Vous êtes sur la page 1sur 771

ISSN : 2502-6607

Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi
Volume 1, Nomor 1, Februari 2016

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
TECHNOPRENEURSHIP
DAN ALIH TEKNOLOGI
PENUMBUHKEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP
DAN ALIH TEKNOLOGI DALAM
MENINGKATKAN DAYA SAING NASIONAL

Bogor, 12-13 November 2015

Didukung oleh :

ISSN : 2502-6607

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL
TECHNOPRENEURSHIP DAN ALIH TEKNOLOGI

PENUMBUHKEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP DAN


ALIH TEKNOLOGI DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING
NASIONAL

Bogor, 12-13 November 2015


Editor :
Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr.
Dr. Laksana Tri Handoko.
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.
Dr. Sasa Sofyan Munawar, S.Hut., M.P.
Tommy Hendrix, S.T., M.Si
Maidina, S.T., M.T.
Yovita Isnasari, S.H.
V. Susirani Kusumaputri, S.P.
Pradhini Digdoyo, S.T.P.
Andi Budiansyah, S.T.
Ferianto, S.Si.

Pusat Inovasi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Editor :
Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr.
Dr. Laksana Tri Handoko.
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.
Dr. Sasa Sofyan Munawar, S.Hut., M.P.
Tommy Hendrix, S.T., M.Si
Maidina, S.T., M.T.
Yovita Isnasari, S.H.
V. Susirani Kusumaputri, S.P.
Pradhini Digdoyo, S.T.P.
Andi Budiansyah, S.T.
Ferianto, S.Si.
Pusat Inovasi LIPI
ISSN : 2502-6607
Volume 1, No. 1, Februari 2016

Penumbuhkembangan Technopreneurship dan Alih Teknologi Dalam Meningkatkan Daya Saing


Nasional. 2015/Penulis-Editor.

1. Technorpeneurship

Cetakan pertama
Desain sampul & Tata letak

2. Alih Teknologi

: Maret 2016
: Andi Budiansyah

Prosiding ini merupakan hasil Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi pada 12 13
November 2015, isi tulisan menjadi tanggung jawab masing-masing penulis.
Diterbitkan Oleh :
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 47, Cibinong, Bogor 16912
Jawa Barat, Indonesia
Telp. (021)-87911777
Fax. (021)-87917221

ii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

SUSUNAN PANITIA
Pelindung : Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr. (Deputi Jasa Ilmiah LIPI)
Pengarah : Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng. (Kepala Pusat Inovasi LIPI)
Penanggung Jawab : Dr. Sasa Sofyan Munawar (Kepala Bidang Inatek)
Steering Committee :
Drs. Manaek Simamora, MBA.,
Drs. Mauludin Hidayat, M.Sc.,
Syafrizal Maludin, SE., M.TIM.,
Dr. Subiyatno,
Ragil Yoga Edi, SH., LLM.,
Ir. Dodong Sofyan Sachmid, MM.,
Tri Budi Setyaningsih, ST., MT.,
Organizing Committee :
1. Ketua Pelaksana : Tommy Hendrix, ST., M.Si.
2. Sekretaris : Aris Yaman, S.Stat., Ferianto, S.Si.
3. Bendahara : Yovita Isnasari, SH., Nurlisa Dwi Novianti, S. Farm., Angga Agustianto, SE.
4. Seksi Kesekretariatan : Maidina, ST. MT., Pradini Digdoyo, STP., Desi Tunjung Sari, ST., Andi
Budiansyah, ST., V. Susirani Kusumaputri, SP.
5. Seksi Program : Diah Anggraeni Jatraningrum, ST., MT. Firman Tri Ajie, ST., Adi Setiya
Dwigrahito, S.Si.,
6. Seksi Persidangan : Adi Ankafia, SE., Syukri Yusuf Nasution, ST., Priyo Yantyo, ST.
7. Seksi Konsumsi : Syifa Ratna Pujasari, S.E, Sigit Subardja, B.Sc., Rahmat Syahbana.
8. Seksi IT : Karno, S.Kom., Endah Mardiyani, S.Kom., Harini Yaniar, S.Si., M.Kom., Priyo Adi
Ramadhani, ST.
9. Seksi Perlengkapan : Andis Priswantoro, ST., Nawawie
10. Seksi Humas dan Sponsorship : Elfira Rosa Juningsih, S.Kom., Adityo Wicaksono, S.Ds., Teguh
Heri Pranowo, S.Sn.
11. Seksi Dokumentasi dan Akomodasi : Syahrizal Maulana, ST., Wahyu Dwi Cahyo Wibowo,
Asep Gumbira, A.Md.,

iii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KATA PENGANTAR
KETUA PANITIA PELAKSANA
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
kenikmatan kepada kita semua sehingga dapat berkumpul pada forum ilmiah ini yang diridhoi
Allah SWT.
Yang saya hormati
Bapak Wakil Kepala LIPI
Bapak Deputi Jasa Ilmiah LIPI
Bapak Deputi Ilmi Pengetahuan Teknik LIPI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Ristekdikti RI
Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS RI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Kepala Satuan Kerja di lingkungan LIPI
Hary Tanoesoedibjo, MBA. (CEO MNC Group)
Prof, Andrew Griffith, Dr. Damian Hine, (University of Queensland)
CEO BukaLapak .com
Hadirin Tamu Undangan dan peserta Seminar Nasional Tekno Altek yang berbahagia,
Para Hadirin sekalian,
Mengawali pagi yang cerah ini, kami atas nama panitia pelaksana mengucapkan selamat datang
kepada seluruh undangan, pemakalah dan peserta, di Pusat Inovasi LIPI. Seminar Nasional
Technopreneurship dan alih teknologi Tahun 2015 ini merupakan kegiatan pertama yang
diselenggarakan oleh Pusat Inovasi, yang mana didukung oleh Himpunan Peneliti Indonesia
(HIMPENINDO) dan University of Queensland dan Media Nusantara Citra, Tbk.
Melalui seminar nasional technopreneurship dan alih teknologi ini, kami menawarkan
kesempatan untuk mahasiswa, peneliti dan praktisi yang tertarik pada isu-isu yang berkaitan
dengan technopreneurship dan alih teknologi untuk berbagi temuan mereka berpikir dan
penelitian. Tema seminar dijabarkan dengan luas dengan asumsi untuk menjaring berbagai hasil
penelitian yang berkaitan dengan isu-isu kewirausahaan, sosial, kreativitas, technopreneurship,
daya saing, manajemen, pengembangan, komersialisasi, kemitraan, transfer teknologi, kebijakan,
teknologi baru. Perlu juga kami sampaikan pada akhir kegiatan seminar nasional ini juga
diharapkan dapat memberikan suatu rekomendasi dalam bentuk policy brief yang berguna bagi
pemangku kebijakan dalam menentukan arah dari pembangunan nasional yang berbasis pada

iv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pemanfaatan Iptek yang sesuai dengan tema seminar nasional kali ini adalah Penumbuh
Kembangan Teknopreneurship dan Alih Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Nasional.
Serta mampu mensinergikan para stakeholder dalam pembangunan yang berbasis hasil Penelitian
dan Pengembangan guna menghadapi Masyarakat Eknolomi Asean (MEA) 2015. Selain itu juga
dilakukan diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan dibidang teknologi, manajemen
dan sosial ekonomi. Sebanyak 50 Makalah yang masuk dan berasal dari peneliti dari unsur
lembaga litbang, universitas, mahasiswa dan industri serta pemerhati perkembangan Iptek
dengan rincian berasal dari Lembaga penelitian dan pengembangan, Perguruan tinggi, dan
Praktisi/masyarakat umum.
Dan tentunya Narasumber-narasumber yang berasal dari beberapa Kementerian, universitas dan
tokoh Entrepereuner yang telah meluangkan waktunya guna memberikan pencerahan even ini.
Pada kesempatan ini juga, atas nama Panitia kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya seminar
nasional ini.
Wabihitaufiq walhidayah wasassalamualaikum warahmatullahhi wabarakatuh.

Ketua Panitia Seminar 2015


Tommy Hendrix, ST., M.Si.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT INOVASI LIPI

Puji dan syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwa atas rahmat dan hidayahNya Laporan Akhir kegiatan Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun
2015 dengan tema Penumbuhkembangan Technopreneurship dan Alih teknologi dalam
Meningkatkan Daya Saing Nasional dapat diselesaikan dengan baik.
Inovasi merupakan serangkaian proses mulai dari identifikasi permasalahan dalam
kehidupan melalui penelitiandan pengembangan (litbang) hingga menyelesaikan masalah
tersebut melalui penciptaan baik itu produk ataupun layanan jasa yang memiliki nilai kebaruan
dan ekonomis sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun demikian, mekanisme
membawa hasil litbang kepada masyarakat (alih teknologi) masih belum banyak diketahui dan
dilaporkan. Oleh karena itu, penciptaan usahawan berbasis teknologi (teknopreneur) belum
banyak yang berhasil. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan beberapa strategi alih teknologi
LIPI dalam upaya menciptakan teknopreneur berbasis hasil litbang.
Akhirnya, Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun 2015 dengan tema Penumbuhkembangan
Technopreneurship dan Alih teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Nasional.

Kepala Pusat Inovasi - LIPI


Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.

vi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

SAMBUTAN WAKIL KEPALA LIPI


Bismillahirrahmanirrahim,
Yang saya hormati
Para Deputi di Lingkungan LIPI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Ristekdikti RI
Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS RI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Para Kepala Satuan Kerja di lingkungan LIPI
Hary Tanoesoedibjo, MBA. (CEO MNC Group)
Dr. Damian Hine, (University of Queensland)
CEO Buka Lapak.Com
Tamu Undangan dan seluruh peserta acara yang saya cintai,
Assalaamualaikum Wr. Wb.
Mengawali kegiatan Seminar Nasional ini, marilah kita bersama-sama mengucap puji dan syukur
ke hadirat Allah SWT atas Perkenan, Rahmat, dan Karunia-Nya, kita semua diberi nikmat sehat,
dan masih diberikan kesempatan serta kemampuan untuk melanjutkan mengemban amanah yang
dititipkan kepada kita, khususnya untuk meningkatkan peran ilmu pengetahuan bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kita juga patut bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa pada kali ini kita berkesempatan untuk
melaksanakan kegiatan seminar nasional technopreneurship dan alih teknologi untuk yang
pertama kalinya. Melalui Seminar Nasional ini, saya berharap dapat menghasilkan suatu
rekomendasi yang dapat dijadikan acuan dalam proses alih teknologi secara nasional.
1. LIPI merupakan institusi nasional yang mempunyai peran dan bertanggungjawab
membawa bangsa dan Negara ke dalam transformasi yang dapat meningkatkan kinerja
ekonomi berbasis pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan,
meningkatkan daya saing dalam konteks globalisasi, meningkatkan daya dorong bagi
proses inovasi dan pemahaman yang lebih mendalam tentang peranan Ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk mendorong peningkatan kinerja ekonomi dan perubahan budaya
masyarakat.
2. Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi ini merupakan salah satu wujud
komitmen LIPI dalam mencapai VISI LIPI untuk mendorong peningkatan daya saing
nasional.
3.
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi ini merupakan implementasi dari
penjabaran Program Presiden Republik Indonesia untuk menunjukkan prioritas jalan
perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang
ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan (Nawa Cita), yang salah satu dalam

vii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

4.

5.

6.

7.

8.

program tersebut adalah membangun sejumlah Science and Techno Park di beberapa lokasi
di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, ini merupakan proses diseminasi dalam proses
alih teknologi yang saat ini menjadi kebutuhan secara nasional. Dimana Pusat Inovasi
ditunjuk sebagai pengelola program Science Technology Park di lingkungan LIPI.
Selain itu juga aktif dalam mewujudkan visi pembangunan nasional 2015-2019, yang
mengutamakan pembangunan berkelanjutan dengan menetapkan 9 agenda utama
pembangunan nasional tahun 2015-2019.
Salah satu bentuk implementasinya bahwa Technopreneurship dan alih teknologi telah
menjadi isu yang menarik pada dua dekade terakhir, bila dilihat dari sisi implementasinya
memiliki dampak yang nyata, yaitu sejak terjadinya pergeseran dari sistem ekonomi
tradisional menuju sistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu juga melalui seminar nasional ini, dapat dijadikan tempat pertemuan dan
pertukaran informasi antara akademisi, pemerintah dan pebisnis berkenaan dengan
perkembangan teknologi yang sedang marak berkembang sekarang.
Saya berharap dengan adanya Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi
ini, merupakan sarana percepatan dari tumbuhnya jiwa entrepreneur muda yang dapat
mengembangan usaha berbasis pada pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan serta
dapat mendorong peranan Iptek dalam peningkatan daya ekonomi daerah dan nasional.
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim, saya buka Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi di Auditorium Pusat Inovasi LIPI.

Wassalamualaikum Wr.Wb.
Wakil Kepala LIPI
Dr. Akhmadi Abbas, M.Eng.

viii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Panitia Pelaksana
Tommy Hendrix, S.T.,M.Si................................................................................................... iii
Kata Pengantar Kepala Pusat Inovasi LIPI
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng..................................................................................... v
Sambutan Pembukaan Wakil Kepala LIPI
Dr. Akhmadi Abbas.............................................................................................................. vi
Makalah Keynote Speaker
1. PERAN SISTEM INOVASI NASIONAL DALAM MEMPERKUAT PENCIPTAAN
DAYA SAING GLOBAL
Dirjen Penguatan Inovasi KEMENRISTEKDIKTI RI, Dr.Ir. Jumain Appe, M.Si.
xv
2. PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN NASIONAL DALAM PENCIPTAAN UKM
MANDIRI MENUJU TERCIPTANYA EKONOMI KREATIF
Asisten Deputi Pengembangan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian RI, Dr. Iwan
Faidi, AK., MSM
xxv

3. STRATEGI PENGEMBANGAN TAMAN SAINS DAN TEKNOLOGI DAN SERTA


TAMAN TEKNOLOGI (SCIENCE TECHNO PARK DAN TECHNO PARK) LIPI
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, Prof.Dr.Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr
xxxi

4. KEBIJAKAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENDUKUNG PERCEPATAN ALIH


TEKNOLOGI SERTA SOLUSI PEMANFAATANNYA
Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS, Dr. Ir. Leonard VH. Tampubolon, MA
xlvii

5. EXPERIENCE IN THE IMPLEMENTATION OF INNOVATION AND


COMMERCIALIZATION
The University of Queensland, Dr. Damian Hine
lxv

ix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

6. KEBIJAKAN PRO HILIRISASI DAN SEKALIGUS MEMPERKUAT KAPASITAS


DAN KOMPETENSI FUNDAMENTAL RISET, MUNGKINKAH?
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, Dr. Laksana Tri Handoko
lxxvii

7. PENGEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP DAN INKUBASI INOVASI IPB


Direktur Riset dan Inovasi IPB, Prof. Iskandar Z. Siregar
xcviii
8. PROSPEK BUSINES MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DALAM
PENCIPTAAN LAPANGAN PEKERJAAN
CEO PT. Buka Lapak Indonesia, Achmad Zaky
cxiii

9. STRATEGI ALIH TEKNOLOGI LIPI DALAM UPAYA MENCIPTAKAN


TEKNOPRENEUR BERBASIS HASIL LITBANG
Kepala Pusat Inovasi LIPI, Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng
cxxii

Jadwal Presentasi Makalah

cli

Makalah Bidang TPN


P-TPN 01
PERILAKU TECHNOPRENEURSHIP PETANI PELESTARI DALAM KONSERVASI
TANAMAN BUAH TROPIKA
Adhitya Marendra Kiloes

P-TPN 02
MEWUJUDKAN TEKNOPRENEURSHIP MELALUI PENERAPAN PROGRAM KAWASAN
AGRIBISNIS KRISAN BERBASIS INOVASI DI KABUPATEN SUKABUMI
Rima Setiani, Sulusi Prabawati
14
P-TPN 03
EKONOMI INOVASI PADA PERSIMPANGAN MORAL KAPITALISME DAN
SOSIALISME
Syafrizal Maludin

27

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

P-TPN 04
TECHNOPARTY GOES TO SCHOOL SEBAGAI SARANA PENGENALAN DAN
PENANAMAN TEKNOPRENEURSHIP SEJAK DINI
I Putu Satwika, I Putu Agus Swastika , Helmy Syakh Alam

43

P-TPN 05
KOMPETISI INOVASI PELAYANAN PUBLIK TAHUN 2014 DAN 2015
Komarudin

57

Makalah Bidang TDSN


P-TDSN 01
PERAN PROGRAM TAHUNAN INDONESIA ICT AWARD (INAICTA) DALAM
MENSTIMULUS PERTUMBUHAN INDUSTRI KREATIF DIGITAL
Emyana Ruth Eritha Sirait
P-TDSN 02
ANALISA FAKTOR PENINGKATAN LISENSI PATEN DALAM RANGKA
KOMERSIALISASI HASIL PENELITIAN LEMBAGA LITBANG
V. Susirani Kusumaputri, Maidina

86

105

Makalah Bidang ALTEK


P-ALTEK 01
STUDI PENDAHULUAN PEMBUATAN ADSORBEN METHYL DIETHANOL AMINA
(MDEA) BERPENYANGGA ZEOLIT ALAM UNTUK PENANGKAPAN CO2
116
Roza Adriany
P-ALTEK 02
MODEL PENGUKURAN PROSES ALIH TEKNOLOGI DALAM MENDUKUNG
PENGUATAN PENGELOLAAN ALIH TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI LIPI
Mauludin Hidayat, Adityo Wicaksono, Firman Tri Ajie,

124

P-ALTEK 03
PENGEMBANGAN WILAYAH SEMBURAN LUMPUR UNTUK KUTUB PERTUMBUHAN
BISNIS DAN PEREKONOMIAN DAERAH
Djoko Sunarjanto, Jonathan S., Hadimuljono Indah Crystiana, Joko Priyanto, Gregorius S. Sule
137
P-ALTEK 04
POTENSI PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA SAWIT BERDASARKAN JUMLAH
PATEN TERDAFTAR DALAM RANGKA ALIH TEKNOLOGI
Pradhini Digdoyo, V. Susirani Kusumaputri
150

xi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

P-ALTEK 05
MODEL PENDAMPINGAN INKUBATOR BISNIS YANG EFEKTIF DALAM
MENDAMPINGI TENANT INKUBATOR
Aris Yaman, Adityo Wicaksono

158

P-ALTEK 06
PEMANFAATAN KULIT PISANG AGUNG SEMERU SEBAGAI BAHAN PENGIKAT
TABLET
Lannie Hadisoewignyo, Kuncoro Foe, Rachael Amelia, Henry Kurnia Setiawan

164

P-ALTEK 07
KOLABORASI RISET INTERNASIONAL : MEMACU INOVASI DAN DAYA SAING
PRODUK BIODIVERSITI NASIONAL
Agus Santoso , Azis Taba Pabeta

181

P-ALTEK 08
ANALISA KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN INOVASI STUDI
KASUS LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Juhartono, Agus Fanar Syukri
206
P-ALTEK 09
PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN DAN MONITORING PRODUKTIVITAS
KELOMPOK PENELITIAN (STUDI KASUS: KELOMPOK PENELITIAN MANAJEMEN
MUTU PUSAT PENELITIAN X)
Sih Damayanti, Tri Widianti
221
P-ALTEK 10
STANDAR PENGUKURAN IMPLEMENTASI 5S PADA KELOMPOK PENELITIAN DI
LEMBAGA PENELITIAN XYZ
Tri Widianti
`
234
P-ALTEK 11
PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI KELOMPOK PENELITIAN X (KELTIAN X) DI
PUSAT PENELITIAN ABC
251
Tri Rakhmawati, Sih Damayanti
P-ALTEK 12
ANALISIS INDIKATOR KINERJA KELOMPOK DAN PERSONIL KELOMPOK
PENELITIAN X (KELTIAN X) DI PUSAT PENELITIAN ABC
Tri Rakhmawati, Medi Yarmen

272

xii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

P-ALTEK 13
ALIH TEKNOLOGI DUNIA PADA SISTEM ROBOTIKA BIDANG PERTAHANAN
KEAMANAN NASIONAL DI PUSLIT TELIMEK LIPI
Hendri Maja Saputra, Sapdo Utomo, Rifa Rahmayanti

288

P-ALTEK 14
ANALISIS MANAJEMEN PENGETAHUAN PADA PROSES ALIH TEKNOLOGI DI
PUSAT INOVASI LIPI
Mauludin Hidayat, Joddy Arya Laksmono

301

P-ALTEK 15
KOMERSIALISASI : STRATEGI MEMBAWA INVENSI DARI LABORATORIUM
MENUJU PASAR
Ferianto, Syahrizal Maulana

320

P-ALTEK 16
PERAN JAMINAN MUTU DALAM ALIH TEKNOLOGI : KASUS PERALATAN
KESEHATAN KELISTRIKAN
Fatimah Zulfah Padmadinata, Ihsan Supono, Asep Nur Hidayat

328

P-ALTEK 17
PERSYARATAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ELEKTRONIK LEMBAGA ILMU
PENGETAHUAN INDONESIA
Jimmy Abdel Kadar, Agus Fanar Syukri, Amelia Febri Ariani, Rahmi Kartika Jati
342
P-ALTEK 18
STRATEGI PEMASARAN PADA USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM)
INDUSTRI OLAHAN HASIL LAUT
Anang Hidayat, Tommy Hendrix
355
P-ALTEK 19
ANALISIS PERFORMANCE WEBSITE PUSAT INOVASI UNTUK MENINGKATKAN
PROMOSI HASIL LITBANG LIPI
398
Harini Yaniar, Siti Kania Kushadiani,
P-ALTEK 20
PENGEMBANGAN PRODUK HASIL RISET BIDANG ENERGI TERBARUKAN MENUJU
INDUSTRI
Henny Sudibyo, Arini Wresta
415

xiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

P-ALTEK 21
ANALISIS BUSINESS MODEL CANVAS (BMC) UNTUK ALIH TEKNOLOGI : KASUS
UNTUK PENELITIAN BIDANG BOTANI LIPI
Diah Anggraeni Jatraningrum

428

P-ALTEK 22
KOMPATARIF STUDY KERJASAMA ALIH TEKNOLOGI ASING KE INDONESIA:
STUDI KASUS KERJASAMA ALIH TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI
Yovita Isnasari

441

P-ALTEK 23
PENINGKATAN NILAI EKONOMI SAMPAH DAUN TUMBUHAN KOLEKSI KEBUN
RAYA BOGOR SEBAGAI KOMPOS BIOPOSKA DAN PROSES ALIH TEKNOLOGINYA
451
Reza Ramdan Rivai, Yupi Isnaini, Riki Ruhimat
P-ALTEK 24
FRAMEWORK SERVICE ENGINEERING UNTUK MENINGKATKAN LAYANAN
STARTUP BIDANG E-HEALTH DI INDONESIA
Ana Heryana

466

P-ALTEK 25
POLA KOMERSIALISASI HASIL LITBANG PERGURUAN TINGGI MELALUI
INKUBATOR TEKNOLOGI
Nur Laili

474

Makalah Bidang ITSTP


P-ITSTP 01
KESIAPAN PETERNAK DALAM MENERIMA ALIH TEKNOLOGI PADA KAWASAN
AGRO TECHNOPARK BANYUMULEK: ANALISIS SOSIAL-EKONOMI
483
Mochammad Nadjib, Esta Lestari, Dhani Agung Darmawan
P-ITSTP 02
OPTIMALISASI PERAN TECHNOPARK BANYUMULEK DALAM PENINGKATAN
PEMASARAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT
Joko Suryanto, Jiwa Sarana, Nur Firdaus

505

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ISSN : 2502-6607

P-ITSTP 03
MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK (HORTIKULTURA)
TERINTEGRASI DENGAN TECHNOTPARK MEAT BUSINESS CENTER
BANYUMULEK NTB
Wahyu Widiyono, Wahyuni, Arwan Sugiarto, Peni Lestari, Fauzia Syari, Engkom Komarudin,
Budiarjo, Sudiyono
530
P-ITSTP 04
PEMETAAN POTENSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PADA INDUSTRI KECIL DI
WILAYAH KOTA BATU-MALANG
Maftuchah, Sofyan Arief, M. Isrok, Aris Winaya
549
P-ITSTP 05
ANALISIS POTENSI BANYUWANGI SEBAGAI KAWASAN MARINE TECHNOPARK
MELALUI PENDEKATAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (PEL)
560
Anang Hidayat, Tommy Hendrix
P-ITSTP 06
KONSEP PEMBANGUNAN TECHNOPARK BANYUMULEK-NTB BERBASIS
PEMANFAATAN BIORESOURCES DAN AGROEDUWISATA SECARA
BERKELANJUTAN
Roni Ridwan, Syahrudin Said, Budi Septiani, A.W. Nasrudin, Puspita Lisdiyanti, Rusli
Fidriyanto, Baharuddin Tappa, Bambang Sunarko
587
P-ITSTP 07
ANALISIS SWOT PENGEMBANGAN PRODUK PEREKAT KAYU BERBASIS LATEKS
KARET ALAM BERKAPASITAS TERBATAS
Andi Budiansyah, Fahriya Puspita Sari, Widya Fatriasari
600

xiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

PERAN SISTEM INOVASI NASIONAL DALAM MEMPERKUAT


PENCIPTAAN DAYA SAING GLOBAL
Dirjen Penguatan Inovasi KEMENRISTEKDIKTI RI
Dr.Ir. Jumain Appe, M.Si.

xv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN NASIONAL DALAM PENCIPTAAN


UKM MANDIRI MENUJU TERCIPTANYA EKONOMI KREATIF
Asisten Deputi Pengembangan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian RI,
Dr. Iwan Faidi, AK., MSM

xxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

STRATEGI PENGEMBANGAN TAMAN SAINS DAN TEKNOLOGI DAN


SERTA TAMAN TEKNOLOGI (SCIENCE TECHNO PARK DAN TECHNO
PARK) LIPI
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI,
Prof.Dr.Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr

xxxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xxxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xl

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xli

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xlii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xliii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xliv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xlv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xlvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

KEBIJAKAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENDUKUNG PERCEPATAN


ALIH TEKNOLOGI SERTA SOLUSI PEMANFAATANNYA
Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS,
Dr. Ir. Leonard VH. Tampubolon, MA

xlvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xlviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xlix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

li

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

liii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

liv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

EXPERIENCE IN THE IMPLEMENTATION OF INNOVATION


AND COMMERCIALIZATION
The University of Queensland,
Dr. Damian Hine

lxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

KEBIJAKAN PRO HILIRISASI DAN SEKALIGUS MEMPERKUAT


KAPASITAS DAN KOMPETENSI FUNDAMENTAL RISET, MUNGKINKAH?
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI,
Dr. Laksana Tri Handoko

lxxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

lxxxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xc

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xci

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xcii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xciii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xciv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xcv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xcvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xcvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

PENGEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP DAN INKUBASI INOVASI IPB


Direktur Riset dan Inovasi IPB,
Prof. Iskandar Z. Siregar

xcviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

xcix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

ci

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

ciii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

civ

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

\Makalah Keynote Speaker

PROSPEK BUSINES MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DALAM


PENCIPTAAN LAPANGAN PEKERJAAN
CEO PT. Buka Lapak Indonesia,
Achmad Zaky

cxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Makalah Keynote Speaker

STRATEGI ALIH TEKNOLOGI LIPI DALAM UPAYA MENCIPTAKAN


TEKNOPRENEUR BERBASIS HASIL LITBANG
Kepala Pusat Inovasi LIPI,
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.

cxxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxx

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxiii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxiv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxxxix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxl

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxli

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxliii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxliv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlv

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlvi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlvii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlviii

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cxlix

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

cl

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

cli

Pusat Inovasi - LIPI

JADWAL PRESENTASI TANGGAL


12 NOVEMBER 2015
RUANG AUDITORIUM
No
Jadwal
Judul
Peran Program Tahunan
Indonesia ICT Award
(INAICTA) Dalam
1
13.00 - 13.30
Menstimulus
Pertumbuhan Industri
Kreatif Digital
Framework Service
Engineering Untuk
2
13.30 - 14.00 Meningkatkan Layanan
Start Up Bidang EHealth Di Indonesia

14.00 - 14.30

Studi Pendahuluan
Pembuatan Adsorben
Methyl Diethanol Amina
(MDEA) Berpenyangga
Zeolit Alam Untuk
Penangkapan CO2

14.30 - 15.00

Pengembangan Wilayah
Semburan Lumpur
Untuk Kutub
Pertumbuhan Bisnis Dan
Perekonomian Daerah

15.00 - 15.15

15.15 - 15.45

Pemakalah

Instansi

Sub Tema

Emyana Ruth E.S.

Pusat Litbang
Aplikasi Informatika
dan Informasi dan
Komunikasi Publik

P-TDSN

Ana Heryana

Puslit Informatika
LIPI

Moderator

P-ALTEK

Roza Adriany

Pusat Penelitian dan


Pengembangan
Teknologi Minyak
dan Gas Bumi
LEMIGAS

P-ALTEK

Djoko Sunarjanto,
Jonathan S.
Hadimuljono, Indah
Crystiana, Joko
Priyanto, dan
Gregorius S. Sule

Puslitbang
Teknologi Migas
LEMIGAS

P-ALTEK

Ir. Dodong
Sofyan
Sachmid
MBA.

COFFEE BREAK
Model Pendampingan
Inkubator Bisnis Yang
Efektif Dalam
Mendampingi Tenant
Inkubator

Aris Yaman, Adityo


Wicaksono

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK

Ir. Dodong
Sofyan
Sachmid
MBA.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

clii

Pusat Inovasi - LIPI

RUANG 208
No
Jadwal

13.00 - 13.30

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

14.30 - 15.00

Judul
Kajian Teknoekonomi
Manisan Buah Dalam
Kemasan Pouch
Mewujudkan
Teknopreneurship
Melalui Penerapan
Program Kawasan
Agribisnis Krisan
Berbasis Inovasi Di
Kabupaten Sukabumi
Analisis Manajemen
Pengetahuan Pada Proses
Alih Teknologi di Pusat
Inovasi LIPI
"Technoparty Goes to
School" sebagai Sarana
Pengenalan dan
Penanaman
Technopreneurship
Sejak Dini

15.00 - 15.15

15.15 - 15.45

Pengaruh Pemanasan
Terhadap Kandungan
Kimia, Fisika Dan
Mikrobiologi Manisan
Dalam Kemasan Pouch

15.45 - 16.15

Model Pengukuran
Proses Alih Teknologi
Dalam Mendukung
Penguatan Pengelolaan
Alih Teknologi Di Pusat
Inovasi LIPI

Pemakalah
Asep Nurhikmat,
Agus Susanto,
Tommy Hendrix

Instansi
UPT Balai
Pengembangan
Proses dan
Teknologi Kimia
LIPI, Pusat Inovasi
LIPI

Rima Setiani, Sulusi


Prabawati

Pusat Penelitian dan


Pengembangan
Hortikultura

Mauludin H dan
Joddy A

Pusinov dan
P2Kimia LIPI

I Putu Satwika, I Putu


Agus Swastika

STMIK Primakara
Bali

COFFEE BREAK
UPT Balai
Pengembangan
Asep Nurhikmat,
Proses dan
Agus Susanto,
Teknologi Kimia
Tommy Hendrix
LIPI, Pusat Inovasi
LIPI
Mauludin Hidayat,
Firman Tri Ajie, dan
Adityo Wicaksono

Pusat Inovasi,
Lembaga Ilmu
Pengetahuan
Indonesia

Sub Tema

Moderator

P-ALTEK

P-TPN
Syafrizal
Maludin
SE., MTIM.
P-ALTEK

P-TPN

P-ALTEK
Adi Setya
DG., S.Si
P-ALTEK

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

cliii

Pusat Inovasi - LIPI

RUANG 112
No

Jadwal

Judul

Instansi

Sub
Tema

13.00 - 13.30

Kesiapan Peternak
Dalam Menerima Alih
Teknologi Pada
Kawasan Agro
Technopark
Banyumulek: Analisis
Sosial-Ekonomi

Mochammad Nadjib,
Esta Lestari dan
Dhani Agung
Darmawan

Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI

P-ITSTP

13.30 - 14.00

Optimalisasi Peran
Technopark Banyumulek
Dalam Peningkatan
Pemasaran Usaha
Peternakan Rakyat

Joko Suryanto, Jiwa


Sarana dan Nur
Firdaus

Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI

P-ITSTP

14.00 - 14.30

Model Pengembangan
Pertanian Organik
Terintegrasi Dengan
Technopark Meat
Business Center
Banyumulek - NTB

Dr. Wahyu
Widiyono, Dr.
Wahyuni, Arwan
Sugiarto, M.Si, Peni
Lestari, M.Si, Dra.
Fauzia Syarif,
Engkom Komarudin,
Budiarjo, dan
Sudiyono

Puslit Biologi-LIPI

P-ITSTP

14.30 - 15.00

Pemetaan Potensi Hak


Kekayaan Intelektual
Pada Industri Kecil Di
Wilayah Kota BatuMalang

Maftuchah, Sofyan
Arief, M. Isrok, dan
Aris Winaya

Sentra Hak Kekayaan


Intelektual,
Universitas
Muhammadiyah
Malang

P-ITSTP

15.00 - 15.15

Pemakalah

15.15 - 15.45

15.45 - 16.15

Moderator

Ragil Yoga Edi


S.H., LL.M

COFFEE BREAK
Pemanfaatan Kulit
Pisang Agung Semeru
Sebagai Bahan Pengikat
Tablet

Lannie
Hadisoewignyo,
Kuncoro Foe,
Rachael Amelia

Universitas Katolik
Widya Mandala
Surabaya

Analisis Alih Teknologi


Paten Melalui Lisensi
Teknologi : Studi Kasus
pada Paten Terdaftar
LIPI

Yovita Isnasari, Andi


Budiansyah

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK
Harini Yaniar,
M.Kom.
P-ALTEK

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

cliv

Pusat Inovasi - LIPI

RUANG 111
No

Jadwal

13.00 - 13.30

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

14.30 - 15.00

Judul
Penyusunan Sistem
Pengukuran Dan
Monitoring Produktivitas
Kelompok Penelitian
(Studi Kasus: Kelompok
Penelitian Manajemen
Mutu Pusat Penelitian X)
Analisa Kebijakan Alih
Teknologi Dalam
Peningkatan InovasiStudi Kasus Lembaga
Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Kolaborasi Riset
International: Memacu
Inovasi Dan Daya Saing
Produk Biodiversiti
Nasional
Standar Pengukuran
Implementasi 5S Pada
Kelompok Penelitian Di
Lembaga Penelitian
XYZ

15.00 - 15.15

15.15 - 15.45

15.45 - 16.15

Pemakalah

Instansi

Sub
Tema

Sih Damayanti, Tri


Widianti

P2SMTP LIPI

P-ALTEK

Juhartono dan Agus


Fanar Syukri

Kemenristek dikti Dit


Pengembangan
Teknologi Industri,
P2SMTP LIPI

P-ALTEK

Agus Santoso

Papiptek LIPI

P-ALTEK

Tri Widianti

P2SMTP LIPI

P-ALTEK

Moderator

Dr. Anang
Hidayat

COFFEE BREAK
Analisis Indikator
Kinerja Kelompok dan
Personil Kelompok
Penelitian X (Keltim X)
di Puslit ABC
Pemanfaatan Sampah
Organik di Pusat
Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya LIPI
sebagai Produk Kompos
Bioposka dan Kegiatan
Diseminasinya

Tri Rakhmawati,
Medi Yarmen

Reza Ramdan Rivai,


Yupi Isnaini, Riki
Ruhimat

P2SMTP LIPI

P-ALTEK
Diah Anggraeni
Jatraningrum,
ST. MT.

PKT Kebun Raya


Bogor LIPI

P-ALTEK

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

clv

Pusat Inovasi - LIPI

JADWAL PRESENTASI TANGGAL


13 NOVEMBER 2015
RUANG AUDITORIUM
No

Jadwal

10.30 - 11.00

11.00 - 11.30

Judul

Pemakalah

Alih Teknologi Dunia


Pada Sistem Robotika
Bidang Pertahanan
Keamanan Nasional di
Puslit Telimek LIPI

Hendri Maja Saputra,


Sapdo Utomo, Rifa
Rahmayanti

P2 TELIMEK

Komersialisasi: Strategi
Membawa Invensi dari
Laboratorium Menuju
Pasar

Ferianto dan
Syahrizal Maulana

Pusat Inovasi LIPI

11.30 - 13.30

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

Sub
Tema

Moderator

P-ALTEK
Drs. Mauludin
Hidayat M.Sc.
P-ALTEK

ISHOMA
Pola Komersialisasi
Hasil Litbang Melalui
Inkubator Teknologi:
Studi Kasus di
Perguruan Tinggi di
Indonesia
Peran Jaminan Mutu
Dalam Alih Teknologi:
Kasus Peralatan
Kesehatan Kelistrikan

14.30 - 14.45

Instansi

14.45 - 15.15

Tren Pemenang Inovasi


Dalam Lingkup Business
Innovation Centre Di
Periode 2009-2014

15.15 - 15. 45

Analisa Faktor
Peningkatan Lisensi
Paten Dalam Rangka
Komersialisasi Hasil
Penelitian Lembaga
Litbang

Nur Laili

Pusat Penelitian
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi LIPI

Fatimah Zulfah
Padmadinata, Ihsan
Supono, Asep
Rahmat Hidayat

Pusat Penelitian
Sistem Mutu dan
Teknologi Pengujian,
Lembaga Ilmu
Pengetahuan
Indonesia

COFFEE BREAK
Centre for Science
Purnama Alamsyah,
and Technology
Anugerah Yuka
Development Studies
Asmara
Indonesian Institute
of Sciences
V. Susirani
Kusumaputri,
Maidina

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK

Drs. Mauludin
Hidayat M.Sc.
P-ALTEK

P-TDSN
Tommy
Hendrix, ST.,
M.Si.
P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

clvi

Pusat Inovasi - LIPI

RUANG 208
No

Jadwal

Judul

Pemakalah

10.30 - 11.00

Persyaratan Sistem
Manajemen Mutu Online
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia

Jimmy Abdel Kadar,


Agus Fanar Syukri,
Amelia Febri Ariani,
dan
Rahmi Kartika Jati

P2SMTP LIPI

Ekonomi Inovasi pada


Persimpangan Moral
Kapitalisme dan
Sosialisme

Syafrizal Maludin

Pusat Inovasi LIPI

11.00 - 11.30
11.30 - 13.30

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

14.45 - 15.15

15.15 - 15. 45

15.45 - 16.15

Sub
Tema

Moderator

P-ALTEK
Drs. Manaek
Simamora
MBA
P-TPN

ISHOMA
Kompetisi Inovasi
Pelayanan Publik Tahun
2014 dan 2015
Alih Teknologi
Penelitian Berbasis
Teknologi Strategis:
Studi Kasus Industri
Magnet Permanen

14.30 - 14.45

Instansi

Pensiunan PNS
BPPT, 1 Januari 2014

Komarudin

Adi Setiya DG,


Novrita Idayanti,
Nanang Sudrajat

Pusat Inovasi LIPI.


Pusat Penelitian
Elektronika dan
Telekomunikasi LIPI

P-TPN

P-ALTEK

Drs. Manaek
Simamora
MBA

COFFEE BREAK
Perubahan Fungsi
Pekarangan Terhadap
Sosial Ekonomi
Masyarakat Perdesaan
(Kasus KRPL di
Kabupaten Purbalingga)
Peningkatan Nilai
Ekonomi Ubi Kayu
Melalui Model Terpadu
Pertanian dan
Pengolahan Pasca Panen
Ubi Kayu
Perilaku
Technopreneurship
Petani Pelestari Dalam
Konservasi Tanaman
Buah Tropika Dan
Kerabat-Kerabatnya

Dewi Sahara, Ahmad


Rifai dan Agus
Hermawan

Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Tengah

Wahyuni, Hartati,
N.S, Hartati, dan
Sudarmonowati, E.

Puslit Bioteknologi
LIPI

P-ALTEK

Adhitya Marendra
Kiloes

Pusat Penelitian dan


Pengembangan
Hortikultura

P-TPN

P-TPN

Syafrizal
Maludin, SE.,
M.TIM.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

clvii

Pusat Inovasi - LIPI

RUANG 102
No

Jadwal

10.30 - 11.00

11.00 - 11.30

Judul
Identifikasi Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan
Ancaman sebagai
Strategi pada
Pengembangan Produksi
Perekat Kayu Berbasis
Lateks
Analisis Potensi
Banyuwangi Sebagai
Kawasan Marine
Technopark Melalui
Pendekatan
Pengembangan Ekonomi
Lokal (PEL)

Pemakalah

Andi Budiansyah,
Widya Fatriasari,
Fahriya Puspita Sari

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

Pusat Inovasi LIPI,


Pusat Penelitian
Biomaterial LIPI

Anang Hidayat,
Tommy Hendrix

Moderator

P-ITSTP

P-ITSTP

ISHOMA
Inkubator Bisnis Dan
Teknologi Swasta
Sebagai Pendorong
Komersialisasi Produk
Start Up Bisnis
Peranan ScienceTechnopark (STP) dalam
Membangun
Perekonomian Nasional
Peluang dan Tantangan
Kedepan

Agus Hariyanto

LPIK ITB

Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI

Dhani Agung
Darmawan

14.30 - 14.45

Pusat Inovasi LIPI,


Pusat Penelitian
Biomaterial LIPI

Sub
Tema

Andis
Priswantoro,
ST.

11.30 - 13.30

Instansi

P-ALTEK
Dr. Sasa Sofyan
Munawar
S.Hut.,M.P
P-ITSTP

COFFEE BREAK

14.45 - 15.15

Strategi Pemasaran Pada


Usaha Mikro Kecil Dan
Menengah (UMKM)
Industri Olahan Hasil
Laut

Anang Hidayat,
Tommy Hendrix

15.15 - 15. 45

Konsep Pembangunan
Techno Park
Banyumulek-NTB
Berbasis Pemanfaatan
Bioresources Dan
Agroeduwisata Secara
Berkelanjutan

Roni Ridwan,
Syahruddin Said, Budi
Septiani, A.W.
Nasrudin, Puspita
Lisdiyanti, Rusli
Fidriyanto, Baharuddin
Tappa dan Bambang
Sunarko

Pusat Penelitian
Sumber Daya
Regional LIPI, Pusat
Inovasi LIPI

P-ALTEK

Ferianto, S.Si..
Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI

P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

clviii

Pusat Inovasi - LIPI

15.45 - 16.15

Science and Technology


Park: Strategi
Membangun Ekosistem
Inovasi Untuk
Pengembangan Ekonomi
Berbasis Inovasi Secara
Berkelanjutan

Pusat Inovasi LIPI,


Asosiasi STP
Indonesia

Manaek Simamora,
Wisnu Soenarto

P-ITSTP

RUANG 111
No

Jadwal

10.30 - 11.00

11.00 - 11.30

Judul
Analisis Performance
Website Pusat Inovasi
Untuk Meningkatkan
Promosi Hasil Litbang
LIPI
Kajian Strategi Promosi
Untuk Meningkatkan
Komersialisasi
Kekayaan Intelektual di
Lembaga Litbang

Pemakalah

Harini Yaniar dan Siti


Kania Kushadiani

13.30 - 14.00

14.00 - 14.30

Harini Yaniar, Tommy


hendrix

14.45 - 15.15

15.15 - 15. 45

15.45 - 16.15

Moderator

P-ALTEK

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK

ISHOMA
Pengembangan Produk
Hasil Riset Bidang
Energi Terbarukan
Menuju Industri
Potensi Pengembangan
Produk kelapa Sawit
Berdasrkan Jumlah
Patent Terdaftar Dalam
Rangka Alih Teknologi

Henny Sudibyo dan


Arini Wresta

Pusat Penelitian
Tenaga Listrik dan
MekatronikLIPI

P-ALTEK
Teguh Heri
Pranowo, S.Sn.

Pradhini Digdoyo, V.
Susirani Kusumaputri

14.30 - 14.45

Pusat Inovasi LIPI,


UPT BMR LIPI

Sub
Tema

Ragil Yoga Edi


S.H., LL.M

11.30 - 13.30
3

Instansi

Pusat Inovasi, LIPI

P-ALTEK

COFFEE BREAK
Analisis Business Model
Canvas (BMC) Untuk
Alih Teknologi: Kasus
Untuk Penelitian Bidang
Hayati LIPI
Tren Kerjasama Alih
Teknologi Asing Ke
Indonesia: Studi Kasus
Kerjasama Alih
Teknologi di Pusat
Inovasi
Penyusunan Standar
Kompetensi Kelompok
Penelitian X (Keltian X)
Di Pusat Penelitian ABC

Diah Anggraeni
Jatraningrum

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK

Yovita Isnasari

Pusat Inovasi LIPI

P-ALTEK

Tri Rakhmawati, Sih


Damayanti

P2SMTP LIPI

P-ALTEK

Drs. Mauludin
Hidayat, M.Sc.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-TPN 01

PERILAKU TECHNOPRENEURSHIP PETANI PELESTARI


DALAM KONSERVASI TANAMAN BUAH TROPIKA DAN
KERABAT-KERABATNYA
Adhitya Marendra Kiloes
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
aditkilus@yahoo.com

ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia,
termasuk didalamnya keanekaragaman hayati tanaman buah-buahan tropika beserta kerabatnya
yang memiliki peranan penting dalam pendapatan masyarakat, keamanan pangan, dan layanan
ekosistem. Peranan petani pelestari sangat penting dalam menjaga keanekaragaman buah-buahan
tropika beserta kerabatnya tersebut. Tidak hanya berperan dalam menjaga kelestarian dengan
tetap memelihara, beberapa petani pelestari juga ikut mengambil manfaat ekonomi dari
keanekaragaman buah-buahan tropika beserta kerabatnya tersebut. Tulisan ini dimaksudkan
untuk mengkaji perilaku technopreneurship petani pelestari dalam memelihara kelestarian
keanekaragaman buah-buahan tropika. Petani pelestari yang terpilih menggunakan metode
Community Biodiversity Management dianalisis perilakunya dalam mencari dan memanfaatkan
teknologi untuk mempertahankan keanekaragaman buah-buahan tropika yang terdapat di
komunitasnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa para petani pelestari secara aktif mencari cara
untuk mendukung pelestarian, termasuk mencari informasi teknologi yang dapat mereka
terapkan. Beberapa teknologi yang banyak dicari oleh petani pelestari adalah teknologi untuk
memperbanyak populasi dan meningkatkan nilai tambah dari tanaman buah-buahan tropika
beserta kerabatnya. Teknologi budidaya seperti teknik sambung pucuk telah mampu membuat
populasi tanaman buah-buahan di komunitasnya meningkat sekaligus mampu meningkatkan
pendapatan keluarga dengan menjual benih-benih tanaman buah tropika yang dihasilkan. Selain
itu teknologi pascapanen telah mampu menciptakan nilai tambah untuk tanaman buah tropika

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

Pusat Inovasi - LIPI

yang awalnya tidak memiliki nilai ekonomis sehingga komunitas dapat merasakan bahwa
tanaman buah tropika yang awalnya tidak berguna dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang
ada. Dengan teknologi yang digunakan mereka dapat meningkatkan pendapatan keluarga dan
komunitasnya,

sekaligus

mempertahankan

keanekaragaman

buah-buahan

tropika

dan

kerabatnya.
Kata Kunci: buah-buahan tropika, petani pelestari, konservasi, teknologi

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
dan juga merupakan pusat dari keanekaragaman spesies tumbuhan (Rhee et al 2004). Buahbuahan tropika merupakan salah satu keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada di Indonesia,
dimana terdapat sekitar 392 jenis buah-buahan dapat ditemukan (Soedjito dan Uji dalam Uji,
2007). Dari banyak jenis buah-buahan tersebut beberapa jenis sudah didomestikasikan dan
dibudidayakan secara intensif dan komersial sedangkan sebagian lagi masih tumbuh sebagai
tanaman liar di alam. Buah-buahan yang tumbuh liar di alam tersebut juga sebagian sudah
dimanfaatkan oleh manusia untuk dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari dan bahkan untuk
sumber pendapatan dengan diambil manfaatnya dengan cara dijual. Namun begitu kepedulian
terhadap potensi buah-buahan tropika tersebut belum sepenuhnya tereksploitasi sebagai sumber
pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan sumber bagi zat esensial yang dibutuhkan oleh tubuh
seperti vitamin, mineral dan energi (Mal dan Rao, 2001).
Beberapa diantara jenis buah-buahan tropika selain dapat meningkatkan pendapatan
petani yang menggantungkan mata pencahariannya dari usahatani buah-buahan toripka tersebut
juga merupakan salah satu sumber devisa negara lewat ekspor buah-buahan tropika. Morey
(2007) mengungkapkan bahwa berdasarkan data perdagangan FAO, perdagangan buah tropika di
tingkat dunia terus mengalami peningkatan. Hal ini merupakan peluang yang dapat diambil oleh
Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman jenis buah-buahan tropika.
Keanekaragaman buah-buahan tropika mengalami ancaman dari pembangunan yang
tidak memperhatikan kepentingan alam. Mobilitas manusia dan pembangunan yang dilaksanakan

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

Pusat Inovasi - LIPI

menyebabkan tersisihnya habitat alami dari beberapa jenis buah-buahan tropika. Pertanian yang
dijalankan secara modern dan komersial juga dapat menjadi ancaman dari keanekaragaman
buah-buahan tropika (Lenzen et al 2012). Kegiatan pertanian pada saat ini kebanyakan
dijalankan secara monokultur akibat tingginya permintaan akan produk-produk pertanian. Hal ini
dapat menyebabkan keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika akan
tergantikan oleh komoditas tunggal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan jenis
buah-buahan tropika yang bernilai ekonomis rendah atau bahkan yang tidak memiliki nilai
ekonomis akan tersingkir dan terancam punah karena tidak memiliki fungsi. Selain itu bencana
alam dan ulah manusia yang tidak bertanggung jawab juga ikut menyumbang terhadap
berkurangnya keanekaragaman sumberdaya genetik termasuk buah-buahan tropika.
Untuk tetap menjaga keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika
dapat dilakukan dengan cara konservasi ex-situ yaitu konservasi yang dilakukan diluar habitat
asli sumberdaya genetik tersebut untuk menghindari kepunahan akbiat aktivitas manusia dan
kondisi alam yang tidak memungkinkan. Namun usaha tersebut dirasakan cukup memakan
waktu dan biaya sehingga dibutuhkan banyak sumberdaya untuk menjaga keanekaragaman
sumberdaya genetik tersbut. Salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan adalah dengan
memelihara sumberdaya genetik tersebut di habitat aslinya atau dipelihara oleh komunitas
masyarakat yang ada atau dilakukan secara in-situ dan on-farm. Dengan cara seperti ini
keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika dapat terhindar dari
ancaman-ancaman yang menghadang.
Dibalik banyaknya ancaman yang mengancam keanekaragaman sumberdaya genetik
buah-buahan tropika masi ada beberapa orang yang masih peduli terhadap keanekaragaman
sumberdaya

genetik

buah-buahan

tropika

dengan

melakukan

konservasi

terhadap

keanekaragaman buah-buahan tropika yang terdapat di komunitasnya. Selain secara aktif


memelihara, mereka juga mengadaptasikan dan mendiseminasikan keankaragaman genetik serta
mencari pengetahuan untuk pengunaan dan pemeliharaannya (Sthapit et al 2013). Mereka biasa
disebut dengan Petani Pelestari atau custodian farmers. Motivasi dari petani pelestari ini
bermacam-macam, mulai dari hanya sekedar hobi memelihara keanekaragaman buah-buahan
tropika, karena alasan budaya, karena alasan ekonomi, karena alasan sosial, dan karena peduli

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

terhadap kelestarian alam. Mereka secara tidak langsung membantu proses konservasi secara onfarm dan in-situ untuk menjaga agar keanekaragaman buah-buahan tropika di kounitasnya tetap
terjaga.
Dalam memelihara keanekaragaman sumberdaya genetik buah-buahan tropika para
petani pelestari mencari cara bagaimana agar keanekaragaman buah-buahan tropika yang ada di
komunitasnya tetap terjaga. Salah satunya dengan aktif mencari teknologi-teknologi baru yang
dapat mereka terapkan untuk mendukung tujuan mereka memelihara keanekaragaman buahbuahan tropika. Beberapa teknologi budidaya dan pascapanen tanaman buah-buahan yang telah
tersedia di Badan Litbang Pertanian dan sumber-sumber teknologi lain berpeluang untuk dapat
dimanfaatkan oleh para petani pelestari. Tulisan ini akan mengkaji perilaku petani pelestari
dalam mencari dan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk mendukung upaya pelestarian
tanaman buah-buahan tropika di komunitasnya.

METODOLOGI
Studi ini merupakan studi yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan konservasi
tanaman buah-buahan tropika yang melibatkan komunitas masyarakat pada enam lokasi di
Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat. Komunitas tersebut yaitu
komunitas Tiron di Kabupaten Kediri, komunitas Bibis di Magetan, Komunitas Telaga Langsat
di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Komunitas Cerbon di Kabupaten Barito Kuala, Komunitas
Astambul dan Sungai Tabuk di Kabupaten Banjar, dan Komunitas Latang di Sijunjung. Dalam
kegiatan ini digunakan konsep Community Bodiversity Management dimana anggota komunitas
masyarakat diajak untuk memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika beserta kerabatkerabatnya baik yang sudah memiliki nilai ekonomis maupun yang belum. Fokus dari kegiatan
ini adalah pada buah mangga, jeruk, manggis, dan rambutan serta kerabat-kerabatnya. Dari
seluruh anggota komunitas masyarakat ini diidentifikasi beberpa orang petani pelestari yang
memiliki perhatian tinggi dalam mempertahankan, mengadaptasikan, dan mempromosikan
keanekaragaman buah-buahan tropika (Sthapit et al, 2013).

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Langkah selanjutnya adalah menganalisis secara deskriptif perilaku petani pelestari


dalam mencari dan memanfaatkan teknologi untuk mempertahankan keanekaragaman
sumberdaya genetik buah-buahan tropika di komunitasnya sekaligus untuk meningkatkan
pendapatan keluarga dan komunitasnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identifikasi dan Motivasi Petani Pelestari
Petani pelestari memeliharan banyak jenis dari buah-buahan tropika. Kiloes et al (2013)
mengemukakan bahwa di lokasi Komunitas Tiron terdapat empat spesies mangga dan terdiri dari
24 varietass. Sedangkan di komunitas Sungai Tabuk terdapat 10 spesies mangga yang terdiri dari
tujuh varietas. Di lokasi Telaga Langsat terdapat 11 spesies mangga yang terdiri dari enam
vareitas, di lokasi Bibis terdapat enam spesies jeruk yang terdiri dari sembilan varietas, di lokasi
Cerbon dan Astambul terdapat 10 spesies jeruk. Sedangkan di lokasi Sijunjung Sumatera Barat
terdapat 5 spesies manggis dan 5 spesies rambutan.
Dari hasil identifikasi diperoleh 17 orang petani pelestari yang memelihara beberapa jenis
buah-buahan tropika beserta kerabatnya yang ada di komunitas tempat tinggal mereka dari tujuh
komunitas kegiatan konservasi tanaman buah-buahan tropika berbasis masyarakat. Mereka
terdiri dari petani-petani laki-laki dan perempuan dengan berbagai latar belakang pekerjaan.
Namun kebanyakan dari mereka memiliki latar belakang sebagai petani. Tujuan mereka
memelihara keanekaragaman genetik buah-buahan tropika bermacam-macam, mulai dari hanya
sekedar hobi hingga ingin mempertahankan keanekaragaman sumberdaya genetik tanaman buahbuahan di komunitasnya agar anak cucu mereka dapat mengenal kekayaan alam yang ada di
komunitasnya.

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Petani Pelestari yang teridentifikasi

Sthapit, et al (2013) mengatakan bahwa ada beberapa jenis petani pelestari. Pertama
petani pelestari yang hanya memelihara keanekaragaman genetik, kedua petani pelestari yang
memelihara keanekaragaman genetik dan mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk
upaya konservasi, ketiga petani pelestari yang memelihara keanekaraagaman sumberdaya
genetik, mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk upaya konservasi, dan
mempromosikan keanekaragaman genetik, dan keempat petani pelestari yang memelihara
keanekaragaman sumberdaya genetik, mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk
upaya konservasi, mempromosikan keanekaragaman genetik, dan secara berkelanjutan
memelihara keanekaragaman genetik buah-buahan tropika.

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

Pusat Inovasi - LIPI

Berdasarkan

wawancara

yang

dilakukan,

motivasi

petani

pelestari

dalam

mempertahankan keanekaragaman buah-buahan tropika di komunitasnya terdiri dari hobi,


kepentingan budaya, kepentingan layanan ekosistem, dan motivasi ekonomi untuk mendapatkan
pendapatan yang lebih. Namun motivasi yang paling banyak dijadikan alasan adalah motivasi
ekonomi.
Tabel 1. Motivasi petani pelestari memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika
Nama

Ekosistem

Ekonomi

Jemu

Mustari

Partiyem

Sudarman

Hobi

Budaya

Sadino

Pardi

Kusasi

Nor Irani

Mahyudin

Arbani

Mahadi

Rusmini

Hadi

Kalwiansyah

Aziz

Syukeri

Sas Junita
Jumlah

16

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dari 17 petani pelestari yang telah teridentifikasi, 16 diantaranya memiliki motivasi


ekonomi untuk meningkatkan pendapatannya. Motivasi ekonomi petani pelestari dalam
memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika di komunitasnya membuat para petani
pelestari termotivasi untuk mencari teknologi-teknologi yang akan mereka terapkan dalam
menjaga keanekaragaman sumberdaya genetik buah-buahan tropika sekaligus meningkatkan
pendapatan keluarga dan komunitasnya.

Perilaku Petani Pelestari dalam Mencari dan Memanfaatkan Teknologi


Upaya konservasi tanaman buah-buahan tropika beserta kerabatnya hanya akan
berkelanjutan apabila komunitas masyarakat merasakan manfaatnya seara langsung dari kegiatan
tersebut terutama dari segi ekonomi. Apabila anggota komunitas masyarakat tidak merasakan
manfaatnya maka upaya konservasi akan terhenti dan bahkan akan terancam karena tanaman
buah-buahan tropika yang tidak memiliki nilai ekonomis akan digantikan dengan tanaman yang
memiliki nilai ekonomis. Jenis-jenis teknologi yang dicari oleh 16 petani pelestari yang memiliki
motivasi ekonomi dalam memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika adalah dengan
mencari teknologi perbanyakan tanaman yang cepat, teknologi budidaya, teknologi pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman, teknologi pengolahan agar tanaman yang tidak memiliki nilai
ekonomis dapat bertambah nilainya, serta mencari varietas-vareitas unggul baru yang dapat
dikembangkan di komunitasnya.

Tabel 2. Jenis-jenis teknologi yang dicari oleh petani pelestari


Jenis teknologi

Jumlah petani

Perbanyakan tanaman

Teknologi budidaya

15

Pengendalian OPT

12

Pengolahan

Varietas Unggul Baru

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Secara tradisional petani memperbanyak tanaman buah-buahan tropika dari biji. Namun
cara tersebut membutuhkan waktu yang lama hingga tanaman dapat berbuah. Contohnya
tanaman kasturi di Kalimantan Selatan yang merupakan tanaman buah kerabat mangga yang
baru dapat berbuah setelah 10 tahun sejak ditanam. Dengan teknologi sambung pucuk, yang
telah banyak digunakan sebelumnya pada tanaman lain, perbanyakan kasturi dapat lebih mudah
dilakukan. Dengan menggunakan sumber mata tempel dari pohon yang telah diregistrasi oleh
komunitas, petani dapat dengan mudah untuk memperbanyak benih kasturi yang bersifat unggul.
Sebabnya apabila perbanyakan dilakukan hanya dari biji kemungkinan yang terjadi selain
pertumbuhannya lama adalah adanya penyimpangan genetik yang dapat mengakibatkan
hilangnya sifat unggul yang dimiliki oleh kasturi tadi. Kusasi, petani pelestari dari Telaga
Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan telah menggunakan teknologi ini
untuk memperbanyak pohon kasturi untuk dijual. Bahkan Kusasi telah dipercaya oleh Badan
Pengawasan dan Sertifikasi Benih sebagai penangkar tanaman buah-buahan yang terpercaya.
Harga bibit kasturi yang diproduksi Kusasi juga lebih bagus karena Kusasi selalu kualitas bibit
tersebut.
Dalam memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika tentunya dibutuhkan teknologiteknologi budidaya agar tanaman yang dipelihara dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan
hasil sesuai dengan yang diinginkan. Melalui peneliti dan penyuluh-penyuluh para petani
pelestari mencari cara agar tanaman yang dipelihara dapat tumbuh dengan baik. Di komunitas
Latang, Sijunjung, Sumatera Barat teknologi pemupukan dan pengairan dapat meningkatkan
kualitas dari manggis sehingga terhindar dari getah kuning dan burik sehingga layak untuk
dijadikan komoditas ekpor. Teknologi tersebut mereka terapkan juga pada tanaman kerabat
manggis seperti asam kandis dan asam gelugur agar pertumbuhan serta hasilnya bagus.
Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
kegagalan budidaya tanaman termasuk dalam upaya memelihara keanekaragaman sumberdaya
genetik buah-buahan tropika. Petani pelestari jeruk di Bibis, Magetan, Jawa Timur menerapkan
Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat untuk memelihara jeruk yang ditanam.
Beberapa modifikasi dilakukan oleh petani karena berbeda varietas akan menerima respon yang
berbeda terhadap teknologi tersebut.

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa jenis buah-buahan tropika memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Bahkan petani di Bibis Magetan yang awalnya bertani padi rela
mengganti tanamannya dengan jeruk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun
permasalahan akan timbul ketika ada kerabat buah-buahan tropika yang tidak memiliki nilai
ekonomis karena mungkin rasanya yang tidak enak. Beberapa petani pelestari mencoba untuk
mencari cara agar buah-buahan yang tidak bernilai ekonomis tersebut dapat memiliki nilai
ekonomis tinggi dengan cara mencari teknologi pengolahan. Begitu pula pada saat produksi
buah-buahan melimpah. Nor Irani petani pelestari dari Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Kalimantan Selatan mengolah mangga kuini dan mangga kasturi menjadi berbagai
produk olahan seperti sirup, permen, selai, dan minuman. Sas Junita petani pelestari dari Latang,
Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat bahkan tidak langsung menggunakan buah sebagai bahan
olahan. Sas menggunakan daun dari tanaman asam gelugur yaitu salah satu kerabat manggis
untuk dibuat teh celup yang berkhasiat untuk melangsingkan perut.
Balai-Balai Penelitian Buah di Indonesia telah mengeluarkan beberapa varietas unggul
baru. Beberapa dari varietas tersebut cocok untuk diadaptasikan di lingkungan komunitas
tersebut berada. Penanaman varietas unggul baru yang komersial tentunya akan menambah
pendapatan petani pelestari. Rusmini petani jeruk di Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,
Kalimantan Selatan menanam jeruk varietas baru yang cocok ditanam di lahannya. Namun
karena Rusmini juga memiliki kesadaran akan pentingnya keanekaragaman maka jenis-jenis
jeruk lain yang sebelumnya dia tanam tetap dipelihara.
Jenis-jenis teknologi yang diterapkan petani bersumber dari beberapa sumber. Tidak
hanya dari balai-balai penelitian atau penyuluhan tapi juga dari pihak swasta dan Lembaga
Swadaya Masyarakat. Jemu, petani pelestari di Tiron, Kediri, Jawa Timur memperoleh teknologi
pengolahan mangga menjadi mangga kering dari Lembaga Swadaya Masyarakat internasional
Resouce Exchange International (REI). LSM tersebut mengajarkan kepada Jemu dan
komunitasnya untuk mengolah mangga podang yang harganya jatuh ketika panen raya menajadi
mangga kering yang merupakan komoditas ekspor. Hasilnya, Jemu dan komunitasnya dalam
beberapa kali setahun dapat mengekspor mangga kering hingga ke Amerika Serikat.

Bidang P-TPN

10

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 3. Sumber teknologi yang digunakan dalam memelihara keanekaragaman


Sumber teknologi

Jumlah

Balai penyuluhan

Balai penelitian / BPTP

15

Swasta

LSM

Dukungan Kebijakan
Dalam memelihara keanekaragaman suberdaya genetik buah-buahan tropika diperlukan
sentuhan teknologi terutama teknologi yang dapat memelihara sekaligus mendatangkan
keuntungan untuk peningkatan pendapatan petani dan komunitasnya. Beberapa dukungan
kebijakan yang daat diambil adalah dengan mempertemukan petani pelestari dnegan berbagai
pemangku kepentingan agar wawasan mereka lebih luas. Petani pelestari dari Latang, Sijunjung,
Sumatera Barat telah difasilitasi untuk melakukan studi banding ke Malaysia tepatnya di Negara
Bagian Perak. Disana para petani pelestari belajar teknologi pengolahan tanaman asam gelugur
agar menjadi komoditas yang bernilai ekonomis tinggi.
Selain itu perlu dibangun jaringan petani pelestari nasional sebagai sarana untuk tukar
menukar teknologi dan material-material genetik untuk memperkaya keanekaragaman genetik
yang ada di komunitasnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi dapat
mendukung pemeliharaan keanekaragaman genetik buah-buahan topika sekaligus meningkatkan
pendapatan petani pelestari. Dibutuhkan dukungan kebijakan untuk petani pelestari agar lebih
dapat menggunakan teknologi yang tersedia untuk keberlanjutan pemeliharaan keanekaragaman
sumberadaya genetik buah-buahan tropika di komunitasnya.

Bidang P-TPN

11

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih diberikan kepada Global environment Facilities (GEF) dan United
Nations Environment Programme (UNEP) yang telah memfasilitasi studi yang dilakukan dan
Bioversity International atas dukungan teknis yang telah diberikan. Serta National Project
Management Unit serta Provincial Project Management Unit di Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
dan Sumatera Barat yang telah memberikan dukungan informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Uji, T. 2007. Keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia dan Potensinya. J. Biodiversitas 8(2):
157-167
Rhee, S., Kitchener, D., Brown, T., Merril, R., Dilts, R., and Tighe, S., 2004. Report on Biodiversity and
Tropical Forest in Indonesia. Submitted in Accordance with Foreign Assistance Act Section
118/119. USAID.
Bhag Mal and V. Ramanatha Rao. 2001. Conservation and Use of Native Tropical Fruit Species
Biodiversity in Asia. Conservation and Use of Native Tropical Fruit Species Biodiversity in Asia,
Proceeding of the First Annual Meeting of Tropical Fruit Genetic Resources Project, Pattaya,
Thailand 6-9 February 2001. IPGRI South Asia Office, New Delhi, India
Lenzen, M, Moran, D, Kanemoto, K, Foran, B, Lobefaro, L, and Geschke, A. 2012. International Trade
Drives Biodiversity Threats in Developing Nations. Nature, Vol. 486: 109-112.
Sthapit, B., Lamers, H., Rao, R. 2013. Custodian Farmers of Agricultural Biodiversity: Putting on-farm
Conservation Theory into Practice-What We Can Learn from Them. Proceedings of the
Workshop on Custodian Farmers of Agricultural Biodiversity, 11-12 February 2013, Bioversity
International South Asia Office, New Delhi, India.

Bidang P-TPN

12

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kiloes, AM., Winarno, Arsanti, IW, Kurniasih, D., Nurmalinda, Yufdy, MP (editor). 2013. Community
Fruit Catalogue: Mango and Citrus in East Java and South Kalimantan. Office of National Project
Management Unit of GEF/UNEP Project Conservation and Sustainable Use of Wild and
Cultivated Tropical Fruit Diversity: Promoting Sustainable Livelihoods, Food Security, and
Eccosystem Services, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta

Bidang P-TPN

13

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

14

Pusat Inovasi - LIPI

P-TPN 02

MEWUJUDKAN TEKNOPRENEURSHIP MELALUI


PENERAPAN PROGRAM KAWASAN AGRIBISNIS KRISAN
BERBASIS INOVASI DI KABUPATEN SUKABUMI
Rima Setiani, Sulusi Prabawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
rimasetiani@yahoo.com

ABSTRAK
Sukabumi merupakan salah satu daerah penghasil krisan yang telah mensuplai kebutuhan
Krisan di Indonesia antara lain Bali, Jawa Timur, Tomohon, dan Medan. Menurut Pusdatin,
Kementan, pada tahun 2009-2013 terdapat tiga provinsi sentra produksi krisan yang mempunyai
kontribusi kumulatif hingga mencapai 96,75% yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar yaitu 48,39% terhadap total produksi krisan
Indonesia atau sebesar 133.915.172 tangkai. Namun, sejak tahun 2013 petani krisan mulai
mengeluhkan permintaan krisan yang cenderung menurun sehingga pendapatan petani rendah.
Hal ini ditengarai karena kualitas krisan dari Sukabumi belum dapat bersaing dengan daerah lain
ditambah lagi beberapa daerah sudah dapat mengembangkan krisan sendiri.
Badan

Litbang

Pertanian

mempunyai

kegiatan

dukungan

terhadap

Program

Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura (PKAH), yang merupakan salah satu program
strategis Kementerian Pertanian yang diharapkan mampu meningkatkan produksi, kualitas hasil,
dan produktivitas hortikultura secara nasional, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan, kesempatan berusaha, kesejahteraan, dan kebersamaan
komunitas di sekitar kawasan. Program tersebut akan berhasil apabila didukung oleh komitmen
semua pihak terkait dari hulu sampai hilir (Tim DPKAH, 2012).
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendiskripsikan kegiatan PKAH dalam rangka
mewujudkan teknopreneurship krisan di desa Langensari, kecamatan Sukaraja, Kabupaten

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Sukabumi. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan petani, focus group discussion
untuk mengidentifikasi permasalahan petani krisan di lapang, dan promosi dengan kegiatan
pengukuhan kawasan agribisnis florikultura. Hasilnya adalah beberapa tahapan kegiatan dalam
rangka mewujudkan teknopreneurship yaitu melalui koordinasi, pelatihan, demplot teknologi,
pendampingan, promosi dan pengukuhan kawasan agribisnis florikultura.

Kata kunci : teknopreneurship, kawasan, agribisnis, florikultura

PENDAHULUAN
Daya saing produk florikultura Indonesia tergolong rendah dibanding produk serupa dari
negara lain, hal ini disebabkan oleh karena varietas yang digunakan tidak sesuai dengan
preferensi pasar, tidak adanya jaminan mutu, belum adanya kontinuitas dan ketepatan waktu
pengiriman produk, harga produk yang tinggi, biaya transportasi yang tinggi dan intensitas
promosi yang rendah (Balithi, 2015).
Permintaan pasar domestik akan produk florikultura dalam periode lima tahun terakhir
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Penyediaan produk florikultura dari dalam
negeri diharapkan lebih kompetetitif mengingat biaya transportasi lebih rendah dibanding produk
impor.

Oleh karena itu perlu memperkuat basis produksi dalam rangka menstabilkan

ketersediaan produk tanaman hias di pasar dalam negeri. Salah satu florikultura yang sudah
berkembang di Indonesia adalah Krisan (Balithi, 2015). Pemintaan Krisan di Indonesia cukup
besar, sebagian besar konsumen krisan yaitu florist, decorator, even organizer yang
memanfaatkan krisan untuk digunakan sebagai dekorasi, untuk upacara keagamaan, bahkan
akhir-akhir ini terdapat produk teh bunga krisan.
Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pada tahun
2009-2013 terdapat tiga provinsi sentra produksi krisan yang mempunyai kontribusi kumulatif
hingga mencapai 96,75% yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat
memberikan kontribusi terbesar yaitu 48,39% terhadap total produksi krisan Indonesia atau
sebesar 133.915.172 tangkai. Jawa Tengah sebesar 84.514.458 tangkai (30,54%), Jawa Timur

Bidang P-TPN

15

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

sebesar 49.331.849 tangkai (17,82%). Sementara provinsi lainnya hanya memberikan kontribusi
sebesar 3,25% atau setara 9.000.171 tangkai krisan. Jawa Barat sebagai provinsi terbesar sentra
produksi krisan nasional memiliki sembilan kabupaten penghasil krisan. Namun berdasarkan
data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat tahun 2013,
hanya tiga kabupaten yang memberikan total kontribusi hingga 99,11% yaitu Kabupaten Cianjur
(53,67%), Kabupaten Bandung Barat (24,75%), dan Kabupaten Sukabumi (20,69%). Sementara
kabupaten lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar 0,89% atau setara dengan 716.436
tangkai dari total produksi krisan di Provinsi Jawa Barat sebesar 197.826.269 tangkai (Pusdatin
Kementan, 2014). Selain krisan, kabupaten Sukabumi juga menjadi produsen dracaena, bunga
sedapmalam, anthurium, anyelir, dan gladiol, seperti disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Data Tanaman Hias Unggulan Daerah di Jawa Barat
No

Komoditas

Kabupaten/Kota

Anggrek

Kota Depok, Bogor, Karawang, Bandung, Kota Bogor

Krisan

Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi, Bogor

Sedap Malam

Bandung Barat, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bogor

Mawar

Bandung Barat, Cianjur, Bogor, Kota Bogor, Kota Depok

Gerbera

Bandung Barat, Cianjur, Kota Depok, Kota Bogor

Melati

Cirebon, Kota Cirebon

Anthurium

Garut, Bandung Barat, Sukabumi

Anyelir

Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi

Gladiol

Bandung Barat, Cianjur, Kota Bogor, Sukabumi, Bogor

10

Heliconia

Kota Depok, Bogor, Bandung Barat, Kota Bogor

11

Dracaena

Sukabumi, Kota Bogor, Cianjur, Bogor

Bidang P-TPN

16

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

12

Palem

Karawang, Kota Depok, Bandung Barat, Bekasi, Kota Bogor

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat

Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura (PKAH) adalah salah satu


program strategis Kementerian Pertanian yang dimulai pada tahun 2010 yang pelaksanaanya
dikoordinasi oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Badan Litbang Pertanian yang mempunyai
tugas melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian mendukung
program PKAH melalui kegiatan Dukungan PKAH, sebagai penanggung jawab adalah
Puslitbang Hortikultura. Menurut Ditjen Hortikultura kawasan agribisnis hortikultura ialah suatu
ruang geografis yang mempunyai keserupaan ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infrastruktur
yang sama sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai kegiatan usaha berbasis
hortikultura termasuk penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca
panen, pemasaran, serta berbagai kegiatan pendukungnya Pendekatan KAH merupakan suatu
terobosan dan perubahan paradigma dalam pembangunan hortikultura dengan memperhatikan
kepentingan pelaku usaha dan petani, serta dukungan dari berbagai institusi, sehingga hasilnya
lebih optimal, menguntungkan dan berkelanjutan (Puslitbang Hortikultura, 2012).
Pengembangan kawasan berbasis inovasi dilakukan untuk mendorong terciptanya sistem
agribisnis yang mengkonsolidasikan semua segmen usaha secara vertikal maupun horisontal
berbasis kelembagaan ekonomi masyarakat. Di dalam memberikan dukungan inovasi perlu
disusun rancang bangun yang mendesain pengintegrasian inovasi ke dalam sistem agribisnis
hortikultura dalam bentuk pilot model sebagai embrio berkembangnya usaha industrial yang
memadukan seluruh segmen usaha hortikultura berbasis unggulan lokal dari hulu sampai ke
hilir dalam ikatan kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan. Inisiasi pembentukan usaha
industrial tersebut harus dikaitkan dengan program dan kegiatan serupa di berbagai instansi dan
lembaga di tingkat pusat maupun daerah, sehingga pelaksanaannnya di lapangan berjalan
terintegrasi (Puslitbang Hortikultura, 2012).
Teknopreneurship berasal dari dua kata yaitu teknologi dan entrepreneur. Teknologi
adalah sebuah ilmu praktis yaitu bagaimana ilmu pengetahuan (science) memberi manfaat

Bidang P-TPN

17

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

langsung kepada masyarakat. Seorang technoprenuer melakukan komersialisasi yang baik dari
hasil penelitian dan penerapan teknologi dengan mengubah rongsokan menjadi emas. Produk
temuan dapat membangun kesejahteraan bagi penemu, pengelola bisnis dan penggunanya
(Ciputra, 2008). Teknopreneurship merupakan bagian dari entrepreneurship yang menekankan
pada faktor teknologi, yakni kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses
bisnisnya. Teknopreneurship memiliki dua fungsi utama yakni menjamin bahwa teknologi
berfungsi sesuai kebutuhan pelanggan, dan teknologi tersebut dapat menghasilkan keuntungan
(Soegoto, 2009).

METODOLOGI
Kegiatan ini adalah bagian dari kegiatan Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura Berbasis Inovasi (DPKAH BI) yang ada di Puslitbang Hortikultura, yang sudah
mulai dilaksanakan pada tahun 2010 sampai dengan sekarang.
Lokasi kegiatan adalah di desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.
Pemilihan lokasi adalah berdasarkan beberapa alasan yaitu antara lain dengan ketinggian + 700
mdpl sesuai untuk pertumbuhan krisan serta ada beberapa areal produksi yang terkonsentrasi di
wilayah tersebut. Lokasi kawasan sesuai dengan tata ruang dan selaras dengan kebijakan
nasional dan kebijakan daerah.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan petani, focus group discussion
dengan Ditjen Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, petani, penyuluh dan Dinas Pertanian
kabupaten Sukabumi, serta pengumpulan data sekunder.

Bidang P-TPN

18

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Badan Litbang Pertanian melalui Puslitbang Hortikultura telah melakukan kegiatan
dukungan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura sejak tahun 2010 yang merupakan
program Kementan yang dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Dari tahun 2010
sampai dengan 2015, kegiatan DPKAH memberikan perkembangan dan hasil yang nyata di
lapang. Salah satu model pengembangan kawasan agribisnis hortikultura adalah pengembangan
kawasan agribisnis florikultura di kampung Pasir Halang, desa Langensari, Kecamatan Sukaraja,
kabupaten Sukabumi.
Kabupaten Sukabumi termasuk dalam Kabudapo yaitu kawasan bunga dan daun
potong di Jawa Barat selain Kabupaten Cianjur, Bandung Barat dan Bogor. Keberadaan Jawa
Barat dalam pengembangan florikultura di Indonesia sangat besar. Hal ini karena produksi utama
komoditas florikultura seperti krisan, dracaena, anggrek, sedap malam, philodendron, anthurium
berada di Jawa Barat yakni di empat kabupaten tersebut.
Sukabumi juga merupakan salah satu daerah penghasil krisan yang telah mensuplai
kebutuhan Krisan di Indonesia antara lain Bali, Jawa Timur, Tomohon, dan Medan. Luas kebun
krisan di Kabupaten Sukabumi sekitar 30 Ha atau sekitar 600 green house (GH) dengan luas
rata-rata per GH 500 m2. Dari jumlah tersebut, hampir 80% unit GH berada di kecamatan
Sukaraja. Itulah sebabnya Sukaraja merupakan sentra utama krisan di kabupaten Sukabumi.
(Dinastan, 2015).
a.

Identifikasi Permasalahan Melalui Koordinasi


Kegiatan diinisiasi pada tahun 2013. Tahapan pertama yang dilakukan adalah focus group

discussion bersama petani, Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, Ditjen Hortikultura


(Direktorat Florikultura dan Direktorat Perbenihan) serta Badan Litbang Pertanian (Puslitbang
Hortikultura, Balai Penelitian Tanaman Hias dan BPTP Jawa Barat). Tujuan FGD adalah untuk
mendapatkan gambaran existing pengembangan krisan di Sukabumi. Beberapa permasalahan
yang terungkap dalam budidaya krisan adalah tingginya serangan hama dan penyakit tanaman
yang mengakibatkan produktivitas dan mutu krisan relatif rendah, informasi teknologi terbatas
sehingga implementasi teknologi juga belum optimal sehingga menyebabkan krisan Sukabumi

Bidang P-TPN

19

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

tidak dapat bersaing dengan daerah lain. Permasalahan lain adalah sumber permodalan petani
terbatas serta suplai bunga dari daerah lain relatif tinggi sehingga harga krisan dari kabupaten
Sukabumi rendah akibatnya keuntungan petani tidak maksimal. Hal tersebut diperkuat dengan
informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi yang menyatakan bahwa potensi tanaman
hias yang dimiliki Jawa Barat belum maksimal dimanfaatkan oleh para petani, karena kurangnya
informasi dan pengetahuan serta masih adanya anggapan komoditas ini merupakan usaha
sampingan sehingga belum diusahakan secara optimal. Dalam FGD teridentifikasi bahwa petani
mengeluhkan pada tahun 2013 permintaan Krisan dari beberapa daerah dari luar Jawa Barat
turun, ditengarai karena kualitas krisan dari Sukabumi belum dapat bersaing dengan daerah lain
serta daerah lain sudah dapat mengembangkan Krisan sendiri. Harga Krisan di Sukabumi dari
tahun 2003 2013 tidak berubah yaitu kisaran Rp. 7500 Rp. 8000 per ikat, berbeda dengan
Krisan dari Jawa barat lainnya yang mencapai Rp.10.000 - 15.000 per ikat, sehingga petani mulai
berpikir untuk meninggalkan budidaya Krisan dan beralih ke komoditas lain.
Permasalahan yang komplek tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri oleh petani, namun
perlu dukungan dari banyak pihak. Keterlibatan banyak pihak akan memberikan kontribusi dan
hasil yang lebih cepat dan nyata. Untuk itu dilakukan koordinasi, dengan koordinator Dinas
Pertanian Kabupaten Sukabumi bersama Tim Badan Litbang Pertanian, Direktorat Jenderal
Hortikultura serta para petani Krisan, dalam rangka menyatukan misi meningkatkan
pengembangan agribisnis Krisan di Sukabumi serta menyamakan persepsi antar pihak terkait
dukungan terhadap pengembangan kawasan florikultura. Dalam pertemuan, Badan Litbang
Pertanian menyampaikan konsep rancang bangun Dukungan Inovasi Teknologi Dalam Program
Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura yang sudah berhasil diterapkan di beberapa
daerah. Inti dari rancang bangun adalah fokus komoditas, keterpaduan kegiatan, keterpaduan
lokasi kegiatan, serta keterpaduaan pembiayaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
swasta

Diharapkan dengan adanya pendekatan konsep rancang bangun Dukungan Inovasi

Teknologi Dalam Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Krisan, mampu meningkatkan


daya saing komoditas unggulan, tumbuhnya kemandirian di bidang perbenihan dan sarana
pendukung, tumbuhnya kegiatan on farm, off farm, penguatan permodalan dan investasi,
kerjasama kemitraan, dan jejaring kerja (Balithi, 2012). Koordinasi menghasilkan kesepakatan

Bidang P-TPN

20

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

model rancang bangun pengembangan Krisan di Sukabumi dengan keterlibatan Dinas Pertanian
Kabupaten Sukabumi, Badan Litbang Pertanian dan Dirjen Hortikultura. Badan Litbangtan
menyiapkan konsep rancang bangun, nara sumber dan teknologi, membuat demplot, Ditjen
Hortikultura mengalokasikan green house di lokasi model serta Distan Kabupaten Sukabumi
menyiapkan petani serta sarana prasarana yang dibutuhkan.

Gambar 1

Koordinasi bersama BPTP Jawa Barat, Diperta Sukabumi dengan Ketua


Kelompok Tani Asri Pertanaman, Tim Badan Litbang dan PPL di Poktan a),
Koordinasi di lokasi perbenihan krisan b).

Peningkatan kualitas dan mutu krisan menjadi sasaran utama untuk diperbaiki terlebih
dahulu melalui penerapan teknologi Balitbangtan, setelah itu untuk dapat bersaing dengan daerah
lain perlu sentuhan usaha industrial yang dikaitkan dengan program dan kegiatan dari berbagai
instansi dan lembaga pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk mewujudkan kesatuan kerja yang
sinergis dan harmonis maka diperlukan koordinasi secara intensif semua instansi yang terlibat
(Balithi, 2012).

b.

Demplot Teknologi
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan demplot perbenihan krisan sebagai media

diseminasi inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian. Krisan yang dibudidayakan pada awalnya
adalah varietas krisan introduksi. Oleh karena Balithi sudah menghasilkan banyak varietas
krisan, maka pada tahun 2014 bersama dengan BPTP Jawa Barat, Kelompok Tani Asri dan

Bidang P-TPN

21

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kelompok tani Tunas Bunga dan Diperta Sukabumi mengadakan demplot perbenihan krisan dan
display varietas krisan yang sudah dihasilkan oleh Balithi.
Demplot perbenihan yang dilakukan berada di Kelompok tani Asri di Sukaraja, Sukabumi
dengan diketuai oleh Bapak Yandi. Varietas yang di tanam sebagai tanaman induk dalam
demplot tersebut adalah krisan varietas Puspita Nusantara, Puspita Pelangi, Kusuma Swasti,
Marimar dan Yulimar. Kelima varietas tersebut merupakan varietas yang menurut informasi dari
petani merupakan varietas yang diterima oleh konsumen. Demplot yang dilakukan bertujuan
untuk mempercepat penyediaan benih krisan yang mengacu pada SOP produksi benih dan
peredaran benih krisan (Balithi, 2014).

Gambar 2. Lokasi pengembangan ruang tanam perbenihan,


produksi bunga dan display varietas di Sukaraja, Sukabumi

Inovasi teknologi merupakan kunci utama dalam pembangunan teknopreneurship.


Inovasi teknologi yang dikenalkan antara lain keseragaman satu varietas dalam satu bedengan,
tidak boleh dicampur dengan varietas lain, perbaikan sarana dan prasarana pada lokasi dengan
memperbaiki saluan irigasi untuk pemerataan pengairan, penambahan cahaya buatan dimalam
hari selama 4 jam/hari dengan intensitas pencahayaan optimal ditambah cahaya lampu 70 lux
untuk memperpanjang vase pertumbuhan vegetatifnya, serta perbaikan teknologi untuk
pengakaran sesuai dengan SOP Perbenihan Krisan. (Balithi, 2014). Pendampingan dalam
pengembangan perbenihan krisan dilakukan secara berkesinambungan dan intensif sebagai

Bidang P-TPN

22

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

upaya untuk meningkatkan adopsi teknologi baik teknologi varietas dan teknologi budidaya yang
sudah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.
Pada tahun 2015 dikenalkan

teknologi untuk menekan biaya produksi sekaligus

memandirikan petani dan menuju budidaya ramah lingkungan yaitu dengan plant growth
promoting rizhobacteria atau PGPR, formulasi yang terdiri dari isolat bakteri tanah yang saat
diaplikasikan pada tanaman mampu menjadi pupuk sekaligus pestisida. PGPR ini mampu
menghasilkan unsur hara dan zat pengatur tumbuh. Rancangan produksinya sudah dibuat
sederhana, mudah dan murah, oleh tim penelitinya sehingga Gapoktan dapat membuat
pupuk/pestisida berbasis PGPR sendiri. Ir. Hanudin, Ketua Tim Peneliti menunjukkan hasil uji
coba pada krisan di green house, hanya butuh 5 liter racikan PGPR untuk tiap hektar, dan tidak
perlu pupuk dan pestisida lagi. Jika dihitung hanya perlu biaya Rp. 175.000,- dapat dibandingkan
jika menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Ke depan, teknologi ini diharapkan dapat
diterapkan dan dikembangkan oleh petani krisan.
Demplot perbenihan krisan adalah sarana penumbuhan dan pembinaan petani untuk
menerapkan budidaya krisan, selain dengan mengenalkan teknologi dasar baik benih, budidaya,
prototype alat dan pasca panen secara komersial juga memfasilitasi peningkatan kemampuan
masyarakat untuk berusaha budidaya krisan berskala agribisnis (Balithi, 2015).

c.

Sinergi Berbagai Institusi dalam jejaring Kerja Mewujudkan KAF


Kontribusi mendukung KAF, juga dilakukan oleh instansi pemerintah lain yaitu Ditjen

Hortikultura memberikan anggaran melalui Dinas pertanian Provinsi dan Dinas Pertanian
Kabupaten untuk lahan krisan seluas 5000 m2, memberikan bantuan teknis dan sarana prasarana
antara lain dengan memberikan benih gladiol dan sedap malam, pupuk dan insektisida,
pembangunan green house serta fasilitasi petani dan penyuluh untuk belajar di Balithi dan studi
banding di lokasi lain yang juga dikawal dengan teknologi Balithi. Dinas Pertanian Kabupaten
mengerahkan penyuluh sebagai pendamping di lokasi pengembangan, serta melakukan sekolah
lapang untuk budidaya dan penanganan pasca panen yang baik. BPSB mengawal proses
perbenihan untuk dapat menjadi benih bersertifikat. Kerjasama dalam jejaring kerja menjadi
kunci keberhasilan dari tujuan pengembangan kawasan agribisnis krisan.

Bidang P-TPN

23

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 3. Demplot perbenihan dan produksi krisan berbasis inovasi

Beberapa indikator keberhasilan adalah bahwa saat ini, sudah berkembang budidaya
krisan dengan penerapan teknologi Balitbangtan. Manfaat yang diperoleh petani cukup banyak,
diantaranya peningkatan produktivitas dan mutu hasil, perluasan peluang usaha, peningkatan
pendapatan, dan peluang kerja. Dengan peningkatan produktivitas, mutu dan nilai tambah, maka
produk krisan di desa Langensari dapat bersaing di pasar dalam negeri. Bukti dari keseriusan
petani dalam pengembangan agribisnis krisan adalah terbentuknya gapoktan Sari Tani Jaya
dengan ketua Bapak Yandi, gapoktan tersebut merupakan gabungan dari poktan-poktan krisan
yang berada di Kecamatan Sukaraja Sukabumi. Gapoktan Sari Tani Jaya memperluas ruang
tanam untuk perbenihan dan produksi bunga potong dan membangun rumah lindung yang
dijadikan tempat display varietas-varietas krisan yang dihasilkan oleh Badan Litbangtan. Dengan
terbentuknya Gapoktan, maka penjualan krisan dikoordinir oleh Gapoktan.
Pasar mulai berdatangan di desa Langensari, dan siap memasarkan di antaranya adalah
dari stasiun agribisnis dari Bungbulang, asosiasi florikultura, florist, event organizer dan
decorator yang sudah memasarkan produk krisan dari kampung Pasir Halang. Para pelaku usaha
agribisnis tanaman hias diharapkan dapat lebih berperan dalam berbagai skala usaha baik skala
usaha kecil, menengah, ataupun skala usaha besar.
Dukungan Inovasi pada Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Krisan di Sukabumi
sampai dengan tahun 2015 menghasilkan petani yang sudah mampu mandiri. Model DPKAF di
Sukabumi akhirnya dikukuhkan, dalam arti sebagai semangat dalam menyatukan suara bahwa
kabupaten Sukabumi sebagai kawasan agribisnis untuk memantapkan sukabumi sebagai
produsen utama bunga. Pengukuhan dilaksanakan tanggal 9 September 2015 di Kampung

Bidang P-TPN

24

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pasirhalang, Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Testimoni Pejabat


Bupati Sukabumi menyatakan bahwa pengukuhan menjadi tonggak untuk tumbuh lebih besar
lagi, memberi sumbangan pada peningkatan ekonomi daerah melalui florikultura, wisata agro
dan wisata edukasi. Pengukuhan ditandai penandatanganan prasasti oleh Pejabat Bupati
Sukabumi, Direkur Jenderal Hortikultura, dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian yang telah bahu-membahu dalam tiga tahun terakhir membina, memberi fasilitas dan
mengalirkan inovasi kepada pelaku usaha florikultura.

KESIMPULAN DAN SARAN


Program pengembangan kawasan agribisnis florikultura (PKAF) (krisan) di kabupaten
Sukabumi diarahkan pada pengembangan perbenihan dan produksi krisan berbasis inovasi,
dengan pendekatan pada terbentuknya system agribisnis industrial krisan. Dukungan terhadap
program pengembangan kawasan agribisnis florikultura membutuhkan komitmen, kerja sama
dan koordinasi yang intensif dari banyak pihak sesuai tupoksinya masing-masing sehingga tidak
terjadi tumpang tindih anggaran dan kegiatan. PKAF diakui oleh banyak pihak memberikan hasil
yang nyata dalam meningkatkan nilai tambah, kualitas dan mutu krisan serta meningkatkan
pemberdayaan petani krisan di Sukabumi sehingga petani krisan lebih bergairah, Pemda
memberikan perhatian yang kebih besar pada krisan serta terwujudnya kerja sama yang baik
antara petani, gapoktan dan pelaku usaha yaitu floris, decorator dan pengusaha bunga.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Hortikultura, Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias, serta Tim Dukungan Pengembangan
Kawasan Agribisnis Hortikultura.

Bidang P-TPN

25

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Pusdatin, 2014. Outlook Komoditi Krisan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretaris Jenderal
Kementerian Pertanian
Ciputra, 2008. Quantum Leap Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda,
PT. Elex Media Komputindo
Soegoto, Entrepreneurship menjadi Pebisnis Ulung, 2009, Kompas Gramedia
Puslitbang Hortikultura, 2012. Panduan Umum Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2012. Rancang Bangun Dukungan Inovasi Dalam Pengembangan
Kawasan Agribisnis Krisan Di Bedugul-Bali
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2014. Laporan Kegiatan Diseminasi. Balai Penelitian Tanaman Hias
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2015. Presentasi Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias disampaikan
pada Workshop DPKAH.
www.Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat

Bidang P-TPN

26

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-TPN 03

EKONOMI INOVASI PADA PERSIMPANGAN MORAL


KAPITALISME DAN SOSIALISME
Syafrizal Maludin
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
syafrizal.maludin@lipi.go.id

ABSTRAK
Dinamika pemahaman terhadap konsep inovasi teknologi berkembang sejalan dengan
perkembangan konsep ilmu pengetahuan, sedemikian sehingga, pemahaman tersebut berpihak
pada banyak pendekatan. Konsep yang digunakan dalam tulisan ini berdasar pada moral dan
etika sebagai platform dengan dinamika paradigma dan aplikasi inovasi teknologi.
Perkembangan pemahaman menjadikan pemahaman inovasi teknologi bergeser dari bangunan
pasar kapitalisme (market capitalism) ke bangunan yang ekonomi sosialisme dengan inovasi
sosial.
Berdasar pada pergeseran pemahaman konsep dalam penyusunan dan penguatan fondasi
inovasi teknologi berperan strategis terkait dengan berkembangnya ragam invensi dan
perkembangan struktur pasar sehingga bisa dihindari perubahan dan penyusunan platform yang
disebabkan oleh perubahan arah pembangunan.
Pertumbuhan yang berpengaruh pada struktur dan proses dari ekonomi evolusionari ini
berpengaruh pada aturan yang bergerak di dalam sistem. Alur logis ini merupakan salah satu cara
pandang terhadap perkembangan inovasi teknologi (innovation creates its own arteries).
Untuk tujuan tersebut, eksplorasi dan review dilakukan pada literature akademik relevan.
Kajian literature dilakukan melalui sudut aplikatif berupa model pada pengembangan ekonomi
berbasis inovasi teknologi yang diperkuat filosofi ekonomi evolusionari yang banyak
mengandung buah pikir dari Joseph Schumpeter (seminal analysis).

Bidang P-TPN

27

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kata kunci: inovasi, teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi inovasi, market capitalism, inovasi
teknologi

PENDAHULUAN
Inovasi teknologi bisa dipandang dari banyak sisi (Dodgson, 2012) bisa dilihat dari
proses pengembangan teknologi yang incremental atau frontal, dari lensa analisis atau bisa juga
dari komponen sistem yang berada didalamnya. Dengan keluasan pemahaman ini, maka hampir
serupa dengan kasus pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang bisa diartikan dari banyak
sisi, sehingga menjadi kabur (buzz word). Etika ketahuan dalam ilmu serta inovasi dalam
teknologi juga bisa berbaur. Studi inovasi bisa didekati dan dijelaskan dengan ilmu ekonomi,
ilmu politik, sosiologi, geografi, kajian organisasi, psikologi sampai pada strategi bisnis,
sehingga pemahaman bisa beragam dan dipengaruhi dari basis ilmu yang digunakan.
William Baumol berpendapat bahwa hampir semua teori pertumbuhan ekonomi yang
berkembang sejak abad 18 berpengaruh signifikan terhadap inovasi yang diawali dengan
pengakuan terhadap pentingya hubungan antara organisasi, teknologi dan produktivitas yang
terdapat dalam pandangan Wealth of Nations oleh Adam Smith (1767). Lebih jauh Nelson
(1989) berpendapat jika dari Smithian ke Keynesian banyak berkontribusi pada inovasi sebagai
mesin pertumbuhan ekonomi, maka yang perlu dipahami adalah mesin yang mana dan
bagaimana bekerjanya.
Berbagai pandangan dan perdebatan dari para ahli dan pelaku inovasi memperlihatkan
pentingnya berkontribusi pengembangan etika inovasi yang menjadi beragam. Tulisan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman inovasi dengan menggunakan historikal literatur dari
dua pemahaman ekonomi yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis, yang merupakan bentuk
yang untuk melihat posisi inovasi teknologi dalam konstelasi ilmu ekonomi yang menjadi acuan
dalam pemahaman praktek inovasi teknologi dan posisi institusi dalam mencapai tujuannya
melalui perubahan teknologi yang dibuat dalam bentuk padat.

Bidang P-TPN

28

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
Kajian menggunakan telaahan literature yang terkait dengan Pengetahuan, Moral, dan
Etika pada Ekonomi Kapitalisme dan Ekonomi Sosialisme. Perbandingan kedua sistem dan
metode didasarkan pada filosofi pengetahuan yang menjadi dasar dalam implementasi dan
pengembangan sistem. Analisis terhadap kedua konsep ekonomi akan memperjelas posisi
pandangan ekonomi inovasi dalam konstelasi ilmu ekonomi.
Terdapat sejumlah referensi yang digunakan dalam tulisan yang tidak disitir secara
langsung dalam tulisan namun berkaitan dengan tema pada tulisan dan terdapat pada daftar
referensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Eksplorasi literatur untuk melihat perkembangan ekonomi inovasi menjadi signifikan
dengan pandangan bahwa inovasi teknologi menawarkan peningkatan kemampuan ekonomi dan
daya saing. Disisi lain filosofi dan moral ilmu berada pada sisi yang berseberangan dengan
teknologi dan inovasi yang lebih dekat dengan aplikasi dari hasil ilmu dan pengetahuan.
Inovasi berada pada wilayah yang layak untuk dipandang dari business ethics. Perkembangan
teori ekonomi yang dilakukan dibatasi dari Adam Smith yang banyak mengulas pasokan dan
permintaan (capitalism legacy) bukan dimulai dari Sir Isaac Newton untuk membatasi
pembahasan yang lebih relevan dengan pemanfaatan teknologi dalam sistem ekonomi, seperti
digambarkan pada tabel berikut
Tabel 1: Sejarah Ekonomi Inovasi
No. Periode
1
1790 1929
Basis
ketenagakerjaan

Inovasi Teknologi
Tekstil
Rel kereta

Titik Berat
Produksi, Konsumsi, Modal
dan Tenaga Kerja

Pengembang Teori
Adam Smith (1723 1790),
David Ricardo (1772 - 1823
Karl Marx (1818 1883)

Bidang P-TPN

29

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

30

Pusat Inovasi - LIPI

1939 1987
Basis Keuangan

Mobil

Stimulasi keuangan

John Maynard Keynes (1883


1946)

Informasi Teknologi dan


Pengetahuan

Nickolai Kondratieff (1882


1930)

Teknologi dan
Kewirausahaan

Joseph Schumpeter (1883 1950)

Kereta uap
Minyak
3

1994 sekarang
basis
pengetahuan,
teknologi,
kewirausahaan

Perangkat teknologi
Informasi dan
Komunikasi,
kesehatan

Sumber: diolah dari berbagai literatur

Untuk memberikan gambaran singkat terhadap ekonomi inovasi dalam irisan kapitalisme
dan sosialisme maka pembahasan dibagi dalam 4 bagian yaitu diawali dari pandangan kapitalis
(Smithian), pandangan sosialis (Marxian) dan pandangan evolusionari (Schumpeterian). Pada
akhir pembahasan terdapat atribut inovasi yang berakar dari pandangan evolusionari yang
relevan.

SMITHIAN
Sistem Kapitalis merupakan respon atas perdebatan klasik antara kaum merkantilisme
dan kaum fisiokrat tentang upaya meningkatkan kekayaan negara. Menurut kaum merkantilisme,
kekayaan negara akan meningkat jika negara menjual (ekspor) lebih banyak dari pada membeli
(impor), serta sebanyak-banyaknya mendatangkan logam mulia ke dalam negeri. Disisi lain,
kaum fisiokrat berpendapat bahwa kekayaan negara bisa meningkat jika negara mengembangkan
basis perekonomiannya pada pertanian.
Ekonomi yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah ilmu dalam mengelola rumah
tangga dengan sumberdaya yang terbatas diantara kebutuhan yang meningkat secara gradual
mengikuti deret ukur. Berbagai mazhab dan aliran ekonomi memperkaya khazanah ilmu
ekonomi dan memberikan pilihan bagi ilmuwan dan pelaku ekonomi dalam memandang dan
mengukur kinerja perusahaan dalam lingkup mikro atau suatu wilayah dalam bentuk makro.
Pada masa sebelum tahun 2000an pemahaman ekonomi dari John Maynard Keynes memperkuat

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Invisible Hands yang ditawarkan oleh Adam Smith. Mankiw (2013) dalam sebuah studi
kasusnya menekankan pentingnya peran inovasi teknologi sebagai mesin dalam pertumbuhan
ekonomi seperti yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter dan bukan Smith atau Keynes.
Smithian milihat pasar bebas sebagai sistem sisial masyarakat modern yang menjamin
terealisasinya kebebasan kodrati dan keadilan.
Dengan alur pikir yang bertumpu pada kapital, maka Schumpeterian merupakan bagian
dari Smithian. Disisi lain, sosialisme lebih menekankan pada sosial-kapital dan berseberangan
dengan Schumpeterian. Namun pada perkembangannya inovasi tidak selalu menghasilkan
produk pada pasar monopoli dengan patent sebagai pelengkap utama bagi invensi yang siap
masuk pada pasar. Namun bisa juga memanfaatkan patent yang sudah tidak dilindungi dan bebas
(freedom to operate) atau ada juga aplikasi penelitian yang akan lebih memberi manfaat bagi
masyarakat luas.
Pandangan sosialis membagi golongan pengusaha dan pemilik modal dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Kaum proletar dianggap sebagai kelompok penderita dalam ketimpangan
distribusi kesejahteraan. Penindasan pada pekerja meluas pada pemanfaatan anak kecil dan kaum
perempuan dalam indsutri. Pergerakan ini mengarah pada Revolusi Industri dan Perang Dunia I.
Revolusi industri menyebabkan peningkatan kapasitas produksi dan kualitas pada industri
tekstil dan logam. Peningkatan terhadap kebutuhan pekerja disebabkan juga oleh adanya
spesialisasi proses produksi (division of labor) dan Perang Dunia I yang menyerap laki-laki
produktif untuk bertempur di medan perang. Kekurangan tenaga kerja ini dipenuhi oleh tenaga
kerja perempuan dan anak-anak serta golongan budak yang masih memungkinkan pada masa ini.
Pelanggaran hak asasi perempuan dan anak-anak banyak terjadi pada masa ini. Perusahaan
mempekerjakan dengan waktu yang tidak dibatasi dan kesejahteraan serta kesehatan yang tidak
terjamin.
Disisi lain, kapitalis memandang pentingnya kebebasan dalam melakukan aktivitas
perekonomian dengan mekanisme Tangan Tuhan ini. Dimana harga ditentukan oleh kapasitas
permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa dengan pengaturan Pemerintah yang sangat
terbatas. Regulator tidak memiliki akses dalam mengatur perekonomian dan perniagaan
mencapai keseimbangan dengan titik kesetimbangan.

Bidang P-TPN

31

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pemahaman tersebut memiliki pandangan dan bukti yang kuat baik dari sisi etika maupun
filosofi. Dalam pendekatan Borgeus Virtue diperlihatkan akar kedua paham yang bergerak dari
arah yang berlawanan dan dikenal dengan Seven Virtues (Tujuh Kebajikan) seperti pada
gambar berikut:

Gambar 1: Seven Virtues


Sumber: (McCloskey, 1992)
Ketujuh kebajikan terdiri dari (1) Hope yang terdiri dari unsur optimism,
imajinasi,semangat dan kewirausahaan; (2) Faith yang terdiri dari unsur integritas, kesetiaan,
keadilan dan kejujuran; (3) Love yang terdiri dari keterkaitan, pertemanan, afeksi, apresiasi, eros
dan agape (kecintaan pada Tuhan); (4) Justice terdiri dari keseimbangan sosial dan ketulusan; (5)
Temperance terdiri dari unsur keseimbangan pribadi, penolakan, pengakuan pada institusi
pernikahan, kontrol diri dan rendah hati; (6) Courage yang terdiri dari unsur otonomi, nyali,

Bidang P-TPN

32

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

ketahanan, ketabahan; (7) Prudence terdiri dari unsur know-how, peramalan phronsis
(kebijaksanaan). Lebih jauh, McCloskey menggambarkan Adam Smith sebagai tokoh dalam
ekonomi kapitalis yang berhasil mendefinisikan kategori ketiga dari dua yang sudah
didefinisikan sebelumnya yaitu natural (physei) dan artificial (thesei) oleh Hume dan Hayek.
Kategori ketiga adalah interaksi sosial seperti yang dijelaskannya dalam The Theory of Moral
Sentiments yang sejalan dengan lima kebajikan yaitu Prudence, Justice, Love, Courage dan
Temperance. Pada pendekatan ini tidak diberikan ruang untuk faith dan hope. Disisi yang
berlawanan karl Marx menekankan penggolongan kelas dan searah dengan area Feminin pada
gambar. Schumpeterian seolah-olah menggambarkan modern dictatorial pada model Smithian
atau sebaliknya sebuah gambaran kapitalis terstruktur pada kapitalis.

MARXIAN
Masih dari gambar 1, representasi moral kapitalisme melingkupi nuansa kebebesan akan
bergerak dari area warm terdiri dari unsur Love dan Loyalty. Namun pemahaman ini disangkal
dengan pendapat bahwa moral komunisme yang bergerak dari kedua virtues. Gambaran moral
sosilasime yang mewakili justice, love dan courage searah dengan etika kebajikan (virtue),
sangat kontradiktif dengan pandangan bahwa sosialisme dekat dengan kekerasan dan
pemberontakan. Moral kapitalisme merupakan suatu yang tidak lebih dari budaya pengambilan
keputsan oleh perorangan atau sekelompok orang yang berpengarau secara berkelanjutan dengan
sedikit atu tanpa mempertimbangkan posisi formal atau hirarki birokratis. Kelemahan konsep ini
adalah lingkup struktur pengambilan keputusan yang melawan arus kepentingan orang banyak
(brute capitalism).
Konsep sosialisme Marx berasal dari konsep tentang masyarakat yang tersusun atasindividu-individu yang diatur yang mengabaikan pendapatan, pangan, sandang yang dicukupi
oleh pemerintah. Konsep ini menentang masyarakat individu yang tersubordinasi oleh negara,
mesin dan birokrasi.
Masyarakat berproduksi dengan cara bekerjasama dan bukan berdasarkan kompetisi.
Produksi berada dibawah kendali dan individu berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan

Bidang P-TPN

33

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pelaksanaan. Dengan dasar itu, Marx menyimpulkan bahwa sebuah masyarakat sosialis adalah
sebuah masyarakat yang melayani kebutuhan nyata dan kebutuhan esensial manusia.
Karl Marx memperlihatkan manifesto komunis yang memandang sisi buruk dari kapitalis
dalam the capitalist mode of appropriation yang memperlihatkan pemanfaatan sumber
ekonomi oleh kelompok bourgeois. Lebih jauh, ditekankan bahwa konsep sosialisme berasal dari
konsep tentang manusia dimana sebuah masyarakat tersusun atas individu-individu yang diatur
dan mengabaikan status pendapatan dan lapisan kebutuhan lain diatas kebutuhan pokok.
Sosialisme bukanlah sebuah masyarakat individualistik yang tersubordinasi oleh Negara, mesin
dan birokrasi yang merupakan sebuah masyarakat yang melayani kebutuhan manusia sebagai
esensi nyata sebuah kehidupan. Sistem sosialisme merupakan tahapan transisional dari sistem
kapitalis menuju sistem komunisme dimana tidak terdapat hak milik, kelas dan pembagian kerja
pada masyarakat.
Marx melihat posisi strategis inovasi teknologi dari sisi koneskuensi negative seperti
dikutip dari volme pertama Capital dalam Dodgson (2010):Modern industry never views or
treats the existing form of a production process as the definitive one By means of machinery,
chemical processes and other methoods, it is continually transforming not only the technical
basis of production, but also the functions of the worker and the social combinations of the
labour process.
Bagi Marx, otomatisasi dalam teknologi berpotensi untuk menggantikan posisi manusia
dalam lapangan pekerjaan, penurunan gaji dan kesejahteraan masyarakat.

SCHUMPETERIAN
Sebuah tayangan dari BBC-Knowledge pada pertengahan Juni 2015 memperlihatkan
perkembangan peran rerumputan yang penting bagi manusia sejak jaman es (pleistosen1) disuatu
tempat di Turki bernama Gbekli Tepe2 dimana ditemukan sebuah mutasi genetik alami pada
1

Pleistosen adalah suatu masa dalam skala waktu geologi yang berlangsung 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang
lalu.
2

Situs arkeologi yang berada di daerah Anatolia di Turki

Bidang P-TPN

34

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

35

Pusat Inovasi - LIPI

sejenis rerumputan dengan bulir yang tidak jatuh setelah masak. Gandum adalah bulir yang
berasal dari jenis rerumputan ini. Dan pertanian pertama terbentuk pertama kali pada 65 juta
tahun lalu dan merupakan transformasi dari struktur masyarakat yang mendapatkan bahan
makanan dari alam tanpa menanam (food gathering).
Schumpeter berpendapat bahwa inovasi teknologi berada pada kedua kutub yang
menciptakan dan menghilangkan sejumlah pekerjaan tertentu dan akan terjadi pergeseran cara
bekerja, keahlian dan penurunan jumlah pekerja pada industri dan wilayah tertentu dengan
penyesuaian tertentu.
Konsep Schumpeterian menjadi semakin relevan dengan transformasi dari era
pembangunan pada abad 20 menjadi era inovasi berkelanjutan (innovation sustainability) yang
ditandai dengan penyediaan bahan pangan dan teknologi pada bidang kesehatan serta
keterbukaan organisasi.
Kedekatan

konsep

Schumpeterian

dengan

Smithian

memungkinkan

terjadinya

pemahaman inovasi yang banyak diambil dari Smithian, seperti penterjemahan inovasi sebagai
pemasaran teknologi dan liberalism dengan penguatan daya saing melalui penguasaan sumbersumber produksi, penguatan simpul kewirausahaan serta kemajuan organisasi untuk kelompok
minoritas. Kolonisasi sebagai bentuk perluasan kegiatan ekonomi dan persaingan pada
pandangan liberal menjadi creative destruction pada Schumpeterian yang memandang kreasi
dan kebaruan sebagai kata kunci.
Perspektif ekonomi neo klasik berpengaruh pada masa 1950 1980 dengan dan dikenal
dengan masa pembangunan. Negara didunia berpacu melakukan perbaikan (recovery) setelah
perang dunia kedua. Terdapat sekumpulan negara yang mampu melakukan pembangunan
ekonominya dengan pesat namun sebagian yang lain melakukan dengan incremental dan tidak
sedikit yang tidak mampu menggunakan sumber daya pada wilayahnya dengan baik. Periode
lanjutan adalah masa inovasi berkelanjutan diawali tahun 1980. Pada pengembangan inovasi pun
terjadi transformasi seperti digambarkan berikut:

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar ..: Closed to Distributed Innovation Model


Sumber: (Dodgson, Developing Business From Science: introduction of Innovation and
Science, 2008)
Penemuan yang dilakukan pada abad 19 dilakukan melalui secara sendiri-sendiri seperti
yang dikenal dengan penemuan bola lampu oleh Thomas Alva Edison, dynamo oleh Faraday.
Perkembangan dilakukan oleh Edison dengan membangun laboratorium riset dengan nama
Menlo Park Laboratories dan berhasil menghasilkan 10 patent setiap 6 bulan dengan toal 400
paten selama 6 tahun. Laboratorium berkembang besar dan pada tahun 1886 berpindah ke West
Orange New Jersey dengan pembagian divisi penelitan dan administrasi yang lebih
teratur.Perkembangan ini berpengaruh dengan terbentuknya trend pada inovasi yang dilakukan
oleh perusahaan atau sekelompok orang (innovation tribes) pada abad 20. Kecenderungan ini
bertransformasi menjadi jejaring inovasi dimana aplikasi teknologi bukan lagi berasal dari
penyedia teknologi ke pengguna teknologi dengan peran pemerintah, libang/universitas,
swasta dan komunitas yang sering diketengahkan dengan technology push atau market pull tapi
menjadi pendekatan strategi integrasi teknologi

Bidang P-TPN

36

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Malerba (2005) menyampaikan bahwa teori Evolusioner menempatkan dinamika, proses


dan transformasi sebagai elemen kunci dalam perubahan sistem ekonomi. Lebih jauh, Nelson
dan Winter (1982) membagi regim teknologi dalam dua bagian yaitu regim kewirausahaan
dengan pengetahuan berafiliasi pada ilmu dan bersifat universal. Bagian kedua adalah regim
rutin/regular dengan penekanan pengetahuan bersifat kumulatif dn internal di sektor industri dan
inovasi berkaitan erat dengan pendirian unit bisnis. Lebih jauh, regim teknologi berkaitan dengan
konsep paradigma teknologi dan lintasan yang menciptakan idea dengan membedakan antara
inovasi dengan pembangunan.
Irisan yang dibuat oleh Malerba dikenal dengan Matriks Inovasi yang memberikan
perbandingan selain dengan ekonomi klasik tapi juga dengan Arrovian (social welfare) dan
Marshallian sebagai berikut:

Gambar 3: Matriks Inovasi

Sumber: Malerba, 2005

Bidang P-TPN

37

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel memperlihatkan irisan dan perbandingan dari berbagai kelompok teori ekonomi.
Dari tabel terlihat titik pandang berbeda dari keempat kelompok. Inovasi dan pertumbuhan
merupakan pembagian pekerjaan pada Smithian dan merupakan creative destruction di
Schumpeterian, new growth theory pada Arrovian dan alur perkembangan teknologi pada
Marshallian.
WRITEN LAWS
Dalam perjalanan ke kantor yang berjarak 1300 meter dari rumah, penulis menemukan
kembali ditempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi sebelumnya, dimana seseorang membakar
sampah dedaunan tepat dibawah pohon sehingga membakar sebagian batang dan bagian akar.
Seperti pada kejadian sebelumnya penulis memperingati akan kejam dan berbahanya perlakuan
tersebut. Namun argumen yang disampaikan ternyata tidak berbeda dengan orang pertama, yang
dituakan di wilayah itu, bahwa pembakaran dilakukan untuk menguragi gangguan nyamuk yang
berasal dari pohon yang rimbun tersebut. Kasus seperti ini kerap terjadi pada pengembangan
proses inovasi dimana pengambil keputusan tidak memahami paling tidak filosofi dasar ilmu
inovasi. Tim Kastelle dalam tulisan pada blognya mengenai Empathy Driven Innovation
menggambarkan kejadian tersebut seperti menyaksikan sebuah tragedi dalam gerak lambat
namun tidak ada yang bisa menghindarinya. Teorema inovasi individual berkembang dari satu
orang ke banyak orang sehingga dipercaya dan dilakukan.
Relevansi kontemporer terhadap Schumpeter menyatakan bahwa sosialisme berusaha
untuk mengganti kapitalisme. Namun argument ini menjadi tidak relevan dengan terjadinya
disintegrasi pada beberapa Negara sosialis dalam Uni Soviet. Schumpeter menyatakan bahwa
Bon Mises keliru dalam menyatakan bahwa sosialisme bukan merupakan mekanisme ekonomi
rasional, menurutnya dan menggambarkan bahwa jika seluruh penduduk sosialis menerima
voucher untuk mendapatkan barang dan jasa kemudian digunakan pada toko milik Pemerintah
maka toko ini juga harus menentukan harga.
Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian dipilah dari sisi proporsi terbesar pada
sebuah produk yaitu konten teknologi atau bukan teknologi. Selain itu, pergeseran pemahaman
dan aplikasi inovasi teknologi akan sangat berbeda untuk institusi yang berorientasi keuntungan

Bidang P-TPN

38

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dengan institusi publik. Keadaan dan istilah inovasi teknologi pada bagian pertama yang lebih
populer menyebabkan penggunaan konsep dan pemanfaatan pada sektor publik banyak
menggunakan pendekatan bisnis. Melalui pendekatan moral inovasi teknologi baik yang
dilakukan di Amerika atau Skandivia, litbang pemerintah merupakan wilayah pengembangan
sebuah penemuan dengan biaya yang tinggi dengan keuntungan yang masih jauh dari bisnis.
Posisi litbang pemerintah dalam siklus pengembangan produk akan berada sebelum titik impas
(break even point). Pemanfaatan innovation funnel dan proses inovasi yang digunakan yang
berpengaruh 40% pada inovasi teknologi yang dilakukan litbang pemerintah masih
menggunakan pendekatan bisnis. Pengaruh lingkungan inovasi sebesar enam puluh persen yang
seharusnya lebih banyak diperhatikan kurang mendapat perhatian.
Pada evolusionari proses, penekanan terkuat adalah pada pemanfaatan informasi dan
pengetahuan secara optimum dengan melalui tiga aturan baku yaitu (1) kestabilan sistem
hukum/legal, (2) perlindungan hak kekayaan intelektual, (3) kestabilan harga. Sistem ekonomi
evolusioner ini memandang pengetahuan dan perkembangannya sebagai proses evolusioner yang
diakibatkan oleh perubahan.
Faktor-faktor selain jenis teknologi dan institusi yang akan menjalankannya dalam
pandangan inovasi teknologi yang perlu mendapat penekanan dibanding dengan ekonomi
pembangunan adalah: (1) inovasi berkaitan dengan kebaruan atas kombinasi input untuk
menghasilkan output tertentu. (2) Input bisa berupa berbentuk berwujud (tangible) atau tidak
berwujud (intangible); (3) Pengetahuan merupakan input tak terpisahkan dari inovasi; (4) Input
pada proses inovasi merupakan aset; (5) kegiatan ditujukan untuk peningkatan nilai ekonomi; (6)
proses yang dilalui disesuaikan dengan jenis produk dan target proses akhir (exit strategy); (7)
Output sebuah proses inovasi tidak selalu sesuai dengan target yang diharapkan; (8) Pengetahuan
merupakan bagian penting dari output. Kedelapan atribut memberikan gambaran perbedaan
antara ekonomi inovasi dengan ekonomi pembangun. Misalnya, dalam menjalankan
pengembangan produk memiliki tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Lembaga
keuangan bank dan non-bank diharapkan bisa memberlakukan skema pendanaan yang ramah
inovasi. Penyusunan kebijakan pada pengembangan inovasi juga diharapkan menghindari
alokasi anggaran kontribusi pada retardasi ekonomi.

Bidang P-TPN

39

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pada penutup sebuah tulisan Schumpeter menyampaikan: we may, indeed, prefer the
world of modern dictatorial socialism to the world of Adam Smith, or vice versa, but any such
preference comes within the same category of subjective evaluation as does, to plagiarize Sombart, a
man;s preference for blondes over brunettes.

KESIMPULAN DAN SARAN


Diakui dengan semakin banyaknya titik pandang terhadap inovasi teknologi
menyebabkan banyak pihak memandang teori sesuatu yang tidak praktis dan bermanfaatan
sehingga pengambilan keputusan strategis didasarkan pada pandangan pribadi yang merupakan
terdiri dari teori yang dibuat sendiri (personal theories). Moral dan filosofi yang mempengaruhi
teori dan konsep didalamnya seringkali kontroversial dan kompleks.
Kemajuan teknologi merubah cara hidup dan pandangan manusia yang mengandung etika
dan moral yang memandang pentingnya faktor manusia (innovation begins with people)
sedemikian sehingga pemahaman ini seharusnya melekat dalam penyusunan kebijakan yang
terkait dengan perkembangan teknologi dan pengembangan bisnis.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini dimungkinkan atas dukungan Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dalam mendapatkan Beasiswa Ristek Dikti Nomor 35 / M/Kp/IX/2014 tentang Penetapan
Peserta Program Tugas Belajar Pendidikan Gelar Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2014,
yang memberikan lebih banyak kesempatan dalam membaca dan melakukan kajian dalam
berbagai mata kulia di program Doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bidang P-TPN

40

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
April, K., Peters, K., Locke, K., & Mlambo, C. (2011). Leading Ethically: What Helps and What Hinders.
In Millar, & Poole, Ethical Leadership in Global Word (pp. 165 - 182). New York: Palgrave
Macmillan.
Battaly, H. (2010). Virtue and Vice, Moral and Epistemic. Kualalumpur : Macmillan Indian.
Charvet, J. (2009). A Crititque of Freedom and Equality. New York: Cambridge University Press.
Cowton, C., & Haase, M. (2008). Trends in Business and Economics Ethics. Berlin: Springer - Verlag
Berlin Heidelberg.
Dodgson, M. (2008). Developing Business From Science: introduction of Innovation and Science.
Brisbane: The University of Queensland.
Dodgson, M., & Gann, D. (2010). Innovation: A Very Short Introduction. Hampshire, Great Britain:
Oxford University Press.
Franks, B., & Wilson, M. (2010). Introduction: Anarchism and Moral Philosohpy. New York: Palgrave
Macmilan.
Griffiths, B., Sirico, R. A., Barry, N., & Field , F. (2001). Capitalism, Morality, and Markets. London:
The Institute of Economic Affairs.
Hinde, R. A. (2007). Bending the Rules. Morality in the Modern World. New Yorl: Oxford University
Press.
Light, A., & de-Shalit, A. (2003). Moral and Political Reasoning in Environmental Practice.
Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.
Lipschutz, R. D., & Rowe, K. J. (2005). Globalization, Governmentality and Global. New York:
Routledge.
Malerba, F. (2005). Sectoral Systems of Innovation a Framework for Linking Innovation to the
Knowledge Base, Structure and Dynamics of Sectors. Economic, Innovation and New
Technology, 63 -82.
McCloskey, D. N. (1992). The Bourgeois Virtues: Ethics for an Age of Commerce. Chicago: The
University of Chicago.
Millar, C., & Poole, E. (2011). Ethical Leadership; Global Challenges and Perspective. New York:
Palgrave Macmillan.
Mitchell, L. E. (2001). Corporate Irresponsinsibility. New Bakersville: Yale University Press.
Murphy, L. B. (2000). Moral Demands in Nonideal Theory. New York: Oxford University Press.

Bidang P-TPN

41

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Nelson, R. R. (2004). The Market Economy, and the Scientific Commons. Policy Research, 455 -471.
Samli, C. A. (2008). Globalization from the Bottom Up. Jacksonville: Springer Science + Business
Media, LLC.
Sampford, C., Preston , N., & Bois, C. A. (2002). Public Sector Ethics. Finding and Implementing
Values. New York: Routledge.
Schumpeter, J. A. (2003). Capitalism, Socialism & Democracy. George Allen & Unwin Publisher.
Spash, C. L. (2002). Greenhouse Economics; Value and Ethics. New York: Routledge.
Westlund, H. (2006). Social Capital in the knowledge; Advances in Spatial Sciences. Berlin: Springer
Berlin Heidelberg.
Young, S. (2003). Moral Capitalism. Reconciling Private Interest with the Public Good. San Fransisco:
Berrett-Koehler Publisher, Inc.
Zimdahl, R. L. (2006). Agriculture Ethical Horizon. New York: Elsevier.

Bidang P-TPN

42

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

43

Pusat Inovasi - LIPI

P-TPN 04

"TECHNOPARTY GOES TO SCHOOL" SEBAGAI SARANA


PENGENALAN DAN PENANAMAN TECHNOPRENEURSHIP
SEJAK DINI
I Putu Satwika, I Putu Agus Swastika, Helmy Syakh Alam
STMIK Primakara
satwika@primakara.ac.id

ABSTRAK
Di era kreatif ini, perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat. Gadget, tablet,
smartphone, phablet dan perangkat mobile lainnya menjadi kebutuhan dan sahabat setia dalam
aktivitas manusia. Perkembangan teknologi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampak negatif tersebut khususnya bagi para generasi muda adalah mereka nyaman
hanya sebagai pengguna produk dan layanan yang telah ada, dimana kebanyakan layanan
tersebut dibuat di luar negeri. Generasi penerus bangsa Indonesia ini harus dipersiapkan untuk
menghadapi perkembangan yang begitu pesat dan dapat bangkit dari zona nyamannya sehingga
tidak terpuruk akibat ketergantungan di masa yang akan datang.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu upaya yang dapat
mengenalkan tentang kewirausahaan di industri kreatif khususnya yang memanfaatkan teknologi
informasi sejak dini pada anak-anak SMA/SMK. Upaya tersebut dilakukan untuk memberikan
wawasan serta motivasi kepada para siswa-siswi pelajar serta menanamkan konsep dan mindset
kewirausahaan sejak dini. Pada penelitian ini dilaksanakan kegiatan yang berupa kombinasi
antara Education, Entrepreneurship, Technology dan Entertainment yang dikemas sedemikian
rupa sehingga menarik dan lekat dengan gaya anak muda. Selanjutnya dilakukan pengukuran
untuk mengetahui pemahaman, pengetahuan dan minat siswa SMA/SMK

terhadap

kewirausahaan di bidang industri kreatif khususnya dengan memanfaatkan teknologi informasi


atau yang populer disebut sebagai Technopreneurship. Dari hasil analisis terhadap angket yang

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

telah disebar dapat diketahui terdapat kecenderungan bahwa setelah diadakan seminar
Technoparty, para siswa menginginkan lebih banyak seminar serupa. Selain itu terdapat 84%
siswa yang merasa senang dengan konsep seminar Technoparty yang telah diterapkan. Di sisi
lain, diketahui pula bahwa siswa SMA/SMK memiliki jumlah persentase paling banyak untuk
menggeluti usaha di bidang teknologi informasi.

Kata Kunci: technopreneurship, technoparty, kreatif, teknologi informasi

PENDAHULUAN
Salah satu ukuran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat
dari pendapatan nasionalnya yaitu Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto
adalah total suatu nilai atau barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian
dalam jangka waktu tertentu misalnya selama satu tahun (Nanga, 2001). Indonesia tergolong
negara berkembang dengan PDB di tahun 2014 yaitu Rp 10.542,7 triliun, tumbuh 5.02% namun
melambat dari tahun sebelumnya yaitu 5.58%. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai
oleh lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10.02% (Kemenkeu, 2015). Hal ini
menunjukkan bahwa lapangan usaha di bidang informasi dan komunikasi memiliki nilai yang
baik dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia di era kreatif seperti
saat ini.
Pada era kreatif seperti saat ini, perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah pengguna Facebook yang merupakan penduduk
terbesar ketiga di dunia mengalahkan jumlah penduduk Indonesia (Wahyudi, 2013). Selanjutnya
Google menjadi salah satu aplikasi web yang paling sering digunakan dan menjadi perpustakaan
utama di dunia untuk mencari berbagai informasi. Transaksi online mulai mewabah dan terjadi
setiap saat. Gadget, tablet, smartphone, phablet dan perangkat mobile lainnya sudah menjadi
kebutuhan dan sahabat setia dalam aktivitas manusia. Perubahan teknologi informasi ini
memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi kehidupan dimana dalam hal ini terdapat
dampak positif maupun dampak negatif.

Bidang P-TPN

44

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Para siswa sekolah merupakan generasi yang paling banyak terpengaruh oleh dampakdampak tersebut karena keadaan mereka yang masih labil. Masa-masa sekolah menengah atas
merupakan masa yang sangat penting bagi seseorang dalam melangkah menuju masa depan.
Masa-masa ini merupakan masa dimana seseorang mencari jati diri dan sangat senang mencoba
hal-hal baru. Oleh karena itu, mereka yang berada pada masa-masa ini harus diberikan
pencerahan dan pemahaman wawasan yang baik agar tidak salah dalam melangkah.
Mereka yang berada pada masa-masa tersebut merupakan Generasi Emas bangsa
Indonesia (Mendikbud, 2012). Generasi Emas ini harus dipersiapkan dengan baik agar mampu
mencapai masa depan yang gemilang. Generasi ini sebagai penerus bangsa harus dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya agar tidak salah melangkah dan menjadi terpuruk di masa yang akan
datang. Jika hal tersebut tidak dipersiapkan, maka akan menghambat pembangunan ekonomi
yang merupakan proses multimensi yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur
sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional. Penghambatan tersebut dapat terjadi dari sisi
percepatan pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan dan kemiskinan yang absolut (Todaro,
1998).
Indonesia merupakan negara berkembangan sehingga pembangunan ekonomi bertujuan
untuk memeratakan pembangunan ekonomi, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, mengurangi perbedaan kemampuan
antar daerah serta struktur perekonomian yang seimbang (Sukirno, 2007). Jika generasi muda
terus nyaman sebagai user bukan sebagai pembuat aplikasi di era digital ini, tentunya
pembangunan ekonomi akan sulit terwujud.
Generasi penerus bangsa harus dipersiapkan untuk dapat menjadi pengusaha untuk dapat
menciptakan perekonomian Indonesia yang lebih kuat di masa yang akan datang. Indonesia
sebagai salah satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia hanya memiliki 1,6%
pengusaha (Kemkop, 2014). Jumlah pengusaha ini sangat kecil bila saja dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang memiliki jumlah pengusaha lebih dari 4%
dari jumlah penduduknya (Wahyudi, 2013). Menurut pemerintah, Indonesia dapat menjadi salah
satu negara dengan perekonomian yang lebih kuat apabila jumlah penduduk di Indonesia

Bidang P-TPN

45

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

minimal 2% menjadi pengusaha.

Dengan era kreatif ini, peluang untuk menjadi seorang

pengusaha sangat terbuka lebar.


Pemberdayaan yang dilakukan di Indonesia untuk menciptakan pengusaha-pengusaha
baru berfokus pada pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Pemerintah memberikan
perhatian khusus terhadap hal tersebut dengan membentuk Kementrian yang bertanggungjawab
langsung melalui Kementrian Koperasi dan UKM. UKM telah terbukti sebagai penyelamat
perekonomian Indonesia ketika terpuruk pada krisis ekonomi di tahun 1998. Banyak pengusaha
yang terpuruk karena tidak mampu meneruskan usahanya akibat tingkat bunga yang tinggi.
Berbeda dengan UKM yang tetap bertahan bahkan terus berkembang (Hapsari, 2014). Menurut
Wahyuningsih (Wahyuningsih, 2009), profil UKM di Indonesia dilihat dari macam usaha paling
banyak ada pada bidang perdagangan dan eceran, sedangkan hanya sedikit yang bergerak pada
bidang listrik dan air minum. Dilihat dari tingkat pendidikan, pengusaha UKM sebagian besar
berada di tingkat pendidikan SD dan paling sedikit di tingkat pendidikan Diploma III. Dari hasil
tersebut juga dapat diketahui bahwa masih sedikit pengusaha yang bergerak di industri kreatif
dengan menciptakan suatu program ataupun aplikasi berbasis digital yang saat ini sedang populer
di masyarakat.
Untuk menjadi seorang pengusaha di era kreatif mereka tidak diharuskan untuk memiliki
modal yang besar melainkan kreatifitas merupakan modal yang paling penting. Generasi muda
Indonesia saat ini sangat nyaman untuk hanya menajadi konsumen dan tidak berpikir untuk
menjadi seorang pembuat dan memanfaatkan peluang yang besar ini untuk menjadi seorang
pengusaha. Hal ini menyebabkan produk-produk luar negeri membanjiri pasar lokal dalam
negeri. Misal saja dengan kehadiran permainan-permainan (game) pada mobile device yang
masih sangat didominasi oleh pengusaha dari luar negeri. Selain itu banyak pula aplikasi-aplikasi
lain yang mulai datang dan membanjiri pasar dalam negeri. Triliunan rupiah harus dibayarkan
pemerintah Indonesia kepada pihak asing dan potensi tersebut tidak tergarap dengan baik di
dalam negeri. Bila hal ini terus dibiarkan begitu saja, maka generasi muda Indonesia akan terus
hanyut terbuai dalam zona nyaman hanya sebagai pengguna (user) yang menyebabkan
ketergantungan akan produk luar negeri. Generasi muda yang merupakan generasi penerus

Bidang P-TPN

46

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

bangsa harus dipersiapkan untuk menghadapi perkembangan yang begitu pesat dan dapat bangkit
dari zona nyaman sehingga tidak terpuruk akibat ketergantungan di masa yang akan datang.
Karena hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk memberikan sosialisasi kepada
masyarakat sejak dini khususnya pada siswa SMA/SMK tentang pentingnya kewirausahaan.
Upaya tersebut juga harus dibarengi dengan memberikan penjelasan tentang pentingnya
penguasaan teknologi dan informasi di masa seperti saat ini. Mereka juga harus diajarkan tentang
menggunakan berbagai layanan yang telah ada secara gratis untuk memperoleh peluang usaha.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahyuningsih (Wahyuningsih, 2009) yang
menyatakan bahwa minat kewirausahaan dapat ditumbuhkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Untuk mewujudkan hal tersebut maka dilakukan kegiatan yang diberi nama Techno Party
Goes to School. Kegiatan ini menyasar siswa/siswa SMA/SMK sederajat sebagai generasi muda
harapan bangsa. Selain menyasar siswa/siswi SMA/SMK kegiatan ini juga terbuka untuk umum
untuk mengetahui tingkat dari antusias masyarakat untuk menjadi pengusaha khususnya anakanak muda. Dalam setiap kegiatan yang dilakukan akan disebarkan angket yang berisikan
tentang pendapat mengenai kegiatan yang dilakukan. Kegiatan ini dikemas sedemikian rupa agar
sesuai dengan gaya anak muda jaman sekarang. Kegiatan ini merupakan kombinasi antara
Education, Entrepreneurship, Technology, dan Entertainment. Ketiganya dipadukan secara
dinamis dan atraktif. Techno Party Goes to School menghadirkan para narasumber yang telah
terbukti mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dalam menjalankan sebuah bisnis. Para
narasumber menceritakan the real success stories, bagaimana mereka memulai usaha di bidang
IT, strategi-strategi praktis, dan prospek sebagai technopreneur di masa datang. Selain itu, acara
ini juga mengundang para artis yang peduli dengan pendidikan dan sosial. Setiap kegiatan yang
dilakukan juga mendapatkan dukungan dari komunitas pengusaha pemula di bidang IT yang
tergabung dalam SuBali (Start-up Bali).
Selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data angket yang telah disebar kepada
para peserta kegiatan yang selanjutnya data tersebut diolah untuk mengetahui tingkat kepuasan
para peserta tentang konsep kegiatan yang dilakukan. Selanjutnya, hal yang ingin diketahui
adalah seberapa tinggi pemahaman di tingkat SMA/SMK tentang technopreneurship. Selain itu
pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui

Bidang P-TPN

47

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

jumlah siswa SMA/SMK yang memiliki minat untuk menggeluti usaha yang menggunakan
teknologi informasi dalam berwirausaha.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan kegiatan sosialisasi dalam bentuk seminar dan
workshop yang diberi nama Technoparty goes to school. Kegiatan ini difokuskan kepada para
generasi muda khususnya siswa SMA/SMK. Untuk dapat memperoleh perhatian dari kalangan
muda, maka kegiatan Technoparty goes to school dilakukan dengan menyesuaikan dengan gaya
anak muda jaman sekarang. Kegiatan yang dilakukan berupa persentasi dan demonstrasi produk
teknologi informasi yang diselingi dengan hiburan seperti modern dance dan musik. Selain itu
untuk mampu memperoleh atensi dari para anak muda, dalam setiap kegiatan diundang artis-artis
lokal yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan sosial.
Persentasi dan demonstrasi produk di bidang teknologi informasi diberikan oleh para
pelaku usaha di bidang teknologi informasi yang profesional. Presentasi dan demonstrasi juga
dilakukan secara interaktif dengan memberikan para peserta berinteraksi langsung dengan
memberikan pertanyaan kepada narasumber. Setiap kegiatan yang dilakukan juga memperoleh
dukungan dari komunitas Start-up Bali (SuBali) yang merupakan komunitas para pengusaha
yang baru memulai bisnis di bidang teknologi informasi. Para narasumber menceritakan
mengenai pengalaman yang telah dilakoninya selaku pengusaha, produk-produk serta peluangpeluang bisnis yang dapat diraih.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa setiap kegiatan akan melibatkan para
praktisi dan pengusaha di bidang teknologi informasi untuk berbagi ilmu (education, technology)
tentang usaha yang dilakoninya (entrepreneurship) yang dipadukan dengan berbagai hiburan
yang menarik untuk anak muda (entertainment). Para narasumber juga akan memberikan
motivasi dan pemahaman tentang peluang-peluang bisnis yang dapat diraih khususnya pada
bidang teknologi informasi. Kegiatan ini juga memperoleh dukungan para artis lokal yang peduli
akan pendidikan dan sosial seperti Nanoe Biru dan Triple X. Kegiatan telah dilaksanakan di
beberapa sekolah-sekolah SMA/SMK yang ada di Bali serta kegiatan juga dibuka untuk umum

Bidang P-TPN

48

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

49

Pusat Inovasi - LIPI

khususnya para generasi muda yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang
technopreneurship. Gambar 1 memperlihatkan bentuk kegiatan yang dilakukan dalam
Technoparty Goes to School. Pada gambar tersebut tampak siswa sangat antusias mengikuti
kegiatan ini dan berperan aktif untuk ikut serta berpartisipasi memberikan pertanyaan ataupun
unjuk kemampuan bernyanyi bersama artis undangan. Setiap selesai melaksanakan kegiatan,
dilakukan penyebaran kuisioner yang selanjutnya dianalisis dan dilaporkan dalam penelitian ini.

Gambar

1.

Kegiatan

Technoparty

goes

to

School,

yang

berusaha

untuk

mengkombinasikan antara Education, Entrepreneurship, Technology dan Entertainment

Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu
gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat masa sekarang. Melalui penelitian deskriptif peneliti
berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut (Noor, 2011).
Data yang dianalisis diperoleh melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner yang disebarkan pada sampel dari populasi yang telah ditentukan sebelumnya.

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Sementara menurut Ali (Taniredja, 2011) populasi penelitian
adalah keseluruhan obyek penelitian atau disebut juga universe.
Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan adalah para siswa SMA/SMK yang
menjadi peserta kegiatan Technoparty Goes to School dan dengan sampel yang digunakan dalam
analisis data ditetapkan berjumlah 400 responden. Dalam pengolahan data, peneliti
menggunakan aplikasi statistic SPSS 21.0 karena ilmu statistic sangat berperan dalam
menganalisis perilaku konsumen dan software SPSS yang mudah digunakan serta memiliki
teknik-teknik analisis statististik yang cukup lengkap (Yamin & Kurniawan, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil penyebaran terhadap kuisioner dapat diketahui bahwa hampir sebagian besar
siswa SMA/SMK setelah lulus ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Melalui gambar 2a. dapat diketahui bahwa 89% siswa SMA/SMK ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, selanjutnya terdapat 4% siswa SMA/SMK yang ingin bekerja
setelah lulus SMA/SMK. Hanya 2% dari keseluruhan siswa SMA/SMK yang ingin melakukan
kegiatan kewirausahan. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi siswa sebagai pencari kerja, masih
tinggi jika dibandingkan dengan mencoba untuk berwirausaha.

Bidang P-TPN

50

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Rencana Setelah
Lulus
4%

2%
2%3%

89%

Melanjutkan

Bekerja

Menjadi Wirausaha

Tidak tahu

Lainnya

Gambar 2.a. Grafik rencana siswa SMA/SMK


setelah lulus lulus

2.b. Grafik jenis usaha yang diminati


siswa.

Selain itu, dalam kuisioner diberikan pertanyaan kepada para siswa SMA/SMK yang
menjadi peserta dalam kegiatan tentang jenis usaha yang diminati oleh mereka. Dari hasil
analisis terhadap data diketahui bahwa 28.8% siswa SMA/SMK ingin berwirausaha di bidang
Teknologi Informasi dan sebanyak 24,3% siswa SMA/SMK yang ingin berwirausaha di bidang
obat-obatan, farmasi dan kesehatan. Detail dari hasil ini dapat diperhatikan pada gambar 2b. Hal
ini menunjukkan jika para siswa telah berhasil mengenal technopreneurship dan telah
mengetahui peluang yang ada di bidang tersebut berdasarkan hasil melakukan sosialisasi dalam
bentuk seminar dan workshop.
Dari hasil analisis terhadap kuisioner yang telah disebarkan juga diperoleh data bahwa
seminar dengan konsep Technoparty goes to school memperoleh apresiasi yang cukup baik. Hal
ini terbukti dari jumlah peserta yang menginginkan acara seminar dengan konsep serupa sebesar

Bidang P-TPN

51

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

89,5% dari jumlah siswa yang di data. Dari penelitian yang dilakukan juga dapat diketahui
bahwa siswa SMA/SMK sangat membutuhkan seminar tentang kewirausahaan sejak dini
sehingga dapat memberikan gambaran tentang kewirausahaan tersebut sejak dini. Di sisi lain,
sebanyak 84.0% responden memberikan jawaban bahwa kegiatan yang dilakukan memberikan
informasi tentang kewirausahaan khususnya di bidang technopreneurship. Kedua hasil ini dapat
diperhatikan pada gambar 3.

Pemenuhan Informasi
Technopreneurship

Kebutuhan Seminar dengan


Konsep Technoparty
11%

16%

84%

Ya

Tidak

89%

Ya

Tidak

Gambar 3. Grafik yang menunjukkan kegiatan technoparty goes to school memberikan


informasi pada mahasiswa dan menyukai konsep seminar ini.

Dari hasil analisis terhadap kuisioner juga dapat diperoleh bahwa siswa SMA/SMK telah
menyadari akan pentingnya teknologi informasi untuk menunjang kewirausahaan. Hal ini dapat
ditunjukkan pada tabel 1 dimana 91.5% siswa SMA/SMK memberikan respon positif dengan
menjawab penting dan sangat penting. Hal ini menunjukkan bahwa siswa SMA/SMK telah

Bidang P-TPN

52

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

memperoleh penjelasan tentang pentingnya teknologi informasi di era saat ini. Mereka telah
mendapatkan wawasan mengenai hal tersebut melalui kegiatan yang dilakukan ini.
Tabel 1. Pentingnya Penguasaan Teknologi Dalam Usaha
Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Tidak Penting

10

2.5

2.5

2.5

Kurang Penting

24

6.0

6.0

8.5

Penting

102

25.5

25.5

34.0

Sangat Penting

264

66.0

66.0

100.0

Total

400

100.0

100.0

Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa seminar dengan konsep Technoparty goes
to School memperoleh apresiasi yang cukup baik, yang dibuktikan dengan 89.5% responden
yang menyatakan kebutuhan akan acara serupa. Peneliti melihat hal ini dimungkinkan karena
konsep yang diusung dalam acara Technoparty goes to School tergolong baru untuk acara
seminar sejenisnya. Saat merancang konsep acara ini awalnya peneliti melihat adanya faktor
keengganan dan kebosanan dari pelajar dengan acara seminar sejenis yang berpotensi tidak
tersampaikannya pesan dan materi secara efektif.
Peneliti melihat bahwa persepsi generasi muda, terutama siswa dan siswi SMA/SMK di
Pulau Bali, terhadap acara seminar dirasa identik dengan kurang menarik dan membosankan.
Menurut Mowen & Minor (Mowen & Minor, 2002) persepsi adalah proses dimana individu
diekspos untuk menerima informasi, memperhatikan informasi tersebut dan memahaminya.
Prasetijo (Prasetijo & Ihalauw, 2005) mendefinisikan persepsi sebagai sensasi yang diterima oleh
seseorang yang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya diinterpretasikan. Persepsi
yang dibentuk oleh seorang individu sangat bergantung pada stimulus yang diterima, yang dalam
hal ini diterima oleh panca indera.
Peneliti melihat bahwa acara seminar pada umumnya hanya mementingkan pesan atau
materi apa yang harus disampaikan, sehingga cenderung kurang memperhatikan bagaimana agar
pesan atau materi yang disampaikan akan secara efektif diterima oleh para peserta. Untuk
meningkatkan peluang efektifnya materi seminar yang diterima oleh peserta, peneliti merancang

Bidang P-TPN

53

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

konsep seminar yang tidak hanya memberikan informasi dalam bentuk materi yang berbobot,
namun juga dapat memberikan stimulus yang positif dalam bentuk hiburan musik dan tari
modern. Hal ini dimaksudkan agar panca indera peserta tidak mengalami kepenatan akibat
materi seminar yang monoton dan selain itu agar peserta juga mendapatkan stimulus-stimulus
yang positif dari konten-konten yang ditampilkan dalam acara Technoparty goes to School.
Menurut Prasetijo dan Ihalauw (Prasetijo & Ihalauw, 2005) kemampuan pemrosesan
stimulus itu terbatas, oleh karena itu tidak semua stimulus diproses. Selain itu individu secara
aktif memilih apakah akan mengekspos atau tidak diri mereka pada informasi atau stimulus
(Schiffman & Kanuk, 2010)s. Untuk itu agar dapat diterima secara maksimal oleh para peserta
seminar, penting untuk mengingat bahwa stimulus yang akan lulus seleksi oleh individu
bergantung pada sifat-sifat stimulus, harapan, dan motif (Prasetijo & Ihalauw, 2005). Faktorfaktor ini peneliti coba aplikasikan dalam penggunaan media promosi yang menarik untuk
mempromosikan acara ini sejak sebelum penyelenggaraan, pemilihan pengisi acara dan
pembicara yang dapat menarik ketertarikan peserta, penyusunan konten-konten seminar yang
diupayakan mengalir dan mengasyikkan untuk terciptanya harapan dan semangat peserta sejak
awal acara, serta menonjolkan penting dan manfaatnya belajar kewirausahaan sejak dini.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa banyak siswa SMA/SMK berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi bila dibandingkan untuk berwirausaha
setelah mereka lulus. Hanya 2% dari total siswa yang memiliki keinginan untuk berwirausaha.
Hal ini menunjukkan jiwa kewirausahaan yang masih rendah di kalangan siswa SMA/SMK serta
mindset kewirausahaan siswa SMA/SMK masih belum terbentuk.
Selanjutnya, dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa masih banyak siswa
SMA/SMK yang belum memahami bahkan mengenal tentang technopreneuship. Selain itu, dari
penelitian yang dilakukan dapat diketahui, siswa SMA/SMK yang merupakan generasi muda
penerus bangsa menyukai konsep kegiatan Technoparty Goes to School yang mengkombinasikan

Bidang P-TPN

54

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

antara Education, Entrepreneurship, Technology, dan Entertainment. Hal ini dikarenakan


kegiatan yang dilaksanakan mencoba untuk lekat dengan anak muda di era saat ini.
Dari hasil analisis dalam penelitian ini juga diketahui bahwa banyak siswa SMA/SMK
yang telah sadar tentang pentingnya peran teknologi informasi dalam menunjang kewirausahaan
serta cukup banyak siswa SMA/SMK yang memiliki minat untuk berwirausaha di bidang
Teknologi Infomrasi. Para siswa SMA/SMK juga setuju dengan meberikan respon positif bahwa
kegiatan Technoparty goes to School memberikan wawasan tentang technopreneurship.
Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu adanya sosialisasi serta pendidikan kewirausahaan sejak dini yang mampu
menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan sejak dini sehingga dapat merubah mindset
para siswa bukan untuk mencari pekerjaan namun untuk menciptakan lapangan
pekerjaan. Sosialisasi dalam bidang technopreneurship juga harus digalakkan sehingga
semakin banyak masyarakat yang mengenal dan sadar akan peluang yang ada di bidang
technopreneurship.
2. Penelitian ini masih terbatas pada siswa SMA/SMK sederajat. Akan sangat
memungkinkan untuk melakukan penelitian yang sama dengan mahasiswa sebagai objek
penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kami sampaikan kepada KEMENRISTEK-DIKTI yang memberikan
bantuan terhadap kegiatan Technoparty goes to School ini melalui skema Ipteks Bagi
Masyarakat. Dari hibah yang diperoleh tersebut kami dapat melaksanakan penelitian ini
sekaligus melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk melakukan sosialisasi khususnya
kepada generasi muda untuk memberikan wawasan kewirausahaan dengan memanfaatkan
Teknologi Informasi yang telah tersedia saat ini. Selain itu penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada bapak/ibu guru dan para kepala sekolah yang memberikan kesempatan
sehingga kegiatan ini dapat dilaksanakan. Kami juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh
pihak yang membantu kegiatan ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Bidang P-TPN

55

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Hapsari. 2014. Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM). Wacana.
Kemenkeu. 2015. PDB 2014 Mencapai Rp10.542,7 triliun. Retrieved from Kementrian Keuangan RI:
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pdb-2014-mencapai-rp105427-triliun
Kemkop. 2014. www.depkop.go.id. Retrieved from www.depkop.go.id
Mendikbud. 2012. Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan
Nasional
Tahun
2012.
Retrieved
Mei
10,
2013,
from
kemdiknas.go.id/:
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/sites/default/files/SAMBUTAN-HARDIKNASMENDIKBUD-2012-OKE-PDF_0.pdf
Mowen, J., & Minor, M. 2002. Perilaku Konsumen Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Nanga, M. 2001. Makro Ekonomi Teori, Masalah dan Kebijakan Edisi Pertama. Jakarta: Rajawali Press.
Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Prasetijo, R., & Ihalauw, J. 2005. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi.
Schiffman, L., & Kanuk, L. 2010. Consumer Behavior, 10th edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah, dan Kebijakan). Jakarta: Kencana Prenada.
Taniredja, T. 2011. Penelitian Kuantitatif (Suatu Pengantar). Bandung: Alfabeta.
Todaro, M. P. 1998. Pembangunan Ekonimi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Wahyudi,
R.
2013.
Kompas.
Retrieved
from
kompas.com:
http://tekno.kompas.com/read/2013/10/31/1426203/Facebook.Tembus.1.19.Miliar.Pengguna.Akti
f
Wahyuningsih, S. 2009. Peranan UKM dalam Perekonomian Indonesia. Mediagro Vol 5, No. 1, 1-14.
Yamin, S., & Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete: Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan
Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotech.

Bidang P-TPN

56

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-TPN 05

KOMPETISI INOVASI PELAYANAN PUBLIK


TAHUN 2014 DAN 2015
Komarudin
Peneliti Utama Kebijakan Publik, Pensiunan PNS BPPT
komar_udi@yahoo.com

ABSTRAK
Program Satu Instansi, Satu Inovasi (One Agency, One Innovation) KemenPAN-RB
ditindaklanjuti dengan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) setiap tahun. Pada tahun
2015, acuannya Peraturan MenPAN-RB

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi

Pelayanan Publik dan Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014 tentang Kompetisi
Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah.
Makalah ini berisi hasil observasi/penelitian awal KIPP Tahun 2014 dan 2015 sebagai
bagian dari reformasi birokrasi. Peserta yang mencapai 515 K/L/Pemda pada tahun 2014 dan
1189 pada tahun 2015 menunjukkan minat K/L/Pemda yang besar terhadap inovasi pelayanan
publik dan kompetisi inovasi pelayanan publik.
Sasaran kompetisi ini adalah terbangunnya inovasi pelayanan publik pada setiap
K/L/Pemda, teciptanya pengembangan dan trasfer inovasi pelayanan publik, terwujudnya
poeningkatan kualitas pelayanan publik, dan terwujudnya kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik. Beberapa pengertian penting, antara lain inovasi, pelayanan publik, inovasi
pelayanan

publik,

replikasi,

sosialisasi,

diseminasi,

capacity

building,

leadership,

enterpreneurship, transfer (technical, information, and managerial) ide, teknologi, proses, dan
managerial, sistem informasi pelayanan publik, adaptasi dan modifikasi inovasi pelayanan
publik, lomba pelayanan publik tingkat nasional KIPP) dan lomba pelayanan publik internasional
(United Nations Public Service Awards, UNPSA).

Bidang P-TPN

57

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ada beberapa hal yang menarik dari kompetisi ini. Pertama, para pemenang sampai
dengan urutan nomor tertentu, diusulkan mengikuti lomba pelayanan publik internasional yang
diselenggarakan oleh United Nations Public Service Awards (UNPSA). Kedua Para pemenang
Top 99, Top 25, dan Top 9 dijadikan good practices dan best practices untuk direplikasi oleh
K/L/Pemda yang belum berhasil. Ketiga, kompetisi ini merupakan sarana pembelajaran dan
ajang lomba inovasi pelayanan publik K/L/Pemda setiap awal tahun. Keempat, kebanggaan bagi
Menteri/Kepala Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang telah meraih prestasi terbaik inovasi
pelayanan publik.

