Vous êtes sur la page 1sur 46

BAB I

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun


yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat
sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat
penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan
penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibodi tubuhnya
sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis,
dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah
neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi

remisi

serta

mempertahankan

remisi

selama

mungkin

pada

perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka


pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing
individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obatobat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi
penelitian para ilmuwan.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama

: NNA

Umur

: 37 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia
Agama

: Hindu

Pendidikan

: Tamat SD

Status

: Sudah menikah

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

: Ulundanu, Songan

MRS

: 10 Desember 2015

Tanggal pemeriksaan: 11 Desember 2015


B. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama: Nyeri pada kedua lutut
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada kedua lutut sejak 6 bulan yang
lalu dan memberat sejak 2 hari yang lalu. Nyeri pada kedua lutut disertai dengan
rasa kaku. Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul dan rasanya
seperti diperas dan menghilang beberapa saat kemudian setelah di istirahatkan.
Rasa nyeri pada lutut membuat pasien kesulitan untuk berdiri dan menyangga
tubuhnya apalagi digunakan untuk berjalan sehingga pasien harus dipapah. Selain
itu pasien merasakan lemas pada seluruh tubuhnya sejak 2 hari yang lalu. Hal ini
membuat pasien hanya berbaring di tempat tidur saja.
Pasien juga mengatakan terdapat keluhan sesak sejak 1 bulan yang lalu.
Sesak dikatakan memberat saat pasien melakukan aktivitas berat dan membaik
apabila pasien beristirahat.

Selain itu pasien juga mengeluhkan wajahnya menjadi bengkak sejak 2


bulan yang lalu. Pada tangan dan kaki pasien dikatakan terdapat bercak bercak
kemerahan yang tidak gatal. Rambut pasien juga dikatakan mengalami kerontokan
sejak 1 tahun terakhir. Terdapat keluhan mual dan muntah sejak 1 bulan terakhir
yang menyebabkan nafsu makan pasien menurun. BAB dan BAK dikatakan
normal oleh pasien.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Pasien mengatakan nyeri dan kaku pada kedua sendi sudah dirasakan
sejak kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu. Pasien sudah sempat berobat ke dokter
di dekat rumahnya dan dikatakan menderita rematik serta asam urat. Pasien
sempat diberikan obat oleh dokter kemudian setelahnya pasien membeli sendiri
obat untuk menghilangkan rasa sakit. Pasien juga mengatakan ia mengkonsumsi
jamu untuk meredakan kaku serta nyeri pada kedua lututnya.
Riwayat penyakit keluarga:
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami hal yang sama
seperti pasien. Riwayat penyakit kronis seperti Diabetes Melitus, penyakit jantung
dan hipertensi dalam keluarga disangkal oleh pasien.
Riwayat lingkungan sosial:
Penderita sudah menikah dan merupakan seorang ibu rumah tangga.
Karena sakit pada lututnya, pasien tidak bisa bekerja dengan aktivitas berat dan
lebih sering berbaring di tempat tidur.

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran

: Compos mentis (GCS: E4V5M6)

Tinggi badan

: 155 cm

Berat badan

: 50 kg

BMI

: 22,2 kg/m2
3

Gizi

: Cukup

Tekanan darah

: 90/70 mmHg

Nadi

: 96 kali/menit, reguler, isi cukup

Respirasi

: 26 kali/menit, teratur

Temperatur aksila

: 36,5 C

Skala Nyeri

: 4, pada daerah epigastrium

Pemeriksaan Fisik Khusus


Mata

: anemis (+/+), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,


edema palpebra (-/-)

THT
Telinga

: sekret tidak ada, pendengaran tidak ada

Hidung

: sekret tidak ada

Tenggorokan

: tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Lidah

: ulkus (-), papil lidah atrofi (-)

Kelenjar parotis

: tidak ditemukan pembesaran

Mukosa bibir

: kering, stomatitis angularis (-)

Leher
JVP

: PR + 0 cmH2O

Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran


Kelenjar parotis & tiroid : tidak ditemukan pembesaran
Thoraks
Cor:

Inspeksi

: tidak tampak pulsasi iktus kordis, spider nevi (-),

Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS V 2 cm dari midclavicular


line sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)

