Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi
Volume 1, Nomor 1, Februari 2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
TECHNOPRENEURSHIP
DAN ALIH TEKNOLOGI
PENUMBUHKEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP
DAN ALIH TEKNOLOGI DALAM
MENINGKATKAN DAYA SAING NASIONAL
Didukung oleh :
ISSN : 2502-6607
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
TECHNOPRENEURSHIP DAN ALIH TEKNOLOGI
Pusat Inovasi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Editor :
Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr.
Dr. Laksana Tri Handoko.
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.
Dr. Sasa Sofyan Munawar, S.Hut., M.P.
Tommy Hendrix, S.T., M.Si
Maidina, S.T., M.T.
Yovita Isnasari, S.H.
V. Susirani Kusumaputri, S.P.
Pradhini Digdoyo, S.T.P.
Andi Budiansyah, S.T.
Ferianto, S.Si.
Pusat Inovasi LIPI
ISSN : 2502-6607
Volume 1, No. 1, Februari 2016
1. Technorpeneurship
Cetakan pertama
Desain sampul & Tata letak
2. Alih Teknologi
: Maret 2016
: Andi Budiansyah
Prosiding ini merupakan hasil Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi pada 12 13
November 2015, isi tulisan menjadi tanggung jawab masing-masing penulis.
Diterbitkan Oleh :
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 47, Cibinong, Bogor 16912
Jawa Barat, Indonesia
Telp. (021)-87911777
Fax. (021)-87917221
ii
SUSUNAN PANITIA
Pelindung : Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr. (Deputi Jasa Ilmiah LIPI)
Pengarah : Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng. (Kepala Pusat Inovasi LIPI)
Penanggung Jawab : Dr. Sasa Sofyan Munawar (Kepala Bidang Inatek)
Steering Committee :
Drs. Manaek Simamora, MBA.,
Drs. Mauludin Hidayat, M.Sc.,
Syafrizal Maludin, SE., M.TIM.,
Dr. Subiyatno,
Ragil Yoga Edi, SH., LLM.,
Ir. Dodong Sofyan Sachmid, MM.,
Tri Budi Setyaningsih, ST., MT.,
Organizing Committee :
1. Ketua Pelaksana : Tommy Hendrix, ST., M.Si.
2. Sekretaris : Aris Yaman, S.Stat., Ferianto, S.Si.
3. Bendahara : Yovita Isnasari, SH., Nurlisa Dwi Novianti, S. Farm., Angga Agustianto, SE.
4. Seksi Kesekretariatan : Maidina, ST. MT., Pradini Digdoyo, STP., Desi Tunjung Sari, ST., Andi
Budiansyah, ST., V. Susirani Kusumaputri, SP.
5. Seksi Program : Diah Anggraeni Jatraningrum, ST., MT. Firman Tri Ajie, ST., Adi Setiya
Dwigrahito, S.Si.,
6. Seksi Persidangan : Adi Ankafia, SE., Syukri Yusuf Nasution, ST., Priyo Yantyo, ST.
7. Seksi Konsumsi : Syifa Ratna Pujasari, S.E, Sigit Subardja, B.Sc., Rahmat Syahbana.
8. Seksi IT : Karno, S.Kom., Endah Mardiyani, S.Kom., Harini Yaniar, S.Si., M.Kom., Priyo Adi
Ramadhani, ST.
9. Seksi Perlengkapan : Andis Priswantoro, ST., Nawawie
10. Seksi Humas dan Sponsorship : Elfira Rosa Juningsih, S.Kom., Adityo Wicaksono, S.Ds., Teguh
Heri Pranowo, S.Sn.
11. Seksi Dokumentasi dan Akomodasi : Syahrizal Maulana, ST., Wahyu Dwi Cahyo Wibowo,
Asep Gumbira, A.Md.,
iii
KATA PENGANTAR
KETUA PANITIA PELAKSANA
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
kenikmatan kepada kita semua sehingga dapat berkumpul pada forum ilmiah ini yang diridhoi
Allah SWT.
Yang saya hormati
Bapak Wakil Kepala LIPI
Bapak Deputi Jasa Ilmiah LIPI
Bapak Deputi Ilmi Pengetahuan Teknik LIPI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Ristekdikti RI
Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS RI
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Bidang Perekonomian RI
Kepala Satuan Kerja di lingkungan LIPI
Hary Tanoesoedibjo, MBA. (CEO MNC Group)
Prof, Andrew Griffith, Dr. Damian Hine, (University of Queensland)
CEO BukaLapak .com
Hadirin Tamu Undangan dan peserta Seminar Nasional Tekno Altek yang berbahagia,
Para Hadirin sekalian,
Mengawali pagi yang cerah ini, kami atas nama panitia pelaksana mengucapkan selamat datang
kepada seluruh undangan, pemakalah dan peserta, di Pusat Inovasi LIPI. Seminar Nasional
Technopreneurship dan alih teknologi Tahun 2015 ini merupakan kegiatan pertama yang
diselenggarakan oleh Pusat Inovasi, yang mana didukung oleh Himpunan Peneliti Indonesia
(HIMPENINDO) dan University of Queensland dan Media Nusantara Citra, Tbk.
Melalui seminar nasional technopreneurship dan alih teknologi ini, kami menawarkan
kesempatan untuk mahasiswa, peneliti dan praktisi yang tertarik pada isu-isu yang berkaitan
dengan technopreneurship dan alih teknologi untuk berbagi temuan mereka berpikir dan
penelitian. Tema seminar dijabarkan dengan luas dengan asumsi untuk menjaring berbagai hasil
penelitian yang berkaitan dengan isu-isu kewirausahaan, sosial, kreativitas, technopreneurship,
daya saing, manajemen, pengembangan, komersialisasi, kemitraan, transfer teknologi, kebijakan,
teknologi baru. Perlu juga kami sampaikan pada akhir kegiatan seminar nasional ini juga
diharapkan dapat memberikan suatu rekomendasi dalam bentuk policy brief yang berguna bagi
pemangku kebijakan dalam menentukan arah dari pembangunan nasional yang berbasis pada
iv
pemanfaatan Iptek yang sesuai dengan tema seminar nasional kali ini adalah Penumbuh
Kembangan Teknopreneurship dan Alih Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Nasional.
Serta mampu mensinergikan para stakeholder dalam pembangunan yang berbasis hasil Penelitian
dan Pengembangan guna menghadapi Masyarakat Eknolomi Asean (MEA) 2015. Selain itu juga
dilakukan diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan dibidang teknologi, manajemen
dan sosial ekonomi. Sebanyak 50 Makalah yang masuk dan berasal dari peneliti dari unsur
lembaga litbang, universitas, mahasiswa dan industri serta pemerhati perkembangan Iptek
dengan rincian berasal dari Lembaga penelitian dan pengembangan, Perguruan tinggi, dan
Praktisi/masyarakat umum.
Dan tentunya Narasumber-narasumber yang berasal dari beberapa Kementerian, universitas dan
tokoh Entrepereuner yang telah meluangkan waktunya guna memberikan pencerahan even ini.
Pada kesempatan ini juga, atas nama Panitia kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya seminar
nasional ini.
Wabihitaufiq walhidayah wasassalamualaikum warahmatullahhi wabarakatuh.
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT INOVASI LIPI
Puji dan syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwa atas rahmat dan hidayahNya Laporan Akhir kegiatan Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun
2015 dengan tema Penumbuhkembangan Technopreneurship dan Alih teknologi dalam
Meningkatkan Daya Saing Nasional dapat diselesaikan dengan baik.
Inovasi merupakan serangkaian proses mulai dari identifikasi permasalahan dalam
kehidupan melalui penelitiandan pengembangan (litbang) hingga menyelesaikan masalah
tersebut melalui penciptaan baik itu produk ataupun layanan jasa yang memiliki nilai kebaruan
dan ekonomis sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun demikian, mekanisme
membawa hasil litbang kepada masyarakat (alih teknologi) masih belum banyak diketahui dan
dilaporkan. Oleh karena itu, penciptaan usahawan berbasis teknologi (teknopreneur) belum
banyak yang berhasil. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan beberapa strategi alih teknologi
LIPI dalam upaya menciptakan teknopreneur berbasis hasil litbang.
Akhirnya, Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun 2015 dengan tema Penumbuhkembangan
Technopreneurship dan Alih teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Nasional.
vi
vii
4.
5.
6.
7.
8.
program tersebut adalah membangun sejumlah Science and Techno Park di beberapa lokasi
di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, ini merupakan proses diseminasi dalam proses
alih teknologi yang saat ini menjadi kebutuhan secara nasional. Dimana Pusat Inovasi
ditunjuk sebagai pengelola program Science Technology Park di lingkungan LIPI.
Selain itu juga aktif dalam mewujudkan visi pembangunan nasional 2015-2019, yang
mengutamakan pembangunan berkelanjutan dengan menetapkan 9 agenda utama
pembangunan nasional tahun 2015-2019.
Salah satu bentuk implementasinya bahwa Technopreneurship dan alih teknologi telah
menjadi isu yang menarik pada dua dekade terakhir, bila dilihat dari sisi implementasinya
memiliki dampak yang nyata, yaitu sejak terjadinya pergeseran dari sistem ekonomi
tradisional menuju sistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu juga melalui seminar nasional ini, dapat dijadikan tempat pertemuan dan
pertukaran informasi antara akademisi, pemerintah dan pebisnis berkenaan dengan
perkembangan teknologi yang sedang marak berkembang sekarang.
Saya berharap dengan adanya Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi
ini, merupakan sarana percepatan dari tumbuhnya jiwa entrepreneur muda yang dapat
mengembangan usaha berbasis pada pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan serta
dapat mendorong peranan Iptek dalam peningkatan daya ekonomi daerah dan nasional.
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim, saya buka Seminar Nasional
Technopreneurship dan Alih Teknologi di Auditorium Pusat Inovasi LIPI.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Wakil Kepala LIPI
Dr. Akhmadi Abbas, M.Eng.
viii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Panitia Pelaksana
Tommy Hendrix, S.T.,M.Si................................................................................................... iii
Kata Pengantar Kepala Pusat Inovasi LIPI
Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng..................................................................................... v
Sambutan Pembukaan Wakil Kepala LIPI
Dr. Akhmadi Abbas.............................................................................................................. vi
Makalah Keynote Speaker
1. PERAN SISTEM INOVASI NASIONAL DALAM MEMPERKUAT PENCIPTAAN
DAYA SAING GLOBAL
Dirjen Penguatan Inovasi KEMENRISTEKDIKTI RI, Dr.Ir. Jumain Appe, M.Si.
xv
2. PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN NASIONAL DALAM PENCIPTAAN UKM
MANDIRI MENUJU TERCIPTANYA EKONOMI KREATIF
Asisten Deputi Pengembangan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian RI, Dr. Iwan
Faidi, AK., MSM
xxv
ix
cli
P-TPN 02
MEWUJUDKAN TEKNOPRENEURSHIP MELALUI PENERAPAN PROGRAM KAWASAN
AGRIBISNIS KRISAN BERBASIS INOVASI DI KABUPATEN SUKABUMI
Rima Setiani, Sulusi Prabawati
14
P-TPN 03
EKONOMI INOVASI PADA PERSIMPANGAN MORAL KAPITALISME DAN
SOSIALISME
Syafrizal Maludin
27
P-TPN 04
TECHNOPARTY GOES TO SCHOOL SEBAGAI SARANA PENGENALAN DAN
PENANAMAN TEKNOPRENEURSHIP SEJAK DINI
I Putu Satwika, I Putu Agus Swastika , Helmy Syakh Alam
43
P-TPN 05
KOMPETISI INOVASI PELAYANAN PUBLIK TAHUN 2014 DAN 2015
Komarudin
57
86
105
124
P-ALTEK 03
PENGEMBANGAN WILAYAH SEMBURAN LUMPUR UNTUK KUTUB PERTUMBUHAN
BISNIS DAN PEREKONOMIAN DAERAH
Djoko Sunarjanto, Jonathan S., Hadimuljono Indah Crystiana, Joko Priyanto, Gregorius S. Sule
137
P-ALTEK 04
POTENSI PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA SAWIT BERDASARKAN JUMLAH
PATEN TERDAFTAR DALAM RANGKA ALIH TEKNOLOGI
Pradhini Digdoyo, V. Susirani Kusumaputri
150
xi
P-ALTEK 05
MODEL PENDAMPINGAN INKUBATOR BISNIS YANG EFEKTIF DALAM
MENDAMPINGI TENANT INKUBATOR
Aris Yaman, Adityo Wicaksono
158
P-ALTEK 06
PEMANFAATAN KULIT PISANG AGUNG SEMERU SEBAGAI BAHAN PENGIKAT
TABLET
Lannie Hadisoewignyo, Kuncoro Foe, Rachael Amelia, Henry Kurnia Setiawan
164
P-ALTEK 07
KOLABORASI RISET INTERNASIONAL : MEMACU INOVASI DAN DAYA SAING
PRODUK BIODIVERSITI NASIONAL
Agus Santoso , Azis Taba Pabeta
181
P-ALTEK 08
ANALISA KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN INOVASI STUDI
KASUS LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Juhartono, Agus Fanar Syukri
206
P-ALTEK 09
PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN DAN MONITORING PRODUKTIVITAS
KELOMPOK PENELITIAN (STUDI KASUS: KELOMPOK PENELITIAN MANAJEMEN
MUTU PUSAT PENELITIAN X)
Sih Damayanti, Tri Widianti
221
P-ALTEK 10
STANDAR PENGUKURAN IMPLEMENTASI 5S PADA KELOMPOK PENELITIAN DI
LEMBAGA PENELITIAN XYZ
Tri Widianti
`
234
P-ALTEK 11
PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI KELOMPOK PENELITIAN X (KELTIAN X) DI
PUSAT PENELITIAN ABC
251
Tri Rakhmawati, Sih Damayanti
P-ALTEK 12
ANALISIS INDIKATOR KINERJA KELOMPOK DAN PERSONIL KELOMPOK
PENELITIAN X (KELTIAN X) DI PUSAT PENELITIAN ABC
Tri Rakhmawati, Medi Yarmen
272
xii
P-ALTEK 13
ALIH TEKNOLOGI DUNIA PADA SISTEM ROBOTIKA BIDANG PERTAHANAN
KEAMANAN NASIONAL DI PUSLIT TELIMEK LIPI
Hendri Maja Saputra, Sapdo Utomo, Rifa Rahmayanti
288
P-ALTEK 14
ANALISIS MANAJEMEN PENGETAHUAN PADA PROSES ALIH TEKNOLOGI DI
PUSAT INOVASI LIPI
Mauludin Hidayat, Joddy Arya Laksmono
301
P-ALTEK 15
KOMERSIALISASI : STRATEGI MEMBAWA INVENSI DARI LABORATORIUM
MENUJU PASAR
Ferianto, Syahrizal Maulana
320
P-ALTEK 16
PERAN JAMINAN MUTU DALAM ALIH TEKNOLOGI : KASUS PERALATAN
KESEHATAN KELISTRIKAN
Fatimah Zulfah Padmadinata, Ihsan Supono, Asep Nur Hidayat
328
P-ALTEK 17
PERSYARATAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ELEKTRONIK LEMBAGA ILMU
PENGETAHUAN INDONESIA
Jimmy Abdel Kadar, Agus Fanar Syukri, Amelia Febri Ariani, Rahmi Kartika Jati
342
P-ALTEK 18
STRATEGI PEMASARAN PADA USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM)
INDUSTRI OLAHAN HASIL LAUT
Anang Hidayat, Tommy Hendrix
355
P-ALTEK 19
ANALISIS PERFORMANCE WEBSITE PUSAT INOVASI UNTUK MENINGKATKAN
PROMOSI HASIL LITBANG LIPI
398
Harini Yaniar, Siti Kania Kushadiani,
P-ALTEK 20
PENGEMBANGAN PRODUK HASIL RISET BIDANG ENERGI TERBARUKAN MENUJU
INDUSTRI
Henny Sudibyo, Arini Wresta
415
xiii
P-ALTEK 21
ANALISIS BUSINESS MODEL CANVAS (BMC) UNTUK ALIH TEKNOLOGI : KASUS
UNTUK PENELITIAN BIDANG BOTANI LIPI
Diah Anggraeni Jatraningrum
428
P-ALTEK 22
KOMPATARIF STUDY KERJASAMA ALIH TEKNOLOGI ASING KE INDONESIA:
STUDI KASUS KERJASAMA ALIH TEKNOLOGI DI PUSAT INOVASI
Yovita Isnasari
441
P-ALTEK 23
PENINGKATAN NILAI EKONOMI SAMPAH DAUN TUMBUHAN KOLEKSI KEBUN
RAYA BOGOR SEBAGAI KOMPOS BIOPOSKA DAN PROSES ALIH TEKNOLOGINYA
451
Reza Ramdan Rivai, Yupi Isnaini, Riki Ruhimat
P-ALTEK 24
FRAMEWORK SERVICE ENGINEERING UNTUK MENINGKATKAN LAYANAN
STARTUP BIDANG E-HEALTH DI INDONESIA
Ana Heryana
466
P-ALTEK 25
POLA KOMERSIALISASI HASIL LITBANG PERGURUAN TINGGI MELALUI
INKUBATOR TEKNOLOGI
Nur Laili
474
505
P-ITSTP 03
MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK (HORTIKULTURA)
TERINTEGRASI DENGAN TECHNOTPARK MEAT BUSINESS CENTER
BANYUMULEK NTB
Wahyu Widiyono, Wahyuni, Arwan Sugiarto, Peni Lestari, Fauzia Syari, Engkom Komarudin,
Budiarjo, Sudiyono
530
P-ITSTP 04
PEMETAAN POTENSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PADA INDUSTRI KECIL DI
WILAYAH KOTA BATU-MALANG
Maftuchah, Sofyan Arief, M. Isrok, Aris Winaya
549
P-ITSTP 05
ANALISIS POTENSI BANYUWANGI SEBAGAI KAWASAN MARINE TECHNOPARK
MELALUI PENDEKATAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (PEL)
560
Anang Hidayat, Tommy Hendrix
P-ITSTP 06
KONSEP PEMBANGUNAN TECHNOPARK BANYUMULEK-NTB BERBASIS
PEMANFAATAN BIORESOURCES DAN AGROEDUWISATA SECARA
BERKELANJUTAN
Roni Ridwan, Syahrudin Said, Budi Septiani, A.W. Nasrudin, Puspita Lisdiyanti, Rusli
Fidriyanto, Baharuddin Tappa, Bambang Sunarko
587
P-ITSTP 07
ANALISIS SWOT PENGEMBANGAN PRODUK PEREKAT KAYU BERBASIS LATEKS
KARET ALAM BERKAPASITAS TERBATAS
Andi Budiansyah, Fahriya Puspita Sari, Widya Fatriasari
600
xiv
xv
xvi
xvii
xviii
xix
xx
xxi
xxii
xxiii
xxiv
xxv
xxvi
xxvii
xxviii
xxix
xxx
xxxi
xxxii
xxxiii
xxxiv
xxxv
xxxvi
xxxvii
xxxviii
xxxix
xl
xli
xlii
xliii
xliv
xlv
xlvi
xlvii
xlviii
xlix
li
lii
liii
liv
lv
lvi
lvii
lviii
lix
lx
lxi
lxii
lxiii
lxiv
lxv
lxvi
lxvii
lxviii
lxix
lxx
lxxi
lxxii
lxxiii
lxxiv
lxxv
lxxvi
lxxvii
lxxviii
lxxix
lxxx
lxxxi
lxxxii
lxxxiii
lxxxiv
lxxxv
lxxxvi
lxxxvii
lxxxviii
lxxxix
xc
xci
xcii
xciii
xciv
xcv
xcvi
xcvii
xcviii
xcix
ci
cii
ciii
civ
cv
cvi
cvii
cviii
cix
cx
cxi
cxii
cxiii
cxiv
cxv
cxvi
cxvii
cxviii
cxix
cxx
cxxi
cxxii
cxxiii
cxxiv
cxxv
cxxvi
cxxvii
cxxviii
cxxix
cxxx
cxxxi
cxxxii
cxxxiii
cxxxiv
cxxxv
cxxxvi
cxxxvii
cxxxviii
cxxxix
cxl
cxli
cxlii
cxliii
cxliv
cxlv
cxlvi
cxlvii
cxlviii
cxlix
cl
cli
14.00 - 14.30
Studi Pendahuluan
Pembuatan Adsorben
Methyl Diethanol Amina
(MDEA) Berpenyangga
Zeolit Alam Untuk
Penangkapan CO2
14.30 - 15.00
Pengembangan Wilayah
Semburan Lumpur
Untuk Kutub
Pertumbuhan Bisnis Dan
Perekonomian Daerah
15.00 - 15.15
15.15 - 15.45
Pemakalah
Instansi
Sub Tema
Pusat Litbang
Aplikasi Informatika
dan Informasi dan
Komunikasi Publik
P-TDSN
Ana Heryana
Puslit Informatika
LIPI
Moderator
P-ALTEK
Roza Adriany
P-ALTEK
Djoko Sunarjanto,
Jonathan S.
Hadimuljono, Indah
Crystiana, Joko
Priyanto, dan
Gregorius S. Sule
Puslitbang
Teknologi Migas
LEMIGAS
P-ALTEK
Ir. Dodong
Sofyan
Sachmid
MBA.
COFFEE BREAK
Model Pendampingan
Inkubator Bisnis Yang
Efektif Dalam
Mendampingi Tenant
Inkubator
P-ALTEK
Ir. Dodong
Sofyan
Sachmid
MBA.
clii
RUANG 208
No
Jadwal
13.00 - 13.30
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
14.30 - 15.00
Judul
Kajian Teknoekonomi
Manisan Buah Dalam
Kemasan Pouch
Mewujudkan
Teknopreneurship
Melalui Penerapan
Program Kawasan
Agribisnis Krisan
Berbasis Inovasi Di
Kabupaten Sukabumi
Analisis Manajemen
Pengetahuan Pada Proses
Alih Teknologi di Pusat
Inovasi LIPI
"Technoparty Goes to
School" sebagai Sarana
Pengenalan dan
Penanaman
Technopreneurship
Sejak Dini
15.00 - 15.15
15.15 - 15.45
Pengaruh Pemanasan
Terhadap Kandungan
Kimia, Fisika Dan
Mikrobiologi Manisan
Dalam Kemasan Pouch
15.45 - 16.15
Model Pengukuran
Proses Alih Teknologi
Dalam Mendukung
Penguatan Pengelolaan
Alih Teknologi Di Pusat
Inovasi LIPI
Pemakalah
Asep Nurhikmat,
Agus Susanto,
Tommy Hendrix
Instansi
UPT Balai
Pengembangan
Proses dan
Teknologi Kimia
LIPI, Pusat Inovasi
LIPI
Mauludin H dan
Joddy A
Pusinov dan
P2Kimia LIPI
STMIK Primakara
Bali
COFFEE BREAK
UPT Balai
Pengembangan
Asep Nurhikmat,
Proses dan
Agus Susanto,
Teknologi Kimia
Tommy Hendrix
LIPI, Pusat Inovasi
LIPI
Mauludin Hidayat,
Firman Tri Ajie, dan
Adityo Wicaksono
Pusat Inovasi,
Lembaga Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
Sub Tema
Moderator
P-ALTEK
P-TPN
Syafrizal
Maludin
SE., MTIM.
P-ALTEK
P-TPN
P-ALTEK
Adi Setya
DG., S.Si
P-ALTEK
cliii
RUANG 112
No
Jadwal
Judul
Instansi
Sub
Tema
13.00 - 13.30
Kesiapan Peternak
Dalam Menerima Alih
Teknologi Pada
Kawasan Agro
Technopark
Banyumulek: Analisis
Sosial-Ekonomi
Mochammad Nadjib,
Esta Lestari dan
Dhani Agung
Darmawan
Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI
P-ITSTP
13.30 - 14.00
Optimalisasi Peran
Technopark Banyumulek
Dalam Peningkatan
Pemasaran Usaha
Peternakan Rakyat
Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI
P-ITSTP
14.00 - 14.30
Model Pengembangan
Pertanian Organik
Terintegrasi Dengan
Technopark Meat
Business Center
Banyumulek - NTB
Dr. Wahyu
Widiyono, Dr.
Wahyuni, Arwan
Sugiarto, M.Si, Peni
Lestari, M.Si, Dra.
Fauzia Syarif,
Engkom Komarudin,
Budiarjo, dan
Sudiyono
Puslit Biologi-LIPI
P-ITSTP
14.30 - 15.00
Maftuchah, Sofyan
Arief, M. Isrok, dan
Aris Winaya
P-ITSTP
15.00 - 15.15
Pemakalah
15.15 - 15.45
15.45 - 16.15
Moderator
COFFEE BREAK
Pemanfaatan Kulit
Pisang Agung Semeru
Sebagai Bahan Pengikat
Tablet
Lannie
Hadisoewignyo,
Kuncoro Foe,
Rachael Amelia
Universitas Katolik
Widya Mandala
Surabaya
P-ALTEK
Harini Yaniar,
M.Kom.
P-ALTEK
cliv
RUANG 111
No
Jadwal
13.00 - 13.30
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
14.30 - 15.00
Judul
Penyusunan Sistem
Pengukuran Dan
Monitoring Produktivitas
Kelompok Penelitian
(Studi Kasus: Kelompok
Penelitian Manajemen
Mutu Pusat Penelitian X)
Analisa Kebijakan Alih
Teknologi Dalam
Peningkatan InovasiStudi Kasus Lembaga
Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Kolaborasi Riset
International: Memacu
Inovasi Dan Daya Saing
Produk Biodiversiti
Nasional
Standar Pengukuran
Implementasi 5S Pada
Kelompok Penelitian Di
Lembaga Penelitian
XYZ
15.00 - 15.15
15.15 - 15.45
15.45 - 16.15
Pemakalah
Instansi
Sub
Tema
P2SMTP LIPI
P-ALTEK
P-ALTEK
Agus Santoso
Papiptek LIPI
P-ALTEK
Tri Widianti
P2SMTP LIPI
P-ALTEK
Moderator
Dr. Anang
Hidayat
COFFEE BREAK
Analisis Indikator
Kinerja Kelompok dan
Personil Kelompok
Penelitian X (Keltim X)
di Puslit ABC
Pemanfaatan Sampah
Organik di Pusat
Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya LIPI
sebagai Produk Kompos
Bioposka dan Kegiatan
Diseminasinya
Tri Rakhmawati,
Medi Yarmen
P2SMTP LIPI
P-ALTEK
Diah Anggraeni
Jatraningrum,
ST. MT.
P-ALTEK
clv
Jadwal
10.30 - 11.00
11.00 - 11.30
Judul
Pemakalah
P2 TELIMEK
Komersialisasi: Strategi
Membawa Invensi dari
Laboratorium Menuju
Pasar
Ferianto dan
Syahrizal Maulana
11.30 - 13.30
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
Sub
Tema
Moderator
P-ALTEK
Drs. Mauludin
Hidayat M.Sc.
P-ALTEK
ISHOMA
Pola Komersialisasi
Hasil Litbang Melalui
Inkubator Teknologi:
Studi Kasus di
Perguruan Tinggi di
Indonesia
Peran Jaminan Mutu
Dalam Alih Teknologi:
Kasus Peralatan
Kesehatan Kelistrikan
14.30 - 14.45
Instansi
14.45 - 15.15
15.15 - 15. 45
Analisa Faktor
Peningkatan Lisensi
Paten Dalam Rangka
Komersialisasi Hasil
Penelitian Lembaga
Litbang
Nur Laili
Pusat Penelitian
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi LIPI
Fatimah Zulfah
Padmadinata, Ihsan
Supono, Asep
Rahmat Hidayat
Pusat Penelitian
Sistem Mutu dan
Teknologi Pengujian,
Lembaga Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
COFFEE BREAK
Centre for Science
Purnama Alamsyah,
and Technology
Anugerah Yuka
Development Studies
Asmara
Indonesian Institute
of Sciences
V. Susirani
Kusumaputri,
Maidina
P-ALTEK
Drs. Mauludin
Hidayat M.Sc.
P-ALTEK
P-TDSN
Tommy
Hendrix, ST.,
M.Si.
P-TDSN
clvi
RUANG 208
No
Jadwal
Judul
Pemakalah
10.30 - 11.00
Persyaratan Sistem
Manajemen Mutu Online
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
P2SMTP LIPI
Syafrizal Maludin
11.00 - 11.30
11.30 - 13.30
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
14.45 - 15.15
15.15 - 15. 45
15.45 - 16.15
Sub
Tema
Moderator
P-ALTEK
Drs. Manaek
Simamora
MBA
P-TPN
ISHOMA
Kompetisi Inovasi
Pelayanan Publik Tahun
2014 dan 2015
Alih Teknologi
Penelitian Berbasis
Teknologi Strategis:
Studi Kasus Industri
Magnet Permanen
14.30 - 14.45
Instansi
Pensiunan PNS
BPPT, 1 Januari 2014
Komarudin
P-TPN
P-ALTEK
Drs. Manaek
Simamora
MBA
COFFEE BREAK
Perubahan Fungsi
Pekarangan Terhadap
Sosial Ekonomi
Masyarakat Perdesaan
(Kasus KRPL di
Kabupaten Purbalingga)
Peningkatan Nilai
Ekonomi Ubi Kayu
Melalui Model Terpadu
Pertanian dan
Pengolahan Pasca Panen
Ubi Kayu
Perilaku
Technopreneurship
Petani Pelestari Dalam
Konservasi Tanaman
Buah Tropika Dan
Kerabat-Kerabatnya
Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Tengah
Wahyuni, Hartati,
N.S, Hartati, dan
Sudarmonowati, E.
Puslit Bioteknologi
LIPI
P-ALTEK
Adhitya Marendra
Kiloes
P-TPN
P-TPN
Syafrizal
Maludin, SE.,
M.TIM.
clvii
RUANG 102
No
Jadwal
10.30 - 11.00
11.00 - 11.30
Judul
Identifikasi Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan
Ancaman sebagai
Strategi pada
Pengembangan Produksi
Perekat Kayu Berbasis
Lateks
Analisis Potensi
Banyuwangi Sebagai
Kawasan Marine
Technopark Melalui
Pendekatan
Pengembangan Ekonomi
Lokal (PEL)
Pemakalah
Andi Budiansyah,
Widya Fatriasari,
Fahriya Puspita Sari
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
Anang Hidayat,
Tommy Hendrix
Moderator
P-ITSTP
P-ITSTP
ISHOMA
Inkubator Bisnis Dan
Teknologi Swasta
Sebagai Pendorong
Komersialisasi Produk
Start Up Bisnis
Peranan ScienceTechnopark (STP) dalam
Membangun
Perekonomian Nasional
Peluang dan Tantangan
Kedepan
Agus Hariyanto
LPIK ITB
Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)
LIPI
Dhani Agung
Darmawan
14.30 - 14.45
Sub
Tema
Andis
Priswantoro,
ST.
11.30 - 13.30
Instansi
P-ALTEK
Dr. Sasa Sofyan
Munawar
S.Hut.,M.P
P-ITSTP
COFFEE BREAK
14.45 - 15.15
Anang Hidayat,
Tommy Hendrix
15.15 - 15. 45
Konsep Pembangunan
Techno Park
Banyumulek-NTB
Berbasis Pemanfaatan
Bioresources Dan
Agroeduwisata Secara
Berkelanjutan
Roni Ridwan,
Syahruddin Said, Budi
Septiani, A.W.
Nasrudin, Puspita
Lisdiyanti, Rusli
Fidriyanto, Baharuddin
Tappa dan Bambang
Sunarko
Pusat Penelitian
Sumber Daya
Regional LIPI, Pusat
Inovasi LIPI
P-ALTEK
Ferianto, S.Si..
Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI
P-ITSTP
clviii
15.45 - 16.15
Manaek Simamora,
Wisnu Soenarto
P-ITSTP
RUANG 111
No
Jadwal
10.30 - 11.00
11.00 - 11.30
Judul
Analisis Performance
Website Pusat Inovasi
Untuk Meningkatkan
Promosi Hasil Litbang
LIPI
Kajian Strategi Promosi
Untuk Meningkatkan
Komersialisasi
Kekayaan Intelektual di
Lembaga Litbang
Pemakalah
13.30 - 14.00
14.00 - 14.30
14.45 - 15.15
15.15 - 15. 45
15.45 - 16.15
Moderator
P-ALTEK
P-ALTEK
ISHOMA
Pengembangan Produk
Hasil Riset Bidang
Energi Terbarukan
Menuju Industri
Potensi Pengembangan
Produk kelapa Sawit
Berdasrkan Jumlah
Patent Terdaftar Dalam
Rangka Alih Teknologi
Pusat Penelitian
Tenaga Listrik dan
MekatronikLIPI
P-ALTEK
Teguh Heri
Pranowo, S.Sn.
Pradhini Digdoyo, V.
Susirani Kusumaputri
14.30 - 14.45
Sub
Tema
11.30 - 13.30
3
Instansi
P-ALTEK
COFFEE BREAK
Analisis Business Model
Canvas (BMC) Untuk
Alih Teknologi: Kasus
Untuk Penelitian Bidang
Hayati LIPI
Tren Kerjasama Alih
Teknologi Asing Ke
Indonesia: Studi Kasus
Kerjasama Alih
Teknologi di Pusat
Inovasi
Penyusunan Standar
Kompetensi Kelompok
Penelitian X (Keltian X)
Di Pusat Penelitian ABC
Diah Anggraeni
Jatraningrum
P-ALTEK
Yovita Isnasari
P-ALTEK
P2SMTP LIPI
P-ALTEK
Drs. Mauludin
Hidayat, M.Sc.
P-TPN 01
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia,
termasuk didalamnya keanekaragaman hayati tanaman buah-buahan tropika beserta kerabatnya
yang memiliki peranan penting dalam pendapatan masyarakat, keamanan pangan, dan layanan
ekosistem. Peranan petani pelestari sangat penting dalam menjaga keanekaragaman buah-buahan
tropika beserta kerabatnya tersebut. Tidak hanya berperan dalam menjaga kelestarian dengan
tetap memelihara, beberapa petani pelestari juga ikut mengambil manfaat ekonomi dari
keanekaragaman buah-buahan tropika beserta kerabatnya tersebut. Tulisan ini dimaksudkan
untuk mengkaji perilaku technopreneurship petani pelestari dalam memelihara kelestarian
keanekaragaman buah-buahan tropika. Petani pelestari yang terpilih menggunakan metode
Community Biodiversity Management dianalisis perilakunya dalam mencari dan memanfaatkan
teknologi untuk mempertahankan keanekaragaman buah-buahan tropika yang terdapat di
komunitasnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa para petani pelestari secara aktif mencari cara
untuk mendukung pelestarian, termasuk mencari informasi teknologi yang dapat mereka
terapkan. Beberapa teknologi yang banyak dicari oleh petani pelestari adalah teknologi untuk
memperbanyak populasi dan meningkatkan nilai tambah dari tanaman buah-buahan tropika
beserta kerabatnya. Teknologi budidaya seperti teknik sambung pucuk telah mampu membuat
populasi tanaman buah-buahan di komunitasnya meningkat sekaligus mampu meningkatkan
pendapatan keluarga dengan menjual benih-benih tanaman buah tropika yang dihasilkan. Selain
itu teknologi pascapanen telah mampu menciptakan nilai tambah untuk tanaman buah tropika
Bidang P-TPN
yang awalnya tidak memiliki nilai ekonomis sehingga komunitas dapat merasakan bahwa
tanaman buah tropika yang awalnya tidak berguna dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang
ada. Dengan teknologi yang digunakan mereka dapat meningkatkan pendapatan keluarga dan
komunitasnya,
sekaligus
mempertahankan
keanekaragaman
buah-buahan
tropika
dan
kerabatnya.
Kata Kunci: buah-buahan tropika, petani pelestari, konservasi, teknologi
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
dan juga merupakan pusat dari keanekaragaman spesies tumbuhan (Rhee et al 2004). Buahbuahan tropika merupakan salah satu keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada di Indonesia,
dimana terdapat sekitar 392 jenis buah-buahan dapat ditemukan (Soedjito dan Uji dalam Uji,
2007). Dari banyak jenis buah-buahan tersebut beberapa jenis sudah didomestikasikan dan
dibudidayakan secara intensif dan komersial sedangkan sebagian lagi masih tumbuh sebagai
tanaman liar di alam. Buah-buahan yang tumbuh liar di alam tersebut juga sebagian sudah
dimanfaatkan oleh manusia untuk dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari dan bahkan untuk
sumber pendapatan dengan diambil manfaatnya dengan cara dijual. Namun begitu kepedulian
terhadap potensi buah-buahan tropika tersebut belum sepenuhnya tereksploitasi sebagai sumber
pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan sumber bagi zat esensial yang dibutuhkan oleh tubuh
seperti vitamin, mineral dan energi (Mal dan Rao, 2001).
Beberapa diantara jenis buah-buahan tropika selain dapat meningkatkan pendapatan
petani yang menggantungkan mata pencahariannya dari usahatani buah-buahan toripka tersebut
juga merupakan salah satu sumber devisa negara lewat ekspor buah-buahan tropika. Morey
(2007) mengungkapkan bahwa berdasarkan data perdagangan FAO, perdagangan buah tropika di
tingkat dunia terus mengalami peningkatan. Hal ini merupakan peluang yang dapat diambil oleh
Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman jenis buah-buahan tropika.
Keanekaragaman buah-buahan tropika mengalami ancaman dari pembangunan yang
tidak memperhatikan kepentingan alam. Mobilitas manusia dan pembangunan yang dilaksanakan
Bidang P-TPN
menyebabkan tersisihnya habitat alami dari beberapa jenis buah-buahan tropika. Pertanian yang
dijalankan secara modern dan komersial juga dapat menjadi ancaman dari keanekaragaman
buah-buahan tropika (Lenzen et al 2012). Kegiatan pertanian pada saat ini kebanyakan
dijalankan secara monokultur akibat tingginya permintaan akan produk-produk pertanian. Hal ini
dapat menyebabkan keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika akan
tergantikan oleh komoditas tunggal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan jenis
buah-buahan tropika yang bernilai ekonomis rendah atau bahkan yang tidak memiliki nilai
ekonomis akan tersingkir dan terancam punah karena tidak memiliki fungsi. Selain itu bencana
alam dan ulah manusia yang tidak bertanggung jawab juga ikut menyumbang terhadap
berkurangnya keanekaragaman sumberdaya genetik termasuk buah-buahan tropika.
Untuk tetap menjaga keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika
dapat dilakukan dengan cara konservasi ex-situ yaitu konservasi yang dilakukan diluar habitat
asli sumberdaya genetik tersebut untuk menghindari kepunahan akbiat aktivitas manusia dan
kondisi alam yang tidak memungkinkan. Namun usaha tersebut dirasakan cukup memakan
waktu dan biaya sehingga dibutuhkan banyak sumberdaya untuk menjaga keanekaragaman
sumberdaya genetik tersbut. Salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan adalah dengan
memelihara sumberdaya genetik tersebut di habitat aslinya atau dipelihara oleh komunitas
masyarakat yang ada atau dilakukan secara in-situ dan on-farm. Dengan cara seperti ini
keanekaragaman sumberdaya genetik terutama buah-buahan tropika dapat terhindar dari
ancaman-ancaman yang menghadang.
Dibalik banyaknya ancaman yang mengancam keanekaragaman sumberdaya genetik
buah-buahan tropika masi ada beberapa orang yang masih peduli terhadap keanekaragaman
sumberdaya
genetik
buah-buahan
tropika
dengan
melakukan
konservasi
terhadap
Bidang P-TPN
terhadap kelestarian alam. Mereka secara tidak langsung membantu proses konservasi secara onfarm dan in-situ untuk menjaga agar keanekaragaman buah-buahan tropika di kounitasnya tetap
terjaga.
Dalam memelihara keanekaragaman sumberdaya genetik buah-buahan tropika para
petani pelestari mencari cara bagaimana agar keanekaragaman buah-buahan tropika yang ada di
komunitasnya tetap terjaga. Salah satunya dengan aktif mencari teknologi-teknologi baru yang
dapat mereka terapkan untuk mendukung tujuan mereka memelihara keanekaragaman buahbuahan tropika. Beberapa teknologi budidaya dan pascapanen tanaman buah-buahan yang telah
tersedia di Badan Litbang Pertanian dan sumber-sumber teknologi lain berpeluang untuk dapat
dimanfaatkan oleh para petani pelestari. Tulisan ini akan mengkaji perilaku petani pelestari
dalam mencari dan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk mendukung upaya pelestarian
tanaman buah-buahan tropika di komunitasnya.
METODOLOGI
Studi ini merupakan studi yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan konservasi
tanaman buah-buahan tropika yang melibatkan komunitas masyarakat pada enam lokasi di
Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Barat. Komunitas tersebut yaitu
komunitas Tiron di Kabupaten Kediri, komunitas Bibis di Magetan, Komunitas Telaga Langsat
di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Komunitas Cerbon di Kabupaten Barito Kuala, Komunitas
Astambul dan Sungai Tabuk di Kabupaten Banjar, dan Komunitas Latang di Sijunjung. Dalam
kegiatan ini digunakan konsep Community Bodiversity Management dimana anggota komunitas
masyarakat diajak untuk memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika beserta kerabatkerabatnya baik yang sudah memiliki nilai ekonomis maupun yang belum. Fokus dari kegiatan
ini adalah pada buah mangga, jeruk, manggis, dan rambutan serta kerabat-kerabatnya. Dari
seluruh anggota komunitas masyarakat ini diidentifikasi beberpa orang petani pelestari yang
memiliki perhatian tinggi dalam mempertahankan, mengadaptasikan, dan mempromosikan
keanekaragaman buah-buahan tropika (Sthapit et al, 2013).
Bidang P-TPN
Bidang P-TPN
Sthapit, et al (2013) mengatakan bahwa ada beberapa jenis petani pelestari. Pertama
petani pelestari yang hanya memelihara keanekaragaman genetik, kedua petani pelestari yang
memelihara keanekaragaman genetik dan mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk
upaya konservasi, ketiga petani pelestari yang memelihara keanekaraagaman sumberdaya
genetik, mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk upaya konservasi, dan
mempromosikan keanekaragaman genetik, dan keempat petani pelestari yang memelihara
keanekaragaman sumberdaya genetik, mencari cara untuk menambah pengetahuannya untuk
upaya konservasi, mempromosikan keanekaragaman genetik, dan secara berkelanjutan
memelihara keanekaragaman genetik buah-buahan tropika.
Bidang P-TPN
Berdasarkan
wawancara
yang
dilakukan,
motivasi
petani
pelestari
dalam
Ekosistem
Ekonomi
Jemu
Mustari
Partiyem
Sudarman
Hobi
Budaya
Sadino
Pardi
Kusasi
Nor Irani
Mahyudin
Arbani
Mahadi
Rusmini
Hadi
Kalwiansyah
Aziz
Syukeri
Sas Junita
Jumlah
16
Bidang P-TPN
Jumlah petani
Perbanyakan tanaman
Teknologi budidaya
15
Pengendalian OPT
12
Pengolahan
Bidang P-TPN
Secara tradisional petani memperbanyak tanaman buah-buahan tropika dari biji. Namun
cara tersebut membutuhkan waktu yang lama hingga tanaman dapat berbuah. Contohnya
tanaman kasturi di Kalimantan Selatan yang merupakan tanaman buah kerabat mangga yang
baru dapat berbuah setelah 10 tahun sejak ditanam. Dengan teknologi sambung pucuk, yang
telah banyak digunakan sebelumnya pada tanaman lain, perbanyakan kasturi dapat lebih mudah
dilakukan. Dengan menggunakan sumber mata tempel dari pohon yang telah diregistrasi oleh
komunitas, petani dapat dengan mudah untuk memperbanyak benih kasturi yang bersifat unggul.
Sebabnya apabila perbanyakan dilakukan hanya dari biji kemungkinan yang terjadi selain
pertumbuhannya lama adalah adanya penyimpangan genetik yang dapat mengakibatkan
hilangnya sifat unggul yang dimiliki oleh kasturi tadi. Kusasi, petani pelestari dari Telaga
Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan telah menggunakan teknologi ini
untuk memperbanyak pohon kasturi untuk dijual. Bahkan Kusasi telah dipercaya oleh Badan
Pengawasan dan Sertifikasi Benih sebagai penangkar tanaman buah-buahan yang terpercaya.
Harga bibit kasturi yang diproduksi Kusasi juga lebih bagus karena Kusasi selalu kualitas bibit
tersebut.
Dalam memelihara keanekaragaman buah-buahan tropika tentunya dibutuhkan teknologiteknologi budidaya agar tanaman yang dipelihara dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan
hasil sesuai dengan yang diinginkan. Melalui peneliti dan penyuluh-penyuluh para petani
pelestari mencari cara agar tanaman yang dipelihara dapat tumbuh dengan baik. Di komunitas
Latang, Sijunjung, Sumatera Barat teknologi pemupukan dan pengairan dapat meningkatkan
kualitas dari manggis sehingga terhindar dari getah kuning dan burik sehingga layak untuk
dijadikan komoditas ekpor. Teknologi tersebut mereka terapkan juga pada tanaman kerabat
manggis seperti asam kandis dan asam gelugur agar pertumbuhan serta hasilnya bagus.
Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
kegagalan budidaya tanaman termasuk dalam upaya memelihara keanekaragaman sumberdaya
genetik buah-buahan tropika. Petani pelestari jeruk di Bibis, Magetan, Jawa Timur menerapkan
Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat untuk memelihara jeruk yang ditanam.
Beberapa modifikasi dilakukan oleh petani karena berbeda varietas akan menerima respon yang
berbeda terhadap teknologi tersebut.
Bidang P-TPN
Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa jenis buah-buahan tropika memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Bahkan petani di Bibis Magetan yang awalnya bertani padi rela
mengganti tanamannya dengan jeruk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun
permasalahan akan timbul ketika ada kerabat buah-buahan tropika yang tidak memiliki nilai
ekonomis karena mungkin rasanya yang tidak enak. Beberapa petani pelestari mencoba untuk
mencari cara agar buah-buahan yang tidak bernilai ekonomis tersebut dapat memiliki nilai
ekonomis tinggi dengan cara mencari teknologi pengolahan. Begitu pula pada saat produksi
buah-buahan melimpah. Nor Irani petani pelestari dari Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Kalimantan Selatan mengolah mangga kuini dan mangga kasturi menjadi berbagai
produk olahan seperti sirup, permen, selai, dan minuman. Sas Junita petani pelestari dari Latang,
Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat bahkan tidak langsung menggunakan buah sebagai bahan
olahan. Sas menggunakan daun dari tanaman asam gelugur yaitu salah satu kerabat manggis
untuk dibuat teh celup yang berkhasiat untuk melangsingkan perut.
Balai-Balai Penelitian Buah di Indonesia telah mengeluarkan beberapa varietas unggul
baru. Beberapa dari varietas tersebut cocok untuk diadaptasikan di lingkungan komunitas
tersebut berada. Penanaman varietas unggul baru yang komersial tentunya akan menambah
pendapatan petani pelestari. Rusmini petani jeruk di Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,
Kalimantan Selatan menanam jeruk varietas baru yang cocok ditanam di lahannya. Namun
karena Rusmini juga memiliki kesadaran akan pentingnya keanekaragaman maka jenis-jenis
jeruk lain yang sebelumnya dia tanam tetap dipelihara.
Jenis-jenis teknologi yang diterapkan petani bersumber dari beberapa sumber. Tidak
hanya dari balai-balai penelitian atau penyuluhan tapi juga dari pihak swasta dan Lembaga
Swadaya Masyarakat. Jemu, petani pelestari di Tiron, Kediri, Jawa Timur memperoleh teknologi
pengolahan mangga menjadi mangga kering dari Lembaga Swadaya Masyarakat internasional
Resouce Exchange International (REI). LSM tersebut mengajarkan kepada Jemu dan
komunitasnya untuk mengolah mangga podang yang harganya jatuh ketika panen raya menajadi
mangga kering yang merupakan komoditas ekspor. Hasilnya, Jemu dan komunitasnya dalam
beberapa kali setahun dapat mengekspor mangga kering hingga ke Amerika Serikat.
Bidang P-TPN
10
Jumlah
Balai penyuluhan
15
Swasta
LSM
Dukungan Kebijakan
Dalam memelihara keanekaragaman suberdaya genetik buah-buahan tropika diperlukan
sentuhan teknologi terutama teknologi yang dapat memelihara sekaligus mendatangkan
keuntungan untuk peningkatan pendapatan petani dan komunitasnya. Beberapa dukungan
kebijakan yang daat diambil adalah dengan mempertemukan petani pelestari dnegan berbagai
pemangku kepentingan agar wawasan mereka lebih luas. Petani pelestari dari Latang, Sijunjung,
Sumatera Barat telah difasilitasi untuk melakukan studi banding ke Malaysia tepatnya di Negara
Bagian Perak. Disana para petani pelestari belajar teknologi pengolahan tanaman asam gelugur
agar menjadi komoditas yang bernilai ekonomis tinggi.
Selain itu perlu dibangun jaringan petani pelestari nasional sebagai sarana untuk tukar
menukar teknologi dan material-material genetik untuk memperkaya keanekaragaman genetik
yang ada di komunitasnya.
Bidang P-TPN
11
DAFTAR PUSTAKA
Uji, T. 2007. Keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia dan Potensinya. J. Biodiversitas 8(2):
157-167
Rhee, S., Kitchener, D., Brown, T., Merril, R., Dilts, R., and Tighe, S., 2004. Report on Biodiversity and
Tropical Forest in Indonesia. Submitted in Accordance with Foreign Assistance Act Section
118/119. USAID.
Bhag Mal and V. Ramanatha Rao. 2001. Conservation and Use of Native Tropical Fruit Species
Biodiversity in Asia. Conservation and Use of Native Tropical Fruit Species Biodiversity in Asia,
Proceeding of the First Annual Meeting of Tropical Fruit Genetic Resources Project, Pattaya,
Thailand 6-9 February 2001. IPGRI South Asia Office, New Delhi, India
Lenzen, M, Moran, D, Kanemoto, K, Foran, B, Lobefaro, L, and Geschke, A. 2012. International Trade
Drives Biodiversity Threats in Developing Nations. Nature, Vol. 486: 109-112.
Sthapit, B., Lamers, H., Rao, R. 2013. Custodian Farmers of Agricultural Biodiversity: Putting on-farm
Conservation Theory into Practice-What We Can Learn from Them. Proceedings of the
Workshop on Custodian Farmers of Agricultural Biodiversity, 11-12 February 2013, Bioversity
International South Asia Office, New Delhi, India.
Bidang P-TPN
12
Kiloes, AM., Winarno, Arsanti, IW, Kurniasih, D., Nurmalinda, Yufdy, MP (editor). 2013. Community
Fruit Catalogue: Mango and Citrus in East Java and South Kalimantan. Office of National Project
Management Unit of GEF/UNEP Project Conservation and Sustainable Use of Wild and
Cultivated Tropical Fruit Diversity: Promoting Sustainable Livelihoods, Food Security, and
Eccosystem Services, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta
Bidang P-TPN
13
14
P-TPN 02
ABSTRAK
Sukabumi merupakan salah satu daerah penghasil krisan yang telah mensuplai kebutuhan
Krisan di Indonesia antara lain Bali, Jawa Timur, Tomohon, dan Medan. Menurut Pusdatin,
Kementan, pada tahun 2009-2013 terdapat tiga provinsi sentra produksi krisan yang mempunyai
kontribusi kumulatif hingga mencapai 96,75% yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar yaitu 48,39% terhadap total produksi krisan
Indonesia atau sebesar 133.915.172 tangkai. Namun, sejak tahun 2013 petani krisan mulai
mengeluhkan permintaan krisan yang cenderung menurun sehingga pendapatan petani rendah.
Hal ini ditengarai karena kualitas krisan dari Sukabumi belum dapat bersaing dengan daerah lain
ditambah lagi beberapa daerah sudah dapat mengembangkan krisan sendiri.
Badan
Litbang
Pertanian
mempunyai
kegiatan
dukungan
terhadap
Program
Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura (PKAH), yang merupakan salah satu program
strategis Kementerian Pertanian yang diharapkan mampu meningkatkan produksi, kualitas hasil,
dan produktivitas hortikultura secara nasional, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan, kesempatan berusaha, kesejahteraan, dan kebersamaan
komunitas di sekitar kawasan. Program tersebut akan berhasil apabila didukung oleh komitmen
semua pihak terkait dari hulu sampai hilir (Tim DPKAH, 2012).
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendiskripsikan kegiatan PKAH dalam rangka
mewujudkan teknopreneurship krisan di desa Langensari, kecamatan Sukaraja, Kabupaten
Bidang P-TPN
Sukabumi. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan petani, focus group discussion
untuk mengidentifikasi permasalahan petani krisan di lapang, dan promosi dengan kegiatan
pengukuhan kawasan agribisnis florikultura. Hasilnya adalah beberapa tahapan kegiatan dalam
rangka mewujudkan teknopreneurship yaitu melalui koordinasi, pelatihan, demplot teknologi,
pendampingan, promosi dan pengukuhan kawasan agribisnis florikultura.
PENDAHULUAN
Daya saing produk florikultura Indonesia tergolong rendah dibanding produk serupa dari
negara lain, hal ini disebabkan oleh karena varietas yang digunakan tidak sesuai dengan
preferensi pasar, tidak adanya jaminan mutu, belum adanya kontinuitas dan ketepatan waktu
pengiriman produk, harga produk yang tinggi, biaya transportasi yang tinggi dan intensitas
promosi yang rendah (Balithi, 2015).
Permintaan pasar domestik akan produk florikultura dalam periode lima tahun terakhir
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Penyediaan produk florikultura dari dalam
negeri diharapkan lebih kompetetitif mengingat biaya transportasi lebih rendah dibanding produk
impor.
Oleh karena itu perlu memperkuat basis produksi dalam rangka menstabilkan
ketersediaan produk tanaman hias di pasar dalam negeri. Salah satu florikultura yang sudah
berkembang di Indonesia adalah Krisan (Balithi, 2015). Pemintaan Krisan di Indonesia cukup
besar, sebagian besar konsumen krisan yaitu florist, decorator, even organizer yang
memanfaatkan krisan untuk digunakan sebagai dekorasi, untuk upacara keagamaan, bahkan
akhir-akhir ini terdapat produk teh bunga krisan.
Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pada tahun
2009-2013 terdapat tiga provinsi sentra produksi krisan yang mempunyai kontribusi kumulatif
hingga mencapai 96,75% yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat
memberikan kontribusi terbesar yaitu 48,39% terhadap total produksi krisan Indonesia atau
sebesar 133.915.172 tangkai. Jawa Tengah sebesar 84.514.458 tangkai (30,54%), Jawa Timur
Bidang P-TPN
15
sebesar 49.331.849 tangkai (17,82%). Sementara provinsi lainnya hanya memberikan kontribusi
sebesar 3,25% atau setara 9.000.171 tangkai krisan. Jawa Barat sebagai provinsi terbesar sentra
produksi krisan nasional memiliki sembilan kabupaten penghasil krisan. Namun berdasarkan
data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat tahun 2013,
hanya tiga kabupaten yang memberikan total kontribusi hingga 99,11% yaitu Kabupaten Cianjur
(53,67%), Kabupaten Bandung Barat (24,75%), dan Kabupaten Sukabumi (20,69%). Sementara
kabupaten lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar 0,89% atau setara dengan 716.436
tangkai dari total produksi krisan di Provinsi Jawa Barat sebesar 197.826.269 tangkai (Pusdatin
Kementan, 2014). Selain krisan, kabupaten Sukabumi juga menjadi produsen dracaena, bunga
sedapmalam, anthurium, anyelir, dan gladiol, seperti disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Data Tanaman Hias Unggulan Daerah di Jawa Barat
No
Komoditas
Kabupaten/Kota
Anggrek
Krisan
Sedap Malam
Mawar
Gerbera
Melati
Anthurium
Anyelir
Gladiol
10
Heliconia
11
Dracaena
Bidang P-TPN
16
12
Palem
Bidang P-TPN
17
langsung kepada masyarakat. Seorang technoprenuer melakukan komersialisasi yang baik dari
hasil penelitian dan penerapan teknologi dengan mengubah rongsokan menjadi emas. Produk
temuan dapat membangun kesejahteraan bagi penemu, pengelola bisnis dan penggunanya
(Ciputra, 2008). Teknopreneurship merupakan bagian dari entrepreneurship yang menekankan
pada faktor teknologi, yakni kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses
bisnisnya. Teknopreneurship memiliki dua fungsi utama yakni menjamin bahwa teknologi
berfungsi sesuai kebutuhan pelanggan, dan teknologi tersebut dapat menghasilkan keuntungan
(Soegoto, 2009).
METODOLOGI
Kegiatan ini adalah bagian dari kegiatan Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura Berbasis Inovasi (DPKAH BI) yang ada di Puslitbang Hortikultura, yang sudah
mulai dilaksanakan pada tahun 2010 sampai dengan sekarang.
Lokasi kegiatan adalah di desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.
Pemilihan lokasi adalah berdasarkan beberapa alasan yaitu antara lain dengan ketinggian + 700
mdpl sesuai untuk pertumbuhan krisan serta ada beberapa areal produksi yang terkonsentrasi di
wilayah tersebut. Lokasi kawasan sesuai dengan tata ruang dan selaras dengan kebijakan
nasional dan kebijakan daerah.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan petani, focus group discussion
dengan Ditjen Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, petani, penyuluh dan Dinas Pertanian
kabupaten Sukabumi, serta pengumpulan data sekunder.
Bidang P-TPN
18
Bidang P-TPN
19
tidak dapat bersaing dengan daerah lain. Permasalahan lain adalah sumber permodalan petani
terbatas serta suplai bunga dari daerah lain relatif tinggi sehingga harga krisan dari kabupaten
Sukabumi rendah akibatnya keuntungan petani tidak maksimal. Hal tersebut diperkuat dengan
informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi yang menyatakan bahwa potensi tanaman
hias yang dimiliki Jawa Barat belum maksimal dimanfaatkan oleh para petani, karena kurangnya
informasi dan pengetahuan serta masih adanya anggapan komoditas ini merupakan usaha
sampingan sehingga belum diusahakan secara optimal. Dalam FGD teridentifikasi bahwa petani
mengeluhkan pada tahun 2013 permintaan Krisan dari beberapa daerah dari luar Jawa Barat
turun, ditengarai karena kualitas krisan dari Sukabumi belum dapat bersaing dengan daerah lain
serta daerah lain sudah dapat mengembangkan Krisan sendiri. Harga Krisan di Sukabumi dari
tahun 2003 2013 tidak berubah yaitu kisaran Rp. 7500 Rp. 8000 per ikat, berbeda dengan
Krisan dari Jawa barat lainnya yang mencapai Rp.10.000 - 15.000 per ikat, sehingga petani mulai
berpikir untuk meninggalkan budidaya Krisan dan beralih ke komoditas lain.
Permasalahan yang komplek tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri oleh petani, namun
perlu dukungan dari banyak pihak. Keterlibatan banyak pihak akan memberikan kontribusi dan
hasil yang lebih cepat dan nyata. Untuk itu dilakukan koordinasi, dengan koordinator Dinas
Pertanian Kabupaten Sukabumi bersama Tim Badan Litbang Pertanian, Direktorat Jenderal
Hortikultura serta para petani Krisan, dalam rangka menyatukan misi meningkatkan
pengembangan agribisnis Krisan di Sukabumi serta menyamakan persepsi antar pihak terkait
dukungan terhadap pengembangan kawasan florikultura. Dalam pertemuan, Badan Litbang
Pertanian menyampaikan konsep rancang bangun Dukungan Inovasi Teknologi Dalam Program
Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura yang sudah berhasil diterapkan di beberapa
daerah. Inti dari rancang bangun adalah fokus komoditas, keterpaduan kegiatan, keterpaduan
lokasi kegiatan, serta keterpaduaan pembiayaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
swasta
Bidang P-TPN
20
model rancang bangun pengembangan Krisan di Sukabumi dengan keterlibatan Dinas Pertanian
Kabupaten Sukabumi, Badan Litbang Pertanian dan Dirjen Hortikultura. Badan Litbangtan
menyiapkan konsep rancang bangun, nara sumber dan teknologi, membuat demplot, Ditjen
Hortikultura mengalokasikan green house di lokasi model serta Distan Kabupaten Sukabumi
menyiapkan petani serta sarana prasarana yang dibutuhkan.
Gambar 1
Peningkatan kualitas dan mutu krisan menjadi sasaran utama untuk diperbaiki terlebih
dahulu melalui penerapan teknologi Balitbangtan, setelah itu untuk dapat bersaing dengan daerah
lain perlu sentuhan usaha industrial yang dikaitkan dengan program dan kegiatan dari berbagai
instansi dan lembaga pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk mewujudkan kesatuan kerja yang
sinergis dan harmonis maka diperlukan koordinasi secara intensif semua instansi yang terlibat
(Balithi, 2012).
b.
Demplot Teknologi
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan demplot perbenihan krisan sebagai media
diseminasi inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian. Krisan yang dibudidayakan pada awalnya
adalah varietas krisan introduksi. Oleh karena Balithi sudah menghasilkan banyak varietas
krisan, maka pada tahun 2014 bersama dengan BPTP Jawa Barat, Kelompok Tani Asri dan
Bidang P-TPN
21
Kelompok tani Tunas Bunga dan Diperta Sukabumi mengadakan demplot perbenihan krisan dan
display varietas krisan yang sudah dihasilkan oleh Balithi.
Demplot perbenihan yang dilakukan berada di Kelompok tani Asri di Sukaraja, Sukabumi
dengan diketuai oleh Bapak Yandi. Varietas yang di tanam sebagai tanaman induk dalam
demplot tersebut adalah krisan varietas Puspita Nusantara, Puspita Pelangi, Kusuma Swasti,
Marimar dan Yulimar. Kelima varietas tersebut merupakan varietas yang menurut informasi dari
petani merupakan varietas yang diterima oleh konsumen. Demplot yang dilakukan bertujuan
untuk mempercepat penyediaan benih krisan yang mengacu pada SOP produksi benih dan
peredaran benih krisan (Balithi, 2014).
Bidang P-TPN
22
upaya untuk meningkatkan adopsi teknologi baik teknologi varietas dan teknologi budidaya yang
sudah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.
Pada tahun 2015 dikenalkan
memandirikan petani dan menuju budidaya ramah lingkungan yaitu dengan plant growth
promoting rizhobacteria atau PGPR, formulasi yang terdiri dari isolat bakteri tanah yang saat
diaplikasikan pada tanaman mampu menjadi pupuk sekaligus pestisida. PGPR ini mampu
menghasilkan unsur hara dan zat pengatur tumbuh. Rancangan produksinya sudah dibuat
sederhana, mudah dan murah, oleh tim penelitinya sehingga Gapoktan dapat membuat
pupuk/pestisida berbasis PGPR sendiri. Ir. Hanudin, Ketua Tim Peneliti menunjukkan hasil uji
coba pada krisan di green house, hanya butuh 5 liter racikan PGPR untuk tiap hektar, dan tidak
perlu pupuk dan pestisida lagi. Jika dihitung hanya perlu biaya Rp. 175.000,- dapat dibandingkan
jika menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Ke depan, teknologi ini diharapkan dapat
diterapkan dan dikembangkan oleh petani krisan.
Demplot perbenihan krisan adalah sarana penumbuhan dan pembinaan petani untuk
menerapkan budidaya krisan, selain dengan mengenalkan teknologi dasar baik benih, budidaya,
prototype alat dan pasca panen secara komersial juga memfasilitasi peningkatan kemampuan
masyarakat untuk berusaha budidaya krisan berskala agribisnis (Balithi, 2015).
c.
Hortikultura memberikan anggaran melalui Dinas pertanian Provinsi dan Dinas Pertanian
Kabupaten untuk lahan krisan seluas 5000 m2, memberikan bantuan teknis dan sarana prasarana
antara lain dengan memberikan benih gladiol dan sedap malam, pupuk dan insektisida,
pembangunan green house serta fasilitasi petani dan penyuluh untuk belajar di Balithi dan studi
banding di lokasi lain yang juga dikawal dengan teknologi Balithi. Dinas Pertanian Kabupaten
mengerahkan penyuluh sebagai pendamping di lokasi pengembangan, serta melakukan sekolah
lapang untuk budidaya dan penanganan pasca panen yang baik. BPSB mengawal proses
perbenihan untuk dapat menjadi benih bersertifikat. Kerjasama dalam jejaring kerja menjadi
kunci keberhasilan dari tujuan pengembangan kawasan agribisnis krisan.
Bidang P-TPN
23
Beberapa indikator keberhasilan adalah bahwa saat ini, sudah berkembang budidaya
krisan dengan penerapan teknologi Balitbangtan. Manfaat yang diperoleh petani cukup banyak,
diantaranya peningkatan produktivitas dan mutu hasil, perluasan peluang usaha, peningkatan
pendapatan, dan peluang kerja. Dengan peningkatan produktivitas, mutu dan nilai tambah, maka
produk krisan di desa Langensari dapat bersaing di pasar dalam negeri. Bukti dari keseriusan
petani dalam pengembangan agribisnis krisan adalah terbentuknya gapoktan Sari Tani Jaya
dengan ketua Bapak Yandi, gapoktan tersebut merupakan gabungan dari poktan-poktan krisan
yang berada di Kecamatan Sukaraja Sukabumi. Gapoktan Sari Tani Jaya memperluas ruang
tanam untuk perbenihan dan produksi bunga potong dan membangun rumah lindung yang
dijadikan tempat display varietas-varietas krisan yang dihasilkan oleh Badan Litbangtan. Dengan
terbentuknya Gapoktan, maka penjualan krisan dikoordinir oleh Gapoktan.
