Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini
diilhami oleh dua macam cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang
menguasai umat manusia yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak-hak azazi yang
tidak dapat dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang
sosiologis.
2. Hukum Alam rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis, dilain
3.
keterbatasan objek indrawi dan memahami yang tak terhingga. Karena itu, manusia dianggap
berakal budi. Sedangkan bertindak berarti berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri
kita sendiri yang didahului oleh pengertian mengenai apa yang baik dan yang tidak. Perintah
moral paling dasar dari Thomas Aquinas adalah Lakukanlah yang baik, jangan melakukan
yang jahat!. Yang baik adalah apa yang sesuai dengan tujuan akhir manusia.
Menurut Thomas, hukum kodrat membuat manusia mengetahui perbuatan mana yang
baik dan yang buruk. Kodrat mengacu pada realitas, atau struktur realitas, hakikat realitas
yang ada. Bentuk hukum kodrat yang pertama adalah hukum alam yang memuat hukum alam
fisika dan kimia, hukum perkembangan organik dan vegetatif, serta struktur-struktur
kesadaran seperti insting pada binatang. Manusia bertindak sesuai dengan kodratnya apabila
ia menyempurnakan diri sesuai dengan kekhasannya, jadi dengan kerohaniannya. Ia harus
mengembangkan diri sebagai makhluk rohani.
Thomas membedakan hukum kodrat primer dengan hukum kodrat sekunder. Kodrat primer tidak
dapat berubah karena langsung berdasarkan struktur kodrat manusia dan struktur itu tidak
berubah. Dengan memandang kodrat, manusia mengetahui apa yang dikehendaki Allah.
Kebijaksanaan Allah itu oleh Thomas disebut hukum abadi. Hukum kodrat mengungkapkan
dan mencerminkan hukum abadi, atau kebijaksanaan Ilahi. Menurut Thomas, manusia dalam
hatinya mempunyai perasaan tentang apa yang baik dan yang buruk. Thomas membedakan
antara suara hati dan hati nurani. Hati nurani adalah pengetahuan intuitif tentang prinsipprinsip moral, sedangkan suara hati adalah penerapan prinsip-prinsip itu pada kasus konkrit.
Hukum dibagi ke dalam empat golongan:
Lex Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan
sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera
manusai;
Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap panca indera manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya;
Lex Naturalis, hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh
manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum
positif dibagi menjadi dua, yaitu hukum positif yang dibuat oleh Tuhan (kitab-kitab
suci) dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.
Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia menurut dia adalah kebahagiaan atau
kesejahteraan (eudaimonia). Itulah sebabnya teori etikanya sering disebut sebagai teori etika
Eudaimonisme.
Aristoteles sadar bahwa ada banyak pendapat tentang apa yang membahagiakan: ada
yang menganggap itu kenikmatan, kekayaan, kekuasaan. Masalahnya sekarang adalah
bukannya apa yang senyatanya dicari manusia sebagai yang dianggap membahagiakan,
melainkan apa yang semestinya menjadi tujuan hidup manusia. Adakah manusia punya tujuan
yang paling pokok untuk mana tujuan-tujuan yang lain diarahkan? Kalau ini diketahui, maka,
menurut Aristoteles, inilah yang menjadi tujuan akhir setiap tindakan manusia dan yang akan
memberi kebahagiaan sejati untuknya.
2. Etika pengembangan diri sesuai dengan kodratnya
Etika Aristoteles merupakan etika pengembangan diri, karena kebahagiaan (eudaimonia)
yang menjadi tujuan hidup manusia tercapai kalau manusia mengembangkan dirinya secara
penuh sesuai dengan kodratnya. Kodrat di sini dimaksudkan dalam arti metafisis, yakni apa
yang menjadi hakikat keberadaan manusia. Untuk mengenal apa yang menjadi kodrat atau
hakikat keberadaan sesuatu, Aristoteles melihat fungsi operasional (ergon) yang khas pada
pengada tersebut. Finalitas atau keterarahan pada tujuan akhir suatu pengada bagi Aristoteles
merupakan suatu gagasan yang sentral untuk etikanya, karena menurut dia kodrat setiap
pengada mengarah pada tujuan akhirnya. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia baru
tercapai kalau manusia hidup sesuai dengan ergon-nya yang khas. Untuk menetapkan apa itu
kebahagiaan bagi manusia perlulah ia mengerti apa yang menjadi tujuan akhir kodrat
keberadaannya sebagai manusia.
Mengikuti Plato, Aristoteles melihat manusia terdiri dari badan dan jiwa. Kendati lain
dengan Plato, gurunya, yang memandang badan manusia sebagai penjara jiwa, Aristoteles,
yang menekankan kesatuan jiwa-badan manusia sebagai kesatuan forma (dhat) dan materi
(wujud), tetap mengikuti Plato dalam berpendapat bahwa hakikat manusia terletak dalam
jiwanya. Jiwa menurut dia terdiri dari dua unsur, yakni yang rasional dan yang takrasional.
Unsur yang rasional dapat ada lepas dari badan; dan ini masih dibedakan lagi menjadi aspek
jiwa rasional yang dia sebut sebagai akal budi teoretis (theoretike dianoia) dan akal budi
praktis (to praktikon dianoetikon). Unsur yang takrasional sangat erat berkaitan dengan
badan, dan dia bagikan menjadi bagian yang berkaitan dengan dorongan untuk mencari
Selain ketiga unsur dalam batin, menurut Aristoteles kebahagiaan juga mengandung unsur
lain seperti adanya sahabat (orang yang tidak punya sahabat hidupnya tidak bahagia), adanya
kesehatan (orang yang sakit-sakitan tidak bahagia), adanya kekayaan (orang yang hidup
kekurangan tidak bahagia), adanya nasib baik atau keberuntungan.
3. Etika Keutamaan
Etika Aristoteles, lain dengan etika yang biasa disebut sebagai etika kewajiban
(seperti etika Kant misalnya), adalah etika keutamaan. Hidup baik adalah hidup sesuai
dengan keutamaan yang masih ia bedakan menjadi keutamaan intelektual dan keutamaan
moral. Dari segi moral, suatu tindakan secara objektif dinilai berkeutamaan (virtuous) oleh
Aristoteles kalau itu merupakan kegiatan yang diatur oleh akal budi sesuai dengan prinsip
kebijaksanaan jalan tengah/the rule of the just middle (mesotes), yakni menghindarkan
ekstrem terlalu banyak di satu pihak dan ekstrem terlalu kurang di lain pihak. Keutamaan
keberanian misalnya terletak antara kenekadan di satu pihak dan menjadi pengecut di lain
pihak.
Keutamaan secara subjektif mengalir dari disposisi pribadi yang sesuai dengan
penentuan akal budi atau kebiasaan (hexis) berbuat baik. Bagi Aristoteles suatu tindakan baik
yang belum mengalir secara alami, tetapi masih melalui suatu pergulatan batin melawan
berbagai macam godaan, adalah suatu tanda bahwa si pelaku sesungguhnya belum memiliki
keutamaan moral; dorongan-dorongan takrasionalnya belum berhasil dikendalikan oleh akal
budi. Tindakan yang berkeutamaan menurut Aristoteles juga merupakan tindakan yang
didorong oleh suatu intensi/maksud yang murni. Kalau dirumuskan secara singkat dan padat,
tindakan berkeutamaan bagi Aristoteles adalah tindakan yang sudah diperhitungkan secara
nalar mengikuti prinsip kebijaksanaan jalan tengah dan dimotivasikan oleh suatu maksud
yang murni serta keluar dari suatu disposisi yang tepat dan tetap atau kebiasaan berbuat baik
sebagai hasil praktek yang sudah berulang kali.
Karena perhitungan nalar merupakan suatu hal yang sentral dalam pengertian
Aristoteles tentang keutamaan moral, induk keutamaan baginya adalah kebijaksaan praktis
(phronesis). Kebijaksanaan praktis mengandaikan suatu pengetahuan kebenaran berkenaan
dengan nilai intrinsik tindakan yang akan dilakukan dan berkenaan dengan sarana yang tepat
untuk mencapai tujuan yang telah disadari sebagai baik. Kebijaksanaan praktis itu dimiliki
oleh orang-orang yang hidup berkeutamaan (Jawa: wong utomo). Kalau kita mau tahu mana
tindakan yang secara moral tepat kita bisa bertanya pada atau belajar dari orang yang hidup
berkeutamaan.
Etika Aristoteles memiliki beberapa sifat sebagai berikut:
1.Bersifat egoistik
Eudaimonisme Aristoteles sebagai etika pengembangan diri dapat dikatakan masih
bersifat egoistik. Perspektif kegiatan masih berpusat pada kebahagiaan diri sendiri. Seperti
ditulis oleh Jacques Maritain: Lepas dari semua [yang baik yang terkandung di dalamnya],
ajaran moral Aristoteles pada akhirnya meninggaokan kita terkurung dalam cinta diri. Adalah
kebaikanku yang aku cintai dan kehendaki dalam mencintai dan menghendaki Kebahagiaan
sebagai Kebaikan tertinggi yang amat dicintai. Itu berarti Kebaikan yang dilihat secara
subjektif, Kebaikan sebagai suatu kesempurnaan diri dan suatu gema di dalam diri, atau
sebagai suatu kepenuhan hidup manusia adalah mustahil bagi etika Aristoteles untuk lepas
dari dekapan diri, dari sejenis egoisme transendental. Dakan perspektif moral Kebahagiaan
sebagai Kebaikan tertinggi, aku tidak dapat membebaskan diriku; aku tidak pernah dapat
membebaskan diri dari cinta diri yang egoistik. Padahal, akhirnya justru pembebasan macam
itu yang [sesungguhnya] kita dambakan.
Karena Aristoteles menyamakan kebaikan yang tertinggi (the supreme good) dengan
kebahagiaan, dan kebahagiaan ini dimengerti sesuai dengan apa yang cocok dan diingini oleh
subjek pelaku, maka etika Aristoteles tidak bisa menerangkan bahwa nilai kebaikan lebih
tinggi dari pada nilai kebahagiaan. Kebahagiaan sesungguhnya lebih sebagai anugerah
kebaikan dari pada kebaikan itu sendiri. Demi cita-cita mengejar yang baik, orang tidak
pertama-tama mengejar kebahagiaan, melainkan mengerjakan apa yang memang disadari
sebagai tindakan yang baik.
Sebagaimana dicatat oleh Dr. Magnis-Suseno, kebahagiaan dan pengembangan diri
sejati baru tercapai justru kalau orang bisa melepaskan diri. Manusia justru tidak
berkembang dan tidak akan bahagia kalau perkembangan dirinya sendiri atau kebahagiaannya
menjadi obsesi pemikiran dan perhatiannya. Perkembangan kita semakin terjadi semakin
kita merelakan diri, termasuk perkem-bangan diri, demi tanggung jawab kita. Kita akan
berkembang apabila kita menomorduakan kita demi manusia-manusia yang dipercayakan
kepada kita atau yang berada bersama kita di perjalanan, demi tugas yang dibebankan kepada
kita, pokoknya demi apa yang bernilai pada dirinya sendiri dan bukan hanya bernilai sebagai
sarana bagi perkembangan atau kepentingan kita sendiri. Orang yang selalu mencari diri
sendiri tidak akan menemukan diri, sedangkan orang yang melupakan diri semi suatu tugas,
demi orang lain, demi cita-citanya dialah yang akan menemukan diri.
2. Etika yang manusiawi dan duniawi
Berbeda dengan Plato, yang berpendapat bahwa Yang Baik sebagai tujuan hidup
moral merupakan sesuatu yang bersifat transenden atau adiduniawi, Aristoteles
memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat imanen atau duniawi. Eudaimonia atau
kebahagiaan sebagai tujuan hidup moral, bagi Aristoteles, merupakan sesuatu yang dapat
dicapai di dunia ini, karena merupakan sesuatu yang immanen dalam kegiatan manusia
sendiri. Tujuan ganda, yakni kontemplasi kebenaran abadi dan keutamaan moral baginya
merupakan pencapaian sesuatu yang paling baik pada manusia. Betul bahwa dia menganggap
kegiatan kontemplasi kebenaran abadi sebagai kegiatan yang bersifat ilahi dan hanya mampu
dilakukan oleh kelompok tertentu, namun tetap ini sesuatu yang bisa dicapai oleh manusia
dari kekuatannya sendiri. Keutamaan moral merupakan pemenuhan keluhuran dan
keunggulan jiwa manusia. Kontemplasi dalam pemikiran Aristoteles tidak berarti pertemuan
atau persatuan dengan sesuatu di luar atau di atas manusia, melainkan pemenuhan
bakat/kemampuan manusia yang paling tinggi, kemampuannya untuk melakukan kegiatan
yang sifatnya mencukupi pada dirinya sendiri (self-sufficient).
3. Etika yang elitis dan aristokratis
Dalam etika Aristoteles, dan kiranya berlaku juga pada etika Yunani pada umumnya,
manusia terutama dilihat sebagai makhluk berakalbudi yang dapat dikuasai oleh dorongandorongannya yang takrasional. Masalah pokok etika lalu menjadi usaha untuk mengendalikan
dorongan-dorongan tersebut dan bagaimana mendidik dan meningkatkan kegiatan intelektual
manusia. Kegiatan kontemplasi filosofis atas kebenaran abadi (kegiatan spekulatif) dijunjung
tinggi sebagai kegiatan yang perlu dituju dalam dirinya sendiri dan tindakan yang selfsufficient. Ini jelas merupakan bias pandangannya yang bersifat elitis dan aristokratis dan
tidak dapat dinyatakan sebagai tujuan hidup yang berlaku untuk setiap manusia di mana saja
dan kapan saja. Kegiatan kontemplasi yang mengandaikan suatu self-sufficiency bisa terjadi
hanya kalau ada orang lain yang berkerja untuk mereka, sehingga mereka tidak direpotkan
oleh keharusan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Dalam konteks ini tidak
Wild, John (1953. Platos Modern Enemies and the Theory of Natural Law. Chicago:
University of Chicago Press. p. 136 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Plato, Gorgias 508a dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Plato, The Republic, 540a, 517bddalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2008, hal. 195.
Strauss, Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social Sciences.
Macmillan. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law