Vous êtes sur la page 1sur 34

REFERAT

CHRONIC VENOUS INSUFFICIENCY

DISUSUN OLEH:
AMANDA ULFAH DEMILI
NIM 030.11.020

PEMBIMBING:
Dr. AGNES INDARTI, SPB(K)V

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT TNI AL Dr. MINTOHARDJO

DAFTAR ISI
HALAMAN
DAFTAR ISI..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................2
2.1. DEFINISI............................................................................................................2
2.2. EPIDEMIOLOGI................................................................................................2
2.3. FAKTOR RISIKO...............................................................................................2
2.4. ETIOLOGI..........................................................................................................2
2.4.1. KONGENITAL.........................................................................................2
2.4.2. PRIMER....................................................................................................2
2.4.3. SEKUNDER.............................................................................................3
2.5. PATOFISIOLOGI................................................................................................3
2.6. MANIFESTASI KLINIS.....................................................................................6
2.7. DIAGNOSIS.......................................................................................................8
2.8. DIAGNOSIS BANDING....................................................................................11
2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................11
2.9.1. NON-INVASIVE TEST............................................................................11
2.9.2. INVASIVE TEST......................................................................................13
2.10. PENATALAKSANAAN...................................................................................15
2.11. KOMPLIKASI..................................................................................................18
2.12. PROGNOSIS.....................................................................................................18
BAB III ANATOMI DAN FISIOLOGI.....................................................................19
3.1. SISTEM SIRKULASI.........................................................................................19
3.2. VENA..................................................................................................................21
3.2.1. ANATOMI VENA....................................................................................21
1

3.2.2. FISIOLOGI VENA..................................................................................25


BAB IV KESIMPULAN............................................................................................29
BAB V DAFTAR PUSTAKA....................................................................................30

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Chronic
Venous Insufficiency. Penyelesaikan referat ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

dr. Agnes Indarti, SpB(K)V yang telah membimbing dan membantu penulis dalam

menyelesaikan penyusunan referat ini.


Seluruh dokter pembimbing stase bedah di RSU TNI AL Mintoharjo yang telah

membantu penulis selama penyelesaian referat ini.


Seluruh rekan-rekan Co-Assistant stase Bedah periode Agustus-Oktober 2015 yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini.


Semua pihak yang membantu penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan referat ini masih memiliki
banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Jakarta, September 2015

BAB I
PENDAHULUAN
Chronic venous insufficiency (CVI) pada tungkai bawah didefinisikan sebagai
kelainan dengan hipertensi vena, yang disebabkan oleh perubahan abnormal pada struktur
dan fungsi vena, baik itu vena tepi dan atau vena dalam, termasuk varises dan komplikasinya.
Gejala yang sering dijumpai adalah nyeri, rasa berat, gatal, bengkak, pelebaran vena tepi
yang mencolok dan perubahan warna kulit.
Hipertensi vena dan hipervolume yang mengganggu dinding vena besar serta kapiler
akan mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi. Berkurangnya kapiler pada stadium
lanjut CVI dan adanya mikrotrombosis vena akan mengurangi suplai ke kulit dan mungkin
mengakibatkan ulkus vena. Dalam hal ini jelas adanya peranan apoptosis endotel dan
rusaknya matriks ekstraseluler.
Termasuk tanda-tanda yang terlihat adalah telangiektasis, vena retikuler, atau varises
vena, edema, dan kelainan kulit seperti pigmnetasi, lipodermatosklerosis, eczema, dan
ulserasi. CVI paling sering disebabkan oleh perubahan primer pada dinding vena dan katupkatupnya dan sekunder disebabkan oleh trombosis sebelumnya dan kemudian mengakibatkan
refluks, obstruksi, atau keduanya. Karena anamnesis dan pemeriksaan klinis tidak selalu
dapat menunjukan sifat serta luasnya kelainan, maka telah dikembangkan beberapa penelitian
diagnostik untuk membedakan disfungsi pompa otot dari beratnya kelainan fungsi dan
anatomi akibat obstruksi dan refluks.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Definisi:
Kondisi dinding atau katup pada vena tungkai tidak bekerja secara efektif , sehingga
terjadi keadaan insufisiensi dan menimbulkan hipertensi vena tungkai. Kondisi hipertensi
vena tungkai dapat menyebabkan berbagai gejala seperti nyeri, edema, ulserasi, dan
perubahan pada kulit.
Epidemiologi:
Prevalensi CVI meningkat seiring dengan pertambahan usia. Vena varikosa terjadi pada

2.2.

5% sampai 30% dari populasi dewasa dan wanita berbanding pria adalah 3 banding 1.
Prevalensi CVI juga lebih tinggi pada populasi Eropa dibanding Asia atau Negro.
2.3. Faktor risiko:
- Usia
- Jenis kelamin
- Riwayat keluarga
- Phlebitis
- Riwayat injuri pada tungkai
- Obesitas
- Kehamilan
- Kebiasaan, seperti berdiri lama atau postur saat duduk
2.4. Etiologi:
2.4.1. Kongenital
Bentuk CVI kongenital adalah yang tampak saat lahir dan menunjukan
kelainan perkembangan struktur atau anatomi dari vena ekstremitas yang terjadi saat
perkembangan fetus. Kelainan ini bisa terjadi pada struktur dinding vena, tidak
adanya katup, atau kelainan lokasi dari vena. Salah satunya adalah yang terjadi pada
sindroma Klippel-Trenaunay, dimana pada sindroma ini anak lahir dengan nevus
ipsilateral yang nantinya akan berkembang menjadi vena varikosa dan gangguan
perkembangan pada tungkai yang terkena.
2.4.2. CVI Primer
Penyebab CVI primer masih belum dapat ditentukan dan merupakan penyebab
terbanyak dari CVI. Dapat dipertimbangkan sebagai gangguan perkembangan yang
bersifat progresif. Gangguan ini bermula dari adanya dilatasi dinding vena dan
inkompeten katup vena, yang nantinya akan menimbulkan berbagai gejala. Bentuk
yang paling tampak secara klinis adalah vena varikosa. Pada struktur katup vena
tampak atrofi progresif pada vena saphena.
2.4.3. CVI Sekunder
Pada CVI sekunder terjadi setelah adanya trombosis pada vena. Proses
patologi dimulai dengan oklusi yang mempengaruhi beberapa distribusi ke segmen2

segmen ekstremitas. Pada keadaan ini sebuah proses dinamis dimana trombus matur
dan terjadi retraksi dari dinding vena dan adanya neovaskularisasi. Selang beberapa
waktu trombus dapat digantikan oleh jalur yang paten. Hal ini mengakibatkan
terjadinya gabungan antara obstruksi dengan refluks karena rekanalisasi vena tidak
memiliki vena yang fungsional dan rekanalisasi meninggalkan jaringan skar, sinekia,
dan masa pada lumen. Hal ini dapat terjadi pada Postthrombotic Syndrome (PTS),
sebagai akibat dari DVT dan trias Virchow (stasis vena, hiperkoagulasi, dan trauma
endotel).
Patofisiologi

2.5.

Pada beberapa kasus, hipertensi vena disebabkan oleh katup yang inkompeten,
tetapi beberapa kasus lain diakibatkan oleh obstruksi aliran vena dan kegagalan pompa
otot akibat obesitas atau imobilitas tungkai. Tekanan pada vena tungkai ditentukan oleh
dua komponen: komponen hidrostatik berhubungan dengan berat kolum darah dari
atrium kanan ke tungkai kaki dan komponen hidrodinamik yang berhubungan dengan
tekanan oleh kontraksi otot skelet tungkai dan tekanan dalam kapiler. Kedua komponen
ini dipengaruhi oleh katup vena. Katup-katup pada vena dapat mentoleransi tekanan
tinggi pada batas tertentu, tetapi ketika terjadi dalam waktu yang lama dan menginduksi
3

terjadinya remodeling katup dan refluks dapat terjadi yang mengakibatkan tekanan tinggi
pada dinding vena. Perubahan patologis yang terjadi pada katup vena yaitu teregang,
robek, adesi antar daun katup.
Ketika katup pada vena perforata inkompeten, peningkatan tekanan pada vena
dalam yang dipicu oleh kontraksi otot dapat ditransmisikan ke sistem vena superfisial
dan mikrosirkulasi pada kulit. Oleh karena itu, tanda klinis dari CVI dari akibat tekanan
vena sampai lebih dari normal dapat terjadi dalam waktu yang panjang. Darah yang
tertampung cukup lama menyebabkan distensi pada vena tungkai dan distorsi pada katup
vena.
Perubahan struktur pada dinding vena adalah adanya hipertrofi dinding vena dan
adanya peningkatan kolagen, bersamaan dengan gangguan struktur pada otot polos dan
serat elastin, akibatnya adalah perbedaan antar dinding vena. Iregularitas pada dinding
vena memicu terjadinya gangguan aliran yang turbulen dan menyebabkan gangguan
shear stress. Tampaknya proses inflamasi mengikutsertakan interaksi endotelial-lekosit
dan adanya infiltrasi makrofag dan monosit ke daun katup dan dinding vena. Hal ini
memicu terjadinya gangguan aliran yang penting untuk menyebabkan perubahan dinding
dan katup vena.

Pada saat inflamasi terjadi, maka akan terjadi peningkatan permeabilitas pada
kapiler yang mengakibatkan terjadinya edema dan ekstravasasi sel darah merah yang
meningkatkan jumlah feritin dan ion feri di kulit yang terkena.
Varikosis vena merupakan manifestasi yang paling sering pada CVI , agaknya
disebabkan oleh daya elastisitas yang abnormal pada jaringan ikat dinding vena serta
katupnya. Varises primer terbentuk akibat dilatasi vena tanpa trombosis sebelumnya,
sedangkan varises sekunder disebabkan oleh kerusakan katup setelah DVT dan
rekanalisasi yang kemudian menyebabkan vena dalam dan perforata menjadi
inkompeten. Akibatnya adalah drainase vena yang berkurang serta hipertensi vena yang
meninggikan tekanan transmural pada pembuluh akhir kapiler, dengan akibat kerusakan
kapiler kulit, eksudasi cairan, edema, dan malnutrisi jaringan, yang pada gilirannya
mengundang

inflamasi,

infeksi,

trombosis

dan

nekrosis

jaringan

dengan

lipodermosklerosis dan akhirnya ulserasi. Gangguan pada mikrosirkulasi ini merupakan


sasaran terakhir pada hipertensi vena.
Meningkatnya tekanan pada vena ujung mikrosirkulasi akan cenderung menurunka
tekanan perfusi dan meingkatkan tekanan intrakapiler. Pada pasien dengan umur lanjut
yang biasanya disertai dengan penyakit arteri, perbedaan tekanan sepanjang kapiler akan
terus bertambah. Mikrosirkulasi yang abnormal akan mengakibatkan maldistribusi aliran
darah dan karenanya akan terbentuk daerah iskemik.
Selama hipertensi vena berlangsung, kapiler akan melebar dan kecepatan aliran
akan berkurang. Kombinasi semua faktor ini akan menurunkan daya aliran dalam
mikrosirkulasi yang memudahkan terjadinya peningkatan leukosit, yang kemudian akan
menyebabkan perlengketan yang menetap dari leuokosit pada endotel vena. Lama
kelamaan leukosit ini akan menjadi aktif dan mengeluarkan radikal bebas serta enzim
proteolitik dan dengan demikian merusak endotel dan mikrosirkulasi.
Akibat tekanan vena yang meninggi pada mikrosirkulasi ekstremitas yang terlibat
menyebabkan berbagai peruban morfologik termasuk kelainan fungsi hemoreologik,
meningkatnya permeabilitas kapiler, serta kelainan metabolisme fibrinogen, sampai
terjebaknya sel leukosit. Dapat disimpulkan bahwa semua gejala dan komplikasi dari
CVI disebabkan oleh konsekuensi mikrosirkulasi dan hipertensi vena. Perubahan
mikrosirkulasi yang terjadinya adalah adanya permeabilitas kapiler yang meninggi,
perubahan hemorologik lokal. Perbedaan dalam tingkat CVI ditentukan oleh
keseimbangan yang didapat antar tekanan mikrohemodinamik dari kapiler darah, limfe,
dan jaringan intertitial.
2.6. Manifestasi Klinis
5

