Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Arrum Chyntia Yuliyanti
H1A010024
Pembimbing:
dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, Sp.An
A. PENDAHULUAN
Trauma didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan fisik dari struktur atau
fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi akut (mekanis, kimiawi, radioaktif,
biologik) yang melampaui toleransi tubuh. Cairan resusitasi yang umumnya digunakan
pada kasus trauma ialah larutan Ringer laktat, NaCl fisiologis, koloid, NaCl hipertonik
dan produk darah (packed red blood cells, plasma beku atau trombosit). Strategi
resusitasi cairan terdiri dari resusitasi fase awal dan fase akhir. Penatalaksanaan terapi
cairan perioperatif pada kasus trauma memerlukan pemahaman yang menyeluruh
mengenai patofisiologi syok, efek terapi cairan pada saat perdarahan aktif, dan
kemampuan untuk menerapkan bukti ilmiah pada masing-masing individu dengan
keadaan klinis yang berbeda.
B. PENGARUH TRAUMA PADA CAIRAN TUBUH
Trauma merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi pasien baik
di negara maju maupun berkembang dan menyebabkan 10.000 kematian setiap hari.
Trauma merupakan penyebab kematian kedua setelah HIV/AIDS pada kelompok usia 545 tahun. Penyebab utama mortalitas pada trauma adalah neurological injury dan blood
loss. 1
Prinsip Starling disesuaikan menjadi double-barrier concept dan mekanisme
perubahan lapisan permukaan endotelium pada pasien kritis berperan penting dalam
terjadinya edema jaringan. Lapisan permukaan endotelium berkontak langsung dengan
darah dan jaringan dan terlibat dalam sebagai barier vaskular, inflamasi dan sistem
koagulasi. Selain iskemia/reperfusion-injury, beberapa mediator diketahui menginisiasi
degradasi glikokaliks. Tumor necrosis factor , sitokin, protease, dan heparanase dari
sel mast yang teraktivasi didapatkan pada SIRS (systemic inflammatory response
syndrome)
mencetuskan
adhesi
leukosit
dan
permeabilitas
transendotelium.
menyebabkan dehidrasi. Tipe kedua yaitu kehilangan cairan yang membuat hipovolemia
akut. 2
Manipulasi pembedahan meningkatkan permeabilitas protein kapiler berlebihan.
Jejas reperfusi dan mediator-mediator inflamasi mengganggu barier vaskular.
Hipervolemia iatrogenik membuat degradasi glikokaliks dan menyebabkan pergeseran
cairan dan protein berlebihan ke jaringan. 2
Operasi mayor menyebabkan defisit 3-6 Liter pada keseimbangan cairan
perioperatif. Puncaknya bertahan sampai 72 jam setelah trauma atau pembedahan.
Fenomena ini disebabkan oleh pergeseran cairan ke dalam third space.2, 3 Kehilangan
melalui third space adalah perpindahan isotonik cairan ekstrasel dari kompartement
cairan tubuh fungsional ke kompartment non fungsional. Kehilangan melalui third
space tergantung pada lokasi dan durasi prosedur pembedahan, jumlah trauma jaringan,
suhu lingkungan, dan ventilasi ruangan.4
Third space dapat dibagi menjadi anatomic dan non anatomic. Pergeseran cairan
fisiologis dari pembuluh darah ke ruang interstisial melewati barier vaskular intak
mengandung protein hanya dalam jumlah kecil. Hal ini tidak menyebabkan edema
interstisial sepanjang masih bisa dibawa oleh drainase limfatik. Kehilangan cairan ke
anatomic third space terjadi berdasarkan mekanisme ini tetapi dalam kuantitas patologis
yang melewati kapasitas sistem limfatik. Sebaliknya nonanatomic third space dipercaya
sebagai suatu kompartmen terpisah dari ruang interstisial. Kehilangan menuju
nonanatomic third space terperangkap dan hilang selama pertukaran ekstrasel. Contoh
untuk kehilangan ke nonanatomic third space diantaranya akumulasi cairan pada
jaringan yang mengalami trauma, pada usus, atau ruang peritoneum, namun menurut
penelitian ruang ini belum teridentifikasi. Cairan bergeser dari intravaskular ke ruang
interstisial. Pergeseran ini dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: 2
a. Tipe 1, selalu terjadi dan meskipun barier vaskular intak, menunjukkan fisiologis,
hampir tidak mengandung protein.
b. Tipe 2, pergeseran patologis yang disebabkan oleh disfungsi barier vaskular, cairan
melewati barier mengandung protein dengan konsentrasi mendekati plasma.