PENDAHULUAN
Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP), salah satu tindak lanjut program Satu
Instansi, Satu Inovasi (One Agency, One Innovation) Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB ), merupakan ajang tertinggi dari
Pemerintah/KemenPAN-RB atas pengakuan praktik inovasi pelayanan publik dari jenis atau
beberapa jenis pelayanan yang dilakukan di setiap Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota (K/L/Pemda). KIPP yang juga terkait dengan enterpreneurship dan
technopreneurship pemimpin daerah dilaksanakan mengacu kepada Pasal 7 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menugaskan MenPANRB untuk memberikan penghargaan kepada penyelenggara pelayanan publik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

KIPP Tahun 2014 dan Tahun 2015 merupakan kegiatan Kemen PANRB yang melaksanakan amanat Pasal 7 UU
Nomor 25 Tahun 2009, yaitu:
(1) Penanggung jawab adalah pimpinan kesekretariatan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
atau pejabat yang ditunjuk Pembina. Pasal 6 ayat (1): Guna menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan
publik diperlukan Pembina dan Penanggung Jawab. Pasal 6 ayat (2): Pembina sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas: a) pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya; b)
gubernur pada tingkat provinsi; c) bupati pada tingkat kabupaten; dan d) walikota pada tingkat kota.
(2) Penanggung jawab mempunyai tugas: a) mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik
sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja; b) melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan

Bidang P-TPN

58

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Secara khusus KIPP dilaksanakan guna mendorong percepatan reformasi birokrasi di


bidang pelayanan publik dengan menjadikan kegiatan ini sebagai arena pembelajaran di antara
unit-unit pelayanan publik, menuju terwujudnya pemerintahan kelas dunia (pemerintahan yang
profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada
masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan
pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025).
Setiap K/L/Pemda diminta melakukan paling tidak satu inovasi setiap tahunnya.
Keberhasilan inovasi diharapkan dapat menjadi referensi pembanding (benchmark) dan referensi
pembelajaran (benchlearning) dalam upaya melakukan percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi antarinstansi melalui sosialisasi, diseminasi, transfer, dan replikasi inovasi pelayanan
publik.
Makalah ini berisi informasi tentang KIPP Tahun 2014 dan 2015, termasuk Top 99 dan
Top 9/2014 serta Top 99 dan Top 25/2015 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 (515 peserta
tahun 2014 dan 1189 peserta tahun 2015). Top 9, Top 25, dan Top 99 diharapkan dapat
direplikasi oleh K/L/Pemda yang belum berprestasi dan dijadikan ajang pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
Proposal instansi pengusul (K/L/Pemda) pada tahun 2014 dibedakan atas kategori 1)
Pencegahan Korupsi; 2) Peningkatan Kapasitas Kinerja dan Akuntabilitas Aparatur; dan 3)
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; sedangkan pada tahun 2015 dibedakan atas kategori 1)

publik; dan c) melaporkan kepada Pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan
kerja unit pelayanan publik.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunn aparatur negara bertugas: a) merumuskan kebijakan
nasionl tentang pelayanan publik; b) memfasilitasi lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme
yang ada; dan c) melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib: a) mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan
publik, hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi; b) membuat peringkat kinerja
penyelenggara secara berkala; dan c) memberikan penghargaan kepada penyelenggara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Bidang P-TPN

59

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Perbaikan Pemberian Pelayanan kepada masyarakat; 2) Memperkuat Partisipasi dalam


pembuatan Kebijakan melalui Mekanisme yang Inovatif; 3) Mendorong Pemerintahan Berbasis
Pendekatan Kolaboratif dalam Era Informasi; dan 4) Mendorong ResponsifGender dalam
Pemberian Pelayanan kepada Masyarakat.
Pembuatan proposal inovasi pelayanan publik harus menjabarkan dengan tegas dan jelas
inovasi serta didukung data yang lengkap. Duabelas butir penting pada panduan pembuatan
proposal tahun 2015, yaitu: A. Analisis Masalah (5%): 1) Apa masalah yang dihadapi sebelum
dilaksanakannya inisiatif ini?; B. Pendekatan Strategis (25%): 2) Siapa saja yang telah
mengusulkan pemecahannya dan bagaimana inisiatif ini telah memecahkan masalah tersebut?; 3)
Dalam hal apa inisiatif ini kreatif dan inovatif?; C. Pelaksanaan dan Penerapan (30%): 4)
Bagaimana strategi ini dlaksanakan?; 5. Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam
pelaksanaan?; 6) Sumber daya apa saja yang digunakan untuk inisiatif ini dan bagaimana sumber
daya itu dimobilisasi?; 7) Apa saja keluaran (output) yang paling berhasil?; 8) Sistem apa yang
diterapkan untuk memantau kemajuan dan mengevaluasi kegiatan?; 9) Apa saja kendala utama
yang dihadapi dan bagaimana kendala tersebut dapat diatasi?; D. Dampak dan Keberlanjutan
(40%): 10) Apa saja manfaat utama yang dihasilkan inisiatif ini?; 11) Apakah inisiatif ini
berkelanjutan dan direplikasi?; dan 12) Apa saja pembelajaran yang dapat dipetik?
Acuan penyelenggaraan KIPP Tahun 2015 adalah PerMenPAN-RB Nomor 30 Tahun
2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik (berisi pendahuluan: latar belakang, tujuan,
sasaran, ruang lingkup, dan pengertian (inovasi, pelayanan publik, inovasi pelayanan publik;
pembangunan, pengembangan, kompetisi, replikasi, transfer pengetahuan, sistem informasi, serta
adaptasi dan modifikasi inovasi pelayanan publik), pembangunan dan pengembangan inovasi
pelayanan publik, pemantauan dan evaluasi,dan penutup). Pedoman inovasi pelayanan publik
dijabarkan dengan Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014 tentang KIPP Tahun 2015
di lingkungan K/L/Pemda. Surat Edaran ini berisi pendahuluan (latar belakang, pengertian,
prinsip, tujuan, dan ruang lingkup); organisasi, peserta dan sarana; jenis, kategori dan kriteria;
proposal inovasi pelayanan publik; mekanisme seleksi; serta publikasi dan bimbingan teknis.
Peserta pengusul proposal harus mengerti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik dan PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU

Bidang P-TPN

60

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang berisi 5 (lima) substansi penting, yaitu 1)
Ruang lingkup pelayanan publik; 2) Sistem pelayanan terpadu; 3) Standar pelayanan publik; 4)
Proporsi akses dan kategorikelompok masyarakat (pelayanan dengan perlakuan khusus,
pelayanan berjenjang); dan 5) Tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik (peran serta masyarakat dalam pelayanan publik). PP terkait lainnya adalah PP
Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal.
Inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan
gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi pelayanan publik sendiri tidak
mengharuskan penemuan baru, tetapi dapat merupakan pendekatan baru yang bersifat
kontekstual dalam arti inovasi tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan
praktik inovasi, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas
pada inovasi yang ada. KIPP adalah kegiataan seleksi, penilaian, dan pemberian penghargaan
yang diberikan kepada inovasi pelayanan publik yang dilakukan oleh K/L/Pemda
Prov/Kab/Kota. Secara khusus, KIPP dilaksanakan untuk mendorong percepatan reformasi
birokrasi di bidang pelayanan publik.
Tujuan dan keluaran yang diharapkan dari pemberian penghargaan adalah 1)
mendiseminasikan, mentransfer, dan mereplikasi praktik inovasi dan praktik baik lainnya; 2)
menumbuhkan sistem pembelajaran dan knowledge sharing; dan 3) mendorong perbaikan
pelayanan publik secara berkelanjutan. Hasil kegiatan ini adalah 1) tersedianya mekanisme yang
akuntabel untuk menjaring inovasi dan praktik baik; 2) meningkatnya jumlah inovasi yang
dilakukan oleh birokrasi di lingkungan K/L/Pemda; 3) mendorong para pembina, penyelenggara,
dan pelaksana pelayanan publik untuk mempercepat upaya peningkatan pelayanan publik; 4)
memberikan inspirasi baru bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik untuk terus
menerus meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan 5) memperbaiki persepsi dan kepercayaan
masyarakat terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi melalui peningkatan pelayanan publik.
Mekanisme dan Manajemen evaluasi KIPP 2014 meliputi: 1) K/L/Pemda mengusulkan
praktik inovasi (proposal), tidak ada batasan jumlah inovasi yang diusulkan untuk tiap kategori

Bidang P-TPN

61

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

62

Pusat Inovasi - LIPI

(pengajuan berdasarkan usulan Satker Unit Pelayanan Publik kepada Pimpinan K/L/Pemda,
diteruskan kepada KemenPAN-RB secara online menggunakan aplikasi berbasis web melalui
situs resmi KemenPAN-RB

www.menpan.go.id. Pre-seleksi (dilakukan Sekretariat

KemenPAN-RB ) harus memenuhi kriteria kelayakan, yaitu relevan dengan salah satu kategori
inovasi; dan 2) kelengkapan data/informasi dan dokumen pendukung pada aplikasi online
(SiNoviK). Pengelola KIPP Tahun 2014 adalah Deputi Bidang Pelayanan Publik yang
menugaskan Asisten Deputi yang secara fungsional mempunyai tugas melakukan pengelolaan
inovasi pelayanan publik sebagai pihak yang mengelola data dan informasi serta
pengadministrasian unit inovasi pelayanan publik KemenPAN-RB .
Setelah seleksi administrasi, dilakukan seleksi penilaian oleh Tim Evaluasi (ahli atau
pakar perguruan tinggi/lembaga) dari jumlah proposal yang memenuhi syarat sampai dengan
angka jumlah proposal tertentu yang akan disampaikan kepada Tim Panel Independen dengan
menampung masukan dari Organisasi Masyarakat Madani (Civil Society Organization)/LSM.
Bobot penilaian adalah Masalah, Unsur Inovasi, dan Hasil (40%), Pelaksanaan dan Penerapan
(20%), Keberlanjutan dan Peluang Replikasi (30%), dan Kaitannya dengan Program Reformasi
Birokrasi (10%). Tim Panel Independen melakukan penilaian dari jumlah proposal angka
tertentu tadi menjadi berkurang ke jumlah angka tertentu (melalui penilaian presentasi 20%,
wawancara 40%, dan peninjauan lapangan 40%). Peninjauan lapangan dilakukan oleh anggota
TimPanel

Independen,

Tim

Evaluasi,

dan

Staf

KemenPAN-RB

(model

mistery

shopping/shopper). Hasil evaluasi tim panel setelah mistery shopping adalah 5 nominasi tiap
kategori. Lima besar tiap kategori dinilai oleh Panitia Penentu Akhir (Pantuhir), menjadi 3
nominasi tiap kategori (berjumlah 9 nominasi, menjadi Top 9).
Penghargaan diberikan oleh MenPANRB, antara lain piagam inovasi pelayanan publik
dan kesempatan memperoleh bantuan (kegiatan dan diikutsertakan dalam peningkatan kapasitas
di dalam/luar negeri atas biaya KemenPANRB atau pihak lain sesuai ketentuan perundangundangan (saat kegiatan Musrenbang Nasional disaksikan Wapres RI). Deputi Bidang Pelayanan
Publik dan Asisten Deputi inovasi yang ditugaskan, melakukan tindak lanjut penghargaan
berupa, 1) penerbitan handbook of innovation public service yang berisi praktik terbaik inovasi
pelayanan publik; 2) workshop/seminar/pelatihan dalam rangka diseminasi transfer dan replikasi

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

serta praktik-praktik terbaik inovasi pelayanan publik; dan 3) pemantauan dan evaluasi guna
mendapatkan masukan mengenai perkembangan implementasi inovasi pelayanan publik dari
para nominasi serta diarahkan untuk dinominasikan dalam kompetisi United Nation Public
Service Award (UNPSA) 2015. Pengusulan proposal sampai dengan penetapan pemenang
berlangsung pada Januari s.d. April tahun yang bersangkutan.

Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014


Dalam rangka mendukung pelaksanaan percepatan reformasi birokrasi dan sejalan
dengan gerakan OAOI, telah disiapkan Pedoman Teknis KIPP Tahun 2014 untuk dijadikan
acuan bagi K/L/Pemda dalam mengikuti kompetisi inovasi pelayanan publik sekaligus tindak
lanjut pengembangan dan replikasinya. Pedoman teknis ini merupakan adaptasi dan modifikasi
berbagai kriteria yang dipakai dalam kompetisi yang dilakukan oleh berbagai lembaga tingkat
nasional dan internasional, termasuk yang diselenggarakan oleh United Nations Public Service
Awards (UNPSA).
Pedoman teknis ini berisi Pendahuluan (latar belakang, pengertian KIPP, mengapa KIPP
dilaksanakan, kegiatan KIPP berbeda dengan kegiatan lainnya, ruang lingkup, tujuan dan hasil);
Model Evaluasi (pengertian inovasi dan inovasi pelayanan publik, kategori inovasi (pencegahan
korupsi; peningkatan kapasitas dan kinerja aparatur; dan peningkatan kualitas pelayanan publik);
kriteria (umum dan bidang); mekanisme dan manajemen evaluasi (kelayakan inovasi, tahapan
seleksi, pembobotan nilai, pengelola inovasi di tingkat Pemda dan tingkat Pusat, penghargaan
dan tindak lanjut, jadwal penilaian dan tindak lanjut, dan pemberian penghargaan), dan Aplikasi
pengusulan praktik inovasi.
Pada tahun 2014, Sekretariat SiNoviK menerima 515 usulan proposal dan menyeleksi
kelayakan proposal dari aspek administratif dan kelengkapan.Tim Evaluasi menggunakan
panduan penilaian KIPP Tahun 2014, menilai usulan inovasi menjadi urutan 150 terbaik,
kemudian dibahas oleh Tim Panel Independen menjadi 99 terbaik (Top 99), dirinci ke dalam Top
33 pada tiga kategori penilaian. Top 33 dikunjungi oleh Tim Mystery Shopper dan hasil
kunjungan dilaporkan kepada Tim Panel Independen. Berdasarkan laporan kunjungan/klarifikasi
dan sumber data/informasi lainnya. Berdasarkan hasil Tim Panel Independen, Deputi Bidang

Bidang P-TPN

63

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pelayanan Publik mengusulkan kepada MenPAN-RB calon pemenang, dan kemudian MenPANRB memutuskan/menetapkan Top 9 inovator pelayanan publik K/L/Pemda.
Buku Top 99 dan Top 9 didokumentasikan sebagai produk KIPP 2014. Di samping itu
diterbitkan buku Good Practices model pelayanan publik, dan file 515 inovasi secara online pada
SiNoviK. WaMenPAN-RB , Eko Prasojo, menegaskan pentingnya replikasi dari inovasi
pelayanan publik. Replikasi artinya meniru. Dengan melakukan replikasi, terjadi akselerasi yang
tidak semahal jika perubahan dimulai dari nol. Kunci inovasi adalah niteni, nirokke (meniru), dan
nemokke (menemukan). Proses pembelajaran sendiri (self learning) difasilitasi pihak lain
(KemenPAN-RB dan Lembaga Mitra Pembangunan/Perguruan Tinggi/LSM), dalam bentuk
sinergi, kemitraan, dan kolaborasi, dimaksudkan untuk memajukan pelayanan publik di
lingkungan kerjanya dengan cara ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi).
Top 9 Inovasi Pelayanan PublikTahun 2014, yaitu:
1. Sistem Pendaftaran Fidusia Online, Kementerian Hukum dan HAM.
2. Pelayanan Karantina Ikan PASTI, KIPM Kelas II Semarang, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
3. Format Kendali Hulu Hilir, Provinsi Aceh.
4. Km 0 Pro Poor Jawa Barat, Provinsi Jawa Barat.
5. Wilayah Bebas dari Korupsi pada Jembatan Timbang, Provinsi Jawa Timur.
6. Kampung Media, Penyebarluasan Informasi Berbasis Komunitas, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
7. Pembangunan Jalan Besar Tanpa Bayar, Kota Banjarbaru.
8. Government Resource Mangement System (GRMS), Kota Surabaya.
9. Surabaya Single Window (SSW), Kota Surabaya.
Pada tahun 2014, ada 5 (lima) unit pelayanan publik Indonesia yang masuk sebagai
finalis United Nations Public Service Awards (UNPSA), pengiriman proposal atas bantuan
KemenPAN-RB , Kemendagri, GIZ, dan KINERJA, yaitu 1) Layanan Kesehatan Ibu Melahirkan
dengan Bantuan Tenaga Kesehatan Tradisional (dukun beranak) bekerja sama dengan Tenaga
Medis, Kabupaten Aceh Singkil; 2) Pendistribusian Guru Secara Proporsional, Kabupaten Luwu
Utara; 3) Pelayanan Perizinan Terpadu, Kabupaten Barru; 4) Layanan Administrasi

Bidang P-TPN

64

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kependudukan Catatan Sipil, Kota Surakarta; dan 5) UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan
Keluhan), Kota Yogyakarta.
KemenPAN-RB bekerja sama dengan Badan Diklat Kemendagri dan Paguyuban Alumni
Harvard Executive Education Angkatan I, II, dan III, pada 24 Maret 2014 menyelenggarakan
Knowledge Sharing Forum. Men PANB, Dr. (HC) Ir. H. Azwar Abubakar, M.M., menegaskan
bahwa ujung reformasi birokrasi adalah peningkatan kualitas pelayanan publik.Langkah kegiatan
inovasi pelayanan publikharus dapat mempercepat reformasi birokrasi. Alumni Harvard
Executive Education harus terus menerus melakukan terobosan dan inovasi pelayanan publik,
dan direplikasi oleh pemerintah daerah lain.
WaMenPAN-RB , Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. memrakarsai dan mendukung
pelaksanaan Knowledge Sharing Forum. Deputi MenPAN-RB

Bidang Pelayanan Publik,

Mirawati Sudjono, M.Sc. terus menerus berupaya meningkatkan kualitas kompetisi inovasi
pelayanan publik dan bersama dengan Kepala Badan Diklat Kemendagri, Drs. H. Ahmad
Zubaedi,M.Si., dan Bupati Sumbawa Barat, K.H. Zukifli Muhadli, S.H., selaku Ketua
Transformasi Indonesia, didukung WaMenPAN-RB , menerbitkan prosiding pertemuan
Knowledge Sharing Forum dalam buku berjudul Transformasi Pelayanan Publik Indonesia.

Knowledge Sharing Alumni Harvard Executive Education


Buku Transformasi Pelayanan Publik Indonesia 2014 merupakan prosiding makalah
Bupati/Walikota Alumni Harvard Executive Education Angkatan I, II, dan III yang disampaikan
dalam rangka acara Knowledge Sharing Forum di KemenPAN-RB
Pertemuan ini diselenggarakan oleh oleh KemenPAN-RB

pada 24 Maret 2014.

bekerja sama dengan Badiklat

Kemendagri dan Paguyuban Alumni Harvard Executive Education Angkatan I, II, dan III.
MenPAN-RB , Azwar Abubakar, terus mendorong program One Agency, One
Innovation, inovasi pelayanan publik sebagai strategi percepatan peningkatan kualitas
pelaksanaan publik dalam gerakan reformasi birokrasi. Deputi MenPAN-RB Bidang Pelayanan
Publik, Mirawati Sudjono bekerja sama dengan Kabandiklat Kemendagri, Drs. H. Ahmad
Zubaedi,M.Si., dan Bupati Sumbawa Barat, K.H. Zukifli Muhadli, S.H., selaku Ketua
Transformasi Indonesia menyelesaikan penerbitan buku ini.

Bidang P-TPN

65

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Alumni Harvard Executive Education menegaskan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa
dilakukan dengan biasa-biasa saja (business as usual), tetapi harus luar biasa (out of the box
thinking). Ilmu dan wawasan yang diperoleh di Amerika Serikat merupakan asset yang
bermanfaat dalam merumuskan, memilih, dan menetapkan program, serta mendorong gerakan
reformasi birokrasi sebagai perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik,
bersih, dan berwibawa. Para alumni bertekad menjadi garda terdepan dalam inovasi pelayanan
publik dan pelaksanaan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang berkelas dunia
(pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan
pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu
menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun
2025). Kumpulan makaah Pertemuan Knowledge Sharing Forum Alumni Harvard Executive
Education, Jakarta, 24 Maret 20014, telah dibukukan dalam bentuk prosiding.

Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015


Acuan KIPP Tahun 2015 adalah PerMenPAN-RB

Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Pedoman Inovasi Pelayanan Publik dan Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014
tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah. Sekretariat KemenPAN-RB berkomunikasi dengan K/L dan Pemda
membahas Proposal SiNoviK Tahun 2015 dan kemudian menyeleksi secara administratif setiap
usulan proposal inovasi yang masuk.
Langkah selanjutnya adalah Tim Evaluasi melakukan penilaian dan memperoleh hasil
200 inovasi terbaik yang disampaikan kepada Tim Panel Independen. Tim Panel Independen
menilai 200 proposal inovasi

dan membuat 99 urutan terbaik.Tujuh puluh inovasi terbaik

diundang melakukan presentasi dan wawancara dengan Tim Panel Independen. Hasil penilaian
presentasi dan wawancara, dilakukan kunjungan lapangan (mystery shopper/shopping) untuk
memeriksa kebenaran data dan dukungan informasi lainnya. Hasil kunjungan lapangan
dilaporkan kepada Tim Panel Independen dan kemudian Tim Panel Independen memutuskan 25
inovasi pelayanan publik terbaik tahun 2015.

Bidang P-TPN

66

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

67

Pusat Inovasi - LIPI

MenPAN-RB, Prof. Dr. Yuddy Chrinandi, M.M., menegaskan, Pelayanan publik yang
berkualitas adalah dambaan setiap warga negara. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika
pemerintah mengambil berbagai inisiatif guna meningkatkan kualitas pelayanan publik secara
berkelajutan. Terkait dengan hal ini, Pemerintah melalui KemenPAN-RB memperkenalkan
inisiatif One Agency, One Innovation sejak tahun 2013. Pada prinsipnya inisitif ini
mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah agar melakukan minimal 1 (satu) inovasi setiap
tahunnya.Paralel dengan inisiatif ini, diselenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik.
MenPAN-RB bersyukur bahwa jumlah peserta kompetisi pada tahun 2015 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 515 peserta meningkat
menjadi 1189 peserta. Peningkatan ini dapat menjadi petunjuk penting tentang kuatnya
komitmen

dari

para

penyelenggara

pelayanan

publik

untuk

memenuhi

harapan

masyarakat.Terhadap kompetisi ini, setelah melalui penilaian independen dihasilkan 99 inovasi


terbaik. Sebagai pelengkap dari inisiatif di atas, KemenPAN-RB setiap tahun memublikasikan
99 inovasi terbaik dalam buku Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014 dan Top 99
Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015. Hasil publikasi ini merupakan salah satu alat diseminasi
guna memperkuat upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, baik melalui transfer
pengetahuan, replikasi maupun sebagai rujukan untuk peningkatan kapasitas, perluasan jejaring,
dan pelembagaan inisiatif inovasi. MenPAN-RB

juga menyampaikan terimakasih kepada

berbagai pihak yang telah menunjukkan dedikasi melalui kerja keras dalam penyelenggaraan
kompetisi dan penyusunan buku ini.Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati setiap niat dan
langkah baik kita dalam rangka mengabdi kepada bangsa dan negara.
Deputi Bidang Pelayanan Publik, Mirawati Sudjono, M.Sc. menegaskan, Buku Top 99
Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 merupakan pelaksanaan program One Agency, One
Innovation, melalui KIPP Tahun 2015. Penilaian Top 99 Tahun 2015 membedakan Kementerian,
Lembaga, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota. Beliau
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan
KIPP Tahun 2015 dan penerbitan buku Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015. Beliau
juga menyampaikan apresiasi kepada semua inovator Top 99 dan berharap terus menciptakan

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

inovasi pelayanan publik. Inovasi yang sudah ada terus diperbaiki dan berkelanjutan, serta
direplikasi oleh unit penyelenggara pelayanan publik lainnya.
Mantan WaMenPAN-RB dan Anggota Tim Panel Independen KIPP Tahun 2015, Prof.
Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, menegaskan, Kunci dari inovasi pelayanan publik ada 3 (tiga)
hal, yaitu niteni, nirokke, dan nemokke (memperhatikan, menirukan, dan menemukan). Untuk
sampai ke sana, salah satu caranya perlu saling berbagi atau sharing pengetahuan dan
pengalaman. Sukses awal program One Agency, One Innovation yang diluncurkan tahun 2014
adalah pelayanan publik perlu dijaga dengan pendekatan komprehensif dan pemantapan siklus
tahunan. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan keseriusan pimpinan dan pelaksana. Transfer
inovasi (strategi, metoda atau substansi pelayanan publik) perlu didukung tools yang
komprehensif dan efektif.
Koordinator Tim Evaluasi KIPP Tahun 2015, Prof. Drs. Komarudin, M.A., menegaskan
pentingnya inovasi, yaitu Inovasi adalah proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam
melakukan penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada. Inovasi
pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif
orisinal maupun adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Inovasi
pelayanan publik tidak mengharuskan penemuan baru, tetapi dapat merupakan pendekatan baru
yang bersifat kontekstual tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan praktik
inovasi, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas pada
inovasi yang ada. Wujud pelayanan yang meliputi proses, administrasi, sistem, dan konsep dapat
dikelompokkan ke dalam perbaikan pelayanan kepada masyarakat, penguatan partisipasi
masyarakat dalam pembuatan kebijakan, pemerintahan berbasis kolaboratif memanfaatkan
teknologi informasi, dan responsif gender.
Prof. Dr. J.B. Kristiadi, Ketua Tim Panel Independen KIPP Tahun 2015 menegaskan,
Replikasi inovasi pelayanan publik adalah proses keputusan untuk melakukan transfer
pengetahuan dalam implementasi gagasan atau ide baru dari praktik baik inovasi pelayanan
publik, baik sebagian maupun keseluruhan. Esensi transfer (teknis, informasi, dan manajerial)
adalah melakukan adaptasi dan internalisasi inovasi pada lingkungan baru. Transfer
membutuhkan dukungan kapasitas, jaringan inovasi, pelembagaan, dan keberlanjutan inovasi.

Bidang P-TPN

68

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KIPP Tahun 2015, mendorong komitmen dan konsistensi pimpinan, inisiatif yang kreatif dan
inovatif, pendekatan strategis dan pelaksanaan strategi, peran pemangku kepentingan,
penggunaan sumber daya, keluaran yang paling berhasil, sistem pemantauan dan evaluasi,
manfaat utama yang dihasilkan, keberlanjutan inovasi dan replikasi, dan pembelajaran sebagai
bahan perbaikan menuju inovasi yang menghasilkan pelayanan prima.
Berdasarkan Surat Keputusan MenPAN-RB Nomor 100 Tahun 2015, ditetapkan 25
inovasi pelayanan publik terbaik tahun 2015, masing-masing diraih oleh 3 Kementerian (Kemen
Agraria/BPN, Kemensos, dan Kemenkum HAM), 5 Pemprov (Jatim (2), DI Yogyakarta,,
Kalimantan Tengah, dan Jambi), 10 Pemkab (Badung, Lumajang, Aceh Selatan, Sragen,
Banyuwangi, Pasuruan, Pinrang, Teluk Bintuni, Malang, dan Penajam Paser Utara), dan 7
Pemko (Surabaya, Malang, Denpasar, Jambi, Pekalongan, Lubuklinggau, dan Surakarta).
Peraih Top 99 Tahun 2015 menerima surat penghargaan dan peraih Top 25 menerima
surat penghargaan pada acara Musrenbangnas di Hotel Bidakara, 29 April 2015, disaksikan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya pada bulan Mei 2015 peraih Top 99 diundang
pada acara pelayanan publik di Surabaya dan pada 14-16 Juni 2015 di Sidoarjo diselenggarakan
Gelar Pelayanan Publik dan Simposium Inovasi Pelayanan Publik yang diisi penyajian Top 25
dan peraih masing-masing Juara Kedua UNPSA Tahun 2015 (Pemerintah Kabupaten Aceh
Singkil dan Pemerintah Kabupaten Sragen).

Menuju Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016


Pada bagian penutup proposal inovasi pelayanan publik tahun 2015, ada kewajiban
menuliskan rekomendasi ke depan. Rekomendasi 2015ini harus ditampung dalam Pedoman
Umum Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016 dan pembuatan proposal inovasi pelayanan publik
tahun 2016. Dari 25 inovasi pelayanan publik terbaik tahun 2015 (Top 25), dapat dicatat
rekomendasi ke depan dengan kata-kata kunci sebagai berikut:
1.

Komitmen, konsistensi, kesungguhan, dan keseriusan, good will pimpinan, kepedulian, dan
keberpihakan.

2.

Inisiatif original, kreatif dan inovatif, diseminasi, modifikasi dan replikasi.

Bidang P-TPN

69

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3.

Prosedur yang jelas (SOP), ketatalaksanaan (proses bisnis) yang sederhana, transparan dan
akuntabel, fleksibilitas pelaksanaan pekerjaan, dan rencana aksi yang mudah dilaksanakan.

4.

Perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara, manajemen
perubahan, manajemen pengetahuan, dan manajemen modern.

5.

Komprehensif, tekad kuat, semangat tinggi, partisipatif, dan yakin masa depan bangsa cerah.

6.

Kemitraan, sinergi, jejaring, dan memanfaatkan teknologi informasi.

7.

Pelayanan publik berkualitas dan prima, cepat, tepat, murah, mudah, dan aktual (faster,
cheaper, easie, dan newer), dan pelayanan dengan hati ikhlas, senyum, sapa, dan sopan.

8.

Revitalisasi, transformasi, reformasi, percepatan reformasi, menuju tata kelola pemerintahan


yang baik (good public governance) dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance), dan tata pemerintahan kelas dunia.

9.

Berpikir luar biasa (out of the box thinking) bukan biasa-biasa saja (business as usual), spirit
mendorong perubahan, inovasi, terobosan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

10. Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplifikasi.


11. Diskusi, sosialisasi, diseminasi, menggunakan fasilitator, dan asal mau pasti bisa.
12. Berbasis pemerintahan kolaboratif, berbasis komunitas, dan responsif gender.
13. Menjadi The only oneselain The number one, motivasi, kreativitas, inisiatif, produk
lokal dan kearifan lokal, bukan sinterklas dan karitatif.
14. Proaktif, promotif, informatif, partisipatif, efisien dan efektif, produktif, dampak positif,
berkelanjutan dan mudah direplikasi, e-learning, dan penyimpangan positif.
15. Sarana dan prasarana, fasilitas, serta infrastruktur yang memadai.
16. Petugas front officeramah dan sopan, transparan dan akuntabel.
17. Peningkatan disiplin, online, penataan kelembagaan, penyederhanaan ketatalaksanaan,
pelayanan publik prima, pengawasan efektif, dan SDM berkualitas.

Pengusul proposal KIPP Tahun 2016 sebaiknya memperhatikan peraturan perundangundangan yang terkait dengan pelayanan publik, antara lain UU 28/1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersi dan Bebas dari KKN, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU 37/2008 tentang

Bidang P-TPN

70

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ombudsman Republik Indonesia, UU 39/2008 tentang Kementerian Negara, UU 9/2009 tentang


Keprotokolan, UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan,

UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU 43/2009 tentang Kearsipan, UU

12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU 52014 tentang Aparatur


Sipil Negara, UU 6/2014 tentang Desa, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU
30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Beberapa PP yang harus diperhatikan, antara lain PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan
SPM, PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, PP
Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil, PP Nomor 53
Tahun 2011 tentang Disiplin PNS, PP Nomor 61 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP Nomor 28 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, dan
PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Pelayanan Publik.

KESIMPULAN
Setiap K/L/Pemda diharapkan melaksanakan inovasi pelayanan publik sebagai tindak
lanjut program OAOI pelayanan publik. Instansi pemerintah tersebut juga didorong untuk belajar
dari praktik-praktik terbaik (best practices) dengan mengamati, meniru, memodifikasi (ATM:
Amati, Tiru, dan Modifikasi), dan mereplikasi keberhasilan inovasi pelayanan publik. Instansi
pemerintah yang telah meraih Top 9, Top 25, Top 33, dan Top 99, disarankan untuk mereplikasi
inovasi pelayanan publik kepada instansi pemerintah lain.
Replikasi inovasi pelayanan publik melibatkan sosialisasi, diseminasi, coaching clinic,
fasilitator, dan publikasi yang memadai. Tidak kalah pentingnya adalah penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar (Permendiknas Nomor 46 tahun 2009 tentang Penyusunan dan
Penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), pelatihan penulisan ilmiah dan semi

Bidang P-TPN

71

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

populer, pelatihan penulisan proposal, public speaking, komunikasi organisasi, serta teknik
penulisan dan presentasi.

Referensi
1. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2. PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelakanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
3. PerMenPAN-RB Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik.
4. Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014 tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan
Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga, dan Pemerintah Daerah.
5. KemenPAN-RB , Pedoman Teknis Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014,
Desember 2013.
6. KemenPAN-RB , Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014, April 2014.
7. KemenPAN-RB , Top 9 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014, Juni 2014.
8. KemenPAN-RB , Transformasi PelayananPublik Indonesia, Juni 2014.
9. KemenPAN-RB , Finalis Indonesia United Nations Public Service Awards (UNPSA)
Tahun 2014, Juni 2014.
10. KemenPAN-RB , TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2015, Mei2015.
11. KemenPAN-RB , TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2015, Juni 2015.
12. Komarudin, Menelusuri UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Jurnal
NEGARAWAN, Kemensetneg RI, Nomor 27 Tahun 2013.
13. Komarudin, Memahami Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI, Nomor 31 Tahun 2014.

Lampiran 1. Top 99, Top 33, dan Top 9 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014
No
1
2

Inovasi
Audit Kinerja Internal terhadap Standar dan Prosedur Pelayanan

Instansi Pengusul
Kementerian Sosial

Sistem Informasi Layanan Permohonan Informasi Publik

Kementerian Pertanian

(SILAYAN) Online

Bidang P-TPN

72

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Rumah Belajar

Kemendikbud **)

Peningkatan Kapasitas Kinerja Aparatur melalui Aplikasi e-

Kota Banda Aceh **)

Kinerja
5

Format Kendali Hulur Hilir Pemerintah Aceh

Provinsi Aceh *) **)

Program Pengendalian Gratifikasi

KPK

Inovasi Pelayanan dalam Pencegahan Korupsi

RSUD Kota Yogyakarta

Pelayanan Rawat Inap Tanpa Kelas bagi Pasien Gakin (Keluarga

Kabupaten Kulonprogo **)

Miskin) pada RSUD Wates


9

Pelayanan Paket Perizinan Online

Kabupaten Sidoarjo **)

10

Mendukung Iklim Usaha yang Baik melalui Pelayanan Perizinan

Kabupaten Barru

Terpadu Satu Pintu


11

Pengembangan Taman Pintar Yogyakarta

Kota Yogyakarta **)

12

Meningkatkan Kualitas Layanan Satu Atap (One Stop Service)

Kabupaten Gianyar **)

Bagi Kelompok Stigma


13

Sistem Administrasi Perjalanan Dinas

Kabupaten Nunukan **)

14

KPK Whistleblowers System Direktorat Pengaduan Masyarakat

KPK

15

Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan

Kabupaten Sumenep **)

**)

(PATEN) di Kecamatan Kota


16

Pelayanan Panggilan Emergency Publik

Provinsi Sulawesi Tengah **)

17

Upaya Aksi Mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) pada

Provinsi Jawa Timur *) **)

Jembatan Timbang di Provinsi Jawa Timur


18

Pelayanan Bus Sekolah Gratis

Kabupaten Pakpak Bharat

19

Semen Beku Sexing, Balai Besar Inseminasi Buatan

Kabupaten Malang

20

Pelayanan Karantina Ikan PASTI (Profesional, Akuntabel,

Kementerian KKP *) **)

Santun, Transparan, dan Inovatif) Balai Karantina Ikan dan


Pengendalian Mutu Kelas II Semarang
21

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Berdasarkan Partisipasi

Kementerian Pertanian

Masyarakat, Balai Besar Inseminasi Buatan, Malang


22

Pelayanan Pendidikan Bermutu dengan Program Penampilan dan

Kabupaten Padang Pariaman

Prestasi Sekolah (P2S) Melalui Pendekatan Sekolah Ramah

Bidang P-TPN

73

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

74

Pusat Inovasi - LIPI

Lingkungan, Ramah Sosial, dan Berbudaya Mutu


23

Ujian CPNS Online

Kementerian Perindustrian **)

24

Penanganan Pengaduan Berspektif Korban

Kementerian PPdanPA

25

Festival Budaya Pertanian Kabupaten Badung Sebagai Terobosan

Kabupaten Badung

Inovasi, Promosi, dan Pemasaran Produk


26

Kampung Media Penyebarluasan Informasi Berbasis Komunitas

Provinsi NTB *) **)

27

Berkas hilang diganti Rp 100.000,- per lembar (Ganti ongkos

Kabupaten Tanah Bumbu

transport pemohon dua kali lipat; Sistem Bobot Kinerja Pegawai;


dan Bebas dari Gratifikasi dan Pungli)
28

E-Musrenbang

Kota Surabaya **)

29

Pemberdayaan Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) Desa Batara

Kabupaten Pangkep **)

Wilayah Puskesmas Taraweang


30

Program Kartu Insentif Anak dan Sistem Relasi Kelahiran sebagai

Kota Surakarta **)

Langkah Cerdas Meningkatkan Manfaat Kepemilikan Akta


Kelahiran guna Kesejahteraan Anak
31

Serambi Difusi Iptek Balitbangnovda Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan **)

32

Media Center

Kota Surabaya

**)

33

Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah

Kabupaten Banyuwangi

**)

34

Rumah Sehat Lansia

Kota Yogyakarta

**)

35

Pelayanan Akhir Pekan Weekend Service

Kota Tangerang

36

Penerapan Layanan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi

Provinsi Kalimantan Timur

37

Rapor Online

Kota Surabaya

38

GRMS (Government Resources Management System) Sistem

Kota Surabaya *) **)

**)

Informasi Manajemen Sumber Daya Pemerintahan


39

Sistem Informasi KM 0 Pro Poor

Provinsi Jawa Barat *) **)

40

Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK)

Kabupaten Sragen

**)

One Stop Service Penanggulangan Kemiskinan


41

LayangMas (Layanan Anggota Masyarakat) Kabupaten

BPN

Karanganyar
42

Manajemen Partisipatif Pengelolaan Pasar

Kota Yogyakarta

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

75

Pusat Inovasi - LIPI

43

INTAN (Inovasi Pertanahan) Pemalang, SMS Center, Zona Nilai

BPN

**)

Tanah, Geo Komputerisasi Kantor Pertanahan dan Peta Tematik


Kabupaten Pemalang
44

Sistem Informasi Puskesmas Terintegritas

Kota Cimahi

**)

45

Unit Perinatologi Menurunkan Angka Kematian Bayi

Kabupaten Pinrang

**)

46

Whistleblowing System

Kementerian Keuangan

47

Sistem Pendaftaran Jaminan Fidusia Online

Kemenkum HAM *)

**)

48

Inovasi Pengelolaan Pajak Daerah

Kota Cilegon

**)

49

SurabayaSingle Windows (SSW)

Kota Surabaya *)

**)

50

Gerai Pengaduan Masyarakat Menjadi Harapan

Ombudsman RI

51

SISPEDAP: Layanan Online Data Kepegawaian

Biro Kepegawaian dan


Birokrasi BPKP

52

Bank Mini Sekolah: Wadah Pembelajaran Pelayanan Publik di

Kabupaten Pinrang

Bidang Perbankan
53

Gerakan Masyarakat Mencintai Lingkungan (Gemilang) Wilayah

Kabupaten Banyuwangi

Kerja Puskesmas Kertosari


54

Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran dengan Strategi

Kabupaten Tuban

Indahnya Peduli di SMP Negeri 2 Rengel


55

E-Library untuk Peningkatan Pelayanan Publik

Kabupaten Kudus

56

Layanan Gerai Samsat

Provinsi Kalimantan Barat

57

Try Out Online

Kota Surabaya

58

Contact Center Halo Kementerian Kesehatan 500567

Kementerian Kesehatan

59

Bidik Misi

Kemendikbud

60

SARKELING Sleman, Mendekatkan Layanan Ketenagakerjaan

Kabupaten Sleman

Kepada Masyarakat
61

Internet Kecamatan Sehat Gratis

Kota Madiun

62

Kantin Kejujuran SMKN 1

Kabupaten Lumajang

63

Pelayanan Administrasi Terpadu Gratis

Kabupaten Sambas

64

Sistem Monitoring Online pada Pelayanan IMB

Provinsi DKI Jakarta

65

Sistem Informasi Pajak Kendaraan Bermotor

Provinsi Gorontalo

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

66

Pengembangan Contact Center SDPPI berbasis Teknologi

Kemenkominfo

Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pelayanan Izin Stasiun


Radio (ISR) dan Sertifikasi Operator Radio
67

Peningktan Kualitas Pelayanan Publik Puskesmas Kecamatan

Kabupaten Majene

Lembang
68

Program Kesehatan Reproduksi (Kespro) di Kabupaten

Kabupaten Bondowoso

Bondowoso dalam rangka Penurunan Angka Pernikahan Dini


69

Lebih Tertib, Lebih Cepat Dapat, KTKLN

BNP2TKI

70

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS)

Kota Dumai

Terkomputerisasi
71

Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Terpadu Terintegrasi

Kota Tangerang Selatan

72

Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage)

Kota Manado

73

Program Satu Milyar Satu Kecamatan

Provinsi Jambi

74

Akses Publik Terhadap Naskah Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri

75

Klinik Tanaman Perkebunan

Kementerian Pertanian

76

Smart Presensi

Kota Pangkalpinang

77

Pengembangan Aplikasi Database Klien Online Panti Sosial

Kota Yogyakarta

Karya Wanita Yogyakarta


78

Manajemen Pengaduan Masyarakat: Satu Elemen Kunci

Kabupaten Pinrang

Peningkatan Pelayanan Publik di Puskesmas Lampa


79

Kunjungan Lapangan Mobile Communuty Access Point (M-CAP)

Kota Makassar

dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (M.PLIK)


80

Pelayanan Tumbuh Kembang Anak, Puskesmas Tanah Garam

Kota Solok

81

Geospasial

BNPB (Badan Nasional


Penanggulangan Bencana)

82

Pelayanan Terpadu Malam Hari

Provinsi DKI Jakarta

83

Pengembangan Sistem Penelusuran Paten sebagai Stimulasi

Kemenkum HAM

Inovasi
84

Layanan Perpustakaan: Bank Buku Perpustakaan

Kota Yogyakarta

85

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Permohonan

Kementerian Pertanian

Bidang P-TPN

76

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

77

Pusat Inovasi - LIPI

Pemeriksaan Karantina Secara Online (PPK Online)


86

Peningkatan Kualitas Pelayanan Pembayaran PKB Tanpa Batas

Provinsi Jawa Timur

Dengan Samsat Payment Point


87

Data dan Informasi Bencana Indonesia

BNPB

88

Sistem Informasi Manajemen Perizinan Terpadu (SIMPADU)

Kabupaten Purwakarta

89

Rumah Pemulihan Gizi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta

90

Taman Terapi dan Toilet Kebun Sebagai De-Stress Corner

Kementerian Kesehatan

91

Alur Pelayanan Sekolah

Kabupaten Bener Meriah

92

Izin Mudah Terpadu

Kabupaten Karanganyar

93

Layanan Kesehatan Komprehensif Pada Desa Binaan Menuju

Kota Makassar

Keluarga Sehat Mandiri di Kelurahan Mangasa


94

Pembangunan Jalan Besar Tanpa Bayar

Kota Banjarbaru *)

**)

95

Ganti STNK

Provinsi Sumatera Utara

96

La Pewarta (Layanan SMS Pengaduan Warga Purwakarta)

Kabupaten Purwakarta

97

Bantuan SAR (Search and Resque) Perairan

Polri

98

PONED (Pelayanan Obstetric Neonatal Emergency Dasar)

Kabupaten Lampung Selatan

99

Portal E-Learning Rumah Banjar

Provinsi Kalimantan Selatan

Catatan:
Nomor urut bukan merupakan ranking, tetapi berdasarkan nomor urut pendaftaran proposal
inovasi; tanda *) adalah Top 9 KIPP Tahun 2014 dan tanda **) adalah Top 33 KIPP Tahun 2014.
Pengumuman ini juga dapat dilihat di: http://sinovik.menpan.go.id/

Lampiran 2. Makalah Pertemuan Knowledge Sharing Forum Alumni Harvard Executive


Education (Bupati dan Walikota) diJakarta, 24 Maret 2014
No

Inovasi Pelayanan Publik

Pemerintah Kabupaten /
Kota Kabupaten

Kabupaten
1

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

Kabupaten Samosir

Kampung ODF

Kabupaten Luwu Utara

Pengembangan Lebah Trigona Sp.

Kabupaten Luwu Utara

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Distribusi Guru PNS Proporsional di Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara

Program Pembangunan Gedung Four in One

Kabupaten Bangka Barat

Program Jaminan Kesehatan Rakyat (Jamkesra)

Kabupaten Bangka Barat

Peningkatan Kapasitas Fiskal Daerah Melalui Penyederhanaan

Kabupaten Gresik

Prosedur Pelayanan PBB dan BPHTB yang Berstandar


Internasional
8

Inisiatif Pengadaan PLKB Medis di Kabupaten Solok Selatan

Kabupaten Solok Selatan

Tahun 2014
9

Inovasi Pelayanan Publik Puskesmas Ramah Ibu dan Anak

Kabupaten Sambas

(RIA) di Puskesmas Semparuk


0

Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN)

Kabupaten Sumenep

11

Pusat Informasi Pelayanan Pertanian

Kabupaten Sumenep

12

Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran Tepat Waktu

Kabupaten Sukabumi

13

Kemitraan Bidan, Paraji, dan Kader Kesehatan di Kabupaten

Kabupaten Sukabumi

Sukabumi
14

Penerapan Budaya Gotong Royong Untuk Membangun Jalan

Kabupaten Kulonprogo

Desa dan Rumah Sehat Layak Huni Di Kabupaten Kulon Progo


Daerah Istimewa Yogyakarta
15

Pengembangan Industri Hilir Melalui Penguatan Pasar Domestik

Kabupaten Kulonprogo

yang Berkarakter Budaya Lokal


16

Drive Thru, Bayar PBB Cukup 5 Menit

Kabupaten Banyuwangi

17

Two in One Lahir Procot Pulang Bawa Akta

Kabupaten Banyuwangi

18

Pemasangan CCTV di Sekolah

Kabupaten Belitung Timur

19

Basis Data Terpadu BDT

Kabupaten Belitung Timur

20

Membangun Karakter Religi dalam Meningkatkan Iman dan

Kabupaten Karimun

Taqwa Melalui Peran TPQ


21

Program Dokter Keluarga Dalam Meningkatkan Pelayanan

Kabupaten Karimun

Kesehatan Masyarakat
Kota
1

Program Puskesmas Reformasi

Kota Kupang

Bidang P-TPN

78

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pemberian

Santunan

dan

Akta

Kematian

Gratis

Bagi

Kota Kupang

Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah di Kota Kupang


3

Pembangunan Jalan Besar Tanpa Bayar

Kota Banjarbaru

Membumikan Budaya Baca di Kota Banjarbaru

Kota Banjarbaru

Program Penguatan Ekonomi Perdesaan

Kota Sungai Penuh

Inisiasi Sepuluh (10) Lima (5)

Kota Yogyakarta

Universal Coverage (UC)

Kota Manado

Pembangunan Berbasis Lingkungan (PBL Mapaluse)

Kota Manado

Pengujian Kendaraan Bermotor Berbasis Drive Thru pada Dinas

Kota Denpasar

Perhubungan Kota Denpasar


10

Peningkatan Inovasi Kain Tradisional Endek Dalam Menopang

Kota Denpasar

Ekonomi Kota Denpasar


11

Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Keliling (Mobile Service) pada

Kota Denpasar

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman


Modal

Lampiran 3.Top 99 dan Top 25 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015


No

Inovasi

Instansi Pengusul

Aplikasi Android Data Kepri di Ujung Jari

BPS

ATM Samsat Jatim Mengubah Kantor Menjadi Mesin

Provinsi Jawa Timur *)

Ayo Kerja

Provinsi Jawa Timur *)

Balee Inong (Rumah Perempuan)

Kota Banda Aceh

Bantuan Stimulan Bedah Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan

Kabupaten Luwu Timur

Rendah
6

BAPETEN Licensing Information System for Export and Import

BAPETEN

(BALIS EXIM) Online


7

Beasiswa Pendidikan Aceh Jaya Cerdas Tahun 2014

Kabupaten Aceh Jaya

Campus Social Responsibility

Kota Surabaya

Cegah Kanker Serviks, Perempuan Senyum

Kabupaten Badung

10

Dari Lahan Kritis Menuju Hutan Kota Impian

Kota Banda Aceh

Bidang P-TPN

79

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

80

Pusat Inovasi - LIPI

11

e-Health

Kota Surabaya *)

12

Emas Hitam Dibalik Tumpukan Sampah

Kota Malang *)

13

E-Samsat Jatim Layanan Tanpa Batas Jarak, Ruang, dan Waktu

Provinsi Jawa Timur

14

Gebrakan SUSI Turunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka

Kabupaten Lumajang *)

Kematian Bayi (AKB)


15

Gempungan di Buruan Urang Lembur

Kabupaten Purwakarta

16

Gender Infrastruktur PU

Kementerian

PU

dan

Perumahan Rakyat
17

Gerbang SERASAN

Kabupaten Muara Enim

18

HoT (HOSPITAL on TABLET), Modifikasi Rekam Medis Elektronik

Provinsi Jawa Timur

Rawat Inap Menggunakan Tablet di RS Paru Jember


19

ICT based VALEMO

Kota Malang

20

Inovasi GE.LA.TIK Badung Sampah Plastik, Musibah Membawa

Kabupaten Badung

Berkah
21

Inovasi Pala Sambutan Untuk Mendukung Rehabilitasi Kebun Pala

Kabupaten Aceh Selatan *)

Rakyat Yang Terserang Penyakit


22

INTAN Inovasi Pertanahan

Kementerian Agraria dan


Tata Ruang/BPN

23

IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Terpadu) Terkelola Warga

Kota Banda Aceh

Bahagia
24

JOGJAPLAN

Provinsi DI Yogyakarta *)

25

Katresna Sadaya Gerakan Masyarakat Peduli Kesehatan Ibu dan

Kota Bandung

Anak
26

27

Ketuk Pintu Rumah Kantor Pertanahan Kabupaten Kepulauan

Kementerian Agraria dan

Selayar

Tata Ruang/BPN

KEUR Hanya 26 Menit Menuju Resolusi Keselamatan Berlalu


lintas

Kota Denpasar *)

28

Klinik Koperasi dan UMKM

Provinsi Jawa Timur

29

Klinik Lansia Puskesmas Putri Ayu

Kota Jambi *)

30

Klinik Pelayanan Perizinan (KLIPPER)

Kota Yogyakarta

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

81

Pusat Inovasi - LIPI

31

Lahir Procot Pulang Bawa Akta

Kabupaten Banyuwangi *)

32

Layanan Bus Sekolah Gratis Asa Kasea

Kabupaten Pakpak Bharat

33

Layanan Rakyat Istimewa Untuk Sertifikasi Tanah (LARIS)

Kementerian Agraria dan


Tata Ruang/BPN

34

Layanan Tujuh Menit (LANTUM)

Kementerian Agraria dan


Tata Ruang/BPN *)

35

Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LP-PAR)

Kota Pekalongan *)

36

MaKin TerLayani Pegawai Online

Provinsi Jawa Barat

37

Memanfaatkan Facebook Untuk Percepatan Pelayanan Publik

Kabupaten Aceh Tengah

38

Mendorong Pemerintahan Berbasis Pendekatan Kolaboratif Dalam

Kabupaten Sinjai

Era Informasi Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis


Petik
39

Meningkatkan Pelaksanaan Lelang yang Efisien, Kompetitif, dan

Kementerian Keuangan

Adil Melalui Pelaksanaan e-Auction


40

Menjemput Impian Wajib Pajak Dengan Layanan Delivery Service

Provinsi Jawa Timur

Km 0 Km 15 = 0
41

Model Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi di Puskesmas

Kota Palembang

Kampus
42

ODHALINK

Kabupaten Pasuruan *)

43

One Stop Service Toilet SMKN 3 Wonosari (Pelayanan Terpadu

Kabupaten Gunungkidul

bagi Siswa, Guru dan Karyawan Putri Dalam Meningkatkan


Kepedulian Terhadap KesehatanReproduksi di SMKN 3 Wonosari)
44

Paket Kebijakan Investasi Kabupaten Pinrang (PaKSi Pinrang)

Kabupaten Pinrang *)

45

Payment Point Drive Thru PBB-P2

Kabupaten Banyuwangi

46

Pelayanan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Tanpa Dinding di

Kabupaten Kulonprogo

RSUD Wates
47

Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat

Kabupaten

Lampung

Selatan
48

Pelayanan Kios 3 in 1 Untuk Pencari Kerja Dalam Rangka

Kementerian

Mengurangi Jumlah Pengangguran

Ketenagakerjaan

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

82

Pusat Inovasi - LIPI

49

Pelayanan Maternal Penderita HIV Positif (AIDS) di RSUD

Kota Tegal

Kardinah dalam Mendukung Program MDGs


50

Pelayanan Online Berbasis Aplikasi Web

Kementerian Agraria dan


Tata Ruang/BPN

51

Pelayanan Pendidikan Melalui Sekolah Indonesia Terbuka Johor


Bahru (SITJB)

52

Pelayanan Penjangkauan (Outreaching) Melayani Penyandang


Disabilitas di Lingkungan Masyarakat

Kementerian Luar Negeri

Kementerian Sosial *)

53

Pelayanan Prima Bankable

Kabupaten Aceh Jaya

54

Pemanfaatan Aset Terbengkalai Solusi Peningkatan Kreativitas

Kementerian

Pejabat Fungsional Penggerak Swadaya Masyarakat

Transmigrasi

55

PDT

dan

Pendataan Kemiskinan dengan Metode Analisis Kemiskinan


Partisipatif (Pendataan dari Si Miskin, oleh Si Miskin dan untuk Si

Kabupaten Gunungkidul

Miskin)
56

Pengembangan Potensi Pertanian di Badung Utara (Asparagus


Ditanam Ekonomi Mapan)

57

Pengembangan Unit Perinatologi Dalam Upaya Menurunkan


Kematian Bayi di RSUD Lasinrang

58

59

Kabupaten Pinrang
Kementerian Hukum dan

Pengesahan Badan Hukum Versi AHU Online

HAM *)

Penggunaan Media Onlinesabilulungan.go.id Untuk Transparansi


dan Akuntabilitas Penyaluran Dana Hibah dan Bantuan Sosial

60

Kabupaten Badung *)

Kota Bandung

Penggunaan Simulator Risiko Karies (Gigi Berlubang) Melalui


Pendekatan Interpersonal Dalam Pelaksanaan Upaya Pengembangan
dan Inovasi Program di Poli Gigi Puskesmas Rawat Inap Sungai

Kabupaten Mempawah

Pinyuh
61

Peningkatan Partisipasi Pemangku Kepentingan Dalam Penempatan


Tenaga Kerja Melalui Forum Komunikasi BBLKI Serang dan
Stakeholders

62

Penyimpangan

Positif

Badan

Perpustakaan,

Arsip

dan

Dokumentasi Kota Lubuklinggau dalam upaya peningkatan Sumber

Kementerian
Ketenagakerjaan

Kota Lubuklinggau *)

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

83

Pusat Inovasi - LIPI

daya manusia melalui program BLC (Broadband Learning Center)


63

Percepatan Penurunan AKI dan AKB Melalui Kolaborasi Program


Contra War (Contraceptive For Women At Risk) dan Sutera Emas
(Surveilans Epidemiologi Terpadu

Berbasis Masyarakat) di

Kabupaten Malang

Kecamatan Kepanjen
64

Kabupaten

Program Rumah Sejahtera


Pro Investasi (Implementasi PTSP)

66

Program Kartu Insentif Anak dan Sistem Relasi Pencatatan

Kabupaten Boyolali

Kelahiran

68

*)

Prolasis One Stop Service Pengelolaan Hipertensi dan Diabetes

Pusat Pelayanan Informasi dan Pengaduan (PINDU) Menguatkan


Budaya Pelayanan Prima

70

Reformasi Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Remaja

71

Reformasi Sistem Pelayanan Yang Bersifat Represif Menjadi


Humanis

72

Rumah Pajak untuk Anak mengajak Anak Kenal dan Cinta Pajak
sejak Dini

73

SAKINA (Stop Angka Kematian Ibu dan Anak)

74

Satu Meja Beres Perkara, Layanan Pendaftaran dan Penjaminan

Sijariemas Sebagai Upaya Akselerasi Penyelamatan Ibu dan Bayi


Baru Lahir

76

SIPADU

STIS:

Sistem

Komputerisasi

Pelayanan

Proses

Administrasi Perkuliahan Menuju STIS Berstandar Internasional


77

Sistem Informasi Monitoring dan Pengendalian Pembangunan


Daerah (SIMP2D)

78

Sistem Informasi Ketahanan Industri

Kota Bandung

Kabupaten Pinrang
Kabupaten Bandung Barat
Kota Bontang

Kementerian Keuangan
Kabupaten Banyuwangi

Terpadu (LP2T) Pada Pelayanan Rawat Jalan RSUD Kraton


75

Kota Surakarta *)
Kabupaten Teluk Bintuni

Program Pengendalian Malaria melalui Sistem EDAT

Melitus di Puskesmas Talagabodas


69

Sungai

Selatan

65

67

Hulu

Kabupaten Pekalongan

Kabupaten Karawang

BPS

Provinsi Kalteng
Kementerian Perindustrian

Bidang P-TPN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

79

Sistem Inti Plasma di Kawasan Kampung Benih Patin Kabupaten


Subang

80

Sistem Layanan Informasi Terpadu SILaT SMKN 1 Nglipar

81

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) / Call

Kabupaten Gunungkidul

Center 119 Dinas Kesehatan


82

Sistem Pencarian Kode Klasifikasi Statistik Berbasis

Web

(SPKOnline)
83

84
85

86

Sistem Pengendalian Inflasi


Sistem Penilaian Prestasi Kerja Online Kemenperin
Sistem Percepatan Penyerapan Anggaran
SMART POL PP ( Sarana Masyarakat Berpartisipasi Aktif
Mendukung Tugas SATPOL PP)

87

Provinsi Jawa Barat

SMS Gateway Sebagai Inovasi Pelayanan Publik melalui Otomasi


Informasi Pelayanan Perizinan dan Pengendalian Penanaman Modal

Kabupaten Boyolali

BPS
Provinsi

Kalimantan

Tengah *)
Kementerian Perindustrian
Provinsi

Kalimantan

Tengah
Provinsi Jawa Tengah

Kota Pekalongan

88

SMS Sehat Bagi Masyarakat Jambi

Provinsi Jambi

89

Spots (Sistem Perizinan Online dan Tracking System)

Kabupaten Siak

90

SWAT Solid Waste Transportation (Sistem Manajemen


Pengangkutan Sampah)

91

Tabungan Emas Hijau Untuk Meningkatkan Kualitas Layanan


PAUD dan ABK Kecamatan Ponjong

92

Taman Budaya Jambi

93

Taman Pintar, Science Center Sebagai Sarana Literasi Sains


Masyarakat

94

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Wisata Edukasi


Talangagung Kepanjen

95

Transparansi Informasi Pembayaran Melalui e-SP2D

96

Unit Layanan Aduan Surakarta (ULAS) untuk meningkatkan


pelayanan masyarakat sesuai asas tata kelola pemerintahan

Kota Surabaya

Kabupaten Gunungkidul
Provinsi Jambi *)
Kota Yogyakarta

Kabupaten Malang *)
Kota Banda Aceh
Kota Surakarta

Bidang P-TPN

84

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

97

Unit Pelaksana Teknis-Pekerjaan Umum Tingkat Kecamatan (UPTPU Kecamatan) di Kabupaten Penajam Paser Utara Sebagai Solusi
Penyelesaian Infrastruktur Daerah

98

UPTPK : Kantornya Orang Miskin di Kabupaten Sragen

99

Yogyakarta Emergency Services (Yes) 118 Sebagai Upaya


Penanganan Kasus Kegawatdaruratan Medis Terpadu Yang Terjadi

Kabupaten Penajam Paser


Utara *)
Kabupaten Sragen *)

Kota Yogyakarta

di Wilayah Kota Yogyakarta Dengan Penjaminan 24 Jam Pertama

Catatan: tanda *) adalah Top 25 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 (3 Kementerian, 5
Provinsi, 10 Kabupaten, dan 7 Kota).

Bidang P-TPN

85

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

86

Pusat Inovasi - LIPI

P-TDSN 01

PERAN PROGRAM TAHUNAN INDONESIA ICT AWARD


(INAICTA) DALAM MENSTIMULUS PERTUMBUHAN
INDUSTRI KREATIF DIGITAL
Emyana Ruth Eritha Sirait
Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Informatika, dan Informasi dan Komunikasi Publik
Kementerian Komunikasi dan Informatika
emya001@kominfo.go.id

ABSTRAK
Penyelenggaraan kompetisi bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dilakukan oleh
banyak pihak baik pemerintah maupun pihak swasta dengan harapan dapat memfasilitasi inovasi
dan kreatifitas bidang TIK dan lebih jauh mendorong munculnya wirausaha mandiri bidang
digital kreatif (digitalpreneur) di Indonesia. Begitu pula dalam hal penyelenggaraan Indonesia
ICT Award (INAICTA), program unggulan Kementerian Kominfo, sejak tahun 2007. Ada
banyak kisah sukses karya yang telah dihasilkan dalam INAICTA, namun tidak sedikit pula
karya yang hanya sekedar diciptakan untuk kompetisi, tanpa memiliki kesempatan untuk
memasyarakat, dikenal dan dikembangkan lebih jauh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
peran kompetisi TIK seperti INAICTA dalam menstimulus pertumbuhan industri kreatif digital
di Indonesia, serta menggali dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh para
pemenang kompetisi dalam mengembangkan karyanya. Dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif, diketahui motivasi, karakteristik pribadi dan karya dari para pemenang, modal usaha
yang dibutuhkan, tindak lanjut karya yang dihasilkan, manfaat yang dirasakan dan persepsinya
terhadap

INAICTA.

Pada

akhirnya,

dapat

direkomendasikan

beberapa

hal

untuk

penyelenggaraan INAICTA kedepan maupun kompetisi serupa lainnya.

Kata kunci: INAICTA, digital kreatif, kompetisi TIK, digitalpreneur

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kreatif di Indonesia berdasarkan pemetaaan Kementerian Parekraf mencakup 14
subsektor, yakni periklanan, arsitektur, seni dan barang antik, kerajinan tangan, desain, fashion,
video-film dan fotografi, game interaktif, musik, seni pertunjukan, percetakan dan publikasi,
hardware dan software komputer, televisi dan radio, serta pengembangan riset. Industri kreatif
bidang hardware dan software komputer atau yang familiar dikenal sebagai digital kreatif
menunjukkan gejala peningkatan yang positif. Riset dari ABI Research misalnya mencatat pada
tahun 2011 saja, ada 29 milyar aplikasi mobile yang diunduh di ponsel cerdas di seluruh dunia.
Jumlah ini meningkat tinggi dari tahun sebelumnya 2010, yang hanya berjumlah 9 milyar
unduhan. Merujuk dari angka ABI research, bahwa di tahun 2011 ada 29 milyar aplikasi mobile
yang diunduh dari ponsel cerdas, dan asumsi pengembang di Indonesia dapat mengambil 0.5%
(sekitar 145 juta unduhan) dan keuntungan satu kali unduhan sekitar Rp.1000, hal ini bisa
menghasilkan 145 Milyar rupiah.
Peluang pada industri kreatif digital ini perlu ditangkap sebagai salah satu sektor yang
dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Dalam hal mengurangi jumlah pengangguran,
sektor digital kreatif potensial menciptakan program entrepreneurship yang melahirkan banyak
wirausaha mandiri digitalpreneur. Seperti diketahui, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang ideal, suatu negara membutuhkan entrepreneur sebanyak 2% dari jumlah total penduduk.
Sementara Indonesia saat ini baru memiliki sekitar 0,18% atau

sekitar 400.000 orang

entrepreneur. Dengan melihat banyaknya pengguna internet khususnya mobile internet, maka
digitalpreneur dapat menjadi salah satu pilar baru ekonomi nasional (Jurry Hatammimi, 2011).
Dukungan pemerintah terhadap industri kreatif digital di Indonesia tampak dari legal
PERPRES No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan INPRES No. 6 Tahun
2009 tentang Pengembangan Industri Kreatif. Kebijakan lain, pemerintah juga membangun
inkubator-inkubator industri TIK yang akan memupuk dan mengembangkan start-up company
seperti 10 Regional IT Centre of Excellence (RICE) dari Kementerian Perindustrian atau 4
inkubator dari Kementerian Kominfo.

Bidang P-TDSN

87

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Selain itu, banyaknya kompetisi bidang ICT seperti IndigoFellowship, Indonesia ICT
Award (INAICTA), dan IMULAI dipercaya dapat menstimulus lahirnya digitalpreneur di
Indonesia. Ajang seperti ini dapat memfasilitasi lahirnya inovasi-inovasi dan kreativitas sebagai
kekuatan dasar digitalpreneur. Sudah banyak pula aplikasi konten digital Indonesia yang meraih
penghargaan internasional seperti Blackberry Super Apps Developer Challenge 2010, Best App
Ever Awards Winner, Best iPhone Apps for Kids dan Asias Top 50 Apps 2010.
Program Indonesia ICT Award (INAICTA) sebagai salah satu progam unggulan
Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang telah diselenggarakan sejak tahun 2007 sangat
baik sebagai sarana peningkatan inovasi dan kreatifitas masyarakat di bidang TIK sehingga
karyanya berguna untuk pemberdayaan masyarakat luas. Selain menstimulus inovasi dan
kreatifitas, INAICTA diharapkan dapat mendukung ekosistem karya digital kreatif Indonesia.
Target peserta yang ikut dalam INAICTA tidak hanya pengembang perseorangan, tapi juga
perusahaan-perusahaan lokal. Beberapa kisah sukses dari penyelenggaraan INAICTA seperti
Faunia Rancher, pemenang INAICTA tahun 2012 untuk kategori game digital, yang dapat
menangkap peluang di Apple AppStore. Melalui perusahaan ChowDown Games dan Joyverter
Entertainment, aplikasi tersebut cukup sukses menjadi hits di kalangan casual gamer dan
memiliki lebih dari 10.000 pemain dalam waktu 3 bulan. Adapula JBatik (Batik Fractal),
pemenang INAICTA 2008, berupa perangkat lunak (software) yang mampu menciptakan motifmotif batik modern dengan basis desain batik tradisional. Karya tersebut memperoleh
penghargaan Asia Pacific ICT Award (APICTA) 2008 untuk kategori Tourism and Hospitality
dan UNESCO 2008 Award of Excellence sebagai Stamp of Approval. Hal ini menunjukkan
produk ini memiliki kualitas tertinggi pada level internasional dan berpotensi besar untuk masuk
pasar dunia.
Namun demikian, tidak sedikit pula karya yang belum dapat tertangkap oleh dunia
industri atau sukses menjadi industri mandiri, karena berbagai kendala. Sebagai contoh
Sedapur.com, salah satu startup pemenang INAICTA 2011 dibidang e-commerce. Di sepanjang
tahun 2011, volume penjualan Sedapur bisa dibilang tidak cukup besar, bahkan harus
menghentikan layanannya di tahun 2013. Karya Sistem Informasi Management SPBU (SIMS
2008), pemenang INAICTA 2008 untuk kategori e-business corporate, ternyata belum dapat

Bidang P-TDSN

88

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dimanfaatkan secara optimal oleh pengelola SPBU. Sehingga karya tersebut hanya sekedar
diciptakan untuk kompetisi, tanpa memiliki kesempatan untuk memasyarakat, dikenal dan
dikembangkan lebih jauh. Pada akhirnya, program-program kompetisi yang ada seperti terjebak
pada acara seremonial tanpa mengusung target yang lebih besar, yaitu untuk menumbuhkan
industri kreatif bidang TIK di dalam negeri.

Masalah Penelitian
Dengan latar belakang permasalahan demikian, penelitian ini bermaksud menggali dan
menjawab rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana Program INAICTA dapat berperan dalam menstimulus pertumbuhan industri
kreatif digital di Indonesia?
2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh para pemenang Program INAICTA dalam
mengembangkan karyanya untuk menjadi industri atau terserap industri?
3. Indikator-indikator apa saja yang harus diakomodir dalam Program INAICTA untuk dapat
menstimulus pertumbuhan industri kreatif bidang TIK?

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran kompetisi ICT seperti Program Tahunan Indonesia ICT Award
(INAICTA) dalam menstimulus pertumbuhan industri kreatif digital di Indonesia,
2. Menggali dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh para pemenang
kompetisi ICT dalam mengembangkan karyanya untuk dapat dipakai dalam industri atau
bahkan berkembang menjadi industri.
3. Mengusulkan atau merekomendasikan indikator-indikator yang masih perlu diakomodir
dalam Program INAICTA untuk dapat meningkatkan eksistensinya dalam menstimulus
pertumbuhan industri kreatif bidang TIK.

Bidang P-TDSN

89

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tinjauan Pustaka
Definisi industri kreatif berdasarkan UK DCMS task force 1998 adalah Creatives
Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and
which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of
intellectual property and content. Definisi serupa diacu oleh Departemen Perdagangan
Republik Indonesia dalam studi pemetaan di tahun 2007, bahwa industry kreatif adalah Industri
yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi
dan daya cipta individu tersebut.
Setelah mulai diperhitungkan dalam perekonomian, berbagai usaha dilakukan oleh
pemerintah di berbagai Negara untuk meningkatkan perkembangan industri kreatif dinegaranya.
Seperti pemerintah Australia, telah melalukan penelitian tentang industri kreatif di Negara
setempat dan mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat mendorong pelaku industri kreatif
memberikan kontribusi lebih besar terhadap GDP (PMSEIC, 2003) Hal yang sama juga
dilakukan oleh pemerintah Singapura (Wong et al., 2006) dan UK (The Work Foundation,
2007).
Salah satu cara melalui pengadaan program-program pelatihan untuk menstimulasi
pertumbuhan usaha kreatif. Namun demikian, menurut hasil survey yang dilakukan di Peru
terhadap industri kreatif skala kecil, efektifitas program pelatihan bagi industri kreatif dirasa
kecil sebab para pelaku usaha lebih mengandalkan kebutuhan/trend (lifestyle based) dalam
menemukan ide-ide kreatif, sehingga disarankan pemerintah setempat dapat melakukan upaya
lain yang lebih efektif seperti dukungan ekspansi bagi pelaku usaha (Chaston, 2008).
Untuk melahirkan seorang digitalpreneur tampaknya tidak cukup melalui ajang
kompetisi. Apalagi usaha berbasis kreativitas atau yang disebut Industri Kreatif memiliki jalan
sukses yang mungkin berbeda dengan industri lainnya. Beberapa ahli mencoba merumuskan
model pengembangan bisnis kreatif. Di UK, pemerintah mencoba memberikan stimulus dalam
bentuk bagi pengembangan industri kreatif. Kajian evaluasi terhadap program tersebut di tahun
2013 Effective Policies for Innovation Support menemukan bahwa

bantuan modal yang

diberikan, pada awalnya dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan penjualan di UKM dalam

Bidang P-TDSN

90

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

enam bulan sesuai skema - tapi setelah enam bulan kemudian dampak tersebut tidak lagi
signifikan secara statistik. Penurunan dampak tidak terdeteksi dengan metode evaluasi yang
biasa digunakan oleh pemerintah, sehingga uji coba terkontrol secara acak harus digunakan
secara lebih luas untuk mengevaluasi kebijakan pendukung bisnis kreatif (Bakhshi, 2013).
Pada penelitian di Denmark tahun 2011 yang melihat bisnis model dan pengembangan
bisnis pada industri kreatif audiovisual, aspek business performance menjadi salah satu elemen
penting, yaitu bagaimana perkembangan perusahaan tersebut dalam hal penjualan. Terkait
dengan penelitian ini, untuk mencakup unsur perusahaan dan juga calon-calon digitalpreneur,
maka business performance disini diarahkan kepada perkembangan karya yang dihasilkan,
apakah karya tersebut telah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Keterkaitan antara modal social (social capital) bagi entrepreneurship pada konteks usaha
kecil dan menengah, telah dibuktikan oleh Fuller dan Tian (2006) dalam penelitian Social and
Symbolic Capital and Responsible Entrepreneurship: An Empirical Investigation of SME
Narratives. Dimensi dari modal social tersebut mencakup structural, relational, dan cognitive.
Salah satu perspektif dari teori social capital ada bahwa jaringan relasi menyediakan akses
terhadap sumber daya dan informasi (Liao and Welsch, 2005). Setidaknya ada 5 sifat yang harus
melekat pada seorang entrepreneur yang sukses, yaitu kemandirian, inovasi, berani mengambil
resiko, pro aktif, serta siap bersaing (Covin and Slevin 1989; Lumpkin and Dess 1996; Morris
and Sexton 1996).

Bidang P-TDSN

91

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kerangka Pemikiran
Peran

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, data
kuantitatif didapatkan melalui survey secara online, yang diperkuat/diperdalam dengan data
kualitatif melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa pemenang
INAICTA dari beragam kategori karya. Populasi penelitian adalah seluruh pemenang INAICTA
dari tahun 2007-2013 sebanyak 248 pemenang, sementara sampel yang dipilih adalah para
pemenang INACTA tahun 20013 dan tahun 2013 sejumlah 81 responden, dengan pertimbangan
keterbatasan data kontak para pemenang INAICTA yang tersedia di penyelenggara untuk dapat
dihubungi via online (e-mail).

Bidang P-TDSN

92

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden

Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Responden berdasarkan Domisili

Responden berdasarkan Rentang Usia

Responden berdasarkan
Latar Belakang Instansi

Mayoritas responden pada penelitian ini adalah laki-laki (87,7%) dengan rentang usia
sebagian besar berada pada rentang 21 34 Tahun (63.0%). Berdasarkan domisilinya, sebagian
besar responden berdomisili di Pulau Jawa (tidak termasuk Jakarta) (60.5%). Dan sebagian besar
mereka (51%) mengikuti kompetisi mewakili Institusi Pendidikan, sementara (40.7%) mewakili
suatu perusahaan.

Bidang P-TDSN

93

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

94

Pusat Inovasi - LIPI

Analisis Deskriptif Variabel Penelitian


Karakteristik Pribadi

Motivasi
Indikator
Mengikuti kompetisi
INAICTA semata-mata
untuk menjadi juara
Mengikuti kompetisi
INAICTA untuk
memperkenalkan hasil
karya kepada orang lain
Mengikuti kompetisi
INAICTA untuk
mendapatkan hadiah
Termotivasi mengikuti
kompetisi INAICTA
sebagai ajang promosi
Overall Mean Score
Range :
1.00 1.80
1.81 2.60
2.61 3.40
3.41 - 4.20
4.21 - 5.00

Sangat Buruk
Buruk
Cukup baik
Baik
Sangat baik

Mean
Score

Kategori

3.432

Baik

3.185

4.037

Cukup
Baik

Baik

4.185

Baik

3.710

Baik

Indikator

Mean
Score

Ketegori

Memiliki minat/bakat yang


tinggi dalam bidang
Teknologi informasi dan
komunikasi (TIK)

4.432

Sangat Baik

4.457

Sangat Baik

4.469

Sangat Baik

4.494

Sangat Baik

4.432

Sangat Baik

4.407

Sangat Baik

Tertarik untuk menjadi


entrepreneur/pebisnis,
khususnya dibidang TIK
Yakin bahwa bidang TIK
akan lebih berkembang di
masa depan
Penuh dengan ide-ide
kreatif
Senang berinteraksi dengan
orang lain
Pribadi yang berani
mengambil resiko
Overall Mean Score

4.449

Sangat Baik

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

95

Pusat Inovasi - LIPI

Karakteristik Karya
Indikator
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA, merupakan
suatu prestasi akademis
bagi saya
Karya saya yang
dinyatakan tersebut
memiliki keunikan
dibanding karya lain
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA tahun bersifat
orisinal
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA sangat
bermanfaat bagi
masyarakat

Modal usaha
Mean
Score

Kategori

3.778

Baik

4.062

Sangat
Baik

4.321

4.086

Sangat
Baik

Baik

Karya saya yang


dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA memiliki nilai
jual/dapat dipasarkan

4.000

Baik

Karya saya yang


dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA dapat
dikembangkan lebih lanjut

4.420

Sangat
Baik

Overall Mean Score

4.111

Baik

Mean
Score

Kategori

3.012

Cukup
Baik

3.568

Baik

4.160

Baik

3.864

Baik

Saya mempunyai hasrat dan


visi untuk terus
menghasilkan produk TIK

4.062

Baik

Overall Mean Score

3.733

Baik

Indikator
Saya memiliki sarana dan
prasarana yang cukup untuk
menghasilkan karya-karya
digital kreatif
Infrastuktur pendukung di
daerah tempat saya tinggal
sudah memadai untuk
menghasilkan karya-karya
digital kreatif
Saya membutuhkan
pelatihan untuk menjadi
entrepreneur
Saya membutuhkan bantuan
modal untuk
mengembangkan usaha

Persepsi tentang INAICTA

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

96

Pusat Inovasi - LIPI

Manfaat sosial

Indikator
Dengan mengikuti
INAICTA, karya saya
dapat dikenal oleh orang
lain
Dengan mengikuti
INAICTA, karya saya
dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
menunjukkan
kemampuan/bakat saya
dibidang TIK
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
membangun networking
dengan dunia usaha
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
meningkatkan kepercayaan
publik pada perusahaan
saya
Overall Mean Score

Tindak Lanjut Karya


Mean
Score

Kategori

Karya yang saya ciptakan


dalam INAICTA hanya untuk
konsumsi pribadi

2.593

Cukup
Baik

Baik

Karya yang saya ciptakan


dalam INAICTA telah
digunakan oleh beberapa
teman/keluarga

3.309

Cukup
Baik

4.000

Baik

Karya yang saya ciptakan


dalam INAICTA telah
digunakan oleh lembaga tempat
saya bekerja/belajar

3.691

Baik

3.901

Baik

Karya yang saya ciptakan


dalam INAICTA telah dibeli
oleh pihak swasta

2.914

Cukup
Baik

Karya yang saya ciptakan


dalam INAICTA telah
berkembang menjadi industri

3.037

Cukup
Baik

Overall Mean Score

3.109

Cukup
Baik

Mean
Score

Kategori

4.012

Baik

3.864

4.037

3.963

Baik

Baik

Indikator

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Persepsi tentang INAICTA

Indikator
INAICTA merupakan
kesempatan yang bagus
untuk menyalurkan ide-ide
kreatif
INAICTA merupakan
ajang yang tepat untuk
menghasilkan produkproduk digital kreatif
Program INAICTA telah
mendukung proses
distribusi produk-produk
digital kreatif kepada
pihak-pihak yang terkait
Program INAICTA telah
berhasil mendukung
lahirnya enterpreneur
bidang TIK di Indonesia
Kebijakan pemerintah
telah mendukung
pertumbuhan industri
kreatif digital di Indonesia
Overall Mean Score

Mean
Score

Kategori

3.988

Baik

3.914

Baik

3.815

Baik

3.951

Baik

3.691

Baik

3.872

Baik

Dari data penelitian kuantitatif diketahui bahwa motivasi dari 81 responden para
pemenang INAICTA tahun 2012 dan tahun 2013 dalam mengikuti kompetisi tersebut paling
banyak adalah Termotivasi mengikuti kompetisi INAICTA sebagai ajang promosi. Disusul
dengan mereka yang prize hunter artinya Mengikuti kompetisi INAICTA untuk mendapatkan
hadiah. Jika dilihat dari Karakteristik Pribadi responden, diketahui bahwa keenam karakteristik
penting seorang entrepreneur telah dimiliki oleh para responden dengan Sangat Baik. Sebagian
besar responden menyatakan bahwa mereka penuh dengan ide-ide kreatif. Mengacu pada
Karakteristik Karya mereka yang diikutsertakan dalam INAICTA, maka paling banyak
responden berpendapat Karya yang dinyatakan sebagai pemenang dalam INAICTA dapat
dikembangkan lebih lanjut.

Bidang P-TDSN

97

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Menariknya, jika melihat tindak lanjut karya yang telah mereka hasilkan dalam INAICTA
diketahui bahwa secara keseluruhan kelanjutan dari karya kreatif mereka berada pada kategori
Cukup Baik, artinya setelah dinyatakan menang dalam INAICTA, karya-karya tersebut belum
secara maksimal ditindaklanjuti. Menurut responden, paling banyak baru sebatas telah digunakan
di lembaga tempatnya bekerja maupun belajar.
Ketika ditanyakan modal/manfaat sosial yang mereka dapatkan dari mengikuti kompetisi
INAICTA, secara keseluruhan berpendapat bahwa banyak manfaat yang didapat dari INAICTA.
Manfaat paling besar, walaupun tidak dominan, yang dirasakan oleh responden adalah Dengan
mengikuti INAICTA, dapat meningkatkan kepercayaan publik pada perusahaan saya.
Selanjutnya, mengacu pada aspirasi responden terhadap Modal Usaha yang dimiliki dan
dibutuhkan dalam mengembangkan diri menjadi entrepreneur dan menghasilkan karya-karya
digital kreatif, diketahui bahwa menurut pendapat responden yang paling dibutuhkan adalah
pelatihan untuk menjadi entrepreneur. Besar harapan responden bahwa pemerintah dapat
memfasilitasi pelatihan-pelatihan-pelatihan pembekalan menjadi entrepreneur. Sementara hal
yang dirasa paling kurang adalah sarana dan prasarana yang cukup untuk menghasilkan karyakarya digital kreatif. Masih banyak responden yang merasa belum memiliki sarana dan prasarana
yang cukup sehingga perlu dibekali untuk terus menghasilkan karya-karya digital kreatif.
Terakhir, terkait persepsi responden terhadap penyelenggaraan INAICTA diketahui bahwa
secara keseluruhan persepsi responden terhadap INAICTA tergolong Baik. Indikator yang
memiliki bobot paling positif di mata responden adalah bahwa INAICTA merupakan
kesempatan yang bagus untuk menyalurkan ide-ide kreatif.

Bidang P-TDSN

98

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Analisis Keterkaitan Antar Variabel Penelitian

0.496

Motivasi
(X1)

Karakteristi
k Pribadi
(X2)
Karakteristi
kKarya
(X3)

Manfaat
Sosial
(Z1)

0.34
0.062

0.252
0.297

0.482

0.603

0.203

0.478

0.599

Tindak
Lanjut
Karya
(Z2)

Persepsi ttg
INAICTA
(Y)

0.266

Modal
Usaha
(X4)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penyelenggaraan INAICTA sebagai salah satu kompetisi ICT
Berdasar hasil wawancara mendalam dengan beberapa key informan perwakilan para
pemenang INAICTA tahun 2012 dan tahun 2013, untuk memperkuat dan mengkonfirmasi hasil
temuan kuantitatif, dapat dipetakan pendapat dan persepsi informan tentang penyelenggaraan
INAICTA melalui SWOT analysis sebagai berikut:
Kekuatan (Strength)
Positioning-nya
bagus
karena
diselenggarakan oleh pemerintah
Adanya pameran selama 2 hari sangat baik
untuk memperkenalkan karya ke orang luar,
untuk mendapat masukan dari umum
terhadap karya peserta, serta membuka
peluang juga terhadap kesempatan/tawaran
adanya investor,
Sangat terekspose oleh liputan media
sehingga terpublikasi secara luas.

Kelemahan (Weaknes)
Peserta, khususnya dari luar Jakarta harus siap
modal untuk biaya akomodasi dan transportasi
selama mengikuti INAICTA.
Pembekalan ilmu melalui seminar dan
workshop diselenggarakan berbarengan dengan
acara pameran, sehingga para peserta malah
tidak bisa mengikutinya.
Program tindak lanjut Investor Night masih
terbatas pada beberapa peserta saja.
Belum adanya perlindungan terhadap hak
paten/hak cipta atas karya peserta.

Bidang P-TDSN

99

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Reward hadiah bagi pemenang, sejak tahun


2013 hanya diperuntukkan untuk juara 1.
Peluang (Opportunity)
Ancaman (Threat)
Memisahkan treatment antara peserta yang Ide-ide kreatif karya anak bangsa selama
berorientasi professional/usaha dengan yang
mengikuti INAICTA tidak terlindungi oleh hak
berorientasi prestasi akademis.
cipta.
Menyelenggarakan program follow up bagi Terjebak pada euphoria kompetisi dan
para
pemenang
setelah
acara
kemewahan seremonial.
penganugerahan, berupa pelatihan/workshop
tentang pengembangan produk, perlindungan
hak cipta, dan usaha menjadi entrepreneur,
serta membangun link kerjasama dengan
pihak-pihak terkait.
Men-set output dan outcome lebih jauh dari
penyelenggaraan acara, yaitu mendorong
lahirnya entrepreneur-entreprenur digital
yang mandiri dan produktif.

Manfaat dan Dampak Penyelenggaraan INAICTA


Dari hasil analisa kuantitatif dan kualitatif terkait manfaat dan dampak dari
penyelenggaraan INAICTA dapat ditarik beberapa hal penting sebagai berikut.
Manfaat dari adanya INAICTA dirasakan oleh para insan digital kreatif pemenang
kompetisi tersebut. Namun untuk memastikan adanya tindak lanjut terhadap karya yang telah
dihasilkan setelah kompetisi sampai membentuk digital entrepreneur yang mandiri dan
produktif, banyak hal yang mempengaruhi. Faktor Motivasi dan Perilaku Manajerial merupakan
salah satu faktor kunci bagi seorang entrepreneur.
Sejumlah penelitian empiris menggambarkan membangun kewirausahaan dimulai dari
sifat, sikap dan perilaku manajemen (Chaston, 2008). Pengusaha menunjukkan sikap kesiapan
untuk berubah, giat dalam inovasi, sikap Machiavellian (atau "agresif kompetitif") dan
kebutuhan untuk berprestasi dibandingkan seorang manajer (Utsch et al., 1999). Stewart et al.
(1998) menemukan bahwa pengusaha menunjukkan peringkat yang lebih tinggi dalam kaitannya
dengan variabel keinginan untuk berprestasi, kecenderungan mengambil risiko dan preferensi
yang kuat untuk terlibat dalam inovasi. Temuan ini menunjukkan, bahwa orientasi
kewirausahaan peduli dengan pertumbuhan dan inovasi (Georgelli et al., 2000). Mereka
menunjukkan bahwa kompetensi inti kewirausahaan adalah kapasitas untuk mengubah proses

Bidang P-TDSN

100

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

bisnis, peluncuran produk dan layanan baru serta kapasitas perencanaan. Oleh karena itu jika
INAICTA ingin diarahkan untuk mendorong lahirnya digital entrepreneurs, maka programprogram untuk membentuk jiwa kewirausahaan perlu dilatihkan kepada para pemenang
INAICTA paska selesainya kompetisi tersebut.
Memang penyelenggaraan pelatihan/training/workshop/seminar sering dipandang sebagai
solusi standar yang sudah sering dan mudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan untuk
meningkatkan kapasitas SDM dibidang tertentu. Padahal efektivitas investasi peningkatan
industri kecil melalui penyelenggaraan training dipertanyakan dalam penelitian di Peru (Chaston,
2008). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan kebutuhan dan harapan yang besar dari
responden, para pemenang INAICTA, terhadap pelatihan atau pembekalan ilmu untuk menjadi
entrepreneur. Oleh karena itu, materi pelatihan yang tepat dan teknik pemberian pelatihan yang
efektif sangat diperlukan.
Selain itu, hambatan dalam proses inovasi menurut beberapa perusahaan kreatif terletak
pada kurangnya program pendanaan untuk freelancer dan model-model bisnis yang baru.
Pembiayaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pengusaha mikro dan kecil di industri
kreatif (Georgelli et al., 2000).
Penyelenggaraan kompetisi ICT seperti INAICTA umumnya membawa agenda dari
masing-masing penyelenggara. Hal ini menyebabkan acara-acara tersebut rawan akan euphoria
kompetisi dan seremonial belaka. Seringkali terjadi penyelenggaraan kompetisi ICT tersebut
ditonjolkan pada saat penganugerahan pemenang yang dilakukan secara berlebihan seperti
dilakukan diatas kapal Quick Silver Cruise Batavia Marina dengan acara sangat meriah.
Padahal idealnya, ada output dan outcome lain yang harus dikejar dari penyelenggaraan
kompetisi tersebut, yaitu mendorong lahirnya entrepreneur-entreprenur digital yang mandiri dan
produktif. Oleh karenanya, INAICTA pun harus men-set tujuan dan sasaran (output) yang akan
diraih dari sekedar terselenggaranya acara.
Faktor penilaian dalam menentukan karya terbaik pada suatu kompetisi menjadi hal yang
penting untuk ditentukan. Faktor Uniqueness and Originality, Commercialization, dan Benefits
merupakan aspek yang perlu untuk dipertimbangkan. Originalitas penting untuk meminimalkan

Bidang P-TDSN

101

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

orientasi peserta pada hadiah (prize hunter), artinya karya yang dikirimkan memang belum
pernah diikutsertakan dalam kompetisi TIK sejenis lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat
diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.

INAICTA telah berperan dalam menstimulus pertumbuhan industri kreatif digital di


Indonesia. Peran tersebut terlihat paling dominan dalam hal sebagai batu loncatan bagi para
insan kreatif untuk promosi karya melalui ekspose media dan kesempatan pameran, baik
bagi start-up company maupun perorangan, sementara bagi para pelajar, kompetisi tersebut
dipandang sebagai kesempatan untuk meraih prestasi akademis. Peran tersebut dapat
ditingkatkan melalui kegiatan paska kompetisi, seperti penyelenggaraan pelatihan intensif
dalam hal pengembangan produk dan pengembangan kompetensi entrepreneurship seperti
pengetahuan tentang bisnis proses, launching produk baru, atau kemampuan perencanaan
dan pelayanan usaha. Hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan output dan outcomes dari
INAICTA pada menghasilkan entrepreneur-entreprenur digital yang mandiri dan produktif.

2.

Penyelenggaraan kompetisi ICT seperti INAICTA merupakan salah satu jalan untuk
mendorong anak bangsa menghasilkan karya-karya digital kreatif dengan motivasi yang
berbeda-beda, baik berorientasi mengembangkan bisnis yang jauh kedepan maupun
berorientasi juara/hadiah. Namun demikian, tindak lanjut pengembangan terhadap karya
yang telah dihasilkan dipengaruhi oleh banyak aspek. Hasil penelitian menunjukkan para
pemenang INAICTA tahun 2012 dan 2013 belum maksimal mengembangkan karyanya
lebih lanjut. Walaupun telah mendapat terpaan publikasi yang luas, beberapa peserta masih
mengalami kendala-kendala untuk mengembangkan karyanya. Kendala yang dihadapi oleh
peserta dari kalangan lembaga pendidikan yaitu: ketersediaan sponsor untuk riset lebih
lanjut mengembangkan prototype yang sudah dibuat, keterbatasan link dengan pihak yang
mau menjalin kerjasama terutama bagi penggiat hardware, keterbatasan waktu untuk focus
mengembangkan karya, serta kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang perjanjian

Bidang P-TDSN

102

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

bisnis, hak cipta, dan langkah-langkah membangun start up. Sementara kendala yang
dihadapi oleh peserta dari kalangan perusahaan pemula (Start-up Company) adalah
keterbatasan modal untuk mengembangkan produk, dan kurangnya pengetahuan tentang
pengembangan bisnis.
3.

Oleh karena itu, indikator-indikator yang harus diakomodir dalam Program INAICTA untuk
dapat menstimulus pertumbuhan industri kreatif bidang TIK mencakup: program-program
pengembangan paska kompetisi, perlindungan hak cipta bagi karya para peserta INAICTA,
dan perbaikan teknis penyelenggaraan acara.

Dari hasil penelitian ini dapat diberikan beberapa rekomendasi terkait penyelenggaraan
INAICTA kedepan, diantaranya:
1. Mengupayakan perlindungan hak cipta bagi karya para peserta INAICTA agar ide-ide
kreatif yang mungkin masih premature tersebut dapat terlindungi.
2. Dalam hal perencanaan kegiatan, penyelenggaraan INAICTA sebaiknya mencakup kegiatan
tindak lanjut paska kompetisi, artinya tidak hanya selesai pada seremonial pengumuman
pemenang. Tindak lanjut yang diberikan dibedakan antara kalangan pelajar/mahasiswa
dengan kalangan usaha. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti kegiatan investor nights yang
melibatkan lebih banyak pemenang; menyelenggarakan pelatihan/workshop intensif untuk
mengawal perkembangan karya para pemenang; mengembangkan peserta Start-up Company
melalui inkubator bisnis; serta menciptakan skema bantuan modal bagi Start-up Company.
3. Terkait kriteria penilaian, unsur Intellectual Achievement, Uniqueness and Originality,
Development, Commercialization, Benefits perlu diperhatikan. Originalitas penting untuk
meminimalkan pengiriman karya yang hanya berorientasi pada hadiah (prize hunter), bahwa
karya yang dikirimkan memang belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi TIK sejenis
lainnya.
4. Pemberian penghargaan/hadiah (reward) bagi para pemenang INAICTA (Juara 1, 2 dan 3)
sangat diharapkan oleh para peserta karena dapat bermanfaat untuk mengembangkan produk
maupun melakukan riset lebih lanjut.

Bidang P-TDSN

103

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

104

Pusat Inovasi - LIPI

5. Inovasi penting untuk sektor bisnis, tetapi juga dibutuhkan di layanan publik. Oleh karena
itu, dapat dimunculkan award untuk kategori aplikasi layanan publik seperti yang telah
dilakukan di Singapura melalui Public Service Innovation Awards.

DAFTAR PUSTAKA
Atuahene-Gima, K. and Ko, A. (2001), An empirical investigation of the effect of market orientation and
entrepreneurship orientation alignment on product innovation, Organization Science, Vol. 12
No. 1, pp. 54-74.
Chaston, Ian. (2008). Small Creative Industry
www.emeraldinsight.com/0025-1747.htm

Firms:

Development

Dilemma?

Fuller, Ted and Yumiao Tian. (2006). Social and Symbolic Capital and Responsible Entrepreneurship:
An Empirical Investigation of SME Narratives, Journal of Business Ethics, Springe 67: 287-304.
Georgelli, Y.P., Joyce, B. and Woods, A. (2000). Entrepreneurial action, innovation, and business
performance: the small independent business, Journal of Small Business and Enterprise
Development, Vol. 7 No. 1, pp. 7-17.
Hatammimi, Jurry. (2011). Digitalpreneur as Indonesias New Economic Pillar, paper disampaikan
dalam The 36th Federation of ASEAN Economic Association (FAEA) Conference di Kuala
Lumpur, Malaysia, 24 November 2011.
Kardoyo, Hadi dkk. (2013). Knowledge-Intensive Entrepreneurship dan Sistem Inovasi: Studi Kasus
Pelaku Industri Telematika di Indonesia PAPPIPTEK LIPI.
Pricehousewatercoopers. (2011). Digital Transformation of Creative Media Industries : Opportunities for
Success and Challenges, Research report for Ontario Media Development Coorperation,
Nordicity.
Stewart, W.H., Watson, W.E., Garland, J.C. and Garland, J.W. (1998). A proclivity for entrepreneurship:
a comparison of entrepreneurs, small business owners and corporate managers, Journal of
Business Venturing, Vol. 14 No. 2, pp. 189-214.
Suharto, Djoko dan Taufiq Mulyanto. (), Makna dan Dampak Kompetisi Shell Eco-marathon,
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung.
Utsch, A., Rauch, A., Rothfuss, R. and Frese, M. (1999). Who becomes a small scale entrepreneurin a
post-socialist environment: on the differences between entrepreneurs and managers in East
Germany, Journal of Small Business Management, Vol. 37 No. 3, p. 3142.

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-TDSN 02

ANALISA FAKTOR PENINGKATAN LISENSI PATEN DALAM


RANGKA KOMERSIALISASI HASIL PENELITIAN LEMBAGA
LITBANG
V. Susirani Kusumaputri1*, Maidina
*)Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
susirani.kusumaputri@yahoo.com

ABSTRAK
Lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) memiliki peran penting dalam ekonomi
nasional. Hal ini ditandai dengan teknologi yang dihasilkan bersumber dari sebuah kegiatan
penelitian yang bersifat komersial. Berdasarkan hukum ekonomi, terdapat dua faktor utama yang
mendukung pengembangan suatu teknologi yaitu kapital (tersedianya alat dan bahan) dan tenaga
kerja (sumber daya manusia yang mumpuni). Ketersediaan faktor tersebut harus serta merta
diwujudkan dalam kegiatan alih teknologi yang bersifat mengikat dan berpayung hukum melalui
paten dan lisensi. Pentingnya hal ini disebabkan dengan adanya hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan antara negara, masyarakat/industri dan inventor. Dengan demikian perlu
dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemungkinan
bahwa hasil penelitian dapat dipatenkan dan kemudian dilisensikan. Kajian ini dilakukan dengan
cara penelaahan terhadap para peneliti di lembaga litbang LIPI. Kami menemukan keinginan
peneliti untuk mematenkan dan melisensikan hasil penelitiannya dipengaruhi oleh faktor
individu dan faktor institusi. Faktor individu meliputi persepsi peneliti terhadap komersialisasi
hasil penelitian, sedangkan faktor institusi yaitu dengan adanya Technology Transfer Ofce
(TTO). Dari dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor institusi dimana dengan
kehadiran TTO dapat berfungsi sebagai pendamping dalam analisa pasar dari hasil penelitian
serta penghematan biaya pelaksanaan lisensi sehingga berpengaruh positif terhadap melisensikan
hasil penelitian.
Kata Kunci: Alih teknologi, lisensi, komersialisasi, paten

Bidang P-TDSN

105

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Peran lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan salah satu faktor
penentu perkembangan perekonomian di suatu negara. Hasil pemanfaatan ilmu pengetahuan
yang diaplikasikan dalam paten dan lisensi menjadi tolak ukur bahwa teknologi yang dihasilkan
oleh negara tersebut mutakhir dan bermanfaat dalam pemecahan masalah di masyarakat.
Berdasarkan hukum ekonomi, terdapat dua faktor utama yang mendukung pengembangan suatu
teknologi yaitu kapital (tersedianya alat dan bahan) dan tenaga kerja (sumber daya yang
mumpuni) (Putera, 2015). Lembaga litbang pada dasarnya telah memiliki sumberdaya yang
mumpuni dengan banyaknya pegawai yang berprofesi sebagai peneliti dan tersedianya alat dan
bahan penelitian dari kegiatan kerja peneliti dalam jangka waktu tertentu. Lembaga litbang juga
berfungsi sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat secara langsung menjadi
wadah desiminasi dan transfer teknologi. Penelitian Thursby dan Thursby (2002)
mengungkapkan proses alih teknologi terdiri dari tiga tahap yaitu diseminasi ilmu pengetahuan,
aplikasi paten, lisensi atau perjanjian lainnya. Dalam hal ini paten menjadi penting karena
adanya hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor dalam memanfaatkan hasil
penelitiannya disamping masyarakat juga secara gratis mendapatkan informasi hasil penelitian
tersebut.
Kajian yang dihasilkan oleh Thomson Reuters (2014) mengungkapkan nilai suatu paten
dapat dimanfaatkan sebagai invenstasi komersialisasi dengan siklus berkelanjutan dari adanya
inovasi dan penelitian, aplikasi, monitoring, lisensi, dan perlindungan. Pemanfaatan lisensi
dalam

berdasarkan hasil peneltian memberikan manfaat timbal balik bagi pengguna dan

pemakai paten, dimana inventor mendapatkan selain mendapatkan hak ekslusif juga
mendapatkan insentif disamping adanya proses alih teknologi secara langsung kepada pihak ke
tiga dari penemuan tersebut.

Bidang P-TDSN

106

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Nilai Investasi Paten


Sumber : Stembridge, 2014

Di Indonesia, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai sepenuhnya
atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut tertuang pada Pasal 2
PP 20:2005. Selain itu, dalam melaksanakan kewajiban mengusahakan alih teknologi kekayaan
intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan lembaga
litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan
dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan di
lingkungannya yang telah diatur dalam Pasal 16 PP 20:2005. Adapun beberapa regulasi yang
berkaitan dengan lisensi paten di Indonesia telah tertuang dalam :

Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2005

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

72/PMK.02/2015
-

PNBP Royalti Paten adalah penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
penerimaan royalti atas Lisensi Paten.

Bidang P-TDSN

107

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Imbalan tersebut berbentuk uang yang diberikan kepada Inventor yang


menghasilkan PNBP Royalti Paten

Di lingkungan universitas, kegiatan lisensi lebih dominan dipengaruhi oleh faktor


individu berupa pemahaman inventor tentang pentingnya penelitian berbasis paten, pentingnya
komersialisasi dalam penelitian dan kemampuan berkolaborasi dengan institusi lain(Yonghong
Wu, dkk.2015). Dalam hal perspektif pasar, paten merupakan sebuah barang yang unik, dimana
hanya terdapat 1 buah jenis barang dengan karakteristik tertentu sehingga metode pemilihan
kontrak lisensi lebih disukai dengan pemakaian kontrak royalti per-unit dimana hal ini dapat
menguntungan inventor yang patennya masih dalam proses pendaftaran dalam menghadapi pasar
oligopoly (Rabah, 2014). Pasar oligopoli merupakan sebuah komuditas pasar yang didalamnya
terdapat beberapa penjual terhadap 1 komoditi sehingga tindakan 1 penjual akan mempengaruhi
tindakan penjual lainnya. Pendapatan dari lisensi paten tidak signifikan terhadap banyaknya
paten yang didaftarkan namun tren sumber penghasilan yang dihasilkan oleh adanya lisensi
semakin berkembang setiap tahunnya sebagaimana ditampilkan pada gambar 2. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi paten yang dihasilkan berorientasi pada pengembangan hasil
penelitian berbasis paten yang dapat dikomersialisasikan.

Gambar 2. Tren Lisensi Terhadap Paten


Sumber :, GreyB, 2015

Bidang P-TDSN

108

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Di sisi lain, dalam seminar National Exhibition of Inventions di Cina 2015, Lu Dahan,
Sekertaris China Association of Inventions, mengatakan penemu atau peneliti memiliki masalah
dalam memahami kebutuhan pasar, mengevaluasi ulang paten mereka dan bekerja sama dengan
orang lain. Selain itu masalah terbesar bagi sebagian besar penemu individu adalah kurangnya
dana dan investasi dimana bagi mereka untuk mengajukan dana pemerintah dan sejumlah
lembaga investasi malaikat tidak cukup dalam memenuhi permintaan konsumen (Chinadaily,
2015). Hal ini menjadi masalah dimana masih minimnya jumlah lisensi yang dihasilkan oleh
lembaga litbang dari paten yang telah terdaftar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan lisensi paten di lingkungan litbang.

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu dengan menggunakan pendekatan studi
literatur dan wawancara. Kajian ini dilakukan dengan cara penelaahan terhadap para peneliti di
lembaga litbang X sebagai narasumber.

Lembaga X diambil sebagai obyek studi kasus

dikarenakan lembaga litang tersebut merupakan produsen paten terbesar di Indonesia. Penulis
memilih narasumber sebagai pakar dari lembaga litbang X dengan kriteria seorang peneliti yang
memiliki paten dan atau memegang jabatan struktural minimal eselon II. Kriteria responden
tersebut dipilih karena dinggap memiliki kemampuan dalam memahami prosedur dalam proses
lisensi yang ada di lingkungan litbang X.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan sistem snowball sehingga informasi yang
digali menjadi lebih fokus dan mendalam. Penggunaan metode ini juga memiliki keunggulan
dengan adanya sumber informasi yang berasal dari sumber-sumber yang relevan dari pakar.
Penelitian berorientasi pada peneliti yang dijadikan responden sebagai sumber objek pelaku dan
unsur teknis. Adapun peta proses penelitian ini yaitu :

Bidang P-TDSN

109

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pentingnya Paten
Terlisensi

Rendahnya Paten Terlisensi


di Litbang X

Faktor-Faktor Peningkatan Lisensi di Litbang X

Internal
(individu)
Kajian Teoritis

- Persepsi peneliti
tentang lisensi
- Partisipasi
peneliti dalam
melisensikan
paten

Eksternal
(institusi)

- UU
- Peraturan
Litbang X

Wawancara
Pakar

Rekomendasi

Gambar 3.Peta Alur Proses Penelitian

Bidang P-TDSN

110

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Sumber data diperoleh secara menyeluruh dari databased pada litbang x sejak tahun 1991
hingga 2015. Hasil penelusuran data menyebutkan terdapat 399 jumlah paten terdaftar, 33 paten
sudah tersertifikasi dan hanya 4 paten yang terlisensi. Paten yang telah terlisensikan tersebut
merupakan paten sederhana dalam bidang kimia.
Penulis mengelompokkan jenis paten tersebut dalam sebuah kelompok kedeputian,
dimana kelompok kedeputian tersebut dapat mewakili lingkup penelitiann. Hasil penelusuran
tersebut menjadi dasar penetapan responden pakar dengan memilih salah satu satker dari setiap
kedeputian penghasil paten. Pakar yang dipilih adalah berasal dari kedeputian bidang teknik
sebagai penghasil paten terbanyak, kedeputian bidang hayati sebagai penghasil paten yang
sedikit serta kedeputian bidang jasa ilmiah khususnya sebagai unsur teknis. Proses wawancara
pakar dilakukan dengan metode tatap muka langsung kepada 5 (lima) orang pakar dengan
minimal memegang jabatan eselon II dengan rincian 2 orang dari kedeputian Jasil, 2 responden
dari kedeputian bidang teknik dan 1 orang responden dari kedeputian bidang hayati.

Pembahasan
Berdasarkan hasil studi litelatur, penulis mengelompokan faktor-faktor menjadi faktor
internal dan faktor eksternal. Dari hasil penelusuran variabel tersebut dijadikan acuan wawancara
pakar sebagai indikator untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan
lisensi paten. Berdasarkan hasil kriteria peningkatan jumlah paten terlisensi dapat dilihat pada
Tabel 1 dan 2.

Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari pemahaman peneliti, intensi hasil
penelitian, dan kesempatan sebagaimana pada Tabel 1. Berdasarkan hasil wawancara,
pemahaman peneliti mengenai lisensi masih sangat minim, dimana pada dasarnya output kinerja
peneliti bukan didasarkan oleh lisensi yang dihasilkan. Inventor menganggap bahwa lisensi

Bidang P-TDSN

111

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

112

Pusat Inovasi - LIPI

merupakan hasil sampingan dari pemanfaatan hasil penelitian. Lebih dari 50%

inventor

cenderung melakuan kerja sama tidak melalui lisensi, melainkan kontrak lainnya. Dengan
demikian proses komersialiasi dari hasil penelitian tidak berorientasi pada paten. Hal ini perlu
adanya kebijakan khusus dalam pemanfaatan hasil penelitian dimana penelitian yang dianggap
baru harus dipatenkan dan lisensikan.
Adanya kerja sama penelitian pada umumnya merupakan kerja sama yang berorientasi
pada kebutuhan dari suatu instansi atau industri dimana pihak luar yang terlebih dahulu
mengajukan usulan kerja sama. Pada umumnya hasil penelitian yang dihasilkan oleh lembaga
litbang bersifat penelitian dasar. Sebagian besar penelitian bukan berdasarkan data analisa pasar
atau masih belum bersifat marketable.
Selain itu penelitian yang dihasilkan libang X masih belum bisa diterima (acceptable)
baik oleh industri maupun vendor dikarenakan sifat penelitian bukan sebuah produk jadi
melainkan masih prototype yang masih pada tahap trial and error sehingga produk yang
dihasilkan masih belum bisa diaplikasikan. Dengan demikian diperlukan adanya invenstasi lebih
dari luar dalam penyempurnaan hasil penelitian.
Selain itu untuk beberapa ruang lingkup, pihak industri masih lebih unggul dalam
pengembangan berbasis aplikasi perangkat elektronik, otomotif, dsb. Hasil penelitian yang telah
di lisensi cenderung pada produk paten yang bersifat kimia dan elektronika, dimana produk yang
dihasilkan berupa kosmetik, pupuk, obat dll yang sudah teruji.

Tabel 1. Hasil dari Faktor Internal


Faktor Internal (individu)
Pemahaman peneliti

Intensi penelitian

Kesempatan

Komersialisasi bukan output kinerja

Komersialisasi tidak hanya dari paten

tidak marketable

tidak acceptable

tidak applicable

Lisensi bukan tujuan

Adanya Pihak luar yang tertarik

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

113

Pusat Inovasi - LIPI

Faktor Eksternal
Dalam proses lisensi, faktor eksternal juga memiliki peranan yang sangat penting dimana
menjalankan perannya sebagai penghubung antara inventor dan industri. Adanya sebuah badan
yang mengelola secara mandiri proses komersialisasi yang disebut dengan Technology Transfer
Ofce (TTO). Adanya TTO dapat memberikan pengaruh positif kepada inventor, dimana biaya
dan operasional dari kegiatan komersialisasi sepenuhnya ditanggung oleh TTO. Selain itu proses
pendampingan terhadap komersialisasi dan alih teknologi lebih disukai oleh inventor sehingga
akan lebih mudah. Selama ini invensi menilai sulit menemukan secara mandiri industry yang
ingin bekerja sama ataupun IKM yang akan menjadi wadah transfer teknologi. Paten yang
dihasilkan oleh libang kemudian dicari potensi pasar dan skema proyeksi bisninya. Potensi TTO
juga menjadi sumber arus kas dari invenstasi lisensi paten, dimana pencatatan dilakukan secara
berkala hingga jangka waktu tertentu. Selain itu dapat menjadi sumber pengembangn dari
potensi paten yang sudah ada, dimana pada masa paten yang sudah mencapai masa public
domain dapat di upgrade dengan hasil pengembagan penilitian yang lebih baik.
Namun selain itu terdapat beberapa potensi yang masih dirasa kurang memadai yaitu
sarana publikasi yang belum maksimal. Dimana informasi invensi hanya didaptkan oleh kalang
minoritas atau tertentu. Dalam hal ini penekanan terhadap branding dianggap penting sehingga
setiap lapisan masyarakat dapat mengetahui tentang hasil penelitian sehingga akan memudahkan
industri atau IKM dalam proses komersialisi. Hal ini dapat diantisipasi dengan perlunya
penyelenggaraan secara berkala kegiatan pameran, temu bisnis mauapun workshop baik di
internal maupun kerja sama dengan pihak lain.
Tabel 2. Hasil dari Faktor Eksternal
Faktor Eksternal (institusi)
Biaya dan operasional

Biaya sepenuhnya oleh institusi

Pendampingan

dalam

pencarian

dan

pengembangan stakeholder
Publikasi (kerja sama)

Publikasi belum optimal


(pameran, temu bisnis, workshop)

Industri lebih memilih non Paten

Bidang P-TDSN

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam peningkatan keinginan peneliti untuk mendaftarkan melisensikan hasil invensinya
dipengaruhi oleh aspek internal (individu) dan aspek eksternal (institusi). Berdasarkan aspek
internal, dipengaruhi oleh pemahaman peneliti tentang lisensi, intensi produk penelitian yang
bersifat marketable dan applicable dan adanya kesempatan dalam kerja sama terkait hasil
penelitian. Disisi lain, aspek eksternal eksternal meliputi adanya suatu Technology Transfer
Ofce (TTO) dimana fungsi TTO tersebut sangat berguna dalam biaya, operasional dan publikasi
sebagai media penghubung hasil penelitian dengan industri (market).
Dalam peningkatan lisensi paten perlu adanya pendampingan dalam pencarian dan
pengembangan stakeholder, kerjasama dengan lipi press sebagai sarana publikasi hasil
pemanfaatan hasil-hasil paten yang sedang atau telah diberikan paten, aktif dalam
penyelenggaraan kegiatan pameran temu bisnis, workshop.

UCAPAN TERIMA KASIH


Dalam penulisan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kedeputian
bidang Jasa Ilmiah, Kedeputian bidang Ilmu Pengetahuan Teknik, Pusat Penelitian Kimia, Pusat
Penelitian Bioteknologi serta Pusat Inovasi khususnya bidang Inkubasi dan Alih Teknologi serta
Manajemen Kekayaan Intelektual dalam partisipasinya dalam penulisan ini.

Bidang P-TDSN

114

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

.DAFTAR PUSTAKA
Putera, Prakoso B. (2015).Iptek dan Inovasi Kunci Merentas Jalan Menuju Kemandirian Bangsa. Graha
Ilmu. Jakarta
Thursby et all(2002). Who is Selling the Ivory Tower? Sources of Growth in University Licensing.
Management Science Vol 48.
Stembridge, Bob. (2014). Valuing IP in the Chemical Space Science, Art and Special Considerations.
Thomson Reuters.
Wu, Yonghong et all. (2015). Commercialization of University Inventions : Individual and Institutional
Factors Affecting Licensing of University Patents. Technovation 36-37
Rabah Amir, e. (2014). Optimal Licensing of Uncertain Patents in the Shadow of Litigation. Games and
Economic Behavior, 320338.
http://www.greyb.com/why-ip-benchmarking-is-important/ (diakses November 2015)
http://www.chinadaily.com.cn/beijing/2015-08/19/content_21645081.htm (diakses November 2015)

Bidang P-TDSN

115

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 01

STUDI PENDAHULUAN PEMBUATAN ADSORBEN


METHYL DIETHANOL AMINA (MDEA) BERPENYANGGA
ZEOLIT ALAM UNTUK PENANGKAPAN CO2
Roza Adriany
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
roza_adriany@yahoo.com ; rozaa@lemigas.esdm.go.id

ABSTRAK
Senyawa alkanol amina sebagai penangkap CO2 telah banyak dimanfaatkan seperti
pada proses pemurnian gas alam. Senyawa amina yang umum digunakan adalah Methyl
Diethanol Amine (MDEA) dimana MDEA dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 30%
hingga 50%. Permasalahannya adalah kapasitas adsorpsi CO2 oleh MDEA berair lebih kecil
dibandingkan dengan MDEA yang diimpregnasikan pada bahan berpori seperti zeolit alam.
Pori berperan sebagai kantong molekul untuk CO2 sehingga dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi. Untuk itu telah dilakukan studi pendahuluan pembuatan adsorben Methyl Diethanol
Amine (MDEA) yang diimpregnasikan pada zeolit alam untuk aplikasi penangkapan CO2.
MDEA yang digunakan adalah MDEA tanpa aktifator Piperazine. Metodologi pembuatan
adsorben dimulai dari pembersihan pori zeolit alam sebagai penyangga menggunakan Asam
Klorida 5N dan dilanjutkan dengan impregnasi MDEA ke dalam pori zeolit pada konsentrasi
MDEA yaitu 15%, 20% dan 25%. Terhadap sampel adsorben dilakukan pengujian penentuan
luas permukaan, total volume pori dan diameter pori rata-rata serta uji kapasitas adsorpsi CO2
dari adsorben pada suhu ruang menggunakan alat uji adsorpsi CO2 sistem kontinyu. Hasil
penelitian menunjukkan kapasitas adsorpsi CO2 optimum ditemukan pada konsentrasi MDEA
15% yaitu 28,38 mg CO2/g adsorben atau 0,645 mmol CO2/g adsorben. Impregnasi MDEA
(tanpa Piperazine) ke dalam pori zeolit dapat meningkatkan perbandingan mol CO2 dan
MDEA dari 1:1 menjadi 21:1, yang diperoleh pada konsentrasi MDEA 15%.
Kata kunci : zeolit alam; Methyl Diethanol Amine ; CO2.

116

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Keberadaan CO2 di dalam gas alam tidak disukai karena CO2 dapat mengurangi nilai
heating value/BTU gas alam. Alasan lain adalah CO2 dapat membeku dan menutupi
permukaan pada saat pembentukan Liquid Natural Gas (LNG) yang terjadi pada suhu sangat
rendah yaitu -161 C sehingga menghambat jalur pemipaan gas alam dan mengurangi
efisiensi pabrik. Untuk itu kadar CO2 harus dikurangi sebelum gas alam dicairkan.
Penggunaan senyawa alkanol amina sebagai penangkap CO 2 telah banyak
dimanfaatkan di industri gas alam. Senyawa amina yang biasa digunakan adalah Methyl
Diethanol Amine (MDEA) yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 30% hingga 50%.
Permasalahannya adalah kapasitas adsorpsi CO2 oleh MDEA berair lebih kecil dibandingkan
dengan MDEA yang diimpregnasikan pada bahan padat berpori. Pori berperan sebagai
kantong molekul untuk CO2 sehingga dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi. Sumber bahan
padat berpori yang dapat digunakan adalah zeolit mesopori, baik dari zeolit sintetik maupun
dari zeolit alam.
Pada penelitian ini digunakan zeolit alam sebagai bahan penyangga untuk MDEA.
MDEA yang digunakan adalah MDEA tanpa aktifator Piperazine. Penggunaan zeolit alam
sebagai bahan penyangga adalah dalam rangka pemanfaatan zeolit alam Indonesia yang
keberadaannya tersebar di beberapa wilayah dan terdapat dalam jumlah yang cukup banyak
dimana pemanfaatannya sebagai penangkap CO2 belum banyak dikembangkan.
Zeolit sebagai penyangga harus mempunyai ruang pori yang cukup besar sehingga
dapat menampung MDEA dan dapat pula menampung CO 2 sebanyak mungkin. Semakin
besar ukuran pori zeolit maka makin luas permukaannya dan makin banyak MDEA yang
dapat dilapiskan di permukaan pori sehingga makin banyak pula CO 2 yang dapat diikat oleh
MDEA dan dengan demikian makin besar kapasitas adsorpsi CO 2 dari adsorben. Meskipun
demikian, jumlah MDEA yang diimpregnasikan ke dalam pori zeolit harus dibatasi dan
dijaga sedemikian rupa agar MDEA tidak berlebihan sehingga menutup pori.Bila hal ini
terjadi maka akan terbentuk bulk amina di permukaan pori dan fungsi pori sebagai kantong
molekul CO2 tidak terjadi sehingga kapasitas adsorpsi CO2 dari adsorben akan menurun.
Secara teori MDEA yang bersifat basa dapat mengikat CO2 yang bersifat asam
sehingga CO2 dapat bertahan di dalam rongga zeolit sebelum dilepaskan kembali. CO 2 yang

117

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

telah dilepaskan pada saat regenerasi adsorben dapat dipipakan untuk dimanfaatkan menjadi
produk lain.
Maksud dan tujuan penelian adalah membuat adsorben Methyl Diethanol Amine
(MDEA) yang diimpregnasikan pada zeolit alam yang digunakan untuk menangkap CO2.

METODOLOGI
Metodologi penelitian dimulai dari perendaman zeolit menggunakan HCl 5N atau
Asam Sulfat 5N untuk memperluas permukaan. Tahap selanjutnya adalah impregnasi MDEA
(tanpa piperazine) ke dalam rongga zeolit pada variasi konsentrasi MDEAyaitu 15%, 20%
dan 25%.
Terhadap produk adsorben yang diperoleh dilakukan uji luas permukaan, volume pori,
ukuran pori rata-rata melalui uji BET. Setelah itu dilakukan pengujian kapasitas adsorpsi CO2
dari adsorben pada suhu ruang menggunakan unit alat uji adsorpsi CO2sistem kontinyu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil-Hasil
Tabel 1 : Hasil Uji BET Zeolit Alam Pada Preparasi Dengan HCl 5N
atau Asam Sulfat 5N yang Dilanjutkan dengan Pemanasan
No

Sampel

Luas
Permukaan
(m2/g)

Total
Volume Pori
(cc/g)

Diameter
Pori Ratarata (A)

1.

Zeolit preparasi pemanasan suhu 120 C

44.41

0,078

70,33

2.

Zeolit preparasi pemanasan suhu 200 C

46.64

0,073

629

3.

Zeolit preparasi pemanasan suhu 300 C

38.05

0,084

88,31

4.

Zeolit preparasi pemanasan suhu 400 C

45.19

0,092

81,84

5.

Zeolit preparasi HCl 5N dan pemanasan 120 C

93.55

0,114

48,60

6.

Zeolit preparasi HCl 5N dan pemanasan 200 C

127.5

0,130

40,83

7.

Zeolit preparasi HCl 5N dan pemanasan 300 C

116.8

0,127

43,37

8.

Zeolit preparasi HCl 5N dan pemanasan 400 C

96.75

0,106

43,64

Zeolit preparasi Asam Sulfat 5N dan pemanasan 120


C

63.63

0,073

45,96

9.

Zeolit preparasi Asam Sulfat 5N dan pemanasan 200


C

85.27

0,085

39,80

118

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

10

Zeolit preparasi Asam Sulfat 5N dan pemanasan 300


C

69.85

0,093

53,25

11

Zeolit preparasi Asam Sulfat 5N dan pemanasan 400


C

78.29

0,099

50,83

Tabel 2 : Hasil Uji Luas Permukaan, Diameter Pori Rata-rata dan Total
Volume PoriZeolit Terimpregnasi MDEA
Hasil Uji
No

1.

4.

Jenis Sampel

Surface
Area m2/g

Total Volume
Pori (cc/g)

Diameter Pori

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) + MDEA
15% (tanpa piperazine )

7,3

0,02

12,36

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) + MDEA
20% (tanpa piperazine )

1,42

0,02

681,2

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) + MDEA
25% (tanpa piperazine )

0,62

0,02

1323

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C )

57,24

0,09

61,99

( A )

119

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

120

Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 3. Hasil Uji Adsorpsi CO2 dari Adsorben Selama 1 Jam


Massa CO2
terserap
( mg/g
adsorben )

mmol CO2
terserap
( mmol/g
adsorben )

Surface
Area m2/g

mmol
MDEA

Perbandingan
mmol MDEA-PZ :
mmol CO2 terserap

Perbandingan
mmol MDEA
tanpa PZ : mmol
CO2 terserap

16,17

0,367

127,5

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) +
MDEA 15% (tanpa
piperazine )

28,38

0,645

7,3

0.031

21 : 1

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) +
MDEA 20% (tanpa
piperazine )

20,54

0,467

1,42

0.042

11 : 1

Zeolit ( Preparasi HCl 5N +


Pemanasan 200 C ) +
MDEA 25% (tanpa
piperazine )

16,53

0,376

0,62

0.052

7:1

Jenis Sampel
Zeolit (preparasi HCl 5N +
Pemanasan 200 C )

Diskusi
Dari tabel 1 terlihat bahwa perendaman zeolit dengan HCl 5N yang dilanjutkan
dengan pemanasan suhu 200 C dapat meningkatkan luas permukaan zeolit segar dari 46,64
m2/g menjadi 127.5 m2/g. Ini disebabkan karena HCl telah mengoksidasi bahan-bahan
organik yang terdapat dalam pori zeolit. Pori yang awalnya terisi oleh bahan pengotor
organik menjadi bersih dan ruang pori menjadi terbuka sehingga luas permukaan zeolit
menjadi lebih besar.
Preparasi zeolit dengan asam sulfat 5N menghasilkan luas permukaan, total volume
pori dan diameter pori rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan HCl 5N. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan Asam Klorida (HCl 5N) dalam membersihkan pori zeolite
lebih besar dibandingkan asam sulfat 5N.
Dari tabel 2 terlihat bahwa impregnasi MDEA pada zeolit memperkecil luas
permukaan zeolit. Hal ini disebabkan karena MDEA mengisi ruang pori zeolit. Impregnasi
MDEA pada zeolitjuga merubah ukuran diameter pori rata-rata zeolit alam dimana ukuran
diameter pori rata-rata cendrung mengalami kenaikan. Peningkatan ini kemungkinan
disebabkan karena proses pengisian MDEA ke dalam rongga zeolit berlangsung dengan cara
dimana MDEA akan menempati rongga dengan ukuran lebih kecil dulu dan ruang kosong
yang tersisa adalah rongga yang lebih besar sehingga diameter pori rata-rata zeolit menjadi
meningkat.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dari Tabel 3 diperolehkapasitas adsorpsi CO2 adsorben zeolit terimpregnasi MDEA


(tanpa piperazine) lebih besar dibandingkan zeolit yang tidak diimpregnasi dengan MDEA.
Hal ini disebabkan karena MDEA mampu mengikat CO 2 lebih kuat dibandingkan zeolit,
dimana ikatan antara MDEA dan CO2 bersifat kimiawi sedangkan ikatan antara zeolit dan
CO2 bersifat ikatan fisika Van der Walls yang lemah sehingga mudah lepas.
Meski luas permukaan pori zeolit sebelum impregnasi MDEA (tanpa piperazine) jauh
lebih besar (127,5 m2/g) dibanding zeolit setelah impregnasi MDEA 15% tanpa piperazine
(7,3 m2/g), namun hal ini tidak dapat menaikkan kapasitas adsorpsi CO 2 dari zeolit. Ini
menunjukkan bahwa luas permukaan yang besar tidak dapat menaikkan kapasitas adsorpsi
CO2 bila tidak ada impregnasi MDEA ke dalam pori. Jadi peran MDEA sangat besar dalam
menaikkan kapasitas adsorpsi CO2.
Dari hasil uji kapasitas adsorpsi CO2 diperolehkapasitas adsorpsi CO2 optimum pada
konsentrasi MDEA 15% yaitu 28,38 mg CO2/g adsorben atau 0,645 mmol CO2/g adsorben.
Berdasarkan stokhiometri reaksi antara MDEA dan CO2 diketahui bahwa
perbandingan mol MDEA dan CO2 adalah 1 : 1 (pada kondisi ada H2O). Dari tabel 3
diketahui bahwa MDEA 15% (tanpa piperazine) mempunyai jumlah mmol 0,031. Dengan
demikian jumlah CO2 maksimum yang dapat diikat adalah sebesar 0,031 mmol. Namun
dalam hal ini CO2 yang dapat ditangkap oleh adsorben adalah 0,645 mmol dimana 21 kali
lebih besar dibandingkan rasio stokhiometri reaksi. Meningkatnya kapasitas adsorpsi CO2
disebabkan karena MDEA tidak dalam bentuk larutan saja melainkan dilapiskan di rongga
zeolit. Adanya pori zeolit menyebabkan CO2 terakumulasi di ruang pori.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari kegiatan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal berikut :
Perendaman zeolit dengan HCl 5N yang dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu
200 C adalah metode terbaik yang dipilih untuk membersihkan pori zeolit karena
metode ini menghasilkan zeolit dengan luas permukaan paling besar.
Kapasitas adsorpsi CO2 optimum untuk adsorben zeolit terimpregnasi MDEA tanpa
Piperazine, diperoleh pada konsentrasi MDEA 15% yaitu 28,38 mg CO 2/g adsorben
atau 0,645 mmol CO2/g adsorben.

121

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Impregnasi MDEA tanpa Piperazine ke dalam pori zeolit dapat meningkatkan


perbandingan mol CO2 dan MDEA dari 1:1 menjadi 21:1, yang diperoleh pada
konsentrasi MDEA 15% (tanpa piperazine).

DAFTAR PUSTAKA
Adewale Adeosun1, Nabil El Hadri1, Earl Goetheer2, Mohammad R.M. Abu-Zahra1* Absorption of
CO2 by Amine Blends Solution: An Experimental Evaluation, Research Inventy:
International Journal Of Engineering And Science Vol.3, Issue 9 (September 2013), PP 12-23
Issn(e): 2278-4721, Issn(p):2319-6483, Www.Researchinventy.Com
CHEN Jie1,GUO Qing2,HUA Yihuai1 et al. Absorption performance of MDEA activated amines in
natural gas pretreatment process. Chemical Industry and Engineering Progree, 2014, 33(01):
80-84.
L. Dubois, & Thomas, D. Screening of aqueous amine-based solvents for postcombustion CO2
capture by chemical absorption. Chemical Engineering and Technology, 35 (2012) 513-524.
Carol Toro Molina, Chakib Bouallou, Kinetics Study and Simulation of CO2 Absorption into Mixed
Aqueous Solutions of Methyldiethanolamine and Diethanolamine, Chemical Engineering
Transaction, Vol 30, 2013, Guest Editors: Petar Varbanov, Ji Kleme, Panos Seferlis,
Athanasios I. Papadopoulos, Spyros VoutetakisCopyright 2013.
Noor, Hidayu, dkk, Enhancehanolamine (MDEA) Absorption CO2 Capture Using Activator. Air
Pollution mitigation, monitor control technologies and 5th International Conference on
Environment 2015 (ICENV 2015). 18th-19th August, 2015Penang, Malaysia.
J. Otaraku dkk, Simulation of Loading Capacity of MDEA and DEA for Amine-Based CO2
Removal Using Hysys, American Journal of Chemical Engineering Volume 3, Issue 2,
March 2015, Pages: 41-46 Received: Feb. 22, 2015; Accepted: Mar. 17, 2015; Published:
May 9, 2015
J.F.Tang, The Optimization of Mixing Amine Solvents for CO 2 Absorption Based on Aqueous
MDEA/DETA and MDEA/TETA, Petroleum Science and Technology, Volume 32, Issue 24,
2014.
Young Eun Kim, Comparison of Carbon Dioxide Absorption in Aqueous MEA, DEA, TEA,and
AMP Solutions, Bull. Korean Chem. Soc. 2013, Vol. 34, No. 3.

122

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Aldrin D, dkk, Dealumination and Na activation of natural zeolite for CO2adsorption on biogas,
International Journal of Engineering Research and Development e-ISSN: 2278-067X, pISSN: 2278-800X, www.ijerd.com Volume 11, Issue 04 (April 2015), PP.60-66.
S.K Wirawan, dkk, Development of Natural Zeolites adsorbent: Chemical Analysis and Preliminary
TPD Adsorption Study, Journal of Engineering Science and Technology. Special Issue on
SOMCHE 2014 & RSCE 2014 Conference, January (2015) 87 - 95

123

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 02

MODEL PENGUKURAN PROSES ALIH TEKNOLOGI


DALAM MENDUKUNG PENGUATAN PENGELOLAAN ALIH
TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI LIPI
Mauludin Hidayat1, Adityo Wicaksono2, Firman Tri Ajie3

Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Raya Jakarta Bogor KM 47 Cibinong
Kabupaten Bogor. e-mail : mauludin.hidayat@gmail.com

1, 2, 3

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas model pengukuran proses alih teknologi di Pusat
Inovasi LIPI. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan
kualitatif, yaitu melalui identifikasi dan penetapan sub aktivitas dari aktivitas-aktivitas utama
proses alih teknologi, penetapan indicator pengalihan, pemilihan dan penetapan alat ukur
pengalihan serta uji coba pengukuran. Studi kasus penelitian adalah proses alih teknologi di
Sub Bidang Alih Teknologi Pusat Inovasi LIPI. Hasil pengukuran akan disajikan dalam
bentuk penyajian dan analisa hasil pengukuran sehingga dapat ditarik kesimpulan status
model pengukuran proses alih teknologi di Pusat Inovasi LIPI. Dari hasil uji coba
sementara dapat diduga adanya kebutuhan untuk melengkapi penetapan indikator-indikator
proses alih teknologi. Dengan demikian, melalui tulisan ini diharapkan bisa dimunculkan
saran atau rekomendasi untuk menguatkan proses alih teknologi di Sub Bidang Alih
Teknologi Pusat Inovasi LIPI.
Kata kunci: Proses alih teknologi, Indikator pengalihan, pengukuran proses alih teknologi,
Pusat Inovasi LIPI.

PENDAHULUAN
Alih teknologi telah menjadi cara yang sangat efektif untuk melakukan diseminasi
inovasi dan pengetahuan, yang merupakan suatu alternatif kompetitif bagi suatu unit kerja
yang mencari tidak hanya untuk eksplorasi sumber daya internal untuk memanfaatkan
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, tapi juga untuk mitra

124

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

125

Pusat Inovasi - LIPI

eksternal untuk mendapatkan peningkatan teknologi yang baru untuk menjadikannya suatu
peluang usaha baru berupa start-up company. Hal ini merupakan tugas mendasar dari Pusat
Inovasi LIPI, khususnya sub bidang alih teknologi.
Definisi alih teknologi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah proses akusisi,
pengembangan dan penggunaan pengetahuan teknologi yang dihasilkan oleh individual
(Lima, 2004). Namun, hal ini dipahami sebagai sebuah proses implementasi teknologi baru
yang dikembangkan untuk suatu lingkungan yang tidak memiliki teknologi yang sama.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 secara formal alih teknologi
didefinisikan sebagai pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam
lingkungan dalam negeri mau-pun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau
sebaliknya.
Tujuan akhir dari tugas Pusat Inovasi LIPI adalah bagaimana pada gilirannya
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan bisa dimanfaatkan
menjadi suatu usaha berbasis pengetahuan/teknologi bernilai ekonomi yang memiliki dampak
signifikan terhadap penumbuhan usaha pemula. Dampak dari bertumbuhnya usaha baru
berbasis teknologi ini diharapkan dapat memberdayakan keterampilan sumber daya setempat
dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.Namun hingga saat ini Pusat
Inovasi belum memiliki catatan yang baik dan belum melakukan pengukuran terhadap proses
yang dilaksanakan. Teknologi yang tidak diukur aktivitas alih teknologi nya membuat
institusi ini tidak mempunyai catatan yang dapat dilaporkan ke pembuat keputusan/stake
holder, mengenai telah sejauh mana teknologi dialihkan, bagaimana performa teknologi
tersebut saat dialihkan, seberapa sulit teknologi tersebut dialihkan, kesulitan apa yang
dihadapi dan apa rekomendasi untuk perlakuan selanjutnya. Kemudian, teknologi yang telah
difasilitasi dan tidak memiliki catatan atau laporan hasil pengukuran akan terlupakan, tidak
termanfaatkan dan usang.
Secara umum, proses alih teknologi ini bisa diidentifikasi kedalam beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan ini selanjutnya diperjelas dengan dilakukannya identifikasi untuk
menetapkan aksi-aksi penting dalam tahapan tersebut. Selanjutnya aksi-aksi penting ini
didiskusikan

untuk mendapatkan indikator-indikator

yang memadai

menggambarkan kinerja pencapaian dari aksi-aksi penting yang dimaksud.

untuk

cukup

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

126

Pusat Inovasi - LIPI

Proses alih teknologi telah dikaji diberbagai belahan dunia, di salah satu literatur
dijelaskan bahwa ada enam tahapan dalam proses alih teknologi, yakni Technology
innovation, technology confirmation, targetingtechnology consumers, technology marketing,
technology

application,

technology

menyebutkan, bahwa untuk dapat


dibutuhkan

manajemen

evaluation(Risdon,

1992).

Penelitian

terbaru

menjalankan tahapan alih teknologi secara efektif

pengetahuan

yang

mencakup

socialisasi,

kombinasi,

internalisasi,externalisasi (Khadem,M. et al, 2014). Peralihan dari pengetahuan yang bersifat


tacit menjadi produk atau teknologi yang bersifat eksplisit akan membutuhkan rekamanrekaman, dan hasil pengukuran merupakan salah satu rekaman penting dalam pelaksanaan
alih teknologi.
Dalam tulisan ini tahapan yang diambil adalah tahapan yang sifatnya umum dengan
mengambil pendekatan perencanaan alih teknologi, pelaksanaan alih teknologi, pemeriksaan
atau evaluasi pelaksanaan alih teknologi dan aktualisasi perencanaan berdasarkan atas hasil
pemeriksaan dan evaluasi yang diperoleh. Oleh karenya model pengukuran ini juga
menggunakan tahapan yang sama dan diharapkan sifatnya bisa continuous improvement
berdasarkan proses alih teknologi yang dilaksanakan di Pusat Inovasi LIPI.
Dalam merancang model kita perlu mengetahui terlebih dulu model seperti apa yang
akan dibuat. Definisi model itu sendiri adalah representasi simbolik dari suatu benda, proses,
sistem, atau gagasan. Model dapat berbentuk gambar-gambar grafis, verbal, atau
matematikal. Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan(Depdikbud, 1984). Model juga merupakan abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam
gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat
menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian
pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya(Simarmata, 1983).
Aktivitas pengukuran disini juga perlu diperjelas, pengukuran seperti apa yang
nantinya bisa dilakukan. Pengukuran / Measurement dikategorikan menjadi 3 (Torgerson,
1960) yakni : Derived measurement, Measurement by fiat, danFundamental measurement.
Derived measurementadalah pengukuran yang diperoleh melalui hukum menghubungkan
properti yang satu dengan properti yang lainnya. Measurement by fiatadalah pengukuran
yang diperoleh secara sederhana dengan makna yang disepakati, biasanya bergantung pada
dugaan

hubungan

antara

pengamatan

dan

concept

of

interest.Fundamental

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

measurementadalah pengukuran dimana angka-angkanya dapat digunakan berdasarkan pada


hukum alam yang mewakili sebuah properti tanpa harus membandingkan dengan variabel
lainnya. Dari 3 jenis pengukuran tersebut yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur
proses alih teknologi adalah Measurement by fiat.

METODOLOGI
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif,
yaitu melalui indepth interview dan observasi partisipatif. Indepth interview dilakukan
terhadap struktural dan staff senior di Pusat Inovasi LIPI. Observasi dilakukan dengan
mengamati perkembangan Pusat Inovasi sejak tahun 2011. Tahapan yang dilakukan setelah
mendapatkan data adalah melakukan identifikasi dan penetapan sub aktivitas dari aktivitasaktivitas utama proses alih teknologi, penetapan indikator pengalihan, pemilihan dan
penetapan alat ukur pengalihan serta uji coba pengukuran.
Selama waktu penelitian, personil di sub bidang alih teknologi dilibatkan dalam
kegiatannya. Setelah periode pengamatan ini, rencana interview dikembangkan, yang terdiri
dari lima pertanyaan kunci berkaitan dengan tujuan utama penelitian ini. Untuk tahapan ini,
orang dengan posisi yang strategis dipilih untuk diwawancarai. Semakin tinggi posisi yang
dipilih semakin informasi yang diinginkan bisa diklasifikasikan, sehingga akses yang tidak
dibatasi terhadap data yang dimaksud adalah relevan.Jadi, terutama manajer dan beberapa
orang yang terlibat dengan proses alih teknologi diwawancarai. Prosedur semacam ini
memungkinkan keaslian yang lebih besar terhadap data yang dikumpulkan pada scenario
yang riil dan analisisnya karena hal ini dilakukan dengan sampel yang non-probabilistik.Hasil
pengukuran akan disajikan dalam bentuk penyajian dan analisa hasil pengukuran sehingga
dapat ditarik kesimpulan status model pengukuran proses alih teknologi di Pusat Inovasi
LIPI.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pusat Inovasi merupakan salah satu organisasi di LIPI yang mengalami banyak
perkembangan dan perubahan selama 5 tahun kebelakang. Demikian pula dengan proses alih
teknologi yang dilakukan oleh Pusat Inovasi, perubahan terjadi saat Pusat Inovasi memililiki

127

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

fasilitas gedung inkubator dan workshop di tahun 2013.

Dari hasil wawancara dapat

digambarkan bahwa proses alih teknologi yang dilakukan Pusat Inovasi tahun 2011-2013,
mengacu pada 5 stage gate (Cooper, 1990) namun hingga tahap Pre Commercialisation
Business Analysis saja.

Gambar 1. Dimodifikasi dari A Five-Stage, Five Gate Game Plan Along With Discovery And Post Launch
Review
Sumber:Cooper R. G., Stage-Gate Systems: A New Tool for Managing New Products, 1990

Proses alih teknologi Pusat Inovasi pada tahun 2011 2013 digambarkan sebagai berikut
(gambar2).

Gambar 2. Proses Alih Teknologi Pusat Inovasi 2011 - 2013


Sumber:Ilustrasi peneliti

128

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

129

Pusat Inovasi - LIPI

Proses alih teknologi yang dilakukan oleh Pusat Inovasi terbagi menjadi 2 yakni
komersialisasi dan diseminasi. Keduanya memiliki impact yang besar, namun berbeda dari
segi target, output dan outcome-nya. Kondisi yang dihadapi Pusat Inovasi saat itu masih
cukup sulit, tantangan yang ada adalah :

Proses alih teknologi komersial melalui inkubasi tanpa adanya fasilitas bangunan
inkubator membuat tingkat kesuksesannya sangat rendah.

Proses

pengelolaan

Kekayaan

Intelektual

(KI)

tidak

dilengkapi

dengan

penilaian/valuasinya sehingga sulit diketahui apakah teknologi tersebut berpotensi


komersial atau hanya untuk dimanfaatkan masyarakat (non komersial).

Pengukuran dilakukan hanya pada capaian kegiatan bidang tidak pada outcome.

Setelah Pusat Inovasi memiliki fasilitas gedung inkubator dan workshop proses alih teknologi
yang dilakukan oleh Pusat Inovasi LIPI adalah sebagai berikut (lihat gambar 3).

Gambar 3. Proses Alih Teknologi di Pusat Inovasi LIPI


Sumber : Panduan Seleksi Kegiatan Inkubasi Teknologi LIPI 2015

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Melaluiobservasi partisipatif, diskusi dan wawancara mendalam dengan para pelaku alih
teknologi di Pusat Inovasi dan beberapa kolega terkait, maka skema konsep alih teknologi di
Pusat Inovasi perlu dilakukan perubahan atau penyesuaian, karena pada skema sebelumnya
ada beberapa proses dan kegiatan yang belum terfasilitasi. Kegiatan yang belum
tergambarkan adalah proses alih teknologi komersial dan non komersial, seleksi,
matchmaking, bantuan langsung teknologi dan pelatihan technopreneurship. Penyesuaian
skema dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Penyesuaian Skema Proses Alih Teknologi di Pusat Inovasi LIPI


Sumber:Ilustrasi peneliti

130

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dalam studi ini akan difokuskan pada kegiatan alih teknologi yang sifatnya komersial dan
bertahap, yaitu melalui Inkubator Teknologi LIPI. Kegiatan alih teknologi di dalam inkubator
ini meliputi 3 aktivitas utama yaitu : Seleksi, Pra Inkubasi dan Inkubasi.
Tabel 1. Matriks Kegiatan Inkubasi Teknologi
Tahapan
Seleksi

Pra Inkubasi

Inkubasi

Kegiatan Kunci
Promosi kepada stake holder LIPI untuk
mengikuti program Inkubasi
Pendaftaran
Seleksi Administrasi
Seleksi Presentasi
Scaling up

Indikator Keberhasilan
Jumlah Peserta

Validasi Teknis
Melakukan perhitungan teknoekonomi dan
assessment terhadap pasar

Scaling up

Sertifikasi dan Ijin edar produk

Jumlah Peserta
Kualitas Peserta yang lolos seleksi
Kualitas Peserta yang lolos seleksi
Jumlah produk scaling up terstandar
yang layak
Sertifikat uji kelayakan
Perhitungan teknoekonomi (harga
terjangkau, margin relatif tinggi, BEP
singkat) dan assessment yang dapat
menarik investor
Jumlah produk scaling up terstandar
dan lolos QC
Perolehan sertifikat dan ijin edar
Penerimaan pasar terhadap produk
Omzet penjualan

Uji pasar
Pemasaran produk

Model Pengukuran Proses Alih Teknologi


Komponen utama dalam model pengukuran adalah Tahapan kegiatan, kegiatan kunci, hasil
pelaksanaan kegiatan dan indikator keberhasilan. Pengukuran dilakukan dengan mengamati
hasil pelaksanaan kegiatan dengan melihat target dan indikator keberhasilan. Hasil
pengukuran adalah laporan hasil pengukuran dan rekomendasi yang menjadi input dalam
aktivitas monitoring dan evaluasi dan menjadi dasar melakukan tindak lanjut. Selanjutnya
model pengukuran dapat digambarkan sebagai berikut (gambar 5).

131

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 5. Model PengukuranProses Alih Teknologi di Pusat Inovasi LIPI


Sumber:Ilustrasi peneliti

Ada dua studi kasus yang menjadi objek penelitian ini. Studi kasus pertama adalahProduk
Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk Nanosilver sebagai Bahan
Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri. Studi kasus kedua adalah Pembuatan
Sediaan Nanoemulsi Krim Anti-Selulit Dengan Kombinasi Ekstrak Pegagan Dan Jahe.
Berikut hasil pengukuran yang telah dilakukan (gambar 6 dan 8).

132

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 6. Hasil pengukuran pada studi kasus 1. produk pengembangan tahapan komersialisasi hasil litbang
produk nanosilver sebagai bahan nano medisinal yang memiliki sifat antibakteri
Sumber:Ilustrasi peneliti

Gambar 7. Produk Toileteries menggunakan bahan aktif nanosilver


Sumber:dokumentasi peneliti

133

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 8. Hasil pengukuran pada studi kasus 2. pembuatan sediaan nanoemulsi krim anti-selulit
dengan kombinasiekstrak pegagan dan jahe
Sumber:Ilustrasi peneliti

Gambar 9. Produk kosmetik menggunakan bahan aktif ekstrak pegagan dan jahe
Sumber:dokumentasi peneliti

134

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dalam melakukan proses alih teknologi
Pusat Inovasi tidak hanya perlu menyelesaikan kegiatan kunci-nya saja tetapi perlu
melakukan hal yang lebih detail seperti pengukuran terhadap hasil. Model yang dihasilkan
dalam penelitian ini cukup sederhana untuk dapat dengan mudah diterapkan dalam satuan
kerja ini.
Untuk dapat menerapkan model pengukuran ini, Pusat Inovasi perlu mengupdateSkema alih teknologi sesuai hasil pengamatan dan analisis dalam penelitian ini, selain
itu perlu ditetapkan kegiatan kunci dan indikator keberhasilan di masing-masing tahap proses
alih teknologi.
Masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk proses alih teknologi lainnya yang
dilakukan oleh Pusat Inovasi LIPI.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada struktural Pusat Inovasi
LIPI dan peneliti pada kegiatan produk pengembangan tahapan komersialisasi hasil litbang
produk nanosilver(Joddy Arya Laksmono ST., MT.) serta peneliti pada kegiatan pembuatan
sediaan nanoemulsikrimanti-selulit dengan kombinasiekstrak pegagan dan jahe (Dr. Yenny
Meliana) yang telah berkontribusi besar dalam memberikan keterangan dalam wawancara
mendalam pada kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
A. L., Joddy, 2015, Laporan Kegiatan Inkubasi Komersialisasi Hasil Litbang Produk Nanosilver.
Cooper R. G., 1990, Stage-Gate Systems: A New Tool for Managing New Products.
D. A. Simarmata, 1983, Operation Research Sebuah Pengantar, Jakarta, PT. Gramedia Pustakan
Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, Buku II Modul Keterampilan Berbicara dan
Pengajarannya.
Khadem, M., 2014, Impact Of Knowledge Management in Technology Transfer Projects from R&D
Centers To Industry.

135

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Lima, I. A., 2004,Estrutura de referncia para a transferncia de tecnologia no mbito da cooperao


universidade-empresa: estudo de caso no CEFET-PR. Tese (Doutorado em Engenharia de
Produo) Universidade Federal de Santa Catarina, Florianpolis.
M., Yenny, 2015, Laporan Kegiatan Pra Inkubasi Pembuatan Sediaan NanoemulsiKrimAnti-

Selulit Dengan KombinasiEkstrak Pegagan Dan Jahe.


Peraturan Pemerintah Nomor 20, 2005, Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan.
Pusat Inovasi LIPI, 2015, Panduan Seleksi Kegiatan Inkubasi Teknologi LIPI.
Risdon, P., 1992, Understanding the Technology Transfer Process, Wallacaville animal research
centre, 1-6.
Torgerson, W. S., 1960, Quantitative Judgement Scales, Psychological Scaling: Theory and
Applications, New York: Wiley.

136

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 03

PENGEMBANGAN WILAYAH SEMBURAN LUMPUR


UNTUK KUTUB PERTUMBUHAN BISNIS DAN
PEREKONOMIAN DAERAH
Djoko Sunarjanto*, Jonathan S. Hadimuljono*, Indah Crystiana*, Joko Priyanto**,
dan Gregorius S. Sule**
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, Jakarta*, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT**
djokos02@lemigas.esdm.go.id, jonathansh@lemigas.esdm.go.id, indahc_10@yahoo.com,
jokopriyanto176@yahoo.com, dan sebastiangregorius@ymail.com

ABSTRAK
Hasil inventarisasi lokasi semburan lumpur atau mud flow,tersebar di beberapa
wilayah Indonesia baik di pulau besar maupun di beberapa pulau kecil. Jumlah semburan
lumpur tersebut lebih kurang 250 lokasi, dapat berkurang atau bertambah sesuai dinamika
alam dan dapat dipicu oleh aktivitas manusia.Keberadaan semburan lumpur sebagai salah
satu aktivitas kebumian tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sumberdaya yang
bermanfaat bagi bisnis, perekonomian dan lingkungan melalui integrasi penerapan IPTEK
yang tepat.Maksud dan tujuan penelitian untuk mempercepat pengembangan lokasi semburan
lumpur menjadi lokasi bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai kutub pertumbuhan
perekonomian baru, dikembangkan menjadi katalisator bisnis dan perekonomian suatu
daerah. Penelitian dilakukan dengan analisis semi kuantitatif, analisis geologi lingkungan dan
teknologi remote sensing,diaplikasikanpada lokasi terpilih keberadaan semburan lumpur.
Hasil penelitian, pengembangan wilayah semburan lumpur berpeluang memanfaatkan
lahan-lahan potensial. Mengacu pada alih teknologi dari pengembangan wilayah gunung api
sebagai analogi yang relevan, untuk diterapkan pada wilayah semburan lumpur. Diperlukan
penataan dan pengemasan wilayah semburan lumpur sebagai potensi bisnis, agar mampu
dikelola secara berkelanjutan. Contoh studi kasus: Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan,
Jawa Tengah, dan rencana pengembangan wilayah terpilih, yaitu Pulau Semau di Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pengembangan perekonomian Pulau Semau untuk
menambah percepatan bisnis dan perekonomian daerah Kupang dan sekitarnya (pariwisata,

137

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

138

Pusat Inovasi - LIPI

industri, pertanian dan perikanan, serta energi baru terbarukan) dilakukan secara terintegrasi
pada lokasi semburan lumpur dan sekitarnya.
Kata kunci: semburan lumpur, bisnis dan perekonomian daerah

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semburan lumpur dapat saja muncul setiap waktu di permukaan bumi di wilayah jalur
gunungapi maupun di sekitar lokasi geologi yang struktur batuan dan tanahnya rentan
terbentuk zona lemah dan rekahan. Data menunjukkan sejumlah lokasi semburan lumpur di
Indonesia, sering terjadi pada satu lokasi terdapat beberapa semburan lumpur. Munculnya
semburan lumpur sesuai dinamika alam juga dapat dipicu oleh aktivitas manusia. Menurut
Davies, 2007; pertanyaan dasar yang terus tertinggal tentang semburan lumpur; (a) Apakah
cairan dan lumpur datang dari lapisan batuan yang sama, atau cairan terbawa dari bagian
dalam bumi melalui lapisan-lapisan pembawa lumpur. (b) Bagaimana pasokan lumpur dan
cairan melalui sistem pipa dan mengalir ke permukaan bumi secara berkelanjutan. (c) Apakah
arsitektur tiga dimensi dari sistem pasokan dan bagaimana semburan lumpur berkembang
sesuai waktu.
Perbedaan tingkat kematangan termal yang signifikan menunjukkan bahwa erosi
terhadap sedimen bawah permukaan di lokasi erupsi lumpur semakin menuju ke arah lebih
dangkal. Dikhawatirkan kondisi ini berpotensi terjadinya bencana akibat runtuhnya
permukaan tanah di daerah lokasi erupsi lumpur dan sekitarnya (Widiarto FX, dkk., 2010).
Untuk itu diperlukan monitoring keberadaan semburan lumpur di suatu wilayah, karena
dikhawatirkan membesarnya semburan ataupun dampak lanjutannya terjadi penurunan
permukaan tanah atau subsidence.Data LEMIGAS, 2015, lokasi semburan di Pulau Timor
bagian barat berjumlah 40 (empat puluh) lokasi, 4 (empat) diantaranya berada di Pulau
Semau. Adanya potensi gangguan dan ancaman bahaya alam semburan lumpur, dioptimalkan
untuk dimanfaatkan menjadi peluang inovasi dan bisnis yang berkelanjutan, sehingga
menimbulkan

multipler

effect

bagi

perkonomian

dan

bisnis

daerah.

Alih

teknologipengembanganlokasi semburan Pulau Semau yang berorientasi bisnis, dengan

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

penanganan geologi lingkungan gunung api atau semburan lumpur di tempat lain,
dikompilasi dengan potensi dan kekurangan serta kebutuhan Pulau Semau dan sekitarnya.
Satu hal

penting semangat

bersama

Pemerintah Kabupaten Kupang dan

masyarakatnya untuk merencanakan pengembangan perekonomian Pulau Semau, antara lain


pertanian, budidaya rumput laut dan perikanan, sebagai modal dasar pengembangan
selanjutnya. Beberapa potensi perekonomian yang sudah dianalisis selama ini, didorong
bersama mempromosikan semburan lumpur sebagai momentum untuk mendorong
pengembangan bisnis dan perekonomian. Selain itu diinventarisasi potensi lainnya lagi untuk
mempercepat pengembangan Pulau Semau.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penelitian untuk mempercepat pengembangan lokasi semburan
lumpur menjadi lokasi bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai kutub pertumbuhan
perekonomian baru, dikembangkan menjadi katalisator bisnis dan perekonomian suatu
daerah, termasuk Semau dan sekitarnya Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Timur.

METODOLOGI
Pada saat ini perkembangan pembangunan Kota Kupang sangat pesat, namun masih
banyak keterbatasan seperti; belum tersedianya tempat wisata alam, kurangnya pasokan
bahan makanan, termasuk kekurangan pasokan buah dan sayuran. Pulau Semau sejak dulu
penghasil ikan dan rumput laut dan hasil laut lainnya, pemasok buah dan sayur untuk
Kupang. Dalam pengembangan Semauperlu dilindungi lahan-lahan berair dari pembangunan
infrastruktur.
Aplikasi pemanfaatan gunung api untuk kesejahteraan masyarakat, mampu hidup
bersama dalam wilayah cincin api dan hidup harmonis dengan Tambora (Rachmat dkk.,
2014) (10) menginspirasi alih teknologi penanganan gunung api untuk penanganan semburan
lumpur Pulau Semau. Sebagai contoh lainnya pemanfaatan semburan lumpur Bledug Kuwu
di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, menjadi lokasi wisata dan industri garam rakyat
(Gambar 1). Kondisi alam Bledug Kuwu sudah terbentuk sejak lama, saat ini terus
berlangsung semburan lumpurnya, dan masyarakat sekitarnya hidup harmonis.

