Vous êtes sur la page 1sur 20

EPILEPSI

A. Definisi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi
otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan
akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks
serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
B. Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya
kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena
dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan
anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus
alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.
C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat

suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada


lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan nuatan
menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga

terjadi

keseimbangan

kelainan
ini

depolarisasi

menyebabkan

neuron.

peningkatan

Gangguan
berlebihan

neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.


Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin mmuncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi.
Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat

neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara


konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap
normal
1) Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada
satu bagian tubuh saja
b) Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
d) Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai
kaku dalam sikap tertentu
e) Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara

yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi


tertentu.
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan

disertai halusinasi

sederhana yang mengenai kelima panca

indera dan bangkitan yang disertai vertigo.


a) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum.
b) Visual : terlihat cahaya

c) Auditoris : terdengar sesuatu


d) Olfaktoris : terhidu sesuatu
e) Gustatoris : terkecap sesuatu
f) Disertai vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang
suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
b) Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya
merasa

seperti

melihat,

atau

sudah

mengalami,

sebaliknya.

mendengar,

Mungkin

mendadak

mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa


seperti melihatnya lagi.
c) Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
d) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar.
f) Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada
yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu,
dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejalagejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.

b) Dengan

automatisme.

Yaitu

gerakan-gerakan,

perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya


gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali

seperti

ketakutan,

menata

sesuatu,

memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak


menentu, dll.
2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonikklonik, tonik, klonik)
1) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
2) Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
3) Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada
reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1) Hanya penurunan kesadaran
2) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.

3) Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot


leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.
4) Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang,
kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
5) Dengan automatisme
6) Dengan komponen autonom.
b. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
c. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali
atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.
d. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
e. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi
lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
f.

Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan

aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien


mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan
napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan
ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah,
nyeri kepala.
g. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan
yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama
pada bayi.

a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku


leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah
sakit dalam 48 jam sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan.
Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam
adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan
jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang
menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak
dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2.EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya
defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera
setelahnya

atau

sebulan

setelahnya

dapat memprediksi

akan

timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun


dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko
berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,


kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada
kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan
untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan
rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain
adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
F. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada
bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan
sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan
yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya
dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga
kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obatobatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau
ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang
pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan

obat-obat

anti

konvulsan

secara

bijaksana

dan

memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan


ini.

G. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang
sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang
lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum
obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul
seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi.
Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada
serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus
dilakukan

secara

bertahap.

Tindakan

pembedahan

sering

dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.


Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada
kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan
ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat
kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau
kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol
dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji, antara lain :
1) Keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang
2) Program rekreasi

3) Kontak social
4) Pengalaman kerja
5) Mekanisme koping
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang
akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan
penatalaksanaannya.
1) Selama serangan :
a) Apakah

ada

kehilangan

kesadaran

atau

pingsan ?
b) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau
lena ?
c) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran,
jatuh ke lantai ?
d) Apakah disertai komponen motorik seperti kejang
tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang
mioklonik, kejang atonik ?
e) Apakah pasien menggigit lidah ?
f) Apakah mulut berbuih ?
g) Apakah ada inkontinen urin ?
h) Apakah bibir atau muka berubah warna ?
i) Apakah mata atau kepala menyimpang pada
satu posisi ?
j) Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi
atau sifatnya berubah pada satu sisi atau
keduanya ?
2) Sesudah serangan
a) Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala,
otot-otot sakit, gangguan bicara ?
b) Apakah ada perubahan dalam gerakan ?

c) Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa


yang

terjadi

sebelum, selama

dan

sesudah

serangan ?
d) Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran,
pernapasan atau frekuensi denyut jantung ?
e) Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama
kejang ?
3) Riwayat sebelum serangan
a) Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi ?
b) Apakah

disertai

aktivitas

otonomik

yaitu

berkeringat, jantung berdebar ?


c) Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik
sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual ?
4) Riwayat Penyakit
a) Sejak kapan serangan terjadi ?
b) Pada usia berapa serangan pertama ?
c) Bagaimana frekuensi serangan ?
d) Apakah

ada

keadaan

yang

mempresipitasi

serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan


emosional ?
e) Apakah penderita pernah menderita sakit berat,
khususnya

yang

disertai

dengan

gangguan

kesadaran, kejang-kejang ?
f) Apakah pernah menderita cedera otak, operasi
otak ?
g) Apakah makan obat-obat tertentu ?
h) Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga ?

b. Aktivitas / istirahat
Gejala :
1) Keletihan, kelemahan umum.
2) Keterbatasan dalam aktivitas / bekerja yang ditimbulkan
oleh diri sendiri / orang terdekat .
Tanda :
1)

Perubahan tonus / kekuatan otot.

2)

Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok


otot.

c. Sirkulasi
Gejala :
1) Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis.
2) Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan
penurunan nadi dan pernafasan.
d. Integritas ego
Gejala :
1) Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan
keadaan dan / atau penanganan.
2) Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya.
Perubahan dalam berhubungan.
Tanda :
Pelebaran rentang respons emosional.
e. Eliminasi
Gejala :
Inkontinensia episodik.
Tanda :
1) Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
sfingter.

2) Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia


(baik urine / fekal).
f. Makanan / cairan
Gejala :
Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang.
Tanda :
Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang).
Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin
jangka panjang).
g. Neurosensori
Gejala :
Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi
serebral. Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area
halusinogenik).Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area
parestese / paralisis.
Tanda : Karakteristik kejang
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala :
1) Sakit kepala
2) Nyeri otot / punggung pada periode postiktal.
3) Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.
Tanda :
1) Sikap / tingkah laku yang berhati-hati.
2) Perubahan tonus otot.
3) Tingkah laku gelisah / distraksi.
i. Pernafasan
Gejala :

1) Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /


cepat; peningkatan sekresi mukus.
2) Fase postiktal : apnea.
j. Keamanan
Gejala :
1) Riwayat terjatuh / trauma, fraktur.
2) Adanya alergi.
Tanda :
1) Trauma pada jaringan lunak / ekimosis
2) Penurunan kekuatan / tonus otot secara menyeluruh.
k. Interaksi social
Gejala :
1) Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau
lingkungan sosialnya.
2) Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan
berhubungan dengan perubahan kesadaran; kelemahan;
kehilangan koordinasi otot besar atau kecil.
Rencana Tindakan / Intervensi :
1) Gali bersama-sama klien berbagai stimulasi yang
dapat menjadi pencetus kejang.
Rasional : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain
(seperti kurang tidur, lampu yang terlalu terang,
menonton televisi terlalu lama) dapat meningkatkan
aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan resiko
terjadinya kejang.

2) Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat


tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur
rendah.
Rasional : mengurangi trauma saat kejang (sering /
umum) terjadi selama pasien berada di tempat tidur.
3) Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa
lama selama / setelah kejang.
Rasional : meningkatkan keamanan pasien.
4) Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi /
lamanya

aktivitas

motorik,

hilang

kesadaran,

inkontinensia, dan lain-lain) dan berapa kali terjadi


(frekuensi / kekambuhannya).
Rasional : membantu untuk melokalisasi daerah otak
yang terkena.
b. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak
efektif

berhubungan

dengan

kerusakan

neuromuskuler;

obstruksi trakeobronkial.
Rencana Tindakan / Intervensi :
1) Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda
/ zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase
aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Rasional

menurunkan

resiko

aspirasi

atau

masuknya sesuatu benda asing ke faring.


2) Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan
datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
Rasional : meningkatkan aliran (drainase) sekret,
mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.

3) Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan


abdomen.
Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas /
ekspansi dada.
4) Masukkan spatel lidah / jalan nafas buatan atau
gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi.
Rasional : jika memasukkannya di awal untuk
membuka rahang, alat ini untuk mencegah tergigitnya
lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan
lendir atau memberi sokongan terhadap pernafasan
jika diperlukan.
5) Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
6) Kolaborasi dalam pemberian tambahan oksigen.
Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral
sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.
c. Gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan
persepsi tidak terkontrol; stigma berkenaan dengan kondisi;
ditandai dengan : takut penolakan, perubahan persepsi
tentang diri, kurang mengikuti / tidak berpartisipasi pada terapi.
Rencana Tindakan / Intervensi :
1) Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik,
persepsi

diri

dilakukannya.

terhadap
Anjurkan

penanganan
untuk

yang

mengungkapkan

perasaannya.
Rasional : reaksi yang ada bervariasi diantara individu
dan

pengetahuan

pengalaman

awal

dengan

keadaan

penyakitnya

akan

mempengaruhi

penerimaan terhadap aturan pengobatan.


2) Identifikasi / antisipasi kemungkinan reaksi orang
pada keadaan penyakitnya.
Rasional : memberikan kesempatan untuk berespons
pada proses pemecahan masalah dan memberikan
tindakan kontrol terhadap situasi yang dihadapi.
3) Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang
telah diperoleh atau yang akan dicapai selanjutnya
dan kekuatan yang dimilikinya.
Rasional : memfokuskan pada asfek positif dapat
membantu

untuk

menghilangkan

perasaan

dari

kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri dan


membentuk pasien mulai menerima penanganan
terhadap penyakitnya.
4) Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien
atau orang terdekat.
Rasional : kejang mempunyai pengaruh yang besar
pada harga diri seseorang dan pasien / orang terdekat
dapat

merasa

berdosa

atas

keterbatasan

penerimaaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat.


Konseling dapat membantu mengatasi perasaan
terhadap kesadaran diri sendiri.
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi
dan

aturan

pengobatan

berhubungan

dengan

kurang

pemajanan, salah interpretasi informasi, kurang menginat,


ditandai dengan : kurang mengikuti aturan obat, pertanyaan,
kurang kontrol aktivitas kejang.

Rencana Tindakan / Intervensi :


1) Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis
penyakit dan perlunya pengobatan / penanganan
dalam jangka waktu yang lama sesuai prosedur.
Rasional

memberikan

kesempatan

untuk

mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan


penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat
ditangani dalam cara hidup yang normal.
2) Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali
memakan

obat

sesuai

petunjuk,

dan

tidak

menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter.


Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
Rasional : tidak adanya pemahaman terhadap obatobatan yang didapat merupakan penyebab dari
kejang yang terus menerus tanpa henti.
3) Anjurkan pasien untuk memakai gelang / semacam
petunjuk yang memberitahukan bahwa anda adalah
penderita epilepsi.
Rasional

mempercepat

penanganan

dan

menentukan diagnosa dalam keadaan darurat.


4) Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik,
seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup,
latihan yang cukup dan hindari bahaya alkohol, kafein
dan obat yang dapat menstimulasi kejang.
Rasional : aktivitas yang sedang dan teratur dapat
membantu menuurnkan / mengendalikan faktor-faktor
predisposisi yang meningkatkan perasaan sehat dan
kemampuan koping yang baik dan juga meningkatkan
harga diri.

e. Resiko

gangguan

pertumbuhan

dan

perkembangan

berhubungan dengan kerusakan sel otak dan aktivitas kejang


sekunder terhadap epilepsi.
Rencana Tindakan / Intervensi :
1) Ajarkan orang tua tentang tugas perkembangan yang
sesuai dengan kelompok usia.
Rasional : memberikan gambaran tentang pola
perkembangan anak sesuai dengan perkembangan di
kelompok usianya.
2) Observasi dan berikan kesempatan pada anak untuk
memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia.
Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan
anak yang dapat dicapai dan membandingkan
dengan pola perkembangan sesuai kelompok usia
perkembangan.

Vous aimerez peut-être aussi