Vous êtes sur la page 1sur 16

ASOSIASI

Oleh : Sri Novita Lubis, SKM, M.Kes

Definisi????
Asosiasi

Hubungan keterikatan atau


saling pengaruh antara dua
atau lebih variabel, di mana
hubungan tersebut dapat
bersifat hubungan sebab
akibat maupun yang bukan
hubungan sebab akibat.

Hubungan keterikatan (dependency association)


adalah hubungan antara variabel, di mana adanya
perubahan pada variabel yang satu (independent)
akan
mempengaruhi
variabel
yang
lainnya
(dependent)

Studi-studi
epidemiologi
menghasilkan
asosiasi-asosiasi
statistik antara suatu penyakit
dengan
pajanan.
Menemukan
asosiasi hanyalah langkah pertama.

Dalam menilai hubungan asosiasi


sering
sekali
kita
melakukan
kesalahan
dalam
mengambil
kesimpulan
terutama
dalam
penelitian
epidemiologi
yang
mencari/menguji
ada
tidaknya
hubungan sebab akibat. Hal ini
dapat timbul karena tidak jarang
kita menjumpai hubungan asosiasi
yang kuat antara satu variabel
dengan variabel lainnya, sehingga
kita
menyimpulkannya
sebagai
hubungan sebab akibat tetapi pada
dasarnya,
sebenarnya
hanya

Jenis Asosiasi
1.

1. Asosiasi Kausal
Yi : hubungan antara dua atau lebih variabel di mana salah satu
atau lebih di antara variabel tersebut merupakan variable
penyebab kausal (primer dan sekunder) terhadap terjadinya
variabel lainnya sebagai hasil akhir dari suatu proses terjadinya
penyakit.
Tiga faktor penting yang harus dijumpai pada hubungan asosiasi
kausal, yakni:
1. faktor keterpaparan memegang peranan penting dalam
timbulnya penyakit;
2.
setiap perubahan pada variabel yang merupakan unsur
penyebab akan diikuti oleh perubahan pada variabel lainnya,
sebagai akibat/hasil akhir proses; dan
3. hubungan antara timbulnya penyakit (hasil akhir) serta proses
keterpaparan tidak tergantung atau tidak harus dipengaruhi
oleh faktor lainnya di luar variabel hubungan tersebut.

2. Asosiasi Non Kausal


Yi : hubungan asosiasi yang bersifat bukan hubungan sebab
akibat, di mana variabel ketiga tampaknya mempunyai
hubungan dengan salah satu variabel yang terlibat dalam
hubungan kausal, tetapi unsur ketiga ini bukan sebagai
faktor penyebab.
Asosiasi non kausal terjadi dalam dua cara :
1. Penyakit mungkin menyebabkan pajanan (bukan
pajanan yang menyebabkan penyakit).
2. Penyakit dan pajanan kedua-duanya terkait dengan
suatu faktor ketiga (perancu), yang diketahui atau
tidak diketahui. Dalam hal ini, saat mengukur pajanan,
kita secara tidak sengaja juga mengukur faktor perancu
tsb.

3. Asosiasi Semu
Yi : hubungan antara dua atau lebih
variabel yang bersifat semu (tidak
benar) atau palsu yang timbul karena
faktor kebetulan atau karena adanya
bias pada metode penelitian/cara
penilaian yang dilakukan.

Contoh????
X : Rokok
Y : Ca paru
Z : Minum Kopi
(1)

X
Asosiasi
Kusal

(2)

Z
Asosiasi
Non Kusal

Y
Asosiasi
Semu

Kriteria Asosiasi Kausal


Dalam menentukan hubungan asosiasi kausal, terutama dalam
menilai hubungan sebab akibat serta unsur penyebab timbulnya
penyakit tertentu, harus diperhatikan pula berbagai ketentuan yang
dapat menjadi dasar pemikiran antara lain: konsisten pengamatan,
hubungannya dengan pengetahuan teori yang sudah ada dan diakui,
ketentuan disiplin ilmu yang berlaku, pengalaman yang ada, baik
pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Beberapa
kriteria dalam asosiasi kausal antara lain : (Austin Bradford Hill, 18971991)
1. Konsistensi Asosiasi
Konsistensi berarti studi-studi yang berbeda menghasilkan asosiasi
yang sama meskipun faktanya mereka menggunakan rancanganrancangan yang berbeda dan dilakukan pada populasi yang
berbeda, bahkan kadang-kadang pada daerah-daerah yang
berbeda. Cth : merokok baru diyakini sebagai penyebab Ca paru
setelah dibuktikan melalui ratusan riset yang dilakukan.

2. Kekuatan Asosiasi
Kekuatan mengacu pada ukuran risiko relatif yang didapat.
Semakin besar risiko relatif (RR) atau Rasio Odds (OR), makin
meyakinkan bahwa asosiasinya adalah kausal. Persoalannya,
hubungan kuat sebagaimana dilaporkan tidak otomatis dapat
ditelan begitu saja sebagai hubungan yang bebas dari kesalahan
sistematis dan kesalahan random.
Cth : kebiasaan membawa korek api bukan merupakan kausa ca
paru, meski temuan menunjukkan asosiasi kuat. Kebiasaan
membawa korek api berkolerasi kuat dengan kebiasaan merokok
yang memberikan efek sesungguhnya bagi terjadinya ca paru.

Tidak setiap kausa komponen selalu berasosiasi kuat dengan


penyakit yang dihasilkannya; kekuatan asosiasi tergantung dari
prevalensi faktor-faktor lainnya.

Meskipun hubungan lemah tidak otomatis dianggap nonkausal,


namun kita dapat menduga bahwa peran peluang, bias dan
kerancuan cukup besar.

3. Spesifisitas
Kriteria spesifisitas menegaskan bahwa faktor
kausal menghasilkan hanya sebuah penyakit dan
bahwa penyakit itu dihasilkan dari hanya sebuah
kausa tunggal. Makin spesifik efek paparan, makin
kuat kesimpulan asosiasi kausal.
Kriteria ini acapkali dieksploitir para simpatisan
perokok untuk menyanggah hubungan sebab
akibat antara kebiasaan merokok dan ca paru.
Di lain pihak, spesifisitas itu tampaknya tidak
memiliki landasan yang kuat. Pengalaman hidup
berulang-ulang
mengajarkan,
bahwa
satu
peristiwa dapat mengakibatkan berbagai peristiwa
lainnya.

4. Hubungan Temporal
Untuk mempercayai sebuah faktor merupakan
kausa penyakit, maka harus dipastikan bahwa
paparan terhadap faktor itu berlangsung
sebelum terjadinya penyakit.
Kelemahan hubungan temporal adalah sulit
untuk penyakit yang memiliki periode laten
panjang. Cth : asbestosmemiliki periode laten
15 sampai 20 thn sebelum terjadi ca paru.
Namun jika ca paru sudah timbul 3 tahun sejak
paparan pertama, maka akankah begitu saja
disimpulkan bahwa asbestosis bukan kausa ca
paru?

5. Efek Dosis-Respons
. Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh
perubahan frekuensi penyakit menguatkan kesimpulan
hubungan kausal.
. Cth : apabila risiko terkena ca paru meningkat dengan
meningkatnya jumlah batang rokok yang diisap per hari,
maka keyakinan hubungan kausal antara merokok dan ca
paru makin kuat pula.
6. Biologic Plausibility
. Kriteria ini merujuk kepada koherensi hasil studi dengan
pengetahuan biologi saat ini. keyakinan hubungan kausal
makin kuat apabila dapat dijelaskan dengan masuk akal
dalam kerangka mekanisme biologi.
. Namun, ketiadaan dukungan pengetahuan biologis tidak
dapat dengan sendirinya menyingkirkan hubungan kausal.
Sebab, acapkali pengetahuan biologi yang ada tertinggal
dibandingkan dengan kemajuan pengamatan epidemiologi.

7. Koherensi
Kriteria koherensi menekankan bahwa berbagai bukti yang
tersedia tentang riwayat alamiah, biologi, dan epidemiologi
penyakit harus koheren satu dengan lainnya, membentuk
satu kesatuan pemahaman.
Hubungan kausal yang dihipotesiskan hendaknya tidak
menunjukkan kontradiksi dengan informasi yang diperoleh
dari berbagai sumber pengetahuan lainnya.
8. Bukti Eksperimen
Eksperimen
terandomisasi
dengan
double-blinding

pembutaan terhadap subyek penelitian dan pemberi


perlakuan agar tidak mengetahui status perlakuanmemberikan bukti kuat hubungan kausal.
Problem dalam kriteria ini, bukti-bukti eksperimen tidak selalu
tersedia. Pengontrolan ketat variabel-variabel dan situasi
dalam eksperimen menyebabkan hasil studi tidak cocok
diterapkan pada setting dunia nyata sehari-hari.

9. Analogi
Pada beberapa situasi, kriteria analogi dapat
dipakai sebagai pendukung hubungan kausal.
Cth
:
jika
sebuah
obat
(Thalidomide)
mengakibatkan cacat lahir, maka obat lain yang
mempunyai sifat farmakologi serupa dapat saja
memberikan akibat serupa.
Kriteria ini kurang kuat karena tidak spesifik.
Imajinasi para ilmuan dapat saja mencetuskan
banyak gagasan analogis sehingga analogi
menjadi tidak spesifik lagi untuk dipakai sebagai
dasar dukungan hubungan kausal.

Terima
Kasih

Vous aimerez peut-être aussi