Vous êtes sur la page 1sur 57

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka merupakan masalah kulit yang sering di alami manusia, salah
satunya yaitu luka bakar. Luka bakar adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh
yang disebabkan karena perubahan suhu yang tinggi, sengatan listrik,
ledakan, maupun terkena bahan kimia (Sjamsuhidajat & Jong, 2004). Luka
bakar merupakan salah satu jenis trauma yang mempunyai angka morbiditas
dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal
(fase syok ) sampai fase lanjut. Menurut Hudak dan Gallo, bahwa cedera luka
bakar mempengaruhi semua sistem organ, besarnya respon patofisiologis ini
adalah berkaitan erat dengan luasnya luka bakar, dan mencapai masa stabil
ketika terjadi luka bakar kira-kira 60% dari seluruh luas permukaan tubuh.
Dinamik kardiovaskular terpengaruh secara signifikan karena cedera luka
bakar, yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik. Dampak luka
bakar yang tidak segera tertangani menjadi masalah utama dari kasus luka
bakar yang bisa menimbulkan kecacatan hingga kematian.
Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat
setiap tahunnya, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan
100.000 pasien dirawat di rumah sakit, dan 12.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat luka bakar dan cedera inhalasi yang berhubungan dengan
luka bakar (Brunner & Suddart, 2001). Menurut Departemen Kesehatan
Replublik Indonesia (2008), prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar
2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sama-sama 3,8%sedangkan di
Provinsi Lampung tercatat sebesar 1,7% dari keseluruhan kasus cedera. Biaya
yang dibutuhkan untuk penanganan luka bakarpun cukup tinggi. Penyebab
luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan
suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api
atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak
terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2004; DEPKES RI,
2007).
1

Pada kasus luka bakar terjadi kenaikan nyata pada tekanan hidrostatik
kapiler pada jaringan yang cedera, disertai dengan peningkatan permeabilitas
kapiler. Hal ini mengakibatkan perpindahan cepat cairan plasma dari
kompartemen intravaskular menembus kapiler yang rusak karena panas,
dalam daerah interstisial yang mengakibatkan edema dan luka bakar itu
sendiri. Kehilangan plasma dan protein cairan mengakibatkan penurunan
tekanan osmotik koloid pada kompartemen vaskular; kemudian, kebocoran
cairan elektrolit dari kompartemen vaskular berlanjut dan mengakibatkan
pembentukan edema tambahan pada jaringan yang terbakar dan ke seluruh
tubuh. Kebocoran ini, yang terdiri atas Natrium, air, dan protein plasma,
diikuti dengan penurunan curah jantung, hemokonsentrasi sel-sel darah
merah, berkurangnya perfusi pada organ-organ besar, edema tubuh merata.
Pada luka bakar terjadi kehilangan cairan di kompartemen intersisil secara
masif dan bermakna, sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi perlu untuk
dilakukan. Resusitasi cairan bertujuan mengupayakan sirkulasi yang dapat
menjamin kelangsungan perfusi, sehingga oksigenisasi jaringan terpelihara.
Dengan demikian cedera jaringan seperti ARDS, ARF, dan sebagainya dapat
dihindari, SIRS, MODS tidak akan terjadi, pasien akan terhindar dari
kematian dan mengalami penyembuhan.
Memperhatikan prinsip-prinsip dasar resusitasi pada trauma dan
penerapannya pada saat yang tepat diharapkan akan dapat menurunkan
sekecil mungkin angka- angka tersebut diatas. Prinsip- prinsip dasar tersebut
meliputi kewaspadaan akan terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita
yang mengalami trauma inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas
normal dengan resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulitpenyulit yangmungkin terjadi akibat trauma listrik, misalnya rabdomiolisis
dan disritmia jantung. Mengendalikan suhu tubuh dan menjuhkan /
mengeluarkan penderita dari lingkungan trauma panas juga merupakan
prinsip utama dari penanganan trauma termal (American College of Surgeon
Committee on Trauma, 1997).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Kritis II
mahasiswa mampu menjelaskan dan memaparkan konsep teori luka
bakar dan resusitasi cairan serta memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan luka bakar secara komperhensif.
1.2.2 Tujuam Khusus
1.

Mahasiwa mengerti dan memahami definisi luka bakar dan


resusitasi cairan.

2.

Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi serta manifestasi


klinis luka bakar dan resusitasi cairan.

3.

Mahasiswa mengerti dan memahami patofisiologi luka bakar dan


resusitasi cairan.

4.

Mahasiswa mengerti dan memahami pemeriksaan diagnostik pada


pasien dengan luka bakar dan resusitasi cairan.

5.

Mahasiswa mengerti dan memahami penatalaksanaan pada pasien


dengan luka bakar dan resusitasi cairan.

6.

Mahasiswa mengerti dan memahami komplikasi pada pasien


dengan luka bakar dan resusitasi cairan.

7.

Mahasiswa mengerti dan memahami prognosis pada pasien luka


bakar dan resusitasi cairan.

8.

Mahasiswa mengerti dan memahami Web of Causation luka bakar


dan resusitasi cairan.

9.

Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien


luka bakar dan resusitasi cairan.

1.3 Manfaat
Mahasiswa mengerti dan memahami asuhan keperawatan pada pasien
dengan luka bakar dan resusitasi cairan sehingga mampu menerapkan dalam
praktik keperawatan secara komperhensif untuk membantu mencegah dan
mengatasi respon pada pasien dengan kegawatdaruratan luka bakar.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka

bakar

merupakan

cedera

paling

berat

yang

mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya


menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem
tubuh

(Nina,2008).

Luka

bakar

adalah

trauma

yang

diakibatkan oleh panas, bahan kimia, arus listrik, dan petir


yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.
Luas permukaan tubuh yang terbakar akan mempengaruhi
metabolisme dan fungsi sel tubuh dan mengganggu semua
sistem

terutama

sistem

kardiovaskuler

(Rahayuningsih,

2012).
Luka

bakar

merupakan

respon

kulit

dan

jaringan

subkutan terhadap trauma termal. Terdapat dua jenis luka


bakar menurut ketebalannya. Luka bakar dengan ketebalan
parsial adalah luka bakar yang tidak merusak epitel atau
merusak sebagian dari epitel, sedangkan luka bakar dengan
ketebalan

penuh

merusak

semua

sumber-sumber

pertumbuhan kembali epitel kulit dan jika permukaan kulit


yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan cangkok kulit
(Grace & Borley,2006).
Luka bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat
terbakar yang disebabkan oleh panas yang tinggi, senyawa
kimia, kistrik dan pemajanan sinar matahari yang berlebihan.
Pengobatan luka bakar harus dibedakan berdasarkan luasnya.
Pada prinsip rule of nine luka bakar dibagi menjadi beberapa
bagian yakni bagian kepala 9%, dada 18%, punggung 18%,
anggota gerak atas 18%, paha 18% dan anggota gerak
bawah 18%, perineum dan genitalia 1% (Hidayat, 2008).

Adanya luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit


yakni melindungi tubuh dari kotoran dan infeksi. Apabila
banyak

permukaan

mengancam

jiwa

tubuh

yang

seseorang

terbakar,

karena

maka

adanya

dapat

kerusakan

pembuluh darah, ketidakseimbangan elektrolit dan suhu


tubuh, gangguan pernapasan serta fungsi saraf (Adibah &
Winasis,2014 dalam Sari,2015).
Luka bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini
terjadi karena cairan tubuh sebagian besar dikirim ke daerah
yang terbakar sehingga volume darah yang dialirkan ke otak
dan jantung berkurang. Shock pada anak-anak dapat terjadi
jika luka bakar seluas 10%, sedangkan pada orang dewasa
seluas 20% (Mohamad,2005).
2.2 Klasifikasi Luka Bakar
American College of Surgeon Health Policy Research Institute (2011)
membagi luka bakar menjadi tiga tingkatan, yakni :
1. First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial, berwarna merah,
terasa nyeri.
2. Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh, bengkak,
dan sangat nyeri.
3. Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus, tembus
hingga saraf, ada sensasi seperti tusukan jarum di area yang terbakar.
Menurut Di Maio & Dana (1998), luka bakar dibedakan menjadi 4
derajat berdasarkan kedalaman jaringan yang rusak, yaitu :
1. Luka bakar derajat 1 (superficial burn)
Terjadi kerusakan hanya di permukaan kulit, kulit kemerahan, tidak ada
bulla, sedikit oedem dan nyeri, dan tidak menimbulkan jaringan parut
setelah sembuh.

Gambar 2.1 Luka Bakar Derajat Satu (Sumber : www. mediskus.com)

2. Luka bakar derajat 2 (partial thickness burn)


TerjAdi kerusakan pada semua lapisan epidermis dan sebagian dermis.
Terdapat bula, sedikit oedema, dan nyeri berat.

Gambar 2.2 Luka Bakar Derajat Dua (Sumber : www. mediskus.com)


3. Luka bakar derajat 3 (full partial thickness burn)
Terjadi kerusakan pada semua lapisan kulit dan terdapat nekrosis, lesi
tampak putih, hilang sensasi rasa pada kulit dan akan menimbulkan
jaringan parut setelah sembuh.

Gambar 2.3 Luka Bakar Derajat Tiga (Sumber : www. mediskus.com)


4. Luka bakar derajat 4 (charring injury)
Kulit tampak hitam seperti arang akibat jaringan yang terbakar. Kerusakan
terjadi pada seluruh kulit, jaringan subkutan dan tulang akan hangus.
Menurut James (1990) dalam Dewi (2013), berdasarkan derajat dan
luasnya kulit yang terkena luka bakar dikategorikan menjadi 3 yakni ringan,
sedang dan berat.
1. Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar <15% atau derajat
II sebesar <2%.
2. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 10-15% atau
derajat II sebesar 5-10%.
3. Luka bakar berat jika ada luka bakar derajat II sebesar >20% atau derajat
III sebesar >10% atau mengenai wajah, tangan-kaki, alat kelamin,
persendian, sekitar ketiak atau akibat listrik tegangan tinggi (>1000V) atau
dengan

komplikasi

patah

tulang

maupun

kerusakan

jaringan

lunak/gangguan jalan napas.


2.3 Etiologi
1. Luka bakar termal
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan
api, cairan atau gas panas dan bahan padat (solid). Luka bakar paling
sering disebabkan karena terpajan suhu panas seperti terbakar api secara
langsung atau terkena logam yang panas (Borley & Grace, 2006;
Rahayuningsih,2012).
2. Luka bakar kimia
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontak jaringan kulit dengan asam
atau basa kuat. Derajat luka bakar karena bahan kimia berhubungan
langsung dengan lama kontak, konsentrasi zat kimia dan banyaknya
jaringan yang terpapar. Semua pakaian yang terkena harus dilepas dan
kulit diperiksa untuk melihat daerah luka. Karena kedalaman luka juga
ditentukan oleh konsentrasi agen yang ada pada kulit, maka pengenceran
7

dengan bilasan air yang banyak menjadi tahapan dalam penatalaksanaan


pasien luka bakar akibat basa kuat lebih merusak daripada akibat asam
kuat (Sabiston, 1995; Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
3. Luka bakar listrik
Luka bakar akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi ketika arus listrik
mengalir ke dalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun
menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ dalam. Tubuh manusia
merupakan penghantar listrik yang baik. Arus listrik yang mengalir ke
dalam tubuh manusia akan menghasilkan panas yang dapat membakar
dan menghancurkan jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak
ringan, tetapi mungkin saja telah terjadi kerusakan organ dalam yang
serius, terutama pada jantung, otot atau otak. Berat ringannya luka
dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage, dan cara
gelombang

listrik

mengenai

tubuh

(Borley

&

Grace,

2006;

Rahayuningsih,2012).
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
1) Henti jantung (cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap jantung
2) Perusakan otot, saraf dan jaringan oleh arus listrik yang melewati
tubuh
3) Luka bakar termal akibat kontak dengan sumber listrik.
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.
Hal ini berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau
dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran.
Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga
merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi. Awalnya luka ini dengan
kedalaman sebagian, tetapi dapat berlanjut ke trauma yang lebih dalam
(Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).

2.4 Penentuan Luas Luka Bakar

Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa


metode, diantaranya rule of nine, Lund and Browder, dan Hand Palm. Ukuran
luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena
luka bakar.

1. Rule of Nine

Gambar 2.4. Penilaian Luka Bakar berdasarkan Rule of Nine


(Sumber : www.medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya yang
terkenal dengan rule of nine. Metode ini dikenal sejak tahun 1940 sebagai
pengkajian cepat untuk menentukan perkiraan luas luka bakar. Dalam

metode ini, tubuh dibagi menjadi beberapa bagian anatomi dan setiap
bagian mewakili 9% kecuali daerah genital.
a. Kepala dan leher : 9%
b. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kanan dan kiri)
c. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kanan dan kiri)
d. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9% (kanan dan kiri)
e. Perineum dan genitalia : 1%
2. Lund and Browder
Pada metode ini total area tubuh yang terkena dikalkulasikan
berdasarkan lokasi dan usia. Metode lund and browder merupakan
modifikasi prosentase bagian tubuh menurut usia yang memberikan
perhitungan lebih akurat tentang luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada
anak di bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan setiap pertambahan
usia satu tahun , prosentase kepala tutun 1% hingga tercapai nilai dewasa.

10

Gambar 2.5 Penilaian Luka Bakar dengan Metode Lund and Browder
(Sumber : google.com)
3. Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area permukaan
tangan pasien adalah sekitar 1% dari total luas permukaan tubuh. Biasanya
metode ini digunakan untuk luka bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2011).
2.5 Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke
tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
kulit dengan luka bakar akan mengalami keusakan pada epidermis, dermis,
maupun jaringan subkutan tergantung lamanya kulit kontak dengan sumber
panas (Effendi, 1999).
Cidera luka bakar mempengaruhi semua sistem organ. Besarnya
respon patofisiologis ini berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan
mencapai masa stabil ketika terjadi luka bakar kira-kira 60% seluruh
permukaan tubuh (Hudak & Gall, 1996).
Tingkat keperawatan perubahan tergantung pada luas dan kedalaman
luka bakar yang menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar
dan berlangsung 24 72 jam pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran
cairan dari komponen vaskuler ke ruang interstisium. Bila jaringan terbakar,
vasodilatsi meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul perubahan
permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya. Dampaknya jumlah
cairan yang banyak berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat
melalui daerah yang tebakar dan membentuk gelembung-gelembung dan
edema atau keluar melalui luka terbuka. Akibat adanya edema luka bakar,
lingkungan kulit mengalami kerusakan. Kulit sebagai barier mekanik
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme
yang masuk. Terjadinya kerusakan lingkugan kulit akan memungkinkan
mikro organisme masuk dalma tubuh dan menyebabkan infeksi luka yang
dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Dengan adanya edema juga
akan berpengaruh terhadap peningkatan peregangan pembuluh darah dan

11

saraf yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri terseut dapat
mengganggu mobilitas pasien.
Ketika terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler, terjadi homo
konsentrasi dan hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada
daerah luka bakar dan nutrisi kurang. Adanya cidera luka bakar menyebabkan
tahanan

vaskuler

perifer

meningkat

sebagai

akibat

respon

stress

neurohomoral. Hal tersebut dapat meningkatkan afterload jantung dan


mengakibatkan penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna curah
jantung, menyebabakan metabolisme anaerob dan hasil akhir produk asam
ditahan karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis metabolik
yang menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi akut.
Periode ini ditandai dengan anemia dan malnutrisi. Anemia akan berkembang
akibat banyak kehilangan eritrosit. Keseimbangan nitrigen negatif mulai
terjadi pada waktu terjadi luka bakar yang disebabkan kerusakan jaringan
kehilangan protein dan akibat respon stress. Hal ini akan berlangsung selama
periode akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas bagian atas
atau karena efek syok hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas
disebabkan karena inhalasi bahan yang merugikan atau udara yang terlalu
panas, menimbulkan iritasi pada saluran nafas, edema laring dan obstruksi
potensial.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas
langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur
sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan
berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh
darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas.
Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar
dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein
plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan
permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di
intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler

12

mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses


transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh
kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem
yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh
darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein),
sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan
hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan
perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan
mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang
organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus
gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ
multi sistem
Keadaan yang memperberat luka bakar
1. Syok hipovolemik
Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai
dengan nekrosis jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada
setiap system organ, tergantung pada ukuran luka bakar yang terjadi.
Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler
sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai
dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan
tidak akan bertahan lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik.
Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama
ini digunakan cairan isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif
menangani syok hipovolemik dan juga dapat mengurangi kebutuhan
terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer (AR)
juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat,
menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access
(vena seksi dan sebagainya). Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali
jumlah cairan yang diperkirakan hilang.

13

Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen


resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang
menyertai syok seperti sepsis, hipoksi jaringan, proses gluko-neogenesis
dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktorfaktor yang
mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar
laktat plasma yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial
rang meningkatkan mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL
seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan membahayakan. Sebagai
alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik sama
dengan RL , tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini
asetat segera di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti dengan
perbaikan keseimbangan asambasa.
2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns
kecuali jika terdapat kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini.
infeksi jaringan invasive sering terjadi pada pasien dengan luka bakar
derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya. Resiko
terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka
atau karena komorbiditas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka
mortalitas pada pasien luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam
penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan MODS menyebabkan kematian
sebesar 81% pasca trauma.
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik
terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi
seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi)

yang

mulanya

bersifat

fisiologik

dalam

proses

penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor


predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan
(mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ
sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ

14

terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction


Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka
mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam
penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81%
kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu
infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemiareperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil
konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih
menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
1) Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)
2) Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
3) Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2
rendah (PaCO2)
4) Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32 mmHg) 3 ),
leukopeni (< 4000 sel/mm3
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil
kultur darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan
selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari
SIRS) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya
gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri
lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga
dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone
dalam beberapa tahap.

15

Tahap I
Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu
penyebab, misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal
merangsang pelepasan berbagai mediator proinflamasi seperti sitokin;
yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses
penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin
adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya
meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNF), interleukin (IL Tahap I 1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor
selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan selsel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF),
radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan
lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga
terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka,
namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera
sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru
meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan
stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya
dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen
(antagonis reseptor IL Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain
seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth
Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga
respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang
telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III
(SIRS); terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin

16

berubah

menjadi

destruktif.

Sirkulasi

dibanjiri

mediator-mediator

inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke


dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif
regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan
permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi
sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik
di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi
syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS,
MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada
pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami
MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis;
yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
1) Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke
jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna.
Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri.
Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang
bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat
perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida
dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai
barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa),
sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo
atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka
proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus
yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi
yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan
disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi
dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute

17

Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute


Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi
otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan
terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit
dan penurunan fungsi barrier kulit.
2) Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC)
yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis
akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas
endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi;
namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi.
Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah
cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
3) Teori

ketiga

menjelaskan

kekacauan

sistem

metabolisme

(hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase


selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim
imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda
asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada
jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar
merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
2.6 Manifestasi Klinis
Kedalaman dan
Penyebab Luka
Bakar
Derajat Satu

Bagian Kulit
yang Terkena

Penampilan Luka

Perjalanan
Kesembuhan

Kesemutan,

Memerah, menjadi

Kesembuhan

(Superfisial):

hiperestesia

putih ketika ditekan

lengkap dalam

Tersengat

(supersensivitas),

minimal atau tanpa

waktu satu

matahari, terkena

rasa nyeri mereda

edema

minggu, terjadi

api dengan

jika didinginkan

intensitas rendah

Epidermis

Gejala

pengelupasan
kulit

18

Derajat Dua

Epidermis dan

Nyeri,

Melepuh, dasar

Kesembuhan

(Partial-

bagian dermis.

hiperestesia,

luka berbintik-

dalam waktu 2-3

Thickness):

sensitif terhadap

bintik merah,

minggu,

Tersiram air

udara yang

epidermis retak,

pembentukan

mendidih,

dingin.

permukaan luka

parut dan

terbakar oleh

basah, terdapat

depigmentasi,

nyala api

edema.

infeksi dapat
mengubahnya
menjadi derajattiga.

2a = Superficial

Epidermis dan

Nyeri dan sangat

Kulit tampak

Akan sembuh

partial thickness

lapisan atas dari

sensitif oleh

kemerahan, oedem

dengan sendirinya

dermis

tekanan.

dan rasa nyeri lebih

dalam 3 minggu

berat daripada luka

(bila tidak terkena

bakar grade I,

infeksi ), Tapi

ditandai dengan

warna kulit tidak

bula yang muncul

akan sama seperti

beberapa jam

sebelumnya.

setelah terkena
luka, bila bula
disingkirkan akan
terlihat luka
bewarna merah
muda yang basah,
Luka sangat
sensitive dan akan
menjadi lebih pucat
bila terkena
tekanan.
2b = Deep partial

Epidermis dan

thickness

Nyeri dan sensitif.

Disertai juga

Luka akan

lapisan dalam dari

dengan bula,

sembuh dalam 3-9

dermis

permukaan luka

minggu. Organ-

berbecak merah

organ kulit seperti

muda dan putih

folikel-folikel

karena variasi dari

rambut, kelenjar

vaskularisasi

keringat, kelenjar

19

pembuluh darah

sebasea sebagian

( bagian yang putih

besar masih utuh.

punya hanya sedikit


pembuluh darah
dan yang merah
muda mempunyai
beberapa aliran
Derajat Tiga

Epidermis,

Tidak terasa

darah.
Kering, luka bakar

Pembentukan

(Full-Thickness):

keseluruhan

nyeri, syok,

berwarna putih

skar, diperlukan

Terbakar nyala

dermis dan

hematuria

seperti bahan kulit

pencangkokan,

api, terkena cairan

kadang-kadang

(adanya darah

atau gosong, kulit

pembentukan

mendidih dalam

jaringan subkutan

dalam urin) dan

retak dengan bagian

parut dan

waktu yang lama,

kemungkinan

lemak yang tampak,

hilangnya kontur

tersengat arus

pula hemolisis

terdapat edema

serta fungsi kulit,

listrik

(destruksi sel

hilangnya jari

darah merah),

tangan atau

kemungkinan

ekstrenitas dapat

terdapat luka

terjadi

masuk dan keluar


(pada luka bakar
listrik)

2.7 Komplikasi
a. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
b. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan
integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir
kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat.
Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal
menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
c. Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan respirasi terjadi
jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa
pasien.
d. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tandatanda ileus paralitik akibat luka bakar. Distensi lambung dan nausea dapat
20

mengakibatnause. Perdarahan lambung yang terjadi sekunder akibat stress


fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh
darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang
berdarha, ini merupakan tanda-tanda ulkus curling.
e. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan
hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat.
Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah, perubahan status
respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah
janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
f. Gagal ginjal akut
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan
yang tidak adekuat khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam
urine.
g. Kontraktur
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan diagnostik pada
luka bakar yaitu :
1. Laboratorium
1) Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya
pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari
15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang
meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht
turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan
oleh panas terhadap pembuluh darah.
2) Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya
infeksi atau inflamasi.
3) GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan
cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan

21

tekanan karbondioksida (PaCO2) mungkin terlihat padaretensi karbon


monoksida.
4) Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan
dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada
awalmungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat
terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai
diuresis.
5) Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan
cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatancairan.
6) Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungandengan
perpindahan cairan interstisial ataugangguan pompa, natrium.
7) Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon
stress.
8) Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada
edema cairan.
9) BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi
atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera
jaringan.
2. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap
efek atau luasnya cedera.
3. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemiamiokardial atau
distritmia.
4. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhanluka
bakar.

22

2.9 Penatalaksanaan
1. Pengkajian primer
1) Airway
Menurut Moenadjat (2009), membebaskan jalan nafas dari sumbatan
yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang
diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan.
Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan
pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan
pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas
yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut
dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal,
endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa
menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal,
intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan
jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi
yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun
pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan
indikasi dan pilihan.
2) Breathing
Adanya kesulitan bernafas, masalah pada pengembangan dada terkait
keteraturan dan frekuensinya. Adanya suara nafas tambahan ronkhi,
wheezing atau stridor.
Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret
banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah
mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran
masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena
kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10
L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia
(dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi

23

Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air


adalah

untuk

mengencerkan

sekret

kental

(agar

mudah

dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.


c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan
melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini
dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa
pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa.
Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial
terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan
pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut
menggunakan steroid.
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk
mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas
dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh
sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan
dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode
endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain
bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik
untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin.
Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase
akut antara lain:
a) Pengaturan posisi
b) Melatih reflek batuk

24

c) Melatih otot-otot pernafasan.


Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan
secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih
kooperatif
f. Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan
distresparpernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem
pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan
volume kontrol.
3) Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary
refill time, hipotensi, mukosa kering, nadi meningkat.
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan
pemasangan IV line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan
untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi
a. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur
menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini
penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan
pemasangan CVP
b. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral
dan merupakan parameter dalam menggambarkan informasi
volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana,
penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang
tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya
peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler
membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan

25

yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan


menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.
2. Nilai ukuran luka bakar (aturan 9 dari Wallace)

Gambar Rule of nine (Cont Edu Anaesth Crit Care and Pain. 2012)
Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua jenis
perawatan luka selama dirawat di bangsal yaitu:
1) Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical dibiarkan
terbuka tanpa balutan dan diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga
dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut seperti wajah, perineum,
dan lipat paha.
2) Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah
dibeikan obat topical.
Penanganan luka bakar di unit gawat darurat
Tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien pada 24 jam pertama yaitu:
1) Penilaian keadaan umum pasien, perhatikan Airway (jalan nafas),
Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi)
2) Penilaian luas dan kedalaman luka bakar
3) Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara dan edema saluran pernafasan

26

4) Kaji adanya faktor faktor lain yang memperberat luka bakar seperti
adanya fraktur, riwayat penyakit sebelumnya (seperti diabetes,
hipertensi, gagal ginjal, dll)
5) Pasang infus (IV line), jika luka bakar >20% derajat II / III biasanya
dipasang CVP (kolaborasi dengan dokter) digunakan untuk mengetahui
permeabilitas vaskular dengan monitoring nilai CVP yang semakin
meningkat
6) Pasang kateter urin, pasang NGT jika diperlukan, beri terapi oksigen
sesuai kebutuhan
7) Berikan suntikan ATS / toxoid
8) Perawatan luka :
a. Cuci luka dengan cairan savlon 1% (savlon : NaCl = 1 : 100)
b. Biarkan lepuh utuh (jangan dipecah kecuali terdapat pada sendi yang
mengganggu pergerakan
c. Selimuti pasien dengan selimut steril
9) Pemberian obat obatan (kolaborasi dokter): Antasida H2 antagonis,
Roborantia (vitamin C dan A), Analgetik, Antibiotic
10) Mobilisasi secara dini dan pengaturan posisi
Keterangan:
a. Pada 8 jam I diberikan dari kebutuhan cairan
b. Pada 8 jam II diberikan dari kebutuhan cairan
c. Pada 8 jam III diberikan sisanya
Penanganan luka bakar di unit perawatan intensif.
Hal yang perlu diperhatikan pada pasien meliputi:
1) Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien
mengadakan perlawanan terhadap ventilator
2) Observasi tanda tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap
jam dan suhu setiap 4 jam
3) Pantau nilai CVP, amati neurologis pasien (GCS), pantau status
hemodinamik, pantau haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam), pantau
4)
5)
6)
7)
8)
9)

status oksigen, fisoterapi dada.


Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
Cek asalisa gas darah setiap hari atau bila diperlukan
Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
Perawatan tiap 2 jam (beri boraq gliserin)
Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2 jam
Ganti posisi pasien setiap 3 jam (perhatikan posisi yang benar bagi

pasien)
10) Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan
tube setiap hari

27

11) Ganti kateter dan NGT setiap minggu


12) Observasi letak tube (ETT) setiap shift
13) Observasi setiap aspirasi cairan lambung
14) Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, protein
(albumin), dan gula darah (kolaborasi dokter)
15) Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
16) Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter
1)

Prosedur tindakan perawatan luka pada pasien luka bakar:


Cuci / bersihkan luka dengan cairan savlon 1% dan cukur rambut yang

2)
3)

tumbuh pada daerah luka bakar seperti pada wajah, aksila, pubis, dll
Lakukan nekrotomi jaringan nekrosis
Lakukan escharotomy jika luka bakar melingkar (circumferential) dan

4)

eschar menekan pembuluh darah. Eskartomi dilakukan oleh dokter


Bullae (lepuh) dibiarkan utuh sampai hari ke 5 post luka bakar, kecuali
jika di daerah sendi / pergerakan boleh dipecahkan dengan

5)
6)
7)

menggunakan spuit steril dan kemudian lakukan nekrotomi


Mandikan pasien tiap hari jika mungkin
Jika banyak pus, bersihkan dengan betadin sol 2%
Perhatikan ekspresi wajah dan keadaan umum pasien selama merawat

8)
9)
10)

luka
Bilas savlon 1% dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%
Keringkan menggunakan kasa steril
Beri salep silver sulfadiazine (SSD) setebal 0,5cm pada seluruh daerah
luka bakar (kecuali wajah hanya jika luka bakar dalam [derajat III] dan

11)

jika luka bakar pada wajah derajat I/II, beri salep antibiotika)
Tutup dengan kasa steril (perawatan tertutup atau biarkan terbuka
(gunakan cradle bed)

Penatalaksanaan berdasarkan jenis luka bakar:


1) Luka bakar berat (luka bakar >20% pada dewasa, >10% pada anak)
a. Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin, berikan analgesia adekuat
i.v., pertimbangan selang nasogastric (nasogastric tube, NGT),
berikan profilaksis tetanus.
b. Berikan cairan i.v. berdasarkan formula Muir-Barclay: %luka
bakar x berat badan dalam kg/2= satu aliquot cairan. Berikan 6
aliquot cairan selama 36 jam pertama dengan urutan 4, 4, 4, 6,

28

6,12 jam dari waktu terjadinya luka bakar. Biasanya menggunakan


larutan koloid, albumin atau plasma.
c. Luka akibat terbakar diobati sebagai luka bakar ringan
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar
2) Luka bakar ringan (luka bakar <20% pada dewasa, <10% pada anak)
a. Terapi terbuka-bersihkan luka dan biarkan terpapar pada
lingkungan khusus yang bersih
b. Terapi tertutup-tutup luka dengan kasa yang dibasahi dengan
klorheksidin atau silver sulfadiazine yang ditutup tipis
c. Debridemen eskar dan split skin graft.

Resusitasi Cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan
permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma
protein

dan

elektrolit)

dari

intravaskuler

ke

jaringan

interstisial

mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial.


Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi
kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan
atau organ. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas
kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di
jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan
proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan
syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah
kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna
memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok
dengan menggunakan metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan
regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat,
menunjukan perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil
(pemantauan kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif

29

diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik


terhadap angka mortalitas.

1) Resusitasi pada pasien yang mengalami syok hipovolemi


Resusitasi segera melalui IV dengan larutan elektrolit isotonic,
keseimbangan larutan elektrolit (misal, Ringers Laktat) dianjurkan
karena NaCl 0,9% mengandung natrium dan klorida dalam jumalh yang
sangat banyak (Horne, M & Pamela L 2000).
Perbaiki volume cairan yang bersirkulasi seperti kristaloid, koloid
atau darah melalui IV. Resusitasi cairan intravena yaitu cairan isotonic,
seperti Ringer Laktat jika pasien syok.
2) Resusitasi pada pasien yang tidak syok hipovolemi
Menggunakan regimen yang telah direkomendasi oleh unit luka
bakar setempat. Secara umum, koloid lebih baik daripada larutan
elektrolit, terutama bila anak akan dirujuk. Bila cairan yang dianjurkan
tidak tersedia, gunakan plasma dengan volume yang sama dengan larutan
elektrolit (Hartmann) untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam
pertama setelah luka bakar dan separuhnya lagi diberikan dalam 16 jam
berikutnya (Insley J, 2003)
Penghitungan berat badan pada pasien menjadi langkah awal. Kateter
urin ditinggalkan sebagai indeks perfusi ginjal dan untuk mengevaluasi
keefektifan resusitasi cairan. Ada beberapa rumus yang telah dikembangkan
oleh berbagai pusat perawatan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar. Terdapat dua sistem yang sering digunakan sekarang
adalah modifikasi Brooked dan Parkland. Kedua rumus ini menghitung
kebutuhan cairan berdasarkan luas daerah luka bakar dikali berat pasien
dalam kilogram. Dikali volume larutan Ringer yang akan diberikan dalam 24
jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan, setengah jumlah cairan
diberikan dalam 8 jam pertama sesusitasi, dengan seperempat dari seluruh

30

jumlah semula diberikan tiap 8 jam berikutnya. Pemantauan yang teliti dan
cermat mengenai pengeluaran urin dan tekanan vaskuler sentral (bila tepat)
merupakan metode resusitasi yang tepat. Bila pengeluaran urin rendah dan
terjadi ketidakstabilan kardiovaskular pada pemberian volume intravena maka
perlu adanya pemasangan kateter termodilusi Swan-Ganz untuk memantau
tekanan jantung kiri dan kanan serta curah jantung. (Sabiston, 1995)
Formula untuk Resusitasi Cairan :
1) Formula Parkland untuk resusitasi klien luka bakar
24 jam pertama menggunakan cairan ringer laktat: 4ml / kgBB / %luka
bakar
a. Pemberian resusitasi cairan pada orang dewasa :
Contohnya pria dengan berat 75 kg dengan luas luka bakar 20%
Maka membutuhkan cairan : (4 ml) X (75kg) X (20) = 6000 ml
dalam 24 jam pertama
jumlah cairan 3000 ml diberikan dalam 8 jam
jumlah cairan sisanya 3000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b. Pemberian resusitasi cairan pada anak:
a) 4 ml/kg untuk jam pertama 10 kg dari berat
b) 2 ml/kg untuk jam kedua 10 kg dari berat
c) 1 ml/kg untuk >20kg dari berat badan
Hasil akhir
a. Urin output 0.5-1.0 ml/kg/hari untuk dewasa
b. Urin output 1.0-1.5 ml/kg/hari untuk anak-anak
2) Formula Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl /
24 jam
b. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah plasma /
24 jam (no a dan b pengganti cairan yang hilang akibat oedem.
Plasma untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan
meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan
keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)

31

c. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang


hilang akibat penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan hari kedua.
3) Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus Baxter yaitu :
% luka bakar x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan
elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua
diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan
BB 60 kg dan luka bakar seluas 25 % permukaan kulit akan diberikan
25% x 60 x 4 cc = 6000 cc yang diberikan hari pertama dan 3000 cc pada
hari kedua.
Metode Baxter
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada
pemberian cairan kristaloid dalam hal ini Ringer Laktat (karena
mengandung

elektrolit

dengan

komposisi

yang

lebih

fisiologis

dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah


cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan
interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling
fisiologis dan aman
a. Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per
24jam
b. Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3
2cc x berat badan x % luas luka bakar ditambah kebutuhkan faal
Kebutuhan faal :
a. <1 tahun : BB x 100cc

32

b. 1-3 tahun : BB x 75cc


c. 3-5 tahun : BB x 50cc
d. jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama
e. diberikan 16 jam berikutnya
Protocol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka
bakar, pemberian berdasarkan pedoman berikut.

Pedoman
a. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat
kejadian luka bakar)
b. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
4) Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula Curreri
Adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka bakar/hari.
Petunjuk perubahan cairan
a. Pemantauan urin output tiap jam
b. Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
c. Kecukupan sirkulasi perifer
d. Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
e. Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M &
Pamela L, 2000)
24 jam pertama

33

Formula

Elektrolit

Koloid

Glukosa
dalam air

Consensus
ABA

Cairan ringer
Laktat, 2-4
ml/kg/% luas
permukaan
tubuh untuk
mempertahanka
n haluaran urin
30-50 ml/jam

Brooks

Cairan ringer

0,5 ml/kg/%

Laktat, 1,5

burn

2000 ml

ml/kg/% luka
Parland

bakar
Cairan ringer
Laktat, 4 ml/kg/
%

Cairan

Volume untuk

Natrium

mempertahanka

Hipertonik

n haluaran urin
30 ml/jam
(cairan berisi
250 mEq
natrium/L)

2.10 WOC (terlampir)


2.11 Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada
dalam dan luasnya permukaan luka bakar dan penenganan syok hingga
penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah terbakar, usia, dan keadaan
kesehatan penderita juga turut menentukan kecepetaan kesembuhan. Luka

34

bakar pada daerah perinium, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam
perawatannya, karena mudah mengalami kontraktur.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan Umum
3.1.1

Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi perawat
b. Breathing
Kaji pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau
tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu
kaji juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation

35

Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak


jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya
sianosis dan capilar refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
e. Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan
berkelanjutan serta menilai luas dan derajat luka bakar.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
a. Monitor tanda-tanda vital
b. Pemeriksaan fisik
c. Lakukan pemeriksaan tambahan
3. Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik
a. Data demografi meliputi identitas pasien nama, usia, jenis
kelamin, alamat, dll
b. Keluhan Utama: Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu)
dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan
keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi
burung gagak (Kidd, 2010).
c. Riwayat Penyakit Sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui
karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup,
sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi
(Sjaifuddin, 2006).
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Penting dikaji untuk menetukan
apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan
kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan
infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan

36

sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau


gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal
dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera
inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal
jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat
terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
e. Riwayat Penyakit Keluarga: kaji riwayat penyakit keluarga yang
kemungkinan bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik
kepada pasien seperti penyakit DM, hipertensi, asma, TBC dll.
f. Review of System
a

B1 : nafas20 x/menit, tidak ada sesak nafas, bentuk dada


simetris, penggunaan otot bantu nafas tidak ada, saat diperkusi
sonor, suara nafas normal.

B2 : Tidak ada peningkatan JVP, HR : 96x/ menit, BP :


170/100 mmHg

B3 : pupil normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek


bicara baik, pendengaran baik, penglihatan baik, penghidu
baik, GCS : 15

B4 : urin pekat, Osmolaritas serum >450 mOsm/kg, Natrium


serum = 170 mmol/L

B5 : kehausan dan penurunan nafsu makan

B6 : bola mata cekung, kelemahan otot, membran mukosa


mulut kering

g. Pemeriksaan diagnostik
1.
2.
3.
4.
3.1.2
No
1.

WBC 12,0 X 103/1


MCV 80,4 Fl
Limphosyt 11,2%
RDW 44,3 fL

Analisis data
Data

Etiologi
Luka bakar

DS: DO:
-

tampak
bernafas/sesak

kesulitan

Masalah Kep.
Kerusakan
pertukaran gas

Vasodilatasi PD

37

2.

DS: DO:
-

3.

Gerakan
dada
tidak
simetris
RR> 20 x/mnt
Pola napas cepat dan
dangkal
TTV : RR= 32 x/ mnt, N=
90 x/ mnt, TD= 100/ 70
mmHg, T= 36oC

Ds: Do:
-

Penyumbatan sal.
Nafas bagian atas
Edema paru
Hiperventilasi
Kerusakan
pertukaran gas
Luka bakar

pasien tampak sesak


Inhalasi asap
pasien batuk-batuk
Gerakan
dada
tidak
Edema laring
simetris
Obstruksi jalan nafas
RR> 20 x/mnt
Pola napas cepat dan
Bersihan jalan nafas
dangkal
inefektif
Luka bakar

Turgor kulit kering


Permeabilitas kapiler
Mukosa kering
meningkat
CVP abnormal
Intake
Output
tidak
Evaporasi /
seimbang
Penguapan
- Kadar kalium, natrium
abnormal
Kehilangan cairan
tubuh
DS: Luka bakar
DO:
Vasodilatasi PD
- Hb <10 ml/gr
- Klien nampak sianosis
Sirkulasi darah
- Ekstremitas dingin
menurun
- Klien terlihat lemah
- Akral dingin, lembab
Sel mengalami

Bersihan jalan
napas tidak
efektif

Defisit volume
cairan

Gangguan
perfusi
jaringan tidak
efektif

hipoksia

DS: pasien mengeluh perih, sakit


DO:
- Terdapat edema
- Kulit kemerahan hingga
nekrosis

perfusi jaringan
tidak efektif
Luka bakar

Kerusakan
integritas kulit

Kerusakan kulit/
jaringan

38

Kulit tidak utuh


Akral dingin, lembab

Inflamasi, Lesi
Kerusakan integritas
kulit

DS: pasien mengeluh panas dan


sakit
DO:
- Nadi 120x/menit
- RR 30x/menit

Luka bakar

Nyeri

Kerusakan kulit/
jaringan dan edema
Nyeri

-Pasien nampak meringis


kesakitan sambil memegang dada
yang sakit.
P:trauma luka bakar
Q : terasa panas
R : sisi trauma/cidera yang sakit
S : Skala nyeri 7
T: Hilang timbul dan meningkat
jika adanya aktivitas
3.1.3

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS DIAGNOSA

1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon


monoksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran nafas atas
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan
efek dari inhalasi asap
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler dan kehilangan lewat evaporasi dari luka bakar
4. Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan
penurunan atau interupsi aliran darah arteri / vena
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi, lesi
6. Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit / jaringan

3.1.4

INTERVENSI

39

N
O
1

Diagnosa

NOC

NIC

Dx: Kerusakan Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau laporan GDA dan kadar
pertukaran gas

keperawatan pasien

berhubungan

mendapatkan oksigenasi

dengan

yang adekuat.
Kriteria hasil:

keracunan

karbon monoksida serum.


2. Berikan suplemen oksigen pada
tingkat yang ditentukan.
3. Pasang atau bantu dengan

karbon

1. RR 12-24 x/mnt

selang endotrakeal dan

monoksida,

2. Warna kulit normal

tempatkan pasien pada

inhalasi asap

3. GDA dalam renatng

ventilator mekanis sesuai

dan obstruksi
saluran nafas
atas

normal
4. Tidak ada kesulitan
bernafas

indikasi bila terjadi insufisiensi


pernafasan (dispneu hipoksia,
hiperkapnia, rales, takipnea dan
perubahan sensorium).
4. Anjurkan pernafasan dalam

dengan penggunaan spirometri


selama tirah baring.
5. Pertahankan posisi semi fowler,

bila hipotensi tak ada.


Dx: Bersihan Setelah dilakukan tindakan Airway Management:
jalan
tidak

napas keperawatan selama 1x24


efektif jam jalan napas klien

berhubungan

kembali paten (terbebas

dengan edema dari sumbatan), dengan


dan efek dari kriteria hasil:
inhalasi asap

a. RR normal (1224x/menit)
b. Ritme pernapasan
reguler
c. Suara nafas normal
d. Tidak ada penggunaan
oto bantu nafas

1 Auskultasi suara napas sebelum


dan sesudah dilakukan
pembebasan jalan napas, catat
hasilnya
2 Lakukan fiksasi pada daerah
kepala leher untuk
meminimalkan terjadinya
gerakan
3 Lakukan pembebasan jalan
napas secara manual dengan
teknik jaw thrust maneuver
secara hati-hati untuk

40

mencegah terjadinya gerakan


leher
4 Lakukan pembebasan jalan
napas dengan alat
oropharyngeal airwayjika
dibutuhkan
5 Monitoring pernapasan dan
status oksigenasi klien
3

Dx:

Defisit Setelah diberikan asuhan

1.

volume cairan keperawatan selama .

Monitoring

berhubungan

jam tidak ditemukan

dengan

tanda-tanda kekurangan

peningkatan

volume cairan atau

permeabilitas

dehidrasi dengan KH:

kapiler

dan

kehilangan
lewat
evaporasi dari

dan kekuatan nadi perifer.


2.

Observasi pengeluaran urin,


berat jenis dan warna urin.

3.

Timbang berat badan setiap


hari

4.

a. membran mukosa

Ukur lingkar

b. integritas kulit baik


nilai elektrolit dalam

indikasi
5.

Lakukan
kolaborasi

batas normal.
c.

Intake
cairan

ekstremitas

yang terbakar tiap hari sesuai

lembab

luka bakar

CVP, kapiler

program
meliputi: Pasang/

pertahankan kateter urine.

dan

output

tubuh

pasien

6.

Berikan penggantian cairan


IV yang dihitung, elektrolit,

seimbang

plasma, albumin.
7.

Monitoring

hasil

pemeriksaan laboratorium (Hb,


elektrolit, natrium).
8.

Berikan

obat

sesuai

indikasi (diuretik)
9.

Monitoring

tanda-tanda

vital setiap jam selama periode


darurat, setiap 2 jam selama

41

periode akut, dan setiap 4 jam


selama periode rehabilitasi.Warna urine.haluaran

Masukan dan

setiap

jam

selama

periode darurat, setiap 4 jam


selama periode akut, setiap 8
jam

selama

rehabilitasi.
4

periode

Status

umum

setiap 8 jam.
Dx: Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji warna, sensasi, gerakan,
perfusi

keperawatan,

diharapkan

dan nadi perifer.

jaringan tidak aliran darah pasien ke 2. Tinggikan


efektif
berhubungan
dengan

jaringan perifer adekuat


Kriteria Hasil :
Nadi

yang

sakit.
3. Ukur TD pada ektremitas yang
mengalami luka bakar

teraba 4. Dorong latihan gerak aktif


kualitas
dan 5. Lakukan
atau interupsi dengan
kolaborasi
dalam
aliran
darah kekuatan yang sama
mempertahankan penggantian
2. Pengisian kapiler baik
arteri / vena
cairan
3. Warna kulit normal 6. Kolaborasi dalam mengawasi
penurunan

1.

ekstremitas

perifer

pada area yang cedera

elektrolit

terutama

natrium,

kalium, dan kalsium


7. Lakukan

kolaborasi

untuk

menghindari injeksi IM atau SC

Dx: Kerusakan

1. Kaji/catat ukuran,

integritas kulit

warna, kedalaman

tentang kebutuhan penanaman

b/d kerusakan

luka, perhatikan

kulit dan kemungkinan

permukaan

jaringan nekrotik dan

petunjuk tentang sirkulasi pada

kulit sekunder

kondisi sekitar luka.

aera graft.

destruksi
lapisan kulit.

2. Lakukan perawatan
luka bakar yang tepat

1. Memberikan informasi dasar

2. Menyiapkan jaringan untuk


penanaman dan menurunkan

42

dan tindakan kontrol


infeksi.

Tujuan:

3. Pertahankan

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan,
diharapkan
pasien
menunjukkan
regenerasi
jaringan
Kriteria hasil:
Mencapai
penyembuhan
tepat waktu
pada area luka
bakar.

resiko infeksi/kegagalan kulit.


3. Kain nilon/membran silikon
mengandung kolagen porcine

penutupan luka sesuai

peptida yang melekat pada

indikasi.

permukaan luka sampai

4. Tinggikan area graft

lepasnya atau mengelupas

bila

secara spontan kulit

mungkin/tepat. Pertah

repitelisasi.

ankan posisi yang

4. Menurunkan pembengkakan

diinginkan dan

/membatasi resiko pemisahan

imobilisasi area bila

graft.

diindikasikan.
5. Pertahankan balutan

5. Gerakan jaringan dibawah graft


dapat mengubah posisi yang

diatas area graft baru

mempengaruhi penyembuhan

dan/atau sisi donor

optimal. Area mungkin ditutupi

sesuai indikasi.

oleh bahan dengan permukaan

6. Cuci sisi dengan sabun


ringan, cuci, dan

tembus pandang tak reaktif.


6. Kulit graft baru dan sisi donor

minyaki dengan krim,

yang sembuh memerlukan

beberapa waktu dalam

perawatan khusus untuk

sehari, setelah balutan

mempertahankan kelenturan.

dilepas dan
penyembuhan selesai.
7. Lakukan program

7. Graft kulit diambil dari kulit


orang itu sendiri/orang lain
untuk penutupan sementara

kolaborasi, siapkan /

pada luka bakar luas sampai

bantu prosedur

kulit orang itu siap ditanam.

bedah/balutan
6

Dx:

biologis.
Nyeri Setelah diberikan asuhan

Manajemen nyeri :

berhubungan

keperawatan selama.

1. Kaji nyeri secara komprehensif

dengan

jam tingkat kenyamanan

(lokasi, karakteristik, durasi,

kerusakan

klien meningkat, nyeri

frekuensi, kualitas dan faktor

kulit / jaringan
43

terkontrol dg KH:
a. Klien melaporkan
nyeri berkurang dg
scala nyeri 2-3
b. Ekspresi wajah tenang
c. Klien dapat istirahat
dan tidur

presipitasi).
2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan
yang mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis).
7. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengatasi
nyeri.
8. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.

3.2 Asuhan Keperawatan Khusus


Seorang pasien bernama Tn. S berusia 27 tahun dengan BB 60 kg
datang ke RSUA jam 11.00 pagi karena terkena ledakan tabung gas.
Kejadian pasien terluka bakar pada jam 08.00. Daerah luka bakar terjadi
pada sebagian besar dada klien ( Nilai : 18%). Keluhan utama klien saat
dating ke RSUA merintih kesakitan saat di kaji skala nyeri 7. Klien juga

44

mengeluhkan sesak, batuk-batuk, serta klien merasa lemas. Pasien


mendapatkan 500 cc cairan.
Resusitasi cairan
Rumus Baxter : (% luka bakar) x (BB) x (4 cc)
18 x 60 x 4 = 4320 ml/24 jam
8 jam pertama = 2160 ml-500ml = 1660 ml utk 5 jam berikutnya
16 jam berikutnya 2160 ml cairan
a Pengkajian
1) Anamnesa
a) Nama
: Tn. S
b) Jenis kelamin
: Laki-Laki
c) Tanggal masuk
: 31 Maret 2016
d) Usia
: 27 tahun
e) Status perkawinan : Menikah
f) Suku bangsa
: Jawa/Indonesia
g) Alamat
: Surabaya
h) Agama
: Islam
i) Pekerjaan
: Pegawai swasta
j) Pendidikan
: Tamat SMP
2) Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik
a) Keluhan Utama: Klien merintih kesakitan karena luka bakar 3
jam sebelum MRS.
b) Riwayat Penyakit Sekarang: 3 jam sebelum masuk RSUA, Tn.
S menderita luka bakar karena terkena ledakan tabung gas elpiji .
Tn. S tidak memiliki riwayat Diabetes dan hipertensi. Kesadaran
composmentis, TD: 100/70 mmHg, Nadi: 110x/mnt, S: 36,8oC,
RR: 29x/menit, TB: 165 cm, BB: 60 kg
c) Riwayat Penyakit Dahulu: Tn.S mengatakan belum pernah
mempunyai

riwayat

masuk

rumah

sakit/operasi

di

RS

sebelumnya. Riwayat Diabetes Melitus tidak ada dan Hipertensi


tidak ada.
d) Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada riwayat DM, hipertensi,
asma, TBC
e) Pemeriksaan Fisik:
i.
Status Generalis
KeadaanUmum

: Tampak sakitberat

45

ii.

iii.

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 110x/mnt, reguler

Suhu

: 36,8oC

Pernapasan

: 29x/menit

Tinggi badan

: 165 cm

Berat badan

: 60 kg

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: tidak teraba

Leher

: tidak teraba

Supraklavikula

: tidak teraba

Ketiak

: tidak teraba

Lipat paha

: tidak teraba

Kepala
Ekspresi wajah

: menyeringai, menahan

sakit

iv.

Rambut

: hitam

Simetri muka

: simetris

Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 2-5 cmH2O

v.

Kelenjar Tiroid

: tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: tidak taraba membesar

Dada
Bentuk

: simetris

Pembuluh darah : tidak tampak


Retraksi sela Iga: (-)
vi.

Perut
Inspeksi

vii.

: datar, tidak ada ascites

Punggung
Terdapat luka bakar menyeluruh pada bagian dada
(18%). Warnanya merah, keabu-abuan, sedikit tampak cairan.

46

b.

Analisa Data

No
1.

Data
DS: Klien merasa lemas

Etiologi

Masalah

Luka bakar

Keperawatan
Defisit volume

DO:

cairan

a. Turgor

kulit

kering

Permeabilitas kapiler
meningkat

b. Mukosa kering
c. CVP abnormal
d. Intake

Evaporasi / Penguapan cairan

Output

tidak seimbang
e. Kadar
2.

DS:

Kehilangan cairan tubuh

kalium,

natrium abnormal
Pasien mengeluh

Luka bakar

sesak

pertukaran gas

DO:

Vasodilatasi Pembuluh Darah

a. Tampak

kesulitan

bernafas/sesak
b. Gerakan dada tidak
simetris
c. Pola

napas

cepat

dan dangkal
d. TTV : TD: 100/70
mmHg,
110x/mnt,
36,8oC,
3.

Gangguan

Nadi:
S:

Penyumbatan sal. Nafas


bagian atas
Edema paru
Hiperventilasi
Gangguan pertukaran gas

RR:

29x/menit
DS:

Pasien

mengeluh

batuk-

batuk

Luka bakar

Bersihan jalan
napas tidak

Inhalasi asap

efektif

DO:
a. Pasien

tampak

Edema laring

sesak

47

b. Pasien

batuk-

Obstruksi jalan nafas

batuk
c. Gerakan

dada

Bersihan jalan nafas inefektif

tidak simetris
d. RR= 29 x/mnt
e. Pola

napas

cepat

dan

dangkal
4.

DS:

klien

mengeluh

Luka bakar

Nyeri akut

panas dan sakit


DO:

Kerusakan kulit/ jaringan dan

a. TD: 90/70 mmHg,


Nadi: 100x/mnt
b. Pasien
nampak

edema
Nyeri

meringis kesakitan
sambil

memegang

dada yang sakit.


P: trauma luka bakar
Q : terasa panas
R : sisi trauma/cidera
yang sakit
S : Skala nyeri 7
T: Hilang timbul dan
meningkat jika adanya
5.

aktivitas
DS: pasien mengeluh

Luka bakar

perih, sakit
DO:

Gangguan
integritas kulit

Kerusakan kulit/ jaringan

a. Terdapat edema
b. Kulit kemerahan

Inflamasi, Lesi

hingga nekrosis

48

c. Kulit tidak utuh


d. Akral

Kerusakan integritas kulit

dingin,

lembab

c. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit volume cairan b.d banyaknya penguapan/cairan tubuh
yang keluar
2) Gangguan pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas
3) Bersihan jalan nafas inefektif b.d obstruksi jalan nafas
4) Nyeri akut b.d kerusakan kulit dan jaringan
5) Gangguan integritas kulit b.d kerusakan kulit dan jaringan yang
terkena luka bakar
d. Intervensi Keperawatan
No
1.

Diagnosa

Kriteria Hasil

Keperawatan
Defisit volume cairan Setelah
b.d

Intervensi
1. Monitor

banyaknya dilakukan
tindakan

tubuh yang keluar

keperawatan

0,5 1 cc/kg.bb/jam)

dalam waktu 2
24

jam

pemulihan
cairan

optimal

dan
keseimbangan
elektrolit
perfusi

catat

intake, output (urine

penguapan/cairan

dan

2.

Beri cairan infus


yang

mengandung

elektrolit

(pada

jam

I),

ke

24

sesuai

dengan

rumus

formula yang dipakai

serta 3. Monitor vital sign


organ 4. Monitor kadar Hb, Ht,

vital tercapai

elektrolit,

minimal

Kriteria Hasil:

setiap 12 jam.

a. BP 100-140/60
90 mmHg

49

b. Produksi urine
>30

ml/jam

(minimal

ml/kg BB/jam)
c. Ht 37-43 %
d. Turgor elastic
e. Mucosa lembab
f. Akral hangat
g. Rasa haus tidak
2.

ada
Gangguan pertukaran Setelah dilakukan 1.Mengkaji tanda-tanda
gas/oksigen

b.d tindakan

kerusakan jalan nafas

distress nafas, bunyi,

keperawatan

frekuensi,

dalam waktu 2 x

kedalaman nafas.

24 jam oksigenasi 2.Monitor


jaringan adekuat

irama,
tanda-tanda

hypoxia
(agitsi,takhipnea,

Kriteria Hasil:

stupor,sianosis)

a.Tidak ada tanda- 3.Monitor

hasil

tanda

laboratorium,

sianosis

kadar

b. Frekuensinafas
12 - 24 x/mnt
c. SP O2 > 95

AGD,

oksihemoglobin, hasil
oximetri nadi,
4.Kolaborasi dengan tim
medis

untuk

pemasangan
endotracheal
atau

tube

tracheostomi

tube bila diperlukan.


5.Kolabolarasi
tim

dengan

medis

untuk

pemasangan
ventilator

bila
50

diperlukan.
6.Kolaborasi dengan tim
medis

untuik

pemberian
3.

inhalasi

terapi bila diperlukan


Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan 1.Kaji status pernafasan
inefektif b.d obstruksi tindakan
jalan nafas

klien 72 jam pertama

keperawatan
dalam
x24

2. Latihan nafas dalam

waktu
jam

jalan

dan batuk efektif jika


memungkinkan

nafas

kembali 3. Tinggikan kepala 15-

efektif

30 derajat

Kriteria hasil :
a.Tidak ada sekret
di

saluran

pernafasan

4.Lakukan

postural

drainase

danclaping

vibrating

jika

memungkinkan

b.Pasien

bisa 5. Lakukan

bernafas dengan

penghisapan

normal

(suction)

sesuai

dengan
4.

Nyeri

akut

yang

dibutuhkan oleh klien


b.d Setelah dilakukan 1. Kaji rasa nyeri yang

kerusakan kulit dan tindakan

dirasakan klien

jaringan

2.Atur

keperawatan
dalam
masa

selama

Kriteria Hasil:
a.Skala 1-2
b.Expresi

dengan nyaman
teknik relaksasi
4.Lakukan

prosedur

pencucian
wajah

tenang
x/mnt

tidur

perawatan 3. Anjurkan klien untuk

nyeri berkurang

c.Nadi

posisi

luka

dengan hati-hati
5. Anjurkan klien untuk

60-100

mengekspresikan rasa
nyeri yang dirasakan

51

d.Klien

tidak 6.Beri tahu klien tentang

gelisah

penyebab rasa sakit


pada luka bakar
7.Kolaborasi
tinm

5.

Gangguan
kulit

b.d

dengan

medis

untuik

pemberian analgesik
integritas Setelah dilakukan 1. Kaji luka pada fase
kerusakan tindakan

akut

kulit dan jaringan yang keperawatan


terkena luka bakar

selama

(perubahan

warna kulit)
masa 2.

Cegah

adanya

penyembuhan

gesekan pada kulit

luka

yang terdapat luka

sembuh

bakar

dengan 3. Lakukan perawatan

baik dan integritas

pada luka bakar

kulit
Kriteria hasil:
a.Luka

Prosedur:

sembuh 1.Pencucian

luka

sesuai dengan

dilakukan

fase

menggunakan

penyembuhan

yang

luka

Prinsip dilution is

air

disterilkan.

the best solution for


pollution diterapkan.
2.

Pencucian
dikerjakan

luka
saat

penderita masuk ke
unit

luka

bakar

(dalam delapan jam


pertama)

dan

dilakukan

satu

sampai

dua

dalam
sebelum

kali
sehari

dilakukan
52

nekrotomi

dan

debridement.
3. Tindakan nekrotomi
dan

debridement

dilakukan bertujuan
membuang

eskar

atau

jaringan

nekrosis

maupun

debris yang memicu


respon inflamasi dan
menghalangi proses
penyembuhan
karena

luka

berpotensi

besar

untuk

berkembang
menjadi

fokus

infeksi. Tindakan ini


dilakukan

seawal

mungkin, dan dapat


dilakukan

tindakan

ulangan

sesuai

kebutuhan.
dimaksud

Yang
tindakan

awal adalah dalam


3-4

hari

pertama

pasca trauma, saat


konsistensi
masih

padat

belum
lisis,

eskar
dan

mengalami
eskar

yang

mengalami
memicu

lisis
respon

53

inflamasi
kuat

sangat

dan

sulit

dilakukan.

Pada

prosedur ini, luka


dicuci menggunakan
larutan steril.
4.

Perawatan

pasca

nekrotomi

dan

debridement,

luka

dicuci

kali

setiap

penggantian balutan.
5.Pemberian
antimikroba topikal
membantu
mencegah

infeksi.

Mengikuti

prinsip

aseptik

melindungi

pasien dari infeksi.


Kulit yang gundul
menjadi media yang
baik

untuk

pertumbuhan
bakteri.
e. Evaluasi
1. S: Klien merasa tidak lemas
O: Turgor kulit baik, mukosa lembab, kadar Kalium= 4.0 mEq/L
dan kadar Natrium= 135 mEq/L, intake dan output seimbang
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
2. S: Klien mengatakan sesak berkurang
O: Klien kadang-kadang masih terlihat bernafas cepat, RR: 25
kali/menit, SaO2 = 95 %
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

54

kultur

3. S: Klien mengatakan batuk-batuk berkurang


O: Klien kadang-kadang batuk dan mengeluarkan secret
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
4. S: Klien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri 4
O: Klien tidak meringis dan nadi 95 kali/ detik
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
5. S: Klien masih mengeluhkan perih pada luka
O: Masih ada luka terbuka
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera sebagai akibat kontak
langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (termal), listrik
(electrict), zat kimia (chemycal) atau radiasi. Luka bakar thermal (panas)
disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau
objek-objek panas lainnya. Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh
kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Luka bakar electric
(listrik) disebabkan oleh panas yang digerakkan dari energy listrik yang
dihantarkan melalui tubuh. Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar
dengan sumber radioaktif.
Penatalaksanaan syok dengan menggunakan metode resusitasi cairan
konvensional

(menggunakan

regimen

cairan

yang

ada)

dengan

penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukkan perbaikan


prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam
laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya,
ketiganya diketahui memiliki nilai prognostic terhadap angka mortalitas.
4.2 Saran

55

Dengan

adanya

makalah

ini

diharapkan

dapat

meningkatkan

pengetahuan bagi perawat, sehingga dalam memberikan perawatan kepada


klien dengan luka nakar dapat dilakukan secara maksimal sesuai dengan hal
yang dibutuhkan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Borley R. Neil danGrase A. Pierce. 2007. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta
Erlangga
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi
Berbasis Klinis Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 1998. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio,
V.J.M. & Dana, S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes
Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka
Bakar. Bagian Ilmu Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin,Bandung.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta. Salemba Medika
Horne, M., Pamela L. 2000. Keseimbangan Cairan Elektrolit & Asam basa.
EGC : Jakarta

56

Insley, J. 2000. Vade-Mecum Pediatri. EGC : Jakarta


Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tatalaksana. Jakarta : Balai penerbit
FKUI
Mohamad, Kartono. 2005. Pertolongan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Nina, R. 2008. Efek Penyembuhan Luka Bakar dalam Sediaan Gel Ekstrak Etanol
70% Daun Lidah Buaya (Aloe Vera L) pada Kulit Punggung Kelinci New
Zealand. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Ortiz-Pujols SM, Thompson K, Sheldon GF, et al. 2011. Burn Care : Are There
Sufficient Prociders and Facilities?. Chapel Hill, North Carolina.
American College of Surgeons Health Policy Research Institute
Rahayuningsih. 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar Combustio. Akademi
Keperawatan Bhaki Mulia.Sukoharjo
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga dalam Penanganan
Luka Bakar di RSUD Sukoharjo. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kusuma Husada. Surakarta.
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga Dalam Penanganan
Luka Bakar Di Rsud Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma
Husada .

57

Vous aimerez peut-être aussi