Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
A. Pengertian
Diarrhea berasal dari bahasa Greek, yaitu Dia berarti melalui dan rhien berarti mengalir,
istilah diarrhea digunakan untuk menyatakan buang kotoran yang frekuensi dan jumlah
cairannya abnormal. Untuk pengertian diare sendiri adalah penyakit yang ditandai
bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3kali/hari) disertai perubahan
konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007).
Menurut Depkes RI (2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair
dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali
atau lebih dalam sehari). Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu
diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).
Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih
dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak)
peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik
balita, anak-anak, dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian
yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).
10
B. Klasifikasi
Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan
penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi pada mukosa.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
4. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan
diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam,
gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare
tersebut.
11
C. Etiologi
Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi
(gangguan penyerapan zat gizi), makanan, dan faktor psikologis.
Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang, antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik,
seperti pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri)
3) Infeksi virus rotavirus
4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides)
5) Infeksi jamur (Candida albicans)
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan, dan
7) Keracunan makanan.
Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi 2, yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorpsi karbohidrat, biasanya pada bayi memiliki kepekaan terhadap
lactoglobulis dalam susu formula sehingga dapat menyebabkan diare. Gejalanya
berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut.
Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang
disebut triglyserida. Triglyserida dengan bantuan kelenjar lipase mengubah
12
lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan
terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap
dengan baik.
Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, mentah (seperti sayuran), dan kurang matang.
Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anakanak dan balita.
Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar.
D. Gejala
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita, yaitu:
1) Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi
2) Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
3) Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
4)
5)
6)
7)
8)
13
Anusnya lecet
Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang
Muntah sebelum atau sesudah diare
Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
Dehidrasi
sumber pencemaran sama atau lebih rendah dari sumur gali maka jarak
minimal sumur gali tersebut adalah 9 meter, yang termasuk sumber
pencemaran adalah: jamban, air kotor atau comberan, tempat pembuangan
sampah, kandang ternak, dan sumur saluran resapan.
2) Lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau bocor
mudah dibersihkan, dan tidak tergenang air (kemiringan 1-5%).
3) Saluran pembuangan air limbah harus kedap air, tidak menimbulkan
genangan, dan kemiringan minimal 2%.
4) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai terbuat dari bahan yang kuat
dan rapat air.
5) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah, dibuat dari
bahan kedap air dan kuat.
25
6) Jika pengambilan air dengan timba harus ada timba khusus. Untuk mencegah
pencemaran, timba harus selalu digantung dan tidak boleh diletakkan di
lantai.
Sumur Pompa Tangan (SPT)
Sumur pompa tangan terdiri dari sumur pompa tangan dangkal, sedang,
dan dalam. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:
1. Jarak SPT minimal 11 meter dari sumber pencemar, seperti jamban, air
kotor/comberan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan lain-lain.
2. Lantai harus kedap air, minimal 1 meter dari sumur, tidak retak/bocor, mudah
dibersihkan, dan tidak tergenang air dengan kemiringan antara 1% sampai
5%.
3. Saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus kedap air, tidak menimbulkan
genangan. Panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11 meter dengan
kemiringan minimal 2%.
4. Pipa penghisap dilindungi dengan casing atau coran rapat air sekurangkurangnya 3 meter dari permukaan tanah.
5. Ujung pipa bawah saringan dipasang dop, bagian luar saringan diberi kerikil
sebesar biji jagung yang berukuran kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian
pompa, klep, dan karet penghisap harus bekerja dengan baik agar tidak
memerlukan air pancingan, serta dudukan pompa harus kuat, rapat air, dan
tidak retak.
Perpipaan
Adapun syarat perpipaan yang baik adalah sebagai berikut:
26
1) Sumber air baku harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan.
2) Pipa yang baik harus tidak melarut dalam air atau tidak mengandung bahan
kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan angka kebocoran pipa tidak
lebih dari 5%. Pemasangan pipa tidak boleh terendam dalam air kotor atau air
sungai. Bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh
sumber pencemar serta pengambilan air melalui sarana perpipaan harus
melalui kran.
Sedangkan untuk kran umum, lantai mudah dibersihkan dan harus kedap
air, luas lantai minimal 1m
2
, tidak tergenang air, dan kemiringan lantai 1-5%.
Tinggi kran minimal 50-70 cm dari lantai. Kran umum dilengkapi dengan
saluran pembuangan air limbah (SPAL) rapat air, kemiringan minimal 2%, air
buangan disalurkan ke sumur/saluran resapan atau saluran sumur lainnya.
Menurut Mann, H.T (1993), bahan pipa yang biasa digunakan untuk
pendistribusian air adalah:
a. Pipa Baja
Sekarang ini banyak terdapat pipa baja, baik pipa baja hitam maupun yang
disepuh dengan diameternya berkisar antara 10 sampai 150 mm (1/2 sampai
6 inchi). Pipa yang disepuh kualitasnya lebih baik, karena tahan terhadap
karat.
b. Pipa Besi
Terdapat pipa besi berukuran antara 75 sampai dengan 150 mm (3 sampai 6
inchi), tetapi pipa besi ini lebih tahan karat dibandingkan dengan baja.
c. Pipa Asbes
27
Pipa ini mempunyai ukuran yang hampir sama dengan pipa besi, tetapi pipa
asbes lebih tahan karat dibandingkan dengan pipa besi.
d. Pipa PVC
Biasanya berdiameter antara 50 sampai 150 mm (2 sampai 6 inchi) atau
lebih. Pipa ini ringan dan tahan karat.
e. Pipa Polythene
Biasanya berdiameter antara 10 sampai 75 mm (1/2 sampai 3 inchi),
merupakan pipa yang paling baik digunakan untuk pipa bor. Mempunyai
beberapa keunggulan, yaitu murah, ringan, dan jarang terjadi kebocoran.
Kelemahannya adalah tidak tahan terhadap gigitan tikus.
Penampungan Air Hujan (PAH)
Persyaratan sarana air bersih berupa penampungan air hujan adalah
sebagai berikut:
a. Talang air yang masuk ke bak PAH harus dapat diatur posisinya agar air
hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke dalam bak.
b. Tinggi bak saringan minimal 40 cm, terbuat dari bahan yang kuat dan rapat
nyamuk, susunan saringan terdiri dari pasir dan ijuk.
c. Pipa peluap (over flow) harus dipasang kawat kassa rapat nyamuk.
d. Tinggi kran dari lantai 50-60 cm, lantai bak pengambilan berfungsi sebagai
resapan dengan susunan batu, pasir setebal minimal 0,6 dari lantai (volume
0,6 x 0,6 x 0,6 m
3
).
e. Kemiringan lantai bak PAH mengarah ke pipa penguras dan mudah
dibersihkan (tidak terdapat sudut mati).
28
f. Untuk meningkatkan mineral, air hujan dialirkan pada saringan pasir, dan
untuk meningkatkan pH ditambahkan kapur.
Hasil penelitian Septian Bumulo (2012) menunjukkan bahwa responden yang
sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak
79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak
memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan minum, responden
terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar responden
selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah tertutup
sehinga sedikit kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab
kejadian diare.
Di samping itu diperoleh sebanyak 32 responden (29,4%) yang sarana
penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan diare. Hal ini
dikarenakan sebagian responden masih ada yang menampung air untuk keperluan
minum dan memasak dalam wadah terbuka dan masih banyak pula yang jarak
jamban keluarga dengan sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar
kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian diare.
b) Perilaku Ibu
Perilaku merupakan cerminan dari sikap, hasil distribusi frekuensi sikap yang
baik atau positif, sikap yang positif maka perilaku yang dilaksanakan kearah positif
atau baik.
Menurut teori Green et al (1999) dalam Notoatmodjo (2003), kesehatan
individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan
29
faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga
faktor; yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup pengetahuan, sikap,
keyakinan, nilai, dan persepsi seseorang atau kelompok untuk bertindak; lalu faktor
pemungkin (enabling factor) yaitu berbagai keterampilan dan sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan perilaku kesehatan; dan faktor perilaku yang terakhir
adalah faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor yang menentukan tindakan
kesehatan memperoleh dukungan atau tidak.
Menurut Becker (1979) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku
kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan
untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan
sebagainya.
Menurut Depkes RI (2005), perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut:
1. Memasak Air
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan
yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Kep.Men.Kes RI
No. 907/Menkes/SK/VII/2002). Air untuk minum harus diolah terlebih dahulu
dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar
pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit
Jamban jenis ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh
sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus
ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air
ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di
ruangan rumah kakus.
Jamban bor (Bored hole latrine)
32
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena
untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah
permukaan (meluap).
Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di
tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat
tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,
tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat
pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.
Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie.
Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit
sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang
berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah, pemberantasan lalat,
dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.
Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali,
rawa dan sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit
penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air
yang dapat menimbulkan wabah
Chemical toilet (Chemical closet)
33
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi kaustik soda sehingga
dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan
umum, misalnya pesawat udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam
rumah sebagai pembersih tidak dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet
paper).
Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2004), jenis tempat pembuangan tinja
yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa
(68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak
memiliki jamban. Lalu Wibowo (dalam Wulandari 2009:19) menjelaskan bahwa
tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya
yang memenuhi syarat sanitasi.
Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Zubir (2006) tentang
faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di
Kabupaten Bantul, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat
pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05,
(OR) = 1,24.
3. Kebiasaan Cuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
34
menyuapi makan anak, dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian
diare (Depkes, 2005).
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Riki N.P (2013) yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi
anak makan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p.value = 0,015.
Hasil penelitian Anup K.C. (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan
antara mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan
(menyiapkan makanan, pada saat makan, menyuapi anak, selesai bekerja, dan
selesai memandikan anak) dimana hanya 2% anak-anak ditemukan terinfeksi
diare yang orang tuanya mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah
melakukan kegiatan sedangkan 26 (20,5%) anak-anak ditemukan terinfeksi diare
karena orang tuanya tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah
melakukan kegiatan.
4. Pemberian ASI Eksklusif
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012, ASI (Air Susu Ibu)
eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain.
Menurut Depkes (2005), ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.
ASI Eksklusif harus diberikan secara penuh selama 4 sampai 6 bulan. Pada bayi
yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi
yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
35
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu formula.
Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Karki T, dkk (2010) bahwa
balita yang mengkonsumsi susu formula selama 6 bulan di awal kelahiran
memiliki 26,32% terkena diare dengan resiko terkena diare 1,95 kali
dibandingkan dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif.
5. Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak