Vous êtes sur la page 1sur 6

A.

Trauma Oklusi
Trauma oklusi adalah resultan gaya melebihi kapasitas adaptasi jaringan
periodontal dan mengakibatkan kerusakan. Daya oklusal yang berlebih dapat
mengganggu fungsi otot-otot mastikasi dan menyebabkan rasa kram yang sakit,
mengganggu sendi temporomandibular, dan mengarah pada tooth wear yang
parah. Secara garis besar, trauma oklusi seringkali digunakan sebagai istilah
trauma pada jaringan periodontal.
a) Trauma Akut dan Kronis
Trauma oklusi dapat berupa trauma akut atau kronis. Trauma oklusi akut berasal
dari tekanan oklusal secara tiba-tiba yang dihasilkan dari menggigit benda keras.
Restorasi atau protesa yang mengganggu atau merubah arah daya oklusal juga
dapat mengakibatkan trauma oklusi akut.
Trauma oklusi akut menyebabkan sakit gigi, sesitivitas terhadap perkusi, dan
kegoyangan gigi. Jika daya tersebut berubah karena adaptasi gigi atau
dilakukannya perbaikan restorasi, gejala akan hilang dan trauma oklusi tidak akan
terjadi. Sementara jika daya tersebut berlangsung terus menerus, trauma akan
berkembang menjadi suatu keadaan nekrosis disertai pembentukan abses
periodontal, atau juga berangsur menjadi keadaan kronis tanpa menunjukkan
gejala. Trauma akut juga dapat menghasilkan cementum tears.

Gambar 1 Cementum tears (Carranza, 2015)

Trauma oklusi kronis lebih sering terjadi daripada dalam bentuk trauma akut.
Trauma kronis seringkali terjadi karena perubahan oklusi seiring tooth
weardrifting, ekstrusi gigi yang berkombinasi dengan kebiasaan parafungsional
(bruxism, clenching) dan bukan dari kelanjutan trauma oklusi akut.
Kriteria yang menyatakan suatu keadaan oklusi mengakibatkan trauma dilihat dari
jejas pada periodontal bukan dilihat dari bagaiman oklusi gigi. Maloklusi tidak
selalu mengakibatkan trauma dan oklusi yang tampak normal mungkin juga
mengakibatkan trauma pada periodontal. Keadaan geligi mungkin tampak baik
secara anatomis dan estetis tapi menimbulkan trauma. Dan begitu pula hal
sebaliknya maloklusi tidak selalu mengakibatkan trauma oklusi. Hubungan
traumatik oklusi seringkali disebut dalam istilah occlusal disharmony, functional
imbalance, dan occlusal dsytrophy.
b) Trauma Oklusi Primer dan Sekunder
Trauma oklusi dapat diakibatkan dari perubahan daya oklusal, berkurangnya
kapasitas jaringan periodontal menahan daya oklusal, atau juga keduanya, jika
trauma oklusi diakibatkan oleh perubahan daya oklusal maka dinamakan trauma
oklusi primer. Jika penyebabnya adalah ketahanan jaringan periodontal menurun
dinamakan trauma oklusi sekunder.
Trauma oklusi primer terjadi jika trauma dari daya oklusal merupaka satu-satunya
etiologi kerusakan jaringan periodontal. Jaringan periodontal yang keadaan
awalnya baik kemudian menjadi trauma di antaranya akibat tambalan high filling,
insersi protesa yang mengakibatkan daya berlebih pada gigi penyangga juga gigi
antagonis, drifting/ekstrusi pada daerah kehilangan gigi yang tidak diganti,
pergerakan ortodonti ke posisi yang tidak tepat. Telah terdapat banyak penelitian
mengenai tipe trauma oklusi primer yang menyatakan trauma oklusi primer tidak
merubah level jaringan ikat dan tidak mengawali pembentukan poket periodontal.
Hal ini dapat diakibatkan karena fiber suprakrestal gusi tidak terganggu sehingga
mencegah migrasi apikal epitel junctional.
Trauma oklusi sekunder terjadi jika daya tahan jaringan periodontal berkurang
karena kehilangan tulang akibat inflamasi marginal. Hal ini mengurangi area

perlekatan periodontal dan mengungkit sisa jaringan yang ada. Jaringan


periodontal akan lebih rentan terhadap daya oklusal sehingga yang sebelumnya
daya tersebut masih dalam batas normal menjadi tidak tertahan.
c) Tahapan Respon Jaringan Periodontal terhadap Daya Oklusal Berlebih
Respon jaringan periodontal terbagi menjadi 3 tahap:
1. Tahap I Timbul Jejas
Jaringan periodontal yang terbebani daya berlebih akan memberikan respon
untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi periodontal. Perbaikan ini
dapat terjadi jika beban berlebih tersebut hilang. Jika daya tersebut terus
menerus ada, jaringan periodontal tetap remodeling untuk bertahan. Respon
ini terlihat dari pelebaran membran periodontal menghasilkan defek tulang
angular tanpa poket periodontal dan gigi menjadi goyang.
Gigi berputar pada sumbu rotasi gigi pada fungsi oklusal, dimana pada gigi
berakar tunggal sumbu rotasi gigi terdapat pada junction di antara sepertiga
tengah dan sepertiga apikal akar klinis dan pada gigi berakar jamak pusat
sumbu terdapat di tengah tulang interradikular. Hal ini mengakibatkan
tekanan pada lawan arah dari fulkrum.
Slightly excessive pressure merangsang resorpsi tulang alveolar dilanjutkan
dengan pelebaran daerah ligamen periodontal. Slightly excessive tension
mengakibatkan pemanjangan fiber ligamen periodontal dan aposisi tulang
alveolar. Pada daerah yang tekanan (pressure) besar, pembuluh darah banyak
dan kecil, sementara pada daerah yang tension besar, pembuluh darah juga
membesar.
Greater pressure menghasilkan gradasi perubahan ligamen periodontal
dimulai dengan kompresi fiber ditandai dengan hyalinization. Jejas lanjutan
pada fibroblas dan jaringan ikat lain dapat mengakibatkan nekrosis ligamen.
Terjadi pula perubahan vaskuler yaitu dalam 30 menit terjadi pembentukan
gumpalan darah, 2-3 jam kemudian pembuluh darah dipenuhi eritrosit, 1-7
hari kemudian terjadi disintegrasi dinding pembuluh darah. Severe tension
menyebabkan pelebaran ligamen periodontal, thrombosis, hemorrhage,
rusaknya ligamen periodontal, dan resorpsi tulang alveolar. Pressure dengan

daya besar yang membuat akar gigi mengenai tulang akan menyebabkan
nekrosis ligamen periodontal dan tulang. Tulang alveolar akan diresorpsi dari
ligamen periodontal di sekitar area nekrotik dan dinamakan undermining
resorption. Bagian periodontal yang paling rentan terhadap trauma adalah
bagian di furkasi.
2. Tahap II Perbaikan Jaringan
Perbaikan jaringan periodontal terus terjadi pada periodontal normal dan
trauma oklusi terus merangsang aktivitas reparasi. Dalam proses perbaikan
terjadi pembuangan jaringan rusak dan terbentuknya jaringan ikat, fiber
periodontal, tulang, dan sementum baru. Saat tulang resorpsi akibat daya
oklusal yang besar, tubuh mengisi trabekula tulang yang menipis dengan
tulang baru. Proses ini merupakan proses reparatif sehubungan dengan
perbaikan pasca trauma oklusi dan dinamakan buttressing bone formation.
3. Tahap III Remodeling Adaptif Jaringan Periodontal
Jika proses perbaikan tidak dapat mengimbangi kerusakan dari trauma oklusi,
periodontal akan remodeling yang bertujuan membentuk struktur agar dapat
menahan beban oklusal. Hal ini berakibat pada pelebaran ligamen periodontal
yang berbentuk funnel pada crest dan defek angular pada tulan tanpa adanya
pembentukan poket.
Trauma oklusi bersifat reversibel. Pada beberapa penelitian, telah dibuktikan
bahwa jaringan akan membaik setelah gigi dijauhkan atau dipisahkan dari oklusi.
Walaupun trauma oklusi dikatakan dapat sembuh, tidak selalu trauma tersebut
sembuh dengan sendirinya. Jika kondisi dalam rongga mulut tidak kondusif bagi
proses penyembuhan, trauma akan makin parah dan merusak.
Menurut Barnadi et al (2013) prinsip dasar restorasi pada bidang ilmu konservasi
adalah untuk mengurangi akumulasi plak. Restorasi harus dibuat adaptasi sesuai
anatomis dalam aspek kualitas, permukaan proksimal, embrasur, kontur, dan
akhiran margin. Hal penting pula dari sebuah restorasi adalah efeknya terhadap
jaringan keras dan lunak di sekitar gigi. Sebuah restorasi tidak boleh mengganggu
jaringan sehat.

Tambalan over hang memiliki definisi restorasi berlebih sehingga material


restorasi menonjol dari kavitas yang berakibat akumulasi plak, rusak, kemudian
menjadi onset penyakit periodontal. Suatu tambalan over hang seringkali menjadi
penyebab beberapa komplikasi patologis pada jaringan seperti inflamasi gingiva,
kehilangan tulang, bahkan gigi akhirnya harus di ekstraksi. Tambalan over hang
dapat merusak periodontal dalam 2 cara:
-

Merubah keseimbangan ekologis pada sulkus gingiva sehingga bakteri

kausatif (gram negatif) dapat berkembang.


Pembersihan plak pada lokasi tersebut akan sulit.

Hasil penelitian Barnadi dan Salarpour (2013) menyatakan terlihat penurunan


inflamasi gingiva pada kelompok yang menerima perbaikan restorasi over hang.
Selain itu juga terlihat perbaikan tulang alveolar setelah restorasi diperbaiki. Hal
ini berlaku juga pada penelitian Omran (2012) yang menyatakan restorasi
amalgam memiliki prevalensi over hang yang tinggi terutama pada bagian lingual
dan distal. Gigi yang tidak memiliki restorasi cenderung poketnya normal dan
tidak mudah bleeding dibandingkan gigi yang memiliki restorasi, apalagi restorasi
dalam kondisi over hang. Dan untuk mencegah penyakit periodontal lanjut,
tambalan over hang harus diperbaiki.
Mokeem (2007) juga melakukan penelitian sehubungan dengan tambalan over
hang. Parameter yang dilihat dalam penelitian di antaranya plaque index (PI),
gingival index (GI), probing pocket depth (PPD), dan gingival crevicular fluid
(GCF). Penelitian dilakukan pada 15 buah tambalan over hang yang diperbaiki
kemudian diteliti secara berulang pada minggu pertama dan ke-empat untuk
melihat perbedaan status periodontal. Hasil penelitian menunjukkan setiap
parameter menunjukkan penurunan yang signifikan. GCF yang sudah sering
digunakan sebagai marker inflamasi gingiva terlihat jelas menurun pada penelitian
ini. Begitu juga dengan kedalaman poket yang juga menurun setelah restorasi
diperbaiki.
Kesimpulan yang didapat dari beberapa jurnal yang dibahas adalah restorasi over
hang merupakan salah satu faktor yang sering menjadi penyebab kelainan
periodontal di antaranya kehilangan perlekatan, poket periodontal yang dalam,

inflamasi gingiva, dan meningkatnya formasi plak. Sehingga saat dokter gigi
menambal, segala aspek adaptasi harus diperhatikan dan restorasi harus dibuat
dengan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Newman, Takei, et al. 2015. Carranzas Clinical Periodontology. 12th edition.
Elsevier inc.

Vous aimerez peut-être aussi