Dalam pengaruh neuroendokrin, respon inisial akibat hipovolemia adalah
peningkatan tonus vaskular pada kapasitans vena yang menjamin venous return. Setelah
respon ini kelelahan, cairan dari interstisial bergeser ke arah intravaskular (autotransfusi
atau pengisian transkapiler) akibat tekanan hidrostatik kapiler dan gradien tekanan
jaringan
memperparah
hipoperfusi
jaringan
dan
menyebabkan
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa prabedah yang kadang
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya,
perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan
terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pascabedah kadang-kadang
perdarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja
memerlukan perhatian khusus. Puasa prabedah selama 12 jam atau lebih dapat
menimbulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang
dewasa. Gejala dari defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di
dalamnya adalah rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala.6
Tujuan dari terapi cairan perioperatif pada kasus trauma adalah menyediakan
jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat
agar sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran
darah yang adekuat ke organ-organ vital dan ke jaringan yang mengalami trauma dan
efektif untuk penyembuhan luka. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak
ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan
berupa edema paru dan gagal nafas.
2,3,6
satu dengan yang lainnya bersifat relatif, karena dalam praktiknya terapi cairan
diberikan sesuai dengan keadaan hemodinamik pasien sehingga sulit diukur secara
objektif.
D. PENILAIAN HIDRASI
Penilaian klinis dan laboratorium terhadap volum intravaskular penting sebagai
panduan terapi cairan perioperatif. Rasa haus, turgor kulit, hidrasi membran mukosa,
gradien temperatur, frekuensi dan volum nadi, perubahan tekanan darah, dan urin output
dapat digunakan untuk menilai hidrasi. Hemodinamik juga dipengaruhi oleh obatobatan dan efek fisiologis stress pembedahan.4
Rasa haus muncul sebagai respon terhadap hipovolemia (via baroreseptor) dan
akibat perubahan setiap 1% osmolaritas. Rasa haus harus dibedakan dengan mulut
kering yang dapat muncul karena terapi oksigen atau obat-obatan. Keseimbangan cairan
sering menjadi masalah pada pasien yang tidak bisa minum.4
Turgor kulit menurun menunjukkan defisit intravaskular sekitar 10%. Hipotensi
orthostatik dan terlentang menunjukkan defisit cairan masing-masing 20% dan 30%.
Individu sehat dapat mempertahankan kehilangan 20% volum sirkulasi dan hanya
menimbulkan takikardi postural. Hipotensi postural dapat terjadi dalam keadaan
nomovolemia jika dengan disfungsi autonom. Tanda-tanda hipervolemia jika terdapat
edema pitting dan peningkatan aliran urin pada pasien dengan fungsi jantung, hati dan
ginjal normal. Edema paru merupakan tanda lanjut dari hipervolemia.4
Hasil laboratorium pada dehidrasi antara lain meningkatnya hematokrit, asidosis
metabolik progresif, hipernatremia, dan natrium urin >20 mmol/L. Tekanan vena sentral
rendah <5 mmHg dikatakan normal kecuali berhubungan dengan tanda-tanda
hipovolemia lain.4 Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil harus pertanyaan
pertanyaan berikut: 2
Apakah oksigenasi jaringan adekuat? (dinilai dari saturasi oksigen vena superfisial,
Biasanya pertanyaan tersebut dijawab dengan mengukur mean arterial pressure (MAP),
central venous pressure (CVP), dan observasi diuresis.
E. PEMILIHAN CAIRAN
Cairan yang tepat digunakan dalam perioperatif masih diperdebatkan.
