bersentuhan dengan hukum adalah ketika dokter membuat surat keterangan mengenai orang yang diperiksanya. Dalam persidangan, seorang saksi atau terdakwa harus dalam keadaan sehat secara fisik dan mental dalam menyampaikan pernyataan atau pembelaannya. Ketika menghadapi persidangan dan ditahan seorang terdakwa harus memenuhi unsur fitness to stand the trial dan fitness to be detained. Dokter bisa membantu disini untuk menentukan apakah terdakwa layak maju persidangan dan dihukum dari aspek medisnya. Hasil dari temuan dokter tersebut kemudian dituangkan dalam surat keterangan dokter yang diterima sebagai surat keterangan ahli dalam persidangan. UU No. 36 tahun 2012 bab V menyebutkan mengenai pembukaan rahasia kedokteran. Isinya antara lain sebagai berikut Pasal 5 (1) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa pembukaan rahasia
kedokteran yang dilakukan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan. Media apa yang digunakan untuk membuka rahasia kedokteran tersebut. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa pemberian data dan informasi dapat berupa visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis.
Surat keterangan dokter termasuk keterangan ahli. Dalam
surat keterangan dokter ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: yang pertama adalah surat keterangan tersebut pada dasarnya merupakan potret sesaat yang menggambarkan kondisi kesehatan pasien pada hari ia diperiksa, yang kedua adalah pengertian "sehat" atau "memenuhi syarat" dalam keterangan tersebut bersifat spesifik sesuai dengan kepentingan pembuatan surat tersebut. Misalnya dalam hal persidangan, sehat yang dimaksud adalah memenuhi unsur-unsur fitness to stand trial dan fitness to detained. Adalah menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan yang benar-benar cermat sebelum membuat pemyataan atau keterangan semacam itu sesuai dengan kode etik dokter yang menyatakan bahwa "seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya".1 Kodeki yang mengatur mengenai etika dokter dalam membuat surat pernyataan terdapat dalam Kodeki pasal 7 ayat 1,2, dan 8 disebutkan sebagai berikut : (1)Dalam memberikan surat keterangan medis/ahli atau ekspertis dan pendapat ahli apapun bentuk dan tujuannya, dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakininya benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter. (2)Surat keterangan dokter dan/atau pendapat/keterangan ahli wajib dibuat dengan penuh kejujuran, kepatutan, ketelitian dan kehati- hatian berdasarkan sumpah jabatan, sesuai ketentuan perundang- undangan dan sedapat mungkin bebas dari konflik kepentingan (3)(8) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat sendiri Jika seorang dokter melanggar hal tersebut dianggap
telah melanggar kode etik kedokteran. Di dalam UU No.29 tahun
2004 memang tidak disebutkan secara rinci, bia dokter dianggap tidak jujur dalam membuat surat sehat, tetapi dalam bab VIII pasal 55 disebutkan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah menegakkan disiplin bagi dokter-dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran kemudian menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter serta menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin bagi dokter. Oleh karena itu, MKDKI jika menerima pengaduan tertulis dari pihak yang dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya dan ternyata pengaduan itu terbukti benar, maka MKDKI dapat membetikan sanksi disiplin berupa surat peringatan tertulis, skorsing, sampai dengan pencabutan ijin praktek, juga memberi kewajiban kepada dokter untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Perbuatan dokter yang memberikan surat keterangan sakit kepada pasiennya dengan tidak melakukan pemeriksaan yang sebenarnya dan pasiennya juga sebetulnya dalam kondisi yang sehat juga telah melanggar hukum pidana. Apabila kita cermati dalam pasal 267 KUHP disebutkan bahwa: (1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana paling lama empat tahun; (2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit gila atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan (3) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran Surat Rujukan Berobat untuk Tahanan
Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara
pidana umum maupun khusus yang mengajukan ijin berobat ke luar negri dengan berbagai alasan dan ternyata ijin berobat ke luar negri banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa untuk menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan, maka dibuatlah surat edaran tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung RI. Mengingat Pasal 33 Undang-undang No.5 I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan untuk mengantisipasi hal-hal diatas, dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut: (1)Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus) yang perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan untuk berobat ke luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada umumnya telah dapat mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia (2)Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa Agung RI setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. (3)Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter sepesialis penyakit yang bersangkutan, dan dilengkapi surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk dapat memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto MangunKusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis / pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh tersangka/terdakwa. (4)Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung Ri, melalui jalur berjenjang (Kejaksaan Negeri, Kejaksaan
Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan
menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi. (5)Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa tersangka/terdakwa yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah rumah sakit yang bersangkutan memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia. (6)Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri wajib memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa dari rumah sakit di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya I (satu ) bulan sekali, dan meminta penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat di rumah sakit tersebut. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda yang bersangkutan. Dalam surat edaran di atas disebutkan bahwa seorang terdakwa atau tahanan boleh berobat ke luar negri asalkan telah menerima surat rekomendasi dari dokter spesialis yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan dokter yang bersangkutan adalah dokter yang telah melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan-pemeriksaan lain terhadap terdakwa. Seorang dokter tidak boleh merujuk terdakwa hanya berdasarkan hasil rekam medis terdakwa selama berobat ke dokter sebelumnya. Dokter ini harus bertemu pasien langsung dan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dahulu sebelum yakin bahwa pasien perlu dirujuk. Kodeki pasal 7 ayat 6 dan 8 menyatakan hal sebagai berikut : (6) Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau melakukan rujukan ke sejawatnya yang mempunyai kompetensi untuk
memberikan keterangan yang lebih bermutu apabila kasus yang
dihadapi di luar kompetensinya. (8) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat sendiri pasien tersebut. Ketika dokter telah melakukan pemeriksaan langsung terhadap pasien, yang dalam hal ini merupakan tahanan kepolisian dan pasien sendiri meminta dirujuk ke luar negri, maka langkah awal dokter adalah merujuk dahulu ke rumah sakit pemerintah. Jika memang tidak ada dokter spesialis yang dapat menangani kasusnya, maka tertahan boleh dibawa berobat ke luar negri
Dafpus 1. Isnoviana M. Akibat hukum pemberian surat keterangan sakit terhadap pasien. Perspektif : X(1) ;2002