CVI memperlihatkan gejala dengan spektrum yang luas mulai dari telangiektasis
sampai ke fibrosis kulit dan ulserasi. Perlu diingat bahwa gejala klinis yang sama dapat
terjadi akibat beberapa mekanisme, seperti katup yang inkompeten saja, obstruksi vena
saja, dan disfungsi pompa otot, atau kombinasi.
Manifestasi klinis utama pada CVI adalah dilatasi vena, edema, nyeri tungkai, dan
perubahan pada kulit. Vena varikosa adalah vena superfisial yang mengalami dilatasi dan
secara progresif membesar dan berbelok, disertai distensi transversa yang menyebabkan
pembendungan yang terlihat dan dapat dipalpasi. Edema bermula di daerah perimalleolar
dan semakin keatas tergantung dari akumulasi cairan. Nyeri tungkai dideskripsikan
sebagai tungkai yang terasa berat atau nyeri setelah berdiri lama dan menghilang setelah
tungkai ditinggikan. Obstruksi vena dalam menyebabkan claudicatio vena, atau kram
pada tungkai yang terjadi dengan pergerakan. Perubahan pada kulit yang terjadi adalah
hiperpigmentasi akibat deposisi hemosiderin dan dermatitis eksematous. Fibrosis
mungkin terjadi pada kulit dan subkutan (lipodermatosclerosis). Terdapat peningkatan
risiko terjadinya selulitis, ulserasi tungkai, dan penyembuhan luka yang lambat.
Manifestasi klinis CVI dapat dilihat pada klasifikasi klinis. Klasifikasi CEAP
(Clinical, Etiology, Anatomic, Pathophysiology) dikembangkan oleh konsensus
internasional untuk sebagai basis diagnosis dan pengobatan CVI.

Klasifikasi klinik (C) berdasarkan tanda-tanda klinis yag objektif ditambah


dengan hasil penemuan dengan (A) untuk asimptomatik misalnya C0-6,A atau untuk
tungkai simptomatik C0-6,S. Termasuk kedalam gejala yang mengarah kepada
6

disfungsi vena adalah pegal, nyeri, oklusi, iritasi kulit dan kram otot. Klasifikasi klinis
ini dikenal sebagai penyakit yang dirasakan semakin lama semakin berat. Terapi dapat
mengobati tanda dan gejala klinis, dimana harus diadakan reklasifikasi.

Telangiektasis adalah venula yang melebar sampai kurang dari 1 mm,


sedangkan vena retikuler menyerang vena safena magna atau parva yang umumnya
kecil dan berkelok hebat. Varises vena akan teraba jelas dan melebar lebih dari 4 mm.
Telangiektasis dan vena retikuler dibedakan dari varises vena dalam klasifikasi ini,
karena telangiektasis dianggap tidak akan menjadi ulkus, sedangkan pada vena
retikuler kemungkinan ulkus dapat terjadi.
Klasifikasi etiologi (E) dikenal sebagai disfungsi vena dalam tiga bentuk,
kongenital, primer, dan sekunder. Untuk kongenital, manifestasi klinis dapat terlihat
jelas setelah lahir atau baru diketahui kemudian. Untuk primer tidak ada penyebab
yang jelas, sedangkan sekunder kondisi patologis seperti trombosis memberikan
gambaran yang khas.
Klasifikasi anatomi (A) menggambarkan luas anatomi yang terlibat pada
penyakit vena, apakah sistem vena superfisial (As), dalam (Ad), dan perforata (Ap),
yang terlibat dapat satu, dua, atau ketiga sistem vena.
Klasifikasi patofisiologi (P). Tanda-tanda dan gejala klinis vena mungkin
disebabkan oleh refluks (PR), obstruksi (Po), atau keduanya (PR,o).
Diagnosis
a. Anamnesis:
Untuk menentukan faktor risiko dan perkembangan penyakit
b. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: menggunakan klasifikasi CEAP

2.7.

Palpasi:
Edema: pitting, dan gambaran brawny
Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan Tourniqet (Trendelenberg): pemeriksaan dilakukan dengan cara
pasien berbaring untuk mengosongkan isi vena tungkai. Setelah itu pasien
diposisikan tegak atau dilakukan penekanan manual. Bila vena segera terisi dari
proksimal ke distal, berarti terjadi insufisiensi katup vena safenofemoral maupun
katup di dalam vena safena magna maupun vena safena parva.

Pemeriksaan Perthes merupakan pengujian terhadap sistem vena dalam. Jika


terdapat varises. Pada keadaan berdiri saat varises penuh, lipat paha diikat sehingga
vena safena magna tertutup. Selanjutnya penderita diminta berjalan di tempat
sehingga fungsi pompa otot baik. Jika varises berangsur-angsur hilang, artinya sistem
vena memadai.

Evaluasi pertama pada pasien dengan CVI terdiri dari penentuan ada tidaknya refluks,
obstruksi atau keduanya. Dengan pertolongan ultrasound doppler sederhana didapatkan
informasi adanya refluks pada tempat pertemuan safenofemoral, daerah poplitea, dan vena
tepi, serta obstruksi pada segmen femorapopliteal atau ileofemoral (sampai 80-90% dari
jumlah pasien). Cara sederhana dalam memilih pemeriksaan yang tepat adalah dengan
membagi investigasi diagnosis dalam 3 tingkat:
3. Tingkat 1: meliputi pemeriksaan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisik yaitu evaluasi
sirkulasi arteri serta pemeriksaan vena dengan doppler sederhana)
4. Tingkat 2: meliputi pemeriksaan non-invasif (duplex scanning, pletismografi)
5. Tingkat 3: meliputi pemeriksaan infasif (ascending dan descending phlebography,
pengukuran tekanan)
Ketiga tingkat ini dapat dimanfaatkan pada penentuan klasifikasi klinis dari CEAP,
misalnya: kelas 0/1 artinya tidak terlihat atau teraba penyakit vena telangiektasis atau vena
retikular. Dalam hal ini pemeriksaan tingkat 1 biasanya sudah cukup. Kelas 2 dimana didapat
varises vena tanpa edema atau perubahan kulit, untuk varises vena safena magna cukup
dengan tingkat 1 tapi lebih baik dengan dilakukan pemeriksaan tungkai. Hampir semua
varises primer termasuk kelompok ini. Pasien dengan varises vena yang kambuh dan/atau
pernah menderita DVT sebaiknya dilakukan duplex scanning dan bila hasilnya menunjukan
10

refluks atau obstruksi pada sistem vena dalam, maka sebaiknya dilakukan investigasi pada
tingkat 3. Kelas 3 bila edema dengan atau tanpa varises vena dan tidak ada perubahan kulit.
Investigasi tingkat 2 diperlukan untuk menentukan ada tidaknya refluks atau obstruksi
penyebab edema.
2.8.
-

Diagnosis Banding
Dibedakan dengan sumbatan arteri menahun

Sumbatan arteri menahun


Ulkus iskemia, mulai dari ujung jari kearah

Sumbatan vena menahun


Ulkus stasis di daerah maleoulus medialis

tumit
Dasar ulkus pucat
Dasar ulkus merah
Lebih nyeri pada malah hari bila kaki Lebih nyeri bila tungkai digantung
ditinggikan
Edema jarang ada

Edema merupakan gejala utama pada siang

Denyut nadi kecil/ tidak ada


Perubahan warna kulit tergantung posisi

hari
Denyut nadi ada
Perubahan warna kulit tidak tergantung

Kaludikasi intermiten

posisi
Nyeri bila berdiri lama, berkurang bila
berjalan

Dibedakan dengan penyebab edema yang lain


a. akibat penyakit sistemik seperti gagal jantung, sindroma nefrotik, sirosis hepatis
b. akibat penggunaan obat sepeti CCB, NSAID
- Dibedakan dengan DVT atau obstruksi vena lainnya
- Dibedakan dengan kelainan lokal lain
Ruptur kista poplitea, robekan otot gastroknemius, lymphedema
2.9.
Pemeriksaan Penunjang
2.9.1. Non-invasive test:
a. Duplex scanning
Teknik ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis CVI serta
mengetahui etiologi dan tingkat keparahanya. Mengkombinasikan B-mode
imaging dari vena superfisial dan dalam dengan pemeriksaan doppler.
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi di bgaian mana sistem vena
superfisial, dalam, serta perforata yang terkena. Pemeriksaan duplex vena standart
adalah untuk menyingkirkan DVT atau obstruksi vena linnya. Kompresibilitas
vena yang dilihat dengan aliran adalah kunci untuk menyingkirkan trombosis.
Arah aliran diperiksa dalam posisi 30o reverse Trendelenberg saat dilakukan
manuver provokatif seperti valsava manuver, atau setelah penekanan pada

11

tungkai. Penggunaan inflasi-deflasi cuff dimana dilakukan deflasi cuff secara


cepat pada posisi berdiri dapat menginduksi terjadinya refluks.
Adanya refluks dapat dinilai dengan arah dari aliran karena aliran signifikan
ke arah kaki mengindikasikan adanya refluks. Durasi dari refluks dikenal dengan
reflux time. Reflux time 0,5-1 detik menyatakan adanya refluks, semakin lama
durasi refluks maka semakin berat penyakit tersebut. Tetapi ada hubungan yang
lemah antara keparahan penyakit dengan duplex scanning baik secara diperiksa
dengan fletismografi atau dilihat pada manifestasi klinis.
Walaupun adanya kekurangan ini, tetapi duplex scanning dapat menentukan
pada vena yang mana yang terjadi kelainan katup sehingga dapat sebagai
pedoman dalam terapi.

b. Air plethysmography
Mampu mengukur tiga komponen (reflux, obstruksi, dan kelainan fungsi
pompa otot) yang sceara bersama menyebabkan hipertensi vena sebagai akibat
dari arus balik vena yang terganggu. Alat ini terdiri atas akrung aging berbentuk
pipa yang mengelilingi seluruh tungkai sepanjang 35 cm.
Karung angin diisi udara smaapi 6 mmHg dan dihubungkan dengan suatu
alat kalibrasi. Isi volume vena pada tungkai normal adalah 80-150 ml. Yang bisa
naik hinggan 400 ml pada CVI. Air plethysmography memberikan informasi yang
didapat dari seluruh tungkai, secara keseluruhan didapatkan kesan bahwa
beratnya refluks berhubungan dengan derajat penyakitnya. Dengan teknik oklusi

12

pada CVI terdapat hiperemia yang akan meningkat sesuai dengan beratnya
penyakit.

2.9.2. Invasive test


a. Ambulatory venous pressure (AVP)
Adalah cara terbaik untuk mengukur hipertensi vena. Pada observasi tekanan
vena di kaki berkurang pada saat berjalan kemudia berangsur-angsur kembali ke
nilai normal apabila berhenti. Teknik ini dilakukan dengan menusukan jarum ke
vena pedis dan disambungkan dengan transduser yang memberikan tekanan.
Tekanan juga dimonitor sebelum dan sesudah pemasangan cuff pada pergelangan
kaki untuk membedakan refluks vena dalam atau vena superfisial. Ambang
tekanan AVP (normalnya adalah 20 sampai 30 mmHg) dan waktu pengisian
(normalnya adalah 18-20 detik).

b. Phlebography
Phlebography atau venografi terdiri dari ascending dan descending.
Ascending phlebography
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada varises yang kambuh pasca
operasi, pasien dengan varises unilateral, dan atau pasien yang berumur
20 tahun, serta pada kemungkinan DVT untuk menilai vena perforata di
daerah kanalis hunter di femur. Gambaran flebogram di dapat setelah
menusukan salah satu vena dikaki dan menyuntikan kontras kedalamnya,
sednagkan untuk memperagakan varises atau insufisiensi sistem vena
13

dalam dilakukan penekanan di daerah maleolus. Pemeriksaan ini untuk


memperlihatkan

vena

yang

normal,

menegaskan

anatomi,

dan

membedakan penyakitnya apakah primer atau sekunder.

Descending phlebography
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperlihatkan refluks pada
vena tepi atau vena dalam, serta untuk menentukan titik kebocoran dari
panggul ke tungkai bawah dan dari vena dlaam ke vena tepi atau
superfisial. Juga digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
lokalisasi anatomi dan morfologi katup vena, menaksir luasnya refluks,
menggambarkan anatomivena pada kasus yang sukar, dan membedakan
penyakit vena primer dengan sekunder.
Ada 5 golongan refluks flebografi dilukiskan sebagai berikut:
o Golongan 0: tidak ada refluks di bawah pertemuan vena
femoralis superfisial dan profunda
o Golongan 1: refluks ke dalam vena femoralis superfisial tapi
tidak di bawah setengah paha
o Golongan 2: refluks ke dalam vena femoralis superfisial, tapi
tidak sampai vena poplitea (katup vena poplitea kompeten)
o Golongan 3: refluks sampai persis dibawah lutut (katup vena di
tungkai bawah kompeten)
o Golongan 4: refluks sampai ke tumit (dari femoral, poplitea,
tungkai bawah)

2.10. Penatalaksanaan
Terapi awal pada CVI adalah konservatif untuk mengurangi gejala dan mencegah
perkembangan komplikasi dan progresi penyakit. Pada CVI, mekanisme yang paling
menonjol adalah berkurangnya volume aliran darah serta bertambahnya jumlah aliran
14

volume, maka terapi diarahkan kepada pengurangan tekanan hidrodinamika antar kapiler
yaitu dengan elevasi tungkai, penambahan tekanan antar sel dengan kompresi,
penambahan tekanan osmotik antar kapiler dengan penggunaan obat diuretik. Suatu
kombinasi dari dua atau semua cara tersebut merupakan terapi dasar bagi kaki yang
bengkak dalam segala bentuk.
Tatalaksana yang spesifik tergantung pada keparahan penyakit, kalsifikasi klinis
CEAP tingkat 4 sampai 6 sering membutuhkan penatalaksanaan yang invasif. Pasien
pada tingkat ini apabila tidak terkoreksi berisiko untuk terjadinya ulserasi, ulserasi yang
rekuren, dan ulkus vena yang tidak sembuh dengan infeksi yang progresif dan
lymphedema.
Elastic compression stocking merupakan terapi awal untuk semua klasifikasi klinis
CEAP. Ukuran yang tepat sangat penting dalam keberhasilan perawatan.
Pengukuran harus mencantumkan informasi mengenai tekanan, panjang, dan
diameter. Pengukuran tekanan berdasarkan keparahan klinis, tekanan 20-30 mmHg untuk
CEAP kelas 2-3, tekanan 30-40 mmHg untuk CEAP kelas 4-6, dan tekanan 40-50 mmHg
untuk ulkus vena yang rekuren. Ukuran panjang yang lebih sering digunakan adalah
setinggi lutut, karena kepatuhan pasien lebih besar dan adekuat dalam meringankan
gejala. Penggunaan setinggi paha atau pinggang mungkin diperlukan untuk edema yang
lebih tinggi dari lutut, tetapi stocking ini lebih sulit untuk digunakan. Pengukuran
diameter dilakukan ketika kaki tidak dalam keadaan bengkak.

15

Perawatan kulit dan luka dilakukan karena perkembangan penyakit CVI dapat
berujung pada gangguan integritas kulit, oleh karena itu penting untuk membuat area
yang terkena tetap lembap untuk mengurangi risiko kerusakan kulit dan kemungkinan
infeksi. Pada stasis dermatitis dapat diberikan steroid topikal. Untuk ulkus vena dapat
diberikan dressing dengan hidrokoloid untuk mengontrol drainase cairan pada luka.
Skleroterapi dapat diterapkan pada beberapa bentuk CEAP. Terapi ini dapat
diberikan sebagai terapi primer atau dikombinasikan dengan prosedur pembedahan untuk
mengoreksi CVI. Beberapa agen sklerosis adalah sodium klorida yang hipertonis, dimana
sklerotan ini menyebabkan dehidrasi pada sel target dengan cara gradien tekanan osmotik
yang lebih besar mengakibatkan air lebih cepat untuk melewati membran
semipermeabel. Sklerotan lain seperti sodium tetradecyl sulfate, polidocanol, dan sodium
morrhuate berfungsi seperti detergen. Agen-agen sklerotan ini membentuk sklerosis atau
pengerasan pada sel target, sehingga sel tersebut mengalami destruksi, dimana pada vena
yang mengalami varikosa atau telangiektasis vena tersebut terdestruksi sehingga aliran
darah melewati jalur vena yang lebih sehat.
Ablative therapy with endovenous radiofrequency and laser adalah terapi dengan
energi termal yang berasal dari radiofrekuensi atau laser untuk obliterasi vena. Teknik ini
sering diterapkan pada refluks vena safena magna dan merupakan alternatif dari teknik
bedah stripping. Energi panas memicu injuri termal pada dinding vena yang kemudian
terjadi trombosis dan fibrosis. Komplikasi dari teknik ini adalah injuri nervus safenus,
dan DVT. Teknik ini dilakukan dengan anestesia untuk mencegah terjadinya luka bakar
pada kulit dan mengurangi nyeri.

16

Terapi endovaskular dilakukan untuk mengembalikan aliran vena dan mengurangi


obstruksi dengan melakuka stent pada vena.
Teknik bedah hanya dilakukan pada kaki bengkak yang keadannya buruk sekali
dan merupakan suatu terapi yang meringankan, seperti pada pasien yang sampai
mengalami disabilitas, atau ulkus vena yang tidak menyembuh walaupun dengan
pengobatan maksimal. Tujuan pembedahan bukan untuk mengganti terapi konservatif,
tapi untuk membuatnya lebih efisien.
Ligasi, stripping, dan flebektomi dapat dilakukan pada semua tingkatan klasifikasi
klinis CEAP dengan refluks vena superfisial dan terapi ini menunjukan perkembangan
baik pada hemodinamik dan mengurangi gejala, setra membantu penyembuhan ulkus
vena. Dengan dilakukan ligasi tinggi pada saphenofemoral junction dan dilakukan
flebektomi pada vena varikosa yang berhubungan dengan vena safena yang inkompeten.
Subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS) dilakukan dengan meligasi vena
perforata, tetapi dapa berakibat terjadinya tekanan tinggi pada vena superfisial. Oleh
karena itu, ligasi pada vena perforata yang inkompeten dilakukan dengan akses vena
yang jauh dari daerah yang mengalami lipodermatosklerosis atau ulkus vena.
Rekonstruksi katup vena atau valvuloplasti telah menunjukan perbaikan pada
inkompen katup sekitar 59% dan waktu bebas rekurensi ulkus dalam 30 bulan sebanyak
63%. Komplikasi dari valvulopasti adalah perdarahan karena pasien tetap diberikan
antikoagulan, DVT, emboli paru, dan infeksi pada luka.
Edukasi pada pasien supaya terapi tersebut dapat berhasil secara optimal, seperti
meninggikan ekstremitas bawah saat beristirahat, mengurangi berdiri atau duduk lama,
dan mengurangi berat badan.

17

2.11. Komplikasi
- Deep Vein Thrombosis
- Emboli paru
- Memudahkan terjadinya infeksi
2.12. Prognosis
Ad vitam: ad bonam
Ad functionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam

BAB III
ANATOMI DAN FISIOLOGI
3.1. Sistem sirkulasi atau sistem kardiovaskular mengantarkan nutrien dan oksigen ke seluruh
tubuh. Terdiri dari tiga komponen dasar yaitu:
1. Jantung sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan
gradien tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan. Darah,

18

seperti cairan lain, mengalir dari daerah bertekanan lebih tinggi ke daerah bertekanan
lebih rendah sesuai penurunan gradien tekanan.
2. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan kemudian mengembalikannya ke
jantung.
3. Darah berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang disalurkan
dilarutkan atau diendapkan.
Darah berjalan secara kontinu melalui sistem sirkulasi ke dan dari jantung melalui dua
lengkung vaskular terpisah, keduanya berawal dan berakhir di jantung. Terdiri dari sirkulasi
paru dan sirkulasi sistemik, dimana sirkulasi paru terdiri dari lengkung tertutup vaskular yang
mengangkut darah antara jantung dan paru, sedangkan sirkulasi sistemik terdiri dari vaskular
yang mengangkut darah antara jantung dan sistem organ.
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui vena cava.
Darah yang masuk ke atrium tersebut kembali dari jaringan tubuh dan telah terjadi pertukaran
O2 ke sel dan CO2 ke darah. Darah yang telah mengalami deoksigenasi tersebut mengalr dari
atrium kanan ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis ke
paru. Di dalam paru terjadi oksigenasi dan kehilangan CO 2, kemudian di alirkan ke atrium
kiri melalui vena pulmonalis. Darah kaya oksigen ini lalu masuk ke ventrikel kiri dan
kemudian dipompakan ke semua sistem di tubuh kecuali paru. Darah yang dipompa oleh sisi
kiri jantung dibagi-bagi dalam berbagai perbandingan ke organ-organ sistemik dalam
berbagai perbandingan ke organ-organ sistemik melalui pembuluh-pembuluh darah yang
tersusun secara paralel dan bercabang dari aorta.
Sirkulasi sistemik dan paru masing-masing terdiri dari sistem pembuluh darah yang
tertutup. Arteri yang mengangkut darah dari jantung ke jaringan, bercabang-cabang menjadi
pembuluh-pembuluh darah yang semakin kecil, dengan berbagai cabang menyalurkan darah
ke berbagai bagian tubuh. Sewaktu arteri kecil mencapai organ yang diperdarahinya, arteri
tersebut bercabang-cabang menjadi banyak arteriol. Di dalam organ, arteriol bercabangcabang menjadi kapiler, tempat semua pertukaran antara darah dan sel-sel sekitarnya terjadi.
Kapiler-kapiler kembali menyatu untuk membentuk venula, yang terus bergabung
membentuk vena kecil yang keluar dari organ. Vena-vena kecil kemudian bersatu membentuk
vena yang lebih besar yang akhirnya mengalirkan darah ke jantung.

19

20

3.2. VENA
Darah meninggalkan kapiler memasuki sistem vena untuk dibawa kembali ke jantung. Vena
memiliki dinding yang jauh lebih tipis dengan otot polos yang lebih sedikit dibanding arteri,
sehingga sangat mudah teregang dan rawan kolaps.
3.2.1. ANATOMI VENA
Tunika intima vena tersusun dari endotelium nonthrombogenic dengan dasarnya
adalah membran basalis dan lamina elastik. Endotel memproduksi faktor relaksan seperti
nitrit oksida dan prostasiklin, dimana mempertahankan keadaan nonthrombogenic pada
permukaan endotel dengan cara menginhibisi agregasi platelet. Elastin dan otot polos yang
terletak di tunika media memberikan kesempatan untuk vena dapat merubah kalibernya
dengan perubahan tekanan minimal. Tunika adventitia terdiri dati kolagen, serat elastin, dan
firbroblast. Lebih banyak pada vena-vena besar.
Vena memiliki katup-katup yang jumlahnya lebih banyak di ekstremitas distal
dibanding dengan proksimal. Pada vena cava inferior, vena iliaka komunis, vena porta, dan
sinus-sinus kranialis, vena-vena tersebut tidak memiliki katup. Setiap katup terdiri dari dua
daun katup yang tersusun dari jaringan ikat dan ditutupi oleh endotelium.
-

Vena Ekstremitas Bawah


Vena pada ekstremitas bawah dibagi menjadi superfisial, dalam, dan perforata.
Vena superfisial terletak diatas lapisan fasia yang paling atas dari tungkai dan paha
dan terdiri dari vena saphena magna dan vena saphena parva. Vena saphena magna
berasal dari arkus vena dorsum pedis, ke anterior maleolus medialis, masuk ke vena
femoralis komunis 4 cm inferior dan lateral dari tuberkel pubis. Vena saphena parva
berasal dari lateral arkus dorsum pedis ke bagia posterior. Sering kali vena ini
menembus fossa poplitea diantara lateral dan medial muskulus gasrtocnemius, dan
bergabung dengan vena poplitea. Tempat berhenti vena saphena parva bervariasi,
tetapi lebih sering berhubungan dengan vena saphena magna atau vena femoralis
profundus.
Vena yang lebih dalam mengikuti jalur arteri di ekstremitas. Pada tungkai
bawah, terdapat vena yang berpasangan yang paralel dengan arteri tibialis anterior,
areteri tibialis posterior, dan arteri peroneus, untuk bergabung di fossa poplitea
membentuk vena poplitea. Vena poplitea berlanjut melewati aduktor hiatus dan
menjadi vena femoralis. Pada tungkai atas, vena femoralis bersama vena femoralis
21

profundus membentuk vena femoralis komunis dan menjadi vena iliaka eksterna pada
ligamentum inguinalis.
Vena-vena perforata menghubungkan vena superfisial dan dalam. Vena
perforata yang penting dalam klinis adalah vena cockett dan boyd. Ven cockett
menhubungkan arkus vena yang berasal dari vena saphena magna dan vena tibialis
posterior. Vena boyd menghubungkan vena saphena magna dengan vena dalam
kurang lebih 10 cm dibawah lutut dan 1-2 cm medial dari tibia. Vena-vena perforata
ini menjadi varices atau insufisiensi pada keadaan vena yang insufisiensi.
Sinus venosus berdindign tipis dan berlokasi di antara musculus soleus dan
gastrocnemius. Sinus-sinus ini tidak memiliki katup dan dihubungkan dengan vena
yang kecil dan berkatup untuk mecegah refluks. Darah dalam jumlah besar dapat
disimpan di sinus venosus. Dengan kontraksi otot rangka, darah dipompakan ke vena
utama dan dialirkan menuju jantung.

Vena Ekstremitas Atas


Dibagi menjadi vena dalam dan superfisial. Vena dalam pada ekstremitas atas
berpasangan dan mengikuti dari arterinya. Vena superfisial terdiri dari vena sefalika
dan basilika. Vena sefalika berasal dari lateral pergelangan tangan permukaan depan
dari lengan bawah. Pada lengan atas, vena sefalika berakhir di fossa infraclavicular,
menembus fasia clavipectoral untuk mengosongkan di vena aksilaris. Vena basilika
22

berjalan medial dari lengan bawah dan menembus fasia dalam, kemudian bergabung
bersama vena brakialis untuk menjadi vena aksilaris. Vena cubiti media bergabung
denan vena sefalika dan basilika di permukaan depan dari siku.
Vena aksilaris menjadi vena subklavia pada lateral dari batas iga pertama.
Pada batas medial dari muskulus scalenus anterior, vena subclavia bergabungdengan
vena jugularis interna untuk menjadi vena brakiosefalika. Vena brakiosefalika kanan
dan kiri bergabung menjadi vena cava superior, yang nanti akan mengosongkan isinya
di atrium kanan.

23

3.2.2. FISIOLOGI VENA


Struktur ini mendukung fungsi utama dari vena yaitu mengembalikan darah ke
jantung dan reservoir untuk mencegah kelebihan volume intravaskular. Hal ini ditentukan
oleh kapasitas dan aliran balik vena.
Kapasitas vena adalah volume darah yang dapat ditampung oleh vena. Hal ini
bergantung pada distensibilitas dinding vena. Pada volume darah yang konstan, seiring
dengan peningkatan kapasitas vena, semakin banyak darah yang menetap di vena dan tidak
dikembalikan ke jantung. sehinggan vena dapat berfungsi sebagai reservoir darah, yaitu
apabila kebutuhan darah rendah, vena-vena dapat menyimpan darah ekstra sebagai cadangan
karena sifat vena yang mudah diregangkan.
Aliran balik vena mengacu kepada volume darah yang masuk tiap-tiap atrium per
menit dari vena. Besarnya atau laju aliran melalui suatu pembuluh berbanding lurus dengan
gradien tekanan. Sebagian besar gaya pendorong yang ditimbulkan jantung pada darah telah
hilang pada saat darah mencapai sistem vena karena adanya friksi di sepanjang perjalanan
darah, terutama ketika darah melalui arteriol yang memiliki resistensi tinggi. Pada saat darah
memasuki sistem vena, tekanana darah rata-rata hanya 17mmHg. Namun karena tekanan
atrium mendekati 0 mmHg, masih terdapat gaya yang kecil tetapi adekuat untuk mendorong
darah mengalir melalui sistem vena. Jika tekanan atrium meningkat secara patologis, gradien

24

tekanan vena ke atrium akan berkurang, sehingga aliran balik vena akan berkurang dan darah
terbendung di sistem vena.
Dalam keadaan istirahat, vena-vena mengandung lebih dari 60% volume darah total.
Apabila simpanan tersebut dibutuhkan, faktor-faktor ekstrinsik mendorong darah dari vena ke
jantung, sehingga dapat di pompa ke jaringan. Faktor-faktor ekstrinsik tersebut adalah:
1. Efek simpatis pada aliran balik vena
Stimulasi simpatis menimbulkan vasokonstriksi vena, yang cukup meningkatkan
gradien tekanan untuk mendorong lebih banyak darah dari vena ke jantung.
vasokonstriksi vena meningkatkan aliran balik vena dengan mengurangi kapasitas
pengisian vena oleh karena penyempitan vena memeras ke luar lebih banyak darah
yang sudah terdapat di vena, sehingga aliran darah melalui vena meningkat.
2. Efek aktivitas otot rangka pada aliran balik vena
Pompa otot rangka adalah salah satu cara mengalirkan untuk mengalirkan simpaan
darah di vena ke jantung sewaktu bergerak. Peningkatan altivitas otot mendorong
lebih banyak darah keluar dari vena untuk masuk ke jantung. Pompa otot rangka juga
melawan efek gravitasi pada sistem vena.

