Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
remisi
serta
mempertahankan
remisi
selama
mungkin
pada
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: NNA
Umur
: 37 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama
: Hindu
Pendidikan
: Tamat SD
Status
: Sudah menikah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Ulundanu, Songan
MRS
: 10 Desember 2015
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran
Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 50 kg
BMI
: 22,2 kg/m2
3
Gizi
: Cukup
Tekanan darah
: 90/70 mmHg
Nadi
Respirasi
: 26 kali/menit, teratur
Temperatur aksila
: 36,5 C
Skala Nyeri
THT
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Lidah
Kelenjar parotis
Mukosa bibir
Leher
JVP
: PR + 0 cmH2O
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Pulmo:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
redup/redup
redup/redup
+/+
-/-
+/+
+/+
-/-
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
: hangat +/+
+/+
edema /
/
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (10-12-2015)
Parameter
Remark
Unit
Reference Range
103/L
3,5-10,0
WBC
7,2
LYM
1,8
26%
103/L
0,5-5,0
MID
0,4
4,5%
103/L
0,1-1,5
GRAN
5,0
69,5%
103/L
1,2-8,0
RBC
4,13
106/L
3,50 5,50
HGB
10,2
g/dL
11,50 16,50
HCT
29,7
35,0 55,0
5
MCV
71,8
fL
75,0 100,0
MCH
24,7
pg
25,0 35,0
MCHC
34,3
g/dL
31,0 38,0
PLT
300
103/L
150 400
MPV
5,9
Fl
8,0-11,0
Remark
Unit
Reference
BUN
31,76
mg/dL
Range
10,00 50,00
Creatinine
0,56
mg/dL
0,50 1,10
100
mg/dL
75,0 115,0
Hasil
Warna
Kuning
BD
1,005
PH
Leucosit
Negative
Nitrit
Protein
Reduksi
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Blood
Sedimen
-
Eritrosit
0-1
Leukosit
0-1
Epitel cell
Banyak
6
Kristal
Silinder
Bakteri
Thoraks PA
Elektrokardiogram
Irama
: Irama Sinus
Heart Rate
Axis
: Axis normal
Gelombang P
: Normal
PR Interval
: Normal
Komplek QRS
: Normal
Segmen ST
: ST Change (-)
Gelombang T
: Normal
SLE
Susp rhemautoid artritis dd septic arthritis
Efusi pleura bilateral
Cardiomegaly
9
10
F. Penatalaksanaan
Masuk Rumah Sakit (MRS)
02 2 lpm
IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
Ondansentron 3x4mg i.v
Pantoprazole 1x40 mg i.v
Antasida syrup 3x 10cc
Parasetamol 3x750 mg
Natrium diclofenac topikal
Planning Diagnostik:
ANA test
Echocardiography
Monitoring:
Keluhan
Tanda vital
CM-CK
Darah lengkap
G. Prognosis
Dubius
H. Perkembangan Pasien
Tgl
12/12
S
O
Nyeri kedua Vital sign
A
- SLE
lutut (+)
TD : 120/90 mmHg
- Observasi
Sesak (+)
Nadi : 80 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
Mual (+)
RR : 22x/menit
ec
- Pantoprazole
Muntah (+)
Temp : 360C
cardiomyopat
St. General
hy
P
- IVFD Nacl 20
susp
tpm
1x40 mg
- Captopril
3x6,25 mg
Thorax : cor S1 S2
- Parasetamol
3x750mg
- Planning : cek
11
albumin
akral
- SLE
lutut (+)
TD : 110/80 mmHg
- Observasi
Sesak (+)
Nadi : 84 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
Mual (+)
RR : 20x/menit
ec
- Pantoprazole
Muntah (-)
Temp : 36,20C
cardiomyopat
St. General
hy
- IVFD Nacl 20
susp
tpm
1x40 mg
- Captopril
3x6,25 mg
Thorax : cor S1 S2
- Parasetamol
3x750mg
akral
- SLE
lutut (+)
- Observasi
Sesak
TD : 90/60 mmHg
saat Nadi : 84 x/menit
- IVFD Nacl 20
tpm
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
- Pulse
berjalan (+)
RR : 20x/menit
ec
Mual (-)
Temp : 36,40C
cardiomyopat
metilprednisolo
Muntah (-)
St. General
hy
susp
dose
(500
mg
metilprednisolo
Thorax : cor S1 S2
n dalam 250 cc
dalam 1 jam)
- Captopril
3x6,25 mg
tunda
12
Ekstremitas
- Parasetamol
akral
3x750mg
- Planning
15/12
Albumin : 2,50
Nyeri kedua Vital sign
- SLE
lutut (-)
- Observasi
TD : 90/60 mmHg
cek
DL ulang
- IVFD Nacl 20
tpm
Nadi : 84 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
RR : 20x/menit
ec
- Pulse
Temp : 36,40C
cardiomyopat
metilprednisolo
St. General
hy
susp
dose
(500
mg
metilprednisolo
Thorax : cor S1 S2
n dalam 250 cc
dalam 1 jam)
- Captopril
3x6,25 mg
akral
PLT : 252
Nyeri kedua Vital sign
- SLE
lutut (+)
- Observasi
TD : 120/80 mmHg
- IVFD Nacl 20
tpm
Nadi : 88 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
RR : 20x/menit
ec
- Pulse
Temp : 36,20C
cardiomyopat
susp
dose
metilprednisolo
13
St. General
hy
metilprednisolo
Thorax : cor S1 S2
n dalam 250 cc
dalam 1 jam)
- Captopril
3x6,25 mg
- Parasetamol
akral
3x750mg
- Diazepam
1x2mg (malam)
- IVFD Nacl 20
- SLE
lutut
- Observasi
tpm
berkurang
Nadi : 80 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
Mual (+)
RR : 20x/menit
ec
- Metilprednisolo
Temp : 360C
cardiomyopat
St. General
hy
susp
n 2x62,5 mg iv
- Captopril
3x6,25 mg
Thorax : cor S1 S2
- Parasetamol
3x750mg
- Diazepam
1x2mg (malam)
- Pantoprazole
mg
17/12
(500
2x40mg
akral
- Sucralfat
syr
- SLE
lutut (+)
TD : 110/80 mmHg
- Observasi
Mual (-)
Nadi : 80 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
Kaki
RR : 20x/menit
ec
- Metilprednisolo
bengkak (+)
Temp : 360C
cardiomyopat
St. General
hy
3x15cc
- IVFD Nacl 20
susp
tpm
n 2x62,5 mg iv
- Captopril
3x6,25 mg
14
Thorax : cor S1 S2
- Parasetamol
3x750mg
- Diazepam
1x2mg (malam)
- Pantoprazole
2x40mg
akral
- Sucralfat
syr
3x15cc
- Furosemide 40-
19/12
40-0 mg iv
- IVFD Nacl 20
- SLE
lutut (+)
TD : 110/80 mmHg
- Observasi
Kaku (+)
Nadi : 80 x/menit
Cardiomegaly
- O2 2 lpm (k/p)
Kaki
RR : 20x/menit
ec
- Metilprednisolo
bengkak (+)
Temp : 360C
cardiomyopat
St. General
hy
susp
tpm
n 2x62,5 mg iv
- Captopril
3x6,25 mg
Thorax : cor S1 S2
- Parasetamol
3x750mg
- Diazepam
1x2mg (malam)
- Pantoprazole
2x40mg
akral
- Sucralfat
syr
3x15cc
- Furosemide 40-
21/12
- SLE Sedang
20-0 mg iv
- IVFD Nacl 20
lutut (+)
TD : 110/80 mmHg
tpm
Sesak (+)
Nadi : 80 x/menit
Kaki
RR : 20x/menit
bengkak (+)
Temp : 360C
- Azathioprin
St. General
2x50 mg
- Metilprednisolo
n 2x32mg p.o
15
- Furosemide 40-
40-0 mg iv
- Spironolactone
100mg 1-1-0
- Planning : rujuk
RSUP Sanglah
untuk
Ekstremitas
Azathioprin,
akral
terapi
echocardiograph
y
- SLE Sedang
TD : 110/70 mmHg
- IVFD Nacl 20
tpm
- Metilprednisolo
Nadi : 80 x/menit
RR : 20x/menit
n 2x32mg p.o
Temp : 36,70C
- Azathioprin
St. General
2x50 mg
- Furosemide 40-
Thorax : cor S1 S2
40-0 mg
- Spironolactone
100 mg 1-1-0
- Planning : rujuk
RSUP Sanglah
untuk
Ekstremitas
Azathioprin,
akral
terapi
echocardiograph
y
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Berdasarkan Harrisons Principles of internal medicine 18th edition,
Systemic Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan
pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Sistemic Lupus Erythematosus juga merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen
inti sel yang berhubungan dengan manifestasi yang luas, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
3.2 Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya
lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.
17
SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade
kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru
pada sekitar usia 50 tahun. Penyakit ini terjadi lebih sering pada pada wanita di
usia melahirkan anak tahun 15 sampai 35. Distribusi jenis kelamin cukup jelas;
SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada
pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali
lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria
adalah 8:1.1,2,3,4
3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal.1,2.3
3.3.1 Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen,
pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T
dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang
mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini
adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated
circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan
kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi
pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama
apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah
18
adalah
untuk
anti-DNA
untai-tunggal tidak
Anti-Sm
Anti-RNP
30%
40%
spesifik
Spesifik untuk SLE
Titer tinggi pada
penyakit
Anti-histon
70%
Histon
jaringan
ikat campuran
Positif pada 95%
kasus SLE yang
Anti-Ro(SS-A)
30%
Ribonukleprotein
diinduksi obat
Berkaitan dengan
19
sindrom
Anti-LA(SS-B)
10%
Sjgren
Ribonukleprotein
dan nefritis
Berkaitan dengan
Anti-sentromer
<5%
Sentromer
sindrom Sjgren
Berkaitan dengan
Anti-Sci 70
<5%
Topoisomerase DNA
sindrom CREST
Berkaitan dengan
Anti-Jo 1
<5%
tRNA sintetase
sklerosis sistemik
Berkaitan dengan
polimiositis
Antibodi lain
Antikardiopilin
50%
Fosfolipid
Berkaitan
dengan
thrombosis, aborsi
spontan;
antkoagulan lupus;
VDRL
Antieritrosit
Antitrombosit
Antilimfosit
Antineuronal
60%
?
70%
60%
positif
palsu
Hemolisis (jarang)
Trombositopenia
(?) disfungsi sel T
(?) Lupus system
syaraf pusat
aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,
pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE
dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada
pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit,
khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE. 1,2,3,4,5
3.5.1 Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana
peningkatan berat badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan
malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan seringkali merupakan
gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum
jelas.
Aktivitas
penyakit,
efek
samping
pengobatan,
gangguan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk
vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang
ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kualit kepala, namun biasanya muncul pada
puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari
infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang
mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjgren. Umumnya mata dan mulut
kering merupakan efek samping pengobatan.4,5
3.5.3 Manifestasi Muskuloskeletal
Gejala gejala muskuloskeletal pada pasien SLE yang paling sering berupa
artritis atau artralgia (93 %) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya
termasuk kelas I (non-inflamasi) ,kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi).
Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis.
Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
reumatoid.Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau
antimalaria Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon dapat
merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis (nekrosisavaskular)
dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya
terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan
mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh
24
penyakit,
efek
samping
pengobatan,
glucocorticoid
withdrawal
syndrome,
trombotik
tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau
katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan
infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang
yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering
ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering
tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada
sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien
SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30%
pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada
semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi
protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan
terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.
3.5.5 Manifestasi Paru
25
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral..
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Pleurisy sering
ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan bukti
radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, pneumonitis
atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta infiltrate paru
jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat
timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka mortalitas yang
sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik pada paru
mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan
prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan,
termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren
disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4
3.5.6 Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali
tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus
agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan
minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom
nefrotik,
dengan
proteinuria
berat,
hipoalbuminemia,
edema
perifer,
26
kaki)
8. Gangguan pergerakan
9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)
10. visual alternation
11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan
suatu
sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan
inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu
dari
dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of
Rheumatology.
Sindrom klinis lupus SSP biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit
(lebih dari 80% kejadian timbul saatlima tahun pertama dari perjalanan penyakit),
yang ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam,
seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour.
MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multiple. Manifestasi lupus
pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien lupus
mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan
jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental
27
Uji
autoantibodi
tambahan
dengan
nilai
prediktif
(tidak
digunakan
untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE
harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen
hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga
dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah
menggambarkan aktivasi komplemen.
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar
protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun
kadar dalam serum negatif.3,4
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan
gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan
dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat
keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan
mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran
histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5
3.6 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan
memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,
pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan
anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria,
piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin,
antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga
membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap
penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami
ruam,
artritis,
dan
penyakit
ginjal
namun
lebih
sering
mengalami
30
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini
sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,
nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan
SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE
(hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau
definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrisons
Principles of Internal Medicine, 17 th edition)
Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular
plugging; atrophic scarringmay occur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or
effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or 3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/L) or lymphopenia (<1500/L) or
thrombocytopenia(<100,000/L) in the absence of offending drugs
31
Immunologic disorder
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any
point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs
If 4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's
history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is ~95%: sensitivity is ~75%.
3.7 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE7
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
32
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi
rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3.8.3 Medikamentosa
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh
NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan
tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan
resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif
dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak
enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadangkadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna
terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena.
Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan
dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar 1,3,4.
34
36
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada
serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obatobatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obatobatan seperti glukokortikoid dosis tinggi atau obat imunosupresan atau
sitotoksik.7
3.10 Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2
tahun, 82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun,
dan 63 sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50%
mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin
serum tinggi [>124 mol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik
(eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia [hemoglobin <124 g/l (12,4
g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat
diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal memiliki
angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali pasien
dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum
angka bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2
tahun). Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi.
Hendaya pada pasien dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan
oleh penyakit ginjal kronik, kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25%
37
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan jika kita menemukan pasien yang
merupakan wanita muda dan didapatkan kelainan dengan keterlibatan dua organ
atau lebih. Selain itu perlu juga diperhatikan gejala seperti kelelahan, demam
tanpa bukti infeksi yang jelas dan penurunan berat badan. Keterlibatan organ yang
memungkinkan pada pasien dengan SLE adalah kelainan pada muskuloskeletal
seperti artritis dan atralgia, kelainan pada kulit seperti malar rash dan alopesia,
kelainan pada ginjal seperti hematuria dan proteinuria, kelainan pada saluran
cerna seperti mual dan muntah, kelainan pada paru-paru seperti pleurisy, kelainan
pada jantung seperti perikarditis, kelainan pada hematologi seperti anemia,
organomegali serta kelainan pada neuropsikiatri. Pada pasien yang merupakan
wanita yang masih tergolong kedalam usia muda yaitu umur 37 tahun didapatkan
kelainan pada muskuloskeletal, kulit, paru, jantung serta hematologi. Pada pasien
kelainan pada musculoskeletal yang didapatkan yaitu osteoartritis pada kedua
lutut. Sedangkan kelainan kulit yang didapatkan pada pasien ini adalah tampaknya
ruam yang berbentuk seperti sayap kupu-kupu pada pipi atau yang bisa disebut
sebagai malar rash. Pasien juga mengeluhkan merasa sesak nafas. Berdasarkan
pada keluhan pasien tersebut dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG serta
foto rontgen thorax. Pada hasil pemeriksaan EKG tidak didapatkan kelainan pada
jantung pasien. Namun dari pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan efusi
pleura pada paru kanan dan kiri serta pembesaran jantung. Kemudian pada pasien
juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi
ginjal dan urin lengkap. Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan pasien mengalami
anemia ringan dengan kadar Hb 10,2. Fungsi ginjal pasien masih tergolong baik
karena tidak terdapat kenaikan pada serum kreatinin dan kadar ureum.
Pemeriksaan urine lengkap pasien tidak didapatkan kelainan seperti proteinuria
ataupun hematuria. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pasien ini dicurigai
kearah SLE.
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
39
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis serta Batasan Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria
Ruam malar
Ruam diskoid
Fotosensifitas
Ulkus mulut
Artritis
Serositis
Pleuritis
Perikarditis
Gangguan renal
Gangguan neurologi
Gangguan
hematologik
Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
40
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap naive DNA dengan titer
yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
(ANA)
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.
Pada pasien ini sudah terdapat ruam malar, ruam diskoid, artritis, kecurigaan
kearah serositis serta gangguan pada hematologi. Setelah pasien di observasi di
ruangan, pasien direncanakan untuk melakukan pemeriksaan ANA-test. Hasil
pemeriksaan ANA-test pada pasien ini positif. Dengan ditemukannya 6 kriteria
pada pasien ini, maka pasien ini dapat didiagnosis dengan SLE.
41
Untuk memberikan terapi pada pasien ini, kita harus menentukan terlebih dahulu
derajat ringan atau beratnya SLE pada pasien ini.
Berikut adalah algoritma untuk menentukan derajat beratnya SLE serta
penatalaksanaan yang diberikan sesuai dengan tingkat keparahan SLE.
Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis, artritis serta serositis mayor
sehingga pasien dikategorikan sebagai SLE sedang. Karena pasien dikategorikan
sebagai SLE sedang maka pasien mendapatkan terapi metilprednisolon secara
intravena dengan dosis 500 mg selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu pasien
diberikan metilprednisolon secara oral dengan penurunan dosis secara perlahan.
Selain itu diikuti juga dengan pemberian azathioprin dengan dosis 2
mg/kgbb/hari. Pasien ini memiliki berat badan 50 kg sehingga diberikan
azathioprin dengan dosis 100 mg yang terbagi dalam 2 dosis sehari. Namun
karena ketidak tersediaan azathioprin di RSU Bangli maka pasien dirujuk ke
RSUP Sanglah.
42
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 mol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pada pasien ini didapatkan kecurigaan kelainan pada
jantung dan paru sehingga hal ini merupakan masalah yang besar bagi pasien.
Selain itu didapatkannya juga hipoalbuminemia pada pasien membuat pasien
memiliki prognosis yang buruk.
43
Menentukan diagnosis
dengan mengacu pada
kriteria American College of
Rheumatology tahun 1997
Memenuhi 4 atau lebih dari 11
kriteria
Definite SLE
Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis
Serositis
Renal disorder
Neurologic disorder
Hematologic disorder
Immunologic disorder
Antinuclear antibodies
Memenuhi < 4 dari 11
kriteria
Positif
Negatif
Tentukan derajat
keparahan SLE
Ulang ANA-test
ditambahkan
dengan anti-dsDNA
Negatif
Bukan SLE
Beberapa
Tentukan derajat keparahan
SLE
44
45
BAB V
KESIMPULAN
46