Vous êtes sur la page 1sur 8

Patofisiologi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan


sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi
lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg (Sheps,2005).
Crowin (2001: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa : Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, Ayunan langkah yang
tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, Edema dependen dan pembengkakan
akibat peningkatan tekanan kapiler.
Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah
yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah : asupan garam, obesitas,
resistensi terhadap insulin, sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis
(Lumbantobing, 2008).
Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Curah jantung dan tahanan perifer
Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada
keseimbangan antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian
terbesar pasien dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang
normal, namun tahanan perifernya meningkat. Tahanan perifer ditentukan
bukan oleh arteri yang besar atau kapiler, melainkan oleh arteriola kecil,
yang dindingnya mengandung sel otot polos. Kontraksi sel otot polos diduga
berkaitan dengan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler
(Lumbantobing, 2008).
Kontriksi otot polos berlangsung lama diduga menginduksi perubahan
sruktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriola, mungkin
dimediasi oleh angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan
perifer yang irreversible. Pada hipertensi yang sangat dini, tahanan perifer
tidak meningkat dan peningkatan tekanan darah disebabkan oleh

meningkatnya curah jantung, yang berkaitan dengan overaktivitas simpatis.


Peningkatan tahanan peifer yang terjadi kemungkinan merupakan
kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan tidak disebarluaskan
ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu
homeostasis sel secara substansial (Lumbantobing, 2008).
2. Sistem renin-angiotensin
Sistem renin-angiotensin mungkin merupakan sistem endokrin yang paling
penting dalam mengontrol tekanan darah. Renin disekresi dari aparat
juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban terhadap kurang perfusi glomerular
atau kurang asupan garam. Ia juga dilepas sebagai jawaban terhadap
stimulasi dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008).
Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen)
menjadi angotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang kuat dan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Lumbantobing, 2008).
3. Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom dapat menyebabkan konstriksi arteriola dan
dilatasi arteriola. Jadi sistem saraf otonom mempunyai peranan yang penting
dalam mempertahankan tekanan darah yang normal. Ia juga mempunyai
peranan penting dalam memediasi perubahan yang berlangsung singkat
pada tekanan darah sebagai jawaban terhadap stres dan kerja fisik
(Lumbantobing, 2008).
4. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretic peptide/ANP)
ANP merupakan hormon yang diproduksi oleh atrium jantung sebagai
jawaban terhadap peningkatan volum darah. Efeknya ialah meningkatkan
ekskresi garam dan air dari ginjal, jadi sebagai semacam diuretik alamiah.
Gangguan pada sistem ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan hipertensi
(Lumbantobing, 2008).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001) .
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon

vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan


penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi
( Dekker, 1996 )

Hubungan data lab, pemeriksaan penunjang dengan diagnosa penyakit


Pada hipertensi derajat II (stage II) dan III mempunyai resiko terbesar untuk terkena resiko
serangan jantung, stroke, atau masalah lain yang berhubungan dengan hipertensi. Pemeriksaan
penunjang hipertensi meliputi pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai
terapi bertujuan untuk adanya kerusakan organ dan faktor resiko lain atau mencari penyebab

hipertensi. Biasanya diperksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah(kalium, natrium,
kreatinin, gula darah puasa, kolesterol total, kolesterol HDL). Sebagai tambahan dapat dilakukan
pemeriksaan lain seperti klirens kreatinin, protein urin 24 jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH,
ekokardiografi (Mansjoer,2001). Berdasarkan data laboratorium mengenai tekanan darah pasien
yang sudah mencapai 200/140 mmHg dari awal masuk rumah sakit dapat digolongkan bahwa
hipertensi pasien tersebut termasuk dalam kategori hipertensi stage II.

(JNC 7, 2003).
Pemerikasaan kadar ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai fungsi ginjal. Kadar
kretinin serum lebih berarti dibandingkan dengan ureum sebagai indikator laju glomerolus
(glomerolar filtration rate) yang menunjukkan derajat fungsi ginjal, Pemeriksaan yang lebih
tepat adalah pemeriksaan klirens atau yang lebih popular disebut creatinin clearance test (CTC).
Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan kemungkinan aldosteronisme
primer pada pasien hipertensi. Pemeriksaan urinalisa diperlukan karena selain dapat membantu
menegakkan diagnosis penyakit ginjal, juga karena proteinuria ditemukan pada hampir separuh
pasien. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada urin segar (Suyono,2001).
Pada hasil pemeriksaan lab yang sudah ada menunjukkan adanya kenaikan nilai trombosit dan
leukosit. Naiknya nilai trombosit dan leukosit berhubungan dengan luka memar dan robek di