25

3. Efek katup vena pada aliran balik vena


Katup-katup ini memungkinkan darah bergerak ke depan ke arah jantung dan
mencegah darah mengalir kembali ke jaringan. Katup-katup ini juga berperan
melawan efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi berdiri.

26

4. Efek aktivitas pernapasan


Akibat aktivitas pernapasan, tekanan di dalam rongga dada rata-rata 5 mmHg di
bawah tekanan atmosfer. Karena sistem vena di tungkai dan abdomen mendapat
tekanan atmosfer normal, terjadi gradien tekanan eksternal antara vena-vena bawah
dengan vena yang ada di dada. Perbedaan tekanan ini memompa darah dari vena-vana
bagian bawah menuju vena-vean dada sehingga aliran balik vena meningkat.
Mekanisme fasilitas aliran balik vena ini dikenal sebagai pompa respirasi karena
terjadi akibat aktivitas pernapasan.
5. Efek penghisapan jantung
Selama kontraksi ventrikel, katup-katup atrioventrikuler (AV) tertarik ke bawah
sehingga rongga atrium membesar. Akibtanya tekanan atrum secara turun di bawah 0
mmHg, menyebabkan peningkatan gradien tekanan vena ke atrium dan aliran balik
vena. Selain itu, ekspansi cepat rongga ventrikel selama relaksasi ventrikel
menciptakan tekanan negatif sementara di ventrikel, sehingga darah tersedot dari
atrium dan vena , tekanan ventrikel yang negatif meningkatkan gradien tekanan venaatrium-ventrikel dan meningkatkan aliran balik vena.

27

28

BAB IV
KESIMPULAN
Chronic Venous Insufficiency adalah kondisi dinding atau katup pada vena tungkai
tidak bekerja secara efektif , sehingga terjadi keadaan insufisiensi dan menimbulkan
hipertensi vena tungkai. Kondisi hipertensi vena tungkai dapat menyebabkan berbagai
gejala seperti nyeri, edema, ulserasi, dan perubahan pada kulit.
Manifestasi klinis CVI dapat dilihat pada klasifikasi klinis. Klasifikasi CEAP
(Clinical, Etiology, Anatomic, Pathophysiology) dikembangkan oleh konsensus
internasional untuk sebagai basis diagnosis dan pengobatan CVI.
Terapi awal pada CVI adalah konservatif untuk mengurangi gejala dan mencegah
perkembangan komplikasi dan progresi penyakit. Pada CVI, mekanisme yang paling
menonjol adalah berkurangnya volume aliran darah serta bertambahnya jumlah aliran
volume, maka terapi diarahkan kepada pengurangan tekanan hidrodinamika antar kapiler
yaitu dengan elevasi tungkai, penambahan tekanan antar sel dengan kompresi,
penambahan tekanan osmotik antar kapiler dengan penggunaan obat diuretik. Suatu
kombinasi dari dua atau semua cara tersebut merupakan terapi dasar bagi kaki yang
bengkak dalam segala bentuk.
Teknik bedah hanya dilakukan pada kaki bengkak yang keadannya buruk sekali
dan merupakan suatu terapi yang meringankan, seperti pada pasien yang sampai
mengalami disabilitas, atau ulkus vena yang tidak menyembuh walaupun dengan
pengobatan maksimal. Tujuan pembedahan bukan untuk mengganti terapi konservatif,
tapi untuk membuatnya lebih efisien.
Edukasi pada pasien supaya terapi tersebut dapat berhasil secara optimal, seperti
meninggikan ekstremitas bawah saat beristirahat, mengurangi berdiri atau duduk lama,
dan mengurangi berat badan.

29

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusi D. Insufisiensi Vena Kronik. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular. 5 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2010: 256-74.
2. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono T, Rudiman R, editors. Buku Ajar
Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2013: 582-4.
3. Sherwood L. Pembuluh darah dan tekanan darah. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke
Sistem, 2st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001: 297-326.
4. Netter. Lower Limb. In: Hansen JT, editor. Netters Clinical Anatomy. Philadelphia:
Elsevier; 2010: 227-8.
5. Jundt JP, Liem TK, Moneta GL. Venous and Lymphatic Disease. In Brunicardi FC,
editor. Schwartzs Principle od Surgery. 10th ed. New York: Mc Graw Hill; 2010: 9158.
6. Chiesa R, Marone EM, Limoni C, Volonte M, Schaefer E, Petrini O. Chronic venous
insufficiency in Italy: the 24-cities cohort study. Eur J Vasc Endovasc Surg. 2005 Oct.
30(4):422-9
7. Raju S, Neglen P. Stents for chronic venous insufficiency: why, where, how and
when--a review. J Miss State Med Assoc. 2008 Jul. 49(7):199-205.
8. Eberhardt RT, Raffetto JD. Chronic Venous Insufficiency. Circulation. 2005; 111;
2398-409.
9. Bergan JJ, Schmid-Schonbein G, Smith P, Nicolaides AN, Boisseau M, Eklof B.
Chronic Venous Disease: mechanism of disease. N Engl J Med. 2006; 355: 488-98.

30

Vous aimerez peut-être aussi