Perkusi

: batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra,


batas kanan jantung parasternal line dekstra, batas
kiri jantung 3 cm dari midclavicular line sinistra ICS
V

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo:

Inspeksi

: simetris saat statis & dinamis, retraksi (-), spider nervi


(-),

Palpasi

: vokal fremitus (/N)

Perkusi

: sonor/sonor
redup/redup
redup/redup

Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/+/+

+/+

-/-

+/+

+/+

-/-

Abdomen
Inspeksi

: distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal, venous hum/hepatic bruit (-),


Hepatic friction rub (-)

Palpasi

: Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak


teraba

Perkusi

: Timpani, Shifting dullness (-)

Ekstremitas

: hangat +/+
+/+

edema /
/

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (10-12-2015)
Parameter

Remark

Unit

Reference Range

103/L

3,5-10,0

WBC

7,2

LYM

1,8

26%

103/L

0,5-5,0

MID

0,4

4,5%

103/L

0,1-1,5

GRAN

5,0

69,5%

103/L

1,2-8,0

RBC

4,13

106/L

3,50 5,50

HGB

10,2

g/dL

11,50 16,50

HCT

29,7

35,0 55,0
5

MCV

71,8

fL

75,0 100,0

MCH

24,7

pg

25,0 35,0

MCHC

34,3

g/dL

31,0 38,0

PLT

300

103/L

150 400

MPV

5,9

Fl

8,0-11,0

Kimia Darah (10-12-2015)


Parameter

Remark

Unit

Reference

BUN

31,76

mg/dL

Range
10,00 50,00

Creatinine

0,56

mg/dL

0,50 1,10

Gula darah sewaktu

100

mg/dL

75,0 115,0

Urine Lengkap (10-12-2015)


Parameter

Hasil

Warna

Kuning

BD

1,005

PH

Leucosit

Negative

Nitrit

Protein

Reduksi

Keton

Urobilinogen

Bilirubin

Blood

Sedimen
-

Eritrosit

0-1

Leukosit

0-1

Epitel cell

Banyak
6

Kristal

Silinder

Bakteri

Foto Klinis Pasien

Gambar 1. Malar Rash pada pasien

Gambar 2. Pembengkakan pada kedua lutut pasien curiga kearah artritis

Thoraks PA

Cor : Membesar dan pinggang jantung melebar


Pulomo : infiltrat (-)
Sinus pleura : kanan dan kiri tumpul
Tulang : tidak ditemukan kelainan

Kesan : Cardiomegaly + Efusi pleura


Foto Genu AP/Lateral

Kesan : Osteoartritis bilateral

Elektrokardiogram

Irama

: Irama Sinus

Heart Rate

: 102 x/menit reguler

Axis

: Axis normal

Gelombang P

: Normal

PR Interval

: Normal

Komplek QRS

: Normal

Segmen ST

: ST Change (-)

Gelombang T

: Normal

Kesimpulan : Sinus Takikardi


E. Diagnosis

SLE
Susp rhemautoid artritis dd septic arthritis
Efusi pleura bilateral
Cardiomegaly
9

10

F. Penatalaksanaan
Masuk Rumah Sakit (MRS)
02 2 lpm
IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
Ondansentron 3x4mg i.v
Pantoprazole 1x40 mg i.v
Antasida syrup 3x 10cc
Parasetamol 3x750 mg
Natrium diclofenac topikal
Planning Diagnostik:
ANA test
Echocardiography
Monitoring:
Keluhan
Tanda vital
CM-CK
Darah lengkap
G. Prognosis
Dubius
H. Perkembangan Pasien
Tgl
12/12

S
O
Nyeri kedua Vital sign

A
- SLE

lutut (+)

TD : 120/90 mmHg

- Observasi

Sesak (+)

Nadi : 80 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

Mual (+)

RR : 22x/menit

ec

- Pantoprazole

Muntah (+)

Temp : 360C

cardiomyopat

St. General

hy

Mata : anemis +/+

P
- IVFD Nacl 20

susp

tpm

1x40 mg
- Captopril
3x6,25 mg

Thorax : cor S1 S2

- Parasetamol

tunggal regular murmur

3x750mg

(-), pulmo vesikuler +/+

- Planning : cek
11

wheezing -/- rhonki +/+

albumin

Abdomen : distensi (-),


bising usus + normal
Ekstremitas
13/12

akral

hangat (+), edema (-)


Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (+)

TD : 110/80 mmHg

- Observasi

Sesak (+)

Nadi : 84 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

Mual (+)

RR : 20x/menit

ec

- Pantoprazole

Muntah (-)

Temp : 36,20C

cardiomyopat

St. General

hy

- IVFD Nacl 20

susp

tpm

1x40 mg
- Captopril

Mata : anemis +/+

3x6,25 mg

Thorax : cor S1 S2

- Parasetamol

tunggal regular murmur

3x750mg

(-), pulmo vesikuler +/+


wheezing -/- rhonki +/+
Abdomen : distensi (-),
bising usus + normal
Ekstremitas
14/12

akral

hangat (+), edema (-)


Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (+)

- Observasi

Sesak

TD : 90/60 mmHg
saat Nadi : 84 x/menit

- IVFD Nacl 20
tpm

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)
- Pulse

berjalan (+)

RR : 20x/menit

ec

Mual (-)

Temp : 36,40C

cardiomyopat

metilprednisolo

Muntah (-)

St. General

hy

susp

dose

(500

mg

Mata : anemis +/+

metilprednisolo

Thorax : cor S1 S2

n dalam 250 cc

tunggal regular murmur

Nacl 0,9% habis

(-), pulmo vesikuler +/+

dalam 1 jam)

wheezing -/- rhonki +/+

- Captopril

Abdomen : distensi (-),

3x6,25 mg

bising usus + normal

tunda
12

Ekstremitas

- Parasetamol

akral

hangat (+), edema (-)

3x750mg
- Planning

15/12

Albumin : 2,50
Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (-)

- Observasi

TD : 90/60 mmHg

cek

DL ulang
- IVFD Nacl 20
tpm

Nadi : 84 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

RR : 20x/menit

ec

- Pulse

Temp : 36,40C

cardiomyopat

metilprednisolo

St. General

hy

susp

dose

(500

mg

Mata : anemis +/+

metilprednisolo

Thorax : cor S1 S2

n dalam 250 cc

tunggal regular murmur

Nacl 0,9% habis

(-), pulmo vesikuler +/+

dalam 1 jam)

wheezing -/- rhonki +/+

- Captopril

Abdomen : distensi (-),

3x6,25 mg

bising usus + normal


Ekstremitas

akral

hangat (+), edema (-)


Hasil DL
WBC : 2,4
HGB : 9,4
HCT : 27,9
MCV : 71,4
MCH : 24,3
MCHC : 34,0
16/12

PLT : 252
Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (+)

- Observasi

TD : 120/80 mmHg

- IVFD Nacl 20
tpm

Nadi : 88 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

RR : 20x/menit

ec

- Pulse

Temp : 36,20C

cardiomyopat

susp

dose

metilprednisolo
13

St. General

hy

metilprednisolo

Thorax : cor S1 S2

n dalam 250 cc

tunggal regular murmur

Nacl 0,9% habis

(-), pulmo vesikuler +/+

dalam 1 jam)
- Captopril

Abdomen : distensi (-),

3x6,25 mg
- Parasetamol

bising usus + normal


Ekstremitas

akral

3x750mg
- Diazepam

hangat (+), edema (-)

1x2mg (malam)
- IVFD Nacl 20

Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut

- Observasi

(+) TD : 120/80 mmHg

tpm

berkurang

Nadi : 80 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

Mual (+)

RR : 20x/menit

ec

- Metilprednisolo

Temp : 360C

cardiomyopat

St. General

hy

susp

n 2x62,5 mg iv
- Captopril

Mata : anemis +/+

3x6,25 mg

Thorax : cor S1 S2

- Parasetamol

tunggal regular murmur

3x750mg

(-), pulmo vesikuler +/+

- Diazepam

wheezing -/- rhonki +/+

1x2mg (malam)

Abdomen : distensi (-),

- Pantoprazole

bising usus + normal


Ekstremitas
18/12

mg

Mata : anemis +/+

wheezing -/- rhonki +/+

17/12

(500

2x40mg

akral

- Sucralfat

syr

hangat (+), edema (-)


Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (+)

TD : 110/80 mmHg

- Observasi

Mual (-)

Nadi : 80 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

Kaki

RR : 20x/menit

ec

- Metilprednisolo

bengkak (+)

Temp : 360C

cardiomyopat

St. General

hy

Mata : anemis +/+

3x15cc
- IVFD Nacl 20

susp

tpm

n 2x62,5 mg iv
- Captopril
3x6,25 mg
14

Thorax : cor S1 S2

- Parasetamol

tunggal regular murmur

3x750mg

(-), pulmo vesikuler +/+

- Diazepam

wheezing -/- rhonki +/+

1x2mg (malam)
- Pantoprazole

Abdomen : distensi (-),


bising usus + normal
Ekstremitas

2x40mg

akral

- Sucralfat

hangat (+), edema (+)

syr

3x15cc
- Furosemide 40-

19/12

40-0 mg iv
- IVFD Nacl 20

Nyeri kedua Vital sign

- SLE

lutut (+)

TD : 110/80 mmHg

- Observasi

Kaku (+)

Nadi : 80 x/menit

Cardiomegaly

- O2 2 lpm (k/p)

Kaki

RR : 20x/menit

ec

- Metilprednisolo

bengkak (+)

Temp : 360C

cardiomyopat

St. General

hy

susp

Mata : anemis +/+

tpm

n 2x62,5 mg iv
- Captopril
3x6,25 mg

Thorax : cor S1 S2

- Parasetamol

tunggal regular murmur

3x750mg

(-), pulmo vesikuler +/+

- Diazepam

wheezing -/- rhonki +/+

1x2mg (malam)

Abdomen : distensi (-),

- Pantoprazole

bising usus + normal


Ekstremitas

2x40mg

akral

- Sucralfat

hangat (+), edema (+)

syr

3x15cc
- Furosemide 40-

21/12

Nyeri kedua Vital sign

- SLE Sedang

20-0 mg iv
- IVFD Nacl 20

lutut (+)

TD : 110/80 mmHg

tpm

Sesak (+)

Nadi : 80 x/menit

Kaki

RR : 20x/menit

bengkak (+)

Temp : 360C

- Azathioprin

St. General

2x50 mg

- Metilprednisolo
n 2x32mg p.o

15

- Furosemide 40-

Mata : anemis +/+


Thorax : cor S1 S2

40-0 mg iv

tunggal regular murmur

- Spironolactone

(-), pulmo vesikuler +/+

100mg 1-1-0
- Planning : rujuk

wheezing -/- rhonki +/+


Abdomen : distensi (-),

RSUP Sanglah

bising usus + normal

untuk

Ekstremitas

Azathioprin,

akral

hangat (+), edema (+)

terapi

echocardiograph
y

ANA Test (+) > 1:320


pattern homogen
22/12

- SLE Sedang

Nyeri kedua Vital sign


lutut (+)

TD : 110/70 mmHg

- IVFD Nacl 20
tpm
- Metilprednisolo

Nadi : 80 x/menit
RR : 20x/menit

n 2x32mg p.o

Temp : 36,70C

- Azathioprin

St. General

2x50 mg

Mata : anemis +/+

- Furosemide 40-

Thorax : cor S1 S2

40-0 mg

tunggal regular murmur

- Spironolactone

(-), pulmo vesikuler +/+

100 mg 1-1-0

wheezing -/- rhonki +/+

- Planning : rujuk

Abdomen : distensi (-),

RSUP Sanglah

bising usus + normal

untuk

Ekstremitas

Azathioprin,

akral

hangat (+), edema (+)

terapi

echocardiograph
y

ANA Test (+) > 1:320


pattern homogen

16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Berdasarkan Harrisons Principles of internal medicine 18th edition,
Systemic Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan
pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Sistemic Lupus Erythematosus juga merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen
inti sel yang berhubungan dengan manifestasi yang luas, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

3.2 Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya
lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.
17

SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade
kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru
pada sekitar usia 50 tahun. Penyakit ini terjadi lebih sering pada pada wanita di
usia melahirkan anak tahun 15 sampai 35. Distribusi jenis kelamin cukup jelas;
SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada
pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali
lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria
adalah 8:1.1,2,3,4
3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal.1,2.3
3.3.1 Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen,
pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T
dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang
mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini
adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated
circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan
kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi
pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama
apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah
18

orientasi sehingga bagian antigen menjadi dekat dengan permukaan. Molekul


intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi ke
permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini
dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu
dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak
mumpuni. Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang
dikenali oleh sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada
titik kritis.2,3
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan
konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan
lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di
serum terhadap antigen nukleus (antinuclear antibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar
berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,
antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.1,3
Tabel 1. Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain
Antibodi
Insidensi
Antigen
Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA
70%
DNA
Anti-DNA untaiganda
spesifik
SLE;

adalah
untuk
anti-DNA

untai-tunggal tidak
Anti-Sm
Anti-RNP

30%
40%

Ribonukleoprotein (Ag Smith)


Ribonukleprotein

spesifik
Spesifik untuk SLE
Titer tinggi pada
penyakit

Anti-histon

70%

Histon

jaringan

ikat campuran
Positif pada 95%
kasus SLE yang

Anti-Ro(SS-A)

30%

Ribonukleprotein

diinduksi obat
Berkaitan dengan
19

sindrom
Anti-LA(SS-B)

10%

Sjgren

Ribonukleprotein

dan nefritis
Berkaitan dengan

Anti-sentromer

<5%

Sentromer

sindrom Sjgren
Berkaitan dengan

Anti-Sci 70

<5%

Topoisomerase DNA

sindrom CREST
Berkaitan dengan

Anti-Jo 1

<5%

tRNA sintetase

sklerosis sistemik
Berkaitan dengan
polimiositis

Antibodi lain
Antikardiopilin

50%

Fosfolipid

Berkaitan

dengan

thrombosis, aborsi
spontan;
antkoagulan lupus;
VDRL
Antieritrosit
Antitrombosit
Antilimfosit
Antineuronal

60%
?
70%
60%

Antigen permukaan eritrosit


Antigen permukaan trombosit
Antigen permukaan limfe
Antigen permukaan neuron

positif

palsu
Hemolisis (jarang)
Trombositopenia
(?) disfungsi sel T
(?) Lupus system
syaraf pusat

3.3.2 Faktor Lingkungan


Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor
yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis
atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau
disregulasi sel imun kulit.
Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan
lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE.
Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat
menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE. Penyakit
diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi
20

antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering


menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear
secara bertahap.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab
lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai
pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan
ini.3
Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan
terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan
sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien mengidap
SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali
diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa
retrovirus dapat menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE
meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan
psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam kemunculan SLE, dan kausalitas
hubungan ini masih spekulatif.2,3
3.3.3 Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,
peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi
pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi
yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi
hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit
pada wanita penderita SLE yang penyakitnya stabil.3
3.4 Patofisiologi
21

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi


genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai
agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada
manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki
oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)
berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi
efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi
kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase
puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi
selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.2,3,4
3.5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem dari
manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .1,2,3,4,5
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan
gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau
tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan
22

aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,
pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE
dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada
pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit,
khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE. 1,2,3,4,5
3.5.1 Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana
peningkatan berat badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan
malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan seringkali merupakan
gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum
jelas.

Aktivitas

penyakit,

efek

samping

pengobatan,

gangguan

neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala


konstitusional. 1,4
3.5.2 Manifestasi Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid
dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada
bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi
karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut.
Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.Lesi diskoid berkembang melalui 3
tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan
23

folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk
vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang
ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kualit kepala, namun biasanya muncul pada
puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari
infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang
mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjgren. Umumnya mata dan mulut
kering merupakan efek samping pengobatan.4,5
3.5.3 Manifestasi Muskuloskeletal
Gejala gejala muskuloskeletal pada pasien SLE yang paling sering berupa
artritis atau artralgia (93 %) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya
termasuk kelas I (non-inflamasi) ,kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi).
Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis.
Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
reumatoid.Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau
antimalaria Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon dapat
merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis (nekrosisavaskular)
dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya
terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan
mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh

24

penyakit,

efek

samping

pengobatan,

glucocorticoid

withdrawal

syndrome,

endokrinopati, dan faktor psikogenik. 1,2,3


3.5.4 Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,
atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5
Endokarditis

trombotik

nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali

tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau
katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan
infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang
yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering
ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering
tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada
sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien
SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30%
pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada
semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi
protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan
terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.
3.5.5 Manifestasi Paru

25

Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral..
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Pleurisy sering
ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan bukti
radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, pneumonitis
atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta infiltrate paru
jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat
timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka mortalitas yang
sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik pada paru
mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan
prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan,
termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren
disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4
3.5.6 Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali
tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus
agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan
minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom
nefrotik,

dengan

proteinuria

berat,

hipoalbuminemia,

edema

perifer,

hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi,


sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan
laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia.
5

3.5.7 Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik


Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan
beberapa

26

sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi


dari
ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke).Manifestasi utama dari
Lupus SSP :
1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)
2. Sakit kepala
3. Seizure
4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)
5. Meningitis aseptik
6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian bagian otak yang berbeda)
7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan
dan

kaki)

8. Gangguan pergerakan
9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)
10. visual alternation
11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan
suatu
sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan
inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu
dari
dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of
Rheumatology.
Sindrom klinis lupus SSP biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit
(lebih dari 80% kejadian timbul saatlima tahun pertama dari perjalanan penyakit),
yang ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam,
seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour.
MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multiple. Manifestasi lupus
pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien lupus
mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan
jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental

27

yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan kerusakan


permanen pada SSP.
3.5.8 Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual,
khas untuk pasien SLE. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Peritonitis steril dengan asites jarang
namun merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas
berhubungan dengan terapi,yaitu NSAID dan atau gastropati terkait glukokortikoid.
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai dengan ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau
kembali normal.Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau
merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan
dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan
hepatitis autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga
dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan
hati dengan peningkatan transaminase ringan.4
3.5.9 Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering
namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat
disebabkan oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin
rendah, dan kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan
perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng
dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia
ringan (100000 sampai 150 000/ l) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ l), disebabkan oleh
28

antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin


didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5
3.5.10 Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom
Sjgren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik
atau oklusi arteri atau vena retina. 3,4,5
3.5.13 Temuan Laboratorium
Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan diagnosis;
(2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi efek samping
terapi.
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti
anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis.
Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi
ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi,
namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik.
Sedimen eritrosit merupakan tanda glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi
hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap
darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat
meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE
dibandingpada penyakit infeksi. 1,2,3,4,5
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini
positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG
terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik
untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan
diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit
atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya
memenuhi salah satu kriteria dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko
penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan kematian janin.
29

Uji

autoantibodi

tambahan

dengan

nilai

prediktif

(tidak

digunakan

untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE
harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen
hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga
dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah
menggambarkan aktivasi komplemen.
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar
protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun
kadar dalam serum negatif.3,4
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan
gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan
dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat
keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan
mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran
histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5
3.6 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan
memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,
pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan
anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria,
piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin,
antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga
membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap
penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami
ruam,

artritis,

dan

penyakit

ginjal

namun

lebih

sering

mengalami

keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjrgen); serta lelaki lebih sering mengalami


serositis dan lebih jarang mengalami artritis. 1,2,3,4,5

30

Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini
sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,
nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan
SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE
(hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau
definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrisons
Principles of Internal Medicine, 17 th edition)
Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular
plugging; atrophic scarringmay occur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or
effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or 3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/L) or lymphopenia (<1500/L) or
thrombocytopenia(<100,000/L) in the absence of offending drugs
31

Immunologic disorder
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any
point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs
If 4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's
history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is ~95%: sensitivity is ~75%.
3.7 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE7
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
32

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),


trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis
vena atau arteri.
3.8 Penatalaksanaan
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain
3.8.1 Edukasi dan Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga
yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
3.8.2 Rehabilitasi
33

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi
rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3.8.3 Medikamentosa
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh
NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan
tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan
resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif
dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak
enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadangkadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna
terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena.
Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan
dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar 1,3,4.
34

Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk


pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk
diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata
jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini.
Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal
pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan
serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah
abnormal yang luas. 1,2,6
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti
chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan
hydroxychloroquine.
Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat
(Retin-A)2,3,5.
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE
berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine,
cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan
menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat.
Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi
ginjal. 6
Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang
efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk
mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit
membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang
tradisional.6
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis
(mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik)
kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan
imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE,
hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan
resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat
35

penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala


dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab
dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang
menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam
sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan
bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 3,4,5
3.9 Pengobatan SLE berdasarkan Aktivitas Penyakit7
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar
tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan :
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan in lamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada
saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurangkurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE Sedang

36

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada
serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obatobatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obatobatan seperti glukokortikoid dosis tinggi atau obat imunosupresan atau
sitotoksik.7
3.10 Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2
tahun, 82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun,
dan 63 sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50%
mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin
serum tinggi [>124 mol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik
(eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia [hemoglobin <124 g/l (12,4
g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat
diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal memiliki
angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali pasien
dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum
angka bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2
tahun). Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi.
Hendaya pada pasien dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan
oleh penyakit ginjal kronik, kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25%
37

pasien dapat mengalami remisi, terkadang untuk beberapa tahun, namun


jarang sekali bersifat permanen. Penyebab mortalitas utama pada dekade
pertama penyakit adalah aktivitas penyakit sistemik, gagal ginjal, dan
infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli semakin sering menjadi
penyebab mortalitas.4,6

38

BAB IV
PEMBAHASAN
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan jika kita menemukan pasien yang
merupakan wanita muda dan didapatkan kelainan dengan keterlibatan dua organ
atau lebih. Selain itu perlu juga diperhatikan gejala seperti kelelahan, demam
tanpa bukti infeksi yang jelas dan penurunan berat badan. Keterlibatan organ yang
memungkinkan pada pasien dengan SLE adalah kelainan pada muskuloskeletal
seperti artritis dan atralgia, kelainan pada kulit seperti malar rash dan alopesia,
kelainan pada ginjal seperti hematuria dan proteinuria, kelainan pada saluran
cerna seperti mual dan muntah, kelainan pada paru-paru seperti pleurisy, kelainan
pada jantung seperti perikarditis, kelainan pada hematologi seperti anemia,
organomegali serta kelainan pada neuropsikiatri. Pada pasien yang merupakan
wanita yang masih tergolong kedalam usia muda yaitu umur 37 tahun didapatkan
kelainan pada muskuloskeletal, kulit, paru, jantung serta hematologi. Pada pasien
kelainan pada musculoskeletal yang didapatkan yaitu osteoartritis pada kedua
lutut. Sedangkan kelainan kulit yang didapatkan pada pasien ini adalah tampaknya
ruam yang berbentuk seperti sayap kupu-kupu pada pipi atau yang bisa disebut
sebagai malar rash. Pasien juga mengeluhkan merasa sesak nafas. Berdasarkan
pada keluhan pasien tersebut dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG serta
foto rontgen thorax. Pada hasil pemeriksaan EKG tidak didapatkan kelainan pada
jantung pasien. Namun dari pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan efusi
pleura pada paru kanan dan kiri serta pembesaran jantung. Kemudian pada pasien
juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi
ginjal dan urin lengkap. Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan pasien mengalami
anemia ringan dengan kadar Hb 10,2. Fungsi ginjal pasien masih tergolong baik
karena tidak terdapat kenaikan pada serum kreatinin dan kadar ureum.
Pemeriksaan urine lengkap pasien tidak didapatkan kelainan seperti proteinuria
ataupun hematuria. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pasien ini dicurigai
kearah SLE.
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
39

(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis serta Batasan Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria
Ruam malar
Ruam diskoid
Fotosensifitas

