Vous êtes sur la page 1sur 29

TUGAS PRESENTASI KASUS BLOK ECCE III

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT PARU


Curiga Efusi Pleura Sinistra et Causa Congestive Heart Failure

Tutor:
dr. Ngatwanto, Sp.P
Oleh:
Titiyan Herbiyanto N.

G1A009084

Semba Anggen R.

G1A009085

Fariza Zumala L.

G1A009087

Dhyaksa Cahya P.

G1A009088

Kelompok F

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012

TUGAS PRESENTASI KASUS BLOK ECCE III


SMF/LAB ILMU PENYAKIT PARU
Curiga Efusi Pleura Sinistra et Causa Congestive Heart Failure

Oleh :
Titiyan Herbiyanto N.

G1A009084

Semba Anggen R.

G1A009085

Fariza Zumala L.

G1A009087

Dhyaksa Cahya P.

G1A009088

Diajukan Sebagai Syarat Penilaian SMF Penyakit Paru Blok ECCE 3


Pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Purwokerto

Disetujui
Pada tanggal, 23 Desember 2012
Pembimbing

dr. Ngatwanto, Sp.P


IDENTITAS PENDERITA

Nama
Usia
Alamat
Agama
Tanggal Masuk Rumah Sakit

: Ny. AL
: 49 tahun
: Desa Panggang, Kec. Wangon - Banyumas
: Islam
: 20 Desember 2012

1. SUBJEKTIF (ANAMNESIS)
Keluhan Utama

: Rasa nyeri di dada disertai batuk dan sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang


Onset
Lokasi
Kualitas
Kuantitas

: 1 hari yang lalu


: dada sebelah kiri, tidak menjalar
: nyeri seperti ditekan
: hilang timbul, saat muncul serangan disertai sesak
nafas dan jantung berdebar cepat
Faktor memperberat : Perubahan posisi, berjalan, tidur posisi miring ke
kiri
Faktor memperingan : Posisi tiduran
Gejala Penyerta
: nyeri kepala, badan lemas, batuk tidak berdahak,
keringat malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan
dan BB turun
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sekitar 2 tahun yang lalu pernah berobat ke dokter
karena batuk yang tidak kunjung sembuh dan juga kontrol gula darah. Oleh
dokter pasien diberi obat yang harus diminum sampai 6 bulan. Pasien
kemudian pindah ke Jakarta bersama anaknya dan melanjutkan pengobatan di
Jakarta namun batuknya tidak kunjung sembuh. Kemudian setahun lalu suami
pasien meninggal akibat penyakit jantung dan pasien memutuskan untuk
kembali menetap di Wangon. Akan tetapi, setelah suaminya meninggal pasien
mulai merasakan gejala-gejala penyakit jantung yang mirip dengan yang
dialami oleh suaminya dahulu. Sejak saat itu kondisi pasien semakin
melemah, sering merasa nyeri dada pada saat beraktifitas dan disertai sesak
nafas serta dada berdebar.
Riwayat Penyakit Keluarga
Setahun yang lalu suami pasien meninggal akibat penyakit jantung.
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, stroke, dan kencing manis di dalam
keturunannya disangkal.
Riwayat Sosial-Ekonomi

Pasien tinggal bersama seorang anaknya di sebuah rumah yang


berdinding bambu dan berlantai tanah. Sehari-harinya pasien bekerja sebagai
penjual makanan ringan di terminal Wangon, namun semenjak kondisinya
sakit-sakitan pasien hanya beraktifitas sebagai ibu rumah tangga biasa.
2. OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Compos mentis, GCS E4 V5 M6

Vital sign

: TD

: 120/80 mmHg

: 80x/menit, isi dan tegangan lemah

RR

: 28x/menit, nafas cepat dan pendek

: 36,5C

Kepala
Bentuk dan ukuran

:normocephal

Rambut dan kulit kepala

:hitam terdistribusi merata, mudah dicabut

Mata

:palpebra superior edema (-), mata cekung


(-), konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-)

Telinga

:otorrhoae (-), sekret (-)

Hidung

:septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping


hidung (-)

Mulut

:bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)