139

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai obyek wisata
dan industri garam rakyat (Foto; Suseno, 2015)
Geologi Lingkungan: Dalam penelitian geologi lingkungan, mampu melakukan
evaluasi lingkungan dan kebencanaan geologi. Termasuk menjadi salah satu unggulan
adalah; Geologi untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat (Pusat Survei Geologi,
2011). Karakteristik pantai menggambarkan keragaman proses morfologi, dimana perubahan
karakter spasialnya sebagai hasil interaksi dari oseanografi (gelombang-arus pantai) terhadap
geologi (resistensi batuan) dan aspek antropogenik atau aspek intervensi manusia
(Geurhaneu, 2013). Namun demikian morfologi daratan, yang bukan wilayah pantai, proses
geomorfologi yang mengakibatkan terjadinya perubahan permukaan bumi mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap kegiatan pertanian. Keseimbangan lereng bukit, erosi
tanah, pergerakan air dan tanah selama musim hujan, banjir, dan kegiatan irigasi
berhubungan dengan skala waktu geologi terkecil dan dapat dijadikan contoh untuk
memprediksikan bagaimana sebuah lahan, dalam hal ini sebuah lahan pertanian akan berubah
termakan waktu. Hal tersebut bisa membantu untuk memahami bagaimana dampak pertanian
terhadap kondisi tanah, makin banyak pemakaian tanah maka akan berakibat semakin banyak
erosi tanah(Farajat, et al, 2015).
Secara sosial ekonomi dalam pengembangan wilayah perlu adanya penyesuaian untuk
menghadapi dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti pertambahan penduduk
yang ditunjukkan dengan adanya pengembangan pemukiman dan berkembangnya pola
pengunaan lahan maka perlu ruang yang memadai. Pendeteksian dan identifikasi obyek-

140

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

obyek yang penting tersebut dapat diuraikan dalam data citra satelit. Deteksi obyek dapat
dilakukan berdasarkan karakteristik spektral yang ditunjukkan pada rona/ warna pada citra.
Identifikasi penutup lahan dapat dilakukan berdasarkan karakteristik tingkatan rona (gray
tone) sesuai dengan nilai spektral pantulan obyeknya, karakteristik ukuran, bentuk, pola
tekstur, dan asosiai, yang merupakan karakteristik spasial dan juga didasarkan pada
pengenalan unsur dasar pantulan obyek (tanah, air, dan vegetasi). (Berhitu PT, 2011).
Penggunaan data citra satelit dalam pengembangan wilayah semburan lumpur ini dapat
membantu dalam kecepatan waktu perolehan data dasar fisik wilayah, optimalisasi survey
dan perencanaan pengembangan, minimalisasi resiko kecelakaan, menekan biaya, dan
optimalisasi potensi fisik lainnya, selain semburan lumpur yang dapat menjadi paket dalam
pengembangan secara ekonomi dan ekologi(Christina, 2008).Selain digunakan untuk
mengetahui dinamika sosial ekonomi wilayah data citra dapat menjelaskan karakteristik dari
kondisi fisik struktur geologi. Struktur-struktur yang dihasilkan dapat berupa kekar (joint),
sesar (fault), dan lipatan (fold), dan lineasi (lineation). Kehadiran kekar dan sesar pada batuan
bisa memperlemah kekuatan (strength) batuan, sedangkan pergeseran sesar (tektonik) dapat
menimbulkan gempa bumi, tsunami, erupsi vulkanik dan longsoran tanah yang merupakan
fenomena destruktif bagi kehidupan manusia. Dimana segmen kelurusan yang terdeteksi pada
citra sebagian besar merupakan pola aliran sungai dan perbukitan(Massinai, 2013). Kelurusan
sendiri didefinisikan sebagai kenampakan linier sederhana atau kompleks di permukaan bumi
yang terpetakan, mempunyai kenampakan lurus atau melengkung, dapat dibedakan dengan
kenampakan di sekitarnya, dan diduga merupakan gejala bawah permukaan (OLeary et al,
1976 dalam Christina, 2008). Interpretasi struktur geologi dengan mendeliniasi pola
kelurusan sebagai data dasar tektonik Pulau Semau nantinya digunakansebagai salah satu
data dasar geologi lingkungan untuk merencanakan pengembangan wilayah.
Guna mencapai tujuan penelitian dilakukan tahapan dan metode sebagai berikut;
- Penelitian dilakukan dengan analisis semi kuantitatif data penelitian lapangan semburan
lumpur Tahun 2015 di Pulau Semau dan data sekunder sebagai pendukung.
- Aplikasi teknologi remote sensing dan analisis geologi lingkunganpada lokasi terpilih
keberadaan semburan lumpur, sebagai data dasar pengembangan wilayah pulau dan
pantai.

141

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

142

Pusat Inovasi - LIPI

Hasil analisis Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) setidaknya bermanfaat


terhadap 2 (dua) hal;
Untuk analisis geologi lingkungan dan inventarisasi studi

potensi bencana Pulau

Semau; semburan lumpur, longsor, kekeringan dan lainnya. Analisis dilakukan dengan
menggabungkan (fusi) data Citra Landsat TM dan SRTM.
Mendukung data dasar pengembangan wilayah Semau dan sekitarnya menjadi kawasan
perekonomian dan bisnis, sekaligus data penyajian informasi dan promosi Pulau Semau
berbasis teknologi informasi.
- Studi kasus beberapa lokasi dan kasus semburan lumpur, serta terjadinya harmoni
kehidupan pada wilayah bencana gunung api, diaplikasikan pada pengembangan
perekonomian Pulau Semau.
- Munculnya semburan lumpur sebagai momentum percepatan bisnis dan perekonomian
daerah Semau - Kupang dan sekitarnya.
- Penyusunan rekomendasi pengembangan wilayah Pulau Semau dan sekitarnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Usaha mempercepat pengembangan wilayah semburan lumpur untuk kutub
pertumbuhan bisnis dan perekonomian di Pulau Semau yaitu dengan mempertimbangkan dan
memperhatikan

permasalahan-permasalahan

yang

ada

di

daerah

penelitian.

Dari

permasalahan awal geologi lingkungan yang ada terdapat dua masalah yang menjadi
perhatian, yaitu masalah semburan lumpur sebagai potensi dan masalah pasokan dan sumber
air sebagai kendala yang harus dikendalikan.
Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan, terdapat 2 (dua) lokasi semburan lumpur di
Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang (Tabel 1). Material semburan yang dikeluarkan dari
Lokasi Uiasa-1 adalah lempung, disemburkan dengan ketinggian berkisar 1 - 2 meter dengan
radius 100 meter.Sedangkan dari lokasi semburan Uiasa-2 dan Uiasa-3, ketinggian semburan
mencapai 1-4 meter, dan radius semburan 100 -200 meter, dengan arah penyebaran kearah
Utara. Penyebarannya mencapai kawasan pertanian masyarakat, sehingga 2 hektar wilayah
pertanian terkena material lumpur (mendekati jalan raya penghubung Semau Utara dan
Semau Selatan). Hasil pemantauan semburan lumpur yang berada di Desa Hansisi,
Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, didapatkan 1 (satu) titik semburan.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1: Lokasi Semburan Lumpur Pulau Semau, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
LOKASI

KOORDINAT

DIMENSI

Desa Uiasa, 101114,0 LS


Kec.Semau, dan
Kab.Kupang 1232717,0BT

ketinggian semburan
1-2 meter, radius 100
meter

Desa
10 11 0,58 LS
Hansisi,
dan
Kec.Semau, 123 27 16,8 BT
Kab.Kupang

ketinggian semburan
1-4 meter, radius 100
-200 meter

(a)

KETERANGAN
Terdapat 3 (tiga) lokasi.
Lokasi di selatan Embung
Samaliangdekat jalan
penghubung Kec. Semau
dengan Kec.Semau Selatan
Terdapat 1 (satu) lokasi.

(b)

(c)
(d)
Gambar2. Material berupa lempung padasemburan lumpur di Desa Uiasa (a).Sebaran
semburan lumpur (b). Rekahan yang terbentuk di Uiasa (c). Semburan yang masih aktif di
Hansisi (d).
Pada Gambar 2a dan 2b, merupakan gambaran material (lempung) dan hamparannya
akibat adanya semburan lumpur. Sedangkan dampak yang mengakibatkan adanya rekahan
tanah di sekitar pusat semburan (2c). Rekahan mengarah ke pusat semburan sehingga
sebagian tanah embung retak.Semburan lumpur di Hansisi merupakan semburan lumpur yang
masih aktif, namun tidak memiliki skala yang besar (Gambar 2d).

143

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Permasalahan utama lain wilayah Semau sebagai pulau kecil di Indonesia Timur
adalah masalah pasokan dan sumber air. Sehingga sejak perencanaan pengembangan harus
benar-benar diperhatikan masalah manajemen air. Dalam manajemen air tersebut dilakukan
dengan melindungi lahan-lahan berair dari pembangunan infrastruktur. Perlindungan tehadap
lahan-lahan berair tersebut berarti suatu tindakan perlindungan terhadap penyediaan sumber
air; membantu pengisian air tanah; membantu menyaring dan membersihkan air;
perlindungan terhadap habitat dan hewan-hewan liar khusus serta tempat perkembangbiakan
ikan-ikan; dan lahan berair berupa tanaman bakau akan melindungi dasar air (Hartmann dan
Unger, 2015). Lahan-lahan berair di Pulau Semau dapat didekati dari tata guna dan tutupan
lahan yang berkembang. Identifikasi tata guna dan tutupan lahan dilakukan dengan
menggunakan citra Landsat TM 432 (Gambar 3).

Sumber data: www.usgs.gov/pubprod

Gambar 3.Data Citra Landsat TM Combinasi Band 432


Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat TM 432 menunjukkan bahwa tata guna dan
tutupan lahan di Pulau Semau berupa hutan, ladang, kebun, semak belukar, lahan terbuka,
dan permukiman (Gambar 4). Dimana sebagian besar Pulau Semau berupa semak belukar
yaitu sebesar 36.6 % (81.38 km2), luasan terbesar kedua setelah hutan 44% (97.8 km2).

144

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 4. Hasil Interpretasi Tata guna dan tutupan lahan Pulau SemauMenggunakan Data
Citra Satelit Landsat TM 432
Hasil interpretasi fusi data Citra Landsat TM 432 dan SRTM dapat diidentifikasi
adanya dua pola umum struktur geologi yang dalam citra ditunjukkan dengan adanya pola
kelurusan (lineament), yaitu pola kelurusan yang berarah relatif NE-SW dan pola yang
berarah relatif B-T (Gambar 5). Kelurusan rekahan dari data citra bermanfaat untuk analisis
dan prediksi arah perkembangan semburan lumpur. Selain itu dalam konteks penelitian ini
kelurusan merupakan kelurusan topografi yang mengikuti punggungan perbukitan untuk
menentukan lokasi rawan bencana kekeringan, longsoran, pengaturan aliran air berkaitan
dengan manajemen air, serta perencanaan lokasi energi baru terbarukan.

145

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

(a) (b)
Gambar 5. Fusi Data Citra SRTM dan Landsat TM 432.Sumber data:
www.usgs.gov/pubprod (a);
Hasil Interpretasi Kelurusan (lineament) Berdasarkan Data Citra (b)
Berdasarkan analisis data dasar, kebutuhan masyarakat Kota Kupang dan Kabupaten
Kupang akan adanya kawasan wisata, serta kondisi alam dan potensinya, disarankan Pulau
Semau dikembangkan menjadi kawasan wisata lingkungan. Tentu saja melanjutkan
pengembangan potensi laut, pengembangan pertanian, perikanan dan kelautan. Khusus untuk
pengembangan wisata alam disarankan mengembangkan wisata ramah lingkungan. Selaras
dengan pendapat Droege, 2009: Dalam menangani jalur wilayah mitigasi berwawasan
lingkungan; satu kasus penting yang memberikan prioritas lebih untuk para pejalan kaki dan
pengendara sepeda. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan daya tarik serta mendukung
kegiatan berjalan kaki dan pengendara sepeda sebagai transportasi alternatif. Sasaran yang
dituju adalah kepadatan, kualitas yang baik, serta penyedia jaringan infrastuktur untuk para
pejalan kaki dan pengendara sepeda.
Hasil interpretasi yang ditumpangsusunkan (overlay) dengan analisis penggunaan
lahan dan tutupan lahan digunakan untuk menentukan pengembangan jalan wisata ramah
lingkungan, perencanaan wisata daratan guna mendukung wisata laut, dan penataan kembali
tata ruang Pulau Semau. Dilakukan perencanaan terintegrasi hingga pelaksanaan dan

146

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

monitoring

pembangunan

infrastruktur

berwawasan

lingkungan,

mengembangkan

transportasi ramah lingkungan dan hemat energi fosil dan hemat air. Guna mengurangi beban
dari bangunan sarana-prasarana sampai hasil budidaya manusia harus sudah dikondisikan
agar tidak membebani wilayah sekitar lokasi semburan lumpur.
Perlu kemitraan strategis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk
pengembangan migas KTI (LEMIGAS, 2015). Jika diperlukan dapat melalui pola kemitraan
membangun Inovasi Pulau Semau Menyapa Indonesia. Termasuk upaya meningkatkan
kerjasama 3 (tiga) pilar; antara Pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga litbang
kementerian/lembaga, dan perguruan tinggi. Di dalam dokumen Master Plan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) disebutkan bahwa Pengembangan Inovasi produk
suatu invensi melibatkan 3 (tiga) pelaku utama dalam sistem inovasi nasional, yaitu; (a)
pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator; (b) pelaku usaha/industri sebagai
pengguna hasil invensi; dan (c) lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai
penghasil produk invensi (Saleh, R., 2012). Dalam penelitian ini sudah diawali keterlibatan 3
(tiga) pilar. Pilar pertama; Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Kupang,
dan Pemerintah Kota Kupang. Kedua; Pelaku usaha

sudah mulai dikoordinir oleh

Pemerintah Kota Kupang. Pilar ketiga; Lembaga Penelitian; Puslitbang Teknologi Migas
LEMIGAS Kementerian ESDM dan Universitas Nusa Cendana.

KESIMPULAN
Dihasilkan data dasar penyusunan pengembangan Pulau Semau sebagai kawasan
perekonomian dan bisnis;
- Hasil interpretasi citra landsat TM 432 menunjukkan bahwa tata guna dan tutupan lahan di
Pulau Semau berupa hutan, ladang, kebun, semak belukar, lahan terbuka, dan
permukiman. Sebagian besar Pulau Semau berupa semak belukar yaitu yaitu sebesar 36.6
% (81.38 km2), luasan terbesar kedua setelah hutan 44% (97.8 km2).
- Terdapat 4 (empat) lokasi semburan lumpur, perlu ditata agar tidak menimbulkan bencana
susulan, namun bermanfaat menambah aset perekonomian dan bisnis daerah. Diperlukan
monitoring semburan lumpur Pulau Semau, utamanya di Uiasa.
- Menyusun

program

percepatan

pengembangan

Pulau

Semau,

memprioritaskan

membangun wisata alam, dengan obyek wisata semburan lumpur, pantai dan budidaya

147

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

binatang laut dan kebun tanaman buah. Pembangunan infrastruktur berwawasan


lingkungan, mengembangkan transportasi ramah lingkungan dan hemat energi fosil dan
hemat air.
- Mendorong peran serta swasta dan lembaga litbang serta perguruan tinggi untuk
merealisasikan rencana pengembangan perekonomian dan bisnis, dengan tetap di bawah
kendali Pemerintah. Termasuk sebagai lokasi kegiatan penelitian pengembangan energi
baru terbarukan.
- Pengemasan dan penyajian data pengembangan wisata alam Pulau Semau berbasis
teknologi informasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.Bambang Widarsono, M.Sc.,
selaku Peneliti Utama dan Kepala Pusat PPPTMGB LEMIGAS yang telah memberikan
kesempatan penulis melakukan inventarisasi rembesan migas daerah Timor dan penelitian
semburan lumpurnya. Terima kasih kepada Bapak Ir.Thobias Uly, M.Si., selaku Kepala
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta instansi terkait yang
sudah memberikan ijin penelitian di Wilayah Timor Barat. Terima kasih kepada kawankawan Kelompok Penginderaan Jauh dan SIG LEMIGAS yang telah membantu penyediaan
data dan informasi sehingga proses penelitian dan penyusunan ini dapat diselesaikan.

148

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Berhitu, PT.2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai
Kota Ambon Sebagai Kota Pantai.Jurnal Teknologi. Volume 8 Nomor 2. 2011; 948 - 957
Christina, I. 2008. Identifikasi Penampakan Sesar Aktif dengan Menggunakan Citra dan Metode SIG,
Studi Kasus : Solok dan sekitarnya, Sumatera Barat). Tesis S-2. Institut Teknologi Bandung.
Davies, R. J., Swarbrick, R. E., Evans, R. J., and Huuse, M., 2007, Birth of a mud volcano: East Java,
29 May 2006. GSA: v. 17, no. 2, doi: 10.1130/GSATO1702A.1.
Droege, P. 2009. Urban Energy Transition From Fossil Fuels to Renewable Power. Elsevier B.V.
ISBN: 978-0-08-045341-5.
Farajat Mohammad A., Alsharifa Hind Mohammad, Abdullah Diabat, and Hassan Al Ibraheem, 2014,
Developing a Land Suitability Index for Agricultural uses in Dry Lands from, Geologic Point
of View Using GIS - a Case Study from Jordan, Indonesian Journal on Geoscience Vol. 2 No.
2 August 2015: 63-76.
Geurhaneu Nineu Y., 2013, Coastal Characteristics of Papela and Adjacent Area, Rote Islandd, East
Nusa Tenggara, Bulletin of The Marine Geology, Vo. 28, No. 1, June 2013, Marine
Geological Institute, Bandung, ISSN 1410-6175.
Hadimulyono, Jonathan S., 2015, Kajian Potensi Hidrokarbon Timor Barat, Presentasi Hari
Nusantara, Universitas Cendana, Kupang, September 2015.
Hartmann E. dan Unger, H., 2015, Baik dan Buruk Pengelolaan Lingkungan, Bank Dunia Jakarta,
PNPM Support Facilities (PSF), Jakarta.
LEMIGAS, 2015, Kemitraan Strategis Pengembangan Migas Kawasan Timur Indonesia, Badan
Penelitian dan Pengembangan ESDM - Universitas Nusa Cendana, Hari Nusantara di
Kupang, 21 Agustus 2015.
Massinai, MA., 2013, Pengkajian Citra Penginderaan Jauh Dalam Fenomena Geologi Di Gunung
Bawakaraeng, SEMINAR NASIONAL 2 nd Lontar Physics Forum 2013, LPF1344,
ISBN:978-602-8047-80-7
Pusat Survei Geologi, 2011, Geologi untuk Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat,
http://psg.bgl.esdm.go.id.
Rachmat, Heryadi, dkk., 2014, Tambora Menyapa Dunia, Kementerian ESDM, Badan GeologiMuseum Geologi, Bandung, ISBN 978-602-1704-42-4.
Saleh, R. 2012. Pengembangan Kawasan Inovasi Bauksit Sebagai Pusat Unggulan Dalam Rangka
Mendukung Pontianak Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Dalam Koridor 3 MP3EI,
Buletin Sumber Daya Geologi, Vol 7 Nomor 1, Mei 2012, ISSN 1979-7508
Widiarto, FX., dkk. 2010. Sidikjari Hidrokarbon Dalam Lumpur Porong. Sidoarjo. Jawa
Timur.Proceedings PIT IAGI Lombok 2010. The 39th IAGI Annual Convention and
Exhibition.
www.usgs.gov/pubprod/, 2015, Maps, Imagery, and Publications (diunduh, 27 Mei 2015).

149

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 04

POTENSI PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA SAWIT


BERDASARKAN JUMLAH PATEN TERDAFTAR DALAM
RANGKA ALIH TEKNOLOGI
Pradhini Digdoyo, V Susirani Kusumaputri
Pusat Inovasi Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia
pradhini_digdoyo@ymail.com

ABSTRAK
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang secara bergantian menjadi produsen minyak
kelapa sawit terbesar. Setelah sebelumnya berada di bawah Malaysia, Indonesia menjadi
produsen terbesar pada tahun 2006. Namun, untuk terus memimpin, bukan hanya produksi
yang perlu ditingkatkan, tetapi juga teknologi pengolahan harus dikembangkan menjadi lebih
efisien dan ramah lingkungan. Perkembangan teknologi dapat diamati melalui dokumen
paten. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi pengembangan teknologi mengenai kelapa
sawit di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi literatur, melalui analisis database dokumen paten. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada 1987-2014 Malaysia memiliki tiga kali lebih tinggi aplikasi paten
di bidang kelapa sawit daripada Indonesia. Kategori dominan dalam aplikasi paten kelapa
sawit Indonesia adalah produk derivatif (turunan) dan produk sampingan (40%) dan kategori
yang berjumlah paling sedikit adalah pangan (1%). Sedangkan di Malaysia, kategori dominan
dalam aplikasi paten kelapa sawit Malaysia adalah pengolahan minyak sawit (48%) dan
kategori paling sedikit adalah kosmetik (1%). Produk derivatif dan berdasarkan produk
sampingan berada di peringkat posisi kedua dengan 16%. Oleh karena itu, meskipun
Malaysia memiliki aplikasi paten lebih banyak, Indonesia berpotensi mengembangkan
teknologi dalam bidang produk derivatif dan produk sampingan untuk memperkuat industri
kelapa sawit nasional. Melalui pengembangan teknologi ini, pendaftaran paten dalam bidang
tersebut pun dapat ditingkatkan.

Kata Kunci: Alih Teknologi, Kelapa Sawit, Paten, Teknologi

150

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan Indonesia. Luas
perkebunan kelapa sawit dan hasil kelapa sawit terus meningkat sejak 20 tahun terakhir.
Dalam hal produksi minyak sawit, Indonesia bersaing dengan Malaysia. Pada tahun 2001,
produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia sebesar 7,97 ton, sedangkan produksi CPO
Malaysia telah mencapai 11,8 ton. Namun sejak tahun 2008, produksi CPO Indonesia sebesar
15,96 ton telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia sebesar 15,49 ton. Hingga saat
ini Indonesia masih memimpin dalam ekspor minyak sawit dunia. Namun, tingginya produksi
minyak sawit ini lebih disebabkan oleh luasan lahan sawit yang jauh lebih besar, bukan oleh
tingginya produktivitas lahan.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan Indonesia.
Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit tertinggi di dunia, dengan negara pesaing Malaysia.
Export share CPO Indonesia cenderung stabil pada tahun 2009 sampai 2011 sekitar 8,5%,
lalu meningkat mencapai 9,26% pada tahun 2012. Perlu diwaspadai akan menurunnya market
share CPO Indonesia di India, data menunjukkan penurunan terus sejak 2009 sebesar 44,93%
menjadi 38,72% pada tahun 2012. Sedangkan market share CPO Indonesia di Netherlands
menurun tajam pada tahun 2011 mencapai 16,97% lalu kembali meningkat pada tahun 2012
mencapai 26,80% hampir mencapai posisi awal pada tahun 2009 dan 2012 sekitar 27%
(Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2013).
Tingginya ekspor kelapa sawit Indonesia tersebut didukung oleh luasnya lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yakni hampir 4 juta hektar. Akan tetapi, luas area ini
tidak didukung dengan produktivitas lahan. Produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia
sebesar 3,11 ton/tahun, lebih rendah daripada produktivitas kebun kelapa sawit Malaysia
yaitu sebesar 3,66 ton/tahun. Produktivitas yang rendah tersebut disebabkan oleh masalah
teknik budidaya dan umur tanaman menghasilkan yang belum mencapai umur optimum
(Susila, 2004).
Peningkatan produkstivitas dapat dilakukan melalui perluasan lahan dan aplikasi
teknologi pengolahan kelapa sawit. Peningkatan melalui perluasan telah banyak dilakukan
dengan cara membuka lahan-lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut Syafrial
dkk. (2008), perluasan areal kelapa sawit Indonesia berdampak sangat baik terhadap
perkembangan pasar kelapa sawit Indonesia. Dan perluasan areal yang terbaik adalah sebesar

151

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

5 persen setiap tahunnya. Namun, data BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga
tahun 2014 telah terjadi peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit sebesa 300%.
Kenaikan lahan kelapa sawit yang proposional dengan daya dukung lingkungan dapat
menyebabkan gangguan terhadap ekosistem. Wujud nyata dari gangguan tersebut dapat
berupa banjir dan kebakaran hutan. Efek lain yang tidak langsung terlihat adalah gangguan
terhadap kelangsungan hidup dari flora dan fauna dalam ekosistem.
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan
kelapa sawit adalah melalui penerapan teknologi pengolahan kelapa sawit. Dalam hal
teknologi pengolahan kelapa sawit, industri hilir kelapa sawit Malysia berkembang lebih
pesat daripada Indonesia. Sebagai contoh, pabrik oleokimia di Malaysia mencapai 17 unit
dengan produksi 1,3 juta ton, sementara Indonesia hanya memiliki 8 unit dengan produksi
sekitar 0,8 juta ton. Hal ini merupakan salah satu penyebab industri kelapa sawit Malaysia
lebih tahan goncangan pasar internasional daripada industri kelapa sawit Indonesia. Oleh
karena itu, peran teknologi dalam mendukung dan mengembangkan industri kelapa sawit
menjadi semakin penting.
Produk utama yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit adalah CPO
yang merupakan hasil pengolahan dasar dari kelapa sawit. Pengolahan lebih lanjut dari
kelapa sawit dapat menghasilkan minyak masak, margarin, stearin, trigliserida, pelumas, dan
bahan bakar. Pengolahan kelapa sawit menjadi produk produk turunan lebih lanjut akan
meningkatkan nilai tambah dari kelapa sawit. Pengolahan tersebut memerlukan adanya
penguasaan teknologi yang memadai. Gambaran mengenai penguasaan teknologi dapat
diperoleh dari dokumen paten.
Dokumen paten memuat informasi mengenai cara menerapkan suatu teknologi serta
teknologi-teknologi pendahulunya. Melalui dokumen paten, perkembangan teknologi dalam
suatu bidang mudah untuk ditelusur darena setiap dokumen paten memiliki unsur kebaruan
dari teknologi-teknologi pendahulunya.

152

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
Kajian ini menggunaan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
literaturdengan menggali data dan informasi yang terkait dengan topik kajian. Hal itu
dilakukan melalui penelusuran informasi paten, analisis database dokumen paten,
memfokuskan pada pencarian jawaban atas masalah kajian dengan menelusuri informasi
yang terkait dengan topik dan permasalahan dari berbagai sumber tertulis, berupa buku-buku,
jurnal-jurnal, artikel atau tulisan-tulisan para ahli lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingginya ekspor kelapa sawit Indonesia didukung oleh luasnya lahan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia, yakni hampir 4 juta hektar. Namun luasnya lahan perkebunan
kelapa sawit dan peningkatan produksi kelapa sawit ternyata tidak diiringi dengan
peningkatan jumlah aplikasi paten di bidang kelapa sawit (Gambar 1). Sejak tahun 1987
hingga 2014, Malaysia memiliki jumlah aplikasi paten di bidang kelapa sawit tiga kali lebih
tinggi daripada Indonesia.
Pada tahun 2011 aplikasi paten Indonesia meningkat, salah satu penyebabnya karena
pada tahun tersebut diterapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai produk hilir industri
kelapa sawit yang mendorong industri untuk melakukan pengembangan teknologi. Kebijakan
Bea Keluar untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya untuk hilirisasi industri sawit
pertama kali dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang
Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan
tersebut diundangkan pada tanggal 15 Agustus 2011 dan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal
diundangkan (14 September 2011).
Peraturan Menteri Keuangan ini telah mengalami dua kali perubahan yakni dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2013 tanggal 16 Mei 2012 dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013. Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
mengenai tarif Bea Keluar ini tidak hanya berisi komoditi Minyak Sawit dan Produk
Turunannya, namun meliputi barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar. Meski PMK
128/PMK.011/2011 telah diubah dua kali, namun tidak ada perubahan tarif Bea Keluar

153

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

minyak sawit karena yang diubah dalam dua kali perubahan PMK tersebut adalah tarif Bea
Keluar produk mineral. Kebijakan ini sudah ditunggu pelaku usaha seiring pernyataan
pemerintah tentang hilirisasi industri sawit sehingga saat aturan ini berlaku respon pengusaha
dan eksportir minyak sawit sangat cepat. Bulan pertama pasca kebijakan (Oktober 2011) aksi
perusahaan sudah mulai berjalan.
Rendahnya aplikasi paten pada tahun-tahun lainnya merupakan indikasi dari
lemahnya kemandirian teknologi yang dimiliki. Hal ini dapat dipengaruhi oleh regulasi dan
tata kelola industri di Indonesia:
-

tidak ada roadmap industri sejak awal

UU Perkebunan menciptakan penguasaan korporasi besar dalam industri

industri bersifat oligoplikartel usaha.

tidak kompetetifnya industri di sektor hilir

adanya isu lingkungan


Perkembangan teknologi dalam suatu bidang, khususnya kelapa sawit, di suatu negara

dapat ditelusuri melalui dokumen paten. Perlindungan paten berlaku secara regional yang
berarti teknologi yang dipatenkan tersebut hanya dilindungi di negara tempat paten
didaftarakan. Namun kebaruannya diakui secara universal, yang berarti di manapun teknologi
tersebut dipublikasikan, teknologi tersebut dianggap sudah tidak baru dan tidak memenuhi
syarat untuk dimintakan perlindungan paten.
Dokumen paten dapat dijadikan acuan untuk menelusuri perkembangan suatu
teknologi karena dalam dokumen paten terdapat prior art yang merupakan teknologi
terdahulu. Setiap teknologi yang tertuang dalam dokumen paten memiliki kebaruan dan
kelebihan daripada teknologi pendahulunya. Pendaftaran dan pengurusan paten di Indonesia
dilakukan di DJHKI Kemenkumham, sedangkan lembaga yang berperan dalam pendafataran
dan pengurusan dokumen paten di Malaysia adalah Intellectual Property Corporation of
Malaysia atau MyIPO.

154

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Jumlah Paten Terdaftar


70
60
50
40
30
20
10
0

Malaysia

2013

2011

2009

2007

2005

2003

2001

1999

1997

1995

1993

1991

1989

1987

Indonesia

Gambar 1. Jumlah Paten Terdaftar

Rendahnya aplikasi paten di bidang kelapa sawit dapat menjadi indikasi bahwa
industri industri kelapa sawit di Indonesia belum mampu menghasilkan teknologi dalam
pengolahan kelapa sawit. Sangat mungkin sebagian besar teknologi yang digunakan berasal
dari asing. Penggunaan teknologi dari luar dapat menambah biaya produksi karena industri
harus membayar lisensi untuk teknologi tersebut. Penguasaan teknologi pengolahan kelapa
sawit akan mengurangi biaya produksi industri dan penggunaan teknologi yang
dikembangkan sendiri oleh industri, berpotensi meningkatkan produktivitas industri karena
teknologi yang dikembangkan sendiri akan lebih sesuai untuk diterapkan di industri
mengikuti permasalahan yang dihadapi.

Penyebaran Bidang Paten


400
300
200
100

Malayasia

Indonesia

Gambar 2. Penyebaran Bidang Paten


Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kategori bidang yang terdapat dalam
aplikasi paten di dua negara, maka dilakukan pengolahan data terhadap kategori bidang

155

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

aplikasi paten. Berdasarkan Gambar 2, kategori dominan dalam aplikasi paten kelapa sawit
Indonesia adalah produk derivatif (turunan) dan produk sampingan (3%) dan kategori yang
berjumlah paling sedikit adalah pangan (1%). Sedangkan di Malaysia, kategori dominan
dalam aplikasi paten kelapa sawit Malaysia adalah pengolahan minyak sawit (48%) dan
kategori paling sedikit adalah kosmetik (1%). Produk derivatif dan berdasarkan produk
sampingan berada di peringkat posisi kedua dengan 16%.
Dalam hal kategori bidang aplikasi paten, Indonesia lebih banyak terfokus dalam hal
produk sampingan dan turunan dari kelapa sawit, sedangkan Malaysia banyak melakukan
pengembangan teknologi di bidang utama yaitu pengolahan minyak kelapa sawit. Saat ini,
Indonesia memiliki produksi kelapa sawit yang tinggi karena didukung oleh luas lahan. Hal
ini dapat menyebabkan pengembangan teknologi di bidang pengolahan minyak kelapa sawit
tidak menjadi prioritas utama bagi industri. Industri lebih tertarik untuk mengembangakan
teknologi di bidang hasil sampingan dan turunan dari kelapa sawit karena dapat memberikan
nilai tambah yang lebih besar. Hal ini dapat menjadi hal yang positif bagi industri kelap sawit
nasional di Indonesia.
Namun, mengingat dampak lingkungan dari ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit,
industri kelapa sawit perlu meningkatkan riset di bidang pengolahan minyak kelapa sawit.
Sebaliknya, Malaysia memiliki luas lahan yang terbatas untuk perkebunan kelapa sawit
sehingga industri kelapa sawit harus mampu meningkatkan produksinya melalui cara lain
selain perluasan lahan. Maka, teknologi pengolahan minyak sawit pun banyak
dikembangkan. Hal ini dapat menjadi peluang bagi industri kelapa sawit nasional untuk terus
mengembangkan teknologi di bidang sampingan dan turunan kelapa sawit.

156

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

157

Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan Malaysia memiliki aplikasi paten lebih banyak
di bidang kelapa sawit, namun Indonesia berpotensi mengembangkan teknologi dalam bidang
produk derivatif dan produk sampingan untuk memperkuat industri kelapa sawit nasional.
Melalui pengembangan teknologi ini, pendaftaran paten dalam bidang tersebut pun dapat
ditingkatkan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih diberikan kepada Kedeputian bidang Jasa Ilmiah serta Pusat
Inovasi LIPI yang telah memberikan dukungan dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2013. Market Intelligence
Beberapa Komoditi Andalan Ekspor Indonesia. Jurnal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian Vol I No 1, Agustus 2013.
Susila.

2004.
Membandingkan
Industri
CPO
Malaysia.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr262047.pdf

Indonesia

dengan

Syafrial, Hery Toiba, Ajeng Oktarifka. 2008. Dampak Program Perluasan Areal Kelapa Sawit
Terhadap Pasar Kelapa Sawit Indonesia. AGRISE Volume VIII No. 2 Bulan Mei 2008.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 05

METODE PENDAMPINGAN INKUBATOR BISNIS YANG


EFEKTIF DALAM MENDAMPINGI TENANT INKUBATOR
Studi Kasus : Solo Techno Park
Aris Yaman, Adityo Wicaksono
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
aris.yaman@gmail.com

ABSTRAK
Inkubator bisnis adalah solusi altrnatif dalam meningkatkan life probabilty dan sustainability
suatu bisnis start up. Inkubator bisnis memberikan suatu program yang didesain untuk
membina dan mempercepat keberhasilan pengembangan bisnis melalui rangkaian program
permodalan yang diikuti oleh dukungan kemitraan/ pembinaan elemen bisnis lainnya.
Kesuksesan tenant inkubator tidak hanya bergantung pada jenis layanan yang diberikan,
tetapi bergantung juga bagaimana layanan itu diberikan. Dalam hal ini berarti proses/cara
pendampingan/business assistance menjadi suatu hal yang penting. Cara pendampingan
dengan berfokus pada intensitas pendampingan mnjadi suatu hal yang terpenting dalam
mendampingi tenant.

Kata Kunci: inkubator bisnis, pendampingan/business asisstance, intensitas pendampingan

PENDAHULUAN
Inkubator bisnis adalah perusahaan / lembaga yang memberikan suatu program yang
didesain untuk membina dan mempercepat keberhasilan pengembangan bisnis melalui
rangkaian program permodalan yang diikuti oleh dukungan kemitraan/ pembinaan elemen
bisnis lainnya (NBIA, 2007). Dengan tujuan menjadikan usaha tersebut menjadi perusahaan
yang profitable, memiliki pengelolaan organisasi dan keuangan yang benar, serta menjadi
perusahaan yang sustainable, hingga akhirnya memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Inkubator bisnis di Indonesia belum berkembang seperti di negara maju. Jumlah
inkubator bisnis dan pertumbuhannya di Indonesia masih cukup jauh tertinggal

158

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

159

Pusat Inovasi - LIPI

dibandingkan dengan negara-negara

lain. Uni-Eropa memiliki 1.100 inkubator

bisnis

dengan rataan jumlah tenant 25 per inkubator. China memiliki 450 Inkubator binis,
dengan rataan jumlah tenant 36 per inkubator bisnis. Di Indonesia sendiri, jumlah
Inkubator Bisnis diperkirakan sebanyak 50 Inkubator Bisnis (Pemerintah, Universitas,
maupun swasta),namun dari jumlah tersebut hanya sebagian saja yang memiliki kinerja yang
baik(Bank Indonesia, 2006).
Permasalahan

umum

yang

dihadapi

UMKM/tenant

di Indonesia

dalam

pengembangan usahanya antara lain adalah: terbatasnya pendanaan untuk pengembangan


usaha; kurangnya informasi dan akses bahan baku dan pasar; rendahnya kualitas sumber
daya manusia; rendahnya kemampuan untuk menghasilkan produk yang inovatif; dan
lemahnya pendampingan inkubasi (Hasbullah dkk, 2014). Sebagian permasalahan diatas
disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pemerintah dan belum adanya model tentang
konsep inkubasi bisnis sebagai acuan.
Secara umum, fasilitas dan jasa layanan yang disediakan Inkubator Bisnis bervariasi
yang dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: 1) Jasa
yang luas, meliputi

manajemen: memiliki cakupan

jasa konsultansi bisnis, pembuatan rencana usaha, pendidikan dan

pelatihan, pemagangan, pengurusan izin (legalitas) dan hak intelektual, desain produk dan
lainnya. 2) Pemasaran: meliputi pameran,

pembuatan brosur,

penyediaan show room

dan penyebaran informasi pasar. 3) Akses permodalan: meliputi pemberian insentif modal,
akses

modal dari program pemerintah, dan akses ke BUMN serta lembaga keuangan. 4)

Sarana dan prasarana usaha: meliputi ruangan kerja (workshop),


dan sarana kantor,

lahan usaha, fasilitas

peralatan dan sarana lainnya yang dibutuhkan tenant dalam rangka

mengembangkan usaha (Bank Indonesia, 2006).


Kesuksesan tenant inkubator tidak hanya bergantung pada jenis layanan yang
diberikan, tetapi bergantung juga bagaimana layanan itu diberikan (Cornellius & BarbaraRhemedious, 2003). Karenanya diperlukan suatu upaya untuk menyusun model
pendampingan UMKM/tenant berbasis teknologi yang ideal, efektif dan berkelanjutan.
Proses kegiatan pendampingan dalam upaya pengembangan UMKM merupakan siklus
kegiatan yang terdiri dari kegiatan: (1) orientasi, (2) persiapan sosial (3) pengorganisasian
kelompok, (3) merencanakan program, (4) pelaksanaan usaha/ kegiatan kelompok, (5)
pemantauan dan penilaian (monitoring dan evaluasi) (Djamal dalam Suparwoto, 2010)

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

160

Pusat Inovasi - LIPI

Tipe pendampingan sendiri dibagi menjadi beberapa, diantaranya tipe pendampingan


berdasarkan intensitas pendampingan (Hackett and Dilts, 2004), tipe konseling (Rice, 2002)
dan skala intervensi/inisiasi Inkubator (Bergek and Norrman, 2008).
Tipe pendampingan berdasarkan Intensitas pendampingan dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Intensitas waktu pendampingan, adalah percentase jam kerja yang ditujukan untuk
monitoring dan pendampingan tenant.
2. Tingkat komprehensip pendampingan, adalah sejauh mana bantuan pendampingan
mencakup bantuan startegis dan operasiona serta administrasi tenant.
3. Kualitas Pendampingan tenant yang diberikan oleh inkubator (Hackett and Dilts,
2004).
Tipe pendampingan berdasarkan tipe konseling dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Reactive and Episodic Counselling, adalah pendampingan dimana tenant meminta
inkubator membantu mengatasi krisis atau masalah yang dihadapi oleh tenant dan
pada umumnya durasi pendampingan tipe ini terbatas
2. Proactive and Episodic Counselling, adalah pendampingan dimana manajer inkubator
terlibat secara informal dengan kegiatan tenant, ad hoc counseling
3. Continual and Proactive Counselling, adalah pendampingan dimana inkubator
proaktif melakukan pendampingan terhadap tenant dan terjadwal, (Rice, 2002)
Tipe pendampingan berdasarkan skala intervensi/keterlibatan inkubator dibagi menjadi 5,
yaitu :
1. Keterlibatan Inkubator sangat tinggi (Major involvement)
2. Mengacu pada program, inisiasi dari inkubator
3. Keterlibatan inkubator rendah/berdasarkan permintaan, inisiasi dari tenant
4. Mengacu pada program
5. Keterlibatan inkubator rendah, inisiasi dari tenant (Bergek and Norrman, 2008).

METODOLOGI
Penelitian dilakukan di inkubator bisnis Solo Techno Park (STP). Proses penelitian
terbagi menjadi dua tahapan (fase). Pertama adalah fase konstruksi model, yang dimulai
dengan pelaksanaan desk study (kajian literatur), dan FGD untuk memperoleh masukan
maupun

informasi

mengenai

struktur

model pendampingan

yang

efektif

dan

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

161

Pusat Inovasi - LIPI

berkelanjutan dalam mendampingi tenant inkubator bisnis. Temuan-temuan dari kegiatan


tersebut merupakan input yang akan dikaji secara mendalam untuk diformulasikan
menjadi sebuah hirarki model AHP.
Tahapan selanjutnya adalah fase kuantifikasi model. Pada tahapan ini, peneliti
menyusun kuisioner berdasarkan

struktur

hirarki

model

yang

telah dikembangkan,

kemudian kuisioner tersebut divalidasi kembali agar tidak terjadi kesalahan/inkonsistensi


dalam pengisian. Survei lapang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi
melalui observasi langsung dan proses pengisian kuisioner oleh responden (panelis)
yang terdiri dari pengelola/manajer inkubator bisnis lembaga riset dan UMKM tenant
berbasis teknologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Level 1
Tujuan
Level 2
Kriteria

Level 3
Alternatif

Cara Efektif Pendampingan Tenant Inkubator Bisnis

Intensitas Pendampingan (0.515)


Intensitas Waktu
Pendampingan (0.217)
Tingkat komprehensip
pendampingan (0.217)

Kualitas Pendampingan
tenant (0.217)

Tipe Konseling (0.388)


Reactive and Episodic
Counselling(0.015)
Proactive and Episodic
Counselling (0.05)
Continual and Proactive
Counselling (0.164)

Skala Intervensi/Keterlibatan
Inkubator (0.097)
Keterlibatan Inkubator
sangat tinggi (0.031)
Mengacu pada program,
inisiasi dari inkubator (0.011)
Keterlibatan inkubator
rendah/berdasarkan permintaan,
inisiasi dari tenant (0.01)
Mengacu pada program, (0.041)
Keterlibatan inkubator rendah,
inisiasi dari tenant (0.041)

Gambar 1. Struktur hirarki keputusan dalam analisa cara efektif pendampingan tenant inkubator bisnis.

Struktur AHP yang dikembangkan didasaerakan pada teori-teori sebelumnya, yang


membagi tipikal pendampinga berdasarkan kriteria Intensiitas pendampingan, tipe konseling
dan skal keterlibatan inkubator. Dimana masing-masing memiliki beberapa alternatif cara
pendampingan. Penilaian pakar diolah dengan menggunakan program Expert Choise 11, dan
disajikan dalam tabel yang menunjukan hasil bobot prioritas untuk masing-masing kriteria
dan alternatif. Matriks struktur AHP menunjukan nilai CR (Consistency Ratio) < 0.1, hal ini
menunjukkan ketidakkonsistenan pendapat dari pakar/narasumber masih dapat diterima.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Level kedua struktur AHP adalah untuk menentukan tingkat kepentingan dari
beberapa tipe pendampingan yang ada. Terdapat tiga elemen yang dibandingkan tingkat
kepentingannya dalam level ini, yaitu tipe pendampingan dengan fokus pada intensitas
pendampingan, cara/metode konseling yang dilakukan dan skala keterlibatan inkubator.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Expert Choise 11, ddidapat skor terbobot
yang menunjukan prioritas masing-masing elemen. Pada level dua (kriteria/tipe
pendampingan) didapat bahwa tipe pendampingan dengan fokus pada intensitas
pendampingan memiliki nilai bobot kepentingan tertinggi sebesar 0.515. Hal ini bisa
dipahami mengingat dengan fokus pada intensitas pendampingan memungkinkan kontak
antara inkubator dan tenant semakin intens, sehingga memungkinakan inkubator menggali
lebih cepat permasalahan-permasalahan yang ada pada tenantnya. Prioritas kedua pada level
kedua ini yaitu tipe konseling, dengan bobot kepentingan 0.388. Hal ini didukung oleh
penelitian terdahulu yang menemukan bahwa cara konseling/pendampingan berpengaruh
positif terhadap produktivitas UMKM (Suparwoto, 2010).
Level kedua mengevaluasi tingkat kepentingan alternatif cara dalam mendampingi
tenant. Dapat kita lihat dalam gambar 1. bahwa terdapat tiga alternatif cara pndampingan
dengan bobot kepentingan yang sama dan terbesar di banding alternatif yang lain dengan
bobot kepentingan 0.217. Dapat kita lihat bahwa ketiga alternatif cara ini masuk dal kriteria
Intensitas Pendmpingan, hal ini berarti menurut pakar di Solo Techno Park bahwa
intensitas pendampingan menjadi fokus yang penting dalam mendampingi tenant.
Hasil kajian ini apabila merunut penelitian sebelumnya yang menyatakan kinerja
inkubator di indonesia belum maksimal, dengan sebagaian besar inkubator cara monitoring
dengan tidak terprogam dan dilakukan sewaktu-waktu jika terjadi masalah saja pada tenant
inkubator (Bank Indonesia, 2006) bisa menjadi hipotesis solusi untuk memperbaiki kinerja
inkubator.

162

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Metode pendampingan inkubator bisnis yang berfokus pada intensitas pendampingan
terhadap tenant bisa mnjadi solusi alternatif dalam mningkatkan tingkat kesuksesan suatu
lembaga inkubator.
Tapi perlu di sadari bahwa kajian ini masih sangat dangkal sekali dan hanya dilakukan
di satu inkubator bisnis, karenanya diperlukan suatu kajian dengan sample inkubator yang
lebih banyak, sehingga akan didapat model/cara pndampingan yang lbih generik.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih banyak kepada managerial Solo Techno Park yang telah bersedia bekerja sama
dan banyak membantu dalam kajain ini.

DAFTAR PUSTAKA (Times New Roman, size 14)


Bank Indonesia. (2006). Kajian Inkubator Bisnis dalam rangka Pengembangan UMKM.
Jakarta: Tim Peneliti dan Pengembangan BIRO KREDIT.
Bergek, A., & Norrman, C. (2008). Incubator best Practice : A framework. Technovation ,
20-28.
Cornelius, B., & Bhabra-Remedios, R. (2003). Cracks in the egg: improving performance
measures in business incubator research. 16th Annual Conference of Small Enterprise
Association of Australia and New Zealand , 1-19.
Hackett, S., & Dilts, D. (2004). A Real Options-Driven Theory of Business Incubation.
Journal of Technology Transfer 29 (1) , 41-54.
Hasbullah, R., Surahman, M., Yani, A., Almada, P. D., & Faizaty, E. N. (2014). Model
Pendampingan UMKM Pangan Melalui Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi. Jurnal
Ilmu Pertanian (JIPI) Vol 19 , 43-49.
Rice, M. (2002). Co-production of business assistance in business incubators An exploratory
study. Journal of Business Venturing 17 , 163-187.
Suparwoto. (2010). ANALISIS PENDAMPINGAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT
(LSM) TERHADAP KEBERHASILAN. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

163

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 06

PEMANFAATAN KULIT PISANG AGUNG SEMERU


SEBAGAI BAHAN PENGIKAT TABLET
Lannie Hadisoewignyo, Kuncoro Foe, Rachael Amelia, Henry Kurnia Setiawan
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
lanhadi@yahoo.com

ABSTRAK
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2013, tentang
Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat, amilum merupakan salah satu target bahan baku
obat yang akan dikembangkan dalam jangka menengah (3-5 tahun). Kulit pisang Agung
Semeru, yang diperoleh dari sentra pengolahan keripik pisang di Kabupaten Lumajang, Jawa
Timur, merupakan limbah organik yang belum dimanfaatkan sehinggga belum memiliki nilai
ekonomis yang baik. Kandungan amilum yang ada dalam kulit pisang Agung Semeru dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet. Pada penelitian ini dibuat
amilum dari kulit pisang Agung Semeru yang digunakan sebagai bahan pengikat untuk
membuat bahan ko-proses orally disintegrating tablet (ODT). Bahan ko-proses ODT
mengandung laktosa monohidrat dan Avicel PH101 sebagai pengisi tablet, amilum kulit
pisang Agung Semeru sebagai pengikat tablet, sodium starch glycolate (SSG) sebagai
penghancur tablet, dan manitol sebagai pemanis, dibuat dengan metode granulasi basah.
Dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik granul dan tablet bahan ko- proses. Hasil
penelitian menunjukkan amilum kulit pisang Agung Semeru dapat digunakan sebagai
pengikat tablet dan dapat menghasilkan bahan ko-proses ODT yang memiliki sifat alir dan
kompaktibilitas yang baik. Formula optimum diperoleh dengan menggunakan konsentrasi
amilum kulit pisang Agung Semeru 3,35% dan konsentrasi SSG 4,473%, yang memberikan
respon teoritis Carrs index 19,594%, Hausner ratio 1,242, kerapuhan tablet 0,585%,
kekerasan tablet 2,124 kp, waktu hancur tablet 116,964 detik, waktu pembasahan 59,836
detik, dan rasio absorpsi air 59,6.
Kata Kunci: Kulit pisang, Amilum, Pengikat tablet

164

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Kulit pisang Agung Semeru, yang diperoleh dari sentra pengolahan keripik pisang di
Kabupaten Lumajang, merupakan limbah organik yang belum diolah lebih lanjut. Kandungan
yang ada dalam kulit pisang salah satunya adalah amilum yang dapat digunakan sebagai
bahan pengikat, penghancur, maupun sebagai matriks dalam pembuatan sediaan dengan
pelepasan termodifikasi. Keunggulan dari pisang agung Semeru adalah memiliki ukuran buah
yang besar (keliling buah 19 cm) dan panjang (33-36 cm) dengan bobot 10-20 kg/tandan.
Keunggulan lain dari pisang agung adalah memiliki kulit buah yang tebal sehingga tahan
disimpan 3-4 minggu setelah dipetik dan memiliki rasa buah yang manis. Selain itu,
meskipun kulit buah sudah kehitaman tetapi daging buah tetap enak dikonsumsi karena tidak
lembek (Prahardini, dkk. 2010).
Bahan ko-proses adalah bahan yang diperoleh dari menggabungkan dua atau lebih
macam bahan tambahan dengan proses yang sesuai, yang dapat menghasilkan bahan
tambahan dengan sifat unggul dibandingkan dengan sifat fisik masing-masing bahan.
Manfaat tersebut sangat diperlukan dalam pembuatan tablet dengan tujuan hancur cepat di
atas lidah tanpa bantuan air, yang dikenal dengan orally disintegrating tablet (ODT).
Pada penelitian ini, amilum kulit pisang Agung Semeru yang diperoleh akan
dikarakterisasi untuk mengetahui mutu fisik dan kandungan kimia. Bahan ko-proses ODT
yang digunakan adalah laktosa monohidrat, Avicel PH101, amilum kulit pisang Agung
Semeru, sodium starch glycolate (SSG), dan manitol yang dibuat dengan metode granulasi
basah. Dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik granul dan tablet bahan ko-proses.
Formula optimum ditentukan dengan menggunakan desain faktorial.

165

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
1 Bahan dan Alat
Bahan: kulit pisang Agung Semeru yang diperoleh dari Industri Pengolahan Keripik Pisang di
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; laktosa monohidrat, Avicel PH101, sodium starch
glycolate, manitol, dan magnesium stearat.
Alat: timbangan analitis (Sartorius tipe Al-500, Jerman), mesin cetak tablet single punch
(model TDT, Shanghai, China), hardness tester (Schleuniger tipe 6 D-30, Jerman), friability
tester (Erweka tipe TA-3, Jerman), disintegration tester (Erweka tipe ZT3-1, Jerman),
analyzer moisture content (Ohaus-MB25, USA), motorized tapping device (Erweka tipe
SVM-12, Jerman), oven, dan juicer.
2 Pembuatan Amilum Kulit Pisang Agung Semeru
Kulit pisang yang digunakan berasal dari buah yang sudah matang tetapi bagian
kulitnya masih berwarna hijau dan dilakukan sortasi terhadap kulit pisang yang akan
digunakan. Metode pembuatan amilum dimodifikasi dari metode pembuatan amilum biji
durian oleh Soebagio, dkk. (2009), dengan cara: kulit pisang dicuci kemudian dipotong kecilkecil dan diblender dengan bantuan akuades yang mengandung natrium metabisulfit (0,3%)
pada perbandingan kulit pisang : akuades (1:2 b/v), kemudian disaring dan diperas. Filtrat
didiamkan selama 24 jam kemudian didekantasi, endapan yang diperoleh dikeringkan dalam
oven dengan suhu 40 - 60 C selama 24 jam sampai diperoleh kadar air yang sesuai. Amilum
yang sudah kering dihaluskan dan diayak dengan ayakan mesh 24.
3 Karakterisasi Amilum Kulit Pisang Agung Semeru
Karakterisasi yang dilakukan terhadap amilum kulit pisang Agung Semeru meliputi
uji kualitatif, uji organoleptis, uji mikroskopis, uji makroskopis, pengukuran pH, kelembapan
serbuk, sudut diam, Carrs index, Hausner ratio, densitas, penetapan susut pengeringan,
penetapan kadar abu, derajat putih, dan pengukuran kadar amilosa.
4 Pembuatan Bahan Ko-Proses ODT
Digunakan desain optimasi dalam pembuatan bahan ko-proses yaitu desain faktorial,
dengan 2 faktor dan 2 tingkat. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi pengikat (amilum
kulit pisang Agung Semeru) dan konsentrasi penghancur (SSG). Pada amilum kulit pisang
Agung Semeru, tingkat rendah yang digunakan adalah 2% dan tingkat tinggi 4%. Pada SSG,
tingkat rendah 3% dan tingkat tinggi 5%.

166

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pembuatan bahan ko-proses menggunakan metode granulasi basah, dengan formula


seperti tercantum pada Tabel 1. Bahan pengisi yang digunakan adalah kombinasi laktosa
monohidrat dan Avicel PH101 dengan perbandingan 1 : 1, dicampur dengan bahan
penghancur (SSG) dan ditambahkan bahan pengikat (musilago amilum kulit pisang), sampai
terbentuk massa granul, kemudian diayak dengan pengayak mesh 16, di oven pada suhu 5055 C hingga diperoleh kelembapan granul 2-5 %.

Tabel 1. Formula Bahan Ko-Proses dengan Desain Faktorial


Bahan
Laktosa monohidrat : Avicel PH101
(1 : 1)
Amilum kulit pisang Agung Semeru
SSG
Manitol
Mg Stearat
Total bobot tablet

F I (mg)

F II (mg)

F III (mg)

F IV (mg)

75,6

73,8

73,8

72

1,8
2,7
9
0,9
90

1,8
4,5
9
0,9
90

3,6
2,7
9
0,9
90

3,6
4,5
9
0,9
90

Uji Mutu Fisik Granul Bahan Ko-Proses ODT


Uji mutu fisik granul bahan ko-proses ODT meliputi uji kelembapan granul, uji sifat

alir granul, dan uji densitas granul. Uji kelembapan dilakukan menggunakan alat moisture
balance. Kelembapan granul yang diinginkan adalah 3-5% (Voigt, 1995).Sifat alir ditentukan
berdasarkan nilai Carrs index dan Hausner ratio, syarat zat dapat mengalir dengan baik jika
Carrs index kurang dari 20%, dan Hausner-ratio kurang dari 1,25 (Wells, 1988).
6 Uji Mutu Fisik Tablet Bahan Ko-Proses ODT
Uji mutu fisik tablet yang dilakukan meliputi kekerasan tablet, kerapuhan tablet,
waktu hancur tablet, waktu pembashan, dan rasio absorpsi air. Kekerasan tablet yang lazim
untuk ODT adalah 2-7 kgf (Hsu and Han, 2005), sedangkan nilai kerapuhan tablet yang baik
adalah kurang dari 0,8% dari berat tablet (Voigt, 1995). Uji waktu hancur ini dilakukan
dengan menggunakan cawan petri (diameter 10 cm) yang diisi 10 mL dapar pospat pH 6,8.
Tablet diletakkan di tengah cawan, kemudian diamati tablet hancur sampai menjadi partikel
halus dan dicatat waktu hancur tablet (Bhowmik et al., 2009).
Waktu pembasahan tablet dapat diukur dengan menggunakan cara yang sederhana.
Lima kertas tissu melingkar dengan diameter 10 cm diletakkan di cawan petri. 10 mL

167

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pewarna larut air (eosin) ditambahkan ke dalam cawan petri. Tablet diletakkan di permukaan
kertas tissu dan waktu yang diperlukan air untuk mencapai permukaan kertas tissu adalah
waktu pembasahan (Bhowmik et al., 2009). Tablet yang telah terbasahi ditimbang, rumus
rasio absorpsi air dapat dilihat pada persamaan [1], dimana Wa adalah berat tablet awal dan
Wb adalah berat tablet yang telah mengabsorpsi pelarut.

100Wa Wb
................................................................................................................ [1]
Wb

7 Penentuan Formula Optimum Bahan Ko Proses ODT


Setelah dilakukan pengujian untuk tablet bahan ko-proses, maka tahap selanjutnya
yaitu mencari formula optimum bahan ko-proses dengan desain faktorial dengan bantuan
program design expert sehingga akan didapat data konsentrasi bahan ko-proses yang optimun
untuk pembuatan tablet ODT.
8 Analisis hasil
Pada penelitian inidilakukan analisis data dari hasil pengamatan dengan pendekatan
teoritis dan pendekatan statistik.Pendekatan teoritis dilakukan dengan mengacu pada
persyaratan yang sudah ada pada literatur. Pendekatan statistik dilakukan dengan
menggunakan uji Anava dengan uji F, menggunakan program SPSS. Optimasi formula
menggunakan program statistik online Design-Expert R 7.1.4. Hasil dari program ini yaitu
diketahuinya pengaruh konsentrasi pengikat, konsentrasi penghancur, serta interaksinya
terhadap respon parameter yang ditentukan. Formula optimum ditentukan berdasarkan
superimposed contour plot.

168

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Amilum Kulit Pisang Agung Semeru dan Karakterisasinya
Kulit pisang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pisang Agung Semeru
yang diperoleh dari daerah Lumajang. Pisang yang diambil kulitnya adalah pisang yang
sudah matang tetapi bagian kulitnya masih berwarna hijau, seperti pada Gambar 1.
(A)

(B)

Gambar 1. (A) Pisang agung Semeru dan (B) kulit pisang agung Semeru.

Berdasarkan metode Soebagio, dkk. (2009) yang telah dimodifikasi, amilum yang
dihasilkan memiliki rendemen sebesar 1,25 0,08%. Hasil karakterisasi amilum kulit pisang
Agung Semeru dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2.

169

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Parameter

Tabel 2. Hasil Karakterisasi Amilum Kulit Pisang Agung Semeru


Hasil uji
Spesifikasi (Rowe et al.,
Keterangan
2009)

Uji Iodin

Warna biru

Biru keunguan ( Departemen

Sesuai

keunguan

Kesehatan RI, 2014)

Bentuk

Serbuk

Serbuk

Sesuai

Warna

Putih kecoklatan

Putih

Tidak sesuai

Bau

Tidak berbau

Tidak berbau

Sesuai

Rasa

Tidak berasa

Tidak berasa

Sesuai

pH

6,1 0,15

4,0 7,0

Sesuai

Kelembapan granul

7,46 0,62%

< 20 %

Sesuai

Mikroskopik

Terdapat lamela

Terdapat lamela

Sesuai

Makroskopik

4,41 0,13 m

2 100 m

Sesuai

Viskositas (5 % b/v)

3703 280,23 cps

Jagung (300-1000)

Berada

Kentang ( 1000 5000)

dalam

Tapioka (500- 1500)

rentang

Gandum ( 200 500)

2 : 1sampai

(Whestler and BeMiller,

6:1

Organoleptik

1993)
Sudut diam

Tidak dapat

Tidak dapat mengalir

Sesuai

mengalir (sangat
buruk)
Carrs index

25,05 2,47%

buruk (25% - 31%)

Sesuai

Hausner ratio

1,34 0,04

buruk ( > 1,25)

Sesuai

Susut pengeringan

11,94 2,22 %

<15%

Sesuai

Kadar abu

1,34 0,26 %

<1%

Tidak sesuai

Derajat putih

47,46 2,75

Kadar amilosa

35,00 1,24 %

95

17 39%

Tidak sesuai
Sesuai

170

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 2.Amilum kulit pisang Agung Semeru.

2. Hasil Uji Mutu Fisik Granul Bahan Ko-proses ODT


Hasil pengujian tercantum pada Tabel 3. Hasil uji kelembapan granul semua formula
memenuhi persyaratan 2-5% (Ansel, 1989). Nilai Carrs index dan Hausner ratio
menunjukkan bahwa F II, formula yang menggunakan amilum kulit pisang Agung Semeru
pada konsentrasi rendah (2%) dan SSG pada konsentrasi tinggi (5%) memiliki sifat alir yang
paling baik dan memenuhi persyaratan.
Tabel 3. Hasil Uji Mutu Fisik Granul Bahan Ko-Proses ODT
Mutu Fisik Granul
Kelembapan (%)

Carrs index (%)

FI
3,28
0,38

F II
2,98 0,32

21,31

17,32

2,07

1,15

F III
2,18
0,75

21,99 1

F IV
2,84 0,42

20,65
0,58

Persyaratan
2-5%
(Ansel, 1989)
16-20 = cukup
21-25 = agak buruk
(Anonim 2012)
1,19-1,25 = cukup

Hausner ratio

1,26
0,02

1,20 0,01

1,27
0,01

1,25 0,01

1,26-1,34 = agak
buruk (Anonim,
2012)

171

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

172

Pusat Inovasi - LIPI

3. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-proses ODT


Nilai kekerasan tablet semua formula (Tabel 4) berada dalam rentang 2-4 kp (Hsu and
Han, 2005). F III, formula yang menggunakan amilum kulit pisang Agung Semeru
konsentrasi tinggi (4%) memiliki kekerasan paling tinggi, yaitu 2,17 kp. Penggunaan
pengikat dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat meningkatkan daya ikat antar partikel
pada massa granul sehingga tablet yang dihasilkan pada proses pengempaan memiliki
kekerasan tablet yang lebih besar.
Tabel 4. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-proses ODT
Formula

Kekerasan
Tablet
(kp)

Kerapuhan
Tablet
(%)

Waktu Hancur
Tablet
(detik)

Waktu
Pembasahan
(detik)

Rasio
absorpsi Air

FI

2,15 0,02

0,56 0,02

150,5 8,61

70,99 10,52

68,81 32,15

F II

2,11 0,03

0,57 0,03

115,2 4,60

65,55 3,33

33,57 18,41

F III

2,17 0,01

0,57 0,02

145,2 2,73

67,10 3,97

46,8 15,02

F IV

2,12 0,08

0,59 0,02

117,2 1,31

56,88 4,54

72,37 32,24

Uji kerapuhan tablet menunjukkan bahwa penggunaan amilum kulit pisang Agung
Semeru pada konsentrasi 2-4% sebagai pengikat tablet akan menghasilkan tablet dengan
ikatan antar partikel yang baik sehingga memiliki nilai kerapuhan yang memenuhi
persyaratan.
Nilai waktu hancur tablet semua formula memenuhi persyaratan menurut Farmakope
Eropa, yaitu kurang dari 3 menit (Anonim, 2005). F II memiliki waktu hancur paling cepat
dibandingkan formula lainnya karena menggunakan pengikat pada konsentrasi rendah (2%)
dan

superdisintegran

pada

konsentrasi

tinggi

(5%).

Penggunaan

SSG

sebagai

superdisintegran dengan konsentrasi lebih tinggi akan mempercepat hancurnya tablet, hal ini
terkait dengan mekanisme kerja SSG yang memiliki kemampuan untuk menarik air
disekitarnya masuk ke dalam tablet melalui pori-pori yang ada di permukaan tablet,
kemudian mengembang, dan menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan antar partikel granul
sehingga tablet hancur lebih cepat. Selain itu, penggunaan pengikat pada konsentrasi lebih
kecil menyebabkan daya ikat antar partikel lebih lemah dan tablet cenderung lebih mudah
hancur.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Hasil uji waktu pembasahan, menunjukkan bahwa F I memiliki waktu pembasahan


yang paling lama dibandingkan formula lainnya. F I mengandung SSG dan amilum kulit
pisang Agung Semeru pada konsentrasi rendah sehingga menyebabkan kemampuan
menyerap air ketika tablet kontak dengan medium lebih lama, sebagai akibatnya waktu
pembasahan tablet menjadi lebih lambat.
Semakin tinggi nilai absorpsi air, maka daya serap air oleh tablet semakin tinggi dan
tablet lebih cepat hancur. F IV menunjukkan rasio absorpsi air yang tinggi, dengan
penggunaan amilum kulit pisang Agung Semeru sebagai pengikat pada konsentrasi tinggi
(4%), hal ini menunjukkan kemampuan menarik air (wicking agent) yang baik dari amilum
kulit pisang Agung Semeru.

4. Optimasi Formula Menggunakan Design Expert


Formula optimum diperoleh dengan menggunakan bantuan program Design Expert,
dengan respon yang digunakan untuk menentukan formula optimum adalah Carrs index,
Hausner ratio, kekerasan tablet, kerapuhan tablet, waktu hancur tablet, waktu pembasahan,
dan rasio absorpsi air. Persamaan polinomial yang diperoleh untuk masing-masing respon,
tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Persamaan Polinomial
No.

Respon

Persamaan Polinomial

Carrs index

Y = 20,32 + 1,00XA - 1,33XB + 0,66XAXB

Hausner ratio

Y = 1,25 + 0,017 XA 0,019 XB + 0,011 XAXB

Kekerasan tablet

Y = 2,14 + 6,67.10-3 XA - 0,020 XB - 1,67.10-3 XAXB

Kerapuhan Tablet

Y = 0,58 + 5,00.10-3 XA + 8,33.10-3 XB + 1,67.10-3 XAXB

Waktu hancur tablet

Y = 132,7 - 0,83 XA - 15,83 XB + 1,80 XAXB

Waktu pembasahan

Y = 65,14 - 3,14 XA - 3,92 XB - 1,19 XAXB

Rasio absorpsi air

Y = 55,39 + 4,20 XA - 2,42 XB + 15,20 XAXB

Keterangan: Y adalah respon, XA adalah nilai tingkat dari konsentrasi amilum kulit pisang Agung
Semeru, XB adalah nilai tingkat dari konsentrasi SSG, dan X AXB adalah nilai tingkat dari interaksi
konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru dan konsentrasi SSG.

Berdasarkan persamaan polinomial pada Tabel 5, tampak bahwa konsentrasi amilum


berpengaruh meningkatkan nilai Carrs index maupun nilai Hausner ratio, yang berarti
memperburuk sifat alir. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya konsentrasi

173

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

174

Pusat Inovasi - LIPI

amilum akan menyebabkan meningkatnya viskositas cairan pengikat, yang dapat


mengakibatkan cairan pengikat lebih sulit untuk menyebar merata di permukaan partikelpartikel serbuk, mengakibatkan lemahnya ikatan antar partikel yang terjadi dan akan
memperburuk aliran serbuk. SSG merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi
nilai Carrs index dan Hausner ratio. Peningkatan konsentrasi SSG menyebabkan penurunan
nilai Carrs index dan Hausner ratio, hal ini disebabkan karena SSG memiliki ukuran
partikel yang relatif kecil sehingga pada saat pembentukan granul, partikel-partikel SSG
dapat mengisi celah-celah antar partikel sehingga mengurangi jumlah celah antar partikel.
Hal ini dapat mengakibatkan terbentuknya granul yang memiliki densitas ruahan yang lebih
besar. Meningkatnya densitas ruahan akan menyebabkan granul dapat mengalir lebih baik.
Berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh, dapat dibuat contour plot untuk respon
Carrs index dan Hausner ratio seperti pada Gambar 3.

X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Hausner Ratio
Design Points
1.29

18

1.19

19
0.5

X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

20
0

21
-0.5

Hausner Ratio

13

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

15.99

Carr's Index (%)

1 3

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Carr's Index (%)
Design Points
22.99

1.22
0.5

1.24

1.26

-0.5

-1 3

3
-1

-0.5

0.5

-1 3
1

A: Konsentrasi Amilum (%)

(A)

3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

(B)

Gambar 3. Contour plot (A) Carrs index dan (B) Hausner ratio dari granul bahan ko-proses ODT.

Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa konsentrasi SSG memberikan pengaruh


dominan yang dapat menurunkan kekerasan tablet ko-proses ODT dengan nilai koefisien 0,020. Hal ini dapat disebabkan jumlah SSG yang digunakan dalam tablet ko-proses ODT
lebih kecil dari jumlah bahan pengisi yaitu laktosa monohidrat : Avicel PH101 (1 : 1),
sehingga kompaktibilitas tablet ko-proses lebih dipengaruhi oleh bahan pengisi. Contour plot
kekerasan tablet ko-proses ODT dapat dilihat pada Gambar 4.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Kekerasan Tablet (Kp)
Design Points
2.18

Kekerasan Tablet (Kp)

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

13

2.03
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

2.12

2.13
0.5

2.14
0

2.15
-0.5

2.16

-1 3

3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 4. Contour plot kekerasan tablet ko proses ODT.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa konsentrasi SSG merupakan komponen


yang berpengaruh paling dominan terhadap respon kerapuhan dengan nilai koefisien 8,33x
10-3, yang berarti meningkatkan kerapuhan tablet. SSG memiliki ukuran partikel yang relatif
kecil, sehingga pada umumnya dapat mempengaruhi kerapuhan tablet, tetapi pada pembuatan
tablet ko-proses ODT, SSG dicampurkan secara intragranuler sehingga pengaruh ukuran
partikel terhadap kerapuhan tablet tidak signifikan. Contour plot kerapuhan tablet ko-proses
ODT dapat dilihat pada Gambar 5.

0.54
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

Kerapuhan Tablet (%)

13

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Kerapuhan Tablet (%)
Design Points
0.62

0.585

0.5

0.58

0.575
0

-0.5

0.57

0.565
-1 3

3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 5. Contour plot kerapuhan tablet ko-proses ODT.

175

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Berdasarkan persamaan polinomial pada Tabel 5, diketahui bahwa konsentrasi SSG


merupakan komponen yang paling dominan yang memberikan pengaruh negatif dengan nilai
koefisien -15,83, yaitu dapat menurunkan waktu hancur tablet ko-proses ODT. SSG memiliki
porositas dan aktivitas kapiler (wicking) yang baik sehingga pada saat tablet kontak dengan
medium, akan terjadi penarikan medium dan penetrasi medium masuk ke dalam tablet.
Selanjutnya tablet akan mengembang tetapi tidak membentuk gel, yang menyebabkan terjadi
pemutusan ikatan antar partikel dan hancurnya tablet. Contour plot waktu hancur tablet koproses dapat dilihat pada Gambar 6.

110.2
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

Waktu Hancur Tablet (detik)

13

120

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Waktu Hancur Tablet (detik)
Design Points
159.4

0.5

130
0

140

-0.5

150

-1 3

-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 6. Contour plot waktu hancur tablet ko-proses ODT.

Berdasarkan persamaan polinomial dapat diketahui bahwa konsentrasi SSG


merupakan komponen yang paling dominan, yaitu memberikan pengaruh negatif terhadap
waktu pembasahan tablet ko-proses ODT, yang ditandai dengan nilai koefisien -3,92.
Contour plot waktu pembasahan tablet ko-proses ODT dapat dilihat pada Gambar 7.

52
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

Waktu Pembasahan Tablet (detik)

13

58

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Waktu Pembasahan Tablet (detik)
Design Points
78.66

60
0.5

62
64

66

68

-0.5

70
-1 3

3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 7. Contour plot waktu pembasahan tablet ko-proses ODT.

Berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dapat diketahui bahwa interaksi


antara amilum kulit pisang Agung Semeru dan SSG memberikan pengaruh yang paling
dominan terhadap peningkatan respon rasio absorpsi air. Amilum kulit pisang Agung Semeru

176

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dan SSG merupakan dua material yang memiliki kemampuan untuk menarik air, sehingga
memfasiltasi masuknya air ke dalam tablet dan dapat meningkatkan rasio absorpsi air dari
tablet ko-proses ODT. Contour plot rasio absorpsi air tablet ko-proses ODT dapat dilihat
pada Gambar 8.
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Ratio Absorpsi Air
Design Points
108.12

Ratio Absorpsi Air

B : K o n s e n tr a s S S G ( % )

13

20.61
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

3
70

40

0.5

50

60

-0.5

60
50
-1 3

3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 8. Contour plot rasio absorpsi air tablet ko-proses ODT.

Contour

plot

dari

masing-masing

respon

kemudian

ditumpangtindihkan

(superimposed), dapat dilihat pada Gambar 9, sehingga diperoleh daerah optimum dengan
sifat bahan ko-proses yang diinginkan.
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Overlay Plot

X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG

Overlay Plot

1 3

B : K o n s e n tra s S S G (% )

Carr's Index
Hausner Ratio
Kekerasan Tablet
Kerapuhan Tablet
Waktu Hancur Tablet
Waktu Pembasahan Tablet
Ratio Absorpsi Air
Design Points

Waktu Pembasahan Tablet: 60


0.5

Ratio Absorpsi Air: 50


Carr's Index: 20
Hausner Ratio: 1.25
0

Kekerasan Tablet: 2.15


-0.5

Ratio Absorpsi Air: 50


3

-1 3
-1

-0.5

0.5

A: Konsentrasi Amilum (%)

Gambar 9. Superimposed contour plot.

Formula optimum yang terpilih menggunakan konsentrasi amilum kulit pisang Agung
Semeru 3,35% dan konsentrasi SSG4,473% yang akan memberikan prediksi respon Carrs
index 19,594%, Hausner ratio 1,242, kerapuhan 0,585%, kekerasan 2,124 kp, waktu hancur
116,964 detik, waktu pembasahan 59,836 detik, dan rasio absorpsi air 59,6.
5. Hasil Uji Mutu Fisik Bahan Ko-proses ODT Formula Optimum

177

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Hasil uji mutu fisik granul bahan ko-proses ODT telah memenuhi persyaratan yang
ditentukan. Hasil uji statistik granul bahan ko-proses ODT optimum menggunakan onesample T test didapat hasil Thitung< Ttabel (0,05)(2), yang berarti nilai Carrs index dan Hausner
ratio granul ko-proses ODT optimum tidak berbeda bermakna terhadap hasil prediksi teoritis
berdasarkan persamaan polinomial, sehingga persamaan ponomial untuk Carrs index dan
Hausner ratio dapat dikatakan sahih.
6. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-Proses ODT Formula Optimum
Berdasarkan hasil pengujian mutu fisik tablet ko-proses ODT optimum (Tabel 6),
formula optimum memiliki kekerasan, kerapuhan, dan waktu hancur yang memenuhi
persyaratan. Hasil uji statistik tablet ko-proses ODT optimum menggunakan one-sample T
test didapat hasil Thitung< Ttabel

(0,05)(2),

yang menunjukkan hasil uji kekerasan, kerapuhan,

waktu hancur, waktu pembasahan, dan rasio absorpsi air tablet ko-proses ODT optimum tidak
berbeda bermakna terhadap hasil perhitungan teoritis, sehingga persamaan polinomial untuk
respon kekerasan, kerapuhan, waktu hancur, waktu pembasahan, dan rasio absorpsi air tablet
bahan ko-proses ODT dapat dikatakan sahih.

Tabel 6. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-proses ODT Formula Optimum
Replikasi

Kekerasan
Tablet
(kp)
2,12 0,17

Kerapuhan
Tablet
(%)
0,54 0,01

Waktu Hancur
Tablet
(detik)
115,4 4,16

Waktu
Pembasahan
(detik)
56,33 1,15

Rasio
absorpsi Air
58,61 0,47

2,15 0,14

0,55 0,01

116,8 3,63

57,00 2,00

58,31 1,04

2,11 0,19

0,54 0,01

116,4 2,88

56,60 0,57

57,95 0,74

Rata-rataSD

2,12 0,01

0,54 0,01

116,2 0,72

56,64 0,33

58,29 0,33

KESIMPULAN
Konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan nilai Carrs index, peningkatan nilai Hausner ratio, dan penurunan
waktu hancur tablet. Konsentrasi SSGberpengaruh secara signifikan terhadap penurunan nilai
Carrs index, penurunan nilai Hausner ratio, dan penurunan waktu hancur. Interaksi
konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru dan SSG tidakberpengaruh secara signifikan
terhadap semua respon yang diuji.

178

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Formula optimum bahan ko-proses ODT yang diperoleh dengan program optimasi
Design Expert yaitu formula dengan konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru 3,35%
dan konsentrasi SSG4,473% yang akan memberikan prediksi respon Carrs index 19,594%,
Hausner ratio 1,242, kerapuhan 0,585%, kekerasan 2,124 kp, waktu hancur 116,964 detik,
waktu pembasahan 59,836 detik, dan rasio absorpsi air 59,6. Semua respon yang diuji tidak
menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan hasil teoritisnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Farmasi melalui Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah
mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. European Pharmacopeia. 5th ed. EDQM. English.
Anonim. 2012. US Pharmacopeia 35 NF 30. US Pharmacopeial Convention Inc. Rockville.
Anonim. 2014. Farmakope Indonesia. ed. V. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. ed. 4. terjemahan Farida Ibrahim.
Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta.
Bhowmik, D., Chiranjib.B, Krishnakanth, Pankaj, Chandira, R.M. 2009. Fast Dissolving Tablet: An
Overview. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 1(1):
163-177.
Hsu, A.F. and Han, C.H. 2005. Oral Disintegrating Dosage Form. US Patent Application Publication
Number 20050147670A1. 1-3.
Prahardini, Yuniarti, dan Krismawati. 2010. Karakterisasi varietas unggul pisang Mas Kirana dan
Agung Semeru di Kabupaten Lumajang. Buletin Plasma Nutfah. vol. 6 (2). 348.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M. E.
6thed. The Pharmaceutical Press. London.

2009. Handbook of Pharmaceuticals Excipient.

Soebagio, B., Sriwododo, dan Adhika, A. S. 2009. Uji Sifat Fisikokimia Pati Biji Durian (Durio
zibethinus Murr) Alami dan Modifikasi Secara Hidrolisis Asam. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Padjajaran. Bandung.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Terjemahan S. Noerono dan M. S.
Reksohardiprojo, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

179

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Wells, J.T., 1988, Pharmaceutical Formulation: The Physicochemical Properties of Drug


Substance, Ellis Howard, Ltd., Chester.
Whistler, R.L. and BeMiller, J.N. 1993. Industrial Gums. 3th Ed. Academia Press Inc. United
State of America.

180

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 07

KOLABORASI RISET INTERNASIONAL:


MEMACU INOVASI DAN DAYA SAING PRODUK
BIODIVERSITI NASIONAL
Agus Santoso1 dan Azis Taba Pabeta2
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
emigus1112@gmail.com

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam (SDA) khususnya biodiversitas
yang tersebar luas dan terbentang dari sabang sampai meraouke. Potensi sumber daya alam
tersebut telah berhasil dibangun dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui
cara-cara tradisional sampai dengan teknik modern untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Pemanfaatan Biodiversitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perannya sangat besar,
namun belum dapat dikelola secara maksimal. Biodiversitas di Indonesia yang memiliki
keaneka ragaman jenis yang kaya. Taksiran jumlah jenis kelompok utama makhluk hidup
seperti: Hewan menyusui 300 jenis; Burung 7,500 jenis; Reptil 2,000 jenis; Amfibi 1,000
jenis; Ikan 8,500 jenis; keong 20,000 jenis; serangga 250,000 jenis. Tumbuhan biji 25,000
jenis; paku pakuan 1,250 jenis; lumut 7,500 jenis; Ganggang 7800 jenis jamur 72,000 jenis;
bakteri dan ganggang biru 300 jenis (Sastra Pradja, 1989). Beberapa pulau di Indonesia
memiliki spesies endemik, terutama di pulau Sulawesi; Irian Jaya dan di pulau Mentawai.
Sebanyak 420 specis burung endemik yang tersebar di 24 lokasi di Indonesia.
Melihat keragaman hayati Indonesia yang sangat menakjubkan tersebut, maka tidak
heran bila banyak peneliti-peneliti asing yang berminat untuk melakukan kolaborasi riset di
Indonesia, terutama di bidang biodiversitas. Seperti diketahui dalam Direktori Penelitian
Asing di Indonesia, hasil pengolahan data dari Sekretariat Perizinan Penelitian Asing,
Kementerian Ristek dan Dikti, dalam dua tahun terakhir (tahun 2010 sampai dengan 2011)
1

Peneliti Madya Pappiptek-LIPI

Peneliti Utama Pappiptek-LIPI

181

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menunjukkan banyaknya peminat peneliti asing selalu meningkat untuk berkolaborasi dengan
perguruan tinggi, lembaga litbang atau LSM di Indonesia. Demikian pula sebagai mitra
kerjanya dari perguruan tinggi, lembaga litbang atau LSM inipun mereka sudah
mempersiapkan atau menghubungi jauh-jauh hari sebelumnya sebagai mitra dalam kolaborasi
riset ke depan.
Berdasarkan hal-hal di atas, menunjukkan belum terfokusnya arah penelitian untuk
basic research yang dilakukan oleh peneliti asing (Direktori Kemen Ristek dan Dikti).
Kemudian di lembaga litbang

belum fokusnya atau terarahnya usulan penelitian yang

bersifat pengembangan untuk memperoleh pendanaan dari negara-negara donor yang


mendukung pembangunan ekonomi. Di sisi lain peningkatan peneliti asing yang melakukan
riset menimbulkan pertanyaan, terkait masalah perizinan yang diduga begitu longgar
peluangnya, masalah mitra kerja yang belum termanfaatkan secara optimal, masalah
keterbukaan informasi publik, Indonesia perlu memiliki kepekaan terhadap kolaborasi riset
yang terkait dengan masalah pertahanan, politik, SDA, penggunaan fasilitas riset terutama
laboratorium, pendanaan dan hak cipta. Adapun tujuan dari studi ini adalah: (1) Mewujudkan
peningkatan kapasitas iptek dan SDM (peneliti) baik sebagai mitra maupun kerjasama dalam
kolaborasi riset internasional; (2) Memperkuat kelembagaan mitra dalam mendorong
kolaborasi riset bagi peningkatan kapasitas iptek dan SDM; (3) Membangun kolaborasi riset
internasional untuk menciptakan kegiatan riset di dalam negeri yang bermanfaat; (4)
Mendorong penelitian atas usulan dari peneliti nasional ke negara donor yang dapat
menghasilkan penelitian inovasi.

Tinjauan Teoritis
1. Kolaborasi Riset
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi riset internasional dapat
memberi dampak positif, baik dari sisi luaran ilmiah (Sooryamoorthy, 2009, Veugelers, 2010,
Katerndahl, 2012 dalam Trina dkk, 2013), peningkatan sumber daya riset (Heinze &
Kuhlmann, 2008), inovasi dan daya saing (Kim dan Park, 2008; Van Riejnsoever & Hessels,
2011), maupun penyelesaian masalah-masalah kompleks (Sonnenwald, 2007 dalam Trina
dkk, 2013). Pentingnya proses kolaborasi dinyatakan oleh Sargen dan Waters (2004), yaitu
terdapat tiga dimensi dari kerangka kolaborasi riset yaitu, proses kolaborasi, proses

182

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

interpersonal di dalam tim dan faktor konteks. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses
kolaborasi terdiri dari empat tahapan yaitu inisiasi, klarifikasi, implementasi dan
penyelesaian. Setiap tahapan tersebut menjadi sangat penting dan berdampak pada hasil
akhir, terlebih pada kolaborasi riset internasional yang melibatkan dua pihak dengan kondisi
sumber daya alam dan kepentingan yang berbeda, akan beresiko pada terjadinya
ketidakseimbangan dalam pencapaian tujuan masing-masing pihak kolaboran (Chasterman,
2001; Fizzanti, dkk 2012).Disamping itu hasil kajian Fizzanty dkk (2012), bahwa Kolaborasi
riset internasional pada umumnya masih dalam tahap kepentingan peneliti asing dan sebagian
publikasi riset, masih minim yang mengarah pada inovasi dan pengembangan kapasitas dan
SDM. Oleh karenanya pengertian kolaborasi riset internasional menurut (Melin and Persson,
1999 in Bukvova, 2010, dalam Kusnandar, dkk. 2013), yaitu kerjasama yang terjadi diantara
individu-individu yang memiliki berbagai kepentingan, terjadi interaksi, berbagi informasi,
serta adanya koordinasi untuk satu tujuan bersama.
Kolaborasi riset internasional beragam manfaat baik pada tingkat individu maupun
tingkat organisasi. Manfaat dari kolaborasi riset itu beragam, diantaranya: (i) berbagi
pengetahuan dan alih keterampilan; (ii) menciptakan cara pandang dan pengetahuan baru;
(iii) mendukung jejaring dan menjadi lebih produktif; dan (iv) diseminasi pengetahuan akan
mendorong dampak penting; (v) pembangunan kapasitas (Cooke, 2005; Loan-Clarke dan
Preston, 2002; Louck-Horsely, dkk., 1998). Namun demikian, tidaklah mudah mencapai
manfaat yang diharapkan karena adanya faktor-faktor pendukung dan penghambat
tercapainya kolaborasi riset yang efektif. Faktor-faktor tersebut dapat menghambat atau
mendukung kolaborasi riset termasuk faktor hubungan manusia seperti kepercayaan,
kejujuran, penghargaan, kesamaan atau kemitraan yang tidak berjenjang (Stead dan
Harrington, 2000; Mowery, 1998; Reback, dll., 2002), dan juga faktor-faktor organisasi
seperti kapabilitas dalam mengelola sumber daya manusia, organisasi, pendanaan, dan aset
fisik (Bold-Christmas, dll., 2007) serta komitmen organisasi litbang terhadap kolaborasi
dengan mendorong peneliti yang profesional dan kompetensi tinggi, serta kebijakan
organisasi litbang untuk mendukung kolaborasi riset.

183

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2. Inovasi dan Daya Saing


Menurut Yao Tzu Li, dkk, menyatakan bahwa Human beings distinguish themselves
as the only creatures with the ability to innovate. Sementara dalam buku Innovate We Can
Manajemen Inovasi dan Penciptaan Nilai Individu, Organisasi, Masyarakat, yang ditulis oleh
Avanti Pontana (2015), menyebutkan bahwa inovasi adalah keberhasilan sosial dan ekonomi
berkat diperkenalkannya atau ditemukannya cara-cara baru atau kombinasi baru dari caracara lama dalam mentransformasi input menjadi output sedemikian rupa sehingga berhasil
menciptakan perubahan besar atau perubahan drastis dalam hubungan antara nilai guna atau
nilai manfaat (yang dipersembahkan oleh konsumen dan atau pengguna) dan nilai moneter
atau harga. Senge dkk, menggarisbawahi pentingnya basic innovation, back to basic,
perubahan fundamental pada teknologi-cara mentransformasi input menjadi output dan
organisasi yang menciptakan industri-industri baru, mentransformasi yang sudah ada,
membangun kembali masyarakat (society),mengalami katarsis (pembersihan) dari krisis yang
menggelembung semu. Perkuat fondasi kewirausahaan dan inovasi dunia mulai dari basis
individu, organisasi, dan masyarakat disetiap negara dan bangsa.

METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk melihat kolaborasi riset internasional yang
diusulkan oleh peneliti asing yang dilakukan baik secara perseorangan, kelompok, maupun
institusi. Hasil kolaborasi riset internasional telah diungkapkan oleh para peneliti
asing/institusi setelah bermitra dengan para peneliti dari berbagai lembaga riset maupun
perguruan tinggi di Indonesia. Mengingat terbatasnya dana, waktu dan sarana, sehingga
dalam kolaborasi riset internasional ini mengambil sampel studi yang meliputi: Pusat
Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi LIPI), Pusat
Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(Puslit Bioteknologi LIPI),
Universitas Padjadjaran Bandung, Institut Teknologi Bandung dan Pusat Studi Lingkungan
Hidup UGM. Pemilihan lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi didasarkan pertimbangan
bahwa kelima institusi ini sarat dengan program kolaborasi riset internasional yang
menyangkut riset dasar, pemberdayaan pada masyarakat dan kemitraan yang saling
menguntungkan.

184

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Guna memperoleh informasi yang akurat dan up to date, maka data yang
dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer pada dasarnya adalah data yang
diperoleh melalui wawancara dengan peneliti di ke dua Puslit LIPI dan dosen senior di tiga
Perguruan Tinggi tersebut di atas. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui pengumpulan
data/studi literature terutama mengumpulkan Direktori Penelitian Asing di Indonesia melalui
Sekretariat Perizinan Peneliti Asing Kementerian Ristek dan DIKTI, Jejaring elektronika,
media cetak dan sebagaigainya.
Dari hasil pengumlan data primer dan sekunder tersebut di atas, kemuadian dianalisis,
yang bermaksud memberikan penjelasan/uraian secara kualitatif yang menunjukkan kaitan
hasil kolaborasi riset internasional hubungan dengan kemitraan peneliti/dosen dari lembaga
riset/perguruan tinggi di Indonesia. Juga analisis dilakukan dengan melihat antara tujuan
kolaborasi riset internasional dan disisi lain dikaji keberadaan unit litbang/perguruan tinggi
dengan kemampuan sumber daya manusianya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengumpulan Data
1. Kementerian Ristek dan Dikti
Hasil pengumpulan data pada kantor Sekretariat Perizinan Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, tentang Penelitian Asing di Indonesia. Deskripsi
kolaborasi dari peneliti asing saat melakukan penelitian di Indonesia. Kolaborasi yang
dilakukan ada yang antar individu, kelompok, institusi, perguruan tinggi, dan LSM. Adapun
jabatan atau profesi pelaku kolaborasi riset, diantaranya: peneliti, dosen, profesor dan ada
juga mahasiswa (student) yang ingin memperoleh program master atau doktor. Bidang studi
yang di teliti hanya berbasis pada bidang biodiversitas yang untuk tahun 2010 dan 2011.
Pengelompokannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel-1 dan tabel-2) yang terdiri
dari bidang riset, Judul riset, dan banyaknya Peneliti. Adapun peneliti asing yang banyak
melakukan Kolaborasi riset internasional, adalah peneliti yang berasal dari negara-negara
maju seperti: Jepang; Amerika; Inggris; Jerman; Australia; Belanda; RRT; dan Perancis.

185

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1: Kolaborasi Riset Internasional tahun 2010


Bidang Biodiversitas
Bidang
Riset

Banyaknya
Judul Riset

Banyaknya
Periset

1. Biologi Umum

14

53

2. Biologi Kelautan

10

26

3. Bioteknologi

4. Botani

5. Zoologi

16

20

6. Primatologi

49

55

7. Ekologi

21

45

113

212

Banyaknya

Ket.

Sumber : Hasil Pengolahan dari Direktori Perizinan Riset Kolaborasi International


Kementerian Riset Teknologi dan Pengigikan Tinggi Tahun 2010.
Tabel 2: Kolaborasi Riset Internasional tahun 2011
Bidang Biodiversitas
Bidang
Riset

Banyaknya
Judul Riset

Banyaknya
Periset

1. Biologi Umum

17

41

2. Biologi Kelautan
3. Bioteknologi

5
-

9
-

4.
5.
6.
7.

3
7
19
25
76

11
7
20
40
128

Botani
Zoologi
Primatologi
Ekologi
Jumlah

Ket.

Sumber : Hasil Pengolahan dari Direktori Perizinan Riset Kolaborasi International


Kementerian Riset Teknologi dan Pengigikan Tinggi Tahun 2011
2. Kolaborasi Riset Internasional oleh Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Kolaborasi riset yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi, pada saat itu sejumlah
penelitinya berperan sebagai mitra kerja untuk mendampingi peneliti asing yang sebelumnya

186

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

antara kedua belah pihak memang sudah saling kontak baik melalui telepon, email dan
sebagainya. Peran mitra kerja dari Puslit Biologi betul-betul dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ada, yaitu mendampingi peneliti asing dari awal hingga akhir. Dalam
perjalanannya para peneliti mitra kerja dengan kontribusinya yang sangat positif baik
kegiatan dalam diskusi maupun kegiatan di lapangan. Sehingga kegiatan apa yang dilakukan
oleh peneliti asing dari mulai latar belakang dan masalah, tujuan, metodenya sampai pada
outputnya, pihak mitra selalu mengikutinya. Peran sebagai mitra kerja dalam kolaborasi riset
tentu merupakan pengalaman dan pembelajaran serta mempunyai manfaat yang sangat
berharga. Selain itu juga pihak mitra mendapatkan data-data dan ini suatu keuntungan baginya yang suatu saat data tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan kajian atau penelitian
kedepan. Sebagaimana diketahui bahwa menjadi mitra kerja yang manfaat lainnya, yaitu
publikasi internasional; melanjutkan studi atau training; hibah peralatan dan peningkatan
kapasitas SDM peneliti.
Disisi lain kitapun menyadari dan mengakui bahwa selama ini kolaborasi dengan
peneliti asing banyak dilakukan karena adanya keterbatasan sarana penelitian seperti
peralatan, laboratorium dan anggaran. Tetapi yang masih menjadi perhatian kita bersama
adalah adanya kolaborasi riset dengan peneliti asing, masih terjadinya pencurian biodiversitas
yang kita miliki. Hal yang sangat memprihatinkan, banyak dari fauna Indonesia tersimpan di
laboratorium negara asing, seperti di Inggris, sejumlah serangga Indonesia tersimpan disana.
Pada saat peneliti ingin meneliti dan mendapatkan data mengenai serangga tersebut, wajib
membayar sekitar 70 poundsterling. Hal tersebut sangat merugikan karena serangga yang
diteliti adalah edemik negeri sendiri (http://www.antaranews.com/berita/456273/lipi-siapkurangi-kerja-sama-dengan-asing). Masih banyak lagi kekayaan hayati kita yang dicuri oleh
peneliti asing, terutama penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi daerah yang menjadi
pintu masuk peneliti asing untuk meneliti di Indonesia, kata Rosichon (http://www.
Antaranews.com).
Kembali pada peran mitra kerja yang dilakukan oleh Puslit Biologi melalui sejumlah
penelitinya, berdasarkan pengalaman yang sudah terbangun, maka jika diamati lebih jauh
kolaborasi riset atas inisiatif peneliti asing tersebut, mencakup kegiatan penelitian yang
dibuat dengan maksud memperkembangkan dan menguji hipotesis dan teori yang secara
teoritis menarik bagi peneliti. Hasil penelitian yang dilakukan selama ini cenderung lebih

187

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

188

Pusat Inovasi - LIPI

pada penelitian dasar (basic research), biasanya tidak mempunyai kegunaan langsung untuk
masalah-masalah ekonomi dan sosial pada waktu kini. Dalam waktu mendatang mungkin
penelitian dasar mempunyai potensi dan kegunaan untuk dilakukan penelitian lanjut.

3. Kolaborasi Riset Internasional oleh Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI


Kolaborasi Riset Internasional yang dibangun oleh Puslit Bioteknologi-LIPI pada
praktiknya berbeda dengan Puslit Biologi-LIPI. Dalam berkolaborasi riset lebih banyak
mengajukan proposal ke negara-negara donor/asing. Pengalaman menunjukkan dimana puslit
bioteknologi telah melakukan kolaborasi riset dengan negara Jepang, proposal yang diajukan
mendapat respon positif, misalnya dengan Kobe University of Japan dalam bidang
biorefinery selama 5 tahun (tahun 2013 s/d tahun 2018) yang didanai oleh Jepang sebesar 30
milyar dan masih berjalan hingga kini(2015). Begitupun kolaborasi yang pernah dilakukan
tahun-tahun sebelumnya, misalnya dengan negara Iran, pada tahun 2008 s/d tahun 2009 yaitu
dengan Institute of Advanced Technology, dan National Institute for Genetic Engineering and
Biotechnology,

dalam

area

Marine

Biotechnology,

Animal

Biotechnology,

Plant

Biotechnology, Microbial Biotechnology.


Untuk itu peran aktif Puslit bioteknologi dalam berkolaborasi riset dengan negaranegara donasi adalah mengajukan proposal. Sebab salah satu tugasnya adalah memanfaatkan
bioteknologi modern untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya hayati untuk bahan
pangan, obat-obatan, kesehatan masyarakat dan perbaikan lingkungan hidup. Berdasarkan
tingkat kerumitan dalam pelaksanaan proses bioteknologi, bioteknologi dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:Bioteknologi Konvensionaldan Bioteknologi Modern.Penerapan
bioteknologi konvensional untuk menghasilkan produk, hanya mengandalkan peran
organisme sebagai pengubah bentuk maupun kandungan gizi melalui proses fermentasi.
Contoh: Keju, yogurt, mentega, tapai dan lain-lain. Fermentasi merupakan proses pemecahan
glukosa pada bahan makanan oleh mikrobia. Fermentasi ini menghasilkan etanol, karbon
dioksida, dan energi, dengan menggunakan peralatan sederhana. Sedangkan Bioteknologi
Modernmenggunakan peralatan yang canggih. Selain itu, bioteknologi modern sudah
dilakukan dalam keadaan steril, produksi yang dihasilkan lebih berkualitas, dan dihasilkan
dalam jumlah yang besar. Penerapan bioteknologi modern tidak hanya melibatkan mikrobia
sebagai perubah bentuk maupun kandungan gizi pada makanan (fermentasi). Pada

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

bioteknologi modern dilakukan proses manipulasi tehadap susunan genetic mikrobia yang
dimanfaatkan, misal dengan pemotongan maupun penyisipan gen. Oleh karena itu kegiatan
puslit bioteknologi ini, masuk kategori jenis penelitian pengembangan atau terapan yang
dapat menghasilkan inovasi teknologi.
4.Kolaborasi Riset yang Dibangun oleh UNPAD
Program kolaborasi riset internasional yang dibangun oleh Universitas Padjadjaran
Bandung(Unpad) melalui dosen senior. Pada mulanya program kolaborasi riset internasional
dirintis oleh Prof. Dr. Parikesit dengan Pemerintah Jepang melalui berbagai Universitas
dinataranya Universitas Tokyo Jepang. dengan Pemerintah Jepang melalui berbagai
Universitas dianataranya Universitas Tokyo Jepang. Program kolaborasi riset ini dimulai
sejak tahun 1997 sampai 2007(10 tahun) sudah berlangsung Program kolaborasi riset
international diawalai dengan program pasca sarjana dengan ilmu lingkungan, juga kerjasama
Bappenas dan Diknas.
Kolaborasi riset dengan peneliti Jepang bersama peneliti di Unpad selama dalam 4
tahun dan telah melibatkan beberapa universitas di Indonesia antara lain Universitas
Indonesia, Institut Tekonologi Bandung dengan peneliti masing 2 orang. Dan dari hasil
kolaborasi ini telah menghasilkan doktor. Materi penelitian tentang biodiversiti mengambil
lokasi di jawa Barat (Cianjur). Salah satu lokasi riset adalah hutan di Cianjur dengan meneliti
keaneka ragaman dari hutan dan pengawasannya. Untuk pengamanan hutan dengan menanam
tanaman kaliandra. Dari program tersebut kemudian dibangun rumah untuk tinggal bagi
peneliti dan mahasiswa yang sedang kuliah kerja.
Program penelitian kolaborasi ini dimulai dari bisik-membisik antar professor di
Jepang dalam menentukan personal yang akan diajak kerjasama yang didasarkan dengan
kualifikasi yang sesuai dan ketat. Program kolaborasi riset yang diusulkan untuk
mendapatkan pendanaan yang cukup besar dari Pemerintah Jepang didasarkan pada
kualifikasi yang ketat. Sedangkan untuk mendapatkan pendanaan di Indonesia agak sulit
kecuali dari APBN itu pun tidak besar.
Program lain yang mendorong kolaborasi adalah bidang pengajaran dengan mata
kuliah ilmu lingkungan dimana perkualiahan secara Teleconference yang diikuti mahasiswa
Indonesia dengan belajar jarak jauh dari Jepang dan sebaliknya Jepang membantu memberi
alat teleconference dimana mahasiswa Jepang dan beberpa Negara lain ikut belajar jarak jauh

189

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

di mana dosen-dosen dari Unpad yang memiliki kualifikasi keilmuan sebagai pengajar
melakukan pengajaran yang serupa. Program kolaborasi riset juga dilakukan antara Unpad
dengan Toyoto Fundation Jepang namun dengan kualifikasi yang sangat ketat. Pendanaan
yang diberikan cukup besar yang mencapai Rp. 300 juta dengan memilih lokasi hutan dari
kawasan konservasi yang dapat melibatkan masyarakat disekitarnya. Dalam program itu
mengajak masyarakat untuk mengawasi hutan-hutan dari kawasan konservasi. Masyarakat
diberdayakan dengan mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi masyarakat, missal
pengadaan sumber air kemudian dari program ini berkembang menjadi penelitian lebih lanjut.
tujuan program kolaborasi riset ke depan adalah menghasilkan peneliti hayati dan alumninya
yang bekerja di swasta untuk mengelola industri kehutanan, membuat biodiversiti dengan
manajemen biodiversiti.
Program riset kolaborasi international dimulai dari pelaksanaan tri darma, tapi belum
masib, profesornya masih dibimbing dan diundang ke Jepang dengan biaya professor yang
penting meriset dan mengeluarkan publikasi dan peningkatan mutu sumber daya
manusia(SDM). Dengan peningkatan mutu dosen S2 (starata dua) melalui pendidikan yang
diperoleh dari program riset kolaborasi internastional sangat membantu mencetak doctordoktor sesuai bidang dan kompetensi yang dibutuhkan ke depan. Dalam riset kolaborasi
intenational mndorong kesetaraan dimana data dan informasi harus sama-sama dimiliki dan
dimanfaatkan sesuai kesepakatan dan hasil publikasi pun harus disepakati dalam
penulisannya.
Dalam kolaborasi riset international sangat penting memberi kesempatan pada tenagatenaga muda mendapat prioritas sehingga peluang untuk menguasai bidang-bidang keilmuan
dan pekerjaan semakin terbuka. Peran kolaborasi riset international di PPSDL Unpad
terutama membina jejaring dengan melayani dengan manfaat yang lebih besar, bekerja
dengan tepat waktu, riset lapangan harus dikuasai oleh para peneliti, konsep riset dari kita
karena substansi dari kita yang kuasai lapangan riset, sedangkan Jepang tidak publikabel,
lesson learn, kompleksitas di Indonesia sedang diJepang sangat sederhana.
Terkait dengan fasilitas dalam kolaborasi riset international biasanya diusulkan
pengadaan alat-alat riset dengan plafon yang ditentukan dari Jepang. Dalam pengusulan
peralatan, jika harganya di atas Rp. 25 juta maka alat tersebut harus dibawa kembali ke
Jepang setelah program kolaboorasi riset selesai, sedangkan jika harga dibawah Rp. 25 juta di

190

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

mana peralatan dapat dimiliki oleh Unpad(Indonesia). Secara umum selalu ada peralatan
yang tetap di Indonesia dan menjadi milik institusi pendidikan seperti JPS, molekuler,
mikroskop, dan sebagainya.
Untuk program HIBAH dari Jepang yang umumnya dilakukan di mana SDM kita
sebagai peneliti utama sedangkan peneliti dari Jepang sebagai Co-peneliti untuk
pengembangan kurikulum pendidikan terutama untuk kesiapan masyarakat Indonesia jika
menghadapi suatu peristiwa (penyakit) yang berbahaya dan menular, maka perlu
dipersiapkan kurikulum agar masyarakat Indonesia jika bepergian tidak mengalami suatu
penyakit yang dapat menular pada masyarakat Jepang atau lainnya bila bepergian ke negara
tersebut.
Salah satu program yang diharapkan dapat mendorong kolaborasi riset international
ialah program Academic Leadership Grand (ALG) UNPAD tahun 2015/2016 yang pertama
kali diimplementasikan untuk wilayah Jawa Barat dimana seluruh kabupaten/kota perlu
dibuatkan program sesuai kebutuhan masyarakat. Melalui program ALG ini setiap Profesor
akan mendapat pendanaan sebesar 1 milyar untuk empat tahun yang pelaksana dan
penananggung jawabnya ialah tiap-tiap professor. Program ALG yang dikomandoi oleh
professor bertujuan untuk mendidik/mencetak SDM yang telah doctor untuk menjadi
professor dan dari SDM master (strata dua) bisa menjadi doktor sampai professor dibawah
pembinaan oleh Profesor. Dengan demikian hasil yang diharapkan terbangunnya kemampuan
dan kompetensi yang mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dan Negara. Dari SDM
yang dihasilkan ini secara otomatis akan menghasilkan publikasi international. Sementara itu
Unpad juga membuat program Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) dengan pendanaan
Rp. 500 juta setiap program studi sehingga UNPAD menyediakan sekitar 35 Milyar per
Tahun yang dimulai tahun 2015. Jika program ALG dengan anggaran 1 milyar untuk 4 tahun
(maksimal) dan atas tanggung jawab professor diharapkan mampu membina tenaga dosen 1 :
1 : 6 orang setingkat doktor, maka diharapkan dari 6 orang doktor dalam 3 4 tahun bisa
menjadikan seorang professor.
Terkait dengan program ALG dengan tanggung jawab setiap profesor juga diharapkan
dapat mendorong program kerjasama luar negari terutama pergutruan tinggi terkemuka di
berbagai Negara maju yang memiliki pendanaan cukup besar. Seperti diketahui pula bahwa
tahun 2015 ini UNPAD memprogramkan adanya Hibah Unggulan Program Studi(HUPS)

191

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

yang juga diharapkan untuk mendorong percepatan program unggulan yang berorientasi
pemecahan permaalahan yang ada di masyarakat. Hasil yang diharapkan ialah pengelolaan
biodiversiti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat supaya semakin baik dan sekaligus
pemberdayaannya, juga professor tidak ada alasan untuk tidak melakukan kegiatan riset. Oleh
karena itu program transdisiplin akademik dimulai dari penelitian hilir, pengalaman
masyarakat berupa pengalaman/pengetahuan praktis( knowledge pracktical) yang dipadukan
dengan pengetahuan akademik dari dosen dan professor. Konsep transdisiplin ialah
eksperimen knowledge yang diperoleh dari masyarakat dan akademik sanitific knowledge
diperoleh dari professor dan dosen.
5. Kolaborasi Riset yang Dibangun oleh ITB
Program kolaborasi riset international pada umumnya dilakukan oleh individu dosen
atas dasar kemampuan dan kompetensi yang didukung oleh jejaring yang telah dirintis atau
telah terbangun. Indonesia sebagai bagian dari dunia international dikenal sebagai Negara
yang memiliki potensi sumber daya alam, juga mempengaruhi tata kelola dunia dalam
perubahan iklim. Seperti diketahui bahwa Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar
bukan saja bagaimana memanfaatkannya, tetapi dunia international lebih menghendaki
kelestarian alam dan ekosistem terjaga dengan baik. Dari kondisi dan iklim yang baik dan
memberi rasa kenyamanan bagi masyarakat berarti lingkungan terpelihara secara baik pula.
Hal ini menunjukkan bahwa perhatian banyak pihak dalam menciptakan iklim yang baik
tersebut tidak dapat dipungkiri.
Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) International banyak memberi perhatian kepada
Indonesia sehingga menawarkan program kolaborasi riset internasional, bukan melalui di
perguruan tinggi. Orientasinya lebih banyak pada bidang kehutanan, mereka itu berbicara
tentang konservasi. Karena koncervasi tidak bisa dijual, maka yang terjadi juga pendekatan
kapasitas lokal, sebagai contoh mereka mengajukan organisasi LSM, membuat fasilitas
masyarakat, perguruan tinggi tidak banyak melakukan riset sehingga interesnya mereka tidak
akan berkolaborasi.

Dengan demikian ada semacam interes tertentu baru mereka

melaksanakan.
Berkolaborasi perguruan tinggi di luar negeri tentang koncervasi, mereka datang dan
melibatkan dari dan kerjasama dalam berbabagi kasus. Pemerintah Indonesia sering melihat,

192

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

tapi sebetulnya ada/tidak masalah. Jadi kerjasama lebih jadi dari mereka, buktinya ada
publikasi dan citasi, tapi kebanyakan orang Indonesia bargaining posisinya lemah.
Bergainging posision berdampak besar terhadap Negara donor. Dengan bergaining posision
lemah, padahal mereka punya dana, namun tidak bisa kerjasama, tapi kalau ada bergaining
posision yang kuat, maka kerjasama akan mudah dilakukan karena kita mengusai
permasalahan yang akan diteliti bersama dengan LSM tersebut.
Peluang kolaborasi riet internasional adalah pendanaan dari luar negeri (Negara
donor) untuk senilai Rp 100 jutaan dapat diperoleh selama komitmen kita sebagai peneliti
harus dapat dijamin hasil yang akan dicapai, dengan pertanggung jawabannya yang
sederhana, tidak rumit dan bisa tunjukkan laporan hasil riset dan buktinya sesuai janji kita,
dengan kita beri misal 5 paket luarannya sehingga dengan kepercayaan itu kita biasanya
ditawarkan lagi atau jika kita usulkan akan dimudahkan untuk memperoleh dana berikutnya.
Ristek itu perlu memberi kesempatan pada peneliti di Lembaga Riset/dosen di
Perguruan Tinggi yang memiliki bergaining potision agar diberi kebebasan untuk menjadi
unggulan. Dengan menjadi unggulan hal ini akan membantu Indonesia supaya diberi
kesempatan mendapatkan program kolaborasi riset internasional dengan dana dari mereka.
Dengan menghasilkan 5 sampai 10 paper untuk jurnal artinya dapat diterima dengan baik,
akan dapat dipastikan untuk mendapatkan pendanaan berikutnya. Jika setiap kali butuh
pendanaan, selama bargaining potision kuat biasanya disediakan dana untuk memenuhi
program kolaborasi riset tersebut.
Pentingnya kolaborasi riset internasional juga memberi peluang SDM kita ke luar
negeri untuk proyek-proyek besar. SDM yang memiliki bergaining potision yang kuat
berpeluang besar untuk dapat dana dari Negara donor. SDM yang memiliki bergainging
potision yang mampu mengerjakan program kolaborasi riset tidak akan keluar uang pribadi,
dan meskipun dapat dana luar juga tidak untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama
Indonesia, dan mereka orang-orang asing tidak bisa mencuri data-data karena diawasi oleh
SDM yang memiliki bergaining potision. Sisi lain dari karakter Negara donor adalah masih
sering terlihat mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining potision, kita tidak bisa
dipermainkan, Indonesia is a world, tak banyak yang punya posisi.
Kebijakan Iptek terutama kolaborasi riset internasional salah satu kelemahan karena
tidak ada bergaining potision dari Ristek dan Dikti. Kalau ada bergainging potision sebaiknya

193

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

diberi keleluasaan, jadikan unggulan, dan banyak dari mereka yang ingin membawa nama
Indonesia. Peluang besar kalau ada SDM yang memiliki bergainging potision dan pemerintah
memberi dana. Kalau sudah demikian, biasanya pada berdatangan untuk kerjasama dan bisa
diperluas dengan kerjasama luar negeri. Program kolaborasi riset seperti memberi dampak
pada orang-orang muda. Mahasiswa sebagai orang muda mereka dibawa ke lapangan untuk
riset dan hasilnya bisa membuat publikasi internasional, juga dapat uang riset, sangat
menentukan bisa lulus sarjana dan jadi dosen, kemudian bisa jadi doktor. Keikutsertaan
mahasiswa dalam program semacam ini karena sudah punya publikasi sebagai persyaratan.
Mahasiswa dengan senang hati mengikuti dan dapat menghasilkan publikasi internastional.
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu memperbaiki kebijakan kolaborasi riset
internasional untuk mendorong mahasiswa dan dosen-dosen muda mengambil peran dalam
meningkatkan program riset baik riset dasar maupun riset terapan yang dibutuhkan sebagai
pemecahan masalah pembangunan nasional.
6. Kolaborasi Riset di Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM - Jogyakarta
Visi Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM adalah menjadikan satu lembaga
studi yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan penemuan dan/atau inovasi baru dalam
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dapat memberikan sumbangan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan misinya adalah menyelenggarakan dan
memfasilitasi berbagai kajian tentang pengelolaan lingkungan hidup secara kritis-holistik,
peka

terhadap

berbagai

dinamika

lingkungan

dan

masyarakat,

serta

membantu

pengembangan sumberdaya manusia di bidang lingkungan hidup.


Hasil diskusi dengan nara sumber di

PSLH-UGM ternyata para pelaku di unit

tersebut, sebagian adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Biologi yang turut aktif
membangun PSLH. Telah banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan terutama dalam
berkolaborasi riset dengan luar negeri. Berbagai isu lingkungan yang muncul seperti
perubahan iklim, pemanasan global dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan manusia
telah menggerakan peneliti dan akademisi untuk memikirkan cara pengelolaan sumber daya
alam yang lebih bijaksana. Usaha pengelolaan sumber daya alam ini telah dilakukan melalui
berbagai riset yang mencakup riset dasar yang terkait seperti usaha konservasi dan pendataan
jenis kekayaan biota, penelitian-penelitian terapan yang mengedepankan konservasi

194

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

berkelanjutan, dan pengelolaan kekayaan biota yang berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi riset yang pernah dilakukan dari penelitian kompetitif melalui Nara
Institute of Science Technology Japan yang didanai dari World Bank diantaranya untuk
kegiatan konservasi biodiversitas di daerah pesisir, yaitu merintis kolam percontohan
budidaya rumput laut jenis ganggang ulva di Pantai Kukup, Desa Kemadang, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Memulainya kegiatan ini dengan mengajak masyarakat dimaksudkan untuk
melakukan konservasi biodiversitas ganggang ulva yang selama ini oleh masyarakat sekitar
telah diolah menjadi keripik. Sehingga namanya sampai saat ini dinamakan keripik ulva.
Namun demikian meskipun sudah mengajak masyarakat untuk memanfaatkan
ganggang ulva, tapi masih tersisa sedikit masalah. Salah satunya ialah masyarakat yang
belum tahu, cara memanen ganggang ini dengan cara mencungkil. Hal itu mengakibatkan
ganggang yang sudah dicabut tidak mudah tumbuh lagi di pinggir karang pantai. Padahal,
ganggang ini tumbuh di awal musim hujan dan baru dapat dipanen pada akhir musim hujan.
Adanya kolam budidaya ganggang ulva diharapkan dapat menjaga konservasi tanaman
biodiversitas yang ada di pesisir pantai Gunung Kidul. Potensi alam ini jika dikelola secara
bijaksana maka nantinya akan memberikan manfaat baik kepada komunitas. Oleh karenanya
untuk kedepannya UGM dalam kegiatan konservasi biodiversitas daerah di pesisir pantai
akan berkolaborasi menggandeng Universitas Charles Darwin, Australia, dan Universitas
Kyong San, Korea, dalam pengembangan biologi kelautan.
Selain itu PSLH UGM juga sepakat melakukan kolaborasi dalam bidang penelitian
biodiversitas tropika dengan empat perguruan tinggi di Jepang. Perguruan tinggi tersebut
adalah Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Ehime University, Chubu
University, dan Nagoya University. Belum lama Dekan Fakultas Biologi UGM, melakukan
kunjungan ke-4 perguruan tinggi di Jepang dan menginisiasi kolaborasi institusional berbasis
penelitian biodiversitas tropika. Kegiatan kerjasama tersebut, meliputi pertukaran staf dan
mahasiswa, joint research, dan penyelenggaraan program double degree master.
Harapannya kolaborasi ini akan bermanfaat bagi UGM dan perguruan tinggi mitra dalam
upaya peningkatan kapasitas penelitian dosen dan mahasiswa di bidang biodiversitas
tropika,.

195

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

196

Pusat Inovasi - LIPI

Pembahasan dan Analisis


Dari hasil pengumpulan data pada Institusi Iptek menunjukkan bahwa kolaborasi riset
internasional mampu memberi dampak secara positif baik sisi luaran ilmiah (Sooryamoorthy,
2009 dan Veugelers, 2010, Katerndhal,2012 dalam Trina Fizzanty dkk, 2013). Bahwa hasil
kolaborasi riset telah menghasilkan publikasi bersama antara peneliti asing dengan mitra dari
lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia. Namun harus diakui bahwa luaran ilmiah
berupa publikasi bersama belum secara maksimal memberi manfaat, apalagi jika publikasi itu
tidak dilakukan secara mandiri oleh mitra yang mewakili lembaga riset/perguruan tinggi,
karena dari berbagai informasi yang dihimpun menunjukkan kalau sebagian mitra dari
lembaga riset/perguruan tinggi belum mengambil peran yang sejajar dengan peneliti asing,
bahkan banyak dari perguruan tinggi di daerah belum memposisikan mitranya dalam
pengumpulan dan pengawasan terhadap data selama riset berlangsung.
Untuk peningkatan sumber daya riset (Heinz & Kuhlman, 2008), inovasi dan daya
saing (Kim dan park, 2008, Van Reijnsoever & Hessel, 2011) dari hasil studi ini belum
terlihat adanya kolaborasi riset yang mengarah ke inovasi, kecuali kolaborasi riset yang
dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, yang memang para penelitinya
mengusulkan proposal ke Pemerintah Jepang untuk mendapatkan pendanaan. Dari usul
tersebut kemudian mendapat respon dengan bantuan dana sebesar Rp. 30 milyar untuk 5
tahun (2013-2018). Namun program tersebut dari hasil diskusi dengan koordinatornya belum
menunjukkan langkah-langkah inovasi seperti diungkapkan di atas. Demikian pula atas usul
dosen senior dari Unpad untuk pengelolaan hutan di Cianjur Jawa Barat dengan
pemberdayaan pada masyarakat. Hal ini juga termasuk penyelesaian masalah-masalah
kompleks meskipun belum memberi dampak secara maksimal dalam perkonomian
masyarakat (Sonnenwald, 2007 dalam Trina dkk, 2013).
Pentingnya proses kolaborasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Sargen dan Waters
(2004) bahwa proses kolaborasi, proses interpersonal di dalam tim dan faktor konteks juga
tampak masih lemah dimana hubungan antara peneliti asing dengan mitra belum
memperlihatkan koordinasi yang memadai sehingga baik peneliti asing yang terkesan
mengumpulkan data kurang transparan dengan mitra kerjanya, sebaliknya dari pihak mitra
juga

kurang

memperlihatkan

kesungguhannya

sebagai

perwakilan

dari

lembaga

riset/perguruan tinggi dalam proses pengumpulan data dan informasi di lapangan, hubungan

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

197

Pusat Inovasi - LIPI

interpersonal dalam tim kurang harmonis dan tidak menjadi perhatian yang serius para pihak
sehingga mempengaruhi substansi penelitian yang digeluti peneliti asing.
Dalam kolaborasi dikenal tahapan inisiasi, klarifikasi, implementtasi,

dan

penyelesaian masalah penelitian. Pengalaman hasil studi ini menunjukkan bahwa dari
kolaborasi riset, tampaknya mitra kolaborasi riset masih jauh dari adanya inisiasi terhadap
usulan proposal dari peneliti asing atau respon secara substansi penelitian yang diusulkan
oleh peneliti asing, sementara mitra bersifat pasif dan mengikuti apa maunya peneliti asing.
Oleh karena tidak diinisiasi terhadap proposal riset yang diusulkan oleh peneliti asing, maka
tidak dilakukan pula klarifikasi terhadap apa saja yang akan diteliti di lokasi yang telah
ditentukan sesuai izin penelitian dari Kementerian Ristek dan Dikti. Ketidak tahuan tentang
konteks penelitian berimplikasi pada ketidak tahuan terhadap data-data dan informasi yang
telah dikumpulkan oleh peneliti asing, sehingga tidak tahu pula apa yang harus
diimplementasikan dan penyelesaiannya seperti apa.
Kolaborasi riset internasional yang telah berlangsung cukup lama, namun belum
menunjukkan adanya kepentingan bersama antara peneliti asing dengan mitranya, rendahnya
interaksi, dan tidak berbagi informasi untuk tujuan bersama. Tampaknya kolaborasi riset
internasional belum menunjukkan hasil sebagaimana yang dibutuhkan oleh mitra kita dari
lembaga riset maupun perguruan tinggi. Padahal diketahui bahwa kolaborasi riset yang
selama ini dilakukan oleh lembaga riset maupun perguruan tinggi telah memberikan hasil
namun masih prosentasi yang amat kecil dibandingkan dengan keberadaan potensi sumber
daya alam dibidang biodiversity. Upaya-upaya kolaborasi riset internasional yang
kebanyakan dilakukan oleh dosen professor yang memiliki bargaining potision seperti yang
dilakukan oleh dosen dari Unpad dan ITB bersama UI dan IPB dalam bidang konservasi
hutan dan pemberdayaan pada masyarakat. Pemberdayaan ini untuk pengadaan sumber mata
air maupun penanaman tanaman-tanaman untuk pelestarian hutan, dan sebagainya.
Menurut Cooke, 2005, Loan Clarke dan Preston 2002, Louck Horsley, dkk 1998 menjelaskan bahwa kolaborasi riset dapat memberi manfaat secara maksimal dalam membagi
pengetahuan dan alih keterampilan, menciptakan cara pandang
mendukung jejaring

dan pengetahuan baru,

dan menjadi lebih produktif, dan diseminasi pengetahuan akan

mendorong dampak penting, serta peningkatan kapasitas iptek. Dari hasil studi ini telah
menunjukkan adanya langkah-langkah positif dari lembaga riset seperti Puslit Biologi LIPI

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dan Puslit Bioteknologi LIPI, begitu pula Unpad dan ITB, meskipun yang dirasakan masih
kecil dan belum dirasakan manfaat langsung, namun telah membagi pengetahuan
sebagaimana diungkapkan para peneliti dari Puslit Biologi yang memandang kolaborasi riset
sangat penting karena membantu memperkuat penelitian dasar, yang jika dilakukan oleh
mereka sendiri akan terbentur pada pendanaan yang sulit dipenuhi oleh Pemerintah. Begitu
pula para peneliti Puslit Bioteknologi yang cenderung melakukan penelitian inovasi dan
produk atas bantuan dana yang cukup besar dari Negara donor, yang tidak mungkin dibiayai
oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan bagi Unpad dan ITB terutama memberi manfaat
dengan mengikutsertakan dosen-dosen muda dan berpeluang untuk mendapat program srudi
doctor, penelitian bersama, membuat pub-likasi ilmiah diberbagai jurnal internasional,
bahkan bisa mendapat peralatan laboratorium setalah penelitian selesai.
Sesuai permasalahan dalam studi ini adalah belum fokusnya arah penelitian untuk
basic research pada Perguruan Tinggi/Universitas yang dilakukan oleh peneliti asing
(Direktori Kementerian Ristek dan Dikti Tahun 2010 dan 2011). Usulan kolaborasi riset
internasional umumnya penelitian dasar bidang biodiversiti, selain karena memang peneliti
asing lebih banyak digunakan untuk penyelesaian studi doltor dan master. Artinya dari segi
waktu, kolaborasi riset hanya butuh waktu yang tidak lama, apalagi pihak mitra tidak
mengambil perin penting. Dan juga sulit untuk ditindaklanjuti kearah penelitian terapan yang
diharapkan bisa menghasilkan penelitian inovasi. Artinya, setiap usulan proposal yang
diajukan oleh peneliti asing dan untuk membangun mitra perlu diperjelas dan secara tuntas
untuk menghasilkan penelitian dasar yang lebih luas. Seperti diketahui bahwa penelitian
dasar itu sangat penting dan strategis bagi lembaga litbang dan perguruan tinggi di Indonesia.
Untuk membantu dan mempercepat dalam mengaplikasikan sumber daya alam bidang
biodiversity, sementara di lembaga litbang dan perguruan tinggi belum banyak yang
mengusulkan usulan penelitian yang bersifat pengembangan untuk memperoleh pendanaan di
negara-negara donor, hal ini dikarenakan masih sedikitnya dosen-dosen yang memiliki
bergaining potision.Menurut nara sumber dari Unpad dan ITB, bahwa kolaborasi riset itu
sangat pentingnya untuk memberi peluang SDM kita mencari pengalaman ke luar negeri
untuk proyek-proyek besar. SDM yang memiliki bergaining potision yang kuat berpeluang
besar untuk dapat dana dari Negara donor. SDM yang memiliki bergainging potision yang
mampu mengerjakan program kolaborasi riset tidak akan keluar uang pribadi, dan meskipun

198

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dapat dana luar juga tidak untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama Indonesia, dan mereka
orang-orang asing tidak bisa mencuri data-data karena diawasi oleh SDM yang memiliki
bergaining potision. Sisi lain dari karakter Negara donor adalah masih sering terlihat adalah
mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining potision, kita tidak bisa dipermainkan,
Indonesia is a world.
Untuk ke depan kebijakan Iptek terutama kolaborasi riset internasional salah satu
dengan memperkuat bergaining potision. Kalau ada bergaining potision sebaiknya diberi
keleluasaan, jadikan unggulan, supaya banyak dari peneliti dan dosen yang ingin membawa
nama Indonesia di dunia internaional.
Bagi negara donor/peneliti asing harus ada common intrest, minat yang besar,
misalnya kolaborasi beberapa perguruan tinggit di luar negeri, kerjasama mendatangkan
mahasiswa, atau kita melibatkan diri sendiri. Dalam banyak kasus, pemerintah indonesia
sering melakukan kolaborasi, tapi sebetulnya antara ya dan tidak. Satu hal yang mungkin jadi
masalah, kalau kerja orang bargaining potision lebih unggul lalu mereka mengakui. Buktinya
terdapat hasil berupa citasi dan publikasi, kebanyakan orang indonesia tidak punya
bergaining potision, betapa besar artinya bagi mereka, karena bisa mengatur dan mengawasi
pelaksanaan program. Dengan demikian, peluang besar jika ada SDM yang memiliki
bergainging posision dan pemerintah memberi dana, biasanya pada berdatangan untuk
kerjasama dan bisa diperluas dengan kerjasama luar negeri. Program kolaborasi riset seperti
memberi dampak pada orang-orang muda. Mahasiswa program pascasarjana sebagai orang
muda mereka dibawa ke lapangan untuk riset dan hasilnya bisa membuat publikasi
internasional, juga dapat dana riset, sangat menentukan bisa lulus master dan jadi dosen,
kemudian bisa jadi doktor. Keikutsertaan mahasiswa dalam program semacam ini karena
mampu membuat publikasi sebagai persyaratan. Mahasiswa pascasarjana dengan senang hati
mengikuti dan dapat menghasilkan publikasi internastional. Oleh karena itu Pemerintah
Indonesia perlu memperbaiki kebijakan kolaborasi riset internasional untuk mendorong
mahasiswa pascasarjana dan dosen-dosen muda mengambil peran dalam meningkatkan
program kolaborasi riset baik untuk riset dasar maupun riset terapan yang dibutuhkan sebagai
pemecahan masalah pembangunan nasional.
Sebagai upaya peningkatan kapasitas iptek, kolaborasi riset internasional sangat
dibutuhkan untuk memberi peluang SDM kita ke luar negeri mengerjakan proyek-proyek

199

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

besar. SDM dengan bergaining potision yang kuat berpeluang besar untuk dapat dana dari
Negara donor. SDM dangan bergaining potision menjamin dapat mengerjakan program
kolaborasi riset tidak akan keluar dana pribadi, tapi juga meskipun dapat dana luar tidak
untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama Indonesia, dan mereka orang-orang asing tidak
bisa mencuri data-data karena diawasi oleh SDM yang unggul. Sisi lain dari karakter Negara
donor adalah masih sering terlihat adalah mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining
potision, kita tidak bisa dipermainkan, Indonesia is a world, tak banyak yang punya posisi.
Oleh karena itu, kebijakan kolaborasi riset internasional penting untuk memperkuat
bergaining potision yang dipersiapkan dari Kementerian Ristek dan Dikti. Bagi SDM yang
memiliki bergainging potision sebaiknya diberi keleluasaan, mejadi unggulan, dan banyak
dari mereka yang ingin membawa nama Indonesia dipentas internasional. Oleh karena itu
dalam kolaborasi riset internasional perlu mempertimbangkan secara serius keterkaitan antara
R&D, Industri dan sumber ilmu. Dibawah ini hubungan tersebut diuraikan secara
komprehensif untuk menghasilkan produk-produk yang unggulan disertai pasar yang luas
baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.

Hubungan antara R&D, Industri dan Sumber Ilmu


INDUSTRI
P
E
O
P
L
E

roduction Experience
valuation of Data
bjectives for Improvements
roblems to be solved
essons Learned
rrors to correct

LEMBAGA PENELITIAN & PENGEMBANGAN ( R&D) NONDEPARTEMEN


INTERFACE
P
rocess Innovations
E
ngineering Improvement
O
pportunities to Explore
P
lans
L
aboratory Results
E
xperiments

200

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

RESEARCH

Gambar 1. Hubungan antara R&D, Industri dan Sumber Ilmu


Hasil Luaran Kegiatan Ppenelitian dan Pengembangan:
1) Publikasi Ilmiah
2) Intelektual Properties ( Hak Atas Kekayaan Intelektual)
3) Produktivity(IES)
4) Transfer of Teckonolgy ( Alih Teknologi )

Dengan demikian kolaborasi riset internasional tidak hanya menghasilkan penelitian


dasar yang memperkuat landasan keilmuan tetapi Indonesia sebagai Negara sedang
berkembang harus mengarahkan kolaborasi riset internasional untuk menciptakan inovasi
teknologi yang member nilai tambah atau memperbaiki perekonomian bangsa Indonesia.
Kolaborasi riset internasional perlu lebih realistik dengan memanfaatkan dana-dana Negara
donor untuk hal-hal yang mendorong perbaikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
lebih utama. Selama Negara-negara donor dapat bersimpatik dan memperoleh keuntungan
bersama, maka sangat penting untuk memberi prioritas kolaborasi riset yang terkait dan
mendorong penciptaan kondisi social ekonomi bangsa. Oleh karena itu kolaborasi riset
internasional selain penelitian dasar di bidang biodiversity yang potensinya sangat besar,
penelitian terapan dan pengembangan kearah produk jadi yang memiliki pasar luas atau untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hubungn antara R&D, Industri dan sumber ilmu (Perguruan Tinggi) merupakan
arahan dan langkah yang harus diwujudkan dalam kolaborasi riset internasional. Produkproduk yang dihasilkan haruslah menjadi pilihan yang strategis karena untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak bahkan bisa menjadi produk unggulan untuk memenuhi
kebutuhan pasar manca negara. Jadi kolaborasi riset internasional selain menghasilkan
publikasi ilmiah, pendidikan bagi SDM yang kompeten, Hak Atas Kekayaan Intelektual
(Paten), dan yang tidak kalah penting adalah produktivitas dan alih teknologi.

201

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pembiayaan Kegiatan Penelitian & Pengembangan dan Industri(SME )

= Marketing
= Production
= Test
= Development

LEMBAGA R&D
NON
DEPATEMEN
DAN BAGIAN
R&D INDUSTRI

Applied Research
( SHORT TERM ASPECTS )
Applied Research
( LONG TERM ASPECTS )
BASIC RESEARH

UNIVERSITAS
DAN
LEMBAGA
PENDIDIKAN

INDUSTRI

Sebagai
Subsidi
dari pemerintah kepada
industri

PUBLIC SUPPORT

PRIVATE SUPPORT

Gambar 2. Pembiayaan Kegiatan Riset dan Pengembangan dan Industri


Dari gambar 2 di atas memperlihatkan

pembiayaankegiatan penelitian dan

pengembangan dan kontribusi industri. Bahwa penelitian dasar dan sebagian applied research
pelaksanaannya bertumpu pada Universitas dan Lembaga Pendidikan, yang didukung oleh
public/masyarakat dan sebagian lagi dilakukan oleh Lembaga riset non departemen seperti LIPI,
BPPT dan bagian dari R&D Industri, namun tetap bertumpu pada riset pengembangan, pengujian
dan produksi untuk pasar yang luas. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga R&D non
Departemen dan Bagian R&D Industri harus didorong oleh bisnis swasta.
Sebagai Negara yang masih memerlukan kerjasama dengan pihak Negara donor,
maka kolaborasi riset internasional perlu memperhatikan substansi pembiayaannya agar benarbenar hasilnya secara maksimal dapat digunakan dan dibutuhkan masyarakat luas. Untuk itu,
maka kebijakan Pemerintah tentang kolaborasi riset internasional harus diperbaiki dan lebih
diarahkan sebagai bagian dari pemecahan permasalahan bangsa.

202

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Uraian di atas telah menunjukkan bahwa kolaborasi riset internasional di 5 (lima)
lembaga riset dan perguruan tinggi dapat terlaksana dengan peneliti asing maupun
kelembagaan telah terbangun baik melalui izin riset yang diajukan oleh peneliti asing maupun
yang diusulkan oleh peneliti dalam negeri untuk mendapatkan pendanaan dari Negara donor
maupun dari perguruan tingginya serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional.
Kolaborasi riset internasional yang diusulkan oleh peneliti asing menunjukkan segi
kuantitas mengalami penurunan, terlihat pada tahun 2010 dan 2011, dimana banyaknya
penelitian 212 judul pada tahun 2010 dengan jumlah peneliti sebanyak 113 orang. Sedangkan
pada tahun 2011, banyaknya penelitian mencapai 128 dengan jumlah peneliti sebanyak 76
orng di bidang biodiversity, meskipun demikian, minat peneliti asing untuk melakukan
penelitian di wilayah Indonesia tetap tinggi. Khusus untuk kolaborasi riset yang diusulkan
oleh peneliti dalam negeri untuk mendapatkan pendanaan dari Negara donor tetap ada namun
secara kuantitas belum banyak dan belum merata pada dosen-dosen kecuali pada dosen-dosen
senior (professor).
Kebanyakan usulan penelitian di bidang biodiversity berbasis pada penelitian dasar
yang diusulkan oleh peneliti asing untuk penyelesaian studi pada tingkat master dan doktor
serta sedikit untuk kepentingan institusi. Menurut peneliti dari Puslit Biologi LIPI, penelitian
dasar ini sangat penting untuk dikembangkan untuk menambah masukan bagi peneliti
Indonesia sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Juga diharapkan dapat
mengikutsertakan para peneliti dari lembaga riset maupun perguruan tinggi nasional untuk
meningkatkan metode dan peningkatan mutu penelitian di Indonesia. Sedangkan penelitian
yang diusulkan oleh para peneliti nasional lebih kearah penelitian terapan dan inovasi,
sebagai penyelesaian permasalahan industri dan masyarakat (Puslit Bioteknologi LIPI, Unpad
dan Fakultas Biologi UGM). Untuk kolaborasi riset yang diusulkan oleh peneliti nasional
belum terlihat program usulan secara terstruktur kelembagan tapi lebih bersifat kemampuan
personal. Seiring dengan itu, maka hanya peneliti yang memiliki bargaining potision yang
dapat mebangun program kolaborasi riset internasional (ITB). Tanpa SDM yang memiliki
bargaining potision adalah sulit untuk dapat membangun program kolaborasi riset, karena
tidak mampu bersaing dan menguasai serta mengatur peneliti asing negara donor. Oleh

203

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

karena tidak memiliki bargaining potision, maka sulit menghasilkan publikasi internasional
dan tidak bisa menciptakan pendidikan lanjut (master dan doktor) bagi mashasiswa pasca
sarjana, padahal salah satu tujuan yang penting adalah menghasilkan publikasi dan SDM
yang berpendidikan doktor.
Ke depan, program kolaborasi riset internasional harus lebih banyak baik usulan
peneliti saing dan lebih fokus pada penelitian dasar. Untuk penelitian dasar ini agar lebih
berguna di dalam negeri, perlu peneliti mitra nasional untuk lebih berperan aktif dan
menentukan aspek-aspek yang mendukung peneliti dasar sebagaimana yang dibutuhkan oleh
pembangunan nasional dalam pengembangan penelitian terapan maupun inovasi. Untuk itu,
maka kebijakan kolaborasi riset perlu lebih menekankan pada kebutuhan akan hasil-hasil
penelitian untuk ditindaklanjuti dalam penelitian terapan dan pengembangan di wilayah
Indonesia.
Pentingnya penelitian dasar yang didanai dari Negara donor karena juga sangat
membantu dalam pengadaan peralatan laboratorium pengujian untuk menghasilkan penelitian
yang bermutu karena kita mengetahui Pemerintah Indonesia tidak memiliki dana yang cukup
untuk memperkuat penelitian dasar. Dengan melalui kebijakan kolaborasi riset akan dapat
membantu kita dalam menaikkan kuantitas penelitian dasar sesuai dengan luasnya cakupan
penelitian kita di Indonesia.

Rekomendasi
Kebijakan kolaborasi riset internasional perlu lebih ditekankan pada manfaat yang
dapat diperoleh secara maksimal misalnya dengan lebih menekankan pada penelitian dasar
mengingat potensi bidang biodiversiti sangat luas dan belum dimanfaatkan secara maksimal.
Dari penelitian dasar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
kerah penelitian terapan sampai pada inovasi dan daya saing.
Kebijakan kolaborasi riset internasional juga perlu diarahkan untuk kegiatan produksi
dan pasar yang luas bagi suatu komoditi sangat penting untuk diperjuangkan keberbagai
Negara donor untuk mendapatkan pendanaan pada riset dan pengembangan suatu produk
yang dibutuhkan masyarakat luas. Pemanfaatan sumber daya hayati(biodiversity) di
Indonesia merupakan pilihan yang strategis ke depan untuk menghasilkan produk-produk
inovasi yang berdaya saing.

204

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Heinze, T and S. Kuhlmann. 2008. Across Institutional Boundaries: Research Collaboration in
German Public Sector Nanoscience, Research policy vol. 37, issue. 5, 888-899
Katerndahl, D. (2012). Evolution of the research collaboration network in a productive department.
Journal of Evaluation in Clinical Practice vol. 18: Pp. 195-201.Katz, J Sylvan and Ben R.
Martin. 1997. What is research collaboration? Research Policy vol.25: Pp. 1-18
Kim, H. & Y. Park (2008) The Impact of R&D Collaboration on innovative Performance in Korea: A
Bayesian Network Approach. Scientometrics vol 75 no. 3, Pp: 535-554
Pontana, Avanti.2015., Membangun Eko Sistem Nasional.,The Ary Suta Center,Jakarta.
Rosichon., LIPI siap kurangi kerja sama dengan asing.,(http://www.antaranews.com
/berita/456273/lipi-siap-kurangi-kerja-sama-dengan-asing). Diakses tanggal 11 Agustus
2015.
Sastrapradja, Didin. 1989. Keanekaragaman hayati untuk kelangsungan hidup bangsa. ,Puslitbang
Bioteknologi-LIPI.
Sonnenwald D.H. (2007). Scientific Collaboration. Annual Review of Information Science and
Technology vol. 4: Pp. 643-81 (Dalam Fizzanty,dkk.2013).
Sooryamoorthy, R. 2009. Collaboration and Publication: How collaborative are scientists in
South Africa? Budapest Scientometics vol. 80 (2009), 421-441.
S. Kayatmo(2014), Sejarah Kelahiran Lembaga Riset dan Pengembangan di Indoensia, oleh LIPI
Jakarta.
Sooryamoorthy, 2009 dan Veugelers, 2010, Katerndhal,2012 dalam Trina Fizzanty dkk, 2013.
Vaugeler, R. 2010. Towards a multipolar science world: trends and impact., Scientometics vol. 82
(2010), 439-458.
Van Rijnsoever, F.J. & Hessels, L.K. 2011. Factors associated with disciplinary and interdisciplinary
research collaboration. Research Policy, 40 (3):463-472
fallas sanfransisco, London taronto Melbornd.

205

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 08

ANALISA KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI DALAM


PENINGKATAN INOVASI--STUDI KASUS LEMBAGA ILMU
PENGETAHUAN INDONESIA
Juhartono1,2, Agus Fanar Syukri3
1

Universitas Padjadjaran 2Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi,


3
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian LIPI
juhartono@ristekdikti.go.id, agus.fanar.syukri@lipi.go.id

ABSTRAK
Dampak ekonomi dari suatu hasil penelitian teknologi baru akan dapat terasa bila
diimplementasikan pada kegiatan ekonomi, khususnya di industri. Penerapan teknologi
yang dihasilkan oleh suatu lembaga penelitian pada umumnya dilakukan dengan proses
alih teknologi. Lima faktor dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah alih teknologi
seperti: kelayakan implementasi, setting institusional, legitimasi politik, penerimaan
sosial dan fleksibilitas & refleksivitas. Dalam makalah ini dilakukan analisa kebijakan
alih teknologi di Indonesia dan implementasinya dalam bentuk program alih teknologi,
dengan studi kasus di Pusinov LIPI. Sekalipun program alih teknologi telah lama ada di
LIPI dan kebijakan tentang alih teknologi telah lama dikeluarkan pemerintah, akan tetapi
ditemukan bahwa masih banyak diperlukan aturan turunan apabila dilihat berdasarkan
lima faktor tersebut di atas.

Kata kunci: kelayakan implementasi, setting institusional, legitimasi politik, penerimaan


sosial dan fleksibilitas & refleksivitas

206

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Upaya penelitian dan pengembangan teknologi telah lama dilakukan di Indonesia, akan tetapi
apakah pengembangan teknologi ini sampai menjadi inovasi, dalam arti hasilnya telah
nampak meningkatkan perekonomian bangsa, bisa jadi masih perlu untuk dikaji lebih dalam
lagi. Alih teknologi sebagai salah satu inovasi guna terciptanya penerapan teknologi dari satu
entitas yang mempunyai teknologi tersebut kepada entitas lainnya yang membutuhkan.
Karena dengan dilakukannya alih teknologi berarti terciptanya peluang penerapan teknologi
dalam proses produksi atau dalam proses ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan atau
perolehan uang bagi pengguna teknologi tersebut, seperti dinyatakan oleh Dervojeda &
Schretlen (2013):
Innovation and technology transfer have strong impact on economic
development and increase in international competitiveness level of the economy.
Alih teknologi dapat menjadi salah satu faktor kunci yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Alih Teknologi dan Inovasi


Alih teknologi dapat didefinisikan sebagai aliran antara pemilik/penguasa teknologi
dan pemakai/pembeli teknologi (Wahab dan Rose, 2012). Alih teknologi dapat mendekatkan
jarak dalam mengakses teknologi tertentu dengan cara berbeda seperti: membelinya,
meminjamnya, meminjamkannya atau melisensikannya. Sebuah hal penting yang
berhubungan langsung dengan alih teknologi adalah komersialisasi teknologi, yaitu sebuah
alih teknologi dengan spesialisasi penekanan pada praktek penggunaan hasil riset dan
pengembangan.
Dalam perkembangan perekonomian dunia, globalisasi ekonomi mengubah naratif
perekonomian. Pada kondisi sekarang ini, pengembangan ekonomi dan daya kompetisi tidak
ditentukan oleh melimpahnya sumber daya alam tetapi oleh tingkat inovasi teknologi. Lebih
lanjut lagi, kemampuan inovasi tidak hanya ditentukan oleh besarnya investasi dalam
penelitian dan pengembangan untuk menciptakan teknologi tetapi juga oleh kemampuan
untuk mengumpulkan dan menalih sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Alih teknologi adalah sebuah faktor kunci yang berpengaruh besar pada pertumbuhan
ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Akses terhadap teknologi dan

207

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

penggunaannya dalam proses ekonomi yang lebih besar akan menentukan posisi daya
kompetisi dalam tatanan tenaga kerja internasional. Perubahan struktur perekonomian adalah
hampir tidak mungkin tanpa adanya efektif alih teknologi dan sistem inovasi nasional yang
terdefinisi dengan baik. Kedua faktor ini mendorong perbaikan yang spektakuler pada daya
kompetisi dan kesuksesan ekonomi khususnya industrialisasi baru pada perekonomian
kawasan Asia Pasifik.
Alih teknologi itu sendiri adalah sebuah proses yang rumit, yang meliputi beberapa
elemen yang saling berkaitan erat seperti teknologi (komponen/mesin, paten/lisensi) dan
pengetahuan (budaya organisasi). Apabila alih teknologi dipahami secara parellel dengan
inovasi, maka hal ini berarti mengandung pengetahuan khusus atau baru tentang sebuah
produk atau servis.
Alih teknologi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses aliran teknologi antara
pemilik dan pemakai/pembeli. Hal ini dapat mendekatkan gap dalam mengakses ke teknologi
khusus yang dibutuhkan dengan cara seperti: membeli, meminjam, dipinjamkan atau lisensi.
Satu elemen penting yang terkait langsung dengan alih teknologi adalah komersialisasi
teknologi, yang mana hal ini merupakan sebuah proses alih teknologi dengan penekanan
khusus pada implementasi penggunaan hasil penelitian (R&D).
Suplai teknologi ini juga sebagian besar tergantung pada inovasi dari kemampuan
sebuah institusi tertentu atau disebut dengan potensial inovasi. Inovasi dalam hal ini harus
dipahami dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baru. Inovasi dapat terkandung dalam
proses produksi atau dalam produknya.

Kebijakan Publik
Akan tetapi pencarian inovasi adalah sebuah aktivitas tidak stabil yang mengandung
biaya dan resiko tinggi, walaupun ia akan membawa pengembalian dan keuntungan yang
besar untuk perusahaan, industri dan negara. Karena alasan itulah, tipe aktivitas ini adalah
untuk mendapat insentif pemerintah melalui kebijakan publik seperti yang umumnya
dipahami. Bagaimanapun, agar

kebijakan dapat melahirkan efek nyata, mereka

membutuhkan pengungkapan bentuk yang berbeda dari aksi pemerintah dan kerangka
peraturan. Jika tidak, maka dapat menyebabkan terbuangnya sumber daya, karena adanya

208

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

risiko untuk beberapa inisiatif pemerintah dapat dinetralkan oleh kebijakan lain yang
memiliki efek sebaliknya.
Dalam kondisi demikian, dukungan pengembangan hanya untuk sain dan teknologi
saja adalah tidak cukup dalam membuat berbagai lingkaran inovasi. Sehingga saat ini, model
dorongan teknologi dan model tarikan pasar yang linier dianggap tidak cukup untuk
menstumulus inovasi. Disisi lain, pandangan sistemik inovasi mengandung pendekatan yang
lebih komprehensif yang memfokuskan pada proses belajar sebagai endogenous faktor,
berdasarkan pada sebuah interdisiplin dan perubahan sudut pandang proses inovasi, yang
mana institusi pendukung inovasi adalah faktor berpengaruh pada proses ini (Edquist, 2005).
Perpektif sistematik ini adalah mirip dengan model chain-linked Kline and Rosenbergs
(1986) yang menyatakan bahwa proses inovatif membutuhkan interaksi konstan di antara
pemain.
Dengan pendekatan seperti ini, kebijakan publik harus bertujuan untuk membentuk
lingkungan yang sesuai bagi interaksi antar pemain, dengan sebuah visi bagi investasi jangka
panjang yang mengatur dua hal biaya dan resiko tinggi dalam proses inovasi. Kebijakan
publik yang paling penting dapat dibagi dalam enam katagori, yaitu:
(1) kebijakan industri dan sektor yang ditujukan pada promosi aktivitas produktif,
diarahkan pada tahap perkembangan yang lebih lama dibandingkan dengan yang sudah
ada.
(2) kebijakan perdagangan luar negeri, yaitu kebijakan import digunakan untuk proteksi
industri dalam negeri dan kebijakan eksport yang membantu meningkatkan daya
kompetitif industri nasional terhadap kompetitor luar.
(3) kebijakan promosi dan finansial yang merupakan investasi jangka panjang dan
pengembangan teknologi baru dengan pembiayaan penelitian dan pengembangan.
Investasi R&D mempunyai tingkat krtidak pastian tinggi dan umumnya luput dari skop
sistem finansial swasta. Sehingga terdapat ruang bagi pemerintah untuk berusaha lewat
pembiayaan non-reimbursable dengan rate bunga rendah (tanpa subsidi).
(4) kebijakan terkait dengan kompetisi dan regulasi yang bertujuan menciptakan dan
menjaga sebuah lingkungan ekonomi yang kompetitif dalam areal kritis untuk inovasi,
termasuk kebijakan hak karya intelektual.

209

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

(5) Kebijakan yang mendukung usaha kecil dan menengah yang dapat memainkan sebuah
peran yang signifikan dalam ekonomi yang inovatif.
(6) Kebijakan pendidikan untuk melatih tenaga trampil dalam bidang sain,teknologi dan
inovasi yang mendorong dan menstimulasi geberasi pengetahuan dalam masyarakat
dengan dukungan akademik dan saintifik riset.
Dalam sebuah studi di Jepang, adalah sebuah kenyataan bahwa peneliti mempunyai
tanggung-jawab untuk menshare hasil penelitiannya kepada masyarakat berdasarkan
kebijakan dalam technology enhancement act (2000), the intellectual property basic act
(2002) dan the amanded basic education act (2006) Japan, tetapi diantara kebijakan tersebut
maka cara paling efektive yang menjamin alih teknologi adalah dengan menciptakan sebuah
mekanisme untuk memberikan peneliti insentif agar bekerja pada penelitian yang berpotensi
komersialisasi
Dari hal tersebut dapat dipahami, sekalipun membagi hasil penelitian kepada
masyarakat merupakan sebuah kewajiban, akan tetapi faktor penting yang mampu
mendorong terjadinya proses alih teknologi adalah penghargaan yang diterima oleh peneliti
terhadap hasil karyanya, yang dalam hal ini umumnya berupa insentif. Tabel 1 berikut
memperlihatkan prinsip yang diadopsi Keio University Japan dalam memberikan
penghargaan bagi proses tranfer teknologi yang telah sukses.
Tabel 1: Sample of attractive incentives for inventors
(Deduction)
Administrative expenses
(15%)

Half for the inventor


(42,5%)

Remaining half for the


university
(42,5 %)

LANDASANTEORI
Dalam implementasi kebijakan efektivitas kriteria penting untuk mengukur
keberhasilan suatu kebijakan atau program. Menurut Halim (2002:14-15) efektivitas sangat
penting bagi pemerintah sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat yang akan memberi
manfaat berupa efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan tepat pada sasaran.
Mardiasmo (2002:105) mengatakan efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran
harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik, kata anggaran disini merupakan

210

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

211

Pusat Inovasi - LIPI

sumber dari dana masyarakat (public money) yang dimana diharapkan menghasilkan output
yang maksimal atau berdaya guna.
Menurut Dunn (2003:429) efektivitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya program
tersebut. Efektivitas, yang berkaitan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk
atau layanan atau nilai moneternya. Misalkan kebijakan kesehatan yang efektif.
Efektivitas adalah berkaitan dengan apakah pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan
seperti yang direncanakan. Pecapaian tujuan tersebut berbanding dengan usaha atau biaya
dikeluarkan untuk mendapatkan tujuan program. Dalam program alih teknologi di lembaga
penelitian pemerintah tujuan program dinyatakan dalam sasaran kinerja yang telah ditetapkan
sebelumnya.

Keberhasilan Implementasi Alih teknologi


Agar

transfer

teknologi

dan

komersialisasi

dapat

mencapai

sukses

dan

menguntungkan, evaluasi potensi diperlukan karena evaluasi akan membantu meminimalkan


risiko yang terkait dengan kegagalan transfer yang dapat mengakibatkan kerugian besar bagi
pihak-pihak yang terlibat. Berdasarkan pentingnya peningkatan kontribusi lembaga penelitian
untuk komersialisasi dan kebutuhan evaluasi untuk mengurangi risiko, maka diperlukan
pembahasan kriteria berbagai penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi teknologi
baru dengan tujuan transfer teknologi bagi komersialisasinya.
Pendekatan yang dilakukan untuk mengukur kesuksesan dan efek alih teknologi dapat
dibagi dua yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Beberapa model pendekatan kuantitatif
untuk mengukur alih teknologi telah dikembangkan seperti: dampak pasar atau kriteria
pengembangan ekonomi, pengukuran jumlah input (telephon masuk, kunjungan perusahaan,
berita,dll) dan pengukuran output (lapangan kerja atau penghematan, peningkatan
pendapatan, produk baru,dll). Akan tetapi dalam prakteknya pengukuran jumlah input dapat
dengan mudah dikumpulkan dan ditabulasi, sementara untuk output jauh lebih sulit didapat
karena bias dan sering kali informasi baru didapat beberapa tahun setelah pengalihan
teknologi dimulai.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Evaluasi Kebijakan Alih Teknologi


Sementara itu metode yang lebih umum digunakan dalam mengevaluasi pendanaan
riset pengembangan adalah menggunakan paten sebagai parameter ukur. Paten bagaimanapun
juga merupakan alat ukur yang jelas karena paten mudah dihitung, ada pada register publik
dan merupakan parameter yang tidak diragukan sebagai hasil penelitian. Sekalipun paten
digunakan sebagai alat ukur hasil penelitian akan tetapi sebuah paten masih jauh bila
digunakan untuk mewakili pengukuran seluruh hasil usaha alih teknologi. Selain itu sistem
paten pada umumnya selalu mengalami perkembangan ataupun perubahan dalam hal
kebijakannya maupun pelaksanaannya.
Kebijakan yang berhasil adalah apabila melibatkan perpindahan maksud kebijakan ke
dalam tindakan kebijakan. Sedangkan kegagalan dalam menyusun kebijakan adalah termasuk
untuk memilih instrumen yang tepat dan dapat memprediksi bahwa kebijakan tersebut tidak
akan memiliki efek yang dimaksudkan, dan juga kegagalandalam secara tepat memastikan
bahwa efek kebijakan dituju tidak terjadi. Sedangkan keinginan tanpa pelaksanaan akan
menjadi buntu tanpa hasil. Berikut hal-hal perlu diperhatikan pada pelaksanaan instrumen
kebijakan:
1.Kelayakan implemensi : pertimbangan keuangan, teknis, teknologi dan pra-kondisi.
Dalam rangka untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan instrumen kebijakan, mereka
harus layak secara finansial, teknis dan teknologi. Oleh karena itu kita perlu memahami
kendala materi di mana instrumen kebijakan yang dipilih dan dirancang. Hal ini termasuk
keterbatasan keuangan di badan publik dan sektor swasta, yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan instrumen kebijakan. Sebuah instrumen kebijakan tidak dapat dilaksanakan
jika tidak ada dana untuk menerapkannya, jika tidak layak secara finansial, atau hanya bisa
diimplementasikan secara parsial (misalnya proyek yang tidak sampai selesai). Karenanya,
instrumen kebijakan harus layak secara teknis, sehingga pelaksanaannya tidak hanya layak
secara finansial, tetapi juga sejalan untuk melakukannya dalam hal kelayakan teknis.
Misalnya, sumber daya keuangan mungkin ada untuk membangun jalur kereta api
berkecepatan tinggi yang baru, akan tetapi perhatikann pula keahlian untuk membangun
infrastruktur yang diperlukan atau mesin untuk membor terowongan yang dibutuhkan
tidak tersedia

212

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2. Setting Institutional
Instrumen kebijakan yang layak implentasi, dipengaruhi oleh setting kelembagaan yang
mana masalah kebijakan didefinisikan, instrumen tersebut dipilih dan dirancang, dan
kemudian diimplementasikan. Lembaga dalam konteks ini mengacu pada organisasi
publik di mana pejabat publik terpilih dan politisi, birokrat dan administrator beroperasi.
3.Legitimasi Politik
Pertanyaan legitimasi politik adalah hal penting di semua tahapan siklus kebijakan, dan
mempengaruhi kelayakan implementasi instrumen kebijakan. Terutama, ketika membahas
isu-isu legitimasi demokratis. Legitimasi politik dapat dibagi dalam legitimasi output,
legitimasi masukan, dan legitimasi capaian. Dalam konsepsi ini, keluaran legitimasi
mengacu pada efektivitas instrumen kebijakan untuk rakyat. Gagasan ini berkaitan dengan
penerimaan sosial. Masukan legitimasi mengacu pada tanggapan terhadap perhatian warga
sebagai hasil partisipasi masyarakat. Legitimasi capaian mengacu pada keberhasilan,
akuntabilitas, keterbukaan dan transparansi proses pembuatan kebijakan.
4. Penerimaan Sosial
Masalah penerimaan sosial merupakan kriteria evaluasi penting. Dalam hal ini terdapat
perbedaan penting antara istilah "penerimaan" dan "diterima", berdasarkan waktu dan
pengalaman individu. Dari pandangan ini, kata diterimadapat dipahami sebagai kriteria
evaluasi ex-post, sementara kata penerimaan dapat dianggap sebagai kriteria ex-ante.
Namun, untuk lebih memudahkan kreteria penerimaan dapat pula dianggap sebagai
kriteria untuk keduanya evaluasi ex-post dan ex-ante.
5. Fleksibilitas & Refleksivitas
Evaluasi kebijakan berlangsung dalam lingkungan yang semakin kompleks dan tidak
pasti. Dengan demikian, evaluasi perlu memastikan apakah instrumen kebijakan adalah
cukup fleksibel untuk mengatasi kondisi dinamisini, dan kepentingan yang sering
bertentangan dari banyak aktor kebijakan. Hal ini mungkin paling jelas dalam bidang
kebijakan lingkungan, di mana "instrumen kebijakan lingkungan baru", yang
memungkinkan pelaku kebijakan lebih fleksibel dalam memenuhi peraturan lingkungan.
Sebagai contoh, berbagai instrumen kebijakan ekonomi, termasuk skema izin dan emisi
perdagangan telah memungkinkan pelaku ekonomi lebih punya fleksibilitas dalam
mematuhi undang-undang lingkungan hidup.

213

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ketika menangani ketidakpastian, kita perlu memeriksa apakah prinsip kehati-hatian telah
diterapkan, apakah instrumen dapat beradaptasi, dan apakah itu ditujukan bagi kemungkinan
perubahan ekonomi, lingkungan dan sosial.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan dalam bentuk evaluasi formal yang
menggunakan metode kualitatif. Evaluasi formal adalah pendekatan yang menggunakan pola
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat diandalkan pada hasil
kebijakan dan mengevaluasi hasil atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan
secara resmi oleh para pembuat kebijakan dan administrator Program.
Metode pengumpulan data untuk penelitian ini adalah wawancara mendalam.
Wawancara dengan informan yang dilakukan di tempat yang berbeda, sesuai dengan
perjanjian. Para peneliti datang satu per satu dari informan di tempat yang berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi alih teknologi dan inovasi di Pusinov LIPI, dilihberat dari lima faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses tersebut, hasilnya adalah sebagai berikut:
1.

Kelayakan implemensi : pertimbangan keuangan, teknis, teknologi dan pra-kondisi.


Responden menyatakan: belum masih banyak aturan yang belum ada mis
membentuk unit kelembagaan di satu lokasi belum berjalan, belum apanya, bagaimana
mekanisme yaitu 5W (what, who, why, where, when). Sudah berjalan tidak aturan ini,
dia punya output tidak dan sudah punya impact masih jauh kalau menuju sini.
alih teknologi belum efektif karena ketidak lugasan aturan itu. Seperti apa, siapa dan
bagaimana pelaksanaannya belum jelas dan tidak lugas. Kalau di uu3 2014 jelas mis
pengadaan tek adalah tek dari litbang.
Produk kebijakan alih teknologi dalam bentuk Peraturan Pemerintah no.20 tahun
2005 ternyata belum dilengkapi dengan aturan turunannya yang mengatur lebih detil
tentang pelaksanaan PP tersebut. Walaupun demikian lembaga penelitian pemerintah
khususnya lembaga pemerintah non kementerian telah mempunyai program yang

214

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menjalankan alih teknologi dari hasil penelitian lembaga tersebut. Cara pengalihan
teknologi pada masing-masing lembaga terdapat perbedaan mengikuti bentuk unit
kerjanya, Hal ini mungkin terjadi karena belum tersedianya aturan yang jelas tentang
pelaksanaan alih teknologi hasil penelitian.
Akan tetapi Pusinov sebagai unit kerja yang menjalankan fungsi tersebut telah
melengkapi aturan yang mengatur tentang proses alih teknologi khususnya yang
dihasilkan oleh LIPI seperti gambar 1 sebagai berikut.

Gambar 1. Proses Alih Teknologi di LIPI

2.

Setting Institutional
Responden menyatakan: Wajar suatu lembaga membuat suatu fungsi yang
mengalih teknologikan hasil litbangnya yang itu dipusatkan satu eselon 2 yang setingkat
dengan lembaga-lembaga lain yang berkonsentrasi dalam kontek alih teknologi. Tugas
dari institusi ini setingkat eselon 2 yang di LIPI disebut pusinov yang menyiapkan segala
tata kelola, policy, tata organisasi atau mungkin stategik-strategik tinking yang lain
yang berkonsentrasi untuk alih teknologi apa saja yg berkaitan dengan itu iniah yang
menyiapkan. Jadi tidak hanya menyiapkan kebijakan tetapi juga mengelola dan bahkan
melakukan desiminasi pelaksanannya di lapangan. Kalau itu terjadi secara ideal maka
secara fungsi lembaga ini akan bisa menjalankannya lebih baik lebih efisien dari pada
dibagi-bagi terdistribusi.
Institusi atau unit kerja yang melaksanakan fungsi alih teknologi di LIPI adalah
setingkat pusat atau eselon dua. Pada umunya unit kerja setingkat eselon dua adalah
bertanggung jawab pada pelaksanaan program yang telah digariskan oleh institusi
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan lebih efektif ataupun koordinasi antar unit kerja
lainnnya. Karena teknologi hasil penelitian nerupakan program penelitian yang
dilaksanakan oleh unit kerja setingkat eselon dua di LIPI.

215

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3.

Legitimasi Politik
Responden menyatakan: Kecukupan, aturan pokoknya sudah ada turunannya
yang belum ada. Apapun litbang apakah dari perguruan tinggi diwajibkan untuk
melakukan alih teknologi. Pengaturannya sudah cukup tetapi saat diimplementasikan
ternyata perlu pedoman yg lebih detail. Misalkan unitnya sudah ada, menganismenya
sudah ada, barangnya sudah ada, bagaimana membinanya sudah ada artinya sudah ada
semua hanya saat diimplementasikan ke bawah tidak bisa dijalankan.
Terkait insfrastruktur, bantuan insentif seperti pp35 seperti bantuan SDM
peneliti perekayasa, aturannya baru kita rintis terkait dengan alih teknologi.yg penting
ada koridor hukum yang mengamanahkan bahwasanya PNS bisa diperkerjakan di
industri payung hukum itu saja, karena di pasal 70 UU 5 bunyinya kebalik, PNS yang
ingin meningkatkan kompetensi dan sebagainya bisa ditempatkan di industri, seakanakan PNS magang, tapi yang dimaui industri sebaliknya.
Lembaga pemerintah dalam menjalankan tugasnya perliu dilengkapi dengan suatu
aturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang. Ketiadaan aturan sebagai
turunan peraturan diatasnya secara umum dapat diartikan peraturan tersebut belum dapat
dijalannya. Hal ini berdampak pula pada penyediaan anggaran yang dibutuhkan untuk
menjalankan peraturan tersebut tidak dapat disediakan dan anggaran pembahasannya
dilakukan oleh lembaga legeslatif yang juga merupakan salah satu proses politik.

4.

Penerimaan Sosial
Responden menyatakan: Pemerataan, terkait royalti, tentang kepemilikan sudah
ada, tapi aturan kepemilikan lebih kepada pengelolaan sedangkan untuk sharenya atau
pengaturan pembagian belum ada. Yang ada hanya menyatakan perlu ada memperoleh
imbalan untuk HAKI, tetapi angkanya belum ada dan ini harusnya diatur oleh aturan
dibawahnya. Perlu diatur berapa royalti ke mereka berapa royalti ke lembaga.
Royalti merupakan salah satu unsur penting dalam proses alih teknologi, karena
ia bukan hanya sebagai sebuah penghargaan tetapi juga sekaligus sebagai sebuah
pengakuan terhadap prestasi peneliti. Sejalan dengan itu pemerintah melalui kementerian
keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
72/Pmk.02/2015 Tentang Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak

216

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Royalti Paten Kepada Inventor. Dalam peraturan ini dimuat tetang pembagian royalty
hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah.

5.

Fleksibilitas & Refleksivitas


Responden menyatakan: Efisiensi di sini bersifat day to day, ada dua strategi,
pertama bagaimana melakukan efisiensi day to day levelnya es3, jadi es3 ini harus
benar-benar dia di lapangan mengefisiensikan day to day proses. Mulai dari
perencanaan tatakelola organisasi dilingkungan dia dan tata kelola kebijakan-kebijakan
yang ada, pembagian tugas dsb dan itu day to day.
Pada kondisi lingkungan yang semakin dinamis saat ini, palaksanaan program
atau kegiatan tidak cukup lagi hanya dengan sesuai prosedur yang ditetapkan.
Permasalahan dan perubahan yang sering terjadi baik dari lingkungan internal atau
eksternal diperluakan kemampuan manajerial untuk menyelesesaikannya dan bukan lagi
menjalankan sesuai prosedur. Evaluasi harian atau day to day ini menunjukan sebuah
flexibilitas dalam menyelesaikan persoalan atau melakukan perbaikan.

217

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Berdasarkan uraian di atas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia khususnya pusat


inovasi dalam menjalankan fungsinya melaksanakan alih teknologi hasil penelitian LIPI
mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Konsistensi dalam melaksanakan Inovation
Readiness level merupakan salah satu poin penting untuk mengetahui keispan teknologi
dalam impleentaasinya. Keluarnya peraturan menteri keuangan mengenai pembagian royalty
akan lebih memberikan landasan yang kuat untuk memberikan royalty kepada inventor yang
sebelumnya merupakan salah satu kendala utama dalam melaksanakan alih teknologi
sekalipun masih diperlukan aturan pelaksanaan sebagai aturan turunan dari peraturan ini.
Flexibilitas untuk merespon kondisi yang semakin dinamis yang mana perubahan
semakin cepat terjadi dilakukan dengan adanya evaluasi harian. Sehingga proses manajerial
akan dapat dilaksanakan untuk mengatasi persoalan dibandingkan dengan prosedur
pelaksanaan yang baku.
Peningkatan yang cukup signifikan dalam pencaian target khususnya jumlah paten
terdaftar seperti yang ditunjukan pada gambar dibawah merupakan salah satu kinerja unit
kerja. Akan tetapi masih banyaknya aturan turunan yang belum dibuat untuk melaksanakan
peraturan tentang alih teknologi menjadi pekerjaan rumah kedepan yang masih perlu
dicarikan jalan keluarnya. Proses ini bisa jadi merupakan proses yang dapat terkait dengan
proses politik.

KESIMPULAN
Peraturan tentang kebijakan alih teknologi yang dikeluarkan oleh Pemerintah berupa
peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2015 masih perlu dilengkapi dengan berbagai aturan
turunannya, walaupun demikian program alih teknologi telah dilaksanakan oleh Pusinov LIPI
dengan baik.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 72/Pmk.02/2015 Tentang
Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor
sebagai salah satu peraturan turunan dari PP 20 2015, akan tetapi belum dapat
diimplementasikan karena masih diperlukannya aturan tetang pelaksanaannya.
Pelaksanaan program alih teknologi di lingkungan LIPI sekalipun telah memenuhi
kriteria: Kelayakan implemensi, Setting Institutional, Legitimasi Politik (penyediaan
anggaran), Penerimaan Social dan Flexibility & Refleksivitas, akan tetapi aturan pelaksanaan

218

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

kebijakan tersebut masih perlu dilengkapi lagi, agar dapat dilaksanakan dengan lebih baik
lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini disponsori oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Adapun pendapat yang dikemukakan dalam makalah ini adalah semata-mata dari penulis dan
tidak mewakili pandangan dari para sponsor. Saya berterima kasih Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang memberikan dukungan beasiswa sebagai mahasiswa
pascasarjana. Saya juga mengucapkan terima atas berbagai saran melalui tulisan ini kepada :
Prof. Dr. Dra. Hj. Erlis Karnesih, MS, Prof.Dr.Drs.H.Budiman Rusli, MS, Dr H. Didin
Muhafidin, SIP. Demikian pula terima kasih kepada pimpinan dan staf Pusinov yang
memberikan data untuk makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, 2002, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN
Abdul Wahab, S., Rose, R. C.. 2012. Defining the Concepts of Technology and Technology Transfer:
A Literature Analysis. International Business Research Vol. 5, No. 1.
Bozeman, B.. 2000. Technology transfer and public policy: a review of research and theory.
Research Policy 29 _2000. 627655.
Dervojeda, K., Schretlen, J.. 2013. Innovation How to convert research into commercial success
story? Directorate-General for Research and
Innovation 2013 Nanosciences,
Nanotechnologies, Materials and New Production Technologies (NMP).
Dunn, W. N.. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Edquist, C. (2005): Systems of Innovation: Perspectives and Challenges, in The Oxford Handbook of
Innovation. Oxford University Press, Oxford, 2005, 181-208.
European Commission. 2007. Improving knowledge transfer between research institutions and
industry across Europe.Luxembourg: Office for Official Publications of the European
Communities.
Gurbiel, R.. 2002. Impact Of Innovation And Technology Transfer On Economic Growth: The
Central And Eastern Europe Experience. Warsawa: Warsaw School of Economics .
Kenichi Hatori, Technology Transfer by Public Research Organization, Japan Patent Office AsiaPacific Industrial Property Centre, JIII 2010, p 13.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi

219

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Puslitbang Jalan dan Jembatan. 2013. Alih Teknologi Dari Litbang Ke Masyarakat. Jakarta :
Kementerian Pekerjaan Umum.
Tampubolon, S.. 2011. Politik Hukum Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan Implementasinya untuk
Inovasi dan Alih Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Nasional,
Bandung: Universitas Padjadjaran .
Roman Gurbiel. 2002. Impact of Innovation And Technology Transfer On Economic Growth: The
Central And Eastern Europe Experience. Warsaw School of Economics Warsawa.

220

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 09

PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN DAN


MONITORINGPRODUKTIVITAS KELOMPOK PENELITIAN
(STUDI KASUS: KELOMPOK PENELITIAN MANAJEMEN
MUTU PUSAT PENELITIAN X)
Sih Damayanti1), Tri Widianti2)
1), 2)

Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI


sihdamayanti@gmail.com

ABSTRAK
Pengukuran dan monitoring produktivitas merupakan langkah awal dalam upaya peningkatan
produktivitas organisasi. Hasil pengukuran produktivitas digunakan sebagai pertimbangan
dalam penetapan kebijakan strategis peningkatan produktivitas. Agar dapat memberikan
gambaran produktivitas organisasi secara tepat, pengukuran produktivitas harus dilakukan
dengan rumus perhitungan atau metrik yang tepat dan sesuai dengan organisasi. Berdasarkan
hal tersebut, dalam melakukan pengukuran produktivitas perlu dilakukan pengembangan
sistem pengukuran produktivitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem
pengukuran dan monitoring produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Hasil dari
penelitian ini diketahui bahwa produktivitas Keltian MM dibentuk dan dipengaruhi oleh 18
rasio produktivitas. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan sebuah matrik pengukuran
produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Dimana dalam matrik tersebut,
besarnya indeks produktivitas Keltian MM dipengaruhi oleh nilai rasio produktivitas yang
dicapai, nilai rasio produktivitas yang ditargetkan dan nilai bobot pada setiap rasio.

Kata Kunci: Pengukuran Produktivitas, Kelompok Penelitian, Sistem Pengukuran

221

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam iklim persaingan, peningkatan produktivitas secara berkelanjutan merupakan
hal yang harus dilakukan oleh organisasi (Sudit, 1994, karlsson, 2004, Andersson, 2015).
Untuk dapat meningkatkan produktivitas, organisasi harus dapat melakukan pengukuran
produktivitas organisasinya terlebih dahulu (karlsson, 2004, Wazed, 2008). Oxman (1992)
Seperti yang dikutip dalam Karlsson (2004) menyebutkan bahwa pengukuran produktivitas
merupakan langkah pertama yang mengarahkan organisasi pada pengontrolan produktivitas
yang pada akhirnya akan mengarahkan organisasi pada peningkatan produktivitas. Dengan
melakukan pengukuran produktivitas, organisasi menjadi memahami produktivitasnya, Jika
sudah memahami, organisasi dapat mengontrolnya, dan jika sudah dapat mengontrolnya,
organisasi dapat meningkatkannya.
Kelompok Penelitian Manajemen Mutu (Keltian MM) merupakan kelompok
penelitian yang berada di dalam Pusat Penelitian X. Personel Keltian MM terdiri atas 2
peneliti madya, 2 peneliti pertama dan 3 kandidat peneliti dengan bidang kepakaran di bidang
ilmu Manajemen Mutu. Keltian MM dibentuk pada tahun 2014 berdasarkan SK Kepala Pusat
yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Kepala LIPI No 1 tahun 2014 tentang
dihapuskannya struktur/eselonisasi bidang-bidang teknis penelitian dan beralih dalam bentuk
kelompok jabatan fungsional. Dengan adanya perubahan tersebut, segala kegiatan dilakukan
dan dikoordinasikan oleh internal Keltian. Hasil atau output dari kegiatan Keltian tersebut
kemudian dilaporkan kepada Kepala Pusat dan dilaporkan sebagai kinerja Pusat Penelitian X.
Sebagai Kelompok Penelitian yang masih baru, Keltian MM selalu berusaha untuk
meningkatkan produktivitasnya, terutama pada kegiatan penelitian. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh Keltian MM adalah dengan melakukan pengukuran dan monitoring
produktivitas Keltian termasuk di dalamnya personel Keltian secara rutin dalam periode
tertentu. Pengukuran dan Monitoring tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat
produktivitas aktual Keltian dan untuk mengontrolnya, dimana berdasarkan analisa terhadap
hasil pengukuran dan monitoring tersebut dapat dilakukan upaya-upaya strategis peningkatan
produktivitas Keltian.
Untuk dapat mengukur produktivitas, Keltian harus mempunyai sistem pengukuran
produktivitas Keltian. Namun sayangnya, karena umurnya yang masih baru, Keltian MM

222

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

belum mempunyai sistem pengukuran dan monitoring produktivitas. Disamping itu,


berdasarkan analisa terhadap literatur juga belum banyak dilakukan pembahasan terkait
pengukuran produktivitas untuk Kelompok Penelitian pada khususnya yang dapat diadopsi
dalam pengukuran produktivitas Keltian MM. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan
upaya pengembangan sistem pengukuran dan monitoring produktivitas Keltian MM sebagai
upaya untuk meningkatkan produktivitas Keltian.

Tujuan
Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan pengukuran dan monitoring produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen
Mutu Pusat Penelitian X. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
mengukur dan memonitor produktivitas Keltian MM pada khususnya dan Kelompok
Penelitian pada umumnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara output yang dihasilkan
oleh sebuah sistem dengan faktor input yang digunakan oleh sistem untuk menghasilkan
output (Pekkuri, 2011). Produktivitas juga sering disebut sebagai rasio atau perbandingan
antara output dengan input (sudit, 1994, Lieberaman, 2008, Tangen, 2002, Teng, 2013).
Wong (2015) mengartikan produktivitas sebagai ukuran efektivitas dan efisiensi perusahaan
dalam memperoleh output dengan menggunakan sumber daya yang tersedia (Wong,2015).
Sementara Teng (2013) mendefinisikan produktivitas sebagai hasil penjumlahan antara
efisiensi dan efektivitas. Faktor input pada produktivitas meliputi sumber daya baik itu
sumber daya manusia ataupun sumber daya fisik lainnya yang digunakan dalam proses.
Sementara output, output merupakan keluaran dari proses baik itu berupa produk ataupun
jasa (Pekuri, 2011).
Peningkatan produktivitas diartikan sebagai peningkatan rasio terhadap produk atau
jasa yang dihasilkan terhadap sumber daya yang digunakan (Pekkuri, 2011). Pada
umumnya peningkatkan produktivitas dijelaskan dalam 2 hal, menghasilkan output yang
lebih baik dari segi kuantitas atau kualitasnya dengan menggunakan input sumber daya yang

223

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

sama, atau menghasilkan output dengan kualitas dan kuantitas yang sama dengan
menggunakan input sumber daya yang lebih sedikit (Pekkuri, 2011,).
Langkah awal yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas adalah
melakukan pengukuran produktivitas (Karlsson, 2004). Pengukuran produktivitas merupakan
alat yang dibutuhkan dalam upaya untuk mengevaluasi dan memonitor kinerja sebuah
organisasi (karlsson, 2004). Pengukuran produktivitas dapat dijadikan sebagai alat
komunikasi yang memberikan informasi terkait capaian kinerja perusahaan saat ini dan
membandingkannya dengan sasaranperusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya (Wong,
2015). Dengan melakukan pengukuran terhadap produktivitas, organisasi dapat mengetahui
posisinya saat ini dan kemudian berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat dirumuskan
langkah-langkah yang akan dilakukan untuk meningkatkannya.
Pada dasarnya pengukuran produktivitas merupakan proses identifikasi perhitungan
atau metrik yang tepat yang akan digunakan untuk menentukan efektivitas dan efisiensi
sumber daya yang digunakan (Wong, 2015). Diewert (2005) menjelaskan bahwa terdapat 4
jenis pengukuran produktivitas, yang pertama adalah Single factor productivity atau partial
factor productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan menggunakan satu faktor input
produktivitas. Yang kedua adalah Labor productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan
menggunakan faktor input produktivitastenaga kerja. Yang ketiga adalah Multi factor
productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan menggunakan dua atau lebih faktor
input produktivitas. yang keempat adalah Total factor productivity, yaitu pengukuran
produktivitas terhadap keseluruhan output yang dihasilkan dan keseluruhan faktor input
produktivitas.

224

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan sistem pengukuran dan monitoring
produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Sistem tersebut dikembangkan
berdasarkan analisis terhadap tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
personel Keltian MM, baik yang dilakukan secara individu, atau tim yang melibatkan 2 atau
lebih personel Keltian atau bahkan kegiatan yang melibatkan seluruh personel Keltian MM.
Tahapan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap pertama yang
dilakukan adalah analisis terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini
dilakukan penjabaran terhadap seluruh tugas Keltian MM. Tahap Kedua adalah identifikasi
indikator input dan output produktivitas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini dilakukan
identifikasi terkait input apa yang digunakan dalam melakukan tugas-tugas Keltian dan
output yang dihasilkan berdasarkan tugas tersebut. Tahap ketiga adalah identifikasi rasio
produktivitas. Identifikasi terhadap rasio dilakukan untuk menentukan hubungan antara
output dan input yang saling berkaitan yang akan digunakan dalam pengukuran produktivitas
Keltian MM. Langkah yang keempat adalah penentuan periode pengukuran. Pengukuran
produktivitas biasanya dilakukan dalam rentang waktu satu tahun. Namun, dalam upaya
monitoring, pengukuran produktivitas dilakukan secara bertahap. Pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian dalam penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan atau 4 kali
dalam satu tahun. Hal tersebut didasarkan pada pengukuran kinerja Pusat Penelitian X yang
juga dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan. Tahap kelima adalah perumusan perhitungan
produktivitas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini dilakukan pemodelan perhitungan
produktivitas yang akan digunakan dalam mengukur produktivitas Keltian. Tahap keenam
adalah validasi. Validasi dilakukan untuk membuktikan bahwa sistem pengukuran dan
monitoring produktivitas telah sesuai dengan kondisi Keltian dan sesuai dengan keinginan
personel Keltian MM. Validasi pada penelitian ini dilakukan dengan FGD (Focus Group
Discussion) personel Keltian MM.

225

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Identifikasi Tugas Kelompok


Penelitian

Identifikasi input dan output


produktivitas

Identifikasi rasio produktivitas


Kelompok Penelitian

Penentuan periode
pengukuran

Pengembangan sistem
pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian

Validasi

Gambar 1. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Tugas Kelompok Penelitian
Berdasarkan Peraturan Kepala LIPI No 2 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Jabatan Fungsional Peneliti dan Peraturan Kepala LIPI Nomor 04/E/2009 tentang Standar
Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti, tugas utama peneliti adalah melakukan penelitian
pengembangan terhadap Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dimana kinerja peneliti
diukur dari publikasi Karya Tulis Ilmiah dari hasil penelitian pada jenis publikasi yang telah
ditetapkan. Disamping melakukan kegiatan penelitian, tugas peneliti lainnya berdasarkan
Peraturan Kepala LIPI No 2 Tahun 2014 adalah melakukan diseminasi hasil penelitian.
Diseminasi merupakan penyampaian hasil penelitian dan pengembangan dan/atau pemikiran

226

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

di bidang iptek kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan untuk dimanfaatkan atau
dikembangkan lebih lanjut (Lipi, 2014).
Berdasar pada peraturan-peraturan tersebut, Keltian MM menjabarkan tugas Keltian
menjadi beberapa poin. Secara lebih jelas, tugas peneliti sebagai personel Kelompok
Penelitian Manajemen Mutu (Keltian MM) dijabarkan sebagai berikut:
1. Memantau perkembangan IPTEK
2. Melakukan penelitian ilmu pengetahuan
3. Mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal dan publikasi ilmiah lainnya
4. Mempresentasikan hasil penelitian dalam konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya
5. Mempublikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat umum
6. Memberikan pengajaran berdasarkan bidang keahlian
7. Mengembangkan soft-technology bidang manajemen mutu berdasarkan hasil penelitian
8. Melakukan perbaikan (improvement) Keltian

Identifikasi indikator input dan output Produktivitas


Setelah dilakukan identifikasi terhadap tugas Kelompok Penelitian kemudian langkah
selanjutnya adalah identifikasi indikator input dan output produktivitas Kelompok Penelitian.
Indikator output produktivitas Kelompok Penelitian dapat dilihat pada Tabel.1. Indikator
output produktivitas dikembangkan dengan mengacu pada tugas-tugas Keltian MM. Indikator
input produktivitas dikembangkan berdasarkan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap
kegiatan Keltian dalam menjalankan tugasnya. Aspek-aspek tersebut antara lain SDM,
anggaran penelitian dan fasilitas. Indikator input yang digunakan dalam pengukuran
produktivitas Kelompok Penelitian dikembangkan dari aspek SDM dan anggaran penelitian,
dengan indikator input produktivitas pada aspek SDM adalah jumlah SDM (orang) dan waktu
kerja (bulan) dan pada aspek anggaran, indikatornya adalah jumlah dana penelitian (Rp).
Penentuan aspek SDM dan anggaran sebagai indikator input produktivitas dikarenakan dua
aspek tersebut mempunyai peran yang besar terhadap terselenggaranya kegiatan penelitian
pada Keltian MM, sedangkan aspek fasilitas hanya bersifat sebagai pendukung kegiatan.

227

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

228

Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1. Indikator Output Produktivitas


Tugas Kelompok Penelitian
1. Memantau
perkembangan
IPTEK
2. Melakukan penelitian
ilmu pengetahuan
3. Mempublikasikan
hasil penelitian ke
media publikasi yang
telah ditetapkan
4. Memresentasikan
hasil penelitian dalam
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
lainnya
5. Mempublikasikan
ilmu
pengetahuan
kepada masyarakat
umum
6. Memberikan
pengajaran
berdasarkan bidang
keahlian
7. Mengembangkan
soft-technology
bidang
manajemen
mutu
berdasarkan
hasil penelitian
8. Melakukan perbaikan
(improvement)
Keltian

Indikator
Produktivitas

output

Output

Publikasi KTI pada: 1). jurnal


internasional terindeks scopus,
2). jurnal internasional selain
terindeks scopus, 3). jurnal Jumlah perolehan angka
nasional terakreditasi, 4). kredit dari publikasi
jurnal
nasional
tidak KTI
terakreditasi, 5). prosiding
internasional, dan 6). prosiding
nasional.
Keikutsertaan
konferensi dan
ilmiah

dalam
pertemuan

Artikel semi popular


Majalah ilmiah
Keikutsertaan
dalam
memberikan
pengajaran,
narasumber dan bimbingan

Ukuran

AK

Jumlah konferensi dan


pertemuan ilmiah yang Kali
diikuti
Jumlah edisi QMM
Edisi
yang diterbitkan
Jumlah edisi QMR yang
Edisi
diterbitkan
Jumlah
pengajaran,
narasumber
dan
Kali
bimbingan
yang
dilakukan

Soft
technology Jumlah soft technology
Buah
(metode/toolkit/sistem)
(metode/toolkit/sistem)

improvement
(metode/toolkit/sistem)
digunakan oleh internal

yang

Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal

Buah

Identifikasi Rasio Produktivitas


Setelah indikator input dan output produktivitas telah ditetapkan, kemudian dilakukan
identifikasi rasio produktivitas yang menghubungkan antara output dengan input
produktivitas. Hasil identifikasi terhadap rasio produktivitas dapat dilihat pada tabel 2.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 2. Rasio Produktivitas Kelompok Penelitian


No Rasio Produktivitas
Produktivitas publikasi ilmiah terhadap
1
jumlah SDM
Produktivitas publikasi ilmiah terhadap
2
waktu kerja
Produktivitas publikasi ilmiah terhadap
3
jumlah anggaran
Produktivitas
keikutsertaan
dalam
4
konferensi dan pertemuan ilmiah
terhadap jumlah SDM
Produktivitas
keikutsertaan
dalam
5
konferensi dan pertemuan ilmiah
terhadap waktu kerja
Produktivitas
keikutsertaan
dalam
6
konferensi dan pertemuan ilmiah
terhadap jumlah anggaran
Produktivitas Penerbitan edisi QMM
7
terhadap waktu kerja
Produktivitas Penerbitan edisi QMM
8
terhadap jumlah anggaran
Produktivitas Penerbitan edisi QMR
9
terhadap waktu kerja
Produktivitas Penerbitan edisi QMR
10
terhadap jumlah anggaran
Produktivitas
keikutsertaan
dalam
11 memberikan pengajaran, narasumber
dan bimbingan terhadap jumlah SDM
Produktivitas
keikutsertaan
dalam
12 memberikan pengajaran, narasumber
dan bimbingan terhadap waktu kerja

Input
Jumlah SDM
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Jumlah SDM

Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Jumlah SDM

Waktu Kerja

13

Produktivitas dalam menghasilkan Soft


Jumlah SDM
technology terhadap jumlah SDM

14

Produktivitas dalam menghasilkan Soft


Waktu Kerja
technology terhadap waktu kerja

15

Produktivitas dalam menghasilkan Soft Jumlah


technology terhadap jumlah anggaran
anggaran

16

Produktivitas
dalam
menghasilkan
improvement untuk internal Keltian Jumlah SDM
terhadap jumlah SDM

Output
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah edisi QMM yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMM yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMR yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMR yang
diterbitkan
Jumlah
pengajaran,
narasumber
dan
bimbingan yang dilakukan
Jumlah
pengajaran,
narasumber
dan
bimbingan yang dilakukan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal

229

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

17

Produktivitas
dalam
menghasilkan
improvement untuk internal Keltian Waktu Kerja
terhadap waktu kerja

18

Produktivitas
dalam
menghasilkan
Jumlah
improvement untuk internal Keltian
anggaran
terhadap jumlah anggaran

Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal

Perumusan Model Pengukuran Indeks Produktivitas Kelompok Penelitian


Setelah rasio produktivitas ditetapkan, kemudian langkah selanjutnya adalah
perumusan model pengukuran indeks produktivitas Kelompok Penelitian. Model pengukuran
indeks produktivitas Kelompok Penelitian dijelaskan sebagai berikut:
= 1, 1 + 2, 2 + + 18, 18

Dimana IP merupakan Indeks Produktivitas pada periode t. SR merupakan Score Rasio.


Score raiso merupakan prosentase Rasio produktivitas capaian dengan Rasio produktivitas

target yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Keltian ( =


100%, dimana SR Score

Rasio, R Rasio capaian, RT Rasio Target) dan W merupakan bobot Rasio produktivitas.

Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun sistem pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian Manajemen Mutu Pusat Penelitian X. Sistem pengukuran produktivitas
disusun dengan melakukan analisis terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian MM. Hasil
dari analisa tersebut, didapatkan tugas Kelompok Penelitian terdiri dari 8 tugas. Dimana
berdasarkan tugas tersebut dilakukan identifikasi terhadap input produktivitas dan output
produktivitas. Hasil dari identifikasi tersebut terdapat 3 input produktivitas dan 7 output
produktivitas yang dapat digunakan dalam pengukuran produktivitas Keltian MM. Setelah
input dan output produktivitas diketahui kemudian dilakukan identifikasi terhadap rasio
produktivitas, menghubungkan keberpengaruhan antara output dengan input. Dan
berdasarkan analisis tersebut didapatkan 18 rasio hubungan antara output denga input yang
kemudian digunakan sebagai rasio pengukuran produktivitas Keltian MM. Lebih jelas rasio
produktivitas dapat dilihat pada tabel 2.

230

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Untuk mengetahui tingkat produktivitas Keltian, dibutuhkan sebuah rumus atau


matrik pengukuran yang mengcover 18 rasio produktivitas yang telah diidentifikasi. Matrik
pengukuran produktivitas Keltian MM pada poin 4 pada sub judul Hasil dan Pembahasan.
Dalam matrik tersebut, nilai indeks produktivitas dipengaruhi oleh Score Rasio (Rasio
capaian dan Rasio target) dan bobot pada setiap rasio.
Sebelum melakukan pengukuran, Keltian MM melakukan pembobotan terhadap 18
rasio produktivitas tersebut dimana nilai bobot ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan
masing-masing rasio. Pembobotan rasio produktivitas dapat ditentukan dengan menggunakan
metode Analytic Hierarchy Process (AHP) atau melakukan Focus Group Discussion (FGD)
dengan personel Kelompok Penelitian. Selain pembobotan terhadap rasio produktivitas,
Keltian juga perlu untuk menentukan target yang ingin dicapai oleh Keltian MM pada setiap
rasio produktivitas. Hal tersebut diperlukan untuk melakukan perbandingan antara nilai yang
dicapai oleh Keltian MM dengan nilai yang diinginkan atau ditargetkan.
Berkaitan dengan monitoring produktivitas, pengukuran terhadap produktivitas
Keltian MM dilakukan secara bertahap dalam periode yang telah ditentukan dengan nilai
target yang juga telah disesuaikan. Pengukuran produktivitas Keltian MM dilakukan dalam
rentang waktu 3 bulan. Monitoring produktivitas ini diperlukan agar produktivitas Keltian
dapat terkontrol dengan baik. Jika nilai Indek Produktivitas capaian jauh dari target, Keltian
dapat menerapkan kebijakan-kebijakan strategis sebagai upaya peningkatan produktivitas.
Dimana dengan penerapan kebijakan peningkatan produktivitas tersebut, indeks produktivitas
yang didapatkan dalam pengukuran produktivitas periode selanjutnya lebih tinggi. Lebih
lanjut, nilai indeks produktivitas total dalam satu tahun yang dicapai dapat sesuai dengan
target.

231

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN
Pengukuran dan monitoring produktivitas merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam upaya meningkatan produktivitas dan kinerja organisasi. Agar dapat
menggambarkan kondisi organisasi dengan tepat, pengukuran produktivitas harus sesuai
dengan kondisi organisasi. Lebih lanjut, matrik yang digunakan dalam pengukuran
produktivitas juga harus tepat dan sesuai. Dalam kaitan dengan tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengembangkan sistem pengukuran produktivitas Kelompok Penelitian
Manajemen Mutu Pusat Penelitian X. Sistem tersebut dikembangkan berdasarkan analisis
terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa produktivitas Keltian MM
dibentuk dan dipengaruhi oleh 18 rasio produktivitas. Selain itu, penelitian ini juga
menghasilkan sebuah matrik pengukuran produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen
Mutu. Dimana dalam matrik tersebut, besarnya indeks produktivitas Keltian MM dipengaruhi
oleh nilai rasio produktivitas yang dicapai, nilai rasio produktivitas yang ditargetkan dan nilai
bobot pada setiap rasio.

DAFTAR PUSTAKA
Andersson, C., dan Bellgran, M., 2015, On the complexity of using performance measures: Enhancing
sustained production improvement capability by combining OEE and productivity, Journal of
Manufacturing Systems, Vol. 35, Hal.144154.
Diewert, E., and Nakamura, A. O., 2005, Concepts and Measures of Productivity: An Introduction,
Forthcoming as Chapter 2 in Lipsey and Nakamura (eds.), Services Industries and the
Knowledge Based Economy, University of Calgary Press.
karlsson, M., dkk, 2004, Measuring R&D productivity: complementing the picture by focusing on
research activities, Technovation, Vol. 24, Hal. 179186
Lieberaman, M. B., dan Kang, J., 2008, How to measure company productivity using value-added: A
focus on Pohang Steel (POSCO), Asia Pacific Journal Manage, Vol.25, Hal.209224
LIPI, 2014, Peraturan Kepala LIPI No.2 Tahun 2014, tentang Petunjuk Teknis Jabatan Funsional
Peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Jakarta.
Pekuri, A., dkk, 2011, Productivity and Performance Management Managerial Practices in the
Construction Industry, International Journal of Performance Measurement, Vol. 1, Hal.39-58.
Sudit, E. F., 1995, Productivity measurement in industrial operations, European Journal of
Operational Research, Vol. 85, Hal.435-453

232

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tangen, S., 2002, Understanding the concept of productivity, Proceedings of the 7th Asia Pacific
Industrial Engineering and Management Systems Conference (APIEMS2002).
Teng, H. S. S., 2013, Qualitative productivity analysis: does a non-financial measurement model
exist?, International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 63, No. 2,
Hal. 250-256
Wazed, MA and Ahmed S, 2008, Multifactor Productivity Measurements Model (MFPMM) as
Effectual Performance Measures in Manufacturing, Australian Journal of Basic and Applied
Sciences, Vol. 2 No. 4, Hal. 987-996.
Wong, G., 2015, Handbook for SME productivity Measurement and analysis for NPOs, Asian
Productivity Organization: Japan.

233

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 10

STANDAR PENGUKURAN IMPLEMENTASI 5SPADA KELOMPOK


PENELITIAN DI LEMBAGA PENELITIAN XYZ
Tri Widianti
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI
tri_widianti@yahoo.com

ABSTRAK
Sebuah kelompok penelitian di lembaga penelitian XYZ telah mengimplementasikan metode
5S sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas pada proses penelitian.
Keberhasilan implementasi metode ini dapat diketahui dengan pengukuran efektivitasnya.
Pengukuran ini penting dilakukan untuk mengetahui kondisi implementasi 5S di kelompok
penelitian. Penilaian efektivitas implementasi 5S membutuhkan indikator pengukuran yang
sesuai

dengan

karakteristik

kelompok

penelitian.

Sehingga,

tujuanpenelitianiniadalahpenentuan standar pengukuran untuk menilai efektivitas penerapan


5S yang sesuai dengan kontekskelompok penelitian. Indikator penilaian efektivitas penerapan
5S diperoleh dengan menggunakan metode Delphi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan metode Delphi diperoleh 77 indikator yang bisa digunakan untuk menilai efektivitas
penerapan 5S di kelompok penelitian dengan tingkat kesetujuan 83 sampai dengan dan 100%.

Kata Kunci: 5S, Standar Pengukuran, Kelompok Penelitian

PENDAHULUAN
Lingkungan kerja kondusif dan berkualitas secara umum dibutuhkan agar pekerjaan
dan mencapai hasil yang optimal. Hal tersebut juga berlaku untuk kegiatan penelitian.
Kegiatan penelitian membutuhkan lingkungan kerja yang kondusif dan berkualitas.
Lingkungan kerja yang tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja peneliti dan
penelitian. Lingkungan kerja ini juga penting memperhatikan keamanan, keselamatan dan
kesehatan. Dalam rangka mewujudkan lingkuangan kerja yang berkualitas sebuah kelompok
penelitian di lembaga penelitian XYZ berupaya menerapkan metode 5S. Metode ini dipilih

234

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

karena terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja (Ghodrati dan Zulkifli, 2012;
Ab Rahman dkk, 2010; Ananthanarayan, 2006; Becker, 2001). Kelompok penelitian ini
berada pada fase awal penerapan 5S.
Penilaian efektivitas penerapan 5S penting dilakukan untuk mengukur tingkat
keberhasilan penerapan 5S serta mengetahui peluang perbaikan sistem (Gupta dan Jain,
2015). Penilaian terhadap penerapan 5S juga penting sebagai perwujudan prinsip 5S yang ke
empat yaitu Seiketsu dan 5S kelima yaitu shitsuke (sustain). Seiketsu (standadization),
bertujuan untuk memastikan prinsip Seiri, Seiton, dan Seiso tetap dijalankan agar lingkungan
kerja yang berkualitas tetap terjadi dengan dilakukannya tinjauan dan penetapan standar
penerapan 5S.Penilaian efektivitas 5S juga merupakan perwujudan prinsip shitsuke
disebutkan oleh Gupta dan Jain (2015) merupakan tahapan yang sulit dicapai dalam
penerapan 5S.Semakin lama periode 5S diterapkan menjadi kesulitan tersendiri untuk
menjaganya tetap berjalan (Peterson dan Smith, 2001). Sehingga penilaian efektivitas ini
penting untuk mengetahui sejauh mana terpeliharanya penerapan 5S dilingkungan kerja
penelitian. Pada tahap awal penerapan 5S penilaian juga memiliki peran penting untuk
memastikan seluruh rencana penerapan 5S sudah dijalankan. Sistem penilaian 5S ini juga
dapat digunakan untuk melihat kedisiplinan serta konsistensi peneliti dalam menjalankan
prinsip 5S serta dapat dijadikan acuan sebagai sistem penghargaan bagi anggota kelompok
penelitian yang menjalankan sistem 5S dengan baik.
Beberapa peneliti seperti Gupta dan Jain (2015) dan Chang dan Chen (2014) sudah
melakukan penilaian terhadap penerapan 5S. Gupta dan Jain (2012) melakukan penilaian
efektivitas penerapan 5S disebuah organisasi manufaktur pembuatan instrumen agar menjadi
lebih produktif dan efisien. Sedangkan Chang dan Chen (2014) melakukan audit penerapan
5S di sebuah industri manufaktur pembuatan semiconductor wafer.Sebagian besar penilaian
terkait penerapan 5S yang ada diterapkan di manufaktur, sedangkan indikator pengukuran 5S
di kelompok penelitian yang bisa dijadikan acuan atau standar penilaian penerapan 5S di
kelompok penelitian belum ada. Kontekstualisasi indikator penilaian efektivitas penerapan 5S
di kelompok penelitian menjadi penting karena struktur organisasi lembaga penelitian
berbeda dengan organisasi lainnya. Lembaga penelitian jika melihat penjelasan (Burns dan
Stalker, 1961 dalam ONeil dkk, 2001) termasuk pada kategori organiasi organik. Organisasi
organik yaitu organisasi memiliki karakteristik dan struktur kegiatan yang berbeda seperti

235

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

aktivitas yang bersifat dinamis dan tidak rutin (Knight dan McDaniel, 1979), adanya
kebutuhan proses peningkatan yang berkelanjutan (Burns dan Stalker, 1961 dalam O Neil
dkk, 2011), atau memiliki sebaran pengetahuan disetiap tingkatan organisasi (ONeil dkk,
2011). Fakta ini penting dijadikan pertimbangan dalam penilaian efektivitas penerapan 5S di
lembaga penelitian salah satunya dikelompok penelitian agar indikator yang digunakan untuk
menilai efektivitas 5S sesuai dengan konteks yang dibangun.
Beberapa pemaparan di atas menjadikan penentuan standar penilaian penerapan 5S
menjadi penting untuk dibangun. Sehingga penelitian ini bertujuan membangun standar
penilaian efektivitas penerapan 5S untuk kelompok penelitian sebagai usaha peningkatan
penerapan 5S. Standar penilaian ini diharapkan dapat digunakan untuk menilai efektivitas
penerapan 5S dan menjadi indikator peningkatan dalam rangka menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif dan berkualitas. Standar penilaian ini dapat digunakan disetiap fase penerapan
5S (tahap penerapan awal sampai dengan tahap maturitas sistem). Standar pengukuran ini
selain diharapkan dapat digunakan dikelompok penelitian lembaga penelitian XYZ juga
diharapkan dapat digunakan dikelompok penelitian lain dilembaga penelitian lain yang
menerapkan 5S.
Standar penilaian 5S dibangun berdasarkan paradigma penentuan indikator penilaian
dengan metode Delphi. Metode Delphi merupakan sebuah metode pengambilan keputusan
dengan menggunakan penilaian beberapa pakar terkait dengan permasalahan yang ingin
dipecahkan (Linstoneand Turrof, 2002). Metode Delphi ini digunakan dibeberapa penelitian
seperti yang dilakukan oleh Xia dan Albert (2012) yang menggunakan metode Delphi ini
untuk menentukan parameter kunci untuk mengukur kompleksitas sebuah projek. Penelitian
lain yang menggunakan metode adalah penentuan indikaor penilaian komptensi untuk juru
masak yang dilakukan oleh Birdir dan Pearson (2000). Metode Delphi dipilih karena metode
ini memiliki kemampuan untuk memberikan solusi pengambilan keputusan yang baik (Loo,
2002).

236

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Penerapan 5S
Penerapan 5S di kelompok penelitian diawali dengan penerapan prinsip 5S yang
pertama yaitu Seiri (Sort) yang menurut Titu dkk (2010) didefinisikan sebagai sebuah
tindakan making the difference between necessary and useless things in GEMBA [the real
place where each employee works, the place where we add value indeed], giving up the
useless ones.Prinsip ini dijelaskan oleh Gupta dan Jain (2015) memiliki tujuan untuk
menghilangkan barang atau peralatan yang tidak dibutuhkan di lingkungan kerja. Lebih lanjut
Gupta dan Jain (2015) juga mempertegas bahwa prinsip Seiri ini dapat mempermudah pada
proses pencarian perangkat kerja yang dibutuhkan pada saat melakukan pekerjaan yang pada
akhirnya akan melancarkan alur kerja. Agar prinsip Seiri bisa dilakukan, menurut Hirano
(1995), maka harus dipahami konsep mengenai barang yang tidak diperlukan yaitu, barang
yang tidak dibutuhkan dalam pekerjaan.Jika mengutip pendapat dari Peterson dan Smith
(2001) tujuan dari prinsip Seiri selain yang disebutkan juga adalah untuk menciptakan
kerapihan.Sehingga pada pelaksanaan pemilihan indikator pengukuran prinsip Seiri harus
memperhatikan pemaparan di atas.
Prinsip 5S kedua adalah Seiton (Set in Order) yang menurut Kumar dan Kumar
(2012) bertujuan to arrange necessary items in a neat and systematic manner. Sedangkan
jika merujuk pendapat dari Peterson dan Smith (2001), Seiton diartikan secara sederhana
dalam sebuah ungkan yaitu a place for everything and place for everything. Sehingga jika
melihat dari penjelasan di atas, Seiton adalah prinsip 5S yang terkait dengan pengaturan
tempat, organisasi barang atau alat yang bertujuan agar setiap barang itu ditempatkan secara
rapi yang menurut Yasuhiro (1995) dapat dilakukan dengan cara pemberian identitas pada
setiap barang yang berada dilingkungan kerja dan menyediakan tempat yang mudah dikenali
agar mudah untuk diambil dan ditaruh kembali setelah selesai melakukan pekerjaan.
Sehingga pada penyusunan indikator penilaian prinsip Seiton, hal yang penting diperhatikan
adalah terkait memastikan setiap barang, peralatan, bahan, perlengkapan kerja dan setiap hal
yang berkaitan dengan pekerjaan harus terorganisasi dengan rapi dan mudah untuk diakses
atau diambil ketika dibutuhkan serta juga mudah untuk menaruhnya kembali saat pekerjaan
selesai.
Prinsip ketiga dari penerapan 5S yaitu Seiso (Shine) atau resik. Prinsip ini jika
mengacu pada definisi 5S yang diberikan oleh Titu dkk (2010) merupakan cleaning and

237

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

238

Pusat Inovasi - LIPI

disturbance detection the working areas/equipments will be clean, Seiso ini adalah prinsip
5S yang berfokus pada kebersihan area kerja. Peterson dan Smith (2001) dan Harrington
menyebutkan bahwa prinsip Seiso jika dijalankan akan menciptakan efek nyaman bagi
pekerja. Gupta dan Jain (2015) menyebutkan bahwa lingkungan yang bersih dan rapi dapat
menciptakan kondisi lingkungan kerja yang berkualitas yang diharapkan dapat menciptakan
performasi kerja yang optimal.Lancucki (2001) menjelaskan bahwa prinsip ini bisa berjalan
dengan baik jika didukung oleh peraturan yang ditetapkan organisasi terkait kebersihan
ditempat kerja yang memaksa setiap orang untuk sadar dan terlibat dalam menerapkan prinsip
Seiso.Lebih lanjut menurut Gupta dan Jain (2015), Seiso bisa berjalan dengan baik jika setiap
orang

yang

terlibat

dalam

penerapan

Seiso

menjadikan

prinsip

Seiso

sebagai

budaya.Pemaparan di atas menjadi dasar pertimbangan dalam pembentukan indikator


efektivitas penerapan prinsip 5S Seiso.
Jimenez dkk (2015) menjelaskan prinsip ke empat 5S Seiketsu sebagai standardisasi
atau pengendalian secara visual yang dijelaskan sebagai langkah Ensure procedures
andsetups throughout the operation promote interchangeability.Normal and abnormal
situations are distinguished, usingvisible and simple rules. Senada dengan Jimenez dkk
(2015), Kumar dan Kumar (2012) menjelaskan bahwa prinsip ini untuk to maintain a high
standard of workplace organisation by keeping everything clean and orderly at all
times.Sedangkan jika mengacu pada definisi yang diberikan oleh Titu dkk (2010), Seiketsu
adalah merupakan the extension of the cleaning concept to each individual alongside with
the continuous practice of the three steps 3S.Gupta dan Jain (2015) menjelaskan bahwa
prinsip Sheiketu ditujukan untuk tetap terjaganya standar kerja yang baik setelah melakukan
prinsip seiri, seiton, dan seiso.Seiketsu bertujuan untuk memastian ketiga prinsip 5S yang
sudah dilakukan sebelumnya tetap dilakukan dengan melakukan evaluasi dan peninjauan
terhadap penilaian penerapan seiri, seiton dan seiso.Penerapan prinsip Seiketsu menurut
Gupta dan Jain (2015) bisa dilakukan dengan audit atau evaluasi penerapan 3 prinsip 5S yang
harus dilakukan secara reguler dan nilai penerapanya harus diketahui pada setiap area
kerja.Penjelasan di atas menjadi dasar pemilihan indikator yang akan digunakan untuk
menilai prinsip Seiketsu pada standar pengukuran 5S.
Prinsip ke lima atau terakhir dari 5S adalah Shitsukeatau Sustain. Gupta dan Jain
(2015)dan Suwondo (2012), menjelaskan bahwa Shitsuke adalah prinsip S yang paling sulit

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

diterapkan.Jimenez dkk (2015) mendefinisikan prinsip ini sebagai Shitsuke sebuah sikap
disiplin atau kebiasaan.Jimenez dkk (2015) lebih lanjut menjelaskan bahwa Shitsuke adalah
berarti komitmen untuk menjalankan seluruh prinsip 5S dan menjadikan penerapan 5S
sebagai a way of life.Jimenez dkk (2015) menjelaskan bahwaShitsuke adalah cara untuk
memastikan setiap orang patuh pada peraturan dan prosedur yang ditetapkan. Yasuhiro
(1995) menjelasan bahwa prinsip Shitsuke ini bisa diterapkan dengan adanya pengendalian
diri dan pemberian motivasi kepada pekerja.Pengendalian diri dan kedisiplinan dalam
menjalankan Shitsuke penting karena penerapan ini bisa menjadi lebih sulit seiring dengan
berjalannya waktu (Peterson dan Smith, 2001, Gurel 2013).Gupta dan Jain (2012)
memberikan sebuah masukan untuk membantu penjalanan prinsip ini yaitu dengan adanya
sistem penghargaan yang dibuat bagi setiap orang yang secara konsisten menjalankan
5S.Sehingga pada penelitian ini indikator yang dipakai untuk menilai penerapan prinsip
Shitsuke ini menggunakan pendekatan yang memperhatikan penjelasan di atas.

Metode Delphi
Metode Delphi merupakan metode pengambilan keputusan yang menggunakan cara
penilaian pakar terhadap suatu permasalahan (Hsu and Standford, 2007). Metode Deplhi
pertama kali dikenalkan oleh RAND pada tahun 1960an (Julian de Meyrick, 2003). Linstone
dan Turrof (2002) menjelaskan bahwa metode Delphi adalah metode pengambilan keputusan
dengan membentuk kelompok ahli untuk menilai permasalahan yang dihadapi agar dapat
diambil keputusan. Lebih lanjut Linstone dan Turrof (2002) membagi metode Deplhi menjadi
dua yaitu conventional Deplhi dan Delphi conference. Delphi konvensional adalah metode
pengambilan keputusan dengan penilaian terhadap daftar permasalahan atau kuesioner oleh
para ahli atau yang disebut responden grup yang telah disusun oleh tim pembuat daftar
masalah (Linstone dan Turrof, 2002). Para ahli melakukan tinjauan beberapa kali terhadap
daftar permasalahan sampai diperoleh kesimpulan terhadap permasalah yang disampaikan
(Linstone dan Turrof

2002). Sedangkan Delphi conference adalah metode delphi yang

menggunakan sistem komputer untuk melakukan penilaian terhadap permasalahan yang


diberikan oleh tim penyusun daftar permasalahan (Linstone dan Turrof, 2002). Dalkey (1972)
dalam Hsu dan Sandford (2007), menyebutkan kelebihan Delphi adalah bisa mengurangi
dominasi individu pada proses penilaian atau pengambilan keputusan karena proses penilaian

239

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

240

Pusat Inovasi - LIPI

dilakuan secara mandiri bukan dalam bentuk Focus Group Disuccion (FGD) atau konferensi
yang memiliki potensi dominasi dari salah satu atau sebagian penilainya.
Loo (2002) menjelaskan ada empat tahap yang penting diperhatikan saat
menggunakan metode Delphi, yaitu: penentuan batasan masalah, pemilihan responden ahli,
penentuan ukuran group responden asli, serta jumlah ronde pelaksanaan Deplhi. Penentuan
batasan masalah penting untuk memastikan masalah yang dibahas fokus dan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai (Loo, 2002). Pada penelitian ini, batasan masalahnya adalah
penentuan indikator atau paramater penilaian efektivitas penerapan 5S yang akan digunakan
sebagai standar penilaian efektivitas penilaian 5S. Daftar indikator yang dinilai diperoleh dari
tinjauan pustaka dan perumusan berdasarkan kontekstualisasi penerapan 5S di kelompok
penelitian.
Pemilihan responden ahli pada metode Deplhi ini juga menjadi tahap penting dalam
metode ini (Loo, 2002). Pada pemilihan responden ahli harus diperhatikan pengalaman dan
keterlibatan pada masalah yang akan diputuskan (Murry dan Hammons, 1995 dalam Birdir
dan Pearson, 2000). Kriteria pemilihan responden ahli tidak ada standar bakunya, dalam
metode Delphi yang terpenting adalah kriteria ini disesuaikan dengan kebutuhan pengambilan
keputusan (Linson dan Turrof, 2002). Pada satu konteks dapat dibutuhkan seorang ahli
hukum atau perundangan jika konteks yang dibahas adalah terkait itu namun disisi lain dapat
dipilih praktisi kesehatan atau dokter jika permasalah terkait dengan kesehatan. Kriteria
responden ahli terletak pada konteks permasalah yang ingin diputuskan. Pada

konteks

penelitian ini, responden ahli merupakan para peneliti yang terlibat dalam proses perancangan
dan penerapan 5S dikelompok penelitian serta koodinator kelompok penelitian yang
merupakan penanggungjawab pelaksanaan penerapan 5S di kelompok penelitian.
Lebih lanjut menurut Loo (2002) menyebutkan bahwa jumlah responden ahli juga
penting diperhatikan. Secara umum tidak ada peraturan khusus untuk memilih jumlah
responden ahli yang dibutuhkan untuk melakukan penilaian (Hsu dan Sandford, 2007).
Pertimbangan ukuran grup atau jumah responden ahli adalah pada tingkat kompleksitas
masalah yang akan diselesaikan serta tujuan yang ingin dicapai dari pengunaan metode
Delphi ini (Loo, 2002). Sehingga pada penelitian ini jumlah responden ahli yang dipilih
adalah sebanyak 6 orang yang terdiri dari koordinator kelompok penelitian dan lima orang
anggota kelompok penelitian. Menurut Loo (2002), jumlah ronde penilaian juga penting

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

diperhatikan biasanya penilaian dilakukan sebanyak tiga sampai empat kali. Namun tidak ada
batasan yang pasti mengenai jumlah ronde penilaian tetapi yang pasti tidak diperkenankan
hanya satu kali penilaian. Sehingga paling tidak dilakukan sebanyak dua kali putaran
penilaian.

METODOLOGI
Pembentukan indikator penilaian efektivits penerapan 5S kelompok penelitian di
lembaga penelitian XYZ dengan metode Delphi dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap
pertama yaitu proses identifikasi terhadap isu dan masalah pokok penerapan 5S. Identifikasi
ini terhadap masalah pokok penerapan 5S di kelompok penelitian dilakukan dengan melihat
prinsip-prinsip 5S yang dibangun di kelompok penelitian.Selain itu, dilakukan pengumpulan
literatur pengukuran penerapan 5S yang pernah dilakukan sebagai masukan tambahan untuk
membuat daftar indikator penilaian 5S. Daftar indikator yang diperoleh berdasarkan pada
tinjauan literatur dan review penerapan 5S di kelompok penelitian kemudian dikirimkan
kepada pihak penilai ahli yang sebelumnya sudah ditentukan kriteria pemilihannya
berdasarkan kesesuaian dengan konteks yang dinilai. Langkah selanjutnya adalah penilaian
terhadap daftar indikator yang sudah dibuat.Penilaian ini dilakukan oleh responden ahli atau
penilai ahli yang berjumlah enam orang. Pemilihan jumlah enam orang didasarkan pada
tingkat kompleksitas penilaian indikator yang akan dinilai. Penilaian dilakukan secara
mandiri oleh responden ahli dan hasil penilainya kemudian dikumpulkan kembali untuk
dibuat resume hasil penilaiannya. Resume hasil penilaian ini disampaikan kembali kepada
tim penilai untuk dinilai kembali apakah resume yang dibuat sesuai dengan hasil penilaian
yang diberikan oleh responden ahli. Proses penilaian dilakukan berulang kali sampai
memperoleh tingkat persetujuan yang ditargetkan dalam penilaian. Pada penelitian ini
penilaian dianggap selesai jika nilai kesetujuan dari responden ahli terhadap indikator
penilaian efektivitas 5S sudah di atas 75%. Jika penilaian sudah mencapai target kesetujuan
maka dilanjutkan dengan tahap finalisasi indikator dan indikator tersebut sudah dianggap
valid untuk digunakan dalam pengukuran. Alur metode Delphi pada penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

241

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Mulai

Identifikasi Isu dan Masalah


Pokok Penerapan 5S

Pembuatan Daftar Indikator


penilaian penerapan 5S

Pemilihan peserta dan ahli


teknik delphi

Pengiriman dan Penilaian


Indikator Penerapan 5s oleh
para ahli

Resume hasil penilaian


indikator 5S oleh respoden ahli
Penilaian kembali indikator
penerapan 5S setelah
perbaikan
Ya
Revisi?
Tidak
Standar Penilaian Penerapan 5S

Selesai

Gambar 1 Metode Penelitian Pembentukan Indikator Penilaian Efektivitas Penerapan 5S

242

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penilaian dengan metode Delphi maka diperoleh indikator yang
dapat digunakan untuk melakukan pengukuran efektivitas penerapan 5S seperti pada tabel 1
di bawah ini:
Tabel 1 Indikator Penilaian Efektivitas Penerapan 5S
Persentase
Kesetujuan
(%)

No Pertanyaan
A

5
6
7
8
9

SEIRI (SORT)
Tidak ada bahan atau komponen yang tidak dibutuhkan disekitar
meja kerja
Tidak ada peralatan yang tidak digunakan disekitar meja kerja
Tidak ada perlengkapan yang tidak digunakan disekitar meja kerja
Terdapat standar yang jelas untuk membuang barang-barang tidak
berguna
Barang-barang yang tidak dibutuhkan dibuang atau dikembalikan
ke tempat penyimpanannya
Menerapan 3 R reduce, re-use dan recycle
Memperbaiki kegagalan, kebocoran, kerusakan dan penyebabnya
Pemilahan barang yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan
Tidak adanya penumpukkan sampah disetiap ruangan

10

Tersedianya tempat sampah di sekitar meja kerja

83

11

Di rak-rak penyimpanan hanya ada alat yang diperlukan

100

1
2
3
4

Label merah sudah digunakan pada semua tanda


12

100
100
83
83
83
83
83
100
83

yang tidak

penting selama aktivitas

100

Barang-barang ditempat kerja seperti file, dokumen, dan peralatan


13

diberi identitas pemilik

83

SEITON (SET IN ORDER)

Rak-rak memiliki papan tanda untuk identifikasi

100

Wilayah penyimpanan diberi indikator lokasi

100

Garis pemisah wilayah kerja jelas dan pasti

83

Manajemen persediaan tersentralisasi

100

Alat-alat disusun dengan baik dan mudah dikembalikan setelah


5

pemakaian

83

Setiap tempat berlabel orang yang bertanggung jawab

100

Pintu /lemari memiliki sistem pengaman

83

243

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Standar berkas dan pengendalian daftar induk rekaman penelitian


8

ditentukan

100

Membuat tata ruang, tanda penempatan, papan dan label pada


9

ruangan kelompok penelitian

100

10

Terdapat papan pengumuman rapi (termasuk tata ruang dan label)

83

Adanya tempat/rak penyimpanan perangkat kerja penelitian sesuai


11

dengan fungsinya

100

Setiap peneliti melakukan pengendalian pada peralatan


12

atau

perlengkapan kerja yang berada diarea meja kerjanya secara rutin

100

Peralatan mudah terjangkau dan tidak mengganggu aktivitas kerja


13

peneliti

83

Menempatkan masing-masing komponen kerja ke dalam suatu


14

tempat yang sesuai ukuran masing-masing komponen

83

15

Setiap barang mempunyai tempat

83

16

Setiap tempat punya nama untuk barang tertentu.

83

17

Peralatan ditempatkan ditempatnya setelah digunakan

83

18

Penjagaan urutan di dalam ruang penyimpanan

100

19

Warna sudah digunakan untuk menandai area yang berbeda

100

20

Akses, penyimpanan dan meja kerja sudah disusun dan diberi tanda

100

Penataan ruang kerja sudah berdasarkan tujuan dan tingkat


21

pengunaan

83

22

Perkabelan disekitar meja kerja diatur

100

23

Lemari penyimpanan berada ditempatnya

100

SEISO (SHINE)

Lantai bersih dari air, minyak, atau kotoran lainnya

100

Peneliti bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebersihan disekitar


2

meja kerjanya

100

Penugasan tanggungjawab kebersihan terhadap setiap peneliti

83

Membersihkan

tempat

yang

kebanyakan

orang

tidak

memperhatikan

83

Menciptakan citra dan perasaan yang baik di ruangan bersih

83

Mempromosikan kampanye kebersihan reguler

100

Pembersihan ruang kerja kelompok penelitian dilakukan 100

244

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

setiap hari oleh petugas kebersihan


Kebersihan peralatan dan lingkungan penelitian dijaga dan
8

diperhatikan

83

Peralatan atau perlengkapan penelitian digunakan dengan


9

aman

100

10

Lemari penyimpanan bersih

100

Peralatan atau perangkat kerja yang digunakan bersih dari


11

kotoran atau debu

100

Peralatan atau perlengkapan kerja yang tidak digunakan


12

dibersihkan

100

13

Dinding ruang kerja bersih

100

14

Gangguan atau ketidaksesuaian yang ada sudah dideteksi

100

15

Debu atau kotoran ditemukan disudut-sudut tempat kerja

83

SEIKETSU (STANDARIZED)

Udara segar dan tidak bau

100

Pencahayaan ruang kerja cukup

100

Penghindaran dari kotoran dilakukan

100

Terdapat sistem perlindungan untuk 3S pertama

100

Terjaganya perkabelan rapih dan label switch jelas

100

Rancangan tanda warna untuk identifikasi file

83

Pencegahan

terhadap

kebisingan

dan getaran

pada

sumbernya

83

Seperangkat aturan keselamatan dan penilaian risiko

83

Garis-garis warna terdapat di area kerja

83

10

Tanda-tanda terdapat disetiap ruangan

100

Kejelasan dan kesesuaian tanda-tanda peringatan dengan area


11

kerja

100

Aturan untuk penempatan perlengkapan kerja diletakan


12

ditempat yang benar

83

13

Peneliti disiplin

83

245

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

SHITSUKE (SUSTAIN)

Pelatihan yang cukup mengenai standar penelitian

83

Pengendalian persediaan diikuti

100

Kegiatan penelitian mutakhir dan secara teratur dipantau

83

Prosedur mutakhir dan secara teratur dipantau

100

Menjaga pengecekan diri secara disiplin

100

Pengembangan indikator dan grafik kinerja

100

Perancangan pedoman 5S sebagai aturan dasar

100

Menjaga tetap ringkas dan sederhana

100

Komunikasi yang baik antar peneliti di tempat kerja

100

10

Peraturan di kelompok penelitian ditaati oleh setiap peneliti

100

Sosialisasi terhadap pentingnya kebersihan dan kerapian


11

terhadap peralatan dan tempat kerja kepada para peneliti


mulai menunjukkan hasilnya

100

12

Keterlibatan seluruh peneliti dalam program pelatihan 5S

100

13

Koordinator mutu dan norma mutu dibentuk

83

Berdasarkan tabel 1, terdapat 13 indikator untuk penilaian Seiri, 23 indikator


penilaian untuk evaluasi Seiton, 15 indikator penilaian Seiso, 13 indikator Seiketsu, dan 13
indikator Seiton. Seluruh indikator ini memiliki nilai kesetujuan di atas 75 % atau paling
tidak 4-5 orang responden ahli setuju terhadap indikator yang dibangun. Bahkan beberapa
indikator memperoleh nilai persentase mencapai 100%, yang menandakan bahwa seluruh
responden ahli atau sebanyak 6 orang yang melakukan penilaian terhadap indikator penilaian
efektivitas setuju terhadap indikator yang dibentuk. Misalnya pada indikator penilaian Seiri
indikator nomor 1 dan 2 memperoleh nilai kesetujuan 100%, begitu juga dengan indikator
nomor 11 dan 12.
Pada indikator penilaian Seiton, 56% atau 13 indikator dari 23 indikator Seiton
memiliki nilai kesetujuan 100%, sedangkan sisanya memiliki tingkat kesetujuan 83%.
Indikator yang memperoleh nilai kesetujuan 100% adalah indikator nomor 1, 2, 4, 6, 8, 9, 11,
12, 18, 19, 20, 22, dan 23. Sedangkan untuk indikator Seiso 67% indikatornya dari 15
indikator yang dinilai memiliki tingkat kesetujuan 100% dan 23% memiliki tingkat

246

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

kesetujuan 83%. Indikator penilaian Seiketsu yang berjumlah 13 indikator, 7 dari 13


indikatornya memperoleh nilai kesetujuan dari responden ahli sebesar 100% atau seluruh
responden ahli setuju ketujuh indikator ini dapat digunakan untuk menilai penerapan 5S
Seiketsu. Sedangkan untuk indikator Shitsuke yang berjumlah 13 buah indikator 77% dari 13
indikatornya memperoleh nilai kesetujuan sempurna dari responden ahli atau 10 dari 13
indikator nilai kesetujuannya 100%.
Berdasarkan nilai yang ditampilkan pada tabel 1 di atas, seluruh indikator memiliki
nilai di atas 75% tingkat kesetujuannya atau tepatnya di atas 83%. Sehingga berdasarkan
target kesetujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu sebanyak 75% maka seluruh
indikator penilaian efektvitas 5S di tabel 1 dapat digunakan untuk penilaian efektivitas
penerapan 5S di kelompok penelitian. Indikator ini dapat digunakan diseluruh fase
perkembangan penerapan 5S di kelompok penelitian dan dapat digunakan untuk
membandingkan skor efektivitas penerapan 5S dari fase awal sampai fase maturitas
penerapan 5S. Jika indikator hasil penelitian ini dikombinasikan dengan sistem skoring pada
penelitian Gupta dan Jain (2015), untuk menilai skor efektivitas penerapan 5S dikelompok
penelitian ini dapat digunakan rentang skor dari 0 sampai dengan 4, dengan penjelasan 0=
sangat buruk, 1= buruk, 2= rata-rata, 3= Baik, 4= sangat baik, Semakin tinggi skornya maka
efektivitas penerapan 5S di kelompok penelitian semakin baik.Skor penilaian diperoleh dari
penjumlah nilai pada masing-masing indikator penilaian.Misal jika indikator penilaian ada 13
buah maka jumlah dari skor penilaian pada masing-masing indikator tersebut adalah skor
efektivitasnya.Terkait dengan periode penilaian efektivitas ini, kelompok penelitian dapat
menentukan sendiri periode penilaian efektivitas ini, karena tidak ada standar yang tentu yang
menjelaskan periode waktu pengukuran yang harus dilakukan.Pemilihan periode pengukuran
berdasarkan pertimbangan kebutuhan kelompok penelitian.Pada kelompok penelitian ini,
penilaian dilakukan pada fase awal penerapan dan dilakukan kembali penilaian setiap tiga
bulan sekali.Terkait dengan pelaksana penilai maka koordinator kelompok peneliti dapat
melakukan penilaian sendiri atau menunjuk personil penilaian yang memiliki integritas dan
pemahaman yang baik terkait penerapan 5S dikelompok penelitian. Indikator yang terdapat
pada tabel 1 di atas dapat digunakan sebagai standar penilaian efektivitas penerapan 5S di
kelompok penelitian di lembaga litbang XYZ dan secara umum dapat digunakan sebagai
standar penilaian penerapn 5S di kelompok penelitian yang lain yang menerapkan 5S.

247

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan data yang diperoleh dari pengolahan dengan metode Delphi maka untuk
mengukur efektivitas penerapan 5S di kelompok penelitian di lembaga penelitian XYZ,
indikator yang diajukan dapat digunakan karena memperoleh tingkat kesetujuan dari
responden ahli di atas 75%.Pengukuran efektivitas penerapan 5S dengan indikator yang
dihasilkan dapat digunakan disetiap periode waktu pengukuran baik fase awal penerapan
sampai tahap maturitas pada kelompok penelitian dan disarankan periode pengukuran
dilakukan setiap tiga bulan sekali untuk melihat perkembangan nilai efektivitasnya dan dapat
dibuat grafik peningkatannya.Skor penilaian yang digunakan pada standar penilaian ini
adalah dari 0 sampai dengan 4 yang menunjukkan semakin besar skor yang diperoleh setiap
indikator semakin baik nilai efektivitasnya.Jumlah skor masing-masing dari indikator
pengukuran yang dipakai adalah skor efektivitasnya. Indikator penilaian ini selain dapat
digunakan di kelompok penelitian di lembaga penelitian XYZ juga dapat digunakan untuk
menilai efektivitas penerapan 5S dikelompok penelitian lain yang menerapkan 5S.

248

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Ab Rahman, M.N., Khamis, N.K. Zain, R.M. Deros, B.M. dan Mahmood, W.H.W. (2010).
Implementation of 5S practices in the Manufacturing Companies: A Case Study, American,
Journal of Applied Sciences , Hal.1182-1189.
Ananthanarayanan, K.R.M. (2006). Application of 5S management System in NDE Laboratory,
Proc. National Seminar on Non-Destructive Evaluation, (2006) 7-9.
Birdir, K dan Pearson, T.E. (2000).Research chefs' competencies: a Delphi approach,
Contemporary Hospitality Management, Vol. 12 Iss 3 pp. 205 209.
Becker, J.E. (2001). Implementation 5S: To promote safety and housekeeping, Professional Safety,
Hal. 29-31.
Burns, T. and Stalker, G.M. (1961). The Management of Innovation. London: Tavistock Publications
dalam ONeill, J.W. Beauvais, L.L. dan Scholl, R.W. (2001).The Use of Organizational
Culture and Structure to Guide Strategic Behavior: An Information Processing Perspective,
The Journal of Behavioral and Applied Management. Vol 2 No.2, Hal.131-149.
Chang, Yung-Chia dan Chen, Chuan-Yung .(2014). Prioritizing 5S activities by Kano model with
modified CS coefficient for a semiconductor wafer fabrication during ramp-up stage, The
TQM Journal, Vol. 26 Iss 2 pp. 109 124.
Dalkey, N. C. (1972). The Delphi method: An experimental study of group opinion. In N. C. Dalkey,
D. L. Rourke, R. Lewis, & D. Snyder (Eds.).Studies in the quality of life: Delphi and
decision-making (pp. 13-54). Lexington, MA: Lexington Books dalam Hsu CS. The Delphi
technique: making sense of consensus. Pract Assess Res Eval 2007;12:18.
Ghodrati, A.dan Zulkifli, N. (2012). A review on 5S Implementation in Industrial and Business
Organizations, IOSR Journal of Business and Management, Hal. 11-13.
Gupta, S. Dan Jain, S.K. (2015). An application of 5S concept to organize the workplace at a
scientific instruments at a scientific instruments manufacturing company, International
Journal of Lean Six Sigma, Hal.73-88.
Gurel, D.A. (2013). A conceptual evaluation of 5S model in hotels, African Journal of Busines
Management,Vol. 7 No. 30, Hal. 3035-3042.
Hirano, H. (1995). 5 Pillars of the Visual Workplace, Productivity Press, Portland, OR.
Hsu CS. The Delphi technique: making sense of consensus. Pract Assess Res Eval 2007;12:18.
Jimenez, M. Romero, L. Dominguez, M. dan Mara del Mar Espinos. (2015). 5S methodology
implementation in the laboratories of an industrial engineering university school.Safety
Science.Vol. 78 Hal.163-172.
Julian de Meyrick, (2003). The Delphi method and health research, Health Education, Vol. 103 Iss
1 Hal. 7 16.
Knight, K.E., dan McDaniel, R.R. (1979). Organizations: An Information Systems Perspective.
Belmont, CA:Wadsworth Publishing Company.

249

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kumar, K. dan Kumar, S. (2012).Steps for implementation of 5S.International Journal of


Management, IT, and Engineering, Vol. 2 Iss.6, Hal.402-416.
Lancucki, J. (2001). Basis of Total Quality Management, AE, Poznan.
Linstone, H.A. and Turoff, M. (Eds.). (2002). The Delphi Method: Techniques and Applications,
Addison-Wesley
Publishing
Company
Inc,
Reading,
M.A.
Available
at:
http://www.is.njit.edu/pubs/delphibook/
Loo, R., (2002),The Delphi method: a powerful tool for strategic management", Policing:
AnInternational Journal of Police Strategies & Management, Vol. 25 Iss 4 Hal.762 769.
Murry, J.W. and Hammons, J.O. (1995). Delphi: a versatile methodology for conducting qualitative
research, Review of Higher Education, Vol. 18 No. 4, pp. 423-36 dalamBirdir, K dan
Pearson, T.E. (2000). Research chefs' competencies: a Delphi approach, Contemporary
Hospitality Management, Vol. 12 Iss 3 pp. 205 209.
Peterson, J. Dan Smit, R. (2001).The 5S Pocket Guide, Quality Resources, New York, NY.,
Suwondo,C. (2012). Penerapan budaya kerja unggulan 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, dan shitsuke)
di Indonesia, Jurnal Magister Manajemen, Vol. 1 No.1, (2012) 29-48.
Titu, M.A. Oprean, C. dan Grecu, D. (2010). Applying the Kaizen Method and the 5S Technique in
the Activity of Post-Sale Services in the Knowledge-Based Organization, Proceedings of the
international MultiConfertence of Engineers and Computer Scientiest (IMECS).
Xia, Bo dan Chan, A.P.C. (2012). Measuring complexity for building projects: a Delphi study
Engineering,Construction and Architectural Management, Vol. 19 Iss 1 pp. 7 - 24
Yasuhiro, M. (1995). Sistem Produksi Toyota 2, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, (1995).

250

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 11

PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI KELOMPOK


PENELITIAN X (KELTIAN X) DI PUSAT PENELITIAN ABC
1

Tri Rakhmawati, 2Sih Damayanti

1,2

Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI


1
rakhma_tri@yahoo.com, 2sihdamayanti@gmail.com

ABSTRAK
Penyusunan standar kompetensi merupakan bagian dari aktivitas pengembangan sumber daya
manusia yang penting dilakukan oleh setiap organisasi. Penyusunan standar dilakukan untuk
mendorong tingginya kinerja karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada tingginya
kinerja organisasi. Penelitian ini bertujuan menyusun standar kompetensi Kelompok
Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Lebih spesifik, penelitian ini menganalisis
kompetensi yang dibutuhkan oleh personil Kelompok Penelitian X (Keltian X) agar dapat
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik beserta bukti fisik penguasaan kompetensi tersebut.
Kompetensi yang dianalisis terdiri dari kompetensi umum yaitu kompetensi yang wajib
dimiliki oleh semua personil Keltian X dan kompetensi khusus yaitu kompetensi yang wajib
dimiliki oleh personil Keltian X dengan bidang keahlian tertentu. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode studi dokumen, studi literatur, dan kuesioner terbuka kepada
personil Keltian X. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat 22 kompetensi umum yang
wajib dimiliki oleh seluruh personil keltian dan 26 kompetensi khusus yang wajib dimiliki
personil berdasarkan bidang keahlian.

Kata Kunci: kompetensi, standar, kelompok penelitian

251

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

LATAR BELAKANG
Kelompok Penelitian X (Keltian X) merupakan salah satu dari lima kelompok
penelitian di Pusat Penelitian ABC. Kelompok ini dibentuk pada tahun 2014 dengan tugas
utama melaksanakan kegiatan penelitian bidang manajemen mutu. Sebagai kelompok
penelitian baru, Keltian X sedang mengokohkan pondasi dengan meningkatkan kompetensi
para personilnya. Kebutuhan akan penajaman kompetensi juga didorong oleh semakin
tingginya tuntutan masyarakat akan hasil penelitian yang bermanfaat.
Saat ini, Keltian X memiliki 8 orang personil dengan bidang keahlian pengukuran
kinerja dan produktivitas(2 orang), kualitas teknis (1 orang), perilaku konsumen (2 orang),
perilaku organisasi (1 orang), serta standar dan penghargaan (2 orang). Masing-masing
personil keltian diharapkan mengembangkan kompetensinya sesuai dengan bidang keahlian
masing-masing dan menjadi ahli di bidang tersebut. Pada akhirnya, tiap personil diharapkan
mampu menghasilkan penelitian yang berdampak besar bagi masyarakat di tingkat nasional
maupun internasional.
Langkah angkah awal yang perlu dilakukan dalam mengembangkan kompetensi yaitu
mengidentifikasi kebutuhan kompetensi yaitu kompetensi apa yang perlu dimiliki oleh
personil keltian dan seberapa besar kompetensi tersebut harus dimiliki untuk mendukung
pekerjaannya. Oleh karena itu, Keltian X perlu untuk menyusun standar kompetensi yang
merupakan persyaratan minimal kompetensi yang wajib dimiliki oleh personil keltian agar
dapat berkinerja dengan baik dalam pekerjaannya.
Adanya standar kompetensi membantu keltian dalam menganalisis kebutuhan
pelatihan bagi personilnya. Pelatihan yang tepat akan berdampak pada efektifitas dan
efisiensi pekerjaan mereka. Analisis kebutuhan pelatihan pada umumnya dilakukan dengan
membandingkan kompetensi aktual personil dengan standar kompetensi. Gap antara
kompetensi aktual dan standar kompetensi merupakan salah satu indikasi perlunya pelatihan
bagi karyawan. Mengingat hal tersebut, standar kompetensi memiliki peran yang sangat
penting. Selain untuk analisis kebutuhan pelatihan, standar kompetensi juga mengarahkan
kepada pemenuhan kompetensi minimal karyawan untuk suatu pekerjaan. Dengan demikian,
standar kompetensi mendorong pada kinerja yang tinggi.
Pada dasarnya, standar kompetensi peneliti telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 tentang Standar Kompetensi

252

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Jabatan Fungsional Peneliti. Namun, standar kompetensi yang ada bersifat umum dan disusun
berdasarkan jenjang jabatan. Oleh karena itu, dibutuhkan standar kompetensi yang lebih
detail dan berfokus kepada bidang keilmuan dan keahlian Keltian X yaitu bidang manajemen
mutu.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan menyusun standar
kompetensi Kelompok Penelitian X (Keltian X), baik kompetensi yang dibutuhkan oleh
personil Keltian X secara umum (kompetensi umum) maupun personil sesuai dengan bidang
keahlian (kompetensi khusus). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi
item/bukti fisik yang menunjukkan penguasaan kompetensi oleh personil. Identifikasi
item/bukti fisik penting dilakukan untuk melakukan penilaian kompetensi.

TINJAUAN PUSTAKA
Gale (2007) seperti yang dikutip dalam Young dan Conboy (2013) mengartikan
kompetensi sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik. Kompetensi individu
berasal dari satu set atribut yang ia memiliki (seperti pengetahuan, keterampilan, nilai dan
sikap) yang digunakan untuk melakukan tugas-tugas dalam pekerjaannya (Gonczi, 1996
dalam Young dan Conboy, 2013). Senada dengan Gonczi (1996), Boyatzis (1982)
menjelaskan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar dari seseorang yang
menghasilkan kinerja yang efektif dan/atau superior dalam sebuah pekerjaan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa orang yang kompeten adalah orang yang memiliki atributatribut yang dibutuhkan untuk berkinerja dalam pekerjaannya. Kompetensi adalah sebuah
konstruk tak berwujud yaitu tidak dapat diamati secara langsung (Heywood et al.,1992). Oleh
karena itu, perlu untuk memperoleh beberapa bentuk bukti tidak langsung dimana dari bukti
tersebut underlying competency dapat disimpulkan. Selanjutnya Heywood et al. (1992)
menyampaikan tiga pendekatan untuk menyimpulkan kompetensi individu sebagai berikut:
1.

Attribut-based inference of competence

Dalam pendekatan ini, yang perlu dilakukan yaitu mendefinisikan atribut (seperti seperangkat
keterampilan, pengetahuan dan sikap/perilaku) yang dibutuhkan atau yang seharusnya
dimiliki untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya melakukan tes untuk mengetahui apakah
atribut tersebut telah dimiliki oleh personil yang melaksanakan pekerjaan tertentu dan apakah

253

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

atribut tersebut telah berada pada level yang tepat. Hasil tes merupakan bukti kompetensi
personil.
2.

Peformance-based inference of competence

Kompetensi individu disimpulkan berdasarkan kinerja yang ia tunjukkan di tempat kerja.


Dari proses pengamatan terhadap kinerja individu, kompetensi mendasar dapat disimpulkan.
Performance-based model lebih fokus kepada hasil (atau outcome) di tempat kerja daripada
kompetensi potensial seperti yang diindikasikan dengan pengujian atribut.
3.

Combined inference of competence

Pendekatan yang ketiga merupakan penggabungan dari dua pendekatan sebelumnya.


Penggabungan tersebut memberikan manfaat yaitu dapat memfokuskan perhatian pada atribut
personal dari profesional yang kompeten dan bagaimana atribut tersebut kemungkinan akan
diterapkan dan diekspresikan di tempat kerja.
Standar adalah sebuah ukuran yang dirancang dengan persetujuan umum dan
digunakan sebagai dasar penilaian untuk sebuah penerimaan (Crawford, 2007). Pada
umumnya, sebuah standar bersifat kompleks, tetapi dapat dipahami dan dapat dengan mudah
melampaui batas-batas budaya dan bahasa (Crawford dan Pollack, 2008). Berdasarkan
definisi kompetensi dan standar, standar kompetensi dapat didefinisikan sebagai ukuran dari
serangkaian atribut yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan yang telah
disepakati bersama. Atribut tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.
Pentingnya standar kompetensi telah banyak disampaikan dalam sejumlah literatur.
Suhairom et al. (2014) mengatakan bahwa standar kompetensi adalah acuan dalam
manajemen kompetensi tenaga kerja. Selain itu, standar kompetensi dapat digunakan untuk
menguji kompetensi yang dimiliki dan yang perlu dicapai oleh individu untuk suatu
pekerjaan. Standar kompetensi memberikan pedoman kepada karyawan bagaimana mereka
harus bertindak dan apa yang harus mereka lakukan.
Menurut ISTE National Educational Standards for Teachers (2000; 2008)
sebagaimana dikutip dalam Fong et al. (2013), penyusunan standar kompetensi pada dasarnya
terdiri dari tiga langkah utama yaitu sebagai berikut.
1.

Penentuan Kompetensi

Pada tahap ini dilakukan identifikasi kompetensi (seperti pengetahuan, keterampilan, sikap)
yang berkaitan dengan spesifikasi pekerjaan. Untuk menentukan kompetensi apa yang akan

254

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dimasukan dalam standar kompetensi dapat dilakukan dengan mengacu pada beberapa
pedoman standar kompetensi untuk suatu pekerjaan. Selanjutnya analisis dilakukan untuk
menentukan tingkat kepentingan dari kompetensi tersebut.
2.

Penentuan indikator

Indikator mengilustrasikan kualitas yang diinginkan dari seorang pekerja profesional.


Penentuan indikator dapat dilakukan melalui kajian literatur, wawancara eksplorasi, dan
membandingkan dengan pedoman standar.
3.

Penentuan item

Item digunakan sebagai kriteria penilaian untuk memperoleh bukti penerapan pengetahuan
dan keterampilan dalam praktek nyata. Workshop dengan melibatkan pihak-pihak yang
terkait dapat dimanfaatkan untuk menulis dan mengklasifikasikan item yang dikumpulkan
dari kajian literatur. Luaran dari workshop adaah berupa draft daftar item pengukuran.

METODOLOGI
Bagian ini menguraikan metodologi penelitian yaitu langkah-langkah dalam
mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan oleh personil Kelompok Penelitian X beserta
item yang dijadikan sebagai bukti penguasaan kompetensi. Untuk lebih jelas, metodoogi
penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 1. Tahap-tahap dalam mengidentifikasi kompetensi
dilakukan dengan mengadaptasi prosedur penyusunan standar komepetensi manajerial yang
dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Nasional.
1.

Mengumpulkan data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data tentang rincian tugas peneliti di Keltian X. Data
dikumpulkan dari sumber seperti Surat Keputusan Kepala Pusat Penelitian ABC tentang
kelompok penelitian, dokumen roadmap Keltian X 2015-2019, uraian jabatan di Pusat
Penelitian ABC, Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009
tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti, dan literatur terkait.
2.

Menjabarkan tugas personil Keltian X

Data yang telah dikumpulkan di tahap pertama dikompilasi dan digunakan untuk
menjabarkan tugas personil Keltian X.
3.

Menguraikan langkah-langkah mengerjakan tugas

255

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tugas personil Keltian X yang telah diidentifikasi diuraikan ke dalam langkah-langkah


pengerjaan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mengetahui kompetensi yang dibutuhkan
untuk mengerjakan setiap tugas.
Mengumpulkan data (standar kompetensi
peneliti, uraian jabatan, roadmap keltian,
literatur, dll)

Menjabarkan tugas personil


keltian

Menguraikan langkah-langkah
mengerjakan setiap tugas

Kuesioner
terbuka

Menganalisis kompetensi yang


dibutuhkan untuk mengerjakan
tugas

Kurikulum
universitas
Standar
kompetensi
peneliti

Mengidentifikasi item/bukti fisik

Melakukan validasi kompetensi


dan item/bukti fisik

Tidak

Valid?
Ya

Menetapkan kompetensi dan


item/bukti fisik

Gambar 1. Metodologi Penelitian

4.

Menganalisis kompetensi

Pada tahap ini dilakukan analisis kompetensi umum dan kompetensi khusus yang dibutuhkan
oleh personil Keltian X. Kompetensi umum merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh
semua personil keltian sedangkan kompetensi khusus adalah kompetensi tambahan yang
harus dimiliki oleh personil di tiap bidang keahlian. Analisis dilakukan dengan
memperhatikan standar kompetensi peneliti dan kurikulum di universitas dengan bidang
pengetahuan dan bidang keahlian terkait. Selain itu, kuesioner terbuka juga dibagikan kepada
semua personil Keltian X untuk memperoleh masukan kompetensi langsung dari personil
terkait.

256

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

5.

Mengidentifikasi item/bukti fisik

Untuk mengetahui tingkat kompetensi personil keltian, perlu diidentifikasi item yang akan
dijadikan sebagai bukti kompetensi. Item/bukti fisik harus dapat menunjukkan dimilikinya
sebuah kompetensi oleh personil Keltian X. Identifikasi item dilakukan dengan
memperhatikan alur/langkah-langkah pengerjaan setiap tugas. Tujuannya untuk mengetahui
output-output fisik yang dapat dijadikan sebagai bukti.
6.

Melakukan validasi kompetensi dan item/bukti fisik

Pada tahap ini, daftar kompetensi dan item/bukti fisik yang diperoleh di tahap sebelumnya
divalidasi. Metode yang digunakan yaitu diskusi kelompok oleh Keltian X. Dalam diskusi
dibahas kesesuaian kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan setiap tugas,
kemungkinan adanya kompetensi lain yang belum dicatat/dimasukan dalam daftar
kompetensi, dan ketepatan pemilihan item sebagai bukti fisik kompetensi. Output proses
validasi adalah daftar kompetensi beserta bukti fisik kompetensi yang disepakati oleh seluruh
personil Keltian X.
7.

Menetapkan kompetensi dan item/bukti fisik

Nama-nama kompetensi hasil validasi kemudian ditetapkan sebagai kompetensi yang harus
dimiliki oleh personil Keltian X. Item yang telah terpilih ditetapkan sebagai bukti penguasaan
kompetensi oleh personil keltian. Kompetensi dan item/bukti fisik yang sudah ditetapkan
inilah yang kemudian akan digunakan untuk menyusun standar kompetensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Tugas Personil Kelompok Penelitian X (Keltian X)


Berdasarkan rincian tugas peneliti yang terdapat dalam Peraturan Kepala Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 tentang Standar Kompetensi Jabatan


Fungsional Peneliti dan uraian jabatan peneliti di Pusat Penelitian ABC, tugas peneliti pada
dasarnya yaitu melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Adapun berdasarkan Surat Keputusan Kepala Pusat Penelitian ABC dan
dokumen roadmap Keltian X 2015-2019, tugas utama Keltian X adalah melaksanakan
kegiatan penelitian bidang manajemen mutu. Bila tugas tersebut dijabarkan, maka tugas
personil Keltian X dalam kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) di bidang manajemen mutu adalah sebagai berikut:

257

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

a. Memantau perkembangan IPTEK


b. Melakukan penelitian ilmu pengetahuan
c. Mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal
d. Mempresentasikan hasil penelitian dalam konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya
e. Mempublikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat umum
f. Memberikan pengajaran berdasarkan bidang keahlian
g. Mengembangkan soft-technology bidang manajemen mutu berdasarkan hasil
penelitian
h. Melakukan perbaikan (improvement) keltian

2.

Langkah-Langkah Mengerjakan Tugas

Untuk mengetahui kompetensi yang dibutuhkan dalam mengerjakan kedelapan tugas personil
Keltian X, dilakukan penguraian langkah-langkah pengerjaan tiap tugas. Tabel 1
menunjukkan langkah-langkah dalam mengerjakan delapan tugas personil Keltian X.

258

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1. Rincian Tugas Peneliti Kelompok Penelitian X


No.
1

Tugas
Memantau
perkembangan IPTEK

Melakukan
penelitian
ilmu pengetahuan

Mempublikasikan hasil
penelitian ke jurnal atau
media publikasi lainnya

Mempresentasikan hasil
penelitian
dalam
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
lainnya

Mempublikasikan ilmu
pengetahuan
kepada
masyarakat umum

Memberikan pengajaran
berdasarkan
bidang
keahlian
Mengembangkan
soft
technology
bidang
manajemen
mutu
berdasarkan
hasil
penelitian

Langkah-Langkah Pengerjaan
1. Mencari literatur atau sumber informasi lain tentang topik
yang sesuai dengan bidang manajemen mutu
2. Melakukan kajian state of the art
3. Menyusun publikasi hasil kajian state of the art
1. Mencari ide penelitian
2. Menyusun rancangan penelitian dan menuangkan ide ke
dalam proposal penelitian
3. Mengumpulkan data penelitian
4. Menganalisis data penelitian
5. Menyusun laporan penelitian
1. Menuliskan laporan penelitian ke dalam bentuk artikel
jurnal atau media publikasi lainnya
2. Mencari jurnal atau media publikasi lainnya yang sesuai
dengan topik penelitian
3. Mengirimkan artikel yang telah disusun ke jurnal atau
media publikasi lainnya
1. Memilih konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya yang
akan diikuti
2. Menyiapkan bahan presentasi sesuai dengan ketentuan
dari penyelenggara konferensi atau pertemuan ilmiah
lainnya
3. Mempresentasikan bahan presentasi
1. Menyusun artikel semi populer terkait bidang manajemen
mutu
2. Mengirimkan artikel ke redaksi majalah keltian (Quality
Management Magazine) atau media semi populer lainnya
1. Menyusun bahan ajar
2. Menyampaikan pengajaran
1. Mengembangkan
soft
technology
(metode/instrumen/toolkit/sistem) bidang manajemen
mutu
2. Menyusun panduan penggunaan soft technology
3. Mendaftarkan HKI atas soft technology yang ditemukan

Melakukan perbaikan

1. Menganalisis peluang perbaikan

(improvement) keltian

2. Membuat rencana perbaikan


3. Melakukan perbaikan
4. Mendokumentasikan dan mendiseminasikan hasil
perbaikan

259

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3.

Analisis Kompetensi Umum

Setelah dilakukan penguraian langkah-langkah mengerjakan tugas Keltian X, selanjutnya


dilakukan analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas tersebut. Analisis
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan kompetensi di setiap langkah. Hasil analisis
kompetensi ditunjukkan oleh Tabel 2.

Tabel 2. Daftar Kompetensi Umum Peneliti Kelompok Penelitian X


No.
1

Langkah-Langkah
Kompetensi Umum
Pengerjaan
Memantau
1. Mencari literatur atau
1. Pemahaman tentang bidang
perkembangan
sumber informasi lain
manajemen mutu
IPTEK
tentang topik yang
2. Kemampuan membuat kajian
sesuai dengan bidang
state of the art
manajemen mutu
3. Penguasaan teknik penulisan
2. Melakukan
kajian
ilmiah dalam bahasa indonesia
state of the art
maupun inggris
3. Menyusun publikasi
4. Penguasaan Bahasa Indonesia
hasil kajian state of the
dan Bahasa Inggris
art
Melakukan
1. Mencari ide penelitian
1. Penguasaan
rancangan
penelitian
ilmu
2. Menyusun rancangan
penelitian kuantitatif
pengetahuan
penelitian
dan
2. Penguasaan
rancangan
menuangkan ide ke
penelitian kualitatif
dalam
proposal
3. Penguasaan teknik survey
penelitian
4. Penguasaan teknik wawancara
3. Mengumpulkan data
5. Penguasaan teknik observasi
penelitian
6. Penguasaan
teknik
studi
4. Menganalisis
data
dokumen
penelitian
7. Penguasaan teknik validasi
5. Menyusun
laporan
8. Kemampuan analisis data
penelitian
kuantitatif
9. Kemampuan analisis data
kualitatif
10. Penguasaan teknik penulisan
ilmiah dalam bahasa indonesia
maupun inggris
Mempublikasikan
1. Menuliskan
laporan
1. Penguasaan teknik penulisan
hasil penelitian ke
penelitian ke dalam
ilmiah dalam bahasa indonesia
jurnal atau media
bentuk artikel jurnal
maupun inggris
publikasi lainnya
atau media publikasi
2. Penguasaan Bahasa Indonesia
lainnya
dan Bahasa Inggris
2. Mencari jurnal atau
media
publikasi
lainnya yang sesuai
dengan
topik
penelitian
Uraian Tugas

260

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

261

Pusat Inovasi - LIPI

3. Mengirimkan artikel
yang telah disusun ke
jurnal atau media
publikasi lainnya
4

Mempresentasika
n hasil penelitian
dalam konferensi
atau pertemuan
ilmiah lainnya

1. Memilih
konferensi
atau pertemuan ilmiah
lainnya yang akan
diikuti
2. Menyiapkan
bahan
presentasi
sesuai
dengan ketentuan dari
penyelenggara
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
lainnya
3. Mempresentasikan
bahan presentasi

Mempublikasika

1. Menyusun

ilmu

artikel

semi populer terkait

pengetahuan

bidang

kepada

mutu

masyarakat

1. Penguasaan
teknik
penyusunan bahan presentasi
2. Penguasaan Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris
3. Penguasaan
software
presentasi
4. Penguasaan teknik presentasi

manajemen

2. Mengirimkan artikel Penguasaan teknik penulisan artikel

umum

ke redaksi majalah semi populer


keltian

(Quality

Management
Magazine)

atau

media semi populer


lainnya
6

Memberikan

1. Menyusun bahan ajar

pengajaran

2. Menyampaikan

berdasarkan

pengajaran

Penguasaan teknik pengajaran

bidang keahlian
7

Mengembangka
n

soft

1. Mengembangkan
soft

technology

1. Penguasaan

engineering

skill

technology

(metode/instrumen/t

2. Penguasaan

bidang

oolkit/sistem) bidang

penulisan

manajemen

manajemen mutu

populer

teknik
artikel

semi

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

262

Pusat Inovasi - LIPI

mutu

2. Menyusun panduan

berdasarkan

penggunaan

hasil penelitian

technology

soft

3. Mendaftarkan

HKI

atas soft technology


yang ditemukan
8

Melakukan
perbaikan
(improvement)
keltian

1. Menganalisis

Penguasaan

peluang perbaikan
2. Membuat

problem

solving steps, 7 Tools, 7 New

rencana Tools,

perbaikan

teknik

pembuatan

Standard

Operating Procedure (SOP)

3. Melakukan
perbaikan
4. Mendokumentasikan
dan
mendiseminasikan
hasil perbaikan

4.

Item/Bukti Fisik Kompetensi Umum


Tahap selanjutnya setelah analisis kompetensi adalah identifikasi item yang dapat

dijadikan sebagai bukti fisik penguasaan setiap kompetensi umum. Item yang akan digunakan
sebagai bukti kompetensi harus benar-benar dapat menunjukkan dikuasainya kompetensi
umum oleh personil. Oleh karena itu, bukti fisik yang dipilih merupakan output kegiatan
yang menggunakan kompetensi tersebut. Bukti fisik yang dipilih sekaligus menunjukkan
standar dari kompetensi umum. Tabel 3 menunjukkan rangkuman kompetensi umum beserta
item yang akan dijadikan sebagai bukti fisik kompetensi personil Keltian X.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 3. Bukti Fisik Kompetensi Umum Personil Keltian X


No.

Kompetensi Umum

Pemahaman tentang bidang


manajemen mutu

Kemampuan
membuat
kajian state of the art

4
5

Penguasaan
teknik
penulisan ilmiah dalam
bahasa indonesia
Penguasaan
teknik
penulisan ilmiah dalam
bahasa inggris
Penguasaan
Bahasa
Indonesia

Penguasaan Bahasa Inggris

Penguasaan
rancangan
penelitian kuantitatif

Penguasaan
rancangan
penelitian kualitatif

Penguasaan teknik survey

10

Penguasaan
wawancara

teknik

11

Penguasaan
observasi

teknik

12

Penguasaan
dokumen

13

Penguasaan teknik validasi

14

Kemampuan analisis data


kuantitatif

15

Kemampuan analisis data

teknik

studi

Item/Bukti Fisik
Transkrip yang menyatakan lulus mata kuliah manajemen
mutu, pengendalian mutu, atau manajemen operasi semasa
kuliah (S1)
Artikel kajian state of the art yang telah dinyatakan diterima
minimal di jurnal nasional terakreditasi sebagai penulis
pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima minimal di
jurnal nasional terakreditasi sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Transkrip yang menyatakan lulus mata kuliah Bahasa
Indonesia semasa kuliah (S1)
1. Sertifikat TOEFL ITP dengan skor minimal 500 atau
2. Sertifikat atau bukti lain keikutsertaan dalam
konferensi internasional sebagai presenter minimal 3
kali
Artikel ilmiah dengan menggunakan rancangan penelitian
kuantitatif yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah dengan menggunakan rancangan penelitian
kualitatif yang telah dinyatakan diterima di jurnal internasional
teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
survey dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
wawancara dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
observasi dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
studi dokumen dimana personil yang bersangkutan terlibat
sebagai penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dimana personil yang
bersangkutan bertindak sebagai penanggung jawab validasi
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dimana personil yang
bersangkutan bertanggung jawab dalam analisis data
kuantitatif
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal

263

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

kualitatif
16
17
18
19
20

21

22

5.

Penguasaan
software
presentasi
Penguasaan
teknik
presentasi
Penguasaan
teknik
penulisan artikel ilmiah
semi populer
Penguasaan
teknik
pengajaran
Penguasaan
engineering
skill
Penguasaan
teknik
7
problem solving steps, 7
Tools, 7 New Tools,
pembuatan
Standard
Operating Procedure (SOP)
Penguasaan
teknik
penyusunan
bahan
presentasi

internasional teindeks Scopus dimana personil yang


bersangkutan bertanggung jawab dalam analisis data kualitatif
Materi presentasi yang telah dipresentasikan
Prosiding atau bukti lain keikutsertaan dalam konferensi atau
pertemuan ilmiah lain sebagai presenter minimal 3 kali
Artikel ilmiah semi populer yang diterbitkan (3 buah)
Sertifikat pengajar minimal sebanyak 3 buah atau 1 buah
dengan nilai kepuasan terhadap pengajar minimal 80 dari 100
Metode/instrumen/toolkit/sistem yang dikembangkan dan
dibukukan atau dalam bentuk panduan yang di HKI-kan
Proyek perbaikan (improvement) yang mencapai target
minimal 1 buah

Materi presentasi yang telah dipresentasikan

Analisis Kompetensi Khusus dan Item/Bukti Fisik Kompetensi Khusus


Selain harus menguasai kompetensi umum, personil Keltian X diharuskan memiliki

kompetensi khusus yang sesuai dengan bidang keahliannya. Tabel 4-8 menunjukkan
kompetensi khusus yang harus dimiliki personil Keltian X berdasarkan bidang keahliannya
masing-masing beserta bukti fisik penguasaan kompetensi tersebut. Kompetensi khusus
diidentifikasi dari kurikulum universitas yang terkait dengan bidang keahlian dan kuesioner
terbuka yang telah dibagikan kepada semua personil Keltian X. Sama seperti kompetensi
umum, bukti fisik kompetensi khusus yang dipilih merupakan output kegiatan yang
menggunakan kompetensi tersebut.

264

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 4. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Pengukuran Kinerja dan Produktivitas
dan Bukti Fisiknya
No.
1
2

Kompetensi Khusus
Pemahaman konsep kinerja
Pemahaman konsep pengukuran kinerja

Pemahaman
dan
penguasaan
teknik/tool/metode pengukuran kinerja

Pemahaman konsep produktivitas

5
6

Pemahaman
konsep
produktivitas
Pemahaman
dan
teknik/tool/metode
produktivitas

pengukuran
penguasaan
pengukuran

Bukti Fisik
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait pengukuran kinerja
sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep pengukuran
kinerja minimal 1 buah
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait pengukuran produktivitas
sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep pengukuran
produktivitas minimal 1 buah

Tabel 5. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Perilaku Konsumen dan Bukti Fisiknya
No.
1
2
3
4

Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman dan penguasaan konsep/teori
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
perilaku konsumen
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait perilaku konsumen
Pemahaman dan penguasaan teori
sebagai penulis pertama
psikometri
2. Hasil penerapan konsep pengukuran dan
Pemahaman dan penguasaan metode
indeks kepuasan pelanggan minimal 1
penelitian perilaku
buah
Pemahaman dasar psikologis perilaku
konsumen,
human
information
processing, konsep-konsep dalam ilmu
marketing (perceived quality, kepuasan
pelanggan, dst)

Tabel 6. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Perilaku Organisasi dan Bukti Fisiknya
No.
1
2
3
4

Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman dan penguasaan konsep/teori
perilaku organisasi
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
Pemahaman dan penguasaan teori
diterima di jurnal internasional terindeks
psikologi industri/organisasi
Scopus terkait perilaku organisasi
sebagai penulis pertama
Pemahaman dan penguasaan metode
2. Hasil penerapan konsep perilaku
penelitian perilaku
organisasi minimal 1 buah
Pemahaman dasar psikologis perilaku
organisasi dan advanced problems in
organizational behavior

265

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 7. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Kualitas Teknis dan Bukti Fisiknya
No.
1

Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep pengukuran
pengukuran
kualitas
kualitas objektif sebagai penulis pertama
objektif
2. Hasil penerapan konsep pengukuran kualitas objektif
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep Quality
Quality Core Tools
Core Tools (SPC, FMEA, MSA, APQP, PPAP, dll)
(SPC, FMEA, MSA,
sebagai penulis pertama
APQP, PPAP, dll)
2. Hasil penerapan konsep Quality Core Tools (SPC, FMEA,
MSA, APQP, PPAP, dll) minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional
terindeks
Scopus
terkait
konsep
Probabilistic
&
Probabilistic & Uncertainty sebagai penulis pertama
Uncertainty
2. Hasil penerapan konsep Probabilistic & Uncertainty
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep Design of
Design of Experiment
Experiment sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep konsep Design of Experiment
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep biaya
biaya kualitas
kualitas sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep biaya kualitas minimal 1 buah
Pemahaman
dan
penguasaan
konsep
kapabilitas proses (CP,
CPk)

1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal


internasional terindeks Scopus terkait konsep kapabilitas
proses (CP, CPk) sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep kapabilitas proses (CP, CPk)
minimal 1 buah

266

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 8. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Standar dan Penghargaan dan
Bukti Fisiknya
No.
1

Kompetensi Khusus
Pemahaman
konsep
TQM

Bukti Fisik
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional terindeks Scopus terkait TQM sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep TQM minimal 1 buah
Pemahaman tentang ISO
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
9001
internasional terindeks Scopus terkait ISO 9001 sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep ISO 9001 minimal 1 buah
Pemahaman
tentag
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
NQA:
MBNQA,
internasional terindeks Scopus terkait NQA (MBNQA,
Deming Prize, EFQM
Deming Prize, EFQM) dan penghargaan sebagai penulis
pertama
2. Hasil penerapan konsep NQA minimal 1 buah
Pemahaman konsep Six
Sigma

1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal


internasional terindeks Scopus terkait Six Sigma sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep Six Sigma minimal 1 buah

Pemahaman
Lean

konsep

1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal


internasional terindeks Scopus terkait Lean sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep Lean minimal 1 buah

Pemahaman
Benchmarking

konsep

1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal


internasional terindeks Scopus terkait Benchmarking
sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep Benchmarking minimal 1 buah

6.

Validasi Kompetensi dan Bukti Fisik


Daftar kompetensi dan bukti fisik kompetensi baik kompetensi umum maupun khusus

kemudian divalidasi melalui diskusi di dalam Kelompok Penelitian X. Tujuannya dalah


memperoleh kesepakatan atas kompetensi yang dibutuhkan dan bukti fisik kompetensi yang
sekaligus menunjukkan standar untuk setiap kompetensi. Setiap masukan yang disampaikan
oleh personil Keltian X didiskusikan lebih lanjut hingga diperoleh kesepakatan.

267

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

7.

Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun standar kompetensi Kelompok Penelitian X

(Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Penyusunan standar kompetensi terdiri dari beberapa
langkah. Pertama, dilakukan analisis terhadap kompetensi umum dan kompetensi khusus
yang perlu dimiliki oleh personil Kelompok Penelitian X (Keltian X) agar dapat mengerjakan
tugas-tugasnya dengan baik. Analisis kompetensi dimulai dengan menjabarkan dengan rinci
tugas Keltian X. Tugas Keltian X dijabarkan dari Standar Kompetensi Peneliti, Uraian
Jabatan di Pusat Penelitian ABC, tugas utama Keltian X yang terdapat dalam SK keltian, dan
dokumen roadmap keltian. Selanjutnya, masing-masing tugas diuraikan ke dalam langkahlangkah pengerjaan. Cara ini ditempuh untuk menganalisis secara tepat kompetensi yang
dibutuhkan dan mencegah tidak teridentifikasinya kompetensi yang penting dimiliki oleh
personil Keltian X. Proses analisis menemukan 22 kompetensi umum dan 26 kompetensi
khusus Keltian X. Kompetensi tersebut telah divalidasi di dalam kelompok penelitian.
Kompetensi umum merupakan kompetensi-kompetensi yang wajib dimiliki oleh semua
personil Keltian X agar dapat melaksanakan tugasnya. Sedangkan kompetensi khusus
merupakan kompetensi tambahan bagi personil Keltian X sesuai dengan bidang keahlian
mereka.
Selain analisis kompetensi, dalam penelitian ini juga dilakukan identifikasi item yang
dapat dijadikan bukti fisik penguasaan kompetensi oleh personil. Pemilihan bukti fisik
dilakukan untuk memperoleh item yang tepat menunjukkan kompetensi personil. Item/bukti
fisik yang ditetapkan dalam penelitian ini sekaligus mencerminkan standar untuk tiap
kompetensi. Sebagai contoh, untuk kompetensi umum penguasaan Bahasa Inggris
ditetapkan bahwa bukti fisik yang diperlukan adalah sertifikat TOEFL ITP dengan skor
minimal 500 atau sertifikat/bukti lain keikutsertaan dalam konferensi internasional sebagai
presenter minimal 3 kali. Artinya, Keltian X menstandarkan bahwa personil Keltian X wajib
memiliki skor TOEFL ITP minimal 500 atau wajib mengikuti konferensi internasional
sebagai presenter minimal 3 kali sebagai bukti atas kompetensi Bahasa Inggris. Dengan tidak
adanya bukti tersebut, maka personil dikatakan belum menguasai Bahasa Inggris. Contoh
lainnya yaitu Keltian X menetapkan wajib dikuasainya kemampuan analisis data kuantitatif.
Sebagai bukti penguasaan kompetensi tersebut, personil Keltian X harus bisa menghasilkan

268

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal internasional teindeks Scopus dimana
personil yang bersangkutan bertanggung jawab dalam analisis data kuantitatif.
Item/bukti fisik yang telah diidentifikasi, nantinya akan digunakan untuk melakukan
penilaian kompetensi personil Keltian X. Oleh karena itu, identifikasi bukti fisik yang tepat
diperlukan agar penilaian kompetensi menghasilkan penilaian yang objektif. Dengan kata
lain, penilaian yang dilakukan oleh seseorang akan menghasilkan nilai yang sama dengan
penilaian yang dilakukan oleh orang lain terhadap personil yang sama.
Di dalam organisasi maupun kelompok penelitian, peneliti merupakan aktor penting
yang menentukan keberhasilan dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, kegiatan
pengembangan sumber daya manusia harus direncanakan dan dilakukan dengan tepat agar
dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Analisis
kompetensi memberikan pedoman bagi kegiatan pengembangan tersebut. Dengan
mengetahui kompetensi yang dibutuhkan, koordinator keltian dapat melakukan analisis gap
kompetensi dan analisis kebutuhan pelatihan bagi personilnya. Akibatnya, pelatihan yang
diselenggarakan akan lebih terarah dan tepat sasaran. Selain itu, secara tidak langsung, hal ini
akan meningkatkan efisiensi keltian.

KESIMPULAN DAN SARAN


Standar kompetensi merupakan bagian penting dalam manajemen sumber daya
manusia. Standar kompetensi mengarahkan pada pemenuhan kompetensi minimal yang harus
dimiliki oleh personil yang menduduki jabatan tertentu. Analisis kompetensi yang dibutuhkan
merupakan tahap awal dalam menyusun standar kompetensi. Penelitian ini mencoba
menganalisis kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh personil Kelompok Penelitian X
untuk menjalankan tugasnya di bidang X. Selain itu, penelitian ini juga mengidentifikasi
item-item yang dapat dijadikan sebagai bukti penguasaan kompetensi. Dari hasil penelitian
diperoleh 22 kompetensi umum yang wajib dimiliki oleh seluruh personil Keltian X dan 26
kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh personil Keltian X berdasarkan bidang keahlian
masing-masing. Item yang dijadikan bukti dikuasainya kompetensi oleh personil adalah
output langsung dari pelaksanaan tugas atau output lainnya yang masih terkait dengan tugas
tersebut.

269

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Penelitian ini telah berhasil menganalisis kompetensi yang dibutuhkan oleh personil
Keltian X beserta bukti fisik kompetensi yang sekaligus menunjukkan standar untuk tiap
kompetensi. Selanjutnya, penilaian kompetensi untuk mengukur gap kompetensi personil
Keltian X dan analisis kebutuhan pelatihan perlu dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian
selanjutnya, penulis akanmelakukan penilaian kompetensi personil untuk mengetahui gap
kompetensi. Analisis kebutuhan pelatihan personil untuk meniadakan gap kompetensi
tersebut juga akan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Kepegawaian Negara. (2013). Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Manajerial Pegawai
Negeri Sipil. BKN, Jakarta.
Boyatzis, R. (1982). The Competent Manager - A Model for Effective Performance. John Wiley &
Sons, New York, NY.
Crawford, L., 2007. Global body of project management knowledge and standards. In: Morris, P.W.,
Pinto, J.K. (Eds.), The Wiley Guide to Project Organisation and Project Management
Competencies. John Wiley and Sons, Hoboken, NJ, pp. 207252.
Crawford, L., dan Pollack, J., (2008). Developing a basis for global reciprocity: negotiating between
the many standards for project management. Journal of IT Standards and Standardisation
Research, 6, 1, 7084.
Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013). Development of ICT Competency Standard Using the
Delphi Technique. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 103, 299 314.
Gale, A. (2007). Chapter 7: Competencies: organisational and personal. In: Morris, P.W., Pinto, J.K.
(Eds.), The Wiley Guide to Project Organisation and Project Management Competencies.
Wiley & Sons, Hoboken, NJ, pp. 143167 dalam Young, M. dan Conboy, K. (2013).
Contemporary project portfolio management: Reflections on the development of an
Australian Competency Standard for Project Portfolio Management. International Journal of
Project Management, 31, 10891100.
Gonczi, A. (1996). Reconceptualising Competency-Based Education and Training: with Particular
Reference to Education for Occupations in Australia. University of Technology, Sydney.
Heywood, L., Gonczi, A., dan Hager, P. (1992). A Guide to Development of Competency Standards
for Professions. Australian Government Publishing Service, Canberra, Australia.
International Society for Technology in Education (2000). National educational technology standards
for
teachers
(ISTE
NETS-T).
Retrieved
October
8,
2012,
from
http://www.iste.org/Content/navigationMenu/NETS/ForTeachers/2000Standards/NETS_for_
Teachers_2000.htm dalam Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013). Development of
ICT Competency Standard Using the Delphi Technique. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 103, 299 314.

270

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

International Society for Technology in Education (2008). National educational technology standards
for
teachers
(ISTE
NETS-T).
Retrieved
October
8,
2012,
from
http://www.iste.org/content/navigationmenu/nets/forteachers/2008standards/
nets_for_teachers_2008.htm dalam Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013).
Development of ICT Competency Standard Using the Delphi Technique. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 103, 299 314.
LIPI. (2009). Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 tentang
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti. Jakarta
Suhairom, N., Mustaamal, A. H., Amin, N. F. M., dan Johari, N. K. A. (2014). The development of
competency model and instrument for competency measurement: The research methods.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 152, 1300 1308.
Young, M. dan Conboy, K. (2013). Contemporary project portfolio management: Reflections on the
development of an Australian Competency Standard for Project Portfolio Management.
International Journal of Project Management, 31, 10891100.

271

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 12

ANALISIS INDIKATOR KINERJA KELOMPOK DAN PERSONIL


KELOMPOK PENELITIAN X (KELTIAN X) DI PUSAT PENELITIAN
ABC
Tri Rakhmawati, Medi Yarmen
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
rakhma_tri@yahoo.com, medi010@yahoo.com.sg

ABSTRAK
Pengukuran kinerja perlu dilakukan oleh setiap organisasi. Pengembangan sistem pengukuran
kinerja yang tepat sangatlah penting untuk menjamin efektivitas pengukuran kinerja yang
dilakukan. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan sistem pengukuran
kinerja adalah menentukan indikator kinerja yang akan digunakan. Penelitian ini bertujuan
menganalisis indikator yang tepat digunakan untuk mengukur kinerja kelompok dan kinerja
personil dari Kelompok Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan literatur. Validasi indikator kinerja
dilakukan melalui diskusi di dalam Keltian X. Penelitian ini menghasilkan 29 indikator
kinerja keltian dan 26 indikator kinerja personil keltian yang terdiri dari indikator kinerja
outcome, output, aktivitas, dan input kegiatan keltian.

Kata kunci: kinerja, indikator, kelompok penelitian

LATAR BELAKANG
Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah menuntut semua instansi baik
kementerian maupun lembaga pemerintah untuk semakin efektif dan efisien dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah melakukan
perampingan struktur di sejumlah instansi termasuk di Pusat Penelitian ABC. Perampingan
struktur tersebut diharapkan akan mengurangi alur birokrasi dan mendorong kepada
pencapaian kinerja yang lebih tinggi.

272

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Perampingan struktur di Pusat Penelitian ABC berdampak pada hilangnya dua bidang
penelitian yang membawahi para peneliti. Dengan adanya perubahan struktur, para peneliti
dikumpulkan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian disebut sebagai kelompok
penelitian (keltian). Pengelompokkan dilakukan dengan memperhatikan bidang kepakaran
peneliti. Masing-masing kelompok penelitian dikoordinasi oleh seorang koordinator yang
merupakan peneliti dengan jenjang jabatan fungsional peneliti tertinggi di dalam kelompok
tersebut. Perubahan struktur menyebabkan perubahan arah tanggung jawab kelompok
fungsional peneliti. Para peneliti yang dulunya bertanggung jawab kepada kepala bidang
penelitian, saat ini langsung bertanggung jawab kepada kepala pusat penelitian.
Kelompok Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC dibentuk pada tahun
2014. Kelompok penelitian ini terdiri dari peneliti dan kandidat peneliti di bidang manajemen
mutu. Awalnya, peneliti-peneliti manajemen mutu berada di bawah bidang penelitian. Namun
dengan adanya perampingan struktur organisasi, bidang penelitian ditiadakan dan kelompokkelompok peneliti langsung bertanggung jawab kepada kepala pusat penelitian.
Sebagai kelompok penelitian baru, Keltian X sedang menata diri dan menentukan
arah ke depan. Untuk mendukung hal tersebut, telah disusun visi, roadmap dan rencana kerja
Keltian X untuk periode 2015-2019. Selanjutnya, sistem pengukuran kinerja untuk
mengetahui kemajuan keltian dalam mencapai tujuan akan dibangun. Pengukuran kinerja
dilakukan sebagai upaya mendorong Keltian X untuk mencapai apa yang telah direncanakan
dan ditargetkan. Literatur mengatakan bahwa organisasi yang melakukan pengukuran kinerja
memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan organisasi yang tidak melakukannya (de
Waal et al., 2011). Pengukuran kinerja yang akan diakukan meliputi pengukuran kinerja
keltian dan personil keltian. Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam sebuah dashboard
kinerja sehingga koordinator keltian dan masing-masing personil dapat memantau kinerja
mereka dan termotivasi untuk selalu menunjukkan kinerja yang tinggi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk tiap tahunnya.
Penelitian dalam rangka membangun sistem pengukuran kinerja di organisasi R&D
telah banyak dilakukan (seperti Jyoti, et al., 2008, Sueyoshi dan Goto, 2013; Sueyoshi dan
Goto, 2009; Garca- Valderrama et al., 2009; Bigliardi dan Dormio, 2010; Kulatunga et al.,
2011). Namun, sistem pengukuran kinerja tersebut dibangun untuk level organisasi atau unit
R&D di industri. Sepengetahuan peneliti, masih sedikit penelitian yang membangun sistem

273

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pengukuran kinerja untuk konteks kelompok penelitian di sebuah organisasi R&D. Selain itu,
dalam membangun sebuah sistem, konteks organisasi atau kelompok dimana sistem tersebut
akan dibangun perlu untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan karena lingkungan organisasi
atau kelompok akan mempengaruhi efektivitas sistem tersebut (Galbraith, 1973; Fiedler,
1964). Bisa jadi sebuah sistem berhasil dengan baik diterapkan di sebuah organisasi, tetapi
tidak demikian ketika diterapkan di organisasi lain. Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini bertujuan menganalisis indikator-indikator kinerja yang tepat digunakan untuk
mengukur kinerja kelompok dan personil Keltian X di Pusat Penelitian ABC. Penyusunan
indikator kinerja merupakan tahap awal dalam pengembangan sistem pengukuran kinerja
Keltian X. Penelitian ini sekaligus sebagai perbaikan dari analisis indikator kinerja Keltian X
yang telah disusun oleh Damayanti dan Yarmen (2015).

TINJAUAN PUSTAKA
Pengukuran Kinerja dan Pengukuran Kinerja di Kelompok Penelitian
Menurut Neely et al. (2005), pengukuran kinerja merupakan aktivitas dalam rangka
mengkuantifikasi efisiensi dan efektifitas sebuah tindakan. Efektivitas menunjukkan sejauh
mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Adapun efisiensi menggambarkan kecepatan
mengerjakan sebuah tugas atau bagaimana biaya mencukupi sebuah tugas secara efektif.
Poister (2003) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai proses mendefinisikan, memantau,
dan menggunakan indikator objektif dari kinerja organisasi. Berdasarkan uraian di atas,
pengukuran kinerja melibatkan aktivitas menentukan, mendefinisikan, dan menggunakan
indikator untuk memantau kinerja organisasi yaitu seberapa efektif dan efisien organisasi
dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Pengukuran kinerja dipercaya sebagai sebuah tool untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Dalam literatur dikatakan bahwa organisasi yang melakukan pengukuran kinerja
cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang tidak
melakukannya (de Waal et al., 2011). Alasannya, dengan pengukuran kinerja, organisasi
dapat secara rutin memantau kemajuan dan memotivasi dirinya untuk mencapai apa yang
menjadi sasarannya.
Pengukuran kinerja di organisasi penelitian dan pengembangan telah banyak di bahas
dalam literatur. Sebagai contoh yaitu penelitian dari Chiesa et al. (2009), Vuolle et al. (2009),

274

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Bigliardi dan Dormio (2010), Kulatunga et al. (2011), Kulatunga et al. (2007), Tripathy et al.
(2013), Liu dan Tsai (2007), dan Kim dan Oh (2002). Namun demikian, masih sedikit
penelitian yang membahas pengukuran kinerja di tingkat kelompok penelitian yang ada di
sebuah organisasi penelitian. Kebanyakan penelitian yang sudah ada membahas kinerja di
level organisasi baik organisasi penelitian publik maupun swasta.

Indikator Kinerja Kelompok Penelitian


Penentuan indikator kinerja merupakan tahap awal dalam membangun sistem
pengukuran kinerja. Pemilihan indikator yang tepat mutlak diperlukan untuk menjamin
efektivitas pengukuran kinerja dan mendorong pencapaian kinerja yang tinggi. Dalam
konteks penelitian dan pengembangan, kinerja organisasi awalnya diukur menggunakan
ukuran-ukuran objektif seperti produk teknis (paten, publikasi, sitasi terhadap publikasi);
manfaat finansial yang muncul dari penelitian dan pengembangan (keuntungan dan
penjualan); dan penilaian tentang keberhasilan proyek penelitian dan pengembangan individu
(Kulatunga et al., 2011). Dengan berjalannya waktu, sistem pengukuran kinerja penelitian
dan pengembangan mengalami perubahan. Sebagaimana dikutip dalam Kulatunga et al.
(2011), ukuran-ukuran kinerja seperti diferensiasi, time to market, nilai uang, layanan, dan
produksi ekonomis mulai digunakan dalam pengukuran kinerja (Cooper, 1998; Smith dan
Reinertsen, 1998). Selain itu juga mulai diperhatikan ukuran kinerja terkait nilai pelanggan
dan pemegang saham, proses bisnis, pertumbuhan dan pembelajaran organisasi (Pearson et al,
2000).
Studi dari Werner dan Souder (1997) membagi ukuran kinerja penelitian dan
pengembangan ke dalam ukuran makro dan mikro. Pendekatan level makro fokus pada
dampak penelitian dan pengembangan bagi masyarakat secara keseluruhan sedangkan
pendekatan level mikro fokus pada dampak penelitian dan pengembangan pada level
organisasi. Kemudian, Griffin dan Page (1993) mengklasifikasikan ukuran kinerja ke dalam
empat grup yaitu penerimaan pelanggan, finansial, level produk, dan level organisasi.
Godener dan Soderquist (2004) menambahkan ukuran kinerja dalam Balanced Scorecard
untuk mengukur kinerja penelitian dan pengembangan dengan tiga ukuran lain yaitu strategic
(kepuasan tujuan strategis), manajemen teknologi (pembangkitan produk kompetitif baru),
dan manajemen pengetahuan (return on investment dalam hal penciptaan pengetahuan,

275

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

transfer pengetahuan, dan eksploitasi pengetahuan). Coccia (2004) mengukur kinerja dari
lembaga penelitian publik menggunakan lima ukuran kinerja yaitu training, keuangan,
publikasi nasional, pengajaran, dan publikasi internasional.

METODOLOGI
Penelitian ini mengadaptasi metode penyusunan indikator kinerja yang disampaikan
oleh Parmenter (2010). Penyusunan indikator kinerja Keltian X dilakukan dengan
memperhatikan visi keltian. Indikator kinerja yang dipilih harus dapat mengukur kemajuan
keltian dalam mencapai visi yang telah ditetapkan. Dokumen seperti roadmap Keltian X
tahun 2015-2019 dan rencana kerja keltian dikumpulkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
outcome dan output yang ingin dicapai, aktivitas yang akan dilakukan, dan input yang
dibutuhkan keltian untuk mencapai visi. Selanjutnya, dengan mengadopsi arsitektur dan
informasi kinerja dalam sistem penganggaran berbasis kinerja yang dikeluarkan oleh
Kementerian Keuangan, identifikasi indikator kinerja kelompok penelitian dilakukan.
Indikator kinerja ditetapkan untuk setiap elemen kegiatan keltian yaitu outcome, output,
aktivitas, dan input. Tahap selanjutnya, indikator kinerja personil diturunkan dari indikator
kinerja Keltian X. Untuk lebih jelas, Gambar 2 menunjukkan tahapan-tahapan dalam
penelitian ini.
Dari tahapan di Gambar 2 diperoleh daftar indikator sementara untuk outcome,
output, aktivitas, dan input keltian dan personil Keltian X. Selanjutnya, indikator kinerja yang
diperoleh dari tahap tersebut divalidasi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa indikator
kinerja yang dipilih telah tepat dan benar-benar mengukur kinerja keltian maupun personil
dalam mencapai visi yang telah ditetapkan. Validasi dilakukan melalui diskusi Keltian X.
Dari proses diskusi diperoleh masukan dan kesepakatan seperti penghapusan dan
penambahan sejumlah indikator serta penyesuaian penggunaan bahasa indikator. Masukan
tersebut dicatat untuk kemudian digunakan untuk memperbaiki daftar indikator sementara.
Tahap terakhir, daftar indikator yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil diskusi
dikembalikan kepada kelompok untuk memastikan bahwa indikator tersebut telah disepakati
bersama sebagai indikator kinerja keltian dan personil Keltian X.

276

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Visi Keltian MM

Roadmap Keltian MM 2015 2019, Rencana Kerja Keltian, Literatur

Outcome Keltian

Output Keltian

Aktivitas Keltian

Input Keltian

Indikator Kinerja
Outcome Keltian

Indikator Kinerja
Output Keltian

Indikator Kinerja
Aktivitas Keltian

Indikator Kinerja
Input Keltian

Indikator Kinerja
Outcome Personil

Indikator Kinerja
Output Personil

Indikator Kinerja
Aktivitas Personil

Indikator Kinerja
Input Personil

Gambar 2. Langkah-Langkah Menentukan Indikator Kinerja

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Visi, Outcome, Output, Aktivitas dan Input Kelompok Penelitian X (Keltian X)


Kelompok Penelitian X (Keltian X) memiliki visi yaitu menjadi kelompok penelitian

di bidang Manajemen Mutu yang memiliki fondasi untuk menuju kelompok penelitian yang
diakui komunitas ilmiah internasional. Visi tersebut telah dijabarkan ke dalam roadmap
keltian dan rencana kerja untuk lima tahun ke depan. Dalam roadmap dan rencana kerja
tersebut dianalisis outcome dan output yang ingin dicapai, aktivitas yang akan dilakukan,
serta input yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas yang akan dilakukan. Rincian
outcome, output, aktivitas dan input Keltian X dapat dilihat di Tabel 1.

2.

Indikator Kinerja Keltian X dan Personil Keltian X


Kegiatan penelitian merupakan serangkaian proses yang melibatkan banyak sumber

daya untuk menghasilkan temuan baru baik berupa soft technology maupun hard technology
yang pada ujungnya adalah untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Ketersediaan input
(sumber daya) yang memadai sangat dibutuhkan untuk mendukung kelancaran kegiatan
penelitian. Pengelolaan kegiatan penelitian dengan baik akan mendukung dihasilkannya
output yang diinginkan. Pada akhirnya, outcome akan tercapai jika terdapat proses

277

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

278

Pusat Inovasi - LIPI

pemanfaatan atas output yang dihasilkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan logis antara input, aktivitas, output, dan outcome. Input akan berpengaruh pada
aktivitas, output, dan outcome. Selanjutnya, input dan aktivitas berpengaruh pada output dan
outcome yang dihasilkan. Terakhir, input, aktivitas, dan output akan berpengaruh pada
outcome.
Penyusunan indikator kinerja pada penelitian ini dilakukan untuk tiap elemen kegiatan
keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Struktur ini menyesuaikan
dengan arsitektur dan informasi kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.
Dengan demikian, penyusunan indikator kinerja menghasilkan daftar indikator kinerja
outcome, indikator kinerja output, indikator kinerja aktivitas, dan indikator kinerja input.
Indikator yang diplilih untuk tiap elemen harus mampu menggambarkan kinerja dari elemen
tersebut. Oleh karena itu, indikator kinerja disusun dengan memperhatikan faktor kritis di tiap
elemen. Roadmap, rencana kerja keltian, dan beberapa literatur pengukuran kinerja di
organisasi penelitian dan pengembangan digunakan sebagai referensi.
Untuk elemen outcome, Keltian X mengupayakan terwujudnya pengetahuan di bidang
manajemen mutu yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
(Nawacita 5) dan peningkatan produktivitas & daya saing bangsa (NawaCita 6). Outcome
tersebut dapat dicapai jika terdapat kegiatan pemanfaatan atas output yang dihasilkan oleh
keltian. Pemanfaatan atas output yang dihasilkan oleh Keltian X dapat dilihat dari sitasi atas
publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh keltian maupun atas publikasi di jurnal yang diterbitkan
oleh keltian, pelatihan/seminar atau kegiatan pelayanan lainnya yang diselenggarakan
berbasis

hasil

penelitian,

penggunaan

atas

metode/instrumen/toolkit/sistem

yang

dikembangkan keltian, akses terhadap artikel ilmiah yang dihasilkan oleh keltian, serta
kegiatan sharing yang dilakukan oleh masyarakat atas artikel populer yang dihasilkan keltian.
Oleh karena itu, indikator kinerja elemen outcome ditentukan sebagaimana yang terdapat
dalam Tabel 1.
Untuk elemen output, Keltian X memiliki tiga output yang ingin dicapai. Yang
pertama yaitu peningkatan karya tulis ilmiah pada media publikasi ilmiah yang diakui oleh
komunitas ilmiah manajemen mutu secara nasional dan internasional. Kinerja keltian dalam
menghasilkan output tersebut dapat dilihat dari publikasi ilmiah keltian yang diterbitkan di
tingkat nasional maupun internasional. Output kedua yang ingin dicapai oleh Keltian X

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

279

Pusat Inovasi - LIPI

adalah peningkatan hasil penelitian yang dapat digunakan secara langsung oleh
masyarakat/komunitas.

Kinerja

output

yang

kedua

dapat

dilihat

dari

metode/instrumen/toolkit/sistem baru yang langsung dapat dipakai oleh masyarakat.


Selanjutnya, output ketiga yang ingin dicapai yaitu peningkatan pelayanan ilmiah. Dalam
rangka memberikan pelayanan ilmiah kepada masyarakat, Keltian X mengelola dan
menerbitkan jurnal ilmiah dan majalah ilmiah semi populer. Oleh karena itu, kinerja output
yang ketiga dapat dilihat dari jurnal dan majalah keltian yang diterbitkan. Berdasarkan uraian
tersebut, maka disusun indikator kinerja elemen output seperti pada Tabel 1.
Untuk mencapai output yang diinginkan, Keltian X menyelenggarakan aktivitas
penelitian baik penelitian tematik, pembinaan peneliti, dan kolaborasi terkait manajemen
mutu. Terselenggaranya kegiatan penelitian tersebut merupakan faktor kritis elemen aktivitas
keltian. Oleh karena itu, terselenggaranya penelitian tematik, pembinaan peneliti, dan
kolaborasi terkait manajemen mutu dijadikan sebagai indikator kinerja elemen aktivitas.
Selanjutnya, untuk mendukung aktivitas penelitian, Keltian X memerlukan input berupa
Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten, anggaran, dan lingkungan kerja yang
kondusif. Kinerja SDM keltian dapat dilihat publikasi yang terindeks global yang dihasilkan,
kegiatan seminar yang diikuti, keterlibatan SDM sebagai narasumber, jenjang jabatan
fungsional, jenjang pendidikan, dan hasil penilaian kompetensi SDM. Selanjutnya,
ketersediaan anggaran sebagai input penelitian dapat dilihat dari kemampuan untuk menyerap
anggaran. Input yang ketiga, lingkungan kerja yang kondusif diperlukan agar aktivitas
penelitian dapat dilakukan dengan lancar. Saat ini, untuk menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif, Keltian X telah menerapkan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke). Oleh
karena itu, kinerja lingkungan Keltian X dapat dilihat dari skor penilaian 5S. Untuk lebih
jelas, indikator kinerja elemen aktivitas dan input penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Setelah indikator kinerja Keltian X tersusun, selanjutnya dilakukan identifikasi
indikator kinerja personil. Indikator kinerja personil diturunkan dari indikator kinerja keltian
(lihat Tabel 2) dan harus mampu memfasilitasi tercapainya target kinerja keltian.
Indikator kinerja Keltian X dan personil Keltian X yang terdapat di Tabel 1 dan Tabel
2 telah melalui tahap validasi di dalam Keltian X. Dengan demikian, indikator tersebut sudah
dapat dimanfaatkan untuk mengukur kinerja keltian.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

280

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

281

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

282

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3.

Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan indikator kinerja Kelompok Penelitian X yang terdiri dari

indikator kinerja keltian (lihat tabel 1) dan personil keltian (lihat tabel 2) untuk elemen
kegiatan keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Indikator kinerja
diturunkan dari roadmap keltian dan rencana kerja periode 2015-2019 yang telah disusun
dalam rangka mewujudkan visi Keltian X. Selain itu, indikator kinerja dari literatur terkait
juga ditambahkan. Dengan demikian, indikator kinerja yang dipilih telah mewakili strategi
keltian. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan dalam sejumlah literatur pengukuran kinerja
(Kaplan dan Norton, 1992, 1993, 1996; Lynch dan Cross, 1991; Fitzgerald et al., 1991;
Ghalayini et al., 1997; Bititci, 1994, 1995).
Indikator kinerja dalam penelitian ini juga memenuhi prinsip keseimbangan, fokus
pada stakeholder, orientasi proses, dan hubungan kausal yang disampaikan oleh Garengo et
al. (2005). Prinsip keseimbangan berarti sistem pengukuran kinerja menggunakan perspektif
yang berbeda yang didasarkan pada jenis ukuran kinerja (keuangan atau non-keuangan)
dan/atau tujuan ukuran kinerja yang digunakan (internal atau eksternal). Pemenuhan prinsip
ini ditunjukkan oleh indikator kinerja yang tidak hanya mengukur kinerja finansial, tetapi
juga kinerja nonfinansial. Fokus pada stakeholder berarti dalam menyusun indikator kinerja,
persyaratan pelanggan diperhatikan. Kesesuaian indikator kinerja terhadap prinsip ini dapat
dilihat dari indikator kinerja di elemen output. Konsumen dari output penelitian adalah
akademisi, praktisi, dan kalangan masyarakat umum lainnya. Oleh karena itu, output
penelitian harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua kalangan masyarakat. Untuk
memungkinkan hal tersebut, Keltian X mendiseminasikan hasil penelitian ke dalam berbagai
bentuk. Sebagai contoh, publikasi ilmiah di jurnal maupun prosiding dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh kalangan akademisi. Metode, instrument, toolkit, dan sistem baru yang
dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh para praktisi. Sedangkan majalah keltian dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum lainnya. Selanjutnya, dengan berorientasi proses,
organisasi tidak dilihat sebagai struktur hirarkis tetapi sebagai seluruh rangkaian proses
terkoordinasi yang menciptakan sistem. Prinsip yang terakhir, hubungan kausal berarti hasil
kinerja dan determinannya harus diukur untuk mengetahui 'hubungan kausal' di antara
mereka, dan untuk mendukung kontrol tindakan dan proses perbaikan. Pemakaian framework

283

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

outcome, output, aktivitas, dan input merupakan implementasi atas prinsip ketiga dan
keempat.
Indikator kinerja keltian dan personil keltian yang disusun telah didiskusikan di dalam
kelompok penelitian untuk memastikan bahwa indikator tersebut tepat mengukur kinerja
keltian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa indikator kinerja keltian dan personil keltian
hasil penelitian ini telah valid.
Penyusunan indikator kinerja dilakukan dengan mengadopsi arsitektur dan informasi
kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Indikator kinerja ditentukan untuk
elemen kegiatan keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Dengan
demikian, framework ini akan memudahkan instansi dalam menyusun laporan kinerja. Lebih
lanjut, framework pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator kinerja outcome,
output, aktivitas, dan input bermanfaat untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan keltian
dalam mencapai visi. Dengan menggunakan framework tersebut dapat diidentifikasi elemen
kritis dari kinerja keltian dan personil keltian serta hubungan logis diantara elemen-elemen
tersebut.

KESIMPULAN
Pengukuran kinerja merupakan proses mengkuantifikasi efektivitas dan efisiensi
organisasi. Pengukuran kinerja penting dilakukan untuk memberikan gambaran pencapaian
organisasi dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dalam sejumlah litertur dikatakan
bahwa pengukuran kinerja merupakan media untuk pencapaian kinerja yang tinggi.
Organisasi yang melakukan pengukuran kinerja telah terbukti memiliki kinerja yang lebih
tinggi dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya.
Pemilihan indikator kinerja merupakan salah satu tahap dalam membangun sistem
pengukuran kinerja. Pemilihan indikator kinerja yang tepat akan berpengaruh pada efektivitas
sistem pengukuran kinerja. Oleh karena itu, identifikasi indikator yang tepat harus dilakukan
dengan hati-hati. Indikator kinerja yang digunakan harus dapat mewakili visi organisasi.
Berdasarkan tahapan ilmiah yang telah dilakukan, penelitian ini menemukan bahwa
pengukuran kinerja Kelompok Penelitian X di Pusat Penelitian ABC dapat dilakukan dengan
menggunakan 29 indikator kinerja yang terdiri dari 7 indikator kinerja outcome, 9 indikator
kinerja output, 4 indikator kinerja aktivitas, dan 9 indikator kinerja input. Sedangkan

284

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

indikator kinerja personil Keltian X dapat diukur menggunakan 26 indikator yang meliputi 7
indikator outcome, 8 indikator output, 5 indikator aktivitas, dan 6 indikator input.

DAFTAR PUSTAKA
Bigliardi, B. dan Dormio, A. I. (2010). A balanced scorecard approach for R&D: evidence from a
case study. Facilities, 28, 5/6, 278-289.
Bititci, U. (1994). Measuring your way to profit. Management Decision, 32, 6.
Bititci, U. (1995). Measuring the integrity of your business. Management Decision, 33, 7.
Chiesa, V. dan Frattini, F. (2009). Performance measurement of research and development activities.
European Journal of Innovation Management, 12, 1, 25-61.
Coccia, M. (2004). New models for measuring the R&D performance and identifying the productivity
of public research institute. R&D Management, 34, 3, 267-78.
Cooper, R.G. (1998), Product Leadership: Creating and Launching Superior New Products. Perseus
Books, Reading, MA. dalam Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011).
Structured approach to measure performance in construction research and development:
Performance measurement system Development. International Journal of Productivity and
Performance Management, 60, 3, 289-310.
Damayanti, S. dan Yarmen, M. (2015). Pengukuran Kinerja Kelompok Penelitian dalam Lembaga
Pemerintah (Studi Kasus: Sebuah Kelompok Penelitian Lembaga X). Prosiding Annual
Meeting on Testing dan Quality (AMTeQ) 2015. ISSN 1907-7459.
de Waal, A., Goedegebuure, R., dan Geradts, P. (2011). The impact of performance management on
the results of a non-profit organization. International Journal of Productivity and
Performance Management, 60, 8, 778-796.
Fitzgerald, L., Johnson, R., Brignall, S., Silvestro, R., dan Voss, C. (1991). Performance
Measurement in Service Business. CIMA, London.
Garca-Valderrama, T., Mulero-Mendigorri, E., & Revuelta-Bordoy, D. (2009). Innovative
Applications of O.R: Relating the perspectives of the balanced scorecard for R&D by means
of DEA. European Journal of Operation Research, 196, 1177-1189.
Garengo, P., Biazzo, S., dan Bititci, U. M. (2005). Performance measurement systems in SMEs: A
review for a research agenda. International Journal of Management Reviews, 7, 1, 2547.
Ghalayini, A., Noble, J., dan Crowe, T. (1997). An integrated dynamic performance measurement
system for improving manufacturing competitiveness. International Journal of Operations
and Production Management, 17, 2, 121-163.
Godener, A. dan Soderquist, K.E. (2004). Use and impact of performance measurement results in
R&D and NPD: an exploratory study. R&D Management, 34, 2, 191-219.
Griffin, A. dan Page, A.L. (1993). An interim report on measuring product development success and
failure. Journal of Product Innovation Management, 10, 4, 291-308.

285

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Jyoti, Banwet, D.K., dan Deshmukh, S.G. (2008). Evaluating performance of national R&D
organizations using integrated DEA-EHP technique. International Journal of Productivity
and Performance Management, 57, 5, 370-388.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1992). The balanced scorecard: the measures that drive performance.
Harvard Business Review. January-February, 71-79.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1993). Putting the balanced scorecard to work. Harvard Business Review.
September-October, 34-147.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1996). Using the balanced scorecard as a strategic management system.
Harvard Business Review. January-February, 75-85.
Kim, Bowon dan Oh, Heungshik. (2002). An e_ective R&D performance measurement system:
survey of Korean R&D researchers. Omega 30, 1931.
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2007). Performance measurement in the construction
research and development. International Journal of Productivity and Performance
Management, 56, 8, 673-688.
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011). Structured approach to measure performance
in construction research and development: Performance measurement system Development.
International Journal of Productivity and Performance Management, 60, 3, 289-310.
Liu, panh-Lo dan Tsai, Chih-Hung (2007). Using Analytic Network Process to Establish
Performance Evaluation Indicators for the R&D Management Department in Taiwans
High-tech Industry. The Asian Journal on Quality, 8, 3, 156-172.
Lynch, R. dan Cross, K. (1991). Measure Up! Yardsticks for Continuous Improvement. Blackwell,
Oxford.
Neely, A., Gregory, M. dan Platts, K. (2005). Performance measurement system design: A literature
review and research agenda. International Journal of Operations & Production Management,
25, 12, 1228-1263.
Parmenter, David. (2010). Key Performance Indicators: Developing, Implementing, and Using
Winning KPIs. John Wiley & Sons, Hokoben, New Jersey.
Pearson, A.W., Nixon, W.A. dan Kerssens-van Drongelen, I.C. (2000). R& D as a business what are
the implications for performance measurement?. R&D Management, 30, 4, 355-66 dalam
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011). Structured approach to measure
performance in construction research and development: Performance measurement system
Development. International Journal of Productivity and Performance Management, 60, 3,
289-310.
Poister, T. H. (2003). Measuring performance in public and nonprofit organizations. San Francisco,
CA: Jossey-Bass.
Smith, P.G. dan Reinertsen, D.G. (1998). Developing Products in Half the Time: New Rules, New
Tools. VanNostrand Reinhold, New York, NY. dalam Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan
Haigh, R. (2011). Structured approach to measure performance in construction research and
development: Performance measurement system Development. International Journal of
Productivity and Performance Management, 60, 3, 289-310.

286

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Sueyoshi, T. & Goto, M. (2009). Can R&D expenditure avoid corporate bankruptcy?: Comparison
between Japanese machinery and electric equipment industries using DEAdiscriminant
analysis. European Journal of Operational Research, 196, 289311.
Sueyoshi, T. & Goto, M. (2013). A use of DEADA to measure importance of R&D expenditure in
Japanese information technology industry. Decision Support Systems, 54, 941952.
Tripathy, S., Sahu, S., dan Ray, P. K. (2013). Interpretive structural modelling for critical success
factors of R&D performance in Indian manufacturing firms. Journal of Modelling in
Management, 8, 2, 212-240.
Vuolle, M., Lnnqvist, A. dan van der Meer, J. (2009). Measuring the intangible aspects of an R&D
project. Measuring Business Excellence,13, 2, 25-33.
Werner, B.M. dan Souder, W.E. (1997). Measuring R&D performance: state of the art. ResearchTechnology Management, 40, 2, 34-42.

287

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 13

ALIH TEKNOLOGI DUNIA PADA SISTEM ROBOTIKA


BIDANG PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL DI
PUSLIT TELIMEK LIPI
Hendri Maja Saputra, Sapdo Utomo, Rifa Rahmayanti
Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
hend018@lipi.go.id

ABSTRAK
Adanya isu politik dan ekonomi menjadi salah satu faktor ancaman pertahanan keamanan
(hankam) negara. Ancaman tersebut diantisipasi denganmeningkatkan kemandirian nasional
dalam bidang hankam. Salah satu upaya dalam mencapai hal tersebut adalah dengan
meningkatkan alih teknologi agar mudah digunakan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Saat
ini robot banyak digunakan sebagai pengganti peran manusia terutama di lingkungan yang
berbahaya, hal tersebut juga menjadi tren pada teknologi militer dunia. Berdasarkan isu-isu
yang ada dan permintaan dari pengguna di bidang hankam, maka telah diiplementasikan
MobileRobot untuk aplikasi robot penjinak bom (Morolipi V1 dan Morolipi V2) dan Remote
Controlled Weapon System (RCWS) sebagai salah satu hasil alih teknologi militer yang
diperlukan oleh Indonesia saat ini. Morolipi dapat berfungsi untuk mengevakuasi benda
berbahaya dan juga dapat dikirim untuk memantau teroris. Morolipi juga telah
dikolaborasikan dengan RCWS, sehingga dapat digunakan pada garda belakang maupun
garda depan. Purwarupa RCWS yang dihasilkan mengadopsi teknologi yang banyak
digunakan pada kendaraan tempur, hanya saja spesifikasinya dan kemampuannya masih
terbatas karena perbedaan yang signifikan terkait anggaran yang digunakan. Alih teknologi
ini diharapkan dapat menjadikan kemandirian alutsista dengan memaksimalkan komponenkomponen dalam negeri dan sumber daya manusia yang ada.

Kata Kunci: alih teknologi,hankam, morolipi, robotika, RCWS

288

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan teknologi di semua bidang di negara maju menjadi salah satu
faktor acuan teknologi di negara berkembang. Hal tersebut memberikan dampak positif dan
negatif pada masyarakat. Dampak positifnya adalah terjadinya alih teknologi di berbagai
bidang sehingga dapat meningkatkan kualitas perkembangan teknologi industri dan ekonomi
dari negara tersebut. Dampak negatifnya adalah adanya ancaman terhadap pertahanan dan
keamanan Negara dan penjajahan modern di bidang ekonomi.
Pertahanan militer Amerika telah sukses menggunakan robot secara luas di bidang
hankam, seperti untuk mengumpulkan informasi pengintaian, pendukung sistem logistik,
melaksanakan operasi tempur, melindungi personel bahkan untuk mengevakusi personel yang
terluka (Barnes et al., 2014). Tantangan teknologi dunia di masa depan di bidang hankam
adalah merancang human-robot yang cerdas, otonom, sederhana, mudah dioperasikan dan
meminimalisasikan beban kerja operator (Chen & Barnes, 2013). Saat ini kendaraan darat
tanpa awak (UGV) secara aktif dikembangkan sejalan dengan teknologi robotika yang lain
untuk meminimalisasi peran manusia baik untuk keperluan sipil ataupun militer di
lingkungan yang berbahaya (Lee, 2012; Gage, 1995). Sebagai persiapan dalam melakukan
inovasi di masa depan maka diperlukan pengekplorasian serta pengindetifikasian potensi
masalah dari isu-isu yang ada dan mensimulasikannya sehingga dapat dikembangkan suatu
robot yang belum pernah ada (Swiecicki et al., 2015). Berdasarkan hukum kemanusian
internasional, hingga saat ini belum ada peraturan internasional tentang pelarangan terhadap
perkembangan robot otonom dan remote weapon system(Liu, 2012).
Saat ini untuk mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi hankam di dunia maka
diadakan percepatan penelitiaan dan pengembangan penguasaan teknologi dengan cara alih
teknologi, fordward engineering, dan reverse engineering(Teknologi, 2006). Salah satu
tujuan nasional Republik Indonesia adalah kemampuan untuk menyediakan alat peralatan
pertahanan keamanan dari industri dalam negeri yang mandiri (Undang-undang Republik
Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan).
Makalah ini membahas tentang alih teknologi dunia pada bidang hankam khususnya
dalam bidang robotika yang telah diteliti oleh Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Alih teknologi ini diharapkan dapat

289

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menjadikan kemandirian alutsista dengan memaksimalkan komponen-komponen dalam


negeri dan sumber daya manusia yang ada (Mirdanies et al., 2013b).

METODOLOGI
Penelitian rancang bangun robotik di bidang hankam dimulai dengan diskusi desain
konsep yang dibutuhkan oleh pengguna (TNI atau Polri) serta pengkajian kebijakankebijakan yang berlaku di Indonesia. Setelah desain konsep disepakati, selanjutnya dilakukan
studi literatur dan survei untuk menentukan rancangan yang tepat dengan komponenkomponen yang tersedia dipasaran, proses manufaktur, perakitan, pengambilan data hasil dari
eksperimen, uji coba lapangan, evaluasi, dan perbaikan disertai penyempurnaan desain
manufaktur jika diperlukan.
Studi literatur selain dengan analisa teori dan analisa persamaan yang digunakan juga
dilakukan melalui survei data mengenai teknologi yang telah ada khususnya yang telah dibuat
oleh suatu perusahaan-perusahaan besar. Data-data yang didapatkan kemudian digunakan
sebagai acuan untuk perancangan desain sistem dan simulasi. Bersamaan dengan proses
tersebut, dilakukan juga proses evaluasi awal terhadap purwarupa yang telah berhasil dibuat
dengan pendataan ulang komponen serta klarifikasi untuk pemilihan komponen mana yang
akan tetap digunakan dan juga mana komponen yang memerlukan peningkatan kualitasnya.
Pada saat perbaikan, penyempurnaan desain manufaktur dan optimasi akan dilakukan
sejalan dengan proses uji coba terutama jika terjadi kerusakan atau pada saat dibutuhkan
penyesuaian untuk peningkatan spesifikasi dari purwarupa yang dibuat. Gambar 1
menjelaskan alur kegiatan penelitian yang telah dilakukan.

290

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Alur penelitian bidang hankam Puslit Telimek

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan penelitian alih teknologi di bidang hankam yang telah dilakukan sampai
tahun 2015 oleh Puslit Telimek LIPI antara lain: Morolipi, Robot Bersenjata, dan Remote
Controlled System (RCWS), seperti diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Alih teknologi yang telah dikembangkan

291

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa penelitian alih teknologi bidang hamkam


dilakukan dengan membandingkan teknologi pembuatan robot militer yang telah ada dengan
kebutuhan yang diperlukan.

Morolipi
Penelitian tentang teknologi yang dimiliki yaitu mobil robot penjinak bom morolipi
yang dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2014, perkembangan teknologi, dan fitur alih
teknologi (lihat Gambar 3). Penelitian dimulai dari robot otonom beroda dua hingga nantinya
akan digabungkan dengan robot lengan bersenjata.

Gambar 3. Perkembangan morolipi

Morolipi V1 memiliki dari lengan 5- DOF, gripper yang dapat digunakan sebagai
pemotong kabel dan juga memindahkan barang, kontrol analog, dan pan-tilt kamera. Morolipi
ini juga memiliki kemampuan untuk menaiki dan menuruni tangga dengan kemiringan
sampai 16 dengan tinggi anak tangga sampai 30 cm(Saputra & Mirdanies, 2015),(Saputra et
al., 2012c),(Rijanto et al., 2013).

292

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 4. Purwarupa morolipi V1

Tabel 1. Spesifikasi purwarupa morolipi V1


Spesifikasi
PxLxT
Berat Kotor
Daya Angkut
Daya Angkat
Sistem Penggerak
Ketinggian Maksimum Manipulator
Ground Clearence
Flippers
Manipulator
End Effector
Stair Climbing
Obstacles
Kecepatan Maksimum
Derajat Kemiringan Pendakian
Rintangan

Satuan
1050x920x1200 mm
190 kg
100 kg
5 kg
4 roda / 2-track / FIX
1500 mm
5 cm
4 statik Flippers / FIX
5 DOF
Wire cutter
16 degree / depend on friction
150 mm (height)
2 km/h
16o / tergantung pada penampang jalur
150 mm (tinggi)

Morolipi V2 memiliki dari lengan 5- DOF, gripper yang dapat digunakan sebagai
penjepit dan juga memindahkan barang, serta kontrol digital. Morolipi ini juga memiliki
kemampuan untuk menaiki dan menuruni tangga dengan kemiringan sampai 45. Versi ini
lebih kecil dan lebih kompak dibandingkan dengan versi sebelumnya (Saputra et al.,
2012),(Saputra et al., 2013c).

293

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 5. Purwarupa Morolipi V2

Spesifikasi

Tabel 2. Spesifikasi purwarupa morolipi V2


Satuan

PxLxT
Berat Keseluruhan
Daya Angkut
Daya Angkat
Sistem Penggerak
Ketinggian Maksimum Manipulator
Ground Clearence
Flippers
Manipulator
End Effector
Stair Climbing
Rintangan
Kecepatan Maksimum

800 x 450 x 300 mm


81 kg
100 kg
5 kg
8 roda /4-track/2-track /drive (modular)
2000 mm
5 cm
4 Aktive Flippers
5 DOF
Gripper
45 degree / depend on friction
500 mm (height)
7.2 km/h

294

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Robot Bersenjata
Robot bersenjata merupakan teknologi lanjutan dari morolipi dengan pemasangan
lengan bersenjata 2-DOF (azimut-elevasi) atau yang disebut turret menggantikan lengan 5DOF. Lengan bersenjata (LRoB V1), (Mirdanies et al., 2013a), (Saputra & Setiawan,
2013),(Saputra et al., 2013b) ini dilengkapi dengan kamera yang dipasangkan secara paten
pada platform sebagai identifikasi sasaran (objek/benda) yang diinginkan untuk selanjutnya
menembak sasaran tersebut. Robot dapat mentrack berbagai macam bentuk objek bergerak
(Nugraha, 2013), (Saputra et al., 2012a), (Saputra et al., 2013a).

Gambar 6. Purwarupa morolipi V2 dengan lengan bersenjata 2-DOF

295

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Spesifikasi lengan bersenjata 2-DOF (without mobile platform):


Model

L-RoB LIPI

PxLxT

45 x 30 x 64 cm

Berat

30 kg

Senjata

Senapan Mesin Ringan (SMR) kaliber 5,56 mm (M4, M16, SS1, dan
sejenisnya)

Azimuth

- Sudut : -180 s/d 180 derajat


- Kecepatan : 15 rpm

Elevasi

- Sudut : -45 s/d 90 derajat


- Kecepatan : 12,5 rpm

Pengendalian

- Remote kontrol 433 Mhz


- Telekontrol (GUI) via wireless 802.11 g/n

Kamera platform

Resolution 640 x 480 pixels RGB, Frame rate 30 FPS, Connectivity USB
2.0, Laser Range Finder (LRF) 3,5 m

Kamera laras

Resolution 640 x 480 pixels RGB, Frame rate 30 FPS, Connectivity USB
2.0

Stabilisasi

- Acceleration 8 g, Resolution 976,7 g,


- Gyroscope 2000 /s, Resolution 0.07/s
- Compass 5.5 G, Resolution 3 mG

Power

Baterai 25,9 vdc 12,6 Ah

Modul elektronik

Full Digital

Remote Controlled Weapon System (RCWS)


Pada RCWS digunakan mekanisme 2-DOF (azimut-elevasi) untuk senapan mesin
sedang dengan kaliber 7.62 mm yang dapat dikendalikan secara manual dan otomatis
menggunakan joystick, dapat mendeteksi target dari sisi warna atau bentuk target dan adanya
stabilisasi lengan terhadap platform sehingga lengan dapat mengkompensasi pergerakan
platform ketika beroperasi.

296

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 7. Purwarupa Remote Controlled Weapon System

Skema Kolaborasi
Sejak tahun 2004 telah dilakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait sebagai
modal untuk desain dan perancangan. Skema kolaborasi tersebut dapat dilihat pada Gambar
8(a). Pada tahun 2015, skema kolaborasi di improvisasi untuk mendapat hasil yang lebih baik
(lihat Gambar 8(b)).

Gambar 8. (a) Skema kolaborasi periode 2010-2014, (b) Skema kolaborasi periode 2015-2019

297

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pada Gambar 8 (a) Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik mengambil data
dari pihak TNI/POLRI dan juga dari Litbang TNI/POLRI. Data yang diperoleh kemudian
digunakan sebagai acuan untuk pembuatan purwarupa yang sesuai dengan kebutuhan dari
pengguna. Harapannya dari purwarupa yang telah teruji pada skala lab dapat diproduksi oleh
pihak industri, sehingga memudahkan pengguna untuk memanfaatkannya. Kenyataan yang
terjadi dilapangan adalah skema kolaborasi belum dapat berjalan dengan baik karena adanya
kendala dengan pihak industri.
Pada periode 2015-2019 ini, dirancangkan skema kolaborasi yang baru dimana Pusat
Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik akan melakukan penelitian berdasarkan permintaan
dari industri. Permintaan industri tersebut juga dipengaruhi dari kebutuhan pihak TNI/POLRI
sebagai pihak pengguna.

KESIMPULAN DAN SARAN


Telah dilakukan alih teknologi terkait Mobile Robot, lengan bersenjata, dan Remote
Controlled Weapon System (RCWS) kaliber 7.62 mm yang diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan acuan untuk perkembangan sistem persenjataan lebih lanjut di bidang
pertahanan. Selain itu juga memberikan dampak dari segi ekonomi yaitu pengurangan tingkat
ketergantungan terhadap produk impor sehingga dapat menghemat devisa negara dan juga
apabila sistem ini dapat diintegrasikan dan dikembangkan sampai tahap produksi di dalam
industri, harapannya dapat membuka lapangan perkerjaan sehingga terjadi peningkatan
kesejahteraan. Selain itu juga diharapkan dapat membantu meningkatkan kemampuan TNI
yang secara teknis menjadikan alutsista lebih kuat dan efektif sehingga dapat mengurangi
kekhawatiran terhadap embargo oleh negara lain.
Selama ini terjadi kendala dalam hal pengujian lapangan dikarenakan keterbatasan
akses dibidang hankam, sehingga data yang didapatkan belum sesuai dengan kebutuhan
pengguna yang ingin sempurna. Harapannya, pada penelitian selanjutnya mendapatkan
dukungan penuh dari pengguna (TNI dan Polri), sehingga hasil penelitian dapat benar-benar
dimanfaatkan langsung oleh pengguna.

298

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih yang sebesar-besar kami sampaikan kepada Kelompok Penelitian
Mekatronik di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia atas kerjasama yang sangat solid sehingga mampu menghasilkan purwarupapurwarupa yang menjadi tonggak penelitian di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Barnes, M.J., Chen, J.Y.C., Jentsch, F., Oron-Gilad, T., Redden, E., Elliott, L. & Evans, A.W. (2014).
Designing for Humans in Autonomous Systems: Military Applications. (January). p.pp. 130.
Chen, J.Y.C. & Barnes, M.J. (2013). Human-Agent Teaming for Multi-Robot Control: A Literature
Review. (February).
DPR dan Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012
tentang Industri Pertahanan. (16 Tahun 2012).
Gage, D.W. (1995). UGV HISTORY 101: A Brief History of Unmanned Ground Vehicle (UGV)
Development Efforts. Unmanned Systems. [Online]. 13 (3). p.pp. 932. Available from:
http://oai.dtic.mil/oai/oai?verb=getRecord&amp;metadataPrefix=html&amp;identifier=ADA4
22845.
Lee, J.P. (2012). Future unmanned system design for reliable military operations. International
Journal of Control and Automation. 5 (3). p.pp. 173186.
Liu, H.-Y. (2012). Categorization and legality of autonomous and remote weapons systems.
International Review of the Red Cross. [Online]. 94 (886). p.pp. 627652. Available from:
http://www.journals.cambridge.org/abstract_S181638311300012X.
Mirdanies, M., Prihatmanto, A.S. & Rijanto, E. (2013a). Object Recognition System in Remote
Controlled Weapon Station using SIFT and SURF Methods. Mechatronics, Electrical Power,
and Vehicular Technology. [Online]. 4 (2). p.pp. 99108. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/143.
Mirdanies, M., Saputra, H.M., Subekti, R.A., Susanti, V., Nugraha, A.S., Rijanto, E. & Hartanto, A.
(2013b). Kajian Kebijakan Alutsista Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia. A.
Hartanto (ed.). Jakarta: LIPI Press.
Nugraha, A.S. (2013). ANALISA KESTABILAN KENDARAAN PADA MOBIL ROBOT
DELAPAN RODA. In: Seminar Nasional Rekayasa Energi, Mekatronik, dan Teknik
Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 159162.
Rijanto, E., Saputra, R.P. & Saputra, H.M. (2013). Positioning control for the mobile robot LIPI
articulated robot arm based on PD control approach. International Journal of Applied
Engineering Research. [Online]. 8 (4). p.pp. 423433. Available from:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.084880244481&partnerID=MN8TOARS.

299

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Saputra, H.M., Abidin, Z. & Rijanto, E. (2012a). ANALYSIS OF INVERSE ANGLE METHOD
FOR CONTROLLING TWO DEGREE OF FREEDOM MANIPULATOR. Mechatronics,
Electrical Power, and Vehicular Technology. 03 (October). p.pp. 916.
Saputra, H.M., Abidin, Z. & Rijanto, E. (2013a). IMU Application in Measurement of Vehicle
Position and Orientation for Controlling a Pan-Tilt Mechanism. Mechatronics, Electrical
Power, and Vehicular Technology. [Online]. 4 (1). p.pp. 4150. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/137.
Saputra, H.M. & Mirdanies, M. (2015). Controlling Unmanned Ground Vehicle Via 4 Channel
Remote Control. Energy Procedia. [Online]. 68. p.pp. 381388. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876610215005755.
Saputra, H.M., Rizqulloh, M.A., Ardiansyah, R.A., Mirdanies, M., Nugraha, A.S., Santoso, A.,
Saputra, R.P., Atmaja, T.D. & Rijanto, E. (2013b). Analisis Metode Pembangkit Sinyal PWM
Motor Servo pada Sistem Pemicu Senjata Softgun M4A1 Otomatis. In: Seminar Nasional
Rekayasa Energi, Mekatronik, dan Teknik Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 163
168.
Saputra, H.M., Santoso, A., Mirdanies, M., Windarwati, V., Nayanti, R. & Maulana, L. (2013c).
Control of Pan-tilt Mechanism Angle using Position Matrix Method. Mechatronics, Electrical
Power, and Vehicular Technology. [Online]. 4 (2). p.pp. 109116. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/156.
Saputra, H.M. & Setiawan, A. (2013). Eksperimen Kendali Posisi Sudut dan Kecepatan Motor DC
Brushless AXH230KC-100 Untuk Manipulator Robot. In: Seminar Nasional Rekayasa
Energi, Mekatronik, dan Teknik Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 181188.
Saputra, R.P., Adriansyah, R.A., Mirdanies, M., Santoso, A., Nugraha, A.S., Muqorrobin, A., Saputra,
H.M., Susanti, V. & Rijanto, E. (2012b). Perancangan dan Pengujian Awal Kendali Motor DC
Brushless Untuk Independent 4-Wheel Drive Platform Robot Rev-11. Mechatronics,
Electrical Power, and Vehicular Technology. [Online]. 2 (2). p.pp. 8594. Available from:
http://mevjournal.com/index.php/mev/article/view/24.
Saputra, R.P., Rijanto, E. & Saputra, H.M. (2012c). Trajectory scenario control for the remotely
Operated Mobile Robot LIPI platform based on energy consumption analysis. International
Journal of Applied Engineering Research. [Online]. 7 (8). p.pp. 851866. Available from:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.084867281390&partnerID=MN8TOARS.
Swiecicki, C.C., Elliott, L.R. & Wooldridge, R. (2015). Squad-Level Soldier-Robot Dynamics:
Exploring Future Concepts Involving Intelligent Autonomous Robots. (February).
Teknologi, K.N.R. dan (2006). Indonesia 2005 - 2025 Buku Putih. Jakarta.

300

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 14

ANALISIS MANAJEMEN PENGETAHUAN PADA PROSES


ALIH TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI LIPI
Mauludin Hidayat1, Joddy Arya Laksmono2
1

Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,


Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
mauludin.hidayat@gmail.com, joddy.arya.laksmono@gmail.com

ABSTRAK
Proses inkubasi merupakan salah satu jalan pada proses alih teknologi dalam rangka
komersialisasi hasil litbang. Proses alih teknologi tidak hanya pada masalah teknologi yang
dialihkan, namun lebih jauh lagi adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap setiap
komponen-komponen alih teknologi tersebut, sehingga tujuan proses komersialisasinya dapat
diwujudkan. Pusat Inovasi LIPI sebagai satuan kerja yang memiliki tugas pokok
menjembatani proses alih teknologi ini, tentunya memerlukan sebuah rancangan tersendiri
dalam melakukan analisis terhadap proses alih teknologi ini, baik teknis maupun
manajemennya. Makalah ini bertujuan untuk menganalisa manajemen pengetahuan pada
proses alih teknologi di Pusat Inovasi LIPI dengan indicator adalah adanya peningkatan
IRL (Innovation Readiness Level) untuk setiap tahapan inkubasi. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan sifat deskriptif yaitu dengan menganalisa
tahapan proses alih teknologi dan fungsi-fungsi manajemen pengetahuan. Sebagai studi kasus
penelitian adalah proses alih teknologi melalui Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil
Litbang Produk Nanosilver sebagai Bahan Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri.
Hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa Pusat Inovasi telah memiliki infrastruktur
yang baik dengan adanya aturan formal berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
tahun 2005 dan manajemen mutu ISO 9001 tahun 2008. Terdapat beberapa barrier berkaitan
dengan manajemen pengetahuan yang ditemui sehingga menghambat efektivitas proses alih
teknologi.
Kata kunci: Manajemen pengetahuan, proses alih teknologi, kekayaan intelektual, Pusat Inovasi
LIPI.

301

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Manajemen Pengetahuan menjadi diperlukan ketika pengetahuan bertambah dan berkembang
terus. Gambar -1 di bawah menjelaskan tentang alasan kenapa manajemen pengetahuan
diperlukan.

Gambar 1. Latar belakang diperlukannya Manajemen Pengetahuan

Gambar 1. Tersebut memperlihatkan dengan jelas mulai dari perkembangan data


sehingga oleh karenanya manajemen data atau database diperlukan sampai dengan
perkembangan pengetahuan sehingga manajemen pengetahuan diperlukan.
Berkaitan dengan adanya persaingan yang disebabkan oleh terbukanya pasar-pasar
yang baru dan kebutuhan yang meningkat untuk produk-produk inovatif, tidak ada cara lain
bagi perusahaan selain pencarian yang konstan untuk kemitraan-kemitraan yang strategis.
Alih teknologi diantara perusahaan dan perguruan tinggi atau pusat riset terus mencari
prosedur inovatif menuju proses, produk dan jasa yang baru. Interaksi dengan masa digital,
yang muncul dari diseminasi teknologi informasi dan media yang baru, secara signifikan
mempersempit barrier diantara pasar-pasar tersebut (Evans dan Wurster, 1997).
Namun demikian, proses pengembangan dan alih teknologi sebagai sebuah tujuan
yang esensial luput dari perhatian beberapa lembaga penelitian dan pengembangan (litbang).
Kebanyakan hubujngan dengan perusahaan nasional didasari atas pengembangan sumber
daya manusia dan para peneliti yang dapat menghasilkan karya tulis ilmiah. Pada umumnya,
pengembangan dan alih teknologi diserahkan kepada pasar. Hubungan anatara Perusahaan
yang ada dan lembaga litbanh diduga tidak terjalin dengan konstruktif. Sementara bertahan
dalam lingkungan yang kompetitif semacam ini, berkaitan dengan inflasi, ketidakpastian dan
yang lainnya, perusahaan telah terhambat terhadap pengenalan dan pengembangan teknologi

302

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

baru bagi produk-produknya. Celah antara penghasil teknologi dan penerima teknologi
diidentifikasi sebagai sebuah permasalahan serius khususnya bila mempertimbangkan
globalisasi dan perkembangan teknologi yang cepat.
Pada konteks ini, makalah ini dikembangkan. Situasi semacam ini dipandang perlu
untuk dibahas agar dapat memahami manajemen pengetahuan organisasi dan proses alih
teknologi di Pusat Inovasi LIPI dengan lebih baik. Banyak pendekatan tidak memperhatikan
kekhususan tiap-tiap organisasi baik di daerah dimana beroperasi maupun hubungan yang
instrinsik anatar proses-proses yang dinamis dari inovasi dan kontribusi pengetahuan
organisasi untuk alih teknologi yang bertujuan pengembangan dan sosialisasi inovasi di
sector produktif.
Proses modernisasi pada sistem perusahaan, berkaitan dengan mutu, produktivitas dan
produk-produk dan proses berteknologi baru, menuntut perusahaan untuk selalu mencari
inovasi dalam kegiatannya pada pasar yang menjadi target. Banyak organisasi dari berbagai
sector telah dilibatkan untuk memikirkan ulang bentuk-bentuk produksi yang telah
tua.Dipertimbangkan bahwa perubahan-perubahan ini menciptakan kebutuhan untuk
pembangkitan inovasi yang berkelanjutan yang dipicu dan dibangkitkan oleh individuindividu dalam organisasi, yang bertujuan untuk mengelola atau terus berupaya dalam
lingkungan yang kompetitif saat ini. Inovasi semacam ini sangat penting dan fundamental,
dan dapat muncul dari urun rembuk gagasan-gagasan atau hal-hal yang tidak diharapkan dan
tidak terduga yang secara tacit muncul dari pikiran-pikiran yang mewarnai berbagai level
organisasi.
Namun demikian, untuk mengubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan explicit
bisa menghasilkan inovasi-inovasi, para individu haruslah didorong, dimotivasi untuk
berpartisipasi secara kontinyu dari proses-proses penting pekerjaannya yang dilakukan,
berbagi pengetahuan tacit mereka, dalam bentuk pengalaman di lingkungan organisasi.
Kreasi dan manajemen pengetahuan organisasi merupakan alat yang sangat penting bagi
pembangkitan inovasi dalam organisasi yang harus digunakan untuk memudahkan dinamika
ini, semua langkah dalam prosesnya, dari sharing pengetahuan tacit diantara individu, menuju
globalisasi pengetahuan di seluruh organisasi (Nonaka dan Takeuchi, 1995).
Inovasi dan proses manajemen pengetahuan dalam sebuah perusahaan dapat dipahami
sebagai sebuah klaster dari komitmen yang dihasilkan oleh para individual yang bertujuan

303

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

untuk menciptakan, mendapatkan, mengalihkan, menggunakan dan sekaligus melindungi


kreasi pengetahuan yang dihasilkan oleh organisasi untuk tetap bersaing dalam pasar yang
aktif (Davenport dan Prusak 1998, Fleury dan Oliveira, 2001; Gold, Malhotra dan Segars
2001).
Agar inovasi menjadi mungkin dalam lingkup sebuah organisasi, pengetahuan
haruslah dirawat dan dikembangkan dalam semua tahapan manajemen. Pengetahuan
dipahami sebagai kumpulan praktik yang dialami orang, nilai, informasi kontekstual dan ide
yang dihasilkan, eksperimen semacam ini memungkinkan kerangka kerja individual untuk
menilai dan menerapkan praktik dan informasi baru. Dengan keasliannya dan diterapkan
dalam otak manusia. Dalam bisnis, pengetahuan tidak dibatasi hanya dalam dokumen atau
panduan, standard dan pedoman manajemen, tetapi juga di dalam rutin, proses dan cara-cara
melakukan pekerjaan para individu (Davenport dan Prusak, 2001; Santiago Jr., 2004).
Pada pengertian kreasi pengetahuan dan dinamika kreasi ini, Nonaka dan Takeuchi
(1995) mengusulkan sebuah model konversi pengetahuan. Hal yang sama adalah dalam
sebuah kreasi pengetahuan organisasi yang didefinisikan sebagai: proses spiral, yang berawal
dari level individual dan meningkat, meluas ke komunitas interaksi yang

persilangan

diantara seksi, departemen, divisi dan organisasi.


Kreasi pengetahuan organisasi, oleh karenanya, harus dipahami sebagai suatu proses
yang berkembang pengetahuan secara organisasi yang diciptakan oleh para individu,
mengkristal sebagai bagian batas-batas jaringan pengetahuan dari sebuah organisasi, proses
ini terjadi diantara interaksi komunitas meluas yang melintasi batas-batas dan level interorganisasi. (Nonaka dan Takeuchi, 1995).
Model manajemen pengetahuan Nonaka dan Takeuchi memusatkan pada 2 jenis
pengetahuan explicit dan codified dan memberikan perhatian pada bagaimana 2 jenis
pengetahuan ini berubah satu dengan lainnya dan bagaimana keduanya dihasilkan dalam
semua level organisasi (personal, grup dan organisasi). Pada model dinamis ini, cara
menggunakan dan mengubah kedua jenis pengetahuan ini dan bagaimana menuju manajemen
pengetahuan dalam bidang ini, menurut Gambar 2, terjadi proses ibarat spiral (helical).
Pemikiran sebagaiman disebut di atas, bisa diasumsikan bahwa hanya orang-orang
merupakan creator pengetahuan, jadi proses kreasi pengetahuan organisasi haruslah berupa

304

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

proses yang kontinyu dimana, pengetahuan yang diciptakan orang, dengan cara yang
terorganisir didorong dan dibimbing.

Gambar 2. Model Nonaka dan Takeuchi (Afrazeh, 2005)

Socialization (tacit-ke-tacit): pengalihan pengetahuan tersembunyi (tacit) dari


seseorang ke orang lain. (Bagaimana memecahkan masalah rancangan program yang tidak
biasa): agar implementasi proses ini efektip, budaya dan kapabilitas yang dibagi kepada grup
sebaiknya dibentuk diantara orang-orang yang memungkinakan menembus teori sosial dan
korporasi. Sesi grup yang menjelaskan tentang pengalaman dan mendiskusikannya, adalah
suatu aktivitas normal dimana berbagi pengetahuan yang tersembunyi bisa terjadi.
Externalization (tacit-ke-explicit): mengkonversi pengetahuan yang terlihat menuju
pengetahuan yang tidak terlihat. Disini, seseorang dapat menawarkan pengetahuannya dalam
bentuk mata pelajaran yang teratur (seminar-educational workshop) kepada yang lainnya.
Dialog diantara anggota grup, dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan atau mengecilkan
dari pengembangan, merupakan kegiatan-kegiatan yang normal dimana jenis konversi ini
bisa terjadi.
Combination (explicit-ke-explicit): pada tahapan ini, pengetanuan explicit seseorang
bergerak menuju pengetahuan explicit grup dan disimpan serta oleh karenanya digunakan
sebagai pengetahuan yang ada, kemampuan untuk memecahkan masalah diberikan melalui
grup dan diikuti olehnya, pengetahuan berkembang.

305

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Internalization (explicit-ke-tacit): pada tahapan ini, pengetahuan explicit yang


diperoleh dilembagakan dalam organisasi. Setelah melalui tahapan ini bagi orang-orang,
menyebabkan penciptaan pengetahuan tacit yang baru (memperoleh pengetahuan
tersembunyi yang baru dari pengetahuan explicit yang ada).
Dengan melalui 4 tahapan di atas akan bergerak terus secara kontinyu dan bergerak
ibarat spiral. Dengan cara ini, setiap tahapan menyelesaikan tahapan sebelumnya. Hal ini
akan menyebabkan pengetahuan melembaga dalam organisasi dan menghasilkan dan
menciptakan pengetahuan baru. Perlu diperhatikan bahwa masing-masing dari 2 jenis
pengetahuan ini akan dikelola dalam organisasi dan bagaimana menggunakan dan
mengkonversikannya, akan diidentifikasi dan disadap. Masing-masing dari 2 jenis
pengetahuan ini, dapat membuat pengetahuan lainnya dan dikembangkan pada level
personal/grup dan organisasi. Hal penting lainnya adalah, ketika orang-orang berperan seta
dalam proses, pembelajaran organisasi terjadi, karena dalam peran serta ini, pengetahuan
orang-orang dengan yang lainnya dibagi, dijelaskan dan diakses. Juga, penciptaan
pengetahuan terjadi melalui proses (Saeedi, 2009).

306

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Alih Teknologi
Alih teknologi telah menjadi cara yang sangat efektif untuk melakukan diseminasi
inovasi dan pengetahuan, yang merupakan suatu alternative kompetitif bagi perusahaan yang
mencari tidak hanya untuk eksplorasi sumber daya internal untuk menggunakan teknologi
yang baru, tapi juga untuk mitra eksternal untuk mendapatkan peningkatan teknologi yang
baru, tugas dasar alih teknologi.
Menurut Cysne (2005) alih teknologi memiliki tandanya selama revolusi industry,
karena teknologi dikembangkan di Inggris dan dengan cepat dialihkan ke industry-industri di
Amerika, Eropa, dan Rusia. Proses alih teknologi ini telah meresap sepanjang abad 19, dan
pengembangannya di abad 20 telah signifikan dan juga berlanjut ekspansinya kegiatankegiatan ini di awal abad ini.
Definisi alih teknologi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah proses akusisi,
pengembangan dan penggunaan pengetahuan teknologis yang dihasilkan oleh individual
(Lima, 2004). Namun, hal ini dipahami sebagai sebuah proses implemengtasi teknologi baru
yang dikembangkan untuk suatu lingkungan yang tidak memiliki teknologi yang sama.

Proses Alih Teknologi Melalui Inkubator Teknologi LIPI


Proses inkubasi di Inkubator Teknologi LIPI memiliki tiga tahapan, yaitu:
A. Tahap pra-inkubasi
B. Tahap inkubasi
C. Tahap kelulusan atau graduasi.
A. Tahap Pra-Inkubasi
Tahap Pra-Inkubasi pada proses inkubasi di Inkubator LIPI terdiri dari dua
kegiatan kunci yaitu seleksi teknologi dan seleksi tenant. Kegiatan ini merupakan
langkah awal dalam proses pelaksanaan kegiatan inkubasi di Inkubator Teknologi LIPI.
Proses seleksi teknologi LIPI (seleksi internal) merupakan proses seleksi yang
dilaksanakan untuk menjaring potensi teknologi/invensi unggul yang dimiliki oleh
peneliti di satuan kerja LIPI. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah mendapatkan teknologi
unggul dari seluruh satuan kerja di LIPI yang akan diberikan dukungan finansial dan
dukungan pengembangan bisnis berupa fasilitasi kegiatan pra-inkubasi.

307

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Proses seleksi calon tenant di Inkubator Teknologi LIPI (seleksi eksternal)


merupakan proses seleksi yang dilaksanakan untuk memilih tenant yang akan menjadi
peserta inkubasi pada Inkubator Teknologi LIPI.
B. Tahap Inkubasi
Pelaksanaan program inkubasi umumnya dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan inkubasi,
yaitu tahap inkubsai tingkat pembinaan, tahap inkubasi tingkat pendampingan, tahap
inkubasi tingkat pengembangan.
Tahap Inkubasi Tingkat Pembinaan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap inkubasi tingkat pembinaan adalah sebagai
berikut:
1) Orientasi dan pemahaman prosedur inkubasi
2) Pengenalan potensi dan prospek usaha kepada tenant tentang teknologi yang dipilih
3) Pengenalan proses dan tahapan teknologi yang dipilih
4) Pemahaman HKI
5) Pendampingan penyusunan business plan untuk usaha berbasis teknologi yang
dipilih
6) Penyiapan fasilitas produksi
7) Pelatihan proses produksi
8) Uji coba produksi
9) Review business plan berdasarkan atas pembinaan tahun pertama
Tahap Inkubasi Tingkat Pendampingan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap inkubasi tingkat pendampinganadalah sebagai
berikut:
1) Uji coba pasar;
2) Pendampingan Produksi dan Manajemen Usaha;
3) Temu Bisnis;
4) Aksesibilitas sumber permodalan;
5) Sertifikasi dan standarisasi produk; dan
6) Review business plan berdasarkan atas perkembangan hasil tahun kedua.
Tahap Inkubasi Tingkat Pengembangan

308

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kegiatan yang dilakukan pada tahap inkubasi tingkat pengembanganadalah sebagai


berikut:
1) Produksi Komersial;
2) Pendampingan Produksi dan Manajemen Usaha;
3) Perluasan pasar;
4) Pengembangan network; dan
5) Penyusunan business plan terakhir berdasarkan atas hasil tahun ketiga.
C. Tahap Graduasi
Tenant Inkubator Teknologi LIPI diharapkan bisa lulus dari proses inkubasi apabila dua
kriteria berikut ini terpenuhi:
1. Bisnis dari Tenant telah berkembang hingga memiliki penambahan karyawan baru
atau Penjualan dan profitabilitas yang memadai telah dicapai yang akan
memungkinkan tenant bisa berhasil di luar Inkubator Teknologi LIPI,
2. Telah mengembangkan sebuah rencana untuk beroperasi dengan baik di luar
Inkubator Teknologi LIPI.

Teknologi Yang Dialihkan


Sebagai bahan studi kasus untuk teknologi yang dialihkan adalah Pengembangan
Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk Koloid NanoSilver Sebagai Bahan Nano
Medisinal Yang Memiliki Sifat Antibakteri.
Istilah nanoteknologi dicetuskan pertama kali oleh Profesor Norio Taniguchi dari
Tokyo Science University pada tahun 1974 untuk menjelaskan pembuatan material presisi
pada level nanometer. Sedangkan konsep nanoteknologi diberikan oleh seorang fisikawan
yakni Profesor Richard P. Feynman dalam lecture Theres plenty of room at the bottom
(Mahendra et al, 2009).
Aplikasi material dan struktur berskala nano, biasanya berkisar dari 1 hingga 100 nm,
merupakan area yang baru pada nanosains dan nanoteknologi. Berdasarkan Yeo et al. (2003),
dalam beberapa tahun ini kegunaan material berstruktur nano menjadi sangat berkembang.
Banyak kegunaan dari nanopartikel yang berasal baik dari organic maupun anorganik, hal ini
dapat diterapkan pada area yang beragam seperti fisika, kimia, farmasi, zat pelapis

309

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

permukaan (surface coating agent), tekstil, agrikultur, biokimia, dan masih banyak lagi
(Sharma et al, 2009).
Beberapa peneliti telah melakukan investigasi terhadap beberapa jenis material yang
mempunyai fungsi sebagai anti-bakteri. Material-material tersebut diantaranya adalah
tembaga, seng, titanium (Retchkiman et al, 2006), magnesium, emas (Gu H et al, 2003),
alginat (Ahmad Z et al, 2005), dan silver. Nanopartikel silver telah terbukti memiliki
kemampuan yang baik sebagai anti-mikroba yakni terhadap bakteri, virus, dan
mikroorganisma eukaryotik lainnya (Gong P et al, 2007). Koloid silver secara khusus sangat
menarik karena memiliki sifat yang khas yakni merupakan bahan konduktivitas yang baik,
stabil secara kimiawi, dapat berfungsi sebagai katalis, dan memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Sharma et al, 2009).
Beberapa dekade terakhir perubahan iklim sangat mempengaruhi segala aspek
kehidupan. Perubahan global, peningkatan suhu bumi, hingga terjadinya mutasi mutasi
bakteri, virus dan jasad-jasad renik lainnya yang dahsyat dan lebih bersifat patogen.
Perubahan luar biasa ini, perlu dicarikan alternatif solusinya terutama terhadap
perkembangan jasad-jasad renik yang mengalami mutasi serta diiringi dengan peningkatan
sifat patogenitasnya. Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya, maka
pemanfaatan colloid nano silver sebagai anti bakteri dan anti virus menjadi solusi tepat untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut. Apalagi produk ini berukuran sangat kecil (nano),
sehingga sangat efektif dan kemampuan/daya anti bakterinya jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan material sejenis pada ukuran normal. Selain itu, aplikasi produk ini juga
sangat luas seperti bidang kesehatan, fiber, industri, kosmetik, makanan, tekstil, elektronik,
peternakan, bangunan, pertanian, water treatment dan lain-lain. Keunggulan lainnya adalah
penggunaan mudah (spray, oles, tetes), murah, tanpa residu, bahan baku tidak berbahaya
(organik), aman dan ramah lingkungan (Ermina Miranti, 2007).
Studi terhadap pembuatan nanokomposit nilon/silver sebagai bahan tekstil yang
memiliki sifat anti-bakteri terhadap S. aureus telah dilakukan oleh Agus Haryono et al.
(2009). Nanosilver diperoleh dengan mereduksi silver nitrat menggunakan trisodium triasetat,
dan didapatkan ukuran silver 19 nm dalam bentuk koloid hasil karakterisasi menggunakan
SEM. Nilon direndam pada koloid tersebut selama rentang waktu 20 detik, dan dikeringkan.
Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi serat nilon sebelum

310

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dan setelah direndam dengan nanosilver. Untuk uji anti-bakteri dilakukan pada media agar
yang telah diinokulasi dengan S. aureus. Hasil yang didapat setelah dilakukan pencucian
sampel pertama kali, aktivitas anti-bakteri dari komposit telah menurun, hal ini dimungkin
telah terjadinya proses terlepasnya nanosilver karena tidak terikat secara permanen pada serat
nilon (Agus Haryono dkk, 2009).
Untuk studi mengenai sifat antibakteri telah dilakukan oleh Joddy Arya Laksmono et
al. (2010). Proses preparasi koloid nanosilver dilakukan dengan mereduksi AgNO 3 dengan
berbagai pereduksi seperti trisodium nitrat, asam askorbat, dan sodium borohidrat. Proses
preparasi koloid nanosilver menghasilkan diameter partikel tersebar dengan rentang antara 15
50 nm. Koloid nanosilver yang telah dihasilkan kemudian diaplikasikan sebagai bahan
antibakteri untuk tekstil. Beberapa bakteri yang digunakan sebagai uji adalah E. Coli, S.
Aureus, K. Pneumonia, P. Arigosa, dan B. Substillis. Serat nilon diimersikan kedalam koloid
nanosilver. Sebelum dilakukan proses imersi, koloid nanosilver dipreparasi dan dilakukan
modifikasi terlebih dahulu dengan penambahan polisiloksan dan polivinil alkohol. Fungsi
penambahan polisiloksan dan polivinil alkohol adalah sebagai modifikasi kimia terhadap
ikatan nanosilver dengan serat nilon, dengan tujuan bahwa material nanosilver akan lebih
terikat secara kimiawi dengan serat nilon sehingga tidak akan mudah release ke lingkungan
jika dilakukan beberapa kali pencucian.
Sedangkan studi tentang dosis aman penggunaan nanosilver yang telah di uji praklinis
telah dilakukan oleh Asep Handaya Saputra et al. (2011). Proses preparasi koloid nanosilver
dilakukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Hasil uji praklinis toksisitas akut
dilaporkan bahwa Koloid nano silver masuk kategori toksisitas 5 menurut OECD (2001b),
dan mempunyai

toksisitas akut relatif rendah, akan tetapi pada kondisi tertentu, dapat

menyebabkan efek merugikan pada populasi yang rentan(OECD 2001b, halaman


23)ataumempunyai efek relatif tidak berbahaya (relatively harmless)menurutPeraturan
Pemerintah RI No.74/2001, atau masuk kategori toksisitas IVmenurut EPA (1998).

311

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
Penelitian adalah kualitatif dengan sifat deskriptif dengan mengambil studikasus
kegiatan alih teknologi melalui Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk
Nanosilver sebagai Bahan Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri
Pertama, riset berisikan tinjauan pustaka dengan mengambil makalah nasional
maupun ingternasional, buku, resolusi, hukum dan sebagainya, sebagai sumber. Kemudian
referensi dianalisa agar dapat mengumpulkan latar belakang yang memadai selama periode
pengamatan. Selama masa ini, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan alih teknologi diamati.
Selama waktu penelitian, hubungan diantara anggota internal kelompok penelitian dan
Pusat Inovasi, aksi strategis dari komitenya diamati juga. Tentu saja, penekanan diberikan
pada Pusat Inovasi sebagai lembaga intermediasi alih teknologi.
Setelah periode pengamatan ini, rencana interview dikembangkan, yang terdiri dari
lima pertanyaan kunci berkaitan dengan tujuan utama penelitian ini. Untuk tahapan ini, orang
dengan posisi yang strategis dipilih untuk diwawancarai. Semakin tinggi posisi yang dipilih
semakin informasi yang diinginkan bisa diklasifikasikan, sehingga akses yang tidak dibatasi
terhadap data yang dimaksud adalah relevan.Jadi, terutama manajer dan beberapa orang yang
terlibat dengan proses alih teknologi diwawancarai.

312

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses alih teknologi yang berlaangsung di Pusat Inovasi adalah sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 3 di bawah.
Studi kasus yang menjadi objek penelitian ini adalah adalahproses alih teknologi
melalui kegiatan inkubasi Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk
Nanosilver sebagai Bahan Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri.

Gambar 3. Proses Alih Teknologi di Pusat Inovasi LIPI.

Kegiatan alih teknologi melalui kegiatan inkubasi ini bertujuan untuk menghasilkan produk
nanosilver sebagai bahan nano medisinal yang memiliki sifat antibakteri yang diterima pasar.
Sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah sebagai berikut:

313

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

314

Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1. Tahapan kegiatan inkubasi nanosliver pada tahun pertama.


No.

Juni

Agustus

Oktober

Desember

Terlaksananya
rapat
kerja
internal penyusunan rencana
aksi kegiatan.

Tersedinya 25 liter
produk nanosilver.

Terlaksananya
Penyusunan Draft
model bisnis.

Terlaksananya
keikutsertaan dalam
seminar nasional.

Tersedinya bahan baku dan


bahan modal.

Terlaksananya
pengurusan aspek
legal
dan
adminsitrasi sewa
ruang tenant di
inkubator LIPI.

Terlaksananya
Orientasi Pembinaan
Tenant Bulan.

Terlaksananya
Pembinaan
Tenant
Bulan.

Ditetapkannya calon tenant


untuk usaha produk antara.

Penyusunan
Rancangan Proses
Inkubasi
Usaha
Nanosilver.

Terlaksananya
pasar.

Terlaksananya
Penyusunan Laporan
Akhir Kegiatan.

uji

Terlaksananya FGD
Pembahasan Model
Bisnis dan Uji Pasar.

Untuk kegiatan inkubasi nanosilver ini, tahun 2015 merupakan tahun pertama
dilaksanakannya inkubasi. Tentunya dalam tahun pertama ini berdasarkan tahapan-tahapan
inkubasi seperti yang telah dijelaskan diatas, termasuk dalam kategori inkubasi
pendampingan. Dalam tahun pertamanya ini, porsi kegiatan orientasi dan peralihan dari
kegiatan yang bersifat penelitian ke dunia komersialisasi diharapkan lebih besar. Proses ini
menjadi sangat penting dalam proses adaptasi peralihan dikarenakan pada fase inilah tumbuh
kembang akar komersialisasi hasil litbang mulai terlihat. Tumbuh kembang akar inilah juga
yang menjadi titik kritis terhadap kekuatan kegiatan hasil litbang tersebut dapat memulai
bergerak pada fase komersialisasi. Satu hal yang menjadi ciri dalam studi kasus ini, adalah
bahwa kegiatan komersialisasi hasil litbang nanosilver sedikit demi sedikit telah dilakukan
proses alih teknologi ke tenant.
Dalam hal ini tenant membawa tugas yang tidak ringan, di satu sisi tenant berada
pada fase litbang dan di sisi lainnya tenant harus mulai dapat menentukan langkah-langkah
yang perlu diambil dalam proses komersialisasi hasil litbang. Hal inilah yang menjadi titik
kritis terutama terhadap tumbuh kembang akar, khususnya tenant. Tahap awal mula ini
mengharuskan tenant untuk dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya baik pada fase
alih teknologi dan komersialisasi. Sehingga dalam tahun pertama ini diharapkan proses

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pembinaan tenantmendapatkan porsi yang lebih besar. Pembinaan disini juga dapat diartikan
terhadap kemampuan tenant tersebut untuk dapat menyerap informasi yang sebanyakbanyaknya dan dituangkan dalam kertas rencana kerja proses komersialisasi. Tentunya dalam
proses ini diperlukan sebuah manajemen pengetahuan beserta dengan analisisnya dengan
tujuannya adalah tahapan fase

komersialisasinya, dengan indicator keberhasilan adalah

adanya peningkatan dari nilai IRL.


Seperti terlihat pada Tabel 1. Bahwasanya tahapan-tahapan kegiatan yang
dilaksanakan lebih banyak pada melakukan dan memperkuat tumbuh kembang akar dari
tenant yang terbentuk. Sedangkan proses pembentukkan tenant itu sendiri pun ternyata tidak
mudah perlu melalui tahapan-tahapan sistematis. Oleh karena itu, dalam tahun pertamanya ini
tugas daripada tenant labih banyak kepada menggali informasi terkait dengan teknis alih
teknologi berikut dengan memperoleh informasi yang seluas-luasnya terhadap pasar dalam
langkah-langkah awal komersialisasi hasil litbang nanosilver ini. Titik beratnya terlihat pada
capaian bulan Oktober 2015 dimana kegiatan yang mesti dilakukan adalah penyusunan draf
model bisnis dan terlaksananya FGD model bisnis dan uji pasar.

315

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh data sebagai berikut:


Kegunaan

Sebagai bahan antibakteri.

Keunggulan

Memiliki sifat antibakteri.


Tidak mudah release ke lingkungan.
Berdasarkan hasil uji toksisitas akut, nanosilver aman digunakan hingga dosis
tertentu.
Harga produk lebih murah dibndingkan dengan competitor.

Peneliti

Joddy Arya Laksmono, dkk

Satuan Kerja

P2 Kimia

Skala

Skala terbatas

Jenis Aplikasi

Aplikasi pada berbagai jenis produk

Alih teknologi

Melalui kegiatan inkubasi menuju komersial

Status HKI
Dalam Kategori

Industry tekstil, produk toiletries, packaging.

Kata Kunci

Nanosilver, antibakteri.

Secara lebih rinci, penjelasan mengenai aspek produk, operasional, keuangan, organisasi serta
perkembangan pemasaran disajikan pada laporan kemajuan kegiatan inkubasi nanosilver.
Dengan memperhatikan Gambar 3 di atas serta berdasarkan atas panduan inkubasi
di Inkubator Teknologi LIPI, saat ini posisi kegiatan adalah pada kegiatan inkubasi tingkat
pengembangan.
Kegiatan inkubasi produk nanosilver telah mengalami banyak kemajuan diantaranya adalah:

Telah melakukan beberapa publikasi ilmiah pada berbagai jurnal baik nasional maupun
internasional.

Telah berhasil lolos dari seleksi proposal kegiatan inkubasi

Telah berhasil melakukan kerjasama dengan CV. Media Sarana Usaha sebagai peserta
inkubasi (tenant) yang diproyeksikan menjadi perusahaan yang bergerak dalam bidang
produk-produk berbasis nanosilver.
Berdasarkan dari hasil analisis manajemen pengetahuan hingga tahapan ini, tenant

telah berhasil mengembangkan 3 produk terutama pada aplikasinya untuk produk-produk


toiletries seperti sabun cair pembersih piring, sabun cair cuci tangan, dan pembersih lantai.
Ketiga produk ini telah ditambahkan zat aktif nanosilver yang memiliki sifat antibakteri.
Beberapa dasar pertimbangannya adalah produk toiletries merupakan produk yang secara
fungsi waktu dibutuhkan setiap saat untuk semua kalangan, perkembangan pasarnya cukup
baik dan menjanjikan, secara teknologi aplikasi nanosilver pada produk toiletries tidak pada

316

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

level yang sulit, dan tentunya nilai ekonomis dari produk toiletries sangat menjanjikan.
Tahapan berikutnya adalah melakukan analisis manajemen pengetahuan pada fase
komersialisasi terutama pada tahun kedua yang akan melakukan suatu uji pasar dan tentunya
dengan pengurusan perijinan-perijinan yang mendukung untuk uji pasar tersebut.

KESIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa penerapan manajemen
pengetahuan pada proses alih teknologi dengan menggunakan studi kasus inkubasi teknologi
nanosilver mengindikasikan keefektipannya. Dengan fasilitasi media inkubasi proses
pengalihan teknologi dari pihak penyedia teknologi, dengan memperhatikan proses SECI
(sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi), secara gradual bisa dialihkan kepada
pihak penerima teknologi. Produk contoh nanosilver telah berhasil ditingkatkan skala
produksinya hingga 25 L dari skala laboratorium. Hasil pengujian dilakukan untuk produk
pada skala 25 L dan properties nya sama dengan produk skala laboratorium . Pada mulanya
pihak penerima teknologi terlihat canggung, namun demikian secara perlahan mulai terasa
memberikan manfaat, melalui proses mengkaptur, mendiskusikan (sharing), menyimpan dan
mendistribusikan pengetahuan. Namun demikian, untuk memperoleh manfaat yang maksimal
dari penerapan manajemen pengetahuan pada proses alih teknologi ini diperlukan
kedisiplinan dan keuletan dari para pelaksana dalam mempraktikkannya.

317

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Inovasi LIPI yang telah memberikan
kesempatan dan kepercayaan untuk melakukan kegiatan inkubasi teknologi hasil penelitian
dan pengembangan menuju komersialisasi di Pusat Inovasi LIPI.

DAFTAR PUSTAKA
Afrazeh, A. (2005). Knowledge management (concepts, models, methods and implementation),
Amirkabir University Press, first edition.
Agus Haryono, Joddy Arya Laksmono, Heri Kresnadi, Eni Suryani, M. Nasir, (2009), Nanokomposit
Nilon-Perak Sebagai Serat Antimikroba, Laporan Akhir Penelitian Kegiatan Program Insentif
Bagi Peneliti dan Perekayasa, Sinergi DIKTI LIPI.
Ahmad Z, Pandey R, Sharma S, Khuller GK, (2005), Alginate Nanoparticles as Antituberculosis
Drug Carriers: Formulation Development, Pharmacokinetics and Therapeutic Potential, 48,
171 176.
Cysne, F.P. (2005). Transferencia de tecnologia entre a universidade e a industria. Revista electronica
de Bibl. Ci. Inform. Floranopolis, (20), 54-74, 2o semester.
T.H. , D.W. De Long and M.C. Beers, Successful knowledge management projects, Sloan
Management Review, Winter, pp. 43-57, 1998.
Ermina Miranti, (2007), Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia: Antara Potensi dan Peluang,
Economic Review, No. 209, September, 1 10.
Evans, P.B., & Wurster, T.S. (1997). Strategy and the new economics of information. Harvard
Business Review, 75(5), 71-82.
Gong P, Li H, He X, Wang K, Hu J, Tan W, (2007), Preparation and Antibacterial Activity of
Fe3O4@Ag Nanoparticles, Nanotechnology, 18, 604 611.
Gu H, Ho PL, Tong E, Wang L, Xu B, (2003), Presenting Vancomycin on Nanoparticles to Enhance
Antimicrobial Activities, Nano Lett., 3, 9, 1261 1263.
Hidayat, M dan Laksmono, J.A. (2014) Rancangan Proses Alih Teknologi Ekstrak Jahe Melalui
Wadah Inkubator Bisnis Teknologi, Perteta, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Jeong, Sung Hoon., Yeo, Sang Young., Yi, Sung Chul., (2005), TheEffect of Filler Particle Size on
the Antibacterial Properties of Compounded Polymer/Silver Fibers, J. Mater. Sci., 40, 5407
5411.
Kementerian Riset dab Teknologi, 2013, Lampiran Keputusan Sekretaris Kementerian Riset dan
Teknologi Nomor 24 /SM/Kp/ VI/2013 Tanggal 12 Juni 2013 tentang Buku Pedoman
Inkubasi Bisnis Teknologi.

318

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Mahendra, Rai., Yadav, Alka., Gade, Aniket., (2009), Nanoparticles as a New Generation of
Antimicrobials, Biotechnology Advances, 27, 76 83.
Nonaka, I. Tekeuchi, H. (1995) Knowledge Creation Company-Oxford University Press, Oxford, UK.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil
Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha.
Retchkiman-Schabes PS, Canizal G, Becerra-Herrera R, Zorilla C, Liu HB, Ascencio JA, (2006),
Biosynthesis and Characterization of Ti/Ni Bimetallic Nanoparticles, Opt. Mater., 29, 95
99.
Saeedi, M.Y. (2009). A framework for implementing knowledge management in small and medium
firms. Thesis, Islamic Azad University, Science and Research Technology Management.
Sharma, K Virender., Yngard, A Ria., Lin, Yekaterina., (2009), Silver Nanoparticles: Green Synthesis
and Their Antimicrobial Activities, Advances in Colloid and Interface Science, 145, 83 96.

319

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 15

KOMERSIALISASI: STRATEGI MEMBAWA INVENSI DARI


LABORATORIUM MENUJU PASAR
Ferianto dan Syahrizal Maulana
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
feriantolipi@gmail.com

ABSTRAK
Komersialisasi hasil penelitian khususnya di lembaga litbang menjadi suatu keniscayaan.
Banyaknya invensi yang hanya berakhir pada publikasi dan prototipe semakin menguatkan
lembaga litbang sebagai cost center. Salah satu upaya mengubah paradigma tersebut adalah
dengan berupaya melakukan komersialisasi hasil litbang sehingga diharapkan mampu
memberikan dampak ekonomi dan menghidupkan siklus penelitian itu sendiri. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai strategi membawa invensi dari
laboratorium sampai menuju pasar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan studi pustaka dan diskusi dengan analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa dalam strategi komersialisasi, tahapan yang perlu dilakukan adalah
membangun dan menetapkan bahwa riset yang akan dilakukan akan berorientasi pada
kekayaan intelektual, melakukan survei paten, berupaya menciptakan invensi baru, berusaha
mendapatkan perlindungan kekayaan intelektual, mencatat secara lengkap biaya invensi,
melakukan riset bisnis sebelum komersialisasi, serta memutuskan model komersialisasi yang
tepat.

Kata kunci: Komersialisasi, kekayaan intelektual, laboratorium, pasar

320

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Salah satu pokok permasalahan dari sedikitnya jumlah riset teknologi yang masuk ke
pasar adalah teknologi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna, yaitu
industri, pemerintah dan masyarakat. Hasil riset yang secara keilmuan tinggi belum
menjamin industri dan pasar menerimanya dengan baik. Beberapa faktor penyebab
diantaranya adalah keterbatasan pendanaan dalam pengembangan prototipe atau pilot project,
keterbatasan fasilitas kemudahan untuk uji coba lapangan hasil litbang, kesulitan untuk
mendapatkan mitra bisnis dan fasilitas pendanaan bagi komersialisasi hasil litbang, dan
kesulitan dalam mendapatkan akses pasar bagi industri-industri baru hasil inovasi
(Sutijastoto, 2015).
Selain itu, sinergi riset baik antarpelaku riset dengan pengguna atau pebisnis, maupun
dengan pemerintah sebagai regulator di Indonesia masih lemah. Sinergi antar pelaku riset
diperlukan karena terdapat 622 satuan kerja riset di Indonesia, yaitu 114 di antaranya terdapat
di perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 91 lembaga penelitian nonkementerian, 76 lembaga penelitian kementerian, 24 lembaga penelitian daerah, 8 lembaga
penelitian BUMN, dan 8 lembaga penelitian swasta. Masing-masing satuan kerja
melaksanakan kegiatan dengan sedikit sekali melakukan koordinasi sehingga duplikasi
penelitian terjadi. Belum ada instrumen untuk memantau jenis riset yang dikembangkan
setiap lembaga dan mekanisme koordinasi serta komunikasi di antara lembaga riset yang
tersebar di Indonesia. Sinergi antara pelaku riset dengan pengguna juga masih dihadapkan
pada masalah klasik, yaitu komunikasi yang belum terbangun dengan baik, sehingga apa
yang dihasilkan periset bukan yang dibutuhkan pengguna. Sebailknya, apa yang dibutuhkan
justru tidak diriset (Handojo, 2013).
Berdasarkan beberapa permasalahan mengenai komersialisasi hasil penelitian dan
pengembangan tersebut, maka perlu adanya beberapa strategi untuk membawa suatu invensi
(hasil riset) menuju pasar tentunya dengan berusaha mengatasi masalah-masalah yang selama
ini terjadi yang menghambat komersialisasi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memberikan informasi mengenai strategi membawa invensi dari laboratorium sampai menuju
pasar sehingga diharapkan hasil penelitian yang begitu banyak tidak hanya berhenti di meja
laboratorium ataupun publikasi ilmiah, akan tetapi diharapkan lebih jauh dapat dimanfaatkan
oleh industri dan masyarakat.

321

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

322

Pusat Inovasi - LIPI

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan
diskusi dengan analisis data secara deskriptif. Melalui metode ini diharapkan dapat
memformulasikan beberapa strategi komersialisasi yang

dapat dimanfaatkan atau

diaplikasikan oleh lembaga litbang dalam upaya membawa invensinya menuju pasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan merupakan salah satu upaya
mentransformasi hasil litbang dari skala laboratorium ke skala komersial yang bertujuan
mendapatkan profit atau benefit serta berorientasi pada kebutuhan pengguna. Komersialisasi
hasil litbang khususnya di lembaga litbang menjadi suatu keniscayaan karena saat ini
lembaga litbang dituntut mampu mengeluarkan hasil penelitian dan pengembangan yang
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Masalah pokok
yang dihadapi bangsa Indonesia dan juga dunia adalah pangan, penduduk, kerusakan
lingkungan, kelestarian sumber daya alam, energi, dan kesehatan. Sebagai upaya menjawab
dan memecahkan permasalahan tersebut, peran penelitian dan pengembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sangatlah penting serta memegang peranan yang strategis.
Penelitian dan pengembangan didorong menjadi lokomotif inovasi untuk menghasilkan suatu
hasil riset yang bermanfaat, inovatif dan berdaya saing.
Namun, berdasarkan realita yang ada masih banyak penelitian dan pengembangan
yang masih sebatas memenuhi rasa keingintahuan peneliti, menentukan topik penelitian
bukan berdasarkan masalah yang mendesak untuk dicarikan solusinya, tingkat kebaruan dan
langkah inventif yang masih rendah, bahkan banyak penelitian dan pengembangan yang
merupakan duplikasi penelitian yang sudah ada sebelumnya. Bahkan lebih jauh lagi tumpang
tindih antar instansi mengenai kegiatan riset yang dilakukan juga sering terjadi. Hal ini
menyebabkan arah dan fokus penelitian di Indonesia belum dapat memecahkan permasalahan
pokok secara komprehensif.
Untuk itu penelitian dan pengembangan perlu perubahan paradigma dari yang
sebelumnya

hanya

mendapatkan

publikasi

ilmiah

atau

kepuasan

peneliti

atas

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

ketidaktahuannya menjadi penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada asas manfaat
dan berorientasi pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sebelum penelitian dilakukan
sebaiknya harus menentukan topik penelitian yang menjadi isu penting dan strategis serta
bermanfaat dan layak dipasarkan. Selain itu, penting dilakukan analisis kebaruan dan langkah
inventifnya sehingga diharapkan penelitian yang dilakukan bukan merupakan duplikasi yang
sudah ada, serta kemungkinan besar memiliki peluang untuk mendapatkan perlindungan
HKI-nya dalam hal ini paten.
Oleh karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan memiliki tingkatan yang
berbeda, dan tingkatan ini menentukan kesiapan untuk sejauh mana suatu penelitian dapat
dipindahkan menuju komersialisasi atau lebih dikenal dengan tingkat kesiapan inovasi.
Tingkat kesiapan inovasi sangat bermanfaat dan dapat menjadi acuan bagi para peneliti dan
juga calon pengguna. Bagi peneliti, tingkatan ini membantu dalam mengidentifikasi level
penelitian dan pengembangan yang dilakukan, sedangkan bagi calon pengguna dapat
membantu dalam mengetahui kelayakan hasil penelitian apakah sudah dapat dimanfaatkan
atau dikomersialisasikan.

Gambar 1. Tahapan kesiapan Inovasi (Darmansyah, 2010)


Berikut keterangan masing-masing kelas dari tahapan kesiapan inovasi:
Studi Literatur (TRL 1-2 / IRL 1):
Dalam tahapan ini, prinsip/sifat-sifat dasar dari sebuah teknologi/hasil penelitian telah diteliti
dan dilaporkan dalam bentuk studi makalah.

Skala Laboratorium (TRL 3-4 / IRL 2):


Hasil penelitian yang sebelumnya sudah dilaporkan dalam bentuk studi makalah mulai
dibuktikan konsep fungsi serta karakteristiknya secara analitis dan eksperimental dalam
lingkungan laboratorium. Selain itu kebutuhan pasar akan teknologi/hasil penelitian masih

323

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dalam bentuk observasi sehingga belum bisa ditarik kesimpulan akan estimasi keuntungan
yang diperoleh dari hasil penelitian atau teknologi tersebut.

Uji Lapangan Simulasi (TRL 5 / IRL 2):


Teknologi/hasil penelitian yang telah dibuktikan dalam skala laboratorium mulai bisa diuji
dalam lingkungan simulasi. Selain itu telah dilakukan penelitian pasar dan penelitian
laboratorium untuk memilih proses fabrikasi.

Uji Lapangan Pre-Prototipe (TRL 6 / IRL 2)


Hasil penelitian sudah dapat dibuktikan layak secara teknis (engineering feasibility). Selain
itu, prototipe telah teruji dengan akurasi/fidelitas lab yang tinggi pada simulasi lingkungan
operasional (yang sebenarnya di luar lab). Hasil penelitian juga resmi sudah bisa diterima
oleh bagian manufaktur/ fabrikasi.

Uji Lapangan Prototiype (TRL 7 / IRL 3)


Hasil penelitian/teknologi yang telah diintegrasikan dalam bentuk prototipe telah
didemonstrasikan dan diuji coba di lapangan. Selain itu, hasil penelitian/teknologi sudah siap
untuk memasuki fase produksi awal (Low Rate Initial Production-LRIP).

Uji Lapangan Pra-Prototipe (TRL 8 / IRL 3)


Pada tahap ini proses fabrikasi diujicobakan pada skala percontohan (pilot line atau LRIP)
dan menunjukkan hasil dan tingkat produktifitas yang dapat diterima.

Kelayakan Ekonomis/Komersial (TRL 9 / IRL 3)


Hasil penelitian atau teknologi telah teruji pada kondisi sebenarnya dan sudah layak untuk
diproduksi secara massal (mass production). Teknologi/hasil penelitian yang sejenis dari
kompetitor dapat diketahui. Selain itu telah mampu dilakukan estimasi harga produksi
dibandingkan kompetitor.

324

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

325

Pusat Inovasi - LIPI

Invensi Sedang Dipasarkan (IRL 4)


Hasil

penelitian/teknologi

resmi

dipasarkan.

Strategi-strategi

pemasaran

mulai

diimplementasikan untuk masuk menembus pasar.

Inovasi Telah Masuk Industri (IRL 5)


Riset dan pengembangan hasil penelitian/teknologi cenderung menurun dan lebih
menitikberaktkan pada technology maintenance. Kompetisi antar sesama teknologi sejenis
mencapai puncaknya.

Keberlanjutan Inovasi (IRL 6)


Cenderung kalah dari persaingan. Harus ada inovasi baru atau mengembangkan strategi
bisnis baru untuk tetap berada di kancah persaingan.

Di era kemajuan teknologi saat ini, penelitian yang berorientasi paten merupakan
kunci untuk memindahkan suatu invensi menjadi komersial, karena dalam paten mengandung
aspek perlindungan dan status kepemilikan suatu invensi yang menjadi dasar proses
komersialisasi dapat berjalan. Komersialisasi yang umum dilakukan adalah melalui alih
teknologi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005, definisi alih teknologi
dikemukakan sebagai berikut:
Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam
lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau
sebaliknya.
Alih teknologi diperlukan untuk memperluas manfaat dari teknologi, membantu pengguna
memperoleh pengetahuan tentang teknologi tersebut dan dapat mengembangkannya.
Ada tiga macam format hukum dasar yang ditempuh untuk melaksanakan alih
teknologi yaitu :
1. Diseminasi atau pengalihan teknologi
2. Lisensi
3. Know how agreement

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

326

Pusat Inovasi - LIPI

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat secara garis besar tahapan strategi
komersialisasi sebagai beikut :

Identifikasi Masalah Secara


Tepat

Melakukan Riset
Berorentasi HKI

Analisis
Patentabilitas/Survei Paten

Melakukan Valuasi

Mendaftarkan HKI

Invensi Baru

Riset Bisnis

Model Komersialisasi :
Lisensi, diseminasi, know
how agreement

Komersialisas
i

Gambar 2. Strategi Komersialisasi Hasil Litbang

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, strategi komersialisasi yang perlu dilakukan adalah
membangun dan menetapkan riset yang akan dilakukan berorientasi pada kekayaan
intelektual, melakukan survei paten, berupaya menciptakan invensi baru, berusaha
mendapatkan perlindungan kekayaan intelektual, mencatat secara lengkap biaya invensi,
melakukan riset bisnis sebelum komersialisasi, dan memutuskan model komersialisasinya.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, Purno Tri Aji dan Ragil Yoga Edi. 2012. Komersialisasi Teknologi Dalam Upaya
Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia. Seminar Nasional UNS.
Aiman, Syahrul, Erman Aminullah and Manaek Simamora. 2007. Commercialization of Public R&D
in Indonesia. National Workshop on Sub-national Innovation Systems and Technology
Capacity Building Policies to Enhance Competitiveness of SMEs. Jakarta: April 3-4, 2007.
Aoyama, Mikio. 2012. Co-Evolutionary Service-Oriented Model of Technology Transfer in Software
Engineering. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Panduan Pengukuran Tingkat
KesiapanTeknologi: TEKNO-METER. Jakarta: Gerbang Indah Nusantara.
Darmansyah, Aris. 2010. Penyusunan Produk-Produk BPPT Berdasarkan TRL. Jakarta: BPPT
Enjiniring.
Handojo, Andrianto. Republika Online 21 Agustus 2013.
Sutijastoto. 2015. www.esdm.go.id.
www.wipo.int/Distance Learning Module.

327

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 16

PERAN JAMINAN MUTU DALAM ALIH TEKNOLOGI:


KASUS PERALATAN KESEHATAN KELISTRIKAN
Fatimah Zulfah Padmadinata, Ihsan Supono, Asep Rahmat Hidayat
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
fatimahzp@gmail.com

ABSTRAK
Meningkatkan industri peralatan kesehatan dalam negeri merupakan hal yang mendesak,
mengingat peralatan kesehatan yang beredar di Indonesia saat inididominasi oleh barang
impor dengan jumlah yang sangat signifikan yaitu sebesar 95,13%, menurut data izin edar
Alkes Kementerian Kesehatan per 31 Desember 2014. Peran riset untuk meningkatkan
kemampuan industri/usaha nasional menjadi faktor penting dalam meningkatkan daya saing
mereka, terutama khususnya di bidang teknologi. Penguasaan teknologi itu sendiri melalui
langkah panjang yang dimulai dari sains dasar, terapan,teknologi dan diakhiri dengan inovasi,
yaitu tahap penyesuaianuntuk memenuhi persyaratan dari pengguna atau pasar (OECD
definition). Beberapa intitusi penelitian (LIPI, BPPT serta Perguruan Tinggi antara lain ITB,
UGM, UI, ITS, UNAIR) telah menghasilkan prototipe peralatan kesehatan yang belum
termanfaatkan untuk menjadi produk industri, karena perlunya tahapan alih teknologi melalui
salah satunya penjaminan mutu. Peran jaminan mutu melalui mekanisme pengujian,
merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi persyaratan pengguna ditinjau dari
aspek keselamatan dan manfaat dari alat itu sendiri. Beberapa standar antara lain IEC 60601
beserta turunannya untuk pemenuhan jaminan mutu peralatan kesehatan khususnya berbasis
kelistrikan dibahas dalam tulisan ini termasuk peraturan yang berlaku baik secara nasional
maupun internasional termasuk infrastruktur yang harus dipersiapkan.

Kata Kunci: alih teknologi, jaminan mutu, pengujian, standar keselamatan, peralatan
kesehatan kelistrikan

328

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

329

Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Kemandirian

ekonomi

sebagai

salah

satu

program

Pemerintah,

perlu

diimplementasikan dengan cara mengurangi produk impor. Sebagai salah satu produk impor
yang menguasai pangsa pasar Indonesia, yaitu peralatan kesehatan, dengan nilai sebesar
95,13% (Data ijin Edar Alkes, Kementerian Kesehatan, 31 Desember 2014), dengan nilai 750
jt USD (th 2014, menurut data Asosiasi Pengusaha Alat Kesehatan Indonesia, ASPAKI),
perlu mendapat perhatian khusus untuk dikurangi dengan pembelian produk buatan dalam
negeri. Terlebih lagi, pangsa pasar produk peralatan kesehatan akan makin meningkat,
dengan berjalannya kebijakan Pemerintah dalam pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia, Program BPJS, yang diproyeksikan pada tahun 2018 adalah sebesar 1222 jt USD
[1]. Kemandirian ini hanya bisa dicapai melalui Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi.
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi telah terbukti dalam dua dekade terakhir ini
(OECD, 2012) merupakan tulangpunggung dalam pembangunan ekonomi negara-negara
maju dan berkembang, yang direalisasikan dalam langkah-langkah penelitian. Negara-negara
maju telah mengakui bahwa inovasi sebagai pengungkit pembangunan, tidak hanya sematamata berasal dari produk teknologi tinggi, tetapi dari kemampuan inovasi yang dibangun
sejak awal melalui penelitian dalam proses pengembangan agar memiliki kemampuan
pembelajaran untuk mencapai target yang diinginkan. Kemampuan inovasi ini disesuaikan
dengan kondisi dan permasalahan lokal yang ada, yang tidak semata-mata mengadopsi
teknologi yang telah tersedia. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia telah berusaha
meningkatkan peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penelitian, pengembangan dan
penerapan dalam sistem Nasional, dengan menetapkan UU No. 18 Th. 2002 yang bertujuan
salah satunyaadalah memperkuat daya dukung ilmu, pengetahuan dan teknologi bagi
keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan
kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Di
antara pasal-pasal dalam UU tersebut, tertulis bahwa lembaga litbang bertanggung jawab
mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi
pendayagunaannya (ps.8 ayat 2) dan Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib
mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan (ps 16 ayat 1).
Dari UU 18 ini jelaslah bahwa penelitian sudah harus dimulai dengan menggali potensi
pendayagunaannya dan wajib dialih teknologikan ke badan usaha atau masyarakat. Pada
hakikatnya hasil penelitian yang dialihteknologikan, diharapkan menjadi suatu produk yang
dapat diindustrialisasikan, dipasarkan dan diserap oleh pengguna baik dalam negeri maupun
luar negeri, yang mampu berdaya saing. Untuk produk peralatan kesehatan, tahapan dari hasil
penelitian, sampai ke produk yang dapat digunakan, perlu melalui tahap-tahap pengendalian
yang ditujukan bagi keselamatan dan kesehatan pengguna, baik pasien maupun paramedis
yang berhadapan dengan alat kesehatan (alkes) itu sendiri. Tahapan yang perlu dilakukan
dalam pengembangan, difusi, dan penggunaan teknologi medis melalui proses sedikitnya
memerlukan tujuh langkah [2], yaitu:
1.

Discovery, melalui penelitian, pengetahuan baru, dan mengaitkan pengetahuan ini


berbasis pengetahuan yang ada;

2.

Menterjemahkan dari pengetahuan baru, melalui penelitian terapan, ke teknologi baru,


dan pengembangan strategi teknologi ke dalam sistem pelayanan kesehatan;

3.

Evaluasi keamanan dan kemanfaatan dari teknologi baru melalui cara-cara seperti uji
klinis terkontrol;

4.

Pengembangan dan demonstrasi pengoperasian berikut program kontrol untuk


menunjukkan alat tersebut layak untuk digunakan secara luas;

5.

Difusi teknologi baru, dimulai dengan uji coba dan demonstrasi dan berlanjut melalui
proses peningkatan penerimaan dalam praktek medis;

6.

Pendidikan masyarakat profesional dan awam untuk penggunaan teknologi baru; dan

7.

Aplikasi yang terampil dan seimbang dari perkembangan baru bagi penduduk.

Langkah Kebijakan Pemerintah Dan Implementasi Riset Di Perguruan Tinggi


Terkait dengan pengendalian keselamatan dan keamanan dari alkes, Pemerintah telah
mengeluarkan UU no 36 Th. 2009 tentang Kesehatan. UU no.36 ini diturunkan menjadi
beberapa Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu:
1.

PMK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 tentang


produksi alkes dan perbekalan kesehatan rumah tangga

330

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2.

PMK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1190/MENKES/PER/VIII/2010 tentang izin


edar alkes dan perbekalan kesehatan rumah tangga

3.

PMK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang


penyaluran alkes

Dalam Gambar 1, ditunjukkan skema besar kebijakan dari Pemerintah cq. Kementerian
Kesehatan terkait dengan pengendalian penggunaan alkes [3].

Produk sarana
Pre-market
control
Menjamin keamanan, mutu
dan efektivitas alkes

Regulasi
Post-market
control

Meningkatkan akses dan


keterjangkauan alkes
Meningkatkan penggunaan
alat yang tepat guna dan
menghindari
penyalahgunaan

Need assessment
HTA

Procurement

Health Technology
Management
Usage
Usage

Maintenance

HTA = Health Technology Assessment

Gambar 1 Kebijakan Alkes Nasional

Pengendalian alkes ini terkait dengan amanat undang-undang tentang kesehatan,


bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan dan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau. Untuk itu regulasi mengatur persyaratan yang
diamanatkan baik sebelum pemasaran (ijin edar) dan setelah pemasaran/penggunaan melalui
mekanisme pengawasan. Sedangkan HTA diperlukan dalam kerangka kesesuaian terhadap
penggunaan alkes ditinjau dari aspek sosial, implikasi ekonomi, etika, dan budaya setempat
[4].
Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang berkepentingan dalam penggunaan alkes,
yang membelanjakan sebagian besar anggarannya untuk pembelian alkes (sekitar 80%

331

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

belanja alkes secara nasional, menurut Titah Sihdjati, Ketua Umum Gakeslab Indonesia),
mendorong industri nasional untuk berkiprah dalam memproduksi alkes. Usaha Kementerian
Kesehatan ini dirumuskan dalam kebijakan berupa Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Nomor 86 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Industri Alat Kesehatan.
Dalam ps. 3 PMK ini disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha,
lembaga penelitian dan masyarakat harus berperan aktif dalam pelaksanaan Peta Jalan
Pengembangan Industri Alat Kesehatan untuk meningkatkan pertumbuhan industri alkes
dalam negeri. Dalam hal ini terlihat bahwa usaha untuk pengembangan alkes dalam negeri
memerlukan upaya bersama dari berbagai sektor. Peran penelitian sebagai sumber teknologi
yang mensuplai kebutuhan industri/usaha dalam memproduksi alkes tersebut perlu turut
berperan aktif.
Pada saat ini kegiatan penelitian di Indonesia terbesar dilakukan di Perguruan Tinggi
baik Pemerintah maupun swasta dan Lembaga Penelitian di bawah koordinasi Kementerian
Ristek dan Dikti serta Balitbang di masing-masing kementerian. Di antaranya adalah skema
kegiatan yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun
2002, berupa sistem insentif bersaing, yaitu program Riset Unggulan Strategis Nasional
(RUSNAS) yang salah satu tujuannya agar hasil riset di bidang teknologi produk dan proses
produksi yang dapat diadopsi oleh pengusaha yang sejauh mungkin menggunakan state of the
art technologies.
Salah satu program RUSNAS yang terkait dengan alkes yang dimulai tahun 2013
dengan melibatkan beberapa universitas ialah dalam bentuk konsorsium 5 Perguruan Tinggi
(PT), yaitu: ITB, UGM, ITS, UI dan UNPAD. Kelima PT ini memfokuskan penelitiannya
untuk alkes di bidang penyakit jantung & pembuluh darah sebagai salah satu penyebab
kematian terbesar di Indonesia. Hasil penelitian dari kelima PT ini yaitu:
1.

Pengembanganperangkatdeteksidinipenyakitkardiovaskular, dikembangkan oleh ITB


(dimulai th. 2013)

2.

Desain stent, dikembangkan oleh UGM (dimulai th. 2013)

3.

PengembanganAlatMonitorElektroensefalogram(EEG)IntraOperatifBedahSarafdan
pelacak aliran pelebaran pembuluh darah (aneurisma) otak untuk deteksi dini stroke,
dikembangkan oleh UNPAD(dimulai th. 2015)

332

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

4.

Developmentof3DTrackingsystemforCathetermovement

using

3D

ultrasound,

dikembangkan oleh ITS (dimulai th. 2015)


5.

Optimalization of Electroencelography (EEG) for detecting acute ischemic stroke (AIS),


dikembangkan oleh UI (dimulai th. 2015)
Tahapan yang dilakukan oleh ITB adalah seperti ditunjukkan dalam Gambar 2[5]. Saat ini

hasil riset ini masuk dalam tahap pengujian keselamatan berbasis IEC 60601 di P2SMTP LIPI, sebelum masuk kedalam uji klinis untuk jaminan mutu. Sedangkan UGM membuat
tahapan riset seperti ditunjukkan dalam
Gambar 3[5]. IEC 60601, yang merupakan standar keselamatan alkes elektromedik,

sampai saat ini masih menjadi acuan utama dalam penilaian kesesuaian terhadap produk alkes
elektromedik yang diakui secara internasional.

Gambar 2 Tahapan riset dari skala Laboratorium sampai industri

333

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 3 Roadmap riset alkes UGM

Standar Keselamatan Alat Kesehatan Elektromedik


Peralatan kesehatan elektromedik diperkenalkan pada awal abad ke-20 melalui
pemanfaatan elektrokardiograf (EKG) sebagai salah satu alat pengenal kondisi jantung.Akan
tetapi dalam perkembangannya, standar untuk peralatan elektromedik itu sendiri
diperkenalkan jauh setelahnya.Standar keselamatan untuk peralatan elektromedik diluncurkan
untuk pertama kali pada tahun 1988 dengan diterbitkannya standar IEC 60601 edisi
pertama.Dalam kurun waktu diantaranya terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mendorong invensi peralatan kesehatan elektromedik. Pesatnya invensi
peralatan kesehatan elektromedik membuat interaksi dan pertentangan kepentingan antarstakeholders menjadi semakin kompleks. Interaksi dan pertentangan kepentingan tersebutlah
yang berimplikasi pada dibutuhkannya standar sebagai suatu basis kerja (platform) dalam
menyepakati persyaratan-persyaratan terkait peralatan kesehatan elektromedik.
Persyaratan yang tercantum dalam standar merupakan suatu konsensus antarstakeholders dalam menyikapi suatu aspek tertentu. Salah satu aspek tersebut adalah
parameter resiko (seperti arus bocor, paparan radiasi, ketidakakuratan pengukuran, dll.) dari
peralatan kesehatan elektromedik adalah hal yang mutlak tidak diinginkan oleh pasien
sebagai konsumen. Akan tetapi disisi lain, parameter resiko tersebut merupakan suatu
fenomena yang wajar terjadi dalam setiap peralatan terkait, dan usaha untuk menihilkannya
dapat menjadi beban yang besar bagi produsen peralatan kesehatan elektromedik. Untuk itu

334

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

335

Pusat Inovasi - LIPI

diambil suatu nilai ambang yang ditetapkan sebagai nilai maksimum yang diperbolehkan
untuk terjadi, akan tetapi masih dapat menjamin keselamatan pengguna. Sejalan dengan
perkembangan teknologi, nilai ambang tersebut dapat kemudian diturunkan seiring dengan
semakin kritisnya teknologi medik menyikapi keberadaan parameter resiko tersebut dan
kemampuan teknologi rekayasa untuk mewujudkan peralatan elektromedik dengan parameter
resiko yang semakin kecil.
Standar seri IEC 60601 secara terus-menerus diperbaiki melalui koreksi minor
(corrigenda)

ataupun

perubahan signifikan (amandment)

yang membentuk

suatu

consolidated version, atau disebut juga dengan standar edisi terbarukan. Standar seri ini, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu (1) standar umum, (2) standar
khusus dan (3) standar kolateral. Standar umum berisikan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh semua jenis perlatan kesehatan elektromedik; kecuali bila satu atau lebih
persyaratan tersebut diatur lebih lanjut oleh persyaratan dalam standar khusus. Karena standar
khusus disusun secara spesifik untuk suatu jenis peralatan elektromedik tertentu, dengan
demikian persyaratan dalam suatu standar khusus bisa sangat berbeda dengan persyaratan
dalam standar khusus yang lainnya, bergantung pada karakteristik spesifik jenis peralatan
kesehatan elektromedik terkait. Standar kolateral, yang mulai diterbitkan setelah standar
umum edisi kedua terbit, memberikan persyaratan yang spesifik terkait dengan aspek
penilaian kesesuaian tertentu.
Dari suatu sudut pandang, pengembangan standar (baik umum, khusus, dan kolateral)
merupakan imbas dari dua faktor penting yaitu (1) berubahnya persepsi stakeholders terkait
dengan standardisasi dan penilaian kesesuaian, serta (2) perkembangan teknologi peralatan
kesehatan elektromedik itu sendiri. Dari sudut pandang yang lain, keberadaan standar dapat
menjadi arahan dalam pengembangan teknologi peralatan kesehatan elektromedik. Data
dalam Error! Reference source not found. menyajikan pola pengembangan standar IEC seri
60601 dalam kerangka waktu.
Dari Error! Reference source not found. dapat terlihat bahwa penerbitan standar
kolateral merupakan imbas dari diterbitkannya standar umum edisi ke-2. Penerbitan standar
kolateral yang masing-masing melingkupi aspek kesesuaian tertentu merupakan akibat dari
cara pandang yang berubah bahwa beberapa aspek tertentu dipandang perlu diatur dengan
detil lebih dari yang telah diatur dalam standar umum. Efek lain dari penerbitan standar

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

umum edisi ke-2 dan ke-3 adalah bahwa standar khusus yang sebelumnya disusun
berdasarkan standar umum edisi terdahulu perlu disesuaikan dengan standar umum yang
terkinikan. Profil penerbitan standar pada Error! Reference source not found. juga
memperlihatkan bahwa standar khusus baru diterbitkan dengan tujuan untuk melingkupi
produk peralatan kesehatan baru hasil perkembangan teknologi. Dari fakta tersebut dapat
dipahami bahwa pengembangan standar dilakukan seiring dengan berubahnya persepsi akan
standardisasi dan penilaian kesesuaian serta penrkembangan teknologi peralatan kesehatan
elektromedik.
Persyaratan dalam standar juga dapat menjadi acuan dalam pengembangan teknologi
peralatan kesehatan elektromedik. Dalam kasus Indonesia yang masih dalam kondisi
membangun lingkungan riset, rekayasa, dan industri peralatan kesehatan elektromedik yang
kuat, persyaratan dalam standar IEC seri 60601 serta standar lainnya dapat digunakan sebagai
basis acuan desain. Sebagai contoh, persyaratan tentang tata letak sirkuit dan komponen
elektrik lainnya serta persyaratan kondisi fisik dan mekanik peralatan dapat menjadi acuan
dalam desain peralatan yang memiliki kinerja peralatan yang berkesesuaian. Dalam desain
tingkat lanjut, persyaratan kinerja peralatan juga dapat menjadi acuan bilamana peningkatan
dan perbaikan peralatan dibutuhkan. Persyaratan yang tercantum dalam standar bila diikuti
secara konsisten dapat menurunkan kemungkinan kegagalan desain yang berimplikasi pada
biaya riset yang meningkat.

336

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

337

Pusat Inovasi - LIPI

1980

1990

2000

2010

IEC 60601-1
IEC 60601-1-1
IEC 60601-1-2
IEC 60601-1-3
IEC 60601-1-4
IEC 60601-1-6
IEC 60601-1-8
IEC 60601-1-9
IEC 60601-1-10
IEC 60601-1-11
IEC 60601-1-12

1980

withdrawn

IEC 60601-2-1
IEC 60601-2-2
IEC 60601-2-3
IEC 60601-2-4
IEC 60601-2-5
IEC 60601-2-6
IEC 60601-2-7
IEC 60601-2-8
IEC 60601-2-9
IEC 60601-2-10
IEC 60601-2-11
IEC 60601-2-12
IEC 60601-2-13
IEC 60601-2-14
IEC 60601-2-15
IEC 60601-2-16
IEC 60601-2-17
IEC 60601-2-18
IEC 60601-2-19
IEC 60601-2-20
IEC 60601-2-21
IEC 60601-2-22
IEC 60601-2-23
IEC 60601-2-24
IEC 60601-2-25
IEC 60601-2-26
IEC 60601-2-27
IEC 60601-2-28
IEC 60601-2-29
IEC 60601-2-30

replaced

withdrawn

replaced
replaced
withdrawn
withdrawn

1990

IEC 60601-2-31
IEC 60601-2-32
IEC 60601-2-33
IEC 60601-2-34
IEC 60601-2-35
IEC 60601-2-36
IEC 60601-2-37
IEC 60601-2-38
IEC 60601-2-39
IEC 60601-2-40
IEC 60601-2-41
IEC 60601-2-43
IEC 60601-2-44
IEC 60601-2-45
IEC 60601-2-46
IEC 60601-2-47
IEC 60601-2-49
IEC 60601-2-50
IEC 60601-2-51
IEC 60601-2-52
IEC 60601-2-54
IEC 60601-2-57
IEC 60601-2-62
IEC 60601-2-63
IEC 60601-2-64
IEC 60601-2-65
IEC 60601-2-66
IEC 60601-2-68

2000

2010

withdrawn

withdrawn

withdrawn

withdrawn

Standar edisi ke-1


Standar edisi ke-2
Standar edisi ke-3
Standar edisi ke-4
Standar edisi ke-5
withdrawn

Standar diganti atau ditarik

Gambar 4 Perkembangan standar IEC seri 60601 (sumber www.iec.ch)

Persyaratan-persyaratan tersebut di atas merupakan batasan yang pada akhirnya akan


dipergunakan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang berkompeten untuk melakukan
pengujian produk alkes elektromedik. Dengan eratnya keterkaitan antara penilaian kesesuaian
dengan pengembangan alkes elektromedik, maka keterlibatan laboratorium pengujian sebagai
salah satu infrastruktur penerapan standar sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk
alkes elektromedik.

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Infrastruktur Penerapan Standar


Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dimiliki Indonesia lebih dari 7000 SNI yang
terdiri dari standar produk, sistem, proses, maupun metode pengujian. Mayoritas SNI
tersebut masih diterapkan oleh pelaku usaha atas dasar kewajiban yang diberikan oleh
pemerintah melalui regulasi teknis berbasis standar. Regulasi teknis berbasis SNI yang
ditetapkan oleh pemerintah dan sudah dinotifikasikan ke WTO mencapai 261 regulasi teknis
pada tahun 2013.
Penerapan SNI harus didukung oleh kesiapan infrastrukturnya yaitu Lembaga Penilai
Kesesuaian (LPK) yang terdiri atas Laboratorium Pengujian dan/atau Laboratorium Kalibrasi
dan Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi. LPK mempunyai peranan penting dalam hal
penilaian dan pengawasan kesesuaian barang atau jasa dengan SNI. Berdasarkan data dari
Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2015, infrastruktur penerapan SNI didukung oleh
1.337 Lembaga Penilaian Kesesuaian yang tersebar di seluruh Indonesia dengan ruang
lingkup yang cukup beragam. Dari jumlah tersebut, 68% atau 909 unit diantaranya adalah
laboratorium uji, 13,2% atau 176 unit adalah laboratorium kalibrasi, 12.6% atau 169 unit
adalalah lembaga sertifikasi, 3% atau 40 unit adalah lembaga inspeksi, dan 3.2% atau
sebanyak 43 unit adalah laboratorium medik, seperti terlihat pada Gambar 5.
Dari sekian banyak LPK terutama yang terkait dengan laboratorium uji yang ada di
Indonesia, laboratorium uji produk alkes yang berbasis kelistrikan baru satu laboratorium
yang terakreditasi yaitu laboratorium pengujian peralatan kesehatan Puslit SMTP LIPI
untuk ruang lingkup Pengujian Inkubator Bayi. Sedangkan produk alkes yang beredar di
Indonesia begitu banyak sehingga dengan hanya satu laboratorium yang ada tidaklah bisa
menjalankan fungsinya sebagai penilai kesesuaian dengan maksimal. Oleh karena itu,
diperlukan kesiapan-kesiapan laboratorium-laboratorium lain untuk bisa saling melengkapi.

338

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

43
169

40

Laboratorium Uji
Laboratorium Kalibrasi

176

Lembaga Inspeksi

909

Lembaga Sertifikasi
Laboratorium Medik

Gambar 5Peta Lembaga Penilai Kesesuaian di Indonesia (sumber www.bsn.go.id)

Gambar 6 memperlihatkan kondisi 400 dari 909 laboratorium uji di Indonesia dengan

berbagai lingkup pengujiannya. Lingkup pengujian terbanyak masih dari komoditas perairan,
sedangkan untuk lingkup kelistrikan masih sedikit dan yang terkait dengan komoditas alkes
yang berbasis kelistrikan, baru satu laboratorium yang terakreditasi.
Kesiapan infrastruktur dalam penerapan standar terkait dengan penilaian kesesuaian
sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional. Infrastruktur yang berupa laboratorium uji, laboratorium kalibrasi dan lembaga
sertifikasi dijamin kompetensinya sebagai pelaksana penilaian kesesuaian melalui proses
akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

339

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

Komoditas

Komoditas

Pusat Inovasi - LIPI

Jumlah

Jumlah

Gambar 6Lingkup Pengujian Laboratorium Uji di Indonesia

KESIMPULAN DAN SARAN


Dapat disimpulkan bahwa dalam mengangkat kemandirian ekonomi yang salah
satunya dengan mengurangi produk impor, industri kesehatan dalam negeri perlu didukung
melalui lintas sektor, yaitu dari aspek:
1.

Teknologi; melalui riset dan SDM yang kompeten serta iklim riset yang kondusif.

2.

Infrastruktur; dalam bentuk laboratorium pengujian serta lembaga sertifikasi produk


alkes elektromedik, dengan kapasitas dan kompetensi yang memadai.

3.

Legal; dalam bentuk dukungan regulasi baik terkait kebijakan yang dapat menstimulasi
industri nasional termasuk pasar dan penggunanya, maupun insentif fiskal yang menjadi
awal tumbuhnya usaha.

Sinergisitas dan integrasi lintas sektoral antar-stakeholders merupakan hal yang mutlak
diperlukan dalam menjamin ketersediaan alkes elektromedik dalam negeri yang bermutu.

340

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
[1]

Market Overview: Indonesia Medical Device Market. Retrieved from

http://www.morulaa.com/medical-device/market-overview-indonesia-medical-devicemarket/#post_content. 2015.
[2]

Banta, H. D., C. J. Behney, and D. P. Andrulid. "Assessing the efficacy and

safety of medical technologies." Washington: Office of Technology Assessment, 1978


[3]

Anaya, A., Indonesia Updated Medical Device Regulation. Dipresentasikan

dalam 17th AHWP Meeting TICC Taipei, 2012.


[4]

Sastroasmoro, S., (Evidence based) Health Technology Assessment in

Indonesia. Dipresentasikan pada Seminar Health Technology Assessment. Jakarta.


2011
[5]

Mengko, T.L.R., et.al., Resume: Penelitian Unggulan Strategis Nasional

Bidang Kajian Unggulan Kesehatan dan Teknologi Penelitian Khusus Pengembangan


Bidang Biomedik 5 Universitas 2013-2015. 2015.
[6]

Draft

www.bsn.go.id.

Strategi

Standardisasi

Nasional

2015-2025.

Diperoleh

dari

341

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 17

PERSYARATAN SISTEM MANAJEMEN MUTU


ELEKTRONIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN
INDONESIA
Jimmy Abdel Kadar, Agus Fanar Syukri, Amelia Febri Ariani, Rahmi Kartika
Jati
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI;
jimmy.abdel.kadar@lipi.go.id,agus.fanar.syukri@lipi.go.id,amelia.febri.ariani@lipi.go.id,rah
mi.kartika.jati@lipi.go.id

ABSTRAK
Kemudahan penggunaan sistem manajemen mutu (SMM) dalam sebuah organisasi mutlak
diperlukan. Penggunaan pedoman mutu dalam bentuk kertas (hardcopy) masih banyak
digunakan, dan dapat dipermudah dengan menggunakan SMM online. Makalah ini membahas
tentang desain SMM online, yang penelitiannya dilakukan dengan mengunakan metoda
campuran (mix methods) dengan penyebaran kuisioner dan wawancara kepada responden.
Hasil penelitiannya adalah bahwa kemudahan pengguna dalam mengakses informasi menjadi
jawaban yang dominan dengan ketentuan yaitu tata letak informasi yang terdapat sebuah situs
dapat membantu pengguna dalam mendapatkan informasi yang diinginkan, khususnya dalam
SMM online. Desain ini menekankan pada pengelolaan tata letak menu, informasi, kolom
tanya jawab, kontak dan lainnya dalam SMM. Kemudahan lainnya yaitu sivitas dapat
mengakses SMM melalui navigasi situs yang dapat menuntun kebutuhan pengguna dalam
menjalankan SMM di organisasinya. Konten SMM yang informatif dan komunikatif akan
menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diharapkan. Tampilan yang lugas
dan mudah untuk dipahami (user friendly) menjadi nilai tambah dalam sebuah situs. Web
SMM online untuk sivitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang dilakukan
dalam taraf penelitian. Selanjutnya diupayakan agar dokumen SMM dapat diunggah di intra
LIPI dan penerapannya disesuaikan dengan kondisi, tugas dan fungsi satuan kerja masingmasing. Sisi lainnya dengan terpasangnya infrastruktur yang stabil merupakan salah satu
bagian yang penting dalam SMM online, tetapi tidak dibahas dalam tulisan ini.

Kata kunci: desain, SMM, online

342

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi khususnya di bidang teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), memacu semua organisasi untuk menggunakan jasa TIK sebagai
kemudahan dalam berkomunikasi dengan semua orang. Organisasi yang menerapkan
TIK secara optimal, memudahkan semua kegiatan berjalan dengan baik, baik yang
bersifat internal maupun eksternal.
Pengelolaan manajemen suatu organisasi selalu menarik untuk dibahas.
Organisasi yang telah menerapkan standar manajemen berbasis ISO 9001 dan telah
diakui keberadaannya dengan diterbitkannya sertifikat dengan ruang lingkup tertentu,
sesuaikan dengan kebutuhan organisasi tersebut. Penerapan ISO 9001 memastikan
mutu organisasi selalu terukur dan memberikan informasi bagi manajemen puncak
bahwa proses organisasi berjalan dengan baik sesuai dengan yang didefinisikan
(Priede, 2012).

Sistem Manajemen Mutu di LIPI


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga riset, tetap dan
terus berusaha mempertahankan mutu dan reputasinya dalam kancah nasional maupun
internasional. Di antara 50 satuan kerja (satker) di LIPI, telah ada 18 satker yang
memperoleh sertifikat ISO 9001. Sejalan dengan kegiatan penelitian, ke-18 satker
tersebut telah disurvei, terkait berbagi pengalaman dalam menjalankan ISO 9001 di
lingkungan kerja masing-masing. Responden merupakan penanggung jawab mutu di
setiap satker yaitu Wakil Manajemen (WM) dan atau Sekertaris Wakil Manajemen
(SWM).
Sistem Manajemen Mutu (SMM) yang telah dibuat dan masih berupa berkas
yang banyak, dengan sejumlah formulir, masih merupakan kendala tersendiri dalam
menjalankan SMM. Setiap organisasi manapun yang telah menjalankan SMM dan
masih menggunakan kertas sebagai media komunkasi akan mengalami masalah dalam
penerapan di lapangan. Sejumlah kendala yang sering muncul yaitu lupa, kertas
tercecer, kesulitan sivitas dalam membaca pedoman maupun prosedur dan lainnya.
Pada masa sekarang penggunaan teknologi merupakan salah satu solusi yang
dapat mempercepat sivitas dalam mengakses pedoman mutu. Sivitas dipermudah

343

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dengan layanan dapat membaca pedoman mutu organisasinya di mana saja, dengan
penggunaan SMM online. Tentunya melibatkan orang-orang dengan kompetensi TIK
sebagai sarana pengelola khusus yang berhubungan dengan TIK.
Kemudahan pengguna dalam mengakses sebuah situs yang berhubungan
dengan SMM menjadi perhatian dalam tulisan ini. Beberapa reponden mengingkan
kemudahan navigasi dan kelancaran sistem yang akan dibangun. Tampilan akan
mempermudah pengguna untuk memperlancar kebutuhan informasi, dan jaringan
(perangkat

keras)

sebagai

infrastruktur

yang

stabil

akanmempermudah

keberlangsungan sistem informasi SMM online berlangsung.

Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah meningkatkan efektivitas SMM dengan media
online, di mana salah satu bagian dari proses penelitian tersebut adalah
mengumpulkan data untuk referensi dalam pembuatan desain tata letak menu dalam
SMM online yang akan dikembangkan. Pengelolaan tata letak menu, informasi,
kolom tanya jawab, kontak dan lainnya dalam SMM yang mempermudah penguna
dalam mengkases informasi. Kemudahan menjalankan SMM melalui web SMM
online mejadi bahasan utama dalam tulisan ini. Membuat tampilan yang komunikatif
akan menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diharapkan.
Sistem Manajemen Mutu (SMM)
Pemahaman sistem manajemen mutu di ISO 9000:2000 menurut Sugian
(2006) adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu organisasi berkenaan
dengan mutu. Menurut Gaspersz, SMM hasil revisi ISO 9001:2008 menetapkan
persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen
mutu, dan menjamin organisasi tersebut akan memberikan produk (barang/jasa) untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan di organisasi tersebut. (Gaspersz, 2002).
Fungsi manajemen adalah sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengadaan
dan pembinaan pekerja, pelaksanaan dan pengawasan (Simanjuntak, 2011). Dengan
pemahaman ini fungsi manajemen menjadi kompleks dan banyak unsur yang terlibat.

344

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Organisasi yang telah menerapkan SMM akan mempermudah kinerja karyawan


dengan mempunyai sasaran mutu yang jelas.

Desain Web Internet


Teknologi memungkinkan pengguna untuk "berperan lebih besar" dalam
memanfaatkannya untuk kehidupan yang lebih mudah dan nyaman. Dengan koneksi
infrastruktur yang memadai dan sekarang waktunya untuk memanfaatkan teknologi
untuk membuat website lebih cepat, dan belajar bagaimana untuk meningkatkan
pengalaman dan kepuasan pengguna (Bermes, 2015). Kemajuan teknologi membuat
semua orang dapat menikmati sajian informasi dengan relatif mudah. Teknologi web
atau yang sering disebut situs web umumnya menampilkan informasi untuk dinikmati
informasinya yang benar-benar memadai bagi pengguna. Cepat atau lambatnya dalam
menampilkan informasi di situ web tergantung dari komposisi teknis di server dan
juga infrastruktur perangkat keras. Komposisi teknis yang dimaksud adalah
penggunaan bahasa pemrograman yang ringkas dengan penempatan gambar dan
menu yang didesain sesederhana mungkin. Penempatan dan penggunaan menu dan
gambar akan mempermudah pengguna dalam memahami tampilan situs web yang
diperlukan.
Desain web dapat dibagi dalam beberapa faktor signifikan yang berbeda yaitu
efisiensi, hiburan, masyarakat, drivenness, privasi, keramahan pengguna, efisiensi dan
dilayari diidentifikasi menjadi signifikan untukkualitas layanan dari situs jaringan
sosial (Ellahi, 2013). Dengan demikin jelas lah bahwa layanan yang dihadirkan dalam
sebuah website seyogyanya dapat memenuhi faktor-faktor tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan dua pendekatan metoda, yaitu kuantitatif dan
kualitatif, atau yang disebut mix methods. Pendekatan penelitian ini melibatkan
asumsi-asumsi filosofis, aplikasi serta pencampuran (mixing) dalam satu metoda
penelitian (Sheperis et al., 2010). Pendekatan ini lebih kompleks dari sekadar
mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data; tetapi juga melibatkan fungsi dari
dua pendekatan penelitian tersebut secara kolektif, sehingga kekuatan penelitian ini

345

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

secara keseluruhan lebih besar daripada masing-masing penelitian kualitatif dan


kuantitatif itu sendiri (Creswell, 2010).

Prosedur Penelitian
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian ditunjukkan di gambar 1, dengan
penjelasan sebagai berikut:
Pembuatan kuisioner/
wawancara kebutuhan
SMM online

Kebutuhan situs
SMM/peta situs

1
3

Desain tataletak/
peta situs

Pengumpulan
bahan dan data
web

Desain teknis
pengkodean dan
pengembangan situs

Tampilan web
yang informatif

Umpan Balik

Desain tataletak
SMM di Web

Gambar 1. Langkah-langkah Penelitian

1. Pembuatan kuisioner/wawancara kebutuhan SMM online


Kuisioner disusun untuk memotret kondisi pelaksanaan SMM pada 18
Satker

di

LIPI

yang

telah

mendapatkan

sertifikat

ISO

9001:2008.

Kuisioner/wawancara yang spesifik dengan pertanyaan tentang keberterimaan dan


pemahaman dalam mejalankan SMM secara rutin pada satker masing-masing dari
sisi tampilan situs dan kemudahan menjalankan SMM.
Hipotesis dibangun sebagai framework dan konstruksi hubungan satu
bagian dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini kebutuhan tampilan dan
substansi dari website SMM didasarkan pada hipotesis sepeti pada gambar 2.
Hipotesis dibangun sebagai kemudahan antarmuka, interaksi dengan pengguna
dan diharapkan memiliki efek positif.

346

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kemudahan
pengoperasian
Tampilan

Web desain

Jaringan Stabil

Konten

Gambar 2. Hipotesis awal desain situs web SMM

2. Kebutuhan situs SMM/Peta situs


Tampilan yang informatif dan aplikatif dengan konten yang mudah dipahami. Peta
situs yang memudahkan reponden/pengguna dalam menjalankan SMM. Desain
tampilan yang disesuaikan dengan karakter satuan kerja tersebut.
3. Pengumpulan bahan dan data web
Pengisian kuisioner oleh responden menghasilkan jawaban yang nantinya akan
digunakan dalam pembuatan desain SMM online. Bahan dan kebutuhan yang
disesuaikan dengan satker dingunakan sebagai bahan masukan pembuatan web
SMM dan dengan pengambilan data dengan substansi yang komprehensif. Data
diperlukan dalam mendukung kelengkapan material dari sebuah prosedur atau
SOP tertentu.
4. Desain tata letak/peta situs
Desain tata letak memudahkan penempatan menu dari prosedur-prosedur yang ada
di SMM. Penempatan tata letak disesuaikan dengan spesifikasi konten, dan
keunikan satuan kerja/organisasi yang akan memanfaatkannya.
5. Desain tata letak SMM di web
Kemudahan penempatan tata letak menu SMM dalam sebuah disitus akan
memudahkan pengguna dalam menjalankan SMM.
6. Desain teknis pengkodean dan pengembangan situs
Pelaksanaan desain dilakukan dan di sesuaikan dengan permintaan dari satuan
kerja (internal organisasi). Web desain, pengkodean bahasa pemrograman,

347

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

penempatan menu dan variabel lainnya, ikut menyesuaikan dengan kebutuhan


organisasi tersebut.
7. Tampilan web yang informatif
Satuan kerja/organisasi sebagai pemilik kepentingan dari konten yang akan dibuat.
Substansi mencerminkan isi SMM yang dibangun oleh satuan kerja/organisasi
tersebut, dan mempermudah pengguna maupun pelaksana SMM.
8. Umpan balik
Tahapan ini yang akan memperbaiki kekurangan sistem dan sebagai
pengembangan untuk penambahan fitur yang diperlukan.
Obyek dan Responden Penelitian
Seperti telah dijelaskan di 1.1. bahwa di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), yang terdiri dri 50 satuan kerja, yang telah tersertifikasi SNI ISO 9001:2008
adalah 18 satuan kerja. Responden satuan kerja setingkat eselon 2 untuk pusat
penelitian dan biro, dan juga satuan kerja teknis setingkat eselon 3.
Responden penelitan adalah yang bertanggung jawab dalam menjalankan roda
sistem manajemen mutu di organisasi tersebut. Wakil manajemen (WM) dan atau
Sekertaris Wakil Manajemen (SWM) dari satker-satker di LIPI yang menjadi
responden penelitian dengan menjawab beberapa pertanyaan dalam wawancara.

Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan survei kepada para responden.


Menurut Kerlinger dalam Rochaety (2009), penelitian survei merupakan penelitian
yang dilakukan pada ukuran populasi besar maupun kecil. Penelitian ini mempelajari
data yang didapatkan dengan mengambil sampel dari responden, mewakili
satker.Hasil penelitian kuantitatif biasanya berupa pola atau tipologi atau pola
mengenai

fenomena

yang

dibahas.Sedangkan,

pengumpulan

data

kualitatif

dilaksanakan dengan metode Focus Group Discussion (FGD), pesertanya adalah WM


atau SWM satker-satker yang telah mengimplementasikan SMM berbasis SNI ISO
9001:2008 di LIPI.
Strategi pengumpulan data adalah dengan bertahap/sekuensial (sequential
mixed method), yaitu para peneliti mengumpulkan dua jenis data secara bertahap,

348

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dengan melakukan survei wawancara kepada para responden untuk memperoleh hasil
umum atas pelaksanaan SMM di satker responden, hasilnya dikuantisasi dari seluruh
responden; kemudian dilanjutkan dengan metode kualitatif melalui FGD terlebih
dahulu untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai atas hasil survei.
Pengumpulan data kuantitatif telah dilaksanakan bulan Maret dan April 2015
dengan mendatangi para responden, sedangkan data kualitatif didapatkan melalui
FGD yang dilaksanakan 16 April 2015 di Jakarta.

Metoda Analisis dan Validasi


Analisis data dilakukan berdasarkan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan
menganalisis angka-angka secara deskriptif dan inferensial; dan dengan pendekatan
kualitatif pula, yaitu dengan cara menganalisis pernyataan responden atau teks dan
atau dokumen yang diberikan oleh responden, sehingga diperoleh gambaran secara
tematik atas masalah-masalah implementasi SMM di satker-satker LIPI yang telah
mengimplementasikan SNI ISO 9001:2008, khususnya masalah desain SMM yang
dibahas di makalah ini.
Data divalidasi dengan metode triangulasi data, yaitu dari hasil survei, hasil
FGD dan dokumen SMM satker-satker LIPI yang menjadi responden.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Survei
Hasil survei tentang

requirement (kebutuhan) SMM online dari 18 satker yang

menjadi responden, 14 satker (76%) menyatakan setuju untuk menggunakannya,


sedangkan 4 satker (24%) (gambar 3).

349

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

24%
Setuju
Setuju Dengan Syarat
76%

Gambar 3. Potret usulan pembuatan SMM online

14 satuan kerja di LIPI yang telah tersertifikasi SNI ISO 9001:2008 menjawab bahwa
setuju menggunakan metode paperless, dengan pengelolaan tergabung dalam intra
LIPI dan hanya 4 responden yang menyatakan pengelolaan web SMM berdiri sendiri
di satker mereka/terpisah dari Intra LIPI yang ada.
Sedangkan syarat-syarat yang dikemukakan terkait paperless dapat dilihat pada tabel
1:

Tabel 1. Kebutuhan Tampilan Web SMM


Kebutuhan Web SMM
Tampilan

Keterangan
Menarik pandangan mata, tidak kaku, sederhana, ditambahkan
identitas satker sesuai dengan kultur, contoh: seperti KR Bedugul
bertema Bali.

Konten

Informatif, aplikatif, ada forum diskusi, konten dapat diakses


manajemen dan sivitas, substansi komprehensif. Format menu
yang mudah, sosialisasikan secara konsisten ke semua satker.

Navigasi

Mudah, tidak rumit (User friendly), interaktif seperti situs dari


kementrian lain, dapat diakses lewat hp/gadget, fitur mudah
dipakai.

Jaringan

Stabil, Tidak lambat


Jangan sering ganti sistem, kapasitas penyimpanan mencukupi.

350

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pembahasan
Hasil

penelitian

menunjukan

bahwa

76%

responden

menginginkan

pengelolaan web SMM dikelola dan digabungkan ke intra LIPI. Data ini sangat
beralasan karena tidak setiap Satuan kerja mempunyai penanggung jawab Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) sendiri. Alasan lainnya karena adanya tugas dan
fungsi dari satuan kerja yang telah menggunakan intra LIPI sebagai area kerja yang
resmi dan fungsi utama intra LIPI dalam menyebarkan informasi terkait keperluan
LIPI telah diakui oleh para sivitas LIPI.
Masalah kualitas tampilan maupun varialbel situs web ditangani dari
perspektif 'suara pelanggan'. Langkah ini diadopsi sebagai kerangka kerja untuk
mengidentifikasi kualitas situs web yang diminta oleh pengguna (Barnes, 2000).
Adapun syarat tambahan yang dikemukakan oleh responden selain penyebaran
kuisioner, adalah dengan wawancara. Responden menyatakan bahwa faktor dominan
yang dikemukakan tentang syarat tambahan yaitu pengelolaan perangkat keras
(server) diserahkan pada LIPI Pusat selaku pemegang tanggung jawab jaringan
komputer dan internet dan sejalan dengan intra LIPI. Faktor yang dikemukakan oleh
reponden adalah terkait substansi dari SMM yang akan dibuat menjadi online.
Substansi yang dimaksud adalah SMM yang telah dibuat dapata diintegrasikan ke
dalam berkas elektronik, guna memudahkan sivitas dalam menjalankan SMM di
satkernnya masing-masing.
Kedepannnya dengan berdasarkan hasil dari peneltian ini dan manfaat yang
dirasakan

dan

kepercayaan

untuk

memprediksi

dan

menjelaskan

perilaku

keberlanjutan pengguna dalam sebuah situs web (Liao, 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Requirement/kebutuhan pembuatan SMM online

yang berbasis web

merupakan salah satu cara mempermudah sivitas organisasi dalam mengakses


informasi yang terkait mutu dari layanan atau aktivitas yang telah ditetapkan dalam

351

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

SMM, termasuk di 18 satuan-satuan kerja di LIPI yang telah tersertifikasi SNI ISO
9001:2008.
Keberadaan SMM online atau SMM yang dibuat dalam bentuk elektronik
yang digabungkan dengan intra LIPI diharapkan dapat melingkupi satuan kerja yang
memang membutuhkan sarana tersebut sebagai pembelajaran tahap awal. Kebutuhan
SMM di setiap satuan kerja/organisasi berbeda-beda tergantung dari Tugas dan
Fungsi dari (TUSI) satker dan ruang lingkup yang menjadi penekanan dalam SMM di
organisasi tersebut. Tahap awal dari pembuatan web SMM online adalah menerapkan
SMM ke dalam bentuk elektronik. Dari hipotesis awal dapat dilihat bahwa data hasil
dari wawancara sejalan dengan kebutuhan saat ini.
Hasil penelitian tahap pengembangan desain ini adalah bahwa kemudahan
pengguna dalam mengakses informasi menjadi jawaban yang dominan dengan
ketentuan yaitu tata letak informasi yang terdapat di situs SMM online dapat
membantu pengguna dalam mendapatkan informasi yang diinginkan. Desain SMM
online menekankan pada pengelolaan tata letak menu, informasi, kolom tanya jawab,
kontak dan lainnya dalam SMM. Kemudahan lainnya yang diharapkan responden
adalah dapat mengakses SMM melalui navigasi situs yang dapat menuntun kebutuhan
pengguna dalam menjalankan SMM di organisasinya. Konten SMM yang informatif
dan komunikatif akan menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
diharapkan. Tampilan yang lugas dan mudah untuk dipahami (user friendly). Sisi
lainnya dengan terpasangnya infrastruktur yang stabil merupakan salah satu bagian
yang penting dalam SMM online, tetapi tidak dibahas dalam makalah ini.

Pengembangan Selanjutnya
Pengembangan selanjutnya yaitu dengan memperluas requirement/kebutuhan
untuk SMM online dengan beberapa fitur tambahan yang nantinya diperlukan dalam
panduan pembuatan SMM online, seperti yang terlihat dalam gambar 4.

352

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kemudahan
pengoperasian
Efisiensi

Tampilan

Web desain

Jaringan Stabil

Keamanan data

Persepsi
pengguna

Bantuan Teknis

Gambar 4. Usulan penelitian selanjutnya


Informasi pada Gambar 4 menyatakan bahwa penambahan beberapa fitur/kotak yang
diperlukan dalam mendesain web SMM online. Pada kotak yang bergaris putus putus
merupakan satu area dalam membangun web SMM online, sedangkan kotak persepsi
pengguna merupakan kotak tambahan yang nantinya merupakan fitur tambahan yang dapat
memberi masukan pada pengelola web SMM online, terkait substansi yang nantinya akan

diperlukan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dapat terselenggara atas biaya Daftar Isian Proyek Anggaran
(DIPA) Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian (P2SMTP) Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2015, sesuai dengan kontrak nomor
023/JI.2/SK.AP/I/2015 tentang Organisasi, Susunan Personalia, Tugas dan Tanggung
Jawab Pelaksana Kegiatan DIPA Persiapan Efektifitas Manajemen P2SMTP-LIPI
dengan Electronic Quality Management Systems (e-QMS). Para Penulis mengucapkan
terima kasih kepada para responden, yaitu para Wakil Manajemen dan atau Sekretaris
Wakil Manajemen di 18 satuan kerja di LIPI, yang telah mendapatkan sertifikat SNI
ISO 9001:2008 sebagai pengakuan implementasi Sistem Manajemen Mutu di satuan
kerja tersebut.

353

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Barnes. Stuart and Vidgen. Richard. 2000. WebQual: An Exploration of Website Quality.
ECIS 2000 Proceedings. Paper 74
Bermes, Barbara. 2015, Lean Website: Because web performance simply matter, Published
Site point.
Domnguez, Silvia.Hollstein, Betina. 2014.Mixed Methods Social Networks Research:Design
and Applications. Cambridge University Press, New York.
Ellahi. A. et al. 2013. Key quality factors affecting users perception of social networking
website.Journal of Retailing and Consumer Services 20 (2013) 120129.
Gaspersz, Vincent. 2002. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement.Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Liao C. et al. 2006. The Roles of Habit and Web Site Quality in e-Commerce. International
Journal of Information Management 26 (2006) 469483
Priede, Janis. 2012. Implementation of Quality Management System ISO 9001 in the World
and its Strategic Necessity. Social and Behavioral Sciences 58 (2012): 1466-1475
Rochaety, Eti. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta
Sheperis et al. 2010.Counselling Research Quantitative, Qualitative, And Mixed
Methods.Pearson Education, Inc
Simanjuntak. P.J.2011. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Sugian. O. Syahu. 2006. Kamus Manajemen (Mutu). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

354

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 18

STRATEGI PEMASARAN PADA USAHA MIKRO KECIL


DAN MENENGAH (UMKM) INDUSTRI OLAHAN HASIL
LAUT
Anang Hidayat1, Tommy Hendrix2
1

Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


2
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
anang.hidayat@gmail.com

ABSTRAK
Jumlah usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia mencapai sekitar 56,5 juta usaha
dalam berbagai sektor, dan 99,8% nya adalah usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). UMKM berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 97%,
sedangkan kontribusi UMKM bersama koperasi terhadap pendapatan domestik broto
(PDB) adalah sebesar 56%. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM memliki potensi dan
peluang sangat besar untuk diberdayakan dan ditumbuhkembangkan. Sementara itu
dalam mempertahankan kelangsungan kegiatan UMKM di tengah persaingan bisnis
yang cukup ketat, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
akan membutuhkan manajemen strategi pemasaran yang tepat untuk mencapai tujuan
usahanya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi pemasaran UMKM
berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Objek kajian ini adalah industri
olahan hasil laut di kawasan Gresik dan Lamongan yang belum menerapkan
manajemen strategi pemasaran yang tepat dalam mengembangkan usahanya. Kajian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan
menjadi elemen strategi pemasaran dan pengembangannya, serta merekomendasikan
strategi pemasaran yang tepat untuk dapat diterapkan. Kajian ini menggunakan
pendekatan analisis QSPM (Quantitative Planing Strategy Matrix) dalam merancang
strategi yang akan diambil. Sampel dari kajian ini diambil dari dua belas UMKM
yang memiliki karakter usaha sejenis. Penentuan sampel sebagai responden
menggunakan purposive sampling dengan pertimbangan responden yang memiliki
kemampuan dan kewenangan dalam merumuskan strategi pemasaran usahanya.

355

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kajian ini menghasilkan alternatif strategi UMKM industri olahan hasil laut dengan
urutan prioritas sebagai berikut: (1) peningkatan kualitas produk akhir dengan
menggunakan kemasan yang baik; (2) melakukan produksi sendiri dari hulu sampai
dengan hilir; (3) meningkatkan kualitas produk untuk menghadapi persaingan; (4)
meningkatkan modal usaha tambahan dengan mengambil manfaat dari programprogram perkreditan dari Pemerintah; (5) mempertahankan stabilitas harga jual; (6)
memperkuat promosi produk dengan memanfaatkan fasilitas media elektronik, sosial
media, direct promotion dengan memperluas jaringan pemasaran dan konsumen, serta
memelihara hubungan baik dengan para pemasok.

Kata Kunci: UMKM, Strategi Pemasaran, Matriks TOWS, Matriks IE, Matriks
QSPM

PENDAHULUAN
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah unsur penting dalam
pembangunan dari berbagai negara. Keberadaannya telah menyerap tenaga kerja
terbesar untuk berbagai sektor kegiatan ekonomi, selain kontribusinya yang besar pula
terhadap produk domestik bruto negara tersebut. UMKM Indonesia sendiri telah
mencapai 99,99% dari total unit usaha yang ada, baik dari skala usaha mikro dengan
persentase 98,85%, usaha kecil 1,07%, dan usaha menengah sebesar 0,08%,
sedangkan 0,01% termasuk ke dalam skala usaha besar (Depkop.go.id, 2015).
Sementara itu potensi sumber daya kelautan sebesar 75% dari seluruh luas
wilayah Indonesia adalah laut (kkp.go.id, 2013). Potensi tersebut telah memberikan
sumbangan yang cukup besar dari sumber dayanya, antara lain berupa penyediaan
bahan kebutuhan hidup, peningkatan pendapatan bagi masyarakat pesisir, terbukanya
kesempatan kerja serta perolehan devisa dan percepatan pembangunan daerah. Salah
satu potensi terbesar adalah sumber daya perikanan tangkap yang merupakan modal
dasar pengembangan perikanan demersal3 dan memiliki peranan penting dalam
3

Ikan Demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga
bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar
(bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan lain

356

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

peningkatan pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja produktif, serta


sebagai pendapatan devisa non migas melalui ekspor. Hanya saja perikanan sebagai
sumber daya dalam pengusahaannya banyak mengandung resiko dan persoalan. Hal
ini disebabkan karena sifat pengusahaan sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan
pasar dan perubahan lingkungan, termasuk diantaranya adalah eksploitasi yang
berlebihan dan masalah pencemaran. Dengan demikian pengelolaan sumber daya
perikanan menjadi sangat kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang
memerlukan penyelesaian strategis yang bersifat jangka panjang.
Jika ditinjau dari sektor hilir seperi industri, perdagangan, atau jasa,
pengelolaan hasil laut dan perikanan menjadi produk lain adalah wujud dari peluang
bisnis yang seharusnya dapat dikembangkan lebih jauh, mengingat hasil tangkapan
produk hasil laut di Indonesia sangat tinggi. Hal ini tentu saja memberikan
kesempatan usaha sektor perikanan untuk melakukan proses diversifikasi produk hasil
lautnya, karena diversifikasi produk itu sendiri akan dapat meningkatkan nilai dari
produk itu sendiri. Pada dasarnya produk hasil laut akan memiliki harga jual lebih
baik jika sudah mengalami proses pengolahan daripada dijual dalam keadaan segar.
Produk olahan hasil laut juga tidak bergantung lagi dengan permainan harga para
tengkulak yang relatif merugikan masyarakat usaha perikanan laut.
Bisnis olahan hasil laut adalah bentuk usaha yang sangat menjanjikan
keuntungan besar yang dapat dilakukan baik untuk skala mikro, kecil maupun
menengah, seperti misalnya bisnis kuliner, camilan/kudapan, kerajian, rumah makan
dan lain sebagainya. Untuk menjawab tantangan tersebut di atas, maka

Dinas

Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, serta masyarakat dan kelompok masyarakat dapat saling bekerjasama.

sebagainya. Dibanding sumber daya ikan pelagis, potensi sumber daya ikan demersal relatif lebih kecil,
akan tetapi banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi. Ikan demersal
tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan Sunda dan Laut Arafura dengan
kecenderungan kepadatan sediaan potensi tinggi di daerah pantai. Perikanan demersal Indonesia
menghasilkan berbagai jenis ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat
tangkap (multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis yang
jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain: kakap
merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus
spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain.

357

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Masyarakat dan kelompok masyarakat sebagai pelaku utama, sedangkan Dinas


Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan berkewajiban untuk
mengarahkan, membimbing serta menumbuhkan iklim usaha sektor ini. Hanya saja
dalam perakteknya, UMKM pada sektor ini seringkali berada dalam posisi yang
lemah, terutama ketika menghadapi persaingan pasar yang semakin tinggi. Maka dari
pada itu, Pemerintah melalui Undang-undang Nomor: 5 Tahun1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berupaya memperbaiki situasi
tersebut. Selanjutnya adalah peran serta Kamar Dagang dan Industri (KADIN) baik
ditingkat pusat maupun daerah melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM
yang merupakan salah satu wujud komitmen Pemerintah terhadap pembangunan
UMKM, khususnya pada sektor hilir usaha perikanan laut. Selanjutnya kebijakan
pengembangan usaha Kelompok Pengolah dan Pemasaran (POKLAHSAR) 4 melalui
Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) P2HP5 dalam kerangka PNPM
Mandiri Kelautan dan Perikanan adalah merupakan langkah nyata Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam menumbuh kembangkan wirausaha mikro kecil

POKLAHSAR: Kelompok Pengolahan dan Pemasaran; Adalah suatu kelompok usaha yang dibentuk
sebagai bagian dari tujuan Programa Penyuluhan Perikanan yang dituangkan dalam Rencana Kerja
Penyuluhan Perikanan adalah memberdayakan kelompok-kelompok yang ada di wilayah binaan
penyuluh perikanan. Selain Poklahsar juga dibentuk kelompok lain yaitu Kelompok Pembudidaya Ikan
(Pokdakan). Salah satu upaya pemberdayaan Poklahsar adalah dengan cara memperkenalkan dan
mempraktekkan diversifikasi pengolahan hasil perikanan yang memiliki nilai jual sehingga dapat
merangsang minat kelompok untuk mengembangkannya ke arah bisnis. Pemberdayaan Poklahsar
melalui usaha olahan hasil perikanan laut dinilai dapat mendukung Program Industrialisasi bidang
perikanan.

(PUMP) P2HP: Program pengembangan usaha mina pedesaan yang dicanangkan oleh Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP). Program ini berbentukpemberdaya dan
peningkat pendapatan masyarakat. Program ini diharapkan bisa membantu wirausaha kecil bidang
pengolahan dan pemasaran perikanan untuk meningkatkan skala usahanya sehingga mampu
meningkatkan pendapatan mereka serta membuka lapangan kerja baru. Pada tahun 2011 telah
dicanangkan targetpengucuran dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUMP kepada 408
Poklahsar Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) yang tersebar di 51 kabupaten dan 22 provinsi
seluruh Indonesia. Masing-masing kelompok akan memperoleh bantuan sebesar Rp. 50 juta, sehingga
total keseluruhan berjumlah 20,4 Miliar. Dana yang diberikan akan langsung dibelikan barang-barang
sesuai yang tertera di Rencana Usaha Bersama (RUB) yang disusun bersama tenaga pendamping.
Adapun bidang usaha yang akan diberikan bantuan adalah usaha yang memberikan nilai tambah dan
prospek yang baik bagi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

358

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan untuk menjadi pengusaha yang berdaya
saing dan memiliki kemandirian. Program PUMP-P2HP adalah merupakan fasilitasi
bantuan pengembangan usaha bagi pengolah dan pemasar hasil perikanan dalam
wadah POKLAHSAR sebagai kelembagaan pelaksana PUMP P2HP yang dimulai
sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang (p2hp.kkp.go.id, 2015).
Sementara itu, pengembangan usaha sektor perikanan laut khususnya di
kawasan Lamongan dan Gresik memegang peranan strategis dalam memperluas
lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakatnya. Pembangunan sektor ini
sekaligus dapat mendorong pertumbuhan industri berbasis lokal yang sangat potensial
dan berdampak nyata, terutama bagi para ibu-ibu/perempuan sebagai pelaku usaha
rumahan untuk terus dapat mengembangkan usahanya dengan sumber bahan baku
yang tetap terjaga ketersediaannya. Pemberdayaan UMKM pengolahan hasil laut di
kawasan Lamongan dan Gresik diharapkan dapat menjadi alternatif pilihan
pengembangan sumber daya perikanan laut yang sekaligus menghindari kerugian dari
pemanfaatan hasil laut yang tidak jelas arah pengolahannya. Pemberdayaan ini juga
selanjutnya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan
mendukung pembangunan daerah. Tetapi pada kenyataannya pemberdayaan UMKM
pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik belum nampak terlaksana
secara

berkesinambungan

dalam

implementasinya.

Berdasarkan

observasi

menunjukkan bahwa pemberdayaan UMKM pengolahan hasil laut di kawasan Gresik


dan Lamongan telah dilakukan oleh masyarakat bersama pihak-pihak yang terkait
melalui bantuan langsung termasuk permodalan pada POKLAHSAR,fasilitasi
penguatan usaha danpeningkatan kapasitas kelembagaan POKLAHSAR melalui
sosialisasi, pelatihan dan pendampingan. Sasaran program pemberdayaan tersebut
adalah 12 menu bidang usaha pengelolaan dan 1 menu bidang pemasaran, yaitu; 1)
Usaha Pengolahan Abon Ikan; 2) Usaha Pengolahan Kerupuk/Snack Ikan; 3) Usaha
Pengolahan Bakso Ikan; 4) Usaha Pengolahan Nugget Ikan; 5) Usaha Pengolahan
Kaki Naga/Ekado/Siomay; 5) Usaha Pengolahan Sosis Ikan; 7) Usaha Pengolahan
Dodol/Selai/Permen/Manisan Rumput Laut; 8) Usaha Pengolahan Bandeng Tanpa
Duri/Bandeng Presto; 9) Usaha Pengolahan Ikan Pindang; 10) Usaha Pengolahan
Ikan Kering/Asin; 11) Usaha Pengolahan Ikan Panggang/Asap; 12) Usaha Kerajinan

359

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kulit Kerang/Hasil Sampingan Perikanan Lainnya, serta; 13) Usaha Pemasaran. Dari
kedua belas menu bidang tersebut, POKLAHSAR dapat menggunakan dana BLM
PUMP-P2HP6 untuk membiayai usaha pemasaran hasil perikanan terdiri dari; a)
pembelian alat pemasaran sesuai dengan standar mutu, antara lain pisau, talenan
akrilic, wadah perebusan, wajan penggorengan, kompor, keranjang/trays, timbangan,
wadah/bak besar/tong, wadah/ember, akuarium, tabung gas oksigen, aerator, blower,
peti berinsulasi (cool box), pembeku (freezer), dan peralatan pendukung pemasaran
lainnya, b) pembelian bahan kemasan, c) pembelian sarana pemasaran bergerak
(sepeda, kereta dorong/gerobak, sepeda motor roda tiga) atau tidak bergerak (display
atau rak/meja pajang/etalase), dan d) Pembelian mesin pencetak tanggal kadaluwarsa.
Dari pelaksanaan konsep pemberdayaan tersebut di atas masih terlihat bersifat
top down yang lebih mengedepankan pelaksanaan program-program dari pemerintah
dan kurang menyentuh pada aspek-aspek strategis yang diangkat dari permasalahanpermasalahan usaha pada sektor tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sasara menu
bidang pemasaran yang lebih pada penyediaan fasilitas/infrastruktur dibandingkan
dengan program-program pemasaran yang lebih strategis seperti penguatan merek
dagang (branding), saluran pemasaran, distribusi, iklan komersial, penjaminan mutu
dan lain sebagainya. Maka daripada itu perlu dilakukan pengkajian lebih jauh
terutama pada menu bidang pemasaran terkait pada produk olahan hasil laut di
kawasan Gresik dan Lamongan tersebut. Dengan demikian maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana manajemen strategi pemasaran yang
tepat dalam mengembangkan industri olahan hasil laut yang lebih bersifat bottom up,
khususnya di kawasan Gresik dan Lamongan. Adapun tujuan dari kajian ini adalah
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menjadi elemen

Dana BLM PUMP-P2HP: Dana bantuan langsung pada masyarakat dalam Pengembangan Usaha
Mina Pedesaan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (PUMP-P2HP). Dana ini merupakan
fasilitasi bantuan pengembangan usaha bagi pengolah dan pemasar hasil perikanan dalam wadah
Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR) sebagai kelembagaan pelaksana PUMP-P2HP.
Sasaran PUMP-P2HP sebanyak 1.000 POKLAHSAR yang tersebar di 246 Kab/Kota seluruh provinsi
di Indonesia. Masing-masing kelompok akan menerima bantuan sebesar 50 juta, sehingga total bantuan
PUMP P2HP tahun 2014 adalah 50 Milyar.

360

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

strategi pemasaran dan pengembangannya, serta merekomendasikan strategi


pemasaran yang tepat untuk dapat implementasikan lebih lanjut.

TINJAUAN LITERATUR
Konsep Dasar Perumusan Strategi Pemasaran
Faktor-faktor dalam perumusan strategi harus mempertimbangkan kondisi
internal (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi eksternal (peluang dan ancaman) yang
dihadapi oleh perusahaan. Hansen dan Smith (1998) dalam David (2006),
menjelaskan bahwa perencanaan strategi melibatkan pilihan yang membahayakan
sumber daya dan trade-off yang mengorbankan peluang, artinya bahwa dalam
setiap penetapan strategi akan selalu menanggung resiko yang besar sehingga
membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan prioritas-prioritas penting yang
harus ditetapkan.

Dalam studinya Rangkuti (1998) menyatakan bahwa suatu

organisasi usaha dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi ancaman eksternal


dan merebut peluang-peluang yang ada. Penyususan strategi dimulai dengan proses
analisis, perumusan dan evaluasi strategi-strategi yang lebih dikenal sebagai
perencanaan strategis. Tujuan utama dalam perencanaan strategis adalah agar suatu
organisasi usaha dapat melihat secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal.
Dengan mengetahui dan memahami kondisi-kondisi internal dan eksternal tersebut,
maka organisasi usaha akan dapat mengantisipasi berbagai perubahan lingkungan
internal dan eksternal terkait dengan perjalanan organisasi usahanya. David (2009),
menegaskan bahwa proses dalam manajemen strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu
perumusan strategi

(strategic

formulation), implementasi

strategi

(strategic

implementation) dan evaluasi strategi (strategic evaluation). Perumusan strategi


adalah mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal
organisasi usaha, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan
jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih dan menetapkan
strategi tertentu untuk diimplementasikan. Ruang lingkup dalam implementasi strategi
menetapkan obyektif usaha yang bersifat tahunan, perumusan dan penetapan
kebijakan organisasi, pengembangan motivasi personil/karyawan, dan pengalokasian
sumber daya usaha, mengembangkan budaya organisasi dalam mendukung strategi,

361

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menciptakan struktur organisasi yang efektif, merumuskan pengembangan pemasaran,


penyediaan anggaran, pengembangan dan pemanfaatan sistem informasi, serta
mengkaitkan penghargaan personil/karyawan karyawan terhadap derajat prestasi
organisasi usaha. Sedangkan evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam manajemen
strategis itu sendiri. Para pemimpin organisasi usaha yang biasa disebut dengan
manajer sangat perlu umuk mengetahui dan memahami kapan suatu strategi usahanya
tidak bekerja/berfungsi dengan baik. Dengan demikian evaluasi suatu strategi adalah
modal dasar informasi utama dalam pengembangan strategi-strategi selanjutnya.
Adapun prosedur dalam penyusunan rencana strategis meliputi; penggunaan
metode pengumpulan data/informasi yang tepat, analisis lingkungan eksternal
(peluang dan ancaman) dan analisis lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan).
Menurut Hit (2001), analisis lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) didasarkan
pada peluang (opportunities), yaitu kondisi-kondisi dalam lingkungan umum yang
dapat membantu organisasi mencapai kemapanan kemampuan dalam bersaing
(competitiveness). Kedua adalah ancaman (threats), yaitu kondisi-kondisi dalam
lingkungan umum yang dapat mengganggu usaha organisasi dalam mencapai daya
saing strategisnya. Adapun komponen dari analisis eksternal terdiri dari: scanning,
yaitu mengidentifikasi petunjuk awal dari berbagai perubahan dan kecenderungan
pergerakan dan pergeseran lingkungan; monitoring, adalah mendeteksi makna-mkna
melalui observasi secara terus-menerus atas perubahan-perubahan dan kecenderungan
perubahan dan pergeseran lingkungan; forecasting, adalah mengembangkan proyeksi
dari hasil yang berhasil diantisipasi berdasarkan perubahan-perubahan dan
kecenderungan yang telah termonitor; assessing, menentukan dan menetapkan waktu
eksekusi strategi bagi organisasi dan manajemennya. Selanjutnya Hit (2001)
menyatakan bahwa analisis lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) terdiri dari;
kekuatan (strengths) yaitu sumber daya, ketrampilan atau keunggulan-keunggulan
relatif lain terhadap pesaing maupun kebutuhan dan ekspektasi masyarakat yang
dilayani atau ingin dilayani oleh organisasi; kelemahan (weakness) yaitu keterbatasan
atau kekurangan dalam sumber daya, ketrampilan dan kapabilitas yang secara dapat
menghambat kinerja organisasi. Kekuatan (distinctive competencies) adalah kekuatan
organisasi usaha yang tidak dapat dengan mudah ditandingi atau ditiru oleh pesaing

362

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

seperti misalnya kemampuan yang berharga (valuable capabilities), kemampuan yang


langka (rare capabilities), kemampuan yang tak dapat ditiru dengan dengan baik
(imperfectly

imitable

capabilities),

kemampuan

yang

tak

dapat

diganti

(nonsubstituable capabilities).
Dari berbagai literatur di atas menunjukkan bahwa keunggulan bersaing
adalah inti dari kinerja organisasi usaha dalam persaingan pasar. Tingginya tingkat
persaingan usaha menuntut setiap organisasi untuk saling melahirkan berbagai produk
maupun jasa yang memiliki daya saing tinggi. Organisasi usaha yang memiliki daya
saing tinggi adalah yang mampu melahirkan produk baru secara cepat dengan periode
waktu pengembangan produk yang pendek. Lindelof dan Hans Lofsten (2004) dalam
studinya mengkaji konsep daya saing didasarkan pada aspek strategi, karena strategi
itu sendiri dapat meningkatkan daya saing melalui pengembangan produk, harga yang
kompetitif, pengembangan teknologi dan menganalisis perilaku pesaing usaha.
Pendekatan ini dilakukan melalui positioning analisys di mana bisnis organisasi usaha
akan dijalankan, di wilayah mana persaingan terjadi, dan organisasi usaha melakukan
resource base-analysis bagaimana perusahaan dapat bersaing. Sehingga daya saing
didefinisikan sebagai hasil atas pemahaman secara menyeluruh dari aspek eskternal
dan internal yang memberikan pengaruh kuat terhadap organisasi usaha (Grant, 1991).
Sementara

itu,

Hitt

(2001)

berpendapat

bahwa

ketika

organisasi

usaha

mengimplementasikan suatu strategi yang tidak dapat ditiru oleh yang lain untuk
menirunya, maka organisasi usaha ini memiliki keunggulan persaingan yang kuat atau
dapat bertahan (sustained atau sustainable competitive advantage) yang selanjutnya
disebut sebagai keunggulan persaingan. Sedangkan menurut DAveni dan Gunther
(dalam Winardi, 2003), posisi kompetitif suatu organisasi usaha perlu untuk
dipertahankan selama mungkin. Hanya saja suatu keunggulan dapat bertahan sampai
dengan pihak pesaing dapat meniru dan mengungguli keunggulan dan keunikan yang
dimiliki oleh organisasi usaha tersebut. Menghadapi hal tersebut maka perlu
diciptakan suatu keunggulan yang bersifat temporer yang disebut dengan hyper
competitive. Keunggulan jangka pendek tersebut bagi organisasi usaha akan secara
efektif dapat menciptakan suatu keunggulan jangka panjang yang dapat bertahan di
pasar (DAveni dan Gunther (1998), dalam Winardi, 2003). Untuk membangun

363

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, menurut Walker (2007) yang harus


dilakukan oleh organisasi usaha adalah mengoptimalkan resources capabilities yang
terdiri dari value drivers, cost drivers, retaining customers dan preventing imitation.
Value drivers dan cost drivers akan menciptakan posisi pasar yang kuat (superior
market position), sedangkan retaining customers dan preventing akan memberikan
kemampuan untuk bertahan dalam posisi pasar (defendable market position). Jika
kedua faktor ini mampu dipertahankan maka organisasi usaha akan dapat
mewujudkan keunggulan kompetitifnya yang berkelanjutan.
Sehubungan dengan perumusan strategi berbasis pada pencapaian keunggulan
bersaing di atas, menurut David (2006) teknik perumusan strategi dapat diintegrasikan
ke dalam kerangka kerja pengambilan keputusan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu
tahap input, tahap pencocokan dan tahap keputusan. Tahap input adalah meringkas
informasi dasar yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi, sedangkan tahap
pencocokkan berfokus pada menciptakan alternatif strategi yang layak dengan
mencocokkan faktor eksternal dan internal kunci. Tahap terakhir adalah tahap
keputusan untuk mengevaluasi secara objektif alternatif-alternatif strategi yang layak
untuk diimplemetasikan dan memberikan dasar tujuan untuk memilih strategi yang
spesifik. Konsep strategi yang disajikan dalam kerangka kerja tersebut dapat
diaplikasikan untuk semua ukuran dan tipe organisasi usaha. Berikut ini adalah model
kerangka kerja perumusan strategi tersebut.
Tabel 1. Model Kerangka Kerja Perumusan Strategik
Tahap 3: Tahap Input (Input Stage)
Matriks Evaluasi Faktor
Matriks Profil Persaingan
Matriks Evaluasi Faktor
Eksternal (External Factor (Competitive Profile MatrixInternal (Internal Factor
Evaluation-EFE)
CPM)
Evaluation-IFE)
Tahap 2: Tahap Pencocokan (Matching Stage)
Matriks AncamanMatriks Evaluasi Matriks
Matriks
Matriks
Peluang-KelemahanTindakan dan
Boston
InternalStrategi
Kekuatan (TreatsPosisi Strategik
Consulting
Eksternal
Besar (Grand
Opportunities(Strategic
Group (BCG) (IE)
Strategy)
Weakness-Strength
Position and
TOWS
Action Evaluation
SPACE)
Tahap 3: Tahap Keputusan (Decision Stage)
(Quantitative Strategic Planning Matrix- QSPM)
Matriks Perencanaan Strategik kuantitatif

Sumber: David (2009)

364

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Terkait dengan perumusan strategi berbasis keunggulan bersaing, lebih


spesifik strategi yang dapat dimplementasikan dalam menghadapi persaingan pasar
adalah strategi pemasaran. Strategi pemasaran merupakan jantung dari perencanaan
pemasaran. Strategi pemasaran merupakan suatu rencana tindakan yang pada
umumnya dilakukan oleh seorang manajer pemasaran. Dalam merencanakan strategi
pemasaran, seorang manajer pemasaran harus dapat mengambil suatu keputusan
dalam mengelolah piranti-piranti pemasaran yang dimiliki organisasi usaha untuk
mencapai tujuan pemasaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. Menurut Tull dan
Kahle dalam Tjiptono (2005) mendefenisikan strategi pemasaran sebagai alat
fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan
mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang
dimasuki dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran
tersebut. Sedangkan menurut Kotler (1999) strategi pemasaran adalah logika-logika
yang

diimplementasikan

dengan

harapan

bisnis

dapat

mencapai

sasaran

pemasarannya. Strategi pemasaran terdiri dari strategi yang spesifik untuk pasar
sasaran, penentuan posisi produk, bauran pemasaran, dan tingkat pengeluaran
pemasaran. Perumusan strategi pemasaran merupakan bagian dan keseluruhan proses
pemasaran yang paling penting dan sulit untuk dilakukan oleh seorang manajer
pemasaran. Strategi pemasaran memungkinkan keputusan operasional membawa
organisasi usaha pada keselarasan dengan pola peluang yang terus berkembang yang
oleh analisis sebelumnya dibuktikan kemungkinan keberhasilan terbesar.
Sementara itu strategi pemasaran pada dasarnya adalah pola pikir pemasaran
yang akan digunakan oleh organisasi usaha untuk mencapai tujuan pemasarannya.
Strategi pemasaran juga menetapkan suatu target pasar dan suatu bauran pemasaran
terkait. Hal ini merupakan suatu gambaran besar dari apa yang perusahaan akan
lakukan dalam beberapa pasar (Pasaribu, 2008). Metode penentuan strategi pemasaran
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu AHP, QSPM
(Quantitative Strategic Planning Matrix) dan lain-lain. Keuntungan dengan
menggunakan matriks QSPM adalah strategi-strategi dapat diperiksa secara berurutan
dan bersamaan, serta tidak ada batas untuk jumlah strategi yang dapat dievaluasi
secara sekaligus (Zulkarnaen dan Sutopo, 2013). Menurut Ramadhan dan Shofiyah

365

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

(2013), tujuan QSPM adalah untuk menentukan alternatif strategi pemasaran yang
baik atau yang menjadi prioritas untuk dijalankan organisasi usaha, sehingga metode
ini dapat diaplikasikan pada UMKM industri olahan hasil laut untuk merencanakan
strategi pemasaran dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal UMKM
kemudian dianalisis dengan merumuskan beberapa strategi alternatif melalui analisis
matrik TOWS. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif dalam
merumuskan strategi melalui QSPM serta dapat meningkatkan produktivitas UMKM
industri olahan hasil laut tersebut.

Industri Olahan Produk Hasil Laut Kawasan Lamongan dan Gresik


Pengolahan produk hasil perikanan di Indonesia adalah sebesar 57,05 % dari
total produksi tangkapan yang dimanfaatkan dalam bentuk basah, sedangkan 30,19 %
bentuk olahan tradisional, dan sebesar 10,90 % dalam bentuk olahan modern serta
olahan lainnya 1,86%. Sementara dari ekspor tahun 2014 sebesar 83% diantaranya
didominasi produk olahan modern sedangkan produk olahan tradisional hanya sekitar
6 % (LAKIP-KKP 2014, 2015). Disisi lain ikan hasil tangkapan samping (HTS) dari
pukat udang dan tuna serta sisa olahan (by product) industri perikanan belum
dimanfaatkan secara optimal, sehingga ikan hasil tangkapan samping khususnya ikanikan non ekonomis hasil industri tidak termanfaatkan. Salah satu upaya dalam
meningkatkan nilai dan mengoptimalkan pemanfaatan produksi hasil tangkapan laut
adalah dengan pengembangan produk bernilai tambah, baik dalam bentuk olahan
tradisional maupun modern. Hanya saja produk bernilai tambah yang diproduksi di
masih dari ikan ekonomis seperti tuna/udang kaleng, tuna steak, lemuru dan lain
sebagainya yang memiliki nilai jual meskipun tanpa dilakukan proses lanjutan.
Sedangkan apabila ingin merubah nilai jual ikan non ekonomis maka salah satu cara
yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan produk hasil perikanan agar lebih
bisa diterima oleh masyarakat dan sesuai kebutuhan dan keinginan pasar.
Demikian halnya usaha penangkapan ikan laut di kawasan Lamongan terpusat
di perairan Laut Jawa pada wilayah Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran
yang memiliki 5 (lima) Tempat Pendaratan Ikan (TPI), yaitu mulai dari arah timur ke
barat (Weru, Kranji, Brondong, Labuhan dan Lohgung). Dilihat dari produksinya

366

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

paling tinggi adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang mencapai kurang
lebih 100 ton/hari, dibandingkan dengan keempat pangkalan pendaratan ikan yang
lain yaitu Weru, Kranji, Labuhan dan Lohgung yang hanya mencapai 10 ton/hari.
Kecamatan Paciran Lamongan pada sektor perikanan tangkap memiliki luas areal
panjang pantai +14,6 km dengan lebar 4 mil laut dengan jumlah nelayan yang ada
sebanyak 20.058 orang (lamongankab.go.id, 2015). Sedangkan jumlah armada kapal
penangkapan yang digunakan sebanyak 3.390 unit dengan berbagai jenis alat tangkap.
Alat tangkap yang digunakan diantaranya adalah purse seine, gill net (bringsang,
rajungan), payang, pancing/rawai, bubu, dan tramel net. Ikan yang tertangkap terdiri
dari berbagai jenis antara lain; tongkol, kembung, kuningan, ajahan, layang, mata
besar/swangi, teri, rajungan, tongkol, cumi-cumi, udang, layur, tengiri dan lain-lain.
Sementara pemasaran ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tersebut didukung dengan
keberadaan 2 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan) yaitu: PPI Desa Weru dan PPI Desa
Kranji. Produksi ikan hasil tangkap yang didaratkan di PPI Kranji mencapai 3.997,6
ton dan PPI Weru mencapai 2.574,6 ton. Sedangkan Koperasi yang ikut mendukung
potensi perikanan dan kelautan di wilayah tersebut sebanyak tiga unit, yakni KUD
Tani Bahari Paciran, Koperasi Serba Usaha TONGKOL Desa Kranji dan Koperasi
Nelayan

Lamongan

(KOPNELA)

yang

memiliki

peran

strategis

dalam

pengembangan usaha olahan hasil laut dari masyarakat.


Industri olahan hasil laut di kawasan Lamongan sendiri pada dasarnya sudah
tumbuh dan berkembang sejak lama, hanya saja pada tahun 2011, tepat dengan saat
dinas perikanan Lamongan yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan UMKM,
bentuk usaha ini mulai di minati dan berkembang di kalangan masyarakat.
Permasalahan awal dalam memulai bisnis olahan hasil laut bagi masyarakat adalah
kesulitan dalam membuat logo dan nama brand yang tepat. Dengan demikian Dinas
Perikanan Lamongan secara proaktif memberikan dukungan dalam bentuk pelatihanpelatihan usaha dan pendapingan, termasuk diantaranya memberikan saran dalam
strategi branding bagi produk-produk olahan hasil laut dari masyarakat Lamongan.
Hal ini juga didorong oleh pemahaman bahwa produk hasil laut ketika orang tidak
mengolahnya menjadi bentuk olahan lain (diversifikasi) maka produk hasil laut tidak
akan memiliki harga jual yang tinggi.

367

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Begitu halnya dengan kawasan Gresik yang berada antara 7 derajat dan 8
derajat Lintang Selatan dan antara 112 derajat dan 113 derajat Bujur Timur. Sebagian
besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di
atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di bagian utara (Kecamatan Panceng)
mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas permukaan laut. Bagian Utara
Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian Timur dibatasi oleh Selat Madura
dan Kota Surabaya, bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan
Kabupaten Mojokerto, sementara bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten
Lamongan. Hampir sepertiga bagian dari wilayah Kabupaten Gresik merupakan
daerah pesisir pantai, yaitu sepanjang 140 Km meliputi Kecamatan Kebomas,
sebagian Kecamatan Gresik, Kecamatan Bungah dan Kecamatan Ujungpangkah,
Sidayu dan Panceng, serta Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura yang
berada di Pulau Bawean.
Dalam pengembangan UMKM industri olahan hasil laut, Gresik tidak jauh
berbeda dengan Lamongan. Gresik sebagai tujuan pengembangan kawasan
Minapolitan tidak hanya terfokus pada pengembangan komoditas unggulan saja,
tetapi juga pengembangan agro industri sebagai faktor penunjang. Adapun produkproduk diversifikasi olahan ikan di kawasan Gresik adalah krupuk ikan, yang
merupakan kegiatan pengolahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Sidayu,
Ujung pangkah, Panceng dan Bungah. Hal ini dikarenakan pembuatan kerupuk ikan
yang relatif mudah, tetapi masih perlu penyediaan teknologi untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitasnya. Produk selanjutnya adalah kerajinan yang masih jarang di
jumpai di kawasan Gresik. Kerajinan ini lebih banyak memanfaatkan sisa kulit ikan
pari sebagai bahan baku tas dan dompet. Adapun produk lain yang dikembangkan
adalah petis di Kecamatan Bungah dan Sidayu. Produk ini memanfaatkan sisa-sisa
udang yang kualitasnya rendah. Produk-produk olahan hasil laut lain yang belum
dijumpai tetapi akan menjadi potensi diversifikasi olahan di kawasan Gresik adalah
ikan kaleng dan tepung ikan.

368

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
Kajian ini dilaksanakan di kawasan Lamongan dan Gresik yang masingmasing lokasi akan diambil 3 sampel industri olahan hasil laut sejenis (sebagai
perwakilan dari tipe usaha baik tingkat mikro, kecil dan menengah) 7 dengan total
enam sampel. Tahapan kajian diawali dari survei pendahuluan dan studi literatur,
identifikasi dan perumusan masalah, penentuan metode, perencanaan sampel,
penyusunan kuesioner, pengumpulan data, analisis data dan pengolahan hasil, analisis
TOWS, penyusunan QSPM, serta penyusunan kesimpulan dan saran. Identifikasi dan
perumusan masalah digunakan dalam kajian ini untuk memudahkan dalam
menentukan arah penyelesaian masalah perusahaan. Responden yang terdapat pada
penelitian adalah pihak yang berkompeten serta mengetahui secara keseluruhan
kondisi usahanya baik secara internal maupun eksternal. Pihak yang akan mengisi
kuesioner dari keenam sampel industri adalah pemilik usaha (owner), kepala unit
bagian pertokoan (pemasaran) dan kepala unit bagian pengolahan (produksi). Metode
yang digunakan dalam penentuan responden adalah non-random sampling, dimana
item yang dipilih sebagai sampel disesuaikan dengan kebutuhan, penilaian ahli, atau
jenis penelitian yang dilakukan secara sadar, dan pemilihan sampel tidak dilakukan
secara kebetulan (Willemse, 2009). Pendekatan Expert judgement (penilaian dari ahli)
juga digunakan untuk mengetahui bagaimana probabilitas dari akibat yang akan
muncul sebab adanya suatu kejadian. Metode ini memberikan kepercayaan kepada
ahli untuk mengetahui akibat yang akan terjadi (Harinaldi, 2005). Selanjutnya
7

USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM): Berdasar Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2008, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dengan aset maks. 50Juta dan omset maks. 300Juta;
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha
menengah atau usaha besar dengan asset maks. 50-500Juta dan omset maks. 300Juta-2,5M. Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan 500Juta-10M juta dan omset
maks. 2,5M-10M.

369

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

penyusunan kuesioner kemudian disusun setelah dilakukan penentuan sampel


responden.
Analisis data terdiri dari beberapa tahapan diantaranya adalah analisis matriks
Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE), analisis
matriks Internal-Eksternal (IE), analisis matriks TOWS, dan terakhir adalah analisis
menggunakan QSPM. Analisis lingkungan internal dan eksternal perusahaan
dilakukan dengan pemberian bobot tingkat kepentingan terhadap faktor internal dan
eksternal yang telah disusun, kemudian dilakukan penilaian rating terhadap faktor
internal eksternal tersebut. Total dari keseluruhan bobot faktor internal adalah 1, total
bobot faktor eksternal adalah 1. Total skor pada matriks IFE dan EFE digunakan
untuk menentukan posisi perusahaan saat ini, dan strategi apa yang dapat diterapkan
pada perusahaan. Parameter yang digunakan dalam matriks IE meliputi parameter
kekuatan internal dan pengaruh eksternal yang dihadapi. Tujuan penggunaan model
ini adalah untuk memperoleh strategi usaha yang lebih detail. Tahap selanjutnya
setelah penentuan posisi perusahaan menggunakan matriks IE adalah penyusunan
matriks TOWS. Matriks TOWS disusun berdasarkan faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman yang diperoleh dari hasil analisis dan diskusi dengan pakar.
Penyusunan matriks TOWS bertujuan untuk menyusun alternatif strategi yang dapat
digunakan untuk pengembangan perusahaan. Tahap selanjutnya yaitu melakukan
validasi isi kuesioner dengan pihak yang dianggap mengetahui faktor internal maupun
eksternal perusahaan dari pemilik usaha. Validasi ini dilakukan secara face validity.
Face validity merupakan kesepakatan penilaian subjektif para pakar mengenai apakah
indikator benar-benar merupakan ukuran yang tepat untuk mengukur suatu konstruk
(Prasetyo dan Jannah, 2010).

370

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan


selanjutnya adalah matriks TOWS yang dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat
diselesaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Jannah et al., 2013).
Alternatif strategi yang telah disusun kemudian dilakukan analisis dan dilakukan
penilaian dengan menggunakan skor ketertarikan oleh pakar dengan QSPM. Pakar
memberikan penilaian dengan membandingkan setiap faktor internal dan eksternal
perusahaan dengan alternatif strategi yang telah disusun tersebut, sehingga QSPM
memungkinkan para penyusun strategi untuk mengevaluasi berbagai strategi alternatif
secara objektif, berdasarkan faktor internal-eksternal yang telah diidentifikasi
sebelumnya (Fretes et. al., 2013).
Adapun diagram matriks prosedur dalam kajian ini adalah sebagai berikut;
Mulai

Identifikasi Masalah
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Identifikasi Variabel
Penentuan Responden
Penyusunan Kuesioner
Uji Validitas (Face
Validity)
Valid
Tidak

Ya
Penyebaran Kuesioner
Pengolahan Data;
Matriks IFE
Matriks IE
Matriks TOWS
Matriks QSP

Kesimpulan

371

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Prosedur Kajian


Menurut David (2009), dalam penyusunan strategi pemasaran dengan menggunakan
metode

Quantitative

Strategic

Planning (QSPM) dapat

dilakukan dengan

menggunakan tiga tahap pelaksanaan analisis data sebagai berikut:


Tahap 1: The Input Stage
Matriks IFE, Matriks EFE

Tahap 2: The Matching Stage


Matriks TOWS, Matriks IE

Tahap 3: The Decision Stage


Matriks QSP

Gambar 2. Tahapan Analisis Data


Secara lebih terperinci tahapan analisis data adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pemasukan (The Input Stage)
Matriks yang digunakan dalam tahap pemasukan adalah Internal Factor
Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation. Analisis internal dilakukan
untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Matriks
External Factor Evaluation (EFE) digunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang menjadi peluang dan ancaman perusahaan. Tahapan ini dilakukan dengan
penilaian terhadap faktor startegis internal dan eksternal perusahaan oleh
responden. Responden adalah orang yang mengerti benar kondisi dan
permasalahan perusahaan. Dalam pemberian bobot setiap faktor digunakan skala 1,
2, dan 3. Bobot setiap faktor diperoleh dengan menentukan nilai setiap faktor
terhadap jumlah nilai keseluruhan dari faktor (Dudiagunoviani, 2009).
Jumlah dari semua bobot yang diberikan harus sama dengan 1.0.
Selanjutnya pemberian bobot didasarkan pada keadaan usaha yang sedang
berlangsung. Rating tiap faktor yang menunjukkan keefektifan strategi suatu

372

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

organisasi saat ini dalam merespon faktor-faktor tersebut ditampilkan pada kolom
ketiga. Untuk matriks IFE ialah 1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan kecil, 3 =
kekuatan kecil, 4 = kekuatan utama. Sedangkan untuk matriks EFE digunakan 1 =
di bawah rata- rata, 2 = rata-rata, 3 = di atas rata- rata, dan 4 = sangat bagus.
Setiap rating digandakan dengan masing-masing bobot untuk memperoleh skor
pembobotan. Karena pakar berjumlah enam maka perlu penggunaan perhitungan
aritmatika. Total skor pembobotan antara 1 sampai dengan 4, dengan nilai 1 pada
matriks IFE menunjukkan kondisi internal perusahaan yang sangat buruk,
sedangkan nilai 4 mengindikasikan situasi internal perusahaan sangat baik.

b. Tahap Pencocokan (The Matching Stage)


Teknik-teknik dari tahap pencocokan terdiri dari dua tahap, yaitu (Umar, 2007):
1) Matriks Internal dan External (IE); matriks IE terdiri dari dua dimensi, yaitu
total skor matriks IFE pada sumbu X dan matriks EFE pada sumbu Y. Matriks
IE yang mempunyai sembilan sel strategi dan dapat dikelompokan menjadi tiga
sel strategi utama yaitu (David, 2004):
a) Growth and Build (Tumbuh dan Bina) berada pada sel I, II atau IV. Strategi
yang cocok adalah intensif (penetrasi pasar, pengembangan produk) atau
integrasi (integrasi ke belakang, integrasi depan, dan integrasi horizontal);
b) Hold and Maintain (Pertahankan dan Pemeliharaan) mencakup sel III, V atau
sel VII. Strategi umum yang dipakai adalah penetrasi pasar, dan
pengembangan produk;
c) Harvest or Divest (Panen atau Divestasi) mencakup sel VI, VIII, atau IX.
Strategi yang dipakai adalah divestasi, strategi diversifikasi konglomerasi,
dan strategi likuidasi.

