Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai
pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan
dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik
indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.(1)
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal
yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini,
secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi,
patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk
asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme
dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan
balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang
tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi,
definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun
diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya
adalah adanya under /overdiagnosis maupun under / overtreatment.(2)
Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma
secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Pada awalnya
pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian
bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut
berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan
episode wheezing, apneu, sesak nafas, dan batuk batuk dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan
terapi. (4)
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma
ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi
ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.(5)
2.2 EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang
asma dan diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.
Asma termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2000 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 2002, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %.(6)
(2,6)
Alergen
didalam
ruangan
(tungau,
debu
rumah,
kucing,
alternaria/jamur)
3
Beberapa
literatur
menyebutnya
sebagai
exercised
induced
saat
dilakukan
latihan
fisik,
terjadi
hiperventilasi
karena
pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya. Respon awal ini
melibatkan Histamin, PGD2, cysteinyl-leukotrienes (LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF.
Cysteinyl-leukotrienes akan menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves
D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan kontraksi
sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vascular. Chymase disisi lain
akan mencetus sekresi mucus. Adanya induksi bronkokonstriksi dengan edema
mukosa
dan
sekresi
mucus
akan
menimbulkan
batuk,
wheezing,dan
breathlessness.
Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB 4 dan PAF akan menarik
eosinophil. LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik major basic protein (MBP)
dan eosinophil cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel
epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage. Pada akhirnya akan
menimbulkan akumulasi mucus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah
sel goblet dan hipertropi dari kelenjar mucous submukosal.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses
inflamasi dengan proses remodelling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.
Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses
7
3.
4.
Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (9)
10
sputum
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, hipertonik salin(10)
dari
gejala
respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam atau
dini hari
Gejala timbul
bila
ada
faktor
pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran
obstruksi
saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
FEV1/FVC 90%
respiratori
Peningkatan FEV1 > 12%
Uji reversibilitas
Perbedaan PEFR harian > 13%
Variabilitas
Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR
Uji provokasi
>15%
Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia,
lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding,
misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto thoraks, uji refluks
11
gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan
thoraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi). (10)
Persisten ringan
Persisten sedang
12
Persisten berat
Jika ada keraguan dalam mementukan derajat kekerapam masukkan dalam derajat
yang lebih berat
Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Klasifikasi
berdasarkan beratnya serangan adalah ;
13
14
setahun terkakhir
Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
Berkurangnya persepsi tenatang sesak napas
Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial,
Pasien tiba tiba dalam kondisi distress pernapasan
2.7.2
16
dan antikolinergik.
17
baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana
serangan asma berat. (10)
2.7.6 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya.
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi betaagonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara
intravena dengan dosis:
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6 - 8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien
tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. (10)
2.7.7
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai
pengobatan
jangka
panjang.
Sebelum
memutuskan
meningkatkan
atau
menurunkan langkah tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai
18
Manifestasi klinis
Terkendali (Bila
semua kriteria
terpenuhi)
Terkendali
sebagian
(minimal satu
kriteria
terpenuhi)
>2x/mggu
Ada
Ada
>2x/mggu
Tidak
terkendali
Tiga atau lebih
kriteria
terkendali
sebagian
19
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan
berperan penting dan tatalaksana asma jangka panjang. Kortikosteroid inhalasi
merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid
inhalasi setara dosis budesonid 100 200 ug per hari dapat menurunkan angka
kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasie asma (GINA 2014).
Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug per hari
untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi resiko masuk
rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid
inhalasi atau sistemik pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi
virus masih controversial. Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma
tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, tetapi tidak mempengaruhi tinggi badan
secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat
dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortyikosteroid inhalasi.
Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid
inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat kortikosteroid inhalasi
yang baru, efek samping minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit
dibanding preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya
dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (10)
Long acting B2-agonist (LABA)
Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid
inhalasi. Kombinasi steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroid-
20
LABA banyak diteliti pada anak asma yang berusia diatas 5 tahun, pada saat
pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan.
Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingksn kortikosteroid inhalasi dan LABA
dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-LABA pada
anak yang berusia dibawah 5 tahun masih terbatas. (10)
Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga bisa digunakan untuk memcegah
spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan kortikosteroid B2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki
kerja yang lebih cepat daripada Salmeterol sehingga Formoterol lebiih cocok
untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya gejala. (10)
Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1)
seperti montelukast, prantlukast dan zafirlukast dan inhibitor 5-lipoxygenase
seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek
bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak
lebih unggul dibandingkan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid
inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan
angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid
inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat
berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi
virus pada anak usia dibawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten
kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. (10)
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari
pemberian steroid inhalasi.
21
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.
Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan
bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain
sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan
imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat
diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma
persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma
serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat
23
DAFTAR PUSTAKA
1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi 2004.
2. UKK Pulmonologi PP IDAI. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari
Pediatri.Vol.2:1.2000
3. Supriyatno HB. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.55:3. 2005
4. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.
Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006
5. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 1995
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
24
25