Tenggorokan

:faring hiperemis (-), tonsil T0/T0

Leher

:kelenjar tiroid, submandibula, supra-infra


clavicula dan cervical tidak teraba

Toraks
Paru
Inspeksi

:pergerakan dada asimetris, gerak paru kiri


tertinggal, terdapat retraksi suprasternal

Palpasi

:fremitus depan kanan lebih kuat dibanding


kiri, fremitus belakang tidak dilakukan

Perkusi

:sonor pada lapang paru kanan, area redup


melebar pada lapang paru kiri

Auskultasi

:suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- ,


wheezing -/-

Jantung
Inspeksi

:iktus kordis tampak di sela iga V LMCS

Palpasi

:iktus kordis teraba di sela iga V linea


midclavikula sinsitra, kuat angkat

Perkusi

:redup, batas jantung kiri atas: SIC II linea


parasternal sinistra, kiri bawah: SIC V linea
aksilaris anterior sinistra, kanan atas: SIC II
2 cm lateral linea parasternal dextra, kanan
bawah: SIC V 2cm lateral linea parasternal
dextra

Auskultasi

:BJ I dan II murni, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

:tampak datar

Auskultasi

:bising usus + normal

Perkusi

:timpani

Palpasi

:hepar tidak teraba, nyeri tekan (-)

Genitalia

:tidak dilakukan

Anus Rektum

:tidak dilakukan

Ekstremitas

:akral dingin, sianosis (-), edema (-),


deformitas (-)

Kulit

:turgor baik, petechiae (-)

KGB

:submandibula, cervical, supra-infra


clavicula, axilla, tidak teraba

Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan pemeriksaan penunjang
3. ASSESSMENT
Resume
Keluhan Utama

: Rasa nyeri di dada disertai batuk dan sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang


Onset
Lokasi
Kualitas
Kuantitas

: 1 hari yang lalu


: dada sebelah kiri, tidak menjalar
: nyeri seperti ditekan
: hilang timbul, saat muncul serangan disertai sesak
nafas dan jantung berdebar cepat
Faktor memperberat : Perubahan posisi, berjalan, tidur posisi miring ke
kiri
Faktor memperingan : Posisi tiduran
Gejala Penyerta
: nyeri kepala, badan lemas, batuk tidak berdahak,
keringat malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan
dan BB turun
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sekitar 2 tahun yang lalu pernah berobat ke dokter
karena batuk yang tidak kunjung sembuh dan juga kontrol gula darah. Oleh
dokter pasien diberi obat yang harus diminum sampai 6 bulan. Pasien
kemudian pindah ke Jakarta bersama anaknya dan melanjutkan pengobatan di
Jakarta namun batuknya tidak kunjung sembuh. Kemudian setahun lalu suami
pasien meninggal akibat penyakit jantung dan pasien memutuskan untuk
kembali menetap di Wangon. Akan tetapi, setelah suaminya meninggal pasien
mulai merasakan gejala-gejala penyakit jantung yang mirip dengan yang
dialami oleh suaminya dahulu. Sejak saat itu kondisi pasien semakin
melemah, sering merasa nyeri dada pada saat beraktifitas dan disertai sesak
nafas serta dada berdebar.

Pemeriksaan Fisik
Respiratory Rate
Mata
Thoraks

: konjungtiva anemis
: gerak dada kiri tertinggal saat bernafas,
kesan sulit bernafas, fremitus kanan lebih
kuat dibanding kiri, perkusi jantung kesan
cardiomegali, suara paru vesikuler, retraksi

Ekstremitas

suprasternal
: akral dingin

Diagnosis Banding
Cor Pulmonal Chronic
Congestive Heart Failure
Efusi pleura sinistra
Diagnosis Kerja
Curiga efusi pleura sinistra et causa congestive heart failure
4. PLAN
Rencana Diagnostik
1. Laboratorium darah rutin
2. Foto rontgen thoraks posisi AP
3. Elektrokardiografi (EKG)
4. Analisis gas darah (AGD)
5. Pemeriksaan sputum
Rencana Terapi
Medikamentosa
Infus RL D5% 12 tpm
Digoksin 3 x 0,25 mg
Ambroksol 3 x 30 mg
Non medikamentosa
Thoracosintesis
Diet makanan rendah garam, konsumsi garam sekitar 5 gram/hari
Edukasi mengenai pembatasan aktivitas, memperbanyak istirahat
Memberitahukan prognosis pasien:
Ad vitam
: dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam


Ad sanasionam : dubia ad malam
Rencana Monitoring
Tindakan memantau:
a. Kesadaran
b. Vital sign
c. Fungsi pernafasan
d. Nafsu makan dan berat badan

I. PENDAHULUAN
Efusi pleura merupakan penyakit
Gagal jantung merupakan keadaan patofisiologik dimana jantung
sebagai

pompa

tidak

mampu

memenuhi

kebutuhan

darah

untuk

metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif terhadap kebutuhan


metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung
secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung,
tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya
(Brashaers, 2007).
Angka kejadian CHF semakin meningkat dari tahun ke tahun,
tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF

dan 700.000 diantaranya harus dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor
risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75 %
pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Terdapat 2
juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita CHF, biaya
yang dikeluarkan diperkirakan 10 miliar dollar per tahun. Faktor risiko
terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner dengan penyakit
jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk
CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan
penyakit katup jantung (Brashaers, 2007).
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama
pada beberapa negara industri maju dan negara berkembang seperti
Indonesia. Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada,
namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit
sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%)
dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit
jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab
kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. Di antara 10 penyakit
terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke tidak berdarahah atau infark
menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 27 % (2002),
30%( 2003), dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5
sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun
2005 (Hess, 2007; Hardiman, 2007).
Peningkatan insiden penyakit jantung koroner berkaitan dengan
perubahan gaya hidup masyarakat yang turut berperan dalam meningkatkan
faktor risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol lebih dari 200 mg%, HDL
kurang dari 35mg%, perokok aktif dan hipertensi (Darmojo, 2004).

II. TINJAUAN PUSTAKA


EFUSI PLEURA
A. Definisi
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura
akibat transudasi ataueksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi
paru-paru dan rongga dada, diantara permukaan viseral dan parietal.
Dalam keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan
sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis
dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara
permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Jenis cairan lainnya yang
bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti
susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura bukan
merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.

Pada gangguan tertentu, cairan dapat berkumpul dalam ruang


pleural pada titik dimana penumpukan ini akan menjadi bukti klinis, dan
hampir selalu merupakan signifikasi patologi. Efusi dapat terdiri dari
cairan yang relatif jernih, yang mungkin merupakan cairan transudat atau
eksudat, atau dapat mengandung darah dan purulen. Transudat (filtrasi
plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan
pleural terganggu. Biasanya oleh ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
atau onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau
gagal ginjal mendasari penumpukan cairan. Eksudat (ekstravasasi cairan
ke dalam jaringan atau kavitas). Biasanya terjadi akibat inflamasi oleh
produk bakteri atau tumor yang mengenai permukaan pleural.
B. Etiologi
Efusi pleura merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi,
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Menurut
Brunner & Suddart 2001, terjadinya efusi pleura disebabkan oleh dua faktor
yaitu:
1. Infeksi
Penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan efusi pleura antara lain,
tuberculosis, pnemonitis, abses paru dan abses subfrenik.
2. Non Infeksi
Sedangkan penyakit non infeksi yang dapat menyebabkan efusi pleura
antara lain: Ca paru, Ca pleura (primer dan sekunder), Ca mediastinum,
tumor

ovarium,

bendungan

jantung

(gagal

jantung),

perikarditis

konstruktifa, gagal hati, gagal ginjal.


Adapun penyakit non infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pleura
antara lain:
a. Efusi pleura

karena

gangguan

sirkulasi

seperti

gangguan

kardiovaskuler, emboli pulmonal,dan hipoalbuminemia.


b. Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang
pleura dan umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling
banyak ditemukan adalah sesak nafas dan nyeri dada. Gejala lain
adalah adanya cairan yang selalu berakumulasi kembali dengan cepat
walaupun dilakukan torakosentesis berkali-kali.

c.

Efusi pleura karena sebab lain


Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yaitu trauma tumpul, laserasi,
luka tusuk pada dada, rupture esophagus karena muntah hebat, atau

karena
d. Efusi pleura karena kelainan intra-abdomen seperti sirosis hati, dialisis
peritoneal.
C. Patofisiologi
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 10-20 cc. Cairan di
ronggapleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh
pleura parientalis dan absorbsi oleh pleura viceralis. Keadaan ini dapat
dipertahankan karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura
parientalis sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid osmotic pleura viceralis.
Namun dalam keadaan tertentu, sejumlah cairan abnormal dapat terakumulasi
di rongga pleura. Cairan pleura tersebut terakumulasi ketika pembentukan
cairan pleura lebih dari pada absorbsi cairan pleura, misalnya reaksi radang
yang meningkatkan permeabilitas vaskuler. Selain itu, hipoprotonemia dapat
menyebabkan efusi pleura karena rendahnya tekanan osmotic di kapiler
darah.
Menurut Hood Alsagaff dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Dalam, keadaan normal pada cavum pleura dipertahankan oleh:
a. Tekanan hidrostatik pleura parientalis 9 cm H2O
b. Tekanan osmotik pleura viceralis 10 cm H2O
c. Produksi cairan 0,1 ml/kgBB/hari
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Pembentukan Cairan Pleura Berlebihan
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan: permeabilitas kapiler
(peradangan, neoplasma), tekanan hidrostatik di pembuluh darah ke
jantung/ vena pulmonaris (kegagalan jantung kiri), tekanan negatif
intrapleura (atelektasis).
Ada 3 faktor yang mempertahankan tekanan negatif paru yang normal ini.
Pertama, jaringan elastis paru memberikan kontinu yang cenderung
menarik paru-paru menjauh dari rangka thoraks. Tetapi, permukaan pleura
viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat

dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan kontinyu yang cenderung


memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai kekuatan negatif dari ruang
pleura.
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intra pleura
menurut Sylvia Anderson Price dalam bukunya Patofisiologi adalah
kekuatan osmotic yang terdapat di seluruh membran pleura. Cairan dalam
keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke
ruang pleura dan kemudian di serap kembali melalui pleura viseralis.
Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling tentang
pertukaran trans kapiler yaitu, pergerakan cairan bergantung pada selisih
perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan
pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan
pembentukan cairan parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar
daripada plura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tetapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis. Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan
tekanan negatif intra pleura normal.
2. Penurunan Kemampuan Absorbsi Sistem Limfatik
Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: obstruksi stomata,
gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening,
peningkatan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran limfe dan
tekanan osmotic koloid yang menurun dalam darah, misalnya pada
hipoalbuminemi. Sistem limfatik punya kemampuan absorbsi sampai
dengan 20 kali jumlah cairan yang terbentuk.
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya manifestasi kliniknya adalah yang disebabkan oleh
penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan

nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan


dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi
yang luas akan menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan
atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali
mengandung bunyi datar, pekak saat perkusi. Suara egophoni akan
terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat
efusi pleura kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak ditemukan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : pencembungan hemithorak yang sakit, ICS melebar,
pergerakan pernafasan menurun pada sisi sakit, mediastunum
terdorong ke arah kontralateral.
b. Palpasi : sesuai dengan inspeksi, fremitus raba menurun.
c. Perkusi : perkusi yang pekak, garis Elolis damoisseaux.
d. Auskultasi : suara nafas yang menurun bahkan menghilang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. X-ray Thoraks
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi daripada bagian medial.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk menggelilingi
lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai
bayangan konsolidasi parenkim lobus. Dapat juga menggumpul di
daerah para-mediastinal dan terlihat dalam foto sebagai figura
interlobaris. Bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung,
sehingga terlihat sebagai kardiomegali.
Hal lain yang dapat juga terlihat dalam foto dada pada efusi
pleura adalah terdorongnya mediastenum pada sisi yang berlawanan
dengan cairan. Tapi bila terdapat atelektasis pada sisi yang berlawanan
dengan cairan, mediastenum akan tetap pada tempatnya.

Gambar 1.2:Gambaran Thoraks dengan


Efusi Pleura
b. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana
untuk diagnostic maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya
dilakukan pada penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada
bagian bawah paru di sela iga IX garis aksilaris posterioar dengan
memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura
sebaiknya tidak melebihi 1.000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi.
Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock
(hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru
menggembang terlalu cepat.
c. Biopsi Pleura

