Vous êtes sur la page 1sur 5

MEKANISME TERJADINYA PRE RIGOR,

RIGOR MORTIS DAN POST RIGOR


I. Latar Belakang
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari
pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati
hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak
menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan
ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi
dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas.
Dengan demikian otot strip (otot skelet=rangka tubuh) disebut sebagai alat
pergerakan tubuh atau sebagai eneriy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur
kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai energi kimiawi. Pada saat ternak telah
mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi
mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah
rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang
terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai
ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan
kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian
menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO 2 dan atom H. Atom H kemudian masuk
ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H 2O serta 30
mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H 2O dan 4
mol ATP.

Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah
menjadi glukosa mono-fosfat kemudian dirombak menjadi CO 2 dan H2O serta 37 mol
ATP.
Adenosin tri-fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk
kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan
Na dan K.Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak

disembelih. Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama
pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor
mortis.
II. Mekanisme Terjadinya Rigor mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Padasasat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait
dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak
yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang
disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor
mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak
disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase
sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH >5.5 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang
cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi
rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan
lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
A. Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis
dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase
cepat.Pada gambar di bawah terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk
proses rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a
memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase
penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang
dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan
waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu
yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah
proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang
terjadi pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi).
Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat
tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi
maka makin cepat terbentuknya rigor mortis
Daging yang baru saja diperoleh dari hewan yang sudah disembelih jika didiamkan
pada keadaan suhu ruang tanpa ada perlakuan apapun, maka daging akan

mengalami beberapa perubahan baik secara fisik, kimia, mikrobiawi maupun secara
sensoris. Berikut tahapan perubahan yang terjadi pada daging
1.
fase prarigor
Pada hewan yang akan disembelih, glikolisis berjalan secara aerob dan
pengahasilan ATP dalam jumlah banyak melalui jalur asam piruvat. pada hewan
yang sudah disembelih reaksi glikolisis secara perlahan akan berhenti dan akan
berlangsung glikolisis secara anaerob dengan mengubah glikogen menjadi asam
laktat. daging yang didapatkan dari hewan yang baru saja disembelih simpanan ATP
dari hasil glikolisis tersebut menjadi bantalan atau pembatas bagi protein miofibril
berupa aktin dan miosin. jarak antar aktin dan miosin menetukan kontrkasi otot yang
terjadi. masih tersisanya ATP membuat jarak aktin dan misin saling berjauhan
sehingga kontraksi otot akan jarang terjadi. hal ini akan menjadikan tekstur daging
menjadi lunak dan masih kenyal karena pengubahan glikogen menjadi asam laktat
masih sangat minim terjadi. sehingga asam laktat yang terbentuk tidak signifikan
menurunkan pH. penurunan pH akan berpengaruh pada kapasitas pengikatan air
oleh protein daging (WHC/ Water Holding Capacity). pada fase pre rigor WHC
protein masih tinggi sehingga tidak banyak air yang keluar dari jaringan sehingga
tingkat juiceness daging masih tinggi. tingkat juiceness daging yang tinggi akan
membuat daging jauh lebih kenyal. umumnya daging pada fase pre rigor ini paling
baik untuk dimasak karena tekstur daging yang masih lunak dan kenyal, akan tapi
pada untuk mendapatkan daging pada fase ini sangatlah sulit.
2. fase rigor mortis
Pada fase ini hewan sudah terlalu lama di biarkan tanpa perlakuan, sehingga
proses glikolisis akan berhenti dan produksi ATP semakin berkurang. proses
glikolisis akan diubah secara anaerob untuk dihasilkan asam laktat.berkurangnya
ATP membuat pembatas aktin dan miosin semakin tipis sehingga aktin dan miosin
mudah untuk berdekatan dan kemudian bersatu dan membentuk aktoniosin.
keadaan ini memungkin terjadinya kontraksi yang lebih dan akan menjadikan daging
menjadi kaku. pemasakan daging pada fase ini sebaiknya dihindari karena tekstur
daging yang kaku akan mengakibatkan proses pengolahan yang lama untuk
mengempukkan daging. pemasakan yang kurang matang akan mengakibatkan
daging menjadi alot dan kaku.
3. fase post rigor
Semakin lamanya daging terpapar semakin banyak kontaminan mikrobia di
dalamnya. pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim
katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana.
daging pada fase post rigor baik utnuk diolah karena tekstur daging sudah kembali
melunak, namun pengolahan daging harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghindari kontaminasi mikrobia semakin banyak dan terjadinya perubahan ke
arah penurunan mutu terhindari.
Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin mengalami
penurunan mutu. daging akan menjadi lembek dan menghasilkan aroma busuk.

kebusukan pada daging disebabkan oleh pemecahan protein menjadi protein


sederhana yang menyisakan gugus amino (alkali) dan sulfur yang merupakan
senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada daging.
III. Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
1. Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen
tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan
terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua
miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni
kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi
kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat
kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi
relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP
habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan
tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan
sangat terasa alot.
2. Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarankan untuk tidak dikonsumsi.
Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja
sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih
berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai
cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan
otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat
modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun
tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini
dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain
yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion
Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi
otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelahrigor mortis terbentuk
secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk
tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang
tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada
otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian
pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan
dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding

capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya
ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik
isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah
terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress
sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung
sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir
normal (5.5 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
IV. Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan
tergantung pada:
1.
Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale
soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada
kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama
24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum
disembelih dan suhu ruangan sekitar 15C.
2.
Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda
dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat
sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi
rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat
menjelang disembelih.
3.
Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot
yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak
yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah.
Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih
tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah
akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan
demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya
rigor mortis.

SUMBER REFERENSI:
http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2008/04/konversi-otot-menjadidaging.html.

Vous aimerez peut-être aussi