Vous êtes sur la page 1sur 20

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS

SISWA MTS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


Neneng Arwinie
Jurusan Pendidikan Matematika SPS UPI
Jl. Setia Budhi, Bandung. Email: nenengarwinie@yahoo.co.id
ABSTRAK
Makalah ini berjudul Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa MTs
Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah, yang bertujuan menganalisis peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa melalui pembelajaran matematika dengan
pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Disain penelitian yang digunakan
adalah disain kelompok kontrol non ekivalen dengan instrumen tes kemampuan
penalaran matematis. Analisis statistik yang dilakukan adalah Independent Sample ttest, Uji Mann Whitney, Uji ANOVA satu jalur dan dua jalur. Hasil penelitian yang
diperoleh adalah: (1) peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
memperoleh PBM lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional; (2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
antara siswa yang memiliki PAM tinggi, sedang dan rendah setelah memperoleh PBM;
(3) terdapat interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap peningkatan penalaran
matematis siswa.

Kata kunci : kemampuan penalaran, dan Pembelajaran Berbasis Masalah


(PBM)

ABSTRACT
The title of this article is improving mathematical reasoning ability of Islamic Junior High
School Students through Problem Based Learning. The purpose of this study was to

analyze the improve of reasoning mathematical ability of student through problem


based learning. The design of this study was design of non-equivalent control group.
The instrument used is a test of mathematical reasoning ability. The statistical analysis
performed were independent sample t-test, Mann-Whitney test, ANOVA one way test,
and ANOVA two-way test. The research results obtained are the improvement of
students' mathematical reasoning abilities who learned using problem based learning is
better compared to students who learned using conventional learning, there are
differences in the increase in mathematical reasoning ability between students whom
have PAM high, medium and low after obtaining PBM, and there was an interaction
between learning (PBM and conventional) with PAM students (high, medium, low) to
increase students' mathematical reasoning abilities.
Key Word : Problem Based Learning, Mathematical reasoning ability.

A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, bernalar, dan
bekerjasama secara efektif sehingga dapat berkembang maju di masa globalisasi ini.
Berdasarkan

kemampuan-kemampuan

yang

dimiliki

tersebut,

manusia

dapat

memanfaatkan informasi-informasi dari berbagai sumber menjadi sesuatu yang berguna


dalam kehidupan.
Pentingnya kemampuan penalaran matematis bagi siswa tercantum dalam tujuan
pembelajaran matematika di sekolah, yaitu melatih cara berpikir dan bernalar dalam
menarik kesimpulan, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta
mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ideide melalui lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya (Depdiknas,
2006). Selain itu, dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000),
tercantum bahwa melalui pembelajaran matematika terdapat 5 keterampilan proses
yang perlu dimiliki siswa yaitu: (1) Pemecahan masalah (problem solving); (2)
Penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) Komunikasi (communication);
(4) Koneksi (connection); dan (5) Representasi

(representation). Keterampilan-

keterampilan tersebut merupakan keterampilan berpikir matematika tingkat tinggi


(high order mathematical thinking) yang penting untuk dikembangkan oleh siswa
dalam proses pembelajaran matematika.
Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa di Indonesia, dapat dilihat
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Trends Internasional In Mathematics and
Science Study (TIMSS) yang dikoordinir oleh International Association for the
Evaluation of Educational Achievement (IEA). Hasil penelitian dari TIMSS pada tahun
2011 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 38 dari 45 negara dengan rata-rata

skor 386 yang berarti pada level rendah. Soal-soal yang dikembangkan oleh TIMSS
mencakup empat ranah kognitif yakni pengetahuan tentang fakta dan prosedur,
penerapan konsep, penyelesaian masalah rutin dan penalaran. Soal pada ranah
penalaran

mencakup

kemampuan

menemukan

konjektur,

analisis,

evaluasi,

generalisasi, koneksi, sintesis, pemecahan masalah yang tidak rutin, dan justifikasi atau
pembuktian.
Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan penalaran matematis siswa perlu
ditingkatkan. Dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis, guru dituntut
agar memilih suatu model pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk terlibat
secara aktif dalam pengalaman belajarnya, baik dalam membangun konsep,
mengemukakan ide atau gagasan mereka. Menurut Rusman (2010) salah satu alternatif
model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir
siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah
Pembelajaran Berbasis Masalah (disingkat PBM).
Selain dari aspek kognitif dan afektif, aspek Pengetahuan Awal Matematis
(PAM) siswa juga dijadikan sebagai fokus dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan
perolehan pengetahuan baru yang sangat ditentukan oleh pengetahuan awal (prior
knowledge) siswa. Apabila pengetahuan awal siswa baik maka akan berakibat pada
perolehan pengetahuan yang baik pula, sesuai dengan teori konstruktivisme yang
berpandangan bahwa belajar merupakan kegiatan membangun pengetahuan yang
dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya (Pamungkas, 2012). Selain itu tujuan dari mengkaji Pengetahuan Awal
Matematis (PAM) siswa yakni untuk melihat apakah implementasi pendekatan
pembelajaran yang digunakan dapat merata di semua kategori PAM atau kategori PAM
tertentu saja. Jika merata di semua PAM, maka penelitian ini dapat digeneralisasi

bahwa implementasi pembelajaran yang digunakan cocok untuk semua level


kemampuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah Apakah penerapan pendekatan pembelajaran
berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa
Madrasah Tsanawiyah dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?
Rumusan masalah tersebut di atas dapat dijabarkan menjadi beberapa
pertanyaan penelitian, yaitu: (1) Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?; (2) Apakah ada perbedaan peningkatan
kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memiliki pengetahuan awal
matematika tinggi, sedang dan rendah setelah memperoleh pembelajaran berbasis
masalah?; (3) Apakah ada interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap peningkatan
penalaran matematis siswa?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji: (1) Peningkatan kemampuan penalaran matematis antara
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional; (2) Perbedaan peningkatan kemampuan
penalaran matematis antara siswa yang memiliki pengetahuan awal matematika tinggi,
sedang dan rendah setelah memperoleh pembelajaran berbasis masalah; (3) Interaksi
antara pembelajaran (pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional)
dengan

pengetahuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, rendah) terhadap

peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dilihat dari proses penelitian yang akan dilaksanakan
dan hasil penelitian yang diharapkan.
1 Proses Penelitian
Siswa dapat berlatih menyelesaikan soal-soal kemampuan penalaran matematis.
2 Hasil Penelitian
Manfaat berdasarkan hasil penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu manfaat
praktis dan manfaat teoritis.
a

Manfaat Praktis
1

Bagi siswa.
Melalui hasil penelitian ini siswa mampu mengembangkan kemampuan
penalaran matematis untuk meningkatkan prestasi belajar matematika atau
mata pelajaran lainnya.

Bagi guru.
Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka pemilihan model
pembelajaran yang cocok untuk mengembangkan kemampuan penalaran
matematis siswa dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.

Bagi peneliti.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan berpijak di ruang lingkup
yang lebih luas, serta membuka wawasan penelitian bagi para ahli
pendidikan matematika untuk mengembangkannya.

Dunia pendidikan.
Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran pembelajaran khususnya
bagi guru-guru yang mengajarkan mata pelajaran matematika dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan.

Manfaat teoritis
Secara umum penelitian ini memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan
untuk dapat mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa. Serta
memberikan gambaran yang jelas pada guru tentang model pembelajaran

berbasis masalah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.


E. Kemampuan Penalaran Matematis dan Pembelajaran Berbasis Masalah
1 Kemampuan Penalaran Matematis
Kemampuan penalaran matematis merupakan tahapan berpikir
matematik tingkat tinggi yang mencakup kapasitas berpikir secara logik
dan sistematik.

Menurut Shurter dan Pierce (Dahlan, 2011) istilah

penalaran diterjemahkan dari reasoning yang didefinisikan sebagai proses


pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan.
Sedangkan menurut Galloti (Matlin, 1994), penalaran adalah proses
transformasi yang diberikan dalam urutan tertentu untuk menjangkau
kesimpulan.
Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif adalah proses
penalaran yang menurunkan prinsip atau aturan umum dari pengamatan
hal-hal atau contoh-contoh khusus. Proses ini disebut generalisasi
induktif, proses dari khusus ke umum. Sedangkan penalaran deduktif
adalah proses penalaran dari pengetahuan prinsip atau pengalaman yang
umum yang menuntun kita memperoleh kesimpulan untuk sesuatu yang
khusus. Proses ini disebut proses dari umum ke khusus.

Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan siswa yang termasuk dalam


kemampuan penalaran, menurut Sumarmo (2013 : 128) indikator dari
kemampuan penalaran matematik,
1

Menarik kesimpulan logik.

Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat, hubungan,


atau pola.

Memperkirakan jawaban dan proses solusi.

Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi,atau membuat


analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur.

Memberikan lawan contoh.

Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan dan


menyusun argumen yang valid, dan

Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung, dan pembuktian


dengan induksi matematik.
Dalam penelitian ini, kemampuan penalaran matematis yang akan diteliti

meliputi enam kemampuan, yaitu : (1) Menarik kesimpulan logik ; (2) Memberikan
penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat, hubungan atau pola; (3)
Memperkirakan jawaban dan proses solusi; (4) Menggunakan pola dan hubungan untuk
menganalisis situasi,atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur; (5)
Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan dan menyusun

argumen yang valid; dan (6) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak
langsung, dan pembuktian dengan induksi matematik.
2

Pembelajaran Berbasis Masalah


Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) atau sering juga disebut Problem

Based Learning (PBL), menurut Sutawidjaja dan Dahlan, merupakan model


pembelajaran yang dimulai dari pemberian masalah yang bersifat ill structured.
Artinya, PBM menjadikan problem solving sebagai strategi dalam pembelajaran. Lebih
lanjut, Sutawidjaja dan Dahlan mengemukakan bahwa esensi dari model PBM adalah :
(1) siswa bekerja secara individual atau dalam kelompok kecil, (2) tugas pembelajaran
mereka adalah menyelesaikan masalah dapat juga berbentuk masalah kontekstual dan
lebih disukai merupakan masalah yang mempunyai kemungkinan penyelesaian, (3)
siswa menggunakan berbagai pendekatan dalam pembelajaran, dan (4) hasil yang
diperoleh siswa dikomunikasikan terhadap siswa yang lainnya.
Adapun sintaks PBM menurut Arends (2008 : 411) seperti terdapat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1
Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase
Fase 1 : Orientasi siswa

Perilaku Guru
Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan

terhadap masalah.

berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi

Fase 2 : Mengorganisasikan

siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah.


Guru
membantu
siswa
mendefinisikan
dan

siswa untuk belajar.

mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait

Fase 3 : Membantu

dengan permasalahannya.
Guru mendorong siswa untuk memperoleh informasi

investigasi mandiri atau

yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari

kelompok.
Fase 4 : Mengembangkan

penjelasan serta solusi.


Guru membantu siswa dalam merencanakan dan

dan mempresentasikan

mempersiapkan bahan-bahan untuk presentasi seperti

model solusi dan penyajian.

laporan, alat peraga, dan membantu siswa berbagi hasil

Fase 5 : Menganalisis dan

kerja kelompok mereka dengan yang lain.


Guru membantu siswa untuk merefleksikan proses

mengevaluasi proses

investigasi dan proses-proses lainnya yang mereka

pemecahan masalah.

gunakan dalam menyelesaikan masalah.

F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan disain penelitian yaitu
disain kelompok kontrol non-ekivalen. Pada disain ini subyek tidak dikelompokkan
secara acak. Ilustrasi dari disain ini adalah sebagai berikut:
O
O

O
O
(Ruseffendi, 1998:47)

Keterangan:
O : Pemberian tes awal (pretest) dan tes akhir (posttes) tentang kemampuan
penalaran dan komunikasi matematis
X : Pembelajaran Berbasis Masalah
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII salah satu MTs
Negeri di Kabupaten Subang sebanyak 295 orang yang terbagi ke dalam 7 kelas dan
dibentuk secara acak oleh sekolah. Selanjutnya dipilih dua kelas yang setiap kelasnya
memiliki karakteristik yang sama, untuk dijadikan sampel penelitian. Pengambilan
sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Dari dua kelas
tersebut dipilih satu kelas digunakan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi
digunakan sebagai kelas kontrol.
Dalam penelitian ini siswa-siswa dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol
dikelompokkan berdasarkan pengetahuan awal matematisnya menjadi tiga level, yaitu
kelompok tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan tersebut berdasarkan rata-rata

nilai ulangan harian dan nilai UAS semester ganjil. Kriteria penetapan kelompok
tersebut didasarkan pada rata-rata (

) dan simpangan baku (SB)

total dari seluruh siswa, seperti terlihat pada Tabel 2 di halaman selanjutnya.
Tabel 2
Level PAM Siswa
Rentang
PAM >

Level PAM Siswa


+ SB

Tinggi

- SB
PAM

Sedang

+ SB
PAM <
Rendah

- SB

Melalui perhitungan diperoleh jumlah siswa berdasarkan PAM, seperti pada


tabel 3 berikut.
Tabel 3
Jumlah Siswa Berdasarkan PAM
PAM
Tinggi
Sedang
Rendah
Total

Eksperime
n
13
18
11
42

Kontrol
14
18
10
42

G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes, yang
berupa tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) untuk mengukur kemampuan penalaran
matematis siswa. Instrumen tes ini berbentuk uraian, tujuannya untuk melihat proses
pengerjaan yang dilakukan siswa sehingga dapat diketahui sejauh mana kemampuan

penalaran matematis siswa. Dalam penyusunan tes kemampuan ini, diawali dengan
penyusunan kisi-kisi yang mencakup kompetensi dasar, indikator, aspek yang diukur
beserta skor penilaiannya dan nomor butir soal. Setelah membuat kisi-kisi soal,
dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawabannya dan aturan pemberian
skor untuk masing-masing butir soal.
Pedoman pemberian skor untuk mengukur kemampuan penalaran matematis
berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan
Jacabcsin (1996), seperti terlihat pada Tabel 4 di halaman selanjutnya.
Tabel 4
Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Penalaran
Sko
Kriteria
r
0

Tidak ada jawaban


Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik

1
kesimpulan salah
Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab
2
dengan benar
Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab
3
dengan benar
Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang penalaran matematik dan
4
dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap

Sebelum diberikan kepada siswa, soal diperiksa validitas isi dan muka.
Pemeriksaaan validitas muka dan validitas isi ini dikonsultasikan kepada dosen
pembimbing sebagai validator ahli. Setelah validasi ahli dilaksanakan dan diperoleh
saran dari ahli mengenai isi dan desain instrumen tes, hasil validasi tersebut dijadikan
dasar untuk merevisi intrumen tes. Selanjutnya soal diujicobakan kepada siswa di luar
sampel penelitian yaitu siswa kelas 8, yang telah menerima materi yang akan diteliti,
yaitu segitiga dan segiempat.

Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa


sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis skor gain ternormalisasi yang
dihitung dengan menggunakan rumus Hake (1999) sebagai berikut:

100< S 1>
< S f > <S 1 >

Normalized Gain=
Keterangan:
S f = Skor post-tes
S 1 = Skor pre-tes
Hasil perhitungan N-gain kemudian di interpretasikan dengan menggunakan
klasifikasi N-gain ternormalisasi (Hake, 1999) seperti pada Tabel 5.
Tabel 5
Klasifikasi Gain Ternormalisasi
Besarnya N-Gain <g>
<g> 0,70
0,30 (<g>) < 0,70
<g> < 0,30

Klasifikasi
Tinggi
Sedang
Rendah

H. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1 Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan penalaran matematis
siswa antara kedua kelas, dilakukan uji perbedaan rata-rata untuk data N-gain
kemampuan penalaran matematis siswa antar kelas eksperimen dan kelas kontrol
dengan melakukan uji-t dan mengambil taraf signifikansi = 0,05. Hasil uji dinyatakan
bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kedua kelas berbeda secara
signifikan. Dengan demikian disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah secara signifikan


lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah memiliki peran yang
berarti dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa pada materi
segitiga dan segiempat.
Hasil uji ini juga didukung dari hasil pengamatan aktivitas siswa, pada
pembelajaran terakhir yaitu pertemuan 10, menunjukkan bahwa aktivitas siswa yang
memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih unggul daripada aktivitas siswa yang
pembelajarannya konvensional. Siswa kelas eksperimen mencapai keaktifan 88% dan
kelas kontrol 76,4%. Data ini mendukung bahwa proses pembelajaran dengan
menerapkan PBM memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa MTs. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Madio (2010) pada siswa SMP, kemampuan penalaran matematis siswa yang
memperoleh PBM lebih baik dari siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Selain itu, hasil tersebut cukup beralasan karena siswa yang belajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dapat belajar bagaimana mentransfer pengetahuannya
terhadap masalah dunia nyata yang dapat membantu siswa menggabungkan
pengetahuan yang mereka peroleh dari hasil mempelajari pokok-pokok materi yang
berbeda. Selain itu, dengan pembelajaran berbasis masalah siswa dapat meningkatkan
daya ingatnya dari pembelajaran bermakna yang diperolehnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Killen (Dahlan, 2011) yang merangkum hasil penelitian tentang beberapa
keuntungan dari implementasi PBM, di antaranya: 1)Membantu siswa untuk belajar
bagaimana mentransfer pengetahuannya terhadap masalah dunia nyata; 2) Masalah
dunia nyata dapat membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan yeng mereka
peroleh dari hasil mempelajari berbagai subjek yang berbeda; 3) Membantu

meningkatkan daya ingat dan menyediakan dasar yang bermakna dari proses konstruksi
pengetahuan.
2

Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Berdasarkan Kategori


PAM Kelas Eksperimen
Ditinjau dari faktor kategori PAM tinggi, sedang dan rendah, hasil uji perbedaan

rata-rata skor N-gain kemampuan penalaran matematis siswa di kelas eksperimen


menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan, dengan rata-rata N-gain kemampuan
penalaran matematis kelompok tinggi yaitu 0,72 dengan standar deviasi 0,12.
Kelompok sedang yaitu 0,42 dengan standar deviasi

0,22, dan kelompok rendah

sebesar 0,59 dengan standar deviasi 0,20.


Berdasarkan hasil analisis peningkatan kemampuan penalaran matematis
siswa kelompok tinggi, sedang, dan rendah kelas eksperimen terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan
PAM. Dengan nilai signifikansi untuk pasangan PAM tinggi dan sedang 0,024 yang
berarti rerata skor N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelompok tinggi
secara signifikan lebih baik daripada kelompok sedang. Kemudian pasangan PAM
tinggi dan rendah, nilai signifikansi 0,000, artinya siswa pada kelompok tinggi
mempunyai rerata skor N-gain kemampuan penalaran matematis lebih baik daripada
kelompok rendah. Begitu pula pada pasangan PAM sedang dan rendah, nilai
signifikansi 0,007, artinya siswa pada kelompok sedang mempunyai rerata skor N-gain
lebih baik daripada siswa kelompok rendah.
Kategori peningkatan pada kelompok tinggi berkategori tinggi dengan besar
peningkatan 0,72. Sedangkan pada kelompok sedang dan rendah kategori peningkatan
sedang dengan besar peningkatan masing-masing 0,42 dan 0,59. Hal ini dikarenakan
pembelajaran hanya terfokus pada cara siswa menjawab pertanyaan dalam LKS,

sehingga kurangnya waktu bahkan tidak adanya waktu bagi guru dan siswa untuk
membahas soal evaluasi konsep dan materi yang diperoleh pada saat diskusi dan
pembelajaran. Guru hanya memberikan soal untuk evaluasi sebagai pekerjaan rumah,
dan dikoreksi secara langsung oleh guru tanpa ada pembahasan di kelas pada
pertemuan berikutnya. Selain itu waktu yang tersedia juga terpakai untuk membentuk
kelas menjadi beberapa kelompok, sehingga waktu untuk siswa melatih soal-soal
penyelesaian masalah tidak banyak. Dengan kata lain, perlu proses yang panjang dan
pemahaman guru yang terpadu dan hal ini tidak diperoleh secara instan. Hal ini
merupakan salah satu penyebab siswa kelompok sedang dan rendah peningkatannya di
bawah siswa kelompok tinggi. Karena bagi siswa kelompok tinggi, jika yang diperoleh
di sekolah belum mencukupi, maka mereka mampu menambahkannya dengan belajar
secara mandiri.
Jika dibandingkan dengan kelas kontrol, dilihat dari hasil peningkatan
kelompok sedang, rata-rata peningkatan siswa kelompok sedang di kelas kontrol
berbeda dengan siswa kelompok tinggi dan rendah. Bahkan kelompok sedang di kelas
kontrol sama pencapaian peningkatannya dengan siswa kelompok sedang di kelas
eksperimen, yaitu 0,42. Sedangkan kelompok tinggi dan rendah di kelas kontrol
pencapaian peningkatannya di bawah siswa kelompok tinggi dan rendah di kelas
eksperimen. Hal ini disebabkan pada kelas kontrol adanya penyelesaian masalah
matematis dan latihan menyelesaikan soal juga menjadi pemicu rendahnya peningkatan
kemampuan siswa, karena mereka cenderung meniru jawaban atau prosedur yang
diberikan oleh guru sehingga ketika diberikan soal yang bukan seperti dicontohkan
mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memiliki pengetahuan

awal matematika tinggi, sedang, dan rendah setelah memperoleh pembelajaran berbasis
masalah.
3

Interaksi antara Pembelajaran dan PAM terhadap Peningkatan Kemampuan


Penalaran Matematis
Untuk menguji ada atau tidaknya interaksi antara metode pembelajaran dan

PAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis, digunakan uji ANOVA


dua jalur, data yang digunakan untuk uji ini adalah N-gain kemampuan penalaran
matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil perhitungan uji ANOVA dua
jalur diperoleh data seperti pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6
Hasil Uji Anova Dua Jalur
Data N-gain Kemampuan Penalaran Matematis
Mean
FAKTOR

df

Sig.

Square
22.03

Pembelajaran
1

.595

PAM

Pembelajaran * PAM

.000
0
16.74

.452

.162

.000
7
6.001 .004

Berdasarkan Tabel 6, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang diterapkan


memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa, yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) 0,000 lebih kecil
dari 0,05. Faktor PAM juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kemampuan penalaran matematis, yang ditunjukkan dengan nilai
probabilitas (sig.) 0,000 lebih kecil dari 0,05. Selanjutnya dari hasil ANOVA dua jalur
pada Tabel 6 juga diperoleh nilai sig. 0,004 lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol
ditolak. Hal ini berarti, terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran dan PAM

terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa, atau paling sedikit ada
satu level PAM yang berinteraksi dengan pembelajaran dalam meningkatkan
kemampuan penalaran matematis siswa. Untuk mengetahui pembelajaran mana yang
berinteraksi dengan level PAM dilanjutkan dengan uji Pasca ANOVA untuk masingmasing pasangan level PAM. Hasil uji Pasca ANOVA tersebut disajikan pada Tabel 7 di
halaman selanjutnya.

Tabel 7
Data Hasil Perbandingan Selisih Kemampuan Penalaran Matematis antar
Pembelajaran Pada level PAM
Pembelajaran

PBM ><
Konvensional

Level PAM

Perbedaan
Rerata

Kesimpulan

Tinggi >< Sedang

.2178*

H0 Ditolak

Tinggi >< Rendah

.2448*

H0 Ditolak

Sedang >< Rendah

.0270

H0 Diterima

Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel di atas, dapat


disimpulkan bahwa selisih peningkatan kemampuan penalaran matematis antara level
PAM tinggi dan sedang serta tinggi dan rendah pada pembelajaran berbasis masalah
berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Berarti
terdapat interaksi antara level PAM tinggi dan sedang serta tinggi dan rendah dengan
pembelajaran (PBM dan konvensional) terhadap peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa. Hasil ini tidak terjadi pada selisih kemampuan penalaran matematis
antara level PAM sedang dan rendah pada kedua pembelajaran (PBM dan
konvensional). Berarti tidak terdapat interaksi antara level PAM sedang dan rendah
dengan pembelajaran (PBM dan konvensional) terhadap peningkatan kemampuan

penalaran matematis siswa. Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan level
PAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis diperlihatkan pada
Gambar 1 di halaman selanjutnya.

Gambar 1

Interaksi antara Pembelajaran dan PAM terhadap Peningkatan Penalaran


Matematis Siswa

Dari Gambar 1 terlihat bahwa rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis


pada PAM tinggi dan rendah di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan
kelas kontrol. Sedangkan N-gain pada kelompok sedang di kedua kelas sama.
Selanjutnya pada gambar tersebut terlihat bahwa pembelajaran berbasis masalah cocok
untuk siswa kelompok tinggi dan rendah, namun jika dilihat dari selisih N-gain nya
maka pembelajaran berbasis masalah lebih cocok untuk kelompok rendah. Selisih Ngain kelompok rendah kelas eksperimen dan kontrol sebesar 0,40, sedangkan selisih Ngain kelompok tinggi kelas eksperimen dan kontrol sebesar 0,18.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh interaksi
antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa. Besarnya pengaruh interaksi ini dapat dilihat dari nilai Eta Squared.
Nilai Eta Squared untuk interaksi pembelajaran dan PAM sebesar 0.133. Maka
besarnya pengaruh interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa sebesar 13,3%. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pengaruh interaksinya sangat kecil. Begitu pula jika dilihat dari hasil yang
ditunjukkan pada Gambar 1 pada uji interaksi, terlihat bahwa pembelajaran berbasis
masalah cocok untuk kelompok tinggi, namun lebih cocok untuk kelompok rendah. Hal
ini dimungkinkan terjadi, karena pada saat diskusi kelompok, siswa kelompok rendah
lebih sering dibantu oleh guru maupun temannya dari kelompok tinggi. Sehingga siswa
kelompok rendah dapat meningkatkan pemahamannya terutama tentang permasalahan
dalam matematika. Seperti halnya pendapat Vygotsky (Dahlan, 2011), melalui proses
interaksi sosial dengan teman-temannya yang lebih mampu siswa dapat maju ke tahap
perkembangan

potensial.

Artinya,

siswa

dapat

memacu

dan

meningkatkan

pemahamannya berdasarkan ide-ide baru yang ditemukan.


I. Kesimpulan
Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu: (1) Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional; (2) Ada perbedaan peningkatan kemampuan
penalaran matematis antara siswa yang memiliki pengetahuan awal matematika tinggi,
sedang dan rendah setelah memperoleh pembelajaran berbasis masalah; dan (3) ada
interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap kemampuan penalaran matematis
siswa.
Daftar Pustaka
Arends, R. I. (2008). Learning to Teach : Ninth Edition. Connecticut : Central
Connecticut State University.
Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M.S. (1996). Assesing Students Mathematical
Communication. Official Journal of the Science and Mathematics. 96(5) 238246.
Dahlan, J. A. (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Depdiknas. (2006). Permendiknas No. 22 tahun 2006. Jakarta : Depdiknas.

Hake,

R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online].


http://www.physics.indiana.edu/ sdi/Analyzingchange-Gain.pdf.

Tersedia:

Matlin, M.W. (1994). Cognition, Third Edition. Geneseo : State University of New
York.
NCTM [National Council of Teachers of Mathematics] (2000). Principles and
Standards for School Mathematics. Reston, Virginia : NCTM.
Pamungkas, A. S. (2012). Pembelajaran Eksplorasi untuk Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Logis dan Self Concept Matematis Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Tesis SPS UPI : Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.
Rusman (2010). Model-Model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Bandung : Mulia Mandiri Pers.
Sumarmo, U. (2013). Kumpulan Makalah : Berpikir dan Disposisi Matematik serta
Pembelajarannya. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi