Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai
pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan
dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik
indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.(1)
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal
yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini,
secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi,
patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk
asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme
dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan
balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang
tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi,
definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun
diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya
adalah adanya under /overdiagnosis maupun under / overtreatment.(2)
Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma
secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Pada awalnya
pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian
bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya

pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah


terjadinya remodelling.(3)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut
berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan
episode wheezing, apneu, sesak nafas, dan batuk batuk dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan
terapi. (4)
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma

ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi
ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.(5)
2.2 EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang
asma dan diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.
Asma termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2000 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 2002, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %.(6)

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

(2,6)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:


1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a)

Alergen

didalam

ruangan

(tungau,

debu

rumah,

kucing,

alternaria/jamur)
3

(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)


(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
Exercised induced asma merupakan obstruksi jalan napas yang
berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma
bronkial.

Beberapa

literatur

menyebutnya

sebagai

exercised

induced

bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita


asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan
metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak
ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB
adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable
maximum heart rate. (7)
Pada

saat

dilakukan

latihan

fisik,

terjadi

hiperventilasi

karena

meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas


berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam
alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas
dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel
kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa
histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak
terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)


Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian 2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen
dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,
asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan
kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis,
sinusitis, dan gastroesofageal refluks)

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA


2.5.1 Patogenesis Asma (8,9)

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversibel dan


ditandai oleh serangan batuk , wheezing, (mengi) dispnea pada individu dengan
jalan napas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak
semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula
pada semua usia tetapi paling serinh menucul pertama kali dalam 5 tahun pertama
kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade

pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang


diperantarai Imunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopik terkait lainnya,
terutama rhinitis alergika dan dermatitis atopik.
Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang
terdiri dari 3 fase, yaitu ;
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel
mast dan basofil
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek
mediator mediator yang dilepas sel mast/basofil
Sensitasi terhadap allergen mungkin terjadi pada usia awal. Fase sensitasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IGE sampai diikat silang
oleh reseptor spesifik (Fc R) pada permukaan sel mast atau basophil. Antigen
presenting cell (APCs) di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada
CD4 sel T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2 fenotip.
Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang mencetus
pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit B. IL-13 juga akan
menginduksi aktifasi eosinophil dan basophilic granulocytes sebagaimana
pelepasan kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE kemudian
akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas tinggi (FcRI)
disel mast dan basophil dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas rendah
(FcRI, CD23) pada eosinophil dan makrofag.
Ketika terjadi reekspos, allergen dapat dengan cepat berikatan ke permukaan
sel. Histamine, protease, leukotriene, prostaglandin, platelet activating factor
(PAF) akan dilepaskan. Respon bronkokonstriktif asmatikus terjadi dalam 2 fase.
Pada fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu 10-20 menit
6

pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya. Respon awal ini
melibatkan Histamin, PGD2, cysteinyl-leukotrienes (LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF.
Cysteinyl-leukotrienes akan menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves
D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan kontraksi
sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vascular. Chymase disisi lain
akan mencetus sekresi mucus. Adanya induksi bronkokonstriksi dengan edema
mukosa

dan

sekresi

mucus

akan

menimbulkan

batuk,

wheezing,dan

breathlessness.
Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB 4 dan PAF akan menarik
eosinophil. LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik major basic protein (MBP)
dan eosinophil cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel
epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage. Pada akhirnya akan
menimbulkan akumulasi mucus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah
sel goblet dan hipertropi dari kelenjar mucous submukosal.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses
inflamasi dengan proses remodelling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.
Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses
7

remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses


yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi struktur sel.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau
merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway
remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas
jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
2.5.2 Patofisiologi Asma (9)
1. Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang dipicu oleh mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi.
Akibatnyaterjadi hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu, dapat pula terjadi hipersekresi
8

mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi


bronkial dan debris seluler. (9)
2.

Hiperaktivitas saluran respiratori


Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (9)

3.

Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (9)

4.

Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (9)

2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS (10)


2.6.1 Anamnesis
Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis
yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, produksi
sputum. Gejala dengan karakeristik yang khas diperlukan unntuk menegakkan
diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah gejala timbul secara
episodik atau berulang. Gejala timbul bila ada faktor pencetus misalnya iritan
(asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kerinh,
makanan dan minuman dingin); allergen (debu, tungau debu rumah, rontokan
hewan, serbuk sari); infeksi respiratori; aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau
tertawa berlebihan). Seringkali ada riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
(10)

Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24


jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga dapat
membaik secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda asma. (10)
2.6.2 Pemeriksaan Fisis
Seringkali pada pemeriksaan fisis pasien, karena penyakitnya stabil, tidak
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti
dermatitis atopik atau rhinitis alergi seperti allergic shiners atau geographic
tongue. (10)
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

10

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan adanya variabilitas gangguan saluran


napas akibat obstruksi, hiperaktivitas, dan inflamasi saluran napas, atau adanya
atopi pada pasien. Pemeriksaan meliputi :

Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan


variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan

peak flow meter.


Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, IgE spesifik
Uji inflamasi respiratori : FeNo (fractional exhaled nitic oxide),eosinofil

sputum
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, hipertonik salin(10)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma (Gina 2014) (10)


Gejala
Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, dada Biasanya lebih
tertekan, produksi sputum

dari

gejala

respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam atau
dini hari
Gejala timbul

bila

ada

faktor

pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran
obstruksi
saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
FEV1/FVC 90%
respiratori
Peningkatan FEV1 > 12%
Uji reversibilitas
Perbedaan PEFR harian > 13%
Variabilitas
Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR
Uji provokasi
>15%
Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia,
lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding,
misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto thoraks, uji refluks

11

gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan
thoraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi). (10)

Alur Diagnosis Asma

2.6.4 Klasifikasi Derajat Asma(10)


Derajat asma berdasarkan kekerapan serangan, dapat dikelompokkan menjadi
intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat
Tabel 2. Kriteria Derajat Asma Berdasarkan Kekerapan Serangan
Derajat Asma
Intermitten

Uraian kekerapan gejala asma


Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar serangan 6
minggu

Persisten ringan

Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Persisten sedang

Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari

12

Persisten berat

Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

Jika ada keraguan dalam mementukan derajat kekerapam masukkan dalam derajat
yang lebih berat
Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Klasifikasi
berdasarkan beratnya serangan adalah ;

Asma serangan ringan


Asma serangan sedang
Asma serangan berat

Tabel 3. Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan

13

Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali


Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asm aterkendali
adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas
hidup pasien baik.

Asma terkendali (well controlled)


Asma terkendali sebagian (partly controlled)
Asma tidak terkendali (uncontrolled)

Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana


yang tengah dijalankan dan untu penentuan peningkatan (step up), pemeliharaan
(maintenance) atau penurunan (step-down) tatalaksana yang akan diberikan. (10)

14

2.7 Penatalaksanaan Asma (10)


Tujuan tatalaksana asma anak secara umu adalah untuk mencapai kendali
asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara
optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.
2.
3.
4.

Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga


Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari
Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan
Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikitnya
mungkin terjadi, terutama yang mempenagruhi tumbuh kembang anak.

2.7.1 Tatalaksana Serangan Asma


Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif dari gejala
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi
dari gejala gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata
laksana asma jangka panjang, atau adnya pajanan dengan pencetus. Derajat
serangan bermacam macam, mulai dari serangan ringan hingga serangan yang
dapat mengancam nyawa. Serangan asma akut merupakan kegawatdaruratan
medis yang lazim dijumpai, perlu ditekankan serangan asma berat dapat dicegah.
(10)

Tujuan tatalaksana serangan asma antara lain sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.

Mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat mungkin


Mengurangi hipoksemia
Mengembalikan fungsi paru paru ke keadaan normal secepatnya
Mengevaluasi dan memperbaharui tatalaksana jangka panjang untuk
mencegah kekambuhan(10)

Pada beberapa kondisi pasien harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan


kesehatan terdekat jika pasien mempunyai satu atau lebih faktor resiko seperti :
(10)

Riwayat serangan asma yang mengancam nyawa


Pernah intubasi karena serangan asma
Pneumothoraks dan/ atau pneumomediastinum
15

Serangan asma yang berlangsung dalam waktu yang lama


Penggunaan steroid sistemik (ini atau baru berhenti)
Kunjungan ke IGD atau perawatab rumah sakit karena asma da;am

setahun terkakhir
Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
Berkurangnya persepsi tenatang sesak napas
Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial,
Pasien tiba tiba dalam kondisi distress pernapasan

2.7.2

Serangan Asma Ringan


Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang

baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien


diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk
MDI dengan spacer atau nebulisasi, hasil yang sama efektifnya.
Pemberian MDI dengan spacer dapat diberikan dnegan dosis 2 4 puff,
bila belum ada perbaikan bisa diulang lagi 2 4 puff dengan selang 30
menit dalam waktu 1 jam. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik
Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya.
Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali,
obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun
jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan
sebagai serangan sedang. (10)
2.7.3

Serangan Asma Sedang


Pada serangan sedang pemberian bronkodilator adalah 2 agonis

dengan penambahan antikolinergik. Jika setelah dua kali pemberian


nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete
response) kemungkinan derajat serangannya adalah sedang. Oleh karena
itu, perlu dinilai ulang derajatnya sesuai dengan pedoman klasifikasi. Jika
serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu dopbservasi
dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedang
diberikan steroid sistemik oral methylprednisolon dengan dosis 0,5 1
mg/kgBB/hari selama 3 5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan selain

16

metilprednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat bahwa steroid


nebulisasi dengan dosis yang sangat tinggi (1600-2400g budesonide)
dapat digunakan untuk serangan asma, tetapi belum banyak kepustakaan
yang mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk
serangan asma. (10)
Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan
keadaan darurat, sejak di UGD pasien akan diobservasi di RRS sebaiknya
langsung dipasangkan jalur parenteral. (10)
2.7.4

Serangan Asma Berat


Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak

menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan


masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di
Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk
saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak
penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup
diberikan sekali langsung dengan beta-agonis

dan antikolinergik.

Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti


napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat
foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum. (10)
2.7.5

Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)


Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap

diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam


dengan respon parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi 2
agonis + antikolinergik setiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik
orla berupa metiprednisolon atau prednison. Pemberian steroid ini
dilanjutkan selama 3 5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka
pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang
dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak

17

baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana
serangan asma berat. (10)
2.7.6 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya.
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi betaagonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara
intravena dengan dosis:
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6 - 8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan

dalam 30 menit, dengan infussion pump atau mikroburet


Bila respon belum optimal dilanjutkan pemberian dengan

pemberian aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5 1 mg/kgBB/jam


Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan 1/2nya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan

(0,25 0,5 mg/kg/jam)


Bila memungkinkan kadar sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml. (10)

Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien
tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. (10)
2.7.7

Tatalaksana Asma Jangka Panjang

Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai
pengobatan

jangka

panjang.

Sebelum

memutuskan

meningkatkan

atau

menurunkan langkah tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai

18

kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi dn


mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma
dapat menggunakan penilaian seperti pada tabel berikut
A. Penilaian klinis (dalam 6 8 minggu)

Manifestasi klinis

Terkendali (Bila
semua kriteria
terpenuhi)

Gejala siang hari


Aktivitas terbatas
Gejala malam hari
Pemakaian pereda

Tidak pernah (2x/mgg)


Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada (2x/mgg)

Terkendali
sebagian
(minimal satu
kriteria
terpenuhi)
>2x/mggu
Ada
Ada
>2x/mggu

Tidak
terkendali
Tiga atau lebih
kriteria
terkendali
sebagian

B. Penilaian resiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan,


penurunan fungsi paru, efek samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma,
FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis
tinggi
.

OBAT PENGENDALI ASMA


Obat pengendali asma adalah obat yang dapat mencegah terjadinya serangan
asma. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi
respiratorik kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Dengan
demikian, pemakaian obat ini secara terus- menerus dalam jangka waktu yang
relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Yang termasuk obat pengendali asma adalah antiinflamasi kortikosteroid inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid
Long acting B2-agonist (LABA), teofilin lepas lambat, sodium kromoglikat,
nedokromil, anti immunoglobulin E. (10)

19

Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan
berperan penting dan tatalaksana asma jangka panjang. Kortikosteroid inhalasi
merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid
inhalasi setara dosis budesonid 100 200 ug per hari dapat menurunkan angka
kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasie asma (GINA 2014).
Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug per hari
untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi resiko masuk
rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid
inhalasi atau sistemik pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi
virus masih controversial. Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma
tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, tetapi tidak mempengaruhi tinggi badan
secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat
dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortyikosteroid inhalasi.
Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid
inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat kortikosteroid inhalasi
yang baru, efek samping minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit
dibanding preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya
dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (10)
Long acting B2-agonist (LABA)
Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid
inhalasi. Kombinasi steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroid-

20

LABA banyak diteliti pada anak asma yang berusia diatas 5 tahun, pada saat
pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan.
Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingksn kortikosteroid inhalasi dan LABA
dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-LABA pada
anak yang berusia dibawah 5 tahun masih terbatas. (10)
Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga bisa digunakan untuk memcegah
spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan kortikosteroid B2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki
kerja yang lebih cepat daripada Salmeterol sehingga Formoterol lebiih cocok
untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya gejala. (10)
Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1)
seperti montelukast, prantlukast dan zafirlukast dan inhibitor 5-lipoxygenase
seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek
bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak
lebih unggul dibandingkan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid
inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan
angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid
inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat
berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi
virus pada anak usia dibawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten
kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. (10)
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari
pemberian steroid inhalasi.
21

Teofilin Lepas Lambat


Dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi
dengan kortikosteroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Efek samping
teofilin bisa berupa mual, muntah , anoreksi, sakit kepala, palpitasi, takikardi,
aritmia, nyeri perut dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada
pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. (10)
Anti Ig-E
Anti Ig-E (omalizumab) adalah antibodi monoklonal mampu mengurnagi
kadar bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 tahun,
omalizumab boleh diberikan pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi dan LABA yang masih sering mengalami eksaserbasi dan
terbukti disebabkan karena alergi. Omalizumab diberikan sebahai injeksi subkutan
setiap dua samapi empat minggu. (10)

ALUR TATA LAKSANA SERANGAN ASMA DI FASYANKES


(DRAFT PNAA 2015) (10)

22

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.
Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan
bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain
sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan
imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat
diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma
persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma
serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat
23

menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma


tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan
pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari
faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan
dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi
terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari
penderita asma

DAFTAR PUSTAKA
1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi 2004.
2. UKK Pulmonologi PP IDAI. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari
Pediatri.Vol.2:1.2000
3. Supriyatno HB. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.55:3. 2005
4. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.
Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006
5. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 1995
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.

24

7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Lus


Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group
Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy,
Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs,Colo :
American Academy of Allergy : 2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.
dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104
10. Kartasasmita C,. B. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Asma pada Anak.
Bogor Pediatric Update 2015. IDAI Cabang Jawa Barat. 2015

25

Vous aimerez peut-être aussi