Pasar mulai berdatangan di desa Langensari, dan siap memasarkan di antaranya adalah
dari stasiun agribisnis dari Bungbulang, asosiasi florikultura, florist, event organizer dan
decorator yang sudah memasarkan produk krisan dari kampung Pasir Halang. Para pelaku usaha
agribisnis tanaman hias diharapkan dapat lebih berperan dalam berbagai skala usaha baik skala
usaha kecil, menengah, ataupun skala usaha besar.
Dukungan Inovasi pada Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Krisan di Sukabumi
sampai dengan tahun 2015 menghasilkan petani yang sudah mampu mandiri. Model DPKAF di
Sukabumi akhirnya dikukuhkan, dalam arti sebagai semangat dalam menyatukan suara bahwa
kabupaten Sukabumi sebagai kawasan agribisnis untuk memantapkan sukabumi sebagai
produsen utama bunga. Pengukuhan dilaksanakan tanggal 9 September 2015 di Kampung
Bidang P-TPN
24
Bidang P-TPN
25
DAFTAR PUSTAKA
Pusdatin, 2014. Outlook Komoditi Krisan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretaris Jenderal
Kementerian Pertanian
Ciputra, 2008. Quantum Leap Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda,
PT. Elex Media Komputindo
Soegoto, Entrepreneurship menjadi Pebisnis Ulung, 2009, Kompas Gramedia
Puslitbang Hortikultura, 2012. Panduan Umum Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2012. Rancang Bangun Dukungan Inovasi Dalam Pengembangan
Kawasan Agribisnis Krisan Di Bedugul-Bali
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2014. Laporan Kegiatan Diseminasi. Balai Penelitian Tanaman Hias
Balai Penelitian Tanaman Hias, 2015. Presentasi Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias disampaikan
pada Workshop DPKAH.
www.Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat
Bidang P-TPN
26
P-TPN 03
ABSTRAK
Dinamika pemahaman terhadap konsep inovasi teknologi berkembang sejalan dengan
perkembangan konsep ilmu pengetahuan, sedemikian sehingga, pemahaman tersebut berpihak
pada banyak pendekatan. Konsep yang digunakan dalam tulisan ini berdasar pada moral dan
etika sebagai platform dengan dinamika paradigma dan aplikasi inovasi teknologi.
Perkembangan pemahaman menjadikan pemahaman inovasi teknologi bergeser dari bangunan
pasar kapitalisme (market capitalism) ke bangunan yang ekonomi sosialisme dengan inovasi
sosial.
Berdasar pada pergeseran pemahaman konsep dalam penyusunan dan penguatan fondasi
inovasi teknologi berperan strategis terkait dengan berkembangnya ragam invensi dan
perkembangan struktur pasar sehingga bisa dihindari perubahan dan penyusunan platform yang
disebabkan oleh perubahan arah pembangunan.
Pertumbuhan yang berpengaruh pada struktur dan proses dari ekonomi evolusionari ini
berpengaruh pada aturan yang bergerak di dalam sistem. Alur logis ini merupakan salah satu cara
pandang terhadap perkembangan inovasi teknologi (innovation creates its own arteries).
Untuk tujuan tersebut, eksplorasi dan review dilakukan pada literature akademik relevan.
Kajian literature dilakukan melalui sudut aplikatif berupa model pada pengembangan ekonomi
berbasis inovasi teknologi yang diperkuat filosofi ekonomi evolusionari yang banyak
mengandung buah pikir dari Joseph Schumpeter (seminal analysis).
Bidang P-TPN
27
Kata kunci: inovasi, teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi inovasi, market capitalism, inovasi
teknologi
PENDAHULUAN
Inovasi teknologi bisa dipandang dari banyak sisi (Dodgson, 2012) bisa dilihat dari
proses pengembangan teknologi yang incremental atau frontal, dari lensa analisis atau bisa juga
dari komponen sistem yang berada didalamnya. Dengan keluasan pemahaman ini, maka hampir
serupa dengan kasus pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang bisa diartikan dari banyak
sisi, sehingga menjadi kabur (buzz word). Etika ketahuan dalam ilmu serta inovasi dalam
teknologi juga bisa berbaur. Studi inovasi bisa didekati dan dijelaskan dengan ilmu ekonomi,
ilmu politik, sosiologi, geografi, kajian organisasi, psikologi sampai pada strategi bisnis,
sehingga pemahaman bisa beragam dan dipengaruhi dari basis ilmu yang digunakan.
William Baumol berpendapat bahwa hampir semua teori pertumbuhan ekonomi yang
berkembang sejak abad 18 berpengaruh signifikan terhadap inovasi yang diawali dengan
pengakuan terhadap pentingya hubungan antara organisasi, teknologi dan produktivitas yang
terdapat dalam pandangan Wealth of Nations oleh Adam Smith (1767). Lebih jauh Nelson
(1989) berpendapat jika dari Smithian ke Keynesian banyak berkontribusi pada inovasi sebagai
mesin pertumbuhan ekonomi, maka yang perlu dipahami adalah mesin yang mana dan
bagaimana bekerjanya.
Berbagai pandangan dan perdebatan dari para ahli dan pelaku inovasi memperlihatkan
pentingnya berkontribusi pengembangan etika inovasi yang menjadi beragam. Tulisan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman inovasi dengan menggunakan historikal literatur dari
dua pemahaman ekonomi yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis, yang merupakan bentuk
yang untuk melihat posisi inovasi teknologi dalam konstelasi ilmu ekonomi yang menjadi acuan
dalam pemahaman praktek inovasi teknologi dan posisi institusi dalam mencapai tujuannya
melalui perubahan teknologi yang dibuat dalam bentuk padat.
Bidang P-TPN
28
METODOLOGI
Kajian menggunakan telaahan literature yang terkait dengan Pengetahuan, Moral, dan
Etika pada Ekonomi Kapitalisme dan Ekonomi Sosialisme. Perbandingan kedua sistem dan
metode didasarkan pada filosofi pengetahuan yang menjadi dasar dalam implementasi dan
pengembangan sistem. Analisis terhadap kedua konsep ekonomi akan memperjelas posisi
pandangan ekonomi inovasi dalam konstelasi ilmu ekonomi.
Terdapat sejumlah referensi yang digunakan dalam tulisan yang tidak disitir secara
langsung dalam tulisan namun berkaitan dengan tema pada tulisan dan terdapat pada daftar
referensi.
Inovasi Teknologi
Tekstil
Rel kereta
Titik Berat
Produksi, Konsumsi, Modal
dan Tenaga Kerja
Pengembang Teori
Adam Smith (1723 1790),
David Ricardo (1772 - 1823
Karl Marx (1818 1883)
Bidang P-TPN
29
30
1939 1987
Basis Keuangan
Mobil
Stimulasi keuangan
Teknologi dan
Kewirausahaan
Kereta uap
Minyak
3
1994 sekarang
basis
pengetahuan,
teknologi,
kewirausahaan
Perangkat teknologi
Informasi dan
Komunikasi,
kesehatan
Untuk memberikan gambaran singkat terhadap ekonomi inovasi dalam irisan kapitalisme
dan sosialisme maka pembahasan dibagi dalam 4 bagian yaitu diawali dari pandangan kapitalis
(Smithian), pandangan sosialis (Marxian) dan pandangan evolusionari (Schumpeterian). Pada
akhir pembahasan terdapat atribut inovasi yang berakar dari pandangan evolusionari yang
relevan.
SMITHIAN
Sistem Kapitalis merupakan respon atas perdebatan klasik antara kaum merkantilisme
dan kaum fisiokrat tentang upaya meningkatkan kekayaan negara. Menurut kaum merkantilisme,
kekayaan negara akan meningkat jika negara menjual (ekspor) lebih banyak dari pada membeli
(impor), serta sebanyak-banyaknya mendatangkan logam mulia ke dalam negeri. Disisi lain,
kaum fisiokrat berpendapat bahwa kekayaan negara bisa meningkat jika negara mengembangkan
basis perekonomiannya pada pertanian.
Ekonomi yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah ilmu dalam mengelola rumah
tangga dengan sumberdaya yang terbatas diantara kebutuhan yang meningkat secara gradual
mengikuti deret ukur. Berbagai mazhab dan aliran ekonomi memperkaya khazanah ilmu
ekonomi dan memberikan pilihan bagi ilmuwan dan pelaku ekonomi dalam memandang dan
mengukur kinerja perusahaan dalam lingkup mikro atau suatu wilayah dalam bentuk makro.
Pada masa sebelum tahun 2000an pemahaman ekonomi dari John Maynard Keynes memperkuat
Bidang P-TPN
Invisible Hands yang ditawarkan oleh Adam Smith. Mankiw (2013) dalam sebuah studi
kasusnya menekankan pentingnya peran inovasi teknologi sebagai mesin dalam pertumbuhan
ekonomi seperti yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter dan bukan Smith atau Keynes.
Smithian milihat pasar bebas sebagai sistem sisial masyarakat modern yang menjamin
terealisasinya kebebasan kodrati dan keadilan.
Dengan alur pikir yang bertumpu pada kapital, maka Schumpeterian merupakan bagian
dari Smithian. Disisi lain, sosialisme lebih menekankan pada sosial-kapital dan berseberangan
dengan Schumpeterian. Namun pada perkembangannya inovasi tidak selalu menghasilkan
produk pada pasar monopoli dengan patent sebagai pelengkap utama bagi invensi yang siap
masuk pada pasar. Namun bisa juga memanfaatkan patent yang sudah tidak dilindungi dan bebas
(freedom to operate) atau ada juga aplikasi penelitian yang akan lebih memberi manfaat bagi
masyarakat luas.
Pandangan sosialis membagi golongan pengusaha dan pemilik modal dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Kaum proletar dianggap sebagai kelompok penderita dalam ketimpangan
distribusi kesejahteraan. Penindasan pada pekerja meluas pada pemanfaatan anak kecil dan kaum
perempuan dalam indsutri. Pergerakan ini mengarah pada Revolusi Industri dan Perang Dunia I.
Revolusi industri menyebabkan peningkatan kapasitas produksi dan kualitas pada industri
tekstil dan logam. Peningkatan terhadap kebutuhan pekerja disebabkan juga oleh adanya
spesialisasi proses produksi (division of labor) dan Perang Dunia I yang menyerap laki-laki
produktif untuk bertempur di medan perang. Kekurangan tenaga kerja ini dipenuhi oleh tenaga
kerja perempuan dan anak-anak serta golongan budak yang masih memungkinkan pada masa ini.
Pelanggaran hak asasi perempuan dan anak-anak banyak terjadi pada masa ini. Perusahaan
mempekerjakan dengan waktu yang tidak dibatasi dan kesejahteraan serta kesehatan yang tidak
terjamin.
Disisi lain, kapitalis memandang pentingnya kebebasan dalam melakukan aktivitas
perekonomian dengan mekanisme Tangan Tuhan ini. Dimana harga ditentukan oleh kapasitas
permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa dengan pengaturan Pemerintah yang sangat
terbatas. Regulator tidak memiliki akses dalam mengatur perekonomian dan perniagaan
mencapai keseimbangan dengan titik kesetimbangan.
Bidang P-TPN
31
Pemahaman tersebut memiliki pandangan dan bukti yang kuat baik dari sisi etika maupun
filosofi. Dalam pendekatan Borgeus Virtue diperlihatkan akar kedua paham yang bergerak dari
arah yang berlawanan dan dikenal dengan Seven Virtues (Tujuh Kebajikan) seperti pada
gambar berikut:
Bidang P-TPN
32
ketahanan, ketabahan; (7) Prudence terdiri dari unsur know-how, peramalan phronsis
(kebijaksanaan). Lebih jauh, McCloskey menggambarkan Adam Smith sebagai tokoh dalam
ekonomi kapitalis yang berhasil mendefinisikan kategori ketiga dari dua yang sudah
didefinisikan sebelumnya yaitu natural (physei) dan artificial (thesei) oleh Hume dan Hayek.
Kategori ketiga adalah interaksi sosial seperti yang dijelaskannya dalam The Theory of Moral
Sentiments yang sejalan dengan lima kebajikan yaitu Prudence, Justice, Love, Courage dan
Temperance. Pada pendekatan ini tidak diberikan ruang untuk faith dan hope. Disisi yang
berlawanan karl Marx menekankan penggolongan kelas dan searah dengan area Feminin pada
gambar. Schumpeterian seolah-olah menggambarkan modern dictatorial pada model Smithian
atau sebaliknya sebuah gambaran kapitalis terstruktur pada kapitalis.
MARXIAN
Masih dari gambar 1, representasi moral kapitalisme melingkupi nuansa kebebesan akan
bergerak dari area warm terdiri dari unsur Love dan Loyalty. Namun pemahaman ini disangkal
dengan pendapat bahwa moral komunisme yang bergerak dari kedua virtues. Gambaran moral
sosilasime yang mewakili justice, love dan courage searah dengan etika kebajikan (virtue),
sangat kontradiktif dengan pandangan bahwa sosialisme dekat dengan kekerasan dan
pemberontakan. Moral kapitalisme merupakan suatu yang tidak lebih dari budaya pengambilan
keputsan oleh perorangan atau sekelompok orang yang berpengarau secara berkelanjutan dengan
sedikit atu tanpa mempertimbangkan posisi formal atau hirarki birokratis. Kelemahan konsep ini
adalah lingkup struktur pengambilan keputusan yang melawan arus kepentingan orang banyak
(brute capitalism).
Konsep sosialisme Marx berasal dari konsep tentang masyarakat yang tersusun atasindividu-individu yang diatur yang mengabaikan pendapatan, pangan, sandang yang dicukupi
oleh pemerintah. Konsep ini menentang masyarakat individu yang tersubordinasi oleh negara,
mesin dan birokrasi.
Masyarakat berproduksi dengan cara bekerjasama dan bukan berdasarkan kompetisi.
Produksi berada dibawah kendali dan individu berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan
Bidang P-TPN
33
pelaksanaan. Dengan dasar itu, Marx menyimpulkan bahwa sebuah masyarakat sosialis adalah
sebuah masyarakat yang melayani kebutuhan nyata dan kebutuhan esensial manusia.
Karl Marx memperlihatkan manifesto komunis yang memandang sisi buruk dari kapitalis
dalam the capitalist mode of appropriation yang memperlihatkan pemanfaatan sumber
ekonomi oleh kelompok bourgeois. Lebih jauh, ditekankan bahwa konsep sosialisme berasal dari
konsep tentang manusia dimana sebuah masyarakat tersusun atas individu-individu yang diatur
dan mengabaikan status pendapatan dan lapisan kebutuhan lain diatas kebutuhan pokok.
Sosialisme bukanlah sebuah masyarakat individualistik yang tersubordinasi oleh Negara, mesin
dan birokrasi yang merupakan sebuah masyarakat yang melayani kebutuhan manusia sebagai
esensi nyata sebuah kehidupan. Sistem sosialisme merupakan tahapan transisional dari sistem
kapitalis menuju sistem komunisme dimana tidak terdapat hak milik, kelas dan pembagian kerja
pada masyarakat.
Marx melihat posisi strategis inovasi teknologi dari sisi koneskuensi negative seperti
dikutip dari volme pertama Capital dalam Dodgson (2010):Modern industry never views or
treats the existing form of a production process as the definitive one By means of machinery,
chemical processes and other methoods, it is continually transforming not only the technical
basis of production, but also the functions of the worker and the social combinations of the
labour process.
Bagi Marx, otomatisasi dalam teknologi berpotensi untuk menggantikan posisi manusia
dalam lapangan pekerjaan, penurunan gaji dan kesejahteraan masyarakat.
SCHUMPETERIAN
Sebuah tayangan dari BBC-Knowledge pada pertengahan Juni 2015 memperlihatkan
perkembangan peran rerumputan yang penting bagi manusia sejak jaman es (pleistosen1) disuatu
tempat di Turki bernama Gbekli Tepe2 dimana ditemukan sebuah mutasi genetik alami pada
1
Pleistosen adalah suatu masa dalam skala waktu geologi yang berlangsung 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang
lalu.
2
Bidang P-TPN
34
35
sejenis rerumputan dengan bulir yang tidak jatuh setelah masak. Gandum adalah bulir yang
berasal dari jenis rerumputan ini. Dan pertanian pertama terbentuk pertama kali pada 65 juta
tahun lalu dan merupakan transformasi dari struktur masyarakat yang mendapatkan bahan
makanan dari alam tanpa menanam (food gathering).
Schumpeter berpendapat bahwa inovasi teknologi berada pada kedua kutub yang
menciptakan dan menghilangkan sejumlah pekerjaan tertentu dan akan terjadi pergeseran cara
bekerja, keahlian dan penurunan jumlah pekerja pada industri dan wilayah tertentu dengan
penyesuaian tertentu.
Konsep Schumpeterian menjadi semakin relevan dengan transformasi dari era
pembangunan pada abad 20 menjadi era inovasi berkelanjutan (innovation sustainability) yang
ditandai dengan penyediaan bahan pangan dan teknologi pada bidang kesehatan serta
keterbukaan organisasi.
Kedekatan
konsep
Schumpeterian
dengan
Smithian
memungkinkan
terjadinya
pemahaman inovasi yang banyak diambil dari Smithian, seperti penterjemahan inovasi sebagai
pemasaran teknologi dan liberalism dengan penguatan daya saing melalui penguasaan sumbersumber produksi, penguatan simpul kewirausahaan serta kemajuan organisasi untuk kelompok
minoritas. Kolonisasi sebagai bentuk perluasan kegiatan ekonomi dan persaingan pada
pandangan liberal menjadi creative destruction pada Schumpeterian yang memandang kreasi
dan kebaruan sebagai kata kunci.
Perspektif ekonomi neo klasik berpengaruh pada masa 1950 1980 dengan dan dikenal
dengan masa pembangunan. Negara didunia berpacu melakukan perbaikan (recovery) setelah
perang dunia kedua. Terdapat sekumpulan negara yang mampu melakukan pembangunan
ekonominya dengan pesat namun sebagian yang lain melakukan dengan incremental dan tidak
sedikit yang tidak mampu menggunakan sumber daya pada wilayahnya dengan baik. Periode
lanjutan adalah masa inovasi berkelanjutan diawali tahun 1980. Pada pengembangan inovasi pun
terjadi transformasi seperti digambarkan berikut:
Bidang P-TPN
Bidang P-TPN
36
Bidang P-TPN
37
Tabel memperlihatkan irisan dan perbandingan dari berbagai kelompok teori ekonomi.
Dari tabel terlihat titik pandang berbeda dari keempat kelompok. Inovasi dan pertumbuhan
merupakan pembagian pekerjaan pada Smithian dan merupakan creative destruction di
Schumpeterian, new growth theory pada Arrovian dan alur perkembangan teknologi pada
Marshallian.
WRITEN LAWS
Dalam perjalanan ke kantor yang berjarak 1300 meter dari rumah, penulis menemukan
kembali ditempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi sebelumnya, dimana seseorang membakar
sampah dedaunan tepat dibawah pohon sehingga membakar sebagian batang dan bagian akar.
Seperti pada kejadian sebelumnya penulis memperingati akan kejam dan berbahanya perlakuan
tersebut. Namun argumen yang disampaikan ternyata tidak berbeda dengan orang pertama, yang
dituakan di wilayah itu, bahwa pembakaran dilakukan untuk menguragi gangguan nyamuk yang
berasal dari pohon yang rimbun tersebut. Kasus seperti ini kerap terjadi pada pengembangan
proses inovasi dimana pengambil keputusan tidak memahami paling tidak filosofi dasar ilmu
inovasi. Tim Kastelle dalam tulisan pada blognya mengenai Empathy Driven Innovation
menggambarkan kejadian tersebut seperti menyaksikan sebuah tragedi dalam gerak lambat
namun tidak ada yang bisa menghindarinya. Teorema inovasi individual berkembang dari satu
orang ke banyak orang sehingga dipercaya dan dilakukan.
Relevansi kontemporer terhadap Schumpeter menyatakan bahwa sosialisme berusaha
untuk mengganti kapitalisme. Namun argument ini menjadi tidak relevan dengan terjadinya
disintegrasi pada beberapa Negara sosialis dalam Uni Soviet. Schumpeter menyatakan bahwa
Bon Mises keliru dalam menyatakan bahwa sosialisme bukan merupakan mekanisme ekonomi
rasional, menurutnya dan menggambarkan bahwa jika seluruh penduduk sosialis menerima
voucher untuk mendapatkan barang dan jasa kemudian digunakan pada toko milik Pemerintah
maka toko ini juga harus menentukan harga.
Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian dipilah dari sisi proporsi terbesar pada
sebuah produk yaitu konten teknologi atau bukan teknologi. Selain itu, pergeseran pemahaman
dan aplikasi inovasi teknologi akan sangat berbeda untuk institusi yang berorientasi keuntungan
Bidang P-TPN
38
dengan institusi publik. Keadaan dan istilah inovasi teknologi pada bagian pertama yang lebih
populer menyebabkan penggunaan konsep dan pemanfaatan pada sektor publik banyak
menggunakan pendekatan bisnis. Melalui pendekatan moral inovasi teknologi baik yang
dilakukan di Amerika atau Skandivia, litbang pemerintah merupakan wilayah pengembangan
sebuah penemuan dengan biaya yang tinggi dengan keuntungan yang masih jauh dari bisnis.
Posisi litbang pemerintah dalam siklus pengembangan produk akan berada sebelum titik impas
(break even point). Pemanfaatan innovation funnel dan proses inovasi yang digunakan yang
berpengaruh 40% pada inovasi teknologi yang dilakukan litbang pemerintah masih
menggunakan pendekatan bisnis. Pengaruh lingkungan inovasi sebesar enam puluh persen yang
seharusnya lebih banyak diperhatikan kurang mendapat perhatian.
Pada evolusionari proses, penekanan terkuat adalah pada pemanfaatan informasi dan
pengetahuan secara optimum dengan melalui tiga aturan baku yaitu (1) kestabilan sistem
hukum/legal, (2) perlindungan hak kekayaan intelektual, (3) kestabilan harga. Sistem ekonomi
evolusioner ini memandang pengetahuan dan perkembangannya sebagai proses evolusioner yang
diakibatkan oleh perubahan.
Faktor-faktor selain jenis teknologi dan institusi yang akan menjalankannya dalam
pandangan inovasi teknologi yang perlu mendapat penekanan dibanding dengan ekonomi
pembangunan adalah: (1) inovasi berkaitan dengan kebaruan atas kombinasi input untuk
menghasilkan output tertentu. (2) Input bisa berupa berbentuk berwujud (tangible) atau tidak
berwujud (intangible); (3) Pengetahuan merupakan input tak terpisahkan dari inovasi; (4) Input
pada proses inovasi merupakan aset; (5) kegiatan ditujukan untuk peningkatan nilai ekonomi; (6)
proses yang dilalui disesuaikan dengan jenis produk dan target proses akhir (exit strategy); (7)
Output sebuah proses inovasi tidak selalu sesuai dengan target yang diharapkan; (8) Pengetahuan
merupakan bagian penting dari output. Kedelapan atribut memberikan gambaran perbedaan
antara ekonomi inovasi dengan ekonomi pembangun. Misalnya, dalam menjalankan
pengembangan produk memiliki tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Lembaga
keuangan bank dan non-bank diharapkan bisa memberlakukan skema pendanaan yang ramah
inovasi. Penyusunan kebijakan pada pengembangan inovasi juga diharapkan menghindari
alokasi anggaran kontribusi pada retardasi ekonomi.
Bidang P-TPN
39
Pada penutup sebuah tulisan Schumpeter menyampaikan: we may, indeed, prefer the
world of modern dictatorial socialism to the world of Adam Smith, or vice versa, but any such
preference comes within the same category of subjective evaluation as does, to plagiarize Sombart, a
man;s preference for blondes over brunettes.
Bidang P-TPN
40
DAFTAR PUSTAKA
April, K., Peters, K., Locke, K., & Mlambo, C. (2011). Leading Ethically: What Helps and What Hinders.
In Millar, & Poole, Ethical Leadership in Global Word (pp. 165 - 182). New York: Palgrave
Macmillan.
Battaly, H. (2010). Virtue and Vice, Moral and Epistemic. Kualalumpur : Macmillan Indian.
Charvet, J. (2009). A Crititque of Freedom and Equality. New York: Cambridge University Press.
Cowton, C., & Haase, M. (2008). Trends in Business and Economics Ethics. Berlin: Springer - Verlag
Berlin Heidelberg.
Dodgson, M. (2008). Developing Business From Science: introduction of Innovation and Science.
Brisbane: The University of Queensland.
Dodgson, M., & Gann, D. (2010). Innovation: A Very Short Introduction. Hampshire, Great Britain:
Oxford University Press.
Franks, B., & Wilson, M. (2010). Introduction: Anarchism and Moral Philosohpy. New York: Palgrave
Macmilan.
Griffiths, B., Sirico, R. A., Barry, N., & Field , F. (2001). Capitalism, Morality, and Markets. London:
The Institute of Economic Affairs.
Hinde, R. A. (2007). Bending the Rules. Morality in the Modern World. New Yorl: Oxford University
Press.
Light, A., & de-Shalit, A. (2003). Moral and Political Reasoning in Environmental Practice.
Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.
Lipschutz, R. D., & Rowe, K. J. (2005). Globalization, Governmentality and Global. New York:
Routledge.
Malerba, F. (2005). Sectoral Systems of Innovation a Framework for Linking Innovation to the
Knowledge Base, Structure and Dynamics of Sectors. Economic, Innovation and New
Technology, 63 -82.
McCloskey, D. N. (1992). The Bourgeois Virtues: Ethics for an Age of Commerce. Chicago: The
University of Chicago.
Millar, C., & Poole, E. (2011). Ethical Leadership; Global Challenges and Perspective. New York:
Palgrave Macmillan.
Mitchell, L. E. (2001). Corporate Irresponsinsibility. New Bakersville: Yale University Press.
Murphy, L. B. (2000). Moral Demands in Nonideal Theory. New York: Oxford University Press.
Bidang P-TPN
41
Nelson, R. R. (2004). The Market Economy, and the Scientific Commons. Policy Research, 455 -471.
Samli, C. A. (2008). Globalization from the Bottom Up. Jacksonville: Springer Science + Business
Media, LLC.
Sampford, C., Preston , N., & Bois, C. A. (2002). Public Sector Ethics. Finding and Implementing
Values. New York: Routledge.
Schumpeter, J. A. (2003). Capitalism, Socialism & Democracy. George Allen & Unwin Publisher.
Spash, C. L. (2002). Greenhouse Economics; Value and Ethics. New York: Routledge.
Westlund, H. (2006). Social Capital in the knowledge; Advances in Spatial Sciences. Berlin: Springer
Berlin Heidelberg.
Young, S. (2003). Moral Capitalism. Reconciling Private Interest with the Public Good. San Fransisco:
Berrett-Koehler Publisher, Inc.
Zimdahl, R. L. (2006). Agriculture Ethical Horizon. New York: Elsevier.
Bidang P-TPN
42
43
P-TPN 04
ABSTRAK
Di era kreatif ini, perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat. Gadget, tablet,
smartphone, phablet dan perangkat mobile lainnya menjadi kebutuhan dan sahabat setia dalam
aktivitas manusia. Perkembangan teknologi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampak negatif tersebut khususnya bagi para generasi muda adalah mereka nyaman
hanya sebagai pengguna produk dan layanan yang telah ada, dimana kebanyakan layanan
tersebut dibuat di luar negeri. Generasi penerus bangsa Indonesia ini harus dipersiapkan untuk
menghadapi perkembangan yang begitu pesat dan dapat bangkit dari zona nyamannya sehingga
tidak terpuruk akibat ketergantungan di masa yang akan datang.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu upaya yang dapat
mengenalkan tentang kewirausahaan di industri kreatif khususnya yang memanfaatkan teknologi
informasi sejak dini pada anak-anak SMA/SMK. Upaya tersebut dilakukan untuk memberikan
wawasan serta motivasi kepada para siswa-siswi pelajar serta menanamkan konsep dan mindset
kewirausahaan sejak dini. Pada penelitian ini dilaksanakan kegiatan yang berupa kombinasi
antara Education, Entrepreneurship, Technology dan Entertainment yang dikemas sedemikian
rupa sehingga menarik dan lekat dengan gaya anak muda. Selanjutnya dilakukan pengukuran
untuk mengetahui pemahaman, pengetahuan dan minat siswa SMA/SMK
terhadap
Bidang P-TPN
telah disebar dapat diketahui terdapat kecenderungan bahwa setelah diadakan seminar
Technoparty, para siswa menginginkan lebih banyak seminar serupa. Selain itu terdapat 84%
siswa yang merasa senang dengan konsep seminar Technoparty yang telah diterapkan. Di sisi
lain, diketahui pula bahwa siswa SMA/SMK memiliki jumlah persentase paling banyak untuk
menggeluti usaha di bidang teknologi informasi.
PENDAHULUAN
Salah satu ukuran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat
dari pendapatan nasionalnya yaitu Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto
adalah total suatu nilai atau barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian
dalam jangka waktu tertentu misalnya selama satu tahun (Nanga, 2001). Indonesia tergolong
negara berkembang dengan PDB di tahun 2014 yaitu Rp 10.542,7 triliun, tumbuh 5.02% namun
melambat dari tahun sebelumnya yaitu 5.58%. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai
oleh lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10.02% (Kemenkeu, 2015). Hal ini
menunjukkan bahwa lapangan usaha di bidang informasi dan komunikasi memiliki nilai yang
baik dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia di era kreatif seperti
saat ini.
Pada era kreatif seperti saat ini, perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah pengguna Facebook yang merupakan penduduk
terbesar ketiga di dunia mengalahkan jumlah penduduk Indonesia (Wahyudi, 2013). Selanjutnya
Google menjadi salah satu aplikasi web yang paling sering digunakan dan menjadi perpustakaan
utama di dunia untuk mencari berbagai informasi. Transaksi online mulai mewabah dan terjadi
setiap saat. Gadget, tablet, smartphone, phablet dan perangkat mobile lainnya sudah menjadi
kebutuhan dan sahabat setia dalam aktivitas manusia. Perubahan teknologi informasi ini
memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi kehidupan dimana dalam hal ini terdapat
dampak positif maupun dampak negatif.
Bidang P-TPN
44
Para siswa sekolah merupakan generasi yang paling banyak terpengaruh oleh dampakdampak tersebut karena keadaan mereka yang masih labil. Masa-masa sekolah menengah atas
merupakan masa yang sangat penting bagi seseorang dalam melangkah menuju masa depan.
Masa-masa ini merupakan masa dimana seseorang mencari jati diri dan sangat senang mencoba
hal-hal baru. Oleh karena itu, mereka yang berada pada masa-masa ini harus diberikan
pencerahan dan pemahaman wawasan yang baik agar tidak salah dalam melangkah.
Mereka yang berada pada masa-masa tersebut merupakan Generasi Emas bangsa
Indonesia (Mendikbud, 2012). Generasi Emas ini harus dipersiapkan dengan baik agar mampu
mencapai masa depan yang gemilang. Generasi ini sebagai penerus bangsa harus dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya agar tidak salah melangkah dan menjadi terpuruk di masa yang akan
datang. Jika hal tersebut tidak dipersiapkan, maka akan menghambat pembangunan ekonomi
yang merupakan proses multimensi yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur
sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional. Penghambatan tersebut dapat terjadi dari sisi
percepatan pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan dan kemiskinan yang absolut (Todaro,
1998).
Indonesia merupakan negara berkembangan sehingga pembangunan ekonomi bertujuan
untuk memeratakan pembangunan ekonomi, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, mengurangi perbedaan kemampuan
antar daerah serta struktur perekonomian yang seimbang (Sukirno, 2007). Jika generasi muda
terus nyaman sebagai user bukan sebagai pembuat aplikasi di era digital ini, tentunya
pembangunan ekonomi akan sulit terwujud.
Generasi penerus bangsa harus dipersiapkan untuk dapat menjadi pengusaha untuk dapat
menciptakan perekonomian Indonesia yang lebih kuat di masa yang akan datang. Indonesia
sebagai salah satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia hanya memiliki 1,6%
pengusaha (Kemkop, 2014). Jumlah pengusaha ini sangat kecil bila saja dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang memiliki jumlah pengusaha lebih dari 4%
dari jumlah penduduknya (Wahyudi, 2013). Menurut pemerintah, Indonesia dapat menjadi salah
satu negara dengan perekonomian yang lebih kuat apabila jumlah penduduk di Indonesia
Bidang P-TPN
45
Bidang P-TPN
46
bangsa harus dipersiapkan untuk menghadapi perkembangan yang begitu pesat dan dapat bangkit
dari zona nyaman sehingga tidak terpuruk akibat ketergantungan di masa yang akan datang.
Karena hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk memberikan sosialisasi kepada
masyarakat sejak dini khususnya pada siswa SMA/SMK tentang pentingnya kewirausahaan.
Upaya tersebut juga harus dibarengi dengan memberikan penjelasan tentang pentingnya
penguasaan teknologi dan informasi di masa seperti saat ini. Mereka juga harus diajarkan tentang
menggunakan berbagai layanan yang telah ada secara gratis untuk memperoleh peluang usaha.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahyuningsih (Wahyuningsih, 2009) yang
menyatakan bahwa minat kewirausahaan dapat ditumbuhkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Untuk mewujudkan hal tersebut maka dilakukan kegiatan yang diberi nama Techno Party
Goes to School. Kegiatan ini menyasar siswa/siswa SMA/SMK sederajat sebagai generasi muda
harapan bangsa. Selain menyasar siswa/siswi SMA/SMK kegiatan ini juga terbuka untuk umum
untuk mengetahui tingkat dari antusias masyarakat untuk menjadi pengusaha khususnya anakanak muda. Dalam setiap kegiatan yang dilakukan akan disebarkan angket yang berisikan
tentang pendapat mengenai kegiatan yang dilakukan. Kegiatan ini dikemas sedemikian rupa agar
sesuai dengan gaya anak muda jaman sekarang. Kegiatan ini merupakan kombinasi antara
Education, Entrepreneurship, Technology, dan Entertainment. Ketiganya dipadukan secara
dinamis dan atraktif. Techno Party Goes to School menghadirkan para narasumber yang telah
terbukti mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dalam menjalankan sebuah bisnis. Para
narasumber menceritakan the real success stories, bagaimana mereka memulai usaha di bidang
IT, strategi-strategi praktis, dan prospek sebagai technopreneur di masa datang. Selain itu, acara
ini juga mengundang para artis yang peduli dengan pendidikan dan sosial. Setiap kegiatan yang
dilakukan juga mendapatkan dukungan dari komunitas pengusaha pemula di bidang IT yang
tergabung dalam SuBali (Start-up Bali).
Selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data angket yang telah disebar kepada
para peserta kegiatan yang selanjutnya data tersebut diolah untuk mengetahui tingkat kepuasan
para peserta tentang konsep kegiatan yang dilakukan. Selanjutnya, hal yang ingin diketahui
adalah seberapa tinggi pemahaman di tingkat SMA/SMK tentang technopreneurship. Selain itu
pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui
Bidang P-TPN
47
jumlah siswa SMA/SMK yang memiliki minat untuk menggeluti usaha yang menggunakan
teknologi informasi dalam berwirausaha.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan kegiatan sosialisasi dalam bentuk seminar dan
workshop yang diberi nama Technoparty goes to school. Kegiatan ini difokuskan kepada para
generasi muda khususnya siswa SMA/SMK. Untuk dapat memperoleh perhatian dari kalangan
muda, maka kegiatan Technoparty goes to school dilakukan dengan menyesuaikan dengan gaya
anak muda jaman sekarang. Kegiatan yang dilakukan berupa persentasi dan demonstrasi produk
teknologi informasi yang diselingi dengan hiburan seperti modern dance dan musik. Selain itu
untuk mampu memperoleh atensi dari para anak muda, dalam setiap kegiatan diundang artis-artis
lokal yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan sosial.
Persentasi dan demonstrasi produk di bidang teknologi informasi diberikan oleh para
pelaku usaha di bidang teknologi informasi yang profesional. Presentasi dan demonstrasi juga
dilakukan secara interaktif dengan memberikan para peserta berinteraksi langsung dengan
memberikan pertanyaan kepada narasumber. Setiap kegiatan yang dilakukan juga memperoleh
dukungan dari komunitas Start-up Bali (SuBali) yang merupakan komunitas para pengusaha
yang baru memulai bisnis di bidang teknologi informasi. Para narasumber menceritakan
mengenai pengalaman yang telah dilakoninya selaku pengusaha, produk-produk serta peluangpeluang bisnis yang dapat diraih.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa setiap kegiatan akan melibatkan para
praktisi dan pengusaha di bidang teknologi informasi untuk berbagi ilmu (education, technology)
tentang usaha yang dilakoninya (entrepreneurship) yang dipadukan dengan berbagai hiburan
yang menarik untuk anak muda (entertainment). Para narasumber juga akan memberikan
motivasi dan pemahaman tentang peluang-peluang bisnis yang dapat diraih khususnya pada
bidang teknologi informasi. Kegiatan ini juga memperoleh dukungan para artis lokal yang peduli
akan pendidikan dan sosial seperti Nanoe Biru dan Triple X. Kegiatan telah dilaksanakan di
beberapa sekolah-sekolah SMA/SMK yang ada di Bali serta kegiatan juga dibuka untuk umum
Bidang P-TPN
48
49
khususnya para generasi muda yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang
technopreneurship. Gambar 1 memperlihatkan bentuk kegiatan yang dilakukan dalam
Technoparty Goes to School. Pada gambar tersebut tampak siswa sangat antusias mengikuti
kegiatan ini dan berperan aktif untuk ikut serta berpartisipasi memberikan pertanyaan ataupun
unjuk kemampuan bernyanyi bersama artis undangan. Setiap selesai melaksanakan kegiatan,
dilakukan penyebaran kuisioner yang selanjutnya dianalisis dan dilaporkan dalam penelitian ini.
Gambar
1.
Kegiatan
Technoparty
goes
to
School,
yang
berusaha
untuk
Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu
gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat masa sekarang. Melalui penelitian deskriptif peneliti
berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut (Noor, 2011).
Data yang dianalisis diperoleh melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner yang disebarkan pada sampel dari populasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Bidang P-TPN
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Sementara menurut Ali (Taniredja, 2011) populasi penelitian
adalah keseluruhan obyek penelitian atau disebut juga universe.
Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan adalah para siswa SMA/SMK yang
menjadi peserta kegiatan Technoparty Goes to School dan dengan sampel yang digunakan dalam
analisis data ditetapkan berjumlah 400 responden. Dalam pengolahan data, peneliti
menggunakan aplikasi statistic SPSS 21.0 karena ilmu statistic sangat berperan dalam
menganalisis perilaku konsumen dan software SPSS yang mudah digunakan serta memiliki
teknik-teknik analisis statististik yang cukup lengkap (Yamin & Kurniawan, 2009).
Bidang P-TPN
50
Rencana Setelah
Lulus
4%
2%
2%3%
89%
Melanjutkan
Bekerja
Menjadi Wirausaha
Tidak tahu
Lainnya
Selain itu, dalam kuisioner diberikan pertanyaan kepada para siswa SMA/SMK yang
menjadi peserta dalam kegiatan tentang jenis usaha yang diminati oleh mereka. Dari hasil
analisis terhadap data diketahui bahwa 28.8% siswa SMA/SMK ingin berwirausaha di bidang
Teknologi Informasi dan sebanyak 24,3% siswa SMA/SMK yang ingin berwirausaha di bidang
obat-obatan, farmasi dan kesehatan. Detail dari hasil ini dapat diperhatikan pada gambar 2b. Hal
ini menunjukkan jika para siswa telah berhasil mengenal technopreneurship dan telah
mengetahui peluang yang ada di bidang tersebut berdasarkan hasil melakukan sosialisasi dalam
bentuk seminar dan workshop.
Dari hasil analisis terhadap kuisioner yang telah disebarkan juga diperoleh data bahwa
seminar dengan konsep Technoparty goes to school memperoleh apresiasi yang cukup baik. Hal
ini terbukti dari jumlah peserta yang menginginkan acara seminar dengan konsep serupa sebesar
Bidang P-TPN
51
89,5% dari jumlah siswa yang di data. Dari penelitian yang dilakukan juga dapat diketahui
bahwa siswa SMA/SMK sangat membutuhkan seminar tentang kewirausahaan sejak dini
sehingga dapat memberikan gambaran tentang kewirausahaan tersebut sejak dini. Di sisi lain,
sebanyak 84.0% responden memberikan jawaban bahwa kegiatan yang dilakukan memberikan
informasi tentang kewirausahaan khususnya di bidang technopreneurship. Kedua hasil ini dapat
diperhatikan pada gambar 3.
Pemenuhan Informasi
Technopreneurship
16%
84%
Ya
Tidak
89%
Ya
Tidak
Dari hasil analisis terhadap kuisioner juga dapat diperoleh bahwa siswa SMA/SMK telah
menyadari akan pentingnya teknologi informasi untuk menunjang kewirausahaan. Hal ini dapat
ditunjukkan pada tabel 1 dimana 91.5% siswa SMA/SMK memberikan respon positif dengan
menjawab penting dan sangat penting. Hal ini menunjukkan bahwa siswa SMA/SMK telah
Bidang P-TPN
52
memperoleh penjelasan tentang pentingnya teknologi informasi di era saat ini. Mereka telah
mendapatkan wawasan mengenai hal tersebut melalui kegiatan yang dilakukan ini.
Tabel 1. Pentingnya Penguasaan Teknologi Dalam Usaha
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Penting
10
2.5
2.5
2.5
Kurang Penting
24
6.0
6.0
8.5
Penting
102
25.5
25.5
34.0
Sangat Penting
264
66.0
66.0
100.0
Total
400
100.0
100.0
Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa seminar dengan konsep Technoparty goes
to School memperoleh apresiasi yang cukup baik, yang dibuktikan dengan 89.5% responden
yang menyatakan kebutuhan akan acara serupa. Peneliti melihat hal ini dimungkinkan karena
konsep yang diusung dalam acara Technoparty goes to School tergolong baru untuk acara
seminar sejenisnya. Saat merancang konsep acara ini awalnya peneliti melihat adanya faktor
keengganan dan kebosanan dari pelajar dengan acara seminar sejenis yang berpotensi tidak
tersampaikannya pesan dan materi secara efektif.
Peneliti melihat bahwa persepsi generasi muda, terutama siswa dan siswi SMA/SMK di
Pulau Bali, terhadap acara seminar dirasa identik dengan kurang menarik dan membosankan.
Menurut Mowen & Minor (Mowen & Minor, 2002) persepsi adalah proses dimana individu
diekspos untuk menerima informasi, memperhatikan informasi tersebut dan memahaminya.
Prasetijo (Prasetijo & Ihalauw, 2005) mendefinisikan persepsi sebagai sensasi yang diterima oleh
seseorang yang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya diinterpretasikan. Persepsi
yang dibentuk oleh seorang individu sangat bergantung pada stimulus yang diterima, yang dalam
hal ini diterima oleh panca indera.
Peneliti melihat bahwa acara seminar pada umumnya hanya mementingkan pesan atau
materi apa yang harus disampaikan, sehingga cenderung kurang memperhatikan bagaimana agar
pesan atau materi yang disampaikan akan secara efektif diterima oleh para peserta. Untuk
meningkatkan peluang efektifnya materi seminar yang diterima oleh peserta, peneliti merancang
Bidang P-TPN
53
konsep seminar yang tidak hanya memberikan informasi dalam bentuk materi yang berbobot,
namun juga dapat memberikan stimulus yang positif dalam bentuk hiburan musik dan tari
modern. Hal ini dimaksudkan agar panca indera peserta tidak mengalami kepenatan akibat
materi seminar yang monoton dan selain itu agar peserta juga mendapatkan stimulus-stimulus
yang positif dari konten-konten yang ditampilkan dalam acara Technoparty goes to School.
Menurut Prasetijo dan Ihalauw (Prasetijo & Ihalauw, 2005) kemampuan pemrosesan
stimulus itu terbatas, oleh karena itu tidak semua stimulus diproses. Selain itu individu secara
aktif memilih apakah akan mengekspos atau tidak diri mereka pada informasi atau stimulus
(Schiffman & Kanuk, 2010)s. Untuk itu agar dapat diterima secara maksimal oleh para peserta
seminar, penting untuk mengingat bahwa stimulus yang akan lulus seleksi oleh individu
bergantung pada sifat-sifat stimulus, harapan, dan motif (Prasetijo & Ihalauw, 2005). Faktorfaktor ini peneliti coba aplikasikan dalam penggunaan media promosi yang menarik untuk
mempromosikan acara ini sejak sebelum penyelenggaraan, pemilihan pengisi acara dan
pembicara yang dapat menarik ketertarikan peserta, penyusunan konten-konten seminar yang
diupayakan mengalir dan mengasyikkan untuk terciptanya harapan dan semangat peserta sejak
awal acara, serta menonjolkan penting dan manfaatnya belajar kewirausahaan sejak dini.
Bidang P-TPN
54
Bidang P-TPN
55
DAFTAR PUSTAKA
Hapsari. 2014. Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM). Wacana.
Kemenkeu. 2015. PDB 2014 Mencapai Rp10.542,7 triliun. Retrieved from Kementrian Keuangan RI:
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pdb-2014-mencapai-rp105427-triliun
Kemkop. 2014. www.depkop.go.id. Retrieved from www.depkop.go.id
Mendikbud. 2012. Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan
Nasional
Tahun
2012.
Retrieved
Mei
10,
2013,
from
kemdiknas.go.id/:
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/sites/default/files/SAMBUTAN-HARDIKNASMENDIKBUD-2012-OKE-PDF_0.pdf
Mowen, J., & Minor, M. 2002. Perilaku Konsumen Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Nanga, M. 2001. Makro Ekonomi Teori, Masalah dan Kebijakan Edisi Pertama. Jakarta: Rajawali Press.
Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Prasetijo, R., & Ihalauw, J. 2005. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi.
Schiffman, L., & Kanuk, L. 2010. Consumer Behavior, 10th edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah, dan Kebijakan). Jakarta: Kencana Prenada.
Taniredja, T. 2011. Penelitian Kuantitatif (Suatu Pengantar). Bandung: Alfabeta.
Todaro, M. P. 1998. Pembangunan Ekonimi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Wahyudi,
R.
2013.
Kompas.
Retrieved
from
kompas.com:
http://tekno.kompas.com/read/2013/10/31/1426203/Facebook.Tembus.1.19.Miliar.Pengguna.Akti
f
Wahyuningsih, S. 2009. Peranan UKM dalam Perekonomian Indonesia. Mediagro Vol 5, No. 1, 1-14.
Yamin, S., & Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete: Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan
Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotech.
Bidang P-TPN
56
P-TPN 05
ABSTRAK
Program Satu Instansi, Satu Inovasi (One Agency, One Innovation) KemenPAN-RB
ditindaklanjuti dengan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) setiap tahun. Pada tahun
2015, acuannya Peraturan MenPAN-RB
Pelayanan Publik dan Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014 tentang Kompetisi
Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah.
Makalah ini berisi hasil observasi/penelitian awal KIPP Tahun 2014 dan 2015 sebagai
bagian dari reformasi birokrasi. Peserta yang mencapai 515 K/L/Pemda pada tahun 2014 dan
1189 pada tahun 2015 menunjukkan minat K/L/Pemda yang besar terhadap inovasi pelayanan
publik dan kompetisi inovasi pelayanan publik.
Sasaran kompetisi ini adalah terbangunnya inovasi pelayanan publik pada setiap
K/L/Pemda, teciptanya pengembangan dan trasfer inovasi pelayanan publik, terwujudnya
poeningkatan kualitas pelayanan publik, dan terwujudnya kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik. Beberapa pengertian penting, antara lain inovasi, pelayanan publik, inovasi
pelayanan
publik,
replikasi,
sosialisasi,
diseminasi,
capacity
building,
leadership,
enterpreneurship, transfer (technical, information, and managerial) ide, teknologi, proses, dan
managerial, sistem informasi pelayanan publik, adaptasi dan modifikasi inovasi pelayanan
publik, lomba pelayanan publik tingkat nasional KIPP) dan lomba pelayanan publik internasional
(United Nations Public Service Awards, UNPSA).
Bidang P-TPN
57
Ada beberapa hal yang menarik dari kompetisi ini. Pertama, para pemenang sampai
dengan urutan nomor tertentu, diusulkan mengikuti lomba pelayanan publik internasional yang
diselenggarakan oleh United Nations Public Service Awards (UNPSA). Kedua Para pemenang
Top 99, Top 25, dan Top 9 dijadikan good practices dan best practices untuk direplikasi oleh
K/L/Pemda yang belum berhasil. Ketiga, kompetisi ini merupakan sarana pembelajaran dan
ajang lomba inovasi pelayanan publik K/L/Pemda setiap awal tahun. Keempat, kebanggaan bagi
Menteri/Kepala Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang telah meraih prestasi terbaik inovasi
pelayanan publik.
PENDAHULUAN
Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP), salah satu tindak lanjut program Satu
Instansi, Satu Inovasi (One Agency, One Innovation) Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB ), merupakan ajang tertinggi dari
Pemerintah/KemenPAN-RB atas pengakuan praktik inovasi pelayanan publik dari jenis atau
beberapa jenis pelayanan yang dilakukan di setiap Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota (K/L/Pemda). KIPP yang juga terkait dengan enterpreneurship dan
technopreneurship pemimpin daerah dilaksanakan mengacu kepada Pasal 7 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menugaskan MenPANRB untuk memberikan penghargaan kepada penyelenggara pelayanan publik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
KIPP Tahun 2014 dan Tahun 2015 merupakan kegiatan Kemen PANRB yang melaksanakan amanat Pasal 7 UU
Nomor 25 Tahun 2009, yaitu:
(1) Penanggung jawab adalah pimpinan kesekretariatan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
atau pejabat yang ditunjuk Pembina. Pasal 6 ayat (1): Guna menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan
publik diperlukan Pembina dan Penanggung Jawab. Pasal 6 ayat (2): Pembina sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas: a) pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya; b)
gubernur pada tingkat provinsi; c) bupati pada tingkat kabupaten; dan d) walikota pada tingkat kota.
(2) Penanggung jawab mempunyai tugas: a) mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik
sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja; b) melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan
Bidang P-TPN
58
publik; dan c) melaporkan kepada Pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan
kerja unit pelayanan publik.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunn aparatur negara bertugas: a) merumuskan kebijakan
nasionl tentang pelayanan publik; b) memfasilitasi lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme
yang ada; dan c) melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib: a) mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan
publik, hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi; b) membuat peringkat kinerja
penyelenggara secara berkala; dan c) memberikan penghargaan kepada penyelenggara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bidang P-TPN
59
Bidang P-TPN
60
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang berisi 5 (lima) substansi penting, yaitu 1)
Ruang lingkup pelayanan publik; 2) Sistem pelayanan terpadu; 3) Standar pelayanan publik; 4)
Proporsi akses dan kategorikelompok masyarakat (pelayanan dengan perlakuan khusus,
pelayanan berjenjang); dan 5) Tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik (peran serta masyarakat dalam pelayanan publik). PP terkait lainnya adalah PP
Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal.
Inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan
gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi pelayanan publik sendiri tidak
mengharuskan penemuan baru, tetapi dapat merupakan pendekatan baru yang bersifat
kontekstual dalam arti inovasi tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan
praktik inovasi, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas
pada inovasi yang ada. KIPP adalah kegiataan seleksi, penilaian, dan pemberian penghargaan
yang diberikan kepada inovasi pelayanan publik yang dilakukan oleh K/L/Pemda
Prov/Kab/Kota. Secara khusus, KIPP dilaksanakan untuk mendorong percepatan reformasi
birokrasi di bidang pelayanan publik.
Tujuan dan keluaran yang diharapkan dari pemberian penghargaan adalah 1)
mendiseminasikan, mentransfer, dan mereplikasi praktik inovasi dan praktik baik lainnya; 2)
menumbuhkan sistem pembelajaran dan knowledge sharing; dan 3) mendorong perbaikan
pelayanan publik secara berkelanjutan. Hasil kegiatan ini adalah 1) tersedianya mekanisme yang
akuntabel untuk menjaring inovasi dan praktik baik; 2) meningkatnya jumlah inovasi yang
dilakukan oleh birokrasi di lingkungan K/L/Pemda; 3) mendorong para pembina, penyelenggara,
dan pelaksana pelayanan publik untuk mempercepat upaya peningkatan pelayanan publik; 4)
memberikan inspirasi baru bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik untuk terus
menerus meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan 5) memperbaiki persepsi dan kepercayaan
masyarakat terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi melalui peningkatan pelayanan publik.
Mekanisme dan Manajemen evaluasi KIPP 2014 meliputi: 1) K/L/Pemda mengusulkan
praktik inovasi (proposal), tidak ada batasan jumlah inovasi yang diusulkan untuk tiap kategori
Bidang P-TPN
61
62
(pengajuan berdasarkan usulan Satker Unit Pelayanan Publik kepada Pimpinan K/L/Pemda,
diteruskan kepada KemenPAN-RB secara online menggunakan aplikasi berbasis web melalui
situs resmi KemenPAN-RB
KemenPAN-RB ) harus memenuhi kriteria kelayakan, yaitu relevan dengan salah satu kategori
inovasi; dan 2) kelengkapan data/informasi dan dokumen pendukung pada aplikasi online
(SiNoviK). Pengelola KIPP Tahun 2014 adalah Deputi Bidang Pelayanan Publik yang
menugaskan Asisten Deputi yang secara fungsional mempunyai tugas melakukan pengelolaan
inovasi pelayanan publik sebagai pihak yang mengelola data dan informasi serta
pengadministrasian unit inovasi pelayanan publik KemenPAN-RB .
Setelah seleksi administrasi, dilakukan seleksi penilaian oleh Tim Evaluasi (ahli atau
pakar perguruan tinggi/lembaga) dari jumlah proposal yang memenuhi syarat sampai dengan
angka jumlah proposal tertentu yang akan disampaikan kepada Tim Panel Independen dengan
menampung masukan dari Organisasi Masyarakat Madani (Civil Society Organization)/LSM.
Bobot penilaian adalah Masalah, Unsur Inovasi, dan Hasil (40%), Pelaksanaan dan Penerapan
(20%), Keberlanjutan dan Peluang Replikasi (30%), dan Kaitannya dengan Program Reformasi
Birokrasi (10%). Tim Panel Independen melakukan penilaian dari jumlah proposal angka
tertentu tadi menjadi berkurang ke jumlah angka tertentu (melalui penilaian presentasi 20%,
wawancara 40%, dan peninjauan lapangan 40%). Peninjauan lapangan dilakukan oleh anggota
TimPanel
Independen,
Tim
Evaluasi,
dan
Staf
KemenPAN-RB
(model
mistery
shopping/shopper). Hasil evaluasi tim panel setelah mistery shopping adalah 5 nominasi tiap
kategori. Lima besar tiap kategori dinilai oleh Panitia Penentu Akhir (Pantuhir), menjadi 3
nominasi tiap kategori (berjumlah 9 nominasi, menjadi Top 9).
Penghargaan diberikan oleh MenPANRB, antara lain piagam inovasi pelayanan publik
dan kesempatan memperoleh bantuan (kegiatan dan diikutsertakan dalam peningkatan kapasitas
di dalam/luar negeri atas biaya KemenPANRB atau pihak lain sesuai ketentuan perundangundangan (saat kegiatan Musrenbang Nasional disaksikan Wapres RI). Deputi Bidang Pelayanan
Publik dan Asisten Deputi inovasi yang ditugaskan, melakukan tindak lanjut penghargaan
berupa, 1) penerbitan handbook of innovation public service yang berisi praktik terbaik inovasi
pelayanan publik; 2) workshop/seminar/pelatihan dalam rangka diseminasi transfer dan replikasi
Bidang P-TPN
serta praktik-praktik terbaik inovasi pelayanan publik; dan 3) pemantauan dan evaluasi guna
mendapatkan masukan mengenai perkembangan implementasi inovasi pelayanan publik dari
para nominasi serta diarahkan untuk dinominasikan dalam kompetisi United Nation Public
Service Award (UNPSA) 2015. Pengusulan proposal sampai dengan penetapan pemenang
berlangsung pada Januari s.d. April tahun yang bersangkutan.
Bidang P-TPN
63
Pelayanan Publik mengusulkan kepada MenPAN-RB calon pemenang, dan kemudian MenPANRB memutuskan/menetapkan Top 9 inovator pelayanan publik K/L/Pemda.
Buku Top 99 dan Top 9 didokumentasikan sebagai produk KIPP 2014. Di samping itu
diterbitkan buku Good Practices model pelayanan publik, dan file 515 inovasi secara online pada
SiNoviK. WaMenPAN-RB , Eko Prasojo, menegaskan pentingnya replikasi dari inovasi
pelayanan publik. Replikasi artinya meniru. Dengan melakukan replikasi, terjadi akselerasi yang
tidak semahal jika perubahan dimulai dari nol. Kunci inovasi adalah niteni, nirokke (meniru), dan
nemokke (menemukan). Proses pembelajaran sendiri (self learning) difasilitasi pihak lain
(KemenPAN-RB dan Lembaga Mitra Pembangunan/Perguruan Tinggi/LSM), dalam bentuk
sinergi, kemitraan, dan kolaborasi, dimaksudkan untuk memajukan pelayanan publik di
lingkungan kerjanya dengan cara ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi).
Top 9 Inovasi Pelayanan PublikTahun 2014, yaitu:
1. Sistem Pendaftaran Fidusia Online, Kementerian Hukum dan HAM.
2. Pelayanan Karantina Ikan PASTI, KIPM Kelas II Semarang, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
3. Format Kendali Hulu Hilir, Provinsi Aceh.
4. Km 0 Pro Poor Jawa Barat, Provinsi Jawa Barat.
5. Wilayah Bebas dari Korupsi pada Jembatan Timbang, Provinsi Jawa Timur.
6. Kampung Media, Penyebarluasan Informasi Berbasis Komunitas, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
7. Pembangunan Jalan Besar Tanpa Bayar, Kota Banjarbaru.
8. Government Resource Mangement System (GRMS), Kota Surabaya.
9. Surabaya Single Window (SSW), Kota Surabaya.
Pada tahun 2014, ada 5 (lima) unit pelayanan publik Indonesia yang masuk sebagai
finalis United Nations Public Service Awards (UNPSA), pengiriman proposal atas bantuan
KemenPAN-RB , Kemendagri, GIZ, dan KINERJA, yaitu 1) Layanan Kesehatan Ibu Melahirkan
dengan Bantuan Tenaga Kesehatan Tradisional (dukun beranak) bekerja sama dengan Tenaga
Medis, Kabupaten Aceh Singkil; 2) Pendistribusian Guru Secara Proporsional, Kabupaten Luwu
Utara; 3) Pelayanan Perizinan Terpadu, Kabupaten Barru; 4) Layanan Administrasi
Bidang P-TPN
64
Kependudukan Catatan Sipil, Kota Surakarta; dan 5) UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan
Keluhan), Kota Yogyakarta.
KemenPAN-RB bekerja sama dengan Badan Diklat Kemendagri dan Paguyuban Alumni
Harvard Executive Education Angkatan I, II, dan III, pada 24 Maret 2014 menyelenggarakan
Knowledge Sharing Forum. Men PANB, Dr. (HC) Ir. H. Azwar Abubakar, M.M., menegaskan
bahwa ujung reformasi birokrasi adalah peningkatan kualitas pelayanan publik.Langkah kegiatan
inovasi pelayanan publikharus dapat mempercepat reformasi birokrasi. Alumni Harvard
Executive Education harus terus menerus melakukan terobosan dan inovasi pelayanan publik,
dan direplikasi oleh pemerintah daerah lain.
WaMenPAN-RB , Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. memrakarsai dan mendukung
pelaksanaan Knowledge Sharing Forum. Deputi MenPAN-RB
Mirawati Sudjono, M.Sc. terus menerus berupaya meningkatkan kualitas kompetisi inovasi
pelayanan publik dan bersama dengan Kepala Badan Diklat Kemendagri, Drs. H. Ahmad
Zubaedi,M.Si., dan Bupati Sumbawa Barat, K.H. Zukifli Muhadli, S.H., selaku Ketua
Transformasi Indonesia, didukung WaMenPAN-RB , menerbitkan prosiding pertemuan
Knowledge Sharing Forum dalam buku berjudul Transformasi Pelayanan Publik Indonesia.
Kemendagri dan Paguyuban Alumni Harvard Executive Education Angkatan I, II, dan III.
MenPAN-RB , Azwar Abubakar, terus mendorong program One Agency, One
Innovation, inovasi pelayanan publik sebagai strategi percepatan peningkatan kualitas
pelaksanaan publik dalam gerakan reformasi birokrasi. Deputi MenPAN-RB Bidang Pelayanan
Publik, Mirawati Sudjono bekerja sama dengan Kabandiklat Kemendagri, Drs. H. Ahmad
Zubaedi,M.Si., dan Bupati Sumbawa Barat, K.H. Zukifli Muhadli, S.H., selaku Ketua
Transformasi Indonesia menyelesaikan penerbitan buku ini.
Bidang P-TPN
65
Alumni Harvard Executive Education menegaskan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa
dilakukan dengan biasa-biasa saja (business as usual), tetapi harus luar biasa (out of the box
thinking). Ilmu dan wawasan yang diperoleh di Amerika Serikat merupakan asset yang
bermanfaat dalam merumuskan, memilih, dan menetapkan program, serta mendorong gerakan
reformasi birokrasi sebagai perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik,
bersih, dan berwibawa. Para alumni bertekad menjadi garda terdepan dalam inovasi pelayanan
publik dan pelaksanaan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang berkelas dunia
(pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan
pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu
menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun
2025). Kumpulan makaah Pertemuan Knowledge Sharing Forum Alumni Harvard Executive
Education, Jakarta, 24 Maret 20014, telah dibukukan dalam bentuk prosiding.
Pedoman Inovasi Pelayanan Publik dan Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014
tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah. Sekretariat KemenPAN-RB berkomunikasi dengan K/L dan Pemda
membahas Proposal SiNoviK Tahun 2015 dan kemudian menyeleksi secara administratif setiap
usulan proposal inovasi yang masuk.
Langkah selanjutnya adalah Tim Evaluasi melakukan penilaian dan memperoleh hasil
200 inovasi terbaik yang disampaikan kepada Tim Panel Independen. Tim Panel Independen
menilai 200 proposal inovasi
diundang melakukan presentasi dan wawancara dengan Tim Panel Independen. Hasil penilaian
presentasi dan wawancara, dilakukan kunjungan lapangan (mystery shopper/shopping) untuk
memeriksa kebenaran data dan dukungan informasi lainnya. Hasil kunjungan lapangan
dilaporkan kepada Tim Panel Independen dan kemudian Tim Panel Independen memutuskan 25
inovasi pelayanan publik terbaik tahun 2015.
Bidang P-TPN
66
67
MenPAN-RB, Prof. Dr. Yuddy Chrinandi, M.M., menegaskan, Pelayanan publik yang
berkualitas adalah dambaan setiap warga negara. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika
pemerintah mengambil berbagai inisiatif guna meningkatkan kualitas pelayanan publik secara
berkelajutan. Terkait dengan hal ini, Pemerintah melalui KemenPAN-RB memperkenalkan
inisiatif One Agency, One Innovation sejak tahun 2013. Pada prinsipnya inisitif ini
mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah agar melakukan minimal 1 (satu) inovasi setiap
tahunnya.Paralel dengan inisiatif ini, diselenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik.
MenPAN-RB bersyukur bahwa jumlah peserta kompetisi pada tahun 2015 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 515 peserta meningkat
menjadi 1189 peserta. Peningkatan ini dapat menjadi petunjuk penting tentang kuatnya
komitmen
dari
para
penyelenggara
pelayanan
publik
untuk
memenuhi
harapan
berbagai pihak yang telah menunjukkan dedikasi melalui kerja keras dalam penyelenggaraan
kompetisi dan penyusunan buku ini.Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati setiap niat dan
langkah baik kita dalam rangka mengabdi kepada bangsa dan negara.
Deputi Bidang Pelayanan Publik, Mirawati Sudjono, M.Sc. menegaskan, Buku Top 99
Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 merupakan pelaksanaan program One Agency, One
Innovation, melalui KIPP Tahun 2015. Penilaian Top 99 Tahun 2015 membedakan Kementerian,
Lembaga, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota. Beliau
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan
KIPP Tahun 2015 dan penerbitan buku Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015. Beliau
juga menyampaikan apresiasi kepada semua inovator Top 99 dan berharap terus menciptakan
Bidang P-TPN
inovasi pelayanan publik. Inovasi yang sudah ada terus diperbaiki dan berkelanjutan, serta
direplikasi oleh unit penyelenggara pelayanan publik lainnya.
Mantan WaMenPAN-RB dan Anggota Tim Panel Independen KIPP Tahun 2015, Prof.
Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, menegaskan, Kunci dari inovasi pelayanan publik ada 3 (tiga)
hal, yaitu niteni, nirokke, dan nemokke (memperhatikan, menirukan, dan menemukan). Untuk
sampai ke sana, salah satu caranya perlu saling berbagi atau sharing pengetahuan dan
pengalaman. Sukses awal program One Agency, One Innovation yang diluncurkan tahun 2014
adalah pelayanan publik perlu dijaga dengan pendekatan komprehensif dan pemantapan siklus
tahunan. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan keseriusan pimpinan dan pelaksana. Transfer
inovasi (strategi, metoda atau substansi pelayanan publik) perlu didukung tools yang
komprehensif dan efektif.
Koordinator Tim Evaluasi KIPP Tahun 2015, Prof. Drs. Komarudin, M.A., menegaskan
pentingnya inovasi, yaitu Inovasi adalah proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam
melakukan penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada. Inovasi
pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif
orisinal maupun adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Inovasi
pelayanan publik tidak mengharuskan penemuan baru, tetapi dapat merupakan pendekatan baru
yang bersifat kontekstual tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan praktik
inovasi, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas pada
inovasi yang ada. Wujud pelayanan yang meliputi proses, administrasi, sistem, dan konsep dapat
dikelompokkan ke dalam perbaikan pelayanan kepada masyarakat, penguatan partisipasi
masyarakat dalam pembuatan kebijakan, pemerintahan berbasis kolaboratif memanfaatkan
teknologi informasi, dan responsif gender.
Prof. Dr. J.B. Kristiadi, Ketua Tim Panel Independen KIPP Tahun 2015 menegaskan,
Replikasi inovasi pelayanan publik adalah proses keputusan untuk melakukan transfer
pengetahuan dalam implementasi gagasan atau ide baru dari praktik baik inovasi pelayanan
publik, baik sebagian maupun keseluruhan. Esensi transfer (teknis, informasi, dan manajerial)
adalah melakukan adaptasi dan internalisasi inovasi pada lingkungan baru. Transfer
membutuhkan dukungan kapasitas, jaringan inovasi, pelembagaan, dan keberlanjutan inovasi.
Bidang P-TPN
68
KIPP Tahun 2015, mendorong komitmen dan konsistensi pimpinan, inisiatif yang kreatif dan
inovatif, pendekatan strategis dan pelaksanaan strategi, peran pemangku kepentingan,
penggunaan sumber daya, keluaran yang paling berhasil, sistem pemantauan dan evaluasi,
manfaat utama yang dihasilkan, keberlanjutan inovasi dan replikasi, dan pembelajaran sebagai
bahan perbaikan menuju inovasi yang menghasilkan pelayanan prima.
Berdasarkan Surat Keputusan MenPAN-RB Nomor 100 Tahun 2015, ditetapkan 25
inovasi pelayanan publik terbaik tahun 2015, masing-masing diraih oleh 3 Kementerian (Kemen
Agraria/BPN, Kemensos, dan Kemenkum HAM), 5 Pemprov (Jatim (2), DI Yogyakarta,,
Kalimantan Tengah, dan Jambi), 10 Pemkab (Badung, Lumajang, Aceh Selatan, Sragen,
Banyuwangi, Pasuruan, Pinrang, Teluk Bintuni, Malang, dan Penajam Paser Utara), dan 7
Pemko (Surabaya, Malang, Denpasar, Jambi, Pekalongan, Lubuklinggau, dan Surakarta).
Peraih Top 99 Tahun 2015 menerima surat penghargaan dan peraih Top 25 menerima
surat penghargaan pada acara Musrenbangnas di Hotel Bidakara, 29 April 2015, disaksikan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya pada bulan Mei 2015 peraih Top 99 diundang
pada acara pelayanan publik di Surabaya dan pada 14-16 Juni 2015 di Sidoarjo diselenggarakan
Gelar Pelayanan Publik dan Simposium Inovasi Pelayanan Publik yang diisi penyajian Top 25
dan peraih masing-masing Juara Kedua UNPSA Tahun 2015 (Pemerintah Kabupaten Aceh
Singkil dan Pemerintah Kabupaten Sragen).
Komitmen, konsistensi, kesungguhan, dan keseriusan, good will pimpinan, kepedulian, dan
keberpihakan.
2.
Bidang P-TPN
69
3.
Prosedur yang jelas (SOP), ketatalaksanaan (proses bisnis) yang sederhana, transparan dan
akuntabel, fleksibilitas pelaksanaan pekerjaan, dan rencana aksi yang mudah dilaksanakan.
4.
Perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara, manajemen
perubahan, manajemen pengetahuan, dan manajemen modern.
5.
Komprehensif, tekad kuat, semangat tinggi, partisipatif, dan yakin masa depan bangsa cerah.
6.
7.
Pelayanan publik berkualitas dan prima, cepat, tepat, murah, mudah, dan aktual (faster,
cheaper, easie, dan newer), dan pelayanan dengan hati ikhlas, senyum, sapa, dan sopan.
8.
9.
Berpikir luar biasa (out of the box thinking) bukan biasa-biasa saja (business as usual), spirit
mendorong perubahan, inovasi, terobosan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pengusul proposal KIPP Tahun 2016 sebaiknya memperhatikan peraturan perundangundangan yang terkait dengan pelayanan publik, antara lain UU 28/1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersi dan Bebas dari KKN, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU 37/2008 tentang
Bidang P-TPN
70
KESIMPULAN
Setiap K/L/Pemda diharapkan melaksanakan inovasi pelayanan publik sebagai tindak
lanjut program OAOI pelayanan publik. Instansi pemerintah tersebut juga didorong untuk belajar
dari praktik-praktik terbaik (best practices) dengan mengamati, meniru, memodifikasi (ATM:
Amati, Tiru, dan Modifikasi), dan mereplikasi keberhasilan inovasi pelayanan publik. Instansi
pemerintah yang telah meraih Top 9, Top 25, Top 33, dan Top 99, disarankan untuk mereplikasi
inovasi pelayanan publik kepada instansi pemerintah lain.
Replikasi inovasi pelayanan publik melibatkan sosialisasi, diseminasi, coaching clinic,
fasilitator, dan publikasi yang memadai. Tidak kalah pentingnya adalah penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar (Permendiknas Nomor 46 tahun 2009 tentang Penyusunan dan
Penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), pelatihan penulisan ilmiah dan semi
Bidang P-TPN
71
populer, pelatihan penulisan proposal, public speaking, komunikasi organisasi, serta teknik
penulisan dan presentasi.
Referensi
1. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2. PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelakanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
3. PerMenPAN-RB Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik.
4. Surat Edaran MenPAN-RB Nomor 09 Tahun 2014 tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan
Publik Tahun 2015 di lingkungan Kementerian/Lembaga, dan Pemerintah Daerah.
5. KemenPAN-RB , Pedoman Teknis Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014,
Desember 2013.
6. KemenPAN-RB , Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014, April 2014.
7. KemenPAN-RB , Top 9 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014, Juni 2014.
8. KemenPAN-RB , Transformasi PelayananPublik Indonesia, Juni 2014.
9. KemenPAN-RB , Finalis Indonesia United Nations Public Service Awards (UNPSA)
Tahun 2014, Juni 2014.
10. KemenPAN-RB , TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2015, Mei2015.
11. KemenPAN-RB , TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2015, Juni 2015.
12. Komarudin, Menelusuri UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Jurnal
NEGARAWAN, Kemensetneg RI, Nomor 27 Tahun 2013.
13. Komarudin, Memahami Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI, Nomor 31 Tahun 2014.
Lampiran 1. Top 99, Top 33, dan Top 9 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014
No
1
2
Inovasi
Audit Kinerja Internal terhadap Standar dan Prosedur Pelayanan
Instansi Pengusul
Kementerian Sosial
Kementerian Pertanian
(SILAYAN) Online
Bidang P-TPN
72
Rumah Belajar
Kemendikbud **)
Kinerja
5
KPK
10
Kabupaten Barru
12
14
KPK
15
**)
17
19
Kabupaten Malang
20
Kementerian Pertanian
Bidang P-TPN
73
74
24
Kementerian PPdanPA
25
Kabupaten Badung
27
E-Musrenbang
29
32
Media Center
Kota Surabaya
**)
33
Kabupaten Banyuwangi
**)
34
Kota Yogyakarta
**)
35
Kota Tangerang
36
37
Rapor Online
Kota Surabaya
38
**)
40
Kabupaten Sragen
**)
BPN
Karanganyar
42
Kota Yogyakarta
Bidang P-TPN
75
43
BPN
**)
Kota Cimahi
**)
45
Kabupaten Pinrang
**)
46
Whistleblowing System
Kementerian Keuangan
47
Kemenkum HAM *)
**)
48
Kota Cilegon
**)
49
Kota Surabaya *)
**)
50
Ombudsman RI
51
52
Kabupaten Pinrang
Bidang Perbankan
53
Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Tuban
Kabupaten Kudus
56
57
Kota Surabaya
58
Kementerian Kesehatan
59
Bidik Misi
Kemendikbud
60
Kabupaten Sleman
Kepada Masyarakat
61
Kota Madiun
62
Kabupaten Lumajang
63
Kabupaten Sambas
64
65
Provinsi Gorontalo
Bidang P-TPN
66
Kemenkominfo
Kabupaten Majene
Lembang
68
Kabupaten Bondowoso
BNP2TKI
70
Kota Dumai
Terkomputerisasi
71
72
Kota Manado
73
Provinsi Jambi
74
75
Kementerian Pertanian
76
Smart Presensi
Kota Pangkalpinang
77
Kota Yogyakarta
Kabupaten Pinrang
Kota Makassar
Kota Solok
81
Geospasial
82
83
Kemenkum HAM
Inovasi
84
Kota Yogyakarta
85
Kementerian Pertanian
Bidang P-TPN
76
77
BNPB
88
Kabupaten Purwakarta
89
Kota Yogyakarta
90
Kementerian Kesehatan
91
92
Kabupaten Karanganyar
93
Kota Makassar
Kota Banjarbaru *)
**)
95
Ganti STNK
96
Kabupaten Purwakarta
97
Polri
98
99
Catatan:
Nomor urut bukan merupakan ranking, tetapi berdasarkan nomor urut pendaftaran proposal
inovasi; tanda *) adalah Top 9 KIPP Tahun 2014 dan tanda **) adalah Top 33 KIPP Tahun 2014.
Pengumuman ini juga dapat dilihat di: http://sinovik.menpan.go.id/
Pemerintah Kabupaten /
Kota Kabupaten
Kabupaten
1
Kabupaten Samosir
Kampung ODF
Bidang P-TPN
Kabupaten Gresik
Tahun 2014
9
Kabupaten Sambas
Kabupaten Sumenep
11
Kabupaten Sumenep
12
Kabupaten Sukabumi
13
Kabupaten Sukabumi
Sukabumi
14
Kabupaten Kulonprogo
Kabupaten Kulonprogo
Kabupaten Banyuwangi
17
Kabupaten Banyuwangi
18
19
20
Kabupaten Karimun
Kabupaten Karimun
Kesehatan Masyarakat
Kota
1
Kota Kupang
Bidang P-TPN
78
Pemberian
Santunan
dan
Akta
Kematian
Gratis
Bagi
Kota Kupang
Kota Banjarbaru
Kota Banjarbaru
Kota Yogyakarta
Kota Manado
Kota Manado
Kota Denpasar
Kota Denpasar
Kota Denpasar
Inovasi
Instansi Pengusul
BPS
Ayo Kerja
Rendah
6
BAPETEN
Kota Surabaya
Kabupaten Badung
10
Bidang P-TPN
79
80
11
e-Health
Kota Surabaya *)
12
Kota Malang *)
13
14
Kabupaten Lumajang *)
Kabupaten Purwakarta
16
Gender Infrastruktur PU
Kementerian
PU
dan
Perumahan Rakyat
17
Gerbang SERASAN
18
Kota Malang
20
Kabupaten Badung
Berkah
21
23
Bahagia
24
JOGJAPLAN
Provinsi DI Yogyakarta *)
25
Kota Bandung
Anak
26
27
Selayar
Tata Ruang/BPN
Kota Denpasar *)
28
29
Kota Jambi *)
30
Kota Yogyakarta
Bidang P-TPN
81
31
Kabupaten Banyuwangi *)
32
33
34
35
Kota Pekalongan *)
36
37
38
Kabupaten Sinjai
Kementerian Keuangan
Km 0 Km 15 = 0
41
Kota Palembang
Kampus
42
ODHALINK
Kabupaten Pasuruan *)
43
Kabupaten Gunungkidul
Kabupaten Pinrang *)
45
Kabupaten Banyuwangi
46
Kabupaten Kulonprogo
RSUD Wates
47
Kabupaten
Lampung
Selatan
48
Kementerian
Ketenagakerjaan
Bidang P-TPN
82
49
Kota Tegal
51
52
Kementerian Sosial *)
53
54
Kementerian
Transmigrasi
55
PDT
dan
Kabupaten Gunungkidul
Miskin)
56
57
58
59
Kabupaten Pinrang
Kementerian Hukum dan
HAM *)
60
Kabupaten Badung *)
Kota Bandung
Kabupaten Mempawah
Pinyuh
61
62
Penyimpangan
Positif
Badan
Perpustakaan,
Arsip
dan
Kementerian
Ketenagakerjaan
Kota Lubuklinggau *)
Bidang P-TPN
83
Berbasis Masyarakat) di
Kabupaten Malang
Kecamatan Kepanjen
64
Kabupaten
66
Kabupaten Boyolali
Kelahiran
68
*)
70
71
72
Rumah Pajak untuk Anak mengajak Anak Kenal dan Cinta Pajak
sejak Dini
73
74
76
SIPADU
STIS:
Sistem
Komputerisasi
Pelayanan
Proses
78
Kota Bandung
Kabupaten Pinrang
Kabupaten Bandung Barat
Kota Bontang
Kementerian Keuangan
Kabupaten Banyuwangi
Kota Surakarta *)
Kabupaten Teluk Bintuni
Sungai
Selatan
65
67
Hulu
Kabupaten Pekalongan
Kabupaten Karawang
BPS
Provinsi Kalteng
Kementerian Perindustrian
Bidang P-TPN
79
80
81
Kabupaten Gunungkidul
Web
(SPKOnline)
83
84
85
86
87
Kabupaten Boyolali
BPS
Provinsi
Kalimantan
Tengah *)
Kementerian Perindustrian
Provinsi
Kalimantan
Tengah
Provinsi Jawa Tengah
Kota Pekalongan
88
Provinsi Jambi
89
Kabupaten Siak
90
91
92
93
94
95
96
Kota Surabaya
Kabupaten Gunungkidul
Provinsi Jambi *)
Kota Yogyakarta
Kabupaten Malang *)
Kota Banda Aceh
Kota Surakarta
Bidang P-TPN
84
97
Unit Pelaksana Teknis-Pekerjaan Umum Tingkat Kecamatan (UPTPU Kecamatan) di Kabupaten Penajam Paser Utara Sebagai Solusi
Penyelesaian Infrastruktur Daerah
98
99
Kota Yogyakarta
Catatan: tanda *) adalah Top 25 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 (3 Kementerian, 5
Provinsi, 10 Kabupaten, dan 7 Kota).
Bidang P-TPN
85
86
P-TDSN 01
ABSTRAK
Penyelenggaraan kompetisi bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dilakukan oleh
banyak pihak baik pemerintah maupun pihak swasta dengan harapan dapat memfasilitasi inovasi
dan kreatifitas bidang TIK dan lebih jauh mendorong munculnya wirausaha mandiri bidang
digital kreatif (digitalpreneur) di Indonesia. Begitu pula dalam hal penyelenggaraan Indonesia
ICT Award (INAICTA), program unggulan Kementerian Kominfo, sejak tahun 2007. Ada
banyak kisah sukses karya yang telah dihasilkan dalam INAICTA, namun tidak sedikit pula
karya yang hanya sekedar diciptakan untuk kompetisi, tanpa memiliki kesempatan untuk
memasyarakat, dikenal dan dikembangkan lebih jauh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
peran kompetisi TIK seperti INAICTA dalam menstimulus pertumbuhan industri kreatif digital
di Indonesia, serta menggali dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh para
pemenang kompetisi dalam mengembangkan karyanya. Dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif, diketahui motivasi, karakteristik pribadi dan karya dari para pemenang, modal usaha
yang dibutuhkan, tindak lanjut karya yang dihasilkan, manfaat yang dirasakan dan persepsinya
terhadap
INAICTA.
Pada
akhirnya,
dapat
direkomendasikan
beberapa
hal
untuk
Bidang P-TDSN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kreatif di Indonesia berdasarkan pemetaaan Kementerian Parekraf mencakup 14
subsektor, yakni periklanan, arsitektur, seni dan barang antik, kerajinan tangan, desain, fashion,
video-film dan fotografi, game interaktif, musik, seni pertunjukan, percetakan dan publikasi,
hardware dan software komputer, televisi dan radio, serta pengembangan riset. Industri kreatif
bidang hardware dan software komputer atau yang familiar dikenal sebagai digital kreatif
menunjukkan gejala peningkatan yang positif. Riset dari ABI Research misalnya mencatat pada
tahun 2011 saja, ada 29 milyar aplikasi mobile yang diunduh di ponsel cerdas di seluruh dunia.
Jumlah ini meningkat tinggi dari tahun sebelumnya 2010, yang hanya berjumlah 9 milyar
unduhan. Merujuk dari angka ABI research, bahwa di tahun 2011 ada 29 milyar aplikasi mobile
yang diunduh dari ponsel cerdas, dan asumsi pengembang di Indonesia dapat mengambil 0.5%
(sekitar 145 juta unduhan) dan keuntungan satu kali unduhan sekitar Rp.1000, hal ini bisa
menghasilkan 145 Milyar rupiah.
Peluang pada industri kreatif digital ini perlu ditangkap sebagai salah satu sektor yang
dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Dalam hal mengurangi jumlah pengangguran,
sektor digital kreatif potensial menciptakan program entrepreneurship yang melahirkan banyak
wirausaha mandiri digitalpreneur. Seperti diketahui, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang ideal, suatu negara membutuhkan entrepreneur sebanyak 2% dari jumlah total penduduk.
Sementara Indonesia saat ini baru memiliki sekitar 0,18% atau
entrepreneur. Dengan melihat banyaknya pengguna internet khususnya mobile internet, maka
digitalpreneur dapat menjadi salah satu pilar baru ekonomi nasional (Jurry Hatammimi, 2011).
Dukungan pemerintah terhadap industri kreatif digital di Indonesia tampak dari legal
PERPRES No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan INPRES No. 6 Tahun
2009 tentang Pengembangan Industri Kreatif. Kebijakan lain, pemerintah juga membangun
inkubator-inkubator industri TIK yang akan memupuk dan mengembangkan start-up company
seperti 10 Regional IT Centre of Excellence (RICE) dari Kementerian Perindustrian atau 4
inkubator dari Kementerian Kominfo.
Bidang P-TDSN
87
Selain itu, banyaknya kompetisi bidang ICT seperti IndigoFellowship, Indonesia ICT
Award (INAICTA), dan IMULAI dipercaya dapat menstimulus lahirnya digitalpreneur di
Indonesia. Ajang seperti ini dapat memfasilitasi lahirnya inovasi-inovasi dan kreativitas sebagai
kekuatan dasar digitalpreneur. Sudah banyak pula aplikasi konten digital Indonesia yang meraih
penghargaan internasional seperti Blackberry Super Apps Developer Challenge 2010, Best App
Ever Awards Winner, Best iPhone Apps for Kids dan Asias Top 50 Apps 2010.
Program Indonesia ICT Award (INAICTA) sebagai salah satu progam unggulan
Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang telah diselenggarakan sejak tahun 2007 sangat
baik sebagai sarana peningkatan inovasi dan kreatifitas masyarakat di bidang TIK sehingga
karyanya berguna untuk pemberdayaan masyarakat luas. Selain menstimulus inovasi dan
kreatifitas, INAICTA diharapkan dapat mendukung ekosistem karya digital kreatif Indonesia.
Target peserta yang ikut dalam INAICTA tidak hanya pengembang perseorangan, tapi juga
perusahaan-perusahaan lokal. Beberapa kisah sukses dari penyelenggaraan INAICTA seperti
Faunia Rancher, pemenang INAICTA tahun 2012 untuk kategori game digital, yang dapat
menangkap peluang di Apple AppStore. Melalui perusahaan ChowDown Games dan Joyverter
Entertainment, aplikasi tersebut cukup sukses menjadi hits di kalangan casual gamer dan
memiliki lebih dari 10.000 pemain dalam waktu 3 bulan. Adapula JBatik (Batik Fractal),
pemenang INAICTA 2008, berupa perangkat lunak (software) yang mampu menciptakan motifmotif batik modern dengan basis desain batik tradisional. Karya tersebut memperoleh
penghargaan Asia Pacific ICT Award (APICTA) 2008 untuk kategori Tourism and Hospitality
dan UNESCO 2008 Award of Excellence sebagai Stamp of Approval. Hal ini menunjukkan
produk ini memiliki kualitas tertinggi pada level internasional dan berpotensi besar untuk masuk
pasar dunia.
Namun demikian, tidak sedikit pula karya yang belum dapat tertangkap oleh dunia
industri atau sukses menjadi industri mandiri, karena berbagai kendala. Sebagai contoh
Sedapur.com, salah satu startup pemenang INAICTA 2011 dibidang e-commerce. Di sepanjang
tahun 2011, volume penjualan Sedapur bisa dibilang tidak cukup besar, bahkan harus
menghentikan layanannya di tahun 2013. Karya Sistem Informasi Management SPBU (SIMS
2008), pemenang INAICTA 2008 untuk kategori e-business corporate, ternyata belum dapat
Bidang P-TDSN
88
dimanfaatkan secara optimal oleh pengelola SPBU. Sehingga karya tersebut hanya sekedar
diciptakan untuk kompetisi, tanpa memiliki kesempatan untuk memasyarakat, dikenal dan
dikembangkan lebih jauh. Pada akhirnya, program-program kompetisi yang ada seperti terjebak
pada acara seremonial tanpa mengusung target yang lebih besar, yaitu untuk menumbuhkan
industri kreatif bidang TIK di dalam negeri.
Masalah Penelitian
Dengan latar belakang permasalahan demikian, penelitian ini bermaksud menggali dan
menjawab rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana Program INAICTA dapat berperan dalam menstimulus pertumbuhan industri
kreatif digital di Indonesia?
2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh para pemenang Program INAICTA dalam
mengembangkan karyanya untuk menjadi industri atau terserap industri?
3. Indikator-indikator apa saja yang harus diakomodir dalam Program INAICTA untuk dapat
menstimulus pertumbuhan industri kreatif bidang TIK?
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran kompetisi ICT seperti Program Tahunan Indonesia ICT Award
(INAICTA) dalam menstimulus pertumbuhan industri kreatif digital di Indonesia,
2. Menggali dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh para pemenang
kompetisi ICT dalam mengembangkan karyanya untuk dapat dipakai dalam industri atau
bahkan berkembang menjadi industri.
3. Mengusulkan atau merekomendasikan indikator-indikator yang masih perlu diakomodir
dalam Program INAICTA untuk dapat meningkatkan eksistensinya dalam menstimulus
pertumbuhan industri kreatif bidang TIK.
Bidang P-TDSN
89
Tinjauan Pustaka
Definisi industri kreatif berdasarkan UK DCMS task force 1998 adalah Creatives
Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and
which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of
intellectual property and content. Definisi serupa diacu oleh Departemen Perdagangan
Republik Indonesia dalam studi pemetaan di tahun 2007, bahwa industry kreatif adalah Industri
yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi
dan daya cipta individu tersebut.
Setelah mulai diperhitungkan dalam perekonomian, berbagai usaha dilakukan oleh
pemerintah di berbagai Negara untuk meningkatkan perkembangan industri kreatif dinegaranya.
Seperti pemerintah Australia, telah melalukan penelitian tentang industri kreatif di Negara
setempat dan mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat mendorong pelaku industri kreatif
memberikan kontribusi lebih besar terhadap GDP (PMSEIC, 2003) Hal yang sama juga
dilakukan oleh pemerintah Singapura (Wong et al., 2006) dan UK (The Work Foundation,
2007).
Salah satu cara melalui pengadaan program-program pelatihan untuk menstimulasi
pertumbuhan usaha kreatif. Namun demikian, menurut hasil survey yang dilakukan di Peru
terhadap industri kreatif skala kecil, efektifitas program pelatihan bagi industri kreatif dirasa
kecil sebab para pelaku usaha lebih mengandalkan kebutuhan/trend (lifestyle based) dalam
menemukan ide-ide kreatif, sehingga disarankan pemerintah setempat dapat melakukan upaya
lain yang lebih efektif seperti dukungan ekspansi bagi pelaku usaha (Chaston, 2008).
Untuk melahirkan seorang digitalpreneur tampaknya tidak cukup melalui ajang
kompetisi. Apalagi usaha berbasis kreativitas atau yang disebut Industri Kreatif memiliki jalan
sukses yang mungkin berbeda dengan industri lainnya. Beberapa ahli mencoba merumuskan
model pengembangan bisnis kreatif. Di UK, pemerintah mencoba memberikan stimulus dalam
bentuk bagi pengembangan industri kreatif. Kajian evaluasi terhadap program tersebut di tahun
2013 Effective Policies for Innovation Support menemukan bahwa
diberikan, pada awalnya dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan penjualan di UKM dalam
Bidang P-TDSN
90
enam bulan sesuai skema - tapi setelah enam bulan kemudian dampak tersebut tidak lagi
signifikan secara statistik. Penurunan dampak tidak terdeteksi dengan metode evaluasi yang
biasa digunakan oleh pemerintah, sehingga uji coba terkontrol secara acak harus digunakan
secara lebih luas untuk mengevaluasi kebijakan pendukung bisnis kreatif (Bakhshi, 2013).
Pada penelitian di Denmark tahun 2011 yang melihat bisnis model dan pengembangan
bisnis pada industri kreatif audiovisual, aspek business performance menjadi salah satu elemen
penting, yaitu bagaimana perkembangan perusahaan tersebut dalam hal penjualan. Terkait
dengan penelitian ini, untuk mencakup unsur perusahaan dan juga calon-calon digitalpreneur,
maka business performance disini diarahkan kepada perkembangan karya yang dihasilkan,
apakah karya tersebut telah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Keterkaitan antara modal social (social capital) bagi entrepreneurship pada konteks usaha
kecil dan menengah, telah dibuktikan oleh Fuller dan Tian (2006) dalam penelitian Social and
Symbolic Capital and Responsible Entrepreneurship: An Empirical Investigation of SME
Narratives. Dimensi dari modal social tersebut mencakup structural, relational, dan cognitive.
Salah satu perspektif dari teori social capital ada bahwa jaringan relasi menyediakan akses
terhadap sumber daya dan informasi (Liao and Welsch, 2005). Setidaknya ada 5 sifat yang harus
melekat pada seorang entrepreneur yang sukses, yaitu kemandirian, inovasi, berani mengambil
resiko, pro aktif, serta siap bersaing (Covin and Slevin 1989; Lumpkin and Dess 1996; Morris
and Sexton 1996).
Bidang P-TDSN
91
Kerangka Pemikiran
Peran
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, data
kuantitatif didapatkan melalui survey secara online, yang diperkuat/diperdalam dengan data
kualitatif melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa pemenang
INAICTA dari beragam kategori karya. Populasi penelitian adalah seluruh pemenang INAICTA
dari tahun 2007-2013 sebanyak 248 pemenang, sementara sampel yang dipilih adalah para
pemenang INACTA tahun 20013 dan tahun 2013 sejumlah 81 responden, dengan pertimbangan
keterbatasan data kontak para pemenang INAICTA yang tersedia di penyelenggara untuk dapat
dihubungi via online (e-mail).
Bidang P-TDSN
92
Responden berdasarkan
Latar Belakang Instansi
Mayoritas responden pada penelitian ini adalah laki-laki (87,7%) dengan rentang usia
sebagian besar berada pada rentang 21 34 Tahun (63.0%). Berdasarkan domisilinya, sebagian
besar responden berdomisili di Pulau Jawa (tidak termasuk Jakarta) (60.5%). Dan sebagian besar
mereka (51%) mengikuti kompetisi mewakili Institusi Pendidikan, sementara (40.7%) mewakili
suatu perusahaan.
Bidang P-TDSN
93
94
Motivasi
Indikator
Mengikuti kompetisi
INAICTA semata-mata
untuk menjadi juara
Mengikuti kompetisi
INAICTA untuk
memperkenalkan hasil
karya kepada orang lain
Mengikuti kompetisi
INAICTA untuk
mendapatkan hadiah
Termotivasi mengikuti
kompetisi INAICTA
sebagai ajang promosi
Overall Mean Score
Range :
1.00 1.80
1.81 2.60
2.61 3.40
3.41 - 4.20
4.21 - 5.00
Sangat Buruk
Buruk
Cukup baik
Baik
Sangat baik
Mean
Score
Kategori
3.432
Baik
3.185
4.037
Cukup
Baik
Baik
4.185
Baik
3.710
Baik
Indikator
Mean
Score
Ketegori
4.432
Sangat Baik
4.457
Sangat Baik
4.469
Sangat Baik
4.494
Sangat Baik
4.432
Sangat Baik
4.407
Sangat Baik
4.449
Sangat Baik
Bidang P-TDSN
95
Karakteristik Karya
Indikator
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA, merupakan
suatu prestasi akademis
bagi saya
Karya saya yang
dinyatakan tersebut
memiliki keunikan
dibanding karya lain
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA tahun bersifat
orisinal
Karya saya yang
dinyatakan sebagai
pemenang dalam
INAICTA sangat
bermanfaat bagi
masyarakat
Modal usaha
Mean
Score
Kategori
3.778
Baik
4.062
Sangat
Baik
4.321
4.086
Sangat
Baik
Baik
4.000
Baik
4.420
Sangat
Baik
4.111
Baik
Mean
Score
Kategori
3.012
Cukup
Baik
3.568
Baik
4.160
Baik
3.864
Baik
4.062
Baik
3.733
Baik
Indikator
Saya memiliki sarana dan
prasarana yang cukup untuk
menghasilkan karya-karya
digital kreatif
Infrastuktur pendukung di
daerah tempat saya tinggal
sudah memadai untuk
menghasilkan karya-karya
digital kreatif
Saya membutuhkan
pelatihan untuk menjadi
entrepreneur
Saya membutuhkan bantuan
modal untuk
mengembangkan usaha
Bidang P-TDSN
96
Manfaat sosial
Indikator
Dengan mengikuti
INAICTA, karya saya
dapat dikenal oleh orang
lain
Dengan mengikuti
INAICTA, karya saya
dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
menunjukkan
kemampuan/bakat saya
dibidang TIK
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
membangun networking
dengan dunia usaha
Dengan mengikuti
INAICTA, saya dapat
meningkatkan kepercayaan
publik pada perusahaan
saya
Overall Mean Score
Kategori
2.593
Cukup
Baik
Baik
3.309
Cukup
Baik
4.000
Baik
3.691
Baik
3.901
Baik
2.914
Cukup
Baik
3.037
Cukup
Baik
3.109
Cukup
Baik
Mean
Score
Kategori
4.012
Baik
3.864
4.037
3.963
Baik
Baik
Indikator
Bidang P-TDSN
Indikator
INAICTA merupakan
kesempatan yang bagus
untuk menyalurkan ide-ide
kreatif
INAICTA merupakan
ajang yang tepat untuk
menghasilkan produkproduk digital kreatif
Program INAICTA telah
mendukung proses
distribusi produk-produk
digital kreatif kepada
pihak-pihak yang terkait
Program INAICTA telah
berhasil mendukung
lahirnya enterpreneur
bidang TIK di Indonesia
Kebijakan pemerintah
telah mendukung
pertumbuhan industri
kreatif digital di Indonesia
Overall Mean Score
Mean
Score
Kategori
3.988
Baik
3.914
Baik
3.815
Baik
3.951
Baik
3.691
Baik
3.872
Baik
Dari data penelitian kuantitatif diketahui bahwa motivasi dari 81 responden para
pemenang INAICTA tahun 2012 dan tahun 2013 dalam mengikuti kompetisi tersebut paling
banyak adalah Termotivasi mengikuti kompetisi INAICTA sebagai ajang promosi. Disusul
dengan mereka yang prize hunter artinya Mengikuti kompetisi INAICTA untuk mendapatkan
hadiah. Jika dilihat dari Karakteristik Pribadi responden, diketahui bahwa keenam karakteristik
penting seorang entrepreneur telah dimiliki oleh para responden dengan Sangat Baik. Sebagian
besar responden menyatakan bahwa mereka penuh dengan ide-ide kreatif. Mengacu pada
Karakteristik Karya mereka yang diikutsertakan dalam INAICTA, maka paling banyak
responden berpendapat Karya yang dinyatakan sebagai pemenang dalam INAICTA dapat
dikembangkan lebih lanjut.
Bidang P-TDSN
97
Menariknya, jika melihat tindak lanjut karya yang telah mereka hasilkan dalam INAICTA
diketahui bahwa secara keseluruhan kelanjutan dari karya kreatif mereka berada pada kategori
Cukup Baik, artinya setelah dinyatakan menang dalam INAICTA, karya-karya tersebut belum
secara maksimal ditindaklanjuti. Menurut responden, paling banyak baru sebatas telah digunakan
di lembaga tempatnya bekerja maupun belajar.
Ketika ditanyakan modal/manfaat sosial yang mereka dapatkan dari mengikuti kompetisi
INAICTA, secara keseluruhan berpendapat bahwa banyak manfaat yang didapat dari INAICTA.
Manfaat paling besar, walaupun tidak dominan, yang dirasakan oleh responden adalah Dengan
mengikuti INAICTA, dapat meningkatkan kepercayaan publik pada perusahaan saya.
Selanjutnya, mengacu pada aspirasi responden terhadap Modal Usaha yang dimiliki dan
dibutuhkan dalam mengembangkan diri menjadi entrepreneur dan menghasilkan karya-karya
digital kreatif, diketahui bahwa menurut pendapat responden yang paling dibutuhkan adalah
pelatihan untuk menjadi entrepreneur. Besar harapan responden bahwa pemerintah dapat
memfasilitasi pelatihan-pelatihan-pelatihan pembekalan menjadi entrepreneur. Sementara hal
yang dirasa paling kurang adalah sarana dan prasarana yang cukup untuk menghasilkan karyakarya digital kreatif. Masih banyak responden yang merasa belum memiliki sarana dan prasarana
yang cukup sehingga perlu dibekali untuk terus menghasilkan karya-karya digital kreatif.
Terakhir, terkait persepsi responden terhadap penyelenggaraan INAICTA diketahui bahwa
secara keseluruhan persepsi responden terhadap INAICTA tergolong Baik. Indikator yang
memiliki bobot paling positif di mata responden adalah bahwa INAICTA merupakan
kesempatan yang bagus untuk menyalurkan ide-ide kreatif.
Bidang P-TDSN
98
0.496
Motivasi
(X1)
Karakteristi
k Pribadi
(X2)
Karakteristi
kKarya
(X3)
Manfaat
Sosial
(Z1)
0.34
0.062
0.252
0.297
0.482
0.603
0.203
0.478
0.599
Tindak
Lanjut
Karya
(Z2)
Persepsi ttg
INAICTA
(Y)
0.266
Modal
Usaha
(X4)
Kelemahan (Weaknes)
Peserta, khususnya dari luar Jakarta harus siap
modal untuk biaya akomodasi dan transportasi
selama mengikuti INAICTA.
Pembekalan ilmu melalui seminar dan
workshop diselenggarakan berbarengan dengan
acara pameran, sehingga para peserta malah
tidak bisa mengikutinya.
Program tindak lanjut Investor Night masih
terbatas pada beberapa peserta saja.
Belum adanya perlindungan terhadap hak
paten/hak cipta atas karya peserta.
Bidang P-TDSN
99
Bidang P-TDSN
100
bisnis, peluncuran produk dan layanan baru serta kapasitas perencanaan. Oleh karena itu jika
INAICTA ingin diarahkan untuk mendorong lahirnya digital entrepreneurs, maka programprogram untuk membentuk jiwa kewirausahaan perlu dilatihkan kepada para pemenang
INAICTA paska selesainya kompetisi tersebut.
Memang penyelenggaraan pelatihan/training/workshop/seminar sering dipandang sebagai
solusi standar yang sudah sering dan mudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan untuk
meningkatkan kapasitas SDM dibidang tertentu. Padahal efektivitas investasi peningkatan
industri kecil melalui penyelenggaraan training dipertanyakan dalam penelitian di Peru (Chaston,
2008). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan kebutuhan dan harapan yang besar dari
responden, para pemenang INAICTA, terhadap pelatihan atau pembekalan ilmu untuk menjadi
entrepreneur. Oleh karena itu, materi pelatihan yang tepat dan teknik pemberian pelatihan yang
efektif sangat diperlukan.
Selain itu, hambatan dalam proses inovasi menurut beberapa perusahaan kreatif terletak
pada kurangnya program pendanaan untuk freelancer dan model-model bisnis yang baru.
Pembiayaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pengusaha mikro dan kecil di industri
kreatif (Georgelli et al., 2000).
Penyelenggaraan kompetisi ICT seperti INAICTA umumnya membawa agenda dari
masing-masing penyelenggara. Hal ini menyebabkan acara-acara tersebut rawan akan euphoria
kompetisi dan seremonial belaka. Seringkali terjadi penyelenggaraan kompetisi ICT tersebut
ditonjolkan pada saat penganugerahan pemenang yang dilakukan secara berlebihan seperti
dilakukan diatas kapal Quick Silver Cruise Batavia Marina dengan acara sangat meriah.
Padahal idealnya, ada output dan outcome lain yang harus dikejar dari penyelenggaraan
kompetisi tersebut, yaitu mendorong lahirnya entrepreneur-entreprenur digital yang mandiri dan
produktif. Oleh karenanya, INAICTA pun harus men-set tujuan dan sasaran (output) yang akan
diraih dari sekedar terselenggaranya acara.
Faktor penilaian dalam menentukan karya terbaik pada suatu kompetisi menjadi hal yang
penting untuk ditentukan. Faktor Uniqueness and Originality, Commercialization, dan Benefits
merupakan aspek yang perlu untuk dipertimbangkan. Originalitas penting untuk meminimalkan
Bidang P-TDSN
101
orientasi peserta pada hadiah (prize hunter), artinya karya yang dikirimkan memang belum
pernah diikutsertakan dalam kompetisi TIK sejenis lainnya.
2.
Penyelenggaraan kompetisi ICT seperti INAICTA merupakan salah satu jalan untuk
mendorong anak bangsa menghasilkan karya-karya digital kreatif dengan motivasi yang
berbeda-beda, baik berorientasi mengembangkan bisnis yang jauh kedepan maupun
berorientasi juara/hadiah. Namun demikian, tindak lanjut pengembangan terhadap karya
yang telah dihasilkan dipengaruhi oleh banyak aspek. Hasil penelitian menunjukkan para
pemenang INAICTA tahun 2012 dan 2013 belum maksimal mengembangkan karyanya
lebih lanjut. Walaupun telah mendapat terpaan publikasi yang luas, beberapa peserta masih
mengalami kendala-kendala untuk mengembangkan karyanya. Kendala yang dihadapi oleh
peserta dari kalangan lembaga pendidikan yaitu: ketersediaan sponsor untuk riset lebih
lanjut mengembangkan prototype yang sudah dibuat, keterbatasan link dengan pihak yang
mau menjalin kerjasama terutama bagi penggiat hardware, keterbatasan waktu untuk focus
mengembangkan karya, serta kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang perjanjian
Bidang P-TDSN
102
bisnis, hak cipta, dan langkah-langkah membangun start up. Sementara kendala yang
dihadapi oleh peserta dari kalangan perusahaan pemula (Start-up Company) adalah
keterbatasan modal untuk mengembangkan produk, dan kurangnya pengetahuan tentang
pengembangan bisnis.
3.
Oleh karena itu, indikator-indikator yang harus diakomodir dalam Program INAICTA untuk
dapat menstimulus pertumbuhan industri kreatif bidang TIK mencakup: program-program
pengembangan paska kompetisi, perlindungan hak cipta bagi karya para peserta INAICTA,
dan perbaikan teknis penyelenggaraan acara.
Dari hasil penelitian ini dapat diberikan beberapa rekomendasi terkait penyelenggaraan
INAICTA kedepan, diantaranya:
1. Mengupayakan perlindungan hak cipta bagi karya para peserta INAICTA agar ide-ide
kreatif yang mungkin masih premature tersebut dapat terlindungi.
2. Dalam hal perencanaan kegiatan, penyelenggaraan INAICTA sebaiknya mencakup kegiatan
tindak lanjut paska kompetisi, artinya tidak hanya selesai pada seremonial pengumuman
pemenang. Tindak lanjut yang diberikan dibedakan antara kalangan pelajar/mahasiswa
dengan kalangan usaha. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti kegiatan investor nights yang
melibatkan lebih banyak pemenang; menyelenggarakan pelatihan/workshop intensif untuk
mengawal perkembangan karya para pemenang; mengembangkan peserta Start-up Company
melalui inkubator bisnis; serta menciptakan skema bantuan modal bagi Start-up Company.
3. Terkait kriteria penilaian, unsur Intellectual Achievement, Uniqueness and Originality,
Development, Commercialization, Benefits perlu diperhatikan. Originalitas penting untuk
meminimalkan pengiriman karya yang hanya berorientasi pada hadiah (prize hunter), bahwa
karya yang dikirimkan memang belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi TIK sejenis
lainnya.
4. Pemberian penghargaan/hadiah (reward) bagi para pemenang INAICTA (Juara 1, 2 dan 3)
sangat diharapkan oleh para peserta karena dapat bermanfaat untuk mengembangkan produk
maupun melakukan riset lebih lanjut.
Bidang P-TDSN
103
104
5. Inovasi penting untuk sektor bisnis, tetapi juga dibutuhkan di layanan publik. Oleh karena
itu, dapat dimunculkan award untuk kategori aplikasi layanan publik seperti yang telah
dilakukan di Singapura melalui Public Service Innovation Awards.
DAFTAR PUSTAKA
Atuahene-Gima, K. and Ko, A. (2001), An empirical investigation of the effect of market orientation and
entrepreneurship orientation alignment on product innovation, Organization Science, Vol. 12
No. 1, pp. 54-74.
Chaston, Ian. (2008). Small Creative Industry
www.emeraldinsight.com/0025-1747.htm
Firms:
Development
Dilemma?
Fuller, Ted and Yumiao Tian. (2006). Social and Symbolic Capital and Responsible Entrepreneurship:
An Empirical Investigation of SME Narratives, Journal of Business Ethics, Springe 67: 287-304.
Georgelli, Y.P., Joyce, B. and Woods, A. (2000). Entrepreneurial action, innovation, and business
performance: the small independent business, Journal of Small Business and Enterprise
Development, Vol. 7 No. 1, pp. 7-17.
Hatammimi, Jurry. (2011). Digitalpreneur as Indonesias New Economic Pillar, paper disampaikan
dalam The 36th Federation of ASEAN Economic Association (FAEA) Conference di Kuala
Lumpur, Malaysia, 24 November 2011.
Kardoyo, Hadi dkk. (2013). Knowledge-Intensive Entrepreneurship dan Sistem Inovasi: Studi Kasus
Pelaku Industri Telematika di Indonesia PAPPIPTEK LIPI.
Pricehousewatercoopers. (2011). Digital Transformation of Creative Media Industries : Opportunities for
Success and Challenges, Research report for Ontario Media Development Coorperation,
Nordicity.
Stewart, W.H., Watson, W.E., Garland, J.C. and Garland, J.W. (1998). A proclivity for entrepreneurship:
a comparison of entrepreneurs, small business owners and corporate managers, Journal of
Business Venturing, Vol. 14 No. 2, pp. 189-214.
Suharto, Djoko dan Taufiq Mulyanto. (), Makna dan Dampak Kompetisi Shell Eco-marathon,
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung.
Utsch, A., Rauch, A., Rothfuss, R. and Frese, M. (1999). Who becomes a small scale entrepreneurin a
post-socialist environment: on the differences between entrepreneurs and managers in East
Germany, Journal of Small Business Management, Vol. 37 No. 3, p. 3142.
Bidang P-TDSN
P-TDSN 02
ABSTRAK
Lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) memiliki peran penting dalam ekonomi
nasional. Hal ini ditandai dengan teknologi yang dihasilkan bersumber dari sebuah kegiatan
penelitian yang bersifat komersial. Berdasarkan hukum ekonomi, terdapat dua faktor utama yang
mendukung pengembangan suatu teknologi yaitu kapital (tersedianya alat dan bahan) dan tenaga
kerja (sumber daya manusia yang mumpuni). Ketersediaan faktor tersebut harus serta merta
diwujudkan dalam kegiatan alih teknologi yang bersifat mengikat dan berpayung hukum melalui
paten dan lisensi. Pentingnya hal ini disebabkan dengan adanya hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan antara negara, masyarakat/industri dan inventor. Dengan demikian perlu
dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemungkinan
bahwa hasil penelitian dapat dipatenkan dan kemudian dilisensikan. Kajian ini dilakukan dengan
cara penelaahan terhadap para peneliti di lembaga litbang LIPI. Kami menemukan keinginan
peneliti untuk mematenkan dan melisensikan hasil penelitiannya dipengaruhi oleh faktor
individu dan faktor institusi. Faktor individu meliputi persepsi peneliti terhadap komersialisasi
hasil penelitian, sedangkan faktor institusi yaitu dengan adanya Technology Transfer Ofce
(TTO). Dari dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor institusi dimana dengan
kehadiran TTO dapat berfungsi sebagai pendamping dalam analisa pasar dari hasil penelitian
serta penghematan biaya pelaksanaan lisensi sehingga berpengaruh positif terhadap melisensikan
hasil penelitian.
Kata Kunci: Alih teknologi, lisensi, komersialisasi, paten
Bidang P-TDSN
105
PENDAHULUAN
Peran lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan salah satu faktor
penentu perkembangan perekonomian di suatu negara. Hasil pemanfaatan ilmu pengetahuan
yang diaplikasikan dalam paten dan lisensi menjadi tolak ukur bahwa teknologi yang dihasilkan
oleh negara tersebut mutakhir dan bermanfaat dalam pemecahan masalah di masyarakat.
Berdasarkan hukum ekonomi, terdapat dua faktor utama yang mendukung pengembangan suatu
teknologi yaitu kapital (tersedianya alat dan bahan) dan tenaga kerja (sumber daya yang
mumpuni) (Putera, 2015). Lembaga litbang pada dasarnya telah memiliki sumberdaya yang
mumpuni dengan banyaknya pegawai yang berprofesi sebagai peneliti dan tersedianya alat dan
bahan penelitian dari kegiatan kerja peneliti dalam jangka waktu tertentu. Lembaga litbang juga
berfungsi sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat secara langsung menjadi
wadah desiminasi dan transfer teknologi. Penelitian Thursby dan Thursby (2002)
mengungkapkan proses alih teknologi terdiri dari tiga tahap yaitu diseminasi ilmu pengetahuan,
aplikasi paten, lisensi atau perjanjian lainnya. Dalam hal ini paten menjadi penting karena
adanya hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor dalam memanfaatkan hasil
penelitiannya disamping masyarakat juga secara gratis mendapatkan informasi hasil penelitian
tersebut.
Kajian yang dihasilkan oleh Thomson Reuters (2014) mengungkapkan nilai suatu paten
dapat dimanfaatkan sebagai invenstasi komersialisasi dengan siklus berkelanjutan dari adanya
inovasi dan penelitian, aplikasi, monitoring, lisensi, dan perlindungan. Pemanfaatan lisensi
dalam
berdasarkan hasil peneltian memberikan manfaat timbal balik bagi pengguna dan
pemakai paten, dimana inventor mendapatkan selain mendapatkan hak ekslusif juga
mendapatkan insentif disamping adanya proses alih teknologi secara langsung kepada pihak ke
tiga dari penemuan tersebut.
Bidang P-TDSN
106
Di Indonesia, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai sepenuhnya
atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut tertuang pada Pasal 2
PP 20:2005. Selain itu, dalam melaksanakan kewajiban mengusahakan alih teknologi kekayaan
intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan lembaga
litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan
dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan di
lingkungannya yang telah diatur dalam Pasal 16 PP 20:2005. Adapun beberapa regulasi yang
berkaitan dengan lisensi paten di Indonesia telah tertuang dalam :
72/PMK.02/2015
-
PNBP Royalti Paten adalah penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
penerimaan royalti atas Lisensi Paten.
Bidang P-TDSN
107
Bidang P-TDSN
108
Di sisi lain, dalam seminar National Exhibition of Inventions di Cina 2015, Lu Dahan,
Sekertaris China Association of Inventions, mengatakan penemu atau peneliti memiliki masalah
dalam memahami kebutuhan pasar, mengevaluasi ulang paten mereka dan bekerja sama dengan
orang lain. Selain itu masalah terbesar bagi sebagian besar penemu individu adalah kurangnya
dana dan investasi dimana bagi mereka untuk mengajukan dana pemerintah dan sejumlah
lembaga investasi malaikat tidak cukup dalam memenuhi permintaan konsumen (Chinadaily,
2015). Hal ini menjadi masalah dimana masih minimnya jumlah lisensi yang dihasilkan oleh
lembaga litbang dari paten yang telah terdaftar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan lisensi paten di lingkungan litbang.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu dengan menggunakan pendekatan studi
literatur dan wawancara. Kajian ini dilakukan dengan cara penelaahan terhadap para peneliti di
lembaga litbang X sebagai narasumber.
dikarenakan lembaga litang tersebut merupakan produsen paten terbesar di Indonesia. Penulis
memilih narasumber sebagai pakar dari lembaga litbang X dengan kriteria seorang peneliti yang
memiliki paten dan atau memegang jabatan struktural minimal eselon II. Kriteria responden
tersebut dipilih karena dinggap memiliki kemampuan dalam memahami prosedur dalam proses
lisensi yang ada di lingkungan litbang X.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan sistem snowball sehingga informasi yang
digali menjadi lebih fokus dan mendalam. Penggunaan metode ini juga memiliki keunggulan
dengan adanya sumber informasi yang berasal dari sumber-sumber yang relevan dari pakar.
Penelitian berorientasi pada peneliti yang dijadikan responden sebagai sumber objek pelaku dan
unsur teknis. Adapun peta proses penelitian ini yaitu :
Bidang P-TDSN
109
Pentingnya Paten
Terlisensi
Internal
(individu)
Kajian Teoritis
- Persepsi peneliti
tentang lisensi
- Partisipasi
peneliti dalam
melisensikan
paten
Eksternal
(institusi)
- UU
- Peraturan
Litbang X
Wawancara
Pakar
Rekomendasi
Bidang P-TDSN
110
Pembahasan
Berdasarkan hasil studi litelatur, penulis mengelompokan faktor-faktor menjadi faktor
internal dan faktor eksternal. Dari hasil penelusuran variabel tersebut dijadikan acuan wawancara
pakar sebagai indikator untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan
lisensi paten. Berdasarkan hasil kriteria peningkatan jumlah paten terlisensi dapat dilihat pada
Tabel 1 dan 2.
Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari pemahaman peneliti, intensi hasil
penelitian, dan kesempatan sebagaimana pada Tabel 1. Berdasarkan hasil wawancara,
pemahaman peneliti mengenai lisensi masih sangat minim, dimana pada dasarnya output kinerja
peneliti bukan didasarkan oleh lisensi yang dihasilkan. Inventor menganggap bahwa lisensi
Bidang P-TDSN
111
112
merupakan hasil sampingan dari pemanfaatan hasil penelitian. Lebih dari 50%
inventor
cenderung melakuan kerja sama tidak melalui lisensi, melainkan kontrak lainnya. Dengan
demikian proses komersialiasi dari hasil penelitian tidak berorientasi pada paten. Hal ini perlu
adanya kebijakan khusus dalam pemanfaatan hasil penelitian dimana penelitian yang dianggap
baru harus dipatenkan dan lisensikan.
Adanya kerja sama penelitian pada umumnya merupakan kerja sama yang berorientasi
pada kebutuhan dari suatu instansi atau industri dimana pihak luar yang terlebih dahulu
mengajukan usulan kerja sama. Pada umumnya hasil penelitian yang dihasilkan oleh lembaga
litbang bersifat penelitian dasar. Sebagian besar penelitian bukan berdasarkan data analisa pasar
atau masih belum bersifat marketable.
Selain itu penelitian yang dihasilkan libang X masih belum bisa diterima (acceptable)
baik oleh industri maupun vendor dikarenakan sifat penelitian bukan sebuah produk jadi
melainkan masih prototype yang masih pada tahap trial and error sehingga produk yang
dihasilkan masih belum bisa diaplikasikan. Dengan demikian diperlukan adanya invenstasi lebih
dari luar dalam penyempurnaan hasil penelitian.
Selain itu untuk beberapa ruang lingkup, pihak industri masih lebih unggul dalam
pengembangan berbasis aplikasi perangkat elektronik, otomotif, dsb. Hasil penelitian yang telah
di lisensi cenderung pada produk paten yang bersifat kimia dan elektronika, dimana produk yang
dihasilkan berupa kosmetik, pupuk, obat dll yang sudah teruji.
Intensi penelitian
Kesempatan
tidak marketable
tidak acceptable
tidak applicable
Bidang P-TDSN
113
Faktor Eksternal
Dalam proses lisensi, faktor eksternal juga memiliki peranan yang sangat penting dimana
menjalankan perannya sebagai penghubung antara inventor dan industri. Adanya sebuah badan
yang mengelola secara mandiri proses komersialisasi yang disebut dengan Technology Transfer
Ofce (TTO). Adanya TTO dapat memberikan pengaruh positif kepada inventor, dimana biaya
dan operasional dari kegiatan komersialisasi sepenuhnya ditanggung oleh TTO. Selain itu proses
pendampingan terhadap komersialisasi dan alih teknologi lebih disukai oleh inventor sehingga
akan lebih mudah. Selama ini invensi menilai sulit menemukan secara mandiri industry yang
ingin bekerja sama ataupun IKM yang akan menjadi wadah transfer teknologi. Paten yang
dihasilkan oleh libang kemudian dicari potensi pasar dan skema proyeksi bisninya. Potensi TTO
juga menjadi sumber arus kas dari invenstasi lisensi paten, dimana pencatatan dilakukan secara
berkala hingga jangka waktu tertentu. Selain itu dapat menjadi sumber pengembangn dari
potensi paten yang sudah ada, dimana pada masa paten yang sudah mencapai masa public
domain dapat di upgrade dengan hasil pengembagan penilitian yang lebih baik.
Namun selain itu terdapat beberapa potensi yang masih dirasa kurang memadai yaitu
sarana publikasi yang belum maksimal. Dimana informasi invensi hanya didaptkan oleh kalang
minoritas atau tertentu. Dalam hal ini penekanan terhadap branding dianggap penting sehingga
setiap lapisan masyarakat dapat mengetahui tentang hasil penelitian sehingga akan memudahkan
industri atau IKM dalam proses komersialisi. Hal ini dapat diantisipasi dengan perlunya
penyelenggaraan secara berkala kegiatan pameran, temu bisnis mauapun workshop baik di
internal maupun kerja sama dengan pihak lain.
Tabel 2. Hasil dari Faktor Eksternal
Faktor Eksternal (institusi)
Biaya dan operasional
Pendampingan
dalam
pencarian
dan
pengembangan stakeholder
Publikasi (kerja sama)
Bidang P-TDSN
Bidang P-TDSN
114
.DAFTAR PUSTAKA
Putera, Prakoso B. (2015).Iptek dan Inovasi Kunci Merentas Jalan Menuju Kemandirian Bangsa. Graha
Ilmu. Jakarta
Thursby et all(2002). Who is Selling the Ivory Tower? Sources of Growth in University Licensing.
Management Science Vol 48.
Stembridge, Bob. (2014). Valuing IP in the Chemical Space Science, Art and Special Considerations.
Thomson Reuters.
Wu, Yonghong et all. (2015). Commercialization of University Inventions : Individual and Institutional
Factors Affecting Licensing of University Patents. Technovation 36-37
Rabah Amir, e. (2014). Optimal Licensing of Uncertain Patents in the Shadow of Litigation. Games and
Economic Behavior, 320338.
http://www.greyb.com/why-ip-benchmarking-is-important/ (diakses November 2015)
http://www.chinadaily.com.cn/beijing/2015-08/19/content_21645081.htm (diakses November 2015)
Bidang P-TDSN
115
P-ALTEK 01
ABSTRAK
Senyawa alkanol amina sebagai penangkap CO2 telah banyak dimanfaatkan seperti
pada proses pemurnian gas alam. Senyawa amina yang umum digunakan adalah Methyl
Diethanol Amine (MDEA) dimana MDEA dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 30%
hingga 50%. Permasalahannya adalah kapasitas adsorpsi CO2 oleh MDEA berair lebih kecil
dibandingkan dengan MDEA yang diimpregnasikan pada bahan berpori seperti zeolit alam.
Pori berperan sebagai kantong molekul untuk CO2 sehingga dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi. Untuk itu telah dilakukan studi pendahuluan pembuatan adsorben Methyl Diethanol
Amine (MDEA) yang diimpregnasikan pada zeolit alam untuk aplikasi penangkapan CO2.
MDEA yang digunakan adalah MDEA tanpa aktifator Piperazine. Metodologi pembuatan
adsorben dimulai dari pembersihan pori zeolit alam sebagai penyangga menggunakan Asam
Klorida 5N dan dilanjutkan dengan impregnasi MDEA ke dalam pori zeolit pada konsentrasi
MDEA yaitu 15%, 20% dan 25%. Terhadap sampel adsorben dilakukan pengujian penentuan
luas permukaan, total volume pori dan diameter pori rata-rata serta uji kapasitas adsorpsi CO2
dari adsorben pada suhu ruang menggunakan alat uji adsorpsi CO2 sistem kontinyu. Hasil
penelitian menunjukkan kapasitas adsorpsi CO2 optimum ditemukan pada konsentrasi MDEA
15% yaitu 28,38 mg CO2/g adsorben atau 0,645 mmol CO2/g adsorben. Impregnasi MDEA
(tanpa Piperazine) ke dalam pori zeolit dapat meningkatkan perbandingan mol CO2 dan
MDEA dari 1:1 menjadi 21:1, yang diperoleh pada konsentrasi MDEA 15%.
Kata kunci : zeolit alam; Methyl Diethanol Amine ; CO2.
116
PENDAHULUAN
Keberadaan CO2 di dalam gas alam tidak disukai karena CO2 dapat mengurangi nilai
heating value/BTU gas alam. Alasan lain adalah CO2 dapat membeku dan menutupi
permukaan pada saat pembentukan Liquid Natural Gas (LNG) yang terjadi pada suhu sangat
rendah yaitu -161 C sehingga menghambat jalur pemipaan gas alam dan mengurangi
efisiensi pabrik. Untuk itu kadar CO2 harus dikurangi sebelum gas alam dicairkan.
Penggunaan senyawa alkanol amina sebagai penangkap CO 2 telah banyak
dimanfaatkan di industri gas alam. Senyawa amina yang biasa digunakan adalah Methyl
Diethanol Amine (MDEA) yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 30% hingga 50%.
Permasalahannya adalah kapasitas adsorpsi CO2 oleh MDEA berair lebih kecil dibandingkan
dengan MDEA yang diimpregnasikan pada bahan padat berpori. Pori berperan sebagai
kantong molekul untuk CO2 sehingga dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi. Sumber bahan
padat berpori yang dapat digunakan adalah zeolit mesopori, baik dari zeolit sintetik maupun
dari zeolit alam.
Pada penelitian ini digunakan zeolit alam sebagai bahan penyangga untuk MDEA.
MDEA yang digunakan adalah MDEA tanpa aktifator Piperazine. Penggunaan zeolit alam
sebagai bahan penyangga adalah dalam rangka pemanfaatan zeolit alam Indonesia yang
keberadaannya tersebar di beberapa wilayah dan terdapat dalam jumlah yang cukup banyak
dimana pemanfaatannya sebagai penangkap CO2 belum banyak dikembangkan.
Zeolit sebagai penyangga harus mempunyai ruang pori yang cukup besar sehingga
dapat menampung MDEA dan dapat pula menampung CO 2 sebanyak mungkin. Semakin
besar ukuran pori zeolit maka makin luas permukaannya dan makin banyak MDEA yang
dapat dilapiskan di permukaan pori sehingga makin banyak pula CO 2 yang dapat diikat oleh
MDEA dan dengan demikian makin besar kapasitas adsorpsi CO 2 dari adsorben. Meskipun
demikian, jumlah MDEA yang diimpregnasikan ke dalam pori zeolit harus dibatasi dan
dijaga sedemikian rupa agar MDEA tidak berlebihan sehingga menutup pori.Bila hal ini
terjadi maka akan terbentuk bulk amina di permukaan pori dan fungsi pori sebagai kantong
molekul CO2 tidak terjadi sehingga kapasitas adsorpsi CO2 dari adsorben akan menurun.
Secara teori MDEA yang bersifat basa dapat mengikat CO2 yang bersifat asam
sehingga CO2 dapat bertahan di dalam rongga zeolit sebelum dilepaskan kembali. CO 2 yang
117
telah dilepaskan pada saat regenerasi adsorben dapat dipipakan untuk dimanfaatkan menjadi
produk lain.
Maksud dan tujuan penelian adalah membuat adsorben Methyl Diethanol Amine
(MDEA) yang diimpregnasikan pada zeolit alam yang digunakan untuk menangkap CO2.
METODOLOGI
Metodologi penelitian dimulai dari perendaman zeolit menggunakan HCl 5N atau
Asam Sulfat 5N untuk memperluas permukaan. Tahap selanjutnya adalah impregnasi MDEA
(tanpa piperazine) ke dalam rongga zeolit pada variasi konsentrasi MDEAyaitu 15%, 20%
dan 25%.
Terhadap produk adsorben yang diperoleh dilakukan uji luas permukaan, volume pori,
ukuran pori rata-rata melalui uji BET. Setelah itu dilakukan pengujian kapasitas adsorpsi CO2
dari adsorben pada suhu ruang menggunakan unit alat uji adsorpsi CO2sistem kontinyu.
Sampel
Luas
Permukaan
(m2/g)
Total
Volume Pori
(cc/g)
Diameter
Pori Ratarata (A)
1.
44.41
0,078
70,33
2.
46.64
0,073
629
3.
38.05
0,084
88,31
4.
45.19
0,092
81,84
5.
93.55
0,114
48,60
6.
127.5
0,130
40,83
7.
116.8
0,127
43,37
8.
96.75
0,106
43,64
63.63
0,073
45,96
9.
85.27
0,085
39,80
118
10
69.85
0,093
53,25
11
78.29
0,099
50,83
Tabel 2 : Hasil Uji Luas Permukaan, Diameter Pori Rata-rata dan Total
Volume PoriZeolit Terimpregnasi MDEA
Hasil Uji
No
1.
4.
Jenis Sampel
Surface
Area m2/g
Total Volume
Pori (cc/g)
Diameter Pori
7,3
0,02
12,36
1,42
0,02
681,2
0,62
0,02
1323
57,24
0,09
61,99
( A )
119
120
mmol CO2
terserap
( mmol/g
adsorben )
Surface
Area m2/g
mmol
MDEA
Perbandingan
mmol MDEA-PZ :
mmol CO2 terserap
Perbandingan
mmol MDEA
tanpa PZ : mmol
CO2 terserap
16,17
0,367
127,5
28,38
0,645
7,3
0.031
21 : 1
20,54
0,467
1,42
0.042
11 : 1
16,53
0,376
0,62
0.052
7:1
Jenis Sampel
Zeolit (preparasi HCl 5N +
Pemanasan 200 C )
Diskusi
Dari tabel 1 terlihat bahwa perendaman zeolit dengan HCl 5N yang dilanjutkan
dengan pemanasan suhu 200 C dapat meningkatkan luas permukaan zeolit segar dari 46,64
m2/g menjadi 127.5 m2/g. Ini disebabkan karena HCl telah mengoksidasi bahan-bahan
organik yang terdapat dalam pori zeolit. Pori yang awalnya terisi oleh bahan pengotor
organik menjadi bersih dan ruang pori menjadi terbuka sehingga luas permukaan zeolit
menjadi lebih besar.
Preparasi zeolit dengan asam sulfat 5N menghasilkan luas permukaan, total volume
pori dan diameter pori rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan HCl 5N. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan Asam Klorida (HCl 5N) dalam membersihkan pori zeolite
lebih besar dibandingkan asam sulfat 5N.
Dari tabel 2 terlihat bahwa impregnasi MDEA pada zeolit memperkecil luas
permukaan zeolit. Hal ini disebabkan karena MDEA mengisi ruang pori zeolit. Impregnasi
MDEA pada zeolitjuga merubah ukuran diameter pori rata-rata zeolit alam dimana ukuran
diameter pori rata-rata cendrung mengalami kenaikan. Peningkatan ini kemungkinan
disebabkan karena proses pengisian MDEA ke dalam rongga zeolit berlangsung dengan cara
dimana MDEA akan menempati rongga dengan ukuran lebih kecil dulu dan ruang kosong
yang tersisa adalah rongga yang lebih besar sehingga diameter pori rata-rata zeolit menjadi
meningkat.
