Vous êtes sur la page 1sur 6

Ajaran Islam (syari’ah Islamiyah) yang diturunkan Allah SWT adalah merupakan

bentuk dari kasih-sayangNya kepada umat manusia. Ajaran tersebut pada


umumnya sesuai dan sejalan dengan fitrah umat manusia. Salah satu contohnya
adalah ajaran tentang khitan, yang sangat sejalan dengan fitrah manusia, sesuai
sabda rasul SAW

‫م اْل َظ َْفاِر‬ ِ ْ ‫ف اْل ِب‬


ُ ‫ط وَت َْقِلي‬ ُ ْ ‫داد ُ وَن َت‬
َ ‫ح‬
ْ ِ ‫ست‬
ْ ‫ن َواِل‬ ِ ْ ‫ن ال ِْفط َْرةِ ال‬
ُ ‫خَتا‬ ْ ‫م‬ِ ‫س‬
ٌ ‫م‬ْ ‫خ‬
َ
‫ب‬
ِ ِ‫شار‬ ّ َ‫وَق‬
ّ ‫ص ال‬
“Lima perkara yang merupakan fitrah manusia : 1. sunat (khitan), 2. al-Istihdad
(mencukur rambut pada sekitar kemaluan), 3. memotong kumis, 4. mencukur bulu
ketiak, dan 5. menggunting kuku. (HR Jama’ah dari Abu Hurairah r.a.).

Khitan yang juga sebagai salah satu syi’ar agama Islam mempunyai banyak
hikmah; misalnya dari sisi medis, khitan bisa membersihkan organ tubuh kita.
Daerah kemaluan yang cenderung lembab dan ‘rawan tidak bersih’ karena
kemungkinan tertinggalnya sisa air kencing, dapat diminimalkan dengan dikhitan,
sehingga bisa lebih bersih, dan dengan begitu dapat terhindar dari penyakin kulit.
Selain itu, dengan dikhitan umat manusia juga semakin bisa merasakan nikmatnya,
maaf, bersenggama. Karena saraf-saraf sensitif di sekitar kemaluan tidak terhalang
oleh kulit katup kemaluan, sehingga dapat menimbulkan sensasi lebih ketika
bersetubuh (iltiqa al-khitanain).

Pada mulanya, ajaran berkhitan adalah syariat yang dibawa oleh nabi Ibrahim
‘alaihis salam. Kemudian diteruskan oleh agama Islam. Perlu diketahui, bahwa
setiap ajaran yang dibawa oleh nabi terdahulu (syar’u man qablana), kemudian
disyariatkan lagi dengan dimuat dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, maka ajaran
tersebut juga menjadi ajaran umat Islam. Dalam hal khitan ini, rasulullah SAW. telah
menganjurkannya sebagaimana termuat dalam hadis di atas, sehingga syariat
berkhitan yang awalnya menjadi syariat umat nabi Ibrahim AS. dengan begitu juga
menjadi syariat umat Muhammad SAW.

Sedangkan dari sisi hukumnya, para ulama sepakat bahwa berkhitan wajib
hukumnya bagi laki-laki, dan sangat dianjurkan hingga mendekati wajib
(makramah) bagi perempuan. Ketentuan hukum khitan ini sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Qudamah sbb :

َ
، ِ‫ساء‬
َ ّ ‫حقّ الن‬
َ ‫ة ِفي‬ َ ‫مك ُْر‬
ٌ ‫م‬ َ َ‫ و‬، ‫ل‬ َ ‫ب عََلى الّر‬
ِ ‫جا‬ ٌ ‫ج‬ َ َ‫ن ف‬
ِ ‫وا‬ ُ ‫خَتا‬ِ ْ ‫ما ال‬ّ ‫أ‬
.‫ن‬ ّ ِ‫ب عَل َي ْه‬ ٍ ‫ج‬ِ ‫وا‬َ ِ‫س ب‬َ ْ ‫وَل َي‬

“Khitan itu wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah suatu
kemuliaan/kebaikan, tidak wajib bagi mereka” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Kairo :
Maktabah al-Qohiroh, TT], h. 64)

Khusus terkait dengan khitan bagi perempuan banyak kalangan yang menyatakan
bahwa hal tersebut bisa melanggar hak asasi manusia, karena bisa berdampak
negatif bagi si perempuan tersebut dan dapat menghalangi reaksi seksual bagi
perempuan yang dikhitan.
Sebenarnya persangkaan seperti itu muncul karena ketidak fahaman terhadap
ajaran Islam. Agama Islam mengajarkan kepada kita untuk berperilaku proporsional.
Salah satunya adalah bagaimana bisa mengendalikan diri, termasuk mengendalikan
hawa nafsu. Khitan bagi perempuan diharapkan bisa menjadi rem bagi perempuan
untuk mengontrol hawa nafsunya. Karena menurut riwayat yang shahih, hawa nafsu
perempuan berlipat lebih besar daripada laki-laki, walaupun hal tersebut bisa
ditutupi oleh perasaan malunya yang juga lebih besar daripada laki-laki. Seandainya
rasa malu sudah menjadi suatu hal yang dianggap tidak penting bagi perempuan,
maka bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya tatanan sosial yang ada, karena
pada dasarnya laki-laki adalah makhluk yang rapuh sekali dalam menghadapi
rayuan perempuan. Maka sekarang hasilnya sudah mulai terlihat, di mana seks
bebas telah menggejala di hampir semua negara, terutama di kota-kota besar.

Di sisi lain, yang harus digaris bawahi, khitan bagi perempuan yang diajarkan oleh
syariat Islam bukanlah sebagaimana dipersepsikan orang yang menentangnya.
Khitan bagi perempuan menurut ajaran Islam cukup dilakukan dengan hanya
menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris, dan tidak
boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi
dan eksisi). Hal ini sebagaimana hadis rasul SAW:

،‫ساَء‬
َ ّ ‫ض الن‬
ُ ‫خِف‬ ْ َ ‫مَرأ َةٌ ت‬
ْ ‫دين َةِ ا‬ َ ْ ‫ت ِبال‬
ِ ‫م‬ َ :‫ل‬
ْ َ ‫كان‬ َ ‫ َقا‬،‫س‬ ٍ ْ ‫ك بن قَي‬ ِ ‫حا‬ّ ‫ض‬ّ ‫ن ال‬ ِ َ‫ع‬
ُ
ِ ْ ‫ه عَل َي‬
‫ه‬ ُ ّ ‫صّلى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫ل ل ََها َر‬
َ ‫ فََقا‬،‫ة‬ ّ ‫ل ل ََها أ‬
َ ّ ‫م عَط ِي‬ ُ ‫َُقا‬
َ ‫ح‬ َ َ ‫ فَإن‬،‫ ول تنهكي‬،‫خفضي‬
َ ‫عن ْد‬
ِ ‫ظى‬ ْ ‫ وَأ‬،‫ه‬ ْ َ‫ضُر ل ِل ْو‬
ِ ‫ج‬ َ ْ ‫ه أن‬
ُ ِّ ِ ُِْ َ َ ّ ‫سل‬
ِ ِ ْ ‫"ا‬:‫م‬ َ َ‫و‬
."‫ج‬ِ ْ‫الّزو‬
Dari adh-Dhahhak bin Qais bahwa di Madinah ada seorang ahli khitan wanita yang
bernama Ummu ‘Athiyyah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “khifadhlah
(khitanilah) dan jangan berlebihan, sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih
menguntungkan suami”. (HR. at-Tabrani dari adh-Dhahhak)

‫ل ل ََها‬
َ ‫دين َةِ فََقا‬
ِ ‫م‬َ ْ ‫ن ِبال‬
ُ ِ ‫خت‬
ْ َ‫ت ت‬ َ ً‫مَرأ َة‬
ْ َ ‫كان‬ ْ ‫نا‬
َ
ّ ‫صارِي ّةِ أ‬ َ َ ّ ‫عَن أ ُم عَط ِي‬
َ ْ ‫ة اْلن‬ ّ ْ
‫ة‬ َ ْ ‫ظى ل ِل‬ َ ‫ح‬ َ َ ِ ‫النبي صّلى الل ّه عَل َيه وسل ّم َل تنهكي فَإن ذ َل‬
ِ ‫مْرأ‬
َ ْ ‫كأ‬ ّ ِ ِ ُِْ َ َ َ ِ ْ ُ َ ّ ِّ
َ
‫ل‬ِ ْ‫ب إ َِلى ال ْب َع‬ّ ‫ح‬
َ ‫وَأ‬

Dari Ummu ‘Athiyyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan
tukang sunat/khitan, lalu Rasulullah SAW bersabda kepada perempuan tersebut:
“Jangan berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan
dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (HR. Abu Daud dari Ummu ‘Atiyyah r.a.)

Tata cara khitan bagi perempuan juga telah dibahas oleh para ulama, misalnya
yang dijelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin:
‫ والمرأة الخ( أي والواجب في ختان المرأة قطع جزء يقع‬:‫)قوله‬
(‫عليه اسم الختان وتقليله أفضل لخبر أبي داود وغيره أنه )ص‬
‫ أشمي ول تنهكي فإنه أحظى للمرأة وأحب للبعل‬:‫قال للخاتنة‬
،‫أي لزيادته في لذة الجماع‬

Yang diwajibkan dalam mengkhitan perempuan adalah memotong bagian yang


harus dikhitan. Diutamakan dalam mengkhitan perempuan untuk menggores sedikit
saja dari bagian yang harus dikhitan, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan
lainnya: bahwa rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: Khitanlah,
dan jangan berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan
dan paling disukai lelaki (suaminya), karena menambah nikmatnya bersenggama.

Prof. Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya “al-fiqh al-islami wa adillatuhu” juga


berpendapat senada :

“Khitan pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak
pada bagian atas farj (klitoris). Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh
memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi
tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama”. (Wahbah az-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Daar al-Fikr al-Islami] Jilid I, h. 356)
Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa praktik khitan perempuan yang dilakukan
secara berlebihan, yang kemudian memicu reaksi PBB sehingga mengeluarkan
pelarangan praktik khitan seperti itu, sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang Khitan Perempuan
ini. Karenanya, saya menganjurkan kepada Anda untuk melihat fatwa tersebut
secara lengkap.

Vous aimerez peut-être aussi