Komposisi dan penggunaan cairan yang sering dipakai dapat dilihat pada tabel berikut.4
Tabel 1. Komposisi cairan intravena yang sering digunakan 4
a. Kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid menggantikan deplesi cairan ekstrasel dengan
lebih baik. Kebutuhan penggantian sekitar 3-4 kali dari volum darah yang hilang karena
terdistribusi ke intravaskular:ekstravaskular 1:4. Reaksi alergi dapat dihindari dan
harganya lebih murah darpada koloid. Resusitasi berlebihan dengan kristaloid mendilusi
protein plasma, menurunkan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi filtrasi cairan dari
intravaskular ke interstisial dan edema paru interstisial. 4
Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular,
sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang
hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan
dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan
akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk
meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.5,6,7
Normal salin 0,9% bersifat isotonik dan isoosmolar tetapi berisi klorida lebih
banyak daripada ECF. Pemberian dalam volum besar menghasilkan hiperkloremia
ringan. Dextrose 5% bersifat isoosmotik dan berfungsi sebagai cairan bebas karena
dekstrosa dimetabolisis. Saat kristaloid diberikan, Na+ tetap berada di ekstrasel karena
pompa Na. Jika salin 0,9% (isotonik) diberikan, osmolaritas ECF tetap sama (tidak ada
pertukaran air melalui membran sel). Jika glukosa 5% (hipotonik) diberikan osmolaritas
ECF menurun dan terjadi pergeseran air dari ECF ke ICF dalam rasio 1:2 (66% total air
tubuh adalah ICF).4,5,6
Sebuah meta analisis oleh Krajewski et al di USA untuk menilai hubungan
antara kandungan klorida cairan resusitasi IV dengan outcome pasien pada perioperatif
didapatkan bahwa cairan tinggi klorida (konsentrasi ion >111-154 mmol/L) tidak
mempengaruhi mortalitas, namun secara signifikan dihubungkan dengan risiko tinggi
gagal ginjal akut dan asidosis metabolik/hiperkloremia, volum transfusi darah, dan
waktu ventilasi mekanik.8
b. Koloid
Koloid merupakan molekul lebih besar yang kurang dapat melewati membran
kapiler, cepat kembali ke sirkulasi melalui drainase limfatik dan menghasilkan tekanan
onkotik koloid. Volum yang diberikan lebih sedikit dan risiko edema paru lebih sedikit.
Koloid memiliki sedikit efek pada tekanan osmosis dan elektrolit ditambahkan untuk
mencapai isoosmolaritas dengan darah. Koloid mengandung molekul-molekul besar
seperti albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu paruh
koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume
darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin,
plasma dan darah.5
-
Gelatin
Gelofusine adalah larutan 4% suksinil gelatin dalam salin. Tekanan onkotik
koloid 35 mmHg dan waktu paruh 2-4 jam. Haemaccel adalah larutan 3,5% poligeline
dalam larutan garam. Haemacel berikatan dengan urea dan dilepaskan setelah hidrolisis
sehingga menimbulkan masalah pada pasien dengan gagal ginjal. Tekanan onkotik
koloid 28 mmHg dan waktu paruh 6 jam. Dekstran adalah polimer glukosa dan tersedia
sebagai larutan dengan NaCl 0,9% atau dekstrose 5%.4
-
Starches
Starches adalah campuran amylopektin yang memiliki berat molekul besar.
Hespan adalah larutan 6% hetastarch dalam NaCl dengan Tekanan onkotik koloid 20
mmHg. 60% larutan tetap berada dalam tubuh sekitar 24 jam karena ikatan hidroksietilglukosa. Voluven mirip dengan Hespan tetapi berat molekul lebih kecil. Simpanan
jaringan 75% lebih kecil daripada Hespan dan reaksi alergi Voluven kurang jika
dibandingkan koloid lain. Larutan human albumin merupakan fraksionasi plasma
manusia. Human albumin dipanaskan steril 60C selama 10 jam sehingga risiko
transmisi infeksi sangat rendah. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. 4
Rescueflow adalah larutan garam hipertonik dan tersedia dalam 6% dekstran
70/7,5% NaCl. Salin hipertonik menghasilkan pergeseran cairan dengan cepat dari
intrasel ke intravaskular, dektran selanutnya tetap mengekspansi volum. Hal ini
menguntungkan pada pasien dengan predisposisi edema jaringan misalnya luka bakar
