Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh : Warsiyah
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I;
PENDAHULUAN
Islam sebagai salah satu agama, dapat dijadikan sebagai obyek kajian penelitian.
Agama termasuk Islam sebagai objek emprik, tidaklah cukup untuk mengkajinya
dengan hanya menggunakan satu jenis pendekatan, hal ini karena agama memiliki
lapangan yang sangat luas, ada data keagamaan, pengalaman keagamaan dan ada
realitas agama. Pengkajian terhadap agama memerlukan berbagai disiplin ilmu, hal ini
karena mengkaji agama berarti melakukan objektivitasi terhadap pihak lain dan juga
terhadap diri sendiri, dan pada misi lain agama dipahami sebagai suatu yang sacral, suci
dan agung. Menempatkan suatu yang sacral dan suci pada posisi netral dapat dianggap
merusak nilai-nilai agama itu sendiri.
Agama muncul sebagai fenomena yang kompleks dan tidak mudah untuk
dirumuskan, karena itu sulit ditemukan kesepakatan dikalangan pengkaji keagamaan
mengenai batasan agama, sehingga kajian agama selalu berhimpun dengan kajiankajian bidang lain, seperti ilmu sosiologi, psikologi, antroplogi. Meskipun demikian,
studi Islam kontemporer menurut Amin Abdullah perlu memperhatikan dua entitas
yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu normativitas (teks, ajaran,
belief, dogma) dan juga historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief,
dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan. Mengingat begitu rumit dan
kompleknya
situasi
yang
dihadapi,
maka
pendekatan
antropologi
terhadap
II;
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dalam makalah ini akan
III;
Bagaimana Islam dijadikan obyek penelitian serta batasan wilayah studi islam?
Bagaimana konsep, sejarah, obyek kajian dan sasaran pendekatan antropologi?
Bagaimana cara kerja pendekatan antropologi dalam studi Islam?
Bagaimana contoh penerapan studi Islam dengan pendekatan antropologi?
Apa signifikansi penggunaan pendekatan antropologi dalam studi Islam?
PEMBAHASAN
A; Islam sebagai Obyek Studi
1; Antara Islam Ideal dan Islam Persepsi
Islam secara biasa didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Wahyu tersebut berbentuk Al-Qur`an dan hadis, sunah Nabi Muhammad saw.1 Islam
wahyu inilah yang menurut penulis adalah Islam Ideal, Islam yang sesuai dengan
kehendak Allah swt-Pengkonsep Islam yang sejati. Akan tetapi perlu dipahami bahwa
dalam perjalanannya Islam sehingga tersebar luas seperti sekarang ini telah
mengalami berbagai dinamika dan pergulatan dengan berbagai sisi kehidupan
manusia yang tidak dapat dipisahkan seperti budaya, ekonomi, sosial dan politik.
Maka tidak mengherankan jika umat Islam saat ini seperti di Indonesia telah tercermin
dari berbagai golongan golongan yang mengaktualisasikan Islamnya dengan cara
atau ritual yang berbeda-beda. Aktualisasi atas ajaran Islam yang dilakukan oleh
Muslim ini diduga merupakan bentuk interpretasi dari pemahanan mereka mengenai
Islam Ideal, yang penulis menyebutnya sebagai Islam persepsi.
Perbedaan perbedaan cara orang Islam dalam mengaktualisasikan ajaran
Islam yang sebenarnya hakikatnya sama ini menjadi obyek kajian yang sangat
menarik untuk kemudian diteliti dan dikonfirmasi agar dapat meminimalisir konflik
yang terjadi di dalam umat Islam sendiri. Banyaknya permusuhan antar golongan
Islam yang sering terjadi saat ini merupakan salah satu indikator dangkalnya
1 Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hal.19
3
Obyek penelitian agama yang bersifat empiris seperti teks kitab suci, teks
pemikiran para ulama, fenomena keberagamaan, struktur dan dinamika masyarakat
beragama, dapat dikaji dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial lain seperti sejarah,
antropologi, sosiologi, psikologi dan hermeneutika.5 Terkait dengan obyek penelitian
agama yang bersifat empiris, Glok and Stark6 merinci gejala-gejala keagamaan yang
menjadi obyek penelitian meliputi:
1; Masalah masalah kognitif keagamaan, seperti pengetahuan tentang perangkat
tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama, tingkat pengetahuan tentang
agama, tingkat ketertarikan untuk mempelajari agama.
2; Perasaan keagamaan yang bergerak dalam 4 tingkat yaitu; konfirmatif (merasakan
kehadiran Tuhan), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya),
estetik (merasa hubungan akrab dengan Tuhan), partisipatif (menjadi kawan
dengan Tuhan).
3; Pelaksanaan ritus keagamaan yang meliputi frekuensi, prosedur, pola, sampai
makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial dan kultural.
4; Konsekuensi pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari seperti etos
kerja, hubungan interpersonal, kepedulian terhadap sesama.
Sementara itu, Atho Mudzhar7 menyebutkan ada lima fenomena agama yang
dapat dikaji, yaitu:
1; Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2; Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya.
3; Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4; Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5; Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan,
seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syiah dan
lain-lain.
Kajian ilmiah menurut kacamata paradigma positivistik tentunya tidak ada yang
bersifat normatif, melainkan realitas sosial dari agama baik yang bersifat historis,
sosiologis dan budaya. Meskipun demikian obyek penelitian agama baik yang bersifat
normatif maupun empiris sama sama bisa diteliti tetapi harus menggunakan metode
yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi atas obyek agama yang diteliti.
5 Iman Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama..., hlm. 21
6 Sayuthi Ali, Metode Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm. 19-20
7 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek..., hlm. 15.
yang terdiri dari para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama dan pegawai
pemerintah jajahan. Informasi mengenai adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa
dan ciri-ciri fisik berbagai warna suku bangsa mulai mereka kumpulkan dalam
bentuk deskripsi didalam buku besar yang dikenal dengan istilah etnografi.13
Pada permulaan abad ke 19, perhatian terhadap pengetahuan tentang adat
istiadat susunan masyarkat dan ciri-ciri fisik masyarakat diluar bangsa Eropa
menjadi sangat besar. Pada tahun 1860 an maka lahirlah ilmu antropologi yang
bersifat akademikal. Permulaan abad ke 20, Antropologi menjadi sangat penting bagi
bangsa Eropa, bagi kepentingan jajahan, dan terutama di Inggris pada fase ini
antropologi menjadi ilmu praktis. Pada fase tahun 1930 an ilmu Antropologi
berkembang demikian luasnya baik dalam bahan kajian maupun metodologinya.
2
para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh
antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia. 15
3
15 Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 62.
16 Tim Penyusunan Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Kesepuluh, 1999), hlm 218
17 Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, 1989), hlm 7
Hubungan terakhir inilah yang menjadi sentral bahasan baik antropogi sosial maupun
budaya18.
Mendiskusikan antara wilayah studi Islam dengan wilayah studi antropologi
tersebut diatas maka akan dapat ditemukan apa yang menjadi sasaran studi Islam
dengan pendekatan antropologi. Dalam pandangan antropologi agama, agama adalah
Ideas and practices that postulate reality beyod that which is immediuately available
to the senses19 (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau pemikiran dan seperangkat
tindakan konkrit sehari-hari yang didasarkan atas postulasi atau keyakinan kuat
adanya realitas yang lebih tinggi berada di luar alam materi yang biasa dapat
dijangkau langsung dalam kehidupan materi). Apa yang disebut agama, dalam
praktiknya, memang sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama tertentu ke
masyarakat pemeluk agama yang lain, baik yang menyangkut sistem kepercayaan yang
diyakini bersama, tingkat praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para
penganutnya, serta peran sosial yang dimainkannya.
Pada umumnya, hasil field note research di lapangan dari berbagai kawasan,
para antropolog hampir menyepakati bahwa agama melibatkan 6 dimensi : l) perform
certain activities (Ritual), 2) believe certain things (kepercayaan, dogma), 3) invest
authority in certain personalities (leadership; kepemimpinan), 4) hallow certain text
(kitab suci, sacred book), 5) telling various stories (sejarah dan institusi), dan 6)
legitimate morality (moralitas). Ciri paling menonjol dari studi agama yang
membedakannya dari studi sosial dan budaya, adalah keterkaitan keenam dimensi
tersebut dengan keyakinan kuat dari para penganutnya tentang adanya apa yang
disebut dengan non-falsifiable postulated alternate reality (Realitas tertinggi yang
tidak dapat difalsifikasi)20 Keenam dimensi keberagamaan tersebut jika dikontekskan
dengan agama Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : 1) Ibadah, 2)
Aqidah, 3) Nabi atau Rasul, 4) al-Quran dan al-Hadis 5) al- Tarikh atau al-Sirah dan 6)
al-Akhlaq. Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan dengan Allah (yang bersifat nonfalsifiable alternate reality) juga.
18 Norma Permata, Ahmad (Ed), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Hlm. 413
19 John R. Bowen, Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of Religion, Boston, Allyn and
Bacon,2002, hal. 5, http://aminabd.wordpress.com/2011/01/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agamadan-studi-islam/
20 James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences
and Subsequent Debates, London and New York, The Continuum International, Publishing Group, 2006.
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
21 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek..., hlm. 15.
22 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, hlm. 19
23 Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, 1989), hlm : 19
10
Dalam memahami cara kerja ilmu antropologi sebagai pisau analisis dalam
memahami agama harus memenuhi 4 (empat) karakteristik dasar sebagai berikut:
1
Thick
description dapat dilakukan dengan cara Living in, yaitu hidup bersama masyarakat
yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang
cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin
memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.24
3; Local practices
Local practice yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang
dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih lebih ketika
manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani
kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de pessages) ? Persitiwa
kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan. Apa yang dilakukan oleh manusia
ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut.
Local practices (praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi
para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka
disinilah masalah terbesar, untuk tidak menyebutnya dengan ketegangan, dalam studi
Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal istilah
bidah baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan,
praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut
antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan
sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan
manusia secara lebih utuh.25
24 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h. 27-28.
25 Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam,
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studiislam/dds3
11
seperti wilayah
ekonomi,
politik. Sehingga ketika mengkaji suatu fenomena keagamaan yang ada dalam suatu
masyarakat, peneliti dengan pendekatan antropologi tidak boleh melepaskan diri dari
pengkajian dalam sisi yang lain seperti ekonomi, politik, budaya dan sosial.
5; Comparative.
Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai
tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa
What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded
concepts (representation) between societies differently located in time or space. The
important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or nonWestern), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable.
Setidaknya, Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan
kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Bukan sekedar untuk mencari kesamaan
dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan
memperdalam bobot kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi
komparatif sangat membantu memberi perspektif baru baik dari kalangan outsider
maupun outsider.
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat membantu memahami
akar-akar kepelbagaian (diversity) dalam berbagai
pendidikan,
bagaimana
keadilan
dan
kesejahteraan
maka akan membawa kepada pemahaman bahwa agama-agama sangat terbuka untuk
kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan manusia di
muka bumi.
D; Aplikasi Studi Islam dengan Pendekatan Antropologi
Sebagaimana penulis sebutkan diatas bahwa wilayah studi Islam dengan
pendekatan antropologi adalah pada kawasan empiris, yaitu pada gejala yang dapat
diamati dengan pancindra. Maka aplikasi studi Islam dengan pendekatan antropologi
adalah pada fenomena fenomena yang dapat diamati. Beberapa peneliti yang dengan
apik mendeskripsikan hasil penelitiannya dengan pendekatan antropologi dalam
mengkaji Islam dan umat Islam adalah Clifford Greezt dalam karyanya The Religion of
Java.26 pada tahun 50-an. Greetz dalam penelitiannya memandang masyarakat Jawa di
Mojokuto sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif
dan agama yang sinkritik, yang terdiri atas sub kebudayaan Jawa yang masing-masing
merupakan struktur sosial yang berlainan, yakni: Abangan (yang intinya berpusat di
pedesaan), santri, (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar) dan priyayi
(yang intinya berpusat dikota, kantor pemerintahan).
Kajian lain tentang Islam dengan menggunakan pendekatan antropologi adalah
penelitian dengan judul: Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam
Masyarakat Bugis Amparita, M. Atho Mudzhar menyebutkan bahwa penelitian dengan
judul di atas adalah penelitian agama sebagai gejala sosial dengan metode grounded
research. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan di mana
orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang dan orang-orang Tolitang Benteng di
desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi satu sama lain, kadang-kadang dalam
bentuk kerja sama atau bahkan integrasi. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya
konflik antara ketiga kelompok bermula dari soal keagamaan (upacara kematian tahun
1944), kemudian bertambah intensitas dan kompleksitasnya setelah kemasukan unsur
politik (masa pemberontakan DI/TII 1951 dan pemberontakan PKI 1965), kemudian
berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan
dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.27
Aplikasi pendekatan antropologi dalam teks Al-Quran seperti terdapat pada
ayat-ayat yang berisi kisah tentang Ashabul Kahfi yang berada didalam gua selama
26 M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm.26
27 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek...,hlm. 57, 228, 229
13
lebih dari tiga ratus tahun. Selama mereka didalam gua telah terjadi banyak
perubahan dilingkungan dekat gua tersebut, baik perubahan bangunan maupun adat
kebiasaannya. Kejadian ini dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan
antropologi.
Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka
bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia
adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya
adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna,
karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian
tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an
ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan
"orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang
konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan
konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita
merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep
keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman
konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari
ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari
permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya,
adalah mempelajari agama dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusiayang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian
cross culture untuk melihat realitas universal agama.
Dalam kehidupan kita mengenal tradisi walimah al-Safar, yang biasa
dilakukan orang sebelum berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini
dalam keterkaitannya
dengan
Religious ideas yang diperoleh dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini.
Bagaimana tindakan ini membentuk emosi dan menjalankan fungsi sosial dalam
kehidupan yang luas?. Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah
tetapi juga di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan
keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi individu dan kelompok
maupun kepentingan sosial poilitik tidak dapat dihindari. Semuanya membentuk satu
tindakan yang utuh.
14
Selain walimah safar, kita juga mengenal praktik tahlilan yang dilakukan
bersama-sama setiap malam jum`at. Tahlilan merupakan kegiatan rutin membaca surat
Yasin bersama diiringi doa dan tahlil untuk mendoakan ahli waris yang telah meninggal
dunia. Kegiatan ini biasanya digilir dirumah-rumah warga. Dalam tradisi Islam ketika
zaman Nabi Muhammad SAW. kebiasaan membaca surat Yasin bersama-sama atau
populer dengan Tahlilan belum ada. Tradisi tahlilan harus diteliti dengan berbagai
pendekatan, salah satunya adalah pendekatan antropologi. Tahlilan sebagai produk
budaya sangat mungkin merupakan hasil dari kebiasaan kebiasaan orang jawa
sebelum Islam datang. Seperti budaya senang berkumpul, makan bersama dan tolong
menolong. Tahlilan merupakan produk akulturasi Jawa Islam, yang mengambarkan
betapa lunaknya Islam sebagai agama pembawa kebenaran dan kedamaian tanpa
merusak tradisi dan adat yang sudah ada di Jawa. Kajian agama dengan cross-culture
akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.
E; Manfaat pendekatan antropologi
Studi Islam dengan pendekatan antropologi sebagaimana disebut Abuddin Nata,
sosok agama yang berada pada dataran emperik akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berusaha mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam
masyarakat, mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.28 Dengan
menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas
dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Inilah makna pendekatan antropologi dalam memahami fenomenafenomena keagamaan.29 Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa pendekatan
antropologi bisa dijadikan untuk mendukung penjelasan bagaimana fenomenafenomena keagamaan dapat terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan jaringan
institusi dan kelembagaan sosial yang mendukung keberadaannya.
Apabila ditelusuri kembali peran yang dimainkan antropologi budaya dan sosial
dalam mengkaji fenomena-fenomena yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat yang sedikit banyaknya memiliki keterkaitan dengan kepercayaan-
kepercayaan dan institusi-institusi yang ada dalam masyarakat, maka peran pendekatan
antropologi paling tidak memberi kontribusi dan bermanfaat untuk :
1; Memahami fenomena keagamaan yang merupakan bagian dari kehidupan seharihari umat Islam.
2; Pemahaman yang tepat tentang ajaran agama dapat membangkitkan reaktualisasi
ajaran-ajaran Islam.
3; Untuk dapat lebih memfungsikan peran agama dalam pembangunan secara
nasional.
4; Memahami keragaman dan keunikan pola, corak, tingkat dan stereotype
keberagamaan suatu komunitas.
5; Memahami style keberagamaan dalam suatu ormas.
Disamping itu hasil penelitian dengan pendekatan antropologi ini, akan dapat
membantu upaya pengembangan kehidupan beragama dan sekaligus membantu
perencanaan pembangunan kehidupan beragama umat Islam. Dengan demikian,
pendekatan antropologi dalam dalam studi Islam sangatlah diperlukan. Islam dimaksud
disini adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, Islam yang
telah melembaga dalam kehidupan suku, etnis, kelompok atau bangsa tertentu, Islam
yang telah terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial, budaya, politik dan
agama. Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang menganut madzhabmadzhab, pengikut berbagai sekte, partai-partai atau kelompok-kelompok kepentingan
tertentu. Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di latpangan
akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan
penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil
masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
Islam adalah agama samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril. Islam tidak hanya diperuntukkan kepada Nabi Saw, tetapi juga
untuk umatnya (manusia). Supaya Islam dapat diterima dan ajarannya dipahami serta
dilaksanakan oleh umat manusia, maka didalam penyampaiannya harus menggunakan
pendekatan atau metodologi yang pas dan sesuai. Jika tidak, maka dikhawatirkan dalam
waktu yang tidak lama Islam hanya tinggal namanya saja. Hal ini perlu disadari oleh
para ilmuwan muslim. Dan karena agama itu sangat erat hubungannya dengan manusia,
maka pendekatan antropologi sangat penting untuk diterapkan didalam studi Islam.
16
IV;
bahwa antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segi
keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang
dihasilkannya, sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Fenomena agama yang menjadi obyek kajian dalam Pendekatan antropologi, yaitu : 1)
Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama; 2) Para penganut atau
pemimpin atau pemuka agama; 3) Ritus, lembaga dan ibadat; 4) Alat-alat; 5) Organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Ada 4 ciri fundamental
cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama, yaitu : 1) Bercorak descriptive, bukannya
normative; 2) local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan; 3) Antropologi
selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih
utuh (connections across social domains); 4) Comparative, artinya studi dan pendekatan
antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agamaagama.
17
DAFTAR PUSTAKA
18