2) Matriks TOWS; matriks ini merupakan alat formulasi pengambilan keputusan


untuk menentukan strategi

yang ditempuh berdasarkan logika untuk

memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat

373

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

meminimalkan kelemahan dan ancaman perusahaan. Tahapan dalam menyusun


matrik TOWS adalah sebagai berikut:
a) Menyusun daftar peluang dan ancaman eksternal perusahaan serta kekuatan
dan kelemahan internal perusahaan;
b) Menyusun strategi S-O (Strenght-Opportunity) dengan cara mencocokkan
kekuatan-kekuatan internal dan peluang eksternal;
c) Menyusun strategi W-O (Weakness-Opportunity) dengan cara mencocokkan
kelemahan-kelemahan internal dan peluang-peluang eksternal;
d) Menyusun strategi S-T (Strenght-Threat) dengan cara mencocokkan
kekuatan-kekuatan internal dan ancaman-ancaman ekstenal;
e) Menyusun

strategi

W-T

(Weakness-Threat)

dengan

mencocokkan

kelemahan-kelemahan internal dan ancaman-ancaman eksternal.

c. Tahap Keputusan (The Decision Stage)


Matriks yang digunakan dalam tahap keputusan ini adalah matriks QSP. Analisis
matriks Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) digunakan untuk
mengevaluasi strategi secara obyektif berdasarkan faktor-faktor sukses utama dari
internal-eksternal yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya. Nilai AS adalah
1 = Tidak menarik, 2 = Agak menarik, 3 = Cukup menarik, 4 = Sangat menarik.
Menjumlahkan nilai TAS pada setiap kolom QSPM. Alternatif strategi yang paling
baik adalah alternatif strategi yang memiliki nilai TAS paling besar.

374

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum UMKM Olahan Hasil Laut di Kawasan Lamongan dan
Gresik
Industri pengolahan ikan di kawasan lamongan adalah industri-industri yang
mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Jumlah industri pengolahan ikan yang
terdapat di kawasan Lamongan ditunjukkan pada tabel 2:

Tabel 2. Potensi Pengolahan Ikan Kawasan Lamongan dan Gresik


Jenis Industri Pengolahan Ikan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kerupuk/makanan ringan
Pemindangan
Pengeringan (ikan asin)
Terasi
Pengasapan
Nugget ikan
Pengesan (udang dingin)

Jumlah
Lamongan
Gresik
45
51
15
28
40
22
7
12
12
7
11
18
56
47

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, 2012)


Industri pengolahan ikan terasi dan nugget hanya memproduksi untuk
kebutuhan rumah tangga saja. Sedangkan jenis industri pengolahan ikan asap, ikan
asin, ikan pindang, ikan dingin, dan kerupuk ikan, menghasilkan produk untuk dijual.
Kajian ini memfokuskan pada satu katagori industri olahan hasil laut yang sudah
menjadi produk akhir, yaitu produk kerupuk, nugget, terasi, pemindangan dan
sejenisnya. Adapun sampel perusahaan yang diambil adalah UD. Artomoro mewakili
usaha menegah, Berlian Laut mewakili usaha kecil, dan Hj. Nurhasanah mewakili
usaha mikro. Sedangkan di kawasan Gresik sampel perusahaan yang diambil adalah
CV. Mina Persada mewakili usaha menegah, Ririn Family Food mewakili usaha kecil
dan Laras Food mewakili usaha mikro.

375

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Penentuan Responden Pakar


Kajian tentang perencanaan strategi pemasaran industri olahan hasil laut di kawasan
Lamongan dan Gresik ini menggunakan responden pakar sebanyak 6 orang. Suyitman
et al. (2009) mengemukakan bahwa persyaratan responden pakar dalam analisis
strategik adalah: (a) Memiliki pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji;
(b) Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang
dikaji; (c) Memiliki komitmen terhadap permasalahan yang dikaji (d) Bersifat netral
dan bersedia menerima pendapat responden lain; dan (e) Memiliki kredibilitas tinggi
dan bersedia dimintai pendapat. Responden perusahaan diisi oleh enam pakar yang
sekaligus sebagai pemilik (owner) atau yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan perusahaan.

Pembobotan Faktor Internal


Dalam kajian ini digunakan kuesioner pembobotan yang bertujuan mengetahui tingkat
kepentingan antar masing-masing faktor internal dan eksternal. Pembobotan ini
menggunakan metode pairwase comparison dengan membandingkan kekuatan
dengan kelemahan dan peluang dengan ancaman. Rata-rata bobot faktor internal
terbesar yaitu pada standardisasi pangan dan sertifikasi kehalalan pangan. Rata-rata
bobot faktor internal keduanya masing masing bernilai 0,15. Standardisasi pangan ini
akan membuat konsumen yang membeli merasa aman karena adanya standardisasi
yang diterapkan oleh perusahaan berdasarkan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Standar yang berlaku bagi pangan mencakup berbagai persyaratan keamanan pangan
gizi, mutu, dan persayaratan lainnya (2004). Hal ini menunjukkan pada produk
pangan atas pertimbangan manfaat, nilai gizi, dan aspek perdagangan harus
memenuhi standar mutu tertentu. Sementara itu sertifikasi kehalalan pangan sangat
diperhatikan. Beberapa masyarakat juga beranggapan apabila tidak memiliki
sertifikasi kehalalan pangan menunjukkan produk tersebut menggunakan bahan-bahan
yang tidak diperkenankan oleh agama. Bagi UD. Artomoro dan CV. Mina Persada hal
tersebut tidak menjadi permasalahan, karena seluruh produknya sudah dilengkapi
dengan standar dan sertifikat halal. Sedang bagi keempat perusahaan yang lainnya
belum seluruhnya memiliki standar sertifikat halal pada seluruh produknya.

376

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pembobotan Faktor Eksternal


Rata-rata bobot faktor eksternal terbesar yaitu upah minimum regional (UMR)
diambil dari nilai rata-rata bobot terbesar yaitu 0,12. Apabila adanya kenaikan UMR
ini akan menaikan biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk upah karyawan. Bagi UD.
Artomoro, CV. Mina Persada, Hj. Nurhasanah dan Laras Food tidak terjadi kendala.
Sedangkan bagi Berlian Laut dan Ririn Food kenaikan UMR menjadi permasalahan
yang cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai usaha kecil yang
cukup rentan terhadap perubahan UMR. Setiap adanya kenaikan UMR akan
dihadapkan pada pilihan bagi pengusaha tersebut untuk tetap berproduksi dengan
menekan biaya produksi lain atau menaikan harga jual. Hanya saja jika menekan
biaya produksi akan berdampak pada pengurangan mutu dari produk yang
diproduksinya. Sedangkan bagi Hj. Nurhasanah dan Laras Food adalah jenis usaha
mikro yang tidak terikat dengan peraturan UMR, jadi tidak terlalu berdampak pada
proses produksinya, disamping karyawannya tidak terlalu banyak dan masih bersifat
usaha keluarga.

Penilaian Rating Faktor Internal


Kuesioner rating ini digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang serta ancaman yang berpengaruh besar sampai dengan berpengaruh kecil.
Berdasarkan 6 responden didapatkan bahwa kekuatan utama yang dinilai berpengaruh
besar adalah dari penetapan harga, standardisasi pangan, sertifikat kehalalan pangan
yang tersedia, dan penghargaan yang diperoleh oleh karyawannya. Nilai rating dari
kekuatan tersebut masing-masing sebesar 4. Produk yang memenuhi standar akan
memiliki posisi tawar yang lebih baik dan bisa bersaing di pasaran karena mutunya
terjamin (Kastaman, 2007). Sertifikasi kehalalan pangan menjadi penting untuk
berbagai produk makanan olahan, khususnya di Indonesia dengan mayoritas
masyarakatnya adalah muslim. Kemudian masalah penetapan harga yang menjadi
bagian dari kekuatan adalah sangat berpengaruh, hal ini disebabkan karena konsumen
cenderung memilih produk dengan harga yang sesuai dan terjangkau atau murah.

377

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Sedangkan masalah kelemahan utama yang berpengaruh besar berdasarkan


nilai rating adalah media promosi, iklan dan kemasan yang cenderung sama persis
dengan produk-produk sejenis. Media promosi dan iklan memperoleh nilai rating
terkecil yaitu 1. Hal ini dinilai berdampak cukup signifikan, karena dengan adanya
promosi dan iklan maka produk akan dapat dikenal lebih luas. Namun demikian
media promosi dan iklan sangat membutuhkan biaya tinggi, sehingga rata-rata
perusahaan tersebut cukup kesulitan dalam meminimasi kelemahan ini. UD.
Artomoro, dan CV. Mina Persada tidak memerlukan media iklan dalam memasarkan
produk-produknya, karena mereka sudah memiliki saluran pemasarannya tersendiri,
tetapi mereka tetap memanfaatkan media promosi melalui outlet-outlet di
supermarket-supermarket dan retail-retail di jaringan pemasarannya. Sedangkan untuk
perusahaanya yang lainnya lebih menggunakan iklan dari media sosial maupun online
seperti twitter, facebook, blog dan program-program pembinaan UMKM dari
pemerintah baik pusat maupun daerah, seperti ivent-ivent maupun pameran-pameran
dagang yang setiap tahun diselenggarakan.
Kelemahan lainnya adalah masalah kemasan yang sama persis dengan produk
sejenis dengan nilai 1. Apabila kemasan memiliki kesamaan dengan produk sejenis
maka konsumen cenderung mudah untuk lupa dengan produk tersebut. Jika kemasan
terlihat sama dengan produk para pesaingnya, maka secara naluria konsumen
menganggap produk-produk tersebut memiliki standar yang sama dan dari sumber
produsen yang sama pula, maka dari itu difrensiasi dari kemasan produk menjadi
sangat penting untuk membedakan dengan produk dari produsen yang lain. Tidak
adanya ciri khas yang menonjol pada kemasan tersebut dapat menyulitkan konsumen
untuk membedakan dengan produk dari produsen lain, tetapi juga menjadikan sebagai
daya tarik tersendiri atas produk tersebut. Dalam hal ini masalah kemasan bagi Hj.
Nurhasanah dan Laras Food menjadi persoalan yang cukup serius. Hal tersebut
dikarenakan komponen kemasan cukup menuntut biaya tinggi bagi perusahaan dan
membebani biaya produksi, terutama bagi perusahaan yang masih berskala mikro dan
kecil yang cenderung menempatkan komponen biaya kemasan belum menjadikan
prioritas dalam strategi pemasarannya.

378

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Penilaian Rating Faktor Eksternal


Berdasarkan penilaian rating pada faktor eksternal produk makanan ringan
dalam kemasan (snakcs) dan Abon ikan adalah peluang yang cukup menjanjikan,
selain bahan baku yang murah dan cukup berlimpah ketersediaanya. Hal ini dilihat
dari nilai rating dari keduanya yaitu bernilai 4 sebagai nilai terbesar. Produk tersebut
memberikan pengaruh yang sangat besar karena Lamongan dan Gresik cukup kaya
akan sumber bahan baku yang dapat diolah menjadi produk olahan hasil laut yang
mudah dikonsumsi langsung, yaitu makanan ringan dalam kemasan seperti chesse
stick ikan tuna, crispy duri ikan dan Abon tuna dan lain sebagainya. Dengan demikian
penetapan harga merupakan satu faktor yang sangat penting dalam pemasarannya,
dimana harga dapat mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan dalam
membeli produk tersebut (Kotler, 2003),
Ancaman yang memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap perusahaan
dapat dilihat dari nilai rating terkecil yaitu bernilai 1. Ancaman tersebut adalah
masalah regulasi pemerintah dengan tidak menerbitkan subsidi, penetapan UMR,
adanya pesaing sejenis dan masalah keadaan alam yang tidak dapat diprediksi yang
dampaknya pada konsistensi ketersediaan bahan baku.

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)


Perhitungan matriks IFE didasarkan pada matriks IFE (Internal Factor
Evaluation). Matriks IFE ini digunakan untuk mengetahui peranan di dalam faktor
internal pada keenam perusahaan yang diobservasi. Penilaian dapat diketahui dengan
menggunakan bobot dan rating pada kekuatan dan kelemahan untuk mendapatkan
nilai rata-rata tertimbang. Dari nilai rata-rata tertimbang tersebut dapat ditentukan
strategi yang akan digunakan bagi masing-masing perusahaan. Setelah dilakukan
perhitungan pada matriks IFE dapat diketahui apabila kekuatan utama pada rata-rata
tertimbang terbesar yaitu pada standardisasi pangan dengan nilai 0,41 - 0,52 sebagai
rata-rata tertimbang terbesar, sedangkan pada kelemahan utama diketahui dari ratarata tertimbang terkecil senilai 0,01 0,08 yaitu kemasan yang serupa/mirip dengan
kompetitor. Matriks IFE tersebut dapat dilihat berdasarkan Tabel 2.

379

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 2. Matriks IFE


UD. Artomoro
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Bobot

Rata-Rata
Rating

Skor

0,12
0,11
0,10
0,13
0,13
0,09
0,68

2,4
3,2
3,4
4
4
4

0,28
0,38
0,32
0,52
0,53
0,34
2,37

0,10
0,09
0,08
0,05
0,32
1.00

1,9
1,2
1
1

0,18
0,12
0,09
0,02
0,41
2,78

Berlian Laut
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Rata-Rata
Bobot
Rating

Skor

0,11
0,13
0,16
0,12
0,12
0,09
0,73

2,4
3,2
4
4
4
2,2

0,21
0,36
0,31
0,42
0,43
0,24
1,97

0,15
0,07
0,04
0,01
0,27
1,00

1,6
1,5
3,9
1

0,18
0,11
0,08
0,07
0,44
2,41

380

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Usaha Hj. Nurhasanah


Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Rata-Rata
Bobot
Rating

Skor

0,11
0,13
0,09
0,17
0,11
0,09
0,70

3,2
3,7
3,8
4
4
4

0,22
0,25
0,36
0,41
0,50
0,44
2,18

0,10
0,05
0,08
0,07
0,30
1,00

1,7
1,4
3,9
1

0,18
0,11
0,08
0,07
0,44
2,62

CV. Mina Persada


Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi
pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Bobot

Rata-Rata
Rating

Skor

0,16
0,15
0,12
0,11
0,18
0,06
0,78

2,9
3,4
4
3,8
4
4

0,28
0,35
0,38
0,52
0,52
0,34
2,39

0,10

1,6

0,19

0,02
0,02
0,08
0,22
1,00

1,8
1
3,6

0,13
0,09
0,08
0,49
2,88

381

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ririn Family Food


Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Bobot

Rata-Rata
Rating

Skor

0,13
0,17
0,12
0,11
0,10
0,02
0,65

2,6
3,1
4
4
3,6
4

0,32
0,31
0,35
0,54
0,51
0,32
2,35

0,08
0,08
0,13
0,05
0,35
1,00

1,6
1,1
3,2
1

0,11
0,17
0,03
0,04
0,35
2,70

Laras Food
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan

Rata-Rata
Bobot
Rating

Skor

0,17
0,13
0,13
0,11
0,18
0,04
0,76

2,9
3,1
4
3,3
4
3,5

0,25
0,32
0,31
0,51
0,56
0,31
2,26

0,12
0,05
0,04
0,03
0,24
1,00

1,5
1,9
3,5
1

0,15
0,12
0,04
0,09
0,40
2,66

Sumber: Pengolahan data primer (2015)

382

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Standardisasi pangan merupakan kekuatan utama dalam penyusunan strategi


pemasaran produk hasil olahan laut, karena dengan adanya standar pangan baik akan
mampu meyakinkan dan memikat para konsumen produk tersebut. Hal ini
dikarenakan konsumen akan merasa aman mengkonsumsi produk hasil olahan laut
tersebut. Berdasarkan standardisasi pangan, konsumen akan merasa bahwa mutu pada
produk hasil olahan laut tersebut adalah terjaga. Total nilai rata-rata tertimbang pada
Matriks IFE yaitu sebesar 2,41 2.88 hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor
internal perusahaan hasil olahan laut berada pada posisi yang kuat. Jika nilai skor
terbobot di atas 2,5 menandakan bahwa secara internal perusahaan berada pada posisi
yang kuat, sebaliknya jika nilai skor terbobot di bawah 2,5 seperti yang ditunjukan
pada perusahaan Berlian Laut dengan total nilai tertimbang sebesar 2,41 menandakan
perusahaan berada pada posisi lemah.

Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)


Berdasarkan matriks EFE dapat diketahui jika peluang utama dapat dilihat
berdasarkan rata-rata tertimbang terbesar, yaitu pada peningkatan pendapatan daerah
dan daya beli masyarakat seperti pada pada Tabel 3. Peningkatan pendapatan daerah
dan daya beli masyarakat merupakan peluang utama, karena hal ini berhubungan
dengan kebutuhan hidup masyarakat secara umum. Dengan adanya peningkatan
pendapatan daerah dan meningkatnya daya beli masyarakat maka akan semakin
meningkat pula daya beli masyarakat/konsumen terhadap suatu produk. Produk
olahan hasil laut ini adalah peluang usaha, karena sifat produknya yang bersifat
praktis dan mudah dibawa sebagai oleh-oleh dengan harga yang relatif terjangkau
bagi masyarakat.
Total nilai rata-rata tertimbang pada Matriks EFE yaitu sebesar 2,02 2,66 hal
tersebut mengindikasikan bahwa eksternal perusahaan berada pada posisi yang lemah.
Jika nilai skor terbobot di atas 2,5 menandakan bahwa secara eksternal perusahaan
berada pada posisi kuat seperti pada UD. Artomoro.

383

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 3. Matriks EFE


UD. Artomoro
Rata-Rata
Bobot
Rating

Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Skor

0.28
0.12
0.22

2.7
3.2
4

0.24
0.33
0.30

0.12
0.74

3.3

0.52
1.89

0.11
0.03
0.04
0.02
0.03
0.03
0.23
1.00

1.4
1.9
3.5
2.6
2.1
2.2

0.16
0.13
0.05
0.06
0.02
0.08
0,50
2.66

Berlian Laut
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Bobot

Rata-Rata
Rating

0.27
0.13
0.23

2.8
3.5
4

0.26
0.35
0.31

0.13
0.76

3.1

0.51
1.43

0.10
0.06
0.03
0.02
0.01
0.02
0.22
1.00

1.2
1.4
3.6
2.2
2.4
2.1

0.18
0.16
0.09
0.02
0.07
0.07
0.59
2.02

Skor

384

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Hj. Nurhasanah
Rata-Rata
Bobot
Rating

Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Skor

0.23
0.14
0.21

2.2
3.4
4

0.21
0.39
0.32

0.15
0.73

3.2

0.57
1.49

0.17
0.02
0.02
0.03
0.02
0.01
0.26
1.00

1.1
1.6
3.8
2.8
2.3
2.6

0.11
0.19
0.02
0.07
0.08
0.07
0.54
2.03

CV. Mina Persada


Rata-Rata
Bobot
Rating

Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Skor

0.25
0.18
0.21

2.6
3.2
4

0.29
0.33
0.38

0.11
0.75

3.3

0.51
1.49

0.16
0.05
0.09
0.01
0.02
0.02
0.35
1.00

1.6
1.3
3.2
2.2
2.8
2.8

0.15
0.15
0.08
0.03
0.06
0.09
0.56
2.05

385

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ririn Family Food


Rata-Rata
Bobot
Rating

Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Skor

0.24
0.19
0.20

2.8
3.8
4

0.22
0.39
0.39

0.13
0.76

3.8

0.56
1.56

0.07
0.02
0.04
0.01
0.06
0.04
0.22
1.00

1.4
1.7
3.7
2.8
2.6
2.3

0.19
0.12
0.04
0.02
0.06
0.07
0.50
2.06

Laras Food
Rata-Rata
Bobot
Rating

Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan

beli

Skor

0.29
0.12
0.25

2.4
3.2
4

0.24
0.31
0.37

0.19
0.85

3.6

0.51
1.43

0.01
0.06
0.02
0.03
0.01
0.02
0.15
1.00

1.2
1.6
3.6
2.9
2.5
2.8

0.13
0.18
0.07
0.09
0.19
0.09
0.75
2.18

Sumber: Pengolahan data primer (2015)

386

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Matriks Internal-Eksternal
Berdasarkan matriks IFE dan EFE tersebut didapatkan total rata-rata tertimbang
matriks IFE sebesar 2,41 2,88 dengan total rata-rata tertimbang matriks EFE sebesar
2,02 2,66. Dari kedua titik tersebut ditemukan titik pertemuan dari kedua sumbu
yang berada pada sel ke V. Matriks IE dapat dilihat pada Gambar 3. Divisi pada sel
III, V, VII dapat melaksanakan strategi hold and maintain (jaga dan pertahankan)
(Siahaan, 2008). Sedangkan strategi yang umum yang diterapkan adalah melakukan
penetrasi pasar, dan pengembangan produk.

Adapun analisis matriks IE pada masing-masing perusahaan adalah sebagai berikut;


1. Matriks IE UD. Artomoro
Total Nilai Tertimbang IFE (2,78)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,66) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

1
2. Matriks IE Berlian Laut
Total
Nilai Tertimbang
(2,41)
Rata22,0-2,9 IFE
Lemah1,0-1,99
Kuat 3,0-4,0

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,02) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

387

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3. Matriks IE Usaha Hj. Nurhasanah


Total Nilai Tertimbang IFE (2,62)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,03) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

4. Matriks IE CV. Mina Persada


Total Nilai Tertimbang IFE (2,88)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,05) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

388

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

5. Matriks IE Ririn Family Food


Total Nilai Tertimbang IFE (2,70)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,41) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

1
6. Matriks IE Laras Food
Total Nilai Tertimbang IFE (2,66)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99

4
Kuat
3,0-4,0

Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,18) 2,0-2,9

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

2
Lemah
1,0-1,99

1
Gambar 3. Matriks IE pada Masing-Masing Perusahaan

389

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Strengths (S)
1. Variasi produk;
2. Mutu produk;
3. Harga kompetitif;
4. Standardisasi
pangan;
5. Sertifikat halal;
6. Penghargaanpenghargaan yang
pernah diterima.

Weaknesses (W)
1. Tidak mampu
memenuhi
Internal
permintaan pasar;
2. Bahan baku
tergantung
perubahan iklim
(musiman);
3. Media iklan dan
pemasaran yang
kurang;
Eksternal
4. Kemasan yang
hampir/mirip sama
dengan
kompetitor.
Opprtunities (O)
Strategi S-O
Strategi W-O
1. Produk olahan hasil
1. Menjaga dan
1. Menetapkan kuota
laut yang praktis dan
mempertahankan
sediaan (product
kaya gizi
mutu produk (ST 1)
stock) (ST 4)
2. Harga bahan baku
2. Mengembangkan
2. Difrensiasi
yang relatif murah;
inovasi pada variasi
kemasan (ST 5)
3. Peningkatan daya beli
produk (ST 2)
masyarakat
3. Melebarkan
4. Pergeseran gaya hidup
jaringan pemasaran
masyarakat
lebih luas (ST 3)
Treaths (T)
Strategi S-T
Strategi W-T
1. Fluktuasi harga bahan 1. Mengoptimalkan
1. Meningkatkan
baku produksi;
bahan baku dan
kegiatan promosi
2. Iklim yang tidak
menekan biaya
dengan mengikuti
dapat diprediksi;
produksi (ST 6)
ivent-ivent dan
3. Persaingan produk
2. Melakukan
pameran produksi
sejenis;
Kerjasama dengan
dengan
4. Pendatang Baru;
produsen/pemasok
menonjolkan
5. Upah Minimum
bahan baku (ST 7)
difrensiasi produk
Regional;
3. Pemberian upah
(ST 10)
6. Regulasi/kebijakan
pasti dan insentif
pemerintah terkait
(ST 8)
pengembangan
4. Menjalin kerjasama
UMKM.
institusi/lembaga/an
tar pengusaha
Sumber : Data Primer (2015)
Gambar 4. Matriks TOWS Industri Olahan Hasil Laut

390

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Matriks TOWS
Alternatif strategi pengembangan didapatkan melalui Matriks TOWS dengan
menformulasikan strategi berdasarkan penggabungan antara faktor internal dan
eksternal. Matriks TOWS bertujuan untuk memberikan alternatif strategi utama
diantaranya strategi S-O (Strength-Opportunity), W-O (Weakness-Opprtunity), S-T
(Strenght-Threat), W-T (Weakness-Threat). Berdasarkan Matriks TOWS telah
didapatkan sepuluh alternatif strategi untuk industri olahan hasil laut di kawasan
Lamongan dan Gresik seperti pada Gambar 4.

Tahap Pengambilan Keputusan (The Decision Stage)


Matriks QSPM menggunakan nilai bobot dan nilai Attractive Score (AS) yang
dinilai oleh responden perusahaan. Berdasarkan kedua nilai tersebut akan didapatkan
nilai Total Attractive Score (TAS). Strategi dengan nilai TAS terbesar menjadi pilihan
utama atau menjadi strategi prioritas, sedangkan strategi dengan nilai TAS terkecil
merupakan pilihan terakhir (Umar, 2003).
Adapun alternatif strategi pemasaran yang dapat diterapkan pada masingmasing perusahaan olahan hasil laut secara berurutan adalah sebagai berikut:
UD. Artomoro: (Usaha Menegah)
1. Strategi melakukan inovasi-inovasi pada variasi produk (ST 2). Strategi ini
mendapatkan nilai TAS terbesar yaitu 6,39;
2. Strategi menjaga dan mempertahankan mutu produk (ST 1). Merupakan strategi
prioritas kedua dengan nilai TAS sebesar 5,23;
3. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Strategi ini adalah
prioritas ke tiga dengan nilai TAS 5,14.

391

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Berlian Laut: (Usaha Kecil)


1. Strategi menjaga dan mempertahankan mutu produk (ST 1). Merupakan strategi
prioritas pertama dengan nilai TAS sebesar 6,23;
2. Strategi mengoptimalkan bahan baku dan menekan biaya produksi (ST 6). Strategi
ini adalah prioritas kedua dengan nilai TAS sebesar 5,91;
3. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Merupakan strategi
prioritas ketiga dengan nilai TAS sebesa 5,12.

Usaha Hj. Nurhasanah: (Usaha Mikro)


1. Strategi meningkatkan kegiatan promosi dengan mengikuti ivent-ivent dan
pameran produksi yang diselenggarakan/difasilitasi oleh pemerintah dengan
menonjolkan difrensiasi produknya (ST 10). Strategi ini adalah prioritas pertama
dengan nilai TAS sebesar 6,11;
2. Strategi mengoptimalkan bahan baku dan menekan biaya produksi (ST 6). Strategi
ini adalah prioritas kedua dengan nilai TAS sebesar 5,56;
3. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Strategi ini adalah
prioritas ketiga dengan nilai TAS sebesar 5,05.

CV. Mina Persada: (Usaha Menegah)


1. Strategi menjaga dan mempertahankan mutu produk (ST 1). Merupakan strategi
prioritas pertama dengan nilai TAS sebesar 6,01;
2. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Merupakan strategi
prioritas kedua. Strategi ini mendapatkan nilai TAS terbesar yaitu 5,39;
3. Strategi melakukan kerjasama dengan produsen/pemasok bahan baku (ST 7);
Strategi ini adalah prioritas ke tiga dengan nilai TAS 4,91.

392

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Ririn Family Food: (Usaha Kecil)


1. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Merupakan strategi
prioritas pertama dengan nilai TAS sebesa 5,72.
2. Strategi menjaga dan mempertahankan mutu produk (ST 1). Merupakan strategi
prioritas kedua dengan nilai TAS sebesar 5,02;
3. Strategi mengoptimalkan bahan baku dan menekan biaya produksi (ST 6). Strategi
ini adalah prioritas ketiga dengan nilai TAS sebesar 4,85;
Laras Food: (Usaha Mikro)
1. Strategi mengoptimalkan bahan baku dan menekan biaya produksi (ST 6). Strategi
ini adalah prioritas pertama dengan nilai TAS sebesar 6,12;
2. Strategi melebarkan jaringan pemasaran lebih luas (ST 3). Strategi ini adalah
prioritas kedua dengan nilai TAS sebesar 5,76.
3. Strategi meningkatkan kegiatan promosi dengan mengikuti ivent-ivent dan
pameran produksi yang diselenggarakan/difasilitasi oleh pemerintah dengan
menonjolkan difrensiasi produknya (ST 10). Strategi ini adalah prioritas ketiga
dengan nilai TAS sebesar 5,25;

393

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN
Alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam pemasaran bagi
industri/usaha pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik adalah
sebanyak sepuluh alternatif. Secara umum strategi pemasaran bagi industri/usaha
pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik yang dapat diterapkan adalah
melebarkan jaringan pemasaran lebih luas. Tentu saja keberhasilan strategi tersebut
akan sangat tergantung dengan peningkatan kualitas produk akhir dengan
menggunakan kemasan yang baik dan menarik konsumen. Selain itu perusahaan harus
melakukan produksi sendiri dari hulu sampai dengan hilir untuk dapat memastikan
siklus usahanya tetap terjaga. Perusahaan harus selalu berupaya meningkatkan
kualitas produknya untuk mampu bersaing dalam pasar, selain meningkatkan modal
usaha tambahan dengan mengambil manfaat dari program-program perkreditan murah
dari Pemerintah, terutama bagi perusahaan yang masih berskala kecil dan mikro.
Persaingan pasar pada industri ini sangat rentan pada pergeseran harga, konsumen
cenderung beralih pada produk lain sejenis jika terjadi selisih harga jual, maka dari
itu, perusahaan harus mempertahankan stabilitas dari harga jual pada produk mereka.
Langkah yang tidak kalah penting adalah memperkuat promosi produk dengan
memanfaatkan fasilitas media elektronik, sosial media, direct promotion dengan
memperluas jaringan pemasaran dan konsumen, serta memelihara hubungan baik
dengan para pemasok sumber bahan baku produksinya.
Berdasarkan decision stages keenam perusahaan pengolahan hasil laut yang
diobservasi di kawasan Lamongan dan Gresik tersebut, terdapat tiga prioritas strategi
pemasaran yang dapat diterapkan. Perbedaan strategi pemasaran prioritas yang dapat
diterapkan antara industri berskala menengah, kecil dan mikro terletak pada masalah
promosi/memperkenalkan produk mereka pada konsumen atau masyarakat luas. Bagi
perusahaan pengolahan hasil laut yang berskala menengah pada dasarnya sudah
memiliki saluran permasaran tersendiri yang tersebar pada outlet-outlet atau retail
yang menjadi bagian dari cabang usahanya atau perusahaan pemasaran aliansnya.
Sedangkan bagi perusahaan yang berskala kecil melakukan pemasarannya secara
mandiri melalui media online, pasar-pasar lokal dan outlet yang mereka miliki. Lain
halnya bagi perusahaan pengolahan hasil laut yang berskla mikro, dalam pemasaran

394

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

produknya cenderung tergantung pada permintaan/pesanan pengepul atau permintaan


pasar-pasar lokal saja. Dengan demikian, masalah memperkenalkan produk kepada
konsumen adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan strategi pemasaran
produk olahan hasil laut, terutama bagi usaha pengolahan hasil laut berskala kecil dan
mikro.
Adapun saran yang dapat direkomendasikan dalam kajian ini adalah
bagaimana memperkenalkan produk olahan hasil laut tersebut sampai pada konsumen
yang lebih luas dengan mempertimbangkan langkah-langkah strategis di atas. Teknik
strategis yang dapat diimplentasikan adalah merancang difrensiasi dan inovasi produk
dibandingkan dengan produk-produk pesaing, baik pada difrensiasi mutu, variasi
produk maupun daya tarik kemasan. Selain itu pengenalan produk pada konsumen
dapat memanfaatkan teknologi informasi yang semakin terjangkau sehingga dapat
menunjang pemasaran produk-produk tersebut secara online.

395

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Alma B. 2011. Manajemen Pemasaran & Pemasaran Jasa. Bandung (ID): Alfabeta
Barney, Jay B. 2007. Gaining and sustaining competitive advantage, Edisi 3., New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Biro Pusat Statistik. 2014. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2013. Diakses 2
Oktober 2015 dari http://www.bps.go.id/brs_file/pdb-10nov13.pdf.
Brink, H., Walt, C.V.D dan Rensburg, G.V. 2006. Fundamentals of Research Methodology
for Health-Care Professionals. Juta and Company Ltd. South Africa.
Cravens, D. W. 2008. Strategic marketing, Edisi 9. United States of America: McGraw Hill
Higher Education.
David F.R. 2004. Manajemen Strategis : Konsep, Edisi ketujuh. Sindoro A, penerjemah.
Jakarta (ID): PT INDEKS.
David F.R. 2006. Manajemen Strategis : Konsep,Edisi 10. Budi IS,penerjemah; Rahoyo S,
editor. Jakarta (ID): Salemba Empat
David F.R. 2009. Manajemen Strategis. Edisi ke 12. Sunardi D, penerjemah. Jakarta (ID):
Salemba Empat.
Departemen Kementerian Koperasi dan UKM (2015), Rencana Kerja 2014. Diakses 2
Oktober
2015
dari
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id
=126:rencana-kerja-pemerintah&Itemid=93
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2015), Pengolahan Hasil
Perikanan. Diakses pada 2 Oktober 2015 dari http://www.p2hp.kkp.go.id/artikel-817kelompok-pengolah-dan-pemasar-hasil-perikanan-dapatkan-dana-50-m-tahun2014.html
Dirgantoro C. 2001. Manajemen Stratejik. Jakarta (ID) : PT Grasindo.
Departemen Koperasi. 2008. PDB, Investasi Tenaga Kerja, Nilai Ekspor UKM di Indonesia.
Depkop. Jakarta.
Grant, R. M. 1991. The resource base theory of competitive advantage, California dalam
Journal Management Review, (2010); 33 (3), 114-135.
Hitt, Michael A, et al. 2001. Strategic management-competitiveness and globalization, Edisi
4., United States of America: Thomson Learning.
Kaplan and Norton. 2008. The execution premium: Linking strategy to operation for
competitive, Boston: Harvard Business School Publishing Corporation.
Kementrian Kelautan dan Perikanan RI 2015, Potensi PNBP Sektor Kelautan Capai Rp. 25
Triliun, diakses pada 2 Oktober 2015 pada http://kkp.go.id/index.php/berita/potensipnbp-sektor-kelautan-capai-rp-25-triliun/
Kotler P, Armstrong G. 2005. Dasar Dasar Pemasaran. Alexander S, penerjemah;
Bambang S, editor. Jakarta (ID): PT Indeks. Terjemahan dari : Principles of Marketing.
Ed ke-9.

396

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Muhammad S. 2008. Manajemen Stratejik. Yogyakarta (ID) : Unit Penerbit dan Pencetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Pearce JA, Robinson RB. 2008. Manajemen Strategis-Formulasi, Implementasi, dan
Pengendalian Edisi sepuluh. Bachtiar Y, Christine, Penerjemah; Krista, Editor. Jakarta
(ID) : Salemba Empat.
Porter M. E. 1980. Strategi Bersaing. Maulana A, penerjemah; Hutauruk G, editor. Jakarta
(ID): Erlangga.
Porter, M. E. 1998. On competition, Boston : Harvard Business School Publishing
Corporation.
Prasetyo, B dan Janah, L. M. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.
Rajawali Pers. Jakarta
Rangkuti, F. 1998. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis, Jakarta: PT Gramedia.
Sari LN. 2012. Manajemen Strategi Pemasaran Koperasi Bina Usaha Al-Ihsan Kabupaten
Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Siahaan, P. E. 2008. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Restoran Rice Bowl. Tugas Akhir
Sarjana IPB. Bogor.
Sugiono. 2003. Metode penelitian bisnis, cetakan pertama, Bandung: Alfabeta.
Suyanto, M. 2006. Analisa Penerapan Strategi Bersaing Restoran Moi Garden dalam
Menghadapi Persaingan Bisnis Restoran di Surabaya Timur. Skripsi. Universitas
Kristem Petra. Surabaya.
Umar, H. 2007. Metodologi Penelitian: Aplikasi dan Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Walker, G. 2007. Modern competitive strategy, Edisi 2, New York: The Mc.Graw Hill
Companies, Inc.
Wheelen, T. L., and Hunger J. D. 2001. Strategic management and business policy, Edisi 5.,
United States of America: Addison-Wesley Publishing Company.
Winardi. 2003. Kreativitas dan teknik-teknik pemikiran kreatif dalam bidang manajemen,
Bandung: Citra Aditya.
Yonaldi, S. 2011. Analisis Pengaruh Variabel Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Terhadap
Loyalitas Konsumen Produk Minuman Teh Botol Frestea (Studi Kasus Mahasiswa
Universitas Andalas Padang). Jurnal Managemen dan Kewirausahaan. 2 (1) : 79-114
Yuwono, S., dan Ichsan. 2007. Petunjuk praktis penyusunan Balanced Scorecard, menuju
organisasi yang berfokus pada srategi, cetakan kelima, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

397

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 19

ANALISIS PERFORMANCE WEBSITE PUSAT INOVASI


UNTUK MENINGKATKAN PROMOSI HASIL LITBANG
LIPI
Harini Yaniar 1, Siti Kania Kushadiani 2
1

Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,


UPT Balai Media dan Reproduksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
hrieny@gmail.com , s.kania.k@gmail.com

ABSTRAK
Pusat Inovasi merupakan salah satu satuan kerja di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang mempunyai tugas dan fungsi dalam pengelolaan hak
kekayaan intelektual dan alih teknologi menuju komersialisasi hasil litbang LIPI.
Sebagai unit yang mempunyai tugas di hilirisasi hasil-hasil litbang, Pusat Inovasi
menyediakan seluruh data hak kekayaan intelektual milik LIPI. Selain itu untuk
mendesiminasikan informasi terkait hasil-hasil penelitian kepada masyarakat
sekaligus media promosi produk LIPI kepada industri, Pusat Inovasi menyajikan
informasi tersebut pada website. Google Analytics menunjukkan bahwa halaman web
yang paling banyak dikunjungi setelah halaman utama/beranda adalah halaman
produk yang menyajikan produk-produk hasil penelitian LIPI. Tercatat pada tahun
2014 sebanyak lebih dari 12,25% dan tahun 2015 sebanyak 9,31%. Top pages pada
tahun 2015 hasil analisa google analytics sampai dengan bulan September
menunjukkan halaman produk mempunyai ranking pertama yang paling sering
dicari/dikunjungi oleh user. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan user atas
informasi mengenai produk-produk hasil penelitian LIPI cukup tinggi. Pada makalah
ini akan dilakukan analisa performance website Pusat Inovasi dengan menggunakan 6
web analyzer seperti WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO Workers dan
SEO Site Checkup. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dari
website Pusat Inovasi sehingga dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan yang
diperlukan untuk mendukung tugas dan fungsi Pusat Inovasi.
Kata Kunci: performance website, website Pusat Inovasi, web analyzer, media
promosi

398

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga penelitian
terbesar di Indonesia memiliki kekayaan intelektual yang cukup besar pula,
diantaranya 399 paten, 28 hak cipta, 16 desain industri, 27 merek dan 5 perlindungan
varietas tanaman, seperti ditunjukkan pada gambar 1. Pusat Inovasi merupakan salah
satu satuan kerja di LIPI yang mempunyai tugas dan fungsi mengelola hak kekayaan
intelektual tersebut dan mengupayakan alih teknologi menuju komersialisasi hasil
litbang LIPI. Dalam rangka mendukung komersialisasi hasil litbang LIPI berupa
kekayaan intelektual tersebut, salah satunya perlu dilakukan promosi yang luas
kepada para stakeholder pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

399
400
350
300
250
200
150
100

28

50

16

27

0
PATEN

HAK
CIPTA

DESAIN
INDUSTRI

MEREK

PVT

Gambar 7. Kekayaan Intelektual LIPI


Promosi merupakan bagian dari strategi pemasaran. Dalam meningkatkan
jumlah komersialisasi hasil litbang pemerintah perlu didukung oleh promosi yang
tepat. Promosi dikatakan juga sebagai bentuk komunikasi pemasaran untuk
mengembangkan kesadaran akan suatu merek, dimana konsumen menterjemahkan
informasi produk ke dalam persepsi tentang atribut produk dan posisinya dalam pasar
yang lebih besar. Komunikasi pemasaran juga digunakan untuk mempertahankan

399

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

basis pelanggan untuk produk dan mempererat hubungan dengan pelanggan dan
pemasok (Greene, 2015).
Selain melalui pameran produk, Pusat Inovasi juga menyediakan media
promosi website dan media sosial dalam memperkenalkan serta mempromosikan hasil
litbang LIPI. Website Pusat Inovasi dengan domain http://inovasi.lipi.go.id
menyediakan informasi yang terdiri dari Profile, Berita, Produk, Publikasi, HKI,
Inkubator dan STP. Media sosial yang digunakan adalah facebook dan twitter dengan
akun InovasiLIPI. Pada menu Produk, ditampilkan informasi terkait produk-produk
hasil penelitian LIPI.
Google Analytics menunjukkan bahwa halaman web yang paling banyak
dikunjungi setelah halaman utama/beranda adalah halaman produk yang menyajikan
produk-produk hasil penelitian LIPI. Tercatat pada tahun 2014 sebanyak lebih dari
12,25% dan tahun 2015 sebanyak 9,31%. Top pages pada tahun 2015 hasil analisa
google analytics sampai dengan bulan September menunjukkan halaman produk
mempunyai ranking pertama yang paling sering dicari/dikunjungi oleh user. Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan user atas informasi mengenai produk-produk hasil

400

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

penelitian LIPI cukup tinggi.


Gambar 8. Tampilan Website Pusat Inovasi

Gambar 9. Landing page website Pusat Inovasi dari hasil Google Analytics
Melihat halaman produk pada website Pusat Inovasi merupakan halaman yang
paling banyak dicari dan dibuka oleh pengguna, sehingga perlu dioptimalkan
penyajian informasi dan performance pada website. Pada makalah ini akan dilakukan
analisa performance pada website Pusat Inovasi dengan tujuan untuk mengetahui
performance website sehingga apabila diketahui kekurangannya dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan yang dapat mendukung promosi hasil litbang LIPI.

401

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

/ Profile
/ Berita
/ Produk
/ Beranda
0

100

200

300

400

500

600

2015

/ Beranda
522

/ Produk
299

/ Berita
280

/ Profile
279

2014

279

162

150

238

Gambar 10. Halaman pertama website yang paling banyak dikunjungi

/ Profil
/ Beranda
/ Berita

en/ Home
/ Produk
0

50

100

150

200

250

300

2015

/ Produk
279

en/ Home
179

/ Berita
171

/ Beranda
157

/ Profil
107

2014

114

192

95

94

70

Gambar 11. Halaman kedua website yang paling banyak dikunjungi

402

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

METODOLOGI
Analisa performance website Pusat Inovasi dilakukan dengan menggunakan
metodologi penilaian web /web assessment menggunakan 6 tool web analyzer yaitu
WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO Workers dan SEO Site Checkup.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Website Pusat Inovasi dibangun menggunakan Content Management System
(CMS) Ionize yang berbasis framework CodeIgniter. Selain sebagai official website,
website ini juga menjadi sarana promosi produk-produk hasil penelitian LIPI. Menu
utama yang disediakan pada website ini terdiri dari Profile, Berita, Produk, Publikasi,
HKI, Inkubator dan STP. Fitur untuk media sosial yang disediakan adalah facebook
dan twitter dengan akun InovasiLIPI.
Berdasarkan hasil analisa google analytics, bahwa halaman yang paling
banyak dicari dan dikunjungi oleh user adalah halaman produk LIPI. Halaman produk
ini berisi penjelasan mengenai hasil-hasil penelitian LIPI baik yang telah dilindungi
hak kekayaan intelektual maupun belum. User dapat memperoleh informasi mengenai
produk dari seluruh satuan kerja di LIPI.
Namun apabila kita lakukan pencarian produk-produk LIPI tersebut melalui
mesin pencari, belum menunjukkan produk yang terdapat dalam website Pusat
Inovasi adalah yang pertama kali muncul. Hal ini ditunjukkan pada tabel berikut ini:

403

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Table 1. Hasil Pencarian Produk LIPI


Search Engine
Keyword
Instalasi Pengolah Air Gambut
Alat Pembuat Nano Partikel
Alat Penghancur Jarum Suntik
Antena TV Digital
Mobil Hybrid LIPI
Radar Pengawas Pantai dan
Perairan
Obat Herbal untuk Penderita
Tekanan Darah Tinggi
Optimasi BBM dengan EFT
Jumlah Bobot

Google
0
1
1
0
1

Bing
0
1
1
0
0

Yahoo
0
1
1
0
1

Ask
0
0
0
0
1

Aol
0
1
1
0
0

0
1
5

0
1
4

0
1
5

0
0
1

0
1
4

Pencarian dilakukan pada 5 mesin pencari yang paling banyak digunakan,


yaitu Google, Bing, Yahoo, Ask dan AOL (EBiz, 2015). Keyword yang digunakan
diambil secara random dari judul produk LIPI yang tercantum pada website. Diambil
8 (delapan) judul produk LIPI, kemudian dilakukan pencarian pada masing-masing
mesin pencari. Hasilnya adalah rata-rata sekitar 50% dari keyword produk LIPI yang
digunakan, dapat ditemukan pada mesin pencari pada urutan pertama.
Mengacu pada tujuan dari dibangunnya website Pusat Inovasi LIPI yaitu
selain sebagai official website dapat juga menjadi salah satu media promosi produk
LIPI mengingat era informasi dan internet dimana masyarakat dunia pada umumnya
melakukan pencarian informasi melalui internet. Untuk mendukung tujuan diatas,
suatu website harus dapat ditemukan melalui mesin pencari.
Untuk mengukur dan menganalisa Search Engine Optimization (SEO) dan
performance pada suatu website banyak dijumpai web analyzer sebagai tools untuk
melakukan pengukuran tersebut. Web Analyzer yang secara bebas dapat digunakan
yaitu seperti WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO Workers dan SEO
Site Checkup. Web analyzer tersebut merupakan tools yang paling lengkap dalam
menganalisa website dan menyediakan rekomendasi kepada website yang dinilai
untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan
performancenya (Siti Kania Kushadiani, 2014).

404

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

7 elemen yang diukur pada web analyzer ini yaitu Visitors, Social Monitoring,
Mobile, Search Engine Optimization (SEO), Usability, Security dan Technologies.
Visitors menunjukkan jumlah pengunjung website. Social Monitoring menampilkan
apakah suatu website telah menggunakan/ memanfaatkan sosial media atau belum.
Mobile akan memperlihatkan suatu website apakah telah memiliki dukungan ke
perangkat mobile. SEO akan menunjukkan apakah website sudah baik dikenali dan
terindeks. Usability akan mengukur melalui kegunaan daripada website tersebut.
Security akan menilai suatu website apakah aman atau merupakan website yang tidak
dapat dipercayai sedangkan Technologies akan mengukur teknologi pada website
yang digunakan yang mempengaruhi performance website.
Hasil pengukuran performance website Pusat Inovasi pada masing-masing
web analyzer adalah sebagai berikut:
1. WooRank
a. Visitor
WooRank menilai website inovasi.lipi.go.id menduduki peringkat 51.092
dunia dan peringkat 732 di Indonesia, hal ini termasuk dalam kategori low
impact. Pengunjung situs hanya terpusat di kawasan Indonesia, belum tersebar
menyeluruh di dunia.
b. Social Monitoring
WooRank menilai website inovasi.lipi.goid

belum memanfaatkan situs

jejaring sosial. Hal ini terbukti wooRank tidak menemukan facebook page,
twitter, dan google+ page
c. Mobile
WooRank menilai website inovasi.lipi.go.id memiliki dukungan ke perangkat
mobile, terbukti pada halaman website ini dapat terbaca oleh pengunjung yang
menggunakan mobile, namun tampilan yang diterima pengunjung adalah
standar. Hal ini terbukti dengan tidak terdeteksinya mobile framework yang
digunakan
d. Search Engine Optimization
WooRank menilai web site inovasi.lipi.go.id sudah cukup baik dikenali dan
terindeks oleh mesin pencarian khususnya Google. Namun, ada beberapa

405

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

kekurangan diantaranya adalah WooRank menemukan sebanyak 42 image,


namun terdapat 28 alt atribut yang kosong atau missing. Terdapatnya XML
Sitemap yang membantu mesin pencarian mengenali dan mengindeks setiap
halaman situs namun hanya 13 halaman saja yang terindex. Dengan demikian
kinerja website inovasi.lipi.go.id bisa dikatakan belum baik, karena semakin
besar jumlah halaman situs yang terindeks oleh Google menandakan semakin
baik pula kinerja situs
e. Usability
WooRank menilai web site inovasi.lipi.go.id dari unsur kegunaan tidak ada hal
yang bermasalah, karena seperti bahasa yang digunakan telah terdeteksi
deklarasi bahasanya atau tidak missing
f. Security
WooRank menilai web site inovasi.lipi.go.id termasuk dalam golongan situs
yang aman dan terpercaya dikunjungi, bukan termasuk situs penipuan.
g. Technology
WooRank menilai web site inovasi.lipi.go.id terdapat analytics tools yang
berfungsi untuk mengukur aktivitas pengunjung website, yaitu google analytic
dan piwik. Namun, WooRank mendeteksi server tidak menggunakan caching
method juga dalam web site tersebut terlalu banyak CSS file dan javaScript
file lebih dari 7 sehingga hal ini mempengaruhi terhadap waktu loading situs.

406

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2. Seoptimer
a. Visitor
Seoptimer tidak menjelaskan profil kunjungan ke web site inovasi.lipi.go.id,
dikarenakan tools ini tidak memiliki penilaian pada unsur ini.
b. Social Monitoring
Seoptimer menilai web site inovasi.lipi.go.id terdapat sharing ke sosial media
yaitu facebook sebanyak 2 yang di sharing sedangkan geogle +1 tidak ada
sharing
c. Mobile
Seoptimer tidak menyediakan penilaian untuk unsur ini.
d. Search Engine Optimization
Seoptimer menilai melalui aspek header situs inovasi.lipi.go.id. yang perlu
diperhatikan adalah
-

Meta description, terdeteksi bahwa panjangnya adalah 36 karakter, terlalu


pendek karena Meta description seharusnya berisi tentang halaman situs,
sebaiknya 100-150 karakter.

Perlu mengoptimasi HTML pada Header 1 dan Header 2 karena pada


heder tersebut tidak ditemukan halaman

Perlu cek semua gambar, karena dari 42 gambar terdapat 28 tanpa alt
atribut

e. Usability
Seoptimer tidak menyediakan penilaian situs untuk unsur ini.
f. Security
Seoptimer tidak menyediakan penilaian situs untuk unsur ini.
g. Technologies
Seoptimer menilai teknologi yang digunakan oleh web site inovasi.lipi.go.id
memiliki HTTP Headers yang sudah baik karena memiliki HTTP 200 OK
yang menandakan fungsi halaman situs yang berjalan dengan baik, apabila
suatu situs memiliki nilai HTTP yang berbeda maka peran mesin pencarian
tidak dapat bekerja dengan optimal.

407

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

3. Lipperhey
a. Visitor

Lipperhey menilai website inovasi.lipi.go.id dengan mengestimasi pengunjung


setiap bulannya 273.700
b. Social monitoring

Lipperhey menilai score popularitas di sosial media adalah 5% hanya 3 tweets


dan 2 share di facebook
c. Mobile

Lipperhey menilai

web site

inovasi.lipi.go.id dapat

dibaca

dengan

menggunakan mobile. Namun perlu diperhatikan supaya halaman tidak lebih


dari 10 gambar
d. Search engine optimization

Lipperhay menilai web site inovasi.lipi.go.id telah mengoptimalkan meta


description dan meta keywords. Namun untuk heading perlu diperhatikan kata
kunci lipi tidah ditemukan dalam Header 1, disarankan untuk menambahkan
kata

kunci

tersebut.

Kerana

setiap

halaman

berisi

teks,

maka

direkomendasikan setiap halaman juga memiliki setidaknya 1 heading dan


kata kunci yang penting dalam setiap halamannya. Ini disarankan agar web
site menarik perhatian pengunjung
e. Usability

Lipperhay menilai web site inovasi.lipi.go.id hanya memiliki 12,55% halaman


teks yang dibaca sebenarnya. Disarankan meminimalkan jumlah kode,
maksimalnya 70% dan CSS serta javascripts harus digunakan dalam file
eksternal
f.

Security
Lipperhey tidak menyediakan penilaian pada unsur ini

408

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

g. Technologies

Liperhay menilai web site inovasi.lipi.go.id memiliki waktu loading yang


lambat terbukti dengan waktu loadingnya adalah 2.51 second yang padahal
sebaiknya waktu loading adalah 500 millisecond.
4. iWebChk
a. Visitor
iWebChk menilai sebagian besar pengunjung web site inovasi.lipi.go.id
berasal dari Indonesia yaitu 96.3% dan 0.6% dari united states. Situs ini
berada pada peringkat 49.002 di dunia dan 809 di indonesia
b. Social monitoring
iWebChk menilai web site inovasi.lipi.go.id sangat rendah kehadirannya di
situs media sosial. Hanya di share ke facebook 2, twitter 7, linkedln 2. Padahal
tingginya tingkat aktivitas sosial akan meningkatkan otoritas domain.
c.

Mobile
iWebChk tidak menyediakan penilaian pada unsur ini.

d. Search engine optimization


iWebChk menilai website inovasi memiliki judul dengan panjang 36 karakter,
disarankan 60-80 karakter. iWebChk menilai description metatag memiliki 37
karakter, telah memberikan penjelasan singkat mengenai konten halaman web.
Serta ditemukan keyword meta pada situs inovasi yaitu 3 keyword dengan 44
karakter. Kata kunci merupakan faktor penting untuk halaman optimasi SEO.
Kata kunci juga harus konsisten dibeberapa halaman seperti dalam heading,
namun sayangnya pada heading 1 dan 2 tidak ditemukan.
e. Usability
iWebChk menilai rasio teks/konten dengan kode HTML sebesar 20,12%
artinya dinilai ideal yaitu ideal jumlah konten yang tersedia di web site
inovasi, dengan demikian memiliki dampak yang baik oleh mesin pencarian
f. Security
iWebChk menilai situs inovasi aman dikunjungi siapapun karena terbukti
tidak termasuk dalam golongan situs yang menyebarkan maleware/phissing,
dan lain sebagainya.

409

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

g. technologies
iWebChk menilai situs inovasi tidak sesuai dengan W3C Marup karena
terdapat 67 error. Alat bantu berupa web analytic terdapat dalam situs ini yaitu
google analytic, sehingga dapat membantu menganalisis tren kunjungan ke
situs. Waktu loading Situs inovasi dan responnya lambat yaitu 56%
5. SEO Workers
a. Visitor
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
b. Social Monitoring
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
c. Mobile
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
d. Search Engine Optimization
SEO Workers memberi penilaian pada elemen title tag dan kesesuaian dengan
konten yang baik, meta description yang menjelaskan situs dinilai kurang baik
karena meta description hanya 36 karakter, meta keyword di situs ini terlalu
sedikit yaitu hanya 3 kata kunci, sehingga menjatuhkan peringkat situs pada
mesin pencarian.
e. Usability
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
f. Security
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
g. Technologies
Pada elemen Headers yang terbaca pada situs inovasi menunjukkan status 200
yang menandakan situs dalam kondisi baik, teknologi Server yang digunakan
juga dapat terbaca dengan baik (Apache/2.2.22 & Ubuntu Operating Systems)

410

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

6. SEO Site Checkup


a. Visitor

SEO Site Checkup tidak menyediakan penilaian pada unsur ini.


b. Social Monitoring

SEO Site Checkup menilai situs inovasi telah terhubung ke dua jaringan sosial
yaitu facebook dan twitter.
c. Mobile

SEO Site Checkup tidak menyediakan penilaian pada unsur ini.


d. Search Engine optimization

SEO Site Checkup menilai dari elemen title tag pada situs inovasi hanya
terdapat 36 karakter, yang padahal kebanyakan mesin pencari akan memotong
meta title ini sebanyak 70 karakter. Dari elemen meta description SEO Site
Checkup menilai pada situs inovasi hanya 37 karakter padahal kebanyakan
mesin pencarian akan memotong meta description sebanyak 160 karakter.
Dengan demikian penilaian menurut SEO Site Checkup terhadap situs inovasi
kurang baik
e. Usability

SEO Site Checkup menilai situs inovasi melalui HTML Page size test, yaitu
13.26 Kb merupakan di bawah rata-rata ukuran halaman web yaitu 33 Kb. Hal
ini menyebabkan waktu loading halaman lebih cepat dari rata-rata.
f.

Security
SEO Site Checkup menilai situs inovasi aman dikunjungi siapapun karena
terbukti tidak termasuk dalam golongan situs yang menyebarkan malware /
phishing, dan lain sebagainya

g. Technologies

SEO Site Checkup menilai situs inovasi memiliki 54 inline CSS styles,
sehingga membantu menangani kebutuhan disain yang terpisah dengan
konten.

411

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Hasil dari pengukuran pada WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO


Workers dan SEO Site Checkup, dilakukan pembobotan penilaian dengan ukuran
Low : tidak ada/ tidak optimal; Medium : ada tapi belum optimal dan High : ada dan
sudah optimal digunakan. Hasil pengukuran tersebut ditunjukkan pada tabel 2.

Table 2. Hasil pembobotan


Element
Asssesment

WooRank

Seoptimer

Web Analyzers
Lipperhey
iWebChk

SEO Workers

Visitor Rank
Social
Monitoring
Mobile
Search Engine
Optimization
Usability
Security

Low

High

Medium

SEO Site
Checkup
-

Low
Medium

Medium
-

Low
Medium

Low
-

Medium
-

Medium
High
High

Medium
-

Medium
Low
-

Medium
High
High

Low
-

Low
Low
High

Technology

Medium

High

Low

Low

High

High

412

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisa dari ke-6 web analyzer yang digunakan untuk
mengukur performance website Pusat Inovasi didapati kelemahan yaitu belum
dimanfaatkannya media sosial secara optimal, perlu perbaikan pada tampilan mobile
dan waktu loading cukup lama. Sedangkan kelebihannya adalah bahasa yang
digunakan telah terdeteksi, rasio teks/konten dengan kode HTML sebesar 20,12%
artinya dinilai ideal, secara security merupakan situs yang aman dan pencarian baik
namun perlu dioptimalkan.
Saran untuk peningkatan performance website Pusat Inovasi sehingga dapat
mendukung promosi produk LIPI adalah sebagai berikut:
1.

Memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter untuk promosi event
maupun produk hasil litbang LIPI.

Update informasi dapat dilakukan melalui mobile phone sehingga dapat


dilakukan kapan saja

Pengelola informasi satker memiliki akses untuk update informasi

Update informasi cukup dilakukan pada salah satu media, namun secara
otomatis menambah informasi pada media lain

2.

Menggunakan mobile framework seperti Jquery Mobile, Cordova, Sencha Touch,


dsb

3.

Untuk waktu loading web yang lama dapat diatasi melalui :

Format image yang digunakan sama yaitu JPEG dan sesuaikan resolusi
gambar dengan skala yang sama

Plugin digunakan seperlunya, atau dapat menggunakan lazy load

Javascript dikurangi, perbanyak menggunakan CSS

413

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia atas akses data paten dan komersialisasi hasil litbang di LIPI.

DAFTAR PUSTAKA
EBiz. (2015). Top 15 Most Popular Search Engines. Retrieved 2015, from eBiz|MBA:
http://www.ebizmba.com/articles/search-engines
Greene, F. (2015). What Is Marketing Communication Strategy? Retrieved 10 10, 2015, from
Small Business Chron: http://smallbusiness.chron.com/marketing-communicationstrategy-3442.html
Gunadarma. (2015). DocModul. Retrieved 10 11, 2015, from Elearning Gunadarma:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pemasaran/Bab_9.pdf
Lestari, D. (2014, April 24). Berita. Retrieved 10 10, 2015, from AntaraNews.Com:
http://www.antaranews.com/berita/430987/bppt-peroleh-royalti-rp15-miliar-daripaten
Provost, P. (2014, 5 5). 7 Steps to Develop an Effective Marketing Communications Strategy.
Retrieved
10
11,
2015,
from
6P
Marketing:
http://www.6pmarketing.com/articles/branding-science/72-marketing-strategy/359-7steps-to-develop-an-effective-marketing-communications-strategy
Ristek. (2011). Peta Kemampuan Litbang dan Kemampuan Diseminasi Lembaga Litbang
Pemerintah. Jakarta: Ristek.
Siti Kania Kushadiani, G. M. (2014). Performance Analysis and Improvement
Recomendations of LIPI Press Official Website. Teknologi Indonesia, 50-63.

414

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 20

PENGEMBANGAN PRODUK HASIL RISET BIDANG


ENERGI TERBARUKAN MENUJU INDUSTRI
Henny Sudibyo dan Arini Wresta
Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, LIPI
hennysudibyo@yahoo.com, awresta@gmail.com

ABSTRAK
Hasil riset bidang teknologi energi terbarukan yang telah diaplikasikan
diantaranya turbin air, generator permanent magnet kecepatan rendah, instalasi biogas
dan teknologi turbin angin. Teknologi yang dikembangkan tersebut belum banyak
diproduksi pada dunia industri. Potensi energi terbarukan meliputi tenaga air, angin,
surya maupun biomassa jika diterapkan di Indonesia dengan maksimal akan menjadi
peluang tumbuhnya industri-industri yang bergerak pada bidang energi terbarukan.
Agar hasil-hasil riset energy terbarukan dapat dikembangkan sampai tahap
industrialisasi maka perlu strategi-strategi yang diperlukan. Pada bahasan ini
membahas langkah-langkah dalam mewujudkan produk hasil riset energi terbarukan
hingga tahap industrialisasi. Pengembangan hasil riset energi terbarukan menuju
industri pada makalah ini melalui pendekatan model diamond porter yaitu factor
conditions, demand conditions, related and supporting industries dan strategy,
structure and rivalry. Untuk membangun industri baru energi terbarukan maka
diperlukan strategi dan sinergi yang baik antara industri, pemerintah serta lembaga
riset agar terwujud produk mampu bersaing.

Kata Kunci : industri, energi terbarukan, model pengembangan

415

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Potensi energi terbarukan Indonesia menurut data Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral tahun 2014 masih melimpah dengan kapasitas terpasang baru
mencapai 10% untuk hidro, panas bumi 4,8% dan biomassa 5,4 % seperti pada tabel 1
(Hutapea,2015). Penggunaan energi terbarukan akan menumbuhkan potensi
penghematan energi yang besar. Potensi yang sedemikian besar jika tidak
dimanfaatkan dan diusahakan dengan baik akan menjadikan negara Indonesia
ketergantungan pemenuhan kebutuhan energinya pada pihak asing. Produk- produk
pendukung sistem energi terbarukan terus diupayakan di berbagai lembaga riset dan
lembaga pendidikan. Riset-riset teknologi energi terbarukan pada sistem energi air,
angin, pembangkit listrik tenaga surya telah banyak dihasilkan oleh peneliti Indonesia.
Hasil-hasil riset ini dapat dijadikan start up industri energi terbarukan di Indonesia.
Industri energi terbarukan di Indonesia saat ini terbatas walaupun sumber energi
terbarukan di Indonesia melimpah. Menumbuhkan industri nasional pada sektor
industri terbarukan tidaklah mudah. Perkembangan industri energi terbarukan di
Indonesia jika diterapkan akan dapat menentukan keunggulan suatu negara.
Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan dan Potensi Penghematan Energi

416

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Michael

Porter mendefinisikan

empat

determinan yang menentukan

keunggulan kompetitif suatu bangsa, ini disebut Porters Diamond of National


Advantage. Keempat determinan tersebut adalah : faktor kondisi, faktor permintaan,
industri pendukung dan faktor keempat adalah strategi perusahaan, struktur, dan
persaingan (Porter,1990).
Berlian dalam model porter ini adalah sebuah sistem di mana komponenkomponennya saling menguntungkan dan menguatkan. Besar pengaruh yang
diberikan oleh salah satu determinannya merupakan fungsi kondisi ketiga determinan
yang lain (Subekti dan Sudibyo, 2014)
Faktor kondisi seperti faktor-faktor produksi, tenaga terampil, terlatih, terdidik
dan infrastruktur yang diperlukan dalam berkompetisi di industri tertentu. Demand
conditions adalah kondisi-kondisi permintaan yang merupakan karakteristik
permintaan lokal terhadap produk atau jasa. Related and supporting industries adalah
industri terkait dan pendukung merupakan kehadiran atau ketidakhadiran industri
pemasok atau pendukung yang secara internasional kompetitif. Strategi perusahaan,
struktur, dan persaingan merupakan kondisi-kondisi yang mengatur cara-cara
pendirian perusahaan, pengoperasiannya, pengelolaannya, dan sifat persaingan
domestik. Pengembangan produk hasil hasil riset bidang energi terbarukan menuju
industri melalui pendekatan model porter merupakan salah satu bahasan yang dapat
dijadikan pertimbangan kemajuan industri terbarukan.

METODOLOGI
Kajian ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan data primer dan data
sekunder melalui kunjungan lapangan ke laboratorium di Pusat penelitian Tenaga
Listrik dan Mekatronik LIPI Bandung serta mengikuti perkembangan energi
terbarukan melalui workshop dan musyawarah di Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia. Pengumpulan data sekunder melalui internet berupa hasil kajian,
kebijakan, dan sumber literatur lainnya. Melalui data primer dan sekunder yang ada,
selanjutnya dianalisis dengan membandingkan empat faktor model Porter terhadap
kelebihan, kekurangan, dan permasalahanIndonesia dalam pengembangan industri

417

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

energi terbarukan. Berdasarkan pengembangan model Porter maka diberikan saran


untuk pengembangan industri energi terbarukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sumber energi alternatif
terbarukan yang cukup besar. Potensi energi baru terbarukan yang besar merupakan
salah satu opsi pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan di Indonesia.
1.

Condition factor
Model Porter pada kajian industri energi terbarukan ini akan menyoroti

beberapa kondisi faktor yang sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program
industri energi terbarukan. Kondisi-kondisi faktor tersebut antara lain adalah sumber
daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia peneliti bidang energi terbarukan di Indonesia tersebar
di berbagai lembaga riset serta di perguruan tinggi. RisetPenelitian Insentif Ristek
yang berjumlah 4.067 judulpada tahun 2009 2011 ada sebannyak 19% riset berkaitan
dengan bidang energi terbarukan (Sudibyo, 2014). Riset energi terbarukan meliputi
panas bumi, angin, batubara peringkat rendah, biofuels : termasuk biodiesel dan
bioethanol, biomasa dan biogas, surya-fotovoltaik, hidrogen dan fuel-cell, nuklir,
energi laut, termasuk gelombang dan arus laut, coal bed methane, dan konservasi
energi. Riset itu telah banyak menghasilkan prototipe sistem energi terbarukan namun
belum banyak dimanfaatkan industri untuk diproduksi. Potensi energi terbarukan di
Indonesia ini besar namun sebenarnya belum disertai dengan besarnya sumberdaya
manusia yang bisa memanfaatkan potensi ini. Sumberdaya manusia ahli di bidang
energi terbarukan belum merata di tiap daerah di Indonesia. Lembaga pendidikan
ditingkat SMK, politeknik, maupun Universitas sebagai pencetak tenaga ahli unggul
di bidang energi terbarukan masih terbatas. Pengiriman pelatihan sumber daya
manusia di bidang energi terbarukan ke negara maju dalam pemanfaatan energi
terbarukan

seperti Jerman, Jepang sangat diperlukan. Pengembangan SDM

diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

terhadap pentingnya

penyediaan energi. Pengembangan SDM energi terbarukan bertujuan untuk

418

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

meningkatkanpengetahuan dan teknik energi terbarukan serta penerapannya baik pada


tahap perencanaan, pembangunan, maupun operasional dan pemeliharaan.
Tabel 2. Indek Pembangunan Manusia Indonesia

Indek Pembangunan Manusia Indonesia atau IPM di Asean ada pada rangking
lima dibawah negara Singapura, Brunai, Malaysia dan Thailand. Secara dunia masuk
pada peringkat 108/107 dan termasuk dalam kategori menengah (Sartono,2015).
Indek Pembangunan Manusia Indonesia saat ini ditingkatkan dengan implementasi
wajib belajar 12 tahun, pengembangan politeknik, pendidikan vokasi dan
pengembangan community college. Dengan pendidikan yang bagus dan terampil serta
kualitas manusia yang makin tinggi pada bidang energi terbarukan maka
pengembangan industri energi terbarukan berbasis teknologi terkini mudah
diimplementasikan dengan dukungan banyak faktor lain.

Sumber Daya Alam


Potensi alam Indonesia merupakan surga energi terbarukan. Air, angin,
biomassa, panas bumi, surya, samudera merupakan sumber energi yang tiada habis
jika terus dimanfaatkan.

Potensi tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Untuk

pengembangan mikrohidro tersedia sebesar 75.000 MW. Potensi energi surya juga
sangat besar. lebih besar dari potensi yang dimiliki negara-negara lain di dunia.
Potensi energi surya yang dimiliki Indonesia sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan
112.000 GWp. Sementara itu, cadangan panas bumi kita mencapai 40% dari cadangan
dunia. Panas bumi adalah sumber daya energi yang ramah lingkungan karena rendah

419

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

emisi karbonnya. Disamping sumper daya alam yang mendukung untuk penerapan
industri energi terbarukan Indonesia juga memiliki sumber daya alam pendukung atau
material pembuat sistem energi terbarukan. Turbin untuk energi hidro maupun angin
untuk material besi mudah didapat di Indonesia

Infrastruktur
Infrastruktur pendukung pengembangan industri energi terbarukan di
Indonesia masih kurang. Pemerintah masih banyak pada tahap perencanaan untuk
membangun infrastruktur energi terabrukan Rencana peningkatan produksi energi
terbarukan sangat bergantung kepada adanya investasi yang besar pada jaringan
transmisi dan investasi pada pembangunanpembangkit listrik terutama panas bumi,
energi surya dan energi angin. Demikian pula dalam halpembentukan pasar gas
sebagai

sumber

energi

terbarukan

juga

sangat

membutuhkan

pembangunaninfrastruktur gas sehingga dapat mengalihkan gas untuk tujuan ekspor


ke pasardomestik (IEA,2015).

Indonesia sebenarnya sudah mengidentifikasi

kebutuhan proyek infrastruktur energi terbarukan dalam kebijakan dan rencananya


namun seringkali pembangunannya tertunda dan sumber pendanaannya kurang jelas.
Untuk itu pengembangan industri energi terbarukan Indonesia butuh dukungan
penyediaan infrastruktur yang jelas dari pemerintah.

2.

Demand Factor
Permintaan energi untuk kebutuhan listrik maupun energi lainnya terus

meningkat sejalan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penduduk


Indonesia hampir 15 juta orang membelanjakan $6 s/d 20 per hari. Menjadi daya
dorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan meningkatkan daya saing global
Indonesia keperingkat 34 dunia di tahun 2014 (Basuki, 2015).

420

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 3. Skenario Energi Mix

Tabel 3 menunjukkan energi terbarukan memegang peranan besar dalam


penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Tahun 2050 pemerintah menargetkan
pemenuhan energi nasional dari sumber energi terbarukan sebesar 31% dari total
sumber energi. Untuk itulah pengembangan EBT beserta komponen industrinya
menjadi peluang besar bagi Indonesia.

Gambar 1. Grafik Produksi dan Konsumsi BBM

421

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Konsumsi energi terus meningkat sementara produksi bahan bakar minyak


terus menurun seperti terlihat pada gambar 1. Grafik tersebut menunjukkan alasan
mengapa perlu beralih ke energi terbarukan, industri pendukung energi terbarukan
perlu terus dikembangkan untuk mengatasi permintaan konsumsi energi yang terus
meningkat (Basuki, 2015). Untuk potensi penghematan energi dengan menggunakan
energi terbarukan pada sektor industri di Indonesia terbilang besar, mencapai 15-30
%.

3.

Related and supporting industries


Industri energi terbarukan di Indonesia memiliki peluang yang besar sejalan

dengan potensi energi air, angin, dan biomassa yang jumlahnya besar di Indonesia,
namun permasalahan adalah bagaimana kesiapan untuk membangun industri
manufaktur di Indonesia yang saat ini hanya beberapa industri manufaktur bergerak di
bidang energi terbarukan dan terkonsentrasi hanya di wilayah tertentu saja.
Tabel 4. Organisasi di Bidang Energi Terbarukan Pembangkit Tenaga Air.
No
1

Jenis organisasi
Manufacture -Turbines

Manufacture -Turbines

Project Developer

Project Developer

Project Developer

MHP
Consultant
Contractor

Manufacture -Turbines

Manufacture -Turbines

9
10

Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines

11

Manucature-Electronic
Controller
Manufactur-Re Other
Manufacture -Turbines

12
13

or

Nama organisasi
CV. Tepat Guna
Teknik
CV. Hidro Cipta
Mandiri
PT. Bumiloka
Bumijaya
Energi
PT.
Selo
Kencana Energi
PT. Pelita Prima
Nusantara
Cahzaro
Gerbang
International
Ragil Perdana
Teknik
Kramatraya
Sejahtera
Heksa Hydro
Chhanjuang Inti
Teknik (CIT)
Renerconsys
Solare
Hidro

Tempat
Sragen

Propinsi
Central java

Lumajang

East Java

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Jakarta

Bandung

West Java

Bandung

West Java

Bandung
Bandung

West Java
West Java

Bandung

West Java

Bandung
Daya Bandung

West Java
West Java

422

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

14
15

Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines

Kinerja
(HADEKA)
Linggih
Ferdianus

Mamasa
Mamasa

Sulawesi barat
Sulawesi barat

Pada tabel 4 merupakan organisasi diberbagai propinsi yang telah bergerak


pada bidang industri terbarukan mikrohidro. Untuk produsen industri energi
terbarukan belum dilakukan pemetaan dan sebagian teknologi masih menggunakan
produk luar. Untuk membangun industri baru energi terbarukan maka diperlukan
strategi yang baik agar industri tersebut dapat terwujud dan produknya mampu
bersaing. Industri kecil dan bengkel- bengkel di Indonesia berpotensi sebagai
pemasok dan pendukung manufaktur energi terbarukan seperti mikrohidro namun
belum dimanfaatkan dan di dorong secara optimal untuk membentuk jaringan
produsen. Perkembangan industri manufaktur di Indonesia akan menghadapi
tantangan diantaranya adalah kemampuan lokal manufaktur dan transfer teknologi.
Pengembangan industri energi terbarukan terhambat dikarenakan juga oleh
kemampuan lokal manufakturdaerah terkait dengan modal dan skill tenaga terampil
yang ada. Industri energi terbarukan seperti industri mikrohidro di Indonesia termasuk
dalam appropriate technology karena dalam masa tahun 1970 -1995 mengalami
perkembangan dengan kriteria kriteria : isu community development, basis kepedulian,
charity,grant, simplifikasi teknologi, trial and errorprosess, masih relevan untuk air
bersih, pertanian. Database Penelitian dan Pengembangan Bidang Energi Terbarukan
di Indonesia belum terpusat secara nasional sehingga perkembangan kemajuan
teknologi bidang energi terbarukan belum bisa dilihat secara jelas. Penguasaan
teknologi bidang energi terbarukan modern terutama teknologi turbin sedikit dapat
dilihat dari sedikitnya industri bergerak dibidang mikrohidro.
Banyaknya komponen mikrohidro untuk kegiatan produksi dan distribusi yang
di impor dari luar. Hal ini merupakan peluang untuk dapat disubstitusi dengan hasil
litbang nasional. Keberhasilan Iptek bidang energi di negara maju dapat merupakan
peluang untuk alih teknologi energi terbarukan modern dengan memanfaatkan
teknologi informasi.
Secara teknologi, industri tehnologi energi terbarukan untuk sel surya atau
photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu

423

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS.Sel suryanya


masih impor sedangkan sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal
dalam sistem PLTS. Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam
perkembangan industri sel surya.
4.

Firm strategy, Structure, and Rivalry


Faktor initentangbahasan

merencanakan dan mengaplikasikan strategi

perusahaan, pengorganisasian, dan pengelolaan perusahaan yang menekuni produksi


energi terbarukan nasional.Pemerintah mempunyai andil yang besar untuk melakukan
pengembangan industri energi terbarukan, pemerintah perlu membuat grand plan
industri energi terbarukan agar menjadi program nasional dan disosialisasikan ke
semua pihak. Dibutuhkan kekompakan dan saling mendukung dari semua pihak untuk
membangun industri energi terbarukan.
Perlu dilakukan pendataan di banyak sektor dalam membuat grand plan seperti
pemetaan industri manufaktur yang berkaitan dengan energi. Untuk itu harus dibuat
perencanaan besar mulai dari hulu sampai hilir (mulai dari tahap riset sampai tahap
produksi dan pemasarannya) termasuk bahan baku (material). Pelajari ketersediaan
bahan baku pembuatannya serta daerah-daerah pemasoknya untuk dapat diproduksi.
Persoalan kemandirian dalam bahan baku komponen menjadi penting mengingat bila
sebagian besar bahan baku adalah impor. Grand plan dibuat untuk jangka waktu yang
lama (long term atau bukan sekedar proyek dadakan). Tujuan membuat grand plan
adalah penguasaan teknologi industri energi terbarukansertamembangun semua yang
dibutuhkan pada industri energi terbarukan. Jenis pembangkit untuk energi terbarukan
memiliki kendala sendiri sendiri seperti pada tabel 5 berikut (Sebayang,2015).
Pengembangan industri terbarukan tiap jenis pembangkit perlu memperhatikan
kendala-kendala ini.

424

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 5. Kendala Energi Terbarukan


No.

Jenis
Pembangkit

Kendala

PLTBiomassa

Lokasi pembangkit jauh dari jaringan PLN


Kontinuitas bahan baku biomass
Fluktuasi harga bahan baku

PLTA/PLTM

Perijinan didaerah tumpang tindih


Pembebasan lahan memerlukan waktu yang relatif lama
Dampak sosial dan lingkungan

PLTP

Up Front Risk (Full Equity) , Drilling Sumur Eksplorasi


(Success Ratio 50-70%);
Karakteristik & Cadangan Terduga (Potensi) vs Terbukti
(Proven) Berbeda;
UU, Aturan & Ketentuan Pengembangan Masih Dinamis;
COD Yang Mundur Akibat Pendanaan & Perizinan;
Keterbatasan SDM (sisi hulu).

PLTBayu

Kecepatan angin rendah rata-rata 5,5 m/s


Potensi terbatas hanya pada daerah bagian Selatan Indonesia
CF rendah ( < 30%)

PLTS

Biaya investasi masih tinggi


CF rendah (20%-25%)

PLT
laut

Teknologi belum proven


Biaya Investasi masih cukup tinggi

energi

Kendala kendala tersebut diharapkan menjadi pemicu pengembangan industri


energi terbarukan. Salah satu pendukung

industri energi terbarukan yang cukup

berhasil di Indonesia yaitu pembuatan turbin mikrohidro. Pengembangan mikrohidro


sudah dikuasi oleh sumberdaya manusia dalam negeri Indonesia. Industri pembuatan
turbin dan sistem mikrohidro masih terbatas di Bandung, untuk itu peluang
membangun industri di luar pulau jawa cukup besar.
Diperlukan juga adanya peningkatan penguasaan nasional terhadap teknologi
energi terbarukan yang makin meluas serta penggunaan komponen energi terbarukan
yang berbasis pada industri kecil. Serta perlu dibangunnya sentra industri kecil
penyokong komponen energi terbarukan di luar pulau Jawa. Pembangunan industri

425

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

bidang energi terbarukan diperlukan sinergi yang kuat antara berbagai institusi untuk
mencapai suatu tujuan yang sama.

KESIMPULAN DAN SARAN


Pengembangan industri energi terbarukan nasional berdasarkan analisis
metode Diamond Porter menunjukkan kemampuan bangsa Indonesia untuk
mewujudkan industri-industri di bidang energi terbarukan. Empat faktor dalam model
porter menunjukkan keunggulan-keunggulan serta tantangan yang perlu dihadapi
dalam pengembangan industri energi terbarukan di Indonesia.Pendukung faktor-faktor
pengembangan industri EBT meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam,
infrastruktur, kondisi pasar, serta keberadaan roadmap energi nasional, dan beberapa
industri pendukung energi terbarukan ada di Indonesia. Untuk membangun industri
baru energi terbarukan maka diperlukan strategi yang baik agar industri tersebut dapat
terwujud dan produknya mampu bersaing.Menumbuhkan industri energi terbarukan
memberikan kemanfaatan yaitu mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi
fosil yang cadangannya terbatas, menumbuhkan kegiatan ekonomi, menciptakan
lapangan kerja baru, dan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Hutapea, M. 2015. Arah Kebijakan Dan Strategi Pengembangan EBTKE.Musyawarah
Nasional METI VI, Jakarta, 28 Mei 2015.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, Brooklyn,
Massachuset
Sudibyo, H. 2014. Penelitian Insentif Ristek Mendukung Pembangunan Nasional
BidangEnergi dan Peralatan Transportasi. Proseding Forum Tahunan Pengembangan
Iptek dan Inovasi Nasional IV, Jakarta
Sartono, A. MoT as a Key Success Factor for Unlocking Indonesias MoT as a Key
Success Factor for Unlocking Indonesias Economic Potentials.Indonesian Japan
Symposium, Bandung, 10 September 2015
International Energy Agency. 2015. Indonesia 2015.nine rue de la Fdration, Paris Cedex,
France

426

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Basuki, Budi. 2015. Usaha Medco dalam Percepatan Program Energi Terbarukan dan
Konservasi Energi, METI, Jakarta, 28 Mei 2015.
Sebayang, Nasri. 2015. Pengembangan Energi Terbarukan 2015-2024. PT.PLN- METI,
Jakarta
Subekti, R dan H.Sudibyo .2014. Model Diamond Porter Dalam Analisis Ekonomi Industri
Mobil Listrik Nasional. Proseding Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi
Nasional IV, Jakarta

427

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 21

ANALISIS BUSINESS MODEL CANVAS (BMC) UNTUK


ALIH TEKNOLOGI: KASUS UNTUK PENELITIAN
BIDANG BOTANI LIPI
Diah Anggraeni Jatraningrum
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
diah.anggraeni.jatraningrum@gmail.com

ABSTRAK
Teori-teori yang berkembang dalam alih teknologi (technology transfer) yang
mendukung perilaku kewirausahaan (entrepreneurial behavior) dari peneliti
(researcher) adalah sesuatu hal baru dan memerlukan pengembangan, supaya dapat
memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi. Ini adalah salah satu
bentuk upaya dalam pengembangan alih teknologi yang berorientasi bisnis. Dalam
makalah ini, kami memanfaatkan literatur salah satu model bisnis, yaitu business
model canvas atau lebih dikenal sebagai BMC untuk merumuskan kerangka kerja
untuk model bisnis dalam alih teknologi. BMC adalah alat analisis dalam manajemen
strategis dan perilaku kewirausahaan, dalam menggambarkan, mendesain, dan
menciptakan poros model bisnis. Kami menyajikan analisis untuk kasus alih teknologi
dari hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI. Analisis dengan menggunakan BMC ini
dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014 yang
sudah didaftarkan paten oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Hak Kekayaan
Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, Republik Indonesia. Kami menganalisis
9 elemen dalam BMC; key partners, activities, value proposition, customer
relationship, segment, resources, channel, cost, dan revenue stream. Ini
menggambarkan kerangka kerja konseptual dimana elemen key partners
menunjukkan strategi yang memberikan model bisnis yang lebih cocok. Aplikasi
model bisnis pasti memerlukan adaptasi. Namun demikian, analisis ini dapat
menawarkan pelajaran berguna, terutama bagaimana analisis bisnis untuk alih
teknologi dari hasil-hasil penelitian bidang botani di LIPI.
Kata Kunci: alih teknologi, perilaku kewirausahaan, business model canvas, key
partners, penelitian botani LIPI.

428

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Alih teknologi merupakan daerah yang sangat menarik tidak hanya untuk
pebisnis, ekonom, industrialis, dan teknokrat tetapi juga untuk disiplin lain seperti
antropologi dan sosiologi (Zhao, L.M. and Reisman, A., 1992). Sementara para
antropolog menekankan dampak alih teknologi pada perubahan pola budaya
masyarakat, dan sosiolog lebih peduli dengan perannya sebagai kendaraan untuk
mengembangkan kapasitas individu dan masyarakat untuk mengatasi modernisasi dan
perubahan terkait

menyertainya

(Ramanathan,

K.,

2007).

Untuk

ekonom,

sebagaimana disebutkan oleh Mansfield (Mansfield, 1975), fokusnya adalah pada


pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tujuan ekonomi. Namun, dari perspektif bisnis
dan teknologi, fokus utama alih teknologi adalah untuk meningkatkan keunggulan
kompetitif perusahaan melalui peningkatan nilai pelanggan (Ramanathan, K., 2001).
Hal ini dipertimbangkan bahwa, melalui peningkatan keunggulan kompetitif,
perusahaan dan mitranya berkolaborasi dalam alih teknologi akan mendapatkan
keuntungan strategis keuangan dan lainnya.
Fokus pada peningkatan nilai pelanggan dan peningkatan keunggulan
komparatif, skema alih teknologi yang linear yang sebagian besar dikembangkan oleh
universitas-universitas maupun lembaga R&D pemerintah harus dikaji untuk tujuan
ini. Model tradisional dari proses alih teknologi diilustrasikan sebagai model linear
seperti yang terdapat pada Gambar 1, dan itu dimulai dengan proses penemuan oleh
ilmuwan universitas ataupun lembaga R&D (Siegel, D.S., D.A. Waldman, L. Atwater
and A.N. Link, 2004). Ilmuwan di sini adalah istilah yang digunakan sebagai
keterangan untuk peneliti universitas ataupun lembaga R&D. Tentu saja, penelitian
akademik bisa datang dari disiplin atau struktur departemen atau kampus. Model
linear ini dibangun dari sintesis paradigma dominan dan literatur yang terkait dengan
alih teknologi dalam profesional akademik.

429

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Model Linear dari Proses Alih Teknologi

Namun demikian, model linier alih teknologi tidak lagi memadai, atau bahkan
mungkin tidak relevan lagi, untuk menjelaskan nuansa dan kompleksitas proses alih
teknologi yang mencirikan kegiatan komersialisasi yang sedang berlangsung dari
universitas dan lembaga R&D pemerintah (Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link,
A.N, 2013). Kekurangan dari model linier alih teknologi termasuk ketidakakuratan,
seperti linearitas yang ketat dan penyederhanaan proses, komposisi, satu ukuran cocok
untuk semua pendekatan, dan penekanan yang berlebihan pada paten, dan beberapa
kekurangan lain seperti gagal untuk memperhitungkan mekanisme informal alih
teknologi, gagal untuk mengakui dampak budaya organisasi, dan gagal untuk
mewakili sistem reward.
Organisasi R&D yang efektif dan baik adalah organisasi kolaboratif yang
memfasilitasi koneksi akademik industri dengan mengumpulkan data dari semua
lembaga yang berpartisipasi, dan saling terkoneksi dengan satu database, seperti yang
dijelaskan oleh Gambar 2. Organisasi kolaboratif berfungsi sebagai platform untuk
pencocokan inovator dengan mitra dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk
mengembangkan produk mereka. Mereka adalah tuan rumah, memelihara, dan
meningkatkan organisasi berbasis database (Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link,
A.N, 2013). Dalam pandangan ini, akademisi dan industri dapat terhubung langsung
melalui database dengan menggunakan sebuah organisasi kolaboratif.

430

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 2. Model Kolaboratif dari Proses Alih Teknologi

Dengan demikian, alternatif dilihat dari alih teknologi yang disajikan di sini
yang

lebih

baik

menangkap

perkembangan

universitas

terhadap

lembaga

kewirausahaan dan dinamis, dan muka bahwa tubuh pengetahuan tentang usaha ini
akademis penting. Akan tetapi, teori-teori yang berkembang dalam alih teknologi
(technology transfer) yang mendukung perilaku kewirausahaan (entrepreneurial
behavior) dari peneliti (researcher) adalah sesuatu hal baru dan memerlukan
pengembangan, sehingga memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan
ekonomi. Ini adalah salah satu bentuk upaya dalam pengembangan alih teknologi
yang berorientasi bisnis.
Kami menyajikan analisis untuk kasus alih teknologi dari hasil-hasil penelitian
bidang botani LIPI. Analisis dengan menggunakan BMC ini dilakukan terhadap hasilhasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014 yang sudah didaftarkan paten
oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum
dan HAM, Republik Indonesia. Untuk mengelompokkan Value Proposition, kami
mengolah data hasil-hasil penelitian bidang botani terhadap consumer insight seperti
yang dijelaskan oleh Gambar 3 (Jatraningrum, D.A., 2015), karena dalam hal ini
market needs pada akhirnya adalah milik konsumen.

431

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 3. Pemetaan Hasil Penelitian Bidang Botani LIPI Terhadap Consumer Insight

Pengelompokan consumer insight hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI ini


(Jatraningrum, D.A., 2015) dihubungkan dengan tingkatan pencegahan penyakit
menurut Leavel dan Clark (Leavell, H.R., Clark, E.G., 1965) sebagai berikut:
1. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit tertentu (Spesific
Protection)
3. Menggunakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat
(Early Diagnosis and Promotion)
4. Pembatasan kecacatan (Dissability Limitation)
5. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)

Dengan demikian, hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014


dapat dikelompokkan menjadi:
Kuadran I.

Health Promotion

Kuadran II.

Specific Protection/Early Diagnosis and Promotion

Kuadran III.

Disability Limitation

Kuadran IV.

Rehabilitation

Dalam makalah ini, kami memanfaatkan literatur salah satu model bisnis, yaitu
business model canvas atau lebih dikenal sebagai BMC untuk merumuskan kerangka
kerja untuk model bisnis dalam alih teknologi. BMC adalah alat analisis dalam

432

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

manajemen strategis dan perilaku kewirausahaan, dalam menggambarkan, mendesain,


dan menciptakan poros model bisnis (Osterwalder, A., Pigneur, Y., 2009).

METODOLOGI
Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kami menghubungkan
pemetaan hasil-hasil penelitian bidang botani terhadap consumer insight dengan
model bisnisnya.
Salah satu analisis deskriptif yang dilakukan adalah menggunakan pemodelan
Business Model Canvas (BMC) seperti yang dijelaskan oleh Gambar 4. Dalam BMC
terdapat 9 elemen, sebagai berikut:
1. key partners (kemitraan utama),
2. key activities (aktivitas kunci),
3. value proposition (proposisi nilai),
4. customer relationship (hubungan pelanggan),
5. customer segment (segmen pelanggan),
6. key resources (sumber daya utama),
7. channel (saluran),
8. cost structure (struktur biaya), dan
9. revenue stream (arus pendapatan).

Semua elemen dimodelkan secara deskriptif untuk mendapatkan strategi yang


memberikan model bisnis yang lebih cocok.

Gambar 4. Pemodelan Business Model Canvas (BMC)

433

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tahapan-tahapan dalam pemodelan BMC meliputi (Osterwalder, A., Pigneur,


Y., 2009):
1. Konteks (sebelum)
Sumber daya R&D dan Aktivitas-aktivitas Kunci dipusatkan pada in house:
i. Gagasan hanya ditemukan di dalam
ii. Hasil digali hanya di dalam
2. Tantangan
Struktur Biaya R&D sangat mahal dan membuat produktivitas merosot
3. Solusi (sesudah)
Sumber Daya R&D dan Aktivitas Kunci internal ditingkatkan melalui
pemanfaatan mitra luar. Hasil-hasil R&D internal diubah menjadi bentuk
Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada Segmen Pelanggan yang tertarik.

434

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari pemodelan seluruh tahapan yang ada dalam BMC terhadap Kuadran
hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014, dapat dijabarkan solusi
dalam alih teknologi dengan Segmen Pelanggan (industri) yang akan memerlukannya,
dalam hal ini adalah perusahaan farmasi maupun suplemen makanan, seperti yang
diterangkan dalam Tabel 1, yaitu:
Tabel 1. Deskripsi Kondisi dalam Alih Teknologi dengan Segmen Pelanggan
dari Hasil-hasil Penelitian Bidang Botani LIPI Periode 2002-2014
Menggunakan BMC

I.

Kuadran
Penelitian LIPI
Health
Promotion

Tahapan Model
Konteks
Sumber daya R&D dan Aktivitasaktivitas Kunci dipusatkan pada
in house: gagasan hanya ditemukan
di dalam, hasil digali hanya di
dalam.
Tantangan
Struktur Biaya R&D sangat
mahal dan membuat produktivitas
merosot.

Deskripsi Model
Solusi
Sumber Daya R&D dan Aktivitas Kunci
internal ditingkatkan melalui memanfaatkan mitra
luar. Hasil-hasil R&D internal diubah menjadi
bentuk Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada
Segmen Pelanggan yang tertarik.

Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Health Promotion,
peredaran jenis produk di pasaran sangat banyak
dan bagi industri yang penting adalah promosi.

Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan menambah
beban produksi. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada bidang ini, kemungkinan akan
sedikit jumlah peminatnya, karena pelanggan dapat melakukannya sendiri.
II.

Specific
Protection/
Early
Diagnosis
and
Promotion

Konteks

Solusi

Sumber daya R&D dan Aktivitasaktivitas Kunci dipusatkan pada


in house: gagasan hanya ditemukan
di dalam, hasil digali hanya di
dalam.

Sumber Daya R&D dan Aktivitas Kunci


internal ditingkatkan melalui memanfaatkan mitra
luar. Hasil-hasil R&D internal diubah menjadi
bentuk Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada
Segmen Pelanggan yang tertarik.

Tantangan

Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Specific Protection/Early
Diagnosis and Promotion, peredaran jenis produk
di pasaran cukup banyak dan bagi industri yang
penting adalah promosi dan channel.

Struktur Biaya R&D sangat


mahal dan membuat produktivitas
merosot.

435

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kuadran
Penelitian LIPI

Tahapan Model

Deskripsi Model

Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan menambah
beban produksi. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada bidang ini, kemungkinan akan
sedikit jumlah peminatnya. Namun demikian, dapat dilakukan untuk UMKM atau
industri yang baru berkembang dalam bentuk bantuan teknis.
III.

Disability
Limitation

Konteks

Solusi

Sumber daya R&D dan Aktivitasaktivitas Kunci dipusatkan pada


in house: gagasan hanya ditemukan
di dalam, hasil digali hanya di
dalam.

Sumber Daya R&D dan Aktivitas Kunci


internal ditingkatkan melalui memanfaatkan mitra
luar. Hasil-hasil R&D internal diubah menjadi
bentuk Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada
Segmen Pelanggan yang tertarik.

Tantangan

Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Dissability Limitation,
peredaran jenis produk di pasaran mulai sedikit
dan bagi industri ini adalah peluang baru dalam
bisnis dan membutuhkan eksternal R&D.

Struktur Biaya R&D sangat


mahal dan membuat produktivitas
merosot.
Dasar pemikiran

Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan mengurangi
beban produksi jika dilakukan eksternal R&D. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada
bidang ini, kemungkinan akan mulai banyak jumlah peminatnya. Dapat dilakukan untuk
kerjasama dengan industri yang sudah kuat dengan produk-produk di area ini.
IV.

Rehabilitation

Konteks

Solusi

Sumber daya R&D dan Aktivitas-aktivitas


Kunci dipusatkan pada in house: gagasan
hanya ditemukan di dalam, hasil digali
hanya di dalam.

Sumber Daya R&D dan Aktivitas


Kunci internal ditingkatkan melalui
memanfaatkan mitra luar. Hasil-hasil
R&D internal diubah menjadi bentuk
Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada
Segmen Pelanggan yang tertarik.
Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Rehabilitation,
peredaran jenis produk di pasaran sangat
terbatas dan bagi industri ini adalah
peluang baru dalam bisnis dan
membutuhkan eksternal R&D.

Tantangan
Struktur Biaya R&D sangat mahal dan
membuat produktivitas merosot.

Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan mengurangi
beban produksi jika dilakukan eksternal R&D. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada
bidang ini, kemungkinan akan banyak jumlah peminatnya. Kredibilitas LIPI juga sangat
berpengaruh dalam menghasilkan produk-produk mahal pada bagian ini. Dapat
dilakukan untuk kerjasama dengan industri-industri yang sudah sangat kuat dengan
produk-produk di area ini.

436

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dengan demikian, untuk bidang-bidang penelitian botani LIPI, alih teknologi


yang menarik adalah berada pada Kuadran III dan IV. Dimana perusahaan yang
mencari pengetahuan dari periset eksternal membutuhkan biaya yang cukup besar dan
saat ini mencoba menarik orang atau organisasi yang penuh dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menyelesaikan masalah mereka. Di sisi lain, peneliti yang ingin
menerapkan pengetahuan di luar organisasinya juga membutuhkan biaya pencarian
saat mencari peluang yang menarik. Ini yang harus dilakukan oleh LIPI.
LIPI menghubungkan organisasi yang memiliki masalah penelitian yang harus
dipecahkan dengan peneliti-peneliti seluruh dunia yang ingin memecahkan masalah
yang sangat menantang. Model bisnis yang dihasilkan seperti yang diterangkan oleh
Gambar 5. LIPI menjadi Key Partner dalam menghasilkan penelitian-penelitian yang
berada pada Kuadran III dan IV. Kuadran III adalah peluang sekunder, terdiri dari
kondisi kesehatan konsumen berupa penuaan kulit (aging skin), masalah konsentrasi
(concentration), aterosklerosis (atherosclerosis), kesehatan kulit(skin health),
gelisah(anxiety), masalah penglihatan(vision), gangguan tidur (sleep disorder), dan
peradangan dalam tubuh(inflammation in body). Kuadran IV adalah peluang primer,
yang terdiri dari: kanker (cancer), penurunan daya ingat (memory loss), stress (stress),
depresi (depression), serangan jantung (heart disease, kelebihan berat badan (weight),
radang sendi (arthritis), dannyeri sendi (joint pain). Kuadran IV berisikan jenis-jenis
kondisi kesehatan dengan tingkat respon dari konsumen tinggi, sementara
ketersediaan produk-produk botani untuk pemenuhan kebutuhan konsumen akan
kondisi tersebut sangat terbatas. Ini menjadi peluang (opportunity) primer, karena di
sinilah topik-topik penelitian yang akan menghasilkan bisnis baru yang produkproduknya sangat dibutuhkan oleh konsumen.

437

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 5. Model Bisnis yang Dihasilkan dari Deskripsi Kondisi dalam Alih Teknologi
dengan Segmen Pelanggan dari Hasil-hasil Penelitian Bidang Botani LIPI Periode 2002-2014
Menggunakan BMC

Benchmarking
Dalam beberapa tahun terakhir, eksternal R&D telah berkembang dan
meningkat secara signifikan. Seperti apa yang dilakukan oleh Chesbrough
(Chesbrough, H. W., 2003) (Chesbrough, H. W., 2006), dengan mengembangkan
sebuah organisasi R&D dengan inovasi terbuka - Open Innovation. Inovasi terbuka ini
memberikan manfaat dua arah dalam pertukaran kekayaan intelektual untuk
meningkatkan inovasi teknologi. Dua arah manfaat (bi-directional) tersebut adalah ke
dalam dan ke luar. Ke dalam, perusahaan mengambil keuntungan dari eksternal R&D
untuk berinovasi dalam produk dan layanan mereka. Sebaliknya, manfaat ke luar,
bekerja secara proaktif untuk mengembangkan lisensi sendiri untuk orang lain
berbasis pengetahuan dan penelitian (Porter, A. L., 2007). Metode ini telah terbukti
dalam berbagai proyek-proyek pengembangan produk, terutama produk dari industri
untuk pemenuhan kebutuhan konsumen yang biasa disebut fast moving consumer
goods FMCG. Huston (Huston, L. S, 2006) menggambarkan bagaimana Procter &
Gamble P&G telah menempatkan eksternal R&D ini ke dalam praktek R&D seharihari untuk menciptakan setidaknya 35% dari berbagai elemen produk mereka sebagai
produk inovatif baru. Ini merupakan hasil yang sangat menguntungkan dan
mengambil manfaat dari inovasi terbuka.

438

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


BMC adalah alat analisis dalam manajemen strategis dan perilaku
kewirausahaan, dalam menggambarkan, mendesain, dan menciptakan poros model
bisnis. Kami berhasil melakukan analisis untuk kasus alih teknologi dari hasil-hasil
penelitian bidang botani LIPI, dimana kalau dilakukan benchmarking dengan apa
yang terjadi di dunia R&D terdapat kemiripan. BMC dapat melakukan pemilahan
jenis-jenis penelitian apa yang semestinya dilakukan oleh LIPI sehingga Segmen
Pelanggannya dapat melakukan kerjasama. Berdasarkan kerangka kerja konseptual,
dapat disimpulkan bahwa elemen key partners menunjukkan strategi yang
memberikan model bisnis yang lebih cocok. Aplikasi model bisnis pasti memerlukan
adaptasi. Namun demikian, analisis ini dapat menawarkan pelajaran berguna,
terutama bagaimana analisis bisnis untuk alih teknologi dari hasil-hasil penelitian
bidang botani di LIPI. Kami menyarankan untuk melakukan analisis ini untuk jenisjenis penelitian LIPI yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Inovasi LIPI yang
telah mendorong dan memotivasi sehingga dihasilkannya tulisan ini serta perkenan
untuk mengakses dan menggunakan data-data Paten yang dikelola sebagai data
utama.

DAFTAR PUSTAKA
Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link, A.N. (2013). Models and Methods of University
Technology Transfer. Journal of Technology Transfer , 1-73.
Chesbrough, H. W. (2006). Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting
from Technology. Cambridge: Harvard Business School.
Chesbrough, H. W. (2003). The Era of Open Innovation. MIT Sloan Management Review,
44(9) , 35-41.
Huston, L. S. (2006). Connect and Develop. Harvard Business Review, March Ed. , 58-66.
Jatraningrum, D.A. (2015). Pemetaan Peluang Pasar dari Penelitian Botani LIPI: Pendekatan
Consumer Insight. Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V.
Yogyakarta.

439

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Leavell, H.R., Clark, E.G. (1965). Preventive Medicine for Doctor in His Community: an
epidemiological approach (3rd Ed). New York: McGraw-Hill Book Co.
Mansfield, E. (1975). East-West technological transfer issues and problems, international
technology transfer: Forms, resource requirements, and policies. American Economic
Review, 65(2) , 372-376.
Osterwalder, A., Pigneur, Y. (2009). Business Model Generation. Self Published.
Porter, A. L. (2007). Technology Mining to Drive Open Innovation. International Conference
on Technology Innovation, Risk Management and Supply Chain Management
(TIRMSCM) (pp. 1-13). Beijing: Universe Academic Press Toronto.
Ramanathan, K. (2001). E-strategies for technological capability development. Proceedings
of the Portland International Conference on Management and Technology, July 29August 2. Portland.
Ramanathan, K. (2007). The role of technology transfer services in technology capacity
building and enhancing the competitiveness of SMEs. Mongolia National Workshop
on Subnational Innovation systems and Technology Capacity-building Policies to
Enhance Competitiveness of SMEs. Organized by UN- ESCAP and ITMRC.
Ulaanbaatar.
Siegel, D.S., D.A. Waldman, L. Atwater and A.N. Link. (2004). Toward a model of the
effective transfer of scientific knowledge from academicians to practitioners:
qualitative evidence from the commercialization of university technologies. Journal
of Engineering and Technology Management, 21(1-2) , 115-142.
Zhao, L.M. and Reisman, A. (1992). Toward meta research on technology transfer. IEEE
Transactions on Engineering Management, 39(1) , 13-21.

440

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ALTEK 22

KOMPATARIF STUDY KERJASAMA ALIH


TEKNOLOGI ASING KE INDONESIA: STUDI KASUS
KERJASAMA ALIH TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI
Yovita Isnasari
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
yovita.isnasari@gmail.com

ABSTRAK
Indonesia sebagai negara dengan kekayaan hayati memilliki potensi dan peluang yang
cukup besar untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini yang kemudian menjadi daya tarik bagi lembaga maupun
perusahaan asing untuk melakukan kerjasama di bidang alih teknologi. Kerjasama
yang dilakukan antara Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dengan lembaga atau perusahaanlain baik domestik maupun internasional dalam
kurun waktu 2 tahun terakhir tercatat terdapat 4 perjanjian kerjasama. Kerjasama
tersebut didanai oleh lembaga yang berasal dari negara yang melakukan kerjasama.
Dalam tulisan ini akan dijabarkan mengenai kontribusi dari masing-masing pihak
dalam melakukan kerjasama. Kontribusi dari masing-masing pihak ini kemudian akan
dilakukan analisa untuk mengetahui keuntungan yang didapat oleh Pusat Inovasi
LIPI. Selain itu tulisan ini juga akan menganalisa peraturan atau payung hukum yang
berlaku di Indonesia terkait alih teknologi dan Penanaman Modal Asing (PMA).
Metode yang digunakan pada kajian ini yaitu metode desk study, review, dan
perbandingan perjanjian kerjasama Pusat Inovasi dengan lembaga atau perusahaan
asing.

Kata Kunci: Kerjasama, Alih Teknologi,Lembaga/Perusahaan Asing

441

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Dunia saat ini tengah berada pada era global, yang menyebabkan semua
kawasan di seluruh dunia saling terkait dan terintegrasi. Globalisasi tersebut terjadi di
berbagai aspek salah satunya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan dalam era globalisasi
seperti saat ini, sebab negara maju memiliki keunggulan dalam berbagai hal yang
tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi
tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya.
Alih teknologi yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh
kemajuan penelitian dan pengembangan teknologi yang ada di Indonesia. Teknologi
yang merupakan hasil dari penelitian dan pengembangan dinegara-negara maju dan
berkembang juga turut meramaikan alih teknologi dalam negeri. Sumber daya yang
dimiliki oleh Indonesia turut mempengaruhi minat dari negara asing untuk melakukan
investasi di Indonesia. Investasi yang dilakukan tersebut bukan berupa penanaman
modal langsung, namun juga penanaman modal secara tidak langsung.
Produk hukum yang dimiliki Indonesia saat ini dinilai belum mampu
memberikan pedoman bagi alih teknologi asing. Beberapa produk hukum telah
mencantumkan mengenai alih teknologi di Indonesia. Pengaturan tersebut pada
umumnya merujuk pada penanaman modal yang dilakukan oleh pihak asing ke
Indonesia. Beberapa produk hukum Indonesia yang mengatur mengenai alih teknologi
baik secara tersirat maupun tersurat, yaitu:
1. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam undang-undang ini menyebutkan mengenai teknologi pada Pasal 2
mengenai pengertian modal asing, yakni:
a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan
devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk
pembiyaan perusahaan di Indonesia
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan dari milik orang
asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah
Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa
Indonesia.

442

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2.

Undang-undang No. 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri


Undang-undang No. 6 tahun 1967 secara jelas mengatur tentang alih
teknologi yang terjadi dengan cara importasi barang-barang modal termasuk alatalat dan perlengkapan

perusahaan. Secara lengkap diatur dalam pasal

15:pengimporan barang-barang modal, termasuk peralatan dan perlengkapan


perusahaan yang diperlukan untuk usaha-usaha pembangunan baru dan
rehabilitasi dalam bidang-bidang tersebut dalam pasal 9 ayat (1) dapat diberi
keringanan-keringan bea masuk.
3.

Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal


Undang-undang No. 25 tahun 2007 menyebutkan dalam pasal 3 ayat (2) huruf
c, bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah
meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional.
Pasal 10 ayat (4), dalam hal ketenagakerjaan jika penanaman
mempekerjakan

tenaga

kerja

asing,

maka penanam

modal

modal
tersebut

diwajibkan untuk menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi


kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pasal 12 ayat (5) tentang bidang usaha,
pemerintah menetapkan bidang usaha yang salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan kapasitas teknologi nasional.
4.

Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten


Dua hal penting berkaitan dengan alih teknologi sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Undang-undang tersebut
mengatur dua hal : Pertama, cara beralihnya teknologi (tehnologi yang
dipatenkan) bisa melalui beberapa cara sebagaimana diatur dalam pasal 66,
bahwa paten dapat beralih atau dialihkan, baik sebagian atau seluruhnya karena
pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis ataupun sebab lain yang dibenarkan
oleh peraturan perundang-undangan. Kedua, larnagan pencantuman klausul
restriktif dalam kontrak lisensi sebagaimana diatur dalam pasal 71 disebutkan
bahwa klausul perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik

443

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian


Indonesia dan mengembangkan teknologi pada umumnya.
5.

Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,


Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, serta Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2005
Undang-undang No. 18 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun
2005 merupakan satu paket yuridis yang mengatur tentang teknologi dan
alih teknologi yang

terkait

langsung

dengan kegiatan penelitian dan

pengembangan secara nasional.


6.

Keputusan Menteri Perindustrian No. 41/M/SK/3/1979


Surat Keputusan (SK) Menperin No. 41 tahun 1979 mengatur secara khusus
alih

teknologi

dalam

kegiatan

industri

tekstil.

SK Menperin tersebut

menyebut secara eksplisit tentang cara peralihan teknologi yang bisa dilakukan
melalui penyuluhan, seminar, penataran, pendidikan, dan latihan.

METODOLOGI
Kajian ini menggunakan telaah literature yang terkait dengan kerjasama alih
Teknologi dalam lingkup penanaman modal asing di Indonesia. Perbandingan antara
kerjasama alih teknologi yang ada pada kurun waktu 2 tahun terakhir ini akan
dibandingkan memalui komparatif study. Perbandingan tersebut dilakukan untuk
mendapatkan data mengenai kontribusi dari masing-masing pihak. Perbandingan
perjanjian kerjasama alih teknologi ini dilakukan terhadap 4 (empat) perjanjian yang
mana salah satu pihak adalah Pusat Inovasi LIPI.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Alih teknologi merupakan proses dimana teknologi komersial disebarluaskan
dengan mengambil bentuk transaksi alih teknologi, yang mungkin atau mungkin tidak
tercakup oleh kontrak yang mengikat secara hukum (Blakeney, 1989, hal. 136), tetapi
yang melibatkan komunikasi, oleh pentransfer, dari pengetahuan yang relevan kepada
penerima.

444

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dalam referensi mengenai alih teknologi, para peneliti biasanya selalu


mengacu pada

definisi

alih teknologi

yang terdapat

dalam

Transnatioal

Coorporations and Technology Transfer: Effects and Policy Issues. Dalam dokumen
tersebut definisi alih teknologi secara lengkap disebutkan sebagai berikut:
The word technology itself used in at least two senses. In the first, it means
technical knowledge related or know-how-that is, knowledge, the methods and
techniques of production of goods and services. In the sense it may include the human
skills required for the apllication of techniques, since it is difficult to separate such
application from a knowledge of the techniques themselves. In the second, broader
sense, technology also encompasses capital themselves the embodiment of
technical knowledge. In some instance, the term embodied technology is used to
distinguish capital goods from technical knowledge proper (kata teknologi sendiri
setidaknya digunakan dalam dua sudut pandang, pertama, ini berarti berhubungan
pengetahuan teknis atau tentang bagaimana, pengetahuan, metode dan teknik produksi
barang-barang dan jasa. Pengertian lain juga termasuk persyaratan kemampuan
manusia untuk menerapkan teknik, karena sulit dipisahkan penerapan pengetahuan
dari teknik itu sendiri. Kedua, pemikiran secara luas teknologi juga meliputi modal
sendiri perwujudan dari teknik pengetahuan. Dalam beberapa contoh, istilah
perwujudan teknologi, digunakan membedakan modal berupa barang dengan
teknologi tepat guna) UNCTC, Transnational Corporations and Technology
Transfer: Effects and Policy Issues, United Nation, 1987, h. 1.
Dalam pengaturan hukum di Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1967
telah mengatur mengenai alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu :
a. Transfer of knowledge or skill
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 undang-undang tersebut
mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya
pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu sarana untuk alih
teknologi.
b. Transer of share (divestasi)
Transfer of share bertujuan untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan.
Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994

445

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tentang Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam


Rangka Penanaman modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo
15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun sejak produksi komersil posisi partner
Indonesia harus menjadi mayoritas 51% : 49% dalam kepemilikan saham pada
suatu perusahaan PMA.
c. Transfer of employee
Pasal 11 undang-undang tersebut menetapkan bahwa Tenaga kerja asing dapat
dipakai di perusahaan dnegan sumber permodalan asing, sepanjang jabatan
tersebut belum dapat diisi oleh pengusaha Indonesia.
Pelaksanaan alih teknologi di LIPI merupakan bagian dari tugas dan tanggung
jawab dari Pusat Inovasi (Perka LIPI No. 1 Tahun 2014). Teknologi yang menjadi
hasil dari kegaitan penelitian dan pengembangan di satuan kerja LIPI akan masuk
dalam kegiatan alih teknologi Pusat Inovasi. Kegaitan alih teknologi yang dilakukan
oleh Pusat Inovasi LIPI diwujudkan dalam beberapa cara, diantaranya pameran
teknologi, pelatihan, seminar, maupun kerjasama penelitian dan pengembangan.
Kerjasama alih teknologi untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan
oleh Pusat Inovasi telah dilakukan dengan berbagai pihak, baik itu dengan institusi
pemerintah maupun swasta serta baik dalam kerjasama nasional maupun
internasional. Alih teknologi dapat dikatakan berhasil jika terjadi kombinasi antara
kemampuan institusi untuk melakukan penelitian ilmiah serta unit penelitian dan
pengembangan pada tenant dan universitas terhadap kebijakan institusi (Mc.Adam,
2009).
Pelaksanaan kerjasama antara Pusat Inovasi dengan institusi lain tersebut
dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama. Kerjasama didefinisikan sebagai hubungan
antar individu, kelompok maupun organisasi yang melakukan interaksi untuk saling
berbagi kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing untuk mendapat
keuntungan bersama (Gnyawali, D.R., He, J. and Madhaven, R. 2006).
Dalam Black Law Dictionary, dikemukakan bahwa contrct is an agreement
between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular
thing (Black Law Dictionary, 1979 : 291). Yang artinya, kontrak adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban

446

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian atau seluruhnya.
Kontrak merupakan hubungan hukum atara subjek hukum yang satu dengan subjek
hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati (Salim H.S 2008 : 27)
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Pusat Inovasi mendasarkan pada asas
saling menguntungkan dan kedudukan yang sama diantara pada pihak. Meskipun
begitu, alih teknologi yang terjadi di Indonesia dinilai masih lemah, karena alih
teknologi pada umumnya merupakan dasar bagi inovasi teknologi dan seringkali
menjadi efek lanjutan dari difusi teknologi (Elijido, 2010). Jika melihat pada alih
teknologi yang ada saat ini, peran LIPI khususnya Pusat Inovasi dinilai masih sedikit.
Hal ini terlihat dalam tabel Perbandingan Perjanjian Kerjasama berikut ini:

447

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

448

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Berdasarkan tabel perbandingan tersebut, nampak bahwa ruang lingkup dari perjanjian
kerjasama tersebut yaitu pengujian daru teknologi yang telah dihasilkan oleh pihak asing
terhadap kondisi maupun ketersediaan bahan yang ada di Indonesia. Peran yang diberikan
Pusat Inovasi masih sebatas pendukung dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini dapat dilihat
dari penyedia teknologi yang dijadikan subjek kegiatan berasal dari pihak asing.
Meskipun bergitu Pusat Inovasi sebagai mitra dalam kerjasama tersebut juga
mendapat keuntungan dengan meningkatnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).
SDM Pusat Inovasi yang terlibat dalam kegiatan tersebut menjadi memilliki kemampuan dan
pemahaman mengenai teknologi yang dibawa pihak asing untuk dilakukan alih teknologi.
Peluang Pusat Inovasi sebagai institusi tujuan alih teknologi asing memiliki
beberapa keunggulan, yakni keunggulan mutlak (absolute advantage) dan keunggulan
komparatif (comparative advantage)

(Gunawan

Widjaja dan Ahmad Yani, 2001).

Keunggulan mutlak (absolute advantage) yang dimiliki Pusat Inovasi adalah terkait dengan
ketersediaan sumber bahan baku penelitian maupun pengembangan yang tidak dimiliki pihak
asing. Sedangkan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Pusat
Inovasi adalah berkaitan dengan ketersediaan SDM. Keunggulan yang dimiliki Pusat Inovasi
tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak asing untuk melakukan alih teknologi di
Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa peranan yang dimiliki
Pusat Inovasi masih minimal. Karena teknologi yang menjadi subjek utama dari kerjasama
alih teknologi masih berasal dari pihak asing. Pusat Inovasi memberikan kontribusi dalam
menyediakan sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan kerjasama tersebut.
Meskipun begitu Pusat Inovasi tetap mendapat keuntungan berupa meningkatnya
kemampuan dari sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan terkait.
Rekomendasi dari hasil penulisan ini yaitu perlu adanya perencanaan yang lebih
baik dalam melakukan kerjasama alih teknologi. Diharapakan kerjasama alih teknologi yang
terjadi kedepannya akan lebih membawa dampak positif bagi Pusat Inovasi. Selain itu
teknologi yang menjadi subjek kerjasama juga dapat diadopsi oleh satuan kerja lain di
lingkungan LIPI.

449

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Blakeney, M. (1989). Legal Aspects of Technology Transfer to Developing Countries (Oxford: ESC
Publishing).
Elijido-Ten, E., Kloot, L., Clarkson, P. 2010. Extending the Application of Stake- Holder Influence
Strategies to Environmental Disclosures. Accounting, Auditing and Accountability. 23(8):
10321059.
Gnyawali, D.R., He, J. and Madhaven, R. (2006) Impact of co-opetition on firm competitive
behaviour: An empirical examination. Journal of Management 32 (4): 507530.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001. Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis Internasional: EksporImpor dan Imbal-Beli, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
McAdam, R., McAdam, M., Brown, V. 2009. Proof of Concept Processes in UK University
Technology Transfer: An Absorptive Capacity Perspective. R&D Management. 39(2): 111
130.
Salim H.S. 2008. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
UNCTC, Transnational Corporations and Technology Transfer: Effects and Policy Issues, United
Nation, 1987, h. 1.
Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Undang-undang No. 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten
Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, serta Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2005
Keputusan Menteri Perindustrian No. 41/M/SK/3/1979
Peraturan Kepala LIPI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia

BidangP-ALTEK

450

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P-ALTEK 23

PENINGKATAN NILAI EKONOMI SAMPAH DAUN


TUMBUHAN KOLEKSI KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI
KOMPOS BIOPOSKA DAN PROSES ALIH TEKNOLOGINYA
Reza Ramdan Rivai, Yupi Isnaini, Riki Ruhimat
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Jl. Ir. H. Juanda No. 13, P.O. Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat.
*email: rezaramdanrivai@gmail.com

ABSTRAK
Komposbioposka merupakan salah satu produk hasil teknologi pengolahan sampah
organik di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PKT KR - LIPI). Sampah organik berupa serasah daun dan potongan rumput menjadi bahan
baku utama pembuatan kompos bioposka. Kegiatan alih teknologi kompos bioposka telah
dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan pembentukan masyarakat binaan
yang didukung oleh beberapa program. Selain itu, kompos bioposka telah dimanfaatkan oleh
masyarakat melalui unit bisnis lembaga berupa Garden Shop PKT KR LIPI. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan pengolahan sampah daun tumbuhan
koleksi PKT KR LIPImenjadi produk kompos bioposka dan mengevaluasi proses alih
teknologinya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
berdasarkan informasi kegiatan produksi yang dilakukan oleh Unit Kompos, Subbidang
Pemeliharaan Koleksi PKT KR LIPI. Data pemanfaatan produk oleh masyarakat
didapatkan dari database Garden Shop, Unit Kerja Sama dan Promosi, Subbidang Kerja
Sama dan Informasi PKT KR LIPIpada tahun 2010 2014 serta bulan Januari Agustus
2015. Tulisan ini mendeskripsikan bahwa proses produksi kompos bioposka telah dilakukan
secara masal melalui tahapan pengumpulan sampah daun dan potongan rumput,
penggilingan, fermentasi, penyaringan dan pengemasan. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa pemanfaatan produk kompos bioposkaoleh masyarakat melalui Garden
Shopberfluktuatif pada tahun 2010 2014. Penjualan kompos bioposka lebih tinggi pada
tahun 2015 dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya meskipun pengumpulan data
penjualan pada tahun 2015 baru sampai bulan Agustus. Kegiatan promosi yang lebih intensif
pada tahun 2015 terbukti dapat meningkatkan penjualan kompos bioposka di Garden Shop
PKT KR LIPI.
Kata kunci: Alih Teknologi,Bioposka, Garden Shop, Kebun Raya, Kompos.

BidangP-ALTEK

451

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (Kebun Raya Bogor) memiliki
sumber bahan organik berupa sampah daun yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan kompos. Setiap bulannya Kebun Raya Bogor menghasilkan sekitar 36
ton sampah organik (Ruhimat, 2008). Ketersediaan bahan organik sampah daun akan menjadi
ciri khas Kebun Raya dalam menghasilkan pupuk organik atau kompos.Metode pembuatan
kompos cukup beragam karena sangat tergantung dari jenis bahan organik. Sampah dari
pasar akan memiliki penanganan yang berbeda dengan sampah dari kebun atau lahan
pertanian. Darwis dan Rachman (2013) menyatakan bahwa sampah organik yang dihasilkan
oleh suatu wilayah berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik.
Manfaat kompos organik adalah salah satunya dapat memperbaiki kondisi media
tanam sehingga dapat mendorong pertumbuhan tanaman secara alami. Ketersediaan kompos
bermutu dapat dihasilkan melalui proses pengolahan yang sesuai dengan standar pengolahan
kompos yang tepat. Kompos bioposka yang diproduksi oleh Kebun Raya Bogor memiliki
manfaat untuk perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. Helmanto et al. (2015)
membuktikan bahwa penambahan kompos bioposka pada media pasir dapat meningkatkan
daya kecambah biji Quassia indica. Rivai et al. (2015) menambahkan bahwa kompos
bioposka terbukti dapat meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan bibit Alpinia
malaccensis terutama pada parameter pertumbuhan organ vegetatif dan kandungan klorofil.
Damayanti dan Helmato (2015) juga telah membuktikan bahwa kompos bioposka dapat
digunakan sebagai media maupun pupuk tambahan pada perkecambahan biji Clausena
excavata. Penelitian Isnaini et al. (2015) telah mengungkapkan bahwa penambahan kompos
bioposka pada media tanam juga terbukti dapat menghasilkan umbi Amorphophallus
paeoniifolius menjadi lebih besar.
Kompos selain memiliki sifat ramah lingkungan dan bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman juga memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Alih teknologi berupa
penyebaran informasi maupun distribusi manfaat hasil penelitian perlu dirasakan oleh
masyarakat luas. Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan
pengolahan sampah daun tumbuhan koleksi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI
(Kebun Raya Bogor)

menjadi produk kompos bioposka dan mengevaluasi proses alih

teknologinya.

BidangP-ALTEK

452

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

BAHAN DAN METODE


Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan diGarden Shop dan Unit Pengolahan Kompos, Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya - LIPI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2015.

Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
berdasarkan informasi kegiatan produksi yang dilakukan oleh Unit Pengolahan Kompos,
Subbidang Pemeliharaan Koleksi, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun RayaLIPI. Data
penjualan didapatkan dari database Garden Shop, Unit Kerja Sama dan Promosi, Subbidang
Kerja Sama dan Informasi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun RayaLIPIpada tahun 2010
2014 serta bulan Januari Agustus 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses Produksi Kompos Bioposka
Proses produksi kompos bioposka diawali dari tahapan pengumpulan material utama
berupa sampah daun koleksi Kebun Raya Bogor. Menurut Ruhimat (2008), proses produksi
kompos bioposka dibagi kedalam 5 tahapan utama yang terdiri atas: pengumpulan sampah
daun, penggilingan, fermentasi, penyaringan dan pengemasan (Gambar 1).
Tahap pertama merupakan pengumpulan sampah organik berupa serasah daun
tumbuhan koleksi Kebun Raya Bogor sebagai material utama. Selain itu, material lainnya
yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kompos biposka adalah ranting, potongan
rumput dan serasah daun tumbuhan non koleksi (tumbuhan yang tidak memiliki identitas
ataupun tanaman penghias taman) yang berada di dalam kawasan Kebun Raya Bogor.
Serasah daun yang tidak tercampur dengan sampah anorganik disapu dan dikumpulkan.
Material yang terkumpul diangkut menggunakan kendaraan operasional berupa mobil bak
terbuka dan disimpan di tempat penampungan sementara.

BidangP-ALTEK

453

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pengumpulan
Sampah Daun

Penggilingan
Pembalikan

Fermentasi
Penyiraman

Penyaringan
Karung 30 Kg

Pengemasan
Plastik 5 Kg

Distribusi
danPemasaran

Gambar 1. Tahapan pembuatan kompos bioposka di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI

Tahap kedua adalah proses penggilingan. Tujuan dari penggilingan adalah untuk
mengahancurkan bahan organik menjadi bagian yang lebih kecil. Bahan yang berukuran lebih
kecil akan lebih cepat terdekomposisi.Bahan yang telah digiling selanjutnya dimasukkan ke
dalam bak penampung sebagai tempat untuk proses fermentasi.
Tahap ketiga merupakan proses fermentasi. Tahapan ini merupakan tahapan yang
paling penting dalam proses pengomposan. Komposisi utama dalam proses fermentasi adalah
sampah daun yang telah digiling, air dan bahan aktivator. Pola fermentasi dibuat dengan
sistem tumpukan (1.5 x 2 x 1.5) m3. Bahan aktivator salah satunya mengandung inokulan
mikroba yang berperan memecah selulosa. Proses pembuatan kompos dari sampah organik
sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bahan aktivator yang digunakan (Yuniwati et al.,
2012). Proses fermentasi berlangsung selama 30 45 hari. Selama proses tersebut dilakukan
juga kegiatan pembalikan dan penyiraman dengan tujuan untuk menjaga suhu, aerasi dan
kelembaban. Kompos yang sudah matang dicirikan dengan bentuknya menyerupai tanah,
berwarna hitam dan tidak berbau. Subali dan Ellianawati (2010) mengungkapkan bahwa

BidangP-ALTEK

454

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
semakin lama proses pengomposan maka persentase unsur N dalam kompos semakin
meningkat, waktu yang optimal untuk proses pengomposan adalah sekitar 42 hari.
Tahapan selanjutnya adalah penyaringan dan pengemasan. Penyaringan dilakukan
dengan tujuan untuk memisahkan ranting, tangkai daun, kerikil, plastik maupun material
lainnya dari kompos yang telah matang. Kualitas akhir pengomposan tergantung dari proses
penyaringan. Kompos yang telah disaring selanjutnya dikemas berdasarkan jenis kemasan
yang akan dipasarkan. Produk akhir berupa kompos biposka kemasan 30 kg dalam karung
dan 5 kg dalam plastik.
Kompos yang telah matang dan siap untuk dipasarkan diuji di Laboratorium Balai
Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian. Tabel 1 menunjukkan hasil kandungan hara sampel
kompos bioposka pada tahun 2014. Sebagian besar indikator hara yang terkandung dalam
kompos bioposka telah memenuhi standar yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi
Nasional (2004). Berdasarkan dokumen SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari
sampah organik domestik menunjukkan bahwa kompos bioposka telah memenuhi standar
untuk indikator pH, nitrogen total, batas maksimum unsur Fe, Mn, Cu, Zn dan Pb.
Tabel 1. Hasil uji laboratorium kandungan hara kompos bioposka

Indikator
pH
Kadar air
C-Total
N-Total
C/N
P2O5
K2O
Fe
Mn
Cu
Zn
Pb
Cd
Co

Satuan
%
%
%
%
%
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm

Nilai
*6.8
57.92
9.34
*1.26
7
0.04
0.17
*9374
*555
*21
*85
*19
*0
*1.7

SNI
6.8 7.49
50
9.8 32
0.4
10 20
0.10
0.20
20000
1000
100
500
150
3
34

Keterangan: SNI= Standar Nasional Indonesia; Angka yang didahului oleh tanda * menunjukkan nilai tersebut
telah sesuai dengan SNI.

Produk kompos bioposka selain yang dikemas dalam kemasan 30 kg dan 5 kg, juga
dimanfaatkan secara internal berupa kompos galian. Gambar 2 menunjukkan produksi kompos
bioposka pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 (Januari Agustus). Pada tahun 2012-2013

BidangP-ALTEK

455

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
kompos bioposka diproduksi dalam skala besar, namun karena pemasaran dan distribusi produk
belum begitu lancar sehingga produk menumpuk di gudang. Berdasarkan hal tersebut, produksi
kompos bioposka disesuaikan dengan rencana distribusi dan permintaan pasar. Pada tahun 2015
produksi kompos bioposka galian naik secara signifikan, hal ini disebabkan oleh pemanfaatan produk
untuk internal lembaga.

4000
3500

Produksi (unit)

3000
2500

5 kg (unit)
2000

30 kg (unit)
Galian (karung)

1500
1000
500
0
2012

2013

2014

2015 (Jan-Agu)

Gambar 2. Grafik produksi kompos bioposka pada tahun 2012 - 2015

Tekno Ekonomi
a. Perhitungan Biaya Produksi
Hasil perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos curah yang
menggunakan bahan utama serasah daun. Berdasarkan tabel 2, kapasitas produksi kompos
bioposka selama 1 tahun sebanyak 180 Ton.
b. Perhitungan Keuntungan
Keuntungan atau laba (rugi) dapat diketahui setelah penerimaan hasil penjualan
produk dikurangi dengan harga pokok dan biaya produksi. Dimana jumlah produksi kompos
bioposka sebanyak 180.000 kg akan dihasilkan bioposka curah sebanyak 162.000 kg (13,5
ton/bulan). Pendapatan dan keuntungan yang diperoleh pabrik dengan produksi 162.000 kg
dan harga kompos Rp 1.000,00 /kg adalah sebagai berikut:

BidangP-ALTEK

456

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Pendapatan

= jumlah produksi kompos x harga kompos


= 162.000 kg x Rp 1.000,00/kg
= Rp 162.000.000,00

Keuntungan

= pendapatan biaya produksi


= Rp 162.000.000,00 Rp 146.500.000,00
= Rp 15.500.000,00

Tabel 2. Biaya investasi pembuatan kompos bioposka skala semi komersil


No.
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
B
1.

2.

3.
4.
5.
6.

Uraian
Biaya Investasi (5 Tahun)
Mesin Pencacah (crusher)
Mesin Penyaring
Genset 5 KVA
Bangunan
Lantai pengeringan
Timbangan
Mesin Jahit Karung
Mesin Sealer
Troli
Sub Total A
Biaya produksi (Operasional)
Bahan
- Bioaktifator
- Bahan baku serasah daun
- Kemasan karung
- Kemasan plastik
- Plastik fermentasi
- Benang jahit karung
- Bahan bakar
Peralatan pendukung (garpu,
sekop,
cangkul,
golok,
termometer batang)
Tenaga Kerja
- Pengolah kompos
Biaya ATK
Promosi pemasaran
Penyusutan (10% biaya
investasi)*
Sub Total B
Total Biaya (A+B)

Harga Satuan (Rp)

Volume

Satuan

Jumlah (Rp)

60.000.000
22.000.000
5.000.000
2.500.000
2.000.000
2.000.000
1.500.000
800.000
600.000

1
1
1
120
40
1
1
1
3

Unit
Unit
Unit
m2
m2
Unit
Unit
Unit
Unit

60.000.000
22.000.000
5.000.000
300.000.000
80.000.000
2.000.000
1.500.000
800.000
1.200.000
472.500.000

30.000
3.000
20.000
500.000
10.000
7.500
600.000

400
260
180
18
8
60
700
1

Kg
Ton
Lembar
Pak
Rol
Gulung
Liter
Paket

12.000.000
540.000
360.000
4.000.000
600.000
5.250.000
600.000

75.000
300.000
20
10.000

960
1
180.000
3.000

4/HOK
Paket
Kg
Kg

72.000.000
300.000
3.600.000
47.250.000
146.500.000
619.000.000

BidangP-ALTEK

457

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kelayakan perusahaan
pabrik kompos yaitu break event point (BEP), benefit cost ratio (B/C), pay back
periodeI(PBP)
1. BEP
BEP produksi = biayaproduksi
harga jual
= Rp. 146.500.000,00 / Rp.1000,00
= Rp. 146.500,00 kg kompos bioposka

2. Benefit Cost Ratio (B/C)


B/C adalah perbandingan antara tingkat keuntungan yang diperoleh dengan total biaya yang
dikeluarkan. Usaha pengolahan limbah ternak ini dikatakan layak dan memberikan manfaat
jikanilai B/C >0.
B/C

keuntungan

biaya produksi
=

Rp 15.500.000,00
Rp 146.500.000,00

= 0,1
Berdasarkan perhitungan diatas menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan kompos Bioposka
ini berdasarkan B/C sangat layak untuk direalisasikan. Nilai B/C = 0,6 artinya bahwa setiap
Rp. 1.000,00 yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 100,00.

3. Pay Back Periode (PBP)


PBP

nilai invetasi

keuntungan per tahun


= Rp. 472.500.000,00
Rp. 15.500.000,00
= 30,48 tahun
Berdasarkan hasil perhitungan PBP adalah 30,48 tahun. Artinya, dalam jangka waktu 30,48
tahun modal usaha pembuatan kompos akan kembali.

4. Break Event Point (BEP)

BidangP-ALTEK

458

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
BEP Produksi =

Total Biaya

Harga Penjualan
=

Rp. 146.500.000,00
Rp. 1.000,00

= 146.500 Kg
BEP Harga

Total Biaya

Total Produksi
=

Rp. 146.500.000,00
162.000 Kg

= Rp.904,32/Kg

BEP ini merupakan titik impas usaha, dari nilai BEP dapat diketahui pada tingkat
produksi dan harga berapa suatu usaha pengolahan limbah daun (pembuatan pupuk organik)
tidak memberikan keuntungan dan tidak pula mengalami kerugian.Sebagai contoh untuk
pembuatan kompos bioposka, usaha tidak mengalami kerugian atau memberikan keuntungan
jika total produksi kompos curah sebanyak 146.500 kg atau harga pupuk kompos bioposka
hanya Rp. 904,32 per kg.
Peningkatan keuntungan suatu usaha dapat dilakukan dengan cara menaikan produksi.
Produksi akan meningkat ketika permintaan pasar juga meningkat. Promosi merupakan salah
satu cara yang tepat dalam menyebarkan informasi suatu produk, termasuk kompos bioposka.
Menurut Julianto (2006), promosi memiliki pengaruh terhadap brand image suatu produk.
Brand image yang kuat dapat merubah perilaku konsumen untuk cenderung mengenal,
mengingat, mencoba dan akhirnya membelinya. Selain itu, menurut Santoso et al. (2013)
menambahkan bahwa perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh kualitas produk, harga dan
promosi yang ditetapkan oleh suatu unit usaha.

Proses Alih Teknologi


Teknologi tepat guna merupakan teknologi yang dapat dirasakan langsung
manfaatnya oleh masyarakat. Diseminasi produk kompos bioposka dapat berupa kegiatan
promosi di media massa, media cetak, seminar ilmiah, pameran skala nasional, regional
maupun internasional. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala LIPI No. 1124/F/2013 tanggal
29 November 2013 menetapkan bahwa salah satu bentuk kegiatan penerapan dan

BidangP-ALTEK

459

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah (Iptekda) adalah program
pengembangan produksi kompos bioposka melalui upaya pemanfaatan sampah organik di
wilayah Kebun Raya Bogor.
Kegiatan Iptekda LIPI pada tahun 2014 salah satunya adalah membina masyarakat di
kabupaten Cianjur. Kegiatan yang dilakukan antara lain pelatihan pembuatan kompos dengan
memanfaatkan material lokal berupa jerami padi dan rumput. Pembuatan demplot tanaman
cabai dan padi dengan menggunakan kompos bioposka sebagai pupuknya. Serta dilakukan
juga pemberian hibah kompos bioposka produksi dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya-LIPI dan kerjasama pemasaran kompos yang dihasilkan oleh masyarakat setempat.

Komersialisasi Produk
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI memiliki unit bisnis lembaga berupa
Garden Shop. Fungsi utama Garden Shop adalah sebagai show room tempat penjualan dan
promosi produk LIPI kepada pengunjung Kebun Raya Bogor. Produk utama yang dipasarkan
berupa kompos bioposka, tanaman, buku-buku ilmu pengetahuan, cinderamata, herbal,
makanan dan minuman.
Kompos bioposka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sejak tahun 2010. Gambar 3
menunjukkan pemanfaatan kompos bioposka oleh masyarakat dengan indikator terukur
berupa grafik penjualan kompos bioposka tahunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2015 (Januari Agustus).Kegiatan komersialisasi kompos bioposka dapat berupa penjualan
langsung produk ke masyarakat terutama pengunjung Kebun Raya Bogor. Berdasarkan
gambar 3, menunjukkan bahwa fluktuasi kompos bioposka yang dimanfaatkan oleh
masyarakat dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Meskipun data penjualan pada tahun
2015 masih sampai bulan Agustus, namun terlihat bahwa angka penjualan tertinggi ada pada
tahun tersebut. Promosi yang lebih intensif pada tahun 2015 merupakan salah satu faktor
utama dalam mendongkrak angka pemanfaatan produk kompos bioposka oleh masyarakat.

BidangP-ALTEK

460

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

14000
13245

12970
12075

12000

10265

10000
9120

Penjualan (kg)
8000
6000
4910
4000
2000
0
2010

2011

2012

2013

2014

2015 (Jan-Agu)

Gambar 3. Grafik penjualan produk kompos bioposka pada tahun 2010 2015

Promosi yang dilakukan salah satunya melalui media sosial sangat signifikan dalam
membantu penyebaran informasi terkait produk kompos bioposka. Menurut Lesmana (2012),
media sosial merupakan trend dalam komunikasi pemasaran pada masa kini. Perkembangan
penggunaan media sosial di Indonesia sangat berkembang pesat. Penyebaran informasi yang
dulunya hanya satu arah, pada era sekarang penyebaran informasi dapat berantai dan
menyebar secara cepat ke semua lapisan masyarakat. Andreani (2013) menambahkan bahwa
media sosial yang paling berpengaruh terhadap promosi suatu produk adalah facebook,
twitter dan YouTube. Sebagian masyarakat juga memanfaatkan instagram dalam
mempromosikan produknya di media sosial. Nugroho dan Kastaman (2014) juga mendukung
pernyataan sebelumnya, bahwa media sosial facebook dapat digunakan untuk melakukan
promosi produk secara efektif dan efisien.
Perilaku konsumen dalam memanfaatkan produk kompos bioposka sangat
berfluktuatif. Gambar 4 menunjukkan fluktuasi penjualan bulanan kompos bioposka pada
tahun 2015. Angka penjualan tertinggi ada pada bulan April. Konsumen tetap merupakan
salah satu penyumbang utama angka penjualan pada bulan tersebut. Menurut Suardika et al.
(2014) faktor psikologis konsumen yang terdiri atas motivasi, pembelajaran dan sikap
berpengaruh terhadap keputusan pembelian suatu produk. Promosi produk merupakan cara
yang tepat dalam memengaruhi pola perilaku konsumen.

BidangP-ALTEK

461

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

462

Pusat Inovasi - LIPI

7000
6000

Penjualan (kg)

5000
4000
3000
2000
1000
0
Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

Gambar 4. Grafik penjualan bulanan produk kompos bioposka pada tahun 2015

Kompos bioposka memiliki dua jenis produk berdasarkan kemasannya, kemasan 5 kg


dan 30 kg. Gambar 5 menunjukkan penjualan produk kompos bioposka berdasrkan kemasan
pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Perilaku konsumen berfluktuatif setiap
tahunnya. Pada tahun 2015, kompos bioposka yang terjual mayoritas kemasan 30 kg.
Pengunjung yang membeli kompos bioposka ukuran 5 kg biasanya digunakan sebagai
souvenir untuk keluarga dan kerabatnya, ataupun digunakan untuk keperluannya sendiri
dalam skala kecil. Sedangkan kompos bioposka kemasan 30 kg biasanya dibeli oleh
konsumen tetap dengan tujuan pemakain skala besar.

BidangP-ALTEK

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

500
447

450

413

406

400
P
en350
ju300
al
a 250
n
(u200
ni150
t)
100

328
271

295 293
213

198
160

137

116

50
0
2010
2011
Penjualan (unit) 5 kg

2012
2013
Penjualan (unit) 30 kg

2014

2015
(Jan-Agu)

Gambar 5. Penjualan produk kompos bioposka berdasarkan kemasan pada tahun 2010-2015

KESIMPULAN
Sampah organik dengan material utama berupa daun tumbuhan koleksi Kebun RayaLIPI memiliki peningkatan nilai ekonomi setelah diolah menjadi produk kompos bioposka.
Proses alih teknologi produk kompos bioposka dapat dilakukan dengan diseminasi dan
komersialisasi melalui unit bisnis satuan kerja (Garden Shop Pusat Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya LIPI). Promosi melalui berbagai media, salah satunya media sosial dapat
meningkatkan penjualan produk kompos bioposka.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Unit Pengolahan Kompos, Subbidang
Pemeliharaan Koleksi serta Garden shop, Unit Kerja Sama dan Promosi, Subbidang Kerja
Sama dan Informasi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI atas tersedianya
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

BidangP-ALTEK

463

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Andreani G. 2013. Pengaruh Promosi melalui Media Sosial terhadap Minat Beli Samsung Berbasis
Android pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas
Sumatera Utara.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. Standar
Nasional Indonesia-SNI 19-7030-2004.
Damayanti F dan H Helmanto. 2015. Perkecambahan dan pertumbuhan kecambah Clausena excavata
pada perlakuan pemberian kompos bioposka. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 1(4): 856-859.
Darwis V dan B Rachman. 2013. Potensi pengembangan pupuk organik insitu mendukung percepatan
penerapan pertanian organik. Forum Penelitian Agro Ekonomi 31(1): 51-65.
Helmanto H, F Damayanti dan DW Purnomo. 2015. Pengaruh pupuk kompos bioposka dalam proses
perkecambahan dan pertumbuhan biji Quassia indica. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 1(4): 852-855.
Isnaini Y, I Handayani dan Yuzammi. 2015. Aplikasi kompos bioposka untuk aklimatisasi suweg
(Amorphophallus paeoniifolius) hasil perbanyakan kultur jaringan. Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi
Hijau halaman 179-186.
Julianto A. 2006. Pengaruh Promosi terhadap Brand Image Sabun Mandi Lifebuoy. Skripsi. Fakultas
Bisnis dan Manajemen. Universitas Widyatama.
Lesmana IGNA. 2012. Analisis Pengaruh Media Sosial Twitter terhadap Pembentukan Brand
Attachment. Tesis. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Nugroho H dan Kastaman. 2014. Pengaruh media sosial Facebook dalam peningkatan penjualan
bisnis online. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi halaman 161-168.
Rivai RR, FF Wardani and MG Devi. 2015. Germination and breaking seed dormancy of Alpinia
malaccensis. Nusantara Bioscience 7(2): 67-72.
Ruhimat R. 2008. Pemanfaatan sampah daun sebagai bahan dasar kompos organik di Kebun Raya
Bogor. Warta Kebun Raya 8(2): 93-100.
Santoso KW, HD Waluyo dan S Listyorini. 2013. Pengaruh kualitas produk, harga dan promosi
terhadap keputusan pembelian permen tolak angina di Semarang. Diponegoro Journal of Social
and Politic 1(1): 1-10.
Suardika IMP, IGAA Ambarawati dan IP Sukaatmadja. 2014. Analisis perilaku konsumen terhadap
keputusan pembelian sayur organik CV Golden Leaf Farm Bali. Jurnal Manajemen Agribisnis
2(1): 1-10.
Subali B dan Ellianawati. 2010. Pengaruh waktu pengomposan terhadap rasio unsur C/N dan jumlah
kadar air dalam kompos. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY halam 49-53.
Surat Keputusan Kepala LIPI. 2013. Pelaksanaan Penerapan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi di Daerah oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tahun 2014.

BidangP-ALTEK

464

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Yuniwati M, F Iskarima dan A Padulemba. 2012. Optimasi kondisi proses pembuatan kompos dari
sampah organik dengan cara fermentasi menggunakan EM4. Jurnal Teknologi 5(2): 172-181.

BidangP-ALTEK

465

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P-ALTEK 24

FRAMEWORK SERVICE ENGINEERING


UNTUK MENINGKATKAN LAYANAN STARTUP BIDANG
E-HEALTH DI INDONESIA
Ana Heryana
Pusat Penelitian Informatika LIPI
Jl. Sangkuriang Komplek LIPI Gedung 20 Lantai 3 Bandung
Email : anah002@lipi.go.id

ABSTRAK
Pengembangan e-Health dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada
masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Kelebihan teknologi
e-Health, diantaranya fitur pemantauan kondisi kesehatan secara remote yang diaplikasikan
pada perawatan secara mandiri/personal melalui perangkat bergerak. Angka statistik
kepemilikan dan penggunaan telepon cerdas pada masyarakat perkotaan dan pedesaan di
Indonesia menunjukkan trend yang terus meningkat setiap tahunnya. Dan penetrasi
ketersediaan koneksi internet melalui perangkat bergerak (telepon cerdas dan tablet) terus
diupayakan dengan diikuti oleh peningkatan bandwidth oleh operator telekomunikasi di
Indonesia.

Namun demikian masyarakat belum memanfaatkan aplikasi e-Health secara

maksimal. Salah satunya faktor penyebabnya karena minimnya startup company yang
bergerak dibidang jasa layanan e-Health yang dapat menyediakan layanan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pada paper ini akan diusulkan model layanan startup
company bidang kesehatan dengan menerapkan framework service engineering yang
dipadukan dengan lean startup model. Framework ini menjadi acuan bagi startup company
dalam menginisiasi dan pengembangan produk sehingga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat serta pihak-pihak terkait (stakeholder). Pada paper ini disajikan pula pengujian
framework service engineering dan lean startup model pada studi kasus startup company ehealth untuk layanan pemantauan kesehatan jantung.
Kata kunci : startup company, service engineering, lean startup model

BidangP-ALTEK

466

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Secara terminologi, startup company yang merupakan serapan dari bahasa Inggris
adalah tindakan atau proses memulai sebuah organisasi baru atau suatu bisnis. Startup
biasanya dirujuk pada aktivitas organisasi atau usaha yang belum lama dimulai atau
beroperasi.
Istilah startup mulai popular ketika era bubble dot-com sekitar tahun 1998-200,
dimana secara bersamaan banyak didirikan perusahaan dot-com yang menandakan era
perkawinan teknologi, web, internet dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu. Pada masa
itu berbagai perusahaan gencar membuat website untuk kepentingan pengembangan usaha.
Sebenarnya startup tidak melulu perusahaan yang bersentuhan dengan teknologi, dunia maya,
aplikasi atau produk, namun bisa juga berupa jasa dan gerakan ekonomi kerakyatan yang
mandiri tanpa bantuan korporasi-korporasi besar dan mapan.
Karakteristik perusahaan yang termasuk kategori startup antara lain: (a) usia
perusahaan kurang dari 3 tahun, (b) jumlah pegawai kurang 20 orang, (c) penghasilan kurang
dari USD 20.000 / tahun, (d) masih dalam tahap berkembang, (e) umumnya beroperasi dalam
bidang teknologi, (f) produk yang dibuat dalam bentuk digital, (g) beroperasi melalui
website.
Seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia, hal ini berdampak pada
semakin pesatnya pertumbuhan startup di Indonesia. Berdasarkan data yang tercatat pada
situs http://www.startupranking.com/top/indonesia, saat ini ada sekitar 787 startup Indonesia
yang telah berjalan. Angka ini akan terus berjalan dengan bertambahnya inkubator dan
investor yang menjadi pendorong bertumbuhnya startup di Indonesia.
Startup Indonesia yang bergerak di bidang layanan kesehatan terus bertambah seiring
dengan upaya mempermudah akses layanan kesehatan melalui media internet. Secara garis
besar, layanan yang diberikan antara lain konsultasi kesehatan, informasi dokter, informasi
obat dan apotek, serta layanan laboratorium.
Menurut Laurence McCahill, secara umum permasalahan yang dihadapi oleh
mayoritas startup, antara lain : (a) visi dan misi yang tidak jelas, (b) kurang fokus, (c) desain
yang tidak menarik user (user friendly), (d) produk yang tidak populer, (e) fokus hanya
kepada investor bukan pada pelanggan, (f) fokus pada penjualan dan melupakan product
market fit, (g) meluncurkan produk terlalu cepat, (h) tidak memiliki mentor, (i) tidak
memiliki rencana jangka panjang, (j) salah merektur anggota tim.

BidangP-ALTEK

467

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Guna mengeliminasi permasalahan yang dihadapi oleh startup company bidang
kesehatan, pada paper ini akan diajukan penggunaan framework service engineering.
Framework ini akan diujicobakan terhadap proses pengembangan produk yang akan
dikomersilkan oleh sebuah startup bidang kesehatan.

METODOLOGI
Pada paper ini akan dijabarkan metodologi penelitian yang digunakan yaitu
framework service engineering dengan pendekatan simple approach. Sedangkan lean startup
model dan lean startup process digunakan sebagai rujukan dalam mengkreasi dan mengatur
startup agar dapat menyediakan produk sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Berdasarkan framework service engineering, terdapat 4 tahap aktivitas yang


dilaksanakan yaitu identifikasi (identify), desain (design), pengembangan (develop) dan
deploy. Lihat gambar 1.
Gambar 1. Framework Service Engineering
Sedangkan lean startup model terdiri dari penemuan oleh konsumen, validasi
konsumen, kreasi konsumen dan pembentukan konsumen. Model ini pertama kali dikenakan
oleh Erick Ries, yang merupakan model cara pengembangan produk baru. Inti dari model ini
adalah untuk memeriksa dan meyakinkan apakah produk yang dikembangkan sudah sesuai
dengan kebutuhan konsumen. Proses ini dilakukan berulang, dan produk akan diluncurkan
ketika fungsi minimal telah disematkan pada sistem yang dikembangkan.

Gambar 2. Lean startup model

BidangP-ALTEK

468

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Dalam pengembangan produk lebih lanjut menggunakan lean startup process atau
seringkali dikenal sebagai build-measure-learn. Proses diawali dengan penemuan ide,
coding dan kembangkan produk dengan fungsi dasar secepat mungkin (build). Selanjutnya
meminta pengguna untuk menggunakan dan membuat ulasan produk yang dilakukan sambil
mengumpulkan informasi tentang produk (data/measure). Tentukan apakah produk sudah
memenuhi kebutuhan pengguna atau tidak. Jika ridak, lakukan pengaturan ulang fokus
(learn). Pada fase ini dapat dilakukan pivot atau perubahan model bisnis yang digunakan.
Lihat gambar 3.

Gambar 3. Lean startup process

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produk layanan kesehatan yang dikembangkan untuk startup ini bertujuan untuk
memantau kondisi jantung pengguna. Proses pengembangan dipadukan dengan menggunakan
lean startup model dan lean startup process. Sehingga diharapkan akan menghasilkan produk
yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dan produk dapat dirilis ke pengguna tepat waktu.
Proses pengembangan produk pada penelitian ini menggunakan framework service
engineering dengan pendekatan simple approach. Dimana langkah-langkah yang dikerjakan
antara lain :
1. Identifikasi
Tahap dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang akan
diselesaikan. Secara umum tahapan yang dilakukan pada fase ini adalah (a) review peraturan
dan perundang-undangan tentang perawatan kesehatan di Indonesia; (b) survei pengguna; (c)

BidangP-ALTEK

469

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
analisa bisnis dengan menggunakan Bussiness Model Canvas. Pada tabel 1 disajikan detail
aktivitas pada fase identifikasi.

Tabel 1. Identifikasi sistem layanan


Data

Dokumen peraturan dan perundang-undangan untuk layanan


kesehatan, survei dan BMC (Bussiness Model Canvas)

Alat bantu

Lickert model, BMC dan hirarki struktur

Metoda dan
hasil

Review dokumen Peraturan Presiden RI dan kebijakan


kementrian kesehatan tentang sistem kesehatan nasional.
Review petunjuk dan peraturan yang dibuat oleh organisasi
profesional bidang kesehatan di Indonesia.
Menyiapkan kuesioner untuk survei kepada calon pengguna
layanan sistem kesehatan yang akan dikembangkan. Daftar
pertanyaan menggunakan dua metode yaitu pertanyaan tertutup
dan skala Lickert.
Melaksanakan survei pada populasi yang telah ditentukan sesuai
dengan target layanan kesehatan.
Mengidentifikasi layanan kesehatan yang umunya diperlukan di
Indonesia
Mengidentifikasi cara untuk berinteraksi dengan pihak-pihak
terkait (pasien dan caregiver)
Mengidentifikasi keuntungan pada implementasi bisnis
Mengidentigikasi sumber daya yang diperlukan dalam melakukan
aktivitas bisnis.
Menidentifikasi aktivitas yang akan dilakukan untuk menjamin
kualitas layanan.
Mengidentifikasi pihak-pihak lain yang dibutuhkan untuk
operasional sistem layanan.
Mengidentifikasi biaya yang diperlukan untuk menjalanan sistem
layanan.

2. Desain
Fase desain terdiri dari bagian yaitu desain layanan (service design) dan implementasi SOA.
Desain layanan
Tahap ini dilakukan berdasarkan hasil analisa ada fase identifikasi. Alat bantu yang
digunakan adalah service blueprint dan business process diagram (BPD). Hasil dari tahap ini
akan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan operasi layanan pada implementasi SOA.
Pada tabel 2 disajikan rincian dari desain layanan.

BidangP-ALTEK

470

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 2. Desain layanan
Data

Dokumen BMC, hasil review dokumen pada tahap analisa, hasil


survei dan hirarki struktur sistem

Alat bantu

Service Blueprinting & Business Process Diagram

Metoda dan hasil

Membuat rencana komponen-komponen sistem yang akan dibuat


menggunakan hirarki struktur sistem
Mengajukan model bisnis menggunakan BMC
Penjelasan umum tentang peningkatan layanan yang dilakukan
pada bisnis proses menggunakan service blueprint

Implementasi SOA
Layanan yang telah didefinisikan selanjutnya akan diimplementasikan dengan menggunakan
metoda SOA. Pada tahap ini akan dihasilkan inovasi-inovasi layanan yang diperlukan. Pada
tabel 3 disajikan rincian dari implementasi SOA.
Tabel 3. Implementasi SOA
Data

Business Process Diagram

Alat bantu

Tabel daftar candidates operation, business service candidates


diagrams, UML diagrams

Metoda dan hasil

Menentukan kebutuhan bisnis dan sistem otomatisasi yang


potensial berdasarkan hasil analisa sistem dan sistem baru yang
diajukan.
Proses bisnis yang didefinisikan pada business process diagram
(BPD) diterjemahkan kedalam daftar operation service candidate.
Menentukan business service candidate berdasarkan daftar yang
telah didefinikas pada operasi dan direpresentasikan pada bentuk
service candidate diagram
Peningkatan reusability service candidate kedalam kelompok
service berdasarkan similarity.
Mengelompokkan service kedalam tiga kategori yaitu entitycentric business service, task-centric business service, dan utility
application services. Ketiga kategori ini menggambarkan
komposisi service serta relasi antar service.
Membuat sequence diagram yang menggambarkan urutan proses
dari service.
Menentukan pihak-pihak terkait yang akan menjadi aktor pada
sistem dengan menggunakan use case diagram.
Membuat class diagram sebagai referensi untuk candidate service
yang telah didapatkan.

BidangP-ALTEK

471

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
3. Pengembangan
Pada fase ini akan dibuat prototipe sistem berdasarkan candidate service pada fase
sebelumnya. Pada tabel 4 disajikan uraian lengkap proses pengembangan prototipe sistem.
Tabel 4. Proses pengembangan prototipe sistem layanan
Data

Use Case, Sequence Diagram, Class Diagram, WSDL

Tools

JSON, RestFul, Android, PHP, Javascript, MySQL, SQLite

Metoda dan hasil

Mendefinisikasn web service untuk application service layer


Menentukan user interface yang akan digunakan pada sensor
gateway dan personal health information system
Membuat program untuk sensor-gateway menggunakan Android
Membuat program untuk personal health information system
menggunakan PHP dan Javascript

4. Deploy
Pada fase ini, prototipe sistem akan diuji untuk memastikan sistem yang dibuat telah sesuai
dengan desain sistem. Pengujian menggunakan metoda black box testing dan security testing.
Tabel 5. Tahap deploy sistem layanan
Data

Dokumen hasil analisa, prototipe sistem

Tools

Black box test an performance test

Methods &
Results

Membuat skenarion pengujian dengan metoda black box untuk


menguji setiap service yang dibuat
Menguji koleksi data pada sensor dan mengukur data yang
disimpan ke server
Membuat skenario untuk menguji keamanan dari prototipe sistem
Menentukan arsitektur konfigurasi sistem
Menentukan kebutuhan perangkat keras dan perangkat lunak
sistem

Berdasarkan rujukan lean stratup model / lean startup process, fase selanjutnya adalah
mengujicobakan sistem pada calon pengguna dalam lingkup terbatas. Tujuannya adalah
untuk mengetahui bagian-bagian dari sistem yang masih harus ditambahkan dan
disempurnakan. Hasilnya akan dijadikan sebagai acuan dalam proses perbaikan dan
penyesuaian prototipe sistem.

BidangP-ALTEK

472

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Penerapan framework service engineering dan lean startup model/lean startup
process pada proses pengembangan produk startup company menghasilkan produk sesuai
dengan kebutuhan pengguna dan dapat dirilis sesuai waktu yang ditentukan. Pendekatan
sistem layanan digunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dari startup company yang
berfokus pada memberikan layanan dengan memanfaatkan teknologi berbasis internet.
Dalam implementasi sistem ini sebaiknya menggunakan teknologi big data untuk
menampung data-data dari sensor yang terpasang pada pengguna. Selain itu, dalam tahap
produksi sistem sebaiknya memanfaatkan infrastruktur berbasis cloud dengan performa yang
bisa bekerja secara dinamis berdasarkan beban kerja dan jumlah pengguna sistem.

DAFTAR PUSTAKA
_, https://www.maxmanroe.com/apa-itu-startup-bgmn-perkembangan-dunia-bisnis-startup-diindonesia.html.
A.J. Lopes and R. Pineda, Service System Engineering Application, Procedia Comput. Sci.,
vol. 16, pp. 678-687, 2013.
Anis Uzaman, Startup Pedia, Penerbit Bentang, 2015.
Suhardi, P.M. Budhiputra, and P. Yustianto, Service Engineering Framework: A Simple
Approach, in International Conference on Information Technology System and
Innovation (ICITSI), 2014.

BidangP-ALTEK

473

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P-ALTEK 25

POLA KOMERSIALISASI HASIL LITBANG PERGURUAN


TINGGI MELALUI INKUBATOR TEKNOLOGI
Nur Laili
Pusat Penelitian Perkembangan IPTEK Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
solebeng@yahoo.co.id, nurl005@lipi.go.id,

ABSTRAK
Inkubator teknologi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan hasil litbang
menjadi produk komersial atau bahkan menjadi suatu unit bisnis tertentu. Inkubator teknologi
tidak hanya dikembangkan oleh sektor industri, namun juga oleh lembaga litbang maupun
perguruan tinggi, terutama dalam hal komersialisasi hasil litbang. Makalah ini bertujuan
untuk mengkaji bagaimana pola komersialisasi hasil litbang perguruan tinggi melalui
inkubator teknologi, dengan fokus pada interaksi antar perguruan tinggi, inkubator teknologi
dan pengguna. Metode yang digunakan adalah studi kasus tunggal pada inkubator teknologi
di PTN X di bidang teknik (engineering). Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pola
komersialisasi melalui inkubator teknologi merupakan pola technology push, dimana
interaksi antara perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi dengan pengguna masih rendah.
Hasil studi kasus juga menunjukkan bahwa peran inkubator teknologi lebih sebagai
intermediary institution, yaitu memfasilitasi hasil litbang untuk didaftarkan menjadi paten,
namun belum berperan sebagai pendorong hasil litbang menjadi perusahaan spin-off.
Kata Kunci: inkubator teknologi, pola komersialisasi, litbang perguruan tinggi.

BidangP-ALTEK

474

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Kegiatan litbang merupakan kegiatan yang dilakukan baik oleh industri maupun
lembaga litbang publik untuk menghasilkan inovasi baru di berbagai bidang penelitian. Nilai
kebaruan dari suatu inovasi merupakan sumber nilai tambah yang bisa dikembangkan secara
ekonomi. Agar dapat dikembangkan menjadi nilai tambah ekonomis, inovasi yang dihasilkan
dari proses litbang harus melalui tahap komersialisasi, misalnya menjadi produk yang bisa
dipasarkan secara umum. Komersialisasi hasil inovasi dapat dilakukan melalui berbagai cara,
salah satu konsep yang banyak digunakan adalah melalui inkubator teknologi. Inkubator
teknologi didefinisikan sebagai media yang memiliki fungsi untuk inkubasi hasil litbang
menjadi produk komesial atau perusahaan baru berbasis teknologi (Rubin dkk, 2015). Dalam
literatur, klasifikasi inkubator bisnis dan teknologi sangat beragam dan bervariasi, baik
berdasarkan tujuan, output yang diharapkan, kepemilikan modal, serta interaksi dalam
inkubator. Makalah ini mengacu pada klasifikasi inkubator teknologi yang dikembangkan
oleh Grimaldi dan Grandi (2005) dimana mengklasifikasikan inkubator menjadi empat yaitu:
(i) pusat inovasi bisnis, (ii) inkubator teknologi universitas, (iii) inkubator swasta independen,
dan (iv) inkubator perusahaan.
Secara umum, inkubator teknologi dikembangkan baik oleh industri maupun oleh unit
litbang publik. Perusahaan yang memiliki unit litbang menghasilkan inovasi teknologi dalam
bentuk prototipe atau desain produk baru. Umumnya, inovasi hasil litbang tersebut tidak
secara langsung dikomersialisasikan, namun harus melalui tahap inkubasi tertentu. Tahap
inkubasi ini dilakukan di inkubator teknologi, output inkubator teknologi di industri biasanya
berupa lisensi, paten, produk baru, dll. Bahkan di beberapa kasus, jika inovasi yang
dihasilkan memiliki potensi besar, hasil inkubator teknologi dapat berupa proses spin-off
perusahaan baru. Literatur menunjukkan bahwa perusahaan yang dikembangkan melalui
inkubator teknologi memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak dikembangkan melalui inkubator teknologi, kesuksesan tersebut
meliputi peningkatan penjualan dan lapangan kerja, kemampuan perusahaan untuk dapat
bertahan di pasar dan relasi kerjasama komersil maupun teknis (Mian, 1997; Reitan, 1997;
Colombo dan Delmastro, 2002).

BidangP-ALTEK

475

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

476

Pusat Inovasi - LIPI


Selain dikembangkan oleh industri, inkubator teknologi juga dikembangkan oleh unit
litbang publik yaitu lembaga litbang pemerintah dan litbang di perguruan tinggi. Makalah ini
akan fokus pada obyek inkubator teknologi di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi,
inkubator teknologi berperan sebagai media pengembangan ide yang didasarkan pada
pengetahuan baru, metode-metode dan produk yang dihasilkan. Fokus inkubator teknologi di
perguruan tinggi adalah untuk mengkomersialisasikan teknologi baru, transfer teknologi ke
pasar atau mempercepat proses implementasi inovasi. Grimaldi dan Grandi (2005)
menggambarkan

karakteristik

inkubator

teknologi

di

perguruan

tinggi

memiliki

ketergantungan pendanaan dari perguruan tinggi dan dari industri. Pendanaan dari perguruan
tinggi untuk kegiatan litbangnya, sedangkan pendanaan dari industri diperoleh untuk tranfer
paten atau HKI dari inkubator.
Di Indonesia, perguruan tinggi juga telah mengalami transformasi fungsi, bukan
hanya sebagai media edukasi konvensional, namun juga telah memiliki fungsi mendorong
komersialisasi inovasi hasil litbang. Hasil litbang perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya
sampai tahap publikasi ilmiah atau paten saja. Namun juga didorong untuk sampai pada tahap
komersialisasi inovasi tersebut sehingga memiliki nilai tambah secara ekonomis. Salah satu
cara yang dilakukan oleh universitas/ perguruan tinggi adalah dengan mengembangkan
inkubator teknologi. Pengembangan inkubator teknologi ini dilakukan oleh perguruan tinggi
negeri maupun universitas swasta. Makalah ini mengkaji mengenai pengembangan inkubator
teknologi melalui studi kasus tunggal di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN X) di Jawa
Barat. Tujuan makalah ini adalah untuk memahami bagaimana pola komersialisasi yang
dilakukan di inkubator teknologi studi kasus. Selain itu makalah ini juga akan menganalisa
interaksi yang terjadi antara inkubator teknologi, peneliti di perguruan tinggi serta pihak
industri dalam proses komersialisasi tersebut.

TINJAUAN TEORI
Pola komersialisasi dari hasil inovasi sangat beragam, tergantung dari dimensi
komersialisasi apa yang digunakan. Salah satu yang banyak dirujuk dalam literatur adalah
pola komersialisasi berdasarkan faktor pendorong inovasi (Brem dan Voigt, 2009), dimana
pola komersialisasi dibedakan menjadi dua, yaitu:

BidangP-ALTEK

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
1. Technology push
Pada pola komersialisasi ini, stimulus pengembangan inovasi berasal dari penelitian
baik internal maupun eksternal. Tujuan pola komersialisasi technology push adalah
penggunaan secara komersil dari inovasi teknologi baru, baik berupa produk maupun
proses. Pengembangan inovasi melalui pola ini tidak terlalu mempertimbangkan
apakah permintaan pasar ada atau tidak.

2. Market pull
Pada pola komersialisasi ini, ide inovasi secara langsung bersumber dari
ketidakcukupan kepuasan dari kebutuhan konsumen, yang berimplikasi pada
munculnya kebutuhan baru dari konsumen. Kebutuhan konsumen yang tidak dapat
dipenuhi oleh produk yang telah ada di pasaran akan membuka celah untuk produk
baru dengan spesifikasi tertentu.

Selain perbedaan mendasar berdasarkan sumber ide inovasi, Burgelman dan Sayles
(2004) juga mengemukakan perbedaan pola komersialisasi technology push dan market pull
seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik technology push dan market pull


Technology push

Market pull

Beresiko dengan memulai dari apa yang Beresiko hanya fokus pada kebutuhan
dapat diteliti atau dievaluasi dengan mudah
konsumen yang mudah diidentifikasi saja,
namun potensi pasarnya kecil
Beresiko tidak sesuai dengan kebutuhan Beresiko terjebak dengan definisi peluang
konsumen atau pasar
pasar dan kehilangan peluang pasar
Berpotensi terpaku pada solusi teknis

Kurang berpotensi untuk menjadi pioner


dalam pasar

Sumber: Burgelman dan Sayles (2004)


Dalam inkubator teknologi, interaksi antar aktor memegang peranan penting dalam
proses komersialisasi, baik interaksi antara peneliri, inkubator dan pengguna. Rice (2002)
mengemukakan bahwa manajemen inkubator dan perusahaan terikat dalam interaksi
konseling dan jejaring dalam mengkomersialisasikan inovasi. Literatur yang lain juga

BidangP-ALTEK

477

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
menjelaskan bahwa bantuan atau asistensi terkait teknologi dapat diperoleh melalui interaksi
konseling dan jejaring (Hannon, 2005). Secara lebih spesifik, Scillitoe dan Chakrabarti
(2010) mengemukakan bahwa interaksi antar aktor dalam inkubator dapat dibagi menjadi dua
jenis yaitu konseling dan jejaring, dimana kedua interaksi tersebut memiliki fungsi yang
berbeda, sebagai berikut:
1. Interaksi konseling
Interaksi ini lebih bersifat asistensi bisnis, dimana sangat cocok untuk memperoleh
informasi mengenai preferensi konsumen, melalui konseling antara pengguna dengan
manajemen inkubator.
2. Interaksi jejaring (networking)
Interaksi ini lebih bersifat asistensi teknologi, dimana sangat cocok untuk
memperoleh informasi mengenai pembelajaran teknologi oleh perusahaan untuk
memperoleh know-how skill.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode studi
kasus tunggal. Studi kasus dilakukan pada proses komersialisasi yang dilakukan di satu
inkubator teknologi di perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, Indonesia. Pengumpulan data
dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara terbuka. Wawancara mendalam
dilakukan dengan narasumber dari inkubator teknologi, dan peneliti dari perguruan tinggi
tersebut sebagai penghasil inovasi. Selain data primer, penelitian juga dilakukan melalui
pengumpulan data sekunder berupa data dan informasi mengenai pembentukan inkubator
teknologi tersebut.
Analisis kualitatif dilakukan pada hasil wawancara dengan metode content analysis.
Fokus analisis untuk mengetahui bagaimana pola komersialisasi inovasi yang merupakan
hasil litbang peneliti di perguruan tersebut, dengan media inkubator teknologi. Di sisi lain,
analisis juga dilakukan untuk memahami bagaimana interaksi antar aktor yang berperan
dalam proses komersialisasi.

BidangP-ALTEK

478

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa perguruan tinggi dan universitas
telah mengalami pergeseran fungsi, dari semula sebagai media edukasi dan litbang
konvensional, telah bergeser dan didorong untuk memiliki fungsi komersialisasi terhadap
inovasi dan hasil litbang yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan universitas tersebut.
Makalah ini mengkaji studi kasus di inkubator teknologi di PTN X. Inkubator teknologi di
PTN X didirikan pada tahun 2010 berdasarkan SK Rektor PTN X. Tujuan pembentukan
inkubator teknologi ini adalah kebijakan PTN X adalah meningkatkan budaya inovasi dan
kewirausahaan (entrepreneurship) dari dosen di PTN X. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh
kondisi dimana hasil-hasil litbang berbagai fakultas di PTN X masih beorientasi kepada
publikasi, prototype dan paten. Belum banyak hasil litbang yang mampu dikembangkan
menjadi produk komersil atau menjadi teknologi yang dimanfaatkan secara langsung oleh
industri.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka pada tahun 2010, PTN X membentuk
inkubator teknologi dengan tujuan utama untuk mendorong komersialisasi hasil-hasil litbang
yang dihasilkan oleh sivitas PTN X. Pada studi kasus ini, inkubator teknologi di PTN X
melakukan upaya komersialisasi terhadap hasil penelitian dari dosen di beberapa fakultas di
PTN X, mayoritas dari fakultas teknik. Proses komersialisasi dimulai dengan pendaftaran
hasil penelitian yang berupa prototype atau desain produk. Pendaftaran prototype dan desain
produk ini dilakukan secara mandiri oleh dosen kepada inkubator teknologi. Pada tahap ini
interaksi dilakukan searah, yaitu dari peneliti (dosen) kepada inkubator teknologi. Sedangkan
inkubator teknologi hanya pasif menunggu input prototype dan desain produk dari dosen.
Tahap selanjutnya, inkubator teknologi akan melakukan analisis terhadap prototype
dan desain produk. Analisis dilakukan untuk menentukan apakah prototype atau desain
produk tersebut berpotensi untuk didaftarkan paten. Di sisi lain, inkubator teknologi secara
reguler juga melakukan kegiatan riset pasar. Riset pasar ini menghasilkan informasi
mengenai peluang kebutuhan pasar terhadap hasil inovasi teknologi. Melalui aktivitas riset
pasar ini inkubator teknologi juga berinteraksi dengan dunia industry melalui pengembangan
jejaring atau networking. Dari hasil riset pasar ini, jika inkubator teknologi melihat bahwa
ada peluang komersialisasi secara langsung terhadap hasil inovasi PTN X, maka inkubator

BidangP-ALTEK

479

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
teknologi akan berusaha menawarkan desain produk dan prototype tersebut secara kepada
perusahaan-perusahaan yang dinilai sedang mencari inovasi tersebut. Secara umum pola
komersialisasidi melalui inkubator teknologi PTN X dapat dilihat seperti Gambar 1 berikut
ini.
Inovasi

Inovasi

Inkubator
Teknologi

Inovasi

R&D

Industri

Paten

Intermediary

Komersialisasi

Gambar 1. Pola komersialisasi di inkubator PTN X


Jika dilihat dari sumber ide inovasinya, maka pola komersialisasi di inkubator
teknologi PTN X merupakan pola technology push atau dorongan teknologi (Burgelman dan
Sayles, 2004). Hal ini terlihat bahwa komersialisasi yang dilakukan oleh inkubator tersebut
bersumber dari hasil litbang dosen di PTN X. Pada gambar 1 terlihat bahwa interaksi antara
dosen (litbang) dengan inkubator teknologi terjadi secara searah, dalam bentuk dosen
mendaftarkan hasil litbangnya ke inkubator teknologi. Pada tahap ini inkubator teknologi di
PTN X bersifat pasif yaitu hanya menerima hasil litbang yang didaftarkan oleh dosen PTN X.
Implikasinya adalah komersialisasi yang dilakukan oleh inkubator ditentukan oleh teknologi
atau inovasi yang didaftarkan oleh dosen di PTN X.
Analisis juga dilakukan pada interaksi antara inkubator teknologi dengan industri.
Pada gambar 1 terlihat bahwa komersialisasi yang dilakukan inkubator teknologi di PTN X
terdiri dari dua jenis yaitu pendaftaran hasil litbang menjadi paten komersil dan
komersialisasi secara langsung terhadap kepada perusahaan yang memang memerlukan
teknologi tersebut. Jika dilihat dari jumlahnya, maka sebanyak 85% komersialisasi yang
dilakukan oleh inkubator teknologi di PTN X masih berupa pendaftaran paten, sedangkan

BidangP-ALTEK

480

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
komersialisasi secara langsung ke industri hanya sekitar 15% dari keseluruhan inovasi yang
didaftarkan ke inkubator teknologi. Kondisi ini menggambarkan bahwa dalam studi kasus di
PTN X, inkubator teknologi yang mereka miliki lebih bersifat sebagai intermediary
institution yaitu sebagai fasilitator dosen-dosen di PTN X untuk mendapatkan paten dari
desain produk dan prototype yang mereka hasilkan.
Komersialisasi inovasi melalui inkubator teknologi melibatkan pemanfaatan sumber
daya non finansial PTN X, baik yang berupa sumber daya tangible maupun intangible (Mian,
1996). Sumber daya tangible dalam bentuk peralatan penelitian, sedangkan aset intangible
dalam bentuk waktu, pengetahuan ilmiah dan jejaring di universitas. Aktivitas komersialisasi
dalam inkubator teknologi juga meliputi interaksi dalam jejaring (networking). Interaksi
dalam jejaring (networking) dalam bentuk kerjasama dengan pihak eksternal dapat
memberikan akses terhadap perusahaan untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan
sumber daya yang tidak dapat atau sulit untuk diperoleh dari sumber internal perusahaan
(Chesbrough, 2003).

KESIMPULAN
Pola komersialisasi yang dilakukan di inkubator teknologi PTN X merupakan pola
technology push, dimana interaksi antara perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi
dengan pengguna masih rendah. Hasil studi kasus juga menunjukkan bahwa peran inkubator
teknologi lebih sebagai intermediary institution, yaitu memfasilitasi hasil litbang untuk
didaftarkan menjadi paten, namun belum berperan sebagai pendorong hasil litbang menjadi
perusahaan spin-off.

DAFTAR PUSTAKA
Brem A., Voigt K.I. 2009. Intergration of market pull and technology push in the corporate
front-end and innovation management Insights from the German software industry.
Technovation (29): 351-367.
Burgelman R.A, Sayles L.R. 2004. Transforming invention into innovation: the
conceptualization stage. In: Christensen, C.M, Wheelwright S.C. Strategic
Management of Technology and Innovation. McGraw-Hill, Boston: 682-690.
Chesbrough H.W. 2003. The era of open innovation. MIT Sloan Management Review (44):
35-41.
Colombo M.G., Delmastro M. 2002. How effective are technology incubators? Evidence
from Italy. Research Policy (31): 1102-1122.

BidangP-ALTEK

481

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Grimaldi R., Grandi A. 2005. Bussiness incubator and new venture creation: an assessment of
incubating models. Technovation (25) Vol. 2: 111-121.
Mian S. 1996. Assesing value added contributions of university technology bussiness
incubators to tenant firms. Research Policy 25 Vol. 3: 325-335.
Mian S. 1997. Assessing and managing the university technology bussiness incubator: an
integrative framework. Journal of Bussiness Venturing (12): 251-285.
Hannon, P.D. 2005. Incubation policy and practice: Building practitioner and professional
capability. Journal of Small Bussiness and Enterprise Development (12): 57-75.
Reitan B. 1997. Fostering technical entrepreneurship in research communities: granting
scholarships to would-be entrepreneurs. Technovation (17): 287-296.
Rice M.P. 2002. Co-production of bussiness assistance in bussiness incubators: an
exploratory study. Journal of Bussiness Venturing (17): 163-187.
Rubin T.H., Aas T.H., Stead A. 2015. Knowledge flow in technological bussiness incubator:
evidence from Australia and Israel. Technovation (41): 11-24.
Scillitoe J.L, Chakrabarti A.K. 2010. The role of incubator interactions in assisting new
ventures: Technovation (30): 155-167.

BidangP-ALTEK

482

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ITSTP 01

KESIAPAN PETERNAK DALAM MENERIMA ALIH


TEKNOLOGI PADA KAWASAN AGRO TECHNOPARK
BANYUMULEK: ANALISIS SOSIAL-EKONOMI1
Mochammad Nadjib*, Esta Lestari dan Dhani Agung Darmawan
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
nadjibil@yahoo.com

ABSTRAK
Technopark

Banyumulek, Lombok - Nusa Tenggara Barat merupakan bentuk

intervensi teknologi dengan tujuan alih pengetahuan kepada masyarakat perdesaan secara
luas guna meningkatkan kesejahteraan. Inovasi-teknologi baru tersebut belum banyak
dipahami oleh sebagian besar masyarakat peternak setempat yang tentunya membutuhkan
waktu dan proses alih teknologi. Suatu program alih teknologi akan memberikan manfaat
bila didasarkan atas pemahaman kondisi sosial budaya dan potensi ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, minimnya analisis sosial budaya dan ekonomi masyarakat dalam
mengimplementasikan program inovasi technopark mengakibatkan tujuan utama dari
technopark sulit dapat tercapai secara optimal. Artikel ini menganalisis dan membahas
kesiapan sosial ekonomi peternak dalam menerima inovasi baru yang berusaha
diimplementasikan pada program kegiatan technopark di Banyumulek.
Analisis dan pembahasan dilakukan dengan metode analisis sosial-ekonomi dan
kebijakan, menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), observasi lapangan dan penyebaran
kuesioner pada komunitas peternak sapi di sekitar kawasan technopark serta sentra
peternakan sapi di Lombok. Selain itu, data sekunder yang digunakan berasal dari berbagai
publikasi resmi instansi pemerintah di tingkat Kabupaten dan Provinsi.
Hasil studi menunjukkan bahwa proses alih teknologi di Agro Technopark
Banyumulek sudah pernah dilakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya masih kurang
1

Makalah ini merupakan bagian dari penelitian Manfaat Sosial Ekonomi Masyarakat dengan Dibentuknya
Kawasan Technopark Bussines Center. Pusat Penelitian Ekonomi dan Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI, 2015.

Bidang P-ITSTP

483

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

optimal. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidaktepatan sasaran antara teknologi tepat guna
yang berusaha diperkenalkan dengan implementasinya oleh peternak. Beberapa aspek sosial
dan budaya menjadi penyebab terjadinya gap tersebut. Salah satunya, adalah perbedaan status
sosial

ekonomi

peternak berimplikasi

pada

pola

alih teknologi

yang berusaha

diintroduksikan. Struktur sosial ekonomi peternak di Banyumulek didominasi oleh pengkadas


(buruh ternak) dimana alih teknologi tidak akan secara langsung berdampak terhadap
produksi ataupun produktivitas ternak.

Kata kunci: Technopark Banyumulek, struktur sosial-ekonomi, dinamika sosial ekonomi,


peternak sapi, inovasi

PENDAHULUAN
Usaha peternakan terintegrasi dapat dijadikan harapan masyarakat perdesaan dalam
meningkatkan perekonomian rumah tangga. Upaya mendorong berkembangnya kegiatan
ekonomi masyarakat perdesaan tersebut dapat dijalankan dengan mengadopsi konsep agro
technopark.
Konsep technopark merupakan suatu aktivitas pengembangan kegiatan, dalam hal ini
pertanian dan peternakan, yang saling terintegrasi berbasis teknologi yang menyajikan,
memeragakan dan menginformasikan temuan terkini berdasar berbagai disiplin ilmu dengan
harapan dapat diimplementasikan oleh masyarakat khususnya petani dan peternak. Dengan
demikian akan terjadi alih pengetahuan kepada masyarakat sekitar secara luas. Hasil
pengembangan diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat dalam
rangka peningkatan kesejahteraan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
ditetapkan oleh Pemerintah sebagai sumber bibit sapi Bali dan sekaligus sebagai sapi potong
sehingga kerap disebut sebagai bumi sejuta sapi. Oleh karena itu Provinsi NTB
menetapkan ternak sapi sebagai salah satu komoditas unggulan disamping komoditas lainnya,
yaitu jagung dan rumput laut, yang selanjutnya dikemas dalam program unggulan daerah
yang dikenal dengan PIJAR (sapi, jagung, dan rumput laut). Program peternakan sapi sebagai
salah satu program unggulan mentargetkan dicapainya populasi sapi sebanyak 1.000.000 ekor
pada tahun 2013, dengan pencapaian 1.002.731 sapi (NTB dalam Angka 2014).

Bidang P-ITSTP

484

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

485

Pusat Inovasi - LIPI

Upaya pengembangan komoditas unggulan PIJAR menjadi salah satu pemicu dari
terbentuknya kawasan agro edu wisata melalui konsep technopark yang berlokasi di Desa
Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat. Kawasan tersebut diharapkan menjadi etalase
produk unggulan PIJAR dan showcase pengembangan komoditas tersebut melalui penerapan
teknologi tepat guna. Oleh karena itu, kawasan tersebut berupaya untuk mengintegrasikan
pengembangan peternakan, pertanian dan perikanan dengan konsep pariwisata. Integrasi
tersebut diharapkan menjadi salah satu kunci sukses dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan. Konsep technopark yang mengembangkan kawasan pertanian dan
perternakan berbasis teknologi, diharapkan akan menciptakan alih pengetahuan (transfer of
knowledge) kepada masyarakat perdesaan. Salah satu upaya untuk mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani dan peternak dilakukan melalui kegiatan technopark di
Banyumulek, Lombok (NTB) oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Permasalahannya adalah, technopark yang dibangun di Banyumulek, Lombok (NTB)
merupakan bentuk inovasi baru yang belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat
petani peternak setempat. Introduksi inovasi baru akan memberikan manfaat bila didasarkan
atas pemahaman kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat serta potensi ekonomi yang
ada. Sebaliknya, bilamana inovasi tersebut tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan
terjadinya ketimpangan struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah
penting untuk memahami kesiapan peternak dalam menerima inovasi baru, sehingga dapat
dipetakan berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi

program

technopark.

TINJAUAN PUSTAKA
Tradisi Kerjasama Pemeliharaan Ternak Sapi
Upaya mempercepat proses pembangunan subsektor peternakan dilaksanakan
melalui program penyebaran dan pengembangan ternak, diantaranya adalah ternak sapi.
Secara tradisi, di sentra-sentra peternakan sapi di Indonesia telah dikenal kerjasama
kemitraan dengan istilah gaduhan atau di Lombok dikenal dengan istilah kadasan.
Selain tradisi kerjasama yang dilakukan masyarakat peternak, pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan penyebaran ternak melakukannya dengan mengadopsi dari tradisi
masyarakat. Meskipun demikian, sistem gaduhan yang dikembangkan pemerintah tidak

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

sepenuhnya mengadopsi sistem gaduhan tradisional yang dianut kebanyakan peternak tetapi
lebih memilih sistem sumba kontrak dengan berbagai modifikasi. Sistem sumba kontrak
awalnya diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1906 (Diwyanto, 2008; Ditjen
Peternakan, 2009) dengan menempatkan

dan menyebarkan sapi bibit Ongole di Pulau

Sumba. Skema pelaksanaan sistem sumba kontrak di Pulau Sumba dilakukan dengan cara
meminjamkan 12 indukan dan satu pejantan Ongole (dikenal dengan istilah koppel) kepada
seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan dengan menyerahkan anakannya dalam
jumlah, umur dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam
ditambah dengan seekor anakan (jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak
belum melunasi pinjamannya. Untuk akad pinjaman, peternak menandatangani kontrak
dengan pemerintah, yang kemudian dikenal dengan istilah sumba kontrak.
Pola ini menuntut kewajiban bagi peternak dan pemilik modal

untuk membuat

perjanjian (kontrak) di awal, yang isinya meliputi jangka waktu pemeliharaan dan ketentuan
jumlah pengembalian. Dengan demikian, setelah kewajiban penggaduh dilunasi, maka
seluruh ternak yang ada menjadi milik penggaduh. Upaya penyebaran sapi Ongole tersebut
dapat berhasil, dan dalam perkembangannya sistem sumba kontrak lebih diminati peternak
dibandingan dengan sistem gaduhan secara tradisional (Paturachman, 2001). Sistem ini
kemudian ditiru dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk menyebarkan berbagai
jenis ternak ruminansia ke masyarakat dengan jumlah ternak yang tidak sama untuk setiap
Koppel.

Kebijakan

ini

dirumuskan

melalui

SK

Direktorat

Jenderal

peternakan

No.50/HK.050/KPST/2/93 tahun 1993 tentang Petunjuk pelaksanaan Penyebaran dan


Pengembangan Ternak Pemerintah. Dalam pola bagi hasil yang diterapkan, dibentuk
kelompok peternak yang setiap kelompoknya berjumlah 20 orang dengan persyaratan
memiliki semangat beternak dan memiliki lahan untuk kandang. Meski dibentuk kelompok,
tetapi tanggungjawab pemeliharaan dan pengembalian tetap menjadi kewajiban masingmasing peternak.
Berbagai daerah selanjutnya mengadopsi pola gaduhan yang bersumber dari sumba
kontrak ini, diantaranya adalah kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Berdasar SK Gubernur
DIY No 339/KPTS/1993 tentang pedoman Pengelolaan Ternak Bantuan Pemerintah Daerah
yang bersumber dari dana APBD Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, paket bantuan
ternak ke masyarakat, pola pengelolaannya harus melalui sistem gaduhan. Paket gaduhan

Bidang P-ITSTP

486

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

yang diberikan kepada peternak menurut SK Gubernur DIY tersebut dibagi dalam dua paket 2,
yaitu:
a. Seekor sapi betina.
Dalam jangka waktu 5 tahun, penerima ternak bantuan harus menyerahkan anakan
sebanyak 2 ekor dengan umur antara 1,5-2 tahun, yang diserahkan pada tahun ke-3 dan ke4 atau tahun ke-5.
b. Seekor sapi jantan.
Dalam jangka waktu 5 tahun, penerima ternak bantuan harus menyerahkan anakan
sebanyak 1 ekor umur antara 1,5-2 tahun, yang diserahkan pada tahun ke-5.
Ternak-ternak pengembalian dari hasil gaduhan tersebut selanjutnya harus
dikembangkan lagi ke peternak lainnya melalui skema bergulir (revolving) untuk selanjutnya
dipelihara dengan menggunakan sistem gaduhan pula.
Selain pola gaduhan tersebut di atas, pemerintah Daerah Sukabumi juga
mengembangkan kerjasama penggemukan sapi dengan peternak. Biasanya kerjasama
penggemukan dilakukan dalam jangka pendek, yang hasil akhirnya untuk dijual. Umumnya
kerjasama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hewan kurban pada hari raya Idul Adha.
Oleh karena itu, ternak yang dikerjasamakan adalah jenis jantan. Perhitungan ekonomi dalam
kerjasama penggemukan adalah, dihitung selisih antara bobot akhir dikurangi bobot awal
dikalikan harga jual per-kg hidup. Hasilnya dibagi menurut perjanjian awal antara pemilik
dengan penggaduh.
Program penyebaran dan pengembangan ternak telah banyak dilakukan pemerintah,
tetapi peningkatan produktivitas secara massal masih banyak terkendala. Berbagai kendala
yang berhasil diidentifikasi pada kasus ternak ruminansia kecil, adalah3:
1. Peternak rakyat menganggap beternak adalah usaha sampingan. Mereka menjalankan
usahanya tanpa memperhitungkan laba rugi dan proyeksi terhadap bisnis yang
berkelanjutan. Banyaknya rumput dan hijauan yang tersedia di alam secara gratis,
2

Lihat Mochammad Nadjib, 2009. Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (Editor). Efektivitas Model Pembiayaan Syariah dalam
Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, halaman 175-212.

Lihat Mochammad Nadjib, 2010. Potensi Pembiayaan Syariah pada Agribisnis Peternakan DombaKambiing dalam Mahmud Thoha (Penyunting). Model Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan
Agribisnis. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 63-96.

Bidang P-ITSTP

487

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menyebabkan peternak skala rakyat tidak pernah berhitung biaya yang harus dikeluarkan
untuk setiap ternaknya.
2. Usaha pembibitan (breeding) dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan
penggemukan (fattening) ataupun usaha perdagangan ternak. Perputaran uang usaha
pembibitan lebih lama dibandingkan dengan penggemukan. Untuk usaha pembibitan
domba kambing betina memerlukan masa kiding interval antara 8-10 bulan untuk dapat
beranak kembali, dalam hal ini domba kambing dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun.
Sebaliknya usaha penggemukan domba kambing jantan, dari saat penyediaan bibit bakalan
yang umurnya antara 6-8 bulan, hanya diperlukan waktu antara 4-6 bulan untuk mencapai
bobot potong dan sudah dapat dijual.
Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus ternak ruminansia besar, khususnya sapi
potong. Usaha pembibitan ternak sapi potong memerlukan masa calving interval paling cepat
antara 12-15 bulan agar dapat melakukan reproduksi kembali. Sebaliknya usaha
penggemukan (fattening) sapi potong, dari penyediaan bakalan yang umurnya antara 8-12
bulan, hanya diperlukan waktu antara 5-6 bulan untuk mencapai bobot potong ideal dan
sudah dapat dijual. Oleh karena itu kebanyakan sektor swasta lebih tertarik pada usaha
penggemukan (fattening) dibanding pembibitan (breeding), karena akan dapat diperoleh
perputaran usaha secara cepat. Diperlukan peran pemerintah untuk dapat turun tangan dalam
menyediakan stock bibit sapi secara seimbang dan berkelanjutan. Diantaranya adalah adanya
pemberian kridit untuk dunia usaha dalam usaha pembibitan sapi dengan skema waktu
pengembalian secara khusus.

Falsafah Masyarakat dalam Beternak Sapi


Selain usaha peternakan sapi dalam skala menegah dan besar dengan tujuan
mendapatkan keuntungan, usaha peternakan sapi dikalangan masyarakat sebagian besar justru
dalam skala mikro dengan kepemilikan sapi kurang dari 10 ekor. Sebagian besar peternak
sapi merupakan petani yang memelihara sapi tidak untuk tujuan komersial, namun untuk
tujuan yang bersifat tabungan dan menopang usaha pertanian. Dengan keterbatasan akses
terhadap lembaga keuangan dan pengetahuan masyarakat pedesaan, maka usaha beternak
sapi menjadi salah satu bentuk tabungan masyarakat sebagai antisipasi dari gejolak ekonomi
dan sosial, seperti sakit, kematian, maupun pembiayaan pendidikan.

Bidang P-ITSTP

488

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Usaha non-komersil pemeliharaan sapi ini juga ditemui di wilayah NTB. Meskipun
NTB dikenal sebagai salah satu sentra sapi potong Indonesia namun, tradisi yang
berkembang menunjukkan peternakan masih merupakan komponen dari sistem usaha tani.
Nilai fungsional ternak sapi tidak dapat dipisahkan dengan pemanfaatannya dalam
aktifitas masyarakat sebagai petani, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah
dan kotorannya sebagai pupuk. Tercipta harmonisasi hubungan antara peternakan sapi
dengan pertanian sawah. Di Lombok, sapi dinilai sebagai ternak tabungan, dan simbol
status masyarakat. Sebagai ternak tabungan dan simbol status, maka di Lombok yang
mayoritas masyarakatnya berasal dari etnis Sasak dikenal falsafah peliharalah sapi, Insya
Allah (yang diinginkan) akan kesampaian4. Falsafah tersebut secara turun temurun
diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, terutama dalam memenuhi kebutuhan dana yang
cukup besar, misalnya kebutuhan sekolah, pernikahan ataupun berangkat ibadah haji.
Sosialisasi dan internalisasi masyarakat terhadap beternak sapi diwujudkan melalui proses
pengenalan terutama terhadap anak laki-laki dengan memberinya tanggungjawab memelihara
sapi. Di sela-sela aktivitas sekolah, belajar Al Quran dan bermain, dituntut tanggungjawab
mengurus sapi. Dalam hal ini dikenal kosa kata Sasak istilah ngarat sampi atau memelihara
sapi. Dalam konteks petani Lombok, ngarat sampi
masyarakat,

merupakan basis perekonomian

yaitu lapangan pekerjaan yang memberikan dampak bagi peningkatan

pendapatan serta pada kesejahteraan masyarakat (Egaliter, 2013).


Dilihat dari aspek kekinian,

falsafah keutamaan dalam memelihara sapi dapat

diartikan sebagai kearifan lokal (local knowledge) yang bisa dijadikan sebagai pijakan dalam
membangunan masyarakat. Menurut Pramoda (2012), kearifan lokal berkaitan dengan sistem
nilai yang mendasari tradisi masyarakat di suatu daerah, atau pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu masyarakat, atau sebagai kumpulan pengetahuan, praktik dan keyakinan
yang berkembang melalui proses yang sifatnya adaptif. Pengetahuan yang demikian
merupakan refleksi kebudayaan masyarakat setempat, yang di dalamnya terkandung etika,
norma, dan ketrampilan dalam memenuhi kebutuhan hidup (Rahyono, 2009). Meskipun
perubahan zaman dan pemikiran moderen berpengaruh besar pada pola pikir dan pola tindak

Falsafah ini diceriterakan oleh Kepala Desa Banyumulek dalam wawancara tanggal 09 Mei 2015 dan dikenal
secara meluas di kalangan peternak etnis Sasak, baik di Banyumulek maupun beberapa desa lainnya termasuk
di Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Bidang P-ITSTP

489

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

490

Pusat Inovasi - LIPI

masyarakat, namun pengaruh tersebut tidak dengan serta merta menggerus habis sistem nilai
yang telah mengakar pada masyarakat. Seandainya pengaruh

zaman dapat menggerus

kearifan yang ada, perubahan yang terjadi akibat pengaruh tersebut sebenarnya telah
terlembagakan sebagai sistem nilai yang baru dan kearifan baru yang menyertainya
(Poespowardojo, 1986).
Technopark

Banyumulek adalah salah satu bentuk inovasi agribisnis subsektor

peternakan ruminansia besar yang diinisiasikan oleh LIPI. Inovasi ini merupakan bentuk
perubahan dari tradisi ngarat sampi ke bentuk bisnis peternakan yang mengedepankan
keberlanjutan sumberdaya alam. Oleh karena itu, penting untuk diketahui persepsi
masyarakat Banyumulek dalam menilai institusi technopark. Persepsi pada dasarnya adalah
suatu pengenalan seseorang atau sekelompok orang untuk mengetahui dan memahami
tentang suatu hal yang dilihat dan maupun masih dalam gagasan, gejala dan peristiwa.
Menurut Zulkarnain dkk (2013) persepsi seseorang atau sekelompok orang yang terbentuk
dapat dipengaruhi oleh tiga karakteristik, yaitu yang berkesan, target spesifik dan situasi dari
objek yang dipersepsikan. Dengan demikian, ada situasi tertentu yang mempengaruhi, antara
lain perilaku, tindakan, sikap, keyakinan individu atau kelompok masyarakat. Sementara itu,
persepsi sosial disini adalah pandangan yang berkembang di sekelilingnya yang
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang dalam mempersepsikan sesuatu. Dengan
demikian pola pikir seseorang akan sangat menentukan persepsinya. Persepsi terjadi melalui
suatu tahapan yang dimulai dari input dan ditentukan oleh kualitas informasi yang masuk,
kemudian diproses dalam diri individu, lalu terjadi output berupa sikap, perilaku maupun
ungkapan secara verbal. Variabel-variabel tersebut yang kemudian menjadi parameter dalam
melihat persepsi para pemangku kepentingan terkait dengan isu adanya technopark.

METODE PENELITIAN
Makalah ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tentang Manfaat Sosial Ekonomi
Masyarakat

dengan

Dibentuknya

Kawasan

Technopark

Bussines

Center

yang

dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Penelitian dilakukan pada beberapa
komunitas peternak sapi di desa sekitar kawasan Technopark Banyumulek.
Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan
(kuesioner), metode wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber dan informan

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

491

Pusat Inovasi - LIPI

kunci serta melakukan Focus Group Discussion dan observasi lapangan. Nara sumber yang
diwawancara meliputi peternak, baik pemilik maupun pemelihara (pengkadas) serta para
pedagang ternak. Informan kunci terdiri dari orang-orang yang banyak mengetahui dan
memahami permasalahan peternakan yang diteliti. Sumber informasi dipilih melalui metode
triangulasi yakni informasi yang diperoleh dari seorang informan, dikembangkan untuk
menggali informasi yang lebih mendalam serta untuk mendapatkan informan kunci lainnya.
Analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan
melakukan

pemahaman

yang

komprehensif.

Pemahaman

yang

komprehensif

ini

menempatkan objek kajian dalam konteks hubungan kausalitas, dan konsep empati sebagai
pendekatan. Pendekatan empati yang dimaksud adalah pendekatan yang berupaya memahami
permasalahan penelitian dari perspektif pelaku.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum
Kawasan technopark Banyumulek menempati suatu areal lahan seluas sekitar 29 ha.
Selama ini kawasan tersebut telah digunakan sebagai pusat pengembangan teknologi
peternakan sapi diantaranya adalah UPT Rumah Sakit Hewan dan Laboratorium Veteriner,
Balai Inseminasi Buatan, Rumah Pemotongan Hewan, Balai Pengembangan dan Pengolahan
Pakan Ternak Ruminansia dan areal Penanaman Hijauan Makanan Ternak (HMT).
Secara administratif, lokasi areal ini sebenarnya berada di desa Lelede. Desa Lelede
merupakan pecahan dari desa induk Banyumulek yang salah satu dusunnya mengalami
pemekaran tahun 1998 menjadi Desa Dasan Baru. Selanjutnya pada tahun 2011 salah satu
dusunnya dimekarkan lagi

menjadi Desa Lelede.

Kawasan Technopark yang awalnya

terletak di Dusun Lelede, desa Banyumulek, secara administratif selanjutnya berada di Desa
Lelede. Oleh kerena awalnya kawasan tersebut merupakan bagian dari desa induk
Banyumulek maka sampai sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Banyumulek.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar: Peta Desa Banyumulek sebagai Lokasi Penelitian


Secara geografis desa Banyumulek

merupakan desa agraris (pertanian), tetapi

laporan potensi desa menunjukkan sebagian besar merupakan lahan absentee dimana pemilik
lahan pertanian bukanlah warga setempat tetapi warga yang berasal dari luar desa. Sehingga
penduduk yang mata pencaharian sebagai petani pemilik sangat minim. Mata pencaharian
penduduk Desa Banyumulek yang sangat dominan adalah buruh tani, buruh serabutan dan
pengerajin gerabah. Kerajinan gerabah berkembang semenjak ada bantuan dari pemerintah
New Zealand, yang pada tahun 1989 meletakkan fondasi industri rumah tangga pembuatan
gerabah. Meskipun demikian, pemasaran gerabah masih tergantung pada kondisi pariwisata
Bali, sehingga semenjak terjadinya kasus boom Bali ke dua, usaha gerabah di Banyumulek
mengalami penurunan drastis. Dengan penurunan produksi gerabah, maka penduduk kembali
menekuni usaha pertanian dan peternakan, utamanya sebagai buruh tani dan pemelihara
ternak sapi dengan sistem kadasan( gaduhan).

Kondisi Sosial Ekonomi dan Sistem Kerjasama Beternak Sapi di sekitar Kawasan
Technopark
Kegiatan peternakan di sekitar Banyumulek umumnya terintegrasi dengan kegiatan
pertanian. Selain sebagai peternak, umumnya mereka juga bekerja sebagai buruh tani, buruh
serabutan serta sebagai buruh pengrajin gerabah. Gambaran kondisi sosial dan ekonomi
peternak disekitar kawasan technopark Banyumulek didapatkan dari observasi langsung dan
wawancara dengan tokoh unci. Selain itu, pengambilan data juga dilakukan melalui

Bidang P-ITSTP

492

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pertanyaan terstruktur dalam bentuk kuesioner sebanyak 60 responden yang mewakili


responden peternak dengan status pemilik dan pengkadas, maupun keduanya.
Gambaran pekerjaan masyarakat peternak tergambar dari hasil kuesioner dimana
berternak sapi merupakan usaha sampingan dan bukan merupakan mata pencaharian utama.
Desa Banyumulek terkenal sebagai desa Gerabah, sehingga sebagian besar masyarakatnya
memiliki pekerjaan utama baik sebagai buruh kerajinan gerabah maupun petani. Dari Tabel 1
terlihat bahwa pekerjaan utama peternak biasanya dikombinasikan dengan petani dan buruh.
Buruh serabutan umumnya bekerja sebagai buruh kerajinan gerabah.

Gambar 1

Sumber: Data Primer, 2015

Sebagian masyarakat mengusahakan ternak sapi secara sendiri-sendiri antara 1-4


ekor, tetapi sebagian lainnya beternak secara berkelompok. Mereka membuat kandang
komunal di tanah desa atau tanah yang disewa, untuk diisi oleh beberapa puluh ekor sapi.
Dilihat dari berbagai sudut, kecenderungan pengelompokan ternak dalam satu komunitas

Bidang P-ITSTP

493

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

kandang jauh lebih baik, karena secara tidak langsung terbangun kelembagaan informal
diantara kelompok ternak yang berimplikasi pada pembagian kewajiban dan hak. Misalnya,
untuk kewajiban membersihkan kandang, peternak secara bergiliran dapat membersihkan
kandang dan menjaga keamanan ternak serta mempermudah penyuluh peternakan dalam
memberikan pemahaman dalam beternak secara lebih baik. Demikian pula dengan beban
biaya yang dapat ditanggung bersama dalam bentuk iuran bulanan tyang digunakan baik
untuk listrik, air dan keamanan sehingga beban biaya menjadi lebih ringan. Pengelompokan
merupakan embrio untuk membentuk suatu usaha bersama, dengan demikian peternak akan
dapat memperoleh berbagai informasi ekonomi, teknologi beternak

serta penanganan

kesehatan yang berkaitan dengan peternakan secara lebih cepat, murah dan lebih efisien.
Meskipun demikian, pengelompokan ini masih belum mampu dimanfaatkan secara optimal,
karena peternak masih melakukan segala aktivitasnya secara individu diantaranya pemberian
pakan, melakukan kebersihan ternak dan penjualan menjadi tanggungjawab masing-masing
peternak. Dengan kata lain, kelembagaan informal ini belum dioptimalkan sebagai media
untuk berbagi pengetahuan, sosialisasi dan usaha komersil bersama.
Dilihat dari struktur sosialnya usaha peternakan terdiri dari pemilik ternak dan
pengkadas (penggaduh). Dalam hal ini, pola pemeliharaan sapi di Lombok Barat mayoritas
merupakan pola kadasan (gaduhan). Dalam pola kadasan ini, pemilik modal menitipkan satu
atau beberapa ekor ternak sapi untuk dipelihara pengkadas. Kewajiban pengkadas adalah
memelihara, mencarikan pakan dan menjaga keamanannya. Dengan demikian, pengkadas
merupakan kelompok yang sebenarnya bergelut dengan ternak. Secara fisik kelompok ini
yang menguasai ternak tetapi kepemilikannya ada pada kelompok pemilik ternak.
Pola kadasan ini sangat umum dilakukan oleh peternak yang tidak memiliki modal.
Selain penghasilan yang diperoleh dari bagi hasil pemeliharaan, maka pemanfaatan sapi
untuk mengolah sawah menjadi hak pengkadas. Umumnya bagi hasil yang diterapkan
menggunakan skema setengah-setengah, meskipun beberapa kasus mulai menunjukkan
pergeseran menjadi 45-555.

Masuknya traktor dalam usaha mengolah sawah, telah

menggeser dan meminggirkan peran sapi. Masuknya teknologi traktor ini menyebabkan
pengkadas tidak lagi memiliki penghasilan tambahan sebagai pemelihara ternak. Mereka

Wawancara dengan seorang peternak desa Lelede, tanggal 06 Agustus 2015.

Bidang P-ITSTP

494

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

hanya bergantung sepenuhnya dari skema bagi hasil pemeliharaan. Rata-rata dalam sebulan
penghasilannya dari memelihara sapi relatif rendah, demikian pula dari pekerjaan sampingan
sebagai buruh serabutan yang nilainya relatif kecil pula. Meskipun masyarakat Lombok
mayoritas masih bertani tetapi nilai fungsional sapi di persawahan mulai tergeser oleh traktor.
Umumnya, kelompok pengkadas adalah kelompok dari strata rendah, dalam substitusi
pertanian mereka merupakan kelompok pekerja yang tidak memiliki sawah ataupun ternak.
Posisi tawar (bargaining position) kelompok ini cenderung lemah dibandingkan kelompok
pemilik.
Untuk usaha pembibitan (breeding) ada tradisi aturan tersendiri sesuai kesepakatan,
tetapi intinya tetap dengan skema bagi hasil setengah-setengah. Tradisi bagi hasil yang dianut
peternak setempat untuk pola breeding adalah, anak pertama menjadi hak pengkadas,
sedangkan anak kedua menjadi hak pemilik. Skema ini menempatkan pengkadas hanya
memiliki hak dari anak yang dilahirkan, bila indukan dijual maka hasil penjualan sepenuhnya
menjadi hak pemilik. Perkembangan selanjutnya terjadi perubahan bagi hasil yang dinilai
lebih dil. Setiap kelahiran anak akan dinilai harga jualnya setelah lepas sapih. Hasil penjualan
atau estimasi penjualan anak dibagi dua antara pemilik dengan pengkadas. Pembagian
biasanya dilakukan setelah lepas sapih, yaitu sekitar 3 bulan

sejak kelahiran. Karena

sebelum lepas sapih, anakan masih tergantung pada susu indukannya. Apabila indukan
tersebut dijual, maka selisih harga penjualan dikurangi dengan pembelian dibagi dua antara
pemilik dengan pengkadas. Konsekuensinya adalah bilamana sebelum lepas sapih terjadi
kematian pada anakan, maka kerugian menjadi tanggungjawab bersama antara pemilik
dengan pengkadas.

Patronage: Fenomena Sosial Hubungan Pemilik dengan Pengkadas


Legg (1983) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien umumnya berkenaan
dengan (1) hubungan diantara pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak setara; (2)
hubungan yang bersifat khusus (particularistic), yaitu hubungan pribadi yang mengandung
keakraban (affectivity); (3) hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan, yaitu
saling memberi dan saling menerima.
Di kalangan petani peternak, hubungan patron-klien lebih didasarkan pada asas saling
memberi dan menerima antara patron dengan klien. Seorang individu yang lebih tinggi status

Bidang P-ITSTP

495

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

sosial ekonominya memanfaatkan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk
memberikan pengayoman serta mendapatkan keuntungan dari individu yang lebih rendah
status sosial ekonominya (klien). Imbal baliknya adalah, klien memberi ketaatan dan
kepatuhan kepada patron6. Pola kadasan di Banyumulek ini lebih mirip dengan pola
hubungan patron-klien, meskipun dalam beberapa kasus ketaatan dan kepatuhan klien telah
semakin luntur. Dalam analisa patron-klien, pemilik modal yang berfungsi selaku patron
berkewajiban menyediakan dana untuk memenuhi kebutuhan investasi, operasional serta saat
pengkadas (klien)

memerlukan dana mendesak (misal sedang sakit atau menyekolahkan

anak). Kewajiban klien adalah menyediakan tenaga dan ketaatan-ketaatan kepada patronnya,
termasuk kepada siapa harus menjual. Untuk lebih menjamin ketaatan dari klien itulah
sebabnya patron harus memikirkan kelangsungan hidup rumah tangga klien. Perhatian yang
kurang dari pemilik menyebabkan pengkadas mengalihkan ketaatannya atau bahkan
melakukan kecurangan yang merugikan pemilik. Beberapa kasus menunjukkan sapi kadasan
telah diganti oleh pengkadasnya dengan kualitas yang lebih buruk atau dari gemuk menjadi
kurus7.
Usaha peternakan sapi merupakan usaha yang hasilnya tidak cepat, dibutuhkan waktu
sekitar 6 bulan dari seekor sapi bakalan menjadi sapi siap potong. Bahkan untuk usaha
breeding dibutuhkan jangka waktu lebih lama. Penerimaan hasil yang cukup lama tersebut
menyebabkan rata-rata pengkadas masih membutuhkan pekerjaan sampingan guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi semenjak masuknya teknologi traktor
menggantikan tenaga sapi untuk mengolah sawah, menyebabkan pengkadas tidak lagi
memiliki penghasilan tambahan sebagai pemelihara ternak. Mereka sepenuhnya hanya
bergantung dari skema bagi hasil pemeliharaan sebagai pengkadas atau melakukan pekerjaan
sampingan sebagai buruh serabutan.
Hasil penelitian menunjukkan, pekerjaan sampingan rata-rata peternak adalah sebagai
buruh serabutan (26,7%), buruh tani (18,33%) dan pedagang kecil (6,67%) (Lihat Gambar 1).
Pekerjaan sampingan sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan sehari-hari rumah
6

Lihat James C Scott,1996. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Resistence in Southeast Asia.
New Haven: Yale University Press

Wawancara dengan seorang manajer hotel pada tanggal 06 Oktober 2015. Informan kapok" melakukan
pemeliharaan sapi dengan sistem kadasan, karena sapinya telah dijual pengkadas dan diganti dengan yang
lebih kurus.

Bidang P-ITSTP

496

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

tangga peternak pengkadas. Oleh karena itu di kalangan pemilik yang memiliki orientasi
bisnis, untuk mengikat pengkadas agar dapat lebih fokus merawat ternak, maka pemilik
memberikan usaha sampingan kepada rumah tangga pengkadas disamping pendampingan
beternak secara intensif. Usaha sampingan ini diberikan bagi pengkadas yang memelihara
sapi di atas lima (5) ekor, karena jumlah tersebut menyulitkannya untuk mengerjakan
pekerjaan sampingan. Dalam salah satu kasus di Lombok Timur, pemilik meminjamkan
kepada pengkadasnya lahan sawah untuk ditanami tanaman jangka pendek, seperti sayuran
atau palawija. Hasilnya dibagi dua antara pemilik lahan dengan pekerja yang menjadi
pengkadas. Selain itu ada pula yang memberikan pinjaman sekitar lima puluh ekor ternak
bebek, dimana dari hasil telurnya dapat untuk menopang kehidupan rumah tangga pengkadas
sehari-hari. Kalau sudah afkir, bebek tersebut dijual untuk kemudian dibelikan lagi bebek
yang masih produktif guna dipinjamkan kepada keluarga pengkadas untuk dipelihara dan
diambil telurnya 8. Kerjasama usaha yang dilakukan ini cenderung sebagai bentuk hubungan
ekonomi yang lebih rasional. Dalam konteks kerjasama ekonomi merupakan bentuk
hubungan yang berpola inti-plasma, karena pihak inti tidak hanya menyediakan kebutuhan
investasi tetapi juga pendampingan cara beternak yang menguntungkan, pemberian pakan
tambahan serta menerima hasilnya untuk dijual.
Sebaliknya hubungan patron-klien, secara ekonomi cenderung dinilai sebagai
hubungan yang eksploitatif, meskipun eksploitasi yang terjadi tersebut kelihatannya masih
lebih baik karena mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi permasalahan
ekonomi. Akses peternak rakyat terhadap institusi pembiayaan formal sangat terbatas 9, sebab
mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Umumnya,
kelompok pengkadas adalah kelompok dari strata rendah, dalam substitusi pertanian mereka
merupakan kelompok pekerja yang tidak memiliki sawah maupun aset ternak. Bargaining
position kelompok ini cenderung lemah dihadapan pemilik.

Wawancara dengan seorang peternak pemilik di Lombok Timur yang mengelola usaha peternakan sapinya
melalui sistem kadasan tanggal 04 Oktober 2015.

Informasi Pimpinan Cabang BRI Mataram dalam Temu Bisnis yang diinisiasi oleh Program Technopark
Banyumulek tanggal 02 Oktober 2015. Dikatakan bahwa Kredit BRI yang diberikan kepada peternak sapi di
Lombok proporsinya relatif sangat kecil. Selain skema kredit yang tidak sesuai dengan karakteristik pola
usaha peternakan sapi, kebanyakan karena kendala dalam penyediaan agunan serta persyaratan administrasi.

Bidang P-ITSTP

497

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kesiapan Sosial-ekonomi dalam Menerima Alih Teknologi Beternak Sapi


Salah satu pusat pengembangan teknologi peternakan sapi untuk kawasan Lombok
adalah suatu kawasan yang sekarang ini dikenal masyarakat dengan nama kawasan UPT
Peternakan Banyumulek. Kawasan tersebut menempati suatu areal lahan seluas sekitar 29 ha,
dan didalamnya telah berdiri berbagai pusat pengembangan teknologi peternakan sapi
diantaranya adalah UPT Rumah Sakit Hewan dan Laboratorium Veteriner, Balai Inseminasi
Buatan, Rumah Pemotongan Hewan, Balai Pengembangan dan Pengolahan Pakan Ternak
Ruminansia dan areal Penanaman Hijauan Makanan Ternak (HMT). Kawasan tersebut
sebenarnya merupakan kawasan yang kerap menjadi proyek percontohan introduksi teknologi
peternak oleh berbagai pihak. Tercatat JICA mencoba untuk melakukan pendampingan
pengembangan ternak potong berbasis sumber daya local sekaligus sebagai pemberdayaan
masyarakat setempat terhitung sejak tahun 2007. Secara riil, pendampingan tersebut terlihat
nyata dengan revitalisasi rumah potong hewan (RPH) yang berada di kawasan tersebut
hingga memenuhi standar tertinggi RPH atau Kategori II atau dilengkapi dengan fasilitas
pelayuan karkas (Frozen).
Ditahun 2012, pasca intervensi dari JICA, Kementerian Riset dan Teknologi
menginisiasikan keberlanjutan dari program JICA dalam skema SIDa atau Sistem Inovasi
Daerah dengan menggandeng berbagai stakeholders yang terdiri dari lembaga penelitian,
akademisi, pemerintah daerah, dan BUMD untuk mengembangkan Meat Bussiness Center
pengolahan daging dan hasil sampingan sapi. Sayangnya, program tersebut hanya berjalan
selama satu tahun.
Saat ini, sejalan dengan pemerintahan Jokowi, pemerintah sedang menginisiasikan
konsep Technopark yang salah satunya kembali menjadikan kawasan UPT Banyumulek
sebagai bagian dari 100 kawasan Saince and Technopark (STP) yang rencananya akan
dibangun selama kurun waktu 2015-2019. Kawasan tersebut kemudian banyak disebut
sebagai

Tecnopark

Banyumulek

sementara

pemerintah

daerah

sendiri

berencana

mengembangkan kawasan tersebut sebagai kawasan agro edu wisata.


Meskipun telah beberapa kali mendapatkan intervensi teknologi dari pihak luar,
namun dampaknya bagi masyarakat peternak relative sangat kecil. Ada semacam jarak
antara keberadaan kawasan dengan masyarakat peternak di sekitarnya. Hasil penelitian

Bidang P-ITSTP

498

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menunjukkan sebagian besar peternak menyatakan tidak pernah masuk kawasan technopark
Banyumulek.

Sumber: Data Primer, 2015.

Gambar di atas menunjukkan sebagian besar peternak tidak pernah masuk kawasan
technopark Banyumulek (56%). Yang pernah masuk kawasan, mayoritas (20%) hanya untuk
kepentingan di luar tujuan berhubungan dengan lembaga pengembangan teknologi
peternakan, kebanyakan diantara mereka berkepentingan mengambil rumput sebagai pakan
ternaknya. Hanya sebagian kecil yang bertujuan untuk mendapatkan informasi pengetahuan
atau membeli hasil produk salah satu institusi di dalam kawasan technopark. Dari yang
memiliki kepentingan dengan institusi tersebut, kebanyakan (12%) berkepentingan untuk
mendapatkan produk dari Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD), mempunyai kepentingan
dengan Rumah Potong Hewan (5%), membeli produk atau mendapatkan informasi tentang
pakan ternak (4%), dan ke Rumah Sakit Hewan (3%). Oleh karena kecilnya persentase
peternak yang telah melakukan interaksi untuk mendapatkan alih teknologi dari institusi
teknis di kawasan technopark, menunjukkan secara teknis ada jarak sosial antara peternak
dengan kawasan technopark Banyumulek. Teknologi peternakan yang dimiliki oleh institusi
di kawasan technopark ini masih belum optimal dimanfaatkan oleh para peternak, mereka
masih belum dapat memanfaatkan sepenuhnya informasi teknologi yang telah tersedia.
Dengan demikian sangat masuk akal bilamana sebagian besar peternak di sekitar kawasan
technopark masih beternak secara tradisional. Usaha alih teknologi cara beternak secara lebih
baik melalui penerapan teknologi, masih sangat sulit diterima oleh mayoritas peternak.

Bidang P-ITSTP

499

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Berbagai wawancara mendalam dari kalangan peternak menunjukkan, bahwa


sebenarnya mereka bersedia menerima alih teknologi tetapi tidak mampu membiayai
teknologi tersebut. Karena yang selama ini menjadi sasaran alih teknologi adalah peternak
pengkadas yang secara ekonomi miskin. Teknologi tersebut dinilai sangat mahal, bila harus
mengeluarkan sejumlah uang. Untuk teknologi pakan ternak seperi pembuatan silase, hay
ataupun pakan tambahan (konsentrat), dinilai sangat mahal karena pembandingnya adalah
ketersediaan bahan pakan ternak (hijauan) di alam yang masih berlimpah. Bahkan di musim
panen, bahan pakan ternak cenderung terbuang. Dengan demikian, ketahanan pakan usaha
peternakan sapi di Lombok Barat relatif masih kuat, diantaranya masih berlimpahnya
tanaman jagung, turi, gamal, rumput dsb. Kalau sasaran alih teknologi adalah peternak
pengkadas, secara de facto mereka bukan pemilik ternak hanya sebatas sebagai pemelihara.
Selain itu, dalam memelihara ternak, pengkadas sangat minimal dalam mengeluarkan dana
untuk kebutuhan ternaknya. Semua aktivitas dikerjakan sendiri beserta anggota keluarga,
utamanya dalam mencari hijauan untuk pakan ternak.
Perubahan orientasi budaya dalam memelihara sapi dari sebatas substitusi pertanian
ke bisnis peternakan, merupakan salah satu cara proses terjadinya alih teknologi. Orientasi
bisnis memerlukan perhitungan ekonomi yang ketat untuk mendapatkan keuntungan,
sebaliknya orientasi budaya lebih mengedepankan perasaan bukan nilai keuntungan jangka
panjang. Kebanyakan peternak rakyat akan menjual sapinya di saat sedang membutuhkan
dana, bukan saat yang paling tepat kapan ternak itu harus dijual. Dengan demikian, dalam
beberapa kasus sering ditemukan sapi betina dewasa telah dijual atau dipotong sebelum masa
produktifnya habis, karena berbagai alasan kebutuhan akan dana tunai. Ternak sapi lebih
sebagai barang tabungan dan status symbol, bukan sebagai barang yang bernilai bisnis
ekonomi. Dengan demikian, sapi yang memiliki postur bagus, dan gagah cenderung tidak
dijual atau dipotong kalau belum membutuhkan dana. Ada nilai kebanggaan dengan memiliki
kualitas sapi seperti itu. Padahal ketepatan umur potong dan saat menjualnya berpengaruh
terhadap harga jual. Secara umum terdapat variasi umur potong sapi jantan, sebagian
dipotong umur 3 tahun sebagian lagi dipotong pada saat umur 4 tahun. Perpanjangan umur
potong sapi jantan dari 3 tahun ke 4 tahun dimaksudkan untuk meningkatkan berat per ekor
sapi pada saat dipotong (Harmini, dkk, 2011). Meskipun demikian, untuk mendapatkan
kualitas karkas yang baik sebaiknya dipotong pada umur sekitar 2 tahun. Semakin tua sapi

Bidang P-ITSTP

500

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dipotong, dan semakin banyak untuk aktivitas pertanian maka hasil dagingnya semakin
keras10. Selain itu, kualitas pakan mempengaruhi kualitas daging. Kalau hanya bergantung
dari hijauan semata yang masih banyak mengandung kadar air tanpa pakan tambahan, maka
kualitas dagingnya kurang bagus. Bobot daging akan mengalami penyusutan. Demikian pula
ketepatan waktu menjual sangat mempengaruhi harga jual. Di Lombok dikenal tiga kali
dalam setahun harga sapi mencapai puncaknya, yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud atau
bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kalau hari-hari itu sapi dijual, maka peternak akan
mendapatkan harga jual yang paling bagus.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda dalam upaya untuk
mengintrodusir teknologi tepat guna bagi peternak namun juga sejalan dengan kearifan local
atau budaya setempat. Teknologi pakan yang membutuhkan biaya untuk investasi permesinan
tidak akan mampu bersaing selama pakan murah dan masih mudah didapatkan. Orientasi
bisnis untuk mendapatkan keuntungan dengan perhitungan proses produksi dan siklus
pemeliharaan tidak akan bermanfaat sejauh masyarakat masih menganggap bahwa beternak
sapi adalah sandaran hidup atau tabungan untuk waktu-waktu insidental. Berbagai pelatihan
dan pendampingan tidak akan diimplementasikan jika pengkadas bukanlah pemilik sapi yang
secara finansial memiliki modal untuk meneruskan pengetahuan yang didapatkan sementara
usaha pemeliharaan sapi adalah pekerjaan sampingan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang dianggap menghasilkan.
Dengan demikian diperlukan perubahan orientasi dalam memelihara ternak sapi untuk
mempermudah terjadinya proses alih teknologi. Teknologi tepat guna harus diperkenalkan
bukan untuk memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat dengan rentang waktu
produksi (pemeliharaan) yang cukup lama, namun bagaimana selama rentang waktu produksi
tersebut peternak bisa mendapatkan manfaat dari diversifikasi produk sampingan yang
dihasilkan dari pemeliharaan sapi. Artinya, sapi dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan
atau kegiatan ekonomi misalnya, sapi sebagai alat bajak, kotoran sapi dimanfaatkan sebagai
pupuk kompos ataupun bahan biogas untuk pengganti energy rumah tangga, dan pada saat
bersamaan peternak dapat bekerja sebagai petani maupun petani hortikultura. Dengan upaya
10

Wawancara dengan seorang peternak yang pernah belajar beternak sapi di Jepang dan telah menerapkan
prinsip-prinsip teknologi dalam beternak sapi pada tanggal 06 Oktober 2015.

Bidang P-ITSTP

501

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pendiversifikasian kegiatan ini maka diharapkan secara perlahan kegiatan yang sebelumnya
bersifat subsisten akan berkembang menjadi kegiatan komersil dan orientasi pemelihaaan
sapi berkembang dari budaya ke orientasi bisnis ekonomi. Lebih lanjut, pemanfaatan alih
teknologi akan dapat berjalan secara maksimal tetap harus dilakukan pendampingan secara
berkelanjutan dengan perbaikan pola kerjasama pemeliharaan sapi. Pola patron klien yang
telah umum dilakukan dapat ditingkatkan melalui rasionalisasi hubungan kerjasama dalam
bentuk hubungan inti-plasma berbasis tradisi dan kebiasaan setempat dalam skema ekonomi
untuk pemeliharaan sapi. Untuk itu, inti haruslah orang yang berorientasi bisnis disamping
memahami budaya masyarakat setempat dalam beternak sapi, serta melakukan pendampingan
dalam pemanfaatan teknologi yang dibutuhkan untuk beternak sapi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan dari kajian lapangan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan serta solusi
alternatif tindak lanjut yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Usaha peternakan sapi di sekitar kawasan technopark belum dilakukan secara
optimal, masyarakat cenderung masih terpisah dengan kawasan technopark. Oleh
karena teknologi beternak sapi yang tersedia di kawasan technopark belum secara
optimal dimanfaatkan para peternak maka rata-rata mereka masih memelihara secara
tradisional, belum menerapkan dan memanfaatkan teknologi peternakan secara baik.
Untuk dapat melakukan alih teknologi secara lebih baik, ada baiknya teknologi
tersebut didekatkan ke masyarakat atau dibawa keluar dari kawasan technopark.
2. Selama ini sasaran inovator dalam alih teknologi beternak ditujukan kepada peternak
pengkadas. Secara sosial ekonomi pengkadas merupakan peternak dalam posisi
inferior, karena mereka bukanlah pemilik aset. Dalam struktur sosial setempat mereka
merupakan kelompok pekerja dari strata rendah. Meskipun secara harfiah mereka ini
menguasai ternak tetapi kenyataannya bukan pemilik ternak, sehingga kurang optimal
rasa memilikinya apalagi jika harus mengeluarkan tenaga dan

biaya tambahan.

Dengan demikian posisi tawar (bargaining position) kelompok ini cenderung lemah
terhadap pemilik aset.
Untuk dapat dilakukan alih teknologi secara optimal, sasaran sebaiknya bukanlah
kelompok pengkadas, tetapi diperlukan pelibatan peternak pemilik. Peternak pemilik

Bidang P-ITSTP

502

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

haruslah dipilih dari kalangan setempat yang memahami budaya lokal serta
berorientasi bisnis, bukan semata untuk kesenangan. Dengan demikian program alih
teknologi akan dapat diintervensi melalui pemilik. Selain itu, alih teknologi akan
dapat dilakukan lebih baik bilamana disertai dengan pendampingan secara
berkelanjutan. Pola inti plasma merupakan salah satu bentuk pendampingan teknologi
peternakan serta pemasaran produk. Meskipun demikian kerjasama ini masih tetap
berbasis kultural setempat, agar tidak menimbulkan ketimpangan struktural dalam
masyarakat.
3. Penghasilan peternak utamanya dari harga jual sapi semata yang fluktuatif dan
pekerjaan sampingan.

Untuk dapat meningkatkan nilai tambah dan tingkat

pendapatan rata-rata peternak

diperlukan pemanfaatan hasil samping dari usaha

peternakan, diantaranya adalah pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk, usaha


hortikultura maupun dimanfaatkan energinya untuk masak ataupun pembangkit
listrik.
Dalam konteks meningkatkan nilai tambah sub sektor peternakan, diperlukan best
practice atas teknologi yang dimiliki technopark untuk didekatkan atau kalau perlu
diintegrasikan dengan masyarakat. Skala teknologi perlu disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi maupun daya tangkap masyarakat. Diharapkan usaha
peternakan beserta sampingannya akan dapat diintegrasikan dalam konteks agro edu
wisata.
4. Untuk dapat meningkatkan nilai tambah ataupun skala usaha peternak, diperlukan
suatu kelembagaan yang

dapat mengayominya.

Secara kecil, bisa berbentuk

kelompok arisan, kelompok usaha ataupun koperasi. Lembaga ini yang akan
mengelola dana-dana yang terkumpul untuk kepentingan bersama. Dalam lingkup
lebih besar dapat berbentuk korporasi, dimana peternak skala kecil dapat berusaha
bersama dengan sistem saham. Karena peternak skala kecil akan mengalami kesulitan
bilamana harus berhubungan dengan perbankan, sehingga hubungan dengan lembaga
pembiayaan dapat dilakukan melalui lembaga korporasi.
Untuk itu, embrio dari suatu kelembagaan adalah adanya kelompok ternak. Kelompok
dalam kandang komunal yang telah mapan dapat diinisiasi menjadi kelompok usaha

Bidang P-ITSTP

503

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

504

Pusat Inovasi - LIPI

bersama, tidak hanya terbatas dalam pemeliharaan ternak tetapi meluas menjadi usaha
ekonomi peternakan.

DAFTAR PUSTAKA
Ditjen

Peternakan, 2009.Sekelumit Sejarah Usaha Peternakan di Indonesia


http//www.ditjenak.go.id/publikasi/sejarah usaha peternakan. 31 Agustus 2009.

dalam

Diwyanto, Kusuma, 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Dan Inovasi Teknologi dalam
Mendukung Pengembangan sapi Potong di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Egaliter, Razakisme, 2013.Ngarat Sampi salah satu Basis Perekonomian Warga. Wanasaba:
Lombok.http://www.wanasaba.com/ngarat-sampi-adalah-salah-satu-basis-prekonomianwarga/
Harmini, Ratna Winandi Asmarantaka, dan Juniar Atmakusuma, 2011.Model Dinamis Sistem
Ketersediaan Daging Sapi Nasional dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, volume 12 (1),
Juni 2011.
Legg, Keith. R. 1983. Tuan Hamba dan Politisi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Lembaga Studi
Pembangunan.
Nadjib, Mochammad, 2009. Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (Editor). Efektivitas Model Pembiayaan
Syariah dalam Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
______, 2010. Potensi Pembiayaan Syariah pada Agribisnis Peternakan Domba-Kambiing dalam
Mahmud Thoha (Penyunting). Model Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Agribisnis.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Paturachman, Maman, 2001. Studi PerbandinganSistem Kredit Ternak Domba dan Kerbau di
Sumedang dan Tasikmalaya. Bandung: Fakultas Peternekan Universitas Padjadjaran.
Pramoda, P; R. Triyanti, 2012. Pengelolaan Perairan Danau Tempe Berbasis Kearifan Lokal: Studi
Kasus di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 14(1).
2012.
Poespowardojo, S, 1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi, dalam
Ayatrohaedi (ed). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Rahyono, F.X, 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Scott, James C.1996. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Resistence in Southeast Asia.
New Haven: Yale University Press.
Zulkarnain, Iskandar; TN. Pudjiastuti; MT. Sambodo; M. Nadjib; AH. Fuadi; ET. Sumarnadi, 2013.
Kajian Persepsi Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap Kegiatan
Pertambangan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ITSTP 02

OPTIMALISASI PERAN TECHNOPARK BANYUMULEK


DALAM PENINGKATAN PEMASARAN USAHA
PETERNAKAN RAKYAT
Joko Suryanto, Jiwa Sarana, Nur Firdaus
Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
jokosuryanto@hotmail.com

ABSTRAK
Kemandirian pangan menjadi prioritas untuk diwujudkan dan salah satunya melalui
pemenuhan pasokan sapi potong dan bibit. Populasi sapi di Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) dapat dijadikan sebagai pemasok bagi kebutuhan daging nasional mengingat pada
tahun 2014, kebutuhan sapi nasional yang berasal dari NTB adalah sebanyak 20.793 ekor
sapi potong dan 16.743 ekor sapi bibit. Hal ini tentu menjadi basis dalam upaya
pengembangan usaha pertanian sektor peternakan sapi di masa yang akan datang. Namun
demikian, pengembangan usaha peternakan sapi tidak hanya berfokus pada upaya
meningkatkan jumlah sapi, tetapi juga harus dapat memberikan manfaat ekonomi lebih bagi
masyarakat. Melalui kegiatan usaha pertanian dan peternakan terintegrasi diharapkan
ekonomi masyarakat dapat meningkat dan artinya aspek pemasaran produk menjadi faktor
kunci. Berbagai hal yang mendukung pemasaran produk pertanian dan peternakan
masyarakat terus diupayakan sehingga kendala yang dihadapi penting untuk dikaji. Artikel ini
mengkaji proses alih inovasi-teknologi di bidang pemasaran ternak terkait dengan
Technopark Banyumulek, NTB. Selain itu, kendala, tantangan, dan peluang pemasaran usaha
ternak menjadi sasaran kunci dalam optimalisasi peran dari Technopark. Analisis dalam
kajian ini menggunakan analisis deskriptif analitis dengan lokus kajian desa-desa yang ada di
sekitar kawasan Technopark Banyumulek dan jaringan pasar ternak. Analisis didasarkan pada
data sekunder dan primer. Data sekunder bersumber dari Dinas Peternakan NTB, Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Barat, NTB, serta Badan Pusat Statistik. Data
primer bersumber dari para pemangku kepentingan yang memahami usaha peternakan rakyat
serta jejaring pasar ternak baik lingkup lokal maupun nasional. Langkah pengumpulan
informasi dilakukan melalui kegiatan focus group discussion (FGD) dan observasi lapangan

Bidang P-ITSTP

505

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

secara langsung. Analisis kajian ini mencakup gambaran dinamika kegiatan usaha peternakan
masyarakat perdesaan, rantai pemasaran produk ternak dan kendala, tantangan, serta peluang
ke depan. Temuan yang didapat menjelaskan bahwa peternakan yang dijalankan oleh
masyarakat perdesaan di sekitar kawasan Technopark mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, kegiatan usaha peternakan masih dijalankan dengan cara tradisional tanpa ada
intervensi teknologi. Kedua, pasar ternak dilakukan dengan cara langsung ke pasar hewan
dan melalui perantara (blantik) hingga sampai pada pembeli. Ketiga, pemasaran sapi potong
dan bibit ke luar Pulau Lombok masih memiliki peluang besar sedangkan untuk produk
daging sapi tidak mampu masuk ke pasar di luar Pulau Lombok sehingga hanya untuk
memenuhi kebutuhan lokal. Untuk itu, efisiensi rantai pemasaran menjadi salah satu kunci
dalam optimalisasi peran Technopark yang menempatkan peternakan rakyat menjadi aktor
utama.

Kata kunci: Technopark Banyumulek, rantai pemasaran, peternakan rakyat

PENDAHULUAN
Kegiatan peternakan yang ada di wilayah Nusa Tenggara Barat menjadi sebuah usaha
ekonomi pertanian yang sangat menjanjikan bila dikelola dengan tepat dan penetapan
teknologi yang sesuai kebutuhan masyarakat. Langkah untuk mendorong kegiatan ekonomi
pertanian

(khususnya

kegiatan

peternakan

sapi)

diharapkan

dapat

meningkatkan

perekonomian masyarakat di perdesaan. Kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan penting


untuk di dorong menjadi sebuah kegiatan usaha yang memiliki tingkat efisiensi dan daya
saing. Salah satu kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan tersebut adalah kegiatan pertanian
dalam arti luas. Selanjutnya, dalam kerangka mensejahterakan masyarakat upaya untuk
mendorong kegiatan ekonomi pertanian sejalan dengan tujuan kebijakan pembangunan
nasional, yaitu untuk mempercepat transformasi ekonomi dengan mengedepankan
pendekatan yang bukan hanya sekedar business as usual yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan berdasar potensi riil yang ada.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempercepat transformasi ekonomi
masyarakat perdesaan dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan pertanian dan peternakan
yang berbasiskan teknologi. Teknologi pemeliharaan ternak dapat menghasilkan sapi potong

Bidang P-ITSTP

506

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

yang berkualitas sehingga penting untuk diperkenalkan kepada masyarakat perdesaan di


Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai salah satu sentra ternak sapi. Upaya mendorong
masyarakat perdesaan melakukan kegiatan pertanian dan peternakan yang terintegrasi
tersebut dilakukan dengan pengenalan inovasi dan pengetahuan, dalam hal ini terkait
pemeliharaan ternak yang efektif dan efisien serta upaya memasarkan produk peternakan.
Kegiatan peternakan masyarakat perlu dukungan strategi pemasaran dalam rangka ekspansi
produksi, komersialisasi produk, hingga pada peningkatan nilai tambah dan jangkauan pasar.
Masyarakat perdesaan pada dasarnya memiliki kearifan lokal dalam melakukan
kegiatan pertanian dan peternakan, baik dalam hal produksi maupun pemasaran. Pengenalan
inovasi dan pengetahuan berdasarkan kearifan lokal diharapkan akan mendorong peningkatan
daya saing produk peternakan. Pemahaman akan teknologi dan infomasi terkait kegiatan
usaha pertanian dan peternakan diharapkan akan mendorong berbagai upaya yang telah
dilakukan oleh masyarakat perdesaan selama ini. Terkait upaya tersebut maka pengembangan
usaha pertanian terpadu dalam arti yang seluas-luasnya dapat dijadikan dasar untuk
mendorong proses adaptasi dan inovasi teknologi oleh masyarakat dalam menghadapi
tantangan kelangkaan/keterbatasan ketersediaan produk pangan. Kemandirin pangan berbasis
kegiatan pertanian dan peternakan masyarakat merupakan bentuk implementasi program
ketahanan pangan Nasional. Kebijakan untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil
pangan menjadi penting sehingga keberadaan technopark pada wilayah sentra produk
pertanian dan peternakan menjadi salah satu cara mencapai kemandirian pangan.
Terkait dengan produksi hasil pertanian dan peternakan pada sentra produksi maka
memahami strategi pemasaran sangat diperlukan. Karena kegiatan pemasaran sejatinya bukan
hanya memasarkan produk pertanian dan peternakan semata, namun juga mencakup berbagai
upaya dari produsen memenuhi keinginan pasar (konsumen). Selain itu pemasaran produk
haruslah mampu mengidentifikasi produk pesaing termasuk mencapai skala ekonomis
sehingga akan memberikan keuntungan ekonomi. Salah satu aspek terkait pemasaran adalah
kualitas produk, hasil produksi yang dikelola oleh masyarakat perdesaan (dalam hal ini
peternakan sapi) harus mampu bersaing dengan produk sejenis termasuk produk impor.
Dengan adanya kawasan technopark seharusnya produk pertanian dan peternakan yang
dihasilkan akan memiliki keunggulan, minimal sama dengan produk sejenis dari wilayah lain
termasuk dengan produk impor. Melalui pemahaman kondisi pasar diharapkan produk

Bidang P-ITSTP

507

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

peternakan mampu bersaing, dengan berdasarkan kondisi riil baik berupa kapasitas
pengelolaan kegiatan peternakan, input serta proses yang mengarah pada peningkatan
kualitas produk yang dikelola masyarakat perdesaan. Selain itu agar produk yang dihasilkan
masyarakat mampu bersaing kiranya pemahaman atas berbagai aspek yang mempengaruhi
pemasaran produk pertanian dan peternakan menjadi suatu hal penting untuk di pahami (salah
satunya tata niaga). Artikel ini berupaya menjelaskan berbagai hal yang telah dijelaskan
diatas dengan fokus pemasaran, selain itu penjelasan diharapkan akan menjadi informasi
dalam melakukan pendekatan terkait pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat
perdesaan di wilayah Propinsi NTB.

Tinjauan Pustaka
Sentra pertanian dan peternakan masyarakat merupakan potensi ekonomi yang harus
terus ditingkatkan untuk mencapai kemandirian pangan Nasional. Agar keberadaan sentra
pertanian dan peternakan yang secara umum berbasiskan kegiatan masyarakat perdesaan
maka pengenalan inovasi teknologi penting diupayakan. Langkah pengenalan teknologi
selain bertujuan meningkatkan usaha pertanian dan peternakan juga diharapkan
menumbuhkan kegiatan usaha lain yang mampu menyerap tenaga kerja. Pengenalan inovasi
teknologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana pemerintah Presiden Joko Widodo
menetapkan program pendirian kawasan technopark. Secara umum yang dimaksud dengan
tecknopark merupakan suatu kawasan yang dirancang untuk memberikan informasi
pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat luas sehingga kegiatan masyarakat yang
berbasis pertanian dan peternakan dapat meningkat. Selain itu technopark merupakan alat
untuk mensinergikan para pihak dalam pengembangan dan implementasi ilmu pengetahuan
antara perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan atau bisnis, serta pemerintah.
Kegiatan yang ada di kawasan technopark utamanya adalah bentuk alih pengetahuan
kepada masyarakat. Artinya temuan-temuan terbaru di bidang teknologi dapat diinformasikan
dan selanjutnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tujuan peningkatan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan pandangan Peter Drucker (1985) dimana inovasi yang berasal dari
pengetahuan dan teknologi merupakan sarana mengekploitasi perubahan serta menemukan
kesempatan bisnis yang berbeda.

Bidang P-ITSTP

508

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Pengenalan teknologi kepada masyarakat, perlu dilakukan dengan mengedepankan


nilai tradisional sehingga akan menjadi pembelajaran dan dapat dipraktekkan oleh
masyarakat. Dengan demikian langkah pengembangan technopark yang bertujuan untuk
meningkatkan usaha pertanian dam peternakan penting dilakukan karena dapat mengubah
cara pandang dan sikap masyarakat ke arah yang lebih baik. Keberhasilan pengenalan inovasi
dan pengetahuan melalui technopark tidak dapat dilihat keberhasilannya dari penerapan
semata, efek atas aktifitas usaha berupa kegiatan pemasaran menjadi outcome atas kegiatan
yang dijalankan. Dengan teknopark perubahan sosial dan pembangunan khususnya pada
masyarakat akan terwujud, sehingga akan menghasilkan kegiatan ekonomi yang mampu
mengakselerasi pembangunan.
Secara makro, pengembangan technopark utamanya dapat menstimulus pada
penciptaan aktivitas bisnis yang dampaknya pada pertumbuhan ekonomi kawasan dan
nasional. Namun demikian, pengembangan technopark membutuhkan suatu komitmen yang
kuat antar stakeholders. Pengembangan kawasan technopark dalam kerangka inovasi dapat
merujuk pada konsep quadruple helix, yaitu suatu alur inovasi yang mensinergikan empat
aktor, yaitu akademisi (academician), bisnis (business), pemerintah (government), serta
masyarakat (community). Keempat aktor ini secara konseptual bekerjasama dalam rangka
menciptakan ilmu pengetahuan baru dan berinovasi. Quadruple helix merupakan
pengembangan dari triple helix (Carayanis dan Campbell, 2010). Berkaitan dengan
Technopark Banyumulek NTB, model inovasi berbentuk

quadruple helix dapat

diimplementasikan, yaitu kerjasama antara pemerintah daerah (Prov. NTB dan Pemda
Lombok Barat), LIPI dan akademisi (dalam hal ini Universitas Mataram), bisnis (dalam hal
ini BUMD PT GNE maupun perusahan swasta lain), serta masyarakat.

METODOLOGI
Pemahaman atas kondisi rill terkait kegiatan peternakan sapi dalam perspektif
ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonomi manajemen, khususnya
pemasaran. Terkait dengan pendekatan pemasaran maka data sekunder dan primer menjadi
dasar utama untuk menjelaskan berbagai aspek yang ada. Dalam mengumpulkan informasi
dan data langkah yang dilakukan berupa kegiatan focus group discussion (FGD) dan
observasi lapangan secara langsung. Berbagai informasi dan data yang terkumpul diolah

Bidang P-ITSTP

509

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

dengan menggunakan metode triangulasi, yakni informasi yang diperoleh dari seorang
informan akan dikembangkan untuk mengumpulkan informasi yang lebih mendalam
sehingga mendapatkan informasi yang paling akurat. Lokus kajian ini adalah desa-desa yang
ada di sekitar kawasan technopark Banyumulek, jaringan pasar ternak dan produk
turunannya.
Analisis kajian ini mencakup gambaran dinamika kegiatan usaha peternakan
masyarakat perdesaan, rantai pemasaran produk ternak dan kendala, tantangan, serta peluang
ke depan. Hasil temuan yang berupa data primer dan sekunder akan dianalisis dengan
menggunakan kerangka Nine Factor Model dari Cho dan Moon (2000) yang merupakan
perluasan Diamond Model dari Porter (Porter, 1980; 1996). Model Nine Factor dari Cho dan
Moon ini menggambarkan determinan yang dapat membangun daya saing atas produk dilihat
dari berbagai hal. Determinan tersebut terbagi menjadi tiga faktor utama, yaitu fisik, manusia,
dan eksternal (external chance events). Untuk determinan fisik, ada beberapa faktor yang
dapat membangun daya saing, seperti sumber daya pendukung (endowed resources),
lingkungan bisnis, industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta
permintaan domestik (domestic demand). Sementara untuk determinan manusia berdasarkan
pada beberapa faktor, seperti tenaga kerja, politik dan birokrasi, pengusaha, serta kalangan
profesional. Untuk menjelaskan mengenai bagaimana mengoptimalkan keberadaan
technopark dengan melalui peningkatan kegiatan pemasaran usaha peternakan, artikel ini
membahasnya dalam kerangka model pengembangan daya saing produk dengan merujuk
pada Nine Factor Model dari Cho dan Moon (2000). Melalui pemahaman tersebut langkah
untuk memberikan pemahaman akan pentingnya teknologi dalam kegiatan peternakan sapi
kepada masyarakat perdesaan di wilayah NTB akan lebih tepat dan pada akhirnya akan
mendorong keunggulan produk.

Bidang P-ITSTP

510

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Politicians and
Bureaucrats

Workers
Business
Environment

Daya Saing Usaha


Peternakan

Endowed Resources

Domestic Demand

Related and
Supporting Industries
Professional
Managers and
Engineers

Entrepreneurs

Chance Events

Gambar The Nine Factor Model


Sumber: Cho dan Moon (2000)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu sentra peternakan sapi
yang diharapkan dapat menjadi pemasok kebutuhan sapi Nasional. Selain sebagai sentra
peternakan sapi, NTB ditetapkan juga sebagai lokasi plasma nutfah untuk pengembangbiakan
sapi ras bali. Sebagai upaya mewujudkan sentra peternakan sapi maka NTB memiliki
tagline yaitu Bumi Sejuta Sapi (BSS). Tagline tersebut juga menjadi sebuah bentuk
positioning bahwa NTB merupakan sentra peternakan sapi yang selanjutnya diharapkan dapat
berkembang dalam skala yang lebih besar, yaitu industri peternakan. Untuk mendukung
program BSS, berbagai upaya dilakukan, salah satunya adalah melalui alih teknologi
peternakan yang akan mempercepat peningkatan kegiatan usaha ternak secara luas.
Alih teknologi melalui inovasi teknologi peternakan dapat diaplikasikan oleh
masyarakat sehingga potensi ternak sapi di NTB dapat mengarah menjadi kegiatan industri
peternakan. Sejauh ini upaya melakukan alih teknologi telah diupayakan pemerintah daerah,
melalui bekerjasama dengan beberapa pihak seperti JICA, Kementerian Riset dan Teknologi,

Bidang P-ITSTP

511

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

512

Pusat Inovasi - LIPI

Universitas, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Langkah kerjasama tersebut
diperlukan agar kegiatan peternakan dapat meningkat dari segi produktivitas dan kualitas
produk termasuk industri turunan (pengolahan). Hal ini juga sejalan dengan tujuan kebijakan
ketahanan pangan Nasional, dimana langkah alih teknologi dapat dilakukan oleh masyarakat
yang pada akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat perdesaan.
Penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas peternakan penting untuk
diperkenalkan kepada masyarakat perdesaan karena akan bermanfaat untuk mempercepat
transformasi ekonomi. Integrasi kegiatan pertanian dan peternakan berbasiskan teknologi
diwujudkan

dalam

technopark).

bentuk

Technopark

pengembangan
yang

secara

kawasan

peternakan

terpadu

(melalui

konseptual

merupakan

sebuah

kawasan

pengembangan kegiatan pertanian dan peternakan yang saling terintegrasi berbasis teknologi
berupaya untuk menyajikan, memeragakan dan menginformasikan temuan terkini
berdasarkan pada berbagai disiplin ilmu dengan harapan akan tercipta alih pengetahuan
kepada masyarakat.
Technopark sejatinya diharapkan dapat memberi manfaat ekonomi kepada
masyarakat, tentunya harus diimbangi dengan upaya optimalisasi kegiatan pemasaran.
Mengingat pemasaran yang dilakukan untuk produk pertanian dan peternakan bukan sematamata dalam bentuk sapi potong semata, produk hasil olahan perlu diupayakan menjadi
produk unggulan. Selain itu, hal terpenting dalam kegiatan pemasaran adalah terpenuhinya
standar kualitas produk sesuai dengan keinginan pasar. Artinya standar kualitas dan efisiensi
produk menjadi kunci sehingga produk peternakan dan turunannya memiliki kemampuan
bersaing dalam pasar yang lebih luas. Strategi pemasaran diharapkan dapat mendorong
keunggulan produk dan untuk menyusun strategi tersebut harus didasarkan pada kondisi riil,
baik berupa kemampuan/keahlian pengelolaan usaha peternakan serta dukungan dari berbagai
pihak terkait.

Keberadaan Sumber Daya Pendukung dalam Kegiatan Peternakan


Usaha peternakan sapi telah tumbuh dan berkembang di NTB sejak lama, merupakan
kegiatan tradisional dan turun temurun. Dari segi potensi pendukung kegiatan peternakan
sapi, wilayah NTB memiliki sumberdaya pendukung yang berlimpah (salah satunya pakan
hijauan). Pemeliharaan sapi bagi masyarakat NTB seperti sebuah budaya masyarakat

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

sehingga memelihara sapi bagi masyarakat perdesaan di NTB tidak asing. Kondisi tersebut
menjadi modal dasar untuk mengenalkan teknologi sehingga kegiatan peternakan dapat
diarahkan menjadi usaha peternakan yang berorientasi ekonomi. Pemeliharaan sapi oleh
masyarakat perdesaan NTB penuh dengan falsafah lokal, dimana masyarakat Sasak dalam
melakukan aktivitas pemeliharaan sapi memiliki pandangan jika memelihara sapi, insya
Allah akan sampe (tercapai utamanya berhaji). Nilai-nilai kearifan lokal ini perlu
disandingkan dengan upaya pengenalan teknologi sehingga mendorong perkembangan usaha
peternakan sapi, pada akhirnya usaha peternakan tersebut akan mampu memasok kebutuhan
pangan nasional. Produk hasil peternakan oleh masyarakat harus mampu di serap oleh pasar,
merujuk pada Smith (2010) dalam konsep pemasaran di bidang peternakan sasaran harus
ditentukan terlebih dahulu berdasarkan pada sumberdaya yang ada seperti pakan, tanah, dan
air. Artinya, ada beberapa aspek yang dapat menjadi pertimbangan ketika akan menjalankan
kegiatan usaha peternakan termasuk dalam mengenalkan teknologi. Peluang atas ternak sapi
di wilayah Propinsi NTB untuk menjadi pemasok kebutuhan daging Nasional dapat dilihat
dari jumlah populasi ternak sapi. Jumlah populasi ternak sapi di Propinsi NTB terus
mengalami peningkatan, sehingga potensi tersebut diharapkan dapat terserap oleh kebutuhan
akan daging di wilayah pulau Jawa.

Gambar 2. Populasi Sapi di NTB (dalam ribuan ekor), 2001-2013


Sumber: NTB Dalam Angka

Bidang P-ITSTP

513

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Modal dasar kegiatan peternakan sapi di NTB berupa populasi sapi yang meningkat
serta ketersediaan pakan yang melimpah dan keterampilan masyarakat dalam beternak sapi
tentu harus dijadikan sebagai pendorong untuk mengembangkan sektor peternakan menjadi
kegiatan skala industri. Namun demikian, perlu disadari meskipun wilayah NTB memiliki
daya dukung pakan hijauan dalam jumlah yang besar akan tetapi para peternak belum
menggunakan berbagai variasi pakan lain yang bertujuan meningkatkan kualitas sapi
(khususnya dalam bobot sapi). Secara teknis, kualitas pakan ternak harus diupayakan
menggunakan berbagai cara agar sapi yang dipelihara dapat tumbuh dan berkembang, agar
menghasilkan bobot yang ideal dan sehat. Untuk itu pakan ternak seharusnya tidak hanya
mengandalkan pada pakan hijaun semata, namun diperlukan pakan tambahan. Salah satu cara
menyediakan pakan tambahan adalah dengan menggunakan teknologi, dimana diperlukan
campuran tertentu selain pakan hijauan. Pakan tambahan pada dasarnya merupakan suatu
bentuk implementasi dari proses alih teknologi dan harapannya adalah peningkatan
produktivitas. Kondisi berlimpahnya pakan hijauan dan pola pemeliharaan ternak yang
tradisional membuat sebagaian besar peternak kurang berminat untuk menggunakan pakan
tambahan karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat atau pun
membeli pakan tambahan. Hal tersebut menjadi penting dipahami karena proses alih
teknologi menjadi aktivitas yang strategis dalam rangka memberikan pemahaman kepada
masyarakat terkait peningkatan kualitas ternak dengan menggunakan pakan tambahan.

Kondisi Lingkungan Bisnis Peternakan


Lingkungan bisnis peternakan yang ada di NTB secara umum belum efisien dalam
mendukung pengembangan kegiatan usaha peternakan, terutama terkait dengan tata niaga
perdagangan ternak sapi. Dalam praktik tata niaga perdagangan sapi di pasar lokal, alur yang
berjalan tidak efektif (Hadi et al., 2002) karena utamanya dari tahap peternak asal hingga ke
konsumen, ada beberapa perantara (blantik) yang ditengarai menjadi penyebab harga jual
ternak sapi menjadi lebih mahal. Perantara penjualan ternak sapi berdasar informasi yang
didapat mengambil margin keuntungan antara Rp. 100.000,- hingga Rp. 250.000,-.
Berdasarkan kondisi yang ada perdagangan sapi minimal melalui tiga level blantik artinya
harga sebenarnya meningkat minimal sebesar Rp. 750.000,-. Gambaran rantai perdagangan
sapi yang ada di pulau Lombok dapat dilihat pada gambar 3 di bawah.

Bidang P-ITSTP

514

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

515

Pusat Inovasi - LIPI

Selanjutnya, berkaitan dengan aspek pemasaran dan perdagangan, mekanisme


transaksi masih bersifat tradisional, yaitu penggunaan taksiran ketika menetapkan harga atas
ternak (Patrick et al., 2010). Masyarakat, baik pembeli atau penjual yang ada lebih memilih
menggunakan

sistem

taksiran

ketika

bertransaksi

jual-beli

dibandingkan

dengan

menggunakan sistem timbangan bobot ternak. Metode taksiran masih dinilai memiliki daya
tarik dan menguntungkan di mata peternak, padahal kenyataanya penghitungan bobot ternak
dengan menggunakan taksiran justru akan menimbulkan spekulasi terkait dengan harga yang
sesungguhnya dari ternak yang dijual. Berkaitan dengan harga jual ternak, meskipun ada
intervensi pemerintah daerah dalam upaya mengurangi harga pasar ternak sapi melalui
informasi harga di pasar hewan ternak, sebagai contoh Pasar Mesbagik, namun belum efektif.
Kondisi tersebut terjadi karena praktik jual beli ternak tidak hanya berdasarkan aspek
kuantitatif saja, melainkan juga kualitatif (dalam hal bentuk fisik sapi yang dinilai baik dan
memiliki nilai lebih dari perspektif tradisional, bila terjadi pemahaman tersebut maka
transaksi jula beli baru akan terjadi). Kondisi transaksi jual beli sapi dikalangan masyarakat
tidak terlepas dari aspek budaya dan hal tersebut masih mengakar kuat pada masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan bisnis usaha peternakan terkait dengan aspek
tata niaga di NTB masih perlu terus di dorong untuk mengubah dari cara-cara tradisional
menjadi cara yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain hal tersebut lingkungan
bisnis terkait dengan aspek fisik juga perlu terus di tingkatkan seperti kebersihan kandang
dan lingkungan.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Individu Rumah
Tangga (IRT)

Restaurant

Konsumen
Akhir

Pengusaha Catering

Pasar
Tradisional

Hotel

Pasar Modern

Rumah Potong
Hewan (RPH)

Pedagang
Lokal

Pedagang
Antar Pulau

Pasar Ternak

Pedagang
Pengumpul/
Blantik

Petani
Peternak

Gambar 3. Alur Perdagangan Ternak

Pemenuhan Kebutuhan Pasar Lokal


Pengembangan sektor pertanian, khususnya peternakan sapi adalah agenda yang
penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dalam rangka mewujudkan kemandiran
pangan dan ketahanan pangan. Berkaitan dengan pengembangan usaha peternakan, maka
dengan merujuk pada konteks membangun daya saing berdasarkan pada Cho dan Moon
(2000) dalam aspek pemenuhan kebutuhan pangan, maka kondisi hasil usaha peternakan
masih sebatas memenuhi kebutuhan pangan lokal walaupun juga dipasarkan ke luar pulau
namun cenderung berupa ternak hidup. Kondisi tersebut tergambar dari data statistik yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dimana produksi daging sapi NTB mengalami
peningkatan. Namun, jika dibandingkan secara nasional, kontribusi produksi daging NTB
masih relatif kecil.

Bidang P-ITSTP

516

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 4. Produksi Daging Sapi NTB (ton)

Gambar 5. Persentase perbandingan

Sumber: BPS, 2014

produksi Daging Sapi NTB dengan

Nasional
Sumber: BPS, 2014

Berdasarkan Gambar 4 dan 5, menandakan adanya potensi besar ternak sapi yang
berasal dari NTB sehingga amat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan daging
Nasional. Terlebih bila dikaitkan dengan konsumsi masyarakat, dimana produk daging sapi
lokal lebih diminati ketimbang daging impor. Namun yang terjadi karena produk daging sapi
impor dari sisi harga lebih bersaing dibanding harga produk daging sapi lokal maka ada
sebagian masyarakat memilih produk daging sapi impor. Dari segi kualitas produk pada
dasarnya daging sapi lokal dapat di upayakan kualitasnya sama seperti daging impor, namun
diperlukan cara/tekhnik pemeliharaan tertentu, artinya teknologi perlu diperkenalkan kepada
peternak terkait cara dan teknik yang seharusnya dapat dilakukan. Dengan demikian
keberadaan technopark sebagai wahana pembelajaran teknologi pemeliharaan sapi, kiranya
dapat di akses oleh masyarakat secara luas agar kualitas dan kuantitas sapi yang dipelihara
oleh masyarakat perdesaan meningkat dari segi populasi dan memiliki kualitas yang sesuai
kebutuhan pasar. Hal tersebut penting karena hasil peternakan sapi masyarakat akhirnya akan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar, dari perspektif peternak terserapnya ternak sapi
akan berdampak bagi pendapatan sehingga kesejahteraan peternak akan terjamin.

Bidang P-ITSTP

517

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Industri Pendukung Kegiatan Peternakan Sapi


Kegiatan peternakan sapi harus dilihat sebagai sebuah kegiatan hulu - hilir, sehingga
diperlukan kebijakan komprehensif terkait peternakan sapi ras bali di wilayah NTB. Untuk
meningkatkan kualitas ternak maka strategi penyediaan bibit melalui teknik inseminasi
buatan (IB) perlu di perluas termasuk dalam kaitan pengawasan ternak indukan. Kegiatan
peternakan sapi di perdesaan Propinsi NTB umumnya dilakukan oleh rumah tangga petani
yang juga menjadi peternak. Artinya usaha peternakan dilakukan tidak secara professional
dan hanya sebagai bagian dari usaha subsisten atau hanya sebagai tabungan. Populasi ternak
yang besar di NTB bila dikelola dengan cara-cara profesional dan menggunakan teknologi
yang tepat dimungkinkan menjadi industri peternakan berbasis masyarakat. Terkait dengan
kondisi peternakan sapi yang dilakukan masyarakat perdesaan propinsi NTB, sebagai
gambaran sebagai berikut :

Pembibitan :
Usaha pembibitan sapi yang dilakukan oleh peternak sapi sebagian besar masyarakat
perdesaan dilakukan dengan pembibitan alami dimana sapi jantan dan sapi betina
dibiarkan secara alami melakukan perkawinanan. Hanya sebagian kecil yang telah
menggunakan cara inseminasi buatan. Metode pengembangbiakan ternak dengan
inseminasi buatan sebenarnya telah difasilitasi dengan adanya Balai Inseminasi Buatan
milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi NTB. Namun cara
pengembangbiakan ini belum mencakup seluruh peternak yang ada di wilayah NTB.
Langkah pengenalan teknologi inseminasi buatan perlu terus dilakukan sebagai bagian
dari pengenalan inovasi teknologi pada masyarakat perdesaan.

Penggemukan
Penggemukan sapi merupakan sebuah bentuk usaha yang memegang peran kunci dalam
bisnis sapi potong. Keberadaan usaha penggemukan bukan hanya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan akan sapi potong lokal namun juga terkait perdagangan sapi antar
pulau. Usaha penggemukan sapi yang ada di lakukan oleh pengusaha di wilayah NTB
dapat dikatakan masih memiliki potensi yang besar. Kebutuhan akan sapi potong untuk
wilayah pulau Lombok yang memenuhi standar RPH yang dikelola oleh BUMD Propinsi
NTB (PT Gerbang NTB Emas) pun masih belum dapat terpenuhi baik dari segi bobot.
Penggemukan sapi yang ditujukan untuk sapi potong pada dasarnya dapat efisien dengan

Bidang P-ITSTP

518

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

menerapkan teknologi pemeliharaan yang tepat. Namun dengan pola pemeliharaan


tradisional yang minim menggunakan teknologi pakan berdampak pada bobot yang
kurang.

Pakan Ternak :
Input utama dan memegang peran penting dalam peternakan sapi adalah ketersediaan
pakan. Pakan berupa rumput, hijauan daun, bonggol tanaman pisang dan jerami padi
melimpah hampir di seluruh wilayah NTB, potensi pakan tersebut sejauh ini telah
dimanfaatkan oleh banyak peternak tradisional. Akan tetapi dilihat dari sebuah usaha
peternakan serta terkait dengan kebutuhan pasar termasuk dalam kaitan daya saing
produk, cara pemberian pakan berupa rumput, hijauan daun, bonggol tanaman pisang
dan jerami padi kurang efisien dan efektif. Artinya perlu adanya pengenalan seperti apa
pakan yang dapat menghasilkan sapi potong yang baik. Usaha untuk menghasilkan
berbagai produk pakan terbaik telah diupayakan, baik oleh Dinas peternakan dan
kesehatan hewan Propinsi NTB (melalui UPTD BP3TR), Universitas Mataram termasuk
LIPI sendiri juga memperkenalkan teknologi pakan. Dengan populasi sapi yang ada di
NTB maka usaha pakan ternak sangat menjanjikan, namun tantangan dalam usaha pakan
ternak adalah meyakinkan para peternak tradisional bahwa penggunaan pakan ternak
selain pakan hijauan sangat lah penting dan menjadikan kegiatan peternakan yang
mereka jalani menjadi lebih efisien dan efektif. Tantangan lain berdasar hasil wawancara
dengan salah seorang pelaku usaha peternakan yang menggunakan pakan ternak selain
pakan hijauan adalah perlunya modal awal, dan hal ini dirasa membebani ekonomi
peternak tradisional. Dengan adanya technopark seharusnya upaya untuk mendorong
masyarakat peternak tradisional menggunakan pakan tambahan selain pakan hijauan
dapat diimplementasikan.

Produk Turunan
Potensi ternak yang besar namun kebutuhan akan daging yang relatif terbatas,
memberikan peluang untuk merintis industri pengolahan produk turunan. Hal ini sangat
berpeluang, terlebih dengan meningkatnya arus wisatawan yang datang ke Pulau
Lombok. Komoditas olahan produk turunan akan menjadi buah tangan dan dengan
tagline sebagai Bumi Sejuta Sapi seharusnya ada produk unggulan daerah yang berupa
produk olahan berbasis daging sapi. Memang di beberapa wilayah terdapat pengolahan

Bidang P-ITSTP

519

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

produk yang berasal dari sapi, namun masih sebatas skala kegiatan rumah tangga. Bila
kegiatan pengolahan produk olahan dari sapi yang skala rumah tangga tersebut di
koordinasikan dimungkinkan akan menjadi sebuah usaha yang strategis, termasuk
manfaat berupa lapangan pekerjaan. Melalui keberadaan technopark, usaha pengolahan
produk turunan dapat dirahkan menjadi sebuah usaha skala industri (misal pembuatan
sosis serta nugget). Langkah ke arah tersebut telah dirintis oleh LIPI dengan memberikan
pelatihan terhadap kelompok masyarakat, dengan harapan dapat mendorong munculnya
usahawan yang bergerak dalam pengolahan produk turunan sapi.

Kebijakan Tata Niaga Perdagangan Ternak Sapi


Ketersediaan daging sapi sangat terkait dengan ketersediaan sapi potong dari sentra
produsen sapi, salah satunya dari NTB. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan
kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran dan
distribusi produk sapi potongn (Bamualim, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut kebijakan
pengembangan ternak sapi potong ditempuh melalui dua cara. Pertama, ekstensifikasi usaha
ternak sapi potong dengan menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung
oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit dan parasit ternak,
peningkatan penyuluhan, bantuan pengkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan dan
hijauan dan pemasaran. Kedua, intensifikasi atau peningkatan produksi melalui pengunaan
bibit unggul, pakan ternak, dan penerapan manajemen yang baik. Dua pendekatan
pengembangan ternak sapi potong tersebut telah dan terus dilakukan oleh pemerintah daerah.
Untuk wilayah pulau Lombok dengan kondisi yang ada, upaya pengembangan ternak sapi
diarahkan pada cara-cara intensifikasi, sehingga teknologi menjadi penting.
Aspek yang terkait dengan usaha pengembangan ternak sapi, khususnya budi daya
sapi potong pemerintah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU No.18 Tahun 2009 pasal 29 dan 30
menegaskan bahwa budidaya sapi potong dapat dilakukan baik oleh individu maupun badan
usaha, bahkan dalam kaitan dengan mitra luar negeri pun dimungkinkan. Berdasarkan hal
tersebut maka potensi usaha peternakan di NTB sangat besar, namun dengan kondisi yang
ada maka usaha peternakan sapi haruslah dapat melibatkan masyarakat. Keterlibatan
masyarakat dalam usaha peternakan sapi menjadi penting, diharapkan akan berdampak

Bidang P-ITSTP

520

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

terhadap ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kebutuhan akan daging sapi yang dipasok
oleh daerah sentra peternakan sapi memang masih belum mencukupi sehingga secara
Nasional kebijakan tata niaga daging sapi dilakukan dengan sapi lokal (dari sentra peternakan
sapi) dan impor (sapi potong termasuk daging)
Khusus untuk kegiatan tata niaga perdagangan sapi yang berasal dari Propinsi NTB
tujuan luar pulau dilakukan dengan menetapkan jumlah sapi yang akan di jual ke luar NTB
oleh pemerintah daerah (kuota sapi keluar NTB). Berdasar atas referensi kuota jumlah sapi
yang dapat dikeluarkan dari Propinsi NTB, maka ditetapkan beberapa perusahaan yang
berhak untuk dapat melakukan transaksi perdagangan sapi dengan pihak pembeli (pengusaha,
perusahaan dan pemerintah daerah lain). Perusahaan lokal pemasok sapi mengajukan ijin
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atas adanya permintaan sapi potong atau
bakalan dari pihak pembeli. Setelah secara administrasi ijin diperoleh maka pihak pemasok
sapi melakukan pengumpulan sapi (membeli dari berbagai tempat) hingga permintaan
terpenuhi. Setelah terkumpul maka dilakukan pemeriksaan atas kondisi kesehatan sapi yang
akan dikirim, hal ini untuk menghindari terjadinya penyakit menular. Berdasar hasil
wawancara dengan pelaku perdagangan sapi antar pulau diungkapkan setelah persyaratan
asministrasi dan pemeriksaan terpenuhi maka pengiriman sapi baru dapat dilakukan, namun
pengiriman tidak dapat langsung ke tujuan pembeli. Pengiriman sapi akan transit di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada saat transit berdasarkan penjelasan narasumber
dikenakan kembali pemeriksaan sampel darah. Demikian pula halnya pada saat sapi telah
sampai di tempat tujuan dilakukan kembali pemeriksaan sampel darah untuk mengetahui
membawa penyakit atau tidak. Kegiatan pemeriksaan sampel darah dalam kegiatan tata niaga
perdagangan sapi menurut pelaku perdagangan sapi antar pulau dirasa memberatkan, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi harga.
Kegiatan tata niaga perdagangan sapi akan terkait dengan kondisi permintaan dan
penawaran atas ternak sapi potong dan daging. Berdasar data sensus pertanian 2013 yang
dilakukan BPS, populasi sapi dan kerbau menurun sebanyak 2,56 juta ekor dari 16,73 juta
ekor pada tahun 2012 menjadi hanya sebanyak 14,17 juta ekor pada tahun 2013. Kondisi ini
mengindikasikan kebutuhan sapi potong belum dapat dipenuhi oleh sentra peternakan sapi,
akhirnya dapat dipahami kebijakan impor dilakukan. Terlepas dari persoalan impor sapi
potong dan daging, kondisi kegiatan perdagangan sapi menjadi peluang bagi Propinsi NTB

Bidang P-ITSTP

521

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

untuk mengupayakan peningkatan populasi sapi termasuk usaha peternakan. Langkah


peningkatan populasi ternak sapi potong telah menjadi prioritas bagi pemerintah Propinsi
NTB, namun langkah strategis tersebut perlu didukung program strategis salah satunnya
tecknopark yang berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat atas teknologi
yang dapat meningkatkan kegiatan peternakan.

Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kegiatan Peternakan Sapi


Kegiatan peternakan sapi perlu dukungan kapasitas sumber daya manusia, karena
peternakan sapi memerlukan cara dan teknik yang efektif dan efisien agar biaya produksi
dapat mencapai skala produksi. Untuk melakukan kegiatan usaha peternakan yang secara
ekonomi dapat memberikan keuntungan bisnis maka penerapan teknologi mutlah dilakukan.
Kondisi riil usaha peternakan yang ada di wilayah propinsi NTB merupakan usaha
tradisional, dengan jumlah ternak yang mampu dipelihara pun hanya sebatas maksimal 3 ekor
sapi. Selain itu berdasarkan penelusuran dapat dikatakan bahwa 80 persen para peternak sapi
merupakan peternak pengkadas (memelihara sapi orang lain dengan sistem bagi hasil),
sehingga dapat disimpulkan bahwa para peternak bukan pemilik aset. Hal tersebut terjadi
karena kapasitas sumber daya dan kepemilikan aset yang rendah, sehingga yang terjadi
mereka hanya sebagai pemelihara sapi bukan pemilik sapi. Para pemelihara sapi atau
pengkadas melakukan kegiatan pemeliharaan ternak pun secara tradisional, hal tersebut dapat
dilihat dari pola pemberian pakan, dimana hijauan dan bonggol tanaman pisang menjadi
pakan yang selalu diberikan pada sapi peliharaan mereka.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan mengoptimalkan
peran pemilik ternak untuk menjadi pionir. Sebagai pemilik ternak pionir juga memiliki
jiwa kewirausahaan dan mampu mempengaruhi para peternak tradisional untuk mengikuti
cara beternak yang efektif dan efisien. Selain itu kelompok-kelompok peternak yang ada saat
ini juga seharusnya memiliki kaitan dengan pionir, karena pionir akan dapat dijadikan
pintu masuk dalam mengenalkan usaha peternakan yang efektif dan efisien. Sasaran penting
atas hubungan tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas sapi yang dipelihara oleh
peternak tradisional, artinya ternak mereka diarahkan pada kebutuhan pasar. Dalam kaitan
peningkatan kapasitas SDM terkait kegiatan usaha peternakan maka ada beberapa hal yang
dapat di upayakan, antara lain:

Bidang P-ITSTP

522

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Peternak tradisional diarahkan untuk terlibat aktif dalam komunitas peternak, bukan
hanya sekedar dalam pemeliharaan bersama (kandang komunal).

Perlu dorongan untuk mengenalkan teknologi peternakan yang efektif dan efisien,
dengan menjalin kerjasama pionir dengan kelompok peternak.

Pendampingan kepada peternak tradisional perlu terus dilakukan para pihak dengan
fasilitasi pionir.

Metoda pengenalan (penyuluhan) termasuk teknis peternakan, perlu dirumuskan kembali


agar mudah diterima dan diaplikasikan oleh peternak tradisional.

Peternak tradisional perlu mendapat dukungan berupa kelembagaan, khususnya dalam


kegiatan bisnis peternakan. Salah satunya menjadikan pionir sebagai rujukan peternak
tradisional dalam berhubungan dengan perantara pedagang sapi (blantik).

Terkait kapasitas SDM, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi para
pionir di setiap wilayah. Pionir bidang peternakan merupakan individu yang memiliki
kemampuan kewirausahaan yaitu kreatif dan inovatif serta mampu mengelola kondisi sosial
budaya masyarakat peternak tradisional. Pendekatan terhadap peternak tradisional yang akan
dilakukan pionir harus didasarkan pada metode bertindak kreatif dan inovatif sehingga
mampu menggerakkan perubahan dari cara beternak tradisional menjadi beternak yang
efektif dan efisien. Selain itu hal yang penting dari kapasitas sumber daya manusia adalah
menumbuhkan sifat-sifat kepercayaan diri (yakni: optimis, penuh komitmen), berinisiatif
(energik dan percaya diri), memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan
kedepan), memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda) dan berani mengambil resiko
dengan penuh perhitungan karena itu suka akan tantangan) kepada pada peternak tradisional.
Tantangan yang dihadapi terkait kondisi dan kapasitas SDM adalah melakukan pendekatan
pada masyarakat terkait inovasi teknologi peternakan berdasar kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.

Bidang P-ITSTP

523

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Dukungan Pelaku Bisnis Peternakan


Dalam membangun hubungan antara pelaku bisnis dengan rumah tangga peternak,
perlu adanya pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat. Secara umum kondisi kegiatan
peternakan di propinsi NTB terbagi menjadi dua. Pertama, usaha peternakan dengan jumlah
ternak besar (pengusaha perdagangan sapi antar pulau, jagal dan pedagang sapi lokal).
Kedua, usaha peternakan dengan jumlah sapi terbatas 2-3 ekor (sebagai besar diusahakan
oleh masyarakat perdesaan berupa pengkadas).
Berdasar kondisi yang ada dalam kaitan membangun daya saing bisnis peternakan
sapi yang berasal dari NTB seharusnya strategi yang dibangun berupa strategi kemitraan.
Bisnis menjadi target utama dalam melakukan usaha peternakan, namun dalam kegiatan
usaha masyarakat perlu dijadikan mitra strategis. Hal ini menjadi kunci karena di wilayah
pulau Lombok khususnya kegiatan usaha peternakan perlu diarahkan menjadi usaha
peternakan intensif. Artinya pengelolaan usaha yang menggunakan inovasi teknologi penting
diaplikasikan bagi usaha yang dijalankan masyarakat perdesaan. Dalam mengaplikasikan
inovasi teknologi maka pengusaha yang memiliki kaitan emosional dengan para pengkadas
menjadi kunci penting. Peternak sapi yang sebagian besar pengkadas lebih mudah
diarahkan oleh para pengusaha ternak (juga dapat menjadipionir) melalui hubungan
emosional antar mereka. Melalui hubungan emosional secara tidak langsung masyarakat
peternak yang disebut sebagai pengkadas memiliki tanggung jawab dan lebih mudah
diarahkan.
Gambaran singkat tersebut merupakan hasil temuan lapangan yang dilakukan tim
peneliti terhadap beberapa pengusaha ternak dikaitkan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat perdesaan di NTB. Bahkan dari langkah kemitraan yang dilakukan oleh
pengusaha ternak ada yang mampu mengeluarkan individu peternak pengkadas menjadi
peternak milik walau dalam jumlah terbatas. Intervensi teknologi peternakan sebenarnya
diperlukan dan disadari oleh para peternak pengkadas, namun dengan kondisi sosial
ekonomi yang mereka hadapi diperlukan pendekatan efektif yang mampu mendorong para
pengkadas melakukan kegiatan peternakan yang lebih baik.
Kemampuan dalam pemeliharaan ternak sapi sebenarnya telah ada secara turun
temurun, akan tetapi pemeliharaan yang baik dan mampu meningkatkan kualitas ternak sapi
perlu di intervensi. Cara efektif mempengaruhi kegiatan usaha peternakan agar mengarah

Bidang P-ITSTP

524

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pada usaha peternakan sapi yang menghasilkan sapi berkualitas baik dapat dilakukan melalui
peran pelaku bisnis yang memiliki pengaruh pada para peternak pengkadas. Kondisi yang
ada, dimana sebaran lokasi pengusaha yang memiliki kemampuan menerapkan usaha
peternakan yang menggunakan cara-cara beternak yang efisien belum merata di semua
wilayah sedangkan peternakan sapi di wilayah Pulau Lombok cukup menyebar. Pola yang
dapat dibangun melalui kemitraan dengan menggandeng mitra strategis yang telah dilatih dan
memiliki kemampuan menerapkan dan menjadi contoh bagi masyarakat perdesaan. Hal yang
paling penting lagi adalah sapi-sapi yang mereka pelihara akan dibeli oleh pengusaha ternak
sesuai kualitas dan kriteria yang telah di tentukan.

Dukungan Kalangan Profesional


Peningkatan daya saing produk peternakan baik berupa sapi hidup maupun produk
daging sapi yang berasal dari sentra penghasil, salah satunya propinsi NTB menjadi penting.
Dalam kaitan kemandirian pangan Nasional kegiatan peternakan yang ada di propinsi NTB
juga mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, seperti Universitas Mataram, Dinas
Peternakan Propinsi serta pihak LIPI yang berupaya memperkenalkan teknologi peternakan
yang efisien dan efektif. Cara atau teknik pemeliharaan sapi telah diperkenalkan kepada
masyarakat, khususnya masyarakat peternak di level perdesaan namun dalam implementasi
tidak dilanjutkan. Artinya perlu adanya pendampingan kepada masyarakat perdesaan secara
terus menerus, agar berbagai teknik peternakan yang diperkenalkan oleh kalangan profesional
secara nyata diaplikasikan.
Pengenalan atas teknik beternak yang efisien masih diangap membebankan
masyarakat peternak yang secara sosial ekonomi memang mereka bukan sebagai pemilik sapi
(pengkadas). Dalam kaitan meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan peternakan sapi,
terlebih dengan semangat agar kegiatan peternakan mengarah pada kegiatan industry
peternakan diperlukan cara tepat, yaitu menciptakan pengusaha ternak skala kecil dan
menengah. Berbagai teknik beternak sapi yang efektif dan efisien yang berasal dari
professional harus diberikan pada pengusaha pionir pada suatu wilayah. Pengusaha pionir
diharapkan akan menjadi contoh nyata bagi peternak tradisional sehingga akan direplikasi
berbagai cara beternak yang efektif dan efisien. Salah satu contoh kasus, dimana pionir
peternakan yang merupakan alumni program IKAMAJA menjadi contoh dalam pemeliharaan

Bidang P-ITSTP

525

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

ternak sapi yang baik, berlokasi di wilayah Desa Jatisele, Kecamatan Gunung Sari. Bila hal
yang dilakukan di banyak tempat di wilayah perdesaan di NTB maka sangat mungkin
kegiatan peternakan sapi menjadi sebuah kegiatan usaha skala industri.
Hal lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan para pionir tersebut adalah
mengkaitkan kegiatan usaha peternakan yang dijakankan dengan upaya pengentasan
kemiskinan. Langkah ini menjadi penting karena dengan mengentaskan para pengkadas
menjadi pemilik maka upaya penerapan teknologi akan lebih mudah. Penggunaan teknologi
dalam peternakan akan mendorong daya saing baik dari segi kuantitas maupun kualitas sapi
ras bali.

Daya Saing Usaha Peternakan


Usaha peternakan sapi potong menjadi strategis karena daging sapi merupakan salah
satu sumber pangan hewani. Terlebih pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan Program
Swasembada Daging Sapi Nasional, dengan mengupayakan peningkatan populasi, perbaikan
produktivitas sapi potong dan peningkatan produksi daging yang terjamin aman, sehat, utuh
dan halal. Dengan program tersebut artinya kegiatan usaha peternakan sapi potong pada
sentra produsen sapi, salah satunya Propinsi NTB menjadi sangat tepat dan strategis sehingga
upaya membangun daya saing usaha peternakan mutlak dilakukan.
Daya saing dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu melalui keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif (Monke dan Person, 1989). Dengan memahami
konsep keunggulan kompetitif, dimana harga menjadi kunci untuk bersaing dalam pasar,
maka hal yang penting dilakukan terkait usaha peternakan sapi di NTB adalah menekan harga
sapi. Langkah untuk menekan harga sapi dapat diupayakan dengan melakukan kegiatan
peternakan yang intensif, artinya penggunaan teknologi menjadi penting. Sedangkan terkait
keunggulan komparatif dalam kegiatan peternakan sapi perlu strategi untuk mengarahkan
perubahan pola peternakan secara tradisional menjadi peternakan yang berorientasi pasar.
Artinya keinginan pasar menjadi prioritas dalam pemeliharaan sapi, misal bila sapi ras bali
secara teknis dagingnya dapat diupayakan seperti halnya kualitas daging sapi impor melalui
cara pemberian pakan maka hal tersebut perlu di kenalkan dan diupayakan menjadi kegiatan
prioritas dalam peternakan.

Bidang P-ITSTP

526

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Modal budaya beternak sapi yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan di wilayah
propinsi NTB serta populasi ternak sapi yang terus meningkat menjadi dasar penting untuk
membangun daya saing. Kegiatan usaha peternakan sapi oleh masyarakat perlu diarahkan
menjadi sebuah usaha yang ditujukan bukan hanya untuk pemenuhan pasar lokal namun juga
pasar regional. Pasar di luar wilayah NTB memerlukan pasokan sapi dan daging sapi
terutama di wilayah pulau Jawa (khususnya wilayah Jakarta). Artinya sapi dan daging yang
berasal dari wilayah NTB harus mampu memenuhi kriteria atau keinginan pasar. Untuk
mencapai kearah tersebut teknologi memegang peran penting, teknologi yang terkait
pengembangan produk dan proses pembangunan produk menurut Porters menjadi kunci
(Tidd et al., 1999). Daya saing yang terbangun berlandaskan teknologi memerlukan
komitmen yang kuat dari seorang pemimpin yang memiliki kreativitas dan mampu
menanggung resiko. Para pengusaha peternakan skala kecil dan menengah yang ada di
wilayah NTB dapat menjadi pionir dalam meningkatkan daya saing produk peternakan
sapi. Pionir yang dimaksud pada dasarnya adalah para pemilik sapi dalam jumlah relative
banyak akan menjadi panutan/contoh bagi masyarakat peternak. Selain itu hubungan pasar
yang selama ini di miliki oleh para pionir akan menjadi jalan bagi pemasaran produk sapi
potong khususnya dan menjadi pemasok usaha pemotongan sapi yang memproduksi daging
sapi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Potensi besar ternak sapi propinsi Nusa Tenggara Barat seharusnya dapat menjadi
pemasok kebutuhan daging sapi Nasional. Dengan kondisi yang ada, perlu suatu strategi
tertentu agar kegiatan peternakan sapi asal Pulau Lombok dapat bersaing. Strategi pemasaran
produk peternakan sapi memiliki kaitan dengan pemeliharaan ternak sapi, sehingga hasil
peternakan sapi akan memiliki daya saing. Dalam memahami kondisi kegiatan peternakan
sapi dalam kaitan dengan pemasaran, ada dua hal penting yang menjadi perhatian. Pertama,
pasokan input (sapi potong) yang dari sisi kualitas yang tercermin dari harga masih belum
efisien. Sapi potong yang ada di Pulau Lombok, harganya relatif tinggi sehingga tidak
memungkinkan untuk bersaing dengan daging sapi impor. Kedua, jaringan pemasaran produk
daging sapi belum terbangun dengan kuat. Strategi untuk dapat bersaing terhadap daging
impor dapat diupayakan dengan melakukan pendampingan oleh pionir, khususnya tentang

Bidang P-ITSTP

527

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

pengetahuan dan teknologi yang mampu menghasilkan produk sama dengan daging impor
kepada masyarakat peternak.
Kegiatan peternakan sapi masyarakat yang dilakukan oleh rumah tangga perdesaan
yang hanya memelihara maksimal 3 sapi dan sebagian besar sebagai pengkadas merupakan
tantangan dalam kontek mengenalkan inovasi dan teknologi melalui technopark.
Pengenalan inovasi dan teknologi memiliki kaitan erat dengan upaya meningkatkan daya
saing sapi ras bali. Karena kebutuhan pasar yang besar seharusnya peningkatan kualitas
sapi menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan akan daging Nasional. Kemitraan santar
pengusaha peternakan dengan masyarakat peternak menjadi salah satu langkah untuk
menjadikan kegiatan peternakan NTB mengarah pada kegiatan industri peternakan. Hal yang
tidak kalah penting terkait pengenalan inovasi dan teknologi adalah upaya meningkatkan
pengetahuan terkait pakan ternak. Pakan ternak menjadi hal penting karena dengan
penggunaan teknologi maka kegiatan peternakan akan menghasilkan kualitas dan bobot sapi
yang baik selain mengefisienkan kegiatan peternakan itu sendiri.
Kekuatan budaya peternak yang telah lama dijalankan oleh para peternak di perdesaan
NTB menjadi tantangan dalam mengenalkan inovasi dan teknologi. Pengenalan inovasi dan
teknologi penting sebagai bagian dari meningkatkan daya saing ternak sapi NTB. Keberadaan
kelompok-kelompok peternak dan pengusaha yang memiliki kemampuan kewirausahaan
menjadi peluang dalam mengarahkan kegiatan peternakan menjadi kegiatan peternakan
intensif. Pengunaan pakan selain pakan hijauan serta pemeliharaan yang dicontohkan melalui
pionir diharapkan menjadi cara untuk mengenalkan inovasi dan teknologi. Kearifan lokal
serta hubungan emosional antara peternak pengkadas dengan pengusaha pionir
digarapkan akan mendorong peningkatan kualitas ternak yang pada akhirnya akan
meningkatkan pemasaran sapi ras bali asal Propinsi NTB.

Bidang P-ITSTP

528

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, AM., (2011). Pengembangan Teknologi Pakan Sapi Potong di Daerah Semi-Arid Nusa
Tenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Cho, D.S., dan Moon, H.C. (2000). From Adam Smith to Michael Porter: Evolution of
Competitiveness Theory. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Carayanis, E. G., and Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix
and How Do Knowledge, Innovation and the Environment Relate to Each Other? A Proposed
Framework for Trans-disciplinary Analysis of Sustainable Development and Social Ecology.
International Journal of Social Ecology and Sustainable Development, Vol. 1(1), pp. 41-69.
Drucker, P.F. , (1985). The Practice of Innovation, Innovation dan Entreperneurship Practice and
Principles, Harper and Row, New York.
Hadi, P.U., et al., (2002). Improving Indonesias Beef Industry. Canberra: Australian Centre for
International Agricultural Research (ACIAR).
Monke EA, dan Pearson S. K. (1989). The Policy Analysis for Agricultural Development. Itacha
(US): Cornell University Press.
Nadjib, M. (2009). Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub-Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (editor). Efektivitas Model Pembiayaan
Syariah dalam Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Patrick, I.W., et al. (2010). Social Capital and Cattle Marketing Chains in Bali and Lombok,
Indonesia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).
Porter, M. E. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors.
New York: The Free Press.
______. (1996). What is strategy?. Harvard Business Review.
Smith, R. (2010). Production, Marketing Strategies Essential for Cattle Operation. Diunduh dari
www.southwestfarmpress.com.
Sasongko W.R. (2010). Pemasaran Ternak Sapi di NTB masih Tradisional. Lombok: BPTP Nusa
Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian on line.
Suhendar, Y. (2007). Harus Terus Impor Susu dan Daging? Agrina, 11 Desember 2007.
Tidd, J., Bessant, J., dan Pavitt, K. (1999). Managing Innovation (Integrating Technological, Market
and Organizational Change). John Wiley & Sons Ltd
Zulkarnain, I., et al. (2013). Kajian Persepsi Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap
Kegiatan Pertambangan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Bidang P-ITSTP

529

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

530

Pusat Inovasi - LIPI

P-ITSTP 03

MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK


(HORTIKULTURA) TERINTEGRASI DENGAN
TECHNOTPARK MEAT BUSINESS CENTER
BANYUMULEK NTB
Dr. Wahyu Widiyono*), Dr. Wahyuni**), Arwan Sugiarto, M,Si., Peni Lestari M.Si.,
Dra. Fauzia Syarif*), Engkom Komarudin, Budiarjo*) dan Sudiyono***)
*) Puslit Biologi-LIPI dan **) Puslit Bioteknologi-LIPI
***) Ketua Kelompok Tani Banyumulek, Pemda NTB
wahyu_widiyono@yahoo.com

ABSTRAK
Pengembangan pertanian organik di Indonesia menghadapi permasalahan teknologi
budidaya, sosialisasi, dan dukungan pemerintah. Model pengembangan sayuran organik ini
merupakan merupakan salah satu kegiatan dari Techno Park berbasis peternakan-LIPI di
Banyumulek, Nusa Tenggara Barat. Kegiatan juga maksud untuk mendukung program ekoedu-wisata, Pemda NTB.

Budidaya pertanian organik bertujuan untuk menghasilkan

produksi pertanian yang sehat

dan aman dikonsumsi, bernutrisi tinggi, dan ramah

lingkungan. Produk organik tersebut dapat dicapai melalui sistem managemen produksi
pertanian secara holistik untuk meningkatkan kesehatan agroekosistem. Rangkaian produksi
agrobisnis sayuran organik meliputi investasi sarana budidaya, panen, paska panen dan
pemasaran. Kawasan Banyumulek merupakan daerah dataran rendah dengan kondisi tanah
berpasir, curah hujan tahunan relatif tinggi, yaitu 1845,5 mm/tahun dengan 4 bulan musim
kering

(Juni-September), dan 8 bulan basah

(Oktober-Mei). Model budidaya sayuran

organik yang dikembangkan meliputi: (a) model budidaya secara hemat air; (b) pupuk
organik padat,

cair dan kompos;

(c) penggunaan benih unggul bernutrisi tinggi;

(d)

biopestisida; (e) sertifikasi produk; (f) panen, paska panen dan pemasaran. Selain itu juga
sosialisasi, pelatihan dan pembinaan kelompok tani, kerjasama dengan lembaga penelitian
dan perguruan tinggi setempat.

Kata Kunci: model, implementasi teknologi, sayuran organik, TP Banyumulek NTB.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara
hayati yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik
menganut hukum pengembalian (law of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha
untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu
dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberikan makanan
pada tanaman dengan mengandalkan bibit lokal dan menghindari penggunaan pupuk dan
pestisida kimia sintetis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan (Suwantoro, 2008).
Pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian alternatif berwawasan
lingkungan yang ditujukan untuk pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia. Sistem
ini sedapat mungkin menghindari perlakuan tanaman dengan menggunakan pupuk kimia
sintesis dan pestisida kimia. Kesadaran dan tingkat pendidikan mendorong masyarakat
memilih kualitas dan kesehatan demi pola makan sehat dibanding harga, sehingga produk
organik semakin meningkat permintaannya. Banyaknya lahan produktif yang terancam kritis
karena kekurangan unsur hara dan kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dan
pestisida serta kandungan racun pestisida pada produk pertanian membuat pertanian organik
semakin mendesak untuk diterapkan (Hartati, 2007).
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan
alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan pabrik. Tujuan utama pertanian organik
adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi
kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat
demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk
pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food-safety attributes), kandungan nutrisi tinggi
(nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen
seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat makin pesat
(Nurhidayati et al., 2008).
Definisi pertanian organik menurut Florida Organik Certification Program adalah:
sistem produksi pangan yang didasarkan pada metode dan praktek pengelolaan lahan
pertanian dengan pemanfaatan rotasi tanaman, recycling sampah organik, aplikasi mineral

Bidang P-ITSTP

531

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

alami untuk menjaga kesuburan tanah, dan jika perlu pengendalian jasad pengganggupun
secara biologi. Menurut Budianto (2002): pertanian organik merupakan cara memproduksi
bahan pangan dengan menggunakan bahan-bahan alami baik yang diberikan melalui tanah
maupun secara langsung kepada tanaman dan hewan (Nurhidayati et al. 2008).
Menurut IFOAM (2005), terdapat beberapa prinsip pertanian organik yang harus
digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang, yakni: 1. Prinsip
Kesehatan, 2. Prinsip Ekologi, 3. Prinsip Keadilan dan 4. Prinsip Perlindungan (Nurhidayati
et al. 2008).
Beberapa persyaratan tanaman yang akan ditanam dalam sistem pertanian organik,
antara lain: 1. Mempunyai nilai ekonomis tinggi, 2. Kesesuaian antara tanaman dengan jenis
tanah dan kondisi lingkungan, dan 3. Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
Komoditas yang Layak Dikembangkan dengan Sistem Pertanian Organik, adalah: 1.
Tanaman Pangan (Padi), 2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho
putih, kubis tunas, bayam, daun, labu siyam, oyong dan baligo; Buah: nangka, durian, salak,
mangga, jeruk dan manggis, 3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili
dan kopi, 4. Rempah dan Obat Jahe, kunyit, temulawak, dan temutemuan lainnya. 5.
Peternakan (Susu, telur dan daging) (Nurhidayati et al., 2008).

Permasalahan dan potensi


Keberlanjutan praktik pertanian organik di Indonesia, masih rendah hal ini karena:
(1) adopsi teknologi hasil-hasil penelitian masih kurang; (2) pemahaman dan persepsi
masyarakat terhadap pertanian organik masih kurang; (3) perlindungan pasar terhadap produk
pertanian organik masih kurang; dan (4) belum adanya model pertanian organik terpadu dari
hulu (aspek agronomi) hingga ke tengah (kebijakan) dan hilir (pemasaran hasil).
Pertanian organik sangat potensial untuk dikembangkan di NTB, mengingat potensi
sumberdaya alam (tanah dan iklim) yang sangat mendukung dan potensi hasil samping
budidaya peternakan yang sangat melimpah, berupa kotoran padat (feces) dan kotoran cair
(urine) sebagai media tanam dan pemeliharaan pertanian organik. Pengembangan ternak sapi
di NTB, memberikan sumbangan sebesar 4,8% terhadap kebutuhan sapi Nasional. Melalui
program bumi sejuta sapi oleh Pemda NTB, kini NTB termasuk 8 besar pemasok sapi
Nasional.

Bidang P-ITSTP

532

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tujuan Model Pertanian Organik Terintegrasi


a.

Terwujudnya sebuah model budidaya pertanian ramah lingkungan yang menjadi satu
mata rantai dari program besar pengembangan budidaya peternakan secara berkelanjutan.

b.

Terwujudnya model teknologi budidaya pertanian ramah lingkungan yang dapat


digunakan sebagai media penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
kelompok tani, masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa, lembaga penelitian, dan
pemerintah daerah setempat.

c.

Terwujudnya model budidaya pertanian berkelanjutan yang mendukung program


swasembada pangan melalui penyediaan komoditas sayuran penghasil daun dan sayuran
penghasil buah yang sehat, tersedia sepanjang tahun dengan menggunakan benih unggul
lokal dan nasional.

MODEL DAN ROADMAP PERTANIAN ORGANIK TERINTEGRASI


1.

Model Pertanian Organik Terintegrasi


Model pertanian organik terintegrasi yakni peningkatan nilai tambah pupuk kandang

dan urine serta limbah pakan dari budidaya ternak sapi, dimanfaaatkan menjadi biogas dan
sebagai pupuk organik untuk budidaya pertanian dan pakan hijauan. Model rangkaian
produksi sayuran organik, meliputi: aspek-aspek Agronomi

(penyediaan pupuk organik

hayati baik pupuk padat, cair maupun kompos; penyediaan benih dan bibit; penanaman pada
rumah inseknet dan lahan terbuka, panen dan paska panen), aspek Sosial ekonomi khususnya
pemasaran, dan aspek kebijakan pemerintah yang memihak pada pemasaran produk pertanian
orgtanik (Gambar 1).

Aspek-aspek
Agronomi

Aspek-aspek
Sosial Ekonomi

Dukungan
kebijakan
terhadap pasar
produk organik

Rangkaian hulu-hilir keberlanjutan agrobisnis pertanian organik

Gambar 1. Rangkaian keberlanjutan agrobisnis pertanian organik

Bidang P-ITSTP

533

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2.

Roadmap Kegiatan 2015-2017


Kegiatan model pengembangan sayuran organik, sekurang-kuangnya diperlukian waktu
tiga-lima tahun, dengan roadmap kegiatan sebagai berikut:
Tahun 2015:
a. Membangun Model dan Teknologi.
b. Memperkenalkan produksi dan merintis pasar.
c. Menyelenggarakan Pelatihan kepada Kelompok Tani dan Masyarakat Terkait.
d. Membentuk jaringan kerjasama.
Tahun 2016:
a. Memantapkan Model dan Teknologi.
b. Memasarkan produksi.
c. Menyelenggarakan Pelatihan Lanjutan kepada Kelompok Tani dan Masyarakat
Terkait.
d. Memantapkan jaringan kerjasama.
Tahun 2017:
a. Menyempurnakan Model dan Teknologi.
b. Memasarkan produksi secara luas.
c. Menyelenggarakan Pelatihan Lanjutan-2 kepada Kelompok Tani dan Masyarakat
Terkait.
d. Menyerahkan Model dan Teknologi kepada Pemda dan Memelihara jaringan
kerjasama.

3.

Aspek-aspek penelitian dan pengembangan


a. Pengendalian ekosistem mikro dan managemen air.
b. Penyediaan benih unggul lokal dan bernutrisi tinggi.
c. Penggunaan pupuk organik hayati dan pengomposan.
d. Pengendalian hama dan penyakit terpadu dengan biopestisida.
e. Sertifikasi produk sayuran organik.

Bidang P-ITSTP

534

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

4.

Uraian Roadmap Kegiatan


a. Pembersihan lahan (land clearing) dan pemagaran
1) Pembersihan lahan dengan cara pembabatan dan penggalian tanggul-tanggul
bekas tanaman
2) Pemagaran dari gangguan unggas (ayam dan bebek) dan keamanan lingkungan.
b. Managemen air irigasi
1) Pengendalian kualitas air irigasi yang sehat melalui pengamatan/pengujian di
laboratorium dan mengurangi/menghindari penggunaan bahan pencemar.
2) Pengendalian kuantitas air irigasi yang cukup melalui sistem pemulsaan, drip
watering dan springkler irigation.
3) Penyediaan air irigasi melalui sumur bor, saluran irigasi teknis, dan embungembung.
c. Penggunaan benih unggul
1) Koleksi, identifikasi benih unggul lokal
2) Penggunaan benih unggul nasional dan hibrida sebagai pembanding
d. Pola penanaman menggunakan plastik polibag dan bedeng tanam menggunakan mulsa
jerami dan mulsa plastik
1) Budidaya di dalam rumah inseknet (plastik polibag dan mulsa plastik)
2) Budidaya pada lahan terbuka (plastik polibag, mulsa jerami dan mulsa plastik)
e. Pengolahan tanah dan penyediaan media tanam
1) Pengolahan tanah
2) Penyediaan pupuk kandang dari pupuk kandang yang telah tersedia pada sistem
peternakan
f. Pembuatan pupuk organik hayati
1) Penyediaan starter padat dan cair
2) Perbanyakan starter padat dan cair
3) Pembuatan kompos dari bahan kotoran padat bekas pembuatan biogas (sludge)
4) Penggunaan pupuk cair bahan urine bekas pembuatan biogas.

Bidang P-ITSTP

535

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

g. Pengendalian hama dan penyakit hayati terpadu menggunakan biopestisida dan


pengelolaan ekosistem mikro yang sehat
1) Secara preventif dilakukan dengan cara sanitasi lingkungan, agar tidak menjadi
host (sumber penyakit).
2) Secara mekanis dan manual dengan cara memetik, mencabut, dan menghilangkan
tanaman yang terkena penyakit.
3) Pembutaan kebun biopestida sebagai pengendali hama dan penyakit.
4) Penyediaan dan penggunaan pengendali hama dan penyakit secara hayati
h. Panen dan paska panen
1) Pengujian kualitas produksi hasil panen (hayati, fisik dan kimiawi)
2) Kuantitas produksi terpenuhi secara kontinyu
3) Penimbangan dan pengepakan hasil panen
i. Sertifikasi produk pertanian organik
1) Pengujian kegiatan di lapangan
2) Pengujian di laboratorium
3) Pemberian sertifikasi
4) Pelabelan sertifikasi produk
j. Pemasaran hasil dan agrobisnis
1) Bekerjasama dengan mitra untuk pemasaran hasil
2) Bekerjasama dengan mitra untuk berinvestasi
3) Pembinaan kelompok tani sebagai mitra dengan sistem inti dan plasma
k. Penelitian dan pengembangan
1) Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian
2) Bekerjasama dengan Perguruan Tinggi (Dosen dan Mahasiswa)
3) Bekerjasama dengan Guru dan Siswa (SLTA dan SLTP)
l. Ekowisata Masyarakat Lokal Tamu-tamu wisatawan
1) Penyajian kegiatan budidaya pertanian organik untuk ekoeduwisata
2) Penyiapan leaflet sebagai panduan ekoeduwisata

Bidang P-ITSTP

536

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

5.

Data Pendukung
a. Iklim Mikro pada saat penanaman
1) Monitoring data iklim (hujan, suhu, kelembapan, kecepatan angin) dari BMKG
2) Diusulkan menginstalasi alat pemantau data iklim (Automatic Weather Station)
b. Kualitas air irigasi
1) Monitoring kualias air (mikrobilogis, fisik dan kimiawi)
c. Tingkat kesuburan tanah
1) Monitoring tingkat kesubuan tanah (hayati, fisik, kimia)
d. Kualitas produksi sayuran
1) Kualitas fisik (warna, bentuk, keutuhan dari hama dan penyakit, berat)
2) Kimiawi dan mikrobilogis (pengujian di laboratorium)

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Budidaya sayuran organik terintegrasi

1.1. Tata letak lokasi kegiatan


Lokasi pengembangan model pertanian organik terintegrasi dengan peternakan,
dipilih yang berdekatan dengan kandang ternak sapi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
pengambilan dan pengangkutan pupuk kandang dan menyalurkan urine sebagai pupuk cair.
Tower
semen

Tomat mulsa

Pompa air

lsa
mu
ng
o
lsa
r
Te
mu
bai
Ca

Cabai
jerami

Paria

Cabai
Pot

Cabai pot

Rumah
Plast ik

Rumah
Paranet

Rmh
paska
panen

Terong pot

Kang
kung
Pot
kom

Rmh
Kom
pos

Cabai pot

TATA LETAK MODEL SAYURAN ORGANIK TECHNOPARK BUSINESS


CENTER BANYUMULEK LIPI - PEMDA NTB 2015

Gambar 2.

Tata letak model pengembangan sayuran organik di Banyumulek-NTB

Sebagai model kegiatan, digunakan lahan seluas 800 m 2, merupakan lahan bekas
kompleks perkandangan ayam, yang telah lama tidak digunakan. Lahan yang telah lama
diberokan (lebih dari 3 tahun) tersebut, menjadi faktor yang baik untuk budidaya pertanian

Bidang P-ITSTP

537

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

organik agar diperoleh ekosistem yang sehat. Pada lahan tersebut dirancang untuk lokasi
bedeng-bedeng tanaman, tanaman menggunakan plastik polibag, bangunan rumah inseknet,
rumah kompos, rumah paska panen, dan sumur pompa serta tower air (Gambar 2).

1.2. Jenis sayuran, penanaman dan panen


Berbagai jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan dan tanggal panen masingmasing, adalah sebagai berikut:
a.

b.

c.

d.

e.

f.

TOMAT VARIETAS BETAFILE, MULSA PLASTIK


TGL. TANAM

: 27 JULI 2015

PANEN KE-1

: 27 SEPTEMBER 2015

PARIA VARIETAS RADEN, TANPA MULSA


TGL. TANAM

: 04 JULI 2015

PANEN KE-1

: 04 SEPTEMBER 2015

CABAI RAWIT, MULSA JERAMI


TGL. TANAM

: 01 AGUSTUS 2015

PANEN KE-1

: 01 OKTOBER 2015

CABAI BESAR VARIETAS INKO, POLIBAG


TGL. TANAM

: 20 JULI 2015

PANEN KE-1

: 20 SEPTEMBER 2015

TERONG BESAR VARIETAS BUNGO, MULSA PLASTIK


TGL. TANAM

: 19 JUNI 2015

PANEN KE-1

: 19 AGUSTUS 2015

TERONG BESAR VARIETAS MANDAU, MULSA PLASTIK


TGL. TANAM

: 19 JUNI 2015

PANEN KE-1

: 19 AGUSTUS 2015

2. Teknik budidaya secara hemat air


Di dalam penerapan pertanian organik secara berkelanjutan, budidaya secara hemat
air merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat
fenomena krisis air secara global, dan ketersediaan air yang semakin langka.

Bidang P-ITSTP

538

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

2.1. Permasalahan ketersediaan air


Cabai, terong dan tomat merupakan tanaman sayuran penghasil buah dari Familia
Solanaceae yang memerlukan kebutuhan air yang cukup terutama pada masa berbunga,
pembentukan buah hingga panen. Cabai, terong dan tomat memiliki periode musim tanam
lebih kurang 120 hari dan memiliki fase pertumbuhan awal, fase vegetatif, fase reproduktif
dan pertumbuhan akhir yang spesifik. Penyiraman secara hemat air dan tepat, perlu diberikan
sesuai dengan kondisi tanah, iklim, dan fase pertumbuhan tanaman tersebut.
Kawasan Technopark Banyumulek memiliki kondisi tanah berpasir sehingga
kapasitas menahan air (water holding capacity) rendah. Hal tersebut menimbulkan
permasalahan untuk irigasi tanaman pada musim kemarau, meskipun curah hujan tahunan
relatif tinggi, yaitu 1845,5 mm/tahun. Mengingat kondisi tanah dan iklim tersebut, diperlukan
pemetaan (mapping) kondisi kritis defisit air sepanjang tahun, dan volume irigasi yang harus
diberikan sesuai fase pertumbuhan tanaman yang akan dibudidayakan.

2.2. Tujuan penelitian budidaya hemat air


a. Untuk mengetahui kondisi defisit air sepanjang tahun pada pengembangan sayuran
(cabai- terong dan tomat).
b. Untuk mengetahui volume dan waktu irigasi yang harus diberikan agar tanaman tidak
mengalami defisit air.

2.3. Lokasi dan tahap-tahap penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kawasan Pengembangan Technopark, Banyumulek, Kabupaten
Lombok Barat, NTB.

2.3.1. Simulasi kebutuhan air tanaman


a. Kebutuhan air tanaman merupakan kebutuhan air yang dipergunakan untuk
evapotranspirasi tanaman/Etcrop

(Etc), yang dapat diketahui dari evapotranspirasi

potesial (Eto) dan Koefisien tanaman (Kc), sebagai berikut:


Etc = Eto * Kc...............................................................................................................(1)
b.

Disusun data rata-rata hujan dan evaporasi harian (mm/hari) berdasarkan rata-rata hujan
bulanan (mm/bulan), pada tahun 2004-2013, di Banyumulek, NTB.

Bidang P-ITSTP

539

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

c.

Disusun data rata-rata evapotranspirasi potensial harian (mm/hari) berdasarkan rata-rata


evaporasi harian (mm/hari). Menurut FAO No. 56, Allen, 1990, evapotranspirasi
potensial harian (Eto) dapat diketahui dari nilai rata-rata evaporasi harian (Evo),
koefisien panci (Kp), kelembapan relatif (%) dan kecepatan angin (m s -1), sebagai
berikut:
Eto = Evo * Kp............................................................................................................(2)
Mengingat kondisi kawasan Banyumulek, dengan kelembapan relatif tinggi dan
kecepatan angin rendah, maka berdasarkan Table Allen (1990), ditentukan nilai Kp =
0,85.

d.

Ditentukan fase pertumbuhan tanaman cabai, terong dan tomat. Untuk tanaman semusim
fase pertumbuhan tanaman adalah fase awal

(innitial stages), fase perkembangan

(development stage), fase pertengahan musim (mid season) dan dan fase pertumbuhan
akhir (late season). Periode fase pertumbuhan tanaman cabai, terong dan tomat adalah
30/40/40/20 atau umur seluruh musim tanam 130 hari. Koefisien tanaman pada fase
pertumbuhan adalah 0,6; fase perkembangan dan pemasakan buah 1,15; dan fase akhir
pertumbuhan adalah 0,8.

2.3.2. Simulasi defisit air dan waktu penyiraman


a.

Berdasarkan simulasi kebutuhan air tanaman, selanjutnya dibuat simulasi untuk


mengetahui defisit kumulatif air tanah (Cummulative Soil Water Deficit/CSDW), yang
merupakan neraca dari curah hujan efektif (Effective Rainfall), aplikasi irigasi bersih
(Net Irrigation Application/NIA) dan evapotranspirasi potensial (Eto), yaitu:
CSDW = ER + NIA + Eto ........................................................................................ (3)

b.

Aplikasi irigasi bersih

(Net Irrigation Application/NIA), diketahui dari kedalaman

akar/Root Depth dan air tersedia (Readily Available Water/RAW), yaitu:


NIA = RD * RAW................................................................................................... (4)
c.

Air tersedia (Readily Available Water/RAW), diketahui dari Total Air Tersedia (Totally
Available Water/TAW) dan fraksi deplesi (Depletion Fraction), yaitu:
RAW = TAW * p .................................................................................................... (5)

d.

Air tersedia total (Totally Available Water/TAW), berdasarkan tekstur tanah, diketahui
dari Tabel 1 (Qassim and Tatura, 2006).

Bidang P-ITSTP

540

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

e.

Untuk tanah di kawasan Banyumulek dengan tekstur pasir, diketahui nilai TAW 49
mm/m.

f.

Fraksi deplesi (Depletion Factor) atau p, untuk tanaman sayuran berkisar 0,3 0,5
(Qassim and Tatura, 2006).

g.

Volume Irigasi Bersih (Net Irigation Depth/NID), diketahui dari air tersedia (RAW) dan
kedalaman akar (Roof Depth). Untuk tanaman cabai, terong dan tomat, kedalaman akar
berkisar 0,5 1,5 m (Qassim and Tatura, 2006). Volume irigasi bersih digunakan
sebagai indikator volume air yang harus diberikan, bila kumulatif air tanah telah
mencapai volume tersebut.

h.

Dari hasil simulasi di atas, total volume air yang harus diberikan sepanjang fase
pertumbuhan tanaman dan per satuan luas lahan dapat diketahui.

2.3.3. Hasil simulasi


a. Hujan Vs Evaporasi
Dari hasil pengamatan curah hujan tahun 2004-2013 oleh BMKG di Kecamatan
Kediri, Lombok Barat, NTB, berjarak sekitar 5 km dari kawasan Banyumulek, diketahui
wiayah ini memiliki rata-rata curah hujan relatif tinggi, yaitu 1871, 8 mm/tahun. Musim
kemarau pada saat kondisi defisit air, berlangsung pada bulan Juni-Oktober (selama 5 bulan),
dan musim hujan berlangsung pada bulan November-Mei.

Gambar 3. Rata-rata curah hujan dan evaporasi bulanan pada tahun 2004-2013 di Kecamatan
Kediri, Lombok Barat, NTB
Dari kondisi defisit dan surplus air di suatu wilayah dapat dibuat simulasi kebutuhan
air tanaman berdasarkan fase pertumbuhannya.

Bidang P-ITSTP

541

b. Simulasi kebutuhan air tanaman


Simulasi kebutuhan air tanaman (Etc), evapotranspirasi (Eto) dan hujan harian sesuai
fase pertumbuhan tanaman cabai, terong dan tomat pada musim tanam Januari, Februari,
Maret dan April.

Dari hasil simulasi, diketahui tanaman cabai, terong dan tomat yang mulai ditanam
pada bulan Januari dan Februari tidak mengalami kondisi kritis sepanjang periode
pertumbuhannya. Hal ini, karena curah hujan harian > dari nilai evapotranspirasi potensial
dan kebutuhan air tanaman. Namun demikian apabila mulai ditanam pada bulan Maret dan
April, tanaman mengalami masa kritis, terutama pada sepertiga hingga setengah pada fase
akhir pertumbuhannya.
Dari hasil simulai, ditunjukkan apabila tanaman cabai, terong dan tomat mulai
ditanam pada bulan Mei, hanya terpenuhi kebutuhan airnya pada fase awal pertumbuahn,
Bahkan tanaman yang mulai ditanam pada bulan Juni, Juli dan Agustus mengalami periode
defisit air sepanjang pertumbuhannya.
Dari hasil simulasi, ditunjukkan tanaman yang mulai ditanam pada bulan September
dan Oktober mengalami periode kritis pada sepertiga hingga setengah fase awal
pertumbuhannya.

Sedangkan tanaman yang mulai ditanam pada bulan Novembeer

tidakmengalami fase kritis sepanjang fase pertumbuhannya.

c. Simulasi Waktu dan Volume Irigasi

Gambar 3. Simulasi hujan, evapotranspirasi dan kebutuhan irigasi harian tanaman


cabai di banyumulek NTB 2015

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

543

Pusat Inovasi - LIPI


Dari Gbr. 3, ditunjukkan sepanjang fase pertumbuhan tanaman tidak terdapat hujan,
atau hujan berada di bawah nilai evapotranspirasi potensial. Berdasarkan hasil simulasi
diketahui, bahwa penambahan air penyiraman (irigasi) atau volume irigasi bersih, harus
diberikan apabila defisit kumulatif air tanah telah mencapai angka 19,6 mm (dibulatkan 20
mm). Pada fase awal penyiraman tersebut, dilakukan setiap empat hari sekali, sedangkan
pada fase perkembangan dan peasakan buah hingga penen, penyiraman dilakukan setiap tiga
hari sekali. Pada Gbr. 3, juga ditunjukkan, sepanjang fase pertumbuhan tanaman diperlukan
penyiraman total sebanyak 25 kali, masing-masing dengan volume 20 mm, yaitu 25 x 20 mm
= 500 mm. Untuk luasan lahan 1 ha, diperlukan penyiraman sebanyak 0,5 x 10.000 = 5000
m3.

3.

Benih unggul sayuran organik (Cabai)


Cabai (Capsicum) merupakan salah satu komoditas sayuran terpenting di Indonesia

maupun di dunia. Nilai produksi cabai di Indonesia merupakan yang ke empat di dunia,
dengan nilai produksi mencapai 1,7 ribu ton pada tahun 2012 (FAO, 2015). Nilai produksi
yang besar tersebut sangat terkait dengan luasan pertanaman dan juga penyediaan benih.
Umumnya benih didapatkan dari pasar dan benih yang berkualitas dan tahan penyakit adalah
benih hibrida. Keungguan benih hibrida ini hanya didapatkan pada penanaman pertama
dengan hasil panen yang seragam dan produktivitas yang sangat baik. Sedangkan untuk
penanaman kedua dari benih yang dipanen sendiri, kualitas hasil panen menurun dan tidak
seragam. Hal ini menyebabkan petani harus membeli kembali benih di pasar.
Produksi benih cabai sebenarnya dapat dilakukan oleh petani secara mandiri untuk
pemenuhan kebutuhan sendiri dan untuk membuka peluang usaha di bidang benih. Untuk
memproduksi benih yang berkualitas terdapat beberapa hal yang harus diketahui terlebih
dahulu, seperti jenis benih dan teknik pertanaman dan teknik prosesing benih.
Benih dapat dihasilkan dengan membuat persilangan buatan antar varietas target dan
persilangan sendiri (selfing) antara serbuk sari dan polen yang berasal dari satu tanaman.
Benih hasil persilangan dapat dikelompokkan menjadi: 1.
BS); 2.

Benih dasar (Foundation seed; FS); 3.

Benih penjenis (Breeder seed;

Benih pokok / Stock seed (SS); 4.

Benih

sebar / Extention Seed (ES). Jika benih ingin dipasarkan, maka benih perlu disertifikasi oleh
BPSB setempat setiap masa tanam. Tujuan sertifikasi adalah untuk memberikan jaminan
kualitas benih kepada pembeli.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

4.

Pupuk organik hayati

1.1. Starter padat dan cair


Aplikasi mikroba fungsional menjadi salah satu bagian penting dalam kegiatan
pengembangan model sayuran organik. Master inokulan dibuat dalam bentuk padat maupun
cair, bergantung dari bahan jenis mikroba yang digunakan serta carrier nya. Pembuatan
starter inokulan cair dilakukan dengan cara sederhana, agar di kemudian hari metoda ini
dapat di aplikasikan dalam skala yang lebih luas oleh masyarakat. Galon air isi ulang diberi
aerator, difungsikan sebagai fermentor sederhana. Sedangkan pembuatan starter inokulan
padat dilakukan dengan cara mencampur inokulan master (dalam bentuk padat atau cair)
dengan tepung tapeoka (sebagai carrier) pada mesin pengaduk. Setelah campuran teraduk
rata, starter inokulan ini siap untuk digunakan. Untuk memperoleh harga yang murah, dicoba
pula digunakan arang sekam dari limbah industri rumah tangga, sebagai carrier inokulan
Pembuatan kompos dilakukan dengan memanfaatkan limbah jerami dan kotoran
ternak yang ada. Diharapkan dengan penambahan mikroba fungsional, dalam proses
pengomposan maka kompos yang dihasilkan akan cepat diperoleh dan memiliki kualitas yang
lebih baik. Selain itu, urin sapi selain digunakan sebagai pupuk cair juga dimanfaatkan
sebagai pestisida organik. Urine sapi dari limbah peternakan yang telah mengalami
fermentasi, disalurkan melalui pipa air ke penampungan, dan digunakan untuk menyiram
tanaman.
1.2. Pembuatan kompos
Untuk pembuatan kompos, digunakan bahan hijauan jerami yang dipotong
menggunakan mesin pencacah dan kotoran padat sapi yang relatif masih baru. Kedua bahan
tersebut disusun berlapis-lapis, dan pada setiap lapis ditaburkan starter inokulan padat serta
disiram air. Tumpukan bahan kompos difermentasi dengan cara ditutup plastik berwarna
hitam. Pemeliharaan kompos dilakukan, dengan cara membolak-balik setiap minggu sekali.
Bahan kompos telah siap dipanen, setelah umur 1,5 - 2 bulan.

5.

Biopestisida
Penggunaan pestisida nabati (biopestisida) merupakan salah satu komponen penting

dalam budidaya sayuran organik. Indonesia sebagai negara yang kaya dengan biodiversitas
flora, memiliki berbagai jenis tanaman lokal yang berfungsi sebagai biopestisida. Di dalam

Bidang P-ITSTP

544

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
budidaya sayuran organik, serangan organisme pengganggu tanaman, sering kali menjadi
masalah yang cukup besar. Penggunaan pestisida nabati, diharapkan dapat menjadi solusi
pengendali hama dan penyakit tanaman, untuk menggantikan fungsi pestisida kimia. Bahan
baku biopestisida adalah tanaman-tanaman yang umum dijumpai di lingkungan sekitar.
Untuk aplikasi langsung, jenis pestisida ini dapat dibuat dengan cara sederhana. Mudah dan
hemat biaya, sehingga dapat mengurangi biaya produksi produk pertanian.

6.

Sertifikasi pertanian organik

Sertifikasi Organik
Sertifikasi organik adalah proses untuk mendapatkan pengakuan bahwa proses
budidaya pertanian organik atau proses pengolahan produk organik dilakukan berdasarkan
standar dan regulasi yang ada. Apabila memenuhi prinsip dan kaidah organik, produsen dan
atau pengolah (prosesor) akan mendapatkan sertifikat organik dan berhak mencantumkan
label organik pada produk yang dihasilkan dan pada bahan-bahan publikasinya (Nurhidayati
et al. 2008).
Sertifikasi Bahan dan Produk Organik
Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang
tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen maka diperlukan sertifikasi.
Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
(a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih
mentoleransi penggunaan pupuk kimia buatan pabrik dalam jumlah yang minimal atau
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi
penggunaan pestisida buatan pabrik. Pengendalian OPT dengan menggunakan
biopestisida, varietas toleran, maupun agen hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi
nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi
dan pihak-pihak lain yang terkait.
(b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri,
seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan
produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi
persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik (Nurhidayati et al. 2008).

Bidang P-ITSTP

545

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Sertifikasi perlu dilakukan, baik terhadap bahan organik yang digunakan (termasuk
pupuk kandang, jenis ternak dan kesehatan kandangnya) maupun produk organik.
International Federasion of Organik Agriculture Certification (IFOAM) merupakan lembaga
sertifikasi organik yang kompeten di dunia internasional.

7.

Pelatihan petani dan sosialisasi program


Pelatihan petani dan sosialisasi program dilakukan kepada pemangku kepentingan,

yang terdiri dari unsur-unsur yang mewakili Pemerintah Daerah, Peminat Bisnis, Perguruan
Tinggi Dosen dan Mahasiswa (Unram) dan Kelompok Tani. Narasumber dari Perguruan
Tinggi dan Dinas Pertanian Provinsi. Dari pelatihan dan diskusi tersebut diperoleh informasi
tentang kegiatan pertanian organik yang telah dikembangkan di Mataram, NTB dan rencana
kerjasama yang dapat dilakukan lebih lanjut, seperti: kerjasama penelitian, pembimbingan
mahasiswa, dan revitalisasi asosiasi pertanian organik.

8.

Pemasaran hasil dan Festival Hortikultura Nasional


Telah dilakukan rintisan pemasaran produk sayuran organik kepada beberapa Hotel

dan Pasar Swalayan di Mataram NTB. Selain itu juga telah diikuti Festival Hortikultura
Nasional dengan mengikutsertakan produk sayuran organik, tanaman sayuran organik, starter
padat dan cair, dan kompos di dalam pameran tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN


Telah dilakukan kegiatan model pengembangan sayuran organik terintegrasi dengan
Meat Business Center - LIPI di Banyumulek NTB. Kegiatan ini diharapkan dapat mendukung
program Eko-edu-wisata yang dicanangkan oleh Pemda NTB. Pengembangan pertanian
organik sangat potensial untuk dikembangkan di NTB mengingat potensi sumberdaya alam
(tanah, iklim) dan hasil samping berupa pupuk kandang yang melimpah dari pengembangan
peternakan. Bentuk kegiatan merupakan pengembangan model dari hulu, tengah hingga ke
hilir yang meliputi aspek budidaya, sosial dan ekonomi khususnya pemasaran produk, dan
kelembagaan. Metode kegiatan merupakan implementasi teknologi yang didasari oleh hasilhasil riset dasar di laboratorium dan di lapangan, untuk mendapatkan konsepsi dan saran
kebijakan yang akan disampaikan kepada pemerintah. Untuk kegiatan diseminasi kepada

Bidang P-ITSTP

546

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
masyarakat, akan digunakan sistem inti dan plasma; yakni model sayuran organik di
Banyumulek sebagai inti dan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok tani
sebagai plasmanya. Pada model pengembangan di Banyumulek akan digelar berbagai teknik
budidaya pertanian organik, mulai dari hulu hingga ke hilir yang mudah diadopsi dan
diaplikasikan oleh masyarakat.

Masyarakat umum, para siswa Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah hingga ke Perguruan Tinggi diharapkan berwisata sambil belajar di demplotdemplot yang disediakan. Oleh karena dari hasil kegiatan diharapkan dapat diperoleh manfaat
dan dampak sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, maka seluruh pemangku kepentingan,
yaitu Pemda, Mitra Bisnis, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, Tokoh Masyarakat,
Kelompok-Kelompok Tani diharapkan berperan serta dalam program ini.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih, disampaikan Kepada Yang Terhormat: 1. Dr. Rony Ridwan,
Koordinator Program Techno Park Meat Business Center - LIPI di Banyumulek; 2. Kapuslit
Bioteknologi-LIPI; 3. Kapuslit Biologi-LIPI; 4. Deputi IPH-LIPI; 5. Kepala LIPI. Ucapan
terima kasih, disampaikan pula kepada: 1. Kadinas Peternakan Provinsi NTB, yang telah
mmemberikan ijin dan kemudahan untuk melaksanakan kegiatan di Banyumulek NTB; 2.
Pemda Prov NTB dan Pemda Kab Lombok Barat. Ucapan terima kasih, disampaikan pula
kepada Teman-teman yang mendukung kegiatan di lapangan, yaitu Bpk-Bpk: Nasrudin,
Ardin. Bpk-Bpk anggota Kelompok Tani Binaan di Banyumulek yaitu Bpk-Bpk: Hamdi,
Solikin, Ihsan dan Hasbullah.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes & M. Smith. 1990. FAO Irrigation and Drainage Paper, No. 56.
Crop Evapotranspiration (guidline for computing crop water requiremens). FAO, Rome.
300p.
Hartati, A. 2007. Pertanian Organik sebagai Solusi alternatif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.
Prosiding seminar inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan agribisnis industrial
pedesaan di wilayah marjinal. Penyunting: Muryanto [et al.]. - - Ungaran: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Tengah, 2007, 723 hlm; ills.; 20 cm: 433-442. (Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman)
Nurhidayati, Istirochah Pujiwati, Anis Solichah, Djuhari dan Abd. Basit. 2008. E-Book Pertanian
Organik, Suatu Kajian Sistem Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan (Program Studi
Agroteknologi Jurusan Budidaya Oertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang).

Bidang P-ITSTP

547

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Peraturan Menteri Pertanian No. 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Sistem Pertanian Organik.
Rejekiningrum, P., B. Kartiwa, dan N. Pujilestari. 2012. Optimalisasi penggunaan air melalui
otomatisasi irigasi untuk pengembangan pakan ternak di lahan kering. Pros. Sem. Nas.
Teknologi Peternakan Mataram, 11 Desember 2012. Pulit Bioteknologi LIPI dan
Kementerian Ristek. Editors: Retno Sumekar dkk: 291-300.
Suwantoro, A.A. 2008. Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Magelang (Studi
Kasus di Kecamatan Sawangan). TESIS. Program Studi Ilmu Lingkungan. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Qassim, A. & B.A. Tatura. 2006. Estimating vegetable crop water use with moisture-accounting
method. Agriculture Notes. State of Victoria, Department ofPrimary Industries. 4p.
Willer, H. and J. Lernoud. 2013. Organic Agriculture Worldwide: Key results from the FiBL-IFOAM
survey on organic agriculture worldwide 2013 Part 2: Crop data. Research Institute of
Organic Agriculture (FIBL), Frick, Switzerland Revision: 4.4. 2013.
Widiarta, A., S. Adiwibowo dan Widodo. 2011. Analisis Keberlanjutan Praktek Pertanian Organik di
Kalangan Petani. Analysis of Sustainability Organic Farming Practise on Farmer.
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
IPB, *) Email : aerowinata@gmail.com. Diterima 16 Maret 2011 / Disetujui 30 Maret 2011.
ISSN : 1978-4333, Vol. 05, No. 01. Download, 5 Feb 2015.

Bidang P-ITSTP

548

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

P-ITSTP 04

PEMETAAN POTENSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


PADA INDUSTRI KECIL
DI WILAYAH KOTA BATU-MALANG
Maftuchah, Sofyan Arief, M. Isrok, Aris Winaya
Sentra Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Muhammadiyah Malang (SENTRA HKI-UMM)
maftuchah_umm@yahoo.com

ABSTRAK
Sentra Hak Kekayaan Intelektual (Sentra HKI) merupakan salah satu pusat yang
diharapkan dapat melakukan fungsi pembinaan pada berbagai persoalan berkaitan dengan
HKI. Sentra HKI memiliki fungsi sebagai technology lisensing organization bagi inventor
dengan investor, maupun masyarakat secara luas, sehingga produk-produk hasil penelitian
dan pengembangan dapat di daftarkan HKI-nya. Kota Batu merupakan salah satu kota yang
berkembang cukup pesat, termasuk di bidang industrinya. Namun, hingga saat ini jumlah
aplikasi HKI relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah industri kecil yang
ada. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi HKI pada industri kecil di
wilayah Kota Batu. Dalam jangka panjang, diharapkan dapat mendorong program penelitian
dan pengembangan berorientasi HKI pada industri kecil dan dapat memberikan layanan pada
industri kecil dalam upaya memperoleh perlindungan HKI. Kegiatan dilakukan bulan Januari
s/d Juni 2014. Pengambilan data dilakukan pada 30 Industri kecil yang ada di wilayah Kota
Batu, berupa data primer dan sekunder. Data diperoleh menggunakan metode observasi
lapang dengan pengamatan terlibat (participant observation); wawancara mendalam (indepth interview), metode dokumenter (documentary studyi) dan teknik purposive sampling
(sampling bertujuan) terhadap wilayah per kecamatan. Hasil kegiatan menunjukkan,
mayoritas industri kecil di Kota Batu adalah berupa Industri Makanan Olahan (60,00 %),
dengan wilayah pemasaran 43,33 % pada skala pasar nasional dan 26,67 % pasar regional
Jawa Timur. Sejumlah 70,00 % industri kecil-menengah belum pernah mengalami
permasalahan HKI, namun 30,00 % sudah pernah mengalami permasalahan HKI khususnya
di bidang permasalahan Merek Dagang. Dalam kegiatan ini diperoleh data 30% potensi hak
cipta, 6,67 % patent dan 3,33 % desain industri dan sejumlah 90,00 % industri kecil
menengah di kota Batu membutuhkan pembinaan HKI.
Kata Kunci: Hak Kekayaan Intelektual, Industri Kecil, Kota Batu-Malang

Bidang P-ITSTP

549

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada intinya merujuk kepada usaha
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan dan / atau badan usaha
perorangan atau badan usaha dengan kriteria masing-masing. Menurut undang-undang nomor
20 tahun 2008, perbedaan kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah adalah
didasarkan pada nilai kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. UMKM telah mengambil
peranan aktif dalam perekonomian Indonesia. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia
sekitar tahun 1997, UMKM tetap bertahan bahkan peranannya semakin meningkat dan
terlihat sangat jelas dalam mendukung perekonomian Indonesia. Pada saat itu bentuk usaha
inilah yang paling cepat pulih dari krisis ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha skala
besar yang banyak terpuruk pada saat itu.
Dari berbagai data menunjukan bahwa sektor UMKM memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam perekonomian dan dalam mengatasi masalah pengangguran dan tenaga
kerja di Indonesia. Selain itu, UMKM juga memberikan kontribusi yang besar pada Produk
Domestik Bruto (PDB), dimana lebih dari separuh ekonomi kita didukung oleh produksi dari
UMKM (Utami, 2010). Kegiatan ini dibatasi pada kajian potensi hak kekayaan intelektual
pada industry kecil di kota Batu-Malang. Kriteria industry kecil menurut UU No. 20 tahun
2008 adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah
sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha (UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Tidak
dapat dipungkiri bahwa potensi UMKM sangat besar dalam menggerakkan kegiatan
perekonomi masyarakat, sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar
masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Eksistensi dan peran UMKM tampak
sangat nyata, pada tahun 2008, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 51,36 juta unit usaha.
Hal ini berarti, 99,99 persen dari pelaku usaha nasional (Biro Perencanaan Kementerian
UMKM, 2008).

Demikian pula bila kita melihat kontribusi UMKM dalam penyerapan

tenaga kerja, pembentukan produk domestic bruto (PDB) nasional, devisa nasional dan
investasi nasional (Utami, 2010).
Keberadaan UMKM tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Hak Kekayaan
Intelektual. Mulai dari produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha UMKM, teknologi yang
digunakan, desain dari setiap produk yang dihasilkan, maupun penggunaan merek dagang

Bidang P-ITSTP

550

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ataupun merek jasa untuk kepentingan pemasaran produk tersebut. Pemerintah telah mencoba
meningkatkan kesadaran UMKM terhadap pentingnya masalah hak kekayaan intelektual,
apalagi, UMKM yang bergerak dalam industri kreatif. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi
UMKM sehingga bisa berkembang pesat. Sangat penting bagi UMKM maupun perusahaan
lain untuk memanfaatkan berbagai rezim HKI dalam pengembangan usahanya. Pada saat ini
lebih dari 60 juta teknologi bisa diakses secara bebas, sehingga UMKM dapat mempelajari,
memanfaatkan, mengembangkan, kemudian jika diperlukan mendaftarkan paten nya.
Untuk mengetahui apakah diperlukannya perlindungan HKI terhadap UKM yang ada,
maka kita perlu terlebih dahulu memahami apa saja potensi yang ada dalam suatu kegiatan
usaha UKM. Secara global, potensi HKI yang ada dalam kegiatan usaha UKM diantaranya
Hak Cipta, Merek Dagang/Jasa, Desain Industri bahkan paten ataupun paten sederhana..
Tentunya perlindungan HKI yang diperlukan tidak selalu sama untuk setiap kegiatan usaha
UMKM. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi HKI pada industri
kecil di wilayah Kota Batu. Dalam jangka panjang, diharapkan dapat mendorong program
penelitian dan pengembangan berorientasi HKI pada industri kecil dan dapat memberikan
layanan pada industri kecil dalam upaya memperoleh perlindungan HKI.

METODOLOGI
Kegiatan dilakukan di Kota Batu Malang yang merupakan salah satu kota di
Propinsi Jawa Timur yang berkembang cukup pesat, pada bulan Januari sampai dengan Juni
2014. Di kota ini jumlah penduduk yang cukup padat, dan berkembang banyak industri kecil
(milik mayarakat dan pengusaha dengan jenis industry yang beragam).
Data yang dipergunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berupa informasi mengenai pelaku (informant), tempat dan peristiwa (melalui
site inspection). Informant terdiri dari masyarakat selaku pelaksana industri kecil di Kota
Batu-Malang, Selain itu juga akan dilakukan wawancara kepada Dinas Perindustrian dan
Bappeda kota Batu selaku pelaksana tangung jawab dan Perancang Peraturan Daerah dalam
pengembangan industri. Data sekunder berupa berbagai dokumen yang relevan dari institusi
yang berkaitan dengan aktifitas Perindustrian. Data dikumpulkan dengan menggunakan
berbagai metode, yakni: Observasi lapang dengan pengamatan terlibat (participant
observation), wawancara mendalam (in-depth interview), metode dokumenter (documentary

Bidang P-ITSTP

551

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
study) dan teknik sampling (purposive sampling /sampling bertujuan) terhadap industry per
wilayah kecamatan (dengan data awal yang diperoleh dari Dinas Perindustrian).
Kegiatan ini dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain : 1) Diskusi tim untuk
pemetaan data yang diperlukan, 2) Desain kuesioner survey, 3) Perbanyakan kuesioner, 4)
Persiapan administrasi (surat-menyurat untuk institusi dan industri, surat tugas bagi pelaksana
survey, perbanyakan sertifikat untuk industry, dan peralatan survey lainnya), 5) Pelatihan
petugas survey, 6) Pengambilan data ke instansi terkait (Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Batu,

Dinas Koperasi dan Industri Kecil Kota Batu-Malang) serta dari Searching

internet, 7) Survei lapang ke 30 industri kecil, 8) Analisis dan Interpretasi Data, 9) Diskusi
dan 10) Penulisan Laporan Kegiatan. Kegiatan survey telah dilakukan ke 30 industry kecil
yang tersebar di wilayah Kota Batu-Malang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Indonesia telah menandatangani perjanjian AFTA (Asean Free Trade Area), yang
artinya Indonesia dan berbagai negara telah bersepakat untuk menghapuskan semua bea
masuk impor barang. AFTA adalah peluang dan sekaligus tantangan. Untuk menjadikan
AFTA sebagai peluang, maka sangat penting bagi pemerintah untuk melindungi, memberikan
pendidikan serta memberikan fasilitas pada masyarakat dalam rangka kesiapan menghadapi
AFTA yang salah sat nya adalah dengan melakukan perlindungan pada Hak Kekayaan
Intelektual yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya pada UMKM. Sementara itu, ada
kebutuhan yang mendesak bagi perlindungan HKI masyarakat, dalam rangka merubah
tantangan menjadi suatu peluang dan sebagai suatu bentuk kepedulian Perguruan Tinggi
pada Masyarakat khususnya UMKM maka perlu dilakukan pendataan potensi HKI yang ada
dalam masyarakat/UMKM tersebut.
Tabel 1 menunjukkan data jenis industry kecil yang ada di wilayah kota Batu-Malang.
Data yang diperoleh dari beberapa industry kecil di Kota Batu menunjukkan bahwa dari 30
industri kecil yang di survay terdiri atas 18 industri (60,00 %) bergerak di bidang makanan
olahan (keripik buah, keripik tempe, cuka apel, sari buah, sari alang-alang, produksi tahu,
rumah jus, herbal pokak, dan permen susu), 5 industri

(16,67 %) bergerak di bidang

kerajinan, 3 industri (16,67 %) dibidang pertanian (budidaya tanaman hias, tanaman pangan,
tanaman obat-obatan / herbal) dan 2 industri kecil (6,67 %) yang memproduksi kaos.

Bidang P-ITSTP

552

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1. Data Jenis Industri Kecil di Wilayah Kota Batu - Malang.


Jenis Perusahaan
Makanan Olahan
Kerajinan (kayu, gips)
Pertanian (Budidaya Tanaman)
Kaos

Jumlah (Persentase)
18 (60,00 %)
5 (16,67 %)
5 (16,67 %)
2 (6,67 %)

Gambar 1 menunjukkan Dokumentasi kegiatan survey potensi hak kekayaan


intelektual pada indudtri kecil makanan olahan kota Batu-Malang. Sedangkan Gambar 2
menunjukkan Dokumentasi kegiatan survey potensi hak kekayaan intelektual pada indudtri
kecil kerajinan. Industri kecil di bidang makanann olahan yang ditunjukkan dari data dalam
kegiatan ini adalah keripik buah, keripik tempe, cuka apel, sari buah, sari alang-alang,
produksi tahu, rumah jus, herbal pokak, dan permen susu. Hal tersebut menunjukkan bahwa
industri di bidang makanan olahan sangat dominan di Kota Batu. Sedangkan industry kecil
di bidang kerajinan, hasil survei menunjukkan adanya kerajinan kayu dan kerajinan gips.
Untuk bidang pertanian, didominasi oleh pertanian tanaman hias-hortikultura.

Bidang P-ITSTP

553

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Dokumentasi kegiatan survey potensi HKI


di indudtri kecil makanan olahan kota Batu-Malang.

Dari data Tabel 2 menunjukkan bahwa pemasaran produk industry kecil kota Batu
menunjukkan bahwa 9 industri kecil (30 %) wilayah pemasarannya masih berada di kota
Batu dan Malang Raya, sebanyak 8 industri (26,67 %) wilayah pemasarannya di tingkat
regional (seputar Jawa Timur), 13 industri (43,33 %) memasarkan produksinya di seluruh
wilayah Indonesia, dan belum ada yang memasarkan secara international.

Bidang P-ITSTP

554

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 2. Dokumentasi kegiatan survey potensi HKI


di indudtri kecil kerajinan di kota Batu-Malang.
Table 2. Wilayah Pemasaran Produk Industri Kecil
di wilayah Batu-Malang
Wilayah Pemasaran
Jumlah (Persentase)
Kota Batu-Malang Raya
Regional (Jawa Timur)
Nasional (Indonesia)
Internasional

9 (30 %)
8 (26,67 %)
13 (43,33 %)
0

Dari jangkauan wilayah pemasaran produk (Tabel 2) diatas, telah menunjukkan


bahwa

wilayah pemasaran produk industry kecil kota Batu sebenarnya sudah sangat

beragam. Oleh karena itu, maka perlunya perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi
semakin tinggi, sebab bila barang yang dijual tanpa dilindungi HKI nya maka akan berpotensi
besar untuk diakui sebagai produk dari orang /industry lain.
Data Tabel 3 menunjukkan potensi hak kekayaan intelektual pada Industri kecil di
wilayah Batu. Potensi HKI berupa Merek Dagang sangat mendominasi. Dari 30 industri kecil
yang di survey, menunjukkan bahwa 23 industri ( 76,67 %) memiliki potensi untuk
pendaftaran Merek. Disamping itu, ada 9 industri (30,00 %) yang bemiliki potensi hak cipta,
dua industri (6,67 %) memiliki potensi patent dan 1 indusy (3,33 %) yang memiliki potensi
desain industry.

Bidang P-ITSTP

555

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Table 3. Data Potensi HKI pada Industri Kecil di Wilayah
kota Batu-Malang.
Potensi HKI
Potensi
Sudah
Belum
Terdaftar
terdaftar
Merek
23 (76,67 %)
7 (30,43 %)
16 (59,25 %)
Patent
2 (6,67 %)
2 (6,67 %)
Desain Industri
1 (3,33 %)
1 (3,33 %)
Hak Cipta
9 (30,00 %)
9 (30 %)

Tabel 3 menunjukkan bahwasannya hampir seluruh responden (76,67 %) mempunyai


potensi merek, akan tetapi hanya 30,43 % merek yang telah didaftrakan dan 59,25 % belum
terdaftar. Hal ini terutama disebabkan industry kecil tidak memahami arti penting merek
dalam dunia usaha. Merek merupakan tanda pembeda suatu produk terhadap produk lain,
sehingga hal ini sangat penting khususnya dalam hal menjaga kualitas barang produksi dan
membentuk kepercayaan masyarakat / konsumen terhadap suatu produk tertentu. Ada
beberapa hal yang menjadikan Merek sangat

penting antara lain adalah sebagai dasar

timbulnya hak, sebagai bukti bagi pemilik merek tersebut sebagai dasar untuk melakukan
penolakan terhadap pemalsuan atau kesamaan merek oleh produsen lain. Oleh karena itu,
maka penting bagi pengusaha untuk mendaftarakan mereknya. Merek yang kuat ditandai
dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu
produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek tersebut. Dengan
adanya merk, dapatlah membuat produk yang satu berbeda dengan yang lain sehingga
diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan
dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap
suatu merek (brand loyalty). Hasilsurvei menunjukkan bahwa dari 30 industri kecil yang di
survey, menunjukkan bahwa 23 industri (76,67 %) memiliki potensi untuk pendaftaran
Merek, namun baru 30,43 % yang mereknya telah terdaftar.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu

melaksanakan sendiri invensinya

tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dari
hasil survey diperolah bahwasannya terdapat 2 potensi paten (6,67 %).

Pada patent

sederhana, perlindungan diberikan adalah dalam jangka waktu 10 tahun sedangkan pada
paten biasa jangka waktu perlindungannya adalah 20 tahun. Dalam kenyataannya, secara
umum industry kecil belum memahami invensi yang dapat di daftarkan paten sehingga
invensi yang dilakukan dianggap sebagai hal yang biasa. Ivensi yang merupakan pemecahan

Bidang P-ITSTP

556

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
masalah

yang spesifik

dibidang

teknologi

dapat berupa produk atau proses, atau

penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses yang memiliki kebaruan dan langkah
inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa,
budaya dan agama serta kekayaan yang melimpah di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra berikut pengembangan-pengembangannya. Sebagai potensi nasional, semua itu
memerlukan adanya perlindungan yang memadai terhadap kekayaan intelektual khususnya
Ciptaan yang lahir dari keanekaragaman dan kekayaan tersebut. Perlindungan hukum Hak
Cipta, tentu akan sangat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek
perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional. Kondisi ini diharapkan dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas, terutama bagi mereka
yang bergerak di sektor industri kreatif, seperti: industri musik, film, media massa,
perbukuan, arsitektur, dan piranti lunak. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan terhadap ide
atau gagasan karena Ciptaan harus telah diekspresikan dalam bentuk nyata di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra.

Perlindungan Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi dan hak

moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan dan
produk Hak Terkait. Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku
Pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan, dirusak, atau dihapus tanpa alasan apa pun,
walaupun hak ekonomi atas Ciptaan dan produk Hak Terkait tersebut telah dialihkan. Hasil
kegiatan ini menunjukkan potensi hak cipta yang dapat ditemukan antara lain pada industry
kecil kerajinan kayu, kerajinan gips, desain gambar kaos, dll.
Tabel 4. Kejadian Permasalahan HKI pada Industri Kecil
di Kota Batu-Malang.
Sudah pernah terjadi
permasalahan HKI
9 (30,00 %)

Belum pernah terjadi


permasalahan HKI
21 (70,00 %)

Tabel 4 menunjukkan bahwa 9 industri kecil (30 %) pernah mengalami kejadian


permasalahan HKI. Permasalahan tersebut, terutama adalah di bidang merek dagang (77,78
%) dan 11,11 . % di bidang desain industry, 11,11 % dalam hal hak cipta (Tabel 5). Sebanyak
90,00 % industri kecil di kota Batu menyatakan bahwa memerlukan pembinaan HKI, dan

Bidang P-ITSTP

557

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
hanya 10,00 % yang menyatakan bahwa pembinaan HKI tidak diperlukan mereka pada saat
ini (Tabel 6).

Table 5. Jenis Permasalahan HKI yang Pernah Terjadi


pada Industri Keci di Kota Batu-Malang.
Terjadi permasalahan HKI
Di bidang
Merek
Patent
Desain Industri
Hak Cipta

Jumlah (persentase)
7 (77,78 %)
1 (11,11 %)
1 (11,11 %)

Table 6. Perlu / Tidaknya Pembinaan HKI pada Industr Kecil


di Kota Batu- Malang.

Memerlukan pembinaan HKI

Tidak Memerlukan
Pembinaan HKI

27 (90,00 %)

3 (10,00 %)

Secara umum hasil kegiatan ini melum menunjukkan bahwa potensi HKI pada
industry kecil cukup tinggi, namun industry kecil belum memahami arti pentingnya
pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual bagi perkembangan dan keberlanjutan usaha mereka.
Disamping pemahaman yang rendah,

aspek kemanfaatan belum dapat di rasakan oleh

masyarakat industry kecil, sehingga minat untuk mendaftarkan hak kekayaan industrialnya
masih sangat rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian diatas disimpulkan potensi hak kekayaan intelektual bagi
industry kecil di kota Batu-Malang cukup besar, baik berupa merek, patent, desain industry,
maupun hak cipta. Hasil kegiatan menunjukkan, mayoritas industri kecil di Kota Batu adalah
berupa Industri Makanan Olahan (60,00 %), dengan wilayah pemasaran 43,33 % pada skala
pasar nasional dan 26,67 % pasar regional Jawa Timur. Sejumlah 30,00 % industry kecil
sudah pernah mengalami permasalahan HKI khususnya di bidang permasalahan Merek
Dagang. Dalam kegiatan ini diperoleh data 30% potensi hak cipta, 6,67 % patent dan 3,33 %

Bidang P-ITSTP

558

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
desain industri dan sejumlah 90,00 % industri kecil di kota Batu membutuhkan pembinaan
HKI.
Rekomendasi dari hasil kegiatan ini adalah perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah
untuk memberikan bantuan pendaftaran hak kekayaan intelektual pada industry kecil, perlu
adanya penyuluhan pada pelaku usaha untuk memberikan pemahaman akan arti pentingnya
perlindungan HKI, dan perlunya perlindungan HKI pada industry kecil.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Pimpinan Universitas Muhammadiyah Malang
yang telah memberikan kegiatan ini melalui dana Penelitian Unggulan Pusat Studi, Kantor
Disperindag Kota Batu atas fasilitas data dan seluruh industry kecil yang telah membantu
memberikan data untuk pelaksanaan kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Biro Perencanaan Kementerian Usaaha Kecil dan Menengah. 2008. Statistik Usaha Kecil dan
Menengah Thun 2007-2008. www.depkop.go.id.
Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual bagi Usaha Mikro Kecil Menengah. 2013. Dinas Koperasi dan
UMKM Propinsi Riau. riau.go.id.
Setyowati, K. et.al. 2005. Hak Kekayaan Intelektual, dan Tantangan Implementasinya di Perguuruan
Tinggi. Institute Pertanian Bogor.
Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. 2012.
Kementerian Hukum dan HAM RI.
Undang-undang No.20 tahun 2008. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Departemen Koperasi RI.
Utami MWB. 2010. Pemanfaatan Desain Industri bagi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah : Antara Kenyataan dan Harapan. Media HKI, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM- RI, VII/01 : 13-15. www.dgip.go.id

Bidang P-ITSTP

559

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P-ITSTP 05

ANALISIS POTENSI BANYUWANGI SEBAGAI KAWASAN


MARINE TECHNOPARK MELALUI PENDEKATAN
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (PEL)
Anang Hidayat1, Tommy Hendrix2
1

Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


2
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
anang.hidayat@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Banyuwangi banyak mengembangkan kegiatan usaha perikanan tangkap
dan unit-unit kegiatan pendukungnya. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang
mengandalkan potensi selat Bali tersebut telah melampaui kuota kelestarian lingkungan yang
ditetapkan melalui SKB Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Nomor 238 Tahun 1992//674
Tahun 1992, sehingga cenderung mengancam kelestarian sumber daya perikanan dan
lingkungan perairannya. Sementara itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam
upaya mendorong ekonomi daerah khususnya dikawasan pesisir secara bertahap akan
membangun 24 taman teknologi (techno park) kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk
mendorong pengembangan inovasi dan bisnis kelautan maupun perikanan guna penumbuhan
dan pembinaan wirausaha baru. Banyuwangi sebagai pusat pendidikan maritim nasional
ditetapkan sebagai salah satu dari empat Marine Technopark (MTP) yang akan dibangun
pada tahun 2015 yang sekitar 80% aktivitas ekonomi masyarakat di kawasan tersebut
bergantung pada perikanan tangkap.
Kajian ini bertujuan untuk menyusun arah pengembangan MTP di Banyuwangi
melalui pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) dengan mempertimbangan lima
program kegiatan MTP Banyuwangi. Metode analisis bersifat deskriptif kualitatif. Analisis
pertama adalah mengidentifikasi karakteristik kegiatan industri perikanan dengan
menggunakan pendekatan delphi, selanjutnya menganalisis faktor penentu pengembangan
kawasan industri perikanan dengan pendekatan analisis faktor, dan yang terakhir
merumuskan model pengembangan MTP untuk mendukung industri perikanan di
Banyuwangi dengan pendekatan input-output.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan MTP semestinya memperhatikan
tiga faktor yang merupakan penentu PEL, yaitu bahan baku, infrastruktur dan pemasaran.
Kemudian peningkatan usaha melalui pengembangan produk olahan hasil perikanan,
khususnya usaha pengasinan. Selanjutnya peningkatan wawasan pemasaran bagi pelaku
usaha dengan membangun branding produk, pengemasan dan outlet pemasaran secara online
maupun offline.
Kata Kunci: Marine Technopark, pengembangan ekonomi lokal, kawasan industri
perikanan

Bidang P-ITSTP

560

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Menurut Mudrajat (2004), bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya secara bersama mengelola sumber daya yang
ada dengan membentuk suatu pola kemitraan. Tentu saja pola kemitraan tersebut harus
didukung oleh pihak swasta dalam upaya penciptaan lapangan kerja baru serta mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan jumlah, jenis dan peluang kesempatan kerja bagi
masyarakat daerah. Pembangunan ekonomi daerah secara umum dimulai pada kawasan
pedesaan, dan sektor yang menjadi prioritasnya adalah pertanian dan perindustrian, karena
kedua sektor tersebut tidak bersifat pasif dan bukan sebagai sektor penunjang dalam proses
pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Untuk itu dalam meningkatkan pembangunan
daerah terutama pada kawasan pedesaan yang sebagian besar merupakan daerah pertanian
dan kawasan pantai (kawasan pedesaan nelayan), maka pemerintah daerah harus berupaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menggali dan mengembangkan potensipotensi yang ada di kawasan tersebut melalui pengembangan ekonomi lokal. Pengembangan
ekonomi lokal sendiri menurut Blakely dan Bradshaw (1994) adalah merupakan proses
dimana pemerintah lokal dan organisasi masyarakat terlibat dalam mendorong, merangsang,
memelihara adanya aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakatnya.
Banyuwangi merupakan kabupaten paling ujung timur Propinsi Jawa Timur yang
memiliki luas wilayah 5.782,50 km2 dengan panjang garis pantai 291,5 Km yang menyimpan
potensi sumber daya pesisir cukup yang sangat besar dan beragam, khususnya potensi
perikanan laut. Sementara itu, pantai timur Banyuwangi yaitu selat Bali merupakan salah satu
penghasil komoditi perikanan terbesar di Provinsi Jawa Timur. Adapun kawasan perikanan di
Banyuwangi sendiri terpusat di Kecamatan Muncar. Fungsi pengembangan kawasan
perikanan Muncar adalah kawasan pengembangan perikanan rakyat dan industri perikanan
terpadu (Banyuwangi dalam Angka, 2013).
Merujuk pada RPJMD11 Banyuwangi tahun 2010-2015 menunjukkan bahwa
pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan belum seperti yang diharapkan. Hal ini
11

RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah adalah merupakan dokumen strategis yang
merupkan penjabaran dari visi misi daerah dalam bentuk Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renstra SKPD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Prioritas PRJMD Kabupaten Banyuwangi

Bidang P-ITSTP

561

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
dapat dilihat dari kontribusi sub sektor perikanan dan kelautan tersebut masih relatif rendah,
dimana kontribusi sub sektor perikanan hanya sebesar 6,07% dari total 49,0% kontribusi
sektor pertanian pada PDRB Banyuwangi. Hal ini menunjukkan bahwa sub sektor perikanan
dan kelautan di kawasan Banyuwangi ini adalah peluang yang cukup besar untuk
dikembangkan lebih jauh sehingga mampu berkontribusi pada PDRB Banyuwangi lebih
besar, mengingat garis pantai yang cukup panjang dan potensi perikanannya yang sangat
besar pula.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Banyuwangi (2013), potensi perikanan laut
Banyuwangi adalah terkonsentrasi di Kecamatan Muncar. Kawasan ini sendiri merupakan
wilayah pesisir dan pelabuhan perikanan yang menjadi sentra industri perikanan Provinsi
Jawa Timur. Kecamatan Muncar sangat diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, mengingat potensi perikanan di
Muncar sangatlah tinggi. Muncar sendiri adalah kawasan yang menjadi sentra industri
pengolahan hasil laut, seperti misalnya industri minyak ikan, industri pengalengan ikan,
industri pemindangan ikan, industri tepung ikan dan industri pengolahan hasil laut lainnya.
Jumlah usaha perikanan laut Banyuwangi tahun 2012 terdapat 2.124 RTP12 perikanan laut
yang sebagian besar terkonsentrasi di kawasan Muncar, dan belum termasuk 510 RTP usaha
pengolahan rumput laut serta 39 pabrikan besar (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka,
2013).
Tingginya potensi perikanan di Banyuwangi juga menarik Kementerian Kelautan dan
Perikanan membuat kawasan ekonomi terpadu. Sejak tahun 2010, kementerian ini sudah
menyiapkan Muncar bersama 15 daerah lain di Indonesia sebagai kawasan minapolitan.
Yakni sebuah kawasan pembangunan ekonomi terpadu berbasis kelautan dan perikanan.
Penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa kegiatan produksi dan
perdagangan perikanan tangkap, perikanan budidaya serta usaha pengolahan ikan.
adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang ditunjukkan dari membaiknya indikator pembangunan sumber
daya manusia, antara lain; meningkatnya pendapatan perkapita; menurunnya angka kemiskinan dan tingkat
pengangguran sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas disertai dengan berkembangnya lembaga
jaminan sosial; meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan sistem
pendidikan nasional yang mantap; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya
kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, dan perlindungan anak; menurunnya kesenjangan
kesejahteraan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar kelompok masyarakat.
12

RTP: Rumah Tangga Perikanan; adalah bentuk kegiatan usaha Pembudidaya atau penangkap/nelayan yang
lebih ditekankan pada kegiatan usaha berbasis kegiatan ekonomi, dimana kegiatan yang dilakukan hasilnya
tidak sepenuhnya hanya untuk dikonsumsi keluarga saja, melainkan sebahagian besar untuk usaha.

Bidang P-ITSTP

562

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Sekitar 15% dari jumlah penduduk Banyuwangi (+23.000 jiwa) menggantungkan
hidup pada sektor kelautan yang terkonsentrasi di kawasan Muncar. Mayoritas mereka
(+90%) adalah bekerja sebagai buruh usaha perikanan dan kelautan, dan sisanya adalah
juragan atau pemilik kapal, pedagang/pengepul mapun usaha olahan hasil laut dalam skala
mikro, kecil dan menengah. Hal ini menggambarkan bahwa angka kemiskinan di kawasan ini
masih tergolong tinggi meskipun memiliki potensi yang sangat cukup besar dalam
mensejahterakan masyarakatnya. Namun demikian sekitar 50 industri pengolahan ikan di
Banyuwangi secara bertahap telah gulung tikar semenjak awal tahun 2008. Kondisi ini
diperkuat dengan jumlah industri perikanan yang gulung tikar pada tahun 2010 telah
mencapai 142 perusahaan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2013).
Jika demikan dapat diasumsikan bahwa dalam 4 tahun saja sudah terdapat 50 industri
perikanan yang berhenti operasi. Banyaknya industri yang berhenti beroperasi ini secara
nyata diikuti dengan maraknya pemutusan hubungan kerja dari industri tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam yang masih melimpah di kawasan ini tidak
diimbangi dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai dalam pemanfaatannya, dan
bahkan cenderung mengalami penurunan kinerja kawasan tersebut. Permasalahan lainnya di
kawasan industri perikanan Banyuwangi adalah tidak mampu bersaing dalam pasar yang
disebabkan kurangnya inovasi dalam mengelola hasil laut yang sesuai dengan permintaan
pasar, disamping rendahnya kualitas lingkungan di Kecamatan Muncar yang disebabkan
tidak adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 13 di kawasan industri perikanan
tersebut (Widiratyasa, 2008).
Sementara itu sebagai kawasan minapolitan, pembangunan Banyuwangi khususnya di
Kecamatan Muncar sudah dimulai pada tahun 2010, diantaranya adalah pembangunan
pemecah ombak dan pasar ikan. Namun demikian pembangunan minapolitan tersebut masih
berkisar pada pembangunan yang bersifat fisik (Kompas, 24/02/2011). Untuk mendukung
Banyuwangi khususnya di kawasan Muncar sebagai kawasan minapolitan, berbagai rencana
strategis oleh Pemerintah Daerah dikakukan dalam pengembangan ekonomi lokal, khususnya

13

Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) (wastewater treatment plant, WWTP), adalah sebuah sistem dan
struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air
tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain. Fungsi dari IPAL mencakup; (a) Pengolahan air limbah dari
usaha pertanian atau perikanan dengan membuang kotoran hewan, residu-residu (toksin) dan sebagainya dari
lingkungan; (b) Pengolahan air limbah pemukiman, untuk membuang limbah manusia dan limbah rumah tangga
lainnya; (c) Pengolahan air limbah industri, untuk mengolah limbah cair dari aktivitas manufaktur sebuah
industri dan komersial.

Bidang P-ITSTP

563

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
sebagai kawasan industri perikanan dengan memanfaatkan potensi lokal. Harapannya adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.
Terkait dengan Banyuwangi khususnya Muncar sebagai kawasan minapolitan, maka
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Badan Pengembangan SDM Kelautan
dan Perikanan (BPSDM KP), pada tahun 2015 akan membangun taman teknologi
(technopark) kelautan dan perikanan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP)
Banyuwangi. Pembangunan technopark di Banyuwangi lebih difokuskan pada sertifikasi
kompetensi, budidaya ikan sidat, produksi garam, budidaya udang, dan pengolahan produk.
Sasaran program kegiatan technopark adalah adalah perikanan tangkap, perikanan budidaya,
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan konservasi perairan. Secara bertahap KKP
akan membangun 24 technopark kelautan dan perikanan pada 2015-2019. Pembangunan
taman teknologi tersebut menjadi salah satu upaya strategis KKP dalam mendorong
ekonomis daerah berbasis SDM. Selain di Banyuwangi tahun 2015 tiga technopark lainnya
juga dibangun yakni di BPPP Tegal, Aertembaga, dan Ambon. Sedangkan 20 lokasi lainnya
tersebar di kabupaten/kota, dengan mempertimbangkan aspek kewilayahan, kedekatan lokasi
dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan dan potensi
daerah.
Peluncuran technopark merupakan tindak lanjut pencanangan Program Nasional
Pengembangan 100 Taman Sains dan Teknologi Nasional (Science and Techno Park/STP)
sebagai salah satu quick win oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan
Kebudayaan dan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kegiatan di technopark
tersebut terdiri dari pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan tenaga kompeten; adaptasi
dan alih teknologi untuk menghasilkan produk inovatif; serta inkubator bisnis guna
menghasilkan usaha baru. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat
tersebut tanpa dipungut biaya. Sementara inkubator bisnisnya meliputi jejaring kerja sama
dengan dunia usaha, dunia industri, dan stake holders; pendampingan oleh penyuluh dan
Pusat Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP), peningkatan teknologi tepat guna,
konsultasi, serta inovasi teknologi dengan pendidikan, penelitian, dan pengembangan.
Pada dasarnya keberadaan technopark diharapkan dapat mendorong kesiapan
masyarakat kelautan dan perikanan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015 dengan penerapan prinsip inovasi, kreativitas, penumbuhan bisnis ekonomi baru,

Bidang P-ITSTP

564

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

565

Pusat Inovasi - LIPI


kemandirian dan daya saing lokal. Kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan akan
menjadi sarana utama mendukung pengelolaan technopark untuk meningkatkan kompetensi,
inovasi, inkubator bisnis kelautan dan perikanan serta mengembangkan fungsi teknopark
kedepan. Technopark juga akan menjadi sebuah kawasan terpadu berbasis Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) yang mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan industri lokal yang
mendukung pertumbuhan dan daya saing industri nasional Indonesia. Untuk itu, technopark
dapat menjadi jembatan emas dalam penyediaan SDM terampil di bidang kelautan dan
perikanan, sekaligus penciptaan wirausaha baru (startup) menjadi penyebaran beragam
produk inovasi teknologi. Keberadaan technopark juga diintegrasikan dengan program
pembangunan daerah dan tertuang dalam dokumen perencanaan daerah, termasuk komitmen
penyedian lahan dan anggaran pengelolaannya. Technopark juga dapat menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berdaulat, berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam, dan
mensejahterakan masyarakatnya melalui sektor kelautan dan perikanan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di atas maka dapat dilihat bahwa arah pengembangan
technopark berbasis kelautan atau Marine Technopark lebih difokuskan pada sertifikasi
kompetensi, budidaya ikan sidat, produksi garam, budidaya udang, dan pengolahan produk.
Pada skala ini terlihat bahwa pengembangan program tersebut belum dikaitkan dengan
pendekatan

pengembangan

ekonomi

lokal

Banyuwangi

yang

kegiatan

ekonomi

masyarakatnya terkonsentrasi pada jenis usaha terkait perikanan, seperti misalnya


penangkapan ikan (nelayan), usaha pengolahan hasil laut, pedagang hasil laut dan cold
storage. Sedangkan produksi utama usaha masyarakat adalah pengasinan, pemindangan,
produk petis dan minyak ikan. Dengan demikian maka dapat ditarik rumusan permasalahan
dalam kajian ini adalah bagaimana mengembangakan Banyuwangi sebagai kawasan Marine
Technopark (MTP) yang dapat mempengaruhi produktivitas usaha perikanan dan ekonomi
masyarakat?. Sedangkan tujuan dari kajian ini adalah merumuskan arah program (MTP)
Banyuwangi yang berbasis pengembangan ekonomi lokal, dengan sasaran kajian sebagai
berikut; (1) Mengidentifikasi karakteristik usaha perikanan masyarakat Banyuwangi; (2)
Mengidentifikasi faktor-faktor penentu pengembangan ekonomi kawasan usaha perikanan
masyarakat Banyuwangi; (3) Merumuskan model MTP mendukung pengembangan
produktivitas usaha perikanan dan ekonomi masyarakat.

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

TINJAUAN LITERATUR
Pembangunan Daerah
Menurut Tjokrowidjoyo (1995) Pembangunan Daerah dapat dilihat dari berbagai
aspek, yaitu: 1) segi pembangunan sektoral, pencapaian sasaran pembangunan dilakukan
melalui berbagai pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral
disesuaikan dengan yang dimiliki oleh masing-masing daerah; 2) segi pembangunan wilayah,
yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi
wilayah; dan 3) segi pemerintahnnya, agar tujuan pembangunan daerah dapat berhasil dengan
baik maka pembangunan daerah perlu berfungsi dengan baik karena itu pembangunan
merupakan usaha-usaha untuk mengembangkan dan mempererat pemerintah dalam rangka
makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Sedangkan menurut Arsyad (1999) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan
ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa
dari luar daerah. Menurut Glasson (1990) konsep dasar basis ekonomi membagi
perekonomian menjadi dua sektor yaitu: 1) Sektor-sektor basis adalah sektor-sektor yang
mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekomian masyarakat yang
bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar
perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan; dan 2) Sektor-sektor bukan basis
adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang
bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan.

Pengembangan Ekonomi Lokal


Pengembangan Ekonomi Lokal merupakan proses di mana pemerintah lokal dan
organisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha
untuk menciptakan lapangan pekerjaan (Blakely and Bradshaw, 1994). Selain itu, menurut
(Munir, 2007) Pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah suatu proses yang mencoba
merumuskan kelembagaan-kelembagaan pembangunan di daerah, peningkatan kemampuan
SDM untuk menciptakan produk-produk yang lebih baik serta pembinaan industri dan
kegiatan usaha pada skala lokal. Jadi pada dasarnya pengembangan wilayah dilihat sebagai
upaya pemerintah daerah bersama masyarakat dalam membangun kesempatan-kesempatan

Bidang P-ITSTP

566

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
ekonomi yang cocok dengan SDM, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan
kelembagaan secara lokal.
Menurut Blakely dalam Supriyadi (2007) dalam keberhasilan pengembangan ekonomi
lokal dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu: 1) perluasan kesempatan bagi masyarakat
kecil dalam kesempatan kerja dan usaha; 2) perluasan bagi masyarakat untuk meningkatkan
pendapatan; 3) keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan
pemasaran; dan 4) keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat lokal. Dalam kaitannya dengan teori pertumbuhan ekonomi, maka
Krugman (1994) mengatakan bahwa investasi sumber daya manusia menjadi lebih penting
peranannya dalam pembangunan. Sumber daya manusia yang berkualitas bagi negara sedang
berkembang merupakan faktor penting dalam upaya untuk mengejar ketertinggalan
pembangunan dengan negara lain. Sementara itu era informasi dan teknologi yang
berkembang saat ini semakin membuktikan bahwa penguasaan teknologi yang baik akan
berdampak pada kualitas maupun kuantitas pembangunan itu sendiri. Ketika teknologi dapat
dikuasi, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks proses
produksi, adanya penguasaan teknologi yang baik akan mendorong terjadinya inovasi
teknologi. Inovasi teknologi tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan penemuan produkproduk baru dan cara produksi yang lebih efisien (Barro dalam Romer, 1994).

Marine Technopark (MTP)


Badan Pengembangan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP)
akan membangun 24 Taman Sains dan Teknologi Kelautan dan Perikanan (TSTKP) atau
Marine Tehchnopark (MTP) di sejumlah wilayah di Indonesia. 24 MTP yang akan dibangun
mulai 2015-2019 tersebut tersebar di sejumlah wilayah, yaitu Ladong, Simeuleu, Belawan,
Pariaman, Natuan, Palembang, Tahuna, Serang, Jakarta, Depok, Subang, Tegal, Bantul,
Banyuwangi, Buleleng, Kupang, Aeftembaga, Wakatobi, Ambon, Pontianak, Bone,
Saumlaki, Sorong, dan Merauke. Pembangunan akan dimulai di empat lokasi, yaitu di
Aeftembaga, Ambon, Tegal, Banyuwangi, dan Tegal. Empat MTP tersebut ditargetkan akan
selesai pada akhir tahun 2015. Sementara itu anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan
MTP tersebut adalah senilai Rp 120 miliar. Untuk satu lokasi taman disediakan anggaran
senilai Rp 7,5 miliar. Adapun Keberadaan MTP tersebut diharapkan mampu mengembangkan
perekonomian masyarakat lokal, meningkatkan kemampuan dan kompetensinya, dan

Bidang P-ITSTP

567

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
melakukan pendampingan serta konsultasi bisnis di bidang kelautan dan perikanan.
Sedangkan pada tataran teknis yang ditangani di MTP adalah perikanan tangkap, perikanan
budidaya, permesinan perikanan, pengolahan ikan, dan produk kelautan. Selain membangun
24 MTP tersebut juga akan dikembangkan di bidang perikanan lainnya, seperti pembuatan
mesin kapal, pembuatan jaring nelayan, dan pengelolaan budidaya ikan. Alasan utama dalam
pengembangan MTP didasarkan pada data industri perikanan Indonesia yang hampir 99%
dilakukan oleh nelayan kecil. Namun demikian selama ini belum ada nelayan kecil yang
berani mencari ikan di tengah laut. Hal ini karena mereka minim modal sehingga tidak bisa
mencari ikan di tengah laut. Jika ada MTP, tentunya masalah minimnya modal dapat diatasi
dengan kemandirian nelayan dengan belajar untuk membangun mesin kapal sendiri, membuat
jaring sendiri, dan memperbaiki jaring sendiri. Dengan demikian pembangunan MTP tersebut
ditargetkan akan lahir 22.200 orang yang inovatif yang dihasilkan di taman sains tersebut.
Sedangkan untuk target produk kreatif sebanyak 12 unit. Harapannya adalah dengan adanya
MTP tersebut bisa menjadi tempat aliran iptek dan menjadi inovasi yang memberikan
kekuatan daya saing bagi bisnis dan industri kelautan dan perikanan nasional.
Pelaksanaan pembangunan MTP tersebut dipegang oleh Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP) KKP dan bertugas secara
berkala menghadirkan taman tersebut dalam kurun waktu empat tahun ke depan. Kementrian
KKP menegaskan bahwa program taman teknologi ini merupakan program lanjutan dari
Program Nasional Pengembangan 100 Taman dan Sains dan Teknologi (Science and Techno
Park/STP) yang merupakan salah satu quick win oleh Menteri Koordinator Bidang
Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan
Tinggi. MTP tersebut diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk mau lebih tahu soal
kelautan dan perikanan Indonesia. Selain itu dalam MTP juga dilengkapi dengan fasilitas
untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berbasis kelautan dan perikanan dan
diharapkan dengan adanya pendidikan tersebut akan melahirkan individu-individu kompeten
yang bisa menghasilkan produk inovatif dan inkubator bisnis untuk menghasilkan usaha baru.
Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat tersebut tanpa dipungut biaya
sama sekali. Sementara, inkubator bisnisnya meliputi jejaring kerja sama dengan dunia usaha,
dunia industri, dan stakeholders. Dalam kegiatan MTP, setiap orang akan didampingi oleh
penyuluh dari Pusat Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP), peningkatan teknologi tepat
guna, konsultasi, dan inovasi teknologi dengan pendidikan, penelitian dan pengembangan,

Bidang P-ITSTP

568

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
dan selanjutnya harapan dari pengembangan MTP tersebut bisa mendorong pembangunan
ekonomi berbasis SDM.
Sebagai program percontohan, KKP saat ini baru membangun MTP di empat daerah,
yakni di Tegal (Jawa Tengah), Banyuwangi (Jawa Timur), Aertembaga, Bitung (Sulawesi
Utara), dan Ambon (Maluku). Dipilihnya empat daerah tersebut, tidak lepas dari
pertimbangan aspek kewilayahan, kedekatan lokasi dengan Unit Pelaksana Teknnis (UPT)
KKP dan sekaligus dekat dengan potensi daerah. Dari empat daerah tersebut, KKP berharap
akan muncul inovasi-inovasi disektor kelautan dan perikanan. Dengan demikian, sasaran
MTP untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan, dan konservasi perairan bisa segera terwujud. Karena itu, KKP membangun MTP
dengan menyesuaikan karakter daerah masing-masing. Untuk Tegal, kegiatan MTP
difokuskan pada sertifikasi kompetensi, pengembangan garam, udang galah padi,
permesinan, budidaya udang, dan budidaya rumput laut. Kemudian, di Banyuwangi, kegiatan
difokuskan pada sertifikasi kompetensi, budidaya ikan sidat, produksi garam, budidaya
udang, dan pengolahan produk. Di Bitung, kegiatan difokuskan pada sertifikasi kompetensi,
perkapalan, dan pengolahan produk. Terakhir, di Ambon, kegiatan difokuskan pada
sertifikasi kompetensi, budidaya ikan laut, pengolahan produk, permesinan perikanan, dan
wisata pelatihan. Selain untuk penguatan daerah masing-masing, kehadiran MTP juga
diharapkan bisa menjadi sarana untuk mempersiapkan masyarakat setempat untuk terlibat
aktif dalam kerja sama ekonomi regional, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
dimulai dari tahun 2015.

Marine Technopark (MTP) dan Sumber Daya Terkait


Marine Technopark (MTP) merupakan sebuah kawasan terpadu yang menggabungkan
dunia industri, perguruan tinggi, pusat riset dan pelatihan, kewirausahaan, perbankan,
pemerintah pusat dan daerah dalam satu lokasi atau kawasan kemaritiman yang
memungkinkan aliran informasi dan teknologi secara lebih efisien dan cepat.
Beberapa pengertian lain dari Technopark yang lain sebagai berikut:

Lahan yang menarik dan berisi bangunan arsitektur yang indah yang memiliki fungsi
sebagai pusat ilmu pengetahuan dan R & D perusahaan untuk menghasilkan penemuan
baru atau aplikasi teknologi, khususnya di bidang kematiman;

Bidang P-ITSTP

569

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kerjasama dalam R & D antara perusahaan terkenal dengan pihak MTP untuk memperoleh
keuntungan dari teknologi yang mereka hasilkan dalam bidang kemaritiman;

Tempat terjadinya transfer teknologi kematiman yang kuat antara universitas, laboratorium
penelitian dan industri.
Selain pengertian di atas, terdapat pengertian lain sebagai berikut; MTP adalah istilah

digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya untuk merangsang perkembangan


"kewirausahaan, pengetahuan berbasis usaha kecil dan menengah di bidang kematiman dalam
suatu negara. MTP memiliki beberapa fasilitas, antara lain inkubator bisnis, angel capital,
seed capital, venture capital. Adapun Stakeholder dari sebuah MTP secara umum adalah
pemerintah (biasanya pemerintah daerah), komunitas peneliti (akademis), komunitas bisnis
dan finansial.

Stakeholder

bekerjasama

untuk mengintegrasikan penggunaan dan

pemanfaatan bangunan komersial, fasilitas riset, conference center, sampai dengan fasilitas
penginapan. Bagi pemerintah daerah MTP menciptakan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan daerah. Bagi para pekerja yang berpendapatan cukup tinggi, MTP
memiliki daya tarik karena situasi, lokasi, dan lifestyle.
Dalam sejarahnya, MTP adalah turunan dari Science and Technopark sendiri mulai
dikembangan sejak tahun 1950, dimana staf perguruan tinggi yang memiliki jiwa
entrepreneur ingin mengkonversikan pengetahuan dan hasil penelitian yang di kembangkan
menjadi nilai ekonomi. Science and Technopark pertama dibuat oleh Stanford University di
Amerika Serikat. Science and Technopark tidak identik dengan inkubator bisnis. Sebuah
Science and Technopark biasanya memiliki sebuah inkubasi bisnis. Sementara itu bisnis yang
diinkubasi tidak harus secara fisik berada di Science and Technopark. Ada beberapa tujuan
dari adanya MTP yang merupakan turunan dari Science and Technopark. Berikut ini
beberapa tujuan MTP yang dikumpulkan dari berbagai sumber:

Meningkatkan daya saing bisnis perusahaan lokal dengan menggunakan fasilitas MTP
untuk melakukan R & D. Banyak perusahaan lokal yang tidak mampu melakukan R & D
sendiri karena keterbatasan dana, SDM, dan peralatan. MTP biasanya memiliki SDM dan
peralatan. Masalah dana bisa ditanggung bersama-sama oleh beberapa perusahaan dan atau
oleh pemerintah;

Sebagai sarana untuk mengembangkan dan mengkomersialisasikan ide-ide kreatif atau


temuan temuan yang diperoleh dari penelitian, khususnya bidang kemaritiman dan

Bidang P-ITSTP

570

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
perikanan. MTP tertarik untuk mendapatkan keuntungan finansial dari riset yang telah
dikembangkan tersebut;

Sebagai sarana untuk mengembangkan perusahaan kemaritiman bermuatan teknologi, atau


dengan kata lain sebagai tempat inkubator bisnis kemaritiman. Balai Diklat umumnya
memiliki laboratorium untuk mempraktekkan teori yang diberikan di kelas. Namun, untuk
teori entrepreneurship atau bisnis tidak ada laboratoriumnya. MTP (dalam fungsinya
sebagai inkubator) dapat digunakan sebagai laboratorium.

Dari uraian di atas, secara umum fungsi dari MTP itu dapat dibagi dua, yaitu:

Membawa hasil riset perguruan tinggi ke luar dengan membuat bisnis dengan pelaku
bisnis atau venture capital yang sudah ada, misalnya melalui inkubasi hasil riset;

Membawa industri masuk ke perguruan dengan membawa masalah yang ada di industri ke
dalam MTP tersebut, dan Balai Diklat memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan
industri teknologi.

METODOLOGI
Kajian ini bersifat deskiptif kualitatif, yaitu mencari fakta dengan intrepetasi yang
tepat. Adapun metode penghimpunan data primer melalui penyebaran kuisioner dan
wawancara dengan masyarakat usaha perikanan, Dinas KKP, Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyuwangi dan stakeholder terkait, sedangkan data sekunder dihimpun dari dokumentasi,
tabulasi stakeholders terkait dan referensi dari penelitian terdahulu. Adapun teknik analisis
yang digunakan dalam kajian ini adalah melalui dua tahap. Tahap pertama adalah
menggunakan pendekatan delphi, yaitu pendekatan deskriptif dengan cara mengumpulkan
pendapat yang dilakukan secara berulang dengan tidak memberikan gambaran jawaban antar
responden satu dengan yang lainnya. Metode lebih menekankan pada teknik membuat
keputusan yang dibuat oleh suatu kelompok, dimana anggotanya terdiri dari para ahli atas
masalah yang akan diputuskan yang dimulai dengan identifikasi masalah yang akan dicari
penyelesaiannya (Harol et al., 1984). Tujuan metode Delphi adalah untuk mendapatkan
konsensus tentang hal-hal yang tidak mempunyai kriteria obyektif, dimana tingkat konsensus
di pandang lebih tinggi daripada hasil pertemuan tatap muka (Rachel, et al., 1985). Adapun
proses metode Delphi adalah sebagai berikut:

Bidang P-ITSTP

571

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kasus/
Masalah

Responden
Ahli/Pakar

Penyajian
Masalah

Rekomendasi
Ahli/Pakar

Penghimpunan
Rekomendasi
Ahli/Pakar
(Moderator)

Pengacakan
Saling-silang
Pertukaran
Rekomendasi
antar Ahli/Pakar

Penyajian komentar Ahli/Pakar


thd. Pendapat/ide Ahli/Pakar lain
(ide baru, jawaban/temuan baru,
kemungkinan baru)

Tidak Terdapat
Konsensus

Pengambilan
Keputusan

Terdapat
Konsensus

Solusi

Gambar 1. Metode Delphi


Analisis selanjutnya adalah analisis input-output untuk menyusun model pengembangan
MTP dengan pendekatan PEL. Adapun kerangka konseptual analisis pengembangan MTP
dengan pendekatan PEL dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

Bidang P-ITSTP

572

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Kawasan Industri/Usaha
Perikanan BWI*

Pengembangan Ekonomi
Lokal (PEL)

Penggalian Data dan Informasi


(studi literatur, wawancara, observasi)

Analisis Deskripsi

Analisis Faktor

Analisis Input-Output

Karakteristik
Usaha/Industri
Perikanan BWI

Faktor-faktor Penentu
PEL Usaha/Industri
Perikanan BWI

Alternatif model
Pengembangan Kawasan
MTP** BWI

Arah Pengembangan Kawasan MTP


BWI

Keterangan:
*BWI : Banyuwangi
**MTP : Marine Technopark

Gambar 2. Kerangka Konseptual Kajian

Bidang P-ITSTP

573

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sektor perikanan yang berkembang di Banyuwangi adalah berupa perikanan tangkap
yaitu dengan cara menangkap ikan dari perairan darat maupun perairan laut. Jenis perikanan
yang dapat ditangkap di wilayah ini antara lain adalah ikan lemuru, rajungan, gumalah, ikan
teri, ikan mambang, udang, dan kerang. Disamping memiliki potensi perikanan, wilayah
kajian ini juga mempunyai lahan hutan bakau. Sumber daya alam berupa perikanan di
banyuwangi berperan besar dalam pengembangan ekonomi lokal, dan sumber daya alam
berupa perikanan menjadi awal dari proses pengembangan ekonomi lokal. Kualitas dan
kuantitas hasil tangkapan berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan usaha perikanan. Saat
musim tangkap ikan para nelayan sangat mudah mendapatkan hasil tangkapan, dan akan
sangat berbeda pada saat musim paceklik yang tangkapan ikan menjadi sulit untuk diperoleh.
Para nelayan tidak dapat berlayar dikarenakan saat musim penghujan tidak memungkinkan
untuk berlayar sehingga para nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan.
Dalam kegiatan penangkapan ikan, aspek permodalan merupakan salah satu hal
penting dalam pengembangan ekonomi lokal. tanpa adanya pemberian bantuan permodalan,
maka kegiatan perikanan tersebut sulit untuk berjalan dengan baik. Dari hasil analisis delphi
menunjukkan bahwa bantuan permodalan, terutama modal kerja belum tersebar secara merata
di seluruh nelayan Banyuwangi. Bantuan hanya berbentuk material, dan pembagian
dilakukan oleh nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) sendiri,
sehingga modal tersebut tidak terdistribusi secara baik dan merata. Kondisi permodalan di
Banyuwangi berdampak pada minimnya kelayakan teknologi dalam penangkapan ikan, yaitu
berupa kondisi alat tangkap jaring serta perahu yang digunakan masih belum cukup layak.
Sementara itu kondisi prasarana dan sarana di Banyuwangi khususnya di kawasan
Muncar berupa kondisi akses jalan, pembuangan limbah, dan kondisi pengolahan ikan masih
belum memiliki standar kelayakan yang sesuai. Dari hasil analisis delphi menunjukkan para
responden berpendapat bahwa prasarana dan sarana merupakan salah satu faktor yang
mempunyai peran vital dalam berjalanya kegiatan pengembangan ekonomi lokal Banyuwangi
khususnya di kawasan usaha perikanan Muncar. Di kawasan tersebut kegiatan perikanannya
memiliki sarana prasarana yang belum optimal dan tidak belum memiliki standar kelayakan.
Beberapa kondisi jalan hingga pengelolahan limbah pada kondisi yang belum cukup layak
untuk mendukung kegiatan dan hasil perikanan yang baik. Seluruh responden menyatakan

Bidang P-ITSTP

574

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
bahwa kondisi sarana prasara di kawasan tersebut belum cukup layak dan memadai dalam
mendukung kegiatan usaha perikanan.
Sementara itu pada aspek kelembagaan adalah salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap keberhasilan dalam pengembangan ekonomi lokal di Banyuwangi. Faktor
kelembagaan sangat diperlukan dalam hubungan kemitraan antara pemerintah, masyarakat
dan swasta. Pada kemitraan secara penuh menurut responden belum cukup intensif dilakukan.
Belum terbentuk dengan baik suatu lembaga khusus yang mengurusi usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) agar menjadi suatu usaha yang tertata. Sedangkan dukungan pihak
swasta hanya berbentuk bantuan-bantuan operasional saja, bukan dalam bentuk hubungan
kerja sama dalam meningkatkan kegiatan perikanan stempat, seperti misalnya pendirian
sektor penjualan, sektor pemasaran dan pengeolaan hasil tangkapan yang terstruktur.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis delphi, akibat dari faktor kelembagaan yang
masih menjadi penyebab kurang berkembangnya ekonomi lokal di Banyuwangi, kegiatan
pemasaran masih belum berjalan secara optimal. Lembaga atau badan seperti misalnya
koperasi yang berfungsi sebagai peningkatan UMKM dan penyedia barang maupun jasa
pasar domestik masih belum terstruktur dengan baik di Banyuwangi. Para responden
sependapat bahwa lokasi pemasaran tersendiri belum tersedia untuk mengembangkan hasil
tangkapan para nelayan untuk dipasarkan. Untuk menindak lanjuti penyebab lemahnya
pengembangan ekonomi lokal dimana akan dibangun kawasan MTP di banyuwangi, maka
perlu dilakukan analisis input-output guna mengetahui preferensi masyarakat dalam
melakukan kegiatan ekonomi lokal secara terstruktur. Dari hasil preferensi masyarakat maka
dilakukan langkah-langkah prioritas yang akan dilakukan perumusan arahan dalam
pengembangan ekonomi lokal tersebut dimana MTP akan menjadi basis dalam
implementasinya. Berikut adalah hasil analisis preferensi masyarakat dari beberapa faktor
seperti tampak pada tabel berikut.

Bidang P-ITSTP

575

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 1. Faktor dan Sub Faktor dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Kawasan Usaha Perikanan Banyuwangi
Tujuan

Faktor

Sub Faktor

1. Identifikasi karakteristik kegiatan usaha


perikanan;
2. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu
pengembangan ekonomi kawasan usaha
perikanan masyarakat Banyuwangi

Pemasaran

Cara pemasaran
Wilayah pemasaran
Dukungan pemerintah dalam pemasaran

Aksesibilitas

Jarak lokasi -> bahan baku


Jarak lokasi dengan SDM
Akses jalan

Utilitas

Listrk
Air bersih
Tempat penampungan sampah
Sanitasi
Drainase

Bahan baku

Mutu bahan baku


Jenis bahan baku
Penyedia bahan baku
Perolehan bahan baku

Sumber Daya
Manusia

Jumlah tenaga kerja


Asal tenaga kerja
Jenis dan tingkatan tenaga SDM

Pengolahan
Limbah
Pembinaan

Sumber: Data Diolah

Untuk merumuskan model pengembangan kawasan MTP berbasis PEL pada usaha
perikanan di Banyuwangi maka dipergunakan analisis input-output. Analisis input-output ini
untuk mengetahui aliran uang, sumber daya atau produk antara produsen dan konsumen
didalam perekonomian kawasan. Dalam melakukan analisis input-ouput ini data yang
digunakan adalah data wawancara ketujuh jenis input, yaitu nelayan, pemindangan,
pengasinan, cold storage, minyak ikan dan petis serta pedagang. Adapun dari hasil analisis
proses usaha perikanan di Banyuwangi adalah sebagai berikut:

Bidang P-ITSTP

576

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Nelayan

Petis

1. Nelayan ke Pemindangan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke usaha pemindangan

1. Petis ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang

2. Nelayan ke Pengasinan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke usaha pengasinan

2. Petis ke permintaan akhir


Hasil produksi di jual ke konsumen akhir

3. Nelayan ke cold storage


Nelayan menjual hasil tangkapan ke usaha cold storage

Minyak Ikan

4. Nelayan ke Pengasinan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke pedagang langsung

1. Minyak Ikan ke Pedagang


Hasil produksi di jual ke pedagang

Pengasinan

Pedagang

1. Pengasinan ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang

1. Pedagang ke permintaan akhir


Hasil produksi di jual ke konsumen akhir

2. Pengasinan ke permintaan akhir


Hasil produksi di jual ke konsumen akhir

Pemindangan

Sumber: Data Diolah

1. Pemindangan ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang
2. Pemindangan ke permintaan akhir
Hasil produksi di jual ke konsumen akhir

Berdasarkan analisis input-output maka didapatkan diagram alur sebagaimana tampak pada
gambar 1.
Nelayan

1.62

Pemindangan

1.54
0.17

1.81
1.03

Permintaan Akhir

Pengasinan

1.82
1.67

1.27

cp

Cold Storage

1.02

1.57
1.32

1.06
1.83
0.22

Minyak Ikan

0.72

Pedagang

0.72

Industri
Besar

0.47

Petis

Gambar 1. Diagram Input-Output

Bidang P-ITSTP

577

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan pada diagram alur analisis input-output maka dapat disusun alternatif potensi
pengembangan kawasan usaha perikanan Banyuwangi sebagai dasar dalam pengembangan
MTP. Adapun hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 2. sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Analisis Input-Output Potensi Pengembangan MTP berbasis PEL


pada Kawasan Usaha Perikanan Banyuwangi
Determinan

Pengembangan Kawasan

Antar Nelayan

Pengembangan pusat penyuluhan nelayan di setiap desa nelayan,


pendirian koperasi dan pemberdayaan masyarakat terhadap koperasi;
Pengembangan produk berbasis kekhasan daerah, seperti misalnya
pengembangan program One Village One Product di setiap desa
sehingga memiliki satu produk pengolahan ikan unggulan;
Penegakan regulasi penangkapan ikan untuk menghindari
overfishing

Nelayan ke Pemindangan dan


Nelayan ke Pengasinan

Pembangunan tempat pengepul ikan di setiap desa untuk


meningkatkan diversifikasi produk olahan.

Nelayan ke cold storage

Adanya tempat pengepul ikan yang terdapat diberbagai desa


dilengkapi dengan cold storage, sehingga terjadi penambahan cold
storage tujuannya pada masa paceklik cold storage dapat
menyimpan ikan dalam jumlah besar.

Nelayan ke Minyak Ikan dan


Nelayan ke Petis

Aglomerasi industri besar sebagai pemasok bahan baku dengan


industri petis dan minyak ikan dengan mengadakan perjanjian atau
kontrak kerjasama dalam memasok bahan baku serta kerjasama
dalam pemasaran.

Nelayan ke Pedagang

Adanya pembangunan tempat pengepul ikan dimasing-masing


desa, yaitu 1 desa terdapat 1 pusat pengepulan dapat
meningkatkan diversifikasi produk.

Pemindangan ke Nelayan

Pemberian fasilitas kepada nelayan dengan bantuan alat tangkap


yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku pemindangan disekitar
pelabuhan dan TPI.

Bidang P-ITSTP

578

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Antar Pemindangan

Aglomerasi industri pemindangan dengan industri pemindangan


dalam mendapatkan bahan baku dan wilayah pemasaran. Antar
usaha pemindangan ini hendaknya menumbuhkan kombinasi sumber
daya lokal dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing unit
usaha yang selanjutnya akan menimbulkan spesialisasi produk yang
dihasilkan.

Pemindangan ke Pengasinan

Adanya tempat pemasaran seperti minastore khusus produk


pemindangan dan pengasinan.

Pemindangan ke Cold Storage

Dengan adanya sistem 1 desa 1 pengepul yang juga terjadi


penambahan cold storage. Sehingga ketika cold storage terjadi
overload dapat digunakan sebagai bahan baku pemindangan
sehingga terjadi keterkaitan.

Pemindangan ke Pedagang

Diperlukan adanya pusat pemasaran yang bekerjasama dengan


pengasinan yaitu minastore khusus mempromosikan hasil industri
perikanan dengan membuat spesialisasi produk pemindangan yang
yang berbeda dengan tempat lain.

Pengasinan ke Nelayan

Pemberian fasilitas kepada nelayan dengan pemberian alat tangkap


yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku pengasinan disekitar
pelabuhan dan TPI.

Pengasinan ke Pemindangan

Adanya tempat pemasaran seperti minastore khusus produk


pemindangan dan pengasinan.

Pengasinan ke Pengasinan

Aglomerasi industri pengasinan dengan industri pengasinan dalam


mendapatkan bahan baku dan wilayah pemasaran. Antar usaha
pengasinan ini hendaknya menumbuhkan kombinasi sumber daya
lokal dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing unit usaha
yang selanjutnya akan menimbulkan spesialisasi produk yang
dihasilkan.

Pengasinan ke Cold Storage

Dengan adanya sistem 1 desa 1 pengepul yang juga terjadi


penambahan cold storage. Sehingga ketika cold storage terjadi
overload dapat digunakan sebagai bahan baku pengasinan sehingga
terjadi keterkaitan.

Bidang P-ITSTP

579

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Pengasinan ke Pedagang

Diperluka adanya pusat pemasaran yang bekerjasama dengan


pemindangan yaitu minastore khusus mempromosikan hasil industri
perikanan dengan membuat spesialisasi produk pengasinan yang ada
dan membuat spesialisasi produk hasil industri perikanan berbeda
tempat dengan tempat lain.

Cold Storage ke Nelayan

Aglomerasi nelayan dan cold storage dengan menerima seluruh


hasil tangkapan nelayan baik itu ikan yang kualitas rendah sekalipun
dimasing-masing desa.

Cold Storage ke
Pemindangandan

Dengan dibuat 1 desa terdapat 1 pengepul dan terdapat cold storage,


maka untuk mendapatkan bahan baku langsung dari pusat bahan
baku tersebut.

Cold Storage ke Pengasinan


Antar Cold Storage

Peningkatan aglomerasi industri cold storage dengan industri cold


storage dalam mendapatkan bahan baku dan wilayah pemasaran
khususnya dalam penetapan harga jual ke konsumen akhir.

Cold Storage ke Minyak Ikan

Dengan dibuat 1 desa terdapat 1 pengepul dan terdapat cold storage,


maka untuk mendapatkan bahan baku langsung dari pusat bahan
baku tersebut.

Cold Storage

Peningkatan sarana dan prasarana penunjang pemasaran khususnya


di desa yang tidak terjangkau sarana dan prasarana sehingga dapat
meningkatkan pemasaran baik skala lokal, nasional maupun ekspor.

Ke Pedagang

Antar Minyak Ikan

Peningkatan aglomerasi industri minyak ikan dengan industri


minyak ikan dalam mendapatkan bahan baku dan wilayah
pemasaran khususnya dalam penetapan harga ke konsumen. Antar
usaha minyak ikan ini hendaknya menumbuhkan kombinasi sumber
daya lokal dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing unit
usaha yang selanjutnya akan menimbulkan spesialisasi produk yang
dihasilkan.

Minyak Ikan ke Petis

Adanya tempat pengolahan bersama industri minyak ikan untuk


menampung limbah ikan untuk dikelola sebagai bahan baku
disekitar pabrik/industri besar.

Bidang P-ITSTP

580

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Minyak Ikan ke Pedagang

Diperlukan adanya pusat pemasaran khusus mempromosikan hasil


industri perikanan ini dengan membuat spesialisasi produk minyak
ikan dengan membuat spesialisasi produk hasil industri perikanan
berbeda tempat dengan tempat lain
Sumber: Data Diolah

Berdasarkan hasil analisis delphi dan analisis input-output berupa faktor-faktor


prioritas, maka diperlukan rumusan arahan pengembangan MTP berbasis PEL untuk
mendapatkan arahan yang sesuai dalam mengembangkan kegiatan perikanan yang terstruktur.
Berikut adalah arahan pengembangan MTP berdasarkan faktor prioritas:
1. Untuk meningkatkan prasarana dan sarana dilakukan; (a) Perencanaan dan penataan MTP
yang integratif dan upaya peningkatan kualitas lingkungan yang terintegrasi; (b)
Menyediakan tempat penghimpunan sampah dan limbah terpusat yang terintegrasi dengan
tempat penampungan sementara, serta penyediaan tempat sampah di setiap KK; (c)
Membangun dan perbaikan jalan akses ke MTP; (d) Membangun sistim drainase, dan
mengoptimalkan drainase yang sudah ada.
2. Untuk meningkatkan sumber daya manusia; a) melakukan peningkatan mutu pendidikan,
ketrampilan dan kepribadian nelayan maupun pelaku usaha perikanan; b) Pelatihan
peningkatan kompetensi usaha perikanan dan kelautan, dan penyuluhan wawasan ekonomi
tata niaga dan keuangan bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan masyarakat, khususnya
pelaku UMKM;
3. Untuk meningkatkan proses usaha perikanan nelayan dilakukan: (a) Pembentukan Startup
Company UKM pesisir dengan koordinasi pemerintah, swasta dan masyarakat yang dapat
dimulai dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang sudah berjalan dengan baik; (b)
menyediakan fasilitas pembiayaan yang dapat dimulai dari lembaga permodalan koperasi;
4. Dalam upaya pemasaran hasil produksi tangkapan nelayan maupun hasil olahan usaha
perikanan perlu dibangun mina store untuk pemasaran dan pendistribusian secara
terstruktur, hal tersebut dapat difasilitasi oleh MTP secara langsung;
5. Diperlukan modernisasi teknologi alat tangkap kapal meningkatkan kuantitas ikan yang
dapat difasilitasi oleh MTP.
6. Pengembangan pusat penyuluhan nelayan di setiap desa nelayan, pendirian koperasi dan
pemberdayaan masyarakat terhadap koperasi; Pengembangan produk berbasis kekhasan
daerah, seperti misalnya pengembangan program One Village One Product di setiap desa

Bidang P-ITSTP

581

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
sehingga memiliki satu produk pengolahan ikan unggulan, hal tersebut dapat
dikembangkan melalui MTP;
7. Membangun sistem pengepul ikan terintegrasi dan meningkatkan diversifikasi produk
olahan;
8. Pengembangan teknologi cold storage murah dan mudah diaplikasikan dengan sistem satu
desa satu pengepul. Sehingga ketika cold storage terjadi overload dapat digunakan sebagai
bahan baku produk olahan lainnya yang terintegrasi.
Berdasarkan hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa pengembangan teknologi cold
storage yang murah dan mudah diaplikasikan adalah faktor paling utama untuk
dikembangkan di MTP, mengingat faktor tersebut berada pada nilai backward linkage dan
foreward lingkage yang cukup besar. Hal tersebut mengandung makna bawah tinggi
rendahnya keberhasilan proses usaha perikanan di Banyuwangi sangat dipengaruhi oleh
peranan usaha cold storage yang berjalan secara efektif dan efisien. Untuk itu peranan MTP
menjadi sangat penting sebagai pusat pengkajian dan penerapan teknologi agar didapatkan
teknologi cold storage yang murah dan mudah diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan bagi
usaha perikanan di Banyuwangi.
Selanjutnya adalah pada aspek peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan
usaha perikanan. Pelatihan dapat difokuskan pada peningkatan usaha melalui pengembangan
produk olahan hasil perikanan, khususnya usaha pengasinan. Pelatihan juga diberikan untuk
usaha perikanan budidaya seperti misalnya ikan sidat dan udang seperti yang diamanatkan
dalam sasaran program pengembangan MTP Banyuwangi. Tujuannya adalah sebagai
alternatif usaha yang disebabkan oleh menurunnya sumber daya perikanan tangkap.
Disamping itu yang tidak kalah penting adalah peningkatan wawasan pemasaran bagi pelaku
usaha dengan membangun branding produk, pengemasan dan outlet pemasaran secara online
maupun offline.

Bidang P-ITSTP

582

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Banyuwangi memiliki populasi yang 40% nya adalah nelayan yang menggantungkan
hidupnya pada kondisi pesisir. Banyuwangi memiliki berbagai potensi pesisir yang cukup
besar, namun masih mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan seperti SDA,
SDM, pendanaan, sarana dan prasarana, kelembagaan dan teknologi. Berdasarkan faktor
prioritas pengembangan ekonomi lokal didapatkan bahwa terdapat beberapa arahan yang
dapat dilakukan dalam pengembangan MTP di Banyuwangi, yaitu; (a) penataan pemukiman
yang integratif dan upaya peningkatan kualitas lingkungan disekitar kawasan MTP; (b)
Menyediakan tempat pembuangan sampah terpusat; (c) membangun dan perbaikan jalana
akses ke MTP; (d) membangun lokasi pengolahan terpusat di MTP; (e) Melakukan
peningkatan mutu pendidikan, pelatihan dan wawasan usaha, peningkatan kompetensi usaha
perikanan dan kelautan, pembentukan kelompok UKM terintegrasi dengan koordinasi
pemerintah swasta dan masyarakat; (f) modernisasi teknologi penangkapan, cold storage dan
manajemen usaha perikanan.
Mengingat usaha perikanan di Banyuwangi didominasi oleh usaha pemindangan,
pengasinan, cold storage, minyak ikan dan pembuatan petis, maka sasaran program
pengembangan MTP seharusnya difokuskan pada jenis-jenis usaha tersebut. Terutama cold
storage adalah bentuk usaha yang memiliki jalur kritis dalam analisis backward dan forward
linkage yang memiliki peran strategis dalam keberhasilan pengembangan ekonomi lokal di
Banyuwangi. Alih teknologi dalam pengembangan MTP juga dapat difokuskan pada
teknologi pengolahan minyak ikan tradisional, pemindangan, pengasinan, dan pembuatan
petis.

Rekomendasi
Terkait dengan peningkatan SDM, MTP dapat berperan sebagai agen dalam
peningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para pengusaha industri kecil baik dalam model,
bentuk, cara atau proses produksi olahan hasil laut yang efisien, selain pengembangan
diversifikasi produk sampai proses pemasaran, pengemasan, pelebelan dan lain-lain. Untuk
itu perlukan kerjasama berbagai pihak dalam mendorong pengembangan MTP dengan
memperhatikan aspek-aspek pengembangan ekonomi lokal di Banyuwangi. Pada aspek ini,

Bidang P-ITSTP

583

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dapat difokuskan pada peningkatan usaha melalui
pengembangan produk olahan hasil perikanan, khususnya usaha pengasinan. Pelatihan juga
diberikan untuk usaha perikanan budidaya seperti misalnya ikan sidat dan udang seperti yang
diamanatkan dalam sasaran program pengembangan MTP Banyuwangi. Tujuannya adalah
sebagai alternatif usaha yang disebabkan oleh menurunnya sumber daya perikanan tangkap.
Disamping itu yang tidak kalah penting adalah peningkatan wawasan pemasaran bagi pelaku
usaha dengan membangun branding produk, pengemasan dan outlet pemasaran secara online
maupun offline.

Bidang P-ITSTP

584

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo (2005) Dasar dasar ekonomi wilayah.Yogyakarta : Graha ilmu
Arsyad, Lincolin (1999) Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta, STIE YKPN
Blakely, Edward J., (1989) Planning Local Economic Development (Theory and Practice). Sage
Publication, Inc, Newburry Park, California
Boediono (1993) Ekonomi Makro, BPFE:Yogyakarta
Dahuri, R., J, Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2000, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Jakarta
Departemen Kelautan & Perikanan RI (2002) Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan Nomor: Kep.
18/Men/2002 Tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan & Perikanan Tahun 2001
2004. Jakarta: Departemen Kelautan & Perikanan
Effendi, Irzal dan Oktariza, Wawan (2006) Manajemen Agribisnis Perikanan. Depok :Penebar
Swadaya
Ghozali, H, Imam (2007) Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro :Semarang.
Handayani, Wiwandari dan Tubagus F. Sofhani (2003) Efisiensi Kolektif Pada Sentra Industri
MebelKayu Jepara. Tataloka. Vol. 5, no. 1. Januari 2003, hal. 67.
Hoover, E.M. (1977) Pengantar Ekonomi Regional (Terjemahan A. Chandra). LembagaPenerbit FE
UI :Jakarta
Hair, Joseph F., Rolph E Anderson, Ronald L. Tatham dan William C. Black (1998) Multivariate
Data Analysis. New Jersey (USA): Prentice-Hall
Kartasasmita, Ginanjar (1996) Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta, PT. Pusaka Cidesindo
Kuncoro, Mudrajad. (1996) Analisis Spasial dan Regional: Aglomerasi dan Kluster Industri di
Indonesia. Yogjakarta : YKPN
Kuncoro, Mudrajat (2004) Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan Peluang. Jakarta, Airlangga
Kuncoro, M. (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, AMP YKPN,
Yogyakarta
Munir, Risfan. (2005) Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan dan Panduan
Pelaksanaan Kegiatan. Jakarta : LGSP
Mulyadi (2005) Ekonomi kelautan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Maryunani (2003) Telaah Ekonomi Regional dan Daya Saing antar Daerah, makalah tidak
diterbitkan, Malang: Pascasarjana Unibraw
Nawawi, H.Hadari (2003) Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press

Bidang P-ITSTP

585

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Glasson, John (1990) An Introduction to Regional Planning Concepts, Theory and Practice.
Melbourne, Hutchinson.
IHS (2006) Concept of Local Economic Development, Course Material of LED, Rotterdam.
RTRW Kabupaten Banyuwangi 2005-2015
RPJMD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2006 2010
Romer, Paul M. (1986) Increasing Return and Long Growth. Journal of Political Economy, 94
Oktober 1002 1037
Simamora, Bilson (2005) Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.
Supriharyono (2000) Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Soetomo (2011) Pemberdayaan Masyarakt. Mungkinkah Antitesisnya?. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Sulistiyani, Ambar Teguh (2004) Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta, Gaya
Gava Media
Suharjo, Bambang (2006) Analisis Regresi Terapan dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sanusi, Anwar (2003) Metodologi Penelitian Praktis Untuk Ilmu Sosial dan Ekonomi. Buntara Media.
Malang
Supranoto (2004) Analisis Multivariat: Arti Dan Interpretasi. Jakarta: PT RinekaCipta
Supriadi, Edy (2007) Telaah Kendala Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal: Pragmatisme
dalam Praktek Pendekatan PEL. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 18 (2): 103-123
Tarigan, Drs. Robinson (2005) Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta: Bumi Aksara
Tjokroamidjoyo, Bintoro (1995) Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta, LP3S
Widodo, Johanes (2006) Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press

Whitney, F.L. (1960) The elements of Research, Asian Eds. Osaka: Overseas Book Co.

Bidang P-ITSTP

586

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P-ITSTP 06

KONSEP PEMBANGUNAN TECHNOPARK BANYUMULEKNTB BERBASIS PEMANFAATAN BIORESOURCES DAN


AGROEDUWISATA SECARA BERKELANJUTAN
Roni Ridwan1*, Syahruddin Said1, Budi Septiani2, A.W. Nasrudin2, Puspita Lisdiyanti1,
Rusli Fidriyanto1, Baharuddin Tappa1, dan Bambang Sunarko1
1)

2)

Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Jl. Airlangga No. 56 Mataram-NTB
roni.ridwan@lipi.go.id, rony_biotech@yahoo.com

ABSTRAK
Kedaulatan pangan merupakan program pemerintah prioritas nasional dapat diwujudkan
dengan terciptanya ketahanan pangan berbasis pemanfaatan bioresources secara
berkelanjutan. Unsur ketahanan pangan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pangan,
peningkatan daya saing produk peternakan dan pertanian, pendapatan peternak dan petani,
serta kelestarian sumber daya alam. Kelestarian sumber daya alam saat ini semakin berkurang
sehingga diperlukan dukungan IPTEK dan pemanfaatannya secara berlanjutan. Daging sapi
salah satu prioritas sumber protein hewani yang belum menunjukkan kedaulatan pangan
secara nasional. Langkah strategis yang digunakan dalam jangka menengah dan panjang
adalah dengan membangun Techno Park (TP) diberbagai daerah. Tujuan pembangunan TP
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi IPTEK kepada masyarakat.
Metodologi pembangunan TP yang digunakan dengan mengintegrasikan seluruh kegiatan
berbasis pemanfaatan bioresources dan AgroEduWisata secara berkelanjutan. Program
pembangunan TP Banyumulek-NTB dilaksanakan secara terintegrasi dalam 6 klaster yaitu
pengolahan pakan, pengolahan limbah, pembibitan sapi Bali dan penggemukan sapi potong,
pertanian organik, pengolahan pasca panen, dan sosial ekonomi masyarakat yang dikemas
dalam manajemen bisnis dan pelayanan kepada masyarakat. Pemilihan Banyumulek-NTB
berdasarkan potensi besar dibidang peternakan sapi dan pendukung bioresources lainnya.
Peternakan sapi menjadi pondasi utama dalam mencapai swasembada daging nasional.
Pembangunan TP sinergi dengan pemerintah daerah NTB mengembangkan AgroEduWisata
menjadi kawasan terpadu yang menyediakan teknologi pertanian secara luas, pusat edukasi
melalui pelatihan dan pemagangan, dan sebagai tempat tujuan wisata pertanian yang ramah
lingkungan. TP Banyumulek-NTB ditargetkan menjadi etalase pusat informasi IPTEK yang
menyediakan paket teknologi, SDM, pusat pelatihan dan pemagangan, diseminasi teknologi,
advokasi bisnis, dan inisiasi produk komersil yang dapat diproduksi dalam skala besar.
Kata kunci: Kedaulatan Pangan, Techno Park, Bioresources, AgroEduWisata, Etalase
IPTEK

Bidang P-ITSTP

587

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Kedaulatan pangan merupakan suatu agenda pemerintah yang menjadi program
prioritas nasional saat ini. Kedaulatan pangan dapat diwujudkan dengan terciptanya
kemandirian ketahanan pangan yang berbasis pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Unsur
ketahanan pangan dapat diciptakan melalui peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani, kelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam
secara berkelanjutan. Prioritas nasional tersebut sesuai dengan yang dituangkan dalam
sasaran capaian pembangunan nasional RPJMN 2015-2019. Salah satu sumber pangan yang
belum menunjukkan kedaulatan secara nasional adalah daging sapi. Langkah strategis jangka
menengah dan jangka panjang harus dilakukan program peningkatan produksi bibit dan
bakalan sapi secara berkelanjutan. Fokus peningkatan produksi sapi harus dilakukan oleh
masing-masing daerah dengan memanfaatkan potensi daerah. Salah satu upaya pencapaian
tujuan tersebut dapat direalisasikan salah satunya dengan membangun Techno Park (TP).
Technopark merupakan suatu kawasan pengembangan yang disiapkan secara khusus
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi IPTEK oleh kalangan lembaga
Penelitian dan Pengembangan (litbang), universitas, perusahaan, dan pemerintah (Ozel and
Canitez, 2010). IPTEK yang telah dikembangkan oleh lembaga litbang atau universitas
selanjutnya dilakukan diseminasi peningkatan produksi menjadi produk komersil skala
besar/industry. Arahan kebijakan pembangunan TP di Kabupaten/Kota yaitu dapat berfungsi
sebagai pusat penerapan teknologi untuk mendorong perekonomian di kabupaten/kota,
tempat pelatihan, pemagangan, pusat disseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke
masyarakat luas (Kemenristekdikti, 2015).
Berdasarkan Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-3 (2015-2019) adalah
memantapkan pembangunan secara menyuluruh dengan menekankan pembangunan
keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang
berkualitas dan kemampuan IPTEK. Daerah Banyumulek Nusa Tenggara Barat dipilih karena
memiliki potensi besar di bidang peternakan terutama peternakan sapi dan pendukung
bioresouces lainnya (Disnakkeswan-NTB, 2015). Peternakan sapi menjadi salah satu pondasi
utama dalam mencapai swasembada daging nasional. Swasembada akan tercapai apabila
mendapat dukungan dari berbagai elemen. Elemen yang penting menurut Sanni dan
Egbetokun (2010) untuk mencapai kesuksesan dalam mengimplementasikan STP/TP ada 3

Bidang P-ITSTP

588

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
aktor yang penting yaitu penentu kebijakan, ada sarana atau wahana, dan adanya pelaksana
program yang berkelanjutan. Elemen yang terlibat di TP Banyumulek yaitu LIPI, PEMDA
dilingkungan NTB, Universitas, Swasta, dan Masyarakat. Elemen tersebut sesuai dengan
konsep perwakilan dari pihak akademisi, pebisnis, pemerintahan, dan dan komunitas
(Soenarso et al., 2013). Keterlibatan elemen tersebut disinergikan untuk mendukung
berjalanya program technopark yang berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh.

METODOLOGI
Kegiatan pada tahun pertama TP Banyumulek NTB dibagi menjadi 6 klaster terdiri
dari pengolahan pakan, pembibitan dan penggemukan sapi, pengolahan limbah, pengolahan
pasca panen, pertanian organik terintegrasi, dan pengelolan kelembagaan terkait dengan
sosial ekonomi, kajian marketing dan diseminasi produk hasil TP Banyumulek NTB. Techno
Park menjadi permodelan kawasan industri berbasis pemanfaatan sumber daya lokal dengan
menggunakan hasil-hasil penelitian. Selama ini hasil-hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan baru sebatas bisa menghasilkan produk dalam skala laboratorium dalam
jumlah kecil dan belum bisa diimplementasikan kepada masyarakat secara luas. Untuk
meningkatkan manfaat dari produk tersebut maka diperlukan peningkatan kapasitas produksi
dalam skala yang lebih besar dan kualitas yang baik serta mensosialisasikannya ke
masyarakat. Upaya peningkatan kapasitas produksi diperlukan proses inkubasi. Proses ini
merupakan serangkaian usaha untuk mengoptimalkan proses produksi. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah memfokuskan kegiatan inkubasi melalui pembangunan STP/TP
(Soenarso et al., 2013).
Penunjukan daerah Banyumulek NTB sebagai lokasi dibangunya TP didasarkan atas
ketersediaan fasilitas pengembangan produk berbasis peternakan dan pertanian terpadu
dengan skala yang cukup besar yaitu tersediannya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
yang terdapat dalam satu kawasan yang dikelola oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Prov. NTB. Namun pada tahun sebelumnya kegiatan dalam kawasan tersebut belum
terintegrasi dengan baik dan belum tersosialisasikan secara menyeluruh ke masyarakat.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah sistem manajemen kurang berjalan dengan baik
sehingga tidak terjalinnya kerjasama diantara seluruh bidang yang ada. Permasalahan ke dua

Bidang P-ITSTP

589

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
adalah belum optimalnya proses produksi yang dihasilkan. Permasalahan terakhir adalah
selama ini masyarakat sebagai konsumen atau penerima manfaat belum bisa memanfaatkan
produk dan informasi yang dihasilkan secara maksimal. Salah satu solusi yang dapat
menyelesaikan permasalah tersebut dengan diterapkannya sistem manajemen terpadu,
mengoptimalkan proses produksi dengan mengimplementasikan inovasi IPTEK secara
berkelanjutan, dan menjalin kerjasama dengan memasyarakatkan melalui kemitraan atau
melalui diseminasi alih teknologi TP.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Daya Dukung dan Peranan Pemerintah Daerah NTB (Sumber Disnakkeswan-NTB, 2015)
Integtrasi program nasional dan program unggulan daerah diarahkan untuk
berorientasi pada peningkatan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil peternakan. Arahan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam rangka penyediaan pangan
hewani dan peningkatan nilai tambah produk peternakan yang berkontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi berbasis pedesaan. Pengembangan peternakan khususnya komoditas
peternakan di daerah dilakukan secara terintegrasi dengan pertanian dalam pengembangan
model kawasan terpadu lintas sektoral. Pemanfaatan fungsi kawasan terpadu Banyumulek
sebagai kawasan Agroeduwisata dengan komoditi unggulan PIJAR (sapi, jagung, dan rumput
laut) diintegrasikan dengan program TP untuk percepatan pertumbuhan kawasan Indonesia
Timur khususnya bidang perekonomian daerah.
Kawasan Banyumulek terletak di wilayah Desa Lelede hasil pemekaran Desa
Banyumulek Kecamatan Kediri Kab. Lombok Barat dengan luasan 30.3 ha merupakan
kepemilikan Pemprov-NTB. Pada kawasan tersebut sudah terdapat UPTD dari Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. NTB yaitu Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD),
Rumah Sakit Hewan dan Lab. Veteriner, dan Balai Pengembangan dan Pengolahan Pakan
Ternak ruminansia (BP3TR), serta Rumah Potong Hewan (RPH) yang sedang dikelola oleh
PT. Gerbang NTB Emas. Lokasi kawasan tersebut sangat strategis dekat ke daerah Pelabuhan
Lembar (9 KM) dan Bandara Internasional Lombok (26 KM) dan dekat dengan kota
Lombkok yang dapat memberikan potensi terhadap AGROEDUWISATA.
Peran strategis peternakan Provinsi NTB merupakan daerah sumber bibit dan ternak
potong nasional yang berkontribusi terhadap penyediaan bibit sapi sekitar 12 ribu ekor per

Bidang P-ITSTP

590

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
tahun untuk 18 provinsi se Indonesia. Provinsi NTB memiliki daya saing peternakan secara
komparatif ditingkat nasional yaitu populasi sapinya termasuk 8 terbesar nasional, ternak sapi
sebagai modal sosial di masyarakat, kondisi geografis cocok untuk pengembangan ternak
sapi, tempat pemurnian sapi bali nasional, pusat pengembangan sapi Sumbawa, daya dukung
SDA cukup, terbebas dari PHMS, dan sumber bibit dan potong nasional. Sedangkan peran
strategis untuk tingkat daerah di Provinsi NTB adalah sumber pendapatan masyarakat
pedesaan, tabungan masyarakat, penyedian sumber protein hewani, penyediaan lapangan
pekerjaan, pelestarian lingkungan dan SDA dengan pemanfaatan limbah peternakan, dan
menghasilkan bahan baku industri pengolahan. Kapasitas tampung untuk ternak sapi di
daerah NTB mencukupi sekitar 2 juta ekor atau setara dengan 1.5 juta satuan ternak.
Pendekatan kapasiatas tampung tersebut didasarkan pada potensi sumber pakan meliputi
sawah, tegalan, kebun, ladang, perkebunan dan lahan yang belum dipergunakan. Populasi
ternak sapi potong di NTB sampai tahun 2014 sudah mencapai 1.002.731 ekor dengan
dinamika peningkatan potensi bibit sebesar 14.09%. Realisasi pengeluaran sapi bibit ke luar
daerah rata-rata dalam lima tahun terakhir (2010-2014) sebesar 36.5% dan realisasi untuk
ternak sapi potong sebesar 45.67%. Peningkatan populasi sapi tersebut didukung oleh
pemanfaatan potensi SDA, SDM, kelembagaan dan fasilitas dari PEMDA melalui program
pemberdayaan masyarakat dan kegiatan strategis dalam percepatan peningkatan populasi
ternak.

Konsep Integrasi Techno Park


Konsep keterpaduan yang dibangun dalam TP ini dengan memadukan berbagai
kegiatan peternakan dan pertanian dari hulu sampai hilir yang dikemas dalam manajemen
bisnis sehingga menjamin keberlanjutan kegiatan. Kegiatan TP di arahkan untuk
menghasilkan produk yang siap untuk dikomersilkan dan dapat diterima oleh pihak swasta
dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dikemas dalam skema diseminasi alih teknologi,
pelatihan, pemagangan, dan kemitraan inti plasma unit bisnis. Berdasarkan proses
produksinya, kegiatan TP dibagi menjadi dua bagian yaitu kegiatan bagian hulu dan kegiatan
bagian hilir. Kegiatan hulu yaitu kegiatan yang menghasilkan bahan mentah (bahan baku)
atau bahan setengah jadi. Kegiatan ini sifatnya menyediakan bahan baku untuk
kegiatan/industri yang lain. Kegiatan yang termasuk dalam kegiatan bagian hilir adalah
klaster pengolahan pakan, penggemukan dan pembibitan sapi bali, dan pertanian organik.

Bidang P-ITSTP

591

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Kegiatan bagian hilir, yaitu kegiatan yang mengolah barang mentah atau setengah jadi
menjadi barang jadi. Kegiatan yang masuk dalam kegiatan hilir adalah klaster pengolahan
limbah dan pengolahan pasca panen. Kedua kelompok kegiatan tersebut didukung oleh
kegiatan klaster sosial ekonomi dan diseminasi yang akan memberikan informasi dampak
masing-masing kegiatan kepada masyarakat sehingga dapat dilakukan peningkatan seluruh
kegiatan secara berkelanjutan.

Konsep Pengelolaan Techno Park


Koordinasi merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan
dalam suatu kegiatan. Pihak pengelola TP membangun kelembagaan kesekretariatan untuk
dapat mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang dilakukan di kawasan. Manajemen
pengelolaan akan berjalan dengan baik apabila pelaksanaannya dilakukan secara profesional
dengan membentuk struktur keorganisasian, personel, beserta tugas dan fungsinya, dan
mendapat dukungan penuh dari pemerintahan daerah. Kegiatan ini menginisiasi suatu
organisasi manajemen TP menjadi suatu cikal bakal kelembagaan. Fokus kegiatan ini lebih
mengutamakan pada koordinasi program keseluruhan kegiatan TP, koordinasi kegiatan
dengan mitra daerah dan mediator pelaksanaan kegiatan dengan bagian organisasi yang sudah
ada di kawasan TP dan dengan SKPD terkait di PEMDA NTB. Konsep pengelolaan yang
diterapkan adalah meningkatkan koordinasi kerjasama antar lembaga penelitian, pemerintah,
pihak industri, dan masyarakat. Konsep tersebut dapat terjalin apabila ada inovasi IPTEK
yang mampu memberikan kepercayaan bagi semua pihak dapat berjalan secara berkelanjutan.
Untuk itu perlu adanya inovasi IPTEK yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan
dapat diimplementasikan hasilnya ke tahapan komersialisasi dan didistribusikan secara
menyeluruh kepada masyarakat.

Gambar 1. Konsep manajemen dan pengembangan bisnis TP

Bidang P-ITSTP

592

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Kawasan TP tidak akan berjalan dengan biak tanpa adanya manajemen pengelolaan
secara professional yang berkelanjutan, promosi dan pemasaran yang baik. Metode yang
digunakan adalah dengan cara memberikan sosialisasi secara intensif dengan melibatkan
pemerintah daerah, instalasi percontohan dikelompok petani peternak, pembekalan, pelatihan
pembuatan atau produksi produk peternakan, pertanian, pangan dan turunannya. Produk TP
yang diseminasikan seperti silase, konsentrat, pupuk organik cair dan padat, hasil olahan
pangan, pertanian organik, dan pemanfaatan limbah menjadi energi terbarukan biogas.
Kegiatan TP dikoordinasikan sehingga menjadi sinergis dengan program daerah dan diikuti
oleh peserta dari petani, peternak, penyuluh pertanian dan peternakan, staf dinas, dan swasta.
Target dan sasaran pelaksanaan kegiatan ini adalah bahwa dengan diseminasi inovasi
teknologi hasil-hasil LIPI, maka petani dan peternak dapat mengetahui manfaat dan menjadi
mandiri dalam menghasilkan produk-produk yang diperlukan untuk kegiatan budidaya yang
berkelanjutan. Konsep integrasi seluruh kegiatan dalam Techno Park dari setiap unit kegiatan
dijelaskan pada Gambar 1. dan dijabarkan secara detail di bagian bawah sebagai berikut;
1. Klaster Unit Pengolahan Pakan
Keberhasilan produksi ternak tidak terlepas dari peran pakan yang harus tersedia
secara kontinyu. Inovasi pengolahan pakan merupakan salah satu strategi penting dalam
penyediaan pakan yang berkualitas. Unit pengolahan pakan menghasilkan produk pakan sapi
yang berkualitas sehingga mampu mendukung peningkatan produktivitas. Produk yang
dikembangkan dan ditingkatkan kapasitas produksinya adalah silase, konsentrat, hijauan
pakan ternak dan pakan aditif/suplemen. Silase digunakan sebagai pakan awetan yang dapat
bertahan lama dalam proses penyimpanan dan dapat berperan juga sebagai pakan stimulasi.
Konsentrat digunakan sebagai pakan tinggi nutrient untuk mensuplai kebutuhan nutrisi ternak
sapi. Hijauan pakan ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sumber serat dan feed
additive probiotik di gunakan untuk keseimbangan mikroba rumen dalam meningkatkan
produktivitas sapi potong. Pengembangan keempat jenis produk pakan tersebut digunakan
untuk mendukung kegiatan penggemukan dan breeding sapi potong yang dilakukan baik
dalam kawasan TP maupun di luar kawasan TP oleh masyarakat peternak sekitarnya sebagai
mitra kegiatan. Kegiatan pengolahan pakan ini dilakukan di UPTD BP3TR. Selain kegiatan
produksi pengolahan pakan ternak sapi, kegiatan pengembangan SDM peternak, penyuluh
PPL dan pihak yang tertarik untuk mengembangkan juga dilakukan di BP3TR. Balai ini
selanjutnya bertanggung jawab terhadap Inovasi IPTEK yang telah dialih teknologikan atau

Bidang P-ITSTP

593

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
di diseminasikan melalui pelatihan oleh pihak LIPI. Klaster ini juga berfungsi sebagai
penyedia input untuk kegiatan di klaster penggemukan dan pembibitan sapi Bali.
2. Klaster Pembibitan Sapi Bali dan Penggemukan Sapi Potong
Berdasarkan kondisi peternakan di NTB maka perlu adanya suatu model peternakan
percontohan yang mendapatkan pembinaan lebih lanjut terkait manajemen penggemukan sapi
potong agar didapatkan produktivitas yang lebih optimal. Kegiatan yang diterapkan adalah
manajemen breeding untuk menghasilkan pedet jantan dan betina yang digunakan sebagai
replacement stock bakalan agar terjaga kontinuitas ternak, pemberian konsentrat, teknik
formulasi complete feed, aditif pakan organik untuk menjaga kecukupan nutrisi ternak dan
silase untuk menjaga keberlanjutan pakan, pengendalian vektor pembawa penyakit,
manajemen pemeliharaan ternak sapi, dan peningkatan kemampuan SDM peternak melalui
pelatihan. Pembibitan sapi Bali merupakan sumber utama yang menyediakan sapi bakalan
bagi usaha penggemukan dan menghasilkan bakalan indukan sapi Bali di NTB. Sebagian
besar kegiatan pembibitan berasal dari usaha yang dikelola oleh peternakan rakyat. Sampai
saat ini belum banyak perusahaan swasta atau perusahaan negara yang bergerak di bidang
pembibitan sapi Bali karena usaha ini dinilai kurang menguntungkan. Pengembangan
pembibitan sapi Bali diarahkan untuk menghasilkan sperma sexing dan anakan sapi unggul
sehingga dapat meningkatkan produksi. Unit kegiatan pembibitan sapi potong bahan bakunya
disulpai oleh kegiatan produksi sperma sexing, sehingga bakalan yang dihasilkan dapat
terukur baik secara kualitas dan kuantitas. Konsep pembibitan yang diterapkan pada kawasan
Banyumulek adalah pemuliaan sapi Bali berbasis Good Breeding Practice (GBP). Kegiatan
pembibitan sapi bali, produksi sperma sexing, dan penggemukan dilakukan di UPTD BIBD.
Kegiatan lain yang dilakukan di klaster ini adalah pengembangan SDM inseminator daerah,
PPL Peternakan, dan peternak. Unit produksi klaster pembibitan dan penggemukan
menghasilkan produk samping yaitu feses dan urin yang selanjutnya di salurkan pada klaster
pengolahan limbah peternakan.
3. Klaster Pengolahan Limbah
Dalam pembuatan kawasan industri tidak lepas dari limbah. Dalam rangka
mewujudkan TP yang Go Green maka diperlukan pengolahan limbah yang dapat
menghasilkan produk lain yang bermanfaat. Pemanfaatan limbah organik sebagai biomasa
dapat dikonversi menjadi sumber energi dikenal sebagai konsep Energy Conversion Park
(ECP) yang terdiri dari 3 model yaitu model pemanfaatan fraksi organik limbah padat,

Bidang P-ITSTP

594

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
pengolahan feses dan substrat awal, dan model gabungan (Dael et al., 2013). Konsep tersebut
juga dikenal lebih jauh dengan istilah bio-Energy Conversion Park (bio-ECP) lebih
memokuskan pada multi dimensi, konsep sinergisme, koversi berbagai biomasa, dan
keterpaduan teknologi proses konversi energi (Guisson et al., 2012). Limbah yang dihasilkan
dalam kawasan ini adalah limbah feses dan urin. Pemanfaatan limbah merupakan salah satu
upaya dalam menurunkan efek gas rumah kaca secara berkelanjutan (Timmerman et al.,
2013). Limbah feses sapi dimanfaatkan menjadi biogas dan pupuk organik. Biogas yang
dihasilkan digunakan sebagai bahan bakar dan energi listrik alternatif terbarukan. Feses sapi
diuraikan oleh mikroorganisme anaerob menghasilkan biogas yang mengandung metana
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Sumber energi biogas dari hasil peruraian
feses dalam jumlah besar dapat dimanfaatkan juga sebagai sumber energi untuk pembangkit
listrik dengan menggunakan Gen-Set. Selain menghasilkan listrik, biogas dapat juga
digunakan sebagai sumber panas untuk memasak. Kegiatan ini bersinergi dengan kegiatan
penggemukan dan pembibitan sapi dalam menerima input suplai limbah kotoran sapi. Hasil
proses pengolahan limbah lainnya berupa produk pupuk organik padat dan cair. Produk
tersebut dimanfaatkan di dalam kawasan TP dan juga didistribusikan kepada masyarakat.
Produk pupuk organik dikawasan TP digunakan untuk mendukung unit produksi hijauan
pakan ternak dan pertanian organik terintegrasi. Sedangkan untuk output biogas berupa
energi panas dan listrik didistribusikan kepada unit pengolahan pasca panen. Konsep
keterpaduan dalam kegiatan ini melahirkan sistem zero waste dengan proses ketersediaan
input limbah yang kontinu dalam satu kawasan dan menghasilkan output produk yang
dimanfaatkan oleh kegiatan lainnya, sehingga dimaksimalkan tidak ada limbah yang yang
mencemari lingkungan.
4. Klaster Pertanian Organik
Pengembangan TP juga mencakup pengembangan tanaman pangan seperti padi dan
tanaman holtikultura terdiri atas sayuran daun dan buah-buahan guna mendukung kedaulatan
pangan nasional. Pengembangan klaster ini dilakukan secara organik dengan menggunakan
beberapa bibit unggul yang telah dihasilkan dari hasil diseminasi produk LIPI. Dalam upaya
mengatasi semakin rendahnya kualitas tanah, LIPI melakukan pendekatan dengan sistem
organik. Caranya dengan memanfaatkan agen biologis yang ada di tanah untuk membentuk
pupuk organik hayati (POH). Selain POH, LIPI juga telah melepas tiga varietas padi gogo
yaitu Inpago LIPI Go1, LIPI Go2 dan LIPI Go4. Varietas-varietas ini memiliki keunggulan

Bidang P-ITSTP

595

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
antara lain: toleran kekeringan, produktivitas tinggi, tahan sejumlah ras penyakit blas, dan
toleran cekaman aluminium, sehingga sangat cocok untuk dikembangkan di daerah NTB.
Pupuk yang digunakan berasal dari klaster pengolahan limbah peternakan yaitu produk pupuk
cair dan pupuk padat. Kedua jenis pupuk ini diharapkan dapat mendukung pertaniaan organik
di kawasan NTB. Saat ini pertanian organik banyak dikembangkan oleh berbagai daerah,
dikarenakan produknya lebih aman dan sehat untuk dikonsumsi, selain itu secara bisnis juga
lebih menguntungkan karena memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan
produk non organik. Budidaya sayuran organik perlu dipandang secara utuh, dalam suatu
rangkaian agrobisnis sayuran organik, di mana peluang pasar menjadi pertimbangan utama,
dan produksi sayuran menjadi faktor yang kedua. Jenis sayuran yang ditanam terdiri dari
bayam cabut, kangkung darat, petsai, caisin, cabai, terong, tomat, oyong, dan pare serta
kacang-kacangan (kacang panjang dan buncis). Mengingat pentingnya pertanian organik
maka perlu dibangun stasiun model pengembangan sayuran organik di kawasan Technopark
Banyumulek. Kegiatan lainnya yang dilakukan di klaster ini adalah mengadakan sosialisasi
dan pembinaan di tingkat petani sayuran, pelatihan SDM petani, dan menjalin hubungan
dengan mitra daerah terkait pengembangan pertanian organik di NTB.
5. Klaster Pengolahan Pasca Panen
Kegiatan pengolahan pasca panen terdiri atas dua unit produksi yaitu unit Rumah
Potong Hewan (RPH) dan Unit Pengolahan Hasil Ternak Sapi (Pabrik Value Added). Unit
rumah potong hewan dibangun berdasarkan good manufacturing practices (GMP) dan telah
bersertifikat halal. Kegiatan di RPH ditujukan untuk menyediakan bahan baku daging yang
Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Unit ini berintegrasi dengan kegiatan penggemukan
sapi dimana hasil penggemukan sapi potong didistribusikan kepada unit RPH untuk
dilakukan proses pemotongan. Selain itu, unit ini juga melayani jasa pemotongan hewan bagi
masyarakat sekitar. Selain bertujuan untuk melayani masyarakat melaui jasa pemotongan
hewan, tujuan utama dari unit ini adalah menjamin keamanan daging segar yang dihasilkan
melalui penerapan food safety management system (FSMS). Daging segar memiliki
keterbatasan mengingat sifatnya yang mudah rusak. Salah satu alternatif dilakukan upaya
pengolahan menjadi produk olahan daging. Olahan daging adalah daging yang diperoleh dari
hasil pengolahan dengan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, misalnya sosis,
dendeng, daging burger dan daging olahan dalam kaleng dan sebagainya (Desroiser, 1988).
Pengolahan daging menjadi produk jadi bertujuan untuk meningkatkan masa simpan,

Bidang P-ITSTP

596

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
menambah citarasa, dan meningkatkan nilai ekonomis daging. Menurut Saragih (2005)
beberapa bentuk produk olahan yang diminati konsumen dewasa ini adalah produk olahan
daging olahan yang memenuhi fungsi praktis dan efisien yakni, siap guna (ready for used),
siap saji (ready to cook) dan siap konsumsi (ready to eat).
Daging yang dihasilkan dari RPH digunakan sebagai bahan baku bagi unit value
added. Salah satu cara untuk mendistribusikan daging sapi ke masyarakat adalah dalam
bentuk produk olahan. Produk ini merupakan salah satu alternatif untuk kemamanan pangan
dalam menyediakan peningkatan kebutuhan pangan masyarakat terutama untuk Negara
berkembang (Rao, 2006). Peran unit value added di TP adalah menyediakan produk olahan
daging yang berbahan baku daging dari kegiatan penggemukan sapi. Selain bertujuan untuk
menjangkau masyarakat luas, kegiatan ini juga diharapkan dapat menarik minat swasta untuk
mengadopsi teknologi pengolahan yang digunakan mengingat sektor industri pangan
merupakan salah satu sektor industri yang menarik bagi pihak swasta. Hal ini penting dalam
usaha memeratakan produk daging dan turunanya kepada masyarakat. Produksi masal oleh
pihak swasta akan menghasilkan harga produk lebih terjangkau dan distribusinya luas. Selain
peningkatan produksi, segi kualitas pengembangan produk perlu juga dilakukan guna
meningkatkan jaminan kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan.
6. Klaster Sosial Ekonomi dan Diseminasi
Kegiatan sosial ekonomi mencirikan perkembangan suatu kota dan satu indikasi dari
dinamika perkembangan kota dari perekonomian kota tersebut. Upaya mendorong
berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat tersebut dapat dijalankan dengan konsep TP.
Secara konseptual TP merupakan sebuah kawasan pengembangan kegiatan pertanian dan
peternakan yang saling terintegrasi berbasis teknologi yang menyajikan, memeragakan dan
menginformasikan temuan terkini berdasar INOVASI IPTEK berbagai disiplin ilmu dan pada
akhirnya akan terjadi alih pengetahuan kepada masyarakat perdesaan secara luas. Hasil
pengembangan kemudian ditingkatkan menjadi produk komersial yang dapat diproduksi
dalam skala industri. Komersialisasi hasil Litbang LIPI dapat dialih teknologikan kepada
mitra daerah dan kepada masyarakat. Dengan dikenalnya alih teknologi, diseminasi, dan
produk hasil Litbang LIPI dapat memberikan manfaat yang tinggi untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Pengembangan sebuah kawasan baru, jika dilihat dari segi
pembangunan ekonomi kota merupakan upaya strategis untuk mengurangi beban pusat kota
(Tarigan, 2005). Suatu kawasan yang diprioritaskan pengembangannya merupakan daerah

Bidang P-ITSTP

597

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
pengembangan yang potensial. Hal ini disebabkan karena kawasan ini diperkirakan akan
cepat berkembang di masa akan mendatang, baik karena pengembangan kawasan tersebut
ataupun karena adanya investor baru. Adanya produk yang dihasilkan di kawasan TP akan
berdampak pada social ekomomi masyarakat. Kegiatan klaster ini memberikan informasi
mengenai dampak keberadaan TP banyumulek terhadap social ekonomi masyarakat sekitar.
Informasi tersebut dijadikan sebagai sumber acuan penetapan strategi pengembangan TP
yang berkelanjutan sehingga tepat sasaran dan tepat guna untuk masyarakat daerah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Konsep pembangunan TP di Banyumulek-NTB berbasis pemanfaatan bioresources
dan agroeduwisata secara berkelanjutan dengan memaksimalkan potensi daerah yang
diintegrasikan menjadi suatu kegiatan terkoordinasi dalam suatu manajemen kawasan
terpadu. Target pembangunan TP Banyumulek-NTB menjadi etalase pusat informasi IPTEK
yang menyediakan paket teknologi, SDM, pusat pelatihan dan pemagangan, diseminasi
teknologi, advokasi bisnis, dan inisiasi produk komersil yang dapat diproduksi dalam skala
besar, serta sebagai salah satu tempat tujuan wisata pertanian yang ramah lingkungan. Peran
serta lembaga penelitian dan pengembangan, pemda daerah, perguruan tinggi daerah,
pebisnis, dan komunitas masyarakat sangat dibutuhkan komitmennya untuk menjalankan
fungsi dari implementasi inovasi IPTEK dalam satu kawasan terpadu secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
[Disnakkeswan-NTB, 2015] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
[Kemenristekdikti-RI, 2015] Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia.
Dael MV, SV Passel, L Pelkmans, R Guisson, P Reumermann, NM Luzardo, N Witters and J Broeze.
2013. A techno-economic evaluation of a biomass energy conversion park. Applied Energy
104: 611622.
Desrosier NW.1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.
Direktorat Industri, IPTEK, dan Parekraf. BAPPENAS. 2014. Rancangan Teknokratik RPJMN 20152019. Bidang pembangunan IPTEK.
Guisson, RV Dael, MV Passel, S Pelkmans and Luc. 2012. A bio-energy conversion park in the
province of Limburg (Belgium)-an economic viability check of a biomass utilization concept

Bidang P-ITSTP

598

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
for bio-energy. 20th European Biomass Conference & Exhibition, Milano, Italy, p. 2166-2171.
ISBN: 978-88-89407-54-7.
Ozel K and IS Canitez. 2010. An analysis suggestion for technological collaboration of Balkan
countries: Trakya Technopark. International Scientific Confrence. Gabrovo.
Rao KL. 2006. Agro-industrial parks Experience from India. Agricultural and Food Engineering
Work Document, FAO.
Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara, Jakarta: hlm.4.
Sanni M and AA Egbetokun. 2010. A Model for the Design and Development of a Science and
Technology Park in Developing Countries. International Journal of Management and
Enterprise Development. DOI: 10.1504/IJMED.2010.029761.
Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Edisi kedua. Pustaka Wirausaha Muda, Bandung.
Soenarso WS, Dadan N and E Listyaningrum. 2013. Development of Science and Technology Park
(STP) in Indonesia to Support Innovation-Based Regional Economy- Concept and Early
Stage Development. WTR 2; 32-42.
Timmerman J, C Deckmyn, L Vandevelde and GV Eetvelde. 2013. Techno-Economic Energy Models
for Low Carbon Business Parks, Chemical Enginering Transactions. Vol. 35; 571-576.

Bidang P-ITSTP

599

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
P- ITSTP 07

ANALISIS SWOT PENGEMBANGAN PRODUK PEREKAT


KAYU BERBASIS LATEKS KARET ALAM BERKAPASITAS
TERBATAS
Andi Budiansyah1, Fahriya Puspita Sari2, Widya Fatriasari2
1

Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor KM 47,
Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-21-87917221
email: andi_budiansyah_s@yahoo.com.
2
Pusat Penelitian Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor
KM 46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

ABSTRAK
Produksi perekat kayu berbasis lateks karet alam (LKA) merupakan salah satu dari
rangkaian kegiatan strategis dari Taman Sains dan Teknologi (TST) yang diprakasai oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pengembangan produk ini merupakan upaya
akselerasi produk agar dapat diadopsi oleh industri perkayuan. Produk ini mempunyai potensi
untuk dikembangkan dalam skala indutri mengingat keunggulan produknya. Produk ini
berkompetensi dengan perekat sejenis seperti Aqueous Polymer Isocyanate (API) karena
berbasis bahan lokal terbarukan yang memungkinkan diaplikasikan untuk produk laminasi
temperatur rendah. Namun, pengembangan produksi dari skala laboratorium ke industri akan
menghadapi risiko bisnis. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi potensi awal faktor-faktor yang dapat menjadi risiko yang akan dihadapi
pada pengembangan produk skala industri. Identifikasi awal menggunakan Analisis SWOT
untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Analisis ini dapat digunakan
untuk menentukan strategi yang tepat dalam meningkatkan nilai tambah pada pengembangan
produk. Hasil dari kajian ini adalah menunjukan bahwa produk perekat kayu API berbasis
LKA ada pada kuadran progresif (I) (0,9 , 0,7) dimana manajemen harus melakuan perbaikan
secara terus menerus dan selalu mengenalkan produk perekat kayu API berbasis LKA ini
kepada masyarakat.
Kata kunci: Strategi, peningkatan produksi, lateks karet alam, low temperature setting,
analisis SWOT

Bidang P-ITSTP

600

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam di dunia dengan luas
perkebunan pada tahun 2013 sebesar 3.555.946 Ha. Pada tahun 2015,nilai pertumbuhan
diprediksi mencapai1,38% atau 3.656.057 Ha dengan total produksi karet lebih dari 3 juta
ton/tahun (BPS, 2015). Berdasarkan pohon industri pengembangan karet, kayu, koagulum
dan lateks pohon karet dapat dijadikan sumber sebagai bahan baku (Departemen Pertanian,
2010). Lateks dapat menghasilkan berbagai ragam produk turunan (Silaen, 2010) yang
bernilai ekonomi cukup baik seperti karet busa, sarung tangan medis, benang karet dan
lainnya.Pada Salah satu kegiatan strategis yang berpeluang untuk dikembangkan dalam
kegiatan Taman Sains dan Teknologi (TST) yang diinisiasi LIPI adalah produksi perekat
berbasis lateks karet alam (LKA) (Buletin TST, 2015).
Pengembangan produk perekat alami untuk aplikasi produk biokomposit dan produk
perkayuan berpeluang untuk dikembangkan. Salah satu perekat berbasis sumber daya hayati
yang berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh dalam skala produksi adalah perekat berbasis
LKA. Hal ini mengingat segi keterbaharuan bahan baku, kontinuitas bahan, teknologi
pembuatannya yang relatif sederhana, rendah atau tidak ada emisi formaldehida dan bersifat
water-based. Upaya pengembangan perekat kayu berbasis LKA ini sejalan dengan tuntutan
pasar dalam pembatasan emisi bahan beracun dari produk akhir (seperti emisi formaldehida)
yang ditimbulkan dari bahan perekat yang dipakai dalam proses produksi panel kayu. Dalam
pembuatan produk biokomposit dan panel kayu, kontribusi perekat dalam biaya produksi
dapat mencapai sekitar 30% dari biaya produksi keseluruhan. Hal ini mendorong
dikembangkannya teknologi produksi perekat berbasis LKA dalam skala produksi yang
relatif besar. Upaya introduksi perekat berbasis LKA dalam industri perkayuan selama ini
terkendala dengan skala produksinya yang masih dalam skala laboratorium.
Pengembangan perekat LKA dalam skala laboratorium telah diinisiasi sejak tahun
2000 melalui berbagai skema pembiayaan penelitian pemerintah melalui program tematik
(DIPA) juga pendanaan penelitian dari International Foundation of Sciences (IFS). Perekat
yang pertama dikembangkan adalah untuk aplikasi hot thermosetting. Teknologi yang
dikembangkan berupa proses pencangkokan monomer stirena ke dalam molekul poliisoprena
LKA. Melalui program DIKTI-KNRT telah dicoba scale up produksi perekat LKA-St
berkapasitas 10 L. Hal tersebut merupakan upaya untuk mempersiapkan teknologi produksi
perekat berbasis LKA agar dapat diaplikasikan dalam skala pemakaian lebih besar. Setelah

Bidang P-ITSTP

601

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
itu, dikembangkan teknologi pembuatan perekat Aqueous polymer Isocyanate (API) untuk
aplikasi low thermosetting berbahan dasar LKA dan Poly Vinyl Alkohol (PVA). Teknologi
ini lebih sederhana dari teknologi pencangkokan yang dikembangkan sebelumnya, sehingga
lebih memungkinkan untuk dikembangkan dalam skala produksi yang lebih besar dan
diadopsi oleh industri kecil menengah (IKM). Untuk lebih memperkenalkan perekat API
berbasis LKA ini ke industri perkayuan maka dikembangkan peralatan produksi perekat
dalam kapasitas yang lebih besar yaitu kapasitas 10 L. Sedangkan untuk produksi perekat
API, dengan kapasitas produksi 10 L difasilitasi melalui kegiatan STP.
Sampai saat ini, pengembangan perekat API sudah masuk dalam tahap prototipe dan
sedang dalam proses pemasaran melalui program TST LIPI dan diperkenalkan lebih luas
melalui pelatihan untuk diseminasi teknologi. Sebelum dilakukan proses akselerasi hasil
penelitian yang diadopsi oleh pasar atau diinkubasikan ke unit bisnis, maka perekat API
berbasis LKA ini perlu didentifikasi faktor-faktor internal yang dapat menjadi indikator
kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dari produk ini untuk masuk ke dalam pasar.
Selain itu faktor eksternal yaitu peluang (opportunity) dan ancaman (threat) juga perlu
dikenali untuk mengetahui posisi produk di pasar. Hal ini penting dalam rangka pemilihan
strategi pemasaran produk yang efektif sehingga dapat berkompetisi di pasar.
Identifikasi indikator keberhasilan suatu proses dan produk dapat dilakukan dengan
pembandingan bobot tingkat kepentingan kombinasi antara faktor internal dan eksternal
tersebut (Frangkuti, 1997). Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam menghadapi
dunia bisnis melalui pendekatan analisis SWOT. Oleh karena kajianini bertujuan
mengidentifikasi faktor faktor yang menjadi kekuatan (S), Kelemahan (W), Peluang (O) dan
Ancaman (T) dalam pengembangan perekat API berbasis LKA untuk menentukan strategi
peningkatan nilai tambah pada pengembangan produk di tahap selanjutnya.

DATA DAN METODOLOGI


Data
Data dalam kajian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data primer dalam
kajian ini berupa data hasil kuesioner pada pelatihan penggunaan produk perekat API
berbasis LKA di Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 24 - 25 November 2015. Sedangkan
penentuan indikator awal yang digunakan dalam kuesioner yang berasal dari berbagai
literatur diklasifikasikan sebagai data sekunder

Bidang P-ITSTP

602

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Metode Analisis Data
Data hasil kuesioner dari 17 responden yang memiliki pengetahuan cukup baik
terhadap produk ini diolah menggunakan analisis SWOT berdasarkan pada pembobotan dan
rating. Hasil dari analisis SWOT ini nanti akan membentuk indikator-indikator yang perlu
menjadi perhatian penting di dalam proses produksi dan pemasaran produk perekat API
berbasis LKA ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perekat API berbasis LKA ini mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam skala
yang lebih luas. Hal ini mengingat identifikasi kelebihan yaitu kemampuan berkompetensi
dengan perekat API komersial yang di pasar. Perekat API berbasis LKA ini bersumber bahan
alam terbarukan dalam negeri, sedangkan perekat API komersial disintesis dari sumber yang
tidak terbarukan. Dalam upaya introduksi teknologi produksi perekat ke tataran industri maka
perlu dilakukan identifikasi potensi awal dari risiko yang akan dihadapi pada pengembangan
produk ke industri yang tentunya akan menghadapi banyak risiko.
Berdasarkan kajian internal terhadap produk perekat API berbasis LKA ini
mempunyai berbagai keunggulan teknis dan ekonomis. Analisa tekno-ekonomi menunjukkan
bahwa harga pokok produksi pada kapasitas produksi 100 L per hari sebesar Rp. 33.169,00,
dengan harga jual Rp. 50.000,00 dan asumsi tingkat keuntungan 33.66% maka dalam satu
tahun produk ini diperkirakan mempunyai keuntungan sebesar Rp.585.717.519. Tabel 1
berikut menyajikan perbandingan harga produk perekat API bebasis LKA dengan kompetitor,
dimana produk ini diprediksi dapat berkompetisi dari segi harga dengan produk kompetitor di
pasar.
Berdasarkan berbagai indikator tersebut maka dilakukan pemetaan indikator yang
harus diperhatikan dalam pengembangan produk dengan pendekatan metode SWOT, melalui
sistem pembobotan dan rating pada masing-masing faktor. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan strategi yang tepat untuk produksi, pengembangan produk dan sarana dalam
promosi ke depannya.

Bidang P-ITSTP

603

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Tabel 1. Perbandingan harga produk perekat API berbasis LKA dengan kompetitor
Produk kompetitor

Produk API

Merk A

berbasis LKA

Base polymer : 3-4 USD

Rp. 41.670-53.560

Cross linker : 9 USD

Rp. 111.120
Rp. 152.790-164.680

Merk B

Rp. 50.000

Rp. 87.500

Perhitungan hasil kuesioner merujuk pada proses teknik analisis SWOT tanpa skala
industri yang dilakukan Putong (2003), skala yang seharusnya adalah nilai tertinggi untuk
skor (bobot x peringkat) adalah 1 2 (kuat) dan 0 1 (lemah). Namun pada data yang kami
hasilkan nilai 0,2 - 0,4. Hasil ini diduga karena belum maksimalnya indikator dan responden
yang kami rujuk untuk hasil dari kuesioner ini. Hasil dari analisis SWOT menggunakan
metode ini dapat dilihat pada Tabel 2 (indikator internal) dan Tabel 3 (indikator eksternal).
Tabel 2. Indikator Internal
Indikator Internal

1
2
3
4
5
6
1

2
3
4
5
6

Indikator Kekuatan Produk


Proses pembuatan produk perekat relatif
sederhana
Produk yang dihasilkan ramah lingkungan
atau ber-emisi rendah
Memiliki daya tahan terhadap air hangat
atau panas
Dapat digunakan pada suhu ruang
Sifat daya rekatnya baik
Harga bersaing
Indikator Kelemahan Produk
Bahan utama ini tidak tahan terhadap air
dan cepat menguap (rentan terhadap
serangan mikroorganisme perusak)
Jumlah pekerja pada saat produksi sedikit
Kapasitas produksi 10 L/hari
Belum adanya mitra untuk alih teknologi
produksi perekat ini
Life time nya pendek
Strategi bisnisnya belum terbentuk

Bobot
Relatif

Peringkat

Skor

0,10

0,3

0,10

0,4

0,10

0,4

0,10
0,10
0,09

4
4
3

0,4
0,4
0,3

0,08

0,3

0,08
0,07
0,06

3
3
3

0,2
0,2
0,2

0,07
0,05
1,00

3
3

0,2
0,2

Bidang P-ITSTP

604

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

605

Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 1. Rating Posisi Indikator Internal (Kekuatan dan Kelemahan Produk)


Berdasarkan dari Tabel 2 dan Gambar 1, memperlihatkan indikator internal yang
mempunyai nilai tertinggi di indikator kekuatan dan kelemahan produk. Pada indikator
kekuatan hampir ke enam indikator kekuatan memiliki nilai yang tinggi, namun hanya dua
yang terrendah (perlu diperhatikan) yaitu proses pembuatan produk perekat yang sederhana
dan harga bersaing. Sedangkan untuk indikator kelemahan produk yang menjadi mendapat
nilai tertinggi adalah pada indikator bahan yang rentan terhadap air dan mudah menguap.
Tabel 3. Indikator Eksternal
Indikator Eksternal
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6

Indikator Peluang Produk


Komoditas LKA di Indonesia banyak (ketersediaan
bahan baku cukup)
Produk kompetitor mahal dan menggunakan bahan
baku sintetis yang tidak ramah lingkungan
Sudah ada mitra yang akan menggunakan produk
ini
Pertumbuhan Pasar
Regulasi
Menggunakan bahan baku terbarukan (renewable)
Indikator Ancaman Produk
Harga karet dunia fluktuatif
Produk kompetitor lebih dikenal oleh pemakai
Penjualan produk bisa terbatas pada perusahaan
yang awareness pada produk ramah lingkungan
PPn 10%
Nilai Tukar Rupiah
Kenaikan tarif Listrik dan BBM

Bobot
Relatif

Peringkat

Skor

0,10

0,3

0,09

0,3

0,08

0,3

0,07
0,08
0,09

3
3
4

0,2
0,3
0,3

0,08
0,08
0,09

3
3
4

0,2
0,3
0,3

0,09
0,08
0,08
1,00

3
3
3

0,2
0,2
0,2

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI

Gambar 2. Rating Posisi Indikator Eksternal (Peluang dan Ancaman Produk)


Berdasarkan dari Tabel 3 dan Gambar 2, terlihat bahwa indikator eksternal tidak
mempunyai nilai yang paling tinggi yaitu 0,3. Berdasarkan rata-rata indikator peluang produk
mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman produk tersebut. Indikator
peluang produk ini tertinggi pada, ketersediaan bahan baku yang cukup, produk kompetitor
relatif mahal dan tidak ramah lingkungan dan sudah ada mitra yang akan menggunakan
produk ini. Ketiga aspek itu memberikan peluang untuk pengembangan produk perekat API
berbasis LKA kedepannya. Sementara untuk indikator ancaman, ada dua indikator yang
mempunyai nilai tertinggi yaitu produk kompetitor lebih dikenal oleh pemakai (konsumen)
dan penjualan produk bisa terbatas pada perusahaan yang memiliki tingkat kepedulian
terhadap lingkungan yang tinggi.

Gambar 3. Baseline strategi untuk Produk Perekat API berbasis LKA

Bidang P-ITSTP

606

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015

607

Pusat Inovasi - LIPI


Berdasarkan pada analisis masing-masing komponen dalam analisis SWOT untuk
mengidentifikasi indikator maka dapat disusun strategi dasar dalam pengembangan perekat
kayu API berbasis LKA. Pada Gambar 3, membentuk pola dimana hal yang memiliki nilai
paling besar adalah di kekuatan dan peluang produk ini dan hal yang menjadi tantangan
selanjutnya adalah melakukan perbaikan untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang ada.
Sementara pada gambar 4, memperlihatkan pilihan rencana strategis yang harus dilakukan
manajemen adalah di kuadran progresif (I) (0,9 , 0,7) dimana manajemen harus melakuan
perbaikan secara terus menerus dan selalu mengenalkan produk perekat kayu API berbasis
LKA ini kepada konsumen.

Gambar 4. Pilihan Rencana Strategis untuk Perekat Kayu API Berbasis LKA

Tabel 4. Matriks SWOT


Internal

Kekuatan (S)
1.

2.

3.

Proses

Kelemahan (W)
pembuatan

produk

1.

perekat relatif sederhana

terhadap air dan cepat menguap

Produk yang dihasilkan ramah

(rentan

lingkungan atau beremisi rendah

mikroorganisme)

Memiliki daya tahan terhadap

2.

air hangat atau panas


4.

Eksternal

Bahan utama ini tidak tahan

terhadap

Jumlah

pekerja

serangan

pada

saat

produksi sedikit

Dapat digunakan pada suhu

3.

Kapasitas produksi 10 L/hari

ruang

4.

Belum

5.

Sifat daya rekatnya baik

6.

Harga bersaing

adanya

mitra

untuk

memproduksi perekat ini


5.

Life Time nya pendek

6.

Strategi

bisnisnya

belum

terbentuk

Bidang P-ITSTP

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
Peluang (O)
1.

Strategi (SO)

Komoditas Lateks karet alam di

1.

Indonesia banyak (ketersediaan


bahan baku cukup)
2.

Produk Kompetitor mahal dan


bahan

baku

sintetis

tidak

ramah

yang

lingkungan
3.

3.

Pertumbuhan Pasar

5.

Regulasi

6.

Menggunakan

2.

baku

(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)

(0.4, 0.3)

3.

(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)

(0.4, 0.2)

4.

(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)

(0,4, 0.3)

5.

(Kuat, Kuat)
6.

bahan

(0.4, 0.3)

(Kuat, Lemah)
5.

(0.3, 0.3)
(Kuat, Kuat)

(Kuat, Kuat)
4.

4.

1.

(Kuat, Kuat)

Sudah ada mitra yang akan


menggunakan produk ini

(0.3, 0.3)
(Kuat, Kuat)

2.

menggunakan

Strategi (WO)

(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)

(0.3, 0.3)

6.

(Kuat, Kuat)

(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)

terbarukan (renewable)
Ancaman (T)
1.

Harga

Strategi (ST)
karet

dunia

masih

1.

fluktuatif
2.

Produk kompetitor lebih dikenal

Penjualan produk bisa terbatas

2.

4.

PPn 10%

5.

Nilai Tukar Rupiah

6.

Kenaikan tarif Listrik dan BBM

1.

(0.4, 0.3)

3.

(0.4, 0.3)

2.

(0.4, 0.2)

3.

(0.4, 0.2)

4.

(0.3, 0.2)
(Kuat, Lemah)

(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)

5.

(Kuat, Lemah)
6.

(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)

(Kuat, Lemah)
5.

(0.2, 0,3)
(Lemah, Kuat)

(Kuat, Kuat)
4.

(0.3, 0.2)
(Kuat, Kuat)

(Kuat, Kuat)

pada perusahaan yang awareness


pada produk ramah lingkungan

(0.3, 0.2)
(Kuat, Kuat)

oleh pemakai
3.

Strategi (WT)

(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)

6.

(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)

Berdasarkan dari matriks SWOT pada Tabel 4, Ganbar 3 dan Gambar 4 maka
beberapa strategi bisnis dapat diindentifikasi sebagai berikut :
1. Strategi pemasaran yang akan dilakukan pada produk ini haruslah sangat kuat, karena
indikator kekuatan dan peluang sangat mendominasi dibanding dengan indikator lainnya.
Namun harus diperhatikan bahwa terdapat ancaman dan kelemahan dimana produk
kompetitor lebih dikenal oleh konsumen.
2. Untuk strategi SO dapat dilihat bahwa rata-rata S > O, namun dalam kondisi yang kurang
lebih sama kuatnya. Namun pada indikator peluang dapat dikatakan lebih lemah karena
diduga konsumen masih kurang memperhatikan produk dengan bahan baku yang ramah
lingkungan atau tidak, namun lebih menekankan pada aspek harga.

Bidang P-ITSTP

608

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
3. Untuk Strategi WO dapat dilihat bahwa W < O, dimana peluang lebih mendominasi
dibanding dengan kelamahannya. Namun perlu diperhatikan dalam pemasaran adalah
aspek penyimpanan dan pengemasan, konsumen memperhatikan daya simpan dari produk
ini. Karena bila produk tidak tahan lama dan tidak mudah disimpan dalam jangka panjang
maka tidak akan menarik konsumen untuk menggunakan produk tersebut.
4. Untuk strategi ST dapat juga dilihat bahwa S > T dimana kekuatan produk ini masih
mendominasi dibanding dengan ancaman dari luar. Namun perlu diperhatikan mengenai
ketersediaan bahan baku dan kompetitor yang lebih dikenal oleh para konsumen dibanding
dengan produk ini.
5. Sedangkan untuk strategi WT, dapat dilihat W < T dimana ancaman produk ini masih
lebih mendominasi dibanding dengan kelemahan produk ini. Disini juga terlihat ancaman
ketersediaan bahan baku untuk produk ini menjadi isu yang sangat diperhatikan bagi
konsumen, dimana nantinya manajemen harus menjamin ketersediaan bahan baku dari
supplier untuk keberlangsungan produksi perekat kayu alam ini.
Strategi ini belum menentukan lokasi pembuatan produk perekat API berbasis LKA
ini sebagai salah satu indikator, karena lokasi produksi sampai saat ini masih mencari mitra
yang sesuai dan berminat untuk mengembangkan produk ini. Banyak potensi lokasi yang
berdekatan dengan sumber bahan baku yang bisa dijadikan referensi lokasi pembuatan
produk perekat ini, seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Suharman dkk (2013)
yang menyebutkan bahwa daerah Sumatera Selatan mempunyai potensi pengembangan
industri barang jadi karet karena bahan baku yang tersedia, tenaga kerja yang cukup besar,
peluang pasar yang cukup luas dan adanya komitmen pemerintah dalam pengembangan
industri hilir karet. Keempat indikator ini sesuai dengan kebutuhan dari proses produksi
perekat berbasis LKA. Selain Sumatera Selatan, Jabodetabek dan Subang dapat menjadi
pilihan lokasi pengembangan produk ini karena dekatnya lokasi bahan baku sehingga
berpeluang untuk memotong rantai distribusi pengangkutan bahan baku ke tempat
pengolahan. Kekuatan produk dapat menjadi peluang yang baik jika dikembangkan dengan
strategi yang tepat dengan pendampingan tenaga teknis peneliti secara berkesinambungan.

Bidang P-ITSTP

609

Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2015


Pusat Inovasi - LIPI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kajian ini merupakan salah satu kajian awal untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dari produk perekat kayu berbasis LKA. Namun masih
minimnya narasumber yang menggunakan produk ini menjadi kendala tersendiri untuk tetap
memperbarui data pada kajian ini. Berdasarkan kajian ini, kelebihan dari produk perekat API
berbasis LKA memiliki peluang yang masih luas sehingga membuat produk ini dapat
diterima di pasar. Namun perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan strategi pengembangan yaitu keterbatasan daya simpan, pengemasan,
ketersediaan bahan baku dan awarness terhadap produk kompetitor. Penerapan strategi yang
tepat harus diimbangi dengan monitoring yang lebih ketat supaya produk dapat sampai ke
tangan konsumen. Selain itu pembentukan jaringan pemasaranpun yang dekat dengan pasar
penting untuk diterapkan. Hasil dari kajian ini adalah berada di kuadran progresif (I) (0,9 ,
0,7) dimana manajemen harus melakuan perbaikan secara terus menerus dan selalu
mengenalkan produk perekat kayu API berbasis LKA ini kepada masyarakat. Oleh karena itu
perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai segmentasi pasar dan daerah produksi yang sesuai
dengan produksi perekat API kayu berbasis LKA.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami berikan kepada seluruh responden penelitian yang telah
berkenan memberikan penilaian dalam kuesioner.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2015. Statistik Karet Indonesia. Jakarta.
Putong, I. 2003. Teknik Pemanfaatan Analisis SWOT Tanpa Skala Industri. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis No. 2 (8): 65-71.
Rangkuti, F. 1997. Teknik membedah kasus bisnis dengan Analisis SWOT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Silaen, S.J. 2010. Strategi Pengembangan Bisnis Karet Alam Olahan (Studi Kasus : PT ADEI
Crumb Rubber Industry, Tebing Tinggi,Sumatera Utara). Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Suharman, Sukardi, S. Honggokusumo dan A. Suryani. 2013. Analisis Potensi
Pengembangan Industri Barang Jadi Karet di Sumatera Selatan. Jurnal Riset Industri
Vol. 7 : 243-249.

Bidang P-ITSTP

610

Vous aimerez peut-être aussi