Vous êtes sur la page 1sur 12

ASMA BRONKIAL PADA ANAK-ANAK

Bronchial Asthma In Children

ABSTRACT
Asthma is one of important disease to be aware for children commonly, because its caused morbidity.
Morbidity grade is increased after have a treatment in the hospital or in the primary treatment, it is causes a
worry that prevalention increase in the childhood. Commonly, trigger factor of bronchial asthma in children are
smoke, passive smoker, active smoker, household dust, gender, pets, foods, household appliance, weather,
hypersensitivitas bronchial, obesity, allergies to certain drugs, economyc level and family medical record. And
these are tools to cure when relapse of bronchial asthma happened, turbuhaler, rotahaler, nebulizer. The
epidemiological study of asthma in Indonesia is not standardization, yet. There are many diagnosis based on the
questioners. Asthma stimulated by allergen, virus, etc. asthma can happen in 2 ways, immunologic and autonomy
nerve way. Researches of asthma have shown that there is a correlation between sensitization of allergic with the
development of allergic disease, as known as allergic march. Primary prevention (prenatal) of asthma bronchial
had done to pregnancy moms that have allergic record in herself, her family, her child before, or in her husband.
Risk and manifestation of allergic in the janin is detected unclearly, that is the problem. In the high risk condition
of asthma, wisely, Mother has to avoid allergic causation earlier. Secondary prevention is diagnose early before
occurence asthma. Tertiary prevention is preventing dont even being disable and rehabilitation. Rehabilitation
can do in the so peaceful place that children who have bronchial asthma feels relax and motivated to be healthy.
Key word : asthma, bronchial, children, disease, allergic
ABSTRAK
Asma adalah salah satu penyakit penting yang harus diperhatikan untuk anak-anak secara umum, karena
asma menyebabkan morbiditas. Kelas morbiditas telah meningkat setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit
atau di perawatan tahap pertama, ini menyebabkan kecemasan bahwa prevalensinya meningkat di usia kanakkanak. Secara umum, faktor pemicu dari asma bronkial pada anak-anak adalah asap rokok, perokok pasif,
perokok aktif, debu rumah tangga, jenis kelamin, hewan peliharaan, makanan, perabotan rumah tangga,
perubahan cuaca, hypersensitivitas bronkus, obesitas, alergi obat tertentu, status ekonomi, dan riwayat penyakit
keluarga. Beberapa alat-alat yang digunakan untuk mengatasi kambuhnya asma bronkial, tubuhaler, rotahaler,
nebulizer. Studi epidemiologi tentang asma di Indonaesia masih belum terstandarisasi. Banyak sekali diagnosis
yang berdasarkan kuisioner. Asma dipicu oleh allergen, virus, dan sebagainya. Asma dapat terjadi dalam dua cara,
immunologi dan saraf autonom. Penelitian-penelitian tentang asma telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara sensitivitas dari alergi dengan perkembangan dari penyakit alergi, yang dinekal sebagai allergic march.
Pencegahan primer (prenatal) dari asma bronkial telah terjadi kepada ibu hamil yang mempunyai riwayat alergi
pada dirinya, keluarganya, anaknya sebelum, atau suaminya. Risiko dan manifestasi dari alergi di dalam janin
tidak terdeteksi dengan jelas, itu adalah masalahnya. Dalam kondisi risiko asma yang tinggi, bijaknya seorang ibu
harus menghindari penyebab alergi sedini mungkin. Pencegahan sekunder adalah diagnosa dini sebelum
terjadinya asma. Pencegahan tertier adalah pencegahan agar jangan sampai cacat dan rehabilitasi. Rehabilitasi
dapat dilakukan ditempat yang damai sehingga anak-anak yang menderita asma bronkial merasa santai dan
termotivasi menjadi sehat.
Kata Kunci : Asma, bronkial, anak-anak, penyakit, alergi

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan, terutama dinegara maju.
Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak, asma merupakan suatu keadaan di mana saluran nafas
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang meyebabkan peradangan.
Biasanya penyempitan ini sementara, penyakit ini paling banyak menyerang anak dan berpotensi untuk
menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia,
diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat
mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi
pada anak - anak. Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas
baik gambaran klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat
bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab
mukosa dan hipersekresi.
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi
dan asma terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi
kunjungan penderita di klinik rawat jalan pelayanan kesehatan anak. Salah satu manifestasi penyakit alergi yang
tidak ringan adalah asma. Penyakit asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan anak. Alergi dapat menyerang semua organ dan fungsi tubuh tanpa terkecuali. Sehingga
penderita asma juga akan mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya.
Di samping itu banyak dilaporkan permasalahan kesehatan lain yang berkaitan dengan asma tetapi
kasusnya belum banyak terungkap. Kasus tersebut tampaknya sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan anak, tetapi masih perlu penelitian lebih jauh. Dalam tata laksana asma anak kebanyakan kurang
optimal baik dalam diagnosis, penanganan dan pencegahannya. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema dan asma
merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat mengganggu
kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30% dibandingkan dengan 5% pada anak non-asma. Banyak kasus
asma pada anak tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan atau tanpa
wheezing (mengi).
Sedangkan menurut RISKESDAS (2007) di Indonesia prevalensi penderita asma diperkirakan masih sangat
tinggi. Bedasarakan data dari Departemen Kesehatan, persentase penderita asma di indonesia sebesar 5,87% dari
keselurahan penduduk Indonesia. Dimana masih banyak penderita asma yang belum mendapatkan perawatan
dokter.Hal itu membuat angka kematian karena penyakit asma tergolong tinggi di Indonesia. Pelayanan kesehatan
anak terpadu dan holistik adalah pendekatan yang paling tepat dalam penanganan penyakit asma. Hal ini meliputi
aspek promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan) yang
dilaksanakan secara holistik (paripurna) untuk mencapai tumbuh kembang anak yang optimal. Agar asma
terkontrol dengan baik maka kemandirian anak dalam menghadapi asma perlu dikembangkan, karena dengan
kemandirian ini akan meningkatkan rasa percaya diri, baik pada orang tua maupun anak yang menderita asma.
Untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian orang tua dan anak, perlu ditingkatkan pengetahuan
dan ketrampilan mengenai asma serta segi-segi cara penanggulangannya. Masalah penanganan penderita yang
tidak adekuat disebabkan oleh keluarga tidak memahami kondisi penyakit dan pengobatannya karena tidak dapat
mendapat pengetahuan yang cukup tentang penyakit asma, petugas medis kurang mampu mendiagnosis dengan
tepat dan kurang mampu melakukan penilaian beratnya penyakit asma sehingga berakibat pengobatan yang
dilakukan penderita kurang memadai.
Masalah lingkungan fisik adalah semakin besarnya polusi yang terjadi lingkungan indoor dan outdoor, serta
perbedaan cara hidup yang kemungkinan ditunjang dari sosioekonomi individu. Karena lingkungan dalam rumah
mampu memberikan kontribusi besar terhadap faktor pencetus serangan asma, maka perlu adanya perhatian
khusus pada beberapa bagian dalam rumah. Perhatian tersebut ditujukan pada keberadaan alergen dan polusi
udara yang dapat dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan rumah dan perilaku keluarga. Komponen kondisi
lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi serangan asma seperti keberadaan debu, bahan dan desain dari
fasilitas perabotan rumah tangga yang digunakan (karpet, kasur, bantal), memelihara binatang yang berbulu
2

(seperti anjing, kucing, burung), dan adanya keluarga yang merokok dalam rumah. Disamping itu agent dan host
memiliki andil seperti: makanan yang disajikan, riwayat keluarga, perubahan cuaca, jenis kelamin.
Masalah utama asma bronkial adalah sulitnya mengidentifikasi penderita di masyarakat. Kesulitan ini
timbul karena penderita asma di luar serangan sering tidak menunjukkan gejala sama sekali, juga karena mengi
(wheezing) saja bukan gejala spesifik untuk asma. Untuk dapat menekan efek merugikan yang ditimbulkan asma
bronkial pada anak harus ditemukan secara dini dan sedapat mungkin mencegah timbulnya serangan asma pada
anak. Agar dapat mendeteksi dini dan mencegah kekambuhan asma bronkial pada anak, perlu diketahui konsep
epidemiologi penyakit, riwayat alamiah penyakit dan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma
bronkial pada anak serta aspek pencegahan (primer, sekunder dan tersier). Artikel ini dimaksudkan untuk
mengetahui konsep epidemiologi penyakit, riwayat alamiah penyakit, pengenalan faktor risiko dan aspek
pencegahan (primer, sekunder dan tersier) asma bronkial pada anak.
KONSEP EPIDEMIOLOGI PENYAKIT ASMA BRONKIAL PADA ANAK
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 8090% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang
terkena kadang kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian
kecil mengalami asma berat berlarut larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman.
Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan menganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan
fungsi dar hari ke hari.
Asma adalah salah satu penyakit yang paling penting pada masa kanak-kanak karena menyebabkan
morbiditas. Adanya kenaikan tingkat morbiditas setelah masuk rumah sakit dan kontak perawatan primer untuk
asma di masa kecil, telah menyebabkan kekhawatiran bahwa prevalensi atau keparahan asma dapat meningkat
pada anak-anak. Tidak semua anak mendapatkan diagnosis asma dan proporsi anak dengan penyakit asma telah
meningkat selama beberapa dekade terakhir.
Sejumlah survey pertama kali dilakukan pada tahun 1960-1970-an, kemudian diulang pada tahun
berikutnya dengan metode yang sama. Hasilnya menunjukkan adanya konsistensi peningkatan prevalensi asma
(terlepas dari diagnosis) di Inggris, Australia, Skandinavia, Israel, dan Taiwan. Meskipun besarnya peningkatan
antar studi bervariasi. Di Australia prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% dan
meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992.
Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa tempat di Indonesia, antara
lain: Palembang, dimana prevalensi asma sebesar 7,4%; di Jakarta prevalensi sebesar asma sebesar 5,7%, dan di
Bandung prevalensi asma sebesar 6,7 (Kartasasmita, 1996). Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan
prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun
tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah
usia sepuluh tahun, Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika
dibandingkan prevalensi asma pada anak, dimana prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan 7,2 % (6%
pada dewasa dan 10% pada anak).
Sebenarnya asma bronkial bukan termasuk penyakit yang mematikan , namun morbiditas dan mortalitas
asma bronkial relatif meningkat tiap tahunnya, menurut perkiraan WHO, sekitar 300 juta orang menderita asma
bronkial dan 255 ribu orang meninggal karena asma bronkial di dunia pada tahun 2005 dan angka ini masih terus
meningkat. Kematian mencapai 3,8 per 1 juta anak pada tahun 1996, menurun menjadi 3,1 per 1 juta anak pada
tahun 1997, dan meningkat kembali 3,5 per 1 juta anak pada tahun 1998.
Studi epidemiologi asma di Indonesia masih tergolong jarang dilakukan. Hal ini masih dalam lingkup
terbatas, baik di suatu daerah, rumah sakit, sekolah, atau terbatas pada komunitas tertentu. Studi epidemiologi
asma di Indonesia masih belum ada standardisasi. Banyak diagnosis didasarkan pada kuisioner, data klinis atau
sekunder. Sudah ada studi yang menggunakan satu standar yang konsisten dan dilaksanakan serentak untuk
seluruh wilayah Indonesia, tetapi belum pernah dilaporkan.

RIWAYAT ALAMIAH ASMA BRONKIAL PADA ANAK


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel inflamasi kronis yang
mengakibatkan dilepaskannya macam-macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran nafas.
Pencetus terjadinya asma disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain allergen, virus, iritan yang dapat
menginduksi respon inflamasi akut. Asma terjadi melalu 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan hipersensitivitas tipe 1 (tipe alergi) yang terdiri dari fase
cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang yang memiliki kecenderungan membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar dan golongan ini disebut atropi. Pada asma alergi, antibodi IgE
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu yang akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu
10-15 menitm setelah pajanan alergen. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan
bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel
dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan
epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi
asma terjadi melalui refleks saraf, ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan respons
bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis,
udara dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi. Besarnya hipereaktivitas dapat diukur
secara objektif. Berbagai cara yang dilakukan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik. Derajat
hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan pada faktor pencetus dalam jangka waktu
lama. Besar kecilnya intensitas faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada
hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang
diperlukan untuk timbulnya serangan asma.
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara proses
sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal sebagai allergic march
(perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna
(diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran
napas (asma bronkial, rinitis alergi). Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi
pada usia kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis
atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak dengan mengi yang tidak
menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan berkembang menjadi asma terbukti
mempunyai kemampuan untuk membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai
stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari
rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan
mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2.
4

MANIFESTASI KLINIS ASMA BRONKIAL PADA ANAK


Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis. Tetapi pada saat
serangan penderita tampak bernafas dengan cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta
tanpa otot otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas,
mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala gejala tersebut tidak
selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala gejala yang timbul makin banyak,
antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi, dan pernafasan cepat
dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
KLASIFIKASI ASMA BRONKIAL PADA ANAK

a.

b.

c.

d.

Klasifikasi asma berdasarkan penyebabnya antara lain:


1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita
terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa apa terhadap orang yang sehat.
2. Asma Intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan
aktivitas olahraga yang berlebihan.
3. Asma Gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum, asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
asma alergik dan non alergik.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4
(empat), yaitu:
Asma intermitten (asma jarang)
Gejala kurang dari seminggu
Serangan singkat
Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEV atau FEV 1 variabilitas 20%-30%
Asma mild persistent (asma persisten ringan)
Gejala lebih dari seminggu
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
FEV 1 atau PEV >80%
PEV atau FEV 1 variabilitas < 20%-30%
Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari >1 dalam seminggu
FEV 1 atau PEV 60%-80%
PEV atau FEV 1 variabilitas > 30%
Asma severe persistent (asma persisten berat)
Gejala setiap hari
Serangan terus menerus
Gejala pada malam hari setiap hari
5

Terjadi pembatasan aktivitas fisik


FEV 1 atau PEV=60%
PEF atau FEV variabilitas > 30%
PENGENALAN FAKTOR RESIKO ASMA BRONKIAL PADA ANAK
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor risiko yang berhubungan
dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi
atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus. Pada referensi lain menyatakan berdasarkan
faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor-faktor yang termasuk faktor
genetik adalah atopi atau alergi, hiperaktif bronkus, jenis kelamin, ras atau etnik, obesitas. Sedangkan faktor
lingkungan meliputi alergen paad rumah dan alergen di luar rumah. Kedua faktor tersebut jugadipengaruhi faktor
lain yang mendukung. Faktor lain diantaranya ialah alergen makanan, alergen obat-obatan tertentu, bahan yang
mengiritasi, ekspresi emosi yang berlebih, asap rokok bagi perokokaktif dan pasif, polusi udara, exercise-induced
asthma, perubagan cuaca dan status ekonomi.
Adapun penjelasan seluruh faktor risiko pencetus asma bronkial pada anak yaitu:
1. Asap Rokok
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang
komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau,
diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein).
2. Perokok pasif
Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih
toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap
tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan
naiknya risiko asma dan serangan asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma
meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41- 5,74).
3. Perokok aktif
Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar
dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif
merupakan faktor risiko berkembangnya asma secara umum.
4. Tungau Debu Rumah
Asma bronkial disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke
dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau debu
rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak
mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan
lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama.
5. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis
kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter
biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan
sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah sakit 3
kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma
pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini.
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan,
peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi
respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio
diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan
ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi
perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi
6

6.

7.

8.

9.

10.

asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai
prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada
perempuan.
Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen
inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka
dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di
udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui. Untuk menghindari
alergen asma dari binatang peliharaan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
a. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan biarkan binatang tersebut masuk
dalam rumah,
b. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
c. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.
Jenis Makanan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan
seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan
pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa
memicu asma. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat
mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang,
ikan laut dan telor.
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian
membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma. Meskipun
hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi
bayi yang sensitif terhadap makanan tertentu akan mudah menderita asma kemudian, anak-anak yang
menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma. Alergi
makanan lebih kuat hubungannya dengan penyakit alergi secara umum dibanding asma.
Perabot Rumah Tangga.
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur),
formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya
berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat,
pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan
aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah
bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya
iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping
menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru.
Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan
asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga
terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim
dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika
riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan
penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%,
risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar
monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot.
Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak33). Orang tua asma kemungkinan
8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi
7

terhadap tungau debu rumah. R.I Ehlich menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan
yang bermakna (OR 2,77: 95% CI=1,11-2,48).
11. Hiperaktivitas bronkus.
Saluran nafas terutama pada bronkus sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. Bagi
anak-anak yang memiliki riwayat alergi terutama yang berkaitan dengan saluran pernafasan akan memiliki
resiko lebih besar terjadi hiperaktivitas bronkus.
12. Obesitas
Obesitas sejak anak-anak mempenngaruhi pertumbuhan dewasa. cenderung jika saat anak-anak memiliki
resiko obesitas, maka dewasanya juga demikian. obesitas saat anak-anak juga dipenagruhi polo konsumsi
sejak sejak bayi. anak-anak yang menderita obesitas beresiko lebih tinggi menderita asma bronkial.
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI),merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu
seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
13. Alergen obat-obat tertentu
Beberapa obat yang menjadi alergen yang daapt menyebabakan resiko terjadinya asma adalah penisilin,
sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
14. Status ekonomi
Faktor ini termasuk faktor resiko secara tidak langsung. Kondisi ekonomi suatu keluarga sangat
memepengaruhi banyak hal diantaranya perilaku konsumsi dan perilaku hidup sehat perialu hidup sehat.
Bagi anak-anak yang terlahir pada status keluarga denagn ekonomi rendah maka akan lebih beresiko. Hal ini
disebabkan karena konsumsi nutrisi yanga kurang dimana dapat mempengaruhi imunitas tubuh. Selain itu
faktor lingkungan diamna tinggal di pemukiman yang kumuh memebuat sumber penyakit seperti debu dan
sumber alergi lainnya mudah ditemui.
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer (prenatal) asma bronkial dilakukan pada ibu hamil yang memiliki riwayat atopi (alergi)
pada dirinya, keluarga, anak sebelumnya, atau pada suami. Pencegahan primer bertujuan untuk menghambat
sensitisasi imunologi terutama mencegah terbentuknya Immunoglobulin E (IgE) pada janin intrauterin (saat
berada di dalam kandungan) dan menyusui.. Hal ini dapat dilakukan dengan cara ibu hamil menghindari atau
meminimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan.
Permasalahannya, risiko dan manifestasi alergi pada janin masih belum dapat dideteksi dengan jelas,
namun beberapa ahli melaporkan indikasi alergi pada janin adalah gerakan atau tendangan janin yang keras,
disertai dengan rasa sakit pada ujung hati yang disertai gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan) pada ibu
terutama pada saat malam hari. Dalam keadaan risiko tinggi asma, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari
penyebab alergi sedini mungkin. Pada keadaan seperti ini, Committes on Nutrition American Acadcemy of
Pediatric (AAP) menganjurkan eliminasi diet jenis kacang kacangan dan menghindari kontak dengan polutan
dan asap xrokok baik secara aktif maupun pasif selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak.
Maternal asma (asma saat kehamilan) dan asap rokok adalah faktor risiko terjadinya serangan sesak pada
bayi saat lahir atau Transient Tachpnea of the Newborn. Kasus bayi dengan keadaan sesak nafas saat baru lahir ini
tampaknya terjadi peningkatan yang tinggi dalam waktu terakhir ini, dimana penderita dengan gangguan tersebut
mempunyai risiko asma yang sangat tinggi sebelum usia prasekolah. Selain itu asma bronkial pada anak juga
dapat dicegah melalui pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan, diet hipoalergenik ibu hamil, dengan syarat
diet tersebut tidak mengganggu asupan janin, serta diet hipoalergenik ibu menyusui.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah dimana tahap pencegahan dengan diagnosa dini. Diagnosa dini asma yang
tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
8

batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya
menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada
sakit/sempit.Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita
dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan
klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol.Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan
pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. Berikut penjelasan di setiap proses diagnosis :
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat
(rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering
kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari,
riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu
rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar
tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok,
orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,apakah ada beta blocker,
aspirin atau steroid.
2. Pemeriksaan Klinis
Dalam menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode
gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara
bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan;
mengi, ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometer.
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya
obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak Flow Meter/PFM.
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur
jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih
diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan
pemeriksaan FEV1.
c. X-ray dada/thorax.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
d. Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut
untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif
inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil
dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang
9

diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan
inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran
inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi.
Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan
obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar,
terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada
subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam
bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes
kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi
udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
Pada penderita asma, dapat digunakan alat sebagai pengobatan dini ketika mengetahui diagnosa dini
muncul. Contohnya seorang anak yang telah menunjukkan gejala mengi, maka dapat menggunakan pilihan alatlata tersebut. Alat tersebut dapat juga digunakan sebagai terapi. Berikut ini adalah alat untuk mengatasi asma
1. Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan ke paru-paru. Pasien
tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena tidak perlu menyemprotkan obat
terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung 60-200 dosis. Ada indicator dosis yang akan
memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh produk: Bricasma, Pulmicort,Symbicort.
2. Rotahaler
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan menghisap obat,
rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap. Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis,
rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap dan Nebulizer.
3. Nebulizer
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang telah diubah
menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak, usia lanjut dan mereka yang
sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak ada
kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut
obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit.
Contoh produk yang bisa digunakan dengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin
nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk dipasangkan ke nebulizer.
Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati bronkospasme akut,
produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak napas dan epiglottis. Keuntungan nebulizer terapi adalah
medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang
diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.
Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute
lainnya seperti: subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat
membantumengeluarkan sekresi bronkus.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier maksudnya adalah pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Tujuannya ialah
mencegah terjadinya kecacatan dan bertambah parahnya penyakit juga kematian, serta rehabilitasi yang mencakup
pengembalian kondisi fisik/ medis, mental/ psikologis dan sosial, serta melatih kembali,mendidik kembali, dan
merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. tindakan pencegahan tersier mencakup tindakan yang
diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi
asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi.
Pencegahan tersier pada penderita asma dapat dilakukan dengan:
1. Rehabilitasi

10

Anak penderita asma bronkial hendaknya direhabilitasi dengan tujuan untuk menghindarkannya dari
segala yang bisa merangsang kambuhnya penyakitnya dan menjauhkannya dari faktor-faktor yang bisa
memperparah penyakitnya. Umumnya rehabilitasi dapat dilakukan di tempat yang tenang sehingga anak
penderita asma bronkial dapat merasa lebih nyaman dan hal tersebut dapat memperkecil risiko kambuhnya
asma yang dideritanya.
2. Tidak ada diskriminasi dalam menghadapi dan berkomunikasi dengan anak penderita asma bronkial
dibandingkan anak pada umumnya
Sehingga anak penderita asma bronkial tidak merasa dirinya sakit dan terbatas aktivitasnya, meskipun ada
beberapa kegiatan yang harus dihindari. Seharusnya hal-hal seperti itu dapat dikomunikasikan dengan baik
pada anak penderita asma bronkial, sehingga anak tersebut tidak berpikiran selalu sakit dan selalu butuh
pertolongan.
3. Motivasi untuk penderita asma
Hal terpenting dalam mengatasi suatu penyakit adalah membentuk pola pikir positif bahwa dirinya sehat.
Begitu pula dengan anak penderita asma bronkial, dapat dimotivasi dengan pikiran positif bahwa dirinya
sehat dan tetap mampu memposisikan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan sosial
yang saling membutuhkan.
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan, terutama dinegara maju.
Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak, asma merupakan suatu keadaan di mana saluran nafas
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang meyebabkan peradangan. Data
menurut riskesdas (2007) di indonesia prevalensi penderita asma diperkirakan masih sangat tinggi. Epidemiologi
penyakit asma bronkial pada anak dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. Asma
adalah salah satu penyakit yang paling penting pada masa kanak-kanak karena menyebabkan morbiditas. Asma
merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel inflamasi kronis yang mengakibatkan
dilepaskannya macam-macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran nafas. Pencetus terjadinya
asma disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain allergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi
akut. Asma terjadi melalu 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh
antibody ige. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian
penderita ada yang merasa nyeri di dada. Klasifikasi berdasarkan penyebab ada 3 yaitu, ekstrinsik, intrinsik dan
gabungan dari keduanya. Faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor risiko yang berhubungan
dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi.
Pada referensi lain menyatakan berdasarkan faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan. Penelitian-penelitian tentang asma telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sensitivitas
dari alergi dengan perkembangan dari penyakit alergi, yang dinekal sebagai allergic march. Pencegahan primer
(prenatal) dari asma bronkial telah terjadi kepada ibu hamil yang mempunyai riwayat alergi pada dirinya,
keluarganya, anaknya sebelum, atau suaminya. Pencegahan sekunder adalah diagnosa dini sebelum terjadinya
asma. Pencegahan tersebut dilakukan dengan 3 cara, yaitu anamesis, pemeriksaan klinis dan penunjang.
Pencegahan tertier adalah pencegahan agar jangan sampai cacat dan rehabilitasi.
.
SARAN
Artikel ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk pembuatan makalah atau tugas sesuai dengan
materi tersebut. Penulis mengharapkan masukan dan krtik guna memperbaiki artikel. Cukup banayak avuan
mengenai asma bronkial pada anak, baik dari kumpulan jurnal di Indonesia maupun Internasional. Nmaun penulis
hanya menggunakan beberaap artikel sesuai dengan batasan cakupan materi.
11

DAFTAR PUSTAKA
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health, 2007.Bernstein JA. Asthma
in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy and asthma,
The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai:
Vicas Medical Publishers;2006.707-36.
Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological mechanisms in asthma and allergic
disease. Robinson DS (ed), S. Karger AG, Basel, Switzerland, 2000.62-71.
Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in European Journal of Allergy and
Chronic Urticaria.volume 63,646.
Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic diseases. In: Zweiman B, Schwartz
LB.editors.USA: Marcel Dekker; 2002.p.325-54.
Purnomo. (2008). Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak. 30-38.
Asher, M.I. et al. (1995). International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) : Reationally and
methods. Europan Respiratory Journal 8 : 483-48
Sundaru, Heru. (2005). Epidemiology of Asthma in Indonesia. Acta Med Indones-Indones J Intern Med 8(1) : 51
Irawan, Yogie dan P, Roro Rukmi Windi. (2012). Perbedaan Faktor Risiko terjadinya Asma Bronkial pada Pasien
dengan Asma Bronkial dan Pasien tanpa Asma Bronkial di Poli Anak Rawat Jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Lampung pada Oktober Desember 2011. Medical Journal of Lampung University 1(1) : 69-70
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1023 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
Iris Rengganis (2008) Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Dapat dilihat di
https://www.google.com/urlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CEMQFjAC&url=http
%3A%2F%2Findonesia.digitaljournals.org%2Findex.php%2Fidnmed%2Farticle%2Fdownload
%2F608%2F597&ei=ulFRUuyMCMKNrQeSoIGACw&usg=AFQjCNFE3IHMIU30QU5YeM9uWzI38a3qZg&s
ig2=kVijUgBCp1GBJ_YxxjR00w&bvm=bv.53537100,d.bmk [Diakses pada 6 Oktober 2013]
Purnomo (2008) Faktor Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak (Studi
Kasis di RS Kabupaten Kudus). Dapat dilihat di
https://www.google.com/urlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CEMQFjAC&url=http
%3A%2F%2Feprints.undip.ac.d
%2F18656%2F1%2FP_U_R_N_O_M_O.pdf&ei=nHZRUtepCY_krAeJ3YDwBw&usg=AFQjCNEIneWuCbezN
0IvQnaTPcdwnnRg&sig2=qsAKBmow_79seViqqKzJEg&bvm=bv.53537100,d.bmk [Diakses pada 6 Oktober
2013]
Kementrian RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1023 tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Dpat Dilihat di http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%201023-XI08%20pengendalian%20asma.pdf. [Diakses pada 6 Oktober 2013]

12

Vous aimerez peut-être aussi