Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Acquired immune deficiency syndrom (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
atau syndrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi
virus HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah pada kekebalan tubuh manusia. Orang yang
terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
nsmun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV umumnya ditularkan melalui
kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan
cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal,
dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal ataupun oral),
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi HIV dan AIDS
2. Untuk mengetahui Etiologi penyakit HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui Tanda dan gejala serta Cara penularan HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui Rentang dari HIV menjadi AIDS
5. Untuk mengetahui Pathway HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostik
7. Untuk mengetahui Pencegahan penyakit HIV/AIDS
8. Untuk mengetahui konsep stressor
9. Untuk mengetahui efek stressor terhadap imunitas
10. Untuk mengetahui respons spesifik pada penderita HIV/AIDS
11. Untuk mengetahui masalah keperawatan pada penderita HIV/AIDS
12. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien penderita HIV/AIDS

BAB II
PEMBAHASAN
1. KONSEP HIV DAN AIDS
1

A. Definisi HIV dan AIDS


Pengertian HIV AIDS atau definisi lengkap tentang HIV & AIDS menurut para ahli
medis dan WHO. Seperti yang sering kita dengar sehari-hari, HIV-AIDS ini merupakan jenis
penyakit manusia yang sangat mematikan di dunia dan hingga sekarang belum ditemukan
obatnya. Pengertian HIV merupakan singkatan dari 'Human Immunodeficiency Virus'. HIV
adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia
dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam
melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan
defisiensi (kekurangan) sistem imun.
Definisi AIDS adalah singkatan dari 'Acquired Immunodeficiency Syndrome /
Acquired Immune Deficiency Syndrome' yang menggambarkan berbagai gejala dan infeksi
yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan
sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu
merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.
Lama dari HIV bisa menjadi AIDS lamanya dapat bervariasi dari satu individu dengan
individu yang lain. Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi
sakit karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan lebih lama.
Terapi antiretroviral dapat memperlambat perkembangan AIDS dengan menurunkan jumlah
virus (viral load) dalam tubuh yang terinfeksi.
B. Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau
virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus.
Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA)
setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan
HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengode sembilan
protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virusvirus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus,
tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular)
dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan
transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan

Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi
tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)
C. Tanda dan Gejala
Berikut beberapa tanda gejala HIV AIDS yang perlu kita waspadai :

Penurunan Berat Badan Dengan Cepat. Penurunan berat badan ini biasanya tanpa
ada sebab yang jelas. Hal ini karena biasanya pada penderita penyakit ini akan
mulai kehilangan selera makannya. Walaupun makan dengan banyak kalori,

karbohidrat, bergizi tetapi berat badan akan tetap menurun.


Demam dan flu yang tidak kunjung sembuh. Seseorang tersebut akan mengalami
demam yang berkelanjutan dan hilang timbul dan biasanya demam mencapai lebih
dari 39 derajat celcius dan tak sembuh setelah kita berikan beberapa jenis obat

antipiretika (penurun panas).


Diare Yang Tak Kunjung Sembuh. Bila kita menjumpai seseorang yang
mengalami diare berkepanjangan dan telah mendapatkan berbagai macam
pemberian obat atau pun antibiotik belum juga sembuh, maka hal ini patut kita
curigai dan waspadai bahwasannya seseorang tersebut tengah menderita salah satu

gejala HIV. Apalagi bila faktor resiko banyak terdapat pada seseorang tersebut.
Cepat Merasa Lelah. Karena jenis virus menyerang sistem kekebalan tubuh maka
penderita HIV AIDS ini akan cepat merasakan lelah walaupun dalam aktifitas
yang tak terlalu banyak.

D. Cara Penularan
HIV bisa ditularkan melalui :

Lewat cairan darah:


Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah tercemar HIV

Lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV,


yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik
dikalangan pengguna Narkotika Suntikan

Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain,


misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus
kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah

Lewat cairan sperma dan cairan vagina


3

Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa


menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma
dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya
cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat
anus.

Lewat Air Susu Ibu


Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan
melahirkan

lewa7t

vagina;

kemudian

menyusui

bayinya

dengan

ASI.Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother-to-Child Transmission) ini


berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan dari ibu HIV positif
kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.8
E. Rentang Dari HIV menjadi Aids
Fase dari HIV menjadi Aids

Tahap 1 atau yang biasa disebut dengan Window Periode atau Periode
Jendela, yakni :
Masuknya HIV ke dalam tubuh seseorang hingga dalam darah mulai terbentuk
antibodi terhadap HIV. Pada saat itu, tidak ada tanda-tanda khusus dan tes HIV

yang dilakukan juga belum mampu mendeteksi keberadaan virus HIV.


Tahap 2: HIV Positif tanpa gejala.
Pada saat ini, tes HIV mulai bisa mendeteksi keberadaan virus dalam darah
penderita, namun umumnya tidak ada gejala yang timbul. Bahkan orang yang
terinfeksi HIV terlihat sehat dan tidak merasakan ada masalah dalam tubuhnya.
Pada fase ini, umumnya HIV telah berkembang biak dalam darah. Tahapan ini
bisa terjadi hingga sepuluh tahun dari pertama kali penderita mulai terinfeksi.

Namun semua itu tetap tergantung pada imunitas tubuh penderita.


Tahap 3: HIV Positif dengan gejala.
Kondisi dimana kekebalan tubuh penderita mulai mengalami penurunan dan
munculnya gejala infeksi oportunistik, dari mulai diare yang tak kunjung sembuh,
flu yang terus menrus, nafsu makan menurun, badan lemah, berat badan
berkurang, pembengkakan kelenjar limfa, dan lain sebagainya. Tahapan ini

biasanya berlangsung antara 1 hingga 3 bulan.


Tahap 4: Fase AIDS.

Dimana kondisi penderita sudah sangat parah, yakni sistem imunitas tubuhnya
yang sangat lemah, munculnya infeksi lain yang sangat berbahaya akibat infeksi
oportunistik semakin parah. Tahap gangguan otak. Konsisi ini mengakibatkan
penderita mengalami kerusakan sel otak dan beresiko mengalami gangguan
mental, seperti : penurunan kesadaran, penurunan daya ingat, depresi, demensia,
dan lain sebagainya.
F. Pathway

Fase infeksi akut (Acute Retroviral Syndrome)


Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan
virus-virus baru (virion) jumlah berjuta-juta virion. Begitu banyaknya virion
tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip
sindrom semacam flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50 sampai 70% orang yang
terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut (ARS) selama 3 sampai 8 minggu
setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis,
limfadenopati, mialgia, malaise, nyeri kepala diare dengan penurunan berat badan.
HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf. Pada fase akut terjadi
penurunan limfosit T (CD4) yang dramatis yang kemudian terjadi kenaikan
limfosit T karena mulai terjadi respon imun. Jumlah limfosit T-CD4 pada fase ini
di atas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 8 minggu
terinfeksi HIV.

Fase infeksi laten


Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel
Dendritik Folikuler (SDF) dipusat perminativum kelenjar limfe menyebabkan
virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten
(tersembunyi). Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah
virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar
limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga penurunan limfosit T terus
terjadi.

Fase infeksi kronis


Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi
5

virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi
kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan kedalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara
berlebihan didalam sirkulasi sitemik respon imun tidak mampu meredam jumlah
virion yang berkebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV
yang semakin banyak. Terjadi penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem
imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit
infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progesif yang mendorong ke arah
AIDS, infeksi sekunder yang sering menyertai adalah penomonia, TBC, sepsi,
diare, infeksi virus herpes, infeksi jamur kadang-kadang juga ditemukan beberapa
jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening. (Nasruddin, 2007)
G. Pemeriksaan Diagnostik
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan
dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya
infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus
terhadap virus tersebut.

Untuk pemeriksaan pertama biasanya digunakan Rapid tes untuk melakukan uji tapis.
Saat ini tes yang cukup sensitif dan juga memiliki spesifitas yang tinggi. Hasil yang
positif akan diperiksa ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes
yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil positif palsu yaitu ELISA. Rapid Tes
hasilnya bisa dilihat dalam waktu kurang lebih 20 menit.

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya


antibody dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila
terdeteksi jumlah virus yang lebih besar. Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih
akan negatif 6 sampai 12 minggu setela pasien terinfeksi. Karena hasil positif palsu
dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif
diulang dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu
Western Blot.

Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk


mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein
yang ditemukan berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein
6

ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu
dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes
western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien
dianggap HIV negatif.

PCR (Polymerase Chain Reaction) Untuk DNA dan RNA virus HIV sangat
sensitive dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain
tidak jelas.

H. Penatalaksanaan Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu
(Endah Istiqomah : 2009) :

Pengendalian Infeksi Opurtunistik


Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah

kontaminasi

bakteri

dan

komplikasi

penyebab

sepsis

harus

dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

Terapi AZT (Azidotimidin)


Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 Sekarang, AZT tersedia untuk pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3

Terapi Antiviral Baru


Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imundengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksivirus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :
o Didanosine
o Ribavirin
o Diedoxycytidine
o Recombinant CD 4 dapat larut

Vaksin dan Rekonstruksi Virus


7

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.

Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalahTujuan Umum Diet
Penyakit HIV/AIDS adalah memberikan intervensi

gizi secara cepat dengan

mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit
infeksi HIV, mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh
yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass), Memenuhi kebutuhan
energy dan semua zat gizi, mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet,
olahraga dan relaksasi. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah Mengatasi
gejala diare,

intoleransi laktosa, mual dan muntah, meningkatkan kemampuan

untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada pasien dapat membedakan antara
gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan
menelan, mencapai dan mempertahankan berat badan normal, mencegah
penurunan berat badan yang berlebihan.
I. Pencegahan
Dengan mengetahui cara penularan HIV/AIDS dan sampai saat ini belum ada obat
yang mampu memusnahkan HIV/AIDS maka lebih mudah melakukan
pencegahannya.Prinsip ABCDE yaitu :
A = Abstinence (Puasa Sesk, terutama bagi yang belum menikah)
B = Befaithful (Setia hanya pada satu pasangan atau menghindari berganti- ganti pasangan)
C = use Condom (Gunakan kondom selalu bila sudah tidak mampu menahan seks)
D = Drugs No (Jangan gunakan narkoba)
E = sterilization of Equipment (Selalu gunakan alat suntik steri)

J. Konsep Stressor
Stres sebagai interaksi dan transaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan
ini telah dibatasi sebagai model psikologi. Varian dari model psikologi ini didominasi teori

stres kontemporer dan terdapat dua tipe tegas yang dapat diidentifikasi: interaksional dan
transaksional.
Menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain
(ketegangan) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai
hubungan transaksional yang didalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya
suatu stimulus atau sebuah respons saja, tetapi suatu agent yang aktif yang dapat
mempengaruhi stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional. Individu akan
memberikan reaksi stres yang berbeda pada stresor yang sama.berkembang menjadi AIDS
Fokus pembentukan pada struktur hal yang penting dari interaksi individu dengan
lingkungannya, dimana terakhir ini telah banyak dikatakan dan didukung dengan interaksi
proses psikologi . Model transaksional adalah secara primer diperhatikan dengan
penghargaan kognitif dan koping. Dalam pengertiannya, mereka menggambarkan sebuah
pengembangan dari model interaksi.
Pendekatan

medikopsikologikal

stres

adalah

paradigma

dasar

dari

psikoneuroimunologi. Jenis stresor ini menyebabkan gangguan non spesifik dalam sistem
biological (sebagai contoh sistem imun dalam psikoneuroimunology) dalam respon untuk
sebuah rentang yang luas dari averse or noxious stimuli. Hans Selye dalam Putra (1999)
mengatakan bahwa respon melawan stresor mungkin dimanifestasikan sebagai stres biologis.
Stres sebagai suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan pemikiran Selye bahwa
stres berfokus pada reaksi seseorang terhadap stresor dan mengambarkan stres sebagai suatu
respons. Respons yang dialami itu mengandung dua komponen yaitu komponen psikologis
(meliputi perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres) dan komponen fisiologis (berupa
rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat). Selye mengemukakan respons tubuh terhadap
stres tersebut sebagai Stress Syndrome atau General Adaptation Syndrome (GAS) yang
merupakan respons umum dari tubuh. GAS menurut Selye terjadi saat organisme mengalami
stres yang panjang atau lama dan organ tubuh yang lain juga ikut dipengaruhi oleh kondisi
stres tersebut.
K. Efek Stresor Terhadap Imunitas
Pertama kali efek stresor terhadap imunitas telah dibuktikan Ader dan Friedman pada
tahun 1964 (Putra, 2004a). Penelitian tersebut telah membuka jendela hubungan antara
9

psikologi perkembangan dan respons sistem imun terhadap stresor (Biondi, 2001). Seperti
telah dijelaskan terdahulu, bahwa stresor adalah stimuli yang menimbulkan stres, dan stres
mempunyai triad, yaitu aktivasi, resisten (adaptasi), dan ekshausi. Jadi stresor merupakan
stimuli yang menyebabkan aktivasi, resisten (adaptasi), dan ekshausi. Sinyal stres
dirambatkan mulai dari sel di otak (hipotalamus dan pituitari), sel di adrenal (korteks dan
medula), yang akhirnya disampaikan ke sel imun. Tingkat stres yang terjadi pada jenis dan
subset sel imun akan menentukan kualitas modulasi imunitas, baik alami maupun adaptif.
L. Respon Spesifik pada penderita HIV/AIDS
1. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+
akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai
efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar
protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang
kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV
melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut melakukan fusi
dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti
terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease.
Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari
RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian
membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart,
1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke inti
sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV
provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel
limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997).
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel - sel hobfour plasenta,
sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek
dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah
diare yang kronis (Stewart, 1997).

10

Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari
pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeski
virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang
perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul
sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 300/ul setelah terinfeksi 2 10 tahun (Stewart,
1997).
2. Respons Adaptif Psikososial - Spiritual
a. Respons Adaptif Psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres,
frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidak pastian
menuju pada adaptasi terhadap penyakit.

Reaksi
Shock (kaget,

Proses Psikologi
goncangan Merasa bersalah,

batin)

Hal hal yang di jumpai


marah, Rasa takut, hilang akal,

tidak berdaya

frustrasi, rasa sedih, susah,


acting out

Merasa
Mengucilkan diri

cacat

dan

tidak

berguna, menutup diri

Penolakan, stres, konfrontasi

Ingin tahu reaksi orang lain,


Membuka
terbatas

status

secara pengalihan

stres,

ingin Ketergantungan,

dicinta

campur

tangan, tidak percaya pada


pemegang rahasia dirinya

mencari orang lain yang HIV Berbagi


positif

rasa,

kepercayaan,

pengenalan,
penguatan, Ketergantungan,

dukungan sosial
Status khusus

Perubahan
menjadi

kita dan mereka (sema orang


keterasingan dilihat sebagai terinfeksi HIV

manfaat

khusus, dan direspon seperti itu),

perbedaan menjadi hal yang over identification


istmewa,

dikotomi

dibutuhkan

yang lainnya
11

oleh

3. Respons Psikologis (Penerimaan Diri) Terhadap Penyakit


Kubler Ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap
penyakit, yaitu.
a) Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka
gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah
mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien saya
di sini istirahat. Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan
pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium,
atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri
yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b) Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah
menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa
bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi
sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien
banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja
sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk
datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c) Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya
tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan
Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan
12

menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat
sembuh (Achir Yani, 1999).
d) Depresi
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya
serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang
konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis
berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan,
bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya
penyakit (Netty, 1999).
e) Penerimaan dan partisipasi
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan
yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang
keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada
orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu
memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan
menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun
yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam
teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
4.Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman
& Nipan (2003).
Respons adaptif Spiritual, meliputi:
1. Harapan yang realistis
2. Tabah dan sabar
3. Pandai mengambil hikmah
5. Respons Adaptif sosial
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 aspek, yaitu:

13

Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri
pasien.

Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan
hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien
homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurungnya
dukungan sosial. Hal ini akan memperparah stres pasien

Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marahmarah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya
pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang
untuk menghilangkan stres yang dialami.

Respons adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari Pearlin &
Aneshense (1986).
1. Emosi
2. Cemas
3. Interaksi sosial

Dukungan sosial:

dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan diperhatikan

dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap


sakitnya

dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien


Melalui sistem Limbik dan korteks serebri diharapkan pasien akan mempunyai
respons adaptif yang positif. Dari respons penerimaan diri, setelah pasien
mendapatkan pembelajaran maka persepsi pasien menjadi positif, koping positif, dan
akhirnya perilaku pasien dalam perawatan menjadi positif. Dari respons sosial,
diharapkan pasien mempunyai koping yang konstruktif sehingga kecemasan
berkurang. Penurunan kecemasan tersebut, akan berdampak terhadap interaksi sosial
yang positif, baik dengan keluarga, teman, dan tetangga serta masyarakat. Respons
kognisi yang positif tersebut, melalui jalur HPA-Axis (Hipotalamus, Pituitary,
Adrenal), khususnya pada jalur hipotalamus akan menurunkan sekresi CRF pada
basofil yang akan memacu kerja Pituitari akan menurunkan ACTH. Penurunan ACTH
akan menstimulasi penurunan produksi cortisol pada jalur Adrenal cortex. Penurunan
cortisol akan memodulasi respons imun pasien HIV, khususnya pada T-helper, yaitu
meningkatnya kadar CD4, aktivasi IL-2; IFN- untuk mernghasilkan sel plasma dan
14

akhirnya akan meningkatkan Antibodi-HIV untuk melawan kuman HIV. IFN- juga
berperan dalam aktivasi NK-cell dan CTL serta resisitensi sel yang belum terinfeksi.
M. Masalah Keperawatan
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan
penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya
diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit
keganasan.
Terjadi penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor yang
penting menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Reaksi pertama kali
yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak (denial) dan shock
(disbelief). Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan merupakan
penderitaan sepanjang hidupnya.
Masalah Fisik

Masalah Psikis

Masalah Sosial

Masalah
Ketergantungan

Sistem

Intergritas

Perasaan

Ego:

minder dan

membutuhk

Dyspnea,

Perasaan tak

tak berguna

an

TBC,

berdaya/

di

pertolongan

Pneumonia)

putus asa

masyarakat

orang lain

Sistem

Sosial

Faktor

Pencernaan

stress: baru/

(Nausea-

lama

Vomiting,
Diare,
Dysphagia,
BB

turun

10%/3 bulan)

Perasaan

Pernapasan:

Interaksi

Sistem
Persarafan:

Respons
psikologis:
15

Perasaan
terisolasi/

letargi, nyeri

Denial,

sendi,

marah,

encepalopathy

Cemas,

irritable

ditolak

Sistem
Integumen:
Edema

yg

disebabkan
Kaposis
Sarcoma, Lesi
di kulit atau
mukosa,
Alergi.

Lain lain :
Demam,
Risiko
menularkan

2. ASUHAN KEPERWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV / AIDS


A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah
a. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
b. Sirkulasi.
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
c. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi,
marah,
menangis.
d. Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, absesrektal.
e. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi /
gusi yang buruk, dan edema.
f. Neurosensori.
16

Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon


melambat.
g. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang
gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yangsakit.
h. Pernafasan
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.
E. Diagnosa Keperawatan Pada Penderita HIV/AIDS
Pada klien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan dan
masalah kolaboratif, antara lain: Masalah kolaboratif: Risiko komplikasi / Infeksi skunder:
Wasting sindrom, keganasan (misalnya sarkoma kaposi, limfoma) meningitis, infeksi
oportunistik
(misalnya kandidiasis, sitomegalovirus, herpes, pneumocystis carinii pneumonia).
a. Diagnosis Keperawatan:
Menurut NANDA Internasional Taksonomi II, diagnosis keperawatan yang
kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS antara lain:

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan: kelemahan, kelelahan, efek samping


pengobatan, demam, malnutrisi, gangguan pertukaran gas (sekunder terhadap infeksi
paru atau keganasan).

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: penurunan energi, kelelahan,
infeksi respirasi, sekresi trakheobronkhial, keganasan paru, pneumothoraks.

Kecemasan berhubungan dengan: prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek
penyakit dan pengobatan terhadap gaya hidup.

Gangguan gambaran diri berhubungan dengan: penyakit kronis, alopesia, penurunan


berat badan, dan gangguan seksual.

Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan dengan:


keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak dapat diprediksi
atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima perawatan, durasi
perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak adekuat untuk menyediakan
perawatan, kurangnya waktu santai dan rekreasi bagi pemberi perawatan,
kompleksitas dan jumlah tugas perawatan.
17

Konfusi (akut atau kronik) berhubungan dengan: infeksi susunan saraf pusat
(misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, perkembangan HIV.

Koping keluarga: tidak mampu berhubungan dengan informasi atau pemahaman yang
tidak adekuat atau tidak tepat keluarga atau teman dekat, penyakit kronis, perasaan
yang tidak terselesaikan secara kronis.

Koping tidak efektif berhubungan dengan: kerentanan individu dalam situasi krisis
(misalnya penyakit terminal).

Diare berhubungan dengan: pengobatan, diet, infeksi.

Kurangnya aktifitas pengalihan berhubungan dengan: sering atau lamanya pengobatan


medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed rest yang lama.

Kelelahan berhubungan dengan: proses penyakit, kebutuhan psikologis dan emosional


yang sangat banyak.

Takut berhubungan dengan: ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap


kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, kemungkinan kematian.

Berduka, disfungsional/diantisipasi berhubungan dengan: kematian atau perubahan


gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan,
ditinggalkan oleh orang yang berarti (orang terdekat).
Adapun diagnosa, intervensi dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999)

adalah :
a. Diagnosis Keperawatan : nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan
ditandai dengan keluhan nyeri, perubahan denyutnadi,kejang otot, ataksia, lemah otot
dan gelisah.Hasil yang diharapkan : keluhan hilang, menunjukkanekspresi wajah
rileks,dapat tidur atau beristirahat secara adekuat.
ITERVENSI
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi,

RASIONAL
Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi

intensitas, frekuensi dan waktu. Tandai gejala

dan juga tanda-tanda perkembangan

nonverbal misalnya gelisah, takikardia,

komplikasi

meringis.
Instruksikan pasien untuk menggunakan

Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.

visualisasi atau imajinasi, relaksasi progresif,


teknik nafas dalam.
18

Dorong pengungkapan perasaan

Dapat mengurangi ansietas dan rasa sakit,


sehingga persepsi akan intensitas rasa sakit.

Berikan analgesik atau antipiretik narkotik.

M,emberikan penurunan nyeri/tidak nyaman,

Gunakan ADP (analgesic yang dikontrol

mengurangi demam. Obat yang dikontrol

pasien) untuk memberikan analgesia 24 jam.

pasien berdasar waktu 24 jam dapat


mempertahankan kadar analgesia darah tetap
stabil, mencegah kekurangan atau kelebihan
obat-obatan.

Lakukan tindakan paliatif misal pengubahan


posisi, masase, rentang gerak pada sendi

Meningkatkan relaksasi atau menurunkan

yang sakit.

tegangan otot.

b. Diagnosis keperawatan : perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh


dihubungkan dengan gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan, kejang perut, bising usus hiperaktif, keengganan untuk
makan, peradangan rongga bukal.Hasil yang harapkan

: mempertahankan berat

badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu pada tujuan yang
diinginkan, mendemostrasikan keseimbangan nitrogen po;sitif, bebas dari tanda-tanda
malnutrisi dan menunjukkan perbaikan tingkat energy.
INTERVENSI
Kaji kemampuan untuk mengunyah,

RASIONAL
Lesi mulut, tenggorok dan esophagus dapat

perasakan dan menelan

menyebabkan disfagia, penurunan


kemampuan pasien untuk mengolah makanan
dan mengurangi keinginan untuk makan

Auskultasi bising usus

Hopermotilitas saluran intestinal umum


terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan
diare, yang dapat mempengaruhi pilihan diet
atau cara makan.

19

Rencanakan diet dengan orang terdekat, jika

Melibatkan orang terdekat dalam rencana

memungkinakan sarankan makanan dari

member perasaan control lingkungan dan

rumah. Sediakan makanan yang sedikit tapi

mungkin meningkatkan pemasukan.

sering berupa makanan padat nutrisi, tidak

Memenuhi kebutuhan akan

bersifat asam dan juga minuman dengan

makanannonistitusional mungkin juga

pilihan yang disukai pasien. Dorong

meningkatkan pemasukan

konsumsi makanan berkalori tinggi yang


dapat merangsang nafsu makan
Batasi makanan yang menyebabkan mual
atau muntah. Hindari menghidangkan

Rasa sakit pada mulut atau ketakutan akan

makanan yang panas dan yang susah untuk

mengiritasi lesi pada mulut mungkin akan

ditelan

menyebabakan pasien enggan untuk makan.


Tindakan ini akan berguna untuk
meningkatakan pemasukan makanan.

Tinjau ulang pemerikasaan laboratorium,

Mengindikasikan status nutrisi dan fungsi

misal BUN, Glukosa, fungsi hepar, elektrolit,

organ, dan mengidentifikasi kebutuhan

protein, dan albumin.

pengganti.

Berikan obat anti emetic misalnya


metoklopramid

Mengurangi insiden muntah dan


meningkatkan fungsi gaster

c. Diagnosa keperawatan

: resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan

dengan diare berat. Hasil yang diharapkan

: mempertahankan hidrasi

dibuktikan oleh membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda-tanda vital baik,
keluaran urine adekuat secara pribadi.
INTERVENSI
Pantau pemasukan oral dan pemasukan

RASIONAL
Mempertahankan keseimbangan cairan,

cairan sedikitnya 2.500 ml/hari.

mengurangi rasa haus dan melembabkan


membrane mukosa.

Buat cairan mudah diberikan pada pasien;

Meningkatkan pemasukan cairan tertentu


20

gunakan cairan yang mudah ditoleransi oleh

mungkin terlalu menimbulkan nyeri untuk

pasien dan yang menggantikan elektrolit

dikomsumsi karena lesi pada mulut.

yang dibutuhkan, misalnya Gatorade.


Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa

Indicator tidak langsung dari status cairan

haus
Hilangakan makanan yang potensial

Mungkin dapat mengurangi diare

menyebabkan diare, yakni yang pedas,


berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu.
Mengatur kecepatan atau konsentrasi
makanan yang diberikan berselang jika
dibutuhkan
Menurunkan jumlah dan keenceran feses,
Nerikan obat-obatan anti diare misalnya

mungkin mengurangi kejang usus dan

ddifenoksilat (lomotil), loperamid Imodium,

peristaltis.

paregoric.
d. Diagnosa keperawatan: resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
proses infeksi dan ketidak seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan).
Hasil yang diharapkan

: mempertahankan pola nafas efektif dan tidak

mengalami sesak nafas.


INTERVENSI
Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah paru

RASIONAL
Memperkirakan adanya perkembangan

yang mengalami penurunan, atau kehilangan

komplikasi atau infeksi pernafasan, misalnya

ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius.

pneumoni,

Misalnya krekels, mengi, ronki


Catat kecepatan pernafasan, sianosis,

Takipnea, sianosis, tidak dapat beristirahat,

peningkatan kerja pernafasan dan munculnya

dan peningkatan nafas, menuncukkan

dispnea, ansietas

kesulitan pernafasan dan adanya kebutuhan


untuk meningkatkan pengawasan atau
intervensi medis

21

Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan

Meningkatkan fungsi pernafasan yang

pasien untuk berbalik, batuk, menarik nafas

optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi

sesuai kebutuhan.

yang ditimbulkan karena atelektasis

Berikan tambahan O2 Yng dilembabkan

Mempertahankan oksigenasi efektif untuk

melalui cara yang sesuai misalnya kanula,

mencegah atau memperbaiki krisis

masker, inkubasi atau ventilasi mekanis

pernafasan

e. Diagnose keperawatan

:Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan

produksi metabolisme ditandai dengan kekurangan energy yang tidak berubah atau
berlebihan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, kelesuan,
dan ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi.Hasil yang diharapkan
: melaporkan peningkatan energy, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
dalam tingkat kemampuannya.
INTERVENSI
Kaji pola tidur dan catat perunahan dalam

RASIONAL
Berbagai factor dapat meningkatkan

proses berpikir atau berperilaku

kelelahan, termasuk kurang tidur, tekanan


emosi, dan efeksamping obat-obatan

Rencanakan perawatan untuk menyediakan

Periode istirahat yang sering sangat yang

fase istirahat. Atur aktifitas pada waktu

dibutuhkan dalam memperbaiki atau

pasien sangat berenergi

menghemat energi. Perencanaan akan


membuat pasien menjadi aktif saat energy
lebih tinggi, sehingga dapat memperbaiki
perasaan sehat dan control diri.

Dorong pasien untuk melakukan apapun

Memungkinkan penghematan energy,

yang mungkin, misalnya perawatan diri,

peningkatan stamina, dan mengijinkan pasien

duduk dikursi, berjalan, pergi makan

untuk lebih aktif tanpa menyebabkan


kepenatan dan rasa frustasi.

Pantau respon psikologis terhadap aktifitas,

Toleransi bervariasi tergantung pada status

misal perubahan TD, frekuensi pernafasan

proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan

atau jantung

cairan, dan tipe penyakit


22

Rujuk pada terapi fisik atau okupasi

Latihan setiap hari terprogram dan aktifitas


yang membantu pasien mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan tonus otot

ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS BIOLOGIS (ASPEK FISIK)


Aspek fisik pada PHIV adalah pemenuhan kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda
dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik meliputi (a) universal precautions; (b)
Pengobatan Infeksi Skunder dan Pemberian ARV; (d) Pemberian Nutrisi; dan (e) aktifitas dan
istirahat.
a. Universal Precautions
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluarga dan pasien
sendiri sangat penting. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV.
Prinisip-prinsip universal precautions meliputi:

Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila menangani cairan tubuh
pasien gunakan alat pelindung, seperti sarung tangan, masker, kaca mata pelindung,
penutup kepala, apron, sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuaikan dengan
jenis tindakan yang dilakukan.

Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk setelah melepas
sarung tangan.

Dekontaminasi cairan tubuh pasien.

Memakai alat kedokteran sekali pakai atau sterilisasi semua alat kedokteran yang
dipakai (tercemar). Jangan memakai jarum suntik lebih dari satu kali, dan jangan
dimasukkan ke dalam penutup jarum atau dibengkokkan

pemeliharaan kebersihan tempat pelayanan kesehatan.

membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan aman
(Depkes RI, 1997).

B. Pemberian Nutrisi

Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur vitamin dan
mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang biasanya diperoleh dalam
makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi vitamin
23

sehingga memerlukan makanan tambahan (New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma
Foundation, 2004).

Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang
mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi
ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral juga
berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya
HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002 & William, 2004).

HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrient. Hal ini
berhubungan dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam
tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini.
Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002).

Berdasarkan beberapa hal tersebut, selain mengkonsumsi jumlah yang tinggi, para
ODHA juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan. Pemberian
nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat defisiensi
vitamin dan mineral.

Aktivitas dan Istirahat


a) Manfaat Olah Raga Terhadap Imunitas Tubuh
Hampir semua organ berespon terhadap stres olah raga, pada keadaan akut, olah raga
berefek buruk pada kesehatan, sebaliknya, olah raga yang dilakukan secara teratur
menimbulkan adaptasi organ tubuh yang berefek menyehatkan (Simon, 1988 dalam Ader
1991) Olah raga yang dilakukan secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel,
dan protein pada sistem imun (Simon, 1988 dalam Ader 1991)
b) Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Tubuh
1) Perubahan Sistem Sirkulasi
Olah raga meningkatkan cardiac output dari 5 lt menjadi 20 lt/menit pada orang
dewasa sehat, hal ini menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
Latihan yang teratur meningkatkan adaptasi pada sistem sirkulasi, meningkatkan volume dan
massa ventrikel kiri, hal ini berdampak pada peningkatan isi sekuncup dan cardiac output
sehingga tercapai kapasitas kerja yang maksimal. (Ader, 1991)
24

2) Sistem Pulmonel
Olah raga meningkatkan frekwensi napas, meningkatkan pertukaran gas serta
pengangkutan oksigen dan penggunaan oksigen oleh otot (Ader 1991).
3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi. Pada olah raga intensitas rendah
sampai sedang, terjadi pemecahan trigliserida dan jaringan adipose menjadi glikogen dan
FFA. Pada olah raga intensitas tinggi kebutuhan energi meningkat, otot makin tergantung
glikogen sehingga metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob.
Metabolisme anaerob menghasilkan 2 ATP dan asam laktat yang menurunkan kerja
otot. Pada saat olah raga tubuh juga meningkatkan ambilan glukosa darah, untuk mencegah
hipoglikemia, tubuh meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis hati untuk
mempertahankan gula darah normal. Olah raga berlebihan menyebabkan hipernatremia
karena banyak cairan isotonis yang keluar bersama keringat, serta hiperkalemia karena
kalium banyak dilepas dari otot. Selain itu bisa juga terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas.
(Ader, 1991)
ASUHAN

KEPERAWATAN

RESPONS ADAPTIF PSIKOLOGIS

(STRATEGI

KOPING)
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi
perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan
dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime koping dapat dipelajari, sejak awal
timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stresor tersebut (Carlson, 1994).
Kemampuan koping dari individu tergantung dari temperamen, persepsi, dan kognisi serta
latar belakang budaya/norma dimana dia dibesarkan (Carlson, 1994).
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar disini
adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal
(Nursalam, 2003). Menurut Roy, yang dikutip oleh Nursalam (2003) mekanisme belajar
merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan
suatu informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit. Belajar implisit umumnya
bersifat reflektif dan tidak memerlukan kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar.
Keadaan ini ditemukan pada perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi
timbul suatu penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari
penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal presinap
25

(Bear, 1996; Notosoedirdjo, 1998). Pada habituasi menuju ke depresi homosinaptik untuk
suatu aktivitas dari luar yang terangsang terus menerus (Bear, 1996). Sensitifitas sifatnya
lebih kompleks dari habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai
beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan
daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik
maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit
ringan tetapi justru penekanannya pada kondisi sakit yang berat (Notosoedirdjo M, 1998 &
Keliat, 1999).
Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk , yaitu coping style dan coping strategy. Coping
style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan
mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu
konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak
realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu
keadaan.
Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah
dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme koping bisa
diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu
mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak
akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi
stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi.
ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS SOSIAL (KELUARGA DAN PEER GROUP)
Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan
(suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.
a. Konsep Dukungan Sosial
Beberapa pendapat mengatakan dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan
yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber
dukungan sosial yang paling penting (Rodin & Salovey, 1989 dikutip Smet, 1994)
b. Pengertian dukungan sosial
Sebagai satu diantara fungsi pertalian/ ikatan sosial (Rook, 1985 dikutip Smet, 1994)
segi fungsionalnya mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan,

26

memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material (Ritter, 1988 dikutip Smet,
1994)
Sebagai fakta sosial yang sebenarnya sebagai/ kognisi individual atau dukungan yang
dirasakan melawan dukungan yang diterima (Schwerzer & Leppin, 1990 dikutip Smet, 1994)
Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata
atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottlieb, 1983
dikutip Smet, 1994)
c. Jenis dukungan sosial
House membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial
1) Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap
orang yang bersangkutan.
2) Dukungan Penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/ penghargaan positif untuk orang
lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain misalnya orang itu kurang mampu atau
lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).
3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman
uang, kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada
orang yang tidak punya pekerjaan.
4) Dukungan Informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

d. Hubungan Dukungan Sosial dengan kesehatan


Menurut Gottilieb, 1983 dikutip Smet, 1994 terdapat pengaruh dukungan sosial
terhadap kesehatan tetapi bagaimana hal itu terjadi? Penelitian terutama memusatkan
pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variabel penengah dalam perilaku kesehatan dan
hasil kesehatan. Dua teori pokok diusulkan, hipotesis penyangga (Buffer Hypothesis) dan
hipotesis efek langsung (direct effect hypothesis). Menurut hipotesis penyangga dukungan
sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stres
berat. Fungsi yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu
27

menjumpai stres yang kuat. Dalam stres yang rendah terjadi sedikit atau tidak ada penyangga
bekerja dengan dua orang. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang
menilai situasi penuh stres (mereka akan tahu bahwa mungkin akan ada seseorang yang dapat
membantu mereka). Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan mengubah respon
mereka terhadap sumber stres misalnya pergi ke seorang teman untuk membicarakan
masalahnya.
Hipotesis efek langsung berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi
kesehatan dan kesejahteraan tidak peduli banyaknya stres yang dialami orang-orang menurut
hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif sebanding dibawah intensitas stes tinggi dan
rendah. Contohnya orang-orang dengan dukungan sosial tinggi dapat memiliki penghargaan
diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres.
ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS SPIRITUAL
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien
terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000). Sehingga PHIV akan dapat menerima
dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Asuhan
keperawatan yang dapat diberikan adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri.
Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan
memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.

b. Pandai mengambil hikmah


Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua
cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara
terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam
28

menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam
menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien
dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak;
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya
(Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti
mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HIV adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS, yaitu sebuah penyakit yang
menyebabkan runtuhnya sistem imunitas tubuh seseorang sehingga penderita AIDS
kebanyakan menderita komplikasi penyakit yang menyiksa diri mereka.
Pasein yang didiagnosis HIV biasanya akan mengalami stress presepsi dan tubuhnya
menunjukan respon biologis selama menjalani perawatan di rumah sakit dan di rumah. Peran
perawat dalam perawatan pasien terinfeksi HIV adalah melaksanakan pendekatan Asuhan
Keperawatan agar pasien dapat beradaptasi dengan cepat.
3.2 Saran
Saran dari penulis untuk para pembaca adalah sebagai calon perawat yang akan
menghadapi kondisi serta penyakit pasien, sudah seharusnya kita mengetahui dan berhati
hati dalam bekerja. Penggunaan APD serta penguasaan ilmu yang baik dalam bekerja
setidaknya mampu membuat kita setidaknya terjaga dari hal hal yang tidak diinginkan.

29

DAFTAR PUSTAKA
Nursalam dan Nunik Dian Kurniawati. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi
HIV / AIDS. Salemba Medika : Jakarta.
Ghifari Abdzar. (2013). Pemeriksaan Laboratorium HIV dan AIDS. (Makalah Online).
Tersedia

di

http://gudangilmugigi.blogspot.co.id/2012/03/pemeriksaan-

laboratorium-hiv-aids.html. diakses pada (3 September 2015).

30

Vous aimerez peut-être aussi