Vous êtes sur la page 1sur 16

REFERAT

PENATALAKSANAAN CAIRAN PERIOPERATIF


PADA KASUS TRAUMA

Oleh:
Arrum Chyntia Yuliyanti
H1A010024

Pembimbing:
dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ANESTHESIA DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016

A. PENDAHULUAN
Trauma didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan fisik dari struktur atau
fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi akut (mekanis, kimiawi, radioaktif,
biologik) yang melampaui toleransi tubuh. Cairan resusitasi yang umumnya digunakan
pada kasus trauma ialah larutan Ringer laktat, NaCl fisiologis, koloid, NaCl hipertonik
dan produk darah (packed red blood cells, plasma beku atau trombosit). Strategi
resusitasi cairan terdiri dari resusitasi fase awal dan fase akhir. Penatalaksanaan terapi
cairan perioperatif pada kasus trauma memerlukan pemahaman yang menyeluruh
mengenai patofisiologi syok, efek terapi cairan pada saat perdarahan aktif, dan
kemampuan untuk menerapkan bukti ilmiah pada masing-masing individu dengan
keadaan klinis yang berbeda.
B. PENGARUH TRAUMA PADA CAIRAN TUBUH
Trauma merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi pasien baik
di negara maju maupun berkembang dan menyebabkan 10.000 kematian setiap hari.
Trauma merupakan penyebab kematian kedua setelah HIV/AIDS pada kelompok usia 545 tahun. Penyebab utama mortalitas pada trauma adalah neurological injury dan blood
loss. 1
Prinsip Starling disesuaikan menjadi double-barrier concept dan mekanisme
perubahan lapisan permukaan endotelium pada pasien kritis berperan penting dalam
terjadinya edema jaringan. Lapisan permukaan endotelium berkontak langsung dengan
darah dan jaringan dan terlibat dalam sebagai barier vaskular, inflamasi dan sistem
koagulasi. Selain iskemia/reperfusion-injury, beberapa mediator diketahui menginisiasi
degradasi glikokaliks. Tumor necrosis factor , sitokin, protease, dan heparanase dari
sel mast yang teraktivasi didapatkan pada SIRS (systemic inflammatory response
syndrome)
mencetuskan

yang mengurangi ketebalan lapisan permukaan endotelium, sehingga


peningkatan

adhesi

leukosit

dan

permeabilitas

transendotelium.

Hipervolemia karena pemberian cairan berlebih juga dapat membuat kerusakan


glikokaliks iatrogenik. 2
Selama pembedahan, trauma atau syok septik (blood loss, vascular leakage)
mempengaruhi terutama volum intravaskular. Tipe pertama yaitu kehilangan cairan oleh
redistribusi antara intrasel, interstisial, dan intravaskular secara lambat dan

menyebabkan dehidrasi. Tipe kedua yaitu kehilangan cairan yang membuat hipovolemia
akut. 2
Manipulasi pembedahan meningkatkan permeabilitas protein kapiler berlebihan.
Jejas reperfusi dan mediator-mediator inflamasi mengganggu barier vaskular.
Hipervolemia iatrogenik membuat degradasi glikokaliks dan menyebabkan pergeseran
cairan dan protein berlebihan ke jaringan. 2
Operasi mayor menyebabkan defisit 3-6 Liter pada keseimbangan cairan
perioperatif. Puncaknya bertahan sampai 72 jam setelah trauma atau pembedahan.
Fenomena ini disebabkan oleh pergeseran cairan ke dalam third space.2, 3 Kehilangan
melalui third space adalah perpindahan isotonik cairan ekstrasel dari kompartement
cairan tubuh fungsional ke kompartment non fungsional. Kehilangan melalui third
space tergantung pada lokasi dan durasi prosedur pembedahan, jumlah trauma jaringan,
suhu lingkungan, dan ventilasi ruangan.4
Third space dapat dibagi menjadi anatomic dan non anatomic. Pergeseran cairan
fisiologis dari pembuluh darah ke ruang interstisial melewati barier vaskular intak
mengandung protein hanya dalam jumlah kecil. Hal ini tidak menyebabkan edema
interstisial sepanjang masih bisa dibawa oleh drainase limfatik. Kehilangan cairan ke
anatomic third space terjadi berdasarkan mekanisme ini tetapi dalam kuantitas patologis
yang melewati kapasitas sistem limfatik. Sebaliknya nonanatomic third space dipercaya
sebagai suatu kompartmen terpisah dari ruang interstisial. Kehilangan menuju
nonanatomic third space terperangkap dan hilang selama pertukaran ekstrasel. Contoh
untuk kehilangan ke nonanatomic third space diantaranya akumulasi cairan pada
jaringan yang mengalami trauma, pada usus, atau ruang peritoneum, namun menurut
penelitian ruang ini belum teridentifikasi. Cairan bergeser dari intravaskular ke ruang
interstisial. Pergeseran ini dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: 2
a. Tipe 1, selalu terjadi dan meskipun barier vaskular intak, menunjukkan fisiologis,
hampir tidak mengandung protein.
b. Tipe 2, pergeseran patologis yang disebabkan oleh disfungsi barier vaskular, cairan
melewati barier mengandung protein dengan konsentrasi mendekati plasma.
Dalam pengaruh neuroendokrin, respon inisial akibat hipovolemia adalah
peningkatan tonus vaskular pada kapasitans vena yang menjamin venous return. Setelah
respon ini kelelahan, cairan dari interstisial bergeser ke arah intravaskular (autotransfusi
atau pengisian transkapiler) akibat tekanan hidrostatik kapiler dan gradien tekanan