121
DAFTAR PUSTAKA
Adewale Adeosun1, Nabil El Hadri1, Earl Goetheer2, Mohammad R.M. Abu-Zahra1* Absorption of
CO2 by Amine Blends Solution: An Experimental Evaluation, Research Inventy:
International Journal Of Engineering And Science Vol.3, Issue 9 (September 2013), PP 12-23
Issn(e): 2278-4721, Issn(p):2319-6483, Www.Researchinventy.Com
CHEN Jie1,GUO Qing2,HUA Yihuai1 et al. Absorption performance of MDEA activated amines in
natural gas pretreatment process. Chemical Industry and Engineering Progree, 2014, 33(01):
80-84.
L. Dubois, & Thomas, D. Screening of aqueous amine-based solvents for postcombustion CO2
capture by chemical absorption. Chemical Engineering and Technology, 35 (2012) 513-524.
Carol Toro Molina, Chakib Bouallou, Kinetics Study and Simulation of CO2 Absorption into Mixed
Aqueous Solutions of Methyldiethanolamine and Diethanolamine, Chemical Engineering
Transaction, Vol 30, 2013, Guest Editors: Petar Varbanov, Ji Kleme, Panos Seferlis,
Athanasios I. Papadopoulos, Spyros VoutetakisCopyright 2013.
Noor, Hidayu, dkk, Enhancehanolamine (MDEA) Absorption CO2 Capture Using Activator. Air
Pollution mitigation, monitor control technologies and 5th International Conference on
Environment 2015 (ICENV 2015). 18th-19th August, 2015Penang, Malaysia.
J. Otaraku dkk, Simulation of Loading Capacity of MDEA and DEA for Amine-Based CO2
Removal Using Hysys, American Journal of Chemical Engineering Volume 3, Issue 2,
March 2015, Pages: 41-46 Received: Feb. 22, 2015; Accepted: Mar. 17, 2015; Published:
May 9, 2015
J.F.Tang, The Optimization of Mixing Amine Solvents for CO 2 Absorption Based on Aqueous
MDEA/DETA and MDEA/TETA, Petroleum Science and Technology, Volume 32, Issue 24,
2014.
Young Eun Kim, Comparison of Carbon Dioxide Absorption in Aqueous MEA, DEA, TEA,and
AMP Solutions, Bull. Korean Chem. Soc. 2013, Vol. 34, No. 3.
122
Aldrin D, dkk, Dealumination and Na activation of natural zeolite for CO2adsorption on biogas,
International Journal of Engineering Research and Development e-ISSN: 2278-067X, pISSN: 2278-800X, www.ijerd.com Volume 11, Issue 04 (April 2015), PP.60-66.
S.K Wirawan, dkk, Development of Natural Zeolites adsorbent: Chemical Analysis and Preliminary
TPD Adsorption Study, Journal of Engineering Science and Technology. Special Issue on
SOMCHE 2014 & RSCE 2014 Conference, January (2015) 87 - 95
123
P-ALTEK 02
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Raya Jakarta Bogor KM 47 Cibinong
Kabupaten Bogor. e-mail : mauludin.hidayat@gmail.com
1, 2, 3
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas model pengukuran proses alih teknologi di Pusat
Inovasi LIPI. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan
kualitatif, yaitu melalui identifikasi dan penetapan sub aktivitas dari aktivitas-aktivitas utama
proses alih teknologi, penetapan indicator pengalihan, pemilihan dan penetapan alat ukur
pengalihan serta uji coba pengukuran. Studi kasus penelitian adalah proses alih teknologi di
Sub Bidang Alih Teknologi Pusat Inovasi LIPI. Hasil pengukuran akan disajikan dalam
bentuk penyajian dan analisa hasil pengukuran sehingga dapat ditarik kesimpulan status
model pengukuran proses alih teknologi di Pusat Inovasi LIPI. Dari hasil uji coba
sementara dapat diduga adanya kebutuhan untuk melengkapi penetapan indikator-indikator
proses alih teknologi. Dengan demikian, melalui tulisan ini diharapkan bisa dimunculkan
saran atau rekomendasi untuk menguatkan proses alih teknologi di Sub Bidang Alih
Teknologi Pusat Inovasi LIPI.
Kata kunci: Proses alih teknologi, Indikator pengalihan, pengukuran proses alih teknologi,
Pusat Inovasi LIPI.
PENDAHULUAN
Alih teknologi telah menjadi cara yang sangat efektif untuk melakukan diseminasi
inovasi dan pengetahuan, yang merupakan suatu alternatif kompetitif bagi suatu unit kerja
yang mencari tidak hanya untuk eksplorasi sumber daya internal untuk memanfaatkan
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, tapi juga untuk mitra
124
125
eksternal untuk mendapatkan peningkatan teknologi yang baru untuk menjadikannya suatu
peluang usaha baru berupa start-up company. Hal ini merupakan tugas mendasar dari Pusat
Inovasi LIPI, khususnya sub bidang alih teknologi.
Definisi alih teknologi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah proses akusisi,
pengembangan dan penggunaan pengetahuan teknologi yang dihasilkan oleh individual
(Lima, 2004). Namun, hal ini dipahami sebagai sebuah proses implementasi teknologi baru
yang dikembangkan untuk suatu lingkungan yang tidak memiliki teknologi yang sama.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 secara formal alih teknologi
didefinisikan sebagai pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam
lingkungan dalam negeri mau-pun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau
sebaliknya.
Tujuan akhir dari tugas Pusat Inovasi LIPI adalah bagaimana pada gilirannya
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan bisa dimanfaatkan
menjadi suatu usaha berbasis pengetahuan/teknologi bernilai ekonomi yang memiliki dampak
signifikan terhadap penumbuhan usaha pemula. Dampak dari bertumbuhnya usaha baru
berbasis teknologi ini diharapkan dapat memberdayakan keterampilan sumber daya setempat
dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.Namun hingga saat ini Pusat
Inovasi belum memiliki catatan yang baik dan belum melakukan pengukuran terhadap proses
yang dilaksanakan. Teknologi yang tidak diukur aktivitas alih teknologi nya membuat
institusi ini tidak mempunyai catatan yang dapat dilaporkan ke pembuat keputusan/stake
holder, mengenai telah sejauh mana teknologi dialihkan, bagaimana performa teknologi
tersebut saat dialihkan, seberapa sulit teknologi tersebut dialihkan, kesulitan apa yang
dihadapi dan apa rekomendasi untuk perlakuan selanjutnya. Kemudian, teknologi yang telah
difasilitasi dan tidak memiliki catatan atau laporan hasil pengukuran akan terlupakan, tidak
termanfaatkan dan usang.
Secara umum, proses alih teknologi ini bisa diidentifikasi kedalam beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan ini selanjutnya diperjelas dengan dilakukannya identifikasi untuk
menetapkan aksi-aksi penting dalam tahapan tersebut. Selanjutnya aksi-aksi penting ini
didiskusikan
yang memadai
untuk
cukup
126
Proses alih teknologi telah dikaji diberbagai belahan dunia, di salah satu literatur
dijelaskan bahwa ada enam tahapan dalam proses alih teknologi, yakni Technology
innovation, technology confirmation, targetingtechnology consumers, technology marketing,
technology
application,
technology
manajemen
evaluation(Risdon,
1992).
Penelitian
terbaru
pengetahuan
yang
mencakup
socialisasi,
kombinasi,
hubungan
antara
pengamatan
dan
concept
of
interest.Fundamental
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif,
yaitu melalui indepth interview dan observasi partisipatif. Indepth interview dilakukan
terhadap struktural dan staff senior di Pusat Inovasi LIPI. Observasi dilakukan dengan
mengamati perkembangan Pusat Inovasi sejak tahun 2011. Tahapan yang dilakukan setelah
mendapatkan data adalah melakukan identifikasi dan penetapan sub aktivitas dari aktivitasaktivitas utama proses alih teknologi, penetapan indikator pengalihan, pemilihan dan
penetapan alat ukur pengalihan serta uji coba pengukuran.
Selama waktu penelitian, personil di sub bidang alih teknologi dilibatkan dalam
kegiatannya. Setelah periode pengamatan ini, rencana interview dikembangkan, yang terdiri
dari lima pertanyaan kunci berkaitan dengan tujuan utama penelitian ini. Untuk tahapan ini,
orang dengan posisi yang strategis dipilih untuk diwawancarai. Semakin tinggi posisi yang
dipilih semakin informasi yang diinginkan bisa diklasifikasikan, sehingga akses yang tidak
dibatasi terhadap data yang dimaksud adalah relevan.Jadi, terutama manajer dan beberapa
orang yang terlibat dengan proses alih teknologi diwawancarai. Prosedur semacam ini
memungkinkan keaslian yang lebih besar terhadap data yang dikumpulkan pada scenario
yang riil dan analisisnya karena hal ini dilakukan dengan sampel yang non-probabilistik.Hasil
pengukuran akan disajikan dalam bentuk penyajian dan analisa hasil pengukuran sehingga
dapat ditarik kesimpulan status model pengukuran proses alih teknologi di Pusat Inovasi
LIPI.
127
digambarkan bahwa proses alih teknologi yang dilakukan Pusat Inovasi tahun 2011-2013,
mengacu pada 5 stage gate (Cooper, 1990) namun hingga tahap Pre Commercialisation
Business Analysis saja.
Gambar 1. Dimodifikasi dari A Five-Stage, Five Gate Game Plan Along With Discovery And Post Launch
Review
Sumber:Cooper R. G., Stage-Gate Systems: A New Tool for Managing New Products, 1990
Proses alih teknologi Pusat Inovasi pada tahun 2011 2013 digambarkan sebagai berikut
(gambar2).
128
129
Proses alih teknologi yang dilakukan oleh Pusat Inovasi terbagi menjadi 2 yakni
komersialisasi dan diseminasi. Keduanya memiliki impact yang besar, namun berbeda dari
segi target, output dan outcome-nya. Kondisi yang dihadapi Pusat Inovasi saat itu masih
cukup sulit, tantangan yang ada adalah :
Proses alih teknologi komersial melalui inkubasi tanpa adanya fasilitas bangunan
inkubator membuat tingkat kesuksesannya sangat rendah.
Proses
pengelolaan
Kekayaan
Intelektual
(KI)
tidak
dilengkapi
dengan
Pengukuran dilakukan hanya pada capaian kegiatan bidang tidak pada outcome.
Setelah Pusat Inovasi memiliki fasilitas gedung inkubator dan workshop proses alih teknologi
yang dilakukan oleh Pusat Inovasi LIPI adalah sebagai berikut (lihat gambar 3).
Melaluiobservasi partisipatif, diskusi dan wawancara mendalam dengan para pelaku alih
teknologi di Pusat Inovasi dan beberapa kolega terkait, maka skema konsep alih teknologi di
Pusat Inovasi perlu dilakukan perubahan atau penyesuaian, karena pada skema sebelumnya
ada beberapa proses dan kegiatan yang belum terfasilitasi. Kegiatan yang belum
tergambarkan adalah proses alih teknologi komersial dan non komersial, seleksi,
matchmaking, bantuan langsung teknologi dan pelatihan technopreneurship. Penyesuaian
skema dapat dilihat pada gambar 4.
130
Dalam studi ini akan difokuskan pada kegiatan alih teknologi yang sifatnya komersial dan
bertahap, yaitu melalui Inkubator Teknologi LIPI. Kegiatan alih teknologi di dalam inkubator
ini meliputi 3 aktivitas utama yaitu : Seleksi, Pra Inkubasi dan Inkubasi.
Tabel 1. Matriks Kegiatan Inkubasi Teknologi
Tahapan
Seleksi
Pra Inkubasi
Inkubasi
Kegiatan Kunci
Promosi kepada stake holder LIPI untuk
mengikuti program Inkubasi
Pendaftaran
Seleksi Administrasi
Seleksi Presentasi
Scaling up
Indikator Keberhasilan
Jumlah Peserta
Validasi Teknis
Melakukan perhitungan teknoekonomi dan
assessment terhadap pasar
Scaling up
Jumlah Peserta
Kualitas Peserta yang lolos seleksi
Kualitas Peserta yang lolos seleksi
Jumlah produk scaling up terstandar
yang layak
Sertifikat uji kelayakan
Perhitungan teknoekonomi (harga
terjangkau, margin relatif tinggi, BEP
singkat) dan assessment yang dapat
menarik investor
Jumlah produk scaling up terstandar
dan lolos QC
Perolehan sertifikat dan ijin edar
Penerimaan pasar terhadap produk
Omzet penjualan
Uji pasar
Pemasaran produk
131
Ada dua studi kasus yang menjadi objek penelitian ini. Studi kasus pertama adalahProduk
Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk Nanosilver sebagai Bahan
Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri. Studi kasus kedua adalah Pembuatan
Sediaan Nanoemulsi Krim Anti-Selulit Dengan Kombinasi Ekstrak Pegagan Dan Jahe.
Berikut hasil pengukuran yang telah dilakukan (gambar 6 dan 8).
132
Gambar 6. Hasil pengukuran pada studi kasus 1. produk pengembangan tahapan komersialisasi hasil litbang
produk nanosilver sebagai bahan nano medisinal yang memiliki sifat antibakteri
Sumber:Ilustrasi peneliti
133
Gambar 8. Hasil pengukuran pada studi kasus 2. pembuatan sediaan nanoemulsi krim anti-selulit
dengan kombinasiekstrak pegagan dan jahe
Sumber:Ilustrasi peneliti
Gambar 9. Produk kosmetik menggunakan bahan aktif ekstrak pegagan dan jahe
Sumber:dokumentasi peneliti
134
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dalam melakukan proses alih teknologi
Pusat Inovasi tidak hanya perlu menyelesaikan kegiatan kunci-nya saja tetapi perlu
melakukan hal yang lebih detail seperti pengukuran terhadap hasil. Model yang dihasilkan
dalam penelitian ini cukup sederhana untuk dapat dengan mudah diterapkan dalam satuan
kerja ini.
Untuk dapat menerapkan model pengukuran ini, Pusat Inovasi perlu mengupdateSkema alih teknologi sesuai hasil pengamatan dan analisis dalam penelitian ini, selain
itu perlu ditetapkan kegiatan kunci dan indikator keberhasilan di masing-masing tahap proses
alih teknologi.
Masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk proses alih teknologi lainnya yang
dilakukan oleh Pusat Inovasi LIPI.
DAFTAR PUSTAKA
A. L., Joddy, 2015, Laporan Kegiatan Inkubasi Komersialisasi Hasil Litbang Produk Nanosilver.
Cooper R. G., 1990, Stage-Gate Systems: A New Tool for Managing New Products.
D. A. Simarmata, 1983, Operation Research Sebuah Pengantar, Jakarta, PT. Gramedia Pustakan
Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, Buku II Modul Keterampilan Berbicara dan
Pengajarannya.
Khadem, M., 2014, Impact Of Knowledge Management in Technology Transfer Projects from R&D
Centers To Industry.
135
136
P-ALTEK 03
ABSTRAK
Hasil inventarisasi lokasi semburan lumpur atau mud flow,tersebar di beberapa
wilayah Indonesia baik di pulau besar maupun di beberapa pulau kecil. Jumlah semburan
lumpur tersebut lebih kurang 250 lokasi, dapat berkurang atau bertambah sesuai dinamika
alam dan dapat dipicu oleh aktivitas manusia.Keberadaan semburan lumpur sebagai salah
satu aktivitas kebumian tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sumberdaya yang
bermanfaat bagi bisnis, perekonomian dan lingkungan melalui integrasi penerapan IPTEK
yang tepat.Maksud dan tujuan penelitian untuk mempercepat pengembangan lokasi semburan
lumpur menjadi lokasi bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai kutub pertumbuhan
perekonomian baru, dikembangkan menjadi katalisator bisnis dan perekonomian suatu
daerah. Penelitian dilakukan dengan analisis semi kuantitatif, analisis geologi lingkungan dan
teknologi remote sensing,diaplikasikanpada lokasi terpilih keberadaan semburan lumpur.
Hasil penelitian, pengembangan wilayah semburan lumpur berpeluang memanfaatkan
lahan-lahan potensial. Mengacu pada alih teknologi dari pengembangan wilayah gunung api
sebagai analogi yang relevan, untuk diterapkan pada wilayah semburan lumpur. Diperlukan
penataan dan pengemasan wilayah semburan lumpur sebagai potensi bisnis, agar mampu
dikelola secara berkelanjutan. Contoh studi kasus: Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan,
Jawa Tengah, dan rencana pengembangan wilayah terpilih, yaitu Pulau Semau di Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pengembangan perekonomian Pulau Semau untuk
menambah percepatan bisnis dan perekonomian daerah Kupang dan sekitarnya (pariwisata,
137
138
industri, pertanian dan perikanan, serta energi baru terbarukan) dilakukan secara terintegrasi
pada lokasi semburan lumpur dan sekitarnya.
Kata kunci: semburan lumpur, bisnis dan perekonomian daerah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semburan lumpur dapat saja muncul setiap waktu di permukaan bumi di wilayah jalur
gunungapi maupun di sekitar lokasi geologi yang struktur batuan dan tanahnya rentan
terbentuk zona lemah dan rekahan. Data menunjukkan sejumlah lokasi semburan lumpur di
Indonesia, sering terjadi pada satu lokasi terdapat beberapa semburan lumpur. Munculnya
semburan lumpur sesuai dinamika alam juga dapat dipicu oleh aktivitas manusia. Menurut
Davies, 2007; pertanyaan dasar yang terus tertinggal tentang semburan lumpur; (a) Apakah
cairan dan lumpur datang dari lapisan batuan yang sama, atau cairan terbawa dari bagian
dalam bumi melalui lapisan-lapisan pembawa lumpur. (b) Bagaimana pasokan lumpur dan
cairan melalui sistem pipa dan mengalir ke permukaan bumi secara berkelanjutan. (c) Apakah
arsitektur tiga dimensi dari sistem pasokan dan bagaimana semburan lumpur berkembang
sesuai waktu.
Perbedaan tingkat kematangan termal yang signifikan menunjukkan bahwa erosi
terhadap sedimen bawah permukaan di lokasi erupsi lumpur semakin menuju ke arah lebih
dangkal. Dikhawatirkan kondisi ini berpotensi terjadinya bencana akibat runtuhnya
permukaan tanah di daerah lokasi erupsi lumpur dan sekitarnya (Widiarto FX, dkk., 2010).
Untuk itu diperlukan monitoring keberadaan semburan lumpur di suatu wilayah, karena
dikhawatirkan membesarnya semburan ataupun dampak lanjutannya terjadi penurunan
permukaan tanah atau subsidence.Data LEMIGAS, 2015, lokasi semburan di Pulau Timor
bagian barat berjumlah 40 (empat puluh) lokasi, 4 (empat) diantaranya berada di Pulau
Semau. Adanya potensi gangguan dan ancaman bahaya alam semburan lumpur, dioptimalkan
untuk dimanfaatkan menjadi peluang inovasi dan bisnis yang berkelanjutan, sehingga
menimbulkan
multipler
effect
bagi
perkonomian
dan
bisnis
daerah.
Alih
penanganan geologi lingkungan gunung api atau semburan lumpur di tempat lain,
dikompilasi dengan potensi dan kekurangan serta kebutuhan Pulau Semau dan sekitarnya.
Satu hal
penting semangat
bersama
METODOLOGI
Pada saat ini perkembangan pembangunan Kota Kupang sangat pesat, namun masih
banyak keterbatasan seperti; belum tersedianya tempat wisata alam, kurangnya pasokan
bahan makanan, termasuk kekurangan pasokan buah dan sayuran. Pulau Semau sejak dulu
penghasil ikan dan rumput laut dan hasil laut lainnya, pemasok buah dan sayur untuk
Kupang. Dalam pengembangan Semauperlu dilindungi lahan-lahan berair dari pembangunan
infrastruktur.
Aplikasi pemanfaatan gunung api untuk kesejahteraan masyarakat, mampu hidup
bersama dalam wilayah cincin api dan hidup harmonis dengan Tambora (Rachmat dkk.,
2014) (10) menginspirasi alih teknologi penanganan gunung api untuk penanganan semburan
lumpur Pulau Semau. Sebagai contoh lainnya pemanfaatan semburan lumpur Bledug Kuwu
di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, menjadi lokasi wisata dan industri garam rakyat
(Gambar 1). Kondisi alam Bledug Kuwu sudah terbentuk sejak lama, saat ini terus
berlangsung semburan lumpurnya, dan masyarakat sekitarnya hidup harmonis.
139
Gambar 1. Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sebagai obyek wisata
dan industri garam rakyat (Foto; Suseno, 2015)
Geologi Lingkungan: Dalam penelitian geologi lingkungan, mampu melakukan
evaluasi lingkungan dan kebencanaan geologi. Termasuk menjadi salah satu unggulan
adalah; Geologi untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat (Pusat Survei Geologi,
2011). Karakteristik pantai menggambarkan keragaman proses morfologi, dimana perubahan
karakter spasialnya sebagai hasil interaksi dari oseanografi (gelombang-arus pantai) terhadap
geologi (resistensi batuan) dan aspek antropogenik atau aspek intervensi manusia
(Geurhaneu, 2013). Namun demikian morfologi daratan, yang bukan wilayah pantai, proses
geomorfologi yang mengakibatkan terjadinya perubahan permukaan bumi mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap kegiatan pertanian. Keseimbangan lereng bukit, erosi
tanah, pergerakan air dan tanah selama musim hujan, banjir, dan kegiatan irigasi
berhubungan dengan skala waktu geologi terkecil dan dapat dijadikan contoh untuk
memprediksikan bagaimana sebuah lahan, dalam hal ini sebuah lahan pertanian akan berubah
termakan waktu. Hal tersebut bisa membantu untuk memahami bagaimana dampak pertanian
terhadap kondisi tanah, makin banyak pemakaian tanah maka akan berakibat semakin banyak
erosi tanah(Farajat, et al, 2015).
Secara sosial ekonomi dalam pengembangan wilayah perlu adanya penyesuaian untuk
menghadapi dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti pertambahan penduduk
yang ditunjukkan dengan adanya pengembangan pemukiman dan berkembangnya pola
pengunaan lahan maka perlu ruang yang memadai. Pendeteksian dan identifikasi obyek-
140
obyek yang penting tersebut dapat diuraikan dalam data citra satelit. Deteksi obyek dapat
dilakukan berdasarkan karakteristik spektral yang ditunjukkan pada rona/ warna pada citra.
Identifikasi penutup lahan dapat dilakukan berdasarkan karakteristik tingkatan rona (gray
tone) sesuai dengan nilai spektral pantulan obyeknya, karakteristik ukuran, bentuk, pola
tekstur, dan asosiai, yang merupakan karakteristik spasial dan juga didasarkan pada
pengenalan unsur dasar pantulan obyek (tanah, air, dan vegetasi). (Berhitu PT, 2011).
Penggunaan data citra satelit dalam pengembangan wilayah semburan lumpur ini dapat
membantu dalam kecepatan waktu perolehan data dasar fisik wilayah, optimalisasi survey
dan perencanaan pengembangan, minimalisasi resiko kecelakaan, menekan biaya, dan
optimalisasi potensi fisik lainnya, selain semburan lumpur yang dapat menjadi paket dalam
pengembangan secara ekonomi dan ekologi(Christina, 2008).Selain digunakan untuk
mengetahui dinamika sosial ekonomi wilayah data citra dapat menjelaskan karakteristik dari
kondisi fisik struktur geologi. Struktur-struktur yang dihasilkan dapat berupa kekar (joint),
sesar (fault), dan lipatan (fold), dan lineasi (lineation). Kehadiran kekar dan sesar pada batuan
bisa memperlemah kekuatan (strength) batuan, sedangkan pergeseran sesar (tektonik) dapat
menimbulkan gempa bumi, tsunami, erupsi vulkanik dan longsoran tanah yang merupakan
fenomena destruktif bagi kehidupan manusia. Dimana segmen kelurusan yang terdeteksi pada
citra sebagian besar merupakan pola aliran sungai dan perbukitan(Massinai, 2013). Kelurusan
sendiri didefinisikan sebagai kenampakan linier sederhana atau kompleks di permukaan bumi
yang terpetakan, mempunyai kenampakan lurus atau melengkung, dapat dibedakan dengan
kenampakan di sekitarnya, dan diduga merupakan gejala bawah permukaan (OLeary et al,
1976 dalam Christina, 2008). Interpretasi struktur geologi dengan mendeliniasi pola
kelurusan sebagai data dasar tektonik Pulau Semau nantinya digunakansebagai salah satu
data dasar geologi lingkungan untuk merencanakan pengembangan wilayah.
Guna mencapai tujuan penelitian dilakukan tahapan dan metode sebagai berikut;
- Penelitian dilakukan dengan analisis semi kuantitatif data penelitian lapangan semburan
lumpur Tahun 2015 di Pulau Semau dan data sekunder sebagai pendukung.
- Aplikasi teknologi remote sensing dan analisis geologi lingkunganpada lokasi terpilih
keberadaan semburan lumpur, sebagai data dasar pengembangan wilayah pulau dan
pantai.
141
142
Semau; semburan lumpur, longsor, kekeringan dan lainnya. Analisis dilakukan dengan
menggabungkan (fusi) data Citra Landsat TM dan SRTM.
Mendukung data dasar pengembangan wilayah Semau dan sekitarnya menjadi kawasan
perekonomian dan bisnis, sekaligus data penyajian informasi dan promosi Pulau Semau
berbasis teknologi informasi.
- Studi kasus beberapa lokasi dan kasus semburan lumpur, serta terjadinya harmoni
kehidupan pada wilayah bencana gunung api, diaplikasikan pada pengembangan
perekonomian Pulau Semau.
- Munculnya semburan lumpur sebagai momentum percepatan bisnis dan perekonomian
daerah Semau - Kupang dan sekitarnya.
- Penyusunan rekomendasi pengembangan wilayah Pulau Semau dan sekitarnya.
permasalahan-permasalahan
yang
ada
di
daerah
penelitian.
Dari
permasalahan awal geologi lingkungan yang ada terdapat dua masalah yang menjadi
perhatian, yaitu masalah semburan lumpur sebagai potensi dan masalah pasokan dan sumber
air sebagai kendala yang harus dikendalikan.
Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan, terdapat 2 (dua) lokasi semburan lumpur di
Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang (Tabel 1). Material semburan yang dikeluarkan dari
Lokasi Uiasa-1 adalah lempung, disemburkan dengan ketinggian berkisar 1 - 2 meter dengan
radius 100 meter.Sedangkan dari lokasi semburan Uiasa-2 dan Uiasa-3, ketinggian semburan
mencapai 1-4 meter, dan radius semburan 100 -200 meter, dengan arah penyebaran kearah
Utara. Penyebarannya mencapai kawasan pertanian masyarakat, sehingga 2 hektar wilayah
pertanian terkena material lumpur (mendekati jalan raya penghubung Semau Utara dan
Semau Selatan). Hasil pemantauan semburan lumpur yang berada di Desa Hansisi,
Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, didapatkan 1 (satu) titik semburan.
Tabel 1: Lokasi Semburan Lumpur Pulau Semau, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
LOKASI
KOORDINAT
DIMENSI
ketinggian semburan
1-2 meter, radius 100
meter
Desa
10 11 0,58 LS
Hansisi,
dan
Kec.Semau, 123 27 16,8 BT
Kab.Kupang
ketinggian semburan
1-4 meter, radius 100
-200 meter
(a)
KETERANGAN
Terdapat 3 (tiga) lokasi.
Lokasi di selatan Embung
Samaliangdekat jalan
penghubung Kec. Semau
dengan Kec.Semau Selatan
Terdapat 1 (satu) lokasi.
(b)
(c)
(d)
Gambar2. Material berupa lempung padasemburan lumpur di Desa Uiasa (a).Sebaran
semburan lumpur (b). Rekahan yang terbentuk di Uiasa (c). Semburan yang masih aktif di
Hansisi (d).
Pada Gambar 2a dan 2b, merupakan gambaran material (lempung) dan hamparannya
akibat adanya semburan lumpur. Sedangkan dampak yang mengakibatkan adanya rekahan
tanah di sekitar pusat semburan (2c). Rekahan mengarah ke pusat semburan sehingga
sebagian tanah embung retak.Semburan lumpur di Hansisi merupakan semburan lumpur yang
masih aktif, namun tidak memiliki skala yang besar (Gambar 2d).
143
Permasalahan utama lain wilayah Semau sebagai pulau kecil di Indonesia Timur
adalah masalah pasokan dan sumber air. Sehingga sejak perencanaan pengembangan harus
benar-benar diperhatikan masalah manajemen air. Dalam manajemen air tersebut dilakukan
dengan melindungi lahan-lahan berair dari pembangunan infrastruktur. Perlindungan tehadap
lahan-lahan berair tersebut berarti suatu tindakan perlindungan terhadap penyediaan sumber
air; membantu pengisian air tanah; membantu menyaring dan membersihkan air;
perlindungan terhadap habitat dan hewan-hewan liar khusus serta tempat perkembangbiakan
ikan-ikan; dan lahan berair berupa tanaman bakau akan melindungi dasar air (Hartmann dan
Unger, 2015). Lahan-lahan berair di Pulau Semau dapat didekati dari tata guna dan tutupan
lahan yang berkembang. Identifikasi tata guna dan tutupan lahan dilakukan dengan
menggunakan citra Landsat TM 432 (Gambar 3).
144
Gambar 4. Hasil Interpretasi Tata guna dan tutupan lahan Pulau SemauMenggunakan Data
Citra Satelit Landsat TM 432
Hasil interpretasi fusi data Citra Landsat TM 432 dan SRTM dapat diidentifikasi
adanya dua pola umum struktur geologi yang dalam citra ditunjukkan dengan adanya pola
kelurusan (lineament), yaitu pola kelurusan yang berarah relatif NE-SW dan pola yang
berarah relatif B-T (Gambar 5). Kelurusan rekahan dari data citra bermanfaat untuk analisis
dan prediksi arah perkembangan semburan lumpur. Selain itu dalam konteks penelitian ini
kelurusan merupakan kelurusan topografi yang mengikuti punggungan perbukitan untuk
menentukan lokasi rawan bencana kekeringan, longsoran, pengaturan aliran air berkaitan
dengan manajemen air, serta perencanaan lokasi energi baru terbarukan.
145
(a) (b)
Gambar 5. Fusi Data Citra SRTM dan Landsat TM 432.Sumber data:
www.usgs.gov/pubprod (a);
Hasil Interpretasi Kelurusan (lineament) Berdasarkan Data Citra (b)
Berdasarkan analisis data dasar, kebutuhan masyarakat Kota Kupang dan Kabupaten
Kupang akan adanya kawasan wisata, serta kondisi alam dan potensinya, disarankan Pulau
Semau dikembangkan menjadi kawasan wisata lingkungan. Tentu saja melanjutkan
pengembangan potensi laut, pengembangan pertanian, perikanan dan kelautan. Khusus untuk
pengembangan wisata alam disarankan mengembangkan wisata ramah lingkungan. Selaras
dengan pendapat Droege, 2009: Dalam menangani jalur wilayah mitigasi berwawasan
lingkungan; satu kasus penting yang memberikan prioritas lebih untuk para pejalan kaki dan
pengendara sepeda. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan daya tarik serta mendukung
kegiatan berjalan kaki dan pengendara sepeda sebagai transportasi alternatif. Sasaran yang
dituju adalah kepadatan, kualitas yang baik, serta penyedia jaringan infrastuktur untuk para
pejalan kaki dan pengendara sepeda.
Hasil interpretasi yang ditumpangsusunkan (overlay) dengan analisis penggunaan
lahan dan tutupan lahan digunakan untuk menentukan pengembangan jalan wisata ramah
lingkungan, perencanaan wisata daratan guna mendukung wisata laut, dan penataan kembali
tata ruang Pulau Semau. Dilakukan perencanaan terintegrasi hingga pelaksanaan dan
146
monitoring
pembangunan
infrastruktur
berwawasan
lingkungan,
mengembangkan
transportasi ramah lingkungan dan hemat energi fosil dan hemat air. Guna mengurangi beban
dari bangunan sarana-prasarana sampai hasil budidaya manusia harus sudah dikondisikan
agar tidak membebani wilayah sekitar lokasi semburan lumpur.
Perlu kemitraan strategis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk
pengembangan migas KTI (LEMIGAS, 2015). Jika diperlukan dapat melalui pola kemitraan
membangun Inovasi Pulau Semau Menyapa Indonesia. Termasuk upaya meningkatkan
kerjasama 3 (tiga) pilar; antara Pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga litbang
kementerian/lembaga, dan perguruan tinggi. Di dalam dokumen Master Plan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) disebutkan bahwa Pengembangan Inovasi produk
suatu invensi melibatkan 3 (tiga) pelaku utama dalam sistem inovasi nasional, yaitu; (a)
pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator; (b) pelaku usaha/industri sebagai
pengguna hasil invensi; dan (c) lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai
penghasil produk invensi (Saleh, R., 2012). Dalam penelitian ini sudah diawali keterlibatan 3
(tiga) pilar. Pilar pertama; Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Kupang,
dan Pemerintah Kota Kupang. Kedua; Pelaku usaha
Pemerintah Kota Kupang. Pilar ketiga; Lembaga Penelitian; Puslitbang Teknologi Migas
LEMIGAS Kementerian ESDM dan Universitas Nusa Cendana.
KESIMPULAN
Dihasilkan data dasar penyusunan pengembangan Pulau Semau sebagai kawasan
perekonomian dan bisnis;
- Hasil interpretasi citra landsat TM 432 menunjukkan bahwa tata guna dan tutupan lahan di
Pulau Semau berupa hutan, ladang, kebun, semak belukar, lahan terbuka, dan
permukiman. Sebagian besar Pulau Semau berupa semak belukar yaitu yaitu sebesar 36.6
% (81.38 km2), luasan terbesar kedua setelah hutan 44% (97.8 km2).
- Terdapat 4 (empat) lokasi semburan lumpur, perlu ditata agar tidak menimbulkan bencana
susulan, namun bermanfaat menambah aset perekonomian dan bisnis daerah. Diperlukan
monitoring semburan lumpur Pulau Semau, utamanya di Uiasa.
- Menyusun
program
percepatan
pengembangan
Pulau
Semau,
memprioritaskan
membangun wisata alam, dengan obyek wisata semburan lumpur, pantai dan budidaya
147
148
DAFTAR PUSTAKA
Berhitu, PT.2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai
Kota Ambon Sebagai Kota Pantai.Jurnal Teknologi. Volume 8 Nomor 2. 2011; 948 - 957
Christina, I. 2008. Identifikasi Penampakan Sesar Aktif dengan Menggunakan Citra dan Metode SIG,
Studi Kasus : Solok dan sekitarnya, Sumatera Barat). Tesis S-2. Institut Teknologi Bandung.
Davies, R. J., Swarbrick, R. E., Evans, R. J., and Huuse, M., 2007, Birth of a mud volcano: East Java,
29 May 2006. GSA: v. 17, no. 2, doi: 10.1130/GSATO1702A.1.
Droege, P. 2009. Urban Energy Transition From Fossil Fuels to Renewable Power. Elsevier B.V.
ISBN: 978-0-08-045341-5.
Farajat Mohammad A., Alsharifa Hind Mohammad, Abdullah Diabat, and Hassan Al Ibraheem, 2014,
Developing a Land Suitability Index for Agricultural uses in Dry Lands from, Geologic Point
of View Using GIS - a Case Study from Jordan, Indonesian Journal on Geoscience Vol. 2 No.
2 August 2015: 63-76.
Geurhaneu Nineu Y., 2013, Coastal Characteristics of Papela and Adjacent Area, Rote Islandd, East
Nusa Tenggara, Bulletin of The Marine Geology, Vo. 28, No. 1, June 2013, Marine
Geological Institute, Bandung, ISSN 1410-6175.
Hadimulyono, Jonathan S., 2015, Kajian Potensi Hidrokarbon Timor Barat, Presentasi Hari
Nusantara, Universitas Cendana, Kupang, September 2015.
Hartmann E. dan Unger, H., 2015, Baik dan Buruk Pengelolaan Lingkungan, Bank Dunia Jakarta,
PNPM Support Facilities (PSF), Jakarta.
LEMIGAS, 2015, Kemitraan Strategis Pengembangan Migas Kawasan Timur Indonesia, Badan
Penelitian dan Pengembangan ESDM - Universitas Nusa Cendana, Hari Nusantara di
Kupang, 21 Agustus 2015.
Massinai, MA., 2013, Pengkajian Citra Penginderaan Jauh Dalam Fenomena Geologi Di Gunung
Bawakaraeng, SEMINAR NASIONAL 2 nd Lontar Physics Forum 2013, LPF1344,
ISBN:978-602-8047-80-7
Pusat Survei Geologi, 2011, Geologi untuk Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat,
http://psg.bgl.esdm.go.id.
Rachmat, Heryadi, dkk., 2014, Tambora Menyapa Dunia, Kementerian ESDM, Badan GeologiMuseum Geologi, Bandung, ISBN 978-602-1704-42-4.
Saleh, R. 2012. Pengembangan Kawasan Inovasi Bauksit Sebagai Pusat Unggulan Dalam Rangka
Mendukung Pontianak Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Dalam Koridor 3 MP3EI,
Buletin Sumber Daya Geologi, Vol 7 Nomor 1, Mei 2012, ISSN 1979-7508
Widiarto, FX., dkk. 2010. Sidikjari Hidrokarbon Dalam Lumpur Porong. Sidoarjo. Jawa
Timur.Proceedings PIT IAGI Lombok 2010. The 39th IAGI Annual Convention and
Exhibition.
www.usgs.gov/pubprod/, 2015, Maps, Imagery, and Publications (diunduh, 27 Mei 2015).
149
P-ALTEK 04
ABSTRAK
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang secara bergantian menjadi produsen minyak
kelapa sawit terbesar. Setelah sebelumnya berada di bawah Malaysia, Indonesia menjadi
produsen terbesar pada tahun 2006. Namun, untuk terus memimpin, bukan hanya produksi
yang perlu ditingkatkan, tetapi juga teknologi pengolahan harus dikembangkan menjadi lebih
efisien dan ramah lingkungan. Perkembangan teknologi dapat diamati melalui dokumen
paten. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi pengembangan teknologi mengenai kelapa
sawit di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi literatur, melalui analisis database dokumen paten. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada 1987-2014 Malaysia memiliki tiga kali lebih tinggi aplikasi paten
di bidang kelapa sawit daripada Indonesia. Kategori dominan dalam aplikasi paten kelapa
sawit Indonesia adalah produk derivatif (turunan) dan produk sampingan (40%) dan kategori
yang berjumlah paling sedikit adalah pangan (1%). Sedangkan di Malaysia, kategori dominan
dalam aplikasi paten kelapa sawit Malaysia adalah pengolahan minyak sawit (48%) dan
kategori paling sedikit adalah kosmetik (1%). Produk derivatif dan berdasarkan produk
sampingan berada di peringkat posisi kedua dengan 16%. Oleh karena itu, meskipun
Malaysia memiliki aplikasi paten lebih banyak, Indonesia berpotensi mengembangkan
teknologi dalam bidang produk derivatif dan produk sampingan untuk memperkuat industri
kelapa sawit nasional. Melalui pengembangan teknologi ini, pendaftaran paten dalam bidang
tersebut pun dapat ditingkatkan.
150
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan Indonesia. Luas
perkebunan kelapa sawit dan hasil kelapa sawit terus meningkat sejak 20 tahun terakhir.
Dalam hal produksi minyak sawit, Indonesia bersaing dengan Malaysia. Pada tahun 2001,
produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia sebesar 7,97 ton, sedangkan produksi CPO
Malaysia telah mencapai 11,8 ton. Namun sejak tahun 2008, produksi CPO Indonesia sebesar
15,96 ton telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia sebesar 15,49 ton. Hingga saat
ini Indonesia masih memimpin dalam ekspor minyak sawit dunia. Namun, tingginya produksi
minyak sawit ini lebih disebabkan oleh luasan lahan sawit yang jauh lebih besar, bukan oleh
tingginya produktivitas lahan.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan Indonesia.
Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit tertinggi di dunia, dengan negara pesaing Malaysia.
Export share CPO Indonesia cenderung stabil pada tahun 2009 sampai 2011 sekitar 8,5%,
lalu meningkat mencapai 9,26% pada tahun 2012. Perlu diwaspadai akan menurunnya market
share CPO Indonesia di India, data menunjukkan penurunan terus sejak 2009 sebesar 44,93%
menjadi 38,72% pada tahun 2012. Sedangkan market share CPO Indonesia di Netherlands
menurun tajam pada tahun 2011 mencapai 16,97% lalu kembali meningkat pada tahun 2012
mencapai 26,80% hampir mencapai posisi awal pada tahun 2009 dan 2012 sekitar 27%
(Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2013).
Tingginya ekspor kelapa sawit Indonesia tersebut didukung oleh luasnya lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yakni hampir 4 juta hektar. Akan tetapi, luas area ini
tidak didukung dengan produktivitas lahan. Produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia
sebesar 3,11 ton/tahun, lebih rendah daripada produktivitas kebun kelapa sawit Malaysia
yaitu sebesar 3,66 ton/tahun. Produktivitas yang rendah tersebut disebabkan oleh masalah
teknik budidaya dan umur tanaman menghasilkan yang belum mencapai umur optimum
(Susila, 2004).
Peningkatan produkstivitas dapat dilakukan melalui perluasan lahan dan aplikasi
teknologi pengolahan kelapa sawit. Peningkatan melalui perluasan telah banyak dilakukan
dengan cara membuka lahan-lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut Syafrial
dkk. (2008), perluasan areal kelapa sawit Indonesia berdampak sangat baik terhadap
perkembangan pasar kelapa sawit Indonesia. Dan perluasan areal yang terbaik adalah sebesar
151
5 persen setiap tahunnya. Namun, data BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga
tahun 2014 telah terjadi peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit sebesa 300%.
Kenaikan lahan kelapa sawit yang proposional dengan daya dukung lingkungan dapat
menyebabkan gangguan terhadap ekosistem. Wujud nyata dari gangguan tersebut dapat
berupa banjir dan kebakaran hutan. Efek lain yang tidak langsung terlihat adalah gangguan
terhadap kelangsungan hidup dari flora dan fauna dalam ekosistem.
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan
kelapa sawit adalah melalui penerapan teknologi pengolahan kelapa sawit. Dalam hal
teknologi pengolahan kelapa sawit, industri hilir kelapa sawit Malysia berkembang lebih
pesat daripada Indonesia. Sebagai contoh, pabrik oleokimia di Malaysia mencapai 17 unit
dengan produksi 1,3 juta ton, sementara Indonesia hanya memiliki 8 unit dengan produksi
sekitar 0,8 juta ton. Hal ini merupakan salah satu penyebab industri kelapa sawit Malaysia
lebih tahan goncangan pasar internasional daripada industri kelapa sawit Indonesia. Oleh
karena itu, peran teknologi dalam mendukung dan mengembangkan industri kelapa sawit
menjadi semakin penting.
Produk utama yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit adalah CPO
yang merupakan hasil pengolahan dasar dari kelapa sawit. Pengolahan lebih lanjut dari
kelapa sawit dapat menghasilkan minyak masak, margarin, stearin, trigliserida, pelumas, dan
bahan bakar. Pengolahan kelapa sawit menjadi produk produk turunan lebih lanjut akan
meningkatkan nilai tambah dari kelapa sawit. Pengolahan tersebut memerlukan adanya
penguasaan teknologi yang memadai. Gambaran mengenai penguasaan teknologi dapat
diperoleh dari dokumen paten.
Dokumen paten memuat informasi mengenai cara menerapkan suatu teknologi serta
teknologi-teknologi pendahulunya. Melalui dokumen paten, perkembangan teknologi dalam
suatu bidang mudah untuk ditelusur darena setiap dokumen paten memiliki unsur kebaruan
dari teknologi-teknologi pendahulunya.
152
METODOLOGI
Kajian ini menggunaan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
literaturdengan menggali data dan informasi yang terkait dengan topik kajian. Hal itu
dilakukan melalui penelusuran informasi paten, analisis database dokumen paten,
memfokuskan pada pencarian jawaban atas masalah kajian dengan menelusuri informasi
yang terkait dengan topik dan permasalahan dari berbagai sumber tertulis, berupa buku-buku,
jurnal-jurnal, artikel atau tulisan-tulisan para ahli lainnya.
153
minyak sawit karena yang diubah dalam dua kali perubahan PMK tersebut adalah tarif Bea
Keluar produk mineral. Kebijakan ini sudah ditunggu pelaku usaha seiring pernyataan
pemerintah tentang hilirisasi industri sawit sehingga saat aturan ini berlaku respon pengusaha
dan eksportir minyak sawit sangat cepat. Bulan pertama pasca kebijakan (Oktober 2011) aksi
perusahaan sudah mulai berjalan.
Rendahnya aplikasi paten pada tahun-tahun lainnya merupakan indikasi dari
lemahnya kemandirian teknologi yang dimiliki. Hal ini dapat dipengaruhi oleh regulasi dan
tata kelola industri di Indonesia:
-
dapat ditelusuri melalui dokumen paten. Perlindungan paten berlaku secara regional yang
berarti teknologi yang dipatenkan tersebut hanya dilindungi di negara tempat paten
didaftarakan. Namun kebaruannya diakui secara universal, yang berarti di manapun teknologi
tersebut dipublikasikan, teknologi tersebut dianggap sudah tidak baru dan tidak memenuhi
syarat untuk dimintakan perlindungan paten.
Dokumen paten dapat dijadikan acuan untuk menelusuri perkembangan suatu
teknologi karena dalam dokumen paten terdapat prior art yang merupakan teknologi
terdahulu. Setiap teknologi yang tertuang dalam dokumen paten memiliki kebaruan dan
kelebihan daripada teknologi pendahulunya. Pendaftaran dan pengurusan paten di Indonesia
dilakukan di DJHKI Kemenkumham, sedangkan lembaga yang berperan dalam pendafataran
dan pengurusan dokumen paten di Malaysia adalah Intellectual Property Corporation of
Malaysia atau MyIPO.
154
Malaysia
2013
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
Indonesia
Rendahnya aplikasi paten di bidang kelapa sawit dapat menjadi indikasi bahwa
industri industri kelapa sawit di Indonesia belum mampu menghasilkan teknologi dalam
pengolahan kelapa sawit. Sangat mungkin sebagian besar teknologi yang digunakan berasal
dari asing. Penggunaan teknologi dari luar dapat menambah biaya produksi karena industri
harus membayar lisensi untuk teknologi tersebut. Penguasaan teknologi pengolahan kelapa
sawit akan mengurangi biaya produksi industri dan penggunaan teknologi yang
dikembangkan sendiri oleh industri, berpotensi meningkatkan produktivitas industri karena
teknologi yang dikembangkan sendiri akan lebih sesuai untuk diterapkan di industri
mengikuti permasalahan yang dihadapi.
Malayasia
Indonesia
155
aplikasi paten. Berdasarkan Gambar 2, kategori dominan dalam aplikasi paten kelapa sawit
Indonesia adalah produk derivatif (turunan) dan produk sampingan (3%) dan kategori yang
berjumlah paling sedikit adalah pangan (1%). Sedangkan di Malaysia, kategori dominan
dalam aplikasi paten kelapa sawit Malaysia adalah pengolahan minyak sawit (48%) dan
kategori paling sedikit adalah kosmetik (1%). Produk derivatif dan berdasarkan produk
sampingan berada di peringkat posisi kedua dengan 16%.
Dalam hal kategori bidang aplikasi paten, Indonesia lebih banyak terfokus dalam hal
produk sampingan dan turunan dari kelapa sawit, sedangkan Malaysia banyak melakukan
pengembangan teknologi di bidang utama yaitu pengolahan minyak kelapa sawit. Saat ini,
Indonesia memiliki produksi kelapa sawit yang tinggi karena didukung oleh luas lahan. Hal
ini dapat menyebabkan pengembangan teknologi di bidang pengolahan minyak kelapa sawit
tidak menjadi prioritas utama bagi industri. Industri lebih tertarik untuk mengembangakan
teknologi di bidang hasil sampingan dan turunan dari kelapa sawit karena dapat memberikan
nilai tambah yang lebih besar. Hal ini dapat menjadi hal yang positif bagi industri kelap sawit
nasional di Indonesia.
Namun, mengingat dampak lingkungan dari ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit,
industri kelapa sawit perlu meningkatkan riset di bidang pengolahan minyak kelapa sawit.
Sebaliknya, Malaysia memiliki luas lahan yang terbatas untuk perkebunan kelapa sawit
sehingga industri kelapa sawit harus mampu meningkatkan produksinya melalui cara lain
selain perluasan lahan. Maka, teknologi pengolahan minyak sawit pun banyak
dikembangkan. Hal ini dapat menjadi peluang bagi industri kelapa sawit nasional untuk terus
mengembangkan teknologi di bidang sampingan dan turunan kelapa sawit.
156
157
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2013. Market Intelligence
Beberapa Komoditi Andalan Ekspor Indonesia. Jurnal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian Vol I No 1, Agustus 2013.
Susila.
2004.
Membandingkan
Industri
CPO
Malaysia.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr262047.pdf
Indonesia
dengan
Syafrial, Hery Toiba, Ajeng Oktarifka. 2008. Dampak Program Perluasan Areal Kelapa Sawit
Terhadap Pasar Kelapa Sawit Indonesia. AGRISE Volume VIII No. 2 Bulan Mei 2008.
P-ALTEK 05
ABSTRAK
Inkubator bisnis adalah solusi altrnatif dalam meningkatkan life probabilty dan sustainability
suatu bisnis start up. Inkubator bisnis memberikan suatu program yang didesain untuk
membina dan mempercepat keberhasilan pengembangan bisnis melalui rangkaian program
permodalan yang diikuti oleh dukungan kemitraan/ pembinaan elemen bisnis lainnya.
Kesuksesan tenant inkubator tidak hanya bergantung pada jenis layanan yang diberikan,
tetapi bergantung juga bagaimana layanan itu diberikan. Dalam hal ini berarti proses/cara
pendampingan/business assistance menjadi suatu hal yang penting. Cara pendampingan
dengan berfokus pada intensitas pendampingan mnjadi suatu hal yang terpenting dalam
mendampingi tenant.
PENDAHULUAN
Inkubator bisnis adalah perusahaan / lembaga yang memberikan suatu program yang
didesain untuk membina dan mempercepat keberhasilan pengembangan bisnis melalui
rangkaian program permodalan yang diikuti oleh dukungan kemitraan/ pembinaan elemen
bisnis lainnya (NBIA, 2007). Dengan tujuan menjadikan usaha tersebut menjadi perusahaan
yang profitable, memiliki pengelolaan organisasi dan keuangan yang benar, serta menjadi
perusahaan yang sustainable, hingga akhirnya memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Inkubator bisnis di Indonesia belum berkembang seperti di negara maju. Jumlah
inkubator bisnis dan pertumbuhannya di Indonesia masih cukup jauh tertinggal
158
159
bisnis
dengan rataan jumlah tenant 25 per inkubator. China memiliki 450 Inkubator binis,
dengan rataan jumlah tenant 36 per inkubator bisnis. Di Indonesia sendiri, jumlah
Inkubator Bisnis diperkirakan sebanyak 50 Inkubator Bisnis (Pemerintah, Universitas,
maupun swasta),namun dari jumlah tersebut hanya sebagian saja yang memiliki kinerja yang
baik(Bank Indonesia, 2006).
Permasalahan
umum
yang
dihadapi
UMKM/tenant
di Indonesia
dalam
pelatihan, pemagangan, pengurusan izin (legalitas) dan hak intelektual, desain produk dan
lainnya. 2) Pemasaran: meliputi pameran,
pembuatan brosur,
dan penyebaran informasi pasar. 3) Akses permodalan: meliputi pemberian insentif modal,
akses
modal dari program pemerintah, dan akses ke BUMN serta lembaga keuangan. 4)
160
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di inkubator bisnis Solo Techno Park (STP). Proses penelitian
terbagi menjadi dua tahapan (fase). Pertama adalah fase konstruksi model, yang dimulai
dengan pelaksanaan desk study (kajian literatur), dan FGD untuk memperoleh masukan
maupun
informasi
mengenai
struktur
model pendampingan
yang
efektif
dan
161
struktur
hirarki
model
yang
telah dikembangkan,
Level 3
Alternatif
Kualitas Pendampingan
tenant (0.217)
Skala Intervensi/Keterlibatan
Inkubator (0.097)
Keterlibatan Inkubator
sangat tinggi (0.031)
Mengacu pada program,
inisiasi dari inkubator (0.011)
Keterlibatan inkubator
rendah/berdasarkan permintaan,
inisiasi dari tenant (0.01)
Mengacu pada program, (0.041)
Keterlibatan inkubator rendah,
inisiasi dari tenant (0.041)
Gambar 1. Struktur hirarki keputusan dalam analisa cara efektif pendampingan tenant inkubator bisnis.
Level kedua struktur AHP adalah untuk menentukan tingkat kepentingan dari
beberapa tipe pendampingan yang ada. Terdapat tiga elemen yang dibandingkan tingkat
kepentingannya dalam level ini, yaitu tipe pendampingan dengan fokus pada intensitas
pendampingan, cara/metode konseling yang dilakukan dan skala keterlibatan inkubator.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Expert Choise 11, ddidapat skor terbobot
yang menunjukan prioritas masing-masing elemen. Pada level dua (kriteria/tipe
pendampingan) didapat bahwa tipe pendampingan dengan fokus pada intensitas
pendampingan memiliki nilai bobot kepentingan tertinggi sebesar 0.515. Hal ini bisa
dipahami mengingat dengan fokus pada intensitas pendampingan memungkinkan kontak
antara inkubator dan tenant semakin intens, sehingga memungkinakan inkubator menggali
lebih cepat permasalahan-permasalahan yang ada pada tenantnya. Prioritas kedua pada level
kedua ini yaitu tipe konseling, dengan bobot kepentingan 0.388. Hal ini didukung oleh
penelitian terdahulu yang menemukan bahwa cara konseling/pendampingan berpengaruh
positif terhadap produktivitas UMKM (Suparwoto, 2010).
Level kedua mengevaluasi tingkat kepentingan alternatif cara dalam mendampingi
tenant. Dapat kita lihat dalam gambar 1. bahwa terdapat tiga alternatif cara pndampingan
dengan bobot kepentingan yang sama dan terbesar di banding alternatif yang lain dengan
bobot kepentingan 0.217. Dapat kita lihat bahwa ketiga alternatif cara ini masuk dal kriteria
Intensitas Pendmpingan, hal ini berarti menurut pakar di Solo Techno Park bahwa
intensitas pendampingan menjadi fokus yang penting dalam mendampingi tenant.
Hasil kajian ini apabila merunut penelitian sebelumnya yang menyatakan kinerja
inkubator di indonesia belum maksimal, dengan sebagaian besar inkubator cara monitoring
dengan tidak terprogam dan dilakukan sewaktu-waktu jika terjadi masalah saja pada tenant
inkubator (Bank Indonesia, 2006) bisa menjadi hipotesis solusi untuk memperbaiki kinerja
inkubator.
162
163
P-ALTEK 06
ABSTRAK
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2013, tentang
Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat, amilum merupakan salah satu target bahan baku
obat yang akan dikembangkan dalam jangka menengah (3-5 tahun). Kulit pisang Agung
Semeru, yang diperoleh dari sentra pengolahan keripik pisang di Kabupaten Lumajang, Jawa
Timur, merupakan limbah organik yang belum dimanfaatkan sehinggga belum memiliki nilai
ekonomis yang baik. Kandungan amilum yang ada dalam kulit pisang Agung Semeru dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet. Pada penelitian ini dibuat
amilum dari kulit pisang Agung Semeru yang digunakan sebagai bahan pengikat untuk
membuat bahan ko-proses orally disintegrating tablet (ODT). Bahan ko-proses ODT
mengandung laktosa monohidrat dan Avicel PH101 sebagai pengisi tablet, amilum kulit
pisang Agung Semeru sebagai pengikat tablet, sodium starch glycolate (SSG) sebagai
penghancur tablet, dan manitol sebagai pemanis, dibuat dengan metode granulasi basah.
Dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik granul dan tablet bahan ko- proses. Hasil
penelitian menunjukkan amilum kulit pisang Agung Semeru dapat digunakan sebagai
pengikat tablet dan dapat menghasilkan bahan ko-proses ODT yang memiliki sifat alir dan
kompaktibilitas yang baik. Formula optimum diperoleh dengan menggunakan konsentrasi
amilum kulit pisang Agung Semeru 3,35% dan konsentrasi SSG 4,473%, yang memberikan
respon teoritis Carrs index 19,594%, Hausner ratio 1,242, kerapuhan tablet 0,585%,
kekerasan tablet 2,124 kp, waktu hancur tablet 116,964 detik, waktu pembasahan 59,836
detik, dan rasio absorpsi air 59,6.
Kata Kunci: Kulit pisang, Amilum, Pengikat tablet
164
PENDAHULUAN
Kulit pisang Agung Semeru, yang diperoleh dari sentra pengolahan keripik pisang di
Kabupaten Lumajang, merupakan limbah organik yang belum diolah lebih lanjut. Kandungan
yang ada dalam kulit pisang salah satunya adalah amilum yang dapat digunakan sebagai
bahan pengikat, penghancur, maupun sebagai matriks dalam pembuatan sediaan dengan
pelepasan termodifikasi. Keunggulan dari pisang agung Semeru adalah memiliki ukuran buah
yang besar (keliling buah 19 cm) dan panjang (33-36 cm) dengan bobot 10-20 kg/tandan.
Keunggulan lain dari pisang agung adalah memiliki kulit buah yang tebal sehingga tahan
disimpan 3-4 minggu setelah dipetik dan memiliki rasa buah yang manis. Selain itu,
meskipun kulit buah sudah kehitaman tetapi daging buah tetap enak dikonsumsi karena tidak
lembek (Prahardini, dkk. 2010).
Bahan ko-proses adalah bahan yang diperoleh dari menggabungkan dua atau lebih
macam bahan tambahan dengan proses yang sesuai, yang dapat menghasilkan bahan
tambahan dengan sifat unggul dibandingkan dengan sifat fisik masing-masing bahan.
Manfaat tersebut sangat diperlukan dalam pembuatan tablet dengan tujuan hancur cepat di
atas lidah tanpa bantuan air, yang dikenal dengan orally disintegrating tablet (ODT).
Pada penelitian ini, amilum kulit pisang Agung Semeru yang diperoleh akan
dikarakterisasi untuk mengetahui mutu fisik dan kandungan kimia. Bahan ko-proses ODT
yang digunakan adalah laktosa monohidrat, Avicel PH101, amilum kulit pisang Agung
Semeru, sodium starch glycolate (SSG), dan manitol yang dibuat dengan metode granulasi
basah. Dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik granul dan tablet bahan ko-proses.
Formula optimum ditentukan dengan menggunakan desain faktorial.
165
METODOLOGI
1 Bahan dan Alat
Bahan: kulit pisang Agung Semeru yang diperoleh dari Industri Pengolahan Keripik Pisang di
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; laktosa monohidrat, Avicel PH101, sodium starch
glycolate, manitol, dan magnesium stearat.
Alat: timbangan analitis (Sartorius tipe Al-500, Jerman), mesin cetak tablet single punch
(model TDT, Shanghai, China), hardness tester (Schleuniger tipe 6 D-30, Jerman), friability
tester (Erweka tipe TA-3, Jerman), disintegration tester (Erweka tipe ZT3-1, Jerman),
analyzer moisture content (Ohaus-MB25, USA), motorized tapping device (Erweka tipe
SVM-12, Jerman), oven, dan juicer.
2 Pembuatan Amilum Kulit Pisang Agung Semeru
Kulit pisang yang digunakan berasal dari buah yang sudah matang tetapi bagian
kulitnya masih berwarna hijau dan dilakukan sortasi terhadap kulit pisang yang akan
digunakan. Metode pembuatan amilum dimodifikasi dari metode pembuatan amilum biji
durian oleh Soebagio, dkk. (2009), dengan cara: kulit pisang dicuci kemudian dipotong kecilkecil dan diblender dengan bantuan akuades yang mengandung natrium metabisulfit (0,3%)
pada perbandingan kulit pisang : akuades (1:2 b/v), kemudian disaring dan diperas. Filtrat
didiamkan selama 24 jam kemudian didekantasi, endapan yang diperoleh dikeringkan dalam
oven dengan suhu 40 - 60 C selama 24 jam sampai diperoleh kadar air yang sesuai. Amilum
yang sudah kering dihaluskan dan diayak dengan ayakan mesh 24.
3 Karakterisasi Amilum Kulit Pisang Agung Semeru
Karakterisasi yang dilakukan terhadap amilum kulit pisang Agung Semeru meliputi
uji kualitatif, uji organoleptis, uji mikroskopis, uji makroskopis, pengukuran pH, kelembapan
serbuk, sudut diam, Carrs index, Hausner ratio, densitas, penetapan susut pengeringan,
penetapan kadar abu, derajat putih, dan pengukuran kadar amilosa.
4 Pembuatan Bahan Ko-Proses ODT
Digunakan desain optimasi dalam pembuatan bahan ko-proses yaitu desain faktorial,
dengan 2 faktor dan 2 tingkat. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi pengikat (amilum
kulit pisang Agung Semeru) dan konsentrasi penghancur (SSG). Pada amilum kulit pisang
Agung Semeru, tingkat rendah yang digunakan adalah 2% dan tingkat tinggi 4%. Pada SSG,
tingkat rendah 3% dan tingkat tinggi 5%.
166
F I (mg)
F II (mg)
F III (mg)
F IV (mg)
75,6
73,8
73,8
72
1,8
2,7
9
0,9
90
1,8
4,5
9
0,9
90
3,6
2,7
9
0,9
90
3,6
4,5
9
0,9
90
alir granul, dan uji densitas granul. Uji kelembapan dilakukan menggunakan alat moisture
balance. Kelembapan granul yang diinginkan adalah 3-5% (Voigt, 1995).Sifat alir ditentukan
berdasarkan nilai Carrs index dan Hausner ratio, syarat zat dapat mengalir dengan baik jika
Carrs index kurang dari 20%, dan Hausner-ratio kurang dari 1,25 (Wells, 1988).
6 Uji Mutu Fisik Tablet Bahan Ko-Proses ODT
Uji mutu fisik tablet yang dilakukan meliputi kekerasan tablet, kerapuhan tablet,
waktu hancur tablet, waktu pembashan, dan rasio absorpsi air. Kekerasan tablet yang lazim
untuk ODT adalah 2-7 kgf (Hsu and Han, 2005), sedangkan nilai kerapuhan tablet yang baik
adalah kurang dari 0,8% dari berat tablet (Voigt, 1995). Uji waktu hancur ini dilakukan
dengan menggunakan cawan petri (diameter 10 cm) yang diisi 10 mL dapar pospat pH 6,8.
Tablet diletakkan di tengah cawan, kemudian diamati tablet hancur sampai menjadi partikel
halus dan dicatat waktu hancur tablet (Bhowmik et al., 2009).
Waktu pembasahan tablet dapat diukur dengan menggunakan cara yang sederhana.
Lima kertas tissu melingkar dengan diameter 10 cm diletakkan di cawan petri. 10 mL
167
pewarna larut air (eosin) ditambahkan ke dalam cawan petri. Tablet diletakkan di permukaan
kertas tissu dan waktu yang diperlukan air untuk mencapai permukaan kertas tissu adalah
waktu pembasahan (Bhowmik et al., 2009). Tablet yang telah terbasahi ditimbang, rumus
rasio absorpsi air dapat dilihat pada persamaan [1], dimana Wa adalah berat tablet awal dan
Wb adalah berat tablet yang telah mengabsorpsi pelarut.
100Wa Wb
................................................................................................................ [1]
Wb
168
(B)
Gambar 1. (A) Pisang agung Semeru dan (B) kulit pisang agung Semeru.
Berdasarkan metode Soebagio, dkk. (2009) yang telah dimodifikasi, amilum yang
dihasilkan memiliki rendemen sebesar 1,25 0,08%. Hasil karakterisasi amilum kulit pisang
Agung Semeru dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2.
169
Parameter
Uji Iodin
Warna biru
Sesuai
keunguan
Bentuk
Serbuk
Serbuk
Sesuai
Warna
Putih kecoklatan
Putih
Tidak sesuai
Bau
Tidak berbau
Tidak berbau
Sesuai
Rasa
Tidak berasa
Tidak berasa
Sesuai
pH
6,1 0,15
4,0 7,0
Sesuai
Kelembapan granul
7,46 0,62%
< 20 %
Sesuai
Mikroskopik
Terdapat lamela
Terdapat lamela
Sesuai
Makroskopik
4,41 0,13 m
2 100 m
Sesuai
Viskositas (5 % b/v)
Jagung (300-1000)
Berada
dalam
rentang
2 : 1sampai
6:1
Organoleptik
1993)
Sudut diam
Tidak dapat
Sesuai
mengalir (sangat
buruk)
Carrs index
25,05 2,47%
Sesuai
Hausner ratio
1,34 0,04
Sesuai
Susut pengeringan
11,94 2,22 %
<15%
Sesuai
Kadar abu
1,34 0,26 %
<1%
Tidak sesuai
Derajat putih
47,46 2,75
Kadar amilosa
35,00 1,24 %
95
17 39%
Tidak sesuai
Sesuai
170
FI
3,28
0,38
F II
2,98 0,32
21,31
17,32
2,07
1,15
F III
2,18
0,75
21,99 1
F IV
2,84 0,42
20,65
0,58
Persyaratan
2-5%
(Ansel, 1989)
16-20 = cukup
21-25 = agak buruk
(Anonim 2012)
1,19-1,25 = cukup
Hausner ratio
1,26
0,02
1,20 0,01
1,27
0,01
1,25 0,01
1,26-1,34 = agak
buruk (Anonim,
2012)
171
172
Kekerasan
Tablet
(kp)
Kerapuhan
Tablet
(%)
Waktu Hancur
Tablet
(detik)
Waktu
Pembasahan
(detik)
Rasio
absorpsi Air
FI
2,15 0,02
0,56 0,02
150,5 8,61
70,99 10,52
68,81 32,15
F II
2,11 0,03
0,57 0,03
115,2 4,60
65,55 3,33
33,57 18,41
F III
2,17 0,01
0,57 0,02
145,2 2,73
67,10 3,97
46,8 15,02
F IV
2,12 0,08
0,59 0,02
117,2 1,31
56,88 4,54
72,37 32,24
Uji kerapuhan tablet menunjukkan bahwa penggunaan amilum kulit pisang Agung
Semeru pada konsentrasi 2-4% sebagai pengikat tablet akan menghasilkan tablet dengan
ikatan antar partikel yang baik sehingga memiliki nilai kerapuhan yang memenuhi
persyaratan.