dahi dari pasien. Trombosit atau platelet berfungsi membantu menghentikan pendarahan dengan
membentuk gumpalan dan keropeng. Nilai trombosit diatas normal biasanya terjadi pada kondisi
infeksi sama halnya dengan leukosit. Adanya peningkatan jumlah leukosit umumnya berarti
terdapat peningkatan produksi sel-sel untuk melawan infeksi. Salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya nilai leukosit adalah peradangan luka (Anonim,2010).

Pada kasus ini, pasien telah mendapatkan pengobatan berupa :


Obat

Dosis

Frekuensi

Amlodipin

1 mg

1x

Spironolakton

50 mg

1x

Captopril

25 mg

2x

Injeksi Ceftriaxon

1A

2x

Injeksi Brainact

1A

2x

Injeksi Ketolorac

30 mg

2x

Infus NaCl

20 tpm

Noperten

10 mg

22

Tanggal
23

24

1x

Assesment DRP dari terapi yang diberikan di atas adalah :


Tgl
2224

Subyektif
Riwayat
hipertensi

22

Hipertensi
stage II

22

Hipertensi
stage II

Obyektif
Tekanan Darah
(22 = 200/100,
23 = 180/80,
24= 170/80)
Tekanan Darah
(22 = 200/100,
23 = 180/80,
24= 170/80)
Tekanan Darah
(22 = 200/100,
23 = 180/80,
24= 170/80)

Assesment
Hipertensi
DRP : wrong dose (amlodipin 1 mg,
seharusnya 2,5-10 mg)
Hipertensi stage II
DRP : wrong drug (innappropriate
indication antara noperten (lisinopril)
dan amlodipin
Hipertensi stage II
DRP : wrong drug adanya 2 jenis
obat ACE inhibitor (captopril dan
lsiisnopril) untuk mengobati penyakit

pasien
23
Hipertensi
Tekanan Darah Hipetensi stage II
(22 = 200/100, DRP : wrog drug penggunaan
23 = 180/80, diuretik jenis aldosterone receptor
24= 170/80)
blocker untuk dikombinasikan dengan
dan Kalium = obat lain bukan merupakan first choice
3,7 mmol/L
pada terapi hipertensi stage II
22Muntah dan
Na = 148
Pemenuhan nutrisi pasien melalui TPN
24
rawat inap di mmol/L dan Cl DRP : wrong drug infus NaCl pada
rumah sakit
= 105 mmol/L saat kondisi pasien sedang hipertensi
diaman kadar Na dan Cl-nya normal
serta mencukupi
22Luka memar di
Leukosit =
Pusing, inflamasi dan infeksi pada
24
dahi, geriatri
17600 u/mL, kepala
trombosit =
DRP : wrong drug penggunaan
403.000 u/mL NSAID pada pasien hipertensi dan
dan
geriatri
penggunaan
NSAID
(JNC 7, 2003); (Al Amrie, 2013)
Algoritma terapi hipertensi

(JNC 7, 2003)
Dapus

Dekker, E. (1996). Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : CV Muliasari.


Lumbantobing, 2008, Tekanan Darah Tinggi, FKUI, Jakarta.
Corwin, Elizabeth J, 2001, Buku Saku Patifisiologi, EGC, Jakarta.
Suyono,Slamet.2001.Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II.Jakarta: Balai Pustaka
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aescucaliptus
FKUI
Anonim.2010. Hitung Darah Lengkap. http://spiritia.or.id/li/pdf/LI121.pdf diakses tanggal 19-314
Chobanian AV, Bakris GI, Black HR, et al. 2003. The seventh report of the Joint National
Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood

pressure : The JNC 7 report. U.S. Department of Health and Human Service. NIH
Publication.
Al Amrie, Achmad Fauzi. 2013. Hubungan Gagal Ginjal dengan Diabetes dan Hipertensi serta
Alasan NSAID Bersifat Nefrotoksik. Makalah. Program Studi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Padjajaran.
http://www.scribd.com/doc/128120459/Gagal-Ginjal-Dan-Diabetes-Hipertensi-Dan-NSAID

Vous aimerez peut-être aussi