Vous êtes sur la page 1sur 1

ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI DALAM MASYARAKAT JAWA

Didalam buku ini Geertz mengkaji tentang masyarakat Jawa di daerah Mojokuto yang
dilihatnya terdiri dari tiga sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial
yang berlainan.Struktur sosial yang dimaksud adalah abangan. Tradisi agama abangan yang
utamanya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan slametan, yaitu suatu kompleks kepercayaan
yang luas dan rumit tentang roh-roh dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu
tenung atau santet, dan ilmu ghaib lainnya yang diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum
dengan desa-desa di Jawa.
Abangan identik dengan para petani di Jawa. (Geertz 1960:229). Satu cirri orang abangan
adalah sikap masabodoh terhadap ajaran agama dan hanya terpesona oleh perincian-perincian
upacara-upacara. Seorang abangan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh sebagai
pemeluk agama islam, sementara santri diidentifikasikan dengan mengacu kepada cirri-ciri yang
lebih pasti, kepada pola-pola kebudayaan yang hanya diasosiasikan dengan orang-orang santri
saja.Pola-pola ini termasuk satu sistem yang jelas tentang kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai
dan norma-norma yang lebih dikenal sebagai tradisi agama islam.
Menurut Geertz varian santri ini meliputi ritual-ritual pokok agama islam, seperti
kewajiban shalat lima waktu, shalat jumat di Masjid, berpuasa selama bulan ramadhan,
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ketaatan melakukan ibadah shalatlah yang pada tingkat
terakhir merupakan ukuran santri, karena Priyayi dan Abangan hampir tidak pernah
melakukannya.Secara umum varian santri diasosiasikan dengan unsur pedagang jawa, karena
walaupun di daerah Mojokuto banyak guru-guru agama,Kiai tetapi mereka pada dasarnya
berprofesi menjadi pedagang untuk mencari nafkah.
Varian priyayi menurut Geertz bahwa kaum priyayi adalah kaum elit yang sah,
memanifestasikan satu tradisi agama yang khas yang disebut sebagai varian agama priyayi dari
sistem keagamaan pada umumnya di Jawa.Kaum priyayi yang mencakup elite tradisional
dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan yang terdiri dari berbagai
tingkat menurut hierarki hak dan kewajiban.Dalam arti-arti tertentu gelar-gelar itu turun
temurun.Mereka tidak menekankan unsur animisme dalam sinkretisme jawa secara keseluruhan
sebagaiman dilakukan oleh kaum abangan, tidak pula menekankan unsure islam sebagaiamana
dilakukan oleh kaum santri, melainkian yang mereka tekankan adalah unsure Hinduismenya.

Vous aimerez peut-être aussi