Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
1.Andre Falendro
2.Eka Pratnaparadita
3.Intan Canapria Paramita
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
A. Pengertian Aksiologi
menggunakannya. Oleh karena itu, nilai kegunaan ilmu dapat dilihat pada
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita
dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan
mereaksi dunia pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah
Tolak ukur gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung pada pendapat
individu, melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya nilai menjadi
subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaraan
manusia menjadi tolak ukur penilaian. Sudah menjadi ketentuan umum
bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektivitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan b
C. Moralitas Sebagai Dasar Pijakan Manusia
Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional
manusia dengan mencari pembuktian pembuktian yang meyakinkan
dirinya akan kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup
yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupan di dunia. Sehingga
dengan cara demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan
pantas setiap saat. Oleh karena itu pertanyaan spesifik yang diajukan
adalah seperti apa yang baik atau yang tidak baik dan yang pantas serta
tidak pantas. Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat
perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang
berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah
kehidupan membahagiakan dan penuh makna. Oleh karena itu problem
moral bukan sekedar masalah moral itu sendiri, tetapi juga menyangkut
persoalan ekonomi dan juga politik.
Aliran deontologis, objektif dan non naturalistik dan yang termasuk
dalam aliran teleologis, subjektif dan naturalistik yang kesemuannya
memiliki epistemologi yang berbeda dalam memberikan jawaban atas
pembenaran nilai-nilai moral. Paham deontologi umpamanya memberikan
keyakinan bahwa nilai moral selalu didasarkan pada apa yang ada dalam
perbuatan itu sendiri, bukan sesuatu yang lain yang berada di luarnya.
Biasanya paham ini dipertentangkan dengan teleologis yang meyakini
bahwa suatu tindakan moral selalu merupakan pilihan bebas seseorang
dalam menentukan moralnya di antara berbagai tingkah laku yang ada
berdasarkan pada pertimbangan logis atas keuntungan dan kerugian
suatu perilaku. Bagi naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta. Oleh karena
itu setiap keputusan nilai mesti dapat diuji secara empirik. Sementara
bagi non-naturalisme, nilai itu bukanlah fakta. Fakta dan nilai adalah dua
jenis yang terpisah dan secara absolut tidak tereduksi satu dengan yang
lain. Oleh karena itu nilai tidak dapat diuji secara empirik.
Deontologis dan prima facies duties merupakan diantara kelompok
aliran non-naturalistik, sementara teleologis dengan utilitarianisme
termasuk naturalistik. Dengan demikian dikatakan pula bahwa nilai
ekstrinsik suatu perbuatan sama sekali tergantung pada nilai intrinsik dan
pengaruhnya. Sebaliknya kelompok deontologis meyakini bahwa nilai
moral suatu perbuatan bersifat intrinsik. Ini berarti suatu perbuatan dapat
diketahui baiknya, tanpa memperhatikan apa bentuk konsekuensi dan
relasinya terhadap yang lain.
Perilaku baik disini selalu mengacu pada perolehan kebahagiaan
bagi pelakunya. Karena kebahagiaan yang dimaksudkan dalam teori etika
islam pada umumnya tidak lain adalah moral saadah yang lepas dari
aspek material, kepentingan dan kecenderungan diri maka perilaku moral
itu pun mengarah pada satu tujuan yang sama bagi semua orang. Dengan
demikian meskipun manusia berbeda beda dalam perilaku moral, namun
secara esensial tidak akan pernah terjadi pluralisme dalam moral, sebab
semuanya bermuara pada satu tujuan yakni kebahagiaan tertinggi.
Saadah sebagai tujuan dalam moral terfokus pada bagaimana seseorang
itu mesti hidup yang baik dan bajik sehingga saadah adalah standar bagi
perbuatan yang baik dan bajik.
D. Ilmu dan Agama
Ilmu bagi manusia terkait erat dengan masalah nilai dan etika ilmu,
masalah kebenaran, masalah kemajuan ilmu dan teknologis, bahkan tidak
jarang juga membicarakan hakikat sesuatu kebenaran dan penciptaan
sehingga pembicaraan ini memang berkaitan antara keberadaan alam,
manusia dan penciptaannya yang pada umumnya mengakui adanya
kekuatan supranatural pada adanya tuhan. Menurut pandangan islam,
keberadaan agama islam menjadi sumber motivasi pengembangan ilmu.
Agama islam yang bersumberkan Al-Quran dan Hadis mengajar dan
mendidik manusia untuk berpikir dan menganalisis tentang unsur kejadian
alam semesta beserta isinya. Dengan demikian agama telah memberikan
ruang lingkup bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan pemikiran
bahwa kemajuan dan teknologi jangan sampai menjauhkan apalagi
menghapuskan peran agama. Keterbatasan akal manusia dalam
eksperimentasi ilmu pengetahuan, maka manusia seringkali berlandaskan
pada trial dan eror. Sehingga etika selalu dibutuhkan untuk menjaga
Filsafat teoritis
Filsafat praktis
Fase ketergantungan
Fase kemerdekaan atau kebebasan
menjalani hidupnya dalam segala aktivitasnya berlandaskan pada nilainilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
1. Pengertian Nilai
Semenjak dahulu sejak zaman Plato hingga saat ini, persoalan
tentang nilai terus bergulir. Karena nilai baigi manusia, sama tuanya
dengan dengan tindakan dan pikiran manusia itu sendiri. Eksistensi
manusia sangat ditentukan oleh keberadaan nilai, apakah manusia itu
menjadi baik atau buruk. Oleh karena itu teori tentang nilai menjadi
pembahasan khusus, namun baru pada akhir abad ke-19 keadila,
kebaikan, keindahan dan nilai-nilai khusus lainnya tidak hanya dipelajari
berdasarkan kekhususannya saja, melainkan dipelajari menjadi sesuatu
yang baru yang tersendiri yang dinamakan nilai. Sebelum itu, filsafat
klasik maupun filsafat modern menggolongkan nilai (value) pada sesuatu
yang ada atau being dan mengukur keduanya dengan alat ukur yang
sama.
Usaha awal aksiologi ini adalah membedakan dan memisahkan nilai
dari fakta, sebagai yang memiliki ciri khas tersendiri dari fakta. Untuk
dapat menemukan dan memahami nilai, diperlukan pengetahuan tentang
kemungkinan keberadaan jenis nilai itu. apabila dilihat dari nilai
berdasarkan 3 bidang besar realitas (yaitu sebagai gejala psikis, hakikat,
dan benda), maka akan ditemukan beberapa pandangan antara lain
adalah :
Namun demikian, nilai tidak sepenuhnya ada dalam salah satu dari ketiga
bidang realitas tersebut. Oleh karenanya, pengertian nilai yang
sebenarnya masih terus dicari dan dijelaskan. Sebab nilai tidak bisa
dikacaukan dengan ide atau konsep. Hal ini menyebabkan timbulnya
perbedaan apabilai keindahan dipandang sebagai nilai dengan ide dan
keindahan dengan konsep. Nilai keindahan dapat dirasakan secara emosi
atau perasaan, sedangkan ide keindahan diketahui secara intelektual,
namun demikian orang tersebut belum tentu dapat menjelaskan secara
konseptual sesungguhnya ide keindahan itu apa.
Keberadaan suatu benda selalu disertai oleh tiga kualitas yang
menentukan keberadaannya, yaitu kualitas utama adanya benda itu
sendiri, kualitas kedua adalah kualitas inderawi kita, dan yang ketiga
adalah kualitas nilai yang juga dapat menentukan keberadaan benda
tersebut.
2. Nilai dan sarana Sosial
Mereka memahami bahwa nilai dijadikan sebagai sarana yang kuat untuk
memaksakan kehendak mereka pada yang lemah. Beberapa postmodernis
berasumsi bahwa nilai adalah hasil dari pemaksaan manusia terhadap
manusia lainnya untuk membentuk kesepakatan bersama. Berikut
menurut para filsuf :
Ketiga implikasi ini akan selalu stabil dan tetap berada dalam diri manusia
apabila ia dapat menjaganya dengan membiasakan dalam perilakunya.
Pembiasaan merupakan upaya untuk melakukan stabilisasi dan
pelembagaan nilai-nilai dalam diri seseorang yang diawali dari
pembiasaan aksi ruhani dan aksi jasmani.
Ilmu Pengetahuan Bebas Nilai
Persoalan ilmu pengetahuan bebas nilai mulai mencuat ketika, manusia
sadar bahwa dirinya telah teraliniasioleh ciptaannya sendiri yaitu ilmu
pengetahuan. Gagasan tersebut muncul dari gerakan positivis yang
mendobrak etika kebudayaan yunani kuno, yang berupaya membangun
filsafat telah menarik garis batas antara ada dan waktu, yaitu antara
yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang
menyebabkan lahirnya ontologi dalam sejarah pemikiran manusia.
Apa yang saat ini dikenal sebagai istilah ontologi adalah bentuk
pemahaman atas kenyataan yang menghendaki pengetahuan murni yang
bebas-kepentingan. Pengetahuan yang lahir dari refleksi ontologis adalah
suatu disinterested knowledge. Kelahiran ontologi mengikis habis bios
theoretikos karena teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya dalam
kehidupan, melainkan justru menarik diri dari kehidupan praktis manusia.
Tanpa disadari, pemisahan kepentingan-kepentingan manusiawi ini
merupakan pelaksanaan kepentingan sendiri, yaitu demi mencapai
pengetahuan murni. Hal ini mucul kembali dalam filsafat modern. Pada
jalur pertama muncul aliran rasionalisme yang dirintis oleh Rene
Descartes, dan kemudian diikuti oleh filsuf-filsuf lainnya. Pengetahuan
murni semacam ini disebut pengetahuan transdental, karena mengatasi
pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah.
Pengetahuan manusia bersifat universal dan trans-historis, kemudian
menemukan jalan lain dengan tampil bersama aliran empirisme yang
didukung oleh para pemikir seperti hobbes, Locke, berkeley dan Hume.
Meskipun cara memperoleh pengetahuan empiris dan rasional berbeda,
namun keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa teori murni hanya
mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari
dorongan dan kepentingan manusia.
Selanjutnya ada Bacon dengan slogannya Knowledge is Power. Beliau
menyatakan hanya melalui ilmu lah, manusia akan dapat memperlihatkan
kemampuan kodratinya. Beliau juga berpendapat bahwa hakikat
pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang dapat diterima
orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini
biasanya disebut pengalaman. Kemudian menurut Bacon, untuk
memperoleh pengetahuan yang benar haruslah dilakukan dengan caracara yang benar, yaitu :
Alam diwawancarai
Menggunakan metode yang benar
Bersikap positif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya
orang harus menghindarkan dirinya untuk mengemukakan
prasangka terlebih dahulu.
Hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukumhukum yang niscaya berdasarkan rumusan deduktif-nomologis
Teori yang dihasilkan merupakan sebuah pengetahuan yang
bebas dari kepentingan (disinterested) dan dapat diterapkan
secara instrumental secara universal.
AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari
hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan
Hasil kerja dan prinsip Thales telah menandai awal dari sebuah era
kemajuan matematika yang mengembangkan pembuktian deduktif
sebagai alasan logis yang dapat diterima. Pembuktian deduktif
diperlukan untuk menurunkan teorema dari postulat dan selanjutnya
untuk disusun pernyataan baru yang logis. Pengembangan pembuktian
deduktif mencapai puncaknya dengan lahirnya buku karya Euclid yang
diberi judul Element.
Element menjadi sebuah karya yang maha penting dalam sejarah
masyarakat dunia yang kebanyakan dari pekerjaan itu
bersifat oroginal, sebagai metode deduktif dengan mendemonstrasikan
sebagaian besar pengetahuan yang diperlukan melalui penalaran.
Teorema ke-5 dalam buku ini cukup dikenal, yaitu sudut alas dalam
sebuah segitiga samakaki (isosceles) adalah kongruen. Metode yang
sekarang lebih sering digunakan untuk membuktikan teorema ini
memerlukan konstrukti suatu garis bagi sudut melalui titik sudutnya.
Dalam buku Element, Euclid menulis banyak pembuktian dari teoriteori yang sudah terkenal. Karya Euclid sangat berpengaruh sampai
saat ini sehingga dalam geometri untuk garis, titik, bentuk, dan bidangbidang namanya digunakan sebagai geometri Euclid.
Demikian selanjutnya, selama lebih kurang empat abad terakhir
Element telah mengalami kritikan dan pujian hingga lambat laun lebih
disempurnakan. Hasil dari berbagai penyempurnaan itu lahirlah
geometri analitik, geometri projektif, topologi, geometri non-Euclid,
logika, dan kalkulus.
B. Tujuan, Ruang Lingkup dan Objek Geometri
Geometri merupakan salah satu aspek mata pelajaran Matematika di
sekolah, di samping aspek bilangan, aljabar, statistika dan peluang,
logika, trigonometri, dan kalkulus.
Salah satu tujuan diajarkannya geometri di sekolah, menurut Suydan
dalam Kusni (1999 : 3) adalah mengembangkan kemampuan berpikir
logis. Berkaitan dengan tujuan ini, pengenalan geometri mempunyai
tujuan dasar untuk memberikan kesempatan siswa menganalisis lebih
jauh dunia tempat hidupnya serta memberikan sejak dini landasan
berupa konsep-konsep dan peristilahan yang diperlukan pada