Ulkus mulut
Artritis
Serositis
Pleuritis

Perikarditis
Gangguan renal

Gangguan neurologi

Gangguan
hematologik

Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
40

atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap naive DNA dengan titer
yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
(ANA)
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.
Pada pasien ini sudah terdapat ruam malar, ruam diskoid, artritis, kecurigaan
kearah serositis serta gangguan pada hematologi. Setelah pasien di observasi di
ruangan, pasien direncanakan untuk melakukan pemeriksaan ANA-test. Hasil
pemeriksaan ANA-test pada pasien ini positif. Dengan ditemukannya 6 kriteria
pada pasien ini, maka pasien ini dapat didiagnosis dengan SLE.
41

Untuk memberikan terapi pada pasien ini, kita harus menentukan terlebih dahulu
derajat ringan atau beratnya SLE pada pasien ini.
Berikut adalah algoritma untuk menentukan derajat beratnya SLE serta
penatalaksanaan yang diberikan sesuai dengan tingkat keparahan SLE.

Gambar 3. Diagram penentuan terapi berdasarkan derajat beratnya SLE

Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis, artritis serta serositis mayor
sehingga pasien dikategorikan sebagai SLE sedang. Karena pasien dikategorikan
sebagai SLE sedang maka pasien mendapatkan terapi metilprednisolon secara
intravena dengan dosis 500 mg selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu pasien
diberikan metilprednisolon secara oral dengan penurunan dosis secara perlahan.
Selain itu diikuti juga dengan pemberian azathioprin dengan dosis 2
mg/kgbb/hari. Pasien ini memiliki berat badan 50 kg sehingga diberikan
azathioprin dengan dosis 100 mg yang terbagi dalam 2 dosis sehari. Namun
karena ketidak tersediaan azathioprin di RSU Bangli maka pasien dirujuk ke
RSUP Sanglah.

42

SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 mol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pada pasien ini didapatkan kecurigaan kelainan pada
jantung dan paru sehingga hal ini merupakan masalah yang besar bagi pasien.
Selain itu didapatkannya juga hipoalbuminemia pada pasien membuat pasien
memiliki prognosis yang buruk.

43

Alur Berpikir untuk Mendiagnosis dan Penatalaksanaan SLE


- kelainan pada muskuloskeletal
- kelainan pada kulit
- kelainan pada ginjal
- kelainan pada saluran cerna
Pasien wanita, usia muda
- kelainan pada paru-paru
dengan gejala yang melibatkan
- kelainan pada jantung
lebih dari 2 organ
- kelainan pada hematologi
- organomegali
Waspada SLE
- kelainan pada neuropsikiatri

Menentukan diagnosis
dengan mengacu pada
kriteria American College of
Rheumatology tahun 1997
Memenuhi 4 atau lebih dari 11
kriteria

Definite SLE

Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis
Serositis
Renal disorder
Neurologic disorder
Hematologic disorder
Immunologic disorder
Antinuclear antibodies
Memenuhi < 4 dari 11
kriteria

Konfirmasi dengan ANAtest

Positif

Negatif

Tentukan derajat
keparahan SLE

Ulang ANA-test
ditambahkan
dengan anti-dsDNA

Negatif
Bukan SLE

Beberapa
Tentukan derajat keparahan
SLE

44

45

BAB V
KESIMPULAN

Systemic Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang


berhubungan dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi
organ. Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana
sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. SLE termasuk penyakit collagenvascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal,
kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga
diperlukan pengobatan yang kompleks. Penyakit ini terjadi lebih sering pada pada
wanita di usia melahirkan anak tahun 15 sampai 35. Distribusi jenis kelamin
cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat
daripada pria dengan usia yang sama.
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini
sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,
nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Setelah mendiagnosis pasien dengan SLE,
maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan derajat beratnya
SLE. Hal ini dilakukan untuk menentukan terapi yang akan diberikan.
Adapun pilar pengobatan untuk Lupus Eritematosus Sistemik adalah
diberikannya edukasi dan konseling bagi pasien maupun keluarga, program
rehabilitasi karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik yang mengalami
gejala muskuloskeletal cenderung mengalami imobilisasi, pengobatan dengan
medikamentosa yang terdiri dari pemberian OAINS, Anti malaria, Steroid,
Imunosupresan / Sitotoksik serta pemberian terapi lain yang dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.

46

Vous aimerez peut-être aussi