hidrostatik kapiler terhadap tekanan osmotik kapiler menurun. Pelepasan mediator


inflamasi pada lokasi traumatic injury menurunkan koefisien refleksi () dengan
pergerakan molekul koloid yang besar ke arah interstisial. Tekanan osmotik jaringan
meningkat sehingga menarik air dari intravaskular kembali ke interstisial. Sistem
limfatik berjalan lambat karena molekul yang besar.5
Edema

jaringan

memperparah

hipoperfusi

jaringan

dan

menyebabkan

hipovolemia. Hipoperfusi dan penurunan oxygen delivery menyebabkan produksi laktat


dan asidosis metabolik. Metabolisme anaerob menyebabkan deplesi ATP dengan
asidosis laktat dan hipotermia. Penurunan 4,6C setiap jam terjadi pada pasien
hipoperfusi. Penurunan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan prehospital.5
Asidosis memfasilitasi efek kaskade hipotermia. SIRS diaktivasi oleh
iskemia/reperfusi. Resusitasi segera membatasi aktivasi mediator-mediator yang
mencetuskan SIRS dan menghentikan perubahan-perubahan mikrosirkulasi akibat syok
hemoragik dan aktivasi neutrofil.5

Gambar 1. Pengaruh hipoperfusi jaringan 5


C. TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama
pembedahan, dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan,
memenuhi kebutuhan air, elektrolit, dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan
kembali keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenisasi sel,
dengan demikian akan mengurangi iskemia jaringan dan kemungkinan kegagalan
organ.6

Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa prabedah yang kadang
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya,
perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan
terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pascabedah kadang-kadang
perdarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja
memerlukan perhatian khusus. Puasa prabedah selama 12 jam atau lebih dapat
menimbulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang
dewasa. Gejala dari defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di
dalamnya adalah rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala.6
Tujuan dari terapi cairan perioperatif pada kasus trauma adalah menyediakan
jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat
agar sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran
darah yang adekuat ke organ-organ vital dan ke jaringan yang mengalami trauma dan
efektif untuk penyembuhan luka. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak
ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan
berupa edema paru dan gagal nafas.

2,3,6

Pemberian terapi cairan antara individu yang

satu dengan yang lainnya bersifat relatif, karena dalam praktiknya terapi cairan
diberikan sesuai dengan keadaan hemodinamik pasien sehingga sulit diukur secara
objektif.
D. PENILAIAN HIDRASI
Penilaian klinis dan laboratorium terhadap volum intravaskular penting sebagai
panduan terapi cairan perioperatif. Rasa haus, turgor kulit, hidrasi membran mukosa,
gradien temperatur, frekuensi dan volum nadi, perubahan tekanan darah, dan urin output
dapat digunakan untuk menilai hidrasi. Hemodinamik juga dipengaruhi oleh obatobatan dan efek fisiologis stress pembedahan.4
Rasa haus muncul sebagai respon terhadap hipovolemia (via baroreseptor) dan
akibat perubahan setiap 1% osmolaritas. Rasa haus harus dibedakan dengan mulut
kering yang dapat muncul karena terapi oksigen atau obat-obatan. Keseimbangan cairan
sering menjadi masalah pada pasien yang tidak bisa minum.4
Turgor kulit menurun menunjukkan defisit intravaskular sekitar 10%. Hipotensi
orthostatik dan terlentang menunjukkan defisit cairan masing-masing 20% dan 30%.

Individu sehat dapat mempertahankan kehilangan 20% volum sirkulasi dan hanya
menimbulkan takikardi postural. Hipotensi postural dapat terjadi dalam keadaan
nomovolemia jika dengan disfungsi autonom. Tanda-tanda hipervolemia jika terdapat
edema pitting dan peningkatan aliran urin pada pasien dengan fungsi jantung, hati dan
ginjal normal. Edema paru merupakan tanda lanjut dari hipervolemia.4
Hasil laboratorium pada dehidrasi antara lain meningkatnya hematokrit, asidosis
metabolik progresif, hipernatremia, dan natrium urin >20 mmol/L. Tekanan vena sentral
rendah <5 mmHg dikatakan normal kecuali berhubungan dengan tanda-tanda
hipovolemia lain.4 Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil harus pertanyaan
pertanyaan berikut: 2

Apakah oksigenasi jaringan adekuat? (dinilai dari saturasi oksigen vena superfisial,

oksigenasi vena sentral, dan laktat serum.


Apakah volum pasien responsif?
Apakah tonus vasomotor meningkat, menurun, atau normal pada pasien hipotensi?
Apakah jantung mampu mempertahankan cardiac output yang cukup ketika tekanan
arteri pulih?

Biasanya pertanyaan tersebut dijawab dengan mengukur mean arterial pressure (MAP),
central venous pressure (CVP), dan observasi diuresis.
E. PEMILIHAN CAIRAN
Cairan yang tepat digunakan dalam perioperatif masih diperdebatkan.
Komposisi dan penggunaan cairan yang sering dipakai dapat dilihat pada tabel berikut.4
Tabel 1. Komposisi cairan intravena yang sering digunakan 4

a. Kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid menggantikan deplesi cairan ekstrasel dengan
lebih baik. Kebutuhan penggantian sekitar 3-4 kali dari volum darah yang hilang karena
terdistribusi ke intravaskular:ekstravaskular 1:4. Reaksi alergi dapat dihindari dan
harganya lebih murah darpada koloid. Resusitasi berlebihan dengan kristaloid mendilusi
protein plasma, menurunkan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi filtrasi cairan dari
intravaskular ke interstisial dan edema paru interstisial. 4
Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular,
sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang
hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan
dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan
akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk
meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.5,6,7
Normal salin 0,9% bersifat isotonik dan isoosmolar tetapi berisi klorida lebih
banyak daripada ECF. Pemberian dalam volum besar menghasilkan hiperkloremia
ringan. Dextrose 5% bersifat isoosmotik dan berfungsi sebagai cairan bebas karena
dekstrosa dimetabolisis. Saat kristaloid diberikan, Na+ tetap berada di ekstrasel karena
pompa Na. Jika salin 0,9% (isotonik) diberikan, osmolaritas ECF tetap sama (tidak ada
pertukaran air melalui membran sel). Jika glukosa 5% (hipotonik) diberikan osmolaritas

ECF menurun dan terjadi pergeseran air dari ECF ke ICF dalam rasio 1:2 (66% total air
tubuh adalah ICF).4,5,6
Sebuah meta analisis oleh Krajewski et al di USA untuk menilai hubungan
antara kandungan klorida cairan resusitasi IV dengan outcome pasien pada perioperatif
didapatkan bahwa cairan tinggi klorida (konsentrasi ion >111-154 mmol/L) tidak
mempengaruhi mortalitas, namun secara signifikan dihubungkan dengan risiko tinggi
gagal ginjal akut dan asidosis metabolik/hiperkloremia, volum transfusi darah, dan
waktu ventilasi mekanik.8
b. Koloid
Koloid merupakan molekul lebih besar yang kurang dapat melewati membran
kapiler, cepat kembali ke sirkulasi melalui drainase limfatik dan menghasilkan tekanan
onkotik koloid. Volum yang diberikan lebih sedikit dan risiko edema paru lebih sedikit.
Koloid memiliki sedikit efek pada tekanan osmosis dan elektrolit ditambahkan untuk
mencapai isoosmolaritas dengan darah. Koloid mengandung molekul-molekul besar
seperti albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu paruh
koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume
darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin,
plasma dan darah.5
-

Gelatin
Gelofusine adalah larutan 4% suksinil gelatin dalam salin. Tekanan onkotik

koloid 35 mmHg dan waktu paruh 2-4 jam. Haemaccel adalah larutan 3,5% poligeline
dalam larutan garam. Haemacel berikatan dengan urea dan dilepaskan setelah hidrolisis
sehingga menimbulkan masalah pada pasien dengan gagal ginjal. Tekanan onkotik
koloid 28 mmHg dan waktu paruh 6 jam. Dekstran adalah polimer glukosa dan tersedia
sebagai larutan dengan NaCl 0,9% atau dekstrose 5%.4
-

Starches
Starches adalah campuran amylopektin yang memiliki berat molekul besar.

Hespan adalah larutan 6% hetastarch dalam NaCl dengan Tekanan onkotik koloid 20
mmHg. 60% larutan tetap berada dalam tubuh sekitar 24 jam karena ikatan hidroksietilglukosa. Voluven mirip dengan Hespan tetapi berat molekul lebih kecil. Simpanan
jaringan 75% lebih kecil daripada Hespan dan reaksi alergi Voluven kurang jika
dibandingkan koloid lain. Larutan human albumin merupakan fraksionasi plasma

manusia. Human albumin dipanaskan steril 60C selama 10 jam sehingga risiko
transmisi infeksi sangat rendah. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. 4
Rescueflow adalah larutan garam hipertonik dan tersedia dalam 6% dekstran
70/7,5% NaCl. Salin hipertonik menghasilkan pergeseran cairan dengan cepat dari
intrasel ke intravaskular, dektran selanutnya tetap mengekspansi volum. Hal ini
menguntungkan pada pasien dengan predisposisi edema jaringan misalnya luka bakar
berat, traumatic brain injury. Hipernatremia mudah terjadi jika digunakan dalam volum
besar (>500 ml), sehingga elektrolit plasma harus dimonitor ketat.4
Tabel 2. Perbandingan kristaloid dan koloid 7
Sifat
Efek volume intravaskuler
Efek volume interstisial
DO2 sistemik
Sembab paru
Sembab perifer
Koagulopati
Aliran urine
Reaksi anafilaksis
Harga

Kristaloid

Koloid
Lebih baik (efisien, volume lebih kecil, menetap lebih
lama
Lebih baik
Lebih tinggi
Keduanya sama-sama potensial menyebabkan sembab paru
Sering
Jarang
Dekstran > kanji hidroksi etil
Lebih besar
GFR menurun
Tidak ada
Jarang
Murah
Albumin mahal, non albumin sedang

F. PENATALAKSANAAN
Resusitasi awal pada pasien cedera berat berdasarkan strategi permissive
hypovolaemia (hipotensi) yaitu resusitasi cairan untuk meningkatkan tekanan darah
tanpa mencapai normotensi, hingga mencapai cerebration pada pasien sadar, atau 70-80
mmHg pada trauma tajam dan 90 mmHg pada trauma tumpul dan resusitasi dengan
produk darah. Periode hipovolemia ini (hipotensi) harus dijaga seminimal mungkin,
dengan cepat pasien ditransfer ke ruang operasi untuk terapi definitif.1
Setelah hemostasis dicapai, resusitasi menggunakan prinsip goal directed
therapy

(GDT) untuk mengukur cardiac output atau oxygen delivery untuk

meningkatkan outcome. Asam traneksamat diberikan secara intravena dalam 3 jam


setelah trauma untuk menurunkan mortalitas pada pasien yang dicurigai perdarahan.1
Strategi Restriksi (biasanya ditetapkan <7 ml/kg/jam) disarankan untuk
mengurangi komplikasi daripada strategi cairan standard atau liberal (3 ml/kg/jam) pada
berbagai penelitian pada pembedahan. Komplikasi yang dicegah yaitu mual, muntah,

infeksi, komplikasi pulmonar. Namun komplikasi ini juga dapat disebabkan karena
overhidrasi oleh kristaloid, sehingga restriksi cairan sering dipakai untuk pembatasan
kristaloid. Namun terapi yang terlalu restriktif dapat membuat under-resusitasi dan
berpotensi menyebabkan sekuele, seperti hipoperfusi gastrointestinal, mual dan muntah,
yang dapat dicegah dengan loading cairan secara liberal (koloid atau kristaloid). GoalDirected Therapy perioperatif (lebih sering koloid, kadang-kadang kristaloid) dapat
mengurangi komplikasi postoperasi karena dosis cairan sesuai kebutuhan individu dan
mengutamakan optimalisasi kardia.9
GDT juga mengurangi lama rawat inap setelah pembedahan. Berdasarkan
penelitian komparatif yang dilakukan oleh Cannesson et al diteliti hubungan GDT
perioperatif dan outcome pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen risiko
tinggi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lama rawat inap sebelum implementasi
GDT 6-16 hari dan lama rawat inap sesudah implementasi GDT (5-11 hari). 10

