Vous êtes sur la page 1sur 9

Apakah LGBT itu Penyakit Mental?

Terakhir diperbaharui pada 14 Februari 2016 oleh Candra Wiguna


Sebagai seorang mahasiswa psikologi yang aktif berorganisasi di komunitas lesbian, gay,
biseksual, dan transgender (selanjutnya disingkat LGBT), saya masih seringkali
berhadapan dengan individu homoseksual yang mempertanyakan mengenai normalitas
dalam dirinya kepada saya, bahkan di saat ia telah bergabung cukup lama dengan
organisasinya. Tidak jarang pula saya mendapatkan laporan dari beberapa teman saya
bahwa mereka mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter, psikiater dan bahkan
psikolog yang menyudutkan seksualitas mereka sebagai abnormalitas. Di dalam beberapa
media baik cetak dan elektronik pun, saya masih mendapatkan para ahli dari bidang
medis maupun psikologis di Indonesia yang menyatakan bahwa homoseksual itu sebuah
abnormalitas kejiwaan ataupun penyimpangan seksual. Beberapa di antara mereka
bahkan mengklaim diri mereka mampu menyembuhkan klien homoseksualnya. Di
kalangan mahasiswa psikologi sendiri, masih banyak yang menganggap bahwa
homoseksual ini terjadi karena efek patah hati ke lawan jenis, salah pola asuh dari
ketidakharmonisan keluarga, serta efek pergaulan dengan komunitas homoseksual.
Nampaknya penghapusan abnormalitas homoseksual dari kitab diagnosis gangguan
kejiwaan saja tak cukup untuk menghapus paradigma abnormalitas di masyarakat, bahkan
di kalangan psikologi sendiri. Beberapa ahli di Indonesia menyatakan bahwa DSM-III
yang pertama kali menghapus homoseksual sebagai gangguan kejiwaan dipengaruhi oleh
politik massa kelompok homofilia (sebutan untuk aktifis LGBT di saat itu) ataupun
disebabkan karena indoktrinasi nilai-nilai liberal Barat yang menjunjung tinggi kebebasan
individu serta nilai sekuler yang berusaha untuk memposisikan nilai-nilai agama pada
ruang privat individu dan bukan di ruang publik. Pemberitaan mengenai kasus
pembunuhan yang kejam dan mutilasi dilakukan oleh individu homoseksual seperti pada
kasus Ryan Jombang dan Babe seringkali menjadi dasar argumentasi mereka untuk
memberikan label abnormalitas pada homoseksual. Beberapa penelitian juga menemukan
bahwa individu homoseksual rentan memiliki depresi dan ketergantungan pada zat adiktif
(Polders et al, 2009), gangguan makan (Siever, 1994), rentan bermasalah dengan body
dissastifaction (Tiggemann, Martins, & Kirkbride, 2007), memiliki attachment style yang
insecure dalam hubungan interpersonal (Jellison & McConnell, 2003), perilaku sabotase
diri seperti meninggalkan pekerjaan dan pendidikan (Gonsiorek, 1995), perilaku seks
beresiko (Stokes & Peterson, 1998), melakukan bunuh diri (Macdonald & Cooper, 1998),
dan kekerasan dalam level domestik (Pharr, 1988).
Jadi, apakah benar homoseksual hanya dinormalkan karena adanya pengaruh nilai liberal
Barat dan politik massa kelompok homofilia? Apakah benar memang homoseksualitas
dapat dan harus disembuhkan?
Depatologisasi Homoseksual : Efek Politik atau Hasil Penelitian Ilmiah?

American Psychiatric Association (selanjutnya disingkat APA) telah menghapus


homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada
tahun 1973. Keputusan ini memang diambil dari sebuah perubahan kultural yang dibawa
gerakan protes sosial dari tahun 1950 hingga tahun 1970an yang dimulai dari gerakan hak
sipil Afrika-Amerika, yang kemudian beranjak kepada gerakan hak perempuan dan gay.
Tapi apakah ini berarti benar penghapusan diagnosa homoseksual dari DSM murni politik
tanpa dasar ilmiah sama sekali?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat kembali kepada hasil studi yang
mendukung penghapusan homoseksualitas sebagai abnormalitas. Dimulai dari hasil studi
Alfred Kinsey di tahun 1948 mengenai seksualitas laki-laki dan perempuan. Hasil studi
yang dikenal sebagai Sexual Behavior in the Human Male (Kinsey & Martin, 1948) dan
Sexual Behavior in the Human Female (Kinsey, Martin & Gebhard, 1953) memulai
perubahan budaya dari pandangan mengenai homoseksualitas sebagai patologi menjadi
sebuah variasi normal dari seksualitas manusia.
Di dalam studinya ini, Kinsey mengkritik habis-habisan kecenderungan para peneliti
untuk mengkotak-kotakkan homoseksual dan heteroseksual sebagai dua tipe manusia
yang berbeda. Oleh karena itu, Kinsey memperkenalkan skala 0 hingga 6 untuk
mengklasifikasi perilaku atau fantasi seksual dari: exclusively heterosexuals hingga
exclusively homosexuals
Sebuah kutipan singkat dari halaman 639, Sexual Behavior in the Human Male dapat
menjelaskan pandangan Kinsey mengenai kadar homoseksual bergradasi dalam diri
manusia, terutama lelaki.
Laki-laki tidak mewakilkan dua populasi yang saling berlainan, heteroseksual dan
homoseksual. Dunia ini tidak terbagi menjadi domba dan kambing. Ada sebuah
taksonomi mendasar yang jarang sekali dibawa oleh alam dengan kategori berlainan
Dunia kehidupan adalah sebuah kontinum di dalam setiap aspeknya. (Kinsey & Martin,
1948)
Dari pernyataan inilah skala homoseksual bergradasi Kinsey tercipta sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Exclusively heterosexual with no homosexual


Predominantly heterosexual, only incidentally homosexual
Predominantly heterosexual, but more than incidentally homosexual
Equally heterosexual and homosexual
Predominantly homosexual, but more than incidentally heterosexual
Predominantly homosexual, only incidentally heterosexual
Exclusively homosexual

Kinsey telah menemukan bahwa 37% laki-laki dan 13% perempuan telah menunjukkan
sebuah pengalaman homoseksual yang bersifat overt hingga titik orgasme; lebih jauh
lagi, ditemukan bahwa 10% laki-laki ternyata kurang lebih berada pada skala

homoseksual eksklusif. Sekitar 8% laki-laki ternyata homoseksual eksklusif setidaknya


sepanjang tiga tahun dengan rentang umur 16 dan 55. Sementara itu pada perempuan
ditemukan 2-6% melaporkan perilaku dan pengalaman homoseksual eksklusif. Terdapat
setidaknya 4% laki-laki dan 1-3% perempuan menyadari dirinya sebagai homoseksual
eksklusif setelah masa pubertas.
Pada tahun 1951, Clellan Ford dan Frank Beach menerbitkan buku Patterns of Sexual
Behavior menemukan bahwa homoseksualitas ternyata ditemukan di berbagai budaya di
dunia dan bahkan juga hadir dalam spesies hewan. Dengan penemuan ini, makadapat
disimpulkan bahwa homoseksualitas sendiri hadir secara alamiah dan tersebar luas di
berbagai budaya.
Dari bidang psikologi, sebuah studi yang sangat mengejutkan dihasilkan oleh Evelyn
Hooker. Hooker menunjukkan hasil tiga test proyektif (TAT, MAPS, dan Rorschach) dari
tiga puluh orang lelaki homoseksual yang didapatkan dari Mattachine Society dan tiga
puluh orang lelaki heteroseksual. Kedua kelompok ini dikelompokkan lagi berdasarkan
IQ, umur dan latar belakang pendidikan. Untuk kepentingan hasil penelitian, Hooker
menerapkan kriteria responsen bahwa para lelaki dari kedua kelompok tidak boleh pernah
mendapatkan bantuan psikologis, sedang dalam masa terapi, pernah dipenjara, pernah
berada dalam barak militer, ataupun menunjukkan bukti adanya gangguan kejiwaan.
Hasil test proyektif ini diserahkan kepada tiga ahli di dalam tes proyektif dengan enam
puluh profil psikologis yang tidak diberitahukan orientasi seksualnya. Ketiga ahli ini
adalah Bruno Klopfer yang ahli dalam tes Rorschach yang dikenal dapat mengidentifikasi
homoseksualitas, Edwin Shneidman, pencipta dari MAPS sendiri dan Mortimer Mayer
yang bahkan memeriksa ke enam puluh profil hingga dua kali, namun ketiganya
berkesimpulan sama: bahwa mereka gagal membedakan kedua kelompok. Hasil studi
Hooker menunjukkan bahwa para psikolog yang telah berpengalaman sekalipun tidak
dapat membedakan hasil test antara homoseksual dan heteroseksual.serta tidak ada
perbedaan antara fungsi mental keduanya.Hasil studi ini akhirnya dipresentasikan di
tahun 1956 di Chicago dalam konvensi American Psychological Association. National
Institute of Mental Health sangat terkesan dengan hasil penelitian Evelyn Hooker
sehingga mendapatkan penghargaan untuk melanjutkan hasil karyanya yang telah
mengubah sikap dalam komunitas psikologi terhadap homoseksual. Hasil studi ini pula
yang mempengaruhi keputusan APA untuk menghapus homoseksualitas di tahun 1973.
Homoseksualitas sendiri telah dimasukkan ke dalam gangguan mental di DSM-1 pada
tahun 1952 sebagai gangguan kepribadian sosiopath, dikarenakan dianggap melanggar
norma masyarakat. DSM-II yang diterbitkan pada tahun 1968, menjadikan
homoseksualitas sebagai daftar kelainan seksual, namun tidak dimasukkan sebagai
gangguan kepribadian. Penerbitan DSM-II ini berbenturan dengan kemunculan gerakan
hak homoseksual. Kerusuhan Stonewall pada tahun 1969 yang berdarah menjadi sebuah
momentum tersendiri. Setelah berhasil menantang usaha polisi dan pemerintah untuk
menutup tempat umum dimana para gay berkumpul, aktivis gay dengan segera
menantang para psikiater.

Sebelum kejadian Stonewall, aktivis gay telah menerima pandangan medis mengenai
homoseksualitas sebagai gangguan kejiwan. Pandangan abnormalitas ini berarti
menerima homoseksualitas sebagai penyakit sehingga diharapkan dapat diperlakukan
sebagai sebuah cacat, daripada sebuah dosa agama ataupun amoralitas agar dapat
diperlakukan dengan sikap lebih manusiawi dan objektif.
Akan tetapi generasi baru dari aktivis gay melihat pandangan medis dan psikiatris ini
sama bermasalahnya dengan pandangan agama. Penolakan terhadap hak asasi mereka
masih terjadi yang mana semakin memperbesar prasangka antihomoseksual di
masyarakat, menyebabkan ancaman hebat bagi kesejahteraan homoseksual. Akhirnya,
terjadilah konfrontasi terhadap APA yang dilakukan oleh aktivis homofil di beberapa
pertemuan tahunan antara 1970 dan 1972. Sebagai hasil dari aktivis gay terus menerus
melakukan protes di pertemuan tahun 1970 dan 1971, maka akhirnya digelarlah sebuah
presentasi yang mendukung gay pada tahun 1972. Pada pertemuan ini John Fryer, MD
muncul dalam sebuah panel dengan karyanya berjudul Psychiatry: Friend or Foe to
Homosexuals? yang diselenggarakan oleh aktivis gay Barbara Gittings dan Frank
Kameny, yang muncul bersama Fryer serta bersama Judd Marmor, M.D. seorang psikiater
heteroseksual dan pendukung penghapusan homoseksualitas dari diagnosis.
Di saat itu, Dr. Fryer muncul sebagai Dr. H. Anonymous, menyamar dengan tuksedo yang
berukuran kebesaran dan menggunakan sebuah topeng untuk menyamarkan identitasnya.
Dia mengejutkan para penonton psikiater dengan menyatakan dalam sebuah suara yang
diubah, I am a homosexual. I am a psychiatrist. Dia lalu menjelaskan dengan
menggambarkan kehidupannya sebagai seorang psikiater gay yang tertutup dan harus
hidup dalam sebuah bidang yang masih menganggap homoseksualitas sebagai gangguan
kejiwaan. Inilah pertama kalinya seorang psikiater gay berani menampilkan dirinya di
antara rekan sejawatnya.
Kelompok pro dan kontra homoseksual pun semakin terlihat jelas di kalangan komunitas
psikiatri. Beberapa anggota APA menunjukkan hasil penelitian yang mendukung bahwa
homoseksualitas ada dalam jumlah banyak orang yang menunjukkan fungsi psikologis
yang normal dan berada di dalam berbagai budaya. Dr. Robert Spitzer dan anggota
lainnya dari Satuan Tugas APA setuju untuk bertemu dengan kelompok aktivis gay yang
menunjukkan bukti ilmiah dan meyakinkan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai
homoseksualitas. Penelitian selanjutnya akhirnya meminta bahwa homoseksualitas
dihapuskan dari DSM di dalam sebuah proposal. Proposal ini akhirnya disetujui oleh
Dewan Penelitian dan Perkembangan APA, Komite Referensi, dan Perwakilan Cabang
Distrik sebelum akhirnya diterima oleh Board of Trustee dari APA pada Desember 1973.
Organisasi profesi kesehatan jiwa lainnya seperti American Psychological Association
dan National Association of Social Workers akhirnya menyetujui aksi ini.
Beberapa anggota APA, terutama para ahli psikoanalisa terus memaksakan pandangan
patologis mengenai homoseksualitas, menantang pimpinan APA dengan menyerukan
referendum keanggotaan seluruh APA. Keputusan untuk menghapus homoseksualitas
ditegakkan oleh suara mayoritas 58% anggota APA.

Ketika diagnosa homoseksualitas ini dihapuskan pada tahun 1973, APA tidak begitu saja
menerima sepenuhnya model normal homoseksualitas (Drescher 1998, Bayer 1987,
Krajeski 1996). Akibat adanya perlawanan dari pihak kontra, pimpinan APA akhirnya
membuat sebuah kompromi. Kompromi inilah yang meletakkan diagnosis Sexual
Orientation Disturbance (selanjutnya disingkat SOD) untuk menggantikan posisi
homoseksualitas. Diagnosa SOD ini ditegakkan bagi homoseksual yang berada dalam
konflik dengan orientasi seksualnya. Hal ini pun tetap memicu kontroversi tersendiri,
karena tidak ada heteroseksual yang tidak bahagia dengan heteroseksualitasnya sehingga
mencari perawatan untuk menjadi homoseksual. Tahun 1980 DSM-III akhirnya SOD
digantikan oleh homoseksual ego distonik.
Proses revisi DSM-III terhadap homoseksual ego distonik juga memicu kontroversi besar.
Dalam debat ini, anggota APA lesbian dan gay yang terbuka mengenai orientasi seksual
mereka akhirnya memainkan peran penting dalam membawakan perubahan (Krajeski,
1996). Anggota APA Advisory Committee mulai mengerjakan revisi. Pihak pro dari
homoseksual ego distonik berargumen bahwa diagnosis ini dapat berguna secara klinis
dan penting untuk statistik dan penelitian. Pihak kontra homoseksual ego distonik
menekankan bahwa membuat pengalaman subjektif klien terhadap homoseksualitas
sebagai faktor penentu diagnosa mereka tidaklah konsisten dengan pendekatan
berdasarkan bukti yang telah dianut oleh psikiatri. Pihak kontra berargumen bahwa data
empiris tidak mendukung diagnosa ini sehingga tidaklah pantas untuk memberikan label
budaya yang bersifat homophobik sebagai gangguan kejiwaan itu sendiri. Komite APA
setuju dengan pihak kontra dan diagnosa homoseksual ego distonik dihapuskan dari
DSM-III-R pada tahun 1987.
Perubahan ini mendukung American Psychological Association dan kelompok kesehatan
jiwa lainnya untuk melakukan depatologisasi homoseksualitas. APA bahkan menyatakan
bahwa diskriminasi terhadap pekerjaan akibat orientasi seksual sebagai irasional di tahun
1988, APA juga telah menentang penolakan dari militer diakibatkan orientasi seksual
pada tahun 1990. Di tahun 1992, APA mendorong setiap anggotanya untuk turut aktif
dalam kasus-kasus terkait orientasi seksual dan menolong pencegahan kasus-kasus ini
agar tidak terus terjadi. APA bahkan mengeluarkan sebuah pernyataan menentang semua
jenis perawatan psikiatri yang mencoba mengubah orientasi seksual pasiennya. Di tahun
2000, APA bahkan berani mendukung hubungan sesama jenis. Dua tahun kemudian, APA
mendukung adopsi anak untuk pasangan homoseksual. Pada tahun 2005, APA
mendukung sepenuhnya pernikahan sesama jenis dan hak pasangan homoseksual untuk
menikah.
Langkah ini diikuti oleh American Psychoanalytic Association (APsaA) pada tahun 1991
menentang diskriminasi terhadap gay dan seleksi kandidat pelatihan mereka menjadi
lebih inklusif terhadap semua orientasi seksual. Tahun 1997, ApsaA mendukung
pernikahan sesama jenis dan menegaskan bahwa terapi untuk mengubah homoseksual
menentang prinsip mendasar dari perawatan berbasiskan psikoanalisis pada tahun 2000.
Dua tahun kemudian, ApsaA juga menolak diskriminasi terhadap orientasi seksual di
dalam mengadopsi anak. World Health Organization dengan ICD-10nya menghapus
homoseksualitas pada tahun 1992 dan hari inilah yang akhirnya dikenal sebagai

International Day Against Homophobia oleh komunitas gay di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Semua perubahan positif bagi homoseksual ini tetap memicu kontroversi dari
pihak anti homoseksual, sekelompok kecil psikolog dan psikiater terus berjuang melawan
homoseksualitas. Mereka tetap kokoh pada pendapat bahwa homoseksualitas adalah
sebuah disfungsi, abnormalitas yang dapat disembuhkan. Kelompok ini terutama berasal
dari National Association for Research and Therapy of Homosexuality (selanjutnya
disingkat NARTH).
Upaya Penyembuhan Homoseksual : Benarkah Mereka Berhasil?
Banyaknya klaim dari NARTH dan kelompok pendukung terapi penyembuhan
homoseksual lainnya mengenai kesuksesan terapi mereka mengubah orientasi seksual
seringkali dibantah dengan lebih banyaknya laporan mengenai orang yang gagal berusaha
untuk menjadi heteroseksual dan justru mengalami banyak masalah dan tekanan
psikologis di dalam proses yang diharapkan membawa penyembuhan.
Sebagai respons terhadap debat publik mengenai upaya penyembuhan orientasi seksual,
American Psychological Association membentuk Task Force on Appropriate Therapeutic
Responses to Sexual Orientation yang melakukan tinjauan kepada karya ilmiah terkait
terapi-terapi yang berusaha mengubah orientasi seksual ini. Termasuk kepada terapiterapi yang dilakukan oleh pihak NARTH dan pihak-pihak lainnya yang mendukung
terapi perubahan orientasi seksual.
Tahun 2009, Task Force ini melaporkan adanya masalah serius pada metodologi
penelitian di area terapi ini, yang mana menunjukkan hanya sedikit studi memenuhi
standard minimal untuk mengevalusi perawatan psikologis yang efektif.
Berdasarkan tinjauan kepada hasil penelitian yang dianggap memenuhi standard ini, Task
Force menyimpulkan bahwa:
Perubahan orientasi seksual yang menetap sangatlah jarang. Para responden dalam
penelitian ini terus mengalami atraksi sesama jenis setelah upaya perubahan orientasi
seksual dan tidak melaporkan perubahan signifikan ketertarikan kepada lawan jenis yang
dapat divalidasi secara empiris, meskipun beberapa menunjukkan berkurangnya gairah
fisiologis semua rangsangan seksual. Bukti menarik dari penurunan perilaku seksual
sesama jenis dan terlibat dalam perilaku seksual dengan jenis kelamin yang lain sangatlah
jarang. Beberapa penelitian memberikan bukti kuat bahwa perubahan yang dihasilkan
dalam kondisi laboratorium dihasilkan ke kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hasil
penelitian secara ilmiah menunjukkan bahwa tidak mungkin bahwa orang akan dapat
mengurangi ketertarikan kepada sesama jenis atau menambah atraksi seksual lainnyaseks melalui upaya perubahan orientasi seksual.
Sebagai respon terhadap laporan Task Force, American Psychological Association
akhirnya mengeluarkan resolusi pada tahun 2009 yang menyatakan bahwa tidak adanya
bukti pendukung untuk menggunakan intervensi psikologis dalam mengubah orientasi
seksual.

Sumber Perilaku Abnormal Homoseksual


Jika homoseksual normal dan tidak ada terapi yang dapat mengubah seorang
homoseksual menjadi heteroseksual, lalu mengapa begitu banyak penelitian yang
menunjukkan kerentanan individu homoseksual dengan masalah kejiwaan?
Semua penelitian yang telah disebutkan sebelumnya di atas, menyoroti lebih jauh bahwa
orientasi seksual bukanlah sebagai faktor resiko masalah kejiwaan itu sendiri. Memiliki
orientasi seksual kepada sesama jenis tidak serta-merta membuat seseorang menjadi
rentan terhadap masalah kejiwaan. Faktor lingkungan sosial yang homofobik dan
memberikan tekanan minoritas kepada kelompok homoseksual yang menjadi penyebab
tingginya distress sehingga memicu gangguan kejiwaan (Polders et al, 2009). Faktor
sosial ini antara lain adalah kurangnya social support, tidak adanya keterbukaan atas
orientasi seksual yang semakin mengurangi kemungkinan mendapatkan social support,
victimization dalam bentuk hate speech dan physical victimization.
Internalized homophobia juga seringkali menjadi potensi untuk munculnya masalah
kejiwaan (Szymanski & Kashubeck, 2008). Internalized homophobia dapat dijelaskan
melalui konsep stigma dan prasangka Allport (1954) yang melihat internalized
homophobia sebagai reaksi homoseksual terhadap stigma ke dalam dirinya sendiri yang
mana individu homoseksual ini mengidentifikasi diri sesuai dengan kepercayaan
kebanyakan heteroseksual di masyarakat. Internalized homophobia memicu kebencian
kepada diri sendiri dan menyebabkan banyak masalah kesehatan fisik dan kejiwaan
(Newcomb & Mustanski, 2010).
Jadi sangatlah jelas bahwa permasalahan kesehatan pada homoseksual justru lebih
banyak disebabkan oleh nilai-nilai budaya dan faktor lingkungan sosial yang menolak
keberadaan mereka. Perkembangan kepribadian yang sehat membutuhkan dukungan
sosial yang positif dan memungkinkan individu untuk mengaktualisasikan potensinya
tanpa ada halangan, tekanan dan diskriminasi. Selama halangan, tekanan, dan
diskriminasi ini terus hadir di dalam masyarakat, maka selama itu pula individu
homoseksual akan terus mendapatkan permasalahan yang lebih berat dalam
kehidupannya dibandingkan individu heteroseksual. Sebaliknya, homoseksual yang telah
berhasil menerima diri mereka dan mendapatkan dukungan orang sekitar mereka justru
dapat menjadi sosok yang sukses dan bahkan menginspirasi. Inilah bukti nyata bahwa
homoseksualitas bukanlah bentuk abnormalitas itu sendiri, namun tekanan sosial dapat
memicu perilaku bermasalah dan masalah kesehatan fisik dan jiwa pada homoseksual.

Referensi :

Allport, G. (1954). The nature of prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley.


Bayer, R. (1987). Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of
Diagnosis. Princeton: Princeton University Press.

Drescher, J. (1998). Psychoanalytic Therapy and the Gay Man. New York: The
Analytic Press.
Drescher, J. & Merlino, J.P., (2007). American Psychiatry and Homosexuality: An
Oral History. Harrington Park Press. Ford, C.S. & Beach, F.A. 1951. Patterns of
Sexual Behavior. New York: Harper & Row.
Gonsiorek, J. C. (1995). Gay male identities: Concepts and issues. In A. R.
DAugelli & C. J. Patterson (Eds.). Lesbian, gay, and bisexual identities over the
lifespan: Psychological perspectives (pp. 24-47). New York: Oxford Press.
Hire, R.O. 2007. An interview with Frank Rundle, MD. In American Psychiatry
and Homosexuality: An Oral History, ed. J. Drescher, J.P. Merlino, 115-130. New
York: Harrington Park Press.
Hooker, E. (1956). A preliminary analysis of group behavior of homosexuals.
Journal Of Psychology. Vol 42 pp 217-25.
Hooker, E. (1957). The adjustment of the male overt homosexual. Journal of
Projective Techniques .Vol 21 pp 18-31.
Jellison, W. A., & McConnell, A. R. (2003). The Mediating Effectsof Attitudes
Toward Homosexuality Between Secure Attachment and Disclosure Outcomes
Among Gay Men. Journal of Homosexuality, Vol. 46(1/2), pp. 159 177
Kinsey, A.C., W.B. Pomeroy, C.E. Martin. (1948). Sexual Behavior in the Human
Male. Philadelphia, PA: W.B. Saunders.
Kinsey, A.C., W.B. Pomeroy, C.E. Martin, P.H. Gebhard. (1953). Sexual Behavior
in the Human Female. Philadelphia, PA: W.B. Saunders.
Krajeski, J. (1996). Homosexuality and the mental health professions. In Textbook
of Homosexuality and Mental Health, ed. R. Cabaj& T. Stein, 17-31. Washington:
American Psychiatric Press.
Macdonald, R. & Cooper. T. (1998), Young Gay Man and Suicide : A Report of A
Study Exploring Which Young Men Give for Suicide. Youth Studies Australia.
Vol.17 (4), pp 23 27
Newcomb, M.E. & Mustanski, B. (2010). Internalized homophobia and
internalizing mental health problems: A meta-analytic review. Clinical Psychology
Review. Vol 30. pp 10191029
Pharr, S. (1988).Homophobia: A weapon of sexism. Little Rock: Chardon.
Poulders, L.A (2009), Factors affecting vulnerability to depression among gaymen
and lesbian women in Gauteng, South Africa. South African Journal of
Psychology, Vol 38(4), pp.673-687
Siever, M.D (1994). Sexual orientation and gender as factors in socioculturally
acquired vulnerability to body dissatisfaction and eating disorders. Journal of
Consulting & Clinical Psychology, Vol 62, pp: 252-260.
Spitzer, R L. 1973. A proposal about homosexuality and the APA nomenclature:
Homosexuality as an irregular form of sexual behavior and sexual orientation
disturbance as a psychiatric disorder. American Journal of Psychiatry Vol 130 pp
1214-1216.
Stokes, J. P., & Peterson, J. L. (1998). Homophobia, self-esteem, and risk for HIV
among African-American men who have sex with men. AIDS Education and
Prevention, Vol 10, pp 278-292

Szymanski, D. M., & Kashubeck-West, S. (2008). Mediators of the relationship


between internalized oppressions and lesbian and bisexual womens
psychological distress. The Counseling Psychologist. Vol 36, pp 575594.
Tiggemann, M., Martins, Y., & Kirkbride, A. (2007). Oh to be lean and muscular:
Body image ideals in gay and heterosexual men. Psychology of Men and
Masculinity, Vol 8(1), pp 15-24
http://psychology.ucdavis.edu/rainbow/html/facts_changing.html. Attempts to
Change Sexual Orientation. diakses pada tanggal 11 Oktober 2013.

Vous aimerez peut-être aussi