Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Pada Pembedahan Ortopedi
Pembedahan ortopedi merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi para
anestesiologis. Pasien dapat datang dengan beragam komorbiditas dan dan dalam
kelompok usia yang sangat bervariasi, mulai dari neonatus dengan deformitas
tungkai kongenital, remaja dengan cidera karena olahraga, hingga orang dewasa
dengan eksisi soft tissue mass sampai arthroplasty.1,2 Pemeriksaan yang dilakukan
juga harus bersifat holistik karena mungkin saja terdapat penyakit jaringan ikat
kronis yang dapat mempengaruhi perencanaan anestesi.2
Komplikasi yang terjadi pun dapat beragam. Pasien dengan fraktur tulang
panjang dapat mengalami sindrom emboli lemak. Pasien yang menjalani operasi
pelvis, panggul, dan lutut mengalami peningkatan risiko terjadinya venous
thromboembolism.
Penggunaan
bone
cement
pada
arthroplasty
dapat
Fraktur panggul sering terjadi pada pasien usia lanjut (1 dari 50 pada usia
lebih dari 50 tahun) dengan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Tingginya
komplikasi perioperatif dihubungkan dengan banyak faktor, termasuk kondisi
jantung, paru, DVT dan delirium. Delirium dan rasa pusing post op adalah hal
yang umum terjadi, dilaporkan pada 50% pasien usia lanjut setelah pembedahan,
dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas.1,2
Pertimbangan Preoperatif
Sebagian besar pasien yang menjalani operasi ini adalah pasien dengan
kondisi lemah dan usia lanjut. Namun, kadangkala terdapat juga pasien pada usia
muda dengan trauma mayor pada tulang femur atau pelvis. Beberapa penelitian
melaporkan angka mortalitas fraktur panggul 10% selama awal perawatan dan
lebih 25% dalam 1 tahun. Banyak dari pasien ini mempunyai penyakit penyerta
seperti penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler,penyakit paru obstruktif
kronis atau diabetes.1
Pasien dengan fraktur panggul seringkali mengalami dehidrasi karena
intake oral yang tidak adekuat. Tergantung pada lokasi fraktur panggul,
perdarahan terselubung dapat terjadi secara signifikan dan selanjutnya dapat
menurunkan volume intra vascular. Pada umumnya fraktur intrakapsular
(subkapsular,
transcervical)
mengalami
perdarahan
yang
lebih
sedikit
faktor lain, termasuk atelektasis bibasilar akibat bedrest, bendungan paru (dan
efusi), gagal jantung kongestif, atau akibat infeksi.1
Manajemen intra operatif
Menurut Association of Anaesthetist in Great Britain and Ireland (2012),
anestesi pada pembedahan fraktur panggul harus dapat memblok nervus kutaneus
lateralis pada paha, nervus obturator, ischiadika, dan lower subcostal nerve, dan
hanya bisa dicapai pada pasien yang sadar dengan blok neuraxial.3
Pilihan antara anestesi regional (spinal atau epidural) dan anestesi umum
pada pembedahan kasus fraktur panggul telah dievaluasi secara luas. Sebuah studi
meta-analisis dari 15 randomized clinical trials menunjukkan penurunan kejadian
DVT postoperatif dan angka mortalitas bulan pertama yang lebih rendah pada
anestesi regional, namun setelah bulan ketiga tidak tidak ada perbedaan bermakna
antara anestesi regional dan anestesi umum. Sebuah studi metaanalisis lain
terhadap pasien dengan fraktur neck of femur menyatakan bahwa insiden DVT 4
kali lebih besar pada pasien dengan anestesi umum, dibandingkan anestesi
regional. (miller, morgan). Selain itu, sebuah studi sistematik terhadap
penggunaan anestesi pada pembedahan fraktur panggul menemukan bahwa
anestesi regional dapat mengurangi insiden pusing post operatif. 1,2,3
Teknik anestesi neuraxial dengan atau tanpa disertai anestesia umum,
memberikan keuntungan tambahan untuk kontrol nyeri post op. Jika anestesi
spinal direncanakan, penggunaan anestesi lokal hipobarik mempermudah
positioning karena pasien dapat tetap pada posisi yang sama saat anestesi maupun
pembedahan. Opioid intra thecal seperti morfin juga dapat digunakan analgesia
post op tetapi berpotensi untuk terjadinya peningkatan resiko depresi pernapasan
sehingga memerlukan pengawasan ketat post op.1
Pertimbangan harus juga diberikan terkait dengan tipe reduksi dan fiksasi
yang digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi fraktur, derajat displacement,
status fungsional pasien preop, dan pilihan dokter bedah. Fraktur femur proksimal
undisplaced biasanya ditatalaksana dengan dengan percutaneous pinning atau
cannulated screw fixation dengan pasien pada posisi supinasi. Hip compression
screw dan side plate paling sering dikerjakan untuk fraktur intertrochanter. Fraktur
intrakapsular
displaced
hemiarthroplasty, atau
terkadang
membutuhkan
fiksasi
internal,
synovial,
termasuk
sendi
vertebra
servikal
dan
sendi
rahang
dan
rentang
gerakan
sehingga
tidak
memungkinkan
dengan
rheumatoid
arthritis
atau
osteoarthritis
umumnya
prostetik kap acetabulum (dengan atau tanpa semen) dan membuka femur dan
insersi komponen femur (kaput femur dan stem) ke dalam femoral shaft (dengan
atau tanpa semen), seperti pada gambar 1. 1,2
THR juga dikaitkan dengan tiga komplikasi yang mengancam kehidupan :
bone cement implantation syndrome, peradarahan intra dan post op, dan
thromboemboli vena. Jadi terdapat banyak alasan mengapa monitoring arteri
invasif pada umumnya direkomendasikan untuk prosedur-prosedur ini. Pemberian
opioid, seperti morfin, secara neuraxial pada periode perioperatif dapat
memperlama durasi analgesia postoperatif.1,2
dengan
implant
tradisional,
teknik
ini
dapat
mempertahankan tulang asli pasien dengan lebih baik. Pendekatan bedah dapat
secara anterolateral atau posterior, dengan teori bahwa pendekatan posterior dapat
memberikan ketersedian suplai darah yang lebih baik ke kaput femur. Dengan
pemilihan pendekatan posterior, pasien diposisikan secara lateral dekubitus, sama
dengan posisi pasien pada hip arthroplasty tradisional. Studi metaanalisis terbaru
menggambarkan bahwa hip resurfacing arthroplasty lebih dipilih bila memandang
faktor hasil fungsional dan persentase perdarahan, walaupun berdasarkan faktor
kepuasan pasien dan nilai VAS post op memiliki hasil yang sama dengan metode
tradisional.1
B. Bilateral Arthroplasty
Bilateral hip arthroplasty dapat secara aman dikerjakan pada pasien yang sehat
sebagai prosedur kombinasi, dengan asumsi tidak ada embolisasi pulmonal yang
signifikan setelah insersi komponen femur yang pertama. Echocardiography dapat
digunakan untuk mmonitoring. Pada prosedur ini, komunikasi efektif antara
anestesiologis dan dokter bedah sangatlah penting. Bila terdapat gangguan
hemodinamik yang besar saat prosedur pertama, maka prosedur arthroplasty
kedua harus ditunda.1,2
C. Revisi Arthroplasty
Revisi dari hip arthroplasty sebelumnya dapat menimbulkan kehilangan darah
yang lebih banyak dibandingkan prosedur awal. Hilangnya darah bergantung pada
banyak faktor, termasuk pengalaman dan ketrampilan operator. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa penggunaan teknik anestesi regional (spinal atau
epidural) dapat mengurangi besarnya perdarahan bila dibandingkan anestesi
umum, meskipun pada MAP yang sama. Karena kecenderungan pasien
memerlukan transfusi darah perioperatif, persiapan darah autolog preoperatif dan
ketersediaan darah intraoperatif harus dipertimbangkan. Pemberian vitamin (B12
dan K) serta zat besi pada pre op dapat mengatasi anemia kronik yang ringan.
Administrasi preop recombinant human erythropoietin (600 IU/kg subkutan tiap
minggu mulai 21 hari sebelum pembedahan sampai hari pembedahan ) dapat
menjadi alternatif untuk menurunkan kebutuhan transfusi darah allogenik
perioperatif. Erythropoietin meningkatkan produksi sel darah merah dengan
menstimulasi
diferensiasi
progenitor
erythroid
dalam
sumsum
tulang.
Mempertahankan suhu badan normal selama hip replacement surgery juga dapat
mengurangi perdarahan.1,2
D. Arthroplasty Minimal Invasif
Computer-assisted surgery (CAS) dapat meningkatkan keberhasilan
pembedahan dan mendukung rehabilitasi dini dengan memfasilitasi teknik
minimal invasif untuk hip replacement tanpa semen. Software computer dapat
secara akurat merekonstruksi gambar tiga dimensi untuk tulang dan jaringan lunak
yang didasarkan pada radiografi, fluoroskopi, computed tomography atau MRI.
Sistem komputer dapat mempertimbangkan gambaran preoperatif dan informasi
rencana pembedahan untuk menentukan posisi pasien di meja operasi.
Jadi CAS dapat meningkatkan akurasi penempatan implant melalui insisi
yang sangat kecil, hal ini sangat mengurangi kerusakan otot dan jaringan yang
berakibat pada berkurangnya nyeri, keluar dari rumah sakit lebih awal, dan
pemulihan yang lebih cepat. Pendekatan lateral dengan mengunakan single 3-in.
incision pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, sedangkan pendekatan
anterior
menggunakan dua 2-in incisions yang terpisah ( satu untuk komponen asetabulum
dan yang lain untuk komponen femur ) dengan pasien posisi supine. Teknik
invasif minimal dapat mengurangi lama perawatan hingga 24 jam atau kurang.
Teknik anestesi yang digunakan harus mampu mendukung pemulihan yang cepat,
yang dapat termasuk didalamnya anestesi regional neuraxial atau anestesi umum
intravena1,2
E. Hip Arhtroscopy
Pada beberapa tahun terakhir, prosedur hip arthroscopy menjadi sama populernya
dengan teknik invasif minimal untuk beberapa indikasi pembedahan seperti
femoroaceabular impingement (FAI), acetabular labral tears, loose bodies, dan
osteoartritis. Selain itu hip arthroscopy juga menjadi umum digunakan sebagai
prosedur diagnostik dan tatalaksana pada pasien-pasien rawat jalan.1
Pasien dapat dalam posisi supinasi atau lateral dengan diberikan traksi
pada tungkai yang akan dioperasi untuk mendapatkan akses kedalam sendi dengan
arthroscope. Saat memposisikan pasien, anestesiologis harus memastikan bahwa
alas perineum yang terpasang cukup empuk dan tidak menekan nervus pudendus
dan memastikan tidak adanya traksi berlebihan. Karena prosedur ini memerlukan
relaksasi otot yang total, maka dapat digunakan anestesi umum atau blok
neuraxial.2
2.2.3 Reduksi Tertutup Pada Dislokasi Panggul
Terdapat 3% insiden dislokasi panggul setelah arthroplasti panggul primer
dan 20% insiden setelah total hip revision. Insiden ini tampaknya secara
signifikan diturunkan dengan CAS. Karena hanya butuh daya / kekuatan kecil
untuk membuat dislokasi prosthetic hip, pasien dengan hip implants memerlukan
perhatian khusus selama mengatur posisi setelah prosedur bedah. Fleksi panggul
yang ekstrem, rotasi internal, dan aduksi dapat meningkatkan resiko dislokasi.
bone
cement
menimbulkan
hipertensi
intrameduler
(>500mmHg) dan dapat memicu embolisasi dari lemak, sumsung tulang, semen,
dan udara ke pembuluh darah vena. Absorpsi sistemik dari monomer
metilmetakrilat dapat menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi resistensi
vaksuler sistemik. Pengeluaran tromblopastin dari jaringan dapat memicu agregasi
trombosit,
pembentukan
mikrotrombus
di
paru-paru,
dan
instabilitas
harus dipilih untuk meredakan nyeri secara optimal dengan juga meminimalisasi
efek samping seperti sedasi, PONV, hipotensi, dan blok motorik. 1,2,5 Saat ini telah
ada bukti bahwa anestesi regional dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. 9
Menurut Opperer et al (2014) penggunaan anestesi regional dibandingkan dengan
general anestesi telah dihubungkan dengan penurunan angka mortalitas,
penurunan jumlah perdarahan, penurunan kejadian tromboemboli, komplikasi
kardiopulmoner, infeksi, dan segi ekonomi.8
2.3.1 Angka Mortalitas
Sebuah studi dari Memtsoudis et al menemukan adanya penurunan angka
mortalitas sampai hari ke 30 post op THR pada penggunaan blok neuraxial
dibandingkan pada anestesia umum.10 Sebuah studi metanalisis lain yang dikutip
oleh Opperer et al menemukan bahwa anestesi spinal dapat menurunkan angka
mortalitas secara signifikan pada pembedahan fraktur di sendi panggul.8
tromboemboli vena dapat berkurang hingga 50% pada penggunaan blok neuraxial
dibandingkan dengan anestesi umum, pada pasien yang tidak diberikan profilaksis
antitrombotik.9
Studi meta-analisis dari Mauermann et al menemukan bahwa adanya
pengurangan signifikan pada jumlah pasien yang mengalami DVT yaitu 29% pada
blok neuraxial dan 56% pada anestesi umum, juga pada jumlah pasien yang
mengalami emboli paru, yaitu 7% pada blok neuraxial dan 20% pada anestesi
umum.5 Beberapa peneliti menduga bahwa, efek sistemik dari agen anestesi lokal,
seperti yang ditemukan pada anestesi epidural, dapat menurunkan kejadian
hiperkoagulasi akibat pembedahan, yang selanjutnya dapat mengurangi insiden
tormboemboli.6
Dari segi pulmoner, anestesi regional telah menjadi anestesi pilihan pada
pasien fraktur panggul dengan PPOK dan telah dihubungkan dengan penurunan
kejadian komplikasi pulmoner pada seluruh pasien fraktur panggul. Sedangkan
pada pasien THR, penggunaan neuraxial memiliki hasil yang lebih baik dari aspek
komplikasi pada paru dibandingkan dengan anestesi umum.6 Pasien-pasien
ortopedi juga seringkali menghadapi permasalahan manajemen jalan napas.
Anestesi regional dapat menghindarkan adanya manipulasi jalan napas, dan pasien
yang sadar dapat mengatur posisi kepala yang paling nyaman menurut dirinya.1,2
Sebuah penelitian dari Chang et al juga menemukana bahwa terdapat
pengurangan yang signifikan pada tingkat infeksi lokasi pembedahan / Surgical
Site Infection (SSI) dalam 30 hari, yaitu 1,2% pada anestesi epidural atau spinal,
dibandingkan dengan 2,8% pada anestesi umum.14 Kemungkinan mekanisme dari
pengurangan tingkat infeksi ini berhubungan dengan modulsi respon inflamasi,
vasodilatasi dan perbaikan oksigenasi jaringan, serta perbaikan pada analgesia
post op. 6,15
Walaupun memiliki banyak keuntungan, namun risiko terjadinya hematom
epiduran / spinal pada anestesi regional juga perlu dipertimbangkan, meskipun
kejadian ini termasuk langka.6
2.3.5 Pertimbangan Analgesia Post Operatif
Pada sebuah studi yang dikutip oleh Provenzano dan Viscusi, ditemukan
bahwa pasien yang menjalani THR dan TKR mengaku mengalami nyeri dengan
rerata VAS 7,6 dan 8,1 dari skala 10, yang dapat menganggu pemulihan
fungsional dan pola tidur pada periode post-operatif.15
Selain itu, teknik anestesi regional dengan blok nervus perifer dapat
memberikan anestesi intraoperatif dan analgesia post operatif yang sangat baik.
Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwa anestesi regional dapat
menghentikan perkembangan nyeri akut post operatif menjadi sindrom nyeri
kronis.2,4,9 Meskipun demikian, sebuah studi sistematis Cochrane pada tahun 2003
menemukan bahwa keuntungan anestesi epidural kontinyu bila dibandingkan
dengan patient-controlled analgesia (PCA) menggunakan morfin intravena, hanya
terbatas pada awal periode post operatif (4-6 jam).16
Blok Nervus Perifer
Blok nervus perifer saat ini telah dikembangkan untuk menangani nyeri post
operatif. Pada operasi TKR dapat digunakan blokade nervus femoralis dan nercus
ischiadika, sedangkan pada operasi THR dapat digunakan blok. pleksus lumbalis,
blok fascia iliaka, dan dapat juga disertai blok ischiadika.9,17
A. Blok Pleksus Lumbalis ( Pendeketan Posterior)
Pleksus lumbalis merupakan susunan dari 6 nervus yang menginervasi
bagian bawah perut dap bagian paha anterolateral. Pleksus ini tersusun atas
bagian-bagian dari nervus lumbalis L1-L4, dan nervus subkostalis (T12). Sarafsaraf pada pleksus lumbalis antara lain, nervus iliohypogastric (T12-Ll),
ilioinguinal (L1), genitofemoral (L1-L2), femoral kutaneus lateralis (L2-L3),
femoral (L2-L4) dan nervus obturator (L2-L4), seperti pada gambar 1. 17
Blok pleksus merupakan pilihan yang logis untuk analgesia THR karena
metode inilah yang paling dapat diandalkan untuk memblok nervus kutaneus
lateral femoralis dan nervus obturator. Dapat digunakan dengan metode dosis
tunggal ataupun kontinyu. Penggunaan bolus anestesi lokal sebanyak 15-20ml
dapat memberikan analgesia untuk periode waktu yang cukup singkat setelah
operasi, dengan rata-rata 6-12 jam. Penggunaan morfin intratechal dosis rendah
dapat memberikan analgesia yang lebih baik dan lebih lama, bila dibandingkan
dengan blok pleksus lumbar dengan dosis tunggal.9
Penggunaan blok pleksus lumbalis secara kontinyu dapat memperpanjang
durasi analgesia secara efektif. Tetesan infus anestesi lokal dengan konsentrasi
rendah biasanya diatur pada 10ml/jam. Penggunaan teknik konsentrasi rendah
dengan tetesan cepat telah dianjurkan untuk memperoleh khasiat yang lebih
baik.9,17
Blokade pleksus lumbalis telah dihubungkan pada beberapa efek samping
yang serius seperti, anestesi spinal total, hematom atau abses psoas, penyebaran
epidural, dan trauma renal. Blok ini merupakan blok yang dalam, dan harus
dihindari ada pasien dengan gangguan pembekuan atau disfungsi trombosit, dan
bukan merupakan teknik untuk pemula.9,17
B. Blok Fascia Iliaka
Pendekatan lain untuk blok pleksus lumbalis adalah blok fascia iliaka.
Mekanisme kerja anestesi teknik ini adalah dengan penyebaran anestesi lokal ke
arah proksimal, dibawah fascia iliaka, yang kemudian mengarah pada cabang dari
pleksus lumbalis.9,17
Keuntungan blok ini adalah kemudahannya, yang membuat prosedurnya
menjadi cepat dan aman untuk dilakukan tanpa membutuhkan stimulator saraf.
Bagaimanapun juga, penyebaran blok pleksus lumbalis pada teknik ini bervariasi,
dengan blok nervus femoralis lebih konsisten dibandingkan dengan nervus
obturator dan kutaneus lateralis.9
mendukung blok ischiadika untuk analgesia post-operatif pada THR, namun tanpa
adanya blok nervus ischiadika, hilangnya rasa nyeri secara total pada panggul
menjadi tidak mungkin.9
2.4 Komplikasi Anestesi Epidural
2.4.1 Duramater Robek Atau Tertusuk
Kejadian tertusuknya duramater pada waktu dilakukan anestesi epidural
yang dilakukan ahli anestesi 1% - 2,5%. 1,18 Bila duramater robek akan terlihat
keluar cairan likuor serebro spinalis ( LCS ) pada pangkal jarum epidural,
terutama waktu dilakukan aspirasi. Cairan LCS dapat dibedakan dengan obat
anestesi lokal dengan cara :18
dibedakan suhunya
memakai test glukosa dan protein dengan kertas strip yang untuk
pemeriksaan urin.
kesadaran, henti nafas dan hipotensi berat dan bila tidak segera ditolong akan
terjadi henti jantung. Penderita langsung di intubasi, diberi nafas buatan
oksigenasi 100% dan diberikan vasopresor. Bila terapi yang diberikan adekuat
jarang terjadi sequele.20 Untuk mengurangi resiko terjadinya blok total spinal yang
perlu diperhatikan :
-
terhadap
obat
anestesi
local
sangat
jarang.