Vous êtes sur la page 1sur 14

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI APLIKASI

NANDA, NOC, NIC


Diposkan oleh Rizki Kurniadi, Amd.Kep

A. Pengertian
Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal selsel saraf otak, yang bersifat resersibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala
yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. (Kapita Selekta Kedokteran,
2002)
Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku,
alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala.
(Brunner dan Suddarth`s, 2001)
Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari
30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya
sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status
mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya
kesadaran di antarserangan.
B. Etiologi
1) Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
2) Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
3) Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
4) Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
5) Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
6) Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya
toksolakmosis
7) Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
8) Neoplasma otakadan selaputnya
9) Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10) Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
11) Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan
lain-lain
C. Faktor Presipitasi
Factor presipitasi ialah factor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1) Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
2) Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
3) factor mental: stress, gangguan emosi

D. Patofisiologi
Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf
akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut
Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang
merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi
sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila
asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel
saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes
keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang
merembes keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak
asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada
permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma
lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu
akan terjadi lepas muatan listrik sal-sal saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus
mencapai konsentrasi tertentu untuk daspat merendahkan potensi membran sehingga lepas
muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya
simptomatik.
Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh
Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini
merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal.
Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad kesadaran.
Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh Karena
sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar
talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang
seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima
impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral
dari mesensefalon yng dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar
talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal,
yang dikenal sebagai petit mal
E. Manifestasi Klinis
Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League
against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a.

Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal


1) Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
b) Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas kebagian
lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
c) Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
d) Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap tertentu

e) Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kalima panca indra dan bangkitan yang disertai vertigo
a) somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
b) visual: terlihat cahaya
c) auditoris: terdengar sesuatu
d) olfaktoris: terhidu sesuatu
e) gustatoris: terkecap sesuatu
f)

disertai vertigo

3)

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
membera, piloereksi, dilatasi pupil)

4) Debgab gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


a) disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat
b) dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar,
melihat,atau sebaliknya tidak pernah mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat lagi.
c) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar
f)

Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik melihat sesuatu
fenomena tertentu dan lain-lain

b. Sawan parsial komplek


1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
a.

Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.

b.

Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku yang timbul dengan


sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan,
mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.

2. Dengan penuruna kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
a.

Hanya dengan penurunan kesadaran.

b. Dengan automatisme.

c.

Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)

1. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.


2. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan umum.
3.

Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek selalu berkembang
menjadi bangkitan umum.

2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)


a.

Sawan Lena (Absance)


Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak menbengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama - menit dan biasanya dijumpai pada anak.

1) Hanya penurunan kesadaran.


2)

Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelopak
mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.

3)

Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan tangan, tubuh
mendadak melemas sehingga tampak lunglai.

4) Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas, leher atau punggung
mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengentul atau mengendang.
5) Dengan automatisme.
6) Dengan komponen autonom.
2 hingga 6 dapat tersendiri atau kombinasi
Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada
semua umur.
c.

Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot. Dijumpai
tertutama sekali pada anak.

d. Sawan tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga
terdapat pada anak.
e.

Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama
grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira - menit diikuti kejang otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas.
Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur
beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

f.

Sawan atonik
Pada keadaan

ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh.

Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
3. Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan yang mendadak
berhenti sementara.
F. Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informative
yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas
epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing,
gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos
kepala, yang berguna untuk mendeteksinya adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan, yang
berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan
pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelaianan
sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia dan lain-lain.
G. Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia,
keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur,
migren.

H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas
dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan pengobatan
psikososial.
1) Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya
seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping pemberian obat antiepilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a)

Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian obat
harus dipertimbangkan.

b) Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami lebih dari
dua kali sawan yang sama.
c) Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d)

Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang,
mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.

e) Dosis obat disesuaikan secara individual.


f)

Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:

Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit
degenerates susunan saraf pusat.

Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.

Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.

Faktor emosional sebagai pencetus.

Termasuk intractable epilepsi.

g)

Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3 tahun. Pengobatan


dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.

2) Pengobatan Psikososial.
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar
akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat
bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3) Penatalaksanaan status epileptikus
a)

Lima menit pertama

Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila
perlu bantuan bentilasi.
Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan
kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b) Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena
(pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
c) Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai
maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam
harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d) Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1
mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
e) Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5
mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital
intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika
status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.

4) Perawatan pasien yang mengalami kejang :


a)

Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien yang
mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari
tempat yang aman dan pribadi

b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cidera
dari membentur permukaan yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.

f)

Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk
mengurangi lidah atau pipi tergigit.

g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan
sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h)

Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat
dan restrenin dapat menimbulkan cidera

i)

Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan
yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika
disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret

j)

Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan
bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada
saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan
I.

Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2 tahun
dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami
sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami
remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada
sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah
menglami relaps sesudah remisi.
J. Asuhan Keperawatan
1 Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa
yang terjadi selama serangan )
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa
serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang
tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan
obat-obat tertentu/alkoholik)
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota
keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai
aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului
serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum

2) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah
halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala
menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai
komponen motorik seperti kejang tonik,
klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan
tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi
sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah
perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer,
luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan
lingkungan sekitar
2) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat
serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan kenyakinan
2 Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan epilepsy antara lain :
1) Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap
kejang
2) Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran dan
kejang tonik-klonik
3) Koping defensif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder terhada epilepsy
4) Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa

5) Potensial komplikasi : kejang

Rencana Keperawatan
No.
1.

Diagnosa Keperawatan
Resiko aspirasi b.d tingkat

Setelah

Tujuan
dilakukan

Intervensi
tindakan Aspiration Precaution (3200)

kesadaran sekunder ter-

keperawatan selama ...x 24


1.

Kaji tingkat kemampuan klien terhadap reflek

hadap kejang

jam, klien diharapkan tidak

batuk, menelan dan gag reflek

mengalami aspirasi.

2.

N.O.C :

Kaji status pernapasan, pertahankan jalan


napas

Risk control (1902)

3.

Knowladge : treat-ment
4.
procedure (1814)

5.

Self care oral hi-giene


(0308)

6.

Dengan kriteria :

Beri posisi 90 atau sesuaikan keadaan


Jaga kesiapan alat suction
Cek posisi NGT dan residu NGT sebelum
memberi makan
Potong makanan dalam bentuk kecil agar
mudah ditelan

Klien mengatakan cara-cara


untuk mencegah aspirasi
Kebersihan

mulut

Airway suctioning (3160)


kolien
1.

terjaga
Tidak

Auskultasi suara napas klien sebelum dan


sesudah suction

ada

tanda-tan-da
2.

tejadinya aspirasi

Gunakan universal precaution : sarung


tangan, masker, kacamata

3.

Anjurkan klien untuk napas dalam sebelum


dilakukan suction, anjurkan untuk rileks

4.
5.

Beri tambahan oksigen selama suction


Monitor status oksigen dan hemodinamik
klien

6.

Hentikan suction dan beri tambahan oksigen


jika klien bradikardi

7.

Kirim bahan sekret untuk kultur dan tes


sensitifitas

8.

Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai


prosedure dan manfaat suction

Positioning (0840)
1.

Tempatkan klien pada posisi yang terapeutik : Pertahankan pada posisi miring jika
tidak merupakan kontra indikasi ci-dera

2.

Resiko trauma pada saat

Setelah

dilakukan

2. Pertahankan posisi miring setelah makan


tindakanEnvironmented Management safety (6486)

serangan b.d penurunan

keperawatan selama ...x 24


1.

Kaji sejauhmana kebutuhan keamanan klien

tingkat

jam, tidak terjadi trauma pada


2.

Modifikasi lingkungan untuk memi-nimalkan

klien .

resiko trauma (pasang pagar pengaman,

NOC :

jauhkan benda tajam dan mudah terbakar)

kesadaran

dan

kejang tonik-klonik

Safety status : physical


injury (1913)

Fall Prevention (6490)


Knowladge : personal safety
1. Ciptakan lantai yang tidak licin

(1809)

2.

Kaji kemampuan klien untuk melakukan


mobilisasi

Dengan kriteria :
Kulit klien intak (tidak adaTeaching : disease process (5602)
luka, lecet atau hematom) 1.
Jelaskan pada klien efek dari serangan
Tdak terjadi luka bakar
epilepsi yang memungkinkan klien cidera
Tdak terjadi fraktur

2.
Kien mampu menje-askan

resiko jika terjadi serangan


3.
dan cara mengantisipasi-nya

3.

Koping

defensif

b.d

Setelah

dilakukan

Jelaskan pada klien aktivitas apa saja yang


aman untuk klien epilepsi
Anjurkan pada klien untuk bedrest pada fase
akut

tindakanSelf-awarness enhancement (5390)

respon terhadap hal-hal

keperawatan selama ...x 24


1.

sekunder terhada epilepsi

jam, koping klien menjadi

mendiskusikan pikiran dan perasaan

adekuat

Anjurkan pada klien untuk meng-identifikasi

2.

NOC:

Dorong

klien

untuk

mengakui

dan

nilai yang disumbangkan untuk konsep diri

Acception health sta-tus


3.
(1300)

Anjurkan pada klien untuk meng-identifikasi


perasaan tentang dirinya

Coping (1302)

4.

Self-asteem (1205)

Beri fasilitas klien untuk mengidentifikasi


pola respon yang digunakan untuk berbagai
situasi

5.

Dengan kriteria :

Anjurkan pada klien untuk meng-ungkapkan

Klien mampu me-ngenal pola


6.
koping efektif dan tidak

cara verbal penolakannya terhadap realitas

efektif

yang

Klien lebih tenang

menanggulanginya

Bantu klien untuk mengidentifikasi situasi


mengakibatkan

cemas

dan

cara

Klien mengakui realita situasi


kesehatannya
Klien
ekspresikan

Coping enhancement (5230)

mampu

meng1.

emosi

de-ngan

positif
Klien

2.
mampu

meng-

Hargai penyesuaian diri klien untuk merubah


body image
Dorong

klien

untuk

mengidentifikasi

penjelasan realitas dari perubahan peran

ungkapkan penerimaan diri


3.

Ciptakan lingkungan yang tenang

terhadap keter-batasan diri

Gunakan pendekatan agama / keyakinan jika

4.

perlu
5.
4.

Beri pujian tindakan positif yang dilakukan

Defisit pengetahuan ten-

klien
Setelah dilakukan penjelasanTeaching individual (5606)

tang penyakit, pengobatan

selama ...x pertemuan, pe1.

dan perawatan klien b.d

ngetahuan klien tentang pe2.

keterbatasan kognitif, ku-

nyakit, pengobatan dan pe-

klien tentang epilepsi

rang paparan atau mudah

rawatan klien meningkat

Kaji tingkat pendidikan

lupa

3.
4.

Tentukan kebutuhan pembelajaran klien


Kaji tingkat pengetahuan dan pemahaman

Kaji kesiapan klien dalam mempelajari


informasi spesifik

NOC :
Knowledge

5.
Disease

Atur agar realita tujuan pembelajaran dengan

process (1803)

klien saling menguntungkan

6.
Knowladge : Illness care
7.
(1824)

Pilih metode / strategi mengajar yang sesuai


Sediakan lingkungan yang kondusif untuk
pembelajaran

Dengan kriteria :

8.

Koreksi adanya kesalahan informasi

9. Sediakan waktu untuk bertanya pada klien


Klien dan keluarga mam-pu
10.
menjelaskan
penger-tian,
Teaching : disease process (5602)
proses penyakit, penyebab,
1.
Nilai tingkat pengetahuan klien tentang
tanda dan gejala, efek
penyakitnya
penyakit,
tindakan
2. Jelaskan patofisiologi epilepsi
pencegahan, pe-ngobatan dan
3. Jelaskan tanda dan gejala epilepsi
perawatan epilepsi
4. Jelaskan kemungkinan penyebabnya
5.

Diskusikan perubahan gaya hidup yang


mungkin dapat mencegah komplikasi dimasa
yang akan datang

6.

Diskusikan pilihan-pilihan terapi pe-ngobatan


dan perawatan

7.

Jelaskan

alasan

rasional

dari

terapi

pengobatan yang direkomendasikan


8.
5

Potensial
kejang

komplikasi

Kaji

sumber-sumber

pendukung

yang

tindakan
1.

memungkinkan
Tentukan apa klien merasakan aura sebe-lum

keperawatan selama ...x 24

awitan aktivitas kejang. Jika ya, beri-tahu

jam perawat akan mengatasi

tindakan pengamanan untuk diambil jika aura

dan

tersebut dirasakan (misalnya : berbaraing,

Setelah

dilakukan

mengurangi

episode

kejang

menepikan mobil, dan mema-tikan mesin)


2.

Bila aktivitas kejang terjadi, observasi dan

dokumentasikan hal berikut :

a.

Bila kejang mulai

b. Jenis gerakan, bagian tubuh yang


terlihat

c. Perubahan ukuran pupil dan posisi


d. Inkontinensia urine atau feses
e. Durasi
f. Ketidaksadaran

(durasi)

perilaku

setelah kejang , kelemahan, paralisis


setelah kejang, tidur setelah kejang
(periode

pasca-taktile)

(progresi

aktivitas kejang dapat membantu


dalam

mengidentifikasi

fokus

anatomik dari kejang)


3.

Berikan privasi selama dan sesudah aktivitas


kejang (untuk melindungi klien dari rasa
malu)

4.

Selama aktivitas kejang, lakukan tindakan


untuk menjamin ventilasi adekuat (misal-nya
dengan melepaskan pakaian). Jangan coba
memaksa jalan napas atau spatel li-dah masuk
pada gigi yang mengatup. (ge-rakan tonik /
klonik kuat dapat menye-babkan sumbatan
jalan napas. Pemasukan jalan napas paksa
dapat menyebabkan cidera)

5.

Selama aktivitas kejang, bantu gerakan secara


hati-hati untuk mencegah cidera. Jangan coba
membatasi gerakan. (restrain fisik dapat
mengakibatkan trauma pada muskuloskeletal)

6.

Bila kejang terjadi saat klien sedang du-duk,


bantu turunkan klien ke lantai dan tempatkan
sesuatu yang lunak dibawah kepalanya.
(tindakan ini akan membantu mencegah

trauma)
7.

Jika kejang telah teratasi letakkan klien pada


posisi miring. (posisi ini membantu mencegah
aspirasi sekret)

8.

Biarkan individu tidur setelah periode kejang, orientasi lagi setelah bangun. (indi-vidu
ini akan mengalami amnesia, orient-tasi ulang
akan membantu klien untuk memperoleh rasa
kontrol dan dapat menu-runkan ansietas)

9.

Jika orang tersebut berlanjut mengalami


kejang umum, lapor dokter dan awali tindakan :

a. Pertahankan jalan napas


b. Penghisapan jika diperlukan
c. Berikan oksigen melalui kanul nasal
d. Awali untuk pemberian infus
10. Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah
dengan pagar tempat tidur terpa-sang serta
lapisi pagar tempat tidur de-ngan kain
(sebagai tindakan hati-hati un-tuk mencegah
bahaya jatuh atau truma)
11. Jika kondisi klien kronis, evaluasi kebu-tuhan
penyuluhan
sendiri

tehnik

penatalaksanaan

diri

Vous aimerez peut-être aussi