Nilai waktu hancur tablet semua formula memenuhi persyaratan menurut Farmakope
Eropa, yaitu kurang dari 3 menit (Anonim, 2005). F II memiliki waktu hancur paling cepat
dibandingkan formula lainnya karena menggunakan pengikat pada konsentrasi rendah (2%)
dan
superdisintegran
pada
konsentrasi
tinggi
(5%).
Penggunaan
SSG
sebagai
superdisintegran dengan konsentrasi lebih tinggi akan mempercepat hancurnya tablet, hal ini
terkait dengan mekanisme kerja SSG yang memiliki kemampuan untuk menarik air
disekitarnya masuk ke dalam tablet melalui pori-pori yang ada di permukaan tablet,
kemudian mengembang, dan menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan antar partikel granul
sehingga tablet hancur lebih cepat. Selain itu, penggunaan pengikat pada konsentrasi lebih
kecil menyebabkan daya ikat antar partikel lebih lemah dan tablet cenderung lebih mudah
hancur.
Respon
Persamaan Polinomial
Carrs index
Hausner ratio
Kekerasan tablet
Kerapuhan Tablet
Waktu pembasahan
Keterangan: Y adalah respon, XA adalah nilai tingkat dari konsentrasi amilum kulit pisang Agung
Semeru, XB adalah nilai tingkat dari konsentrasi SSG, dan X AXB adalah nilai tingkat dari interaksi
konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru dan konsentrasi SSG.
173
174
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Hausner Ratio
Design Points
1.29
18
1.19
19
0.5
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
20
0
21
-0.5
Hausner Ratio
13
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
15.99
1 3
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Carr's Index (%)
Design Points
22.99
1.22
0.5
1.24
1.26
-0.5
-1 3
3
-1
-0.5
0.5
-1 3
1
(A)
3
-1
-0.5
0.5
(B)
Gambar 3. Contour plot (A) Carrs index dan (B) Hausner ratio dari granul bahan ko-proses ODT.
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Kekerasan Tablet (Kp)
Design Points
2.18
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
13
2.03
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
2.12
2.13
0.5
2.14
0
2.15
-0.5
2.16
-1 3
3
-1
-0.5
0.5
0.54
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
13
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Kerapuhan Tablet (%)
Design Points
0.62
0.585
0.5
0.58
0.575
0
-0.5
0.57
0.565
-1 3
3
-1
-0.5
0.5
175
110.2
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
13
120
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Waktu Hancur Tablet (detik)
Design Points
159.4
0.5
130
0
140
-0.5
150
-1 3
-1
-0.5
0.5
52
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
13
58
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Waktu Pembasahan Tablet (detik)
Design Points
78.66
60
0.5
62
64
66
68
-0.5
70
-1 3
3
-1
-0.5
0.5
176
dan SSG merupakan dua material yang memiliki kemampuan untuk menarik air, sehingga
memfasiltasi masuknya air ke dalam tablet dan dapat meningkatkan rasio absorpsi air dari
tablet ko-proses ODT. Contour plot rasio absorpsi air tablet ko-proses ODT dapat dilihat
pada Gambar 8.
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Ratio Absorpsi Air
Design Points
108.12
B : K o n s e n tr a s S S G ( % )
13
20.61
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
3
70
40
0.5
50
60
-0.5
60
50
-1 3
3
-1
-0.5
0.5
Contour
plot
dari
masing-masing
respon
kemudian
ditumpangtindihkan
(superimposed), dapat dilihat pada Gambar 9, sehingga diperoleh daerah optimum dengan
sifat bahan ko-proses yang diinginkan.
Design-Expert Software
Factor Coding: Actual
Overlay Plot
X1 = A: Konsentrasi Amilum
X2 = B: Konsentras SSG
Overlay Plot
1 3
B : K o n s e n tra s S S G (% )
Carr's Index
Hausner Ratio
Kekerasan Tablet
Kerapuhan Tablet
Waktu Hancur Tablet
Waktu Pembasahan Tablet
Ratio Absorpsi Air
Design Points
-1 3
-1
-0.5
0.5
Formula optimum yang terpilih menggunakan konsentrasi amilum kulit pisang Agung
Semeru 3,35% dan konsentrasi SSG4,473% yang akan memberikan prediksi respon Carrs
index 19,594%, Hausner ratio 1,242, kerapuhan 0,585%, kekerasan 2,124 kp, waktu hancur
116,964 detik, waktu pembasahan 59,836 detik, dan rasio absorpsi air 59,6.
5. Hasil Uji Mutu Fisik Bahan Ko-proses ODT Formula Optimum
177
Hasil uji mutu fisik granul bahan ko-proses ODT telah memenuhi persyaratan yang
ditentukan. Hasil uji statistik granul bahan ko-proses ODT optimum menggunakan onesample T test didapat hasil Thitung< Ttabel (0,05)(2), yang berarti nilai Carrs index dan Hausner
ratio granul ko-proses ODT optimum tidak berbeda bermakna terhadap hasil prediksi teoritis
berdasarkan persamaan polinomial, sehingga persamaan ponomial untuk Carrs index dan
Hausner ratio dapat dikatakan sahih.
6. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-Proses ODT Formula Optimum
Berdasarkan hasil pengujian mutu fisik tablet ko-proses ODT optimum (Tabel 6),
formula optimum memiliki kekerasan, kerapuhan, dan waktu hancur yang memenuhi
persyaratan. Hasil uji statistik tablet ko-proses ODT optimum menggunakan one-sample T
test didapat hasil Thitung< Ttabel
(0,05)(2),
waktu hancur, waktu pembasahan, dan rasio absorpsi air tablet ko-proses ODT optimum tidak
berbeda bermakna terhadap hasil perhitungan teoritis, sehingga persamaan polinomial untuk
respon kekerasan, kerapuhan, waktu hancur, waktu pembasahan, dan rasio absorpsi air tablet
bahan ko-proses ODT dapat dikatakan sahih.
Tabel 6. Hasil Uji Mutu Fisik Tablet Ko-proses ODT Formula Optimum
Replikasi
Kekerasan
Tablet
(kp)
2,12 0,17
Kerapuhan
Tablet
(%)
0,54 0,01
Waktu Hancur
Tablet
(detik)
115,4 4,16
Waktu
Pembasahan
(detik)
56,33 1,15
Rasio
absorpsi Air
58,61 0,47
2,15 0,14
0,55 0,01
116,8 3,63
57,00 2,00
58,31 1,04
2,11 0,19
0,54 0,01
116,4 2,88
56,60 0,57
57,95 0,74
Rata-rataSD
2,12 0,01
0,54 0,01
116,2 0,72
56,64 0,33
58,29 0,33
KESIMPULAN
Konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan nilai Carrs index, peningkatan nilai Hausner ratio, dan penurunan
waktu hancur tablet. Konsentrasi SSGberpengaruh secara signifikan terhadap penurunan nilai
Carrs index, penurunan nilai Hausner ratio, dan penurunan waktu hancur. Interaksi
konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru dan SSG tidakberpengaruh secara signifikan
terhadap semua respon yang diuji.
178
Formula optimum bahan ko-proses ODT yang diperoleh dengan program optimasi
Design Expert yaitu formula dengan konsentrasi amilum kulit pisang Agung Semeru 3,35%
dan konsentrasi SSG4,473% yang akan memberikan prediksi respon Carrs index 19,594%,
Hausner ratio 1,242, kerapuhan 0,585%, kekerasan 2,124 kp, waktu hancur 116,964 detik,
waktu pembasahan 59,836 detik, dan rasio absorpsi air 59,6. Semua respon yang diuji tidak
menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan hasil teoritisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. European Pharmacopeia. 5th ed. EDQM. English.
Anonim. 2012. US Pharmacopeia 35 NF 30. US Pharmacopeial Convention Inc. Rockville.
Anonim. 2014. Farmakope Indonesia. ed. V. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. ed. 4. terjemahan Farida Ibrahim.
Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta.
Bhowmik, D., Chiranjib.B, Krishnakanth, Pankaj, Chandira, R.M. 2009. Fast Dissolving Tablet: An
Overview. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 1(1):
163-177.
Hsu, A.F. and Han, C.H. 2005. Oral Disintegrating Dosage Form. US Patent Application Publication
Number 20050147670A1. 1-3.
Prahardini, Yuniarti, dan Krismawati. 2010. Karakterisasi varietas unggul pisang Mas Kirana dan
Agung Semeru di Kabupaten Lumajang. Buletin Plasma Nutfah. vol. 6 (2). 348.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M. E.
6thed. The Pharmaceutical Press. London.
Soebagio, B., Sriwododo, dan Adhika, A. S. 2009. Uji Sifat Fisikokimia Pati Biji Durian (Durio
zibethinus Murr) Alami dan Modifikasi Secara Hidrolisis Asam. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Padjajaran. Bandung.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Terjemahan S. Noerono dan M. S.
Reksohardiprojo, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
179
180
P-ALTEK 07
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam (SDA) khususnya biodiversitas
yang tersebar luas dan terbentang dari sabang sampai meraouke. Potensi sumber daya alam
tersebut telah berhasil dibangun dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui
cara-cara tradisional sampai dengan teknik modern untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Pemanfaatan Biodiversitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perannya sangat besar,
namun belum dapat dikelola secara maksimal. Biodiversitas di Indonesia yang memiliki
keaneka ragaman jenis yang kaya. Taksiran jumlah jenis kelompok utama makhluk hidup
seperti: Hewan menyusui 300 jenis; Burung 7,500 jenis; Reptil 2,000 jenis; Amfibi 1,000
jenis; Ikan 8,500 jenis; keong 20,000 jenis; serangga 250,000 jenis. Tumbuhan biji 25,000
jenis; paku pakuan 1,250 jenis; lumut 7,500 jenis; Ganggang 7800 jenis jamur 72,000 jenis;
bakteri dan ganggang biru 300 jenis (Sastra Pradja, 1989). Beberapa pulau di Indonesia
memiliki spesies endemik, terutama di pulau Sulawesi; Irian Jaya dan di pulau Mentawai.
Sebanyak 420 specis burung endemik yang tersebar di 24 lokasi di Indonesia.
Melihat keragaman hayati Indonesia yang sangat menakjubkan tersebut, maka tidak
heran bila banyak peneliti-peneliti asing yang berminat untuk melakukan kolaborasi riset di
Indonesia, terutama di bidang biodiversitas. Seperti diketahui dalam Direktori Penelitian
Asing di Indonesia, hasil pengolahan data dari Sekretariat Perizinan Penelitian Asing,
Kementerian Ristek dan Dikti, dalam dua tahun terakhir (tahun 2010 sampai dengan 2011)
1
181
menunjukkan banyaknya peminat peneliti asing selalu meningkat untuk berkolaborasi dengan
perguruan tinggi, lembaga litbang atau LSM di Indonesia. Demikian pula sebagai mitra
kerjanya dari perguruan tinggi, lembaga litbang atau LSM inipun mereka sudah
mempersiapkan atau menghubungi jauh-jauh hari sebelumnya sebagai mitra dalam kolaborasi
riset ke depan.
Berdasarkan hal-hal di atas, menunjukkan belum terfokusnya arah penelitian untuk
basic research yang dilakukan oleh peneliti asing (Direktori Kemen Ristek dan Dikti).
Kemudian di lembaga litbang
Tinjauan Teoritis
1. Kolaborasi Riset
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi riset internasional dapat
memberi dampak positif, baik dari sisi luaran ilmiah (Sooryamoorthy, 2009, Veugelers, 2010,
Katerndahl, 2012 dalam Trina dkk, 2013), peningkatan sumber daya riset (Heinze &
Kuhlmann, 2008), inovasi dan daya saing (Kim dan Park, 2008; Van Riejnsoever & Hessels,
2011), maupun penyelesaian masalah-masalah kompleks (Sonnenwald, 2007 dalam Trina
dkk, 2013). Pentingnya proses kolaborasi dinyatakan oleh Sargen dan Waters (2004), yaitu
terdapat tiga dimensi dari kerangka kolaborasi riset yaitu, proses kolaborasi, proses
182
interpersonal di dalam tim dan faktor konteks. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses
kolaborasi terdiri dari empat tahapan yaitu inisiasi, klarifikasi, implementasi dan
penyelesaian. Setiap tahapan tersebut menjadi sangat penting dan berdampak pada hasil
akhir, terlebih pada kolaborasi riset internasional yang melibatkan dua pihak dengan kondisi
sumber daya alam dan kepentingan yang berbeda, akan beresiko pada terjadinya
ketidakseimbangan dalam pencapaian tujuan masing-masing pihak kolaboran (Chasterman,
2001; Fizzanti, dkk 2012).Disamping itu hasil kajian Fizzanty dkk (2012), bahwa Kolaborasi
riset internasional pada umumnya masih dalam tahap kepentingan peneliti asing dan sebagian
publikasi riset, masih minim yang mengarah pada inovasi dan pengembangan kapasitas dan
SDM. Oleh karenanya pengertian kolaborasi riset internasional menurut (Melin and Persson,
1999 in Bukvova, 2010, dalam Kusnandar, dkk. 2013), yaitu kerjasama yang terjadi diantara
individu-individu yang memiliki berbagai kepentingan, terjadi interaksi, berbagi informasi,
serta adanya koordinasi untuk satu tujuan bersama.
Kolaborasi riset internasional beragam manfaat baik pada tingkat individu maupun
tingkat organisasi. Manfaat dari kolaborasi riset itu beragam, diantaranya: (i) berbagi
pengetahuan dan alih keterampilan; (ii) menciptakan cara pandang dan pengetahuan baru;
(iii) mendukung jejaring dan menjadi lebih produktif; dan (iv) diseminasi pengetahuan akan
mendorong dampak penting; (v) pembangunan kapasitas (Cooke, 2005; Loan-Clarke dan
Preston, 2002; Louck-Horsely, dkk., 1998). Namun demikian, tidaklah mudah mencapai
manfaat yang diharapkan karena adanya faktor-faktor pendukung dan penghambat
tercapainya kolaborasi riset yang efektif. Faktor-faktor tersebut dapat menghambat atau
mendukung kolaborasi riset termasuk faktor hubungan manusia seperti kepercayaan,
kejujuran, penghargaan, kesamaan atau kemitraan yang tidak berjenjang (Stead dan
Harrington, 2000; Mowery, 1998; Reback, dll., 2002), dan juga faktor-faktor organisasi
seperti kapabilitas dalam mengelola sumber daya manusia, organisasi, pendanaan, dan aset
fisik (Bold-Christmas, dll., 2007) serta komitmen organisasi litbang terhadap kolaborasi
dengan mendorong peneliti yang profesional dan kompetensi tinggi, serta kebijakan
organisasi litbang untuk mendukung kolaborasi riset.
183
METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk melihat kolaborasi riset internasional yang
diusulkan oleh peneliti asing yang dilakukan baik secara perseorangan, kelompok, maupun
institusi. Hasil kolaborasi riset internasional telah diungkapkan oleh para peneliti
asing/institusi setelah bermitra dengan para peneliti dari berbagai lembaga riset maupun
perguruan tinggi di Indonesia. Mengingat terbatasnya dana, waktu dan sarana, sehingga
dalam kolaborasi riset internasional ini mengambil sampel studi yang meliputi: Pusat
Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi LIPI), Pusat
Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(Puslit Bioteknologi LIPI),
Universitas Padjadjaran Bandung, Institut Teknologi Bandung dan Pusat Studi Lingkungan
Hidup UGM. Pemilihan lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi didasarkan pertimbangan
bahwa kelima institusi ini sarat dengan program kolaborasi riset internasional yang
menyangkut riset dasar, pemberdayaan pada masyarakat dan kemitraan yang saling
menguntungkan.
184
Guna memperoleh informasi yang akurat dan up to date, maka data yang
dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer pada dasarnya adalah data yang
diperoleh melalui wawancara dengan peneliti di ke dua Puslit LIPI dan dosen senior di tiga
Perguruan Tinggi tersebut di atas. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui pengumpulan
data/studi literature terutama mengumpulkan Direktori Penelitian Asing di Indonesia melalui
Sekretariat Perizinan Peneliti Asing Kementerian Ristek dan DIKTI, Jejaring elektronika,
media cetak dan sebagaigainya.
Dari hasil pengumlan data primer dan sekunder tersebut di atas, kemuadian dianalisis,
yang bermaksud memberikan penjelasan/uraian secara kualitatif yang menunjukkan kaitan
hasil kolaborasi riset internasional hubungan dengan kemitraan peneliti/dosen dari lembaga
riset/perguruan tinggi di Indonesia. Juga analisis dilakukan dengan melihat antara tujuan
kolaborasi riset internasional dan disisi lain dikaji keberadaan unit litbang/perguruan tinggi
dengan kemampuan sumber daya manusianya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengumpulan Data
1. Kementerian Ristek dan Dikti
Hasil pengumpulan data pada kantor Sekretariat Perizinan Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, tentang Penelitian Asing di Indonesia. Deskripsi
kolaborasi dari peneliti asing saat melakukan penelitian di Indonesia. Kolaborasi yang
dilakukan ada yang antar individu, kelompok, institusi, perguruan tinggi, dan LSM. Adapun
jabatan atau profesi pelaku kolaborasi riset, diantaranya: peneliti, dosen, profesor dan ada
juga mahasiswa (student) yang ingin memperoleh program master atau doktor. Bidang studi
yang di teliti hanya berbasis pada bidang biodiversitas yang untuk tahun 2010 dan 2011.
Pengelompokannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel-1 dan tabel-2) yang terdiri
dari bidang riset, Judul riset, dan banyaknya Peneliti. Adapun peneliti asing yang banyak
melakukan Kolaborasi riset internasional, adalah peneliti yang berasal dari negara-negara
maju seperti: Jepang; Amerika; Inggris; Jerman; Australia; Belanda; RRT; dan Perancis.
185
Banyaknya
Judul Riset
Banyaknya
Periset
1. Biologi Umum
14
53
2. Biologi Kelautan
10
26
3. Bioteknologi
4. Botani
5. Zoologi
16
20
6. Primatologi
49
55
7. Ekologi
21
45
113
212
Banyaknya
Ket.
Banyaknya
Judul Riset
Banyaknya
Periset
1. Biologi Umum
17
41
2. Biologi Kelautan
3. Bioteknologi
5
-
9
-
4.
5.
6.
7.
3
7
19
25
76
11
7
20
40
128
Botani
Zoologi
Primatologi
Ekologi
Jumlah
Ket.
186
antara kedua belah pihak memang sudah saling kontak baik melalui telepon, email dan
sebagainya. Peran mitra kerja dari Puslit Biologi betul-betul dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ada, yaitu mendampingi peneliti asing dari awal hingga akhir. Dalam
perjalanannya para peneliti mitra kerja dengan kontribusinya yang sangat positif baik
kegiatan dalam diskusi maupun kegiatan di lapangan. Sehingga kegiatan apa yang dilakukan
oleh peneliti asing dari mulai latar belakang dan masalah, tujuan, metodenya sampai pada
outputnya, pihak mitra selalu mengikutinya. Peran sebagai mitra kerja dalam kolaborasi riset
tentu merupakan pengalaman dan pembelajaran serta mempunyai manfaat yang sangat
berharga. Selain itu juga pihak mitra mendapatkan data-data dan ini suatu keuntungan baginya yang suatu saat data tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan kajian atau penelitian
kedepan. Sebagaimana diketahui bahwa menjadi mitra kerja yang manfaat lainnya, yaitu
publikasi internasional; melanjutkan studi atau training; hibah peralatan dan peningkatan
kapasitas SDM peneliti.
Disisi lain kitapun menyadari dan mengakui bahwa selama ini kolaborasi dengan
peneliti asing banyak dilakukan karena adanya keterbatasan sarana penelitian seperti
peralatan, laboratorium dan anggaran. Tetapi yang masih menjadi perhatian kita bersama
adalah adanya kolaborasi riset dengan peneliti asing, masih terjadinya pencurian biodiversitas
yang kita miliki. Hal yang sangat memprihatinkan, banyak dari fauna Indonesia tersimpan di
laboratorium negara asing, seperti di Inggris, sejumlah serangga Indonesia tersimpan disana.
Pada saat peneliti ingin meneliti dan mendapatkan data mengenai serangga tersebut, wajib
membayar sekitar 70 poundsterling. Hal tersebut sangat merugikan karena serangga yang
diteliti adalah edemik negeri sendiri (http://www.antaranews.com/berita/456273/lipi-siapkurangi-kerja-sama-dengan-asing). Masih banyak lagi kekayaan hayati kita yang dicuri oleh
peneliti asing, terutama penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi daerah yang menjadi
pintu masuk peneliti asing untuk meneliti di Indonesia, kata Rosichon (http://www.
Antaranews.com).
Kembali pada peran mitra kerja yang dilakukan oleh Puslit Biologi melalui sejumlah
penelitinya, berdasarkan pengalaman yang sudah terbangun, maka jika diamati lebih jauh
kolaborasi riset atas inisiatif peneliti asing tersebut, mencakup kegiatan penelitian yang
dibuat dengan maksud memperkembangkan dan menguji hipotesis dan teori yang secara
teoritis menarik bagi peneliti. Hasil penelitian yang dilakukan selama ini cenderung lebih
187
188
pada penelitian dasar (basic research), biasanya tidak mempunyai kegunaan langsung untuk
masalah-masalah ekonomi dan sosial pada waktu kini. Dalam waktu mendatang mungkin
penelitian dasar mempunyai potensi dan kegunaan untuk dilakukan penelitian lanjut.
dalam
area
Marine
Biotechnology,
Animal
Biotechnology,
Plant
bioteknologi modern dilakukan proses manipulasi tehadap susunan genetic mikrobia yang
dimanfaatkan, misal dengan pemotongan maupun penyisipan gen. Oleh karena itu kegiatan
puslit bioteknologi ini, masuk kategori jenis penelitian pengembangan atau terapan yang
dapat menghasilkan inovasi teknologi.
4.Kolaborasi Riset yang Dibangun oleh UNPAD
Program kolaborasi riset internasional yang dibangun oleh Universitas Padjadjaran
Bandung(Unpad) melalui dosen senior. Pada mulanya program kolaborasi riset internasional
dirintis oleh Prof. Dr. Parikesit dengan Pemerintah Jepang melalui berbagai Universitas
dinataranya Universitas Tokyo Jepang. dengan Pemerintah Jepang melalui berbagai
Universitas dianataranya Universitas Tokyo Jepang. Program kolaborasi riset ini dimulai
sejak tahun 1997 sampai 2007(10 tahun) sudah berlangsung Program kolaborasi riset
international diawalai dengan program pasca sarjana dengan ilmu lingkungan, juga kerjasama
Bappenas dan Diknas.
Kolaborasi riset dengan peneliti Jepang bersama peneliti di Unpad selama dalam 4
tahun dan telah melibatkan beberapa universitas di Indonesia antara lain Universitas
Indonesia, Institut Tekonologi Bandung dengan peneliti masing 2 orang. Dan dari hasil
kolaborasi ini telah menghasilkan doktor. Materi penelitian tentang biodiversiti mengambil
lokasi di jawa Barat (Cianjur). Salah satu lokasi riset adalah hutan di Cianjur dengan meneliti
keaneka ragaman dari hutan dan pengawasannya. Untuk pengamanan hutan dengan menanam
tanaman kaliandra. Dari program tersebut kemudian dibangun rumah untuk tinggal bagi
peneliti dan mahasiswa yang sedang kuliah kerja.
Program penelitian kolaborasi ini dimulai dari bisik-membisik antar professor di
Jepang dalam menentukan personal yang akan diajak kerjasama yang didasarkan dengan
kualifikasi yang sesuai dan ketat. Program kolaborasi riset yang diusulkan untuk
mendapatkan pendanaan yang cukup besar dari Pemerintah Jepang didasarkan pada
kualifikasi yang ketat. Sedangkan untuk mendapatkan pendanaan di Indonesia agak sulit
kecuali dari APBN itu pun tidak besar.
Program lain yang mendorong kolaborasi adalah bidang pengajaran dengan mata
kuliah ilmu lingkungan dimana perkualiahan secara Teleconference yang diikuti mahasiswa
Indonesia dengan belajar jarak jauh dari Jepang dan sebaliknya Jepang membantu memberi
alat teleconference dimana mahasiswa Jepang dan beberpa Negara lain ikut belajar jarak jauh
189
di mana dosen-dosen dari Unpad yang memiliki kualifikasi keilmuan sebagai pengajar
melakukan pengajaran yang serupa. Program kolaborasi riset juga dilakukan antara Unpad
dengan Toyoto Fundation Jepang namun dengan kualifikasi yang sangat ketat. Pendanaan
yang diberikan cukup besar yang mencapai Rp. 300 juta dengan memilih lokasi hutan dari
kawasan konservasi yang dapat melibatkan masyarakat disekitarnya. Dalam program itu
mengajak masyarakat untuk mengawasi hutan-hutan dari kawasan konservasi. Masyarakat
diberdayakan dengan mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi masyarakat, missal
pengadaan sumber air kemudian dari program ini berkembang menjadi penelitian lebih lanjut.
tujuan program kolaborasi riset ke depan adalah menghasilkan peneliti hayati dan alumninya
yang bekerja di swasta untuk mengelola industri kehutanan, membuat biodiversiti dengan
manajemen biodiversiti.
Program riset kolaborasi international dimulai dari pelaksanaan tri darma, tapi belum
masib, profesornya masih dibimbing dan diundang ke Jepang dengan biaya professor yang
penting meriset dan mengeluarkan publikasi dan peningkatan mutu sumber daya
manusia(SDM). Dengan peningkatan mutu dosen S2 (starata dua) melalui pendidikan yang
diperoleh dari program riset kolaborasi internastional sangat membantu mencetak doctordoktor sesuai bidang dan kompetensi yang dibutuhkan ke depan. Dalam riset kolaborasi
intenational mndorong kesetaraan dimana data dan informasi harus sama-sama dimiliki dan
dimanfaatkan sesuai kesepakatan dan hasil publikasi pun harus disepakati dalam
penulisannya.
Dalam kolaborasi riset international sangat penting memberi kesempatan pada tenagatenaga muda mendapat prioritas sehingga peluang untuk menguasai bidang-bidang keilmuan
dan pekerjaan semakin terbuka. Peran kolaborasi riset international di PPSDL Unpad
terutama membina jejaring dengan melayani dengan manfaat yang lebih besar, bekerja
dengan tepat waktu, riset lapangan harus dikuasai oleh para peneliti, konsep riset dari kita
karena substansi dari kita yang kuasai lapangan riset, sedangkan Jepang tidak publikabel,
lesson learn, kompleksitas di Indonesia sedang diJepang sangat sederhana.
Terkait dengan fasilitas dalam kolaborasi riset international biasanya diusulkan
pengadaan alat-alat riset dengan plafon yang ditentukan dari Jepang. Dalam pengusulan
peralatan, jika harganya di atas Rp. 25 juta maka alat tersebut harus dibawa kembali ke
Jepang setelah program kolaboorasi riset selesai, sedangkan jika harga dibawah Rp. 25 juta di
190
mana peralatan dapat dimiliki oleh Unpad(Indonesia). Secara umum selalu ada peralatan
yang tetap di Indonesia dan menjadi milik institusi pendidikan seperti JPS, molekuler,
mikroskop, dan sebagainya.
Untuk program HIBAH dari Jepang yang umumnya dilakukan di mana SDM kita
sebagai peneliti utama sedangkan peneliti dari Jepang sebagai Co-peneliti untuk
pengembangan kurikulum pendidikan terutama untuk kesiapan masyarakat Indonesia jika
menghadapi suatu peristiwa (penyakit) yang berbahaya dan menular, maka perlu
dipersiapkan kurikulum agar masyarakat Indonesia jika bepergian tidak mengalami suatu
penyakit yang dapat menular pada masyarakat Jepang atau lainnya bila bepergian ke negara
tersebut.
Salah satu program yang diharapkan dapat mendorong kolaborasi riset international
ialah program Academic Leadership Grand (ALG) UNPAD tahun 2015/2016 yang pertama
kali diimplementasikan untuk wilayah Jawa Barat dimana seluruh kabupaten/kota perlu
dibuatkan program sesuai kebutuhan masyarakat. Melalui program ALG ini setiap Profesor
akan mendapat pendanaan sebesar 1 milyar untuk empat tahun yang pelaksana dan
penananggung jawabnya ialah tiap-tiap professor. Program ALG yang dikomandoi oleh
professor bertujuan untuk mendidik/mencetak SDM yang telah doctor untuk menjadi
professor dan dari SDM master (strata dua) bisa menjadi doktor sampai professor dibawah
pembinaan oleh Profesor. Dengan demikian hasil yang diharapkan terbangunnya kemampuan
dan kompetensi yang mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dan Negara. Dari SDM
yang dihasilkan ini secara otomatis akan menghasilkan publikasi international. Sementara itu
Unpad juga membuat program Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) dengan pendanaan
Rp. 500 juta setiap program studi sehingga UNPAD menyediakan sekitar 35 Milyar per
Tahun yang dimulai tahun 2015. Jika program ALG dengan anggaran 1 milyar untuk 4 tahun
(maksimal) dan atas tanggung jawab professor diharapkan mampu membina tenaga dosen 1 :
1 : 6 orang setingkat doktor, maka diharapkan dari 6 orang doktor dalam 3 4 tahun bisa
menjadikan seorang professor.
Terkait dengan program ALG dengan tanggung jawab setiap profesor juga diharapkan
dapat mendorong program kerjasama luar negari terutama pergutruan tinggi terkemuka di
berbagai Negara maju yang memiliki pendanaan cukup besar. Seperti diketahui pula bahwa
tahun 2015 ini UNPAD memprogramkan adanya Hibah Unggulan Program Studi(HUPS)
191
yang juga diharapkan untuk mendorong percepatan program unggulan yang berorientasi
pemecahan permaalahan yang ada di masyarakat. Hasil yang diharapkan ialah pengelolaan
biodiversiti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat supaya semakin baik dan sekaligus
pemberdayaannya, juga professor tidak ada alasan untuk tidak melakukan kegiatan riset. Oleh
karena itu program transdisiplin akademik dimulai dari penelitian hilir, pengalaman
masyarakat berupa pengalaman/pengetahuan praktis( knowledge pracktical) yang dipadukan
dengan pengetahuan akademik dari dosen dan professor. Konsep transdisiplin ialah
eksperimen knowledge yang diperoleh dari masyarakat dan akademik sanitific knowledge
diperoleh dari professor dan dosen.
5. Kolaborasi Riset yang Dibangun oleh ITB
Program kolaborasi riset international pada umumnya dilakukan oleh individu dosen
atas dasar kemampuan dan kompetensi yang didukung oleh jejaring yang telah dirintis atau
telah terbangun. Indonesia sebagai bagian dari dunia international dikenal sebagai Negara
yang memiliki potensi sumber daya alam, juga mempengaruhi tata kelola dunia dalam
perubahan iklim. Seperti diketahui bahwa Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar
bukan saja bagaimana memanfaatkannya, tetapi dunia international lebih menghendaki
kelestarian alam dan ekosistem terjaga dengan baik. Dari kondisi dan iklim yang baik dan
memberi rasa kenyamanan bagi masyarakat berarti lingkungan terpelihara secara baik pula.
Hal ini menunjukkan bahwa perhatian banyak pihak dalam menciptakan iklim yang baik
tersebut tidak dapat dipungkiri.
Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) International banyak memberi perhatian kepada
Indonesia sehingga menawarkan program kolaborasi riset internasional, bukan melalui di
perguruan tinggi. Orientasinya lebih banyak pada bidang kehutanan, mereka itu berbicara
tentang konservasi. Karena koncervasi tidak bisa dijual, maka yang terjadi juga pendekatan
kapasitas lokal, sebagai contoh mereka mengajukan organisasi LSM, membuat fasilitas
masyarakat, perguruan tinggi tidak banyak melakukan riset sehingga interesnya mereka tidak
akan berkolaborasi.
melaksanakan.
Berkolaborasi perguruan tinggi di luar negeri tentang koncervasi, mereka datang dan
melibatkan dari dan kerjasama dalam berbabagi kasus. Pemerintah Indonesia sering melihat,
192
tapi sebetulnya ada/tidak masalah. Jadi kerjasama lebih jadi dari mereka, buktinya ada
publikasi dan citasi, tapi kebanyakan orang Indonesia bargaining posisinya lemah.
Bergainging posision berdampak besar terhadap Negara donor. Dengan bergaining posision
lemah, padahal mereka punya dana, namun tidak bisa kerjasama, tapi kalau ada bergaining
posision yang kuat, maka kerjasama akan mudah dilakukan karena kita mengusai
permasalahan yang akan diteliti bersama dengan LSM tersebut.
Peluang kolaborasi riet internasional adalah pendanaan dari luar negeri (Negara
donor) untuk senilai Rp 100 jutaan dapat diperoleh selama komitmen kita sebagai peneliti
harus dapat dijamin hasil yang akan dicapai, dengan pertanggung jawabannya yang
sederhana, tidak rumit dan bisa tunjukkan laporan hasil riset dan buktinya sesuai janji kita,
dengan kita beri misal 5 paket luarannya sehingga dengan kepercayaan itu kita biasanya
ditawarkan lagi atau jika kita usulkan akan dimudahkan untuk memperoleh dana berikutnya.
Ristek itu perlu memberi kesempatan pada peneliti di Lembaga Riset/dosen di
Perguruan Tinggi yang memiliki bergaining potision agar diberi kebebasan untuk menjadi
unggulan. Dengan menjadi unggulan hal ini akan membantu Indonesia supaya diberi
kesempatan mendapatkan program kolaborasi riset internasional dengan dana dari mereka.
Dengan menghasilkan 5 sampai 10 paper untuk jurnal artinya dapat diterima dengan baik,
akan dapat dipastikan untuk mendapatkan pendanaan berikutnya. Jika setiap kali butuh
pendanaan, selama bargaining potision kuat biasanya disediakan dana untuk memenuhi
program kolaborasi riset tersebut.
Pentingnya kolaborasi riset internasional juga memberi peluang SDM kita ke luar
negeri untuk proyek-proyek besar. SDM yang memiliki bergaining potision yang kuat
berpeluang besar untuk dapat dana dari Negara donor. SDM yang memiliki bergainging
potision yang mampu mengerjakan program kolaborasi riset tidak akan keluar uang pribadi,
dan meskipun dapat dana luar juga tidak untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama
Indonesia, dan mereka orang-orang asing tidak bisa mencuri data-data karena diawasi oleh
SDM yang memiliki bergaining potision. Sisi lain dari karakter Negara donor adalah masih
sering terlihat mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining potision, kita tidak bisa
dipermainkan, Indonesia is a world, tak banyak yang punya posisi.
Kebijakan Iptek terutama kolaborasi riset internasional salah satu kelemahan karena
tidak ada bergaining potision dari Ristek dan Dikti. Kalau ada bergainging potision sebaiknya
193
diberi keleluasaan, jadikan unggulan, dan banyak dari mereka yang ingin membawa nama
Indonesia. Peluang besar kalau ada SDM yang memiliki bergainging potision dan pemerintah
memberi dana. Kalau sudah demikian, biasanya pada berdatangan untuk kerjasama dan bisa
diperluas dengan kerjasama luar negeri. Program kolaborasi riset seperti memberi dampak
pada orang-orang muda. Mahasiswa sebagai orang muda mereka dibawa ke lapangan untuk
riset dan hasilnya bisa membuat publikasi internasional, juga dapat uang riset, sangat
menentukan bisa lulus sarjana dan jadi dosen, kemudian bisa jadi doktor. Keikutsertaan
mahasiswa dalam program semacam ini karena sudah punya publikasi sebagai persyaratan.
Mahasiswa dengan senang hati mengikuti dan dapat menghasilkan publikasi internastional.
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu memperbaiki kebijakan kolaborasi riset
internasional untuk mendorong mahasiswa dan dosen-dosen muda mengambil peran dalam
meningkatkan program riset baik riset dasar maupun riset terapan yang dibutuhkan sebagai
pemecahan masalah pembangunan nasional.
6. Kolaborasi Riset di Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM - Jogyakarta
Visi Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM adalah menjadikan satu lembaga
studi yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan penemuan dan/atau inovasi baru dalam
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dapat memberikan sumbangan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan misinya adalah menyelenggarakan dan
memfasilitasi berbagai kajian tentang pengelolaan lingkungan hidup secara kritis-holistik,
peka
terhadap
berbagai
dinamika
lingkungan
dan
masyarakat,
serta
membantu
tersebut, sebagian adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Biologi yang turut aktif
membangun PSLH. Telah banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan terutama dalam
berkolaborasi riset dengan luar negeri. Berbagai isu lingkungan yang muncul seperti
perubahan iklim, pemanasan global dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan manusia
telah menggerakan peneliti dan akademisi untuk memikirkan cara pengelolaan sumber daya
alam yang lebih bijaksana. Usaha pengelolaan sumber daya alam ini telah dilakukan melalui
berbagai riset yang mencakup riset dasar yang terkait seperti usaha konservasi dan pendataan
jenis kekayaan biota, penelitian-penelitian terapan yang mengedepankan konservasi
194
berkelanjutan, dan pengelolaan kekayaan biota yang berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi riset yang pernah dilakukan dari penelitian kompetitif melalui Nara
Institute of Science Technology Japan yang didanai dari World Bank diantaranya untuk
kegiatan konservasi biodiversitas di daerah pesisir, yaitu merintis kolam percontohan
budidaya rumput laut jenis ganggang ulva di Pantai Kukup, Desa Kemadang, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Memulainya kegiatan ini dengan mengajak masyarakat dimaksudkan untuk
melakukan konservasi biodiversitas ganggang ulva yang selama ini oleh masyarakat sekitar
telah diolah menjadi keripik. Sehingga namanya sampai saat ini dinamakan keripik ulva.
Namun demikian meskipun sudah mengajak masyarakat untuk memanfaatkan
ganggang ulva, tapi masih tersisa sedikit masalah. Salah satunya ialah masyarakat yang
belum tahu, cara memanen ganggang ini dengan cara mencungkil. Hal itu mengakibatkan
ganggang yang sudah dicabut tidak mudah tumbuh lagi di pinggir karang pantai. Padahal,
ganggang ini tumbuh di awal musim hujan dan baru dapat dipanen pada akhir musim hujan.
Adanya kolam budidaya ganggang ulva diharapkan dapat menjaga konservasi tanaman
biodiversitas yang ada di pesisir pantai Gunung Kidul. Potensi alam ini jika dikelola secara
bijaksana maka nantinya akan memberikan manfaat baik kepada komunitas. Oleh karenanya
untuk kedepannya UGM dalam kegiatan konservasi biodiversitas daerah di pesisir pantai
akan berkolaborasi menggandeng Universitas Charles Darwin, Australia, dan Universitas
Kyong San, Korea, dalam pengembangan biologi kelautan.
Selain itu PSLH UGM juga sepakat melakukan kolaborasi dalam bidang penelitian
biodiversitas tropika dengan empat perguruan tinggi di Jepang. Perguruan tinggi tersebut
adalah Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Ehime University, Chubu
University, dan Nagoya University. Belum lama Dekan Fakultas Biologi UGM, melakukan
kunjungan ke-4 perguruan tinggi di Jepang dan menginisiasi kolaborasi institusional berbasis
penelitian biodiversitas tropika. Kegiatan kerjasama tersebut, meliputi pertukaran staf dan
mahasiswa, joint research, dan penyelenggaraan program double degree master.
Harapannya kolaborasi ini akan bermanfaat bagi UGM dan perguruan tinggi mitra dalam
upaya peningkatan kapasitas penelitian dosen dan mahasiswa di bidang biodiversitas
tropika,.
195
196
kurang
memperlihatkan
kesungguhannya
sebagai
perwakilan
dari
lembaga
riset/perguruan tinggi dalam proses pengumpulan data dan informasi di lapangan, hubungan
197
interpersonal dalam tim kurang harmonis dan tidak menjadi perhatian yang serius para pihak
sehingga mempengaruhi substansi penelitian yang digeluti peneliti asing.
Dalam kolaborasi dikenal tahapan inisiasi, klarifikasi, implementtasi,
dan
penyelesaian masalah penelitian. Pengalaman hasil studi ini menunjukkan bahwa dari
kolaborasi riset, tampaknya mitra kolaborasi riset masih jauh dari adanya inisiasi terhadap
usulan proposal dari peneliti asing atau respon secara substansi penelitian yang diusulkan
oleh peneliti asing, sementara mitra bersifat pasif dan mengikuti apa maunya peneliti asing.
Oleh karena tidak diinisiasi terhadap proposal riset yang diusulkan oleh peneliti asing, maka
tidak dilakukan pula klarifikasi terhadap apa saja yang akan diteliti di lokasi yang telah
ditentukan sesuai izin penelitian dari Kementerian Ristek dan Dikti. Ketidak tahuan tentang
konteks penelitian berimplikasi pada ketidak tahuan terhadap data-data dan informasi yang
telah dikumpulkan oleh peneliti asing, sehingga tidak tahu pula apa yang harus
diimplementasikan dan penyelesaiannya seperti apa.
Kolaborasi riset internasional yang telah berlangsung cukup lama, namun belum
menunjukkan adanya kepentingan bersama antara peneliti asing dengan mitranya, rendahnya
interaksi, dan tidak berbagi informasi untuk tujuan bersama. Tampaknya kolaborasi riset
internasional belum menunjukkan hasil sebagaimana yang dibutuhkan oleh mitra kita dari
lembaga riset maupun perguruan tinggi. Padahal diketahui bahwa kolaborasi riset yang
selama ini dilakukan oleh lembaga riset maupun perguruan tinggi telah memberikan hasil
namun masih prosentasi yang amat kecil dibandingkan dengan keberadaan potensi sumber
daya alam dibidang biodiversity. Upaya-upaya kolaborasi riset internasional yang
kebanyakan dilakukan oleh dosen professor yang memiliki bargaining potision seperti yang
dilakukan oleh dosen dari Unpad dan ITB bersama UI dan IPB dalam bidang konservasi
hutan dan pemberdayaan pada masyarakat. Pemberdayaan ini untuk pengadaan sumber mata
air maupun penanaman tanaman-tanaman untuk pelestarian hutan, dan sebagainya.
Menurut Cooke, 2005, Loan Clarke dan Preston 2002, Louck Horsley, dkk 1998 menjelaskan bahwa kolaborasi riset dapat memberi manfaat secara maksimal dalam membagi
pengetahuan dan alih keterampilan, menciptakan cara pandang
mendukung jejaring
mendorong dampak penting, serta peningkatan kapasitas iptek. Dari hasil studi ini telah
menunjukkan adanya langkah-langkah positif dari lembaga riset seperti Puslit Biologi LIPI
dan Puslit Bioteknologi LIPI, begitu pula Unpad dan ITB, meskipun yang dirasakan masih
kecil dan belum dirasakan manfaat langsung, namun telah membagi pengetahuan
sebagaimana diungkapkan para peneliti dari Puslit Biologi yang memandang kolaborasi riset
sangat penting karena membantu memperkuat penelitian dasar, yang jika dilakukan oleh
mereka sendiri akan terbentur pada pendanaan yang sulit dipenuhi oleh Pemerintah. Begitu
pula para peneliti Puslit Bioteknologi yang cenderung melakukan penelitian inovasi dan
produk atas bantuan dana yang cukup besar dari Negara donor, yang tidak mungkin dibiayai
oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan bagi Unpad dan ITB terutama memberi manfaat
dengan mengikutsertakan dosen-dosen muda dan berpeluang untuk mendapat program srudi
doctor, penelitian bersama, membuat pub-likasi ilmiah diberbagai jurnal internasional,
bahkan bisa mendapat peralatan laboratorium setalah penelitian selesai.
Sesuai permasalahan dalam studi ini adalah belum fokusnya arah penelitian untuk
basic research pada Perguruan Tinggi/Universitas yang dilakukan oleh peneliti asing
(Direktori Kementerian Ristek dan Dikti Tahun 2010 dan 2011). Usulan kolaborasi riset
internasional umumnya penelitian dasar bidang biodiversiti, selain karena memang peneliti
asing lebih banyak digunakan untuk penyelesaian studi doltor dan master. Artinya dari segi
waktu, kolaborasi riset hanya butuh waktu yang tidak lama, apalagi pihak mitra tidak
mengambil perin penting. Dan juga sulit untuk ditindaklanjuti kearah penelitian terapan yang
diharapkan bisa menghasilkan penelitian inovasi. Artinya, setiap usulan proposal yang
diajukan oleh peneliti asing dan untuk membangun mitra perlu diperjelas dan secara tuntas
untuk menghasilkan penelitian dasar yang lebih luas. Seperti diketahui bahwa penelitian
dasar itu sangat penting dan strategis bagi lembaga litbang dan perguruan tinggi di Indonesia.
Untuk membantu dan mempercepat dalam mengaplikasikan sumber daya alam bidang
biodiversity, sementara di lembaga litbang dan perguruan tinggi belum banyak yang
mengusulkan usulan penelitian yang bersifat pengembangan untuk memperoleh pendanaan di
negara-negara donor, hal ini dikarenakan masih sedikitnya dosen-dosen yang memiliki
bergaining potision.Menurut nara sumber dari Unpad dan ITB, bahwa kolaborasi riset itu
sangat pentingnya untuk memberi peluang SDM kita mencari pengalaman ke luar negeri
untuk proyek-proyek besar. SDM yang memiliki bergaining potision yang kuat berpeluang
besar untuk dapat dana dari Negara donor. SDM yang memiliki bergainging potision yang
mampu mengerjakan program kolaborasi riset tidak akan keluar uang pribadi, dan meskipun
198
dapat dana luar juga tidak untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama Indonesia, dan mereka
orang-orang asing tidak bisa mencuri data-data karena diawasi oleh SDM yang memiliki
bergaining potision. Sisi lain dari karakter Negara donor adalah masih sering terlihat adalah
mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining potision, kita tidak bisa dipermainkan,
Indonesia is a world.
Untuk ke depan kebijakan Iptek terutama kolaborasi riset internasional salah satu
dengan memperkuat bergaining potision. Kalau ada bergaining potision sebaiknya diberi
keleluasaan, jadikan unggulan, supaya banyak dari peneliti dan dosen yang ingin membawa
nama Indonesia di dunia internaional.
Bagi negara donor/peneliti asing harus ada common intrest, minat yang besar,
misalnya kolaborasi beberapa perguruan tinggit di luar negeri, kerjasama mendatangkan
mahasiswa, atau kita melibatkan diri sendiri. Dalam banyak kasus, pemerintah indonesia
sering melakukan kolaborasi, tapi sebetulnya antara ya dan tidak. Satu hal yang mungkin jadi
masalah, kalau kerja orang bargaining potision lebih unggul lalu mereka mengakui. Buktinya
terdapat hasil berupa citasi dan publikasi, kebanyakan orang indonesia tidak punya
bergaining potision, betapa besar artinya bagi mereka, karena bisa mengatur dan mengawasi
pelaksanaan program. Dengan demikian, peluang besar jika ada SDM yang memiliki
bergainging posision dan pemerintah memberi dana, biasanya pada berdatangan untuk
kerjasama dan bisa diperluas dengan kerjasama luar negeri. Program kolaborasi riset seperti
memberi dampak pada orang-orang muda. Mahasiswa program pascasarjana sebagai orang
muda mereka dibawa ke lapangan untuk riset dan hasilnya bisa membuat publikasi
internasional, juga dapat dana riset, sangat menentukan bisa lulus master dan jadi dosen,
kemudian bisa jadi doktor. Keikutsertaan mahasiswa dalam program semacam ini karena
mampu membuat publikasi sebagai persyaratan. Mahasiswa pascasarjana dengan senang hati
mengikuti dan dapat menghasilkan publikasi internastional. Oleh karena itu Pemerintah
Indonesia perlu memperbaiki kebijakan kolaborasi riset internasional untuk mendorong
mahasiswa pascasarjana dan dosen-dosen muda mengambil peran dalam meningkatkan
program kolaborasi riset baik untuk riset dasar maupun riset terapan yang dibutuhkan sebagai
pemecahan masalah pembangunan nasional.
Sebagai upaya peningkatan kapasitas iptek, kolaborasi riset internasional sangat
dibutuhkan untuk memberi peluang SDM kita ke luar negeri mengerjakan proyek-proyek
199
besar. SDM dengan bergaining potision yang kuat berpeluang besar untuk dapat dana dari
Negara donor. SDM dangan bergaining potision menjamin dapat mengerjakan program
kolaborasi riset tidak akan keluar dana pribadi, tapi juga meskipun dapat dana luar tidak
untuk menjadi kaya, tetapi membawa nama Indonesia, dan mereka orang-orang asing tidak
bisa mencuri data-data karena diawasi oleh SDM yang unggul. Sisi lain dari karakter Negara
donor adalah masih sering terlihat adalah mentalitas menjajah, tapi selama ada bergaining
potision, kita tidak bisa dipermainkan, Indonesia is a world, tak banyak yang punya posisi.
Oleh karena itu, kebijakan kolaborasi riset internasional penting untuk memperkuat
bergaining potision yang dipersiapkan dari Kementerian Ristek dan Dikti. Bagi SDM yang
memiliki bergainging potision sebaiknya diberi keleluasaan, mejadi unggulan, dan banyak
dari mereka yang ingin membawa nama Indonesia dipentas internasional. Oleh karena itu
dalam kolaborasi riset internasional perlu mempertimbangkan secara serius keterkaitan antara
R&D, Industri dan sumber ilmu. Dibawah ini hubungan tersebut diuraikan secara
komprehensif untuk menghasilkan produk-produk yang unggulan disertai pasar yang luas
baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.
roduction Experience
valuation of Data
bjectives for Improvements
roblems to be solved
essons Learned
rrors to correct
200
RESEARCH
201
= Marketing
= Production
= Test
= Development
LEMBAGA R&D
NON
DEPATEMEN
DAN BAGIAN
R&D INDUSTRI
Applied Research
( SHORT TERM ASPECTS )
Applied Research
( LONG TERM ASPECTS )
BASIC RESEARH
UNIVERSITAS
DAN
LEMBAGA
PENDIDIKAN
INDUSTRI
Sebagai
Subsidi
dari pemerintah kepada
industri
PUBLIC SUPPORT
PRIVATE SUPPORT
pengembangan dan kontribusi industri. Bahwa penelitian dasar dan sebagian applied research
pelaksanaannya bertumpu pada Universitas dan Lembaga Pendidikan, yang didukung oleh
public/masyarakat dan sebagian lagi dilakukan oleh Lembaga riset non departemen seperti LIPI,
BPPT dan bagian dari R&D Industri, namun tetap bertumpu pada riset pengembangan, pengujian
dan produksi untuk pasar yang luas. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga R&D non
Departemen dan Bagian R&D Industri harus didorong oleh bisnis swasta.
Sebagai Negara yang masih memerlukan kerjasama dengan pihak Negara donor,
maka kolaborasi riset internasional perlu memperhatikan substansi pembiayaannya agar benarbenar hasilnya secara maksimal dapat digunakan dan dibutuhkan masyarakat luas. Untuk itu,
maka kebijakan Pemerintah tentang kolaborasi riset internasional harus diperbaiki dan lebih
diarahkan sebagai bagian dari pemecahan permasalahan bangsa.
202
203
karena tidak memiliki bargaining potision, maka sulit menghasilkan publikasi internasional
dan tidak bisa menciptakan pendidikan lanjut (master dan doktor) bagi mashasiswa pasca
sarjana, padahal salah satu tujuan yang penting adalah menghasilkan publikasi dan SDM
yang berpendidikan doktor.
Ke depan, program kolaborasi riset internasional harus lebih banyak baik usulan
peneliti saing dan lebih fokus pada penelitian dasar. Untuk penelitian dasar ini agar lebih
berguna di dalam negeri, perlu peneliti mitra nasional untuk lebih berperan aktif dan
menentukan aspek-aspek yang mendukung peneliti dasar sebagaimana yang dibutuhkan oleh
pembangunan nasional dalam pengembangan penelitian terapan maupun inovasi. Untuk itu,
maka kebijakan kolaborasi riset perlu lebih menekankan pada kebutuhan akan hasil-hasil
penelitian untuk ditindaklanjuti dalam penelitian terapan dan pengembangan di wilayah
Indonesia.
Pentingnya penelitian dasar yang didanai dari Negara donor karena juga sangat
membantu dalam pengadaan peralatan laboratorium pengujian untuk menghasilkan penelitian
yang bermutu karena kita mengetahui Pemerintah Indonesia tidak memiliki dana yang cukup
untuk memperkuat penelitian dasar. Dengan melalui kebijakan kolaborasi riset akan dapat
membantu kita dalam menaikkan kuantitas penelitian dasar sesuai dengan luasnya cakupan
penelitian kita di Indonesia.
Rekomendasi
Kebijakan kolaborasi riset internasional perlu lebih ditekankan pada manfaat yang
dapat diperoleh secara maksimal misalnya dengan lebih menekankan pada penelitian dasar
mengingat potensi bidang biodiversiti sangat luas dan belum dimanfaatkan secara maksimal.
Dari penelitian dasar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
kerah penelitian terapan sampai pada inovasi dan daya saing.
Kebijakan kolaborasi riset internasional juga perlu diarahkan untuk kegiatan produksi
dan pasar yang luas bagi suatu komoditi sangat penting untuk diperjuangkan keberbagai
Negara donor untuk mendapatkan pendanaan pada riset dan pengembangan suatu produk
yang dibutuhkan masyarakat luas. Pemanfaatan sumber daya hayati(biodiversity) di
Indonesia merupakan pilihan yang strategis ke depan untuk menghasilkan produk-produk
inovasi yang berdaya saing.
204
DAFTAR PUSTAKA
Heinze, T and S. Kuhlmann. 2008. Across Institutional Boundaries: Research Collaboration in
German Public Sector Nanoscience, Research policy vol. 37, issue. 5, 888-899
Katerndahl, D. (2012). Evolution of the research collaboration network in a productive department.
Journal of Evaluation in Clinical Practice vol. 18: Pp. 195-201.Katz, J Sylvan and Ben R.
Martin. 1997. What is research collaboration? Research Policy vol.25: Pp. 1-18
Kim, H. & Y. Park (2008) The Impact of R&D Collaboration on innovative Performance in Korea: A
Bayesian Network Approach. Scientometrics vol 75 no. 3, Pp: 535-554
Pontana, Avanti.2015., Membangun Eko Sistem Nasional.,The Ary Suta Center,Jakarta.
Rosichon., LIPI siap kurangi kerja sama dengan asing.,(http://www.antaranews.com
/berita/456273/lipi-siap-kurangi-kerja-sama-dengan-asing). Diakses tanggal 11 Agustus
2015.
Sastrapradja, Didin. 1989. Keanekaragaman hayati untuk kelangsungan hidup bangsa. ,Puslitbang
Bioteknologi-LIPI.
Sonnenwald D.H. (2007). Scientific Collaboration. Annual Review of Information Science and
Technology vol. 4: Pp. 643-81 (Dalam Fizzanty,dkk.2013).
Sooryamoorthy, R. 2009. Collaboration and Publication: How collaborative are scientists in
South Africa? Budapest Scientometics vol. 80 (2009), 421-441.
S. Kayatmo(2014), Sejarah Kelahiran Lembaga Riset dan Pengembangan di Indoensia, oleh LIPI
Jakarta.
Sooryamoorthy, 2009 dan Veugelers, 2010, Katerndhal,2012 dalam Trina Fizzanty dkk, 2013.
Vaugeler, R. 2010. Towards a multipolar science world: trends and impact., Scientometics vol. 82
(2010), 439-458.
Van Rijnsoever, F.J. & Hessels, L.K. 2011. Factors associated with disciplinary and interdisciplinary
research collaboration. Research Policy, 40 (3):463-472
fallas sanfransisco, London taronto Melbornd.
205
P-ALTEK 08
ABSTRAK
Dampak ekonomi dari suatu hasil penelitian teknologi baru akan dapat terasa bila
diimplementasikan pada kegiatan ekonomi, khususnya di industri. Penerapan teknologi
yang dihasilkan oleh suatu lembaga penelitian pada umumnya dilakukan dengan proses
alih teknologi. Lima faktor dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah alih teknologi
seperti: kelayakan implementasi, setting institusional, legitimasi politik, penerimaan
sosial dan fleksibilitas & refleksivitas. Dalam makalah ini dilakukan analisa kebijakan
alih teknologi di Indonesia dan implementasinya dalam bentuk program alih teknologi,
dengan studi kasus di Pusinov LIPI. Sekalipun program alih teknologi telah lama ada di
LIPI dan kebijakan tentang alih teknologi telah lama dikeluarkan pemerintah, akan tetapi
ditemukan bahwa masih banyak diperlukan aturan turunan apabila dilihat berdasarkan
lima faktor tersebut di atas.
206
PENDAHULUAN
Upaya penelitian dan pengembangan teknologi telah lama dilakukan di Indonesia, akan tetapi
apakah pengembangan teknologi ini sampai menjadi inovasi, dalam arti hasilnya telah
nampak meningkatkan perekonomian bangsa, bisa jadi masih perlu untuk dikaji lebih dalam
lagi. Alih teknologi sebagai salah satu inovasi guna terciptanya penerapan teknologi dari satu
entitas yang mempunyai teknologi tersebut kepada entitas lainnya yang membutuhkan.
Karena dengan dilakukannya alih teknologi berarti terciptanya peluang penerapan teknologi
dalam proses produksi atau dalam proses ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan atau
perolehan uang bagi pengguna teknologi tersebut, seperti dinyatakan oleh Dervojeda &
Schretlen (2013):
Innovation and technology transfer have strong impact on economic
development and increase in international competitiveness level of the economy.
Alih teknologi dapat menjadi salah satu faktor kunci yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
207
penggunaannya dalam proses ekonomi yang lebih besar akan menentukan posisi daya
kompetisi dalam tatanan tenaga kerja internasional. Perubahan struktur perekonomian adalah
hampir tidak mungkin tanpa adanya efektif alih teknologi dan sistem inovasi nasional yang
terdefinisi dengan baik. Kedua faktor ini mendorong perbaikan yang spektakuler pada daya
kompetisi dan kesuksesan ekonomi khususnya industrialisasi baru pada perekonomian
kawasan Asia Pasifik.
Alih teknologi itu sendiri adalah sebuah proses yang rumit, yang meliputi beberapa
elemen yang saling berkaitan erat seperti teknologi (komponen/mesin, paten/lisensi) dan
pengetahuan (budaya organisasi). Apabila alih teknologi dipahami secara parellel dengan
inovasi, maka hal ini berarti mengandung pengetahuan khusus atau baru tentang sebuah
produk atau servis.
Alih teknologi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses aliran teknologi antara
pemilik dan pemakai/pembeli. Hal ini dapat mendekatkan gap dalam mengakses ke teknologi
khusus yang dibutuhkan dengan cara seperti: membeli, meminjam, dipinjamkan atau lisensi.
Satu elemen penting yang terkait langsung dengan alih teknologi adalah komersialisasi
teknologi, yang mana hal ini merupakan sebuah proses alih teknologi dengan penekanan
khusus pada implementasi penggunaan hasil penelitian (R&D).
Suplai teknologi ini juga sebagian besar tergantung pada inovasi dari kemampuan
sebuah institusi tertentu atau disebut dengan potensial inovasi. Inovasi dalam hal ini harus
dipahami dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baru. Inovasi dapat terkandung dalam
proses produksi atau dalam produknya.
Kebijakan Publik
Akan tetapi pencarian inovasi adalah sebuah aktivitas tidak stabil yang mengandung
biaya dan resiko tinggi, walaupun ia akan membawa pengembalian dan keuntungan yang
besar untuk perusahaan, industri dan negara. Karena alasan itulah, tipe aktivitas ini adalah
untuk mendapat insentif pemerintah melalui kebijakan publik seperti yang umumnya
dipahami. Bagaimanapun, agar
membutuhkan pengungkapan bentuk yang berbeda dari aksi pemerintah dan kerangka
peraturan. Jika tidak, maka dapat menyebabkan terbuangnya sumber daya, karena adanya
208
risiko untuk beberapa inisiatif pemerintah dapat dinetralkan oleh kebijakan lain yang
memiliki efek sebaliknya.
Dalam kondisi demikian, dukungan pengembangan hanya untuk sain dan teknologi
saja adalah tidak cukup dalam membuat berbagai lingkaran inovasi. Sehingga saat ini, model
dorongan teknologi dan model tarikan pasar yang linier dianggap tidak cukup untuk
menstumulus inovasi. Disisi lain, pandangan sistemik inovasi mengandung pendekatan yang
lebih komprehensif yang memfokuskan pada proses belajar sebagai endogenous faktor,
berdasarkan pada sebuah interdisiplin dan perubahan sudut pandang proses inovasi, yang
mana institusi pendukung inovasi adalah faktor berpengaruh pada proses ini (Edquist, 2005).
Perpektif sistematik ini adalah mirip dengan model chain-linked Kline and Rosenbergs
(1986) yang menyatakan bahwa proses inovatif membutuhkan interaksi konstan di antara
pemain.
Dengan pendekatan seperti ini, kebijakan publik harus bertujuan untuk membentuk
lingkungan yang sesuai bagi interaksi antar pemain, dengan sebuah visi bagi investasi jangka
panjang yang mengatur dua hal biaya dan resiko tinggi dalam proses inovasi. Kebijakan
publik yang paling penting dapat dibagi dalam enam katagori, yaitu:
(1) kebijakan industri dan sektor yang ditujukan pada promosi aktivitas produktif,
diarahkan pada tahap perkembangan yang lebih lama dibandingkan dengan yang sudah
ada.
(2) kebijakan perdagangan luar negeri, yaitu kebijakan import digunakan untuk proteksi
industri dalam negeri dan kebijakan eksport yang membantu meningkatkan daya
kompetitif industri nasional terhadap kompetitor luar.
(3) kebijakan promosi dan finansial yang merupakan investasi jangka panjang dan
pengembangan teknologi baru dengan pembiayaan penelitian dan pengembangan.
Investasi R&D mempunyai tingkat krtidak pastian tinggi dan umumnya luput dari skop
sistem finansial swasta. Sehingga terdapat ruang bagi pemerintah untuk berusaha lewat
pembiayaan non-reimbursable dengan rate bunga rendah (tanpa subsidi).
(4) kebijakan terkait dengan kompetisi dan regulasi yang bertujuan menciptakan dan
menjaga sebuah lingkungan ekonomi yang kompetitif dalam areal kritis untuk inovasi,
termasuk kebijakan hak karya intelektual.
209
(5) Kebijakan yang mendukung usaha kecil dan menengah yang dapat memainkan sebuah
peran yang signifikan dalam ekonomi yang inovatif.
(6) Kebijakan pendidikan untuk melatih tenaga trampil dalam bidang sain,teknologi dan
inovasi yang mendorong dan menstimulasi geberasi pengetahuan dalam masyarakat
dengan dukungan akademik dan saintifik riset.
Dalam sebuah studi di Jepang, adalah sebuah kenyataan bahwa peneliti mempunyai
tanggung-jawab untuk menshare hasil penelitiannya kepada masyarakat berdasarkan
kebijakan dalam technology enhancement act (2000), the intellectual property basic act
(2002) dan the amanded basic education act (2006) Japan, tetapi diantara kebijakan tersebut
maka cara paling efektive yang menjamin alih teknologi adalah dengan menciptakan sebuah
mekanisme untuk memberikan peneliti insentif agar bekerja pada penelitian yang berpotensi
komersialisasi
Dari hal tersebut dapat dipahami, sekalipun membagi hasil penelitian kepada
masyarakat merupakan sebuah kewajiban, akan tetapi faktor penting yang mampu
mendorong terjadinya proses alih teknologi adalah penghargaan yang diterima oleh peneliti
terhadap hasil karyanya, yang dalam hal ini umumnya berupa insentif. Tabel 1 berikut
memperlihatkan prinsip yang diadopsi Keio University Japan dalam memberikan
penghargaan bagi proses tranfer teknologi yang telah sukses.
