Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
A. Pengertian
Diarrhea berasal dari bahasa Greek, yaitu Dia berarti melalui dan rhien berarti mengalir,
istilah diarrhea digunakan untuk menyatakan buang kotoran yang frekuensi dan jumlah
cairannya abnormal. Untuk pengertian diare sendiri adalah penyakit yang ditandai
bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3kali/hari) disertai perubahan
konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007).
Menurut Depkes RI (2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair
dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali
atau lebih dalam sehari). Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu
diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).
Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih
dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak)
peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik
balita, anak-anak, dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian
yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).
10
B. Klasifikasi
Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan
penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi pada mukosa.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
4. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan
diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam,
gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare
tersebut.

11
C. Etiologi
Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi
(gangguan penyerapan zat gizi), makanan, dan faktor psikologis.
Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang, antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik,
seperti pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri)
3) Infeksi virus rotavirus
4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides)
5) Infeksi jamur (Candida albicans)
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan, dan
7) Keracunan makanan.
Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi 2, yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorpsi karbohidrat, biasanya pada bayi memiliki kepekaan terhadap
lactoglobulis dalam susu formula sehingga dapat menyebabkan diare. Gejalanya
berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut.
Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang
disebut triglyserida. Triglyserida dengan bantuan kelenjar lipase mengubah
12
lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan
terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap
dengan baik.
Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, mentah (seperti sayuran), dan kurang matang.
Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anakanak dan balita.
Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar.
D. Gejala
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita, yaitu:
1) Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi
2) Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
3) Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu

4)
5)
6)
7)
8)
13

Anusnya lecet
Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang
Muntah sebelum atau sesudah diare
Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
Dehidrasi

Dehidarsi dibagi menjadi 3 macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang


dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika
cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat,
volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah,
tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun, dan penderita sangat
pucat.
E. Epidemiologi
Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
1) Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal
oral, antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau
kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya
diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4 atau 6 bulan pada
pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada
suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan
dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau
sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
2) Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare. Beberapa faktor
pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare,
yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak,
immunodefisiensi, dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada
golongan balita.
14
3) Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit
yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan
minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.
F. Distribusi
Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80% kematian
diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data tahun 2004
menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11 bulan dan 450 juta anak
usia 1-4 tahun yang tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita
sekitar 1,4 milyar kali per tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi
usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anakusia 1-4 tahun sekitar 925 juta

kali per tahun (Amiruddin, 2007).


G. Penularan
Penularan penyakit diare disebabkan oleh infeksi dari agen penyebab dimana
akan terjadi bila memakan makanan/air minum yang terkontaminasi tinja/muntahan
penderita diare. Akan tetapi, penularan penyakit diare adalah kontak dengan tinja
yang terinfeksi secara langsung, seperti:
Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau terkontaminasi oleh tangan yang kotor.
15
Bermain dengan mainan yang terkontaminasi, apalagi pada bayi sering
memasukan tangan/mainan apapun ke dalam mulut. Hal ini dikarenakan virus ini
dapat bertahan di permukaan udara sampai beberapa hari.
Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan
benar.
Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.
Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan
dan alat-alat yang dipegang. Seperti gambar yang ada di bawah ini:
Gambar 2.1 Proses Penularan Penyakit Diare I
(WHO, 2006)
16
Gambar 2.2 Proses Penularan Penyakit Diare II
(WHO, 2006)
H. Penanggulangan
Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare, antara lain:
1) Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini)
Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah penderita
dan kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan dengan melakukan
pengumpulan data secara harian pada daerah fokus dan daerah sekitarnya yang
diperkirakan mempunyai risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangkan
pelaksanaan SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance epidemiologi
yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB (Kejadian Luar
Biasa) diare.
2) Penemuan kasus secara aktif
Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena diare pada
saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di masyarakat.
3) Pembentukan pusat rehidrasi
17
Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan
pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau
rumah sakit.

4) Penyediaan logistik saat KLB


Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya
KLB diare.
5) Penyelidikan terjadinya KLB
Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan
intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor risiko.
6) Pemutusan rantai penularan penyebab KLB
Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB diare meliputi
peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.
I. Pencegahan
Diare termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting
disease). Meskipun demikian, jangan remehkan diare karena dapat mengancam jiwa.
Dua pembunuh terbesar anak-anak balita adalah diare dan radang paru-paru. Diare
umumnya ditularkan melalui 4F, yaitu Food, Feces, Fly, dan Finger. Oleh karena
itu, upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan
tersebut. Beberapa upaya pencegahan yang mudah diterapkan adalah:
1) Penyiapan makanan yang higienis dan air minum yang bersih
Penyebab utama diare pada manusia adalah bakteri yang mengkontaminasi
makanan dan minuman, sehingga mencegah diare adalah dengan memperhatikan
18
kebersihan makanan dan minuman. Jadi pilihlah makanan yang tetap dalam
keadaan baik dan meminum air yang bersih dan matang.
2) Kesadaran pada perorangan akan pentingnya kebersihan
Berkembangnya perilaku pencegahan ini sangat tergantung pada kondisi pribadi
masing-masing individu, termasuk persepsi individu bersangkutan dalam
memandang diare. Dengan kata lain, jika seseorang mempersepsikan diare
adalah penyakit yang membahayakan maka yang bersangkutan dapat
diproyeksikan akan semakin berusaha keras untuk melakukan pencegahan agar
tidak terserang diare. Sebab, upaya pencegahan penyakit ini bersumber pada
seluruh aktivitas manusia yang berkaitan dengan upaya preventif.
3) Biasakan cuci tangan
Ada cara yang mudah untuk mencegah terkena diare, yaitu mencuci tangan
dengan sabun. Kebiasaan sederhana mencuci tangan dengan sabun, jika
diterapkan secara luas akan menyelamatkan lebih dari satu juta orang di seluruh
dunia, khususnya balita.
4) Pemberian ASI eksklusif
Tak kalah penting adalah pemberian ASI minimal 6 bulan. Sebab, di dalam ASI
terdapat antirotavirus, yaitu imunoglobulin. Makanya, anak-anak yang minum
ASI eksklusif jarang menderita diare. Selain ASI, imunisasi campak ternyata bisa
mencegah diare.
5) Buang air besar pada tempatnya (WC atau toilet)
Apabila penderita diare buang air besar tidak pada tempatnya atau di sembarang
tempat, maka kuman-kuman diare akan masuk ke dalam tubuh orang yang
19

kebetulan lewat dan menghirup udara sekitarnya ataupun membuang kotoran di


jamban-jamban di tepi sungai, dimana orang sekitarnya akan menggunakan air
tersebut untuk keperluan rumah tangganya.
6) Tempat buang sampah yang memadai
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal
dari rumah tangga atau hasil proses industri. Sampah-sampah itu dapat
menularkan berbagai penyakit, jika tempatnya tidak diatur dengan baik.
7) Berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan
Makanan hendaknya ditutup agar serangga seperti lalat, kecoa atau vektor
pembawa penyakit lainnya tidak hinggap di makanan kita.
8) Lingkungan hidup yang sehat
Pemukiman kumuh merupakan kawasan yang menjadi tempat berkembangnya
diare. Padahal di perkotaan seperti Jakarta, kawasan kumuh terus berkembang,
karena semakin mahal dan terbatasnya lahan yang tersedia untuk pemukiman.
Kerapatan, bangunannya sangat tinggi (walaupun bangunannya permanen), tidak
teratur, kondisi ventilasinya buruk, dan sanitasi lingkungan tidak terlalu baik
merupakan ciri pemukiman kumuh. Lingkungan yang buruk disertai rendahnya
tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku sehat menjadikan kawasan
kumuh sebagai kawasan yang rawan akan penyebaran penyakit. Lingkungan
yang buruk menjadi penyebab berkembangbiaknya berbagai virus penyakit
menular. Karena itu, berbagai infeksi penyakit sering terjadi pada para penghuni
kawasan kumuh.
9) Mencuci botol susu anak hingga bersih
20
Pada anak dan bayi yang menggunakan susu botol, diare dapat disebabkan
karena botol susu yang kurang bersih dan mengandung bakteri yang
menyebabkan sakit perut dan diare atau karena air susu yang sudah tidak layak
lagi dikonsumsi (basi) diberikan oleh ibu atau pengasuh yang kurang teliti.
Maka, hendaklah berhati-hati dalam memberikan makanan kepada bayi dan anak
balita, karena pada bayi dan anak balita keadaan fisiknya belum begitu kuat
untuk mempertahankan keadaan penyakit, sehingga mereka masih sangat rentan
terhadap berbagai penyakit.
J. Pemberantasan Penyakit Diare (P2D)
Ada 3 tahapan dalam program pemberantasan penyakit diare pada anak, yaitu
perencanaan dan penyusunan target, tatalaksana penderita diare dan pencegahan
diare.
1. Perencanaan adalah tersusunnya rencana kegiatan program pemberantasan
penyakit diare secara kuantitatif di wilayah kerja, yang meliputi target kebutuhan
logistik rutin dan saat Kejadian Luar Biasa (KLB).
2. Target adalah sesuatu yang ditetapkan sebelumnya dalam bentuk kuantitatif.
Hendaknya diperhitungkan secara rasional sehingga dapat dikerjakan dan dicapai
dalam waktu yang sudah direncanakan.
3. Tatalaksana penderita diare.

Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah


Tuntaskan Diare) yang terdiri dari:
a. Oralit dengan osmolaritas rendah
21
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
dengan memberikan oralit. Bila tidak bersedia, berikan minuman lebih
banyak cairan rumah tangga yang mempunyai osmolaritas rendah yang
dianjurkan, seperti air tajin, kuah sayur, dan air matang.
Macam-macam cairan yang digunakan bergantung pada kebiasaan
setempat dalam mengobati diare, tersedianya cairan sari makanan yang
cocok, dan jangkauan pelayanan kesehatan. Bila terjadi dehidrasi (terutama
pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat dengan oralit.
b. Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Lebih dari 300 macam enzim dalam tubuh memerlukan zinc sebagai
kofaktornya, termasuk enzim superoksida dismutase. Enzim ini berfungsi
untuk metabolisme radikal bebas superoksida sehingga kadar radikal bebas
ini dalam tubuh berkurang. Pada proses inflamasi, kadar radikal bebas
superoksida meningkat, sehingga dapat merusak berbagai jenis jaringan,
termasuk jaringan epitel dalam usus (Cousins et al, 2006).
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume
tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya
(Black, 2003).
Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis untuk anak berumur
kurang dari 6 bulan diberikan 10 mg (1/2 tablet zinc per hari), sedangkan
22
untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberikan 20 mg (1 tablet) zinc per
hari. Pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari walaupun sudah membaik.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian diare selanjutnya selama 3
bulan ke depan. Cara pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet
dalam 1 sendok makan air matang ataupun ASI.
c. Pemberian ASI/makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita, terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh, serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus
lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih
sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna
sedikit demi sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan
ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan
anak.
d. Pemberian antibiotik hanya atas indikasi

Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kejadian diare


yang memerlukan antibiotik kurang lebih 8,4%. Antibiotik hanya bermanfaat
pada anak dengan diare berdarah (sebagian besar karena shigellosis), suspek
kolera, dan infeksi-infeksi di luar saluran pencernaan yang berat, seperti
pneumonia. Walaupun demikian pemberian antibiotik yang irasional masih
banyak ditemukan.
23
e. Pemberian nasihat
Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasihat tentang:
Cara memberikan cairan dan obat di rumah.
Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan, seperti diare
lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit,
timbul demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam 3 hari.
Tujuan tercapainya tata laksana penderita diare yang tepat dan efektif adalah
mencegah terjadinya dehidrasi, mengobati dehidrasi, memberi makanan/minuman,
mengobati masalah lain.
2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita adalah
sebagai berikut:
a) Sarana Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari akan menjadi
air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air
yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun persyaratan
yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik,
kimia, biologi, dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek
samping (Kep.Men.Kes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990).
Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang
menyediakan dan mendistribusikan air tersebut kepada masyarakat. Sarana air bersih
harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak mengalami pencemaran sehingga
24
dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan standar kesehatan. Ada berbagai
jenis sarana air bersih yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, seperti sumur gali (SGL), sumur pompa tangan (SPT), perpipaan, dan
penampungan air hujan (PAH). (Depkes RI, 1977 dalam Marjuki, 2008)
Sumur Gali (SGL)
Pengertian dari sumur gali adalah salah satu jenis sarana penyediaan air
bersih yang dibuat dengan cara menggali tanah sampai pada kedalaman tertentu
sampai keluar mata airnya. Pernyataan teknis sumur gali dari segi kesehatan
(Depkes RI Dirjen PPM & PLP, 1995) adalah:
1) Apabila letak sumber pencemaran lebih tinggi dari sumur gali, maka jarak
minimal sumur gali terhadap sumber pencemaran adalah 11 meter, jika letak

sumber pencemaran sama atau lebih rendah dari sumur gali maka jarak
minimal sumur gali tersebut adalah 9 meter, yang termasuk sumber
pencemaran adalah: jamban, air kotor atau comberan, tempat pembuangan
sampah, kandang ternak, dan sumur saluran resapan.
2) Lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau bocor
mudah dibersihkan, dan tidak tergenang air (kemiringan 1-5%).
3) Saluran pembuangan air limbah harus kedap air, tidak menimbulkan
genangan, dan kemiringan minimal 2%.
4) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai terbuat dari bahan yang kuat
dan rapat air.
5) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah, dibuat dari
bahan kedap air dan kuat.
25
6) Jika pengambilan air dengan timba harus ada timba khusus. Untuk mencegah
pencemaran, timba harus selalu digantung dan tidak boleh diletakkan di
lantai.
Sumur Pompa Tangan (SPT)
Sumur pompa tangan terdiri dari sumur pompa tangan dangkal, sedang,
dan dalam. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:
1. Jarak SPT minimal 11 meter dari sumber pencemar, seperti jamban, air
kotor/comberan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan lain-lain.
2. Lantai harus kedap air, minimal 1 meter dari sumur, tidak retak/bocor, mudah
dibersihkan, dan tidak tergenang air dengan kemiringan antara 1% sampai
5%.
3. Saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus kedap air, tidak menimbulkan
genangan. Panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11 meter dengan
kemiringan minimal 2%.
4. Pipa penghisap dilindungi dengan casing atau coran rapat air sekurangkurangnya 3 meter dari permukaan tanah.
5. Ujung pipa bawah saringan dipasang dop, bagian luar saringan diberi kerikil
sebesar biji jagung yang berukuran kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian
pompa, klep, dan karet penghisap harus bekerja dengan baik agar tidak
memerlukan air pancingan, serta dudukan pompa harus kuat, rapat air, dan
tidak retak.
Perpipaan
Adapun syarat perpipaan yang baik adalah sebagai berikut:
26
1) Sumber air baku harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan.
2) Pipa yang baik harus tidak melarut dalam air atau tidak mengandung bahan
kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan angka kebocoran pipa tidak
lebih dari 5%. Pemasangan pipa tidak boleh terendam dalam air kotor atau air
sungai. Bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh
sumber pencemar serta pengambilan air melalui sarana perpipaan harus
melalui kran.

Sedangkan untuk kran umum, lantai mudah dibersihkan dan harus kedap
air, luas lantai minimal 1m
2
, tidak tergenang air, dan kemiringan lantai 1-5%.
Tinggi kran minimal 50-70 cm dari lantai. Kran umum dilengkapi dengan
saluran pembuangan air limbah (SPAL) rapat air, kemiringan minimal 2%, air
buangan disalurkan ke sumur/saluran resapan atau saluran sumur lainnya.
Menurut Mann, H.T (1993), bahan pipa yang biasa digunakan untuk
pendistribusian air adalah:
a. Pipa Baja
Sekarang ini banyak terdapat pipa baja, baik pipa baja hitam maupun yang
disepuh dengan diameternya berkisar antara 10 sampai 150 mm (1/2 sampai
6 inchi). Pipa yang disepuh kualitasnya lebih baik, karena tahan terhadap
karat.
b. Pipa Besi
Terdapat pipa besi berukuran antara 75 sampai dengan 150 mm (3 sampai 6
inchi), tetapi pipa besi ini lebih tahan karat dibandingkan dengan baja.
c. Pipa Asbes
27
Pipa ini mempunyai ukuran yang hampir sama dengan pipa besi, tetapi pipa
asbes lebih tahan karat dibandingkan dengan pipa besi.
d. Pipa PVC
Biasanya berdiameter antara 50 sampai 150 mm (2 sampai 6 inchi) atau
lebih. Pipa ini ringan dan tahan karat.
e. Pipa Polythene
Biasanya berdiameter antara 10 sampai 75 mm (1/2 sampai 3 inchi),
merupakan pipa yang paling baik digunakan untuk pipa bor. Mempunyai
beberapa keunggulan, yaitu murah, ringan, dan jarang terjadi kebocoran.
Kelemahannya adalah tidak tahan terhadap gigitan tikus.
Penampungan Air Hujan (PAH)
Persyaratan sarana air bersih berupa penampungan air hujan adalah
sebagai berikut:
a. Talang air yang masuk ke bak PAH harus dapat diatur posisinya agar air
hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke dalam bak.
b. Tinggi bak saringan minimal 40 cm, terbuat dari bahan yang kuat dan rapat
nyamuk, susunan saringan terdiri dari pasir dan ijuk.
c. Pipa peluap (over flow) harus dipasang kawat kassa rapat nyamuk.
d. Tinggi kran dari lantai 50-60 cm, lantai bak pengambilan berfungsi sebagai
resapan dengan susunan batu, pasir setebal minimal 0,6 dari lantai (volume
0,6 x 0,6 x 0,6 m
3
).
e. Kemiringan lantai bak PAH mengarah ke pipa penguras dan mudah
dibersihkan (tidak terdapat sudut mati).
28

f. Untuk meningkatkan mineral, air hujan dialirkan pada saringan pasir, dan
untuk meningkatkan pH ditambahkan kapur.
Hasil penelitian Septian Bumulo (2012) menunjukkan bahwa responden yang
sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak
79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak
memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan minum, responden
terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar responden
selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah tertutup
sehinga sedikit kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab
kejadian diare.
Di samping itu diperoleh sebanyak 32 responden (29,4%) yang sarana
penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan diare. Hal ini
dikarenakan sebagian responden masih ada yang menampung air untuk keperluan
minum dan memasak dalam wadah terbuka dan masih banyak pula yang jarak
jamban keluarga dengan sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar
kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian diare.
b) Perilaku Ibu
Perilaku merupakan cerminan dari sikap, hasil distribusi frekuensi sikap yang
baik atau positif, sikap yang positif maka perilaku yang dilaksanakan kearah positif
atau baik.
Menurut teori Green et al (1999) dalam Notoatmodjo (2003), kesehatan
individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan
29
faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga
faktor; yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup pengetahuan, sikap,
keyakinan, nilai, dan persepsi seseorang atau kelompok untuk bertindak; lalu faktor
pemungkin (enabling factor) yaitu berbagai keterampilan dan sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan perilaku kesehatan; dan faktor perilaku yang terakhir
adalah faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor yang menentukan tindakan
kesehatan memperoleh dukungan atau tidak.
Menurut Becker (1979) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku
kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan
untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan
sebagainya.
Menurut Depkes RI (2005), perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut:
1. Memasak Air
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan
yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Kep.Men.Kes RI
No. 907/Menkes/SK/VII/2002). Air untuk minum harus diolah terlebih dahulu
dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar
pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit

(Dirjend P2PL, 2008).


Salah satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan
sering digunakan adalah dengan cara memasak. Memasak merupakan proses
30
mematikan mikroorganisme (virus, bakteri, spora bakteri, jamur protozoa)
penyebab penyakit dengan cara pemanasan (Depkes RI, 2008).
2. Penggunaan Jamban
Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penularan risiko
terhadap penyakit diare. Jamban adalah tempat pembuangan kotoran manusia
adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus
dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo
(2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut
Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya
Tidak mengotori air tanah di sekitarnya
Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatangbinatang lainnya
Tidak menimbulkan bau
Mudah digunakan dan dipelihara
Sederhana desainnya
Murah
Dapat diterima oleh pemakainya
Tempat pembuangan tinja adalah sarana yang digunakan untuk buang air
besar dan tempat pembuangan akhir tinja yang digunakan keluarga sehari-hari
31
(MDGs, 2010). Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat
pembuangan tinja, yaitu:
Pit-privy (Cubluk/Jamban Cemplung)
Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan
diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu
atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama
pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila permukaan penampungan tinja sudah
mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah
penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan.
Isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat dipergunakan
kembali.
Jamban air (Water latrine)
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai
tempat pembuangan tinja. Proses pembusukkannya sama seperti pembusukan
tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan baik, perlu
pemasukan air setiap hari, baik sedang dipergunakan atau tidak.
Jamban leher angsa (Angsa latrine)

Jamban jenis ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh
sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus
ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air
ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di
ruangan rumah kakus.
Jamban bor (Bored hole latrine)
32
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena
untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah
permukaan (meluap).
Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di
tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat
tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,
tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat
pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.
Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie.
Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit
sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang
berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah, pemberantasan lalat,
dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.
Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali,
rawa dan sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit
penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air
yang dapat menimbulkan wabah
Chemical toilet (Chemical closet)
33
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi kaustik soda sehingga
dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan
umum, misalnya pesawat udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam
rumah sebagai pembersih tidak dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet
paper).
Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2004), jenis tempat pembuangan tinja
yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa
(68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak
memiliki jamban. Lalu Wibowo (dalam Wulandari 2009:19) menjelaskan bahwa
tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya
yang memenuhi syarat sanitasi.
Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Zubir (2006) tentang

faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di
Kabupaten Bantul, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat
pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05,
(OR) = 1,24.
3. Kebiasaan Cuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
34
menyuapi makan anak, dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian
diare (Depkes, 2005).
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Riki N.P (2013) yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi
anak makan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p.value = 0,015.
Hasil penelitian Anup K.C. (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan
antara mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan
(menyiapkan makanan, pada saat makan, menyuapi anak, selesai bekerja, dan
selesai memandikan anak) dimana hanya 2% anak-anak ditemukan terinfeksi
diare yang orang tuanya mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah
melakukan kegiatan sedangkan 26 (20,5%) anak-anak ditemukan terinfeksi diare
karena orang tuanya tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah
melakukan kegiatan.
4. Pemberian ASI Eksklusif
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012, ASI (Air Susu Ibu)
eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain.
Menurut Depkes (2005), ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.
ASI Eksklusif harus diberikan secara penuh selama 4 sampai 6 bulan. Pada bayi
yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi
yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
35
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu formula.
Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Karki T, dkk (2010) bahwa
balita yang mengkonsumsi susu formula selama 6 bulan di awal kelahiran
memiliki 26,32% terkena diare dengan resiko terkena diare 1,95 kali
dibandingkan dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif.
5. Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak

imunisasi campak setelah berumur 9 bulan. Imunisasi campak adalah suatu


keadaan tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin
campak dalam tubuh bayi usia antara 9 sampai 11 bulan dan pada usia 6 sampai
7 tahun.
Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang
menderita campak, hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh
penderita (Depkes, 2005).
Hal penelitian Olyfta A. (2010) menyebutkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara imunisasi campak dengan kejadian diare pada balita yang tidak
mendapatkan imunisasi campak akan beresiko 5,4 kali terkena diare daripada
balita yang mendapatkan imunisasi campak.
36
6. Penggunaan Botol Susu
Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kuman, karena botol
susu susah dibersihkan. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya
menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi
buruk. (Depkes, 2005)
Hasil penelitian Wibowo, dkk (2004) menyebutan bahwa adanya hubungan
yang signifikan antara proses pencucian botol susu dengan kejadian diare pada
balita yang mengkonsumsi susu formula. Hal ini dikarenakan dari hasil
pengamatan selama satu bulan, proses pencucian botol susu yang dilakukan oleh
para ibu hanya sebesar 43% yang memenuhi syarat, sedangkan sisanya masih
kurang benar.

Vous aimerez peut-être aussi