Vous êtes sur la page 1sur 15

AKUNTANSI FORENSIK

Published 2 years ago by fast

Akuntansi forensik menjadi perbincangan hangat di Indonesia beberapa


tahun belakang ini. Awal mulanya adalah pada bulan Oktober
1997, Indonesia telah menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari
IMF dan World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin
parah. Sebagai prasayarat pemberian bantuan, IMF dan World Bank
mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due Dilligence (ADDP) yang
dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di
Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset
sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%.
Temuan ini segera membuat panik pasar dan pemerintah yang berujung
pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi tersebut kemudian diingat
menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya penarikan
besar-besaran dana (Rush) tabungan dan deposito di bank-bank swasta
karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan. ADPP
tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit
investigatif.
Istilah
akuntansi
forensic
kembali
mencuat
setelah
keberhasilanPricewaterhouse Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar
dunia (The Big Four) dalam membongkar kasus Bank Bali pada tahun
1999. PwC dengan software khususnya mampu menunjukkan arus dana
yang rumit berbentuk seperi diagram cahaya yang mencuat dari matahari
(sunburst). Kemudian PwC meringkasnya menjadi arus dana dari orangorang tertentu.. 5 Metode yang digunakan dalam audit tersebut adalah
follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan in
depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan
pengusaha yang terlibat dalam kasus ini. Pada tahun 2009, kasus PT Bank
Century, Tbk menemukan kejelasan dari Laporan Hasil Pemeriksaan
Investigasi Bank Century oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) , hasil
kinerja para akuntan forensic dan audit investigasi badan tersebut. Jadi,
Apakah yang sebenarnya kita sebut akuntansi forensic?
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic
Accounting (JFA), mengatakan secara sederhana, akuntansi forensik
adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya,

akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses


pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif.
Menurut Merriam Websters Collegiate Dictionary (edisi ke 10) dapat
diartikan berkenaan dengan pengadialan atau berkenaan dengan
penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum. Oleh karena itu
akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk
kepentingan hukum.
Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di bidang
audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk
memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud yang
pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat
penyelesaian perkara lainnya. Kasus korupsi, sebagai contoh, pada
dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara melawan warganya
yang secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan.
Persengketaan itu harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara
(misalnya oleh KPK) dan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi
investigasi yang dilakukan oleh para Akuntan di BPKP, BPK, KPK dan
instansi penegak hukum lainnya pada hakikatnya adalah sebagian tugastugas akuntan forensik.
Tugas Akuntansi Forensik
Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam
pengadilan (litigation). Disamping itu, ada juga peran akuntan forensik
dalam bidang hukum diluar pengadilan (non itigation) misalnya dalam
membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa,
perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak
pemutusan / pelanggaran kontrak.
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan
(investigative services) dan jasa litigasi (litigation services). Jasa
Penyelidikan mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor penipuan,
yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi,
mencegah,
dan
mengendalikan
penipuan,
dan
misinterpretasi. Jasa litigasi merepresentasikan kesaksian dari seorang
pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan
untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus
perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu
tentang pentingnya prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit
dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu
memecahkan masalah.

Perkembangan Akuntansi Forensik di Indonesia


Akuntansi forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi krisis
keuangan pada tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi forensik
banyak
digunakan
oleh
Badan
Pemeriksa
Keuangan,
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia, dan Kantorkantor Akuntan Publik di Indonesia
Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun jika
dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih
dibilang tertinggal. Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi
Forensik, sementara Kanada dan Amerika Serikat sudah memiliki standar
yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum memiliki standar
yang memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang
terkuak berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik
merupakan suatu pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih
tergolong muda dan memiliki prospek yang sangat bagus dalam
pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dari segi peminat, menurut Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Ahmadi (dalam wawancara 5 maret 2013 untuk hukumonline.com), masih
jarang akuntan Indonesia yang mendalami bidang yang satu ini. Tak
semua kantor akuntan public membidangi forensik. Yang perlu
disayangkan, asosiasi profesi akuntan ini belum melirik forensic sebagai
bagian penting dari akuntansi. Dia belum melihat ini sebagai isu yang
mendesak untuk diberi perhatian khusus. Bahkan, Ahmadi sendiri kurang
berminat mengambil spesialisasi ini. Alasannya, apa lagi kalau bukan
ceruk pasar yang masih minim. Saya sendiri tak punya kemampuan di
situ. Dan saat ini saya tidak punya keinginan untuk mempelajari bidang
ini. Belum banyak pasarnya, celetuknya terus terang. Ahmadi sehari-hari
buka praktek di Kantor Akuntan Publik KPMG Hadibroto.
Sebenarnya bidang yang masih minim diminati di kalangan akuntan itu
sendiri dapat menerbitkan peluang tersendiri. Setidaknya hal itulah yang
dibidik oleh KAP PricewaterhouseCooper Indonesia (PwC). Kami saat ini
punya 15 akuntan forensik serta 50 akuntan lainnya yang sedang kami
bekali berbagai keahlian, termasuk akuntansi forensik, tutur Direktur PwC
Widiana Winawati. Widiana juga mengakui bahwa belum banyak akuntan
yang melirik profesi unik ini. Hal itu lantaran spesialisas akuntansi forensic
di Indonesia tergolong baru, masih banyak akuntan yang belum sadar
akan adanya profesi ini.

Keahlian Akuntansi Forensik


James (2008) menggunakan 9 (sembilan) item kompentensi keahlian
akuntansi forensic yang digunakan dalam penilaian perbedaan persepsi
dari pihak Akademisi akuntansi, Praktisi akuntansi, dan pengguna jasa
Akuntan forensik yaitu:
1. Analisis deduktif: kemampuan untuk menganalisis kejanggalan
yang terjadi dalam laporan keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai
dengan kondisi yang wajar.
2. Pemikiran yang kritis : kemampuan untuk membedakan antara opini
dan fakta
3. Pemecahan masalah yang tidak terstruktur: kemampuan untuk
melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi (khususnya
situasi yang tidak wajar) melalui pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Fleksibilitas penyidikan: kemampuan untuk melakukan audit di luar
ketentuan/prosedur yang berlaku.
5. Keahlian
analitik:
kemampuan untuk
memeriksa
apa
yang
seharusnya ada (yang seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada
(yang telah tersedia).
6. Komunikasi lisan: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
secara lisan melalui kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasardasar opini.
7. Komunikasi tertulis: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
dengan tulisan melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang
dasar-dasar opini.
8. Pengetahuan tentang hukum: kemampuan untuk memahami prosesproses hokum dasar dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules
of evidence).
9. Composure: kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang
meskipun dalam situasi tertekan.
Menurut Widiana Winawati, direktur PwC, seorang akuntan forensik harus
memiliki multitalenta.
Seorang pemeriksa kecurangan (fraud) dapat diumpamakan sebagai
gabungan antara pengacara,
akuntan, kriminolog, dan detektif, tandasnya. Selain itu, seorang akuntan
forensik harus memiliki
sejumlah sifat dasar. Antara lain, hati-hati, mampu menjaga rahasia
pekerjaannya, kreatif, pantang

menyerah, punya rasa ingin tahu yang besar, percaya diri, serta yang
paling penting adalah jujur.
Dibanding akuntan lainnya, seorang akuntan forensik memiliki tugas yang
paling berat. Kalau akuntan
internal adalah polisi, auditor adalah petugas patroli, dan akuntan forensik
adalah seorang detektif.
Tugas utama dari akuntan di perusahaan adalah mencatat dan menjaga
kelancaran arus keuangan
perusahaannya. Sedangkan auditor lebih seperti petugas patroli yang
melakukan inspeksi dan pengecekan
rutin atas area berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya. Akuntan
forensik melakukan inspeksi dan
pengecekan yang lebih terperinci dan seksama dibandingkan dengan
petugas patroli.
Masa Depan Akuntansi Forensik
Dunia bisnis yang semakin kompleks, meningkatnya kecenderungan
penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan, dan makin menurunnya
tingkat integritas masyarakat di negara majuini ditandai dengan
terungkapnya sejumlah mega skandal, seperti kasus Ponzi Scheme oleh
Bernard Madoff di Amerika Serikat yang merugikan nasabah kurang lebih
US$ 50 billion membuat profesi sebagai akuntan forensik makin
dibutuhkan oleh semua pihak.
Di Indonesia, kasus-kasus korupsi yang makin banyak terungkap dan
semakin beragam jenisnya dan belum terlihat ada kecenderungan
penurunan juga pada hakekatnya membuktikan saat ini dan di masa
datang makin diperlukan keahlian di bidang akuntansi forensik.
Menurut The U.S. News and World Report (2002), akuntansi forensik
berada di urutan teratas daftar karir dengan masa depan paling cerah. US
News & World Report mengidentifikasi akuntansi forensik sebagai salah
satu dari 20 trek pekerjaan panas di masa depan.

Sumber
hukumonline.com

http://akuntansi.nscpolteksby.ac.id/2013/03/melihat-akuntansi-forensik-dari_5.html
Makalah Akuntansi Forensik di Indonesia oleh Kesih Sukesih . 2012

Akuntansi forensik menjadi perbincangan hangat di Indonesia beberapa


tahun belakang ini. Awal mulanya adalah pada bulan Oktober
1997, Indonesia telah menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari
IMF dan World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin
parah. Sebagai prasayarat pemberian bantuan, IMF dan World Bank
mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due Dilligence (ADDP) yang
dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di
Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset
sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%.
Temuan ini segera membuat panik pasar dan pemerintah yang berujung
pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi tersebut kemudian diingat
menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya penarikan
besar-besaran dana (Rush) tabungan dan deposito di bank-bank swasta
karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan. ADPP
tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit
investigatif.
Istilah
akuntansi
forensic
kembali
mencuat
setelah
keberhasilanPricewaterhouse Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar
dunia (The Big Four) dalam membongkar kasus Bank Bali pada tahun
1999. PwC dengan software khususnya mampu menunjukkan arus dana
yang rumit berbentuk seperi diagram cahaya yang mencuat dari matahari
(sunburst). Kemudian PwC meringkasnya menjadi arus dana dari orangorang tertentu.. 5 Metode yang digunakan dalam audit tersebut adalah
follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan in
depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan
pengusaha yang terlibat dalam kasus ini. Pada tahun 2009, kasus PT Bank
Century, Tbk menemukan kejelasan dari Laporan Hasil Pemeriksaan
Investigasi Bank Century oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) , hasil
kinerja para akuntan forensic dan audit investigasi badan tersebut. Jadi,
Apakah yang sebenarnya kita sebut akuntansi forensic?
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic
Accounting (JFA), mengatakan secara sederhana, akuntansi forensik
adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya,
akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses
pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif.
Menurut Merriam Websters Collegiate Dictionary (edisi ke 10) dapat
diartikan berkenaan dengan pengadialan atau berkenaan dengan

penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum. Oleh karena itu


akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk
kepentingan hukum.
Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di
bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif
untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud
yang pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat
penyelesaian perkara lainnya. Kasus korupsi, sebagai contoh, pada
dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara melawan warganya
yang secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan.
Persengketaan itu harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara
(misalnya oleh KPK) dan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi
investigasi yang dilakukan oleh para Akuntan di BPKP, BPK, KPK dan
instansi penegak hukum lainnya pada hakikatnya adalah sebagian tugastugas akuntan forensik.
Tugas Akuntansi Forensik
Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam
pengadilan (litigation). Disamping itu, ada juga peran akuntan forensik
dalam bidang hukum diluar pengadilan (non itigation) misalnya dalam
membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa,
perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak
pemutusan / pelanggaran kontrak.
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan
(investigative services) dan jasa litigasi (litigation services). Jasa
Penyelidikan mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor penipuan,
yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi,
mencegah,
dan
mengendalikan
penipuan,
dan
misinterpretasi. Jasa litigasi merepresentasikan kesaksian dari seorang
pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan
untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus
perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu
tentang pentingnya prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit
dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu
memecahkan masalah.
Perkembangan Akuntansi Forensik di Indonesia
Akuntansi forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi krisis
keuangan pada tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi forensik
banyak
digunakan
oleh
Badan
Pemeriksa
Keuangan,
Komisi

Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia, dan Kantorkantor Akuntan Publik di Indonesia
Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun
jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih
dibilang tertinggal. Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi
Forensik, sementara Kanada dan Amerika Serikat sudah memiliki standar
yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum memiliki standar
yang memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang
terkuak berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik
merupakan suatu pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih
tergolong muda dan memiliki prospek yang sangat bagus dalam
pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dari segi peminat, menurut Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI) Ahmadi (dalam wawancara 5 maret 2013 untuk hukumonline.com),
masih jarang akuntan Indonesia yang mendalami bidang yang satu ini. Tak
semua kantor akuntan public membidangi forensik. Yang perlu
disayangkan, asosiasi profesi akuntan ini belum melirik forensic sebagai
bagian penting dari akuntansi. Dia belum melihat ini sebagai isu yang
mendesak untuk diberi perhatian khusus. Bahkan, Ahmadi sendiri kurang
berminat mengambil spesialisasi ini. Alasannya, apa lagi kalau bukan
ceruk pasar yang masih minim. Saya sendiri tak punya kemampuan di
situ. Dan saat ini saya tidak punya keinginan untuk mempelajari bidang
ini. Belum banyak pasarnya, celetuknya terus terang. Ahmadi sehari-hari
buka praktek di Kantor Akuntan Publik KPMG Hadibroto.
Sebenarnya bidang yang masih minim diminati di kalangan akuntan
itu sendiri dapat menerbitkan peluang tersendiri. Setidaknya hal itulah
yang dibidik oleh KAP PricewaterhouseCooper Indonesia (PwC). Kami saat
ini punya 15 akuntan forensik serta 50 akuntan lainnya yang sedang kami
bekali berbagai keahlian, termasuk akuntansi forensik, tutur Direktur PwC
Widiana Winawati. Widiana juga mengakui bahwa belum banyak akuntan
yang melirik profesi unik ini. Hal itu lantaran spesialisas akuntansi forensic
di Indonesia tergolong baru, masih banyak akuntan yang belum sadar
akan adanya profesi ini.
Keahlian Akuntansi Forensik
James (2008) menggunakan 9 (sembilan) item kompentensi keahlian
akuntansi forensic yang digunakan dalam penilaian perbedaan persepsi

dari pihak Akademisi akuntansi, Praktisi akuntansi, dan pengguna jasa


Akuntan forensik yaitu:
1. Analisis deduktif: kemampuan untuk menganalisis kejanggalan
yang terjadi dalam laporan keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai
dengan kondisi yang wajar.
2. Pemikiran yang kritis : kemampuan untuk membedakan antara opini
dan fakta
3. Pemecahan masalah yang tidak terstruktur: kemampuan untuk
melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi (khususnya
situasi yang tidak wajar) melalui pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Fleksibilitas penyidikan: kemampuan untuk melakukan audit di luar
ketentuan/prosedur yang berlaku.
5. Keahlian
analitik:
kemampuan untuk
memeriksa
apa
yang
seharusnya ada (yang seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada
(yang telah tersedia).
6. Komunikasi lisan: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
secara lisan melalui kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasardasar opini.
7. Komunikasi tertulis: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
dengan tulisan melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang
dasar-dasar opini.
8. Pengetahuan tentang hukum: kemampuan untuk memahami prosesproses hokum dasar dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules
of evidence).
9. Composure: kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang
meskipun dalam situasi tertekan.
Menurut Widiana Winawati, direktur PwC, seorang akuntan forensik
harus memiliki multitalenta. Seorang pemeriksa kecurangan (fraud)
dapat diumpamakan sebagai gabungan antara pengacara, akuntan,
kriminolog, dan detektif, tandasnya. Selain itu, seorang akuntan forensik
harus memiliki sejumlah sifat dasar. Antara lain, hati-hati, mampu
menjaga rahasia pekerjaannya, kreatif, pantang menyerah, punya rasa
ingin tahu yang besar, percaya diri, serta yang paling penting adalah jujur.
Dibanding akuntan lainnya, seorang akuntan forensik memiliki tugas yang
paling berat. Kalau akuntan internal adalah polisi, auditor adalah petugas
patroli, dan akuntan forensik adalah seorang detektif.