10

Gambar 2. Algoritma GDT 9


1. Terapi Cairan preoperatif 6,7
Tujuannya yaitu mengganti cairan selama persiapan pembedahan dan anestesi
(puasa, lavement), bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.
Defisit cairan karena harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada
masa pra-bedah sebelum induksi. Penilaian status cairan ini didapat dari anamnesis,
pemeriksaan fisik status cairan, dan laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN,
hematokrit, hemoglobin dan protein. Defisit cairan dapat diperkirakan dari beratringannya dehidrasi yang terjadi. Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus,
nadi biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara
serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
Fase moderat ditandai rasa haus, mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah. Pad
fase ini terjadi kehilangan cairan 6% BB. Fase lanjut/dehidrasi berat ditandai adanya
tanda syok cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan
penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan
cairan 15 % BB atau lebih.
Pedoman koreksi cairan perioperatif adalah:
-

Hitung kebutuhan cairan per hari (per jam)


Hitung defisit puasa (lama puasa), atau derajat dehidrasi
Pada jam pertama setelah infus terpasang berikan 50% defisit ditambah cairan

pemeliharaan per jam


Pada jam kedua berikan 25% defisit ditambah cairan pemeliharaan per jam
Pada jam ketiga berikan 25% defisit ditambah cairan pemeliharaan per jam
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan dewasa 2

ml/kgBB/jam. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB pertama, ditambah 2 ml/kg untuk


10 kgBB kedua, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali penilaian
terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan
adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti
garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya
tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau
parenteral lebih dini lagi. Selain cara tersebut di atas, penggantian cairan akibat
perdarahan diberikan berdasarkan berat-ringannya perdarahan.

11

Tabel 3. Penggantian cairan dan darah berdasarkan derajat perdarahan 7


Klasifikasi Perdarahan
Kelas I (Perdarahan 750 ml (15%))

Cairan Resusitasi Intravena Pada Syok Hemoragis


2,5 L Ringer-lactate atau 1,0 L polygelatin

Kelas II (Perdarahan 800-1500 ml


(15-30%))
Kelas III (Perdarahan 1500-2000
ml (30-40%))

1,0 L polygelatin + 1,5 L Ringer-lactate

Kelas IV (Perdarahan 2000 ml


(40%))

1,0 L Ringer-lactate + 0,5 L whole blood atau


0,1-1,5 L equal volumes of concentrated red cells dan
polygelatin
1,0 L Ringer-lactate + 1,0 L polygelatin + 2,0 L
whole blood atau 2,0 L equal volumes of concentrated
red cells dan polygelatin atau hestastarch

2. Terapi Cairan intraoperatif 6,7


Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan penggantian
sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama intraoperasi.
-

Pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk


kebutuhan dasar ditambah 2-4 ml/kgBB/jam sebagai pengganti akibat trauma

pembedahan.
Cairan pengganti pada trauma pembedahan sedang 4-6 ml/kg BB/jam
pada trauma pembedahan berat 6-8 ml/kg BB/jam
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan

perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama


pembedahan sering mengalami kesulitan karena adanya perdarahan yang sulit
diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan
lain-lain. Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan
hematokrit dan hemoglobin secara serial.6,7
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan
kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini
perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 710 g/dl atau
Hct 2130%, 2025% pada individu sehat atau anemia kronis. 6,7
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB,
bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 65 ml/kgBB.
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30% dapat
dihitung sebagai berikut:

12

1. EBV = BB (kg) x average blood volume


2. Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
3. Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
4. Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop RBVC 30%)
5. Allowable Blood Loss (Jumlah darah yang boleh hilang) = RBCV lost x 3
= { EBV x (Hi Hf) } / Hi
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai Allowable Blood Loss.
Postoperative nausea and vomitting (PONV) setelah pembedahan terjadi pada
40-60% pasien meskipun dengan profilaksis farmakologi. Rehidrasi preload
direkomendasikan unuk menurunkan PONV tetapi tidak ada konsensus cairan mana
yang ideal untuk pencegahan PONV. Dalam clinical trial double-blinded yang
membandingkan efek preload Ringer (kristaloid) dengan Haemaccel (koloid) pada
insidensi PONV. Hasilnya Haemaccel tidak menurunkan PONV. Namun pemberian IV
bolus preoperasi cairan kristaloid dan koloid (masing-masing 7 ml/kg) dapat
menurunkan insidensi PONV. Insidensi PONV 1 jam postoperasi tidak berbeda
signifikan dengan Ringer 18,52% dan Haemaccel 14,82%.11
Pemberian koloid intraoperasi dapat menurunkan mual dan muntah postoperasi
(PONV) dan meningkatkan outcome dibandingkan dengan larutan kristaloid. Sebuah
studi prospektif yang membandingkan efek resusitasi kristaloid dan koloid terhadap
mual dan muntah dan pada rekoveri pasien post operasi mayor. Penelitian ini
membandingkan 6% hetastarch dalam salin (HS-NH), 6% hetastarch dalam garam
seimbang (HS-BS), atau RL dan dilakukan survei morbiditas postoperasi. HS-NS dan
HS-BS (koloid) secara signifikan memiliki kejadian PONV lebih rendah, penggunaan
antiemesis lebih jarang, serta kejadian nyeri berat dan edema periorbital lebih rendah. 12
3. Terapi Cairan Postoperatif

6,7

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama untuk:


1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 3545 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium
karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang
cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca

13

bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50%. Kadar
albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup
dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan suhu tubuh

1C
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi
darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan karena terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan
darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

14

Gambar 3. Algoritma pemberian koloid dan kristaloid intraoperatif. BP=blood pressure;


HR=heart rate; Hct=hematocrit; CVP=central venous pressure 12
G. KESIMPULAN
Dalam pemberian terapi cairan pada pasien traumatik/perioperatif, harus
dihitung kebutuhan cairan basal, penyakit-penyakit yang menyertai, medikasi, teknik
dan obat anestetik serta kehilangan cairan akibat trauma/pembedahan. Trauma dan
pembedahan secara akut mengubah volume dan komposisi ruang ruang cairan intra dan
ekstraselular. Dibandingkan dengan individu normal, pasien yang mengalami trauma
berat mempunyai ICV yang sedikit berkurang dan ECV yang banyak bertambah.
Pemberian cairan kristaloid atau koloid lebih dipilih dengan strategi Goal-Directed
Therapy.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Harris,

Tim.

2012.

Early

fluid

resuscitation

in

severe

trauma.

BMJ 2012;345:e5752
2. Strunden et al.: Perioperative fluid and volume management: physiological
basis, tools and strategies. Annals of Intensive Care 2011 1:2.
3. Chappell, et al. 2008. A Rational Approach to Perioperative Fluid Management.
Anesthesiology 2008; 109:72340
4. Rassam SS, Counsell DJ. Perioperative fluid therapy. Contin Educ Anaesth Crit
Care and Pain 2005; 5: 16165.
5. Datta & Chaturvedi. 2010. Fluid therapy in trauma. MJAFI 2010;66 : 312-316
6. Hahn, et al. 2007. Perioperative fluid therapy. New York: Informa Healthcare
USA, Inc.
7. Sunatrio. 2008. Resusitasi cairan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
8. Krajewski, et al. 2015. Meta-analysis of high- versus low-chloride content in
perioperative and critical care fluid resuscitation. BJS 2015; 102: 2436
9. Smorenberg et al. 2013. Dose and type of crystalloid fluid therapy in adult
hospitalized patients. Perioperative Medicine 2013, 2:17
10. Cannesson et al. 2015. Perioperative goal-directed therapy and postoperative
outcomes in patients undergoing high-risk abdominal surgery: a historicalprospective, comparative effectiveness study. Critical Care (2015) 19:261
11. Ghaforifard et al. 2015. The Effect of Ringer versus Haemaccel Preload on
Incidence of Postoperative Nausea and Vomiting. Journal of Caring Sciences,
2015, 4(2), 105-113
12. Moretti et al., 2003.

Intraoperative

Colloid

Administration

Reduces

Postoperative Nausea and Vomiting and Improves Postoperative Outcomes


Compared with Crystalloid Administration. Anesth Analg 2003;96:6117

Vous aimerez peut-être aussi