Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1.

Definisi
Tetanus berasal dari kata Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
artinya regangan, kekakuan, atau kontraksi (stretch atau rigidity)1, tetanus
yang juga dikenal dengan lockjaw atau Seven Day Disease yang
merupakan suatu penyakit neurologi, dicirikan dengan peningkatan tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa
bentuk klinis tetanus termasuk didalamnya adalah tetanus neonatorum,
tetanus generalisata, dan gangguan neurologis lokal.2

Gambar 1. Clostridium tetani dengan pengecatan Acridine jingga, yang dicirikan


dengan gambaran seperti stik drum7
3.2.

Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa
individu non-imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan
imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah
dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di
seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang

15

berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan


Negara lain di benua Asia.2 Karena meluasnya penggunaan imunisasi
pada tetanus, kejadian tetanus dilaporkan di Amerika Serikat telah
menurun secara substansial sejak pertengahan tahun 1940-an. Dari tahun
2001-2008, total 233 kasus dan 26 kematian akibat tetanus yang telah
dilaporkan di Amerika Serikat, yang berarti telah terjadi pengurangan 95%
sejak tahun 1947. Sedangkan angka kematian yang terjadi pada tetanus
neonatorum di negara non-industrial terdapat 59.000 bayi yang baru lahir
di seluruh dunia pada tahun 2008. Di Amerika Serikat, dari tahun 2007
rata-rata 31 kasus dilaporkan per tahun dan semua kasus terjadi pada
individu yang tidak di imunisasi atau pada individu yang tidak mendapat
vaksin ulangan. Selama periode 2001-2008 di Amerika Serikat, dilaporkan
71 orang (30%) berusia 65 tahun atau lebih, 139 oang (60%) berusia 20
64 tahun, dan 23 orang (10%) berusia lebih muda dari 20 tahun, termasuk
kasus tetanus neonatal (Gambar 2.1). Risiko kematian pada kasus tetanus 5
kali lebih besar terjadi pada usia >65 tahun.3 Di Indonesia meskipun angka
kejadian tetanus saat ini sudah menurun dengan berjalannya program
imunisasi pada anak, namun angka kematian masih mencapai 60%,
menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, terdapat 119 kasus
tetanus neonatorum dengan jumlah meninggal 59 kasus.4

Gambar 2. Mortalitas dan Insiden Rate Tetanus berdasarkan usia di Amerika


Serikat.3
16

3.3.

Etiologi
Clostridium tetani adalah berbentuk batang yang pipih dengan
ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um. Bakteri ini merupakan
bakteri gram positif yang bersifat anaerob, terdapat di mana-mana dengan
habitat alamnya di tanah, tetapi bisa juga diisolasi dari kotoran hewan
peliaharaan dan manusia. Clostridium tetani membentuk spora yang
berbentuk lonjong dengan ujung yang bulat, khas seperti batang korek api
(drum stick). Sifat spora ini bersifat resisten terhadap disinfektan dan tahan
dalam air mendidih selama 4 jam tetapi mati dalam autoklaf bila
dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak terkena
cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai
tahunan.5,8
Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam lingkungan
anaerob dan kemudian akan berkembang biak. Bentuk vegetatif ini tidak
tahan terhadap panas. Clostridium tetani tumbuh subur pada suhu 17C
dalam media kaldu daging dan media agar darah. Clostridium tetani bukan
merupakan bakteri yang invasif, akan tetapi bakteri ini memproduksi 2
macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil
dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf
pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot
dan

kejangkejang.

Adapun

tetanolisin

merupakan

toksin

yang

menyebabkan lisis dari sel darah merah.5,8


Toksin tetanus diproduksi secara in vitro dengan jumlah 5 10 %
dari beratnya bakteri. Karena toksin memiliki afinitas yang khusus untuk
jaringan saraf, maka disebut dengan neurotoxin. Toksin akan hancur pada
suhu 56oC selama 5 menit dan O2.5
Port dentry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat
diduga melalui:
a.
Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

17

3.4.

b.

Luka operasi yang tidak di rawat dan dibersikan dengan

c.
d.
e.

baik.
OMP, caries gigi.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Penjahitan luka robek yang tidak steril.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya tetanus semakin besar terjadi pada individu yang:
a

Tidak mendapat vaksinasi lengkap atau tidak melakukan pengulangan.


Usia tua juga memperbesar risiko terserang tetanus karena imunitas

b
c
d
e
f
g

terhadap tetanus sudah menurun.


Mengalami luka bakar.
Bertato.
Frostbite yang sering ditemukan pada pendaki gunung.
Infeksi gigi seperti periodontal abses.
Mengalami luka tembus pada mata.
Komplikasi medis seperti; aborsi septik, infeksi pada luka pemotongan
tali pusar, persalinan, pembedahan, injeksi muskuler, diabetes mellitus
(ulkus ganggren) yang perawatannya tidak baik.

3.5.

Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri
tidak menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa
tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang
lain.2,6
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik
dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang
masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. 2,6
Tetanoplasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini
merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150kDa yang semula
bersifat inaktif. Rantai berat 100kDa (H-heavy) dan rantai ringan 50kDa
((L-light), dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease
dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan sulfide
yang menghubungan kedua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat

18

terikat pada membrane saraf dan ujung amino yang memungkinkan


masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik
untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya
dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf
lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah
yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh
tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam
akson dan secara retrogred kedalam badan sel di batang otak dan saraf
spinal. 2,6
Transport pertama kali pada saraf motorik, lalu saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk kedalam sel, ia akan berdifusi keluar
dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila
interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan
muncul. Transport intraneural retrogred lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini
meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang
tidak jelas. 2,6
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide
yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang,
membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan
lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membrane
yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neurotransmitter.

Rantai

ringan

tetanosplasmin

merupakan

metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik


tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter. 2,6
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori,
dimana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik,
ia akan memblokade perlepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan
asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron
motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang)

19

neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik


juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang
sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi.
Pengaruh

ini

mirip

dengan

aktivitas

toksin

botulinum

yang

mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek


disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya
fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hypothalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvusan
kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap
spasme intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di
antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang
dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan.
Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa
paralisis flaksid. 2,6
Aliran eferen yang tidak terkendali dari saraf motorik pada korda
dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang
dapat menyerupai konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok otot antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat
berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala
sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh
dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot perifer tangan dan kaki
relative jarang terlibat. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendai akan
berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf
simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin
pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya
ujung saraf yang baru yang menjelaskan kenapa tetanus berdurasi lama. 2,6
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot
yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin
yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan
menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar darah otak
memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf
20

pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneural sama pada


semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut
saraf yang panjang; hal ini mejelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di
kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. 2,6

Gambar 3. Skema dari struktur dan aktivasi neurotoksin tetanus.7


Keterangan: Toksin dihasilkan sebagai rantai polipeptida tunggal yang
tidak aktif. Toksin akan diaktivasi selama pemecahan proteolitik selektif,
sehingga akan menghasilkan dua rantai disulfide. Tiga daerah ini akan
memerankan fungsi yang berbeda dalam rantai L pada sitosol. L adalah
sebuah zinc-endopeptidase spesifik untuk komponen protein dari
apparatus neuroeksitosis.7
3.6.

Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit antara 3 hingga 21 hari, rata-rata 7 hari
(Taylor, 2006). Biasanya makin jauh tempat luka dari sistem saraf pusat,
makin lama masa inkubasinya. Makin pendek periode inkubasi, makin
tinggi kemungkinan kematian. Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara
klinis, yakni:
1. Localized Tetanus (Tetanus Lokal)
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Pada lokal tetanus
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana
luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi Generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Secara
umum prognostiknya baik. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai

21

prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. 7
2. Cephalic Tetanus
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya
1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang
tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat
terjadi. Mortalitasnya tinggi. 2,6
3. Generalized Tetanus (Tetanus umum)
Tetanus generalis merupakan bentuk yang paling umum dari
tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme
generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan
lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7
hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.
2,6

Terdapat trias klinis berupa; rigiditas, spasme otot, dan apabila


berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah
yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri.
Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan
menurunnya kelenturan dinding dada. Reflex tendon dalam meningkat.
Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak sedangkan kedasaran
tidak dipengaruhi. 2,6
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang
bersifat episodik. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi
pada kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi
dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus
visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat sangat berat,
22

terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis


dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh
stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme
laryngeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan
nafas yang mengancam jiwa. 2,6
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus
generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala
dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran
kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial
diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik,
hipokalsemia, keracunan striknin, dan hysteria. Akibat trauma perifer dan
sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan
rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang
berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih
mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. 2,6
3.7.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis
yang khas. Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan
untuk mencurigai adanya port dentry dan masa inkubasi, seperti luka
tusuk, luka dalam yang kotor, luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan
riwayat operasi. Tabel 1 menunjukkan kriteria jenis luka yang rentan dan
tidak rentan tetanus. Selain itu perlu ditanyakan riwayat imunisasi,
persalinan dan perawatan tali pusat pada bayi. Gejala klinis yang khas
seperti trismus dan opistotonus menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus.
Tabel 1. Kriteria Jenis Luka
Luka Rentan Tetanus
6-8 jam
Kedalaman luka >1cm
Terkontaminasi

Luka Tidak Rentan Tetanus


< 6 jam
Superficial (<1cm)
Bersih

23

Bentuk stelat, avulsi atau hancur

Bentuk linear, tepi tajam

(ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulent, jaringan nekrotik)

Neuro/vaskuler intak
Tidak terinfeksi

3.7.1

Kriteria Diagnosis7

Hipertoni dan spasme otot


- Trismus, risus sardonikus,
-

otot

leher

kaku

dan

nyeri,

opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak spastik.


Lain-lain : Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada

otot-otot di sekitar luka


Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu
Umumnya ada luka/ riwayat luka
Retensi urine dan hiperpireksia
Tetanus lokal.

Gambar 4. Risus sardonicus (Cook et al, 2001)

Gambar 5. Opistotonus berat pada tetanus neonatorum (Cook et al, 2001).

24

3.7.2

Derajat Tetanus
Derajat tetanus dapat ditentukan dengan menggunakan Philips
Score

atau

Abletts.

Skor

tersebut

dapat

memberikan

rencana

penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

Tabel 2. Klasifikasi Ablett terhadap tingkat keparahan Tetanus.8


Stadium

Gejala klinis

Ringan: Trismus ringan hingga sedang; spastisitas general; tidak ada


keterlibatan sistem respirasi; tidak ada spasme; tidak ada disfagia atau
ringan
Sedang: Trismus ringan; rigiditas yang jelas; spasme ringan atau sedang
tapi sebentar; keterlibatan sistem respirasi yang sedang dengan peningkatan
laju nafas lebih dari 30 kali; disfagia ringan.
Berat: Trismus berat; spastisitas generalisata; refleks spasme yang lama;
laju nafas lebih dari 40 kali; apneic spells; disfagia berat; takikardi yang
lebih dari 120.
Sangat berat: Stadium III dan gangguan otonom berat yang melibatkan
sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardi bergantian dengan
hipotensi relatif dan beradikardi, yang mana akan menjadi persisten.

II
III
IV

Tabel 3. Skor Philips8


Faktor Risiko
Masa Inkubasi
- <48 jam
- 2-5 hari
- 5-10 hari
- 10-14 hari
- >14 hari
Lokasi Infeksi
- Umbilikus dan internal
- Kepala, leher, dinding tubuh
- Perifer proksimal
- Perifer distal
- Tidak diketahui
Status proteksi
- Tidak ada
- Sebagian imunisasi waktu kehamilan

Skor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
10
8

25

- >10 tahun
- <10 tahun
- Lengkap
Komplikasi
- Luka atau kondisi mengancam kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka kecil
- ASA grade 1

4
2
0
10
8
4
2
0

Keterangan :
- Skor tetanus ringan : <9
- Skor tetanus sedang : 9-16
- Skor tetanus berat : >16
Tabel 4. Skor Dakar.8
Faktor
Score 1

Dakar Score
Score 0

prognosis
Periode inkubasi <7 hari
Periode onset
<2 hari
Tempat masuk
Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur
Spasme
Demam
Takikardi

7 hari atau tidak diketahui


2 hari
Selain dari yang telah disebut,

terbuka, luka operasi, injeksi IM


Ada
>38,4oC
Dewasa > 120 kali/menit

atau tidak diketahui


Tidak ada
<38,4oC
Dewasa <120 kali/menit

Neonatus > 150 kali/menit

Neonatus < 150 kali/menit

Keterangan :
- Dakar score 0-1, ringan (mortalitas 10%)
- 2-3, sedang (mortalitas 10-20%)
- 4 berat (mortalitas 20-40%)
- 5-6 sangat berat (mortalitas >50%)
Adapun grading berdasarkan kriteria Pattel Joag, yaitu sebagai berikut:
Kriteria 1

: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang

belakang
Kriteria 2

: spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3

: inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4

: waktu onset antara 48 jam atau kurang

26

Kriteria 5

: kenaikan suhu rektal 100o F atau aksila sampai 99o F ( 37,6o C)

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut:


Derajat 1

: kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%.

Derajat 2

: kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih


dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.

Derajat 3

: kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari


7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.

Derajat 4

: kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5

: bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus


puerpurium, mortalitas 84%.

3.8.

Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk
mencurigai adanya port dentry, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor,
luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Gejala klinis yang
khas menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus. Tidak ada pemeriksaan
penunjang yang spesifik. Pemeriksaan EKG, darah rutin, fungsi faal ginjal,
elektrolit, analisa gas darah, kultur untuk infeksi dilakukan untuk
membantu mengatasi penyulit yang mungkin terjadi.1
Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan
C.tetani. EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung. Sedangkan foto
toraks bila ada tanda komplikasi paru-paru.7

3.9.

Diagnosis Banding
Menurut Perdossi 2013 dalam Standar Pelayanan Medik dan Taylor
2006 diagnosis banding tetanus adalah;7,9
-

Keracunan Strychnine
Strychnine merupakan suatu bahan kimia yang bersifat alkaloid yang
digunakan sebagai pestisida. Strychnine jika terhisap, tertelan, atau
terabsobsi melalui mata atau mulut dapat menyebabkan keracunan,
yang akan menyebabkan terjadinya kaku otot muka dan leher, dan

27

konvulsi tubuh menjadi lengkung pada hiperekstensi sehingga


memungkinkan hanya ubun-ubun kepala dan tumit yang menyentuh
lantai

Rabies
Pada rabies ditemukan kejang pada orofaring. Khas dari rabies dalah
hidrofobik yang dialami pasien. Pada rabies tidak ditemukan trismus
dan terdapat riwayat gigitan binatang.

Meningitis
Pada meningitis dapat ditemukan disfagia dan kaku pada leher. Juga
ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah
dengan tidak adanya trismus merupakan perbedaan dengan tetanus

Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandiula


Sindrom hiperventilasi/reaksi histeri
Epilepsi/kejang tonik klonik umum

Epilepsi dapat menyebabkan kejang, namun tidak ditemukan kekakuan otot


diantara kejang. Bisanya sudah ada riwayat serangan epilepsi sebelumnya.

3.10.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan; organisme yang

terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin


berlanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar system saraf pusat hendaknya
dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada system saraf pusat
diminimisasi.
Pasien hendaknya diletakkan diruangan yang tenang, dimana observasi dan
pemanauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sedangkan
stimulasi di minimalisasi. Perlindungan terhadap jalan nafas bersifat vital. Luka
hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement
secara menyeluruh.2,6,10
Penatalaksanaan Tetanus menurut PERDOSSI, 2013 yaitu:
28

IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam


Kausal :
Antitoksin tetanus:
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 IU/hari/i.m.
selama 3-5 hari, skin test terlebih dahulu.
ATAU
b. Human Tetanus lmmunoglobulin (HTlG). Dosis 500-3.000 lU/I.M.
tergantung beratnyapenyakit. Diberikan SINGLE DOSE.
Antibiotik :
a. Metronidazole 500 mg/ 8 jam drips i.v.
b. Ampisilin dengan dosis 1 gr/8 jam i.v. (Skin test dahulu).
Bila alergi terhadap Penilisin dapat diberikan :
- Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
- Tetrasiklin 500mg/6 jam/oral.
Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2.
Simtomatis dan supportif
Diazepam
- Setelah masuk rumah sakit, segera diberikan diazepam dengan dosis 10 mg
i.v. perlahan 2-3 menit. Dapat diulangi bila diperlukan.
- Dosis maintenance : 10 ampul = 100 mg/500 ml cairan infus (10-12
mg/KgBB/hari) diberikan secara drips (syringe pump).
Untuk mencegah terbentuknya kristalisasi, cairan dikocok setiap 30 menit.
- Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampul / IV perlahan selama 3-5
menit, dapat diulangi setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali. Bila tak
teratasi segera rawat di ICU.
- Bila penderita telah bebas kejang selama 48 jam maka dosis diazepam
diturunkan secara bertahap 10% setiap 1-3 hari (tergantung keadaan).
Segera setelah intake peroral memungkinkan maka diazepam diberikan
peroral dengan frekuensi pemberian setiap 3 jam.
Oksigen

29

diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distres pernapasan, sianosis.


Nutrisi
Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair. Bila perlu, diberikan
melalui pipa nasogastrik.
Menghindari tindakan/ perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk
rangsangan suaradan cahaya yang intensitasnya bersifat intermitten.
Mempertahankan/ membebaskan jalan nafas : pengisapan lendir oro/
nasofaring secara berkala.
Posisi/ letak penderita diubah-ubah secara periodik.
Pemasangan kateter bila teriadi retensi urin.
Pada prinsipnya, tatalaksana dapat meliputi:
Netralisasi dari Toksin yang Bebas
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang
beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin
yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus
manusia (HTIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera
dengan dosis 3000-6000 unit intramuskuler, biasanya dengan dosis terbagi karena
volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unti sama efektifnya dengan
dosis yang lebih tinggi. Immunoglobulin intravena merupakan alternative lain
daripada HTIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum
distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum manipulasi luka.2,6,10
Menyingkirkan Sumber Infeksi
Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah.
Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tetanus
untuk mengeradikasi sel-sel vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan
penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena setiap hari selama 10 hari) telah
direkomendasikan dan secara luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi

30

merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazole


merupakan antibiotic pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1gr tiap 12
jam) dipergunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial.2,6,10
Pengendalian Rigiditas dan Spasme
Banyak obat yang dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi
untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam
respirasi karena dapat menyebabkan laringospasme atau kontaksi secara terusmenerus otot-otot pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yang dapat
menekan aktivitas spasmodic tanpa menyebabkan efek sedasi yang berlebihan dan
hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya
adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepine. Benzodiazepine memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABAA.
Diazepam dapat diberikan melalui berbagai rute yang bervariasi, murah dan
dipergunakan secara luas, tetapi kerja metabolit kerjanya panjang, dapat
terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Pilihan yang lain adalah
lorazepam

dan

midazolam.

Sebagai

sedasi

tambahan

dapat

diberikan

antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas


GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Barbiturate dan klorpomazin
ini merupakan obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan
pemulihan yang cepat setelah infuse di stop.2,6,10
Penatalaksanaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,
gangguan kemampuan menelan atau disfagia.2,6,10
Penatalaksanaan Intensif Suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut terjadi
penyebabnya

mencakup

ketidakmampuan

menelan,

meningkatnya

laju

metabolism akibat pireksia dan aktivitas muskuler dan masa kritis yang
31

bekepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin.


Nutrisi enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dan lebih
murah daripada nutrisi parenteral.2,6,10
Penatalaksanaan Lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan
yang tak nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signfikan;
kecukupan kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupun
parenteral; fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan
antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung
kemih, dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus
dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.2,6,10
Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi
karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang
menyebabkan tetanus.
Farmakologi Obat-obatan yang Biasa Dipakai pada Tetanus
Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Mendepresi semua tingkatan system saraf pusat, termasuk bentukan limbic dan
reticular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotansmiter
inhibitori utama.

Dosis Dewasa

Spasme ringan

: 5 10 mg oral tiap 4 6 jam apabila perlu.

Spasme sedang

: 5 10 mg i.v apabila perlu

Spasme berat

: 50 100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam.

Dosis pediatric

32

Spasme ringan

: 0,1 0,8 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiga atau


empat kali sehari.

Spasme sedang sampai berat: 0,1 0,3 mg/kgBB/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.

Kontraindikasi

: Hipersensitiitas, glaukoma sudut sempit.


Interaksi
: Toksisitas benzodiazepin

pada

sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan


bersamaan dengan alkohol, fenothiazin, barbiturate,
dan MAOI; cisapride dapat meningkatkan kadar

Kehamilan

diazepam secara bermakna.


: Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
Perhatian
: Hati-hati pada pasien

yang

mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang lain,


pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati
karena, toksisitas diazepam dapat meningkat.
Fenobarbital. Dosis baru harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan
depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi
diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

Dosis Dewasa

mg/hari.
Dosis pediatrik

: 1 mg/kg i.m tiap 4 6 jam, tidak melebihi 400

: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.


Kontraindikasi: Hipersensitifitas, gangguan fungsi

hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien nefritis.


Interaksi
:Dapat
menurunkan
efek
kloranfenikol,

digitoksin,

kortikosteroid,

karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol,

Kehamilan

dan antikoagulan.
: Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
Perhatian
: Pada terapi jangka panjang, monitor
fungsi hati, ginjal dan system hematopoitik. Hatihati pada miastenia gravis dan miksedema.

33

Baklofen. Baklofen intatekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan


secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk
menghentikan infuse diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih poten daripada
baklofen peroral. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi.
Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali
terjadi.

Dosis Dewasa : < 55 tahun = 100 mgc IT > 55 tahun = 800 mgc IT
Dosis pediatric
: < 16 tahun = 500 mgc IT >16 tahun = seperti dosis dewasa
Kontraindikasi : Hipersensitifitas.
Interaksi
: analgesic opiate, benzodiazepine,
alcohol, guanabens, MAOI, klindamisin, dan obat

Kehamilan

antihipertensi dapat meningkatkan efek baklofen.


: Criteria C (keamanan bagi wanita hamil tidak diketahui)
Perhatian
: Hati-hati pada pasien dengan
disrefleksia otonomik.

Penisilin G. berperan dalam mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot


selamamultiplikasi

aktif,

menghasilkan

aktifitas

bakterisidal

terhadap

mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10 14 hari. Dosis besar


penisilin i.v dapat menyebabkan anemia hemolitik, dan neurotoksisitas. Henti
jantung telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan dosis massif penisilin G.

Dosis Dewasa
Dosis pediatric

: 10 24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis.


: 100.000 250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4

kali/hari.
Kontraindikasi
Kehamilan

: Hipersensitifitas.
: Criteria B (biasanya aman, tetapi digunakan apabila

manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi).


Perhatian
: Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol. Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsobsi


kedalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA
dan

menghambat

sintesis

protein,

yang

menyebabkan

kematian

sel.

Direkomendasikan selama 10-14 hari.

34

Dosis Dewasa

melebihi 4g/hari.
Dosis pediatric : 15-30 mg/kgBB/hari i.v tiap 8-12 jam tidak lebih dari

2g/hari.
Kontraindikasi
Interaksi
kortikosteroid,

: 500 mg peroral tiap 6 jam atau 1g i.v tiap 12 jam, tidak

: Hipersensitifitas, trimester pertama kehamila.


:Dapat menurunkan efek kloranfenikol,
karbamazepin,

teofilin,

verapamil,

digitoksin,

metronidazol,

dan

antikoagulan.
Kehamilan

manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi).


Perhatian
: Penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang

: Criteria B (biasanya aman, tetapi digunakan apabila

dan neuropati perifer.


3.11. Komplikasi
Komplikasi

tetanus

dapat

terjadi

akibat

penyakitnya,

seperti

laringospasme, atau sebagai konsenkuensi dari terapi sederhana seperti sedasi


yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsenkuesi dari perawatan
intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.6
Tabel 5. Komplikasi Tetanus
Sistem
Jalan nafas

Komplikasi
Aspirasi,
Laringospasme/obsturksi
Obstruksi berkaitan dengan sedative

Respirasi

Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme trunkal berkepanjangan,
sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)

Kardivaskuler

Takikardia, hipertensi, iskemia


Hipotensi, bradikardia
Asistol

35

Gagal jantung.
Ginjal

Gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure)


Gagal ginjal oligouria,
statis urin dan infeksi.

Gastrointestinal

Stasis gaster, ileus, diare dan perdarahan.

Lain-lain

Penurunan berat badan,


tromboembolus,
Sepsis dengan gagal organ multipel,
Fraktur vertebra selama spasme,
Rupture tendon akibat spasme.

3.12.

Prognosis
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi. Prognosis kesembuhan dan

kematian berhubungan dengan derajat tetanus.1


Angka kematian tinggi bila
-

Usia tua
Masa inkubasi singkat
Onset periode yang singkat
Demam tinggi
Spasme yang tidak cepat diatasi

Sebelum pasien keluar rumah sakit, diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mg
IM. TT2 dan TT3 diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6 minggu.7
Selain itu prognosis juga bisa ditentukan dengan menggunakan criteria derajat
ringan beratnya tetanus menggunakan grading Pattel Joag, semakin kecil derajat
keparahannya maka angka mortalitas semakin kecil, dan sebaliknya semakin besar
derajat keparahannya semakin besar angka mortalitasnya.
3.13.
Pencegahan
3.13.1. Imunisasi Aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan
pencegahan yang paling efektif dalam praktik. Angka kegagalan dari tindakan ini
sangat rendah. Titer protektif dari antibody tetanus adalah 0,01 U/ml. Walaupun
demikian tetanus dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi.

36

Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri
atas tiga dosis: dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan
tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia decade pertengahan seperti 35 tahun,
45 tahun dan seterusnya. Namun demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali
tidak diperlukan untuk individu di atas 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dan
difteri (Td) yang diabsopsi, lebih dipilih. Vaksin yang diabsorbsi lebih disukai
karena menghasilkan titer antibody yang lebih menetap daripada vaksin cair.6
Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus
Neonatorum (ETN) melalui imunisasi DPT, DT, atau TT. Adapun jadwal
pemberian imunisasi adalah sebagai berikut:

Imunisasi DPT pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan imunitas 13 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut setara dengan
2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau dewasa. Dosis sebesar
0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut - turut. Booster
diberikan dengan dosis 1 x 0,5 cc IM

Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang


imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur
dewasa dihitung setara 3 dosis toksoid.

Dosis toksoid tetanus kelima (DPT/ DT 5) bila diberikan pada usia


masuk sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada
sampai umur 17-18 tahun; pada umur dewasa dihitung setara 4 dosis
toksoid.

Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya


di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang imunitas 20 tahun
lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5 dosis toksoid.

37

Program Imunisasi merekomendasikan TT 5x untuk memberikan


perlindungan seumur hidup dan pada wanita usia subur (WUS) untuk
memberikan perlindungan terhadap bayi yang dilahirkan dari tetanus
neonatorum.

Dosis TT 0,5 ml diberikan secara intramuskular.

Upaya mencapai target Eliminasi Tetanus Neonatorum dengan target

sasaran TT 5x selain pada sasaran bayi, juga pada anak sekolah melalui kegiatan
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Tabel 6. Jadwal Imunisasi Nasional (Depkes) bagi Bayi yang Lahir di
Rumah.9

Tabel 7. Jadwal Imunisasi Nasional (Depkes) bagi Bayi yang Lahir di RS/RSB.9

Adapun jadwal imunisasi menurut IDAI dapat dilihat pada tabel 8.


Tabel 8. Jadwal Imunisasi Anak Menurut IDAI.9

38

4.

Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya6;
a
b

Imunisasi pasif dengan TIG


Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu usia di atas
7 tahun.

Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat
sedang adalah 250 unit intramuskular yang menghasilkan kadar antibodi
serum protektif paling sedikit 4 sampai 6 minggu; dosis yang tepat untuk
TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000 samapi 6000 unit.
Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan
spuit injeksi yang berbeda.
Prinsip penatalaksanaan luka adalah menghentikan perdarahan,
mencegah infeksi, menilai kerusakan yang terjadi pada struktur yang
terkena dan untuk menyembuhkan luka. Membersihkan luka merupakan
faktor yang paling penting dalam pencegahan infeksi luka. Sebagian besar
luka terkontaminasi saat pertama pasien datang. Luka tersebut dapat
mengandung darah beku, kotoran, jaringan mati atau rusak dan mungkin
benda asing. Untuk mengatasinya dapat dilakukan tindakan seperti:

39

Bersihkan kulit sekitar luka secara menyeluruh dengan sabun dan air
atau larutan antiseptik. Air dan larutan antiseptik harus dituangkan ke
dalam luka.

Setelah memberikan anestesi lokal, periksa hati-hati apakah ada benda


asing dan bersihkan jaringan yang mati. Pastikan kerusakan apa yang
terjadi. Luka besar memerlukan anestesi umum.

Setelah itu, buat robekan luka secara teratur membentuk huruf X


dengan titik tengah persilangan adalah luka. Tujuan dibuat robekan
luka adalah agar mempermudah pembersihan kotoran didalam luka
tusuk.

Setelah membuat robekan, siramlah dengan larutan H202, biasanya


akan timbul buih, gosoklah dengan kuat, sampai benar-benar bersih tak
tertinggal bekas kotoran yang menempel ataupun kotoran yang masih
tersisa.

Bilas luka dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%, tekan sekitar luka
hingga berdarah, tujuannya adalah untuk menghilangkan cairan H2O2
serta membersihkan luka. Lalu beri betadhine pada luka.
Pada infeksi tetanus, luka tidak perlu ditutup, biarkan luka tetap

terbuka, karena hal tersebut akan menghambat pertumbuhan bakteri


clostridium tetani. Perlu dipertimbangkan pemberian imunisasi pasif, yaitu
Anti Tetanus Serum (ATS) atauHuman Tetanus Immunoglobulin (HTIG).
Indikasi pemberian suntikan ATS, yaitu:

Luka cukup besar (dalam lebih dari 1 cm).

Luka berbentuk tidak teratur.

Luka berasal dari benda yang kotor dan berkarat.

Luka gigitan hewan dan manusia.

Luka tembak dan luka bakar

Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditangani,
atau luka kurang dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi, atau

40

luka kurang dari 6 jam namun timbul karena kekuatan yang cukup
besar (misalnya luka tembak atau terjepit mesin).

Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas atau


tidak mendapat booster selama 5 tahun atau lebih. Dosis yang
diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak
adalah 750 IU per IM.10
Imunisasi pasif dengan human immunoglobulin tidak diindikasikan

jika pasien tersebut sudah mendapat suntikan toksoid minimal 2 kali


sebelumnya.Pasien dengan imunisasi lengkap yaitu, pasien yang sudah
mendapat

booster

dalam

10

tahun

terakhir,

tidak

memerlukan

penatalaksanaan tambahan untuk luka-luka non tetanus biasa. Jika luka


dicurigai mengandung tetanus, injeksi 0,5 ml toksoid tetanus booster yang
dapat diabsorbsi harus diberikan jika pemberian terakhir telah lebih dari 5
tahun yang lalu.Pasien dengan riwayat imunisasi lengkap tetapi booster
yang didapat sudah melewati masa 10 tahun harus mendapat toksoid
tetanus untuk semua luka tembus. Dosis human immunoglobulin yang
diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500
IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM. Hypertet
diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan,
namun harganya lebih mahal dibandingkan ATS. Pasien dengan riwayat
imunisasi pernah mendapat sekali injeksi atau kurang, atau riwayat tidak
diketahui harus mendapat toksoid tetanus untuk luka nontetanus. Untuk
luka yang dicurigai tetanus dapat diberikan ATS.

Imunisasi tetanus toxoid (TT)


Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk
mendapatkan kekebalan penuh. Diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut turut dengan dosis 0,5 cc IM. Booster (penguat) diberikan 10
tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap
10 tahun setelah pmberian booster Imunisasi TT yang pertama bisa

41

dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu TT2 dilakukan


sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun).Tahap berikutnya
adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam
tahun), kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10
tahun), dan TT5 diberikan setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat
cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila
penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar
dalam 5 tahun terakhir.
Tabel 9. Tindakan Profilaksis
Jenis Luka
Ringan, bersih

Berat, bersih, atau


cenderung tetanus
Cenderung tetanus,
debrimen
terlambat atau
tidak bersih

Belum imunisasi aktif atau


sebagian
Mulai atau melengkapi
imunisasi toks. 0,5 cc hingga
lengkap
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Hingga lengkap antibiotika

Mendapat imunisasi aktif yang lengkap


1 5 tahun
5 10 tahun
> 10 tahun

Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc
AB

ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
antiboitka

ATS 1500 IU setara dengan HTIG 250 IU.


5.

Tetanus Neonatorum

Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum


mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk
meningkatkan porposi kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan
penolong kelahiran non medis.

42

BAB IV
ANALISIS KASUS
Penderita datang dengan keluhan utamatidak bisa bekerja akibat
mengalami kekakuan seluruh tubuh yang terjadi secara tiba-tiba. Selain itu, pasien
mengalami sukar membuka mulut (trismus). Sulitnya membuka mulut (trismus)
dapat disebabkan berbagai penyakit seperti infeksi pada gigi contohnya abses gigi,
atau penyakit lain seperti abses retrofaringeal atau sulbluksasi mandibula. Tetapi
pada anamnesis didapatkan penyakit yang berhubungan dengan sukarnya
membuka mulut, yaitu gigi berlubang namun hal ini telah berlangsung lama (10
tahun) sehingga hal ini bisa disingkirkan. Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan
kaku dan nyeri pada perut diikuti dengan nyeri punggung belakang, dan kekakuan
pada leher, lengan, dan tungkai.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya trismus pada saat membuka
mulut (+) 2 jari, tonus meningkat, refleks fisiologis meningkat, dan terdapat
kekakuan pada perut. Ditemukan luka ibu jari kaki kanan akibat tertusuk benda
tajam. Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan. Selain itu juga
tidak ditemukan gambaran adanya gerakan abnormal, maupun gerak rangsang
meningeal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan beberapa
diagnosis banding topik dan etiologi antara lain:
Gangguan

Cerebelu

UMN

LMN

NMJ

Penderita

Peningkatan

Ya/Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tonus
Gangguan Gait
Hemiparese/plegi
Gang. Fungsi

Ya
Tidak
Tidak

Ya/Tidak
Ya
Ya/Tidak

Ya
Tidak
Tidak

Ya/Tidak
Tidak
Tidak

Tidak
Tidak
Tidak

Luhur
Spastisitas
Distress napas
Trismus

Ya/Tidak
Tidak
Tidak

Ya
Tidak
Tidak

Ya
Potensial
Tidak

Ya
Potensial
Ya/Tidak

Ya
Tidak
Ya

43

Berdasarkan paparan di atas maka diagnosis topik pada pasien ini yaitu
Neuromuscular Junction. Salah satu etiologi yang dapat menyebabkan gangguan
spastisitas, peningkatan tonus, dan trismus kemungkinan adalah tetanus.
Pada tabel diagnosis banding etiologi di bawah ini, gejala yang paling mirip
dengan penyakit tetanus adalah keracunan strychnine. Strychnine merupakan
suatu bahan kimia yang bersifat alkaloid yang digunakan sebagai pestisida.
Strychnine jika terhisap, tertelan, atau terabsobsi melalui mata atau mulut dapat
menyebabkan keracunan, yang akan menyebabkan terjadinya kaku otot muka dan
leher, dan konvulsi tubuh menjadi lengkung pada hiperekstensi sehingga
memungkinkan hanya ubun-ubun kepala dan tumit yang menyentuh lantai sama
seperti gejala pada tetanus yaitu opisthotonus. Keracunan strychnine dapat
dibedakan dengan gejala tetanus yaitu riwayat terpaparnya pasien dengan zat
kimia ini, namun pada kasus ini tidak ada.
Infeksi

Gejala

Meningitis

SAH

Trismus
Kekakuan

orofasial
-

leher
Rhisus
sardonikus
Disfagia
Demam
Riwayat
Luka
Riwayat
Trauma
tumpul
Opisthotonu
s
Defans
Muskular
Kejang
Rangsang

Rabies

Keracunan

Tetanus

Penderita

strychnine
+

+/-

+
+

+
+/-

+/-

Penderita juga memiliki riwayat tertusuk benda tajam pada ibu jari kaki
kanan 20 hari yang lalu. Riwayat luka mengarah pada kemungkinan port dentry
masuknya bakteri Clostridium tetani kedalam tubuh karena biasanya bakteri ini

44

dalam bentuk spora akan masuk ketubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan
tanah, debu, tinja binatang atau pupuk. Masa inkubasi dari Clostridium tetani
biasanya 7 hari (3-21 hari), didalam tubuh bakteri ini akan melepaskan
eksotoksin yaitu tetanospamin dan tetanolisin yang akan mudah diikat oleh saraf
dan mencapai saraf.
Setelah ditegakan diagnosis, perlu juga ditentukan derajat keparahan dari
pasien ini menggunakan kriteria Pattel Joag. Berdasarkan kriteria Pattle-Joag,
pasien ini dimasukkan dalam kriteria derajat 2 yaitu kasus sedang dengan skor
Phillip 15 (Kasus sedang).
Tujuan terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan; organisme yang
terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin
berlanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
diminimalisasi. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini dapat berupa
penatalaksanaan

non

farmakologis

dan

farmakologis.

Penatalaksanaan

farmakologis dapat berupa komunikasi, informasi, dan edukasi. Dimana


dijelaskan mengenai informasi penyakit yang diderita pasien kepada keluarga dan
pasien serta memberikan edukasi pada pasien dan keluarga agar mengkonsumsi
obat dengan teratur dan hendaknya panderita dirawat di ruangan isolasi untuk
menghindari terjadinya kejang berulang atau kejang rangsang yang dapat timbul
karena rangsangan baik dari cahaya ataupun suara. Sedangkan untuk tatalaksana
farmakologis pasien diberikan ATS, metronidazol, diazepam, dan perawatan luka.
Pada pasien ini ATS telah diberikan pada penatalaksanaan awal di UGD dan
metronidazole telah diberikan selama 10 hari.
ATS diberikan dengan tujuan untuk menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat. Untuk menyingkirkan sumber
infeksi dapat diberikan antibiotic yaitu metronidazol. Metronidazol aktif melawan
bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsobsi kedalam sel dan senyawa
termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis
protein, yang menyebabkan kematian sel. Diazepam dipergunakan sebagai terapi

45

spasme tetanik dan kejang tetanik. Dan dilakukan perawatan pada luka dengan
menggunakan povidon iodine.
Pada penderita tetanus prognosis bisa ditentukan dengan menggunakan
grading tingkat keparahan menggunakan criteria Pattel Joag atau Dakars Score.
Semakin kecil derajat keparahan atau skor yang didapat semakin kecil angka
mortalitas, sebaliknya semakin besar derajat keparahan atau skor yang didapat
semakin tinggi angka mortalitasnya. Pada kasus ini, menggunakan grading
criteria Pattel Joag, dan didapatkan K2 yaitu; spasme saja tanpa melihat frekuensi
dan derajatnya. Dan berdasarkan criteria tersebut termasuk dalam derajat 2, yaitu:
kasus sedang minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari,
onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.

DAFTAR PUSTAKA

46

Subandi & Danuaji R. 2014. Neurologi untuk dokter umum. Surakarta: UNS

Press.
Fauci A.S., et all 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th

Edition.
Tejpratap S.P., 2011. Tetanus: Chapter 16. CDC. VPD Surveillance Manual,

4
5

5th Edition.
Todar, K. 2012. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus.
Ismanoe, G. 2009. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. jilid III.

6
7

Bab 445. Jakarta: Interna Publishing.


Perdossi. 2013. Standar Pelayanan Medik: Tetanus.
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2000.

Tetanus. Journal Neurology Neurosurgery Psychiatry, 69:292-301.


Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care

&Pain, Vol 6(3):101-104.


9 Satgas Imunisasi IDAI. 2000. Jadwal Imunisasi. Sari Pediatri, vol 2 (1): 43-7.
10 Brinker. 2001. General Principles of Trauma in Review of Orthopaedic
Trauma. WB Saunders.

47

Vous aimerez peut-être aussi