Tugas utama dari akuntan di perusahaan adalah mencatat dan


menjaga kelancaran arus keuangan perusahaannya. Sedangkan auditor
lebih seperti petugas patroli yang melakukan inspeksi dan pengecekan
rutin atas area berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya. Akuntan
forensik melakukan inspeksi dan pengecekan yang lebih terperinci dan
seksama dibandingkan dengan petugas patroli.
Masa Depan Akuntansi Forensik
Dunia bisnis yang semakin kompleks, meningkatnya kecenderungan
penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan, dan makin menurunnya
tingkat integritas masyarakat di negara majuini ditandai dengan
terungkapnya sejumlah mega skandal, seperti kasus Ponzi Scheme oleh
Bernard Madoff di Amerika Serikat yang merugikan nasabah kurang lebih
US$ 50 billion membuat profesi sebagai akuntan forensik makin
dibutuhkan oleh semua pihak.
Di Indonesia, kasus-kasus korupsi yang makin banyak terungkap dan
semakin beragam jenisnya dan belum terlihat ada kecenderungan
penurunan juga pada hakekatnya membuktikan saat ini dan di masa
datang makin diperlukan keahlian di bidang akuntansi forensik.
Menurut The U.S. News and World Report (2002), akuntansi forensik
berada di urutan teratas daftar karir dengan masa depan paling cerah. US
News & World Report mengidentifikasi akuntansi forensik sebagai salah
satu dari 20 trek pekerjaan panas di masa depan.

BANK BALI
Skandal Bank Bali berawal dari tidak tertagihnya piutang Bank Bali terhadap
tiga bank nasional. Tiga Bank tersebut adalah Bank Umum Nasional (BUN), Bank
Bira, dan BDNI. Jumlah keseluruhan tagihan ditaksir mencapai nilai Rp 3 triliun.
Tagihan tersebut sebagian besar jatuh tempo pada tahun pertengahan 1998 (tagihan
pada BDNI jatuh tempo pada 2 Maret 1998 sampai 16 Maret 1998--6
transaksi). Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat negara dan pengusaha nasional.
Tiga tersangka utama yaitu DjokoSugiarto Tjandra (pemilik PT Era Giat Prima pada
saat itu), Pande Lubis (Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada saat
itu), dan Syahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia pada saat itu). Nama-nama
lainnya yang terkait dengan skandal ini diantaranya Setya Novanto (Direktur Utama
PT EGP), Rudy Ramli (mantan pemilik Bank Bali), Tanri Abeng (mantan Menteri
Pembinaan BUMN), serta Marimutu Manimaren.
Sebelumnya, tepatnya tanggal 26 Janurari 1998, pemerintah mengeluarkan
Surat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang pemberian jaminan atas
kewajiban pembayaran bank umum. Keputusan ini diterbitkan dengan tujuan untuk
mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.
Tiga bank yang memiliki kewajiban pada Bank Bali tersebut di atas juga berhak
menerima jaminan yang diberikan oleh SK ini jika pada saat jatuh tempo mereka
tidak mampu menyelesaikan pembayaran utangnya terhadap Bank Bali. Untuk
menguatkan dan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaan penjaminan, maka
diterbitkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor
30 /270/KEP/DIR pada tanggal 8 Maret 1998. Dengan perangkat aturan seperti ini
bank umum memiliki keleluasaan yang sangat besar untuk melakukan peminjaman
dalam jumlah besar karena pemerintah akan menjamin kewajibannya. Tapi
sayangnya keleluasaan ini menjadi celah tindak pidana korupsi.
Permasalahan kemudian muncul ketika Bank Bali mengajukan klaim sejumlah
piutangnya pada BDNI dan BUN yang telah jatuh tempo kepada BPPN karena tidak
terbayar oleh kedua bank tersebut. Tagihan tersebut timbul dari transaksi money
market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Tagihan pada BDNI (belum dihitung
bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200
miliar. Namun kemudian, BI menyampaikan secara tertulis ke tim pemberesan BDNI
tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan
klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar,
dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin
(transaksi forward-sell) senilai Rp 1,131 miliar[2].

Dengan alasan kebutuhan dana yang mendesak senilai Rp 900 miliar, Bank
Bali melakukan transaksi cessie (perjanjian pengalihan hak tagih piutang) dengan PT
Era Giat Prima (EGP). Perjanjian itu ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali di
tiga bank tersebut senilai Rp 3 triliun. Namun yang bisa dicairkan oleh EGP (setelah
diverifikasi BPPN) hanya sebesar Rp 904 miliar dari nilai transaksi Rp 1,27 triliun (di
BDNI). Sampai disini saja sudah terdapat kejanggalan. Menurut Pradjoto, seorang
ahli hukum perbankan menyatakan, . . . tagihan antar bank itu kan dijamin melalui
Keppres no 26 tahun 1998 mengenai program penjaminan pemerintah. Kalau ini
sudah dijamin oleh pemerintah kenapa mesti ada mediator? Dan, kalau kemudian
ada mediator kenapa kok biaya tagihannya sampai mencapai 50%?[3] Mediator
yang dimaksud adalah PT EGP yang melakukan transaksi cessie dengan Bank Bali.
Pada saat pencairan senilai Rp 904 miliar oleh Bank Indonesia ke rekening Bank Bali
di BI, ternyata ada setidaknya senilai Rp 546,46 miliar dibayarkan Bank Bali sebagai
komisi (fee) kepada PT EGP sebagai imbalan atas kebehasilannya dalam mencairkan
tagihannnya pada BDNI. Dana senilai Rp 546,56 miliar itu terus menjadi sorotan
utama kasus Bank Bali karena statusnya yang tidak jelas dan terjadi konflik antara
kejaksaan (yang didukung keputusan MA) dan BPPN yang memperebutkan hak
hukum atas dana tersebut.
Dikatakan tidak jelas, karena komisi itu diberikan kepada PT EGP karena telah
menandatangani kontrak perjanjian cessie dengan Bank Bali, padahal kontrak
tersebut telah dibatalkan secara hukum oleh BPPN melalui SK no 423 pada tanggal
15 Oktober 1999. Dasar hukum yang melandasi kekuasaan BPPN melakukan
pembatalan ini berdasarkan PP no 17/99 dan juga akarnya adalah UU Perbankan no
10 tahun 1998 dalam pasal 37a, demikian dikatakan oleh Pradjoto. Selanjutnya dia
menyatakan bahwa, . . . kalau perjanjian tadi sudah dibatalkan maka segala
perikatan-perikatan hukum yang melekat di dalam perjanjian cessie tadi termasuk
segala hak dan kewajiban yang ditimbulkan melalui perikatan hukum tadi harus
dianggap sudah tidak ada alias musnah. Kalau itu sudah musnah maka dengan
sendirinya obyek dari perjanjian yang menyangkut uang Rp546 miliar menjadi tidak
ada. . .[4]
Saat keputusan Mahkamah Agung dikeluarkan setelah melalui pengadilan
pertama dan tingkat kasasi yang menyatakan bahwa Djoko S. Tjandra tidak terbukti
tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus cessie Bank Bali dan
memerintahkan agar uang itu dikembalikan kepada PT EGP (Djoko S. Tjandra),
kejaksaan ngotot untuk melakukan eksekusi dengan meminta Bank Permata (Bank
Bali kemudian merger dengan bank lainnya menjadi Bank Permata) untuk segera
mentransfer dana teresbut kepada kejaksaan yang selanjutnya akan diserahakn
kepada Djoko. Mengetahui hal ini, BPPN tidak terima karena sudah jelas bahwa
kontrak cessie itu telah dibatalkan, sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh MA
tidak mempunyai objek hukum. Dan seharusnya sejak awal tidak lagi diproses di
pengadilan. Selain itu, seperti yang dipertanyakan oleh Pradjoto, bagaimana
mungkin peradilan pidana memutuskan soal hak terhadap aset, hak terhadap uang
yang sepenuhnya seharusnya menjadi yurisdiksi peradilan perdata. BPPN bersikukuh
bahwa uang itu menjadi milik Bank Permata dan telah dihitung sebagai dana
rekapitulasi bank tersebut.
Tersangka lainnya, Pande Lubis juga dibebaskan majelis hakim PN Jakarta
Selatan pada 23 November 2000. Namun demikian, pada tingkat kasasi, MA
menganggap putusan itu salah dan mengganjar Pande empat tahun penjara.
Putusan MA tersebut tidak membahas soal uang senilai Rp 546,46 miliar yang
dijadikan barang bukti. Manurut Kemas[5], Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Sesjampidsus), putusan MA itu belum lengkap karena hanya
menyatakan Pande Lubis melakukan tindak pidana korupsi, tetapi tidak menyatakan
nasib uang hasil korupsi. Sedangkan tersangka lainnya, Syahril Sabirin telah dihukum

tiga tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat pada 13 Maret 2002, dengan
barang bukti uang senilai Rp546,46 miliar digunakan sebagai bukti dalam perkara
lain. Pada tingkat banding, majelis hakim membebaskan Syahril. Hal serupa
dilakukan MA yang membebaskan Syahril dengan menolak upaya kasasi dari JPU
pada 23 September 2004.
Kasus bank Bali ini ternyata memiliki dampak yang sangat hebat pada
perkonomian jika terjadi kesalahan dalam penanganan hukumnya. Menurut
Pradjoto[6], kasus ini bisa merugikan negara senilai triliunan rupiah. Kekuasaan BPPN
dalam pembatalan kontrak yang masih dipertanyakan dan dipertentangkan bisa
menjadi sumber masalahnya. Ketidakpercayaan terhadap kewenangan BPPN dalam
kasus Bank Bali berarti juga tidak percaya pada kebijakan BPPN lainnya yang
memiliki kesamaan dengan Bank Bali. Jika pada kasus Bank Bali BPPN dianggap tidak
berkuasa melakukan pembatalan, maka pada kasus lainnya juga seperti itu.
Sehingga, pengembalian dana komisi senilai Rp 546,46 miliar kepada PT EGP akan
diikiuti oleh tuntutan pihak lain yang memiliki kasus yang sama yang nilai totalnya
bisa mencapai triliunan rupiah. Diungkapkan Pradjoto, bahwa tagihan antarbank
pada waktu itu mencapai Rp 38 triliun dan 50% mediasi di dalam tagihan antarbank
tersebut dipungut oleh PT EGP. Artinya, jika ini benar-benar terjadi, negara telah
mengalami kerugian sebesar Rp 19 triliun. Terlebih lagi, sejumlah dana tersebut
diperuntukkan rekapitallisasi perbankan. Sehingga, dunia perbankan Indonesia akan
kolaps jika ini terjadi. Lebih jauh, kehidupan ekonomi masyrakat jelas terganggu,
karena peran perbankan tidak terpisahkan dengan aktivitas masyakat.

'Long Form'' PwC:


26 Nama Direkomendasikan untuk Diperiksa
Berdasarkan hasil temuan dalam penyidikan skandal Bank Bali yang dilakukan
PricewaterhouseCooper House (PwC), maka telah diajukan sederet nama pejabat
tinggi, dan tokoh masyarakat yang diduga terlibat dalam skandal perbankan
tersebut. Sekitar 26 nama direkomendasikan untuk diperiksa.
Sejumlah nama yang muncul dalam long form Bank Bali yang disusun PwC untuk
BPK-RI dimulai dari AA Baramuli, Anggota DPA Agus Sudono, Siti Hamidah, Meneg
BUMN Tanri Abeng, Menkeu Bambang Subianto, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis,
Gubernur BI Syahril Sabirin, Dir. UPPB BI Dragono Lisan, dan Ketua BKKBN A
Mongid.