Pemeriksaan histologi situ atau beberapa contoh jaringan pleura


dapat menunjukan 50-75 persen diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberkolosa dan tumor pleura. Komplikasi adalah pneumotoraks,
hemotoraks, penyebarab infeksi atau tumor pada dinding dada.
d. Pendekatan pada Efusi yang Tidak Terdiagnosis
Analisis terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali kadangkadang tidak dapat menegakkan diagnosis.Dalam hal ini dianjurkan
asppirasi dan anakisisnya diulang kembali sampai diagnosis menjadi
jelas.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk efusi pleura berbeda berdasarkan penyakit dasarnya.
1. Efusi karena gagal jantung
diuretik
torakosentesis diagnostik bila
efusi menetap dengan terapi diuretik
efusi unilateral
efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna
efusi + febris
efusi + nyeri dada pleuritik
2. Efusi karena Parapneumonia/ Empiema
torakosentesis + antibiotika drainase
3. Efusi Pleura karena Pleuritis Tuberkulosa
obat anti tuberkulosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis
0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, setelah ada respons
diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau
efusi > tinggi dari sela iga III
4. Efusi Pleura Keganasan
drainase dengan chest tube + pleurodesis kimiawi. Kandidat yang

baik untuk pleurodesis adalah:


terjadi rekurens yang cepat
angka harapan hidup: minimal beberapa bulan
pasien tidak debilitasi
cairan pleura dengan pH >7,30
alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis adalah

pleuroperitoneal shunt
terapi kanker paru

kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker mammae dan

karsinoma paru small cell


radioterapi pada limfoma dan chylothorax limfomatous

dengan keterlibatn KGB mediastinum


pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk:

torakosentesis terapeutik periodik.


5. Chylothoraks
chest tube/ thoracostomy sementara,
pleuroperitoneal shunt
6. Hemothoraks
chest tube/ thoracostomy,

bila

selanjutnya

perdarahn

>

dipasang

200ml/jam,

pertimbangkan torakotomi
7. Efusi karena Penyebab Lain
atasi penyakit primer
F. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologinya. Namun
pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobatan lebih dini akan lebih
jauh terhindar dari komplikasi
G. Komplikasi
1. Kollaps aru
2. Empyema
3. Pneumothorax
4. Gagal nafas
GAGAL JANTUNG
A. Definisi
Gagal

jantung

adalah

ketidakmampuan

jantung

untuk

memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi


kebutuhan metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi
dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya. Gagal
jantung terjadi apabila jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang
normal, meskipun aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan
normal (Shah, 2007).
B. Etiologi

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh (Muttaqin, 2009):


a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi
arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam
laktat).Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung.Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitaas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif,
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun
e. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang ssecara langsung mempengaruhi jantung.Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afteer load.
f. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolism (misal : demam,
tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan
anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalita elektronik dapat menurunkan
kontraktilitas jantung.

Terjadinya gagal jantung juga dapat disebabkan (Udjianti, 2010):


a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial) Ketidakmampuan miokard
untuk berkontraksi dengan sempurna mengakibatkan isi sekuncup ( stroke
volume) dan curah jantung (cardiac output) menurun.
b. Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (systolic overload) Beban
sistolik yangb berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic overload)
menyebabkan

hambatan

pada

pengosongan

ventrikel

sehingga

menurunkan curah ventrikel atau isi sekuncup.


c. Beban volum berlebihan-pembebanan diastolic (diastolic overload)
Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic
overload) akan menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic
dalam ventrikel meninggi. Prinsip Frank Starling ; curah jantung mulamula akan meningkat sesuai dengan besarnya regangan otot jantung, tetapi
bila beban terus bertambah sampai melampaui batas tertentu, maka curah
jantung justru akan menurun kembali.
d. Peningkatan kebutuhan metabolic-peningkatan kebutuhan yang berlebihan
(demand overload) Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi
kemampuan daya kerja jantung di mana jantung sudah bekerja maksimal,
maka akan terjadi keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah
cukup tinggi tetapi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi
tubuh.
e. Gangguan pengisian (hambatan input). Hambatan pada pengisian ventrikel
karena gangguan aliran masuk ke dalam ventrikel atau pada aliran balik
vena/venous return akan menyebabkan pengeluaran atau output ventrikel
berkurang dan curah jantung menurun.
C. Klasifikasi
Gagal jantung bisanya digolongkan menurut derajat atau beratnya
gejala

seperti

klasifikasi

menurut

New

York

Heart

Asscsiation

(NYHA).Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dunia internasional


untuk mengelompokkan gagal jantung.Gagal jantung ringan, sedang, dan
berat ditentukan berdasarkan beratnya gejala, khusnya sesak nafas (dispnea).
Meskipun klasifikasi ini berguna untuk menentukan tingkat kemampuan fisik

dan beratnya gejala, namun pembagian tersebut tidak dapat digunakan untuk
keperluan lain.
Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA)
atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan

(Mann, 2008).
Beratnya gagal jantung berdasarkan

struktural dan kerusakan otot jantung.


Memiliki risiko tinggi

gejala dan aktivitas fisik.


Aktivitas fisik tidak terganggu,

mengembangkan gagal

aktivitas yang umum dilakukan

Stage

jantung. Tidak ditemukan

Kelas

tidak menyebabkan kelelahan,

kelainan struktural atau

palpitasi, atau sesak nafas.

fungsional, tidak terdapat


tanda/gejala.
Secara struktural terdapat

Aktivitas fisik sedikit terbatasi.

kelainan jantung yang

Saat istirahat tidak ada keluhan.

Stage

dihubungkan dengan gagal

Kelas

Tapi aktivitas fisik yang umum

jantung, tapi tanpa tanda/gejala

II

dilakukan mengakibatkan

Stage
C

gagal jantung.

kelelahan, palpitasi atau sesak

Gagal jantung bergejala

nafas.
Aktivitas fisik sangat terbatasi.

dengan kelainan struktural


jantung.

Kelas
III

mengalami kelainan berat,


gejala gagal jantung terasa saat
istirahat walau telah
mendapatkan pengobatan.

Tapi aktivitas ringan


menimbulkan rasa lelah,
palpitasi, atau sesak nafas.
Tidak dapat beraktivitas tanpa

Secara struktural jantung telah


Stage

Saat istirahat tidak ada keluhan.

Kelas
IV

menimbulkan keluhan. Saat


istirahat bergejala. Jika
melakukan aktivitas fisik,
keluhan bertambah berat.

D. Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan
satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme

tubuh.Gagal jantung ditandai dengan dengan satu respon hemodinamik,


ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa
penurunan fungsi jantung. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa
mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah,
volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot
jantung.Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi
system saraf adrenergic (Lip, 2000).
Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi
kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empar
faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi diastolik akhir, afterload; yaitu
jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel, kontraktilitas
miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan
tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload
serta frekuensi denyut jantung. Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara
kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias
otot jantung (myocardial function).Pada beberapa keadaan ditemukan beban
berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat
depresi pada otot jantung intrinsik.Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot
jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung
karena beban jantung yang ringan (Hunter, 1999).
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh
terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin
aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat.
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah
arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan

tekanan

darah

sedangkan

peningkatan

preload

akan

meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan


ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan

hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga


terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Mekanisme yang menasari
gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantng lebih rendah dari curah jantng normal. Konsep
curag jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=HR X SV
dimana curah jantung (CO:Cardiac Output) adalah fungsi frekuensi jantung
(HR: Heart Rate) X volume sekuncup (SF:Stroke Volume) (Floras, 2004).
Frekuensi jantung adalah fungsi system saraf otonom. Bila curah
jantung berkurang, system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi
jantung untuk memperthankan curah jantung bila mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume
sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri ntuk mempertahan curah
janung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung
normal masih dapat dipertahankan (Floras, 2004).
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi
tergantung pada tiga faktor; preload; kontraktilitas dan efterload. Preload
adalah sinonim dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan
bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimblukan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan
kadar kalsium. Afterload mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di
hasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di
timbulkan oleh tekanan arteriole (Floras, 2004).
E. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi
gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai,
sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail
(Dickstain, 2008).

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah


digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria
minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau
sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal
jantung dapat dilihat pada Tabel 2 (Dickstain, 2008).
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk
mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia
dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4)

untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik)


(Mappaya, 2004).
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang
kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari
paru

dapat

dievaluasi.

Kardiomegali

dapat

dinilai

melalui

CXR,

cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung
lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter
penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung
menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressureoverload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta
asenden (Mappaya, 2004).
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap
pasien yang dicurigai gagal jantung. Dampak diagnostik elektrokardiogram
(ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi
cukup tinggi. Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan
diagnosis gagal jantung. Gagal jantung dengan perubahan EKG umum
ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri
dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle branch block
(LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan.
Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan
fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering
terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara
takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai
sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak
terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24atau 48- jam (Mappaya, 2004).
F. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah (Ontoseno, 2005; Mann, 2008):
a. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan
preparat farmakologi

c. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara


memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat.
Terapi Farmakologis :
a. Glikosida jantung.
Digitalis , meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan
curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan
diuresisidan mengurangi edema
b. Terapi diuretik.
Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air mlalui ginjal.Penggunaan
harus hati hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
c. Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya
d. Terapi vasodilator.
Obat-obat vasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi tekanan
terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan
pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
e. Diet
Pembatasan Natrium untuk mencegah, mengontrol, atau menghilangkan
edema.
f.

Obat obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis yang
diinginkan.

Topik Edukasi
Definisi dan etiologi

Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri


Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

gagal jantung
Gejala-gejala dan

keluhan-keluhan timbul
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

tanda-tanda gagal

Mencatat berat badan setiap hari

jantung

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan


Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai

Terapi farmakologik

anjuran
Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat

digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Rekomendasi diet
Rekomendasi olah raga
Kepatuhan
Prognosis

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas


Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Melakukan olah raga teratur
mengikuti anjuran pengobatan
Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik

G. Prognosis
Prognosis gagal jantung akut pada sindroma koroner akut dapat
menggunakan klasifikasi Killip. Persentase kematian pada kilip I sebanyak
6% , kilip II sebanyak 17%, Kilip III sebanyak 38%, dan kilip IV sebanyak
67%.
Gagal jantung akut ditemukan berbagai prediktor mortalitas univariate
dan multivariate. Meningkatnya kadar BNP atau peningkatan kecil marker
nekrosis miokard seperti troponin telah ditunjukan memiliki kemampuan baik
untuk memperkirakan outcome selama perawatan dan mortalitas setelah
dipulangkan. Anemia juga merupakan faktor prediktor yang hingga kini
kurang dihargai, dan saat ini telah menjadi target terapi intervensi pada
banyak uji klinis. Neurohormon seperti endothelin, dan marker inflamasi
(seperti C-reactive protein, IL-6), juga merupakan prediktor kuat mortalitas.
H. Komplikasi
Komplikasi dapat berupa (Ontoseno, 2005):
a. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya
dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani.Kerusakan ginjal dari
gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
b. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi
kerusakan pada katup jantung
c. Kerusakan hati

Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan


terlalu banyak tekanan pada hati.Cairan ini dapat menyebabkab jaringan
parut yang mengakibatkanhati tidak dapat berfungsi dengan baik.
d. Serangan jantung dan stroke.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda
akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko
terkena serangan jantung atau stroke.

III.KESIMPULAN
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat
transudasi ataueksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura
adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga
dada, diantara permukaan viseral dan parietal. Dalam keadaan normal, rongga
pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk
lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai
pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Jenis
cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah,
cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Gagal jantung (Congestive Heart Failure/CHF) merupakan penyakit
degeneratif yang cukup banyak ditemukan dari segala jenis usia mulai dari masa

neonatus, bayi, anak-anak sampai dewasa lansia. Yang dari seluruhnya disebabkan
karena faktor pola hidup yang tidak sehat cenderung menkonsumsi makanan yang
berakibat memberatkan kerja jantung. Komplikasi yang dialami para pasien juga
berakibat fatal yang dapat menyebabkan angka morbidibitas dan mortalitas
meningkat, maka diperlukan adanya terapi diet khusus bagi penderita CHF.

DAFTAR PUSTAKA
Darmojo B. 2004. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo
B, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2004. h. 262-264
Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
Floras JS:2004. Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous
system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion
to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier,pp 247-278.
Hardiman A. 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. h. 2-9.
Hess OM, Carrol JD. 2007.Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwalds Heart Disease.
Philadelphia: Saunders;p. 561-80.
Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG.
BMJ.320:104-7.

2000.ABC of heart failure:

aetiology.

Mann DL. 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New
York: Mc graw hill. p. 1443.

Muttaqin, Arif.2009.Asuhan Keperwatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular dan Hematologi.Jakarta:Salemba Medika.
Mappahya, A.A. 2004. Dari Hipertensi Ke Gagal Jantung. Pendidikan Profesional
Berkelanjutan Seri II. FKUH. Makassar. 2004.
Ontoseno T. 2005. Gagal Jantung Kongestif dan Penatalaksanaannya pada Anak.
Simposium nasional perinatologi dan pediatric gawat darurat. IDAI Ka
Sel. Banjarmasin. Hal 89 103
Shah RV. 2007. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of
Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.
4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 225-251.
Sudoyo, Aru W., Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Vous aimerez peut-être aussi