Vous êtes sur la page 1sur 8

Abu Ayyub Al-Anshari Al-Khazraji Al-Badri.

Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang mulia ini bernama Khalid bin
Zaid bin Kulaib bin Tsalabah bin Abdi Amr bin Auf bin Jasym bin Ghanam
bin Malik bin an-Najjar bin Tsalabah bin al-Kazraj dari Bani Najjar. Adapun
ibunya bernama Hindun binti Said bin Amru dari Bani al-Harits bin al
Khazraj. Beliau lebih populer dengan kun yahnya Abu Ayyub Al-Anshari AlKhazraji Al-Badri.
Keistimewaan
Beliau terhitung warga Madinah dan termasuk para sahabat mulia dari
kabilah Anshar. Meskipun tidak tinggal di kota Mekkah dan menjadi orang
pertama masuk islam, namun cahaya keimanan dan pancaran kecintaan
terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sangatlah besar, hal inilah
yang membuat dirinya turut hadir dalam peristiwa perjanjian setia di
Aqabah.
Tatkala Rasul yang mulia melakukan perjalanan hijrah bersama Abu Bakar
dari Mekkah menuju Madinah, maka rumah beliau menjadi tempat tinggal
yang pertama kali disinggahi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam selama
kurang lebih tujuh bulan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mempersaudarakan Abu Ayyub
dengan Musab bin Umair, seorang sahabat dari kalangan muhajirin
sekaligus dai yang dikirim oleh Rasul Shallallahu alaihi wasallam untuk
mengajarkan Islam dan mendakwahkan tauhid kepada penduduk kota
Madinah sebelum hijrah.
Tak lupa, beliau pun senantiasa ikut menyertai Rasulullah dan mengikuti
pertempuran antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir yang diawali
dengan perang Badar, lalu berlanjut ke perang Uhud dan pertempuran
sesudahnya. Beliau tak pernah absen dari jihad di jalan Allah Subhanahu Wa
Taala bersama Rasul Shallallahu alaihi wasallam dan para khalifah
sesudahnya hingga akhir hayatnya.
Saat khalifah Ali bin Abi Thalib keluar menuju Iraq, beliau mengangkat
dirinya sebagai pemimpin kota Madinah. Tak lama berselang Abu Ayyub pun
menyusul beliau dan turut hadir dalam pertempuran Nahrawan melawan
orang-orang khawarij.
Perjumpaan dan pelayanannya terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam

Saat Nabi Shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah, Semua mata


memandanginya dengan penuh kerinduan. Mereka semua membuka pintupintu rumah, berharap Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang mulia itu sudi
menginap di tempat mereka.
Sekalipun orang-orang Anshar bukan termasuk orang-orang yang sangat
kaya,
tetapi
setiap
orang
di
antara
mereka
berharap
agar
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam singgah di rumahnya. Tak ada satu
rumah pun yang dilalui beliau melainkan mereka pasti memegang tali
kekang onta Beliau, sambil meminta agar beliau berkenan singgah di
rumahnya. Beliau bersabda, Berilah jalan kepada onta ini, karena ia adalah
onta yang sudah diperintah.
Onta beliau terus berjalan hingga tiba di suatu tempat yang sekarang
menjadi Masjid Nabawi. Di tempat ini onta tersebut berhenti dan duduk.
Namun beliau tidak turun dari punggungnya. Onta itu berdiri lagi berjalan
beberapa langkah, menolehkan kepala lalu kembali lagi dan berhenti dan
duduk ditempat semula. Baru setelah itu beliau turun dari punggungnya.
Tempat itu berada di Bani An-Najjar, yang masih terhitung paman-paman
beliau. Berkat taufik Allah Subhanahu Wa Taala beliau memang lebih senang
singgah di tempat paman-pamannya, dengan begitu beliau bisa memuliakan
mereka. Semua orang berbicara kasak-kusuk tentang Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam yang akan singgah di rumah mereka. Maka Abu Ayyub
segera mengambil pelana ontanya lalu memasukkannya ke dalam rumah.
Melihat hal ini beliau bersabda,
Seseorang itu beserta pelananya. Sementara Asad bin Zurarah datang
sambil memegangi tali kekang ontanya dan berada di dekat beliau.
Dalam riwayat Al-Bukhari dari Anas disebutkan, Nabi bertanya,Siapakah
rumah kerabat kami yang paling dekat jaraknya?
Abu Ayyub menjawab,Aku wahai Rasulullah. Itu rumahku dan itu pintunya.
Maka beliau beranjak dan Abu Ayyub menyiapkan tempat yang biasa
dipergunakan untuk istirahat siang. Saat itu beliau bersabda, Orang-orang
yang berada pada berkah Allah Subhanahu Wa Taala.
Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Dia bermaksud mengosongkan
barang-barangnya
di
lantai
atas
agar
bisa
di
tempati
oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Namun Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam memilih tinggal di lantai bawah sehingga Abu Ayyub menuruti saja
kehendak beliau.
Ketika
malam,
Rasulullah Shallallahu
alaihi
wasallam beranjak
ke
peraduannya, sementara Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas. Setelah
menutup pintu, berkatalah Abu Ayyub, Istriku, apa yang kita lakukan ini?

Rasulullah berada di bawah dan kita di atasnya? Patutkah hal seperti ini?
Kita berada di antara Nabi dan wahyu yang akan turun kepada beliau!
Semalaman kedua suami istri ini gelisah dan tak tahu yang harus dilakukan.
Mereka menyingkir dari tengah-tengah ruangan yang diperkirakan Rasulullah
tidur di bawahnya. Bila hendak pergi ke sisi ruangan yang lain, mereka
berjalan menempel dinding karena tak ingin berjalan di atas Rasulullah.
Pagi harinya Abu Ayyub berterus terang kepada Rasulllah, Wahai Rasulullah,
demi Allah semalam suntuk saya tidak dapat memejamkan mata, demikian
pula dengan ummu Ayyub.
Nabi bertanya, Apakah sebabnya, wahai Abu Ayyub?
Saya teringat betapa saya berada di atas sedangkan Anda di bawah. Bila
saya bergerak, maka debu-debu akan rontok dari atas dan mengganggu
Anda. Di samping itu saya berada di antara wahyu dan Anda.
Rasulullah menenangkannya, Tenanglah, Abu Ayyub. Sesungguhnya aku
merasa lebih enak berada di bawah, karena nantinya tentu banyak tamu
yang berdatangan.
Aku mengikuti pilihan Rasulullah. Tapi pada suatu malam yang amat dingin,
kendi air minum kami terjatuh dan airnya membasahi lantai. Sedangkan
satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengelapnya hanya selimut
yang kami pakai. Maka tanpa pikir panjang kami segera mengepel air
tumpahan tersebut dengan selimut sebelum terlanjur menetes ke bawah dan
mengenai Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Keesokan
harinya
aku
mendatangi
Rasulullah Shallallahu
alaihi
wasallam seraya berkata, Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, benarbenar saya tidak bisa tinggal di atas Anda. Kuceritakan soal kendi yang
pecah itu. Beliau akhirnya menerima alasanku dan bersedia pindah ke atas,
sedangkan aku dan Ummu Ayyub turun ke lantai bawah.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama 7
bulan, yaitu sampai masjid di atas tanah yang diduduki onta beliau selesai
dibangun. Selanjutnya beliau dan para istrinya tinggal di bilik-bilik di sebelah
masjid.
Beliau
menjadi
tetangga
Abu
Ayyub,
tetangga
yang
menyebabkannya memperoleh kemuliaan dan keutamaan.
Jamuan spesial untuk para tamu termulia
Ibnu Abbas pernah bercerita sebagai berikut:
Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid,
lalu bertemu dengan Umar. Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat
panas begini? tanya Umar. Jawab Abu Bakar, Saya lapar! Kata Umar,

Demi Allah! Saya juga lapar.Ketika mereka sedang berbincang begitu, tibatiba Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam rnuncul.
Tanya Rasulullah, Hendak kemana kalian di saat panas begini? Jawab
mereka, Demi Allah!Kami rnencari makanan karena lapar. Kata
Rasulullah, Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar. Marilah
ikut saya.
Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al Anshari.
Biasanya Abu Ayyub selalu menyediakan makanan setiap hari untuk
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Bila beliau terlambat atau tidak
datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub.
Setelah mereka tiba di pintu, Istri Abu Ayyub keluar menyambut mereka,
Selamat datang, wahai Nabi Allah dan kawan-kawan! kata ibu Ayyub.
Kemana Abu Ayyub? tanya Rasulullah. Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja
di kebun kurma dekat rumah.
Mendengar suara Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, dia bergegas
menemui beliau.Selamat datang, wahai Nabi Allah dan kawan-kawan! kata
Abu Ayyub. Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, Wahai, Nabi
Allah! Tidak biasanya Anda datang pada waktu seperti sekarang. Jawab
Rasulullah Betul, hai Abu Ayyub!
Abu Ayyub pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma. Dalam
setandan itu terdapat kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang
setengah masak.
Kata Rasulullah, Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma
setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.
Jawab Abu Ayyub, Wahai, Rasulullah, saya senang jika Anda suka mencicipi
buah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya
sembelih kambing untuk Anda bertiga.
Kata Rasulullah,Jika engkau menyembelih, jangan disem-belihkambing yang
sedang menyusui. Abu Ayyub menangkap seekor kambing, lalu
disembelihnya. Dia berkata kepada sang istri, Buat adonan roti. Engkau
lebih pintar membuat roti.
Abu Ayyub membagi dua sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh
lagi dipanggangnya. Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan
Rasulullah dan sahabat beliau.
Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di
atas sebuah roti yang belum dipotong. Kata beliau, Hai Abu Ayyub! Tolong
antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat

makanan seperti ini. Selesai makan Rasulullah berkata, Roti, daging, kurma
kering, kurma basah, dan kurma setengah masak. Air mata beliau mengalir
ke pipinya. Kemudian beliau bersabda Demi Allah yang jiwaku di tanganNya! Sesungguhnya beginilah nikmat yang kalian minta nanti di hari kiamat.
Maka apabila kalian memperoleh yang seperti ini bacalah Basmalah lebih
dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid: Segala
puji bagi Allah Subhanahu Wa Taala yang telah mengenyangkan kami dan
memberi kami nimat.
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bangkit hendak pulang.
Beliau berkata kepada Abu Ayyub, Datanglah besok ke rumah kami! Sudah
menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila Seseorang berbuat baik
kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih baik.Tetapi Abu
Ayyub tidak mendengar perka-taan Rasulullah kepadanya. Lalu dikatakan
oleh Umar, Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya. Kata
Abu Ayyub, Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.
Keesokan harinya Abu Ayyub datang ke rumah Rasulullah. Beliau
menghadiahi Abu Ayyub seorang gadis kecil untuk dijadikan pembantu
rumah tangga. Kata Rasulullah, Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu
Ayyub! Selama dia bersama kami, saya lihat anak ini baik.Abu Ayyub pulang
ke rumahnya membawa seorang gadis kecil. Untuk siapa ini, Abu Ayyub?
Tanya Ummu Ayyub. Untuk kita. Anak ini diberikan Rasulullah kepada kita,
jawab Abu Ayyub.
Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekedar
suatu pemberian kata Ummu Ayyub. Memang! Rasulullah berpesan
supaya kita bersikap baik terhadap anak ini, kata Abu Ayyub. Bagaimana
selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?
tanyaUmmu Ayyub.
Derni Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan
memerdekakannya,jawab Abu Ayyub.Engkau benar-benar mendapat
hidayah Allah Subhanahu Wa Taala. Jika engkau setuju begitu, baiklah kita
merdekakan dia, kata Ibu Ayyub menyetujui. Lalu gadis kecil itu mereka
merdekakan. ltulah sebagian bentuk nyata celah-celah kehidupan Abu Ayyub
setelah dia masuk Islam.
Pembelaan terhadap kehormatan keluarga Rasul
Saat semua shahabat Nabi di Madinah gempar karena berita negatif tentang
diri Aisyah radhiyaallahu anha, Abu Ayyub Al-Anshari dan isterinya adalah
orang yang selamat dari fitnah itu.
Isterinya bertanya kepadanya, Apakah kamu tidak mendengar omongan
orang tentang Aisyah?Abu Ayyub menjawab, Ya, saya dengar. Dan semua

itu adalah bohong. Apakah kamu wahai UmmuAyyub termasuk yang


melakukannya(menuduh Aisyah)? Isterinya menjawab, Demi Allah, aku
tidak pernah melakukannya.
Abu Ayyub berkata, Aisyah jauh lebih baik dari kamu, demi Allah. Isterinya
menjawab, Benar.
Dan hal itu menjadi salah satu sebab turunnya ayat Al-Quran yang membela
nama baik Aisyah, di mana ada sebagian shahabat Nabi yang mengatakan
bahwa berita miring tentang Aisyah adalah semata-mata kebohongan.

Mengapa orang-orang muk-min dan muminat tidak bersangka baik


terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan
berkata, Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata. (QS. An-Nuur: 12)
Doa Rasul untuk Abu Ayyub
Khusus untuk Abu Ayyub, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah
mendoakannya secara khusus, yaitu saat Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam menikahi Shafiyah saat perang Khaibar atau perang lainnya,
Rasulullah melewati malamnya di dalam tenda bersama isterinya.
Dan Abu Ayyub radhiyallahu anhu juga tidak tidur malam itu berjaga-jaga di
luar tenda. Ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Ada
apa wahai Abu Ayyub? Beliau menjawab, Saya mengkhawatirkan
keselamatan diri anda dari wanita ini. Sebab telah dibunuh ayahnya,
suaminya dan kaumnya. Dan dia baru saja masuk Islam. Maka saya
mengkhawatirkan keselamatan Anda.
Maka Rasulullah menjawab, Wahai Allah Subhanahu Wa Taala, jagalah dan
lindungilah Abu Ayyub sebagaimana dia bergadang menjagaku.
Operasi jihad hingga darah penghabisan
Sepanjang hidupnya, Abu Ayyub adalah seorang mujahid, seorang pejuang
yang aktif. Dia bahkan tidak pernah ketinggalan dalam seluruh perang
muslimiin sejak masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam hingga masa
Muawiyah kecuali bila disibukkan oleh suatu tugas.
Perang terakhir yang diikutinya adalah penaklukan Konstantinopel. Muawiyah
saat itu mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Yazid.
Pada masa itu Abu Ayyub adalah seorang lanjut usia berumur delapan
puluhan. Dia tidak mau ketinggalan ikut berperang di bawah panji-panji Yazid
dan turut menerjang gelombang musuh sebagai seorang pejuang. Dia
mengutip firman Allah Subhanahu Wa Taala:

Berangkatlah kamu, baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat
(QS. At-Taubah:41)
Lalu berkomentar: Aku tidaklah mendapati diriku melainkan rasa ringan dan
rasa berat.
Namun Abu Ayyub tak mampu lama-lama bertempur. Dia menderita sakit
yang mengharuskannya untuk beristirahat.
Yazid sebagai panglima menjenguk dan bertanya, Adakah anda
memerlukan
sesuatu,
Abu
Ayyub?
Dia menjawab, Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin
Abu Ayyub juga berpesan agar pasukan terus maju kedaerah musuh dan
membawanya bersama mereka. Bila nanti dia wafat di medan perang,
hendaknya jenazahnya dibawa dan dimakamkan dibawah dinding batu
konstantinopel.
Tak lama setelah itu, Abu Ayyub pun wafat pada tahun 52H.
Pasukan muslimin melaksanakan amanat sahabat Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam ini. Mereka terus bertempur dengan gagah berani. Ketika
mencapai dinding Konstantinopel mereka memakamkan jenazah Abu Ayyub
dibawahnya. Radhiyallahu anhu wa ardhohu.
Referensi dan Daftar Pustaka:
Al Ishobah fi Tamyiz as Shohabah, Syihabudidin Abul Fadhal Ahmad
Ali bin Hajar bin al Asqalani, Ali Muhammad al Bajawi, Darul jailBaerut, cet ke-1 tahun 1421H
AlQuranul Adzim fi Tafsir al Quran al Karim, Abul Fida Ismail bin
Umar bin Katsir al Qurasyi ad Dimasyqy, Sami bin Muhammad
Salamah, Dar Taibah lin nasyr wat tauzi, cet. Ke-2 tahun 1420H
Ar Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury,
Jamiyyah Ihya at Turots al islamy, cet. Ke-5 tahun 1421H
Rijal Haulal Rasul, Khalid Muhammad Khalid
Shuwar min Hayatis Shahabah, Dr. Abdurrahman Rafat al Basya,
Maktabah al Matiq, cet. 1 tahun 1996M
Siyar min Alam an-Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad
bin Utsman adz Dzahabi, Syuaib al Ar Nauth, Muassasah ar
Risalah-Baerut, cet ke-9 tahun 1413H
Tahdzib at Tahdzib, Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar
al Asqalani, Darul fikr lit thibaah wan nasyr wat tauzi, cet. Ke-1
tahun 1404 H.

Disusun oleh Ustadz Muhammad Rijal Syahidin, Lc dari Majalah Al Bayan


Edisi 7

Vous aimerez peut-être aussi