Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Definisi
Tetanus berasal dari kata Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
artinya regangan, kekakuan, atau kontraksi (stretch atau rigidity)1, tetanus
yang juga dikenal dengan lockjaw atau Seven Day Disease yang
merupakan suatu penyakit neurologi, dicirikan dengan peningkatan tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa
bentuk klinis tetanus termasuk didalamnya adalah tetanus neonatorum,
tetanus generalisata, dan gangguan neurologis lokal.2
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa
individu non-imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan
imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah
dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di
seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang
15
3.3.
Etiologi
Clostridium tetani adalah berbentuk batang yang pipih dengan
ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um. Bakteri ini merupakan
bakteri gram positif yang bersifat anaerob, terdapat di mana-mana dengan
habitat alamnya di tanah, tetapi bisa juga diisolasi dari kotoran hewan
peliaharaan dan manusia. Clostridium tetani membentuk spora yang
berbentuk lonjong dengan ujung yang bulat, khas seperti batang korek api
(drum stick). Sifat spora ini bersifat resisten terhadap disinfektan dan tahan
dalam air mendidih selama 4 jam tetapi mati dalam autoklaf bila
dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak terkena
cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai
tahunan.5,8
Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam lingkungan
anaerob dan kemudian akan berkembang biak. Bentuk vegetatif ini tidak
tahan terhadap panas. Clostridium tetani tumbuh subur pada suhu 17C
dalam media kaldu daging dan media agar darah. Clostridium tetani bukan
merupakan bakteri yang invasif, akan tetapi bakteri ini memproduksi 2
macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil
dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf
pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot
dan
kejangkejang.
Adapun
tetanolisin
merupakan
toksin
yang
17
3.4.
b.
c.
d.
e.
baik.
OMP, caries gigi.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya tetanus semakin besar terjadi pada individu yang:
a
b
c
d
e
f
g
3.5.
Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri
tidak menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa
tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang
lain.2,6
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik
dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang
masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. 2,6
Tetanoplasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini
merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150kDa yang semula
bersifat inaktif. Rantai berat 100kDa (H-heavy) dan rantai ringan 50kDa
((L-light), dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease
dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan sulfide
yang menghubungan kedua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat
18
Rantai
ringan
tetanosplasmin
merupakan
19
ini
mirip
dengan
aktivitas
toksin
botulinum
yang
Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit antara 3 hingga 21 hari, rata-rata 7 hari
(Taylor, 2006). Biasanya makin jauh tempat luka dari sistem saraf pusat,
makin lama masa inkubasinya. Makin pendek periode inkubasi, makin
tinggi kemungkinan kematian. Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara
klinis, yakni:
1. Localized Tetanus (Tetanus Lokal)
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Pada lokal tetanus
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana
luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi Generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Secara
umum prognostiknya baik. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
21
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. 7
2. Cephalic Tetanus
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya
1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang
tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat
terjadi. Mortalitasnya tinggi. 2,6
3. Generalized Tetanus (Tetanus umum)
Tetanus generalis merupakan bentuk yang paling umum dari
tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme
generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan
lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7
hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.
2,6
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis
yang khas. Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan
untuk mencurigai adanya port dentry dan masa inkubasi, seperti luka
tusuk, luka dalam yang kotor, luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan
riwayat operasi. Tabel 1 menunjukkan kriteria jenis luka yang rentan dan
tidak rentan tetanus. Selain itu perlu ditanyakan riwayat imunisasi,
persalinan dan perawatan tali pusat pada bayi. Gejala klinis yang khas
seperti trismus dan opistotonus menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus.
Tabel 1. Kriteria Jenis Luka
Luka Rentan Tetanus
6-8 jam
Kedalaman luka >1cm
Terkontaminasi
23
(ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulent, jaringan nekrotik)
Neuro/vaskuler intak
Tidak terinfeksi
3.7.1
Kriteria Diagnosis7
otot
leher
kaku
dan
nyeri,
24
3.7.2
Derajat Tetanus
Derajat tetanus dapat ditentukan dengan menggunakan Philips
Score
atau
Abletts.
Skor
tersebut
dapat
memberikan
rencana
Gejala klinis
II
III
IV
Skor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
10
8
25
- >10 tahun
- <10 tahun
- Lengkap
Komplikasi
- Luka atau kondisi mengancam kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka kecil
- ASA grade 1
4
2
0
10
8
4
2
0
Keterangan :
- Skor tetanus ringan : <9
- Skor tetanus sedang : 9-16
- Skor tetanus berat : >16
Tabel 4. Skor Dakar.8
Faktor
Score 1
Dakar Score
Score 0
prognosis
Periode inkubasi <7 hari
Periode onset
<2 hari
Tempat masuk
Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur
Spasme
Demam
Takikardi
Keterangan :
- Dakar score 0-1, ringan (mortalitas 10%)
- 2-3, sedang (mortalitas 10-20%)
- 4 berat (mortalitas 20-40%)
- 5-6 sangat berat (mortalitas >50%)
Adapun grading berdasarkan kriteria Pattel Joag, yaitu sebagai berikut:
Kriteria 1
belakang
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
26
Kriteria 5
Derajat 2
Derajat 3
Derajat 4
Derajat 5
3.8.
Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk
mencurigai adanya port dentry, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor,
luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Gejala klinis yang
khas menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus. Tidak ada pemeriksaan
penunjang yang spesifik. Pemeriksaan EKG, darah rutin, fungsi faal ginjal,
elektrolit, analisa gas darah, kultur untuk infeksi dilakukan untuk
membantu mengatasi penyulit yang mungkin terjadi.1
Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan
C.tetani. EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung. Sedangkan foto
toraks bila ada tanda komplikasi paru-paru.7
3.9.
Diagnosis Banding
Menurut Perdossi 2013 dalam Standar Pelayanan Medik dan Taylor
2006 diagnosis banding tetanus adalah;7,9
-
Keracunan Strychnine
Strychnine merupakan suatu bahan kimia yang bersifat alkaloid yang
digunakan sebagai pestisida. Strychnine jika terhisap, tertelan, atau
terabsobsi melalui mata atau mulut dapat menyebabkan keracunan,
yang akan menyebabkan terjadinya kaku otot muka dan leher, dan
27
Rabies
Pada rabies ditemukan kejang pada orofaring. Khas dari rabies dalah
hidrofobik yang dialami pasien. Pada rabies tidak ditemukan trismus
dan terdapat riwayat gigitan binatang.
Meningitis
Pada meningitis dapat ditemukan disfagia dan kaku pada leher. Juga
ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah
dengan tidak adanya trismus merupakan perbedaan dengan tetanus
3.10.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan; organisme yang
29
30
dan
midazolam.
Sebagai
sedasi
tambahan
dapat
diberikan
mencakup
ketidakmampuan
menelan,
meningkatnya
laju
metabolism akibat pireksia dan aktivitas muskuler dan masa kritis yang
31
Dosis Dewasa
Spasme ringan
Spasme sedang
Spasme berat
Dosis pediatric
32
Spasme ringan
Spasme sedang sampai berat: 0,1 0,3 mg/kgBB/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.
Kontraindikasi
pada
Kehamilan
yang
Dosis Dewasa
mg/hari.
Dosis pediatrik
digitoksin,
kortikosteroid,
Kehamilan
dan antikoagulan.
: Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
Perhatian
: Pada terapi jangka panjang, monitor
fungsi hati, ginjal dan system hematopoitik. Hatihati pada miastenia gravis dan miksedema.
33
Dosis Dewasa : < 55 tahun = 100 mgc IT > 55 tahun = 800 mgc IT
Dosis pediatric
: < 16 tahun = 500 mgc IT >16 tahun = seperti dosis dewasa
Kontraindikasi : Hipersensitifitas.
Interaksi
: analgesic opiate, benzodiazepine,
alcohol, guanabens, MAOI, klindamisin, dan obat
Kehamilan
aktif,
menghasilkan
aktifitas
bakterisidal
terhadap
Dosis Dewasa
Dosis pediatric
kali/hari.
Kontraindikasi
Kehamilan
: Hipersensitifitas.
: Criteria B (biasanya aman, tetapi digunakan apabila
menghambat
sintesis
protein,
yang
menyebabkan
kematian
sel.
34
Dosis Dewasa
melebihi 4g/hari.
Dosis pediatric : 15-30 mg/kgBB/hari i.v tiap 8-12 jam tidak lebih dari
2g/hari.
Kontraindikasi
Interaksi
kortikosteroid,
teofilin,
verapamil,
digitoksin,
metronidazol,
dan
antikoagulan.
Kehamilan
tetanus
dapat
terjadi
akibat
penyakitnya,
seperti
Komplikasi
Aspirasi,
Laringospasme/obsturksi
Obstruksi berkaitan dengan sedative
Respirasi
Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme trunkal berkepanjangan,
sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)
Kardivaskuler
35
Gagal jantung.
Ginjal
Gastrointestinal
Lain-lain
3.12.
Prognosis
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi. Prognosis kesembuhan dan
Usia tua
Masa inkubasi singkat
Onset periode yang singkat
Demam tinggi
Spasme yang tidak cepat diatasi
Sebelum pasien keluar rumah sakit, diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mg
IM. TT2 dan TT3 diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6 minggu.7
Selain itu prognosis juga bisa ditentukan dengan menggunakan criteria derajat
ringan beratnya tetanus menggunakan grading Pattel Joag, semakin kecil derajat
keparahannya maka angka mortalitas semakin kecil, dan sebaliknya semakin besar
derajat keparahannya semakin besar angka mortalitasnya.
3.13.
Pencegahan
3.13.1. Imunisasi Aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan
pencegahan yang paling efektif dalam praktik. Angka kegagalan dari tindakan ini
sangat rendah. Titer protektif dari antibody tetanus adalah 0,01 U/ml. Walaupun
demikian tetanus dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi.
36
Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri
atas tiga dosis: dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan
tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia decade pertengahan seperti 35 tahun,
45 tahun dan seterusnya. Namun demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali
tidak diperlukan untuk individu di atas 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dan
difteri (Td) yang diabsopsi, lebih dipilih. Vaksin yang diabsorbsi lebih disukai
karena menghasilkan titer antibody yang lebih menetap daripada vaksin cair.6
Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus
Neonatorum (ETN) melalui imunisasi DPT, DT, atau TT. Adapun jadwal
pemberian imunisasi adalah sebagai berikut:
Imunisasi DPT pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan imunitas 13 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut setara dengan
2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau dewasa. Dosis sebesar
0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut - turut. Booster
diberikan dengan dosis 1 x 0,5 cc IM
37
sasaran TT 5x selain pada sasaran bayi, juga pada anak sekolah melalui kegiatan
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Tabel 6. Jadwal Imunisasi Nasional (Depkes) bagi Bayi yang Lahir di
Rumah.9
Tabel 7. Jadwal Imunisasi Nasional (Depkes) bagi Bayi yang Lahir di RS/RSB.9
38
4.
Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya6;
a
b
Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat
sedang adalah 250 unit intramuskular yang menghasilkan kadar antibodi
serum protektif paling sedikit 4 sampai 6 minggu; dosis yang tepat untuk
TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000 samapi 6000 unit.
Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan
spuit injeksi yang berbeda.
Prinsip penatalaksanaan luka adalah menghentikan perdarahan,
mencegah infeksi, menilai kerusakan yang terjadi pada struktur yang
terkena dan untuk menyembuhkan luka. Membersihkan luka merupakan
faktor yang paling penting dalam pencegahan infeksi luka. Sebagian besar
luka terkontaminasi saat pertama pasien datang. Luka tersebut dapat
mengandung darah beku, kotoran, jaringan mati atau rusak dan mungkin
benda asing. Untuk mengatasinya dapat dilakukan tindakan seperti:
39
Bersihkan kulit sekitar luka secara menyeluruh dengan sabun dan air
atau larutan antiseptik. Air dan larutan antiseptik harus dituangkan ke
dalam luka.
Bilas luka dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%, tekan sekitar luka
hingga berdarah, tujuannya adalah untuk menghilangkan cairan H2O2
serta membersihkan luka. Lalu beri betadhine pada luka.
Pada infeksi tetanus, luka tidak perlu ditutup, biarkan luka tetap
Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditangani,
atau luka kurang dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi, atau
40
luka kurang dari 6 jam namun timbul karena kekuatan yang cukup
besar (misalnya luka tembak atau terjepit mesin).
booster
dalam
10
tahun
terakhir,
tidak
memerlukan
41
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
AB
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
antiboitka
Tetanus Neonatorum
42
BAB IV
ANALISIS KASUS
Penderita datang dengan keluhan utamatidak bisa bekerja akibat
mengalami kekakuan seluruh tubuh yang terjadi secara tiba-tiba. Selain itu, pasien
mengalami sukar membuka mulut (trismus). Sulitnya membuka mulut (trismus)
dapat disebabkan berbagai penyakit seperti infeksi pada gigi contohnya abses gigi,
atau penyakit lain seperti abses retrofaringeal atau sulbluksasi mandibula. Tetapi
pada anamnesis didapatkan penyakit yang berhubungan dengan sukarnya
membuka mulut, yaitu gigi berlubang namun hal ini telah berlangsung lama (10
tahun) sehingga hal ini bisa disingkirkan. Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan
kaku dan nyeri pada perut diikuti dengan nyeri punggung belakang, dan kekakuan
pada leher, lengan, dan tungkai.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya trismus pada saat membuka
mulut (+) 2 jari, tonus meningkat, refleks fisiologis meningkat, dan terdapat
kekakuan pada perut. Ditemukan luka ibu jari kaki kanan akibat tertusuk benda
tajam. Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan. Selain itu juga
tidak ditemukan gambaran adanya gerakan abnormal, maupun gerak rangsang
meningeal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan beberapa
diagnosis banding topik dan etiologi antara lain:
Gangguan
Cerebelu
UMN
LMN
NMJ
Penderita
Peningkatan
Ya/Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tonus
Gangguan Gait
Hemiparese/plegi
Gang. Fungsi
Ya
Tidak
Tidak
Ya/Tidak
Ya
Ya/Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya/Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Luhur
Spastisitas
Distress napas
Trismus
Ya/Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Potensial
Tidak
Ya
Potensial
Ya/Tidak
Ya
Tidak
Ya
43
Berdasarkan paparan di atas maka diagnosis topik pada pasien ini yaitu
Neuromuscular Junction. Salah satu etiologi yang dapat menyebabkan gangguan
spastisitas, peningkatan tonus, dan trismus kemungkinan adalah tetanus.
Pada tabel diagnosis banding etiologi di bawah ini, gejala yang paling mirip
dengan penyakit tetanus adalah keracunan strychnine. Strychnine merupakan
suatu bahan kimia yang bersifat alkaloid yang digunakan sebagai pestisida.
Strychnine jika terhisap, tertelan, atau terabsobsi melalui mata atau mulut dapat
menyebabkan keracunan, yang akan menyebabkan terjadinya kaku otot muka dan
leher, dan konvulsi tubuh menjadi lengkung pada hiperekstensi sehingga
memungkinkan hanya ubun-ubun kepala dan tumit yang menyentuh lantai sama
seperti gejala pada tetanus yaitu opisthotonus. Keracunan strychnine dapat
dibedakan dengan gejala tetanus yaitu riwayat terpaparnya pasien dengan zat
kimia ini, namun pada kasus ini tidak ada.
Infeksi
Gejala
Meningitis
SAH
Trismus
Kekakuan
orofasial
-
leher
Rhisus
sardonikus
Disfagia
Demam
Riwayat
Luka
Riwayat
Trauma
tumpul
Opisthotonu
s
Defans
Muskular
Kejang
Rangsang
Rabies
Keracunan
Tetanus
Penderita
strychnine
+
+/-
+
+
+
+/-
+/-
Penderita juga memiliki riwayat tertusuk benda tajam pada ibu jari kaki
kanan 20 hari yang lalu. Riwayat luka mengarah pada kemungkinan port dentry
masuknya bakteri Clostridium tetani kedalam tubuh karena biasanya bakteri ini
44
dalam bentuk spora akan masuk ketubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan
tanah, debu, tinja binatang atau pupuk. Masa inkubasi dari Clostridium tetani
biasanya 7 hari (3-21 hari), didalam tubuh bakteri ini akan melepaskan
eksotoksin yaitu tetanospamin dan tetanolisin yang akan mudah diikat oleh saraf
dan mencapai saraf.
Setelah ditegakan diagnosis, perlu juga ditentukan derajat keparahan dari
pasien ini menggunakan kriteria Pattel Joag. Berdasarkan kriteria Pattle-Joag,
pasien ini dimasukkan dalam kriteria derajat 2 yaitu kasus sedang dengan skor
Phillip 15 (Kasus sedang).
Tujuan terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan; organisme yang
terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin
berlanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
diminimalisasi. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini dapat berupa
penatalaksanaan
non
farmakologis
dan
farmakologis.
Penatalaksanaan
45
spasme tetanik dan kejang tetanik. Dan dilakukan perawatan pada luka dengan
menggunakan povidon iodine.
Pada penderita tetanus prognosis bisa ditentukan dengan menggunakan
grading tingkat keparahan menggunakan criteria Pattel Joag atau Dakars Score.
Semakin kecil derajat keparahan atau skor yang didapat semakin kecil angka
mortalitas, sebaliknya semakin besar derajat keparahan atau skor yang didapat
semakin tinggi angka mortalitasnya. Pada kasus ini, menggunakan grading
criteria Pattel Joag, dan didapatkan K2 yaitu; spasme saja tanpa melihat frekuensi
dan derajatnya. Dan berdasarkan criteria tersebut termasuk dalam derajat 2, yaitu:
kasus sedang minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari,
onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.
DAFTAR PUSTAKA
46
Subandi & Danuaji R. 2014. Neurologi untuk dokter umum. Surakarta: UNS
Press.
Fauci A.S., et all 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th
Edition.
Tejpratap S.P., 2011. Tetanus: Chapter 16. CDC. VPD Surveillance Manual,
4
5
5th Edition.
Todar, K. 2012. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus.
Ismanoe, G. 2009. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. jilid III.
6
7
47