Vous êtes sur la page 1sur 21

Fitria Fadzri R.

1102012091 A8

LI 1. Malpraktek
1. Definisi Malpraktek
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah
Involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct
cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan
terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang
menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma
etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas
tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
2. Jenis-jenis Malpraktek
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah
dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan
malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar
malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice)
yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik
(yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik
perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

a. Malpraktik Medik (medical malpractice)


John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in
whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission
by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang
menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari
perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or
lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for
demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar
dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang
dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena
malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan
yang sama.
b. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat
standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
c. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
d. Malpraktik Yuridik meliputi:
a. Malpraktik Perdata (civil malpractice0
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang
dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni
a Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
b Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
dokter dapat dipersalahkan.
c Direct Cause (hubungan sebab akibat yang nyata)
d Damage (kerugian)
yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea)
berupa kesengajaan atau kelalauian.
Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e Membuat visum et repertum tidak benar
f Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli.
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
a Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
3

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

b
c

Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal


Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

c. Administrative malpractice (Misfeasance)


Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d Tidak membuat rekam medik.
3. Penanganan
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan
kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik
medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan
pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 359
KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau
dokter gigi.
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1 Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2 Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3 Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1 Adanya unsur kelalaian (culpa).
2 Adanya wujud perbuatan tertentu .
3 Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4 Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Tiga tingkatan culpa:
Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or
neglect)
Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241)
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan buktibuktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan
yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, the thing speaks for itself) sehingga
tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

4. Aspek Hukum dan Sanksi


1 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2 Pasal 359 360 KUHP Pidana
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan
atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
5. Pencegahan
a Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
b Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai
sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsurunsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
5

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh
daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
LI 2. Informed Consent
1

Definisi
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Dari pengertian di atas PTM adalah persetujuan yang
diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun
yang akan dilakukan.

Tujuan
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan
teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Manfaat
a Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.

Bentuk
a Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
b Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa
membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.
c Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi
prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan
kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.

5 Persetujuan
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah
untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu fraudulent concealment. Pasien yang akan menjalani
operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat
saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent
dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed
consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien.
Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak
dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed
consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan.
Otoritas untuk memberikan persetujuan
Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak
mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai
akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika
pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan
harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
7

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak
rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai
keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang
diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi
dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien,
meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter
perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan
keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada
kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika
memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa
inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
Kemampuan memberi perijinan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait
dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak
menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha
persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang
ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak
atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien
inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:
1 Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)
2 Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
(1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.
3 Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l)
Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.
4 Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan hak
sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara kandung.
5 Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut
urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.
6 Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut urutan
hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung, d.
Saudara-saudara kandung.
Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
8

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk
mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.
6

Isi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta
atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik
diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative
terapi (Hanafiah, 1999).\
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan
memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1 Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2 Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3 Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4 Alternative metode perawatan / pengobatan.
5 Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6 Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam
melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan
adalah:
1 Diagnosa yang telah ditegakkan.
2 Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3 Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4 Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5 Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6 Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
9

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
KETENTUAN INFORMED CONSENT
Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1 Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (sop) dan
ditetapkan tertulis oleh pimpinan rs.
2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3 Informed consent dianggap benar :
Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat
mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)
Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)
Tentang risiko
Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative
medical procedure and risk)
Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
Diagnosis
5 Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang bersangkutan
6 Cara menyampaikan informasi
Lisan
Tulisan
7 Pihak yang menyatakan persetujuan
a Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
10

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Ayah/ibu kandung
Saudara saudara kandung
c Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
Ayah/ibu adopsi
Saudara-saudara kandung
nduk semang
d Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
Ayah/ibu kandung
Wali yang sah
Saudara-saudara kandung
e Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
Wali
Kurator
f Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
Suami/istri
Ayah/ibu kandung
Anak-anak kandung
Saudara-saudara kandung
8 Cara menyatakan persetujuan
Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
Lisan; tindakan tidak beresiko
9 Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
10 Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11 Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah
satu saksi
Materai tidak diperlukan
Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi
Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya
12 Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.
LI 3. Alur

11

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang bertanggung
jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan
pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.
Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis,
MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang dibentuk
apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah. MKEK
bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai
dengan tingkat kepengurusan. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI Kepengurusan MKEK
sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK wilayah dan cabang
mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang, sesuai dengan tingkat
kepengurusan.
Tugas dan wewenang
12

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan
yang ditetapkan muktamar.
Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur
kedokteran.
Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar, pengurus
wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia.
Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.

Manfaat Pedoman MKEK


Pedoman MKEK ini merupakan jabaran dan pedoman pelaksanaan dari Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga IDI tentang MKEK dalam rangka pengaturan substansi etika
kedokteran bagi setiap pengabdian profesi dokter di Indonesia, penegakan, pengawasan,
bimbingan, penilaian pelaksanaan, penjatuhan sanksi etika, rehabilitasi (pemulihan hak-hak
profesi), dan interaksi kelembagaan MKEK dengan sesama perangkat dan jajaran internal IDI
atau lembaga etika lainnya di luar IDI.
Status MKEK:
o Sebagai badan otonom IDI
o Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
o Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI
Kewajiban MKEK
1 MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter pasien sebagai hubungan
kepercayaan.
2 MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada
Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke
Rapat Anggota Cabang IDI setempat
3 MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila secara
eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4 MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas pengetahuan,
sikap dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang memerlukannya.
Fungsi
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya

13

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Tatacara Pengelolaan
a Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar, musyawarah
wilayah, dan musyawarah cabang.
e
MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain yang
ditentukan sendiri oleh MKEK.
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :
1 Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2 Menetapkan sanksi disiplin.
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi Menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.
Tujuan penegakan disiplin adalah :
1 Memberikan perlindungan kepada pasien.
2 Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3 Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.
Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI
MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi profesi,
1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana hukum.
Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi profesi. Masa
bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan lagi.
Tugas MKDKI :
a menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi yang diajukan dan
b menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.

14

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:


a menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan
keduanya
c memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f melaksanakan keputusan MKDKI
g menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
h menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
i membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada Konsil
Kedokteran Indonesia
k mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan MKDKI-P
mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan
MKDKI.
Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan menerapkan kaidahkaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis, tindakan pengobatan,
menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar Kompetensi, Standar Perilaku
Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinis
Tujuan Penegakan Disiplin Kedokteran
Tujuan utama adalah untuk proteksi pasien. Tujuan lainnya yaitu untuk menjaga mutu dokter
atau dokter gigi dan juga untuk menjaga kehormatan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pelanggaran Disiplin
Sesuai putusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006
1 Kegagalan penatalaksanaan pasien oleh karena:
- Ketidakcakapan (Incompetence)
- Kelalaian (Gross Negligence)
2 Perilaku tercela (menurut ukuran profesi)
3 Ketidaklayakan fisik dan mental (Unfit to practice)
Atau dengan kata lain
Tidak memenuhi:
1 Standard of care, Clinical Standard
2 Standard of competence
3 Standard of professional atitude
Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran
1 Tidak kompeten
2 Tidak merujuk
3 Dokter atau dokter gigi pengganti tidak diberitahu ke pasien, Tidak memiliki SIP
15

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Tidak layak praktik (kesehatan fisik dan mental)


Kelalaian dalam penatalaksanaan pasien
Pemeriksaan dan pengobatan berlebihan
Tidak memberikan informasi yang jujur
Tidak ada informed consent
Tidak membuat atau menimpan rekam medis
Penghentian kehamilan tanpa indikasi medis
Euthanasia
Penerapan pelayanan yang belum diterima ilmu kedokteran
Penelitian klinisi tanpa persetujuan etis.
Tidak memberi pertolongan darurat.
Menolak atau menghentikan pengobatan tanpa alasan yang sah
Membuka rahasia medis tanpa izin
Membuat keterangan medis tidak benar
Ikut serta tindakan penyiksaan
Peresepan obat psikotropik/narkotik tanpa indikasi
Pelecehan seksual, initimidasi, dan kekerasan
Penggunaan gelar akademik atau profesi palsu
Menerima komisi terhadap rujukan atau resepan
Pengiklanan diri yang menyesatkan
STR, SIP, Sertifikan kompetensi tidak sah
Imbalan jasa tidak sesuai tindakan.

Proses Pengaduan Pelanggaran


TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI
TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)
PENGADUAN (ADMISSION)
VERIFIKASI
PEMERIKSAAN AWAL OLEH MPA
INVESTIGASI (INQUIRY)
TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)
PEMERIKSAAN DISIPLIN OLEH MPD
PEMBUKTIAN
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)
PEMBACAAN KEPUTUSAN
PENGAJUAN KEBERATAN TERADU (JIKA ADA)
PENYAMPAIAN KEPUTUSAN KEPADA PIHAK TERKAIT
Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau
ketentuan dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi
dianggap melanggar disiplin kedokteran bila :
1 Melakukan praktik dengan tidak kompeten
16

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

2
3

Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal ini
tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya

Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran


dalam berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan medis
yang tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak menangani pasien
tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga,
melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada saat membutuhkan penanganan
segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan tambahan/pengobatan yang berlebihan,
bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb
Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :
1 Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.
2 Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah
tanggal 6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran)
3 Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4 Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1 Identitas pengadu/pelapor;
2 Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3 Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4 Waktu tindakan dilakukan;
5 Alasan pengaduan dan kronologis;
6 Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1 Pemberian peringatan tertulis
2 Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi
MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter
teradu:
1 MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh dokter/dokter
gigi
2 MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan
melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
17

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

3
4

MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya


MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya

Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter
gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua
MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan
tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya
LI 4. Malpraktek dalam Hukum Islam
BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa digolongkan
sebagai berikut:
1. Tidak punya keahlian ( jahil ).
Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau
memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki
keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung oleh Nabi
-shallallah 'alaihi wasallam- dalam sabda beliau:


"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggungjawab.
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus
bertanggungjawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus
dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini
dan tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh
seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian
semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya,
maka ia bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).
Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya.Misalnya
tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
18

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab


terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab
jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).
4. Sengaja menimbulkan bahaya ( I'tida' ).
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja.Ini adalah bentuk malpraktek
yang paling buruk.Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang
melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi
dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena
berhubungan dengan isi hati orang.Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan
pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga mengetahui kesengajaan ini melalui indikasiindikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas.Misalnya, adanya
perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan.Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya.Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam.Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka
meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat
manusia.Sebaliknya jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti,
pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan pelaku malpraktek ( iqrar ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih
mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini
menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil.
Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan
kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa
disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria.
Di samping memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan
ada tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya ).
3. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash.
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
menimbulkan bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan
memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika
memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki
mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja."
19

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

2. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat).


Bentuk tanggungjawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua
bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB
Tanggung jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak
langsung.Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja
merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi
malpraktek.Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan
dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggungjawab. Kadang
juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggungjawab bersamanya. Karenanya rumah sakit atau
klinik juga bisa ikut bertanggungjawab jika terbukti teledor dalam tanggung jawab yang
diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya dalam
keadaan mengetahui mempekerjakan dokter yang tidak ahli.

20

Fitria Fadzri R. 1102012091 A8

AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public
health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)
Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.
Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC . 1998
National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available
at:wwww.cancer.gov/ClinicalTrials
World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries, 2006
Diakses dari http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

21

Vous aimerez peut-être aussi