Tabel 1: Sample of attractive incentives for inventors
(Deduction)
Administrative expenses
(15%)
LANDASANTEORI
Dalam implementasi kebijakan efektivitas kriteria penting untuk mengukur
keberhasilan suatu kebijakan atau program. Menurut Halim (2002:14-15) efektivitas sangat
penting bagi pemerintah sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat yang akan memberi
manfaat berupa efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan tepat pada sasaran.
Mardiasmo (2002:105) mengatakan efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran
harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik, kata anggaran disini merupakan
210
211
sumber dari dana masyarakat (public money) yang dimana diharapkan menghasilkan output
yang maksimal atau berdaya guna.
Menurut Dunn (2003:429) efektivitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya program
tersebut. Efektivitas, yang berkaitan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk
atau layanan atau nilai moneternya. Misalkan kebijakan kesehatan yang efektif.
Efektivitas adalah berkaitan dengan apakah pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan
seperti yang direncanakan. Pecapaian tujuan tersebut berbanding dengan usaha atau biaya
dikeluarkan untuk mendapatkan tujuan program. Dalam program alih teknologi di lembaga
penelitian pemerintah tujuan program dinyatakan dalam sasaran kinerja yang telah ditetapkan
sebelumnya.
transfer
teknologi
dan
komersialisasi
dapat
mencapai
sukses
dan
212
2. Setting Institutional
Instrumen kebijakan yang layak implentasi, dipengaruhi oleh setting kelembagaan yang
mana masalah kebijakan didefinisikan, instrumen tersebut dipilih dan dirancang, dan
kemudian diimplementasikan. Lembaga dalam konteks ini mengacu pada organisasi
publik di mana pejabat publik terpilih dan politisi, birokrat dan administrator beroperasi.
3.Legitimasi Politik
Pertanyaan legitimasi politik adalah hal penting di semua tahapan siklus kebijakan, dan
mempengaruhi kelayakan implementasi instrumen kebijakan. Terutama, ketika membahas
isu-isu legitimasi demokratis. Legitimasi politik dapat dibagi dalam legitimasi output,
legitimasi masukan, dan legitimasi capaian. Dalam konsepsi ini, keluaran legitimasi
mengacu pada efektivitas instrumen kebijakan untuk rakyat. Gagasan ini berkaitan dengan
penerimaan sosial. Masukan legitimasi mengacu pada tanggapan terhadap perhatian warga
sebagai hasil partisipasi masyarakat. Legitimasi capaian mengacu pada keberhasilan,
akuntabilitas, keterbukaan dan transparansi proses pembuatan kebijakan.
4. Penerimaan Sosial
Masalah penerimaan sosial merupakan kriteria evaluasi penting. Dalam hal ini terdapat
perbedaan penting antara istilah "penerimaan" dan "diterima", berdasarkan waktu dan
pengalaman individu. Dari pandangan ini, kata diterimadapat dipahami sebagai kriteria
evaluasi ex-post, sementara kata penerimaan dapat dianggap sebagai kriteria ex-ante.
Namun, untuk lebih memudahkan kreteria penerimaan dapat pula dianggap sebagai
kriteria untuk keduanya evaluasi ex-post dan ex-ante.
5. Fleksibilitas & Refleksivitas
Evaluasi kebijakan berlangsung dalam lingkungan yang semakin kompleks dan tidak
pasti. Dengan demikian, evaluasi perlu memastikan apakah instrumen kebijakan adalah
cukup fleksibel untuk mengatasi kondisi dinamisini, dan kepentingan yang sering
bertentangan dari banyak aktor kebijakan. Hal ini mungkin paling jelas dalam bidang
kebijakan lingkungan, di mana "instrumen kebijakan lingkungan baru", yang
memungkinkan pelaku kebijakan lebih fleksibel dalam memenuhi peraturan lingkungan.
Sebagai contoh, berbagai instrumen kebijakan ekonomi, termasuk skema izin dan emisi
perdagangan telah memungkinkan pelaku ekonomi lebih punya fleksibilitas dalam
mematuhi undang-undang lingkungan hidup.
213
Ketika menangani ketidakpastian, kita perlu memeriksa apakah prinsip kehati-hatian telah
diterapkan, apakah instrumen dapat beradaptasi, dan apakah itu ditujukan bagi kemungkinan
perubahan ekonomi, lingkungan dan sosial.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan dalam bentuk evaluasi formal yang
menggunakan metode kualitatif. Evaluasi formal adalah pendekatan yang menggunakan pola
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat diandalkan pada hasil
kebijakan dan mengevaluasi hasil atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan
secara resmi oleh para pembuat kebijakan dan administrator Program.
Metode pengumpulan data untuk penelitian ini adalah wawancara mendalam.
Wawancara dengan informan yang dilakukan di tempat yang berbeda, sesuai dengan
perjanjian. Para peneliti datang satu per satu dari informan di tempat yang berbeda.
214
menjalankan alih teknologi dari hasil penelitian lembaga tersebut. Cara pengalihan
teknologi pada masing-masing lembaga terdapat perbedaan mengikuti bentuk unit
kerjanya, Hal ini mungkin terjadi karena belum tersedianya aturan yang jelas tentang
pelaksanaan alih teknologi hasil penelitian.
Akan tetapi Pusinov sebagai unit kerja yang menjalankan fungsi tersebut telah
melengkapi aturan yang mengatur tentang proses alih teknologi khususnya yang
dihasilkan oleh LIPI seperti gambar 1 sebagai berikut.
2.
Setting Institutional
Responden menyatakan: Wajar suatu lembaga membuat suatu fungsi yang
mengalih teknologikan hasil litbangnya yang itu dipusatkan satu eselon 2 yang setingkat
dengan lembaga-lembaga lain yang berkonsentrasi dalam kontek alih teknologi. Tugas
dari institusi ini setingkat eselon 2 yang di LIPI disebut pusinov yang menyiapkan segala
tata kelola, policy, tata organisasi atau mungkin stategik-strategik tinking yang lain
yang berkonsentrasi untuk alih teknologi apa saja yg berkaitan dengan itu iniah yang
menyiapkan. Jadi tidak hanya menyiapkan kebijakan tetapi juga mengelola dan bahkan
melakukan desiminasi pelaksanannya di lapangan. Kalau itu terjadi secara ideal maka
secara fungsi lembaga ini akan bisa menjalankannya lebih baik lebih efisien dari pada
dibagi-bagi terdistribusi.
Institusi atau unit kerja yang melaksanakan fungsi alih teknologi di LIPI adalah
setingkat pusat atau eselon dua. Pada umunya unit kerja setingkat eselon dua adalah
bertanggung jawab pada pelaksanaan program yang telah digariskan oleh institusi
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan lebih efektif ataupun koordinasi antar unit kerja
lainnnya. Karena teknologi hasil penelitian nerupakan program penelitian yang
dilaksanakan oleh unit kerja setingkat eselon dua di LIPI.
215
3.
Legitimasi Politik
Responden menyatakan: Kecukupan, aturan pokoknya sudah ada turunannya
yang belum ada. Apapun litbang apakah dari perguruan tinggi diwajibkan untuk
melakukan alih teknologi. Pengaturannya sudah cukup tetapi saat diimplementasikan
ternyata perlu pedoman yg lebih detail. Misalkan unitnya sudah ada, menganismenya
sudah ada, barangnya sudah ada, bagaimana membinanya sudah ada artinya sudah ada
semua hanya saat diimplementasikan ke bawah tidak bisa dijalankan.
Terkait insfrastruktur, bantuan insentif seperti pp35 seperti bantuan SDM
peneliti perekayasa, aturannya baru kita rintis terkait dengan alih teknologi.yg penting
ada koridor hukum yang mengamanahkan bahwasanya PNS bisa diperkerjakan di
industri payung hukum itu saja, karena di pasal 70 UU 5 bunyinya kebalik, PNS yang
ingin meningkatkan kompetensi dan sebagainya bisa ditempatkan di industri, seakanakan PNS magang, tapi yang dimaui industri sebaliknya.
Lembaga pemerintah dalam menjalankan tugasnya perliu dilengkapi dengan suatu
aturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang. Ketiadaan aturan sebagai
turunan peraturan diatasnya secara umum dapat diartikan peraturan tersebut belum dapat
dijalannya. Hal ini berdampak pula pada penyediaan anggaran yang dibutuhkan untuk
menjalankan peraturan tersebut tidak dapat disediakan dan anggaran pembahasannya
dilakukan oleh lembaga legeslatif yang juga merupakan salah satu proses politik.
4.
Penerimaan Sosial
Responden menyatakan: Pemerataan, terkait royalti, tentang kepemilikan sudah
ada, tapi aturan kepemilikan lebih kepada pengelolaan sedangkan untuk sharenya atau
pengaturan pembagian belum ada. Yang ada hanya menyatakan perlu ada memperoleh
imbalan untuk HAKI, tetapi angkanya belum ada dan ini harusnya diatur oleh aturan
dibawahnya. Perlu diatur berapa royalti ke mereka berapa royalti ke lembaga.
Royalti merupakan salah satu unsur penting dalam proses alih teknologi, karena
ia bukan hanya sebagai sebuah penghargaan tetapi juga sekaligus sebagai sebuah
pengakuan terhadap prestasi peneliti. Sejalan dengan itu pemerintah melalui kementerian
keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
72/Pmk.02/2015 Tentang Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
216
Royalti Paten Kepada Inventor. Dalam peraturan ini dimuat tetang pembagian royalty
hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah.
5.
217
KESIMPULAN
Peraturan tentang kebijakan alih teknologi yang dikeluarkan oleh Pemerintah berupa
peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2015 masih perlu dilengkapi dengan berbagai aturan
turunannya, walaupun demikian program alih teknologi telah dilaksanakan oleh Pusinov LIPI
dengan baik.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 72/Pmk.02/2015 Tentang
Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor
sebagai salah satu peraturan turunan dari PP 20 2015, akan tetapi belum dapat
diimplementasikan karena masih diperlukannya aturan tetang pelaksanaannya.
Pelaksanaan program alih teknologi di lingkungan LIPI sekalipun telah memenuhi
kriteria: Kelayakan implemensi, Setting Institutional, Legitimasi Politik (penyediaan
anggaran), Penerimaan Social dan Flexibility & Refleksivitas, akan tetapi aturan pelaksanaan
218
kebijakan tersebut masih perlu dilengkapi lagi, agar dapat dilaksanakan dengan lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, 2002, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN
Abdul Wahab, S., Rose, R. C.. 2012. Defining the Concepts of Technology and Technology Transfer:
A Literature Analysis. International Business Research Vol. 5, No. 1.
Bozeman, B.. 2000. Technology transfer and public policy: a review of research and theory.
Research Policy 29 _2000. 627655.
Dervojeda, K., Schretlen, J.. 2013. Innovation How to convert research into commercial success
story? Directorate-General for Research and
Innovation 2013 Nanosciences,
Nanotechnologies, Materials and New Production Technologies (NMP).
Dunn, W. N.. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Edquist, C. (2005): Systems of Innovation: Perspectives and Challenges, in The Oxford Handbook of
Innovation. Oxford University Press, Oxford, 2005, 181-208.
European Commission. 2007. Improving knowledge transfer between research institutions and
industry across Europe.Luxembourg: Office for Official Publications of the European
Communities.
Gurbiel, R.. 2002. Impact Of Innovation And Technology Transfer On Economic Growth: The
Central And Eastern Europe Experience. Warsawa: Warsaw School of Economics .
Kenichi Hatori, Technology Transfer by Public Research Organization, Japan Patent Office AsiaPacific Industrial Property Centre, JIII 2010, p 13.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi
219
Puslitbang Jalan dan Jembatan. 2013. Alih Teknologi Dari Litbang Ke Masyarakat. Jakarta :
Kementerian Pekerjaan Umum.
Tampubolon, S.. 2011. Politik Hukum Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan Implementasinya untuk
Inovasi dan Alih Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Nasional,
Bandung: Universitas Padjadjaran .
Roman Gurbiel. 2002. Impact of Innovation And Technology Transfer On Economic Growth: The
Central And Eastern Europe Experience. Warsaw School of Economics Warsawa.
220
P-ALTEK 09
ABSTRAK
Pengukuran dan monitoring produktivitas merupakan langkah awal dalam upaya peningkatan
produktivitas organisasi. Hasil pengukuran produktivitas digunakan sebagai pertimbangan
dalam penetapan kebijakan strategis peningkatan produktivitas. Agar dapat memberikan
gambaran produktivitas organisasi secara tepat, pengukuran produktivitas harus dilakukan
dengan rumus perhitungan atau metrik yang tepat dan sesuai dengan organisasi. Berdasarkan
hal tersebut, dalam melakukan pengukuran produktivitas perlu dilakukan pengembangan
sistem pengukuran produktivitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem
pengukuran dan monitoring produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Hasil dari
penelitian ini diketahui bahwa produktivitas Keltian MM dibentuk dan dipengaruhi oleh 18
rasio produktivitas. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan sebuah matrik pengukuran
produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Dimana dalam matrik tersebut,
besarnya indeks produktivitas Keltian MM dipengaruhi oleh nilai rasio produktivitas yang
dicapai, nilai rasio produktivitas yang ditargetkan dan nilai bobot pada setiap rasio.
221
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam iklim persaingan, peningkatan produktivitas secara berkelanjutan merupakan
hal yang harus dilakukan oleh organisasi (Sudit, 1994, karlsson, 2004, Andersson, 2015).
Untuk dapat meningkatkan produktivitas, organisasi harus dapat melakukan pengukuran
produktivitas organisasinya terlebih dahulu (karlsson, 2004, Wazed, 2008). Oxman (1992)
Seperti yang dikutip dalam Karlsson (2004) menyebutkan bahwa pengukuran produktivitas
merupakan langkah pertama yang mengarahkan organisasi pada pengontrolan produktivitas
yang pada akhirnya akan mengarahkan organisasi pada peningkatan produktivitas. Dengan
melakukan pengukuran produktivitas, organisasi menjadi memahami produktivitasnya, Jika
sudah memahami, organisasi dapat mengontrolnya, dan jika sudah dapat mengontrolnya,
organisasi dapat meningkatkannya.
Kelompok Penelitian Manajemen Mutu (Keltian MM) merupakan kelompok
penelitian yang berada di dalam Pusat Penelitian X. Personel Keltian MM terdiri atas 2
peneliti madya, 2 peneliti pertama dan 3 kandidat peneliti dengan bidang kepakaran di bidang
ilmu Manajemen Mutu. Keltian MM dibentuk pada tahun 2014 berdasarkan SK Kepala Pusat
yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Kepala LIPI No 1 tahun 2014 tentang
dihapuskannya struktur/eselonisasi bidang-bidang teknis penelitian dan beralih dalam bentuk
kelompok jabatan fungsional. Dengan adanya perubahan tersebut, segala kegiatan dilakukan
dan dikoordinasikan oleh internal Keltian. Hasil atau output dari kegiatan Keltian tersebut
kemudian dilaporkan kepada Kepala Pusat dan dilaporkan sebagai kinerja Pusat Penelitian X.
Sebagai Kelompok Penelitian yang masih baru, Keltian MM selalu berusaha untuk
meningkatkan produktivitasnya, terutama pada kegiatan penelitian. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh Keltian MM adalah dengan melakukan pengukuran dan monitoring
produktivitas Keltian termasuk di dalamnya personel Keltian secara rutin dalam periode
tertentu. Pengukuran dan Monitoring tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat
produktivitas aktual Keltian dan untuk mengontrolnya, dimana berdasarkan analisa terhadap
hasil pengukuran dan monitoring tersebut dapat dilakukan upaya-upaya strategis peningkatan
produktivitas Keltian.
Untuk dapat mengukur produktivitas, Keltian harus mempunyai sistem pengukuran
produktivitas Keltian. Namun sayangnya, karena umurnya yang masih baru, Keltian MM
222
Tujuan
Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan pengukuran dan monitoring produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen
Mutu Pusat Penelitian X. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
mengukur dan memonitor produktivitas Keltian MM pada khususnya dan Kelompok
Penelitian pada umumnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara output yang dihasilkan
oleh sebuah sistem dengan faktor input yang digunakan oleh sistem untuk menghasilkan
output (Pekkuri, 2011). Produktivitas juga sering disebut sebagai rasio atau perbandingan
antara output dengan input (sudit, 1994, Lieberaman, 2008, Tangen, 2002, Teng, 2013).
Wong (2015) mengartikan produktivitas sebagai ukuran efektivitas dan efisiensi perusahaan
dalam memperoleh output dengan menggunakan sumber daya yang tersedia (Wong,2015).
Sementara Teng (2013) mendefinisikan produktivitas sebagai hasil penjumlahan antara
efisiensi dan efektivitas. Faktor input pada produktivitas meliputi sumber daya baik itu
sumber daya manusia ataupun sumber daya fisik lainnya yang digunakan dalam proses.
Sementara output, output merupakan keluaran dari proses baik itu berupa produk ataupun
jasa (Pekuri, 2011).
Peningkatan produktivitas diartikan sebagai peningkatan rasio terhadap produk atau
jasa yang dihasilkan terhadap sumber daya yang digunakan (Pekkuri, 2011). Pada
umumnya peningkatkan produktivitas dijelaskan dalam 2 hal, menghasilkan output yang
lebih baik dari segi kuantitas atau kualitasnya dengan menggunakan input sumber daya yang
223
sama, atau menghasilkan output dengan kualitas dan kuantitas yang sama dengan
menggunakan input sumber daya yang lebih sedikit (Pekkuri, 2011,).
Langkah awal yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas adalah
melakukan pengukuran produktivitas (Karlsson, 2004). Pengukuran produktivitas merupakan
alat yang dibutuhkan dalam upaya untuk mengevaluasi dan memonitor kinerja sebuah
organisasi (karlsson, 2004). Pengukuran produktivitas dapat dijadikan sebagai alat
komunikasi yang memberikan informasi terkait capaian kinerja perusahaan saat ini dan
membandingkannya dengan sasaranperusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya (Wong,
2015). Dengan melakukan pengukuran terhadap produktivitas, organisasi dapat mengetahui
posisinya saat ini dan kemudian berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat dirumuskan
langkah-langkah yang akan dilakukan untuk meningkatkannya.
Pada dasarnya pengukuran produktivitas merupakan proses identifikasi perhitungan
atau metrik yang tepat yang akan digunakan untuk menentukan efektivitas dan efisiensi
sumber daya yang digunakan (Wong, 2015). Diewert (2005) menjelaskan bahwa terdapat 4
jenis pengukuran produktivitas, yang pertama adalah Single factor productivity atau partial
factor productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan menggunakan satu faktor input
produktivitas. Yang kedua adalah Labor productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan
menggunakan faktor input produktivitastenaga kerja. Yang ketiga adalah Multi factor
productivity, yaitu pengukuran produktivitas dengan menggunakan dua atau lebih faktor
input produktivitas. yang keempat adalah Total factor productivity, yaitu pengukuran
produktivitas terhadap keseluruhan output yang dihasilkan dan keseluruhan faktor input
produktivitas.
224
METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan sistem pengukuran dan monitoring
produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen Mutu. Sistem tersebut dikembangkan
berdasarkan analisis terhadap tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
personel Keltian MM, baik yang dilakukan secara individu, atau tim yang melibatkan 2 atau
lebih personel Keltian atau bahkan kegiatan yang melibatkan seluruh personel Keltian MM.
Tahapan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap pertama yang
dilakukan adalah analisis terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini
dilakukan penjabaran terhadap seluruh tugas Keltian MM. Tahap Kedua adalah identifikasi
indikator input dan output produktivitas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini dilakukan
identifikasi terkait input apa yang digunakan dalam melakukan tugas-tugas Keltian dan
output yang dihasilkan berdasarkan tugas tersebut. Tahap ketiga adalah identifikasi rasio
produktivitas. Identifikasi terhadap rasio dilakukan untuk menentukan hubungan antara
output dan input yang saling berkaitan yang akan digunakan dalam pengukuran produktivitas
Keltian MM. Langkah yang keempat adalah penentuan periode pengukuran. Pengukuran
produktivitas biasanya dilakukan dalam rentang waktu satu tahun. Namun, dalam upaya
monitoring, pengukuran produktivitas dilakukan secara bertahap. Pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian dalam penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan atau 4 kali
dalam satu tahun. Hal tersebut didasarkan pada pengukuran kinerja Pusat Penelitian X yang
juga dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan. Tahap kelima adalah perumusan perhitungan
produktivitas Kelompok Penelitian. Pada tahap ini dilakukan pemodelan perhitungan
produktivitas yang akan digunakan dalam mengukur produktivitas Keltian. Tahap keenam
adalah validasi. Validasi dilakukan untuk membuktikan bahwa sistem pengukuran dan
monitoring produktivitas telah sesuai dengan kondisi Keltian dan sesuai dengan keinginan
personel Keltian MM. Validasi pada penelitian ini dilakukan dengan FGD (Focus Group
Discussion) personel Keltian MM.
225
Penentuan periode
pengukuran
Pengembangan sistem
pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian
Validasi
226
di bidang iptek kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan untuk dimanfaatkan atau
dikembangkan lebih lanjut (Lipi, 2014).
Berdasar pada peraturan-peraturan tersebut, Keltian MM menjabarkan tugas Keltian
menjadi beberapa poin. Secara lebih jelas, tugas peneliti sebagai personel Kelompok
Penelitian Manajemen Mutu (Keltian MM) dijabarkan sebagai berikut:
1. Memantau perkembangan IPTEK
2. Melakukan penelitian ilmu pengetahuan
3. Mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal dan publikasi ilmiah lainnya
4. Mempresentasikan hasil penelitian dalam konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya
5. Mempublikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat umum
6. Memberikan pengajaran berdasarkan bidang keahlian
7. Mengembangkan soft-technology bidang manajemen mutu berdasarkan hasil penelitian
8. Melakukan perbaikan (improvement) Keltian
227
228
Indikator
Produktivitas
output
Output
dalam
pertemuan
Ukuran
AK
Soft
technology Jumlah soft technology
Buah
(metode/toolkit/sistem)
(metode/toolkit/sistem)
improvement
(metode/toolkit/sistem)
digunakan oleh internal
yang
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal
Buah
Input
Jumlah SDM
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Jumlah SDM
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Waktu Kerja
Jumlah
anggaran
Jumlah SDM
Waktu Kerja
13
14
15
16
Produktivitas
dalam
menghasilkan
improvement untuk internal Keltian Jumlah SDM
terhadap jumlah SDM
Output
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah perolehan angka
kredit dari publikasi KTI
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah konferensi dan
pertemuan ilmiah yang
diikuti
Jumlah edisi QMM yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMM yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMR yang
diterbitkan
Jumlah edisi QMR yang
diterbitkan
Jumlah
pengajaran,
narasumber
dan
bimbingan yang dilakukan
Jumlah
pengajaran,
narasumber
dan
bimbingan yang dilakukan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah soft technology
(metode/toolkit/sistem)
yang dihasilkan
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal
229
17
Produktivitas
dalam
menghasilkan
improvement untuk internal Keltian Waktu Kerja
terhadap waktu kerja
18
Produktivitas
dalam
menghasilkan
Jumlah
improvement untuk internal Keltian
anggaran
terhadap jumlah anggaran
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal
Jumlah
improvement
(metode/toolkit/sistem)
yang digunakan oleh
internal
Rasio, R Rasio capaian, RT Rasio Target) dan W merupakan bobot Rasio produktivitas.
Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun sistem pengukuran produktivitas
Kelompok Penelitian Manajemen Mutu Pusat Penelitian X. Sistem pengukuran produktivitas
disusun dengan melakukan analisis terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian MM. Hasil
dari analisa tersebut, didapatkan tugas Kelompok Penelitian terdiri dari 8 tugas. Dimana
berdasarkan tugas tersebut dilakukan identifikasi terhadap input produktivitas dan output
produktivitas. Hasil dari identifikasi tersebut terdapat 3 input produktivitas dan 7 output
produktivitas yang dapat digunakan dalam pengukuran produktivitas Keltian MM. Setelah
input dan output produktivitas diketahui kemudian dilakukan identifikasi terhadap rasio
produktivitas, menghubungkan keberpengaruhan antara output dengan input. Dan
berdasarkan analisis tersebut didapatkan 18 rasio hubungan antara output denga input yang
kemudian digunakan sebagai rasio pengukuran produktivitas Keltian MM. Lebih jelas rasio
produktivitas dapat dilihat pada tabel 2.
230
231
KESIMPULAN
Pengukuran dan monitoring produktivitas merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam upaya meningkatan produktivitas dan kinerja organisasi. Agar dapat
menggambarkan kondisi organisasi dengan tepat, pengukuran produktivitas harus sesuai
dengan kondisi organisasi. Lebih lanjut, matrik yang digunakan dalam pengukuran
produktivitas juga harus tepat dan sesuai. Dalam kaitan dengan tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengembangkan sistem pengukuran produktivitas Kelompok Penelitian
Manajemen Mutu Pusat Penelitian X. Sistem tersebut dikembangkan berdasarkan analisis
terhadap tugas-tugas Kelompok Penelitian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa produktivitas Keltian MM
dibentuk dan dipengaruhi oleh 18 rasio produktivitas. Selain itu, penelitian ini juga
menghasilkan sebuah matrik pengukuran produktivitas Kelompok Penelitian Manajemen
Mutu. Dimana dalam matrik tersebut, besarnya indeks produktivitas Keltian MM dipengaruhi
oleh nilai rasio produktivitas yang dicapai, nilai rasio produktivitas yang ditargetkan dan nilai
bobot pada setiap rasio.
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, C., dan Bellgran, M., 2015, On the complexity of using performance measures: Enhancing
sustained production improvement capability by combining OEE and productivity, Journal of
Manufacturing Systems, Vol. 35, Hal.144154.
Diewert, E., and Nakamura, A. O., 2005, Concepts and Measures of Productivity: An Introduction,
Forthcoming as Chapter 2 in Lipsey and Nakamura (eds.), Services Industries and the
Knowledge Based Economy, University of Calgary Press.
karlsson, M., dkk, 2004, Measuring R&D productivity: complementing the picture by focusing on
research activities, Technovation, Vol. 24, Hal. 179186
Lieberaman, M. B., dan Kang, J., 2008, How to measure company productivity using value-added: A
focus on Pohang Steel (POSCO), Asia Pacific Journal Manage, Vol.25, Hal.209224
LIPI, 2014, Peraturan Kepala LIPI No.2 Tahun 2014, tentang Petunjuk Teknis Jabatan Funsional
Peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Jakarta.
Pekuri, A., dkk, 2011, Productivity and Performance Management Managerial Practices in the
Construction Industry, International Journal of Performance Measurement, Vol. 1, Hal.39-58.
Sudit, E. F., 1995, Productivity measurement in industrial operations, European Journal of
Operational Research, Vol. 85, Hal.435-453
232
Tangen, S., 2002, Understanding the concept of productivity, Proceedings of the 7th Asia Pacific
Industrial Engineering and Management Systems Conference (APIEMS2002).
Teng, H. S. S., 2013, Qualitative productivity analysis: does a non-financial measurement model
exist?, International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 63, No. 2,
Hal. 250-256
Wazed, MA and Ahmed S, 2008, Multifactor Productivity Measurements Model (MFPMM) as
Effectual Performance Measures in Manufacturing, Australian Journal of Basic and Applied
Sciences, Vol. 2 No. 4, Hal. 987-996.
Wong, G., 2015, Handbook for SME productivity Measurement and analysis for NPOs, Asian
Productivity Organization: Japan.
233
P-ALTEK 10
ABSTRAK
Sebuah kelompok penelitian di lembaga penelitian XYZ telah mengimplementasikan metode
5S sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas pada proses penelitian.
Keberhasilan implementasi metode ini dapat diketahui dengan pengukuran efektivitasnya.
Pengukuran ini penting dilakukan untuk mengetahui kondisi implementasi 5S di kelompok
penelitian. Penilaian efektivitas implementasi 5S membutuhkan indikator pengukuran yang
sesuai
dengan
karakteristik
kelompok
penelitian.
Sehingga,
PENDAHULUAN
Lingkungan kerja kondusif dan berkualitas secara umum dibutuhkan agar pekerjaan
dan mencapai hasil yang optimal. Hal tersebut juga berlaku untuk kegiatan penelitian.
Kegiatan penelitian membutuhkan lingkungan kerja yang kondusif dan berkualitas.
Lingkungan kerja yang tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja peneliti dan
penelitian. Lingkungan kerja ini juga penting memperhatikan keamanan, keselamatan dan
kesehatan. Dalam rangka mewujudkan lingkuangan kerja yang berkualitas sebuah kelompok
penelitian di lembaga penelitian XYZ berupaya menerapkan metode 5S. Metode ini dipilih
234
karena terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja (Ghodrati dan Zulkifli, 2012;
Ab Rahman dkk, 2010; Ananthanarayan, 2006; Becker, 2001). Kelompok penelitian ini
berada pada fase awal penerapan 5S.
Penilaian efektivitas penerapan 5S penting dilakukan untuk mengukur tingkat
keberhasilan penerapan 5S serta mengetahui peluang perbaikan sistem (Gupta dan Jain,
2015). Penilaian terhadap penerapan 5S juga penting sebagai perwujudan prinsip 5S yang ke
empat yaitu Seiketsu dan 5S kelima yaitu shitsuke (sustain). Seiketsu (standadization),
bertujuan untuk memastikan prinsip Seiri, Seiton, dan Seiso tetap dijalankan agar lingkungan
kerja yang berkualitas tetap terjadi dengan dilakukannya tinjauan dan penetapan standar
penerapan 5S.Penilaian efektivitas 5S juga merupakan perwujudan prinsip shitsuke
disebutkan oleh Gupta dan Jain (2015) merupakan tahapan yang sulit dicapai dalam
penerapan 5S.Semakin lama periode 5S diterapkan menjadi kesulitan tersendiri untuk
menjaganya tetap berjalan (Peterson dan Smith, 2001). Sehingga penilaian efektivitas ini
penting untuk mengetahui sejauh mana terpeliharanya penerapan 5S dilingkungan kerja
penelitian. Pada tahap awal penerapan 5S penilaian juga memiliki peran penting untuk
memastikan seluruh rencana penerapan 5S sudah dijalankan. Sistem penilaian 5S ini juga
dapat digunakan untuk melihat kedisiplinan serta konsistensi peneliti dalam menjalankan
prinsip 5S serta dapat dijadikan acuan sebagai sistem penghargaan bagi anggota kelompok
penelitian yang menjalankan sistem 5S dengan baik.
Beberapa peneliti seperti Gupta dan Jain (2015) dan Chang dan Chen (2014) sudah
melakukan penilaian terhadap penerapan 5S. Gupta dan Jain (2012) melakukan penilaian
efektivitas penerapan 5S disebuah organisasi manufaktur pembuatan instrumen agar menjadi
lebih produktif dan efisien. Sedangkan Chang dan Chen (2014) melakukan audit penerapan
5S di sebuah industri manufaktur pembuatan semiconductor wafer.Sebagian besar penilaian
terkait penerapan 5S yang ada diterapkan di manufaktur, sedangkan indikator pengukuran 5S
di kelompok penelitian yang bisa dijadikan acuan atau standar penilaian penerapan 5S di
kelompok penelitian belum ada. Kontekstualisasi indikator penilaian efektivitas penerapan 5S
di kelompok penelitian menjadi penting karena struktur organisasi lembaga penelitian
berbeda dengan organisasi lainnya. Lembaga penelitian jika melihat penjelasan (Burns dan
Stalker, 1961 dalam ONeil dkk, 2001) termasuk pada kategori organiasi organik. Organisasi
organik yaitu organisasi memiliki karakteristik dan struktur kegiatan yang berbeda seperti
235
aktivitas yang bersifat dinamis dan tidak rutin (Knight dan McDaniel, 1979), adanya
kebutuhan proses peningkatan yang berkelanjutan (Burns dan Stalker, 1961 dalam O Neil
dkk, 2011), atau memiliki sebaran pengetahuan disetiap tingkatan organisasi (ONeil dkk,
2011). Fakta ini penting dijadikan pertimbangan dalam penilaian efektivitas penerapan 5S di
lembaga penelitian salah satunya dikelompok penelitian agar indikator yang digunakan untuk
menilai efektivitas 5S sesuai dengan konteks yang dibangun.
Beberapa pemaparan di atas menjadikan penentuan standar penilaian penerapan 5S
menjadi penting untuk dibangun. Sehingga penelitian ini bertujuan membangun standar
penilaian efektivitas penerapan 5S untuk kelompok penelitian sebagai usaha peningkatan
penerapan 5S. Standar penilaian ini diharapkan dapat digunakan untuk menilai efektivitas
penerapan 5S dan menjadi indikator peningkatan dalam rangka menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif dan berkualitas. Standar penilaian ini dapat digunakan disetiap fase penerapan
5S (tahap penerapan awal sampai dengan tahap maturitas sistem). Standar pengukuran ini
selain diharapkan dapat digunakan dikelompok penelitian lembaga penelitian XYZ juga
diharapkan dapat digunakan dikelompok penelitian lain dilembaga penelitian lain yang
menerapkan 5S.
Standar penilaian 5S dibangun berdasarkan paradigma penentuan indikator penilaian
dengan metode Delphi. Metode Delphi merupakan sebuah metode pengambilan keputusan
dengan menggunakan penilaian beberapa pakar terkait dengan permasalahan yang ingin
dipecahkan (Linstoneand Turrof, 2002). Metode Delphi ini digunakan dibeberapa penelitian
seperti yang dilakukan oleh Xia dan Albert (2012) yang menggunakan metode Delphi ini
untuk menentukan parameter kunci untuk mengukur kompleksitas sebuah projek. Penelitian
lain yang menggunakan metode adalah penentuan indikaor penilaian komptensi untuk juru
masak yang dilakukan oleh Birdir dan Pearson (2000). Metode Delphi dipilih karena metode
ini memiliki kemampuan untuk memberikan solusi pengambilan keputusan yang baik (Loo,
2002).
236
Penerapan 5S
Penerapan 5S di kelompok penelitian diawali dengan penerapan prinsip 5S yang
pertama yaitu Seiri (Sort) yang menurut Titu dkk (2010) didefinisikan sebagai sebuah
tindakan making the difference between necessary and useless things in GEMBA [the real
place where each employee works, the place where we add value indeed], giving up the
useless ones.Prinsip ini dijelaskan oleh Gupta dan Jain (2015) memiliki tujuan untuk
menghilangkan barang atau peralatan yang tidak dibutuhkan di lingkungan kerja. Lebih lanjut
Gupta dan Jain (2015) juga mempertegas bahwa prinsip Seiri ini dapat mempermudah pada
proses pencarian perangkat kerja yang dibutuhkan pada saat melakukan pekerjaan yang pada
akhirnya akan melancarkan alur kerja. Agar prinsip Seiri bisa dilakukan, menurut Hirano
(1995), maka harus dipahami konsep mengenai barang yang tidak diperlukan yaitu, barang
yang tidak dibutuhkan dalam pekerjaan.Jika mengutip pendapat dari Peterson dan Smith
(2001) tujuan dari prinsip Seiri selain yang disebutkan juga adalah untuk menciptakan
kerapihan.Sehingga pada pelaksanaan pemilihan indikator pengukuran prinsip Seiri harus
memperhatikan pemaparan di atas.
Prinsip 5S kedua adalah Seiton (Set in Order) yang menurut Kumar dan Kumar
(2012) bertujuan to arrange necessary items in a neat and systematic manner. Sedangkan
jika merujuk pendapat dari Peterson dan Smith (2001), Seiton diartikan secara sederhana
dalam sebuah ungkan yaitu a place for everything and place for everything. Sehingga jika
melihat dari penjelasan di atas, Seiton adalah prinsip 5S yang terkait dengan pengaturan
tempat, organisasi barang atau alat yang bertujuan agar setiap barang itu ditempatkan secara
rapi yang menurut Yasuhiro (1995) dapat dilakukan dengan cara pemberian identitas pada
setiap barang yang berada dilingkungan kerja dan menyediakan tempat yang mudah dikenali
agar mudah untuk diambil dan ditaruh kembali setelah selesai melakukan pekerjaan.
Sehingga pada penyusunan indikator penilaian prinsip Seiton, hal yang penting diperhatikan
adalah terkait memastikan setiap barang, peralatan, bahan, perlengkapan kerja dan setiap hal
yang berkaitan dengan pekerjaan harus terorganisasi dengan rapi dan mudah untuk diakses
atau diambil ketika dibutuhkan serta juga mudah untuk menaruhnya kembali saat pekerjaan
selesai.
Prinsip ketiga dari penerapan 5S yaitu Seiso (Shine) atau resik. Prinsip ini jika
mengacu pada definisi 5S yang diberikan oleh Titu dkk (2010) merupakan cleaning and
237
238
disturbance detection the working areas/equipments will be clean, Seiso ini adalah prinsip
5S yang berfokus pada kebersihan area kerja. Peterson dan Smith (2001) dan Harrington
menyebutkan bahwa prinsip Seiso jika dijalankan akan menciptakan efek nyaman bagi
pekerja. Gupta dan Jain (2015) menyebutkan bahwa lingkungan yang bersih dan rapi dapat
menciptakan kondisi lingkungan kerja yang berkualitas yang diharapkan dapat menciptakan
performasi kerja yang optimal.Lancucki (2001) menjelaskan bahwa prinsip ini bisa berjalan
dengan baik jika didukung oleh peraturan yang ditetapkan organisasi terkait kebersihan
ditempat kerja yang memaksa setiap orang untuk sadar dan terlibat dalam menerapkan prinsip
Seiso.Lebih lanjut menurut Gupta dan Jain (2015), Seiso bisa berjalan dengan baik jika setiap
orang
yang
terlibat
dalam
penerapan
Seiso
menjadikan
prinsip
Seiso
sebagai
diterapkan.Jimenez dkk (2015) mendefinisikan prinsip ini sebagai Shitsuke sebuah sikap
disiplin atau kebiasaan.Jimenez dkk (2015) lebih lanjut menjelaskan bahwa Shitsuke adalah
berarti komitmen untuk menjalankan seluruh prinsip 5S dan menjadikan penerapan 5S
sebagai a way of life.Jimenez dkk (2015) menjelaskan bahwaShitsuke adalah cara untuk
memastikan setiap orang patuh pada peraturan dan prosedur yang ditetapkan. Yasuhiro
(1995) menjelasan bahwa prinsip Shitsuke ini bisa diterapkan dengan adanya pengendalian
diri dan pemberian motivasi kepada pekerja.Pengendalian diri dan kedisiplinan dalam
menjalankan Shitsuke penting karena penerapan ini bisa menjadi lebih sulit seiring dengan
berjalannya waktu (Peterson dan Smith, 2001, Gurel 2013).Gupta dan Jain (2012)
memberikan sebuah masukan untuk membantu penjalanan prinsip ini yaitu dengan adanya
sistem penghargaan yang dibuat bagi setiap orang yang secara konsisten menjalankan
5S.Sehingga pada penelitian ini indikator yang dipakai untuk menilai penerapan prinsip
Shitsuke ini menggunakan pendekatan yang memperhatikan penjelasan di atas.
Metode Delphi
Metode Delphi merupakan metode pengambilan keputusan yang menggunakan cara
penilaian pakar terhadap suatu permasalahan (Hsu and Standford, 2007). Metode Deplhi
pertama kali dikenalkan oleh RAND pada tahun 1960an (Julian de Meyrick, 2003). Linstone
dan Turrof (2002) menjelaskan bahwa metode Delphi adalah metode pengambilan keputusan
dengan membentuk kelompok ahli untuk menilai permasalahan yang dihadapi agar dapat
diambil keputusan. Lebih lanjut Linstone dan Turrof (2002) membagi metode Deplhi menjadi
dua yaitu conventional Deplhi dan Delphi conference. Delphi konvensional adalah metode
pengambilan keputusan dengan penilaian terhadap daftar permasalahan atau kuesioner oleh
para ahli atau yang disebut responden grup yang telah disusun oleh tim pembuat daftar
masalah (Linstone dan Turrof, 2002). Para ahli melakukan tinjauan beberapa kali terhadap
daftar permasalahan sampai diperoleh kesimpulan terhadap permasalah yang disampaikan
(Linstone dan Turrof
239
240
dilakuan secara mandiri bukan dalam bentuk Focus Group Disuccion (FGD) atau konferensi
yang memiliki potensi dominasi dari salah satu atau sebagian penilainya.
Loo (2002) menjelaskan ada empat tahap yang penting diperhatikan saat
menggunakan metode Delphi, yaitu: penentuan batasan masalah, pemilihan responden ahli,
penentuan ukuran group responden asli, serta jumlah ronde pelaksanaan Deplhi. Penentuan
batasan masalah penting untuk memastikan masalah yang dibahas fokus dan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai (Loo, 2002). Pada penelitian ini, batasan masalahnya adalah
penentuan indikator atau paramater penilaian efektivitas penerapan 5S yang akan digunakan
sebagai standar penilaian efektivitas penilaian 5S. Daftar indikator yang dinilai diperoleh dari
tinjauan pustaka dan perumusan berdasarkan kontekstualisasi penerapan 5S di kelompok
penelitian.
Pemilihan responden ahli pada metode Deplhi ini juga menjadi tahap penting dalam
metode ini (Loo, 2002). Pada pemilihan responden ahli harus diperhatikan pengalaman dan
keterlibatan pada masalah yang akan diputuskan (Murry dan Hammons, 1995 dalam Birdir
dan Pearson, 2000). Kriteria pemilihan responden ahli tidak ada standar bakunya, dalam
metode Delphi yang terpenting adalah kriteria ini disesuaikan dengan kebutuhan pengambilan
keputusan (Linson dan Turrof, 2002). Pada satu konteks dapat dibutuhkan seorang ahli
hukum atau perundangan jika konteks yang dibahas adalah terkait itu namun disisi lain dapat
dipilih praktisi kesehatan atau dokter jika permasalah terkait dengan kesehatan. Kriteria
responden ahli terletak pada konteks permasalah yang ingin diputuskan. Pada
konteks
penelitian ini, responden ahli merupakan para peneliti yang terlibat dalam proses perancangan
dan penerapan 5S dikelompok penelitian serta koodinator kelompok penelitian yang
merupakan penanggungjawab pelaksanaan penerapan 5S di kelompok penelitian.
Lebih lanjut menurut Loo (2002) menyebutkan bahwa jumlah responden ahli juga
penting diperhatikan. Secara umum tidak ada peraturan khusus untuk memilih jumlah
responden ahli yang dibutuhkan untuk melakukan penilaian (Hsu dan Sandford, 2007).
Pertimbangan ukuran grup atau jumah responden ahli adalah pada tingkat kompleksitas
masalah yang akan diselesaikan serta tujuan yang ingin dicapai dari pengunaan metode
Delphi ini (Loo, 2002). Sehingga pada penelitian ini jumlah responden ahli yang dipilih
adalah sebanyak 6 orang yang terdiri dari koordinator kelompok penelitian dan lima orang
anggota kelompok penelitian. Menurut Loo (2002), jumlah ronde penilaian juga penting
diperhatikan biasanya penilaian dilakukan sebanyak tiga sampai empat kali. Namun tidak ada
batasan yang pasti mengenai jumlah ronde penilaian tetapi yang pasti tidak diperkenankan
hanya satu kali penilaian. Sehingga paling tidak dilakukan sebanyak dua kali putaran
penilaian.
METODOLOGI
Pembentukan indikator penilaian efektivits penerapan 5S kelompok penelitian di
lembaga penelitian XYZ dengan metode Delphi dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap
pertama yaitu proses identifikasi terhadap isu dan masalah pokok penerapan 5S. Identifikasi
ini terhadap masalah pokok penerapan 5S di kelompok penelitian dilakukan dengan melihat
prinsip-prinsip 5S yang dibangun di kelompok penelitian.Selain itu, dilakukan pengumpulan
literatur pengukuran penerapan 5S yang pernah dilakukan sebagai masukan tambahan untuk
membuat daftar indikator penilaian 5S. Daftar indikator yang diperoleh berdasarkan pada
tinjauan literatur dan review penerapan 5S di kelompok penelitian kemudian dikirimkan
kepada pihak penilai ahli yang sebelumnya sudah ditentukan kriteria pemilihannya
berdasarkan kesesuaian dengan konteks yang dinilai. Langkah selanjutnya adalah penilaian
terhadap daftar indikator yang sudah dibuat.Penilaian ini dilakukan oleh responden ahli atau
penilai ahli yang berjumlah enam orang. Pemilihan jumlah enam orang didasarkan pada
tingkat kompleksitas penilaian indikator yang akan dinilai. Penilaian dilakukan secara
mandiri oleh responden ahli dan hasil penilainya kemudian dikumpulkan kembali untuk
dibuat resume hasil penilaiannya. Resume hasil penilaian ini disampaikan kembali kepada
tim penilai untuk dinilai kembali apakah resume yang dibuat sesuai dengan hasil penilaian
yang diberikan oleh responden ahli. Proses penilaian dilakukan berulang kali sampai
memperoleh tingkat persetujuan yang ditargetkan dalam penilaian. Pada penelitian ini
penilaian dianggap selesai jika nilai kesetujuan dari responden ahli terhadap indikator
penilaian efektivitas 5S sudah di atas 75%. Jika penilaian sudah mencapai target kesetujuan
maka dilanjutkan dengan tahap finalisasi indikator dan indikator tersebut sudah dianggap
valid untuk digunakan dalam pengukuran. Alur metode Delphi pada penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 1 di bawah ini:
241
Mulai
Selesai
242
No Pertanyaan
A
5
6
7
8
9
SEIRI (SORT)
Tidak ada bahan atau komponen yang tidak dibutuhkan disekitar
meja kerja
Tidak ada peralatan yang tidak digunakan disekitar meja kerja
Tidak ada perlengkapan yang tidak digunakan disekitar meja kerja
Terdapat standar yang jelas untuk membuang barang-barang tidak
berguna
Barang-barang yang tidak dibutuhkan dibuang atau dikembalikan
ke tempat penyimpanannya
Menerapan 3 R reduce, re-use dan recycle
Memperbaiki kegagalan, kebocoran, kerusakan dan penyebabnya
Pemilahan barang yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan
Tidak adanya penumpukkan sampah disetiap ruangan
10
83
11
100
1
2
3
4
100
100
83
83
83
83
83
100
83
yang tidak
100
83
100
100
83
100
pemakaian
83
100
83
243
ditentukan
100
100
10
83
dengan fungsinya
100
atau
100
peneliti
83
83
15
83
16
83
17
83
18
100
19
100
20
Akses, penyimpanan dan meja kerja sudah disusun dan diberi tanda
100
pengunaan
83
22
100
23
100
SEISO (SHINE)
100
meja kerjanya
100
83
Membersihkan
tempat
yang
kebanyakan
orang
tidak
memperhatikan
83
83
100
244
diperhatikan
83
aman
100
10
100
100
dibersihkan
100
13
100
14
100
15
83
SEIKETSU (STANDARIZED)
100
100
100
100
100
83
Pencegahan
terhadap
kebisingan
dan getaran
pada
sumbernya
83
83
83
10
100
kerja
100
83
13
Peneliti disiplin
83
245
SHITSUKE (SUSTAIN)
83
100
83
100
100
100
100
100
100
10
100
100
12
100
13
83
246
247
248
DAFTAR PUSTAKA
Ab Rahman, M.N., Khamis, N.K. Zain, R.M. Deros, B.M. dan Mahmood, W.H.W. (2010).
Implementation of 5S practices in the Manufacturing Companies: A Case Study, American,
Journal of Applied Sciences , Hal.1182-1189.
Ananthanarayanan, K.R.M. (2006). Application of 5S management System in NDE Laboratory,
Proc. National Seminar on Non-Destructive Evaluation, (2006) 7-9.
Birdir, K dan Pearson, T.E. (2000).Research chefs' competencies: a Delphi approach,
Contemporary Hospitality Management, Vol. 12 Iss 3 pp. 205 209.
Becker, J.E. (2001). Implementation 5S: To promote safety and housekeeping, Professional Safety,
Hal. 29-31.
Burns, T. and Stalker, G.M. (1961). The Management of Innovation. London: Tavistock Publications
dalam ONeill, J.W. Beauvais, L.L. dan Scholl, R.W. (2001).The Use of Organizational
Culture and Structure to Guide Strategic Behavior: An Information Processing Perspective,
The Journal of Behavioral and Applied Management. Vol 2 No.2, Hal.131-149.
Chang, Yung-Chia dan Chen, Chuan-Yung .(2014). Prioritizing 5S activities by Kano model with
modified CS coefficient for a semiconductor wafer fabrication during ramp-up stage, The
TQM Journal, Vol. 26 Iss 2 pp. 109 124.
Dalkey, N. C. (1972). The Delphi method: An experimental study of group opinion. In N. C. Dalkey,
D. L. Rourke, R. Lewis, & D. Snyder (Eds.).Studies in the quality of life: Delphi and
decision-making (pp. 13-54). Lexington, MA: Lexington Books dalam Hsu CS. The Delphi
technique: making sense of consensus. Pract Assess Res Eval 2007;12:18.
Ghodrati, A.dan Zulkifli, N. (2012). A review on 5S Implementation in Industrial and Business
Organizations, IOSR Journal of Business and Management, Hal. 11-13.
Gupta, S. Dan Jain, S.K. (2015). An application of 5S concept to organize the workplace at a
scientific instruments at a scientific instruments manufacturing company, International
Journal of Lean Six Sigma, Hal.73-88.
Gurel, D.A. (2013). A conceptual evaluation of 5S model in hotels, African Journal of Busines
Management,Vol. 7 No. 30, Hal. 3035-3042.
Hirano, H. (1995). 5 Pillars of the Visual Workplace, Productivity Press, Portland, OR.
Hsu CS. The Delphi technique: making sense of consensus. Pract Assess Res Eval 2007;12:18.
Jimenez, M. Romero, L. Dominguez, M. dan Mara del Mar Espinos. (2015). 5S methodology
implementation in the laboratories of an industrial engineering university school.Safety
Science.Vol. 78 Hal.163-172.
Julian de Meyrick, (2003). The Delphi method and health research, Health Education, Vol. 103 Iss
1 Hal. 7 16.
Knight, K.E., dan McDaniel, R.R. (1979). Organizations: An Information Systems Perspective.
Belmont, CA:Wadsworth Publishing Company.
249
250
P-ALTEK 11
1,2
ABSTRAK
Penyusunan standar kompetensi merupakan bagian dari aktivitas pengembangan sumber daya
manusia yang penting dilakukan oleh setiap organisasi. Penyusunan standar dilakukan untuk
mendorong tingginya kinerja karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada tingginya
kinerja organisasi. Penelitian ini bertujuan menyusun standar kompetensi Kelompok
Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Lebih spesifik, penelitian ini menganalisis
kompetensi yang dibutuhkan oleh personil Kelompok Penelitian X (Keltian X) agar dapat
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik beserta bukti fisik penguasaan kompetensi tersebut.
Kompetensi yang dianalisis terdiri dari kompetensi umum yaitu kompetensi yang wajib
dimiliki oleh semua personil Keltian X dan kompetensi khusus yaitu kompetensi yang wajib
dimiliki oleh personil Keltian X dengan bidang keahlian tertentu. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode studi dokumen, studi literatur, dan kuesioner terbuka kepada
personil Keltian X. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat 22 kompetensi umum yang
wajib dimiliki oleh seluruh personil keltian dan 26 kompetensi khusus yang wajib dimiliki
personil berdasarkan bidang keahlian.
251
LATAR BELAKANG
Kelompok Penelitian X (Keltian X) merupakan salah satu dari lima kelompok
penelitian di Pusat Penelitian ABC. Kelompok ini dibentuk pada tahun 2014 dengan tugas
utama melaksanakan kegiatan penelitian bidang manajemen mutu. Sebagai kelompok
penelitian baru, Keltian X sedang mengokohkan pondasi dengan meningkatkan kompetensi
para personilnya. Kebutuhan akan penajaman kompetensi juga didorong oleh semakin
tingginya tuntutan masyarakat akan hasil penelitian yang bermanfaat.
Saat ini, Keltian X memiliki 8 orang personil dengan bidang keahlian pengukuran
kinerja dan produktivitas(2 orang), kualitas teknis (1 orang), perilaku konsumen (2 orang),
perilaku organisasi (1 orang), serta standar dan penghargaan (2 orang). Masing-masing
personil keltian diharapkan mengembangkan kompetensinya sesuai dengan bidang keahlian
masing-masing dan menjadi ahli di bidang tersebut. Pada akhirnya, tiap personil diharapkan
mampu menghasilkan penelitian yang berdampak besar bagi masyarakat di tingkat nasional
maupun internasional.
Langkah angkah awal yang perlu dilakukan dalam mengembangkan kompetensi yaitu
mengidentifikasi kebutuhan kompetensi yaitu kompetensi apa yang perlu dimiliki oleh
personil keltian dan seberapa besar kompetensi tersebut harus dimiliki untuk mendukung
pekerjaannya. Oleh karena itu, Keltian X perlu untuk menyusun standar kompetensi yang
merupakan persyaratan minimal kompetensi yang wajib dimiliki oleh personil keltian agar
dapat berkinerja dengan baik dalam pekerjaannya.
Adanya standar kompetensi membantu keltian dalam menganalisis kebutuhan
pelatihan bagi personilnya. Pelatihan yang tepat akan berdampak pada efektifitas dan
efisiensi pekerjaan mereka. Analisis kebutuhan pelatihan pada umumnya dilakukan dengan
membandingkan kompetensi aktual personil dengan standar kompetensi. Gap antara
kompetensi aktual dan standar kompetensi merupakan salah satu indikasi perlunya pelatihan
bagi karyawan. Mengingat hal tersebut, standar kompetensi memiliki peran yang sangat
penting. Selain untuk analisis kebutuhan pelatihan, standar kompetensi juga mengarahkan
kepada pemenuhan kompetensi minimal karyawan untuk suatu pekerjaan. Dengan demikian,
standar kompetensi mendorong pada kinerja yang tinggi.
Pada dasarnya, standar kompetensi peneliti telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 tentang Standar Kompetensi
252
Jabatan Fungsional Peneliti. Namun, standar kompetensi yang ada bersifat umum dan disusun
berdasarkan jenjang jabatan. Oleh karena itu, dibutuhkan standar kompetensi yang lebih
detail dan berfokus kepada bidang keilmuan dan keahlian Keltian X yaitu bidang manajemen
mutu.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan menyusun standar
kompetensi Kelompok Penelitian X (Keltian X), baik kompetensi yang dibutuhkan oleh
personil Keltian X secara umum (kompetensi umum) maupun personil sesuai dengan bidang
keahlian (kompetensi khusus). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi
item/bukti fisik yang menunjukkan penguasaan kompetensi oleh personil. Identifikasi
item/bukti fisik penting dilakukan untuk melakukan penilaian kompetensi.
TINJAUAN PUSTAKA
Gale (2007) seperti yang dikutip dalam Young dan Conboy (2013) mengartikan
kompetensi sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik. Kompetensi individu
berasal dari satu set atribut yang ia memiliki (seperti pengetahuan, keterampilan, nilai dan
sikap) yang digunakan untuk melakukan tugas-tugas dalam pekerjaannya (Gonczi, 1996
dalam Young dan Conboy, 2013). Senada dengan Gonczi (1996), Boyatzis (1982)
menjelaskan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar dari seseorang yang
menghasilkan kinerja yang efektif dan/atau superior dalam sebuah pekerjaan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa orang yang kompeten adalah orang yang memiliki atributatribut yang dibutuhkan untuk berkinerja dalam pekerjaannya. Kompetensi adalah sebuah
konstruk tak berwujud yaitu tidak dapat diamati secara langsung (Heywood et al.,1992). Oleh
karena itu, perlu untuk memperoleh beberapa bentuk bukti tidak langsung dimana dari bukti
tersebut underlying competency dapat disimpulkan. Selanjutnya Heywood et al. (1992)
menyampaikan tiga pendekatan untuk menyimpulkan kompetensi individu sebagai berikut:
1.
Dalam pendekatan ini, yang perlu dilakukan yaitu mendefinisikan atribut (seperti seperangkat
keterampilan, pengetahuan dan sikap/perilaku) yang dibutuhkan atau yang seharusnya
dimiliki untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya melakukan tes untuk mengetahui apakah
atribut tersebut telah dimiliki oleh personil yang melaksanakan pekerjaan tertentu dan apakah
253
atribut tersebut telah berada pada level yang tepat. Hasil tes merupakan bukti kompetensi
personil.
2.
Penentuan Kompetensi
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kompetensi (seperti pengetahuan, keterampilan, sikap)
yang berkaitan dengan spesifikasi pekerjaan. Untuk menentukan kompetensi apa yang akan
254
dimasukan dalam standar kompetensi dapat dilakukan dengan mengacu pada beberapa
pedoman standar kompetensi untuk suatu pekerjaan. Selanjutnya analisis dilakukan untuk
menentukan tingkat kepentingan dari kompetensi tersebut.
2.
Penentuan indikator
Penentuan item
Item digunakan sebagai kriteria penilaian untuk memperoleh bukti penerapan pengetahuan
dan keterampilan dalam praktek nyata. Workshop dengan melibatkan pihak-pihak yang
terkait dapat dimanfaatkan untuk menulis dan mengklasifikasikan item yang dikumpulkan
dari kajian literatur. Luaran dari workshop adaah berupa draft daftar item pengukuran.
METODOLOGI
Bagian ini menguraikan metodologi penelitian yaitu langkah-langkah dalam
mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan oleh personil Kelompok Penelitian X beserta
item yang dijadikan sebagai bukti penguasaan kompetensi. Untuk lebih jelas, metodoogi
penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 1. Tahap-tahap dalam mengidentifikasi kompetensi
dilakukan dengan mengadaptasi prosedur penyusunan standar komepetensi manajerial yang
dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Nasional.
1.
Mengumpulkan data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data tentang rincian tugas peneliti di Keltian X. Data
dikumpulkan dari sumber seperti Surat Keputusan Kepala Pusat Penelitian ABC tentang
kelompok penelitian, dokumen roadmap Keltian X 2015-2019, uraian jabatan di Pusat
Penelitian ABC, Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009
tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti, dan literatur terkait.
2.
Data yang telah dikumpulkan di tahap pertama dikompilasi dan digunakan untuk
menjabarkan tugas personil Keltian X.
3.
255
Menguraikan langkah-langkah
mengerjakan setiap tugas
Kuesioner
terbuka
Kurikulum
universitas
Standar
kompetensi
peneliti
Tidak
Valid?
Ya
4.
Menganalisis kompetensi
Pada tahap ini dilakukan analisis kompetensi umum dan kompetensi khusus yang dibutuhkan
oleh personil Keltian X. Kompetensi umum merupakan kompetensi yang wajib dimiliki oleh
semua personil keltian sedangkan kompetensi khusus adalah kompetensi tambahan yang
harus dimiliki oleh personil di tiap bidang keahlian. Analisis dilakukan dengan
memperhatikan standar kompetensi peneliti dan kurikulum di universitas dengan bidang
pengetahuan dan bidang keahlian terkait. Selain itu, kuesioner terbuka juga dibagikan kepada
semua personil Keltian X untuk memperoleh masukan kompetensi langsung dari personil
terkait.
256
5.
Untuk mengetahui tingkat kompetensi personil keltian, perlu diidentifikasi item yang akan
dijadikan sebagai bukti kompetensi. Item/bukti fisik harus dapat menunjukkan dimilikinya
sebuah kompetensi oleh personil Keltian X. Identifikasi item dilakukan dengan
memperhatikan alur/langkah-langkah pengerjaan setiap tugas. Tujuannya untuk mengetahui
output-output fisik yang dapat dijadikan sebagai bukti.
6.
Pada tahap ini, daftar kompetensi dan item/bukti fisik yang diperoleh di tahap sebelumnya
divalidasi. Metode yang digunakan yaitu diskusi kelompok oleh Keltian X. Dalam diskusi
dibahas kesesuaian kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan setiap tugas,
kemungkinan adanya kompetensi lain yang belum dicatat/dimasukan dalam daftar
kompetensi, dan ketepatan pemilihan item sebagai bukti fisik kompetensi. Output proses
validasi adalah daftar kompetensi beserta bukti fisik kompetensi yang disepakati oleh seluruh
personil Keltian X.
7.
Nama-nama kompetensi hasil validasi kemudian ditetapkan sebagai kompetensi yang harus
dimiliki oleh personil Keltian X. Item yang telah terpilih ditetapkan sebagai bukti penguasaan
kompetensi oleh personil keltian. Kompetensi dan item/bukti fisik yang sudah ditetapkan
inilah yang kemudian akan digunakan untuk menyusun standar kompetensi.
257
2.
Untuk mengetahui kompetensi yang dibutuhkan dalam mengerjakan kedelapan tugas personil
Keltian X, dilakukan penguraian langkah-langkah pengerjaan tiap tugas. Tabel 1
menunjukkan langkah-langkah dalam mengerjakan delapan tugas personil Keltian X.
258
Tugas
Memantau
perkembangan IPTEK
Melakukan
penelitian
ilmu pengetahuan
Mempublikasikan hasil
penelitian ke jurnal atau
media publikasi lainnya
Mempresentasikan hasil
penelitian
dalam
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
lainnya
Mempublikasikan ilmu
pengetahuan
kepada
masyarakat umum
Memberikan pengajaran
berdasarkan
bidang
keahlian
Mengembangkan
soft
technology
bidang
manajemen
mutu
berdasarkan
hasil
penelitian
Langkah-Langkah Pengerjaan
1. Mencari literatur atau sumber informasi lain tentang topik
yang sesuai dengan bidang manajemen mutu
2. Melakukan kajian state of the art
3. Menyusun publikasi hasil kajian state of the art
1. Mencari ide penelitian
2. Menyusun rancangan penelitian dan menuangkan ide ke
dalam proposal penelitian
3. Mengumpulkan data penelitian
4. Menganalisis data penelitian
5. Menyusun laporan penelitian
1. Menuliskan laporan penelitian ke dalam bentuk artikel
jurnal atau media publikasi lainnya
2. Mencari jurnal atau media publikasi lainnya yang sesuai
dengan topik penelitian
3. Mengirimkan artikel yang telah disusun ke jurnal atau
media publikasi lainnya
1. Memilih konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya yang
akan diikuti
2. Menyiapkan bahan presentasi sesuai dengan ketentuan
dari penyelenggara konferensi atau pertemuan ilmiah
lainnya
3. Mempresentasikan bahan presentasi
1. Menyusun artikel semi populer terkait bidang manajemen
mutu
2. Mengirimkan artikel ke redaksi majalah keltian (Quality
Management Magazine) atau media semi populer lainnya
1. Menyusun bahan ajar
2. Menyampaikan pengajaran
1. Mengembangkan
soft
technology
(metode/instrumen/toolkit/sistem) bidang manajemen
mutu
2. Menyusun panduan penggunaan soft technology
3. Mendaftarkan HKI atas soft technology yang ditemukan
Melakukan perbaikan
(improvement) keltian
259
3.
Langkah-Langkah
Kompetensi Umum
Pengerjaan
Memantau
1. Mencari literatur atau
1. Pemahaman tentang bidang
perkembangan
sumber informasi lain
manajemen mutu
IPTEK
tentang topik yang
2. Kemampuan membuat kajian
sesuai dengan bidang
state of the art
manajemen mutu
3. Penguasaan teknik penulisan
2. Melakukan
kajian
ilmiah dalam bahasa indonesia
state of the art
maupun inggris
3. Menyusun publikasi
4. Penguasaan Bahasa Indonesia
hasil kajian state of the
dan Bahasa Inggris
art
Melakukan
1. Mencari ide penelitian
1. Penguasaan
rancangan
penelitian
ilmu
2. Menyusun rancangan
penelitian kuantitatif
pengetahuan
penelitian
dan
2. Penguasaan
rancangan
menuangkan ide ke
penelitian kualitatif
dalam
proposal
3. Penguasaan teknik survey
penelitian
4. Penguasaan teknik wawancara
3. Mengumpulkan data
5. Penguasaan teknik observasi
penelitian
6. Penguasaan
teknik
studi
4. Menganalisis
data
dokumen
penelitian
7. Penguasaan teknik validasi
5. Menyusun
laporan
8. Kemampuan analisis data
penelitian
kuantitatif
9. Kemampuan analisis data
kualitatif
10. Penguasaan teknik penulisan
ilmiah dalam bahasa indonesia
maupun inggris
Mempublikasikan
1. Menuliskan
laporan
1. Penguasaan teknik penulisan
hasil penelitian ke
penelitian ke dalam
ilmiah dalam bahasa indonesia
jurnal atau media
bentuk artikel jurnal
maupun inggris
publikasi lainnya
atau media publikasi
2. Penguasaan Bahasa Indonesia
lainnya
dan Bahasa Inggris
2. Mencari jurnal atau
media
publikasi
lainnya yang sesuai
dengan
topik
penelitian
Uraian Tugas
260
261
3. Mengirimkan artikel
yang telah disusun ke
jurnal atau media
publikasi lainnya
4
Mempresentasika
n hasil penelitian
dalam konferensi
atau pertemuan
ilmiah lainnya
1. Memilih
konferensi
atau pertemuan ilmiah
lainnya yang akan
diikuti
2. Menyiapkan
bahan
presentasi
sesuai
dengan ketentuan dari
penyelenggara
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
lainnya
3. Mempresentasikan
bahan presentasi
Mempublikasika
1. Menyusun
ilmu
artikel
pengetahuan
bidang
kepada
mutu
masyarakat
1. Penguasaan
teknik
penyusunan bahan presentasi
2. Penguasaan Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris
3. Penguasaan
software
presentasi
4. Penguasaan teknik presentasi
manajemen
umum
(Quality
Management
Magazine)
atau
Memberikan
pengajaran
2. Menyampaikan
berdasarkan
pengajaran
bidang keahlian
7
Mengembangka
n
soft
1. Mengembangkan
soft
technology
1. Penguasaan
engineering
skill
technology
(metode/instrumen/t
2. Penguasaan
bidang
oolkit/sistem) bidang
penulisan
manajemen
manajemen mutu
populer
teknik
artikel
semi
262
mutu
2. Menyusun panduan
berdasarkan
penggunaan
hasil penelitian
technology
soft
3. Mendaftarkan
HKI
Melakukan
perbaikan
(improvement)
keltian
1. Menganalisis
Penguasaan
peluang perbaikan
2. Membuat
problem
rencana Tools,
perbaikan
teknik
pembuatan
Standard
3. Melakukan
perbaikan
4. Mendokumentasikan
dan
mendiseminasikan
hasil perbaikan
4.
dijadikan sebagai bukti fisik penguasaan setiap kompetensi umum. Item yang akan digunakan
sebagai bukti kompetensi harus benar-benar dapat menunjukkan dikuasainya kompetensi
umum oleh personil. Oleh karena itu, bukti fisik yang dipilih merupakan output kegiatan
yang menggunakan kompetensi tersebut. Bukti fisik yang dipilih sekaligus menunjukkan
standar dari kompetensi umum. Tabel 3 menunjukkan rangkuman kompetensi umum beserta
item yang akan dijadikan sebagai bukti fisik kompetensi personil Keltian X.
Kompetensi Umum
Kemampuan
membuat
kajian state of the art
4
5
Penguasaan
teknik
penulisan ilmiah dalam
bahasa indonesia
Penguasaan
teknik
penulisan ilmiah dalam
bahasa inggris
Penguasaan
Bahasa
Indonesia
Penguasaan
rancangan
penelitian kuantitatif
Penguasaan
rancangan
penelitian kualitatif
10
Penguasaan
wawancara
teknik
11
Penguasaan
observasi
teknik
12
Penguasaan
dokumen
13
14
15
teknik
studi
Item/Bukti Fisik
Transkrip yang menyatakan lulus mata kuliah manajemen
mutu, pengendalian mutu, atau manajemen operasi semasa
kuliah (S1)
Artikel kajian state of the art yang telah dinyatakan diterima
minimal di jurnal nasional terakreditasi sebagai penulis
pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima minimal di
jurnal nasional terakreditasi sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Transkrip yang menyatakan lulus mata kuliah Bahasa
Indonesia semasa kuliah (S1)
1. Sertifikat TOEFL ITP dengan skor minimal 500 atau
2. Sertifikat atau bukti lain keikutsertaan dalam
konferensi internasional sebagai presenter minimal 3
kali
Artikel ilmiah dengan menggunakan rancangan penelitian
kuantitatif yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah dengan menggunakan rancangan penelitian
kualitatif yang telah dinyatakan diterima di jurnal internasional
teindeks Scopus sebagai penulis pertama
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
survey dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
wawancara dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
observasi dimana personil yang bersangkutan terlibat sebagai
penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dengan menggunakan teknik
studi dokumen dimana personil yang bersangkutan terlibat
sebagai penanggung jawab kegiatan tersebut.
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dimana personil yang
bersangkutan bertindak sebagai penanggung jawab validasi
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional teindeks Scopus dimana personil yang
bersangkutan bertanggung jawab dalam analisis data
kuantitatif
Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
263
kualitatif
16
17
18
19
20
21
22
5.
Penguasaan
software
presentasi
Penguasaan
teknik
presentasi
Penguasaan
teknik
penulisan artikel ilmiah
semi populer
Penguasaan
teknik
pengajaran
Penguasaan
engineering
skill
Penguasaan
teknik
7
problem solving steps, 7
Tools, 7 New Tools,
pembuatan
Standard
Operating Procedure (SOP)
Penguasaan
teknik
penyusunan
bahan
presentasi
kompetensi khusus yang sesuai dengan bidang keahliannya. Tabel 4-8 menunjukkan
kompetensi khusus yang harus dimiliki personil Keltian X berdasarkan bidang keahliannya
masing-masing beserta bukti fisik penguasaan kompetensi tersebut. Kompetensi khusus
diidentifikasi dari kurikulum universitas yang terkait dengan bidang keahlian dan kuesioner
terbuka yang telah dibagikan kepada semua personil Keltian X. Sama seperti kompetensi
umum, bukti fisik kompetensi khusus yang dipilih merupakan output kegiatan yang
menggunakan kompetensi tersebut.
264
Tabel 4. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Pengukuran Kinerja dan Produktivitas
dan Bukti Fisiknya
No.
1
2
Kompetensi Khusus
Pemahaman konsep kinerja
Pemahaman konsep pengukuran kinerja
Pemahaman
dan
penguasaan
teknik/tool/metode pengukuran kinerja
5
6
Pemahaman
konsep
produktivitas
Pemahaman
dan
teknik/tool/metode
produktivitas
pengukuran
penguasaan
pengukuran
Bukti Fisik
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait pengukuran kinerja
sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep pengukuran
kinerja minimal 1 buah
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait pengukuran produktivitas
sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep pengukuran
produktivitas minimal 1 buah
Tabel 5. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Perilaku Konsumen dan Bukti Fisiknya
No.
1
2
3
4
Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman dan penguasaan konsep/teori
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
perilaku konsumen
diterima di jurnal internasional terindeks
Scopus terkait perilaku konsumen
Pemahaman dan penguasaan teori
sebagai penulis pertama
psikometri
2. Hasil penerapan konsep pengukuran dan
Pemahaman dan penguasaan metode
indeks kepuasan pelanggan minimal 1
penelitian perilaku
buah
Pemahaman dasar psikologis perilaku
konsumen,
human
information
processing, konsep-konsep dalam ilmu
marketing (perceived quality, kepuasan
pelanggan, dst)
Tabel 6. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Perilaku Organisasi dan Bukti Fisiknya
No.
1
2
3
4
Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman dan penguasaan konsep/teori
perilaku organisasi
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan
Pemahaman dan penguasaan teori
diterima di jurnal internasional terindeks
psikologi industri/organisasi
Scopus terkait perilaku organisasi
sebagai penulis pertama
Pemahaman dan penguasaan metode
2. Hasil penerapan konsep perilaku
penelitian perilaku
organisasi minimal 1 buah
Pemahaman dasar psikologis perilaku
organisasi dan advanced problems in
organizational behavior
265
Tabel 7. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Kualitas Teknis dan Bukti Fisiknya
No.
1
Kompetensi Khusus
Bukti Fisik
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep pengukuran
pengukuran
kualitas
kualitas objektif sebagai penulis pertama
objektif
2. Hasil penerapan konsep pengukuran kualitas objektif
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep Quality
Quality Core Tools
Core Tools (SPC, FMEA, MSA, APQP, PPAP, dll)
(SPC, FMEA, MSA,
sebagai penulis pertama
APQP, PPAP, dll)
2. Hasil penerapan konsep Quality Core Tools (SPC, FMEA,
MSA, APQP, PPAP, dll) minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional
terindeks
Scopus
terkait
konsep
Probabilistic
&
Probabilistic & Uncertainty sebagai penulis pertama
Uncertainty
2. Hasil penerapan konsep Probabilistic & Uncertainty
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep Design of
Design of Experiment
Experiment sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep konsep Design of Experiment
minimal 1 buah
Pemahaman
dan
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
penguasaan
konsep
internasional terindeks Scopus terkait konsep biaya
biaya kualitas
kualitas sebagai penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep biaya kualitas minimal 1 buah
Pemahaman
dan
penguasaan
konsep
kapabilitas proses (CP,
CPk)
266
Tabel 8. Daftar Kompetensi Khusus Personil Bidang Keahlian Standar dan Penghargaan dan
Bukti Fisiknya
No.
1
Kompetensi Khusus
Pemahaman
konsep
TQM
Bukti Fisik
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
internasional terindeks Scopus terkait TQM sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep TQM minimal 1 buah
Pemahaman tentang ISO
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
9001
internasional terindeks Scopus terkait ISO 9001 sebagai
penulis pertama
2. Hasil penerapan konsep ISO 9001 minimal 1 buah
Pemahaman
tentag
1. Artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal
NQA:
MBNQA,
internasional terindeks Scopus terkait NQA (MBNQA,
Deming Prize, EFQM
Deming Prize, EFQM) dan penghargaan sebagai penulis
pertama
2. Hasil penerapan konsep NQA minimal 1 buah
Pemahaman konsep Six
Sigma
Pemahaman
Lean
konsep
Pemahaman
Benchmarking
konsep
6.
267
7.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun standar kompetensi Kelompok Penelitian X
(Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Penyusunan standar kompetensi terdiri dari beberapa
langkah. Pertama, dilakukan analisis terhadap kompetensi umum dan kompetensi khusus
yang perlu dimiliki oleh personil Kelompok Penelitian X (Keltian X) agar dapat mengerjakan
tugas-tugasnya dengan baik. Analisis kompetensi dimulai dengan menjabarkan dengan rinci
tugas Keltian X. Tugas Keltian X dijabarkan dari Standar Kompetensi Peneliti, Uraian
Jabatan di Pusat Penelitian ABC, tugas utama Keltian X yang terdapat dalam SK keltian, dan
dokumen roadmap keltian. Selanjutnya, masing-masing tugas diuraikan ke dalam langkahlangkah pengerjaan. Cara ini ditempuh untuk menganalisis secara tepat kompetensi yang
dibutuhkan dan mencegah tidak teridentifikasinya kompetensi yang penting dimiliki oleh
personil Keltian X. Proses analisis menemukan 22 kompetensi umum dan 26 kompetensi
khusus Keltian X. Kompetensi tersebut telah divalidasi di dalam kelompok penelitian.
Kompetensi umum merupakan kompetensi-kompetensi yang wajib dimiliki oleh semua
personil Keltian X agar dapat melaksanakan tugasnya. Sedangkan kompetensi khusus
merupakan kompetensi tambahan bagi personil Keltian X sesuai dengan bidang keahlian
mereka.
Selain analisis kompetensi, dalam penelitian ini juga dilakukan identifikasi item yang
dapat dijadikan bukti fisik penguasaan kompetensi oleh personil. Pemilihan bukti fisik
dilakukan untuk memperoleh item yang tepat menunjukkan kompetensi personil. Item/bukti
fisik yang ditetapkan dalam penelitian ini sekaligus mencerminkan standar untuk tiap
kompetensi. Sebagai contoh, untuk kompetensi umum penguasaan Bahasa Inggris
ditetapkan bahwa bukti fisik yang diperlukan adalah sertifikat TOEFL ITP dengan skor
minimal 500 atau sertifikat/bukti lain keikutsertaan dalam konferensi internasional sebagai
presenter minimal 3 kali. Artinya, Keltian X menstandarkan bahwa personil Keltian X wajib
memiliki skor TOEFL ITP minimal 500 atau wajib mengikuti konferensi internasional
sebagai presenter minimal 3 kali sebagai bukti atas kompetensi Bahasa Inggris. Dengan tidak
adanya bukti tersebut, maka personil dikatakan belum menguasai Bahasa Inggris. Contoh
lainnya yaitu Keltian X menetapkan wajib dikuasainya kemampuan analisis data kuantitatif.
Sebagai bukti penguasaan kompetensi tersebut, personil Keltian X harus bisa menghasilkan
268
artikel ilmiah yang telah dinyatakan diterima di jurnal internasional teindeks Scopus dimana
personil yang bersangkutan bertanggung jawab dalam analisis data kuantitatif.
Item/bukti fisik yang telah diidentifikasi, nantinya akan digunakan untuk melakukan
penilaian kompetensi personil Keltian X. Oleh karena itu, identifikasi bukti fisik yang tepat
diperlukan agar penilaian kompetensi menghasilkan penilaian yang objektif. Dengan kata
lain, penilaian yang dilakukan oleh seseorang akan menghasilkan nilai yang sama dengan
penilaian yang dilakukan oleh orang lain terhadap personil yang sama.
Di dalam organisasi maupun kelompok penelitian, peneliti merupakan aktor penting
yang menentukan keberhasilan dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, kegiatan
pengembangan sumber daya manusia harus direncanakan dan dilakukan dengan tepat agar
dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Analisis
kompetensi memberikan pedoman bagi kegiatan pengembangan tersebut. Dengan
mengetahui kompetensi yang dibutuhkan, koordinator keltian dapat melakukan analisis gap
kompetensi dan analisis kebutuhan pelatihan bagi personilnya. Akibatnya, pelatihan yang
diselenggarakan akan lebih terarah dan tepat sasaran. Selain itu, secara tidak langsung, hal ini
akan meningkatkan efisiensi keltian.
269
Penelitian ini telah berhasil menganalisis kompetensi yang dibutuhkan oleh personil
Keltian X beserta bukti fisik kompetensi yang sekaligus menunjukkan standar untuk tiap
kompetensi. Selanjutnya, penilaian kompetensi untuk mengukur gap kompetensi personil
Keltian X dan analisis kebutuhan pelatihan perlu dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian
selanjutnya, penulis akanmelakukan penilaian kompetensi personil untuk mengetahui gap
kompetensi. Analisis kebutuhan pelatihan personil untuk meniadakan gap kompetensi
tersebut juga akan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kepegawaian Negara. (2013). Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Manajerial Pegawai
Negeri Sipil. BKN, Jakarta.
Boyatzis, R. (1982). The Competent Manager - A Model for Effective Performance. John Wiley &
Sons, New York, NY.
Crawford, L., 2007. Global body of project management knowledge and standards. In: Morris, P.W.,
Pinto, J.K. (Eds.), The Wiley Guide to Project Organisation and Project Management
Competencies. John Wiley and Sons, Hoboken, NJ, pp. 207252.
Crawford, L., dan Pollack, J., (2008). Developing a basis for global reciprocity: negotiating between
the many standards for project management. Journal of IT Standards and Standardisation
Research, 6, 1, 7084.
Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013). Development of ICT Competency Standard Using the
Delphi Technique. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 103, 299 314.
Gale, A. (2007). Chapter 7: Competencies: organisational and personal. In: Morris, P.W., Pinto, J.K.
(Eds.), The Wiley Guide to Project Organisation and Project Management Competencies.
Wiley & Sons, Hoboken, NJ, pp. 143167 dalam Young, M. dan Conboy, K. (2013).
Contemporary project portfolio management: Reflections on the development of an
Australian Competency Standard for Project Portfolio Management. International Journal of
Project Management, 31, 10891100.
Gonczi, A. (1996). Reconceptualising Competency-Based Education and Training: with Particular
Reference to Education for Occupations in Australia. University of Technology, Sydney.
Heywood, L., Gonczi, A., dan Hager, P. (1992). A Guide to Development of Competency Standards
for Professions. Australian Government Publishing Service, Canberra, Australia.
International Society for Technology in Education (2000). National educational technology standards
for
teachers
(ISTE
NETS-T).
Retrieved
October
8,
2012,
from
http://www.iste.org/Content/navigationMenu/NETS/ForTeachers/2000Standards/NETS_for_
Teachers_2000.htm dalam Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013). Development of
ICT Competency Standard Using the Delphi Technique. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 103, 299 314.
270
International Society for Technology in Education (2008). National educational technology standards
for
teachers
(ISTE
NETS-T).
Retrieved
October
8,
2012,
from
http://www.iste.org/content/navigationmenu/nets/forteachers/2008standards/
nets_for_teachers_2008.htm dalam Fong S. F., Chng, P. E., dan Por, F. P. (2013).
Development of ICT Competency Standard Using the Delphi Technique. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 103, 299 314.
LIPI. (2009). Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2009 tentang
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Peneliti. Jakarta
Suhairom, N., Mustaamal, A. H., Amin, N. F. M., dan Johari, N. K. A. (2014). The development of
competency model and instrument for competency measurement: The research methods.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 152, 1300 1308.
Young, M. dan Conboy, K. (2013). Contemporary project portfolio management: Reflections on the
development of an Australian Competency Standard for Project Portfolio Management.
International Journal of Project Management, 31, 10891100.
271
P-ALTEK 12
ABSTRAK
Pengukuran kinerja perlu dilakukan oleh setiap organisasi. Pengembangan sistem pengukuran
kinerja yang tepat sangatlah penting untuk menjamin efektivitas pengukuran kinerja yang
dilakukan. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan sistem pengukuran
kinerja adalah menentukan indikator kinerja yang akan digunakan. Penelitian ini bertujuan
menganalisis indikator yang tepat digunakan untuk mengukur kinerja kelompok dan kinerja
personil dari Kelompok Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan literatur. Validasi indikator kinerja
dilakukan melalui diskusi di dalam Keltian X. Penelitian ini menghasilkan 29 indikator
kinerja keltian dan 26 indikator kinerja personil keltian yang terdiri dari indikator kinerja
outcome, output, aktivitas, dan input kegiatan keltian.
LATAR BELAKANG
Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah menuntut semua instansi baik
kementerian maupun lembaga pemerintah untuk semakin efektif dan efisien dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah melakukan
perampingan struktur di sejumlah instansi termasuk di Pusat Penelitian ABC. Perampingan
struktur tersebut diharapkan akan mengurangi alur birokrasi dan mendorong kepada
pencapaian kinerja yang lebih tinggi.
272
Perampingan struktur di Pusat Penelitian ABC berdampak pada hilangnya dua bidang
penelitian yang membawahi para peneliti. Dengan adanya perubahan struktur, para peneliti
dikumpulkan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian disebut sebagai kelompok
penelitian (keltian). Pengelompokkan dilakukan dengan memperhatikan bidang kepakaran
peneliti. Masing-masing kelompok penelitian dikoordinasi oleh seorang koordinator yang
merupakan peneliti dengan jenjang jabatan fungsional peneliti tertinggi di dalam kelompok
tersebut. Perubahan struktur menyebabkan perubahan arah tanggung jawab kelompok
fungsional peneliti. Para peneliti yang dulunya bertanggung jawab kepada kepala bidang
penelitian, saat ini langsung bertanggung jawab kepada kepala pusat penelitian.
Kelompok Penelitian X (Keltian X) di Pusat Penelitian ABC dibentuk pada tahun
2014. Kelompok penelitian ini terdiri dari peneliti dan kandidat peneliti di bidang manajemen
mutu. Awalnya, peneliti-peneliti manajemen mutu berada di bawah bidang penelitian. Namun
dengan adanya perampingan struktur organisasi, bidang penelitian ditiadakan dan kelompokkelompok peneliti langsung bertanggung jawab kepada kepala pusat penelitian.
Sebagai kelompok penelitian baru, Keltian X sedang menata diri dan menentukan
arah ke depan. Untuk mendukung hal tersebut, telah disusun visi, roadmap dan rencana kerja
Keltian X untuk periode 2015-2019. Selanjutnya, sistem pengukuran kinerja untuk
mengetahui kemajuan keltian dalam mencapai tujuan akan dibangun. Pengukuran kinerja
dilakukan sebagai upaya mendorong Keltian X untuk mencapai apa yang telah direncanakan
dan ditargetkan. Literatur mengatakan bahwa organisasi yang melakukan pengukuran kinerja
memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan organisasi yang tidak melakukannya (de
Waal et al., 2011). Pengukuran kinerja yang akan diakukan meliputi pengukuran kinerja
keltian dan personil keltian. Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam sebuah dashboard
kinerja sehingga koordinator keltian dan masing-masing personil dapat memantau kinerja
mereka dan termotivasi untuk selalu menunjukkan kinerja yang tinggi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk tiap tahunnya.
Penelitian dalam rangka membangun sistem pengukuran kinerja di organisasi R&D
telah banyak dilakukan (seperti Jyoti, et al., 2008, Sueyoshi dan Goto, 2013; Sueyoshi dan
Goto, 2009; Garca- Valderrama et al., 2009; Bigliardi dan Dormio, 2010; Kulatunga et al.,
2011). Namun, sistem pengukuran kinerja tersebut dibangun untuk level organisasi atau unit
R&D di industri. Sepengetahuan peneliti, masih sedikit penelitian yang membangun sistem
273
pengukuran kinerja untuk konteks kelompok penelitian di sebuah organisasi R&D. Selain itu,
dalam membangun sebuah sistem, konteks organisasi atau kelompok dimana sistem tersebut
akan dibangun perlu untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan karena lingkungan organisasi
atau kelompok akan mempengaruhi efektivitas sistem tersebut (Galbraith, 1973; Fiedler,
1964). Bisa jadi sebuah sistem berhasil dengan baik diterapkan di sebuah organisasi, tetapi
tidak demikian ketika diterapkan di organisasi lain. Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini bertujuan menganalisis indikator-indikator kinerja yang tepat digunakan untuk
mengukur kinerja kelompok dan personil Keltian X di Pusat Penelitian ABC. Penyusunan
indikator kinerja merupakan tahap awal dalam pengembangan sistem pengukuran kinerja
Keltian X. Penelitian ini sekaligus sebagai perbaikan dari analisis indikator kinerja Keltian X
yang telah disusun oleh Damayanti dan Yarmen (2015).
TINJAUAN PUSTAKA
Pengukuran Kinerja dan Pengukuran Kinerja di Kelompok Penelitian
Menurut Neely et al. (2005), pengukuran kinerja merupakan aktivitas dalam rangka
mengkuantifikasi efisiensi dan efektifitas sebuah tindakan. Efektivitas menunjukkan sejauh
mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Adapun efisiensi menggambarkan kecepatan
mengerjakan sebuah tugas atau bagaimana biaya mencukupi sebuah tugas secara efektif.
Poister (2003) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai proses mendefinisikan, memantau,
dan menggunakan indikator objektif dari kinerja organisasi. Berdasarkan uraian di atas,
pengukuran kinerja melibatkan aktivitas menentukan, mendefinisikan, dan menggunakan
indikator untuk memantau kinerja organisasi yaitu seberapa efektif dan efisien organisasi
dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Pengukuran kinerja dipercaya sebagai sebuah tool untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Dalam literatur dikatakan bahwa organisasi yang melakukan pengukuran kinerja
cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang tidak
melakukannya (de Waal et al., 2011). Alasannya, dengan pengukuran kinerja, organisasi
dapat secara rutin memantau kemajuan dan memotivasi dirinya untuk mencapai apa yang
menjadi sasarannya.
Pengukuran kinerja di organisasi penelitian dan pengembangan telah banyak di bahas
dalam literatur. Sebagai contoh yaitu penelitian dari Chiesa et al. (2009), Vuolle et al. (2009),
274
Bigliardi dan Dormio (2010), Kulatunga et al. (2011), Kulatunga et al. (2007), Tripathy et al.
(2013), Liu dan Tsai (2007), dan Kim dan Oh (2002). Namun demikian, masih sedikit
penelitian yang membahas pengukuran kinerja di tingkat kelompok penelitian yang ada di
sebuah organisasi penelitian. Kebanyakan penelitian yang sudah ada membahas kinerja di
level organisasi baik organisasi penelitian publik maupun swasta.
275
transfer pengetahuan, dan eksploitasi pengetahuan). Coccia (2004) mengukur kinerja dari
lembaga penelitian publik menggunakan lima ukuran kinerja yaitu training, keuangan,
publikasi nasional, pengajaran, dan publikasi internasional.
METODOLOGI
Penelitian ini mengadaptasi metode penyusunan indikator kinerja yang disampaikan
oleh Parmenter (2010). Penyusunan indikator kinerja Keltian X dilakukan dengan
memperhatikan visi keltian. Indikator kinerja yang dipilih harus dapat mengukur kemajuan
keltian dalam mencapai visi yang telah ditetapkan. Dokumen seperti roadmap Keltian X
tahun 2015-2019 dan rencana kerja keltian dikumpulkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
outcome dan output yang ingin dicapai, aktivitas yang akan dilakukan, dan input yang
dibutuhkan keltian untuk mencapai visi. Selanjutnya, dengan mengadopsi arsitektur dan
informasi kinerja dalam sistem penganggaran berbasis kinerja yang dikeluarkan oleh
Kementerian Keuangan, identifikasi indikator kinerja kelompok penelitian dilakukan.
Indikator kinerja ditetapkan untuk setiap elemen kegiatan keltian yaitu outcome, output,
aktivitas, dan input. Tahap selanjutnya, indikator kinerja personil diturunkan dari indikator
kinerja Keltian X. Untuk lebih jelas, Gambar 2 menunjukkan tahapan-tahapan dalam
penelitian ini.
Dari tahapan di Gambar 2 diperoleh daftar indikator sementara untuk outcome,
output, aktivitas, dan input keltian dan personil Keltian X. Selanjutnya, indikator kinerja yang
diperoleh dari tahap tersebut divalidasi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa indikator
kinerja yang dipilih telah tepat dan benar-benar mengukur kinerja keltian maupun personil
dalam mencapai visi yang telah ditetapkan. Validasi dilakukan melalui diskusi Keltian X.
Dari proses diskusi diperoleh masukan dan kesepakatan seperti penghapusan dan
penambahan sejumlah indikator serta penyesuaian penggunaan bahasa indikator. Masukan
tersebut dicatat untuk kemudian digunakan untuk memperbaiki daftar indikator sementara.
Tahap terakhir, daftar indikator yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil diskusi
dikembalikan kepada kelompok untuk memastikan bahwa indikator tersebut telah disepakati
bersama sebagai indikator kinerja keltian dan personil Keltian X.
276
Visi Keltian MM
Outcome Keltian
Output Keltian
Aktivitas Keltian
Input Keltian
Indikator Kinerja
Outcome Keltian
Indikator Kinerja
Output Keltian
Indikator Kinerja
Aktivitas Keltian
Indikator Kinerja
Input Keltian
Indikator Kinerja
Outcome Personil
Indikator Kinerja
Output Personil
Indikator Kinerja
Aktivitas Personil
Indikator Kinerja
Input Personil
di bidang Manajemen Mutu yang memiliki fondasi untuk menuju kelompok penelitian yang
diakui komunitas ilmiah internasional. Visi tersebut telah dijabarkan ke dalam roadmap
keltian dan rencana kerja untuk lima tahun ke depan. Dalam roadmap dan rencana kerja
tersebut dianalisis outcome dan output yang ingin dicapai, aktivitas yang akan dilakukan,
serta input yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas yang akan dilakukan. Rincian
outcome, output, aktivitas dan input Keltian X dapat dilihat di Tabel 1.
2.
daya untuk menghasilkan temuan baru baik berupa soft technology maupun hard technology
yang pada ujungnya adalah untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Ketersediaan input
(sumber daya) yang memadai sangat dibutuhkan untuk mendukung kelancaran kegiatan
penelitian. Pengelolaan kegiatan penelitian dengan baik akan mendukung dihasilkannya
output yang diinginkan. Pada akhirnya, outcome akan tercapai jika terdapat proses
277
278
pemanfaatan atas output yang dihasilkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan logis antara input, aktivitas, output, dan outcome. Input akan berpengaruh pada
aktivitas, output, dan outcome. Selanjutnya, input dan aktivitas berpengaruh pada output dan
outcome yang dihasilkan. Terakhir, input, aktivitas, dan output akan berpengaruh pada
outcome.
Penyusunan indikator kinerja pada penelitian ini dilakukan untuk tiap elemen kegiatan
keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Struktur ini menyesuaikan
dengan arsitektur dan informasi kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.
Dengan demikian, penyusunan indikator kinerja menghasilkan daftar indikator kinerja
outcome, indikator kinerja output, indikator kinerja aktivitas, dan indikator kinerja input.
Indikator yang diplilih untuk tiap elemen harus mampu menggambarkan kinerja dari elemen
tersebut. Oleh karena itu, indikator kinerja disusun dengan memperhatikan faktor kritis di tiap
elemen. Roadmap, rencana kerja keltian, dan beberapa literatur pengukuran kinerja di
organisasi penelitian dan pengembangan digunakan sebagai referensi.
Untuk elemen outcome, Keltian X mengupayakan terwujudnya pengetahuan di bidang
manajemen mutu yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
(Nawacita 5) dan peningkatan produktivitas & daya saing bangsa (NawaCita 6). Outcome
tersebut dapat dicapai jika terdapat kegiatan pemanfaatan atas output yang dihasilkan oleh
keltian. Pemanfaatan atas output yang dihasilkan oleh Keltian X dapat dilihat dari sitasi atas
publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh keltian maupun atas publikasi di jurnal yang diterbitkan
oleh keltian, pelatihan/seminar atau kegiatan pelayanan lainnya yang diselenggarakan
berbasis
hasil
penelitian,
penggunaan
atas
metode/instrumen/toolkit/sistem
yang
dikembangkan keltian, akses terhadap artikel ilmiah yang dihasilkan oleh keltian, serta
kegiatan sharing yang dilakukan oleh masyarakat atas artikel populer yang dihasilkan keltian.
Oleh karena itu, indikator kinerja elemen outcome ditentukan sebagaimana yang terdapat
dalam Tabel 1.
Untuk elemen output, Keltian X memiliki tiga output yang ingin dicapai. Yang
pertama yaitu peningkatan karya tulis ilmiah pada media publikasi ilmiah yang diakui oleh
komunitas ilmiah manajemen mutu secara nasional dan internasional. Kinerja keltian dalam
menghasilkan output tersebut dapat dilihat dari publikasi ilmiah keltian yang diterbitkan di
tingkat nasional maupun internasional. Output kedua yang ingin dicapai oleh Keltian X
279
adalah peningkatan hasil penelitian yang dapat digunakan secara langsung oleh
masyarakat/komunitas.
Kinerja
output
yang
kedua
dapat
dilihat
dari
280
281
282
3.
Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan indikator kinerja Kelompok Penelitian X yang terdiri dari
indikator kinerja keltian (lihat tabel 1) dan personil keltian (lihat tabel 2) untuk elemen
kegiatan keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Indikator kinerja
diturunkan dari roadmap keltian dan rencana kerja periode 2015-2019 yang telah disusun
dalam rangka mewujudkan visi Keltian X. Selain itu, indikator kinerja dari literatur terkait
juga ditambahkan. Dengan demikian, indikator kinerja yang dipilih telah mewakili strategi
keltian. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan dalam sejumlah literatur pengukuran kinerja
(Kaplan dan Norton, 1992, 1993, 1996; Lynch dan Cross, 1991; Fitzgerald et al., 1991;
Ghalayini et al., 1997; Bititci, 1994, 1995).
Indikator kinerja dalam penelitian ini juga memenuhi prinsip keseimbangan, fokus
pada stakeholder, orientasi proses, dan hubungan kausal yang disampaikan oleh Garengo et
al. (2005). Prinsip keseimbangan berarti sistem pengukuran kinerja menggunakan perspektif
yang berbeda yang didasarkan pada jenis ukuran kinerja (keuangan atau non-keuangan)
dan/atau tujuan ukuran kinerja yang digunakan (internal atau eksternal). Pemenuhan prinsip
ini ditunjukkan oleh indikator kinerja yang tidak hanya mengukur kinerja finansial, tetapi
juga kinerja nonfinansial. Fokus pada stakeholder berarti dalam menyusun indikator kinerja,
persyaratan pelanggan diperhatikan. Kesesuaian indikator kinerja terhadap prinsip ini dapat
dilihat dari indikator kinerja di elemen output. Konsumen dari output penelitian adalah
akademisi, praktisi, dan kalangan masyarakat umum lainnya. Oleh karena itu, output
penelitian harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua kalangan masyarakat. Untuk
memungkinkan hal tersebut, Keltian X mendiseminasikan hasil penelitian ke dalam berbagai
bentuk. Sebagai contoh, publikasi ilmiah di jurnal maupun prosiding dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh kalangan akademisi. Metode, instrument, toolkit, dan sistem baru yang
dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh para praktisi. Sedangkan majalah keltian dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum lainnya. Selanjutnya, dengan berorientasi proses,
organisasi tidak dilihat sebagai struktur hirarkis tetapi sebagai seluruh rangkaian proses
terkoordinasi yang menciptakan sistem. Prinsip yang terakhir, hubungan kausal berarti hasil
kinerja dan determinannya harus diukur untuk mengetahui 'hubungan kausal' di antara
mereka, dan untuk mendukung kontrol tindakan dan proses perbaikan. Pemakaian framework
283
outcome, output, aktivitas, dan input merupakan implementasi atas prinsip ketiga dan
keempat.
Indikator kinerja keltian dan personil keltian yang disusun telah didiskusikan di dalam
kelompok penelitian untuk memastikan bahwa indikator tersebut tepat mengukur kinerja
keltian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa indikator kinerja keltian dan personil keltian
hasil penelitian ini telah valid.
Penyusunan indikator kinerja dilakukan dengan mengadopsi arsitektur dan informasi
kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Indikator kinerja ditentukan untuk
elemen kegiatan keltian yang terdiri dari outcome, output, aktivitas, dan input. Dengan
demikian, framework ini akan memudahkan instansi dalam menyusun laporan kinerja. Lebih
lanjut, framework pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator kinerja outcome,
output, aktivitas, dan input bermanfaat untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan keltian
dalam mencapai visi. Dengan menggunakan framework tersebut dapat diidentifikasi elemen
kritis dari kinerja keltian dan personil keltian serta hubungan logis diantara elemen-elemen
tersebut.
KESIMPULAN
Pengukuran kinerja merupakan proses mengkuantifikasi efektivitas dan efisiensi
organisasi. Pengukuran kinerja penting dilakukan untuk memberikan gambaran pencapaian
organisasi dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dalam sejumlah litertur dikatakan
bahwa pengukuran kinerja merupakan media untuk pencapaian kinerja yang tinggi.
Organisasi yang melakukan pengukuran kinerja telah terbukti memiliki kinerja yang lebih
tinggi dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya.
Pemilihan indikator kinerja merupakan salah satu tahap dalam membangun sistem
pengukuran kinerja. Pemilihan indikator kinerja yang tepat akan berpengaruh pada efektivitas
sistem pengukuran kinerja. Oleh karena itu, identifikasi indikator yang tepat harus dilakukan
dengan hati-hati. Indikator kinerja yang digunakan harus dapat mewakili visi organisasi.
Berdasarkan tahapan ilmiah yang telah dilakukan, penelitian ini menemukan bahwa
pengukuran kinerja Kelompok Penelitian X di Pusat Penelitian ABC dapat dilakukan dengan
menggunakan 29 indikator kinerja yang terdiri dari 7 indikator kinerja outcome, 9 indikator
kinerja output, 4 indikator kinerja aktivitas, dan 9 indikator kinerja input. Sedangkan
284
indikator kinerja personil Keltian X dapat diukur menggunakan 26 indikator yang meliputi 7
indikator outcome, 8 indikator output, 5 indikator aktivitas, dan 6 indikator input.
DAFTAR PUSTAKA
Bigliardi, B. dan Dormio, A. I. (2010). A balanced scorecard approach for R&D: evidence from a
case study. Facilities, 28, 5/6, 278-289.
Bititci, U. (1994). Measuring your way to profit. Management Decision, 32, 6.
Bititci, U. (1995). Measuring the integrity of your business. Management Decision, 33, 7.
Chiesa, V. dan Frattini, F. (2009). Performance measurement of research and development activities.
European Journal of Innovation Management, 12, 1, 25-61.
Coccia, M. (2004). New models for measuring the R&D performance and identifying the productivity
of public research institute. R&D Management, 34, 3, 267-78.
Cooper, R.G. (1998), Product Leadership: Creating and Launching Superior New Products. Perseus
Books, Reading, MA. dalam Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011).
Structured approach to measure performance in construction research and development:
Performance measurement system Development. International Journal of Productivity and
Performance Management, 60, 3, 289-310.
Damayanti, S. dan Yarmen, M. (2015). Pengukuran Kinerja Kelompok Penelitian dalam Lembaga
Pemerintah (Studi Kasus: Sebuah Kelompok Penelitian Lembaga X). Prosiding Annual
Meeting on Testing dan Quality (AMTeQ) 2015. ISSN 1907-7459.
de Waal, A., Goedegebuure, R., dan Geradts, P. (2011). The impact of performance management on
the results of a non-profit organization. International Journal of Productivity and
Performance Management, 60, 8, 778-796.
Fitzgerald, L., Johnson, R., Brignall, S., Silvestro, R., dan Voss, C. (1991). Performance
Measurement in Service Business. CIMA, London.
Garca-Valderrama, T., Mulero-Mendigorri, E., & Revuelta-Bordoy, D. (2009). Innovative
Applications of O.R: Relating the perspectives of the balanced scorecard for R&D by means
of DEA. European Journal of Operation Research, 196, 1177-1189.
Garengo, P., Biazzo, S., dan Bititci, U. M. (2005). Performance measurement systems in SMEs: A
review for a research agenda. International Journal of Management Reviews, 7, 1, 2547.
Ghalayini, A., Noble, J., dan Crowe, T. (1997). An integrated dynamic performance measurement
system for improving manufacturing competitiveness. International Journal of Operations
and Production Management, 17, 2, 121-163.
Godener, A. dan Soderquist, K.E. (2004). Use and impact of performance measurement results in
R&D and NPD: an exploratory study. R&D Management, 34, 2, 191-219.
Griffin, A. dan Page, A.L. (1993). An interim report on measuring product development success and
failure. Journal of Product Innovation Management, 10, 4, 291-308.
285
Jyoti, Banwet, D.K., dan Deshmukh, S.G. (2008). Evaluating performance of national R&D
organizations using integrated DEA-EHP technique. International Journal of Productivity
and Performance Management, 57, 5, 370-388.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1992). The balanced scorecard: the measures that drive performance.
Harvard Business Review. January-February, 71-79.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1993). Putting the balanced scorecard to work. Harvard Business Review.
September-October, 34-147.
Kaplan, R. dan Norton, D. (1996). Using the balanced scorecard as a strategic management system.
Harvard Business Review. January-February, 75-85.
Kim, Bowon dan Oh, Heungshik. (2002). An e_ective R&D performance measurement system:
survey of Korean R&D researchers. Omega 30, 1931.
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2007). Performance measurement in the construction
research and development. International Journal of Productivity and Performance
Management, 56, 8, 673-688.
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011). Structured approach to measure performance
in construction research and development: Performance measurement system Development.
International Journal of Productivity and Performance Management, 60, 3, 289-310.
Liu, panh-Lo dan Tsai, Chih-Hung (2007). Using Analytic Network Process to Establish
Performance Evaluation Indicators for the R&D Management Department in Taiwans
High-tech Industry. The Asian Journal on Quality, 8, 3, 156-172.
Lynch, R. dan Cross, K. (1991). Measure Up! Yardsticks for Continuous Improvement. Blackwell,
Oxford.
Neely, A., Gregory, M. dan Platts, K. (2005). Performance measurement system design: A literature
review and research agenda. International Journal of Operations & Production Management,
25, 12, 1228-1263.
Parmenter, David. (2010). Key Performance Indicators: Developing, Implementing, and Using
Winning KPIs. John Wiley & Sons, Hokoben, New Jersey.
Pearson, A.W., Nixon, W.A. dan Kerssens-van Drongelen, I.C. (2000). R& D as a business what are
the implications for performance measurement?. R&D Management, 30, 4, 355-66 dalam
Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan Haigh, R. (2011). Structured approach to measure
performance in construction research and development: Performance measurement system
Development. International Journal of Productivity and Performance Management, 60, 3,
289-310.
Poister, T. H. (2003). Measuring performance in public and nonprofit organizations. San Francisco,
CA: Jossey-Bass.
Smith, P.G. dan Reinertsen, D.G. (1998). Developing Products in Half the Time: New Rules, New
Tools. VanNostrand Reinhold, New York, NY. dalam Kulatunga, U., Amaratunga, D., dan
Haigh, R. (2011). Structured approach to measure performance in construction research and
development: Performance measurement system Development. International Journal of
Productivity and Performance Management, 60, 3, 289-310.
286
Sueyoshi, T. & Goto, M. (2009). Can R&D expenditure avoid corporate bankruptcy?: Comparison
between Japanese machinery and electric equipment industries using DEAdiscriminant
analysis. European Journal of Operational Research, 196, 289311.
Sueyoshi, T. & Goto, M. (2013). A use of DEADA to measure importance of R&D expenditure in
Japanese information technology industry. Decision Support Systems, 54, 941952.
Tripathy, S., Sahu, S., dan Ray, P. K. (2013). Interpretive structural modelling for critical success
factors of R&D performance in Indian manufacturing firms. Journal of Modelling in
Management, 8, 2, 212-240.
Vuolle, M., Lnnqvist, A. dan van der Meer, J. (2009). Measuring the intangible aspects of an R&D
project. Measuring Business Excellence,13, 2, 25-33.
Werner, B.M. dan Souder, W.E. (1997). Measuring R&D performance: state of the art. ResearchTechnology Management, 40, 2, 34-42.
287
P-ALTEK 13
ABSTRAK
Adanya isu politik dan ekonomi menjadi salah satu faktor ancaman pertahanan keamanan
(hankam) negara. Ancaman tersebut diantisipasi denganmeningkatkan kemandirian nasional
dalam bidang hankam. Salah satu upaya dalam mencapai hal tersebut adalah dengan
meningkatkan alih teknologi agar mudah digunakan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Saat
ini robot banyak digunakan sebagai pengganti peran manusia terutama di lingkungan yang
berbahaya, hal tersebut juga menjadi tren pada teknologi militer dunia. Berdasarkan isu-isu
yang ada dan permintaan dari pengguna di bidang hankam, maka telah diiplementasikan
MobileRobot untuk aplikasi robot penjinak bom (Morolipi V1 dan Morolipi V2) dan Remote
Controlled Weapon System (RCWS) sebagai salah satu hasil alih teknologi militer yang
diperlukan oleh Indonesia saat ini. Morolipi dapat berfungsi untuk mengevakuasi benda
berbahaya dan juga dapat dikirim untuk memantau teroris. Morolipi juga telah
dikolaborasikan dengan RCWS, sehingga dapat digunakan pada garda belakang maupun
garda depan. Purwarupa RCWS yang dihasilkan mengadopsi teknologi yang banyak
digunakan pada kendaraan tempur, hanya saja spesifikasinya dan kemampuannya masih
terbatas karena perbedaan yang signifikan terkait anggaran yang digunakan. Alih teknologi
ini diharapkan dapat menjadikan kemandirian alutsista dengan memaksimalkan komponenkomponen dalam negeri dan sumber daya manusia yang ada.
288
PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan teknologi di semua bidang di negara maju menjadi salah satu
faktor acuan teknologi di negara berkembang. Hal tersebut memberikan dampak positif dan
negatif pada masyarakat. Dampak positifnya adalah terjadinya alih teknologi di berbagai
bidang sehingga dapat meningkatkan kualitas perkembangan teknologi industri dan ekonomi
dari negara tersebut. Dampak negatifnya adalah adanya ancaman terhadap pertahanan dan
keamanan Negara dan penjajahan modern di bidang ekonomi.
Pertahanan militer Amerika telah sukses menggunakan robot secara luas di bidang
hankam, seperti untuk mengumpulkan informasi pengintaian, pendukung sistem logistik,
melaksanakan operasi tempur, melindungi personel bahkan untuk mengevakusi personel yang
terluka (Barnes et al., 2014). Tantangan teknologi dunia di masa depan di bidang hankam
adalah merancang human-robot yang cerdas, otonom, sederhana, mudah dioperasikan dan
meminimalisasikan beban kerja operator (Chen & Barnes, 2013). Saat ini kendaraan darat
tanpa awak (UGV) secara aktif dikembangkan sejalan dengan teknologi robotika yang lain
untuk meminimalisasi peran manusia baik untuk keperluan sipil ataupun militer di
lingkungan yang berbahaya (Lee, 2012; Gage, 1995). Sebagai persiapan dalam melakukan
inovasi di masa depan maka diperlukan pengekplorasian serta pengindetifikasian potensi
masalah dari isu-isu yang ada dan mensimulasikannya sehingga dapat dikembangkan suatu
robot yang belum pernah ada (Swiecicki et al., 2015). Berdasarkan hukum kemanusian
internasional, hingga saat ini belum ada peraturan internasional tentang pelarangan terhadap
perkembangan robot otonom dan remote weapon system(Liu, 2012).
Saat ini untuk mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi hankam di dunia maka
diadakan percepatan penelitiaan dan pengembangan penguasaan teknologi dengan cara alih
teknologi, fordward engineering, dan reverse engineering(Teknologi, 2006). Salah satu
tujuan nasional Republik Indonesia adalah kemampuan untuk menyediakan alat peralatan
pertahanan keamanan dari industri dalam negeri yang mandiri (Undang-undang Republik
Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan).
Makalah ini membahas tentang alih teknologi dunia pada bidang hankam khususnya
dalam bidang robotika yang telah diteliti oleh Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Alih teknologi ini diharapkan dapat
289
METODOLOGI
Penelitian rancang bangun robotik di bidang hankam dimulai dengan diskusi desain
konsep yang dibutuhkan oleh pengguna (TNI atau Polri) serta pengkajian kebijakankebijakan yang berlaku di Indonesia. Setelah desain konsep disepakati, selanjutnya dilakukan
studi literatur dan survei untuk menentukan rancangan yang tepat dengan komponenkomponen yang tersedia dipasaran, proses manufaktur, perakitan, pengambilan data hasil dari
eksperimen, uji coba lapangan, evaluasi, dan perbaikan disertai penyempurnaan desain
manufaktur jika diperlukan.
Studi literatur selain dengan analisa teori dan analisa persamaan yang digunakan juga
dilakukan melalui survei data mengenai teknologi yang telah ada khususnya yang telah dibuat
oleh suatu perusahaan-perusahaan besar. Data-data yang didapatkan kemudian digunakan
sebagai acuan untuk perancangan desain sistem dan simulasi. Bersamaan dengan proses
tersebut, dilakukan juga proses evaluasi awal terhadap purwarupa yang telah berhasil dibuat
dengan pendataan ulang komponen serta klarifikasi untuk pemilihan komponen mana yang
akan tetap digunakan dan juga mana komponen yang memerlukan peningkatan kualitasnya.
Pada saat perbaikan, penyempurnaan desain manufaktur dan optimasi akan dilakukan
sejalan dengan proses uji coba terutama jika terjadi kerusakan atau pada saat dibutuhkan
penyesuaian untuk peningkatan spesifikasi dari purwarupa yang dibuat. Gambar 1
menjelaskan alur kegiatan penelitian yang telah dilakukan.
290
291
Morolipi
Penelitian tentang teknologi yang dimiliki yaitu mobil robot penjinak bom morolipi
yang dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2014, perkembangan teknologi, dan fitur alih
teknologi (lihat Gambar 3). Penelitian dimulai dari robot otonom beroda dua hingga nantinya
akan digabungkan dengan robot lengan bersenjata.
Morolipi V1 memiliki dari lengan 5- DOF, gripper yang dapat digunakan sebagai
pemotong kabel dan juga memindahkan barang, kontrol analog, dan pan-tilt kamera. Morolipi
ini juga memiliki kemampuan untuk menaiki dan menuruni tangga dengan kemiringan
sampai 16 dengan tinggi anak tangga sampai 30 cm(Saputra & Mirdanies, 2015),(Saputra et
al., 2012c),(Rijanto et al., 2013).
292
Satuan
1050x920x1200 mm
190 kg
100 kg
5 kg
4 roda / 2-track / FIX
1500 mm
5 cm
4 statik Flippers / FIX
5 DOF
Wire cutter
16 degree / depend on friction
150 mm (height)
2 km/h
16o / tergantung pada penampang jalur
150 mm (tinggi)
Morolipi V2 memiliki dari lengan 5- DOF, gripper yang dapat digunakan sebagai
penjepit dan juga memindahkan barang, serta kontrol digital. Morolipi ini juga memiliki
kemampuan untuk menaiki dan menuruni tangga dengan kemiringan sampai 45. Versi ini
lebih kecil dan lebih kompak dibandingkan dengan versi sebelumnya (Saputra et al.,
2012),(Saputra et al., 2013c).
293
Spesifikasi
PxLxT
Berat Keseluruhan
Daya Angkut
Daya Angkat
Sistem Penggerak
Ketinggian Maksimum Manipulator
Ground Clearence
Flippers
Manipulator
End Effector
Stair Climbing
Rintangan
Kecepatan Maksimum
294
Robot Bersenjata
Robot bersenjata merupakan teknologi lanjutan dari morolipi dengan pemasangan
lengan bersenjata 2-DOF (azimut-elevasi) atau yang disebut turret menggantikan lengan 5DOF. Lengan bersenjata (LRoB V1), (Mirdanies et al., 2013a), (Saputra & Setiawan,
2013),(Saputra et al., 2013b) ini dilengkapi dengan kamera yang dipasangkan secara paten
pada platform sebagai identifikasi sasaran (objek/benda) yang diinginkan untuk selanjutnya
menembak sasaran tersebut. Robot dapat mentrack berbagai macam bentuk objek bergerak
(Nugraha, 2013), (Saputra et al., 2012a), (Saputra et al., 2013a).
295
L-RoB LIPI
PxLxT
45 x 30 x 64 cm
Berat
30 kg
Senjata
Senapan Mesin Ringan (SMR) kaliber 5,56 mm (M4, M16, SS1, dan
sejenisnya)
Azimuth
Elevasi
Pengendalian
Kamera platform
Resolution 640 x 480 pixels RGB, Frame rate 30 FPS, Connectivity USB
2.0, Laser Range Finder (LRF) 3,5 m
Kamera laras
Resolution 640 x 480 pixels RGB, Frame rate 30 FPS, Connectivity USB
2.0
Stabilisasi
Power
Modul elektronik
Full Digital
296
Skema Kolaborasi
Sejak tahun 2004 telah dilakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait sebagai
modal untuk desain dan perancangan. Skema kolaborasi tersebut dapat dilihat pada Gambar
8(a). Pada tahun 2015, skema kolaborasi di improvisasi untuk mendapat hasil yang lebih baik
(lihat Gambar 8(b)).
Gambar 8. (a) Skema kolaborasi periode 2010-2014, (b) Skema kolaborasi periode 2015-2019
297
Pada Gambar 8 (a) Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik mengambil data
dari pihak TNI/POLRI dan juga dari Litbang TNI/POLRI. Data yang diperoleh kemudian
digunakan sebagai acuan untuk pembuatan purwarupa yang sesuai dengan kebutuhan dari
pengguna. Harapannya dari purwarupa yang telah teruji pada skala lab dapat diproduksi oleh
pihak industri, sehingga memudahkan pengguna untuk memanfaatkannya. Kenyataan yang
terjadi dilapangan adalah skema kolaborasi belum dapat berjalan dengan baik karena adanya
kendala dengan pihak industri.
Pada periode 2015-2019 ini, dirancangkan skema kolaborasi yang baru dimana Pusat
Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik akan melakukan penelitian berdasarkan permintaan
dari industri. Permintaan industri tersebut juga dipengaruhi dari kebutuhan pihak TNI/POLRI
sebagai pihak pengguna.
298
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, M.J., Chen, J.Y.C., Jentsch, F., Oron-Gilad, T., Redden, E., Elliott, L. & Evans, A.W. (2014).
Designing for Humans in Autonomous Systems: Military Applications. (January). p.pp. 130.
Chen, J.Y.C. & Barnes, M.J. (2013). Human-Agent Teaming for Multi-Robot Control: A Literature
Review. (February).
DPR dan Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012
tentang Industri Pertahanan. (16 Tahun 2012).
Gage, D.W. (1995). UGV HISTORY 101: A Brief History of Unmanned Ground Vehicle (UGV)
Development Efforts. Unmanned Systems. [Online]. 13 (3). p.pp. 932. Available from:
http://oai.dtic.mil/oai/oai?verb=getRecord&metadataPrefix=html&identifier=ADA4
22845.
Lee, J.P. (2012). Future unmanned system design for reliable military operations. International
Journal of Control and Automation. 5 (3). p.pp. 173186.
Liu, H.-Y. (2012). Categorization and legality of autonomous and remote weapons systems.
International Review of the Red Cross. [Online]. 94 (886). p.pp. 627652. Available from:
http://www.journals.cambridge.org/abstract_S181638311300012X.
Mirdanies, M., Prihatmanto, A.S. & Rijanto, E. (2013a). Object Recognition System in Remote
Controlled Weapon Station using SIFT and SURF Methods. Mechatronics, Electrical Power,
and Vehicular Technology. [Online]. 4 (2). p.pp. 99108. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/143.
Mirdanies, M., Saputra, H.M., Subekti, R.A., Susanti, V., Nugraha, A.S., Rijanto, E. & Hartanto, A.
(2013b). Kajian Kebijakan Alutsista Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia. A.
Hartanto (ed.). Jakarta: LIPI Press.
Nugraha, A.S. (2013). ANALISA KESTABILAN KENDARAAN PADA MOBIL ROBOT
DELAPAN RODA. In: Seminar Nasional Rekayasa Energi, Mekatronik, dan Teknik
Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 159162.
Rijanto, E., Saputra, R.P. & Saputra, H.M. (2013). Positioning control for the mobile robot LIPI
articulated robot arm based on PD control approach. International Journal of Applied
Engineering Research. [Online]. 8 (4). p.pp. 423433. Available from:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.084880244481&partnerID=MN8TOARS.
299
Saputra, H.M., Abidin, Z. & Rijanto, E. (2012a). ANALYSIS OF INVERSE ANGLE METHOD
FOR CONTROLLING TWO DEGREE OF FREEDOM MANIPULATOR. Mechatronics,
Electrical Power, and Vehicular Technology. 03 (October). p.pp. 916.
Saputra, H.M., Abidin, Z. & Rijanto, E. (2013a). IMU Application in Measurement of Vehicle
Position and Orientation for Controlling a Pan-Tilt Mechanism. Mechatronics, Electrical
Power, and Vehicular Technology. [Online]. 4 (1). p.pp. 4150. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/137.
Saputra, H.M. & Mirdanies, M. (2015). Controlling Unmanned Ground Vehicle Via 4 Channel
Remote Control. Energy Procedia. [Online]. 68. p.pp. 381388. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876610215005755.
Saputra, H.M., Rizqulloh, M.A., Ardiansyah, R.A., Mirdanies, M., Nugraha, A.S., Santoso, A.,
Saputra, R.P., Atmaja, T.D. & Rijanto, E. (2013b). Analisis Metode Pembangkit Sinyal PWM
Motor Servo pada Sistem Pemicu Senjata Softgun M4A1 Otomatis. In: Seminar Nasional
Rekayasa Energi, Mekatronik, dan Teknik Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 163
168.
Saputra, H.M., Santoso, A., Mirdanies, M., Windarwati, V., Nayanti, R. & Maulana, L. (2013c).
Control of Pan-tilt Mechanism Angle using Position Matrix Method. Mechatronics, Electrical
Power, and Vehicular Technology. [Online]. 4 (2). p.pp. 109116. Available from:
http://www.mevjournal.com/index.php/mev/article/view/156.
Saputra, H.M. & Setiawan, A. (2013). Eksperimen Kendali Posisi Sudut dan Kecepatan Motor DC
Brushless AXH230KC-100 Untuk Manipulator Robot. In: Seminar Nasional Rekayasa
Energi, Mekatronik, dan Teknik Kendaraan. 2013, Bandung: RIMTEK, pp. 181188.
Saputra, R.P., Adriansyah, R.A., Mirdanies, M., Santoso, A., Nugraha, A.S., Muqorrobin, A., Saputra,
H.M., Susanti, V. & Rijanto, E. (2012b). Perancangan dan Pengujian Awal Kendali Motor DC
Brushless Untuk Independent 4-Wheel Drive Platform Robot Rev-11. Mechatronics,
Electrical Power, and Vehicular Technology. [Online]. 2 (2). p.pp. 8594. Available from:
http://mevjournal.com/index.php/mev/article/view/24.
Saputra, R.P., Rijanto, E. & Saputra, H.M. (2012c). Trajectory scenario control for the remotely
Operated Mobile Robot LIPI platform based on energy consumption analysis. International
Journal of Applied Engineering Research. [Online]. 7 (8). p.pp. 851866. Available from:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.084867281390&partnerID=MN8TOARS.
Swiecicki, C.C., Elliott, L.R. & Wooldridge, R. (2015). Squad-Level Soldier-Robot Dynamics:
Exploring Future Concepts Involving Intelligent Autonomous Robots. (February).
Teknologi, K.N.R. dan (2006). Indonesia 2005 - 2025 Buku Putih. Jakarta.
300
P-ALTEK 14
ABSTRAK
Proses inkubasi merupakan salah satu jalan pada proses alih teknologi dalam rangka
komersialisasi hasil litbang. Proses alih teknologi tidak hanya pada masalah teknologi yang
dialihkan, namun lebih jauh lagi adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap setiap
komponen-komponen alih teknologi tersebut, sehingga tujuan proses komersialisasinya dapat
diwujudkan. Pusat Inovasi LIPI sebagai satuan kerja yang memiliki tugas pokok
menjembatani proses alih teknologi ini, tentunya memerlukan sebuah rancangan tersendiri
dalam melakukan analisis terhadap proses alih teknologi ini, baik teknis maupun
manajemennya. Makalah ini bertujuan untuk menganalisa manajemen pengetahuan pada
proses alih teknologi di Pusat Inovasi LIPI dengan indicator adalah adanya peningkatan
IRL (Innovation Readiness Level) untuk setiap tahapan inkubasi. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan sifat deskriptif yaitu dengan menganalisa
tahapan proses alih teknologi dan fungsi-fungsi manajemen pengetahuan. Sebagai studi kasus
penelitian adalah proses alih teknologi melalui Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil
Litbang Produk Nanosilver sebagai Bahan Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri.
Hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa Pusat Inovasi telah memiliki infrastruktur
yang baik dengan adanya aturan formal berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
tahun 2005 dan manajemen mutu ISO 9001 tahun 2008. Terdapat beberapa barrier berkaitan
dengan manajemen pengetahuan yang ditemui sehingga menghambat efektivitas proses alih
teknologi.
Kata kunci: Manajemen pengetahuan, proses alih teknologi, kekayaan intelektual, Pusat Inovasi
LIPI.
301
PENDAHULUAN
Manajemen Pengetahuan menjadi diperlukan ketika pengetahuan bertambah dan berkembang
terus. Gambar -1 di bawah menjelaskan tentang alasan kenapa manajemen pengetahuan
diperlukan.
302
baru bagi produk-produknya. Celah antara penghasil teknologi dan penerima teknologi
diidentifikasi sebagai sebuah permasalahan serius khususnya bila mempertimbangkan
globalisasi dan perkembangan teknologi yang cepat.
Pada konteks ini, makalah ini dikembangkan. Situasi semacam ini dipandang perlu
untuk dibahas agar dapat memahami manajemen pengetahuan organisasi dan proses alih
teknologi di Pusat Inovasi LIPI dengan lebih baik. Banyak pendekatan tidak memperhatikan
kekhususan tiap-tiap organisasi baik di daerah dimana beroperasi maupun hubungan yang
instrinsik anatar proses-proses yang dinamis dari inovasi dan kontribusi pengetahuan
organisasi untuk alih teknologi yang bertujuan pengembangan dan sosialisasi inovasi di
sector produktif.
Proses modernisasi pada sistem perusahaan, berkaitan dengan mutu, produktivitas dan
produk-produk dan proses berteknologi baru, menuntut perusahaan untuk selalu mencari
inovasi dalam kegiatannya pada pasar yang menjadi target. Banyak organisasi dari berbagai
sector telah dilibatkan untuk memikirkan ulang bentuk-bentuk produksi yang telah
tua.Dipertimbangkan bahwa perubahan-perubahan ini menciptakan kebutuhan untuk
pembangkitan inovasi yang berkelanjutan yang dipicu dan dibangkitkan oleh individuindividu dalam organisasi, yang bertujuan untuk mengelola atau terus berupaya dalam
lingkungan yang kompetitif saat ini. Inovasi semacam ini sangat penting dan fundamental,
dan dapat muncul dari urun rembuk gagasan-gagasan atau hal-hal yang tidak diharapkan dan
tidak terduga yang secara tacit muncul dari pikiran-pikiran yang mewarnai berbagai level
organisasi.
Namun demikian, untuk mengubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan explicit
bisa menghasilkan inovasi-inovasi, para individu haruslah didorong, dimotivasi untuk
berpartisipasi secara kontinyu dari proses-proses penting pekerjaannya yang dilakukan,
berbagi pengetahuan tacit mereka, dalam bentuk pengalaman di lingkungan organisasi.
Kreasi dan manajemen pengetahuan organisasi merupakan alat yang sangat penting bagi
pembangkitan inovasi dalam organisasi yang harus digunakan untuk memudahkan dinamika
ini, semua langkah dalam prosesnya, dari sharing pengetahuan tacit diantara individu, menuju
globalisasi pengetahuan di seluruh organisasi (Nonaka dan Takeuchi, 1995).
Inovasi dan proses manajemen pengetahuan dalam sebuah perusahaan dapat dipahami
sebagai sebuah klaster dari komitmen yang dihasilkan oleh para individual yang bertujuan
303
persilangan
304
proses yang kontinyu dimana, pengetahuan yang diciptakan orang, dengan cara yang
terorganisir didorong dan dibimbing.
305
306
Alih Teknologi
Alih teknologi telah menjadi cara yang sangat efektif untuk melakukan diseminasi
inovasi dan pengetahuan, yang merupakan suatu alternative kompetitif bagi perusahaan yang
mencari tidak hanya untuk eksplorasi sumber daya internal untuk menggunakan teknologi
yang baru, tapi juga untuk mitra eksternal untuk mendapatkan peningkatan teknologi yang
baru, tugas dasar alih teknologi.
Menurut Cysne (2005) alih teknologi memiliki tandanya selama revolusi industry,
karena teknologi dikembangkan di Inggris dan dengan cepat dialihkan ke industry-industri di
Amerika, Eropa, dan Rusia. Proses alih teknologi ini telah meresap sepanjang abad 19, dan
pengembangannya di abad 20 telah signifikan dan juga berlanjut ekspansinya kegiatankegiatan ini di awal abad ini.
Definisi alih teknologi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah proses akusisi,
pengembangan dan penggunaan pengetahuan teknologis yang dihasilkan oleh individual
(Lima, 2004). Namun, hal ini dipahami sebagai sebuah proses implemengtasi teknologi baru
yang dikembangkan untuk suatu lingkungan yang tidak memiliki teknologi yang sama.
307
308
309
permukaan (surface coating agent), tekstil, agrikultur, biokimia, dan masih banyak lagi
(Sharma et al, 2009).
Beberapa peneliti telah melakukan investigasi terhadap beberapa jenis material yang
mempunyai fungsi sebagai anti-bakteri. Material-material tersebut diantaranya adalah
tembaga, seng, titanium (Retchkiman et al, 2006), magnesium, emas (Gu H et al, 2003),
alginat (Ahmad Z et al, 2005), dan silver. Nanopartikel silver telah terbukti memiliki
kemampuan yang baik sebagai anti-mikroba yakni terhadap bakteri, virus, dan
mikroorganisma eukaryotik lainnya (Gong P et al, 2007). Koloid silver secara khusus sangat
menarik karena memiliki sifat yang khas yakni merupakan bahan konduktivitas yang baik,
stabil secara kimiawi, dapat berfungsi sebagai katalis, dan memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Sharma et al, 2009).
Beberapa dekade terakhir perubahan iklim sangat mempengaruhi segala aspek
kehidupan. Perubahan global, peningkatan suhu bumi, hingga terjadinya mutasi mutasi
bakteri, virus dan jasad-jasad renik lainnya yang dahsyat dan lebih bersifat patogen.
Perubahan luar biasa ini, perlu dicarikan alternatif solusinya terutama terhadap
perkembangan jasad-jasad renik yang mengalami mutasi serta diiringi dengan peningkatan
sifat patogenitasnya. Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya, maka
pemanfaatan colloid nano silver sebagai anti bakteri dan anti virus menjadi solusi tepat untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut. Apalagi produk ini berukuran sangat kecil (nano),
sehingga sangat efektif dan kemampuan/daya anti bakterinya jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan material sejenis pada ukuran normal. Selain itu, aplikasi produk ini juga
sangat luas seperti bidang kesehatan, fiber, industri, kosmetik, makanan, tekstil, elektronik,
peternakan, bangunan, pertanian, water treatment dan lain-lain. Keunggulan lainnya adalah
penggunaan mudah (spray, oles, tetes), murah, tanpa residu, bahan baku tidak berbahaya
(organik), aman dan ramah lingkungan (Ermina Miranti, 2007).
Studi terhadap pembuatan nanokomposit nilon/silver sebagai bahan tekstil yang
memiliki sifat anti-bakteri terhadap S. aureus telah dilakukan oleh Agus Haryono et al.
(2009). Nanosilver diperoleh dengan mereduksi silver nitrat menggunakan trisodium triasetat,
dan didapatkan ukuran silver 19 nm dalam bentuk koloid hasil karakterisasi menggunakan
SEM. Nilon direndam pada koloid tersebut selama rentang waktu 20 detik, dan dikeringkan.
Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi serat nilon sebelum
310
dan setelah direndam dengan nanosilver. Untuk uji anti-bakteri dilakukan pada media agar
yang telah diinokulasi dengan S. aureus. Hasil yang didapat setelah dilakukan pencucian
sampel pertama kali, aktivitas anti-bakteri dari komposit telah menurun, hal ini dimungkin
telah terjadinya proses terlepasnya nanosilver karena tidak terikat secara permanen pada serat
nilon (Agus Haryono dkk, 2009).
Untuk studi mengenai sifat antibakteri telah dilakukan oleh Joddy Arya Laksmono et
al. (2010). Proses preparasi koloid nanosilver dilakukan dengan mereduksi AgNO 3 dengan
berbagai pereduksi seperti trisodium nitrat, asam askorbat, dan sodium borohidrat. Proses
preparasi koloid nanosilver menghasilkan diameter partikel tersebar dengan rentang antara 15
50 nm. Koloid nanosilver yang telah dihasilkan kemudian diaplikasikan sebagai bahan
antibakteri untuk tekstil. Beberapa bakteri yang digunakan sebagai uji adalah E. Coli, S.
Aureus, K. Pneumonia, P. Arigosa, dan B. Substillis. Serat nilon diimersikan kedalam koloid
nanosilver. Sebelum dilakukan proses imersi, koloid nanosilver dipreparasi dan dilakukan
modifikasi terlebih dahulu dengan penambahan polisiloksan dan polivinil alkohol. Fungsi
penambahan polisiloksan dan polivinil alkohol adalah sebagai modifikasi kimia terhadap
ikatan nanosilver dengan serat nilon, dengan tujuan bahwa material nanosilver akan lebih
terikat secara kimiawi dengan serat nilon sehingga tidak akan mudah release ke lingkungan
jika dilakukan beberapa kali pencucian.
Sedangkan studi tentang dosis aman penggunaan nanosilver yang telah di uji praklinis
telah dilakukan oleh Asep Handaya Saputra et al. (2011). Proses preparasi koloid nanosilver
dilakukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Hasil uji praklinis toksisitas akut
dilaporkan bahwa Koloid nano silver masuk kategori toksisitas 5 menurut OECD (2001b),
dan mempunyai
toksisitas akut relatif rendah, akan tetapi pada kondisi tertentu, dapat
311
METODOLOGI
Penelitian adalah kualitatif dengan sifat deskriptif dengan mengambil studikasus
kegiatan alih teknologi melalui Pengembangan Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Produk
Nanosilver sebagai Bahan Nano Medisinal yang Memiliki Sifat Antibakteri
Pertama, riset berisikan tinjauan pustaka dengan mengambil makalah nasional
maupun ingternasional, buku, resolusi, hukum dan sebagainya, sebagai sumber. Kemudian
referensi dianalisa agar dapat mengumpulkan latar belakang yang memadai selama periode
pengamatan. Selama masa ini, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan alih teknologi diamati.
Selama waktu penelitian, hubungan diantara anggota internal kelompok penelitian dan
Pusat Inovasi, aksi strategis dari komitenya diamati juga. Tentu saja, penekanan diberikan
pada Pusat Inovasi sebagai lembaga intermediasi alih teknologi.
Setelah periode pengamatan ini, rencana interview dikembangkan, yang terdiri dari
lima pertanyaan kunci berkaitan dengan tujuan utama penelitian ini. Untuk tahapan ini, orang
dengan posisi yang strategis dipilih untuk diwawancarai. Semakin tinggi posisi yang dipilih
semakin informasi yang diinginkan bisa diklasifikasikan, sehingga akses yang tidak dibatasi
terhadap data yang dimaksud adalah relevan.Jadi, terutama manajer dan beberapa orang yang
terlibat dengan proses alih teknologi diwawancarai.
312
Kegiatan alih teknologi melalui kegiatan inkubasi ini bertujuan untuk menghasilkan produk
nanosilver sebagai bahan nano medisinal yang memiliki sifat antibakteri yang diterima pasar.
Sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah sebagai berikut:
313
314
Juni
Agustus
Oktober
Desember
Terlaksananya
rapat
kerja
internal penyusunan rencana
aksi kegiatan.
Tersedinya 25 liter
produk nanosilver.
Terlaksananya
Penyusunan Draft
model bisnis.
Terlaksananya
keikutsertaan dalam
seminar nasional.
Terlaksananya
pengurusan aspek
legal
dan
adminsitrasi sewa
ruang tenant di
inkubator LIPI.
Terlaksananya
Orientasi Pembinaan
Tenant Bulan.
Terlaksananya
Pembinaan
Tenant
Bulan.
Penyusunan
Rancangan Proses
Inkubasi
Usaha
Nanosilver.
Terlaksananya
pasar.
Terlaksananya
Penyusunan Laporan
Akhir Kegiatan.
uji
Terlaksananya FGD
Pembahasan Model
Bisnis dan Uji Pasar.
Untuk kegiatan inkubasi nanosilver ini, tahun 2015 merupakan tahun pertama
dilaksanakannya inkubasi. Tentunya dalam tahun pertama ini berdasarkan tahapan-tahapan
inkubasi seperti yang telah dijelaskan diatas, termasuk dalam kategori inkubasi
pendampingan. Dalam tahun pertamanya ini, porsi kegiatan orientasi dan peralihan dari
kegiatan yang bersifat penelitian ke dunia komersialisasi diharapkan lebih besar. Proses ini
menjadi sangat penting dalam proses adaptasi peralihan dikarenakan pada fase inilah tumbuh
kembang akar komersialisasi hasil litbang mulai terlihat. Tumbuh kembang akar inilah juga
yang menjadi titik kritis terhadap kekuatan kegiatan hasil litbang tersebut dapat memulai
bergerak pada fase komersialisasi. Satu hal yang menjadi ciri dalam studi kasus ini, adalah
bahwa kegiatan komersialisasi hasil litbang nanosilver sedikit demi sedikit telah dilakukan
proses alih teknologi ke tenant.
Dalam hal ini tenant membawa tugas yang tidak ringan, di satu sisi tenant berada
pada fase litbang dan di sisi lainnya tenant harus mulai dapat menentukan langkah-langkah
yang perlu diambil dalam proses komersialisasi hasil litbang. Hal inilah yang menjadi titik
kritis terutama terhadap tumbuh kembang akar, khususnya tenant. Tahap awal mula ini
mengharuskan tenant untuk dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya baik pada fase
alih teknologi dan komersialisasi. Sehingga dalam tahun pertama ini diharapkan proses
pembinaan tenantmendapatkan porsi yang lebih besar. Pembinaan disini juga dapat diartikan
terhadap kemampuan tenant tersebut untuk dapat menyerap informasi yang sebanyakbanyaknya dan dituangkan dalam kertas rencana kerja proses komersialisasi. Tentunya dalam
proses ini diperlukan sebuah manajemen pengetahuan beserta dengan analisisnya dengan
tujuannya adalah tahapan fase
315
Keunggulan
Peneliti
Satuan Kerja
P2 Kimia
Skala
Skala terbatas
Jenis Aplikasi
Alih teknologi
Status HKI
Dalam Kategori
Kata Kunci
Nanosilver, antibakteri.
Secara lebih rinci, penjelasan mengenai aspek produk, operasional, keuangan, organisasi serta
perkembangan pemasaran disajikan pada laporan kemajuan kegiatan inkubasi nanosilver.
Dengan memperhatikan Gambar 3 di atas serta berdasarkan atas panduan inkubasi
di Inkubator Teknologi LIPI, saat ini posisi kegiatan adalah pada kegiatan inkubasi tingkat
pengembangan.
Kegiatan inkubasi produk nanosilver telah mengalami banyak kemajuan diantaranya adalah:
Telah melakukan beberapa publikasi ilmiah pada berbagai jurnal baik nasional maupun
internasional.
Telah berhasil melakukan kerjasama dengan CV. Media Sarana Usaha sebagai peserta
inkubasi (tenant) yang diproyeksikan menjadi perusahaan yang bergerak dalam bidang
produk-produk berbasis nanosilver.
Berdasarkan dari hasil analisis manajemen pengetahuan hingga tahapan ini, tenant
316
level yang sulit, dan tentunya nilai ekonomis dari produk toiletries sangat menjanjikan.
Tahapan berikutnya adalah melakukan analisis manajemen pengetahuan pada fase
komersialisasi terutama pada tahun kedua yang akan melakukan suatu uji pasar dan tentunya
dengan pengurusan perijinan-perijinan yang mendukung untuk uji pasar tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa penerapan manajemen
pengetahuan pada proses alih teknologi dengan menggunakan studi kasus inkubasi teknologi
nanosilver mengindikasikan keefektipannya. Dengan fasilitasi media inkubasi proses
pengalihan teknologi dari pihak penyedia teknologi, dengan memperhatikan proses SECI
(sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi), secara gradual bisa dialihkan kepada
pihak penerima teknologi. Produk contoh nanosilver telah berhasil ditingkatkan skala
produksinya hingga 25 L dari skala laboratorium. Hasil pengujian dilakukan untuk produk
pada skala 25 L dan properties nya sama dengan produk skala laboratorium . Pada mulanya
pihak penerima teknologi terlihat canggung, namun demikian secara perlahan mulai terasa
memberikan manfaat, melalui proses mengkaptur, mendiskusikan (sharing), menyimpan dan
mendistribusikan pengetahuan. Namun demikian, untuk memperoleh manfaat yang maksimal
dari penerapan manajemen pengetahuan pada proses alih teknologi ini diperlukan
kedisiplinan dan keuletan dari para pelaksana dalam mempraktikkannya.
317
DAFTAR PUSTAKA
Afrazeh, A. (2005). Knowledge management (concepts, models, methods and implementation),
Amirkabir University Press, first edition.
Agus Haryono, Joddy Arya Laksmono, Heri Kresnadi, Eni Suryani, M. Nasir, (2009), Nanokomposit
Nilon-Perak Sebagai Serat Antimikroba, Laporan Akhir Penelitian Kegiatan Program Insentif
Bagi Peneliti dan Perekayasa, Sinergi DIKTI LIPI.
Ahmad Z, Pandey R, Sharma S, Khuller GK, (2005), Alginate Nanoparticles as Antituberculosis
Drug Carriers: Formulation Development, Pharmacokinetics and Therapeutic Potential, 48,
171 176.
Cysne, F.P. (2005). Transferencia de tecnologia entre a universidade e a industria. Revista electronica
de Bibl. Ci. Inform. Floranopolis, (20), 54-74, 2o semester.
T.H. , D.W. De Long and M.C. Beers, Successful knowledge management projects, Sloan
Management Review, Winter, pp. 43-57, 1998.
Ermina Miranti, (2007), Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia: Antara Potensi dan Peluang,
Economic Review, No. 209, September, 1 10.
Evans, P.B., & Wurster, T.S. (1997). Strategy and the new economics of information. Harvard
Business Review, 75(5), 71-82.
Gong P, Li H, He X, Wang K, Hu J, Tan W, (2007), Preparation and Antibacterial Activity of
Fe3O4@Ag Nanoparticles, Nanotechnology, 18, 604 611.
Gu H, Ho PL, Tong E, Wang L, Xu B, (2003), Presenting Vancomycin on Nanoparticles to Enhance
Antimicrobial Activities, Nano Lett., 3, 9, 1261 1263.
Hidayat, M dan Laksmono, J.A. (2014) Rancangan Proses Alih Teknologi Ekstrak Jahe Melalui
Wadah Inkubator Bisnis Teknologi, Perteta, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Jeong, Sung Hoon., Yeo, Sang Young., Yi, Sung Chul., (2005), TheEffect of Filler Particle Size on
the Antibacterial Properties of Compounded Polymer/Silver Fibers, J. Mater. Sci., 40, 5407
5411.
Kementerian Riset dab Teknologi, 2013, Lampiran Keputusan Sekretaris Kementerian Riset dan
Teknologi Nomor 24 /SM/Kp/ VI/2013 Tanggal 12 Juni 2013 tentang Buku Pedoman
Inkubasi Bisnis Teknologi.
318
Mahendra, Rai., Yadav, Alka., Gade, Aniket., (2009), Nanoparticles as a New Generation of
Antimicrobials, Biotechnology Advances, 27, 76 83.
Nonaka, I. Tekeuchi, H. (1995) Knowledge Creation Company-Oxford University Press, Oxford, UK.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil
Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha.
Retchkiman-Schabes PS, Canizal G, Becerra-Herrera R, Zorilla C, Liu HB, Ascencio JA, (2006),
Biosynthesis and Characterization of Ti/Ni Bimetallic Nanoparticles, Opt. Mater., 29, 95
99.
Saeedi, M.Y. (2009). A framework for implementing knowledge management in small and medium
firms. Thesis, Islamic Azad University, Science and Research Technology Management.
Sharma, K Virender., Yngard, A Ria., Lin, Yekaterina., (2009), Silver Nanoparticles: Green Synthesis
and Their Antimicrobial Activities, Advances in Colloid and Interface Science, 145, 83 96.
319
P-ALTEK 15
ABSTRAK
Komersialisasi hasil penelitian khususnya di lembaga litbang menjadi suatu keniscayaan.
Banyaknya invensi yang hanya berakhir pada publikasi dan prototipe semakin menguatkan
lembaga litbang sebagai cost center. Salah satu upaya mengubah paradigma tersebut adalah
dengan berupaya melakukan komersialisasi hasil litbang sehingga diharapkan mampu
memberikan dampak ekonomi dan menghidupkan siklus penelitian itu sendiri. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai strategi membawa invensi dari
laboratorium sampai menuju pasar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan studi pustaka dan diskusi dengan analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa dalam strategi komersialisasi, tahapan yang perlu dilakukan adalah
membangun dan menetapkan bahwa riset yang akan dilakukan akan berorientasi pada
kekayaan intelektual, melakukan survei paten, berupaya menciptakan invensi baru, berusaha
mendapatkan perlindungan kekayaan intelektual, mencatat secara lengkap biaya invensi,
melakukan riset bisnis sebelum komersialisasi, serta memutuskan model komersialisasi yang
tepat.
320
PENDAHULUAN
Salah satu pokok permasalahan dari sedikitnya jumlah riset teknologi yang masuk ke
pasar adalah teknologi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna, yaitu
industri, pemerintah dan masyarakat. Hasil riset yang secara keilmuan tinggi belum
menjamin industri dan pasar menerimanya dengan baik. Beberapa faktor penyebab
diantaranya adalah keterbatasan pendanaan dalam pengembangan prototipe atau pilot project,
keterbatasan fasilitas kemudahan untuk uji coba lapangan hasil litbang, kesulitan untuk
mendapatkan mitra bisnis dan fasilitas pendanaan bagi komersialisasi hasil litbang, dan
kesulitan dalam mendapatkan akses pasar bagi industri-industri baru hasil inovasi
(Sutijastoto, 2015).
Selain itu, sinergi riset baik antarpelaku riset dengan pengguna atau pebisnis, maupun
dengan pemerintah sebagai regulator di Indonesia masih lemah. Sinergi antar pelaku riset
diperlukan karena terdapat 622 satuan kerja riset di Indonesia, yaitu 114 di antaranya terdapat
di perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 91 lembaga penelitian nonkementerian, 76 lembaga penelitian kementerian, 24 lembaga penelitian daerah, 8 lembaga
penelitian BUMN, dan 8 lembaga penelitian swasta. Masing-masing satuan kerja
melaksanakan kegiatan dengan sedikit sekali melakukan koordinasi sehingga duplikasi
penelitian terjadi. Belum ada instrumen untuk memantau jenis riset yang dikembangkan
setiap lembaga dan mekanisme koordinasi serta komunikasi di antara lembaga riset yang
tersebar di Indonesia. Sinergi antara pelaku riset dengan pengguna juga masih dihadapkan
pada masalah klasik, yaitu komunikasi yang belum terbangun dengan baik, sehingga apa
yang dihasilkan periset bukan yang dibutuhkan pengguna. Sebailknya, apa yang dibutuhkan
justru tidak diriset (Handojo, 2013).
Berdasarkan beberapa permasalahan mengenai komersialisasi hasil penelitian dan
pengembangan tersebut, maka perlu adanya beberapa strategi untuk membawa suatu invensi
(hasil riset) menuju pasar tentunya dengan berusaha mengatasi masalah-masalah yang selama
ini terjadi yang menghambat komersialisasi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memberikan informasi mengenai strategi membawa invensi dari laboratorium sampai menuju
pasar sehingga diharapkan hasil penelitian yang begitu banyak tidak hanya berhenti di meja
laboratorium ataupun publikasi ilmiah, akan tetapi diharapkan lebih jauh dapat dimanfaatkan
oleh industri dan masyarakat.
321
322
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan
diskusi dengan analisis data secara deskriptif. Melalui metode ini diharapkan dapat
memformulasikan beberapa strategi komersialisasi yang
diaplikasikan oleh lembaga litbang dalam upaya membawa invensinya menuju pasar.
hanya
mendapatkan
publikasi
ilmiah
atau
kepuasan
peneliti
atas
ketidaktahuannya menjadi penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada asas manfaat
dan berorientasi pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sebelum penelitian dilakukan
sebaiknya harus menentukan topik penelitian yang menjadi isu penting dan strategis serta
bermanfaat dan layak dipasarkan. Selain itu, penting dilakukan analisis kebaruan dan langkah
inventifnya sehingga diharapkan penelitian yang dilakukan bukan merupakan duplikasi yang
sudah ada, serta kemungkinan besar memiliki peluang untuk mendapatkan perlindungan
HKI-nya dalam hal ini paten.
Oleh karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan memiliki tingkatan yang
berbeda, dan tingkatan ini menentukan kesiapan untuk sejauh mana suatu penelitian dapat
dipindahkan menuju komersialisasi atau lebih dikenal dengan tingkat kesiapan inovasi.
Tingkat kesiapan inovasi sangat bermanfaat dan dapat menjadi acuan bagi para peneliti dan
juga calon pengguna. Bagi peneliti, tingkatan ini membantu dalam mengidentifikasi level
penelitian dan pengembangan yang dilakukan, sedangkan bagi calon pengguna dapat
membantu dalam mengetahui kelayakan hasil penelitian apakah sudah dapat dimanfaatkan
atau dikomersialisasikan.
323
dalam bentuk observasi sehingga belum bisa ditarik kesimpulan akan estimasi keuntungan
yang diperoleh dari hasil penelitian atau teknologi tersebut.
324
325
penelitian/teknologi
resmi
dipasarkan.
Strategi-strategi
pemasaran
mulai
Di era kemajuan teknologi saat ini, penelitian yang berorientasi paten merupakan
kunci untuk memindahkan suatu invensi menjadi komersial, karena dalam paten mengandung
aspek perlindungan dan status kepemilikan suatu invensi yang menjadi dasar proses
komersialisasi dapat berjalan. Komersialisasi yang umum dilakukan adalah melalui alih
teknologi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005, definisi alih teknologi
dikemukakan sebagai berikut:
Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam
lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau
sebaliknya.
Alih teknologi diperlukan untuk memperluas manfaat dari teknologi, membantu pengguna
memperoleh pengetahuan tentang teknologi tersebut dan dapat mengembangkannya.
Ada tiga macam format hukum dasar yang ditempuh untuk melaksanakan alih
teknologi yaitu :
1. Diseminasi atau pengalihan teknologi
2. Lisensi
3. Know how agreement
326
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat secara garis besar tahapan strategi
komersialisasi sebagai beikut :
Melakukan Riset
Berorentasi HKI
Analisis
Patentabilitas/Survei Paten
Melakukan Valuasi
Mendaftarkan HKI
Invensi Baru
Riset Bisnis
Model Komersialisasi :
Lisensi, diseminasi, know
how agreement
Komersialisas
i
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, strategi komersialisasi yang perlu dilakukan adalah
membangun dan menetapkan riset yang akan dilakukan berorientasi pada kekayaan
intelektual, melakukan survei paten, berupaya menciptakan invensi baru, berusaha
mendapatkan perlindungan kekayaan intelektual, mencatat secara lengkap biaya invensi,
melakukan riset bisnis sebelum komersialisasi, dan memutuskan model komersialisasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, Purno Tri Aji dan Ragil Yoga Edi. 2012. Komersialisasi Teknologi Dalam Upaya
Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia. Seminar Nasional UNS.
Aiman, Syahrul, Erman Aminullah and Manaek Simamora. 2007. Commercialization of Public R&D
in Indonesia. National Workshop on Sub-national Innovation Systems and Technology
Capacity Building Policies to Enhance Competitiveness of SMEs. Jakarta: April 3-4, 2007.
Aoyama, Mikio. 2012. Co-Evolutionary Service-Oriented Model of Technology Transfer in Software
Engineering. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Panduan Pengukuran Tingkat
KesiapanTeknologi: TEKNO-METER. Jakarta: Gerbang Indah Nusantara.
Darmansyah, Aris. 2010. Penyusunan Produk-Produk BPPT Berdasarkan TRL. Jakarta: BPPT
Enjiniring.
Handojo, Andrianto. Republika Online 21 Agustus 2013.
Sutijastoto. 2015. www.esdm.go.id.
www.wipo.int/Distance Learning Module.
327
P-ALTEK 16
ABSTRAK
Meningkatkan industri peralatan kesehatan dalam negeri merupakan hal yang mendesak,
mengingat peralatan kesehatan yang beredar di Indonesia saat inididominasi oleh barang
impor dengan jumlah yang sangat signifikan yaitu sebesar 95,13%, menurut data izin edar
Alkes Kementerian Kesehatan per 31 Desember 2014. Peran riset untuk meningkatkan
kemampuan industri/usaha nasional menjadi faktor penting dalam meningkatkan daya saing
mereka, terutama khususnya di bidang teknologi. Penguasaan teknologi itu sendiri melalui
langkah panjang yang dimulai dari sains dasar, terapan,teknologi dan diakhiri dengan inovasi,
yaitu tahap penyesuaianuntuk memenuhi persyaratan dari pengguna atau pasar (OECD
definition). Beberapa intitusi penelitian (LIPI, BPPT serta Perguruan Tinggi antara lain ITB,
UGM, UI, ITS, UNAIR) telah menghasilkan prototipe peralatan kesehatan yang belum
termanfaatkan untuk menjadi produk industri, karena perlunya tahapan alih teknologi melalui
salah satunya penjaminan mutu. Peran jaminan mutu melalui mekanisme pengujian,
merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi persyaratan pengguna ditinjau dari
aspek keselamatan dan manfaat dari alat itu sendiri. Beberapa standar antara lain IEC 60601
beserta turunannya untuk pemenuhan jaminan mutu peralatan kesehatan khususnya berbasis
kelistrikan dibahas dalam tulisan ini termasuk peraturan yang berlaku baik secara nasional
maupun internasional termasuk infrastruktur yang harus dipersiapkan.
Kata Kunci: alih teknologi, jaminan mutu, pengujian, standar keselamatan, peralatan
kesehatan kelistrikan
328
329
PENDAHULUAN
Kemandirian
ekonomi
sebagai
salah
satu
program
Pemerintah,
perlu
diimplementasikan dengan cara mengurangi produk impor. Sebagai salah satu produk impor
yang menguasai pangsa pasar Indonesia, yaitu peralatan kesehatan, dengan nilai sebesar
95,13% (Data ijin Edar Alkes, Kementerian Kesehatan, 31 Desember 2014), dengan nilai 750
jt USD (th 2014, menurut data Asosiasi Pengusaha Alat Kesehatan Indonesia, ASPAKI),
perlu mendapat perhatian khusus untuk dikurangi dengan pembelian produk buatan dalam
negeri. Terlebih lagi, pangsa pasar produk peralatan kesehatan akan makin meningkat,
dengan berjalannya kebijakan Pemerintah dalam pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia, Program BPJS, yang diproyeksikan pada tahun 2018 adalah sebesar 1222 jt USD
[1]. Kemandirian ini hanya bisa dicapai melalui Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi.
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi telah terbukti dalam dua dekade terakhir ini
(OECD, 2012) merupakan tulangpunggung dalam pembangunan ekonomi negara-negara
maju dan berkembang, yang direalisasikan dalam langkah-langkah penelitian. Negara-negara
maju telah mengakui bahwa inovasi sebagai pengungkit pembangunan, tidak hanya sematamata berasal dari produk teknologi tinggi, tetapi dari kemampuan inovasi yang dibangun
sejak awal melalui penelitian dalam proses pengembangan agar memiliki kemampuan
pembelajaran untuk mencapai target yang diinginkan. Kemampuan inovasi ini disesuaikan
dengan kondisi dan permasalahan lokal yang ada, yang tidak semata-mata mengadopsi
teknologi yang telah tersedia. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia telah berusaha
meningkatkan peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penelitian, pengembangan dan
penerapan dalam sistem Nasional, dengan menetapkan UU No. 18 Th. 2002 yang bertujuan
salah satunyaadalah memperkuat daya dukung ilmu, pengetahuan dan teknologi bagi
keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan
kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Di
antara pasal-pasal dalam UU tersebut, tertulis bahwa lembaga litbang bertanggung jawab
mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi
pendayagunaannya (ps.8 ayat 2) dan Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib
mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau
pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan (ps 16 ayat 1).
Dari UU 18 ini jelaslah bahwa penelitian sudah harus dimulai dengan menggali potensi
pendayagunaannya dan wajib dialih teknologikan ke badan usaha atau masyarakat. Pada
hakikatnya hasil penelitian yang dialihteknologikan, diharapkan menjadi suatu produk yang
dapat diindustrialisasikan, dipasarkan dan diserap oleh pengguna baik dalam negeri maupun
luar negeri, yang mampu berdaya saing. Untuk produk peralatan kesehatan, tahapan dari hasil
penelitian, sampai ke produk yang dapat digunakan, perlu melalui tahap-tahap pengendalian
yang ditujukan bagi keselamatan dan kesehatan pengguna, baik pasien maupun paramedis
yang berhadapan dengan alat kesehatan (alkes) itu sendiri. Tahapan yang perlu dilakukan
dalam pengembangan, difusi, dan penggunaan teknologi medis melalui proses sedikitnya
memerlukan tujuh langkah [2], yaitu:
1.
2.
3.
Evaluasi keamanan dan kemanfaatan dari teknologi baru melalui cara-cara seperti uji
klinis terkontrol;
4.
5.
Difusi teknologi baru, dimulai dengan uji coba dan demonstrasi dan berlanjut melalui
proses peningkatan penerimaan dalam praktek medis;
6.
Pendidikan masyarakat profesional dan awam untuk penggunaan teknologi baru; dan
7.
Aplikasi yang terampil dan seimbang dari perkembangan baru bagi penduduk.
330
2.
3.
Dalam Gambar 1, ditunjukkan skema besar kebijakan dari Pemerintah cq. Kementerian
Kesehatan terkait dengan pengendalian penggunaan alkes [3].
Produk sarana
Pre-market
control
Menjamin keamanan, mutu
dan efektivitas alkes
Regulasi
Post-market
control
Need assessment
HTA
Procurement
Health Technology
Management
Usage
Usage
Maintenance
331
belanja alkes secara nasional, menurut Titah Sihdjati, Ketua Umum Gakeslab Indonesia),
mendorong industri nasional untuk berkiprah dalam memproduksi alkes. Usaha Kementerian
Kesehatan ini dirumuskan dalam kebijakan berupa Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Nomor 86 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Industri Alat Kesehatan.
Dalam ps. 3 PMK ini disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha,
lembaga penelitian dan masyarakat harus berperan aktif dalam pelaksanaan Peta Jalan
Pengembangan Industri Alat Kesehatan untuk meningkatkan pertumbuhan industri alkes
dalam negeri. Dalam hal ini terlihat bahwa usaha untuk pengembangan alkes dalam negeri
memerlukan upaya bersama dari berbagai sektor. Peran penelitian sebagai sumber teknologi
yang mensuplai kebutuhan industri/usaha dalam memproduksi alkes tersebut perlu turut
berperan aktif.
Pada saat ini kegiatan penelitian di Indonesia terbesar dilakukan di Perguruan Tinggi
baik Pemerintah maupun swasta dan Lembaga Penelitian di bawah koordinasi Kementerian
Ristek dan Dikti serta Balitbang di masing-masing kementerian. Di antaranya adalah skema
kegiatan yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun
2002, berupa sistem insentif bersaing, yaitu program Riset Unggulan Strategis Nasional
(RUSNAS) yang salah satu tujuannya agar hasil riset di bidang teknologi produk dan proses
produksi yang dapat diadopsi oleh pengusaha yang sejauh mungkin menggunakan state of the
art technologies.
Salah satu program RUSNAS yang terkait dengan alkes yang dimulai tahun 2013
dengan melibatkan beberapa universitas ialah dalam bentuk konsorsium 5 Perguruan Tinggi
(PT), yaitu: ITB, UGM, ITS, UI dan UNPAD. Kelima PT ini memfokuskan penelitiannya
untuk alkes di bidang penyakit jantung & pembuluh darah sebagai salah satu penyebab
kematian terbesar di Indonesia. Hasil penelitian dari kelima PT ini yaitu:
1.
2.
3.
PengembanganAlatMonitorElektroensefalogram(EEG)IntraOperatifBedahSarafdan
pelacak aliran pelebaran pembuluh darah (aneurisma) otak untuk deteksi dini stroke,
dikembangkan oleh UNPAD(dimulai th. 2015)
332
4.
Developmentof3DTrackingsystemforCathetermovement
using
3D
ultrasound,
hasil riset ini masuk dalam tahap pengujian keselamatan berbasis IEC 60601 di P2SMTP LIPI, sebelum masuk kedalam uji klinis untuk jaminan mutu. Sedangkan UGM membuat
tahapan riset seperti ditunjukkan dalam
Gambar 3[5]. IEC 60601, yang merupakan standar keselamatan alkes elektromedik,
sampai saat ini masih menjadi acuan utama dalam penilaian kesesuaian terhadap produk alkes
elektromedik yang diakui secara internasional.
333
334
335
diambil suatu nilai ambang yang ditetapkan sebagai nilai maksimum yang diperbolehkan
untuk terjadi, akan tetapi masih dapat menjamin keselamatan pengguna. Sejalan dengan
perkembangan teknologi, nilai ambang tersebut dapat kemudian diturunkan seiring dengan
semakin kritisnya teknologi medik menyikapi keberadaan parameter resiko tersebut dan
kemampuan teknologi rekayasa untuk mewujudkan peralatan elektromedik dengan parameter
resiko yang semakin kecil.
Standar seri IEC 60601 secara terus-menerus diperbaiki melalui koreksi minor
(corrigenda)
ataupun
yang membentuk
suatu
consolidated version, atau disebut juga dengan standar edisi terbarukan. Standar seri ini, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu (1) standar umum, (2) standar
khusus dan (3) standar kolateral. Standar umum berisikan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh semua jenis perlatan kesehatan elektromedik; kecuali bila satu atau lebih
persyaratan tersebut diatur lebih lanjut oleh persyaratan dalam standar khusus. Karena standar
khusus disusun secara spesifik untuk suatu jenis peralatan elektromedik tertentu, dengan
demikian persyaratan dalam suatu standar khusus bisa sangat berbeda dengan persyaratan
dalam standar khusus yang lainnya, bergantung pada karakteristik spesifik jenis peralatan
kesehatan elektromedik terkait. Standar kolateral, yang mulai diterbitkan setelah standar
umum edisi kedua terbit, memberikan persyaratan yang spesifik terkait dengan aspek
penilaian kesesuaian tertentu.
Dari suatu sudut pandang, pengembangan standar (baik umum, khusus, dan kolateral)
merupakan imbas dari dua faktor penting yaitu (1) berubahnya persepsi stakeholders terkait
dengan standardisasi dan penilaian kesesuaian, serta (2) perkembangan teknologi peralatan
kesehatan elektromedik itu sendiri. Dari sudut pandang yang lain, keberadaan standar dapat
menjadi arahan dalam pengembangan teknologi peralatan kesehatan elektromedik. Data
dalam Error! Reference source not found. menyajikan pola pengembangan standar IEC seri
60601 dalam kerangka waktu.
Dari Error! Reference source not found. dapat terlihat bahwa penerbitan standar
kolateral merupakan imbas dari diterbitkannya standar umum edisi ke-2. Penerbitan standar
kolateral yang masing-masing melingkupi aspek kesesuaian tertentu merupakan akibat dari
cara pandang yang berubah bahwa beberapa aspek tertentu dipandang perlu diatur dengan
detil lebih dari yang telah diatur dalam standar umum. Efek lain dari penerbitan standar
umum edisi ke-2 dan ke-3 adalah bahwa standar khusus yang sebelumnya disusun
berdasarkan standar umum edisi terdahulu perlu disesuaikan dengan standar umum yang
terkinikan. Profil penerbitan standar pada Error! Reference source not found. juga
memperlihatkan bahwa standar khusus baru diterbitkan dengan tujuan untuk melingkupi
produk peralatan kesehatan baru hasil perkembangan teknologi. Dari fakta tersebut dapat
dipahami bahwa pengembangan standar dilakukan seiring dengan berubahnya persepsi akan
standardisasi dan penilaian kesesuaian serta penrkembangan teknologi peralatan kesehatan
elektromedik.
Persyaratan dalam standar juga dapat menjadi acuan dalam pengembangan teknologi
peralatan kesehatan elektromedik. Dalam kasus Indonesia yang masih dalam kondisi
membangun lingkungan riset, rekayasa, dan industri peralatan kesehatan elektromedik yang
kuat, persyaratan dalam standar IEC seri 60601 serta standar lainnya dapat digunakan sebagai
basis acuan desain. Sebagai contoh, persyaratan tentang tata letak sirkuit dan komponen
elektrik lainnya serta persyaratan kondisi fisik dan mekanik peralatan dapat menjadi acuan
dalam desain peralatan yang memiliki kinerja peralatan yang berkesesuaian. Dalam desain
tingkat lanjut, persyaratan kinerja peralatan juga dapat menjadi acuan bilamana peningkatan
dan perbaikan peralatan dibutuhkan. Persyaratan yang tercantum dalam standar bila diikuti
secara konsisten dapat menurunkan kemungkinan kegagalan desain yang berimplikasi pada
biaya riset yang meningkat.
336
337
1980
1990
2000
2010
IEC 60601-1
IEC 60601-1-1
IEC 60601-1-2
IEC 60601-1-3
IEC 60601-1-4
IEC 60601-1-6
IEC 60601-1-8
IEC 60601-1-9
IEC 60601-1-10
IEC 60601-1-11
IEC 60601-1-12
1980
withdrawn
IEC 60601-2-1
IEC 60601-2-2
IEC 60601-2-3
IEC 60601-2-4
IEC 60601-2-5
IEC 60601-2-6
IEC 60601-2-7
IEC 60601-2-8
IEC 60601-2-9
IEC 60601-2-10
IEC 60601-2-11
IEC 60601-2-12
IEC 60601-2-13
IEC 60601-2-14
IEC 60601-2-15
IEC 60601-2-16
IEC 60601-2-17
IEC 60601-2-18
IEC 60601-2-19
IEC 60601-2-20
IEC 60601-2-21
IEC 60601-2-22
IEC 60601-2-23
IEC 60601-2-24
IEC 60601-2-25
IEC 60601-2-26
IEC 60601-2-27
IEC 60601-2-28
IEC 60601-2-29
IEC 60601-2-30
replaced
withdrawn
replaced
replaced
withdrawn
withdrawn
1990
IEC 60601-2-31
IEC 60601-2-32
IEC 60601-2-33
IEC 60601-2-34
IEC 60601-2-35
IEC 60601-2-36
IEC 60601-2-37
IEC 60601-2-38
IEC 60601-2-39
IEC 60601-2-40
IEC 60601-2-41
IEC 60601-2-43
IEC 60601-2-44
IEC 60601-2-45
IEC 60601-2-46
IEC 60601-2-47
IEC 60601-2-49
IEC 60601-2-50
IEC 60601-2-51
IEC 60601-2-52
IEC 60601-2-54
IEC 60601-2-57
IEC 60601-2-62
IEC 60601-2-63
IEC 60601-2-64
IEC 60601-2-65
IEC 60601-2-66
IEC 60601-2-68
2000
2010
withdrawn
withdrawn
withdrawn
withdrawn
338
43
169
40
Laboratorium Uji
Laboratorium Kalibrasi
176
Lembaga Inspeksi
909
Lembaga Sertifikasi
Laboratorium Medik
Gambar 6 memperlihatkan kondisi 400 dari 909 laboratorium uji di Indonesia dengan
berbagai lingkup pengujiannya. Lingkup pengujian terbanyak masih dari komoditas perairan,
sedangkan untuk lingkup kelistrikan masih sedikit dan yang terkait dengan komoditas alkes
yang berbasis kelistrikan, baru satu laboratorium yang terakreditasi.
Kesiapan infrastruktur dalam penerapan standar terkait dengan penilaian kesesuaian
sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional. Infrastruktur yang berupa laboratorium uji, laboratorium kalibrasi dan lembaga
sertifikasi dijamin kompetensinya sebagai pelaksana penilaian kesesuaian melalui proses
akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
339
Komoditas
Komoditas
Jumlah
Jumlah
Teknologi; melalui riset dan SDM yang kompeten serta iklim riset yang kondusif.
2.
3.
Legal; dalam bentuk dukungan regulasi baik terkait kebijakan yang dapat menstimulasi
industri nasional termasuk pasar dan penggunanya, maupun insentif fiskal yang menjadi
awal tumbuhnya usaha.
Sinergisitas dan integrasi lintas sektoral antar-stakeholders merupakan hal yang mutlak
diperlukan dalam menjamin ketersediaan alkes elektromedik dalam negeri yang bermutu.
340
DAFTAR PUSTAKA
[1]
http://www.morulaa.com/medical-device/market-overview-indonesia-medical-devicemarket/#post_content. 2015.
[2]
Draft
www.bsn.go.id.
Strategi
Standardisasi
Nasional
2015-2025.
Diperoleh
dari
341
P-ALTEK 17
ABSTRAK
Kemudahan penggunaan sistem manajemen mutu (SMM) dalam sebuah organisasi mutlak
diperlukan. Penggunaan pedoman mutu dalam bentuk kertas (hardcopy) masih banyak
digunakan, dan dapat dipermudah dengan menggunakan SMM online. Makalah ini membahas
tentang desain SMM online, yang penelitiannya dilakukan dengan mengunakan metoda
campuran (mix methods) dengan penyebaran kuisioner dan wawancara kepada responden.
Hasil penelitiannya adalah bahwa kemudahan pengguna dalam mengakses informasi menjadi
jawaban yang dominan dengan ketentuan yaitu tata letak informasi yang terdapat sebuah situs
dapat membantu pengguna dalam mendapatkan informasi yang diinginkan, khususnya dalam
SMM online. Desain ini menekankan pada pengelolaan tata letak menu, informasi, kolom
tanya jawab, kontak dan lainnya dalam SMM. Kemudahan lainnya yaitu sivitas dapat
mengakses SMM melalui navigasi situs yang dapat menuntun kebutuhan pengguna dalam
menjalankan SMM di organisasinya. Konten SMM yang informatif dan komunikatif akan
menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diharapkan. Tampilan yang lugas
dan mudah untuk dipahami (user friendly) menjadi nilai tambah dalam sebuah situs. Web
SMM online untuk sivitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang dilakukan
dalam taraf penelitian. Selanjutnya diupayakan agar dokumen SMM dapat diunggah di intra
LIPI dan penerapannya disesuaikan dengan kondisi, tugas dan fungsi satuan kerja masingmasing. Sisi lainnya dengan terpasangnya infrastruktur yang stabil merupakan salah satu
bagian yang penting dalam SMM online, tetapi tidak dibahas dalam tulisan ini.
342
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi khususnya di bidang teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), memacu semua organisasi untuk menggunakan jasa TIK sebagai
kemudahan dalam berkomunikasi dengan semua orang. Organisasi yang menerapkan
TIK secara optimal, memudahkan semua kegiatan berjalan dengan baik, baik yang
bersifat internal maupun eksternal.
Pengelolaan manajemen suatu organisasi selalu menarik untuk dibahas.
Organisasi yang telah menerapkan standar manajemen berbasis ISO 9001 dan telah
diakui keberadaannya dengan diterbitkannya sertifikat dengan ruang lingkup tertentu,
sesuaikan dengan kebutuhan organisasi tersebut. Penerapan ISO 9001 memastikan
mutu organisasi selalu terukur dan memberikan informasi bagi manajemen puncak
bahwa proses organisasi berjalan dengan baik sesuai dengan yang didefinisikan
(Priede, 2012).
343
dengan layanan dapat membaca pedoman mutu organisasinya di mana saja, dengan
penggunaan SMM online. Tentunya melibatkan orang-orang dengan kompetensi TIK
sebagai sarana pengelola khusus yang berhubungan dengan TIK.
Kemudahan pengguna dalam mengakses sebuah situs yang berhubungan
dengan SMM menjadi perhatian dalam tulisan ini. Beberapa reponden mengingkan
kemudahan navigasi dan kelancaran sistem yang akan dibangun. Tampilan akan
mempermudah pengguna untuk memperlancar kebutuhan informasi, dan jaringan
(perangkat
keras)
sebagai
infrastruktur
yang
stabil
akanmempermudah
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah meningkatkan efektivitas SMM dengan media
online, di mana salah satu bagian dari proses penelitian tersebut adalah
mengumpulkan data untuk referensi dalam pembuatan desain tata letak menu dalam
SMM online yang akan dikembangkan. Pengelolaan tata letak menu, informasi,
kolom tanya jawab, kontak dan lainnya dalam SMM yang mempermudah penguna
dalam mengkases informasi. Kemudahan menjalankan SMM melalui web SMM
online mejadi bahasan utama dalam tulisan ini. Membuat tampilan yang komunikatif
akan menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diharapkan.
Sistem Manajemen Mutu (SMM)
Pemahaman sistem manajemen mutu di ISO 9000:2000 menurut Sugian
(2006) adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu organisasi berkenaan
dengan mutu. Menurut Gaspersz, SMM hasil revisi ISO 9001:2008 menetapkan
persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen
mutu, dan menjamin organisasi tersebut akan memberikan produk (barang/jasa) untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan di organisasi tersebut. (Gaspersz, 2002).
Fungsi manajemen adalah sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengadaan
dan pembinaan pekerja, pelaksanaan dan pengawasan (Simanjuntak, 2011). Dengan
pemahaman ini fungsi manajemen menjadi kompleks dan banyak unsur yang terlibat.
344
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan dua pendekatan metoda, yaitu kuantitatif dan
kualitatif, atau yang disebut mix methods. Pendekatan penelitian ini melibatkan
asumsi-asumsi filosofis, aplikasi serta pencampuran (mixing) dalam satu metoda
penelitian (Sheperis et al., 2010). Pendekatan ini lebih kompleks dari sekadar
mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data; tetapi juga melibatkan fungsi dari
dua pendekatan penelitian tersebut secara kolektif, sehingga kekuatan penelitian ini
345
Prosedur Penelitian
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian ditunjukkan di gambar 1, dengan
penjelasan sebagai berikut:
Pembuatan kuisioner/
wawancara kebutuhan
SMM online
Kebutuhan situs
SMM/peta situs
1
3
Desain tataletak/
peta situs
Pengumpulan
bahan dan data
web
Desain teknis
pengkodean dan
pengembangan situs
Tampilan web
yang informatif
Umpan Balik
Desain tataletak
SMM di Web
di
LIPI
yang
telah
mendapatkan
sertifikat
ISO
9001:2008.
346
Kemudahan
pengoperasian
Tampilan
Web desain
Jaringan Stabil
Konten
347
fenomena
yang
dibahas.Sedangkan,
pengumpulan
data
kualitatif
348
dengan melakukan survei wawancara kepada para responden untuk memperoleh hasil
umum atas pelaksanaan SMM di satker responden, hasilnya dikuantisasi dari seluruh
responden; kemudian dilanjutkan dengan metode kualitatif melalui FGD terlebih
dahulu untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai atas hasil survei.
Pengumpulan data kuantitatif telah dilaksanakan bulan Maret dan April 2015
dengan mendatangi para responden, sedangkan data kualitatif didapatkan melalui
FGD yang dilaksanakan 16 April 2015 di Jakarta.
349
24%
Setuju
Setuju Dengan Syarat
76%
14 satuan kerja di LIPI yang telah tersertifikasi SNI ISO 9001:2008 menjawab bahwa
setuju menggunakan metode paperless, dengan pengelolaan tergabung dalam intra
LIPI dan hanya 4 responden yang menyatakan pengelolaan web SMM berdiri sendiri
di satker mereka/terpisah dari Intra LIPI yang ada.
Sedangkan syarat-syarat yang dikemukakan terkait paperless dapat dilihat pada tabel
1:
Keterangan
Menarik pandangan mata, tidak kaku, sederhana, ditambahkan
identitas satker sesuai dengan kultur, contoh: seperti KR Bedugul
bertema Bali.
Konten
Navigasi
Jaringan
350
Pembahasan
Hasil
penelitian
menunjukan
bahwa
76%
responden
menginginkan
pengelolaan web SMM dikelola dan digabungkan ke intra LIPI. Data ini sangat
beralasan karena tidak setiap Satuan kerja mempunyai penanggung jawab Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) sendiri. Alasan lainnya karena adanya tugas dan
fungsi dari satuan kerja yang telah menggunakan intra LIPI sebagai area kerja yang
resmi dan fungsi utama intra LIPI dalam menyebarkan informasi terkait keperluan
LIPI telah diakui oleh para sivitas LIPI.
Masalah kualitas tampilan maupun varialbel situs web ditangani dari
perspektif 'suara pelanggan'. Langkah ini diadopsi sebagai kerangka kerja untuk
mengidentifikasi kualitas situs web yang diminta oleh pengguna (Barnes, 2000).
Adapun syarat tambahan yang dikemukakan oleh responden selain penyebaran
kuisioner, adalah dengan wawancara. Responden menyatakan bahwa faktor dominan
yang dikemukakan tentang syarat tambahan yaitu pengelolaan perangkat keras
(server) diserahkan pada LIPI Pusat selaku pemegang tanggung jawab jaringan
komputer dan internet dan sejalan dengan intra LIPI. Faktor yang dikemukakan oleh
reponden adalah terkait substansi dari SMM yang akan dibuat menjadi online.
Substansi yang dimaksud adalah SMM yang telah dibuat dapata diintegrasikan ke
dalam berkas elektronik, guna memudahkan sivitas dalam menjalankan SMM di
satkernnya masing-masing.
Kedepannnya dengan berdasarkan hasil dari peneltian ini dan manfaat yang
dirasakan
dan
kepercayaan
untuk
memprediksi
dan
menjelaskan
perilaku
351
SMM, termasuk di 18 satuan-satuan kerja di LIPI yang telah tersertifikasi SNI ISO
9001:2008.
Keberadaan SMM online atau SMM yang dibuat dalam bentuk elektronik
yang digabungkan dengan intra LIPI diharapkan dapat melingkupi satuan kerja yang
memang membutuhkan sarana tersebut sebagai pembelajaran tahap awal. Kebutuhan
SMM di setiap satuan kerja/organisasi berbeda-beda tergantung dari Tugas dan
Fungsi dari (TUSI) satker dan ruang lingkup yang menjadi penekanan dalam SMM di
organisasi tersebut. Tahap awal dari pembuatan web SMM online adalah menerapkan
SMM ke dalam bentuk elektronik. Dari hipotesis awal dapat dilihat bahwa data hasil
dari wawancara sejalan dengan kebutuhan saat ini.
Hasil penelitian tahap pengembangan desain ini adalah bahwa kemudahan
pengguna dalam mengakses informasi menjadi jawaban yang dominan dengan
ketentuan yaitu tata letak informasi yang terdapat di situs SMM online dapat
membantu pengguna dalam mendapatkan informasi yang diinginkan. Desain SMM
online menekankan pada pengelolaan tata letak menu, informasi, kolom tanya jawab,
kontak dan lainnya dalam SMM. Kemudahan lainnya yang diharapkan responden
adalah dapat mengakses SMM melalui navigasi situs yang dapat menuntun kebutuhan
pengguna dalam menjalankan SMM di organisasinya. Konten SMM yang informatif
dan komunikatif akan menuntun pengguna dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
diharapkan. Tampilan yang lugas dan mudah untuk dipahami (user friendly). Sisi
lainnya dengan terpasangnya infrastruktur yang stabil merupakan salah satu bagian
yang penting dalam SMM online, tetapi tidak dibahas dalam makalah ini.
Pengembangan Selanjutnya
Pengembangan selanjutnya yaitu dengan memperluas requirement/kebutuhan
untuk SMM online dengan beberapa fitur tambahan yang nantinya diperlukan dalam
panduan pembuatan SMM online, seperti yang terlihat dalam gambar 4.
352
Kemudahan
pengoperasian
Efisiensi
Tampilan
Web desain
Jaringan Stabil
Keamanan data
Persepsi
pengguna
Bantuan Teknis
diperlukan.
353
DAFTAR PUSTAKA
Barnes. Stuart and Vidgen. Richard. 2000. WebQual: An Exploration of Website Quality.
ECIS 2000 Proceedings. Paper 74
Bermes, Barbara. 2015, Lean Website: Because web performance simply matter, Published
Site point.
Domnguez, Silvia.Hollstein, Betina. 2014.Mixed Methods Social Networks Research:Design
and Applications. Cambridge University Press, New York.
Ellahi. A. et al. 2013. Key quality factors affecting users perception of social networking
website.Journal of Retailing and Consumer Services 20 (2013) 120129.
Gaspersz, Vincent. 2002. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement.Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Liao C. et al. 2006. The Roles of Habit and Web Site Quality in e-Commerce. International
Journal of Information Management 26 (2006) 469483
Priede, Janis. 2012. Implementation of Quality Management System ISO 9001 in the World
and its Strategic Necessity. Social and Behavioral Sciences 58 (2012): 1466-1475
Rochaety, Eti. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta
Sheperis et al. 2010.Counselling Research Quantitative, Qualitative, And Mixed
Methods.Pearson Education, Inc
Simanjuntak. P.J.2011. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Sugian. O. Syahu. 2006. Kamus Manajemen (Mutu). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
354
P-ALTEK 18
ABSTRAK
Jumlah usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia mencapai sekitar 56,5 juta usaha
dalam berbagai sektor, dan 99,8% nya adalah usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). UMKM berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 97%,
sedangkan kontribusi UMKM bersama koperasi terhadap pendapatan domestik broto
(PDB) adalah sebesar 56%. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM memliki potensi dan
peluang sangat besar untuk diberdayakan dan ditumbuhkembangkan. Sementara itu
dalam mempertahankan kelangsungan kegiatan UMKM di tengah persaingan bisnis
yang cukup ketat, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
akan membutuhkan manajemen strategi pemasaran yang tepat untuk mencapai tujuan
usahanya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi pemasaran UMKM
berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Objek kajian ini adalah industri
olahan hasil laut di kawasan Gresik dan Lamongan yang belum menerapkan
manajemen strategi pemasaran yang tepat dalam mengembangkan usahanya. Kajian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan
menjadi elemen strategi pemasaran dan pengembangannya, serta merekomendasikan
strategi pemasaran yang tepat untuk dapat diterapkan. Kajian ini menggunakan
pendekatan analisis QSPM (Quantitative Planing Strategy Matrix) dalam merancang
strategi yang akan diambil. Sampel dari kajian ini diambil dari dua belas UMKM
yang memiliki karakter usaha sejenis. Penentuan sampel sebagai responden
menggunakan purposive sampling dengan pertimbangan responden yang memiliki
kemampuan dan kewenangan dalam merumuskan strategi pemasaran usahanya.
355
Kajian ini menghasilkan alternatif strategi UMKM industri olahan hasil laut dengan
urutan prioritas sebagai berikut: (1) peningkatan kualitas produk akhir dengan
menggunakan kemasan yang baik; (2) melakukan produksi sendiri dari hulu sampai
dengan hilir; (3) meningkatkan kualitas produk untuk menghadapi persaingan; (4)
meningkatkan modal usaha tambahan dengan mengambil manfaat dari programprogram perkreditan dari Pemerintah; (5) mempertahankan stabilitas harga jual; (6)
memperkuat promosi produk dengan memanfaatkan fasilitas media elektronik, sosial
media, direct promotion dengan memperluas jaringan pemasaran dan konsumen, serta
memelihara hubungan baik dengan para pemasok.
Kata Kunci: UMKM, Strategi Pemasaran, Matriks TOWS, Matriks IE, Matriks
QSPM
PENDAHULUAN
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah unsur penting dalam
pembangunan dari berbagai negara. Keberadaannya telah menyerap tenaga kerja
terbesar untuk berbagai sektor kegiatan ekonomi, selain kontribusinya yang besar pula
terhadap produk domestik bruto negara tersebut. UMKM Indonesia sendiri telah
mencapai 99,99% dari total unit usaha yang ada, baik dari skala usaha mikro dengan
persentase 98,85%, usaha kecil 1,07%, dan usaha menengah sebesar 0,08%,
sedangkan 0,01% termasuk ke dalam skala usaha besar (Depkop.go.id, 2015).
Sementara itu potensi sumber daya kelautan sebesar 75% dari seluruh luas
wilayah Indonesia adalah laut (kkp.go.id, 2013). Potensi tersebut telah memberikan
sumbangan yang cukup besar dari sumber dayanya, antara lain berupa penyediaan
bahan kebutuhan hidup, peningkatan pendapatan bagi masyarakat pesisir, terbukanya
kesempatan kerja serta perolehan devisa dan percepatan pembangunan daerah. Salah
satu potensi terbesar adalah sumber daya perikanan tangkap yang merupakan modal
dasar pengembangan perikanan demersal3 dan memiliki peranan penting dalam
3
Ikan Demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga
bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar
(bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan lain
356
Dinas
Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, serta masyarakat dan kelompok masyarakat dapat saling bekerjasama.
sebagainya. Dibanding sumber daya ikan pelagis, potensi sumber daya ikan demersal relatif lebih kecil,
akan tetapi banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi. Ikan demersal
tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan Sunda dan Laut Arafura dengan
kecenderungan kepadatan sediaan potensi tinggi di daerah pantai. Perikanan demersal Indonesia
menghasilkan berbagai jenis ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat
tangkap (multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis yang
jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain: kakap
merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus
spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain.
357
POKLAHSAR: Kelompok Pengolahan dan Pemasaran; Adalah suatu kelompok usaha yang dibentuk
sebagai bagian dari tujuan Programa Penyuluhan Perikanan yang dituangkan dalam Rencana Kerja
Penyuluhan Perikanan adalah memberdayakan kelompok-kelompok yang ada di wilayah binaan
penyuluh perikanan. Selain Poklahsar juga dibentuk kelompok lain yaitu Kelompok Pembudidaya Ikan
(Pokdakan). Salah satu upaya pemberdayaan Poklahsar adalah dengan cara memperkenalkan dan
mempraktekkan diversifikasi pengolahan hasil perikanan yang memiliki nilai jual sehingga dapat
merangsang minat kelompok untuk mengembangkannya ke arah bisnis. Pemberdayaan Poklahsar
melalui usaha olahan hasil perikanan laut dinilai dapat mendukung Program Industrialisasi bidang
perikanan.
(PUMP) P2HP: Program pengembangan usaha mina pedesaan yang dicanangkan oleh Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP). Program ini berbentukpemberdaya dan
peningkat pendapatan masyarakat. Program ini diharapkan bisa membantu wirausaha kecil bidang
pengolahan dan pemasaran perikanan untuk meningkatkan skala usahanya sehingga mampu
meningkatkan pendapatan mereka serta membuka lapangan kerja baru. Pada tahun 2011 telah
dicanangkan targetpengucuran dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUMP kepada 408
Poklahsar Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) yang tersebar di 51 kabupaten dan 22 provinsi
seluruh Indonesia. Masing-masing kelompok akan memperoleh bantuan sebesar Rp. 50 juta, sehingga
total keseluruhan berjumlah 20,4 Miliar. Dana yang diberikan akan langsung dibelikan barang-barang
sesuai yang tertera di Rencana Usaha Bersama (RUB) yang disusun bersama tenaga pendamping.
Adapun bidang usaha yang akan diberikan bantuan adalah usaha yang memberikan nilai tambah dan
prospek yang baik bagi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
358
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan untuk menjadi pengusaha yang berdaya
saing dan memiliki kemandirian. Program PUMP-P2HP adalah merupakan fasilitasi
bantuan pengembangan usaha bagi pengolah dan pemasar hasil perikanan dalam
wadah POKLAHSAR sebagai kelembagaan pelaksana PUMP P2HP yang dimulai
sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang (p2hp.kkp.go.id, 2015).
Sementara itu, pengembangan usaha sektor perikanan laut khususnya di
kawasan Lamongan dan Gresik memegang peranan strategis dalam memperluas
lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakatnya. Pembangunan sektor ini
sekaligus dapat mendorong pertumbuhan industri berbasis lokal yang sangat potensial
dan berdampak nyata, terutama bagi para ibu-ibu/perempuan sebagai pelaku usaha
rumahan untuk terus dapat mengembangkan usahanya dengan sumber bahan baku
yang tetap terjaga ketersediaannya. Pemberdayaan UMKM pengolahan hasil laut di
kawasan Lamongan dan Gresik diharapkan dapat menjadi alternatif pilihan
pengembangan sumber daya perikanan laut yang sekaligus menghindari kerugian dari
pemanfaatan hasil laut yang tidak jelas arah pengolahannya. Pemberdayaan ini juga
selanjutnya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan
mendukung pembangunan daerah. Tetapi pada kenyataannya pemberdayaan UMKM
pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik belum nampak terlaksana
secara
berkesinambungan
dalam
implementasinya.
Berdasarkan
observasi
359
Kulit Kerang/Hasil Sampingan Perikanan Lainnya, serta; 13) Usaha Pemasaran. Dari
kedua belas menu bidang tersebut, POKLAHSAR dapat menggunakan dana BLM
PUMP-P2HP6 untuk membiayai usaha pemasaran hasil perikanan terdiri dari; a)
pembelian alat pemasaran sesuai dengan standar mutu, antara lain pisau, talenan
akrilic, wadah perebusan, wajan penggorengan, kompor, keranjang/trays, timbangan,
wadah/bak besar/tong, wadah/ember, akuarium, tabung gas oksigen, aerator, blower,
peti berinsulasi (cool box), pembeku (freezer), dan peralatan pendukung pemasaran
lainnya, b) pembelian bahan kemasan, c) pembelian sarana pemasaran bergerak
(sepeda, kereta dorong/gerobak, sepeda motor roda tiga) atau tidak bergerak (display
atau rak/meja pajang/etalase), dan d) Pembelian mesin pencetak tanggal kadaluwarsa.
Dari pelaksanaan konsep pemberdayaan tersebut di atas masih terlihat bersifat
top down yang lebih mengedepankan pelaksanaan program-program dari pemerintah
dan kurang menyentuh pada aspek-aspek strategis yang diangkat dari permasalahanpermasalahan usaha pada sektor tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sasara menu
bidang pemasaran yang lebih pada penyediaan fasilitas/infrastruktur dibandingkan
dengan program-program pemasaran yang lebih strategis seperti penguatan merek
dagang (branding), saluran pemasaran, distribusi, iklan komersial, penjaminan mutu
dan lain sebagainya. Maka daripada itu perlu dilakukan pengkajian lebih jauh
terutama pada menu bidang pemasaran terkait pada produk olahan hasil laut di
kawasan Gresik dan Lamongan tersebut. Dengan demikian maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana manajemen strategi pemasaran yang
tepat dalam mengembangkan industri olahan hasil laut yang lebih bersifat bottom up,
khususnya di kawasan Gresik dan Lamongan. Adapun tujuan dari kajian ini adalah
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menjadi elemen
Dana BLM PUMP-P2HP: Dana bantuan langsung pada masyarakat dalam Pengembangan Usaha
Mina Pedesaan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (PUMP-P2HP). Dana ini merupakan
fasilitasi bantuan pengembangan usaha bagi pengolah dan pemasar hasil perikanan dalam wadah
Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR) sebagai kelembagaan pelaksana PUMP-P2HP.
Sasaran PUMP-P2HP sebanyak 1.000 POKLAHSAR yang tersebar di 246 Kab/Kota seluruh provinsi
di Indonesia. Masing-masing kelompok akan menerima bantuan sebesar 50 juta, sehingga total bantuan
PUMP P2HP tahun 2014 adalah 50 Milyar.
360
TINJAUAN LITERATUR
Konsep Dasar Perumusan Strategi Pemasaran
Faktor-faktor dalam perumusan strategi harus mempertimbangkan kondisi
internal (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi eksternal (peluang dan ancaman) yang
dihadapi oleh perusahaan. Hansen dan Smith (1998) dalam David (2006),
menjelaskan bahwa perencanaan strategi melibatkan pilihan yang membahayakan
sumber daya dan trade-off yang mengorbankan peluang, artinya bahwa dalam
setiap penetapan strategi akan selalu menanggung resiko yang besar sehingga
membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan prioritas-prioritas penting yang
harus ditetapkan.
(strategic
formulation), implementasi
strategi
(strategic
361
362
imitable
capabilities),
kemampuan
yang
tak
dapat
diganti
(nonsubstituable capabilities).
Dari berbagai literatur di atas menunjukkan bahwa keunggulan bersaing
adalah inti dari kinerja organisasi usaha dalam persaingan pasar. Tingginya tingkat
persaingan usaha menuntut setiap organisasi untuk saling melahirkan berbagai produk
maupun jasa yang memiliki daya saing tinggi. Organisasi usaha yang memiliki daya
saing tinggi adalah yang mampu melahirkan produk baru secara cepat dengan periode
waktu pengembangan produk yang pendek. Lindelof dan Hans Lofsten (2004) dalam
studinya mengkaji konsep daya saing didasarkan pada aspek strategi, karena strategi
itu sendiri dapat meningkatkan daya saing melalui pengembangan produk, harga yang
kompetitif, pengembangan teknologi dan menganalisis perilaku pesaing usaha.
Pendekatan ini dilakukan melalui positioning analisys di mana bisnis organisasi usaha
akan dijalankan, di wilayah mana persaingan terjadi, dan organisasi usaha melakukan
resource base-analysis bagaimana perusahaan dapat bersaing. Sehingga daya saing
didefinisikan sebagai hasil atas pemahaman secara menyeluruh dari aspek eskternal
dan internal yang memberikan pengaruh kuat terhadap organisasi usaha (Grant, 1991).
Sementara
itu,
Hitt
(2001)
berpendapat
bahwa
ketika
organisasi
usaha
mengimplementasikan suatu strategi yang tidak dapat ditiru oleh yang lain untuk
menirunya, maka organisasi usaha ini memiliki keunggulan persaingan yang kuat atau
dapat bertahan (sustained atau sustainable competitive advantage) yang selanjutnya
disebut sebagai keunggulan persaingan. Sedangkan menurut DAveni dan Gunther
(dalam Winardi, 2003), posisi kompetitif suatu organisasi usaha perlu untuk
dipertahankan selama mungkin. Hanya saja suatu keunggulan dapat bertahan sampai
dengan pihak pesaing dapat meniru dan mengungguli keunggulan dan keunikan yang
dimiliki oleh organisasi usaha tersebut. Menghadapi hal tersebut maka perlu
diciptakan suatu keunggulan yang bersifat temporer yang disebut dengan hyper
competitive. Keunggulan jangka pendek tersebut bagi organisasi usaha akan secara
efektif dapat menciptakan suatu keunggulan jangka panjang yang dapat bertahan di
pasar (DAveni dan Gunther (1998), dalam Winardi, 2003). Untuk membangun
363
364
diimplementasikan
dengan
harapan
bisnis
dapat
mencapai
sasaran
pemasarannya. Strategi pemasaran terdiri dari strategi yang spesifik untuk pasar
sasaran, penentuan posisi produk, bauran pemasaran, dan tingkat pengeluaran
pemasaran. Perumusan strategi pemasaran merupakan bagian dan keseluruhan proses
pemasaran yang paling penting dan sulit untuk dilakukan oleh seorang manajer
pemasaran. Strategi pemasaran memungkinkan keputusan operasional membawa
organisasi usaha pada keselarasan dengan pola peluang yang terus berkembang yang
oleh analisis sebelumnya dibuktikan kemungkinan keberhasilan terbesar.
Sementara itu strategi pemasaran pada dasarnya adalah pola pikir pemasaran
yang akan digunakan oleh organisasi usaha untuk mencapai tujuan pemasarannya.
Strategi pemasaran juga menetapkan suatu target pasar dan suatu bauran pemasaran
terkait. Hal ini merupakan suatu gambaran besar dari apa yang perusahaan akan
lakukan dalam beberapa pasar (Pasaribu, 2008). Metode penentuan strategi pemasaran
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu AHP, QSPM
(Quantitative Strategic Planning Matrix) dan lain-lain. Keuntungan dengan
menggunakan matriks QSPM adalah strategi-strategi dapat diperiksa secara berurutan
dan bersamaan, serta tidak ada batas untuk jumlah strategi yang dapat dievaluasi
secara sekaligus (Zulkarnaen dan Sutopo, 2013). Menurut Ramadhan dan Shofiyah
365
(2013), tujuan QSPM adalah untuk menentukan alternatif strategi pemasaran yang
baik atau yang menjadi prioritas untuk dijalankan organisasi usaha, sehingga metode
ini dapat diaplikasikan pada UMKM industri olahan hasil laut untuk merencanakan
strategi pemasaran dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal UMKM
kemudian dianalisis dengan merumuskan beberapa strategi alternatif melalui analisis
matrik TOWS. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif dalam
merumuskan strategi melalui QSPM serta dapat meningkatkan produktivitas UMKM
industri olahan hasil laut tersebut.
366
paling tinggi adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang