Vous êtes sur la page 1sur 10

A.

Askep Teori Jiwa Pada Pasien Gangguan Prilaku Kekerasan


1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang
tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai
orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol ( kusuka hartono. 2010 )

2. Rentang Respon
Rentang respon menurut (Stuart dan Sundeen, 1995)
a. Respon marah yang adaptif meliputi :
1. Pernyataan (Assertion)
Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa
marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini biasanya
2.

akan memberikan kelegaan.


Frustasi
Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan, atau
rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak menemukan

alternatif lain.
b. Respon marah yang maladaptif meliputi :
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan
perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata.

2.

3.

Agresif
Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk

menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk dan kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol, dimana individu
dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

3.

Etiologi
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

4.

Tanda dan Gejala


a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
f. Memukul jika tidak senang

5.

Proses Kemarahan
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bersalah dapat menimbulkan kemarahan. Respons

terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal.


a. Eksternal yaitu konstruktif, agresif.
b. Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.
c. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang
dapt di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan perasaan
lega, keteganganpun akan menurun dan perasaan marah teratasi.
d. Marah di ekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan individu
karena ia merasa kuat. Cara ini tidak menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan
kemarahan yang berkepanjangan dandapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif, amuk
yang ditujukan pada orang lain maupun lingkungan.
e. Perilaku tidak asertif seperti menekan perasaan marah atau melarikan diri dan rasa marah
tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan
pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri.

6. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi,
artinya mungkin terjadi perilaku kekerasan jika factor berikut di alami oleh individu :
1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat mnimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan di tolak, di hina, di aniyaya atau saksi penganiayaan.
2. Perilaku : reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya : budaya tertutup dan membalas secara alam (positif agresif) dan
control social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan diterima (permissive)
4. Bioneurologis : banyak pendapat bahwa kerusakan sisitem limbic, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya
b.

perilaku kekerasan.
Faktor Presipitasi
Factor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang
lain. Kondisi klien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputus asaan, ketidak
berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya / pekerjaan dan kekerasan merupakan
factor penyebab yang lain. Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan.
a. Tingkah Laku
b. Menyatakan dengan jelas (assertiveness)
c. Memberontak (acting out)
d. Amuk atau kekerasan (violence)

7.

Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri (tuart dan sundeen, 1998 hal : 33).
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain :

a. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya
c. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari
ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8.

Penatalaksanaan Umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada
dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada
juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti
agitasi.

b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian pekerjaan
atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan
kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan
tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan
langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima
tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat
kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna
Keliat,1992).
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif
menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada
klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untukmenangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali).

B. Askep Teori Pada Pasien Gangguan Prilaku Kekerasan


1. Pengkajian
Faktor perilaku penyebab kekerasan

Menurut Yosep (2009), pada dasarnya pengkajian pada klien perilaku kekerasan
ditunjukkan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spritual.
a. Aspek biologis
Respon fisologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin
sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urin
meningkat.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin
memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalakan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagai besar pengalam hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indera
sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkunganyng selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain.
e. Aspek spritual
Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko menciderai diri dan orang lain atau lingkungan : perilaku kekerasan.

3. Rencana Keperawatan
N

Diagnosa Keperawatan

o
1

Resiko menciderai diri dan orang


lain: perilaku kekerasan.

Tujuan

Kriteria evaluasi

Intervensi

TUM : Klien dapat


melanjutkan
peran sesuai
dengan tanggung
jawab.
1. Bina hubungan saling
TUK:
Klien dapat
membina
hubungan
saling percaya.

Setelah.....kali interaksi
pasien menunjukkan :
1. Klien mau menjawab
salam
2. Klien mau menjabat
tangan
3. Klien mau
menyabutkan nama
4. Klien mau tersenyum
5. Ada kontak mata
6. Mau mengetahui nama
perawat
7. Mau menyediakan
waktu untuk kontak

percaya dengan
menggnakan prisip
komunikasi therapeutik:
a. Memberi salam atau
panggil nama klien
b. Sebutkan nama perawat
sambil menjabat tangan
c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Jelaskan tentang kontrak
yang akan dibuat
e. Beri sikap aman dan
empati
f. Lakukan kontrak singkat
tapi sering

TUK 2 : Klien
dapat
mengnidentifik
asi penyebab
perilaku
kekerasan

1. Klien dapat
mengungkapkan
perasaannya
2. Klien dapat
mengungkapkan
penyebab marah, baik
dari diri sendiri
nmaupun orang lain
dan lingkungan.

1. Anjurkan klien
mengnungkapkan yang
dialami saat marah.
2. Obsevasi tanda-tanda
perilaku kekerasan pada
klien.
3. Simpulkan tanda-tanda
jengkel atau kesal yang
dialami klien.

TUK 3 : klien
dapat
mengidentifikas
i tanda-tanda
perilaku
kekerasan.

1. Klien dapat
mengunngkapkan yang
dialami saat marah.
2. Klien dapat
menyimpulkan tandatanda marah yang
dialami.

1. Anjurkan klien
mengnungkapkan yang
dialami saat marah.
2. Obsevasi tanda-tanda
perilaku kekerasan pada
klien.
3. Simpulkan tanda-tanda
jengkel atau kesal yang
dialami klien.

TUK 4 :

1. Klien dapat

Klien dapat

mengungkapkan

mengidentifikasi

perilaku kekerasan

perilaku kekerasan
yang biasa
dilakukan.

yang biasa dilakukan


2. Klien dapat bermain
peran dengan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
3. Klien dapat mengetahui
cara yang biasa dapat
menyelesaikan masalah
atau tidak.

1. Anjurkan klien
mengungkapkan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
2. Bantu klien bermain peran
sesuai dengan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
3. Bicarakan dengan klien
apakah dengan cara yang
klien lakukan masalahnya
selesai.

TUK 5: Klien
dapat
mengidentifikas
i akibat dari
perilaku
kekerasan.

1. Berbicara akibat atau


1. Klien dapat menjelaskan
akibat dari cara yang
digunakan klien.

kerugian dari cara yang


dilakukan klien.
2. Bersama klien
menyimpulkan akibat cara
yang digunakan oleh klien.
3. Tanyakan pada klien
Apakah ia ingin
mempelajari cara baru
yang sehat.

TUK 6 : Klien
dapat
mendemonstras
ikan cara
mengontrol
perilaku
kekerasan.

1. Bantu klien memilih cara


1. Klien dapat
mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku
kekerasan.
2. Fisik : tarik nafas dalam
olahraga menyiram
tanaman,
3. Verbal : mengatakan
secara langsung dengan
tidak menyakiti.
4. Spiritual : sembahyang,

yang paling tepat untuk


klien.
2. Bantu klien
mengidentifikasi manfaat
cara yang dipilih.
3. Bantu klien untuk
memaksimulasi cara
tersebut (role play).
4. Beri reinforcement positif
atas keberhasilan klien

mensimulasi cara tersebut.


berdoa atau ibadah klien. 5. Anjurkan klien untuk
menggunakan cara yang
telah dipelajari saat
jengkel atau marah.

Vous aimerez peut-être aussi