Vous êtes sur la page 1sur 2

BAB IV

PEMBAHASAN
Seorang pasien, laki-laki, berusia 55 tahun datang dengan keluhan sulit menelan sejak tiga
bulan. Makanan yang ia makan terasa lama masuk ke dalam perut. Makanan padat dan cair
sulit masuk sehingga ia hanya meminum susu. Asupan nutrisi yang kurang menyebabkan ia
mengalami penurunan berat badan.
Akalasia berasal dari gangguan fungsi dari relaksasi sfingter bawah esofagus yang terganggu.
Pasien menunjukkan gejala yang semakin memburuk dalam proses masuknya makanan ke
lambung. Progresivitas penyakit ini disebabkan hilangnya neuron enterikal dari esofagus
yang memang terjadi bertahap namun dengan penyebab yang tidak jelas. Bukti yang
terkumpul adalah adanya respon autoimun ini yang dipicu oleh agen infeksi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan berat badan kurang, kelainan pada pemeriksaan per
organ tidak ditemukan. Pada pemeriksaan esofagoskopi, probe tidak dapat melewati
gastroesofageal junction dan tampak sisa makanan yang mengeras.
Pemeriksaan fisik pada pasien akalasia sangat jarang menemukan kelainan. Pasien dengan
akalasia cenderung lemah dan mengalami penurunan berat badan. Pemeriksaan penunjang
yang penting dilakukan pada akalasia adalah pemeriksaaan barium esofagografi, endoskopi
dan manometri esofagus. Pada pemeriksaan barium esofagografi akan menemukan gambaran
seperti paruh burung, gambaran esofagus yang menyempit dan esofagus sigmoid. Pada
endoskopi akan ditemukan sisa makanan yang mengeras pada sfingter esofagus bagian
bawah. Endoskopi digunakan untuk memastikan tidak ada keganasan sebagai penyebab
maupun komplikasi. Manometri esofagus merupakan gold standard dalam mendiagnosis
akalasia. Manometri bertujuan menilai fungsi motorik esofagus. Pada akalasia ditemukan
aperistalsis dan relaksasi LES yang inkomplit.
Diagnosis banding akalasia adalah keganasan primer atau metastasis yang menginvasi ke
gastroesofageal junction, gambaran yang diberikan mirip dengan akalasia sehingga disebut
pseudoakalasia. Hal ini bisa dibedakan dari hasil endoskopi yang dilakukan. Akalasia juga
harus dibedakan dengan kelainan motilitas lain seperti spasme esofagus difus dan
skleroderma dengan striktur peptikum. Diagnosis banding ini bisa disingkirkan dengan
menggunakan manometri esofagus.
Penatalaksanaan akalasia memiliki tiga tujuan utama yaitu mengurangi gejala pasien,
meningkatkan pengosongan esofagus dan mencegah terjadinya megaesofagus. Diet cair
menggunakan NGT diberikan untuk memberi asupan yang tidak didapat oleh pasien.
Medikamentosa yang bisa diberikan adalah penghambat kanal kalsium dan nitrat. Efek
samping obat ini adalah tekanan darah rendah, nyeri kepala dan edema tungkai. Pasien
memiliki tekanan darah 100/60 mmHg sehingga medikamentosa sementara tidak diberikan.
Obat-obatan ini juga bersifat short-acting, sehingga tingkat kekambuhan sangat tinggi.
Penatalaksanaan yang mungkin dilakukan adalah dilatasi pneumatis dan miotomi Heller.
Dilatasi pneumatis merupakan penatalaksanaan akalasia non-bedah yang paling efektif.

Tingkat kekambuhan yang tinggi menyebabkan dilatasi pneumatis tidak menjadi pilihan
utama dalam penatalaksanaan akalasia. Penatalaksanaan akalasia yang paling disarankan
adalah miotomi Heller. Tingkat kesuksesan antara dilatasi pneumatis dan miotomi Heller
tidak jauh berbeda, 96% dan 98%. Tingkat kekambuhan antara dilatasi penumatis dan
miotomi Heller cukup berbeda yaitu 96% dan 64 %. Hal ini yang menjadi alasan miotomi
Heller menjadi pilihan utama dalam terapi jangka panjang. Terapi dilatasi pneumatis ataupun
miotomi Heller bisa diulang bila diperlukan.
Prognosis pasien ini untuk ad vitam adalah ad bonam karena dengan penatalaksanaan yang
tepat pasien tidak terancam jiwanya. Secara fungsi dubia ad bonam karena fungsi dari
esofagus pada pasien ini tidak bisa kembali seperti semula walaupun bisa dilakukan operasi
berulang-ulang. Tingkat kekambuhan juga ad malam karena penatalaksanaan tidak
menghilangkan penyebab dari akalasia itu sendiri.

Vous aimerez peut-être aussi