Vous êtes sur la page 1sur 19

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru


2.1.1. Definisi
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga
menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Irman,
2008).
Tuberkulosis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis kompleks ini
yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis
jaringan. Infeksi tuberkulosis dapat mengenai berbagai organ dan jaringan di dalam tubuh
tetapi didominasi oleh Tuberkulosis paru sebanyak 80-85% dan selebihnya adalah
Tuberkulosis ekstra paru (Widowati,2013).
Penularan kuman ini melalui udara dan bisa bertahan di udara sampai beberapa
menit sampai jam setelah dikeluarkan oleh penderita Tuberkulosis paru sewaktu batuk,
bersin, berbicara, dan orang yang terpapar akan terinfeksi (Alsagaff dan Mukty, 2006).
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman
tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis,
lurus atau agak bengkok,bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar tebal terdiri dari lipoid. Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut BTA.

Serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan
kering dan dingin, dan bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen
(Widoyono, 2005).
Mycobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk
penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100 0 C selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri
ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap, namun tidak
tahan terhadap sinar atau aliran udara (Widoyono, 2005).
Bakteri Mycobacterium tuberculosis terbagi atas 4 kelompok populasi yaitu:
1. Populasi A : Bakteri tumbuh dan berkembang terus dengan cepat, bakteri banyak
terdapat pada dinding kaviti atau dalam lesi Ph netral.
2. Populasi B : Bakteri tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam.
Lingkungan asam yang melindungi bakteri terhadap obat anti tuberkulosis tertentu.
3. Populasi C : Bakteri berada dalam keadaan dorman hampir sepanjang waktu. Hanya
kadang-kadang saja bakteri mengalami metabolisme secara aktif dalam waktu yang
sangat singkat, bakteri tuberkulosis banyak terdapat pada dinding kaviti.
4. Populasi D : Bakteri sepenuhnya bersifat dorman sehingga sama sekali tidak dapat
dipengaruhi oleh obat anti tuberkulosis. Jumlah populasi D tidak jelas dan hanya bisa
dimusnahkan

oleh

(Widowati, 2013).

2.1.3. Cara Penularan

mekanisme

pertahanan

tubuh

manusia

itu

sendiri

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian
tubuh lainnya,
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes, 2007).
2.1.4. Patogenesis
2.1.4.1. Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidak nya sinar ultraviolet karena itu penularannya
terutama terjadi pada malam hari, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru. Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag (Bahar, 2009)
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) ghon.

sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru


(Bahar, 2009).
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas antara lain sarang Ghon,

garis fibrotik,

sarang perkapuran dii hilus.


3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun paru sebelahnya.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen (PDPI, 2006).
2.1.4.2. Tuberkulosis Postprimer
Terjadi setelah periode laten (bertahun-tahun) setelah infeksi primer. Dapat terjadi
karena reaktivitas atau reinfeksi. Reaktivitas terjadi akibat kuman dorman yang berada pada
jaringan selama beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi.
Reaktivitas dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah. Reinfeksi diartikan adanya
infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB post
primer umumnya menyerang paru, tetapi dapat pula tempat lain di seluruh tubuh umumnya
pada usia dewasa. Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas
dengan kavitas, hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas umumnya tidak terdapat
limfadenopati intratoraks (Hasan,2010).
Tuberkulosis post primer terjadi setelah timbulnya respon imun spesifik yang bisa
juga terjadi melalui inhalasi kuman baru atau reinfeksi TB primer. Gejala sistemik timbul
akibat reaktivasi makrofag yang melepaskan sitokin sehingga menimbulkan gejala febris,
anoreksia dan penurunan berat badan. TB post primer tidak menimbulkan gangguan sistem
limfe kecuali pada penderita defisiensi imun (Icksan AG, Luhur, 2008).
2.1.5. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi, TB paru diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :


1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru. Tuberkulosis
paru dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
A. Tuberkulosis paru BTA positif (sangat menular)
a. Pada Tuberkulosis paru BTA positif penderita telah melakukan pemeriksaan
sekurang-kurangnya dua dari tiga kali pemeriksaan dahak dan memberikan hasil
yang positif
b. Satu kali pemeriksaan dahak yang memberikan hasil yang positif dan foto rontgen
dada yang menunjukkan Tuberkulosis aktif.
c. Satu atau lebih spesimen dahak hasil positif setelah pemeriksaan tiga dahak SPS
sebelumnya dengan hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik non OAT.
B. Tuberkulosis paru BTA negatif
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) (Tjandra, 2006; Depkes, 2007).
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya selaput paru,
selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening, tulang, persendian kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, dan lain-lain.
Berdasarkan tingkat keparahannya, Tuberkulosis paru ini dibagi menjadi Tuberkulosis
ekstra paru berat (severe) dan Tuberkulosis ekstra paru rinan (not/ less severe). Contohnya
adalah tuberkulosis milier dimana patogen ke seluruh paru-paru dan memberikan gambaran
bintik-bintik kecil seperti mutiara (Sibuea, 2005).
Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe penderita
TB Paru, yaitu:

10

1. Kasus baru, yaitu penderita yang belum pernah mendapat pengobatan sebelumnya atau
sudah penah menelan OAT( Obat Anti Tuberkulosis) kurang dari 1 bulan (30 dosis
harian).
2. Kambuh (relaps) adalah penderita Tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis paru dan sudah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
3. Pindahan (transfer in) adalah pendeita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kota
lain dan kemudian pindah berobat ke kota ini. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/ pindah.
4. Berobat setelah lalai (drop out) adalah penderita yang kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak basil tahan asam positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih.
5. Lain- lain
a. gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan kelima atau lebih dan pendrita
dengan hasil BTA negatif/ rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
b. Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif seteah selesai
pengobatan ulang (Depkes, 2007).

2.1.6. Gejala Klinis


Gejala akibat TB Paru adalah batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3
minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Seseorang yang dicurigai menderita TB Paru harus
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan fisik, test tuberkulin mantoux, foto toraks,
pemeriksaan bakteriologi atau histology. Test tuberkulin harus dilakukan pada semua orang
yang dicurigai menderita TB klinis aktif namun, nilai tes tersebut dibatasi oleh reaksi
negatif palsu, khususnya pada seseorang dengan immunosupresif. Seseorang yang
diperkirakan memiliki gejala TB Paru, khususnya batuk produktif yang lama dan

11

hemoptisis, harus menjalani foto toraks, walaupun reaksi terhadap tes tuberkulin
intradermalnya negatif (Price, Wilson, 2005).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau banyak
ditemukan pasien TB Paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan dibagi menjadi dua golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik
Menurut Alsagaff dan Mukty (2006) tanda tanda klinik tuberkulosis paru dapat
dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik :
1. Gejala sistemik yaitu:
a. Demam
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering kali panas badan
sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi
lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progesif sehingga penderita merasakan
badannya hangat atau muka terasa panas
b. Malaise
Karena Tuberkulosis paru bersifat radang menahun maka dapat terjadi rasa tidak enak
badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah
lelah.
c. Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran
panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum
yang lebih erat.
2. Gejala respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Biasanya batuknya ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat
rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada
waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Bila proses

12

dekstruksi berlanjut, sekret dikluarkan terus menerus sehingga batuk menjadi lebih
dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari.
Bila yang terkena trakea dan/ atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih
sering atau terdengar berulang-ulang (paroksimal). Bila laring yang terserang, batuk
terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai
suara serak
(Alsagaff dan Mukty, 2006).
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak- bercak darah,
gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus).
Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis karena
batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh
darah pada dinding kavitas. Batuk darah pada pemeriksaan radiologis tampak ada
kelainan. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur
dahak yang mengandung basil tahan asam. Batuk darah juga dapat terjadi pada
tuberkulosis yang sudah sembuh karena robekan jaringan paru atau darah berasal
dari bronkiektasis yang merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada saat
seperti ini dahak tidak mengandung basi tahan asam (Alsagaff dan Mukty, 2006).
c. Sesak napas
Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada paru atau
penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi Tuberkulosis paru.
Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan turun
(Alsagaff dan Mukty, 2006).
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pluritik yang ringan. Bila nyeri
bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (Alsagaff dan Mukty, 2006).
2.1.7. Pemeriksaan Fisik

13

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu badan (subfebris), badan kurus
atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik (Bahar, 2009).
Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang
redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapati juga suara napas tambahan berupa
ronki basah, kasar, dan nyaring. Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang
luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi
lebih hiperinflasi. Dalam penampilan klinis, tuberkulosis paru sering asimtomatik dan
penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan
rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2009).
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Darah Rutin
Pada saat tuberkulosis (TB) muai aktif jumlah leukosit akan didapatkan sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran k kiri. Jumlah limfosit kembali normal dan laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi
(Amin, Bahar, 2009).
2. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan biakan dan analisis
mikroskopis dilakukan dari dahak penderita. Jika pada kultur biakan terdapat kuman

14

Mycobacterium tuberculosis, dapat dipastikan bahwa seseorang terkena tuberkulosis.


Pemeriksaan biakan ini memberikan hasil yang baik, namun pemeriksaan nya biasanya
memakan waktu yang lama. Seseorang dinyatakan sebagai penderita paru menular
berdasarkan gejala batuk berdahak 3 kali. Kuman ini akan terlihat di bawah mikroskop jika
jumlah kuman paling sedikit sekitar 5000 batang dalam 1 ml dahak. Dalam pemeriksaan ini
dahak jumlahnya harus 3-5 ml tiap pengambilan. Untuk hasil yang

spesimen dahak

sebaiknya sudah dapat dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan berurutan. Hasi positif
menunjukkan bila 2 dari 3 sampel dahak ditemukan basil tahan asam. Dahak yang
dikumpulkan sebaiknya dahak yang keluar sewaktu pagi hari.

Menurut Anggraeni (2011) alur pemeriksaan dahak dikenal dengan istilah SPS
(sewaktu, pagi, sewaktu).
S :

dahak penderita diperiksa di laboratorium sewaktu penderita

datang

pertama kali.
P : sehabis bangun tidur keesokan harinya, dahak penderita ditampung dalam
pot kecil yang diberikan oleh petugas laboratorium. Kemudian dahak ditutup
rapat dan dibawa ke laboratorium untuk di periksa.
S : dahak penderita dikeluarkan lagi di laboratorium (penderita datang ke
laboratorium) untuk di periksa.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease (IUATLD)

15

Skala IUATLD adalah :

Tidak ditemukan basil tahan asam dalam 100 lapang pandang disebut

negatif
Ditemukan 1-9 basil tahan asam dalam 100 lapang pandang ditulis jumlah

kuman yang ditemukan


Ditemukan 10-99 basil tahan asam dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 basil tahan asam dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 basil tahan asam dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+)

3. Test Tuberkulin
Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
PPD (Purfied Protein Derivative) intrkutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan
apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48
sampai 72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis
memberikan reaksi Mantoux positif (99,8%) (Amin, Bahar. 2009).
4.

Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis Tuberkulosis Paru dilakukan juga dengan pemeriksaan radiologi
untuk menemukan lesi daripada tuberkulosis tersebut. Lokasi lesi tuberkulosis
umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus
bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior). Pada awal
penyakit saat lesi masih merupakan sarang- sarang pneumonia, gambaran radiologis
berupa bercak- bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila

16

lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas. Lesi ini dikenal dengana tuberkuloma (Bahar, 2009)
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama- lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercakbercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis
paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks)
(Bahar, 2009).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI, 2006) luas lesi yang
tampak pada foto thoraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas

tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kaviti
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.1.9. Diagnosis
Kultur perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti pada tuberkulosis.
Dengan berbagai tehnik baku maka dapat di deteksi adanya Mycobacterium tuberculosis.
Diagnosis tuberkulosis juga dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan gambar
rontgen dengan berbagai kriteria (Aditama, 2002).
Diagnosis dapat juga ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium, radiologis dan penunjang lainnya. Penderita dengan gejala respiratorik dan

17

sistemik harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu- pagisewaktu atau SPS) (Hasan, 2010).
Diagnosis

pasti

Tuberkulosis

paru

adalah

dengan

menemukan

kuman

Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua
pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang
belum berhubungan dengan bronkus, atau pasien yang tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status
bakteriologis, status radiologis. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjaang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak membenarkan mendiagnosis Tuberkulosis paru hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks selalu memberikan gambaran yang khas pada
Tuberkulosis paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik
paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes, 2007).
WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru :
1. Pasien dengan sputum BTA positif : 1 pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada dua kali pemeriksaan.
Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran Tuberkulosis paru aktif. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan
yang positif.
2. Pasien dengan sputum BTA negatif : 1 pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis tidak ditemukan BTA pada sedikitnya dua kali pemeriksaan tetapi
gambaran radiologisnya sesuai dengan tuberkulosis paru aktif atau pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi
biakannya positif (Amin, Bahar, 2009).
2.1.10. Pengobatan

18

Tujuan utama pengobatan tuberkulosis paru ialah memusnahkan basil tuberkulosis


dengan cepat dan mencegah kambuh. Pengobatan penyakit tuberkulosis dilakukan dengan
beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Pengobatan tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan penderita


Pengobatan tuberkulosis paru untuk mencegah kematian
Pengobatan tuberkulosis paru bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan
Pengobatan tuberkulosis paru bertujuan untuk menurunkan resiko penularan
Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan tuberkulosis paru

jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Strategi DOTS pertama kali dikenalkan
pada tahun 1996 dan telah diimplentasikan secara meluas dalam sistem pelayanan
kesehatan masyarakat. Sampai tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses
pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai pegawasan langsung menelan
obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan setiap hari. Di Indonesia, program ini
dinamakan Pengawas Menelan Obat (PMO). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting,
yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
(Anggraeni, 2011).
2.1.10.1. Tahap Pengobatan Tuberkulosis Paru diberikan 2 tahap yaitu:
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan (PDPI, 2006).
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua obat anti
tuberkulosis (OAT) terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian penderita Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam

19

(BTA) Positif mejadi Basil Tahan Asam (BTA) negatif (konversi) pada akhir
pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam
kurun waktu yang lama, pengobatan pada tahap lanjutan ini sangat penting untuk
membunuh

kuman

persister

(dermant)

sehingga

mencegah

terjadinya

kekambuhan.
2.1.10.2. Kategori Pengobatan
WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD) merekomendasikan Obat Anti Tuberkulosis standart yaitu:
a. Kategori 1 (2 HRZE/4 H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E). Obat obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru TB paru BTA Positif
2. Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat
3. Penderita TB extra paru berat
.
b. Kategori 2 (2 HRZES/ HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) , Etambutol (E) setiap hari setelah itu
diteruskan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali
seminggu
Obat ini diberikan untuk:
1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal
3. Penderita setelah pengobatan setelah lalai (after default)

20

c. Kategori 3 (2HRZ/4 H3R3)


Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4 H3R3). Obat ini diberikan untuk
1. penderita baru basil tahan asam negatif dan Rontgen positif sakit ringan
2. penderita Extra paru ringan yaitu tuberkulosis kelenjar limfe, pleuritis
exsudative unilateral, tuberkulosis kulit, tuberkulosis tulang, (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
d. OAT sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
hari selama 1 bulan (Depkes, 2007).
2.1.11. Pencegahan
2.1.11.1. Pencegahan Primer
1. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara :
a. Makan makanan yang bergizi (seimbang)
b. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur dan lakukanlah olahraga di
tempat yang mempunyai udara segar.
c. meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG

21

2. Kebersihan Lingkungan
a. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
b. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
c. mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan resiko
terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian (Crofton, 2002)
2.1.11.2. Pencegahan Sekunder
1. perawatan khusus penderita dan mengobati penderita
a. Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai
efek yang dapat mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten.
2.1.11.3. Pencegahan Tertier
. membuat strategi mengobati penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat
efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
(Crofton, 2002).

2.1.12. Komorbiditas Tuberkulosis Paru


2.1.12.1.

Diabetes Melitus
Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita

Diabetes Melitus, karena kondisi gangguan pertahanan imunitas akibat hiperglikemi dan
asidosis salah satunya adalah menghambat gerakan- gerakan sel-sel fagosit ke arah daerah

22

infeksi dan menekan aktifitas sel-sel tersebut yang terjadi pada penderita diabetes melitus
dan mempermudah penyebaran infeksi primer (Janis, 2008).
Penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi pada saluran pernafasan
baik bagian atas maupun bagian bawah. Infeksi paru yang biasa dijumpai pada penderita
diabetes adalah pneumonia, tuberkulosis. Pada penderita diabetes melitus terjadi defective
chemotaxis sel-sel polimorfonuklear leukosit (PMN) sehingga pada penderita tersebut daya
tahan menurun yang mengakibatkan lebih mudah terjadinya tuberkulosis paru (Janis, 2008).
Daerah dimana tuberkulosis paru masih bersifat endemik maka insiden
tuberkulosis pada diabetes melitus masih tinggi, perlangsungan tuberkulosis paru pada
diabetes melitus lebih berat dan kronis dibandingkan dengan non diabetes (Sanusi, 2006).
2.1.12.2.

HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

(Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian, bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pnderita Tuberkuloisis akan meningkat
(Verma, 2008)
Komorbiditas pada pasien TB Paru dijumpai beragam di berbagai negara. Namun
TB Paru yang di sertai infeksi HIV (TB-HIV) lah yang paling jadi sorotan di dunia. WHO
dalam Global Control Report 2012 melaporkan dari 8,7 juta orang yang terinfeksi TB
diseluruh dunia 1,1 juta diantaranya adalah positif HIV (Verma, 2008).
2.1.12.3.

Malnutrisi
Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis paru, kekurangan protein, kalori dan kekurangan zat besi akan meningkatkan
resiko terkena penyait tuberkulosis paru. Sebaliknya, penyakit tuberkulosis paru dapat
mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi
daya tahan tubuh (Suliyanti, 2013)
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian
tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada

23

tidaknya kuman tuberkulosis paru. Pada umumnya, status gizi penderita sebelum terkena
kuman tuberkulosis paru termasuk normal. Namun setelah kuman tuberkulosis masuk ke
dalam tubuh, berangsur-angsur merusak jaringan tubuh sehingga status gizinya menurun.
Seperti halnya kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahuntahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka
timbullah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya
tangkal adalah status gizi yang baik dan pada penderita tuberkulosis cendrung memiliki
status gizi buruk (Suliyanti, 2013).

2.2.

Kerangka Konsep Penelitian


Karakteristik penderita TB paru
1. Sosiodemografi
- Usia
- Jenis kelamin
- Pekerjaan
- Suku
2. Tipe penderita
3. Kategori pengobatan
4. Hasil akhir pengobobatan
5. Komorbiditas Tuberkulosis paru

Vous aimerez peut-être aussi