah mutasi pada gen APC, perbahan awal adalah abberant crypt formaton yang
ditandai dengan protein pendek yang abnormal dikenal dengan APC truncation.
Mismatch repair gene (MMR) dikenal sebagai caretaker genes karena
peran pentingnya dalam intergritas dari genom dan memperbaiki replikasi DNA
yang salah. MMR yang mengalami kegagalan fungsi, menyebabkan proses
karsinogenesis dengan meningkatkan progresi sel tumor. Mutasi MMR akan
menyebabkan sindroma HNPCC (Hereditary non polyposis colorectal cancer)
Proto-onkogen

adalah

gen

yang

memproduksi

protein

sehingga

meningkatkan pertumbuhan sel dan proliferasi. Mutasi pada proto-onkogen tidak


seperti mutasi pada tumor suppressor atau MMR yang malahan menurunkan
fungsi mereka, mutasi pada proto-onkogen malahan meningkatkan jumlah sel.

22

Proto-onkogen yang bermutasi disebut sebagai onkogen. Sehingga terjadi


proliferasi sel yang tidak terkontrol.

23

DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2015. American Cancer
Society.

Diunduh

dari

http://www.cancer.org/acs/groups/content/@editorial/documents/document/acspc044552.pdf
Giovannucci E, Wu K. Cancers of the colon and rectum. Schottenfeld D,
Fraumeni J, eds. Cancer. Epidemiology and Prevention. 3rd ed. Oxford University
Press; 2006
Snell RS. 2004. Clinical Anatomy 7th ed. Lippincott Williams &
Wilkins.USA.
Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed.
EGC: jakarta.

24

BAB 4
PENUTUP

4.1.

Kesimpulan
Pasien merupakan wanita usia 55

tahun. Berdasarkan

keluhan dan pemeriksaan, didapatkan keluhan sulit buang air besar,


rasa tidak nyaman di perut, bab disertai darah, kotorang yang berukuran
kecil kecil berwarna hitam. Kemudian dilakukan pemeriksaan
penunjang kolonoscopy didapatkan hasil ulcer pada anus dan rectum
serta massa dan polip rektum

patologi anatomi dengan dan hasil

pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil Adenocarsinoma


differensiasi baik.

4.2.

Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan atas penyusunan

tutorial klinik ini, diharapkan sekali kepada rekan-rekan sekalian


atas kritik dan saran yang membangun demi bertambahnya
khasanah ilmu pengetahuan kita bersama.

25

DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. (2013). Retrieved October 12, 2014, from Cancer.org:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003138pdf.pdf
American Cancer Society (2013). Rhabdomyosarcoma. Atlanta, Ga : American
Cancer Society.
Anon. (2010). Rhabdomyosarcoma. In Ashcraft's Pediatric Surgery (pp. 954-964).
Philadelphia: Elsevier Inc.
Crist, W. (2004). Sarkoma Jaringan Lunak. In W. Nelson, Ilmu Keseharan Anak
Edisi 15 (pp. 1786-1789). Jakarta: EGC.
Goldblum, & John. (2014). Rhabdomyosarcoma. In Enzinger, & Weiss, Enzinger
and Weiss's Soft Tissue Tumor, Sixth Edition (pp. 601-638). Elsevier Inc.
Mankin, H. J., & Hornicek, F. J. (2005). Diagnosis, Classification, and
Management of. Cancer Control .
Robbins, C., & Kumar. (1999). Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC.

26

Vous aimerez peut-être aussi