berat, traumatic brain injury. Hipernatremia mudah terjadi jika digunakan dalam volum
besar (>500 ml), sehingga elektrolit plasma harus dimonitor ketat.4
Tabel 2. Perbandingan kristaloid dan koloid 7
Sifat
Efek volume intravaskuler
Efek volume interstisial
DO2 sistemik
Sembab paru
Sembab perifer
Koagulopati
Aliran urine
Reaksi anafilaksis
Harga
Kristaloid
Koloid
Lebih baik (efisien, volume lebih kecil, menetap lebih
lama
Lebih baik
Lebih tinggi
Keduanya sama-sama potensial menyebabkan sembab paru
Sering
Jarang
Dekstran > kanji hidroksi etil
Lebih besar
GFR menurun
Tidak ada
Jarang
Murah
Albumin mahal, non albumin sedang
F. PENATALAKSANAAN
Resusitasi awal pada pasien cedera berat berdasarkan strategi permissive
hypovolaemia (hipotensi) yaitu resusitasi cairan untuk meningkatkan tekanan darah
tanpa mencapai normotensi, hingga mencapai cerebration pada pasien sadar, atau 70-80
mmHg pada trauma tajam dan 90 mmHg pada trauma tumpul dan resusitasi dengan
produk darah. Periode hipovolemia ini (hipotensi) harus dijaga seminimal mungkin,
dengan cepat pasien ditransfer ke ruang operasi untuk terapi definitif.1
Setelah hemostasis dicapai, resusitasi menggunakan prinsip goal directed
therapy
infeksi, komplikasi pulmonar. Namun komplikasi ini juga dapat disebabkan karena
overhidrasi oleh kristaloid, sehingga restriksi cairan sering dipakai untuk pembatasan
kristaloid. Namun terapi yang terlalu restriktif dapat membuat under-resusitasi dan
berpotensi menyebabkan sekuele, seperti hipoperfusi gastrointestinal, mual dan muntah,
yang dapat dicegah dengan loading cairan secara liberal (koloid atau kristaloid). GoalDirected Therapy perioperatif (lebih sering koloid, kadang-kadang kristaloid) dapat
mengurangi komplikasi postoperasi karena dosis cairan sesuai kebutuhan individu dan
mengutamakan optimalisasi kardia.9
GDT juga mengurangi lama rawat inap setelah pembedahan. Berdasarkan
penelitian komparatif yang dilakukan oleh Cannesson et al diteliti hubungan GDT
perioperatif dan outcome pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen risiko
tinggi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lama rawat inap sebelum implementasi
GDT 6-16 hari dan lama rawat inap sesudah implementasi GDT (5-11 hari). 10
10
11
pembedahan.
Cairan pengganti pada trauma pembedahan sedang 4-6 ml/kg BB/jam
pada trauma pembedahan berat 6-8 ml/kg BB/jam
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan
12
6,7
13
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50%. Kadar
albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup
dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan suhu tubuh
1C
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Harris,
Tim.
2012.
Early
fluid
resuscitation
in
severe
trauma.
BMJ 2012;345:e5752
2. Strunden et al.: Perioperative fluid and volume management: physiological
basis, tools and strategies. Annals of Intensive Care 2011 1:2.
3. Chappell, et al. 2008. A Rational Approach to Perioperative Fluid Management.
Anesthesiology 2008; 109:72340
4. Rassam SS, Counsell DJ. Perioperative fluid therapy. Contin Educ Anaesth Crit
Care and Pain 2005; 5: 16165.
5. Datta & Chaturvedi. 2010. Fluid therapy in trauma. MJAFI 2010;66 : 312-316
6. Hahn, et al. 2007. Perioperative fluid therapy. New York: Informa Healthcare
USA, Inc.
7. Sunatrio. 2008. Resusitasi cairan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
8. Krajewski, et al. 2015. Meta-analysis of high- versus low-chloride content in
perioperative and critical care fluid resuscitation. BJS 2015; 102: 2436
9. Smorenberg et al. 2013. Dose and type of crystalloid fluid therapy in adult
hospitalized patients. Perioperative Medicine 2013, 2:17
10. Cannesson et al. 2015. Perioperative goal-directed therapy and postoperative
outcomes in patients undergoing high-risk abdominal surgery: a historicalprospective, comparative effectiveness study. Critical Care (2015) 19:261
11. Ghaforifard et al. 2015. The Effect of Ringer versus Haemaccel Preload on
Incidence of Postoperative Nausea and Vomiting. Journal of Caring Sciences,
2015, 4(2), 105-113
12. Moretti et al., 2003.
Intraoperative
Colloid
Administration
Reduces