Vous êtes sur la page 1sur 52

MAKALAH SISTEM MUSKULOSKELETAL

KASUS 1
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Sistem Muskuloskeletal

Disusun oleh:
Desti Rahmawati

220110130016

Fahmi M Fatoni

220110130057

Elda Sasi Romadon

220110130061

Rizki Mufidah

220110130067

Eska Madya Agustine

220110130070

Erviana Anggi Puteri

220110130073

Ni Putu Octaviani

220110130081

Annisa Noor Ramdhani

220110130091

Rina Fajar Sari

220110130100

Oselia Esa Muslimawati

220110130107

Nida Luthfiyani

220110130110

Anneke Dewina

220110130116

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

BAB I
KASUS
Seorang laki-laki berusia 25 tahun dirawat diruang Bedah Orthopaedic (BO)
dengan keluhan nyeri hebat skala 7 pada paha sebelah kiri dan kaki kanan.
Riwayat pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 6 jam yang lalu. Hasil engkajian
tampak bengkak pada daerah paha kiri dan pada kaki kanan terdapat luka robek
ada tibia diameter 6cm, tampak tonjolan tulang. Status neurovaskular pada kedua
kaki nadi distal fraktur (+) parestesi dan paralisis (-), TD 100/70, frekuensi nadi
100x/menit, frekuensi napas 22x/menit, suhu 38C. Pemeriksaan lab hb 10,2; ht
31%, eritrosit 3,72; leukosit 11.000, x-ray: fraktur obliq pada 1/3 bagian distal
femur sinistra dan fraktur cruris segmental pada 1/3 media dekstra. Terapi
:ketorolac 2x1, ranitidine 2x1 dan cetazolin 2x1 gram IV. Direncanakan pada kaki
kiri dipasang skeletal traksi dan emasangan external fiksasi pada tibia.

BAB II
LANDASAN TEORI
1.1 Anatomi Fisiologi Tulang
Tulang dewasa memiliki bagian yang disebut dengan diapisis, metafisis,
dan epifisis. Bagian medullari cavity mengandung sumsum tulang berwarna
kuning yang berisi lemak. Periostem menutupi bagian terluar dari tulang
(kecuali pada sendi) adalah periostem membran fibrosa yang memiliki otensi
untuk membentuk tulang selama masa pertumbuhan dan dalam penyembuhan
luka fraktur. Periostem mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
banyak kapiler yang memberikan nutrisi pada tulang dan memberikan warna
tulang lebih merah muda pada tulang yang hidup. Endostem melapisi rongga
sumsum. Jaringan ini terdiri dari jaringan ikat areolar vaskular. Nutriens
mengisi sumsum tulang dan tulang berongga melalui arteri yang menembus
tulang padat melalui lubang-lubang terbuka yang disebut dengan nutriem
foramen.

Komposisi Jaringan Tulang


1

Tulang terdiri atas 5 jenis sel yaitu:


a Sel osteogenik, banyak ditemukan pada bagian tulang paling dalam dari
persitem

dan

sumsum

tulang.

Memiliki

kemampuan

untuk

berubahbentuk menjadi osteoblast atau osteoclas selama terjadi sress


b

dan prses penyembuhan.


Osteoblas, mensintesa dan mensekresi substansi dasar yang tidak
bermineral yang disebut dengan osteoid. Peran utama dari osteoblas
adalah sebagai pompa sel untuk menggerakkan kalsium keluar dan

masuk sel.
Osteosit, merupakan sel utama pada sel tulang yang sedang tumbuh.
Memiliki peran dalam keseimbangan dengan mengatur pengeluaran
kalsium dari tulang kedalam darah. Osteosit juga berperan dalam
mempertahankan matriks dalam keadaan stabil dan sehat dengan
menseksresi enzim dan mempertahankan kandungan mineral di

dalamya.
Osteoclas, sel besar dengan banyak inti dan biasanya ditemukan ketika
tulang mengalami reabsorpsi (memecah atau melarutkan dalam keadaan

normal).
Sel pembatas tulang, ditemukan pada banyak permukaan tulang orang
dewasa. Memiliki banyak fungsi diantaranya menyediakan sel
osteogenik yang dapat berubah dan berdiferensiasi menjadi osteoblas
juga berperan sebagai ion barrier untuk pengaturan keseimbangan
mineral terutama kalsium dan fosfat sehingga kandungannya dalam

matriks tetap stabil.


Matriks Tulang, tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam
pada substansi dasar dan garam-garam anorganik tulang seperti fosfor dan
kalsium.
a Substansi dasar, terdiri dari sejenis proteoglikan yang tersusun terutama
dari kondroitin sulfat dan sejumlah kecil asam hialuronat yang
b

bersenyawa dengan protein.


Garam-garam tulang, berada dalam bentuk kristal kalsium fosfat yang

disebut hidrosiapatid.
Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatid bertanggung

jawab atas daya regang dan daya tekan tulang yang besar.
Kedua jenis jaringan tulang, tulang cancellus (berongga) dan tulang

kompak.
Tulang cancellus (berongga). Bagian yang sangat mencolok pada bagian
tulang berongga ini adalah trabeculae (duri tipis dari jaringan tulang yang

dikelilingi oleh tulang matriks yang keras karena adanya deposit garam
kalsium).
b Tulang kompak. Jaringan yang tersusun rapat dan terutama ditemukan
sebagai lapisan diatas jaringan cancellus.
Perkembangan Tulang
Osteogenesis merupakan suatu proses pembentukan tulang dalam tubuh.
Ada dua jenis pembentukan tulang yaitu osifikasi intramembranosa dan
osifikasi endokondrol.
1 Osifikasi intramembranosa
Terjadi secara langsung dalam jaringan mesenkim janin dan
melibatkan proses penggantian membran (mesenkim) yang sudah ada.
Proses ini banyak terjadi pada tulang pipih tengkorak, disebut sebagai
tulang membran.
a Pada area tempat tulang akan terbentuk, kelompok sel mesenkim
yang berbentuk bintang berdiferensiasi menjadi osteoblas dan
membentuk pusat osifikasi (pusat paling pertama yang terbentuk
b

pada meinggu ke-8 masa kehidupan janin).


Osteoblas mensekresi matriks organik yang belum terkalsifikasi,

disebut osteoid.
Kalsifikasi massa osteoid dilakukan melalui pengendapan garamgaram tulang yang mengikuti dan menangkap osteoblas serta
prosesus sel osteoblas.
1 Jika sudah terbungkus matriks yang terkalsifikasi, osteoblas
berubah menjadi osteosit, yang kemudian terisolasi dalam lakuna

dan tidak lagi mensekresi zat intraseluler.


2 Saluran yang ditinggalkan prosesus osteoblas menjadi kanalikuli.
d Pulau-pulau pertumbuhan tulang atau spikula menyatu dan
membentuk percabangan untuk membuat jaring-jaring tulang
e

cancellus berongga atau trabekula.


Hasil osifikasi intramembranosa secara dini adalah pembentukan
vaskular,

tulang-tulang

primitif,

yang

dikelilingi

mesenkim

terkondensasi dan kemudian akan menjadi periosteum. Karena seratserat kolagen tersebar ke semua arah, maka tulang baru ini seringkali
2

disebut tulang woven.


Osifikasi endokondral
Terjadi melalui penggantian model kartilago. Sebagian besar tulang
rangka terbentuk melalui proses ini.

a. Rangka embrionik terbentuk dari tulang-tulang kartilago hialin yang


terbungkus perikondrium.
b. Pusat osifikasi primer terbentuk pada pusat batang (diafisis)
c. Sel-sel kartilago (kondrosit) pada area pusat osifikasi jumlahnya
meningkat (berproliferasi) dan ukurannya membesar (hipertrofi).
d. Matriks kartilago di sekitarnya berkalsifikasi melalui proses
pengendapan kalsium fosfat.
e. Perikondrium yang mengelilingi diafisis di pusat osifikasi berubah
menjadi periosteum. Lapisan osteogenik bagian dalam membentuk
kolar tulang (klavikula), dan kemudian mengelilingi kartilago
terkalsifikasi.
f. Kondrosit, yang nutrisinya diputus kolar tulang dan matriks
terkalsifikasi akan berdegenerasi dan kehilangan kemampuannya
untuk mempertahankan matriks kartilago.
g. Kuncup periosteal mengandung pembuluh darah dan osteoblas yang
masuk ke dalam spikula kartilago terkalsifikasi melalui ruang yang
dibentuk osteoklas pada kolar tulang.
h. Jika kuncup mencapai pusat, osteoblas meletakkan zat-zat tulang
pada spikula kartilago terkalsifikasi, dan memakai spikula tersebut
sebagai suatu kerangka kerja.
i. Setelah lahir, pusat osifikasi sekunder tumbuh dalam kartilago
epifisis pada kedua ujung tulang panjang.
j. Ada dua area kartilago yang tidak diganti tulang keras.
1 Ujung tulang tetap, kartilago artikular.
2 Lempeng epifisis, pada kartilago terletak antara epifisis dan
diafisis.
k. Semua elongasi tulang yang terjadi selanjutnya adalah hasil dari
pembelahan sel-sel kartilago (melalui pertumbuhan interstisial)
dalam lempeng epifisis kartilago.
Klasifikasi tulang menurut bentuknya
1

Tulang panjang, ditemukan di tungkai. Tulang berelongasi dan berbentuk


silindris serta terdiri dari diafisis dan epifisis. Fungsi tulang ini adalah

untuk menahan berat tubuh dan berperan dalam pergerakan.


Tulang pendek adalah tulang pergelangan tangan (karpal) dan tulang
pergelangan kaki (tarsal). Sebagian besar tulang pendek adalah tulang

cancellus, yang dikeelilingi lapisan tulang kompak.


Tulang pipih, ada pada tulang tengkorak, iga dan tulang dada.

Tulang irreguler adalah tulang yang bentuknya tidak beraturan dan tidak
termasuk kagetori diatas (tulang vertebra dan tulang osikel telinga).
Strukturnya sama dengan tulang pendek yaitu tulang cancellus yang

ditutupi lapisan tulang kompak yang tipis.


Tulang sesamoid adalah tulang kecil bulat yang masuk ke formasi
persendian atau bersambungan dengan kartilago, ligamen atau tulang
lainnya. Salah satu contohnya adalah platella, yang merupakan tulang

sesamoid terbesar.
Fungsi Sistem Rangka
1 Tulang memberikan topangan dan bentuk pada tubuh.
2 Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah
persendian dan berfungsi sebagai pengungkit. Jika otot-otot berkontraksi,
3
4

kekuatan yang diberikan kepada pengungkit menghaasilkan gerakan.


Perlindungan, melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh.
Pembentukan sel darah (hematopoiesis). Sumsum tulang merah, yang
ditemukan pada orang dewasa, dalam tulang sternum, tulang iga, badan
vertebra, tulang pipih pada kranium, dan pada bagian ujung tulang
panjang, merupakan tampat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan

trombosit darah.
Tempat penyimpanan mineral. Matriks tulang tersusun dari sekitar 62%
garam anorganik, terutama kalsium fosfat dan kalsium karbonat dengan
jumlah magnesium, klorida, florida, sitrat yang lebih sedikit. Rangka
mengandung 99% kalsium tubuh. Kalsium dan fosfor disimpan dalam
tulang agar bisa ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh (zat

tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima.


Fungsi Fisiologis Tulang
1 Cadangan dan pelepasan kalsium
Tanpa kalsium banyak enzim tidak akan berfungsi, sel tidak dapat
bekerja, permeabilitas membran akan terpengaruh dan otot tidak dapat
berkontraksi. Jika diet tidak menyediakan kalsium yang cukup tulang
melepaskan kalsium dan jika terlalu banyak kalsium dalam darah maka
tulang menyimpannya. Keadaan hipokalsemi dapat menyebabkan sistem
syaraf jadi lebih mudah terangsang karena meningkatnya permeabilitas
membran sel syaraf yang menyebabkan terjadinya tetani. Keadaan
hiperkalsemia menyebabkan penekanan terhadap sistem syaraf sehingga

dapat menyebabkan konstipasi, dan penurunan nafsu makan karena


2

hiperkalsemia menekan kontraktilitas otot-otot saluran pencernaan.


Penyimpanan dan pelepasan fosfat
Tulang juga berperan dalam pengaturan fosfat dalam tubuh.
Dibawah kontrol hormonal, tulang melepaskan garam fosfat jika
dibutuhkan. Pengaturan ini berperan dalam pengaturan keseimbangan
asam basa. Kondisi tubuh yang terlalu asam menyebabkan penekanan

terhadap sistem syaraf dan sebaliknya.


Tulang dan hubungannya dengan kalsium dan fosfatekstraseluler
Tulang terdiri atas matriks organik keras yang diperkuat oleh
endapan garam kalsium. Tulang padat rata-rat mengandung matriks 30-

70% beratnya terdiri atas garam.


Matriks Organik Tulang
Sebagian besar (90-96%) matriks organik tulang terdiri atas seratserat kolagen dan sisanya adalah medium gelatin homogen yang disebut
dengan

substansi

datar.

Serat-serat

kolagen

menyebar

terutama

disepanjang sumbu penunjang tegangan. Serat-serat ini menyebabkan


5

tulang mempunyai kekuatan regang yang kuat.


Garam-garam tulang
Garam kristal yang diendapkan dalam matriks tulang terdiri atas
kalsium dan fosfat. Kristal utama dikenal sebagai hidroksiapatit. Ion-ion
lain yang ada pada tulang adalah magnesium, natrium, kalium dan

karbonat.
Mekanism kalsifikasi tulang
Tahap awal produksi tulang adalah sekresi molekul-molekul
kolagen dan substansi dasar oleh osteoblast. Molekul-molekul kolagen
kemudian membentuk serat-serat kolagen dan jaringan akhir yang
terbentuk adalah osteid yang merupakan bahan seperti tulang rawan tapi
berbeda dengan tulang rawan karena garam-garam kalsium akan segera
mengendap didalamnya. Sewaktu osteoid terbentuk beberapa osteoblast
terperangkap didalam osteoid dan selanjutnya disebut dengan osteosit.
Dalam beberapa hari setelah osteoid terbentuk, garam-garam kalsium
mulai mengendap pada permukaan serat-serat kolagen dan bentuk
akhirnya adalah kristal hidroksiapatit.
Garam kalsium yang pertama kali diendapkan bukan kristal
hidroksiapatit tetapi senyawa amorf(bukan kristal) yang mungkin

merupakan campuran beberapa garam. Yang selanjutnya melalui proses


penambahan atom-atom atau melalui proses reabsorpsi dan pengendapan
kembali dan garam-garam ini diubah menjadi kristal hidroksiapatit dalam
waktu beberapa minggu sapai beberapa bulan. Namun beberapa tetap
dalam bentuk amorf. Keadaan ini penting sebab dengan demikian seluruh
garam ini dapat dengan cepat diabrorpsi sewaktu diperlukan tambahan
7

kalsium dalam cairan ekstraseluler.


Kalsium yang dapat bertukar
Tulang mengandung kalsium yang dapat bertukar, yang selalu
seimbang dengan jumlah ion kalsium dalam cairan ekstraseluler. Jaringan
lain juga memiliki kalsium yang dapat bertukar tetapi sebagian besar

kalsium yang dapat bertukar ini terdapat di tulang.


Pengendapan tulang oleh osteoblast
Tulang secara terus menerus diendapkan oleh osteoblas dan
diabsorpsi terus menerus di tempat osteoklas aktif. Osteoblas dijumpai di
permukaan luar tulang dan dalam rongga tulang. Sejumlah kecil aktivitas
osteoblastik terjadi secara terus menerus pada semua tulang hidup
sehingga secara konstan sedikitnya pada pembentukan beberapa tulang

baru.
Mekanisme dekalsifikasi-fungsi osteoklas
Mula-mula osteoklas menjulurkan suatu penonjolan seperti vilus
ke tulang, membentuk apa yang disebut dengan batas berkerut yang
berbatasan dengan tulang. Vili tersebut mensekresikan dua macam enzim
yaitu proteolitik yang dilepaskan lisosom osteoklas dan beberapa macam
asam lemak termasuk asam sitrat dan asam laktat yang dilepaskan dari
mitokondria dan vesikel-vesikel skretorik. Enzim mencernakan atau
melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam melarutkan garamgaram tulang. Sel-sel osteoklastik juga menangkap partikel-partikel
matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya juga
melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya kedalam darah.
10 Peranan tulang dalam produksi darah
Tulang berperan dalam pembentukan sel darah secara keseluruhuan
baik sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Saat lahir semuanya
sumsum merah tetapi pada keadaan dewasa terdapat sumsum kuning.
Walaupun sumsum kuning ini tidak berperan dalam pembentukan sel

darah merah tapi dalam keadaan stres berpotensi untuk membentuk sel
darah merah.
11 Pengaruh hormon pada tulang
Beberapa hormon berpengaruh langsung pada tulang diantaranya
yaitu hormon paratiroid dan kalsitonin. Growth hormone, tiroxin, hormon
korteks adrenal, Vitamin D, A, C berperan dalam proses pematangan
tulang.

1.2 Definisi Fraktur


Fraktur adalah pemisahan atau robekan pada kontinuitas tulang yang
terjadi karena adanya tekanan yang berlebihan pada tulang dan tulang tidak
mampu untuk menahannya. Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu
tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989
: 144)
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. (Price & Wilson, 2006)

1.3 Klasifikasi Fraktur


1.
Klasifikasi klinis (Chairuddin, 2003)
a. Fraktur tertutup (simple fraktur). Bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (compound fraktur), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi menjadi beberapa derajat (Gustilo & Anderson,
1976) :
a) Derajat 1

: luka kurang dari 1cm, terdapat kerusakan jaringan

sedikit, tidak ada tanda luka remuk, dan fraktur sederhana.


b) Derajat 2
: luka lebih dari 1cm, terdapat kerusakan jaringan
lunak tidak luas.
c) Derajat 3
: kerusakan jaringan lunak berat, hancurnya struktur
neurovaskuler dengan kontaminasi.

1) 3A

: periostenum masih membungkus fragmen fraktur dengan

kerusakan jaringan lunak yang luas.


2) 3B : kehilangan jaringan lunak luas, kontaminasi berat, dan
periostenal stripping/bone.
3) 3C : disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa
melihat tingkat kerusakan jaringan.
2. Klasifikasi berdasarkan bentuk fragmen
a. Green stick, retak pada sebelah sisi dari tulang.
b. Fraktur transversal, fraktur fragmen melintang.
c. Fraktur obligue, fraktur fragmen miring.
d. Fraktur spiral, fraktur fragmen melingkar.

1.4 Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa
patologis.
1. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,
maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah
tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang
atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat
yang jauh dari

tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya

adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan.

Contoh patah tulang karena

kekerasan tidak langsung adalah bila

seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang
patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan
kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian
pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga,

dapat

menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.


c. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah

tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.

Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella
dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
1.5 Peristiwa Patologis
a. Kelelahan atau Stres Fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat

dari biasanya. Tulang akan mengalami

perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang


sama, atau peningkatan beban secara tiba tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
b. Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang

akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang

misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan


pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
a) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

1.6PATOFISIOLOGI (lihat pathway)

1.7MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan
Bare, 2002).

1.8PEMERIKSAAN FISIK
A. Inspeksi
Pada kasus : Bengkak pada paha kiri, kaki kiri robek, pada tibia tampak tulang
Kaji Circulation dan Airway klien.
Kaji warna kulit, kesimetrisan, cedera kulit, pada fraktur terbuka kaji apakah
tulang terlihat atau hilang, kontaminasi, kaji ekstermitas pada kondisi istirahat
apakah berada pada posisi normal atau tidak, perbedaan panjang tungkai.
B. Palpasi

Pada kasus : denyut nadi 100 kali/menit


Kaji nyeri/nyeri tekan, palpasi tulang untuk menegtahui integritasnya, krepitus,
spasme otot, palpasi denyut nadi dan pangisian kapiler pada semua ekstermitas,
C. Auskultasi
Pada kasus : Tekanan darah HR 100/70 mmHg
Kaji Breathing atau pernafasan klien apakah normal (bronkovaskuler/vaskuler)
atau abnormal.
Tanda-tanda vital :
RR =22x/menit
HR =100x/menit
TD =100/70 mmHg
Suhu

=38 C

GCS

= cek GCS klien

Cek sistemn: Penglihatan, Pendengaran, Integumen, Kardio, Pencernaan,


Urinari, Endokrin
Cek Psikosial
Cek Personal Hygiene
Cek Spritual
1.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Fotorontgen. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
mengetahui tempat dan tipe fraktur. Biasanya diambil dan sesudah dilakukan
operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik.
b. Artelogram dicuragai bilaada kerusakan vaskuler.
c. Pemeriksaan laboratorium, mungkin meningkat atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) dan
peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse
multiple atau cidera hati
e. Arthrography, biasanya untuk melihat ligament dan kartilago yang tidak bisa
divisualisasikan dengan menggunakan sinar X saja.

f. Myelography, digunakan untuk mengevaluasi kerusakan jaringan chord


spinalis dan ujung-ujung syaraf.
g. Scan tulang memberikan gambar system tulang setelah injeksi radioactive
tracer, membantu untuk mengidentifikasi pada titik langsung dimana terjadi
peningkatan metabolism dan mendeteksi adanya penyakit keganasan trauma
dll.
h. Tomography, dapat memberikan gambar irisan melintang dan jaringan lunak
dan tulang yang mengalami ketidak normalan.
i. MRI, menyediakan gambar-gambar yang sensitive yang dapat membedakan
antara jaringan lunak, solid, lemak, darah, dan tulang.
j. Electromyography, mengukur potensi kerja otot dalam menghasilkan aliran
listrik.
k. Analisis cairan synovial, sebagian dari cairan synovial diambil dengan jarum
bergelombang besar yang dimasukan kedalam kapsul sendi.
l. Biopsy, sebagian dari tulang atau jaringan yang diambil untuk pemeriksaan
histologis. Hal ini biasanya dilakukan setelah diperoleh hasil CT scan, bone
scan, atausinar X yang abnormal atau yang tidak bisa disimpulkan. Biopsy
dapat membedakan antara jaringan jinak dan ganas. (Doenges, Marilyn E.
1999)
1.10
Penatalaksanaan
Ada 4 konsep dasar yang harus kita pertimbangkan untuk menangani fraktur
yaitu:
1. Rekognisi
Diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan selanjutnya di rumah sakit
dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat kecelakaan, derajat keparahan,
jenis kekuatan yang berperan pada peristiwa yang terjadi serta menentulan
kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan keluhan dar klien.
2. Reduksi fraktur (Mengembalikan tulang ke posisi anatomis)
1). Reduksi terbuka. Dilakukan dengan pembedahan, memasang alat fiksasi
interna ( misalnya pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batangan logam)
2). Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gips, traksi, brace, bidai,
dan fiksator eksterna.
3. Imobilisasi
Setelah direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi
dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.

4.
1).
2).
3).
4).
5).
6).

Mempertahankan dan Mengembalikan fungsi


Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
Memantau status neurovaskular
Mengontrol kecemasan dan nyeri
Latihan isometruk dan setting otot
Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
Pengobatan dari fraktur tertutup dapat konservatif maupuan operatif.Terapi
konservatif meliputi proteksi dengan mitela atau bidai. Sedangkan terapi
operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal, reposisi tertutup dengan
kontrol radiologis diikuti fiksasi interna (Mansjoer, 2000: 348)

Terapi konservatif
Pada pemasangan bidai, gips atau traksi maka dilakukan imobolisasi pada
bagian yang patah. Imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot
dan densitas tulang agak cepat (Price, 1995 : 1192). Pasien yang harus imobilisasi
setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain:
adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka akibat penekanan, hilangnya
kekuatan otot. (Long, 1996: 378).Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagin
tubuh diimobilisasi dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 1996: 346).
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Digunakan untuk
meminimalkan

spasme

otot,

untuk

reduksi,

untuk

mensejajarkan,

dan

mengimobilisasi fraktur, mengurangi deformitas, menambah ruangan diantara


kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dnegan arah dan besaran
yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor fator yang
mengganggu taraikan traksi harus dihilangkan. Efek traksi yang dipasang harus di
evaluasi dnegan menggunakan sinar x.
Pasien yang akan dilakukan traksi sebaiknya diberikan pemahaman terhadap
program terapi, berkurangnya ansietas, kenyamanan maksimal, perawatan diri

maksimal, pencapaian mobilitas maksimal dalam batas terapeutik traksi dan tidak
adanya komplikasi.
Prinsip pemasangan traksi
1. Harus dipikirkan adanya kontratraksi : gaya yang bekerja dengan arah yang
berlawanan.
2. Traksi skelet tidak boleh terputus
Jenis jenis traksi :
1. Traksi lurus atau langsung
2. Traksi suspensi seimbang Traksi suspensi dengan splint thomas dan pengait
pearson atau dengan sling. Digunakan pada awal untuk meregangkan fragmen
tulang (yang akan mempermudah prosedur operasi) untuk fiksasi internal atau
mencapai reduksi dan imobilisasi tempat frakturuntuk pemasangan bracing
gips berikutnya.
3. Traksi skelet : dipasang langsung pada tulang. Metode ini sering dipakai pada
fraktur femur, tibia, humerus dan tulang leher. Traksi langsung dipasang pada
tulang dengan menggunakan pin metal ataU kawat (misalnya steinmanns pin :
kirchner wire) yang dimasukan kedalam tulang disebelah distal garis fraktur,
menghindari saraf, pembuluh darah, otot, tendon dan sendi.
1). Persiapan pasien sangat penting dalam memberikan kenyamanan dan
kerjasama pasien dapat dilakukan anastesi lokal maupun general.
2). Traksi skelet dipasang secara asepsi seperti pada pembedahan.
3). Tempat penusukan dipersiapkan dengan menggosok bedah seperti povidone
iodine
4). Anastesi lokal diberikan di tempat penusukan dan periosteum
5). Dibuat insisi ang. Pasien kecil dikulit dan pin atau kawat steril di bor
kedalam tulang. Pasien akan merasakan tekanan selama prosedur ini dan
mungkin rasa tidak nyaman ketika periosteum ditusuk.
6). Setelah pemasangan pin atau kawat dihubungkan dengan Lengkungan traksi
atau kapiler . ujung kawat dibungkus dengan gabus atau plester untuk
mencegah cedera pada pasien atau personel. Pemberat dihubungkan ke
kelengkungan pin atau kawat dengn sistem katrol tali yg dapat meneruskan
arah dan tarikan yang sesuai agar traksi efektif.
7). Traksi skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek
terapi.
8). Pemberat yang dipasang biasanyaharus dapat melawan daya pemendekan
akibat spasme otot yang cedera. Ketika otot relaks, pemberat traksi dapat

dikurangi untuk mencegah terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk


mencapai penyembuhan fraktur.
9). Kadang kadang skelet traksi bersifat seimabang, yang menyokong
ekstremitas yang terkena, memungkinkan gerakan pasien sampai batas
batas tertentu dan memungkinkan kemandirian pasien maupun asuhan
keperawatan sementara traksi yang efektif tetap dipertahankan.
10). Bebat thomas dengan pengait pearson sering digunakan bersama traksi
skelet pada pasien dengan fraktur femur.
11). Posisi pasien harus selalu dievaluasi. Pasien yang melorot kebawah dapat
menyebabkan traksi tidak efektif. Pemeberat tidak boleh di ambil dari traksi
skelet

kecuali

membahayakan

jiwa.

Bila

beban

diambil

tujuan

penggunaannya akan hilang dan dapat terjadi cedera.


12). Mempertahankan traksi efektif. Aparatus harus di cek untuk mengetahui
bahwa tali tetap terletak pada alur roda pada katrol, tali tidak rusak,
pemberat tetap bergantung dengan bebas, dan simpul pada tali terikat Erat.
13). Perawatan kulit . untuk meminimalisir luka. Dipasang pegangan di atas
tempat tidur untuk bergerak dan defekasi di tempat tidur.
14). Status neurovaskuler. Bila ada rasa atau sensasi yang berbeda yang
sebelumnya telah dikaji 5P.
15). Tempat penusukan pin . Apabila terjadi luka di tempat penusukan pin.
Dilakukan tiap 8 jam sekali untuk melihat adanya inflamasi dan bukti
infeksi.
Traksi kulit untuk kenyamanan dan untuk mengimobilisasi fraktur sehingga
kerusakan jaringan lunak selanjutnya tidak terjadi. Traksi kulit diantaranya traksi
ekstensi buck, traksi russekk, dan traksi dunlop

Buck traction

Skelet
traction

Jenis Traksi
Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk menilai ada
tidaknya :
1.
2.
3.
4.

Kehilangan kulit
Kontaminasi luka
Isemia otot
Cedera pada pembuluh darah dan saraf
1). Profilaksis antibiotik
2). Debridement. Dilakukan dengan sesedikit penundaan (harus dilakukan
segera). Apabila terdapat kematian jaringan atau kontaminasi yang jelas
, luka harus diperluas dan jaringan yang mati dieksisi dengan hati-hati.
Luka akibat penetrasi fragmen tulang yang tajam juga perlu dibersihkan
dengan dieksisi, tetapi cukup dengan debridement terbatas saja.
Keputusan utama adalah bagaimana cara menstabilkan fraktur. Pada
luka kecil yang bersih dan selang waktu sejak cedera belum lama,
fraktur tersebut dapat diterapi seperti cedera tertutup dengan
penambahan antibiotika profilaksis. Pada luka yang besar luka yang
terkontaminasi kehilangan kulit atau kerusakan jaringan fiksasi internal
harus dihindari. Setelah debridement luka harus dibiarkan terbuka dan
fraktur distabilkan dengan pemasangan fiksasi eksterna. Beberapa
minggu kemudian saat luka telah sembuh atau telah berhasil dilakukan
pencangkokan kulit, keputusan lebih jauh adalah tentang pemasangan
3).
4).
5).
6).

fiksasi internal.
Stabilisasi. Dilakukan pemasangan fiksasi interna atau fiksasi eksterna.
Penundaan penutupan
Penundaan rehabilitasi
Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur komunitif,
infected pseudoartrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak yang hebat.

Penanganan fraktur batang femur tertutup


1. Terapi konservatif

1) Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi


definitif untuk mengurangi spasme otot
2) Traksi tulang berimbang dnegan bagian Pearson pada sendi lutut. Indikasi
traksi teutama fraktur yang bersifat komunitif dan segmental
3) Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah terjadi union fraktur
secara klinis.
2. Terapi operatif
3. Pemasangan plate dan scew
Penanggulangan fraktur terbuka:
1. Obati sebagai suatu kegawatan
2. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang mungkin akan menjadi
penyebab kematian
3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
operasi
4. Segera lakukan debridement dan irigasi yang baik
5. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya
6. Stabilisasi fraktur
7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari
8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya
9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena
Tahap pengobatan patah tulang terbuka
1. Pembersihan luka : pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan
cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Eksisi jaringan yang mati dan disangka mati (debridemen) : Semua jaringan
yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan
bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan
subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas. Debdridemen ini
bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menjadi bersih, sehingga
secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun
secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debdridemen

dilakukan anestesi umum dan selalu harus disertai dengan pencucian luka
dengan air yang steril/NaCl yang mengalir. Pencucian ini memegang
peranan penting untuk membersihkan kotoran kotoran yang menempel
pada tulang.
3. Pengobatan fraktur itu sendiri : fraktur dengan luka yang hebat memerlukan
suatu fraksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang.
fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
4. Penutupan kulit : apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas
(6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup.
hal ini dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat
dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk
mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit
dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. yang perlu mendapat
perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan
sehingga kulit menjadi tegang.
5. Pemberian antibiotic : pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah
infeksi. antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat
dan sesuadah tindakan operasi
6.

Pencegahan tetanus : semua penderita dengan fraktur terbuka perlu


diberikan pencegahan tetanus. pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,
dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia)
Catatan :
Pada fraktur terbuka tidak boleh dipasang torniket, hal inipenting untuk
menetukan batas jaringan yang vital dan nekrotik. Daerah luka dicukur
rambutnya, dicuci dengan detergen yang lunak (misal physohek), sabun
biasa dengan sikat lamanya kira-kira 10 menit, dan dicuci dengan air
mengalir. Dengan siraman air mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat
terangkat mengikuti aliran air.Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir
luka, kulit, subkutis, fasia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen

tulang yang kecil dan tidak mempengaruhi stabilitas tulang dibuang.


Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan.
Untuk fiksasi

tulang pada derajat II dan III paling baik menggunakan

fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna yang sering dipakai adalah Judet, Roger
Anderson, dan Methyl Methacrylate. Pemakaian gips masih dapat diterima,
bila peralatan tidak ada. Namun, kesalahan pemakaian gips adalah
perawatan yang lebih sulit.
Penangan Luka
1.

Luka derajat I
Biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan kulit dapat
ditutup secara primer yaitu menyatukan kedua tepi luka dengan jahitan ,
plester, skingraft atau flap aplikasi salep antibiotika atau vaselin tipis-tipis,
tutup luka dengan kassa steril dan diplester, kassa diganti setelah 24 jam,
luka dijaga tetap bersih dan kering .Pasien boleh mandi, luka dibersihkan
dengan air dan sabun dengan seksama, kemudian segera dikeringkan dengan
handuk bersih dan kering. Aplikasikan salep antibiotika tipis-tipis pada garis
jahitan, kemudian luka kembali ditutup dengan kassa steril. Luka ditutup
selama 3-5 hari kemudian dibiarkan terbuka sampai jahitan diangkat. Pada
luka di ujung-ujung ekstremitas, mintalah pasien untuk melakukan elevasi
kaki dan tangan secara berkala untuk mengurangi oedema jaringan.
Mengenali tanda2 infeksi datang kembali kpd dokter. Pada klien dengan
fraktur terbuka derajat 1 akan ditemukan nyeri dan inflamasi, maka bisa
diajarkan teknik relaksasi dan atau kolaborasi dengan dokter untuk
penggunaan asam mefenamat, ketolorac drift(efek samping dari obat ini
adalah peningkatan asam lambung, maka diimbangi dengan penggunaan
obat ranitidin)

2.

Luka derajat 2
Luka lebih besar dan bila dipaksakan menutup luka secara primer akan
terjadi tegangan kulit. Hal ini akan menganggu sirkulasi bagian distal.
Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka ditutup setelah 5-6 hari (delayed

primary suture). Karena dibagian ini fragmen sudah terlihat jelas maka bisa
diberikan tindakan pembidaian atau OREF (Open Reduction External
Fixation),. Di atas telah disebutkan, agar luka dibiarkan terbuka, jadi
diberikan obat anti tetanus, bisa juga diberikan tindakan berikan juga obat
antibiotik. Kemungkinan, pada daerah perlukaan terdapat banyak kotoran,
maka diberikan tindakan debridement untuk membersihkan bagian yang
kotor menggunakan NaCl (irigasi luka), daerah luka dicukur rambutnya,
dicuci dengan detergen yang lunak (misal physohek), sabun biasa dengan
sikat lamanya kira-kira 10 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Dengan
siraman air mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti
aliran air.
Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fasia, dan
pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen tulang yang kecil dan tidak
mempengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap
3.

dipertahankan.
Luka derajat 3
Hampir sama dengan derajat 2, hanya saja karena sudah terjadi perluasan
hingga otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat.
maka penanganannya bersihkan luka dulu dengan irigasi NaCl kemudian,
debridement bagian jaringan nekrotik, kemudian pemberian antibiotik,
pecegahan tetanus, dilakukan OREF, . Fiksasi eksterna yang sering dipakai
adalah Judet, Roger Anderson, dan Methyl Methacrylate. Pemakaian gips
masih dapat diterima, bila peralatan tidak ada. Namun, kesalahan pemakaian
gips adalah perawatan yang lebih sulit.ulangi debridement 24-72 jam
berikut. stabilisasi fraktur ,biarkan luka terbuka 5 sampai 7 hari, lakukan
bone graft autogenous secepatnya,rehabilitasi anggota gerak yang terkena.

Perawatan lanjut dan rehabilitasi patah tulang terbuka


1. Hilangkan nyeri
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dan flagmen
patah tulang
3. Mengusahakan terjadinya union

4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan mempertahankan fungsi


otot dan sendi dan pencegahan komplikasi.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal dengan fisioterapi.
Terapi operatif
Pada reduksi terbuka fiksasi interna (ORIF) fragmen tulang dipertahankan
dengan pin, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan memungkinkan terjadinya
infeksi, pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang sebelumnya tidak mengalami cidera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi. (Price, 1995: 1192)
Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat
mengakibatkan nyeri yang hebat. (Brunner & Suddarth, 2002: 2304)
Fiksator eksternal pasien yang mengalami fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak atau dengan luka derajat III , trauma jaringan lunak ekstensif, ada
kehilangan tulang , mengalami infeksi, mengalami fraktur pinggul dan tibia,
mengalami fraktur comminuted (hancur atau remuk). Fraktur complecated di
humerus, lengan bawah, femur, pelvis dan tibia menggunakan fiksator skelet
eksterna. Garis fraktur direduksi disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah
pin yang dimasukan kedalam fragmen tulang. Pin yang telah terpasang dijaga
tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada kerangkanya. Fiksato ini memberikan
kenyamanan bagi pasien mobilisasi awal, dan latihan awal untuk sendi
disekitarnya. Komplikasi karena diseasedan imobilisasi dapat diminimalkan.
Perawat harus mengkaji psikologis pasien karena alat ini kompleks dan terlihat
asing bagi pasien. Harus diyainkan bahwa ketidaknyamanan ini sangat minimal
dan bahwa mobilisasi awal dapat di antisipasi untuk menambah penerimaan alat
ini, begitu juga keterlibatan pasien dalam perawatan terhadap fiksator ini.
Setelah dipasang fiksator eksternal bagian tajam dari fiksator atau pin
harus ditutupi untuk mencegah terjadinya cedera akibat alat ini. Status
neurovaskular ekstremitas dipantau tiap 2 jam,tiap tempat pemasangan pin dikaji
mengenai adanya kemerahan, keluaran cairan, nyeri tekan, nyeri dan longgarnya
pin. Kadang kadang keluar cairan serosa dari tempat pemasangan pin ini.
Perawat harus waspada terhadap potensialmasalah karena tekanan oleh alat ini
terhadap kulit saraf dan pembuluh darah.

Perawatan pin untuk mencegah terjadinya infeksi lubang pin harus


dilakukan secara rutin. Tidak boleh ada kerak pada tempat penusukan pin, fiksator
harus dijaga kebersihannya. Bila pin atau klem mengalami pelonggaran, segera
beritahu dokter.
Klem pada fiksator eksternal tidak boleh diubah posisi dan ukurannya.
Fiksator eksternal bisa dilepas bila jaringan lunak sudah sembuh. Pada
tulang patah mungkin masih memerlukan stabilisasi lebih lanjut dengan gips atau
ortosis yang dicetak untuk melanjutkan proses penyembuhan.

Fiksasi Eksternal
Fiksator internal dipasang beberapa hari setelah cedera.

Fikasi Internal
Stabilisasi fraktur, deformitas, gangguan peredaran darah / sindrom kompartemen,
penyakit sendi, jaringan infeksi, atau nekrosis dan tumor. Prosedur yang dilakukan
dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) untuk fraktur, artroplasti,
menisektomi dan penggantian sendi untuk masalah sendi, amputasi untuk masalah
ekstremitas berat (gangren trauma masif), graf tulang untuk masalah sendi,
mengisi defek, perangsangan penyembuhan dan transfer tendo untuk memperbaiki

gerakan. Sasaran utama adalah mengembalikan fungsi untuk dapat bergerak


kembali dan stabilitas dan mengurangi nyeri dan disabilitas.

Jenis pembedahan
1.

Reduksi terbuka : melalukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang


patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang

2.

patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan sekrup,

3.

plat, paku, dan pin logam


Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan , menstabilisasi, mengganti tulang yang

4.
5.

berpenyakit
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artoskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang

6.
7.

besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka


Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau

8.

sintesis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artilekuler dalam

9.
10.

sendi dengan bahan logam atau sintesis


Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan kontraksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia

Pengkajian yang harus dilakukan adalah hidrasi , Hidrasi yang adekuat


menurunkan kekentalan darah dan memperbaiki aliran kemih dan membantu
mencegah terjadinya tromboflebitis dan masalah di saluran kemih. Utuk
menentukan hidrasi pre operatif perawat harus mengkaji kulit, TTV, hakuaran
urine, dan hasil pemeriksaan lab untuk membuktikan adanya dehidrasi.
Riwayat penggunaan obat terbaru, baik yang lama juga apabila
menggunakan steroid dapat memperburuk kemampuan tubuh terhadap stress
operasi. Apabila pasien sebelumnya menggunakan obat kortikosteroid maka pada
pre , intra dan post op sebaiknya diberikan. Catat obat obat yang pernah

dikonsumsi klien dengan baik dan teliti agar nanti dpat didiskusikan dengan ahli
bedah dan ahli anestesi.
Ditanyakan juga apakah pernah mengalami demam, masalah gigi, ISK, dan
infeksi lain 2 minggu sebelum operasi untuk menghindari kemungkinan infeksi
yang lebih lanjut.
SYARAT OPERASI

Di test alergi
Mennayakan riwayat
Golongan darah
Pasien dalam kondisi stabil dan sehat

PERAWATAN POST OP

Mengkaji nyeri , perfusi jaringanpost op. Nyeri dirasakan setelah beberapa hari
pertama post op. Memantau perfusi jaringan untuk melihat apakah ada edema
dan perdarahan yang dapat memperburuk peredaran darah yang menyebabkan

sindrom kompartemen.
Pengkajian respirasi, gastrointestinal dan perkemihan memberikan data dasar

untuk memperbaiki fungsi tersebut.


Promosi kesehatan
Mobilitas. Batasan mobilitas harus dicatat. Perawat mencatat pemahaman

pasien mengenai pembatasan gerakan.


Konsep diri. Pengkajian kembali konsep diri pasien memungkinkan perawat

untuk menyesuaikan rencana asuhan keperawtan post operatif lebih mudah


Pantau TTV, derajat kesadaran, keluaran cairan dari luka, suara nafas, suara
usus, keseimbangan cairan, dan nyeri yang sering dapat memberikan data

kepada perawat untuk kemungkinan terjadi komplikasi.


Bedah ortopedi mayor dapat menyebabkan pasien mengalami syok

hipovolemik akibat kehilangan darah. TD turun, HR naik, konfusi dan gelisah.


Posisi berkemih tidak dalam posisinya dapat menyebabkan retensi urine.pada
pria lansia biasanya mengalami pembesaran prostat. Maka pantau haluaran

urine
Peneingkatan suhu dalam 48 jam berkaitan dnegan atelektasis (komplikasi
pada paru) .

Peningkatan suhu dalam beberapa hari kemungkinan dengan infeksi saluran

kemih. Infeksi superfisial dapat terjadi stelah 5-9 hari.


Demam karena flebitis biasanya timbul selama minggu kedua.

Alat Pemantau
ULTRASON DOPPLER untuk mengkaji aliran darah
Farmakologi
Keterolak : obat NSAID anti inflamasi mempunyai efek samping dalam
meningkatkan asam lambung
Ranitidine : obat lambung . untuk menetralisir efeksamping dari keterolak dan
cefazolin
Cefazoline : antibiotik . untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

BAB III
IDENTIFIKASI MASALAH
Data

Etiologi

Masalah
Keperawatan

DS

pasien

mengeluh

Kecelakaan/trauma

nyeri

pada paha sebelah

Fraktur

kiri dan kaki kanan


DO:

TD

tertutup dan terbuka

100x/menit, RR : 22
x/menit
Kerusakan jaringan
lunak

fraktur obliq 1/3

Nyeri akut

distal femur kiri dan


fraktur cruris
segmental pada 1/3
media dekstra
tampak bengkak dan
jaringan sekitar
rusak
memicu syaraf nyeri
nyeri

Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan


terputusnya kontinuitas jaringan tulang
I.

Tujuan
berkurang atau teratasi

: Dalam waktu 1x24 jam, nyeri

II.

Kriteria Hasil

secara

subjektif,

pasien

mengatakan nyeri berkurang, pasien tidak lagi merasa


gelisah dan bisa beristirahat dengan nyaman.

III.

Intervensi
1. Mengkaji skala nyeri
Rasional

: Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat


dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Pasien
melaporkan skala nyeri. Skala nyeri dicatat dan
didokumentasikan

sehingga

memudahkan

untuk evaluasi tindakan


2. RICE (Rest, Ice,Compress, Elevasi
Rasional
: Mengistirahatkan dapat menurunkan rasa
nyeri

dan

dengan

mengelevasikan

memperlancar veneus return


3. Manajemen lingkungan : Lingkungan
pengunjung, dan istirahatkan pasien
Rasional
: Lingkungan tenang
stimulus

nyeri

pengunjung

akan

eksternal

akan

tenang,

dan

membantu

akan
batasi

menurunkan
pembatasan
meningkatkan

kondisi oksingen yang akan berkurang apabila


banyak pengunjung yang berada di ruangan.
Istirahat

akan

menurunkan

kadar

oksigen

jaringan perifer.
4. Melakukan fiksasi imobilisasi
Rasional
: Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur
utama penyebab nyeri
5. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional
:
distraksi
(
pengalihan
dapatmenurunkan

stimulus

perhatian)

internal

dengan

mekanisme peningkatan produksi endorphin

dan enkefalin yang dapat memblok reseptor


nyeri agar tidak dikirimkan ke korteks serebri
sehingga menurunkan persepsi nyeri.
6. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional
: analgetik memblok lintasan nyeri sehingga
nyeri akan berkurang
7. Kolaborasi operasi untuk pemasangan fiksasi eksterna
Rasional
: Intervensi medis berupa stabilisasi dengan
menggunakan fiksasi pada tulang yang fraktur
akan dapat menurunkan stimulus nyeri akibat
cedera ajaringan lunak, kompresi saraf, dan
pergerakan fragmen tulang.

Data Pasien
DO :
-

Terdapat luka robek 6

cm
Tampak

tonjolan

tulang
- Suhu tinggi : 38oC
DS :
Tidak dapat dikaji

Etiologi

Masalah

Trauma

Keperawatan
Resiko Infeksi

Luka robek

External fixation

Port Entri

Resiko Infeksi

Diagnosa Keperawatan: Resiko infeksi berhubungan dengan trauma terbuka


I.

Tujuan

: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan pasien dapat terhindar dari risiko infeksi


II.

Kriteria Hasil:
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya
3) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
4) Jumlah leukosit dalam batas normal
5) Menunjukkan perilaku hidup sehat

Intervensi
1. Pantau hasil laboratorium, pantau suhu pasien
2. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat

3. Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan


setelah berkunjung
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
5. Ajarkan klien dan keluarga untuk melakukan perawatan luka
6. Berikan terapi antibiotik

Data

Kemungkinan

Masalah

Penyebab
Adanya/timbul rasa

Hambatan mobilitas

nyeri yang bertambah

fisik

DS:
DO:
-

bila digerakkan
Setiap

tindakan

dibantu oleh keluarga


dan perawat

Klien membatasi gerak

- Klien tampak lemah


-

Kaki kanan klien

di

pasang

external

fixation dan paha kiri


dipasang

tubuhnya

Aktivitas yang
dilakukan

skeletal

terbatas/minimal

traksi.

Diagnosa keperawatan: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan


kerusakan struktur tulang
Tujuan

: Klien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri dan

seoptimal mungkin
Kriteria Hasil

1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik


2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan

perasaan

dalam

meningkatkan

kekuatan

dan

kemampuan berpindah
4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
Intervensi
Intervensi saat kondisi fraktur pasien belum sembuh :
1. Cek tanda tanda vital pasien, terutama nadi pada ekstremitas sekitar daerah
trauma ;
2. Ajarkan pasien untuk melatih ekstremitasnya dengan latihan ROM (Range of
3.
4.
5.
6.

Motion), baik itu aktif maupun pasif ;


Anjurkan penggunaan footboard ;
Bantu pemenuhan Activity Daily Living (ADL) pasien ;
Berikan resusitasi cairan sesuai kebutuhan pasien ;
Cek bising usus pasien ;

7. Berikan nutrisi tinggi kalori, tinggi protein dan tinggi serat ;


8. Kolaborasi pemberian laxative apabila terjadi kontipasi ;
Intervensi saat kondisi fraktur pasien sudah mulai sembuh dan mulai
diperbolehkan untuk bergerak :
1. Cek tanda tanda vital pasien sebelum dan sesudah latihan;
2. Kaji tingkat mobilitas pada pasien ;
3. Ajarkan pasien untuk melatih ekstremitasnya dengan latihan ROM
(Range of Motion), baik itu aktif maupun pasif ;
4. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan isometrik ;
5. Ajarkan penggunaan alat bantu gerak, seperti crutches, walker ;
6. Dampingi pasien saat menggunakan alat bantu gerak

Data

Etiologi
Luka terbuka

DS : -

DO:

Masalah
Resiko syok

Kerusakan fragmen tulang

Perdarahan (+)

Hb = 10.2 ( Normal : 13-16)

Kerusakan vaskuler

Ht = 31% ( Normal : 41%-53%)

HR = 100x/m ( Normal : 60-80x/m)

Perdarahan, Hematoma

TD = 100/70 mmHg

( Normal : 120/80 mmHg)

Hb < , hipotensi, Ht < , nadi

Eritrosit = 3.72 g/dL

meningkat, hipoksemia

(Normal : 4.5- 5.9 g/dl )

perfusi jaringan menurun

Resiko syok

Diagnosa keperawatan: Resiko syok berhubungan dengan perdarahan dari luka


terbuka, kerusakan vaskular, dan cedera pembuluh darah.
Tujuan

: Dalam waktu 1x24 jam syok tidak terjadi

Kriteria hasil

Tanda vital dalam batas normal

Perdarahan terkontrol

Intake dan output cairan normal dan terpenuhi

Intervensi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Hentikan perdarahan terbuka.


Monitoring tanda-tanda vital.
Monitoring kesadaran.
Monitoring intake dan output cairan (darah, urin, keringat) per jam
Monitoring membran mukosa dan turgor kulit, serta rasa haus
Pertahankan suhu tubuh pasien.
Pertahankan pemberian cairan melalui intravena. Cairan resusitasi yang
digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian
awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau
sekitar 1-2 liter pada orang dewasa.

h. Tentukan kemungkinan faktor resiko daari ketidakseimbangan cairan


(hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal jantung, diaporesis,
i.
j.
k.
l.

disfungsi hati)
Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung
Monitor parameter hemodinamik invasif
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, diaforesis secara teratur
Kolaborasi pemberian koagulan apabila pasien diindikasikan mempunyai
penyakit terkait pembekuan darah.

BAB IV
PEMBAHASAN
1

Pembahasan mengenai intervensi untuk diagnosa pertama (Nyeri akut


berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang)
Pasien mengeluh nyeri hebat pada paha bagian kiri, saat
dikaji oleh perawat skala nyeri 7, artinya pasien nyeri hebat
tetapi masih terkontrol. Perawat perlu mendokumentasikan skala
nyeri pasien, sehingga nantinya setelah dilakukan tindakan,
perawat dapat mengevaluasi tindakan apakah tindakan yang
dilakukakan sudah efektif atau tidak. Selain itu, perawat perlu
mencegah adanya compartemen syndrom pada pasien, karena
pasien fraktur obliq tertutup pada 1/3 bagian distal femur,
tampak terlihat bengkak (hematoma dan akumulasi cairan).
Sehingga tindakan selanjutnya yaitu mengevaluasi neurovaskular
pasien dan hasilnya didapatkan bahwa Pulse distal (+), parestesi
(-), paralisis (-), pain (+), pale (perlu dikaji).
Dari hasil pengkajian neurovaskular, walaupun pasien belum
mengalami compartemen syndrome, pasien beresiko untuk
mengalami compartemen syndrome jika perawat tidak
melakukan pencegahan. Tindakan perawat selanjutnya adalah
R.I.C.E (Rest, Ice, Compress, Elevasi). Dengan mengistirahatkan
bagian tubuh yang mengalami fraktur, akan mencegah cedera
yang lebih lanjut pada daerah tersebut. Pada 6-8 jam setelah
terjadinya trauma, bagian yang mengalami trauma dikompres
degan air dingin, dengan dilakukan kompres pada daerah trauma
diharapkan bisa mengurangi pembengkakan dan perdarahan di
dalam juga dapat mengurangi rasa nyeri. akan tetapi pada jam
jam berikutnya tindakan kompres tidak dianjurkan lagi karena
bisa menyebabkan pembuluh darah mengecil dan jaringan bisa
mengalami nekrotik. Karena pulse pasien pasih teraba, kaki
pasien harus dielevasi (ditinggikan). Dengan mngelevasi bagian
tubuh pasien yang cedera diharapkan dapat memperbaiki aliran
balik vena (Venous return) ke jantung dan dapat memperlancar
aliran darah sehingga dapat menurunkan rasa nyeri pasien.
Tetapi, jika pulse pasien tidak teraba, tindakan elevasi tidak
dapat dilakukan karena bisa mengurangi aliran darah ke bagian
trauma sehingga nutrisi tidak adekuat dan dapat menyebabkan
nekrotik pada daerah tersebut. Perlu diwaspadai, pembengkakan
yang tidak kembali lebih dari 5 hari menunjukkan adanya

compartement
syndrome.
Sehingga
perawat
harus
mengobservasi bengkak pada pasien.
Perawat harus memberikan lingkungan yang aman dan
nyaman. Lingkungan yang nyaman dapat dicapai melalui suhu
ruangan yang sejuk, tidak panas dan mendapat sirkulasi oksigen
yang baik pasien mendapat asupan oksigen yang cukup
sehingga dapat mengurangi nyeri. Jauh dari kebisingan yang
dapat mengganggu pasien dan membatasi pengunjung yang
menjenguk sehingga pasien dapat beristirahat dan dapat
mengurangi nyeri pasien.
Perawat juga harus mengajarkan teknik relaksasi. Relaksasi
bisa berupa menarik nafas panjang, hypnotheraphy, guide
imaginary dan teknik distraksi lain. Biasanya pasien dengan nyeri
skala 7 tidak dapat berkurang nyerinya hanya dengan teknik
relaksasi nafas dalam, sehingga perlu hypnotherapy dan guide
imaginary. Teknik relaksasi nafas dalam memungkinkan oksigen
masuk ke dalam tubuh secara adekuat dan dapat mengalir ke
dalam tubuh pasien sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
sedangkan hypnotheraphy menekankan pada sugesti untuk
menghilangkan rasa sakit. Begitupun dengan guide imaginary,
pasien diminta untuk membayangkan di suatu tempat dan
menyenangkan sehingga membuat pasien nyaman, senang dan
rasa sakit pasien dapat teralihkan.
Pasien harus mendapat fiksasi imobilisasi sementara
sebelum mendapatkan terapi skeletal traksi. Fiksasi imobilisasi
bisa
berbentuk
pembidaian
yang
berguna
untuk
mengistirahatkan kaki yang mengalami trauma, mengurangi
pergerakan yang dapat menimbulkan cedera yang lebih lanjut
dan mengurangi rasa nyeri.
Perawat juga harus berkolaborasi dengan dokter untuk
pemberian analgetik golongan NSAID (ketrolax) yang dapat
mengatasi inflamasi. Perawat perlu memperhatikan efek samping
dari pemberian NSAID yaitu bisa menyebabkan meningkatnya
asam lambung sehingga perlu pemberian ranitidin untuk
menghentikan produksi asam lambung yang berlebih.
Setelah mengimplementasikan tindakan keperawatan,
perawat perlu mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan.
Perawat harus mengkaji kembali skala nyeri pasien. Apakah
tujuan sudah tercapai, apakah tindakan perlu diulang,
dipertahankan, diperbaiki atau dihentikan.

Pembahasan mengenai intervensi untuk diagnosa kedua (resiko infeski


berhubungan dengantrauma terbuka)
Tujuan dipantaunya hasil laboratorium dan suhu pasien untuk
mengetahui adanya leukosit yang meningkat dan peningkatan suhu
tubuh merupakan tanda dari infeksi dan pada kasus tersebut pasien
berada pada ambang batas leukosit dan suhunya tinggi..
Mempertahankan lingkungan untuk tetap aseptik selama
pemasangan alat dan menginstruksikan setiap pengunjung untuk
mencuci tangan saat berkunjung & setelah berkunjung, hal ini
bertujuan untuk mencegah infeksi dan meminimalkan resiko infeksi.
Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan bertujuan
untuk mengurangi mikroba bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
serta ajarkan klien dan keluarga untuk melakukan perawatan luka
untuk memandirikan klien dan keluarga. Dan yang terakhir kolaborasi
bersama dengan dokter untuk pemberian antibiotik.

Pembahasan mengenai intervensi untuk diagnosa ketiga (hambatan mobilitas


fisik berhubungan dengan kerusakan struktur tulang)
Intervensi saat kondisi fraktur pasien belum sembuh :
1. Cek tanda tanda vital pasien, terutama nadi pada ekstremitas sekitar daerah
trauma ;
Rasional : Intervensi ini dilakukan karena tanda tanda vital pasien terjaga
dalam batas normal, terutama nadi pada ekstremitas sekitar daerah trauma
yang dapat mengindikasikan terjadinya sindrom kompartemen yang ditandai
dengan tidak adanya nadi, parestesi (+) dan paralisis (+).
2. Ajarkan pasien untuk melatih ekstremitasnya dengan latihan ROM (Range of
Motion), baik itu aktif maupun pasif ;
Rasional : latihan ROM (Range of Motion) dapat meningkatkan peredaran
darah ke otot dan tulang agar meningkatkan kesehatan otot, menjaga mobilitas
sendi, serta mencegah terjadinya atrofi otot dan kontraktur.
3. Anjurkan penggunaan footboard ;
Rasional : Footboard dilakukan untuk menjaga posisi fungsional ekstremitas
pasien, serta dapat mencegah terjadinya komplikasi (kontraktur, footdrop).
4. Bantu pemenuhan Activity Daily Living (ADL) pasien ;

Rasional : Pada pasien dengan fraktur, pasien akan kesulitan dalam memenuhi
Activity Daily Living (ADL) secara mandiri akibat immobilitas, seperti
kesulitan mengambil benda yang jauh, sulit untuk berjalan sehingga tidak
dapat melakukan eliminasi di kamar mandi, dan lain lain. Maka dari itu
pemenuhan Activity Daily Living (ADL) dibantu oleh perawat, seperti
meletakkan benda pada jangkauan pasien, ajarkan penggunaan pisvot untuk
eliminasi, dan lain lain.
5. Berikan resusitasi cairan sesuai kebutuhan pasien ;
Rasional : Pada pasien dengan tirah baring yang lama karena fraktur, sangat
beresiko pasien mengalami konstipasi, batu ginjal dan infeksi perkemihan.
Pemberian resusitasi cairan dapat menjaga tubuh tetap terhidrasi dan
mengurangi resiko terjadinya konstipasi, batu ginjal dan infeksi perkemihan.
6. Pantau bising usus pasien ;
Rasional : Tirah baring yang lama dapat menyebabkan penurunan gerak
peristaltik pada usus (ditandai dengan bising usus menurun) yang dapat
mengakibatkan terjadinya konstipasi.
7. Berikan nutrisi tinggi kalori, tinggi protein dan tinggi serat ;
Rasional : Saat terjadi trauma muskuloskeletal, nutrisi yang dibutuhkan untuk
penyembuhan sangatlah tinggi, seperti kalori yang dibutuhkan untuk energi
pasien, protein untuk membantu proses penyembuhan trauma, dan serat untuk
melancarkan pencernaan dan terhindar dari resiko konstipasi.
8. Kolaborasi pemberian laxative apabila terjadi kontipasi ;
Rasional : Apabila pasien telah mengalami konstipasi, segera komunikasikan
dengan dokter untuk pemberian laksative. Laksative bekerja untuk
memudahkan keluarnya feses sehingga proses eliminasi pasien akan lancar.
Intervensi saat kondisi fraktur pasien sudah mulai sembuh dan mulai
diperbolehkan untuk bergerak :
1. Cek tanda tanda vital pasien sebelum dan sesudah latihan;
Rasional : Pada pasien dengan tirah baring yang lama seringkali mengalami
hipertensi atau hipotensi orthostatik, sehingga perlu dilakukan pemantauan
tanda tanda vital pasien sebelum latihan untuk mengetahui apakah pasien
dapat menjalani latihan dan sesudah latihan untuk memantau kondisi pasien
setelah latihan dilakukan yang dikhawatirkan mengalami intoleransi aktivitas.
2. Kaji tingkat mobilitas pada pasien ;

Rasional : Tingkat mobilitas pasien harus dikaji untuk menentukan batasan


batasan gerakan yang akan dilakukan saat latihan sehingga tidak menimbulkan
nyeri dan memperparah kondisi pasien.
3. Ajarkan pasien untuk melatih ekstremitasnya dengan latihan ROM (Range of
Motion), baik itu aktif maupun pasif ;
Rasional : Pasien biasanya merasa takut untuk menggerakkan ektremitasnya
dengan alasan menghambat penyembuhan, bahkan memperparah kondisi
pasien sendiri. Maka dari itu, beritahukan pasien mengenai manfaat latihan
ROM yang dapat mencegah terjadinya atrofi otot dan kontraktur.
4. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan isometrik ;
Rasional : Latihan isometrik dapat membantu untuk menjaga massa dan
kekuatan otot.
5. Ajarkan penggunaan alat bantu gerak, seperti crutches, walker ;
Rasional : Mobilitas dini dapat mengurangi komplikasi dari tirah baring yang
lama, menunjang penyembuhan serta normalisasi fungsi fungsi organ, dan
membantu pasien untuk melakukan mobilisasi.
6. Dampingi pasien saat menggunakan alat bantu gerak ;
Rasional : Saat pertama kali menggunakan alat gerak, pasien biasanya belum
terbiasa dan memiliki resiko jatuh yang tinggi. Pendampingan perawat sangat
diperlukan untuk menghindarkan pasien dari cedera karena jatuh.

Pembahasan mengenai intervensi untuk diagnosa keempat (resiko syok


berhubungan dengan perdarahan dari luka terbuka, kerusakan vaskular, dan
cedera pembuluh darah)
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan perfusi jaringan
vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Syok juga dapat terjadi
akibat dehidrasi jika kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau
kehilangan darah 20% EBV (estimated blood volume).
Secara

patofisiologis

syok

merupakan

gangguan

hemodinamik

yang

menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan


hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama
di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat
kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disebabkan oleh

bermacam-macam proses baik primer pada sistem kardiovaskuler, neurologis


ataupun imunologis. Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan hebat
volume plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab utama. Terjadinya
penurunan hebat volume intravaskuler dapat disebabkan oleh perdarahan atau
dehidrasi berat, sehingga menyebabkan yang balik ke jantung berkurang dan
curah jantung pun menurun. Penurunan hebat curah jantung menyebabkan
hantaran oksigen dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya menyebabkan
syok. Pada tahap awal dengan perdarahan kurang dari 10%, gejala klinis dapat
belum terlihat karena adanya mekanisme kompensasi sistem kardiovaskuler dan
saraf otonom. Baru pada kehilangan darah mulai 15% gejala dan tanda klinis
mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas, jantung atau nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi, kulit pucat dan dingin,
pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang.
Selain itu, gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik
arteri (afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan
tahanan vaskuler arteri atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya
volume cairan intravaskuler dengan pembuluh tersebut sehingga menyebabkan
tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya juga menyebabkan tidak
terpenuhianya

perfusi

jaringan.

Peningkatan

tahanan

arteri

juga

dapat

mengganggu sistem sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel


jantung sehingga sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu
juga bila terjadi peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat
menghambat aliran sirkulasi ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya
penurunan tahanan atau dilatasi yang berlebihan menyebabkan sistem darah balik
menjadi sehingga pengisian jantung menjadi berkurang pula. Akhirnya
menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak
mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Ganguan pada kapiler secara
langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung
menyebabkan terjadinya gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat
terjadinya pertukaran gas antara vaskuler dengan jaringan sel-sel tubuh
Secara umum, syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab,
yaitu:

1. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)


2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
3. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4. Distributif (vasomotor terganggu)

Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume
plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma
hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun
luka langsung pada pembuluh arteri utama.
Peranan Fisiologis Sistem Kardiovaskuler dan Saraf pada Syok
Untuk memahami patofisiologi atau memahami proses terjadinya berbagai jenis
syok terutama syok hipovolemik, maka pemahaman fisiologi jantung, sirkulasi
dan sistem saraf sangat diperlukan.
1. Peranan Fungsi Kardiovaskuler
Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah
keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme
sistem saraf otonom dan hormonal dengan autoregulasi terhadap kebutuhan
metabolime tubuh. Mekanisme otonom aktifitas otot jantung ini berasal dari
cetusan listrik (depolarisasi) pada otot jantung itu sendiri. Depolarisai otonom otot
jantung berasal dari sekelompok sel-sel yang menghasilkan potensial listrik yang
disebut dengan nodus sinoatrial [sinoatratrial (SA) node]. SA node terletak di
atrium kanan berdekatan dengan muara vena cava superior.

Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA node akan dialirkan keseluruh


otot-otot jantung (miokardium) sehingga menyebabkan kontraksi. Mekanisme
penyebaran impuls ini teratur sedemikian rupa sesuai dengan siklur kerja jantung.
Pertama impuls dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan
sehingga menyebabkan kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang
berasal dari sistem vena sistemik akan dipompakan ke ventrikel kanan, dan darah
pada atrium kiri yang berasal dari paru (vena pulmonalis) akan dialirkan ke
ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke ventrikel melalui sistem konduksi
nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV) node], terus ke atrioventricular (AV)
bundle dan oleh serabut purkinje ke seluruh sel-sel otot ventrikel jantung. Impuls
listrik yang ada di ventrikel terjadinya depolarisasi dan selanjutnya menyebabkan
otot-otot ventrikel berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang dikenal sebagai
denyut jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah ke paru untuk
pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut ventrikel kiri
akan mengalirkan darah ke seleuruh tubuh melalui aorta. Denyut jantung yang
berasal dari depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali permenit, dengan rata-rata
72 kali per menit.
Kontraksi ventrikel saat mengeluarkan darah dari jantung disebut
sebagai fase sitolik atau ejeksi ventrukuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam
satu kali pompan pada fase ejeksi ventrikuler disebut sebagai volume sekuncup
atau stroke volume, dan pada dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah
kontraksi rata-rata 72 kali per menit, maka dalam satu menit jumlah darah yang
sudah melewati dan diponpakan oleh jantung sekitar 5 liter, yang disebut sebagai
curah jantung (cardiac output).
Curah jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor
untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan dari
fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan
fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang disebut sebagai oxygen
delivery (DO2), dan curah jantung adalah faktor utama yang menentukan DO 2 ini
Gangguan

pada

faktor-faktor

yang

mepengaruhi

curah

jantung

dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya


kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat

mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat


mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif.
2. Peranan Fungsi Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem saraf
simpatis dan para simpatis. Sistem saraf simpatis merupakan sistem saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai faight of flight response
memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistem organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistem imun.
Sedangkan sistem parasimpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistem organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.
Sistem saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen
torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistem saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistem organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.
Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang
menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).

Sistem parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial dan
medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus-VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masing-masing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla spinalis
yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2 hingga 4.
Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotrasnmiter asetilkolin,
yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sistem saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau
muskarinik. Sebagaimana halnya sistem saraf simpatis, sistem saraf parsimpatis
juga menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah.
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistem saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistem
simpatis sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan
kontraktilitas otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk
mensuplai oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka
respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume dalam
sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.
Patofisiologi dan Gambaran Klinis

Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika


kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini
masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh
dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung
maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejalagejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan
frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin
dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian
kapiler yang lambat.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok
hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah,
pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari (refiling kapiler), suhu
dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok
hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium
syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan
perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap
stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis
tersebut.
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah
hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh
mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas
atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi
nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 1530%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu
menkompensasi

fungsi

kardiosirkulasi,

sehingga

terjadi

takikardi,

penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling


kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi
lebih cemas.
3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%.
Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.

Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,


peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi
dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat
lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari
40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian
lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III
terus

memburuk.

Kehilangan

volume

sirkulasi

lebih

dari

40%

menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan


disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.
Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat
dilihat pada tabel-1.

Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah


terlihat bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih
dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu,
pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang
hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat
meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan penatalaksanaan
(neglected cases).

Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan merupakan


tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara matematis tekanan
ini dirumuskan sebagai berikut:

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya


mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan
demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun
kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer sehingga telah terjadi
penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan tekanan
nadi rata-rata.
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume
sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan
tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh
masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon
simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan
fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistem organ. Pada tahapan ini
melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan
organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas.
Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.
Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut
sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki.

Keadaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistem filtrasi ginjal
yang disebut sebagai gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatn Medikal bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Haryani, Ani, dkk. 2009. Anatomi Fisiologi Manusia. Bandung : Penerbit Cakra
Nurarif & Hardhi K. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta : Medication
Syaifuddin. 2010. Atlas Berwarna Tiga Bahasa Anatomi Tubuh Manusia : untuk
Mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi : Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk
Keperawatan & Kebidanan, Ed.4. Jakarta : EGC
http://nursingfile.com/nursing-care-plan/nursing-interventions/nursinginterventions-for-hypovolemic-shock.html diakses pada tanggal 26 Februari
2016 pukul 17:44
http://jurnal.fk.unand.ac.id diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 18:08
Leksana, Ery. 2015. Dehidrasi dan Syok. CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015
Doengoes (2002), Smeltzer (2002),
Muttaqin (2008)

Vous aimerez peut-être aussi