Sedangkan sejumlah nama anggota parlemen asal Golkar yang turut menghiasi long
form tersebut antara lain, Freddy Latumahina, Enggartiasto Lukita, Marimutu
Manimaren, Setya Novanto, dan Didi F Korompis.
Sejauh mana keterlibatan dan sepak terjang para individu tersebut dalam skandal
BB akan diungkapkan secara sistematis dalam laporan khusus yang disajikan Suara
Pembaruan sesuai dengan sistematika long form tersebut yakni :

1. AA Baramuli
"From Hero to Zero" tampaknya menjadi ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan sosok AA Baramuli yang dulu sempat disanjung karena
"kegigihannya" membongkar skandal Eddy Tansil-Bapindo, dan GKG, namun
mantan Ketua DPA itu kini diduga kuat menjadi aktor dari sebuah kasus perbankan
lainnya.
Nama Baramuli mencuat ditengah berkobarnya keingintahuan masyarakat Indonesia
mengenai siapa saja tokoh yang berada di belakang skandal Bank Bali (BB) yang
menghebohkan tersebut.
Bahkan dalam laporan lembaga audit PricewaterhouseCoopers (PwC) yang telah
dipublikasikan untuk konsumsi umum, nama Baramuli berada di tempat pertama
dalam usulan penyelidikan lebih lanjut guna menuntaskan skandal perbankan
terbesar dalam pemerintahan Habibie.
Dugaan tersebut diperkuat dengan diungkapkannya sejumlah informasi sebagai
berikut :
1. Adanya hubungan yang dekat antara Baramuli-Pande Lubis.
2. Mantan Ketua DPA itu diduga terlibat dalam pertemuan di Hotel Mulia (11/2 dan
26/5-1999).
3. Beberapa kali Baramuli meloby Presiden BJ Habibie untuk menggeser Glenn
Yusuf dan menggantikannya dengan Pande Lubis.
4. Agus Sudono anggota DPA era Baramuli menerima tranfer uang sebesar Rp 1,5
miliar.
5. Sikap Baramuli yang menolak untuk menemui maupun ditemui oleh tim BPK-RI
dan Pwc guna melakukan klarifikasi.

Ungkap PwC dalam long formnya, Baramuli meminta Menkeu Bambang Subianto
untuk mencopot Glenn Yusuf dari jabatannya dan menggantinya dengan Pande
Lubis.
"Bambang Subianto menyatakan bahwa Baramuli sempat beberapa kali menemui
Presiden BJ Habibie untuk menyampaikan gagasan serupa," lanjut PwC.
Sementara dari sumber yang dapat dipercaya terungkap bahwa Baramuli terlibat
dalam pertemuan yang menentukan tentang keluarnya cessie Bank Bali pada acara
di Hotel Mulia tanggal 11 Februari dan 26 Mei 1999.
Bahkan menurut sumber itu, Baramuli menginstruksikan Gubernur BI agar lebih
cermat dalam menangani klaim antar bank.
Namun, pihak PwC mengakui dalam penyidikannya tidak menemukan adanya aliran
dana yang diterima Baramuli, akan tetapi mereka mendapatkan adanya sejumlah
uang yang masuk ke dalam kas Agus Sudono seorang anggota DPA, sekitar bulan
Juni 1999.
Sedangkan PwC menilai penolakan Baramuli untuk ditanyai pihaknya bersama BPKRI dengan mempertanyakan dasar dari tindakan tersebut bukanlah reaksi yang
diharapkan dalam proses investigasi skandal Bank Bali.
Tegas PwC, Baramuli adalah satu-satunya saksi kunci yang melakukan sikap
meminta PwC untuk menyiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan, namun
pada ahkirnya justru mantan Ketua DPA itu menolak ditemui oleh tim audit keuangan
PwC dan BPK-RI.

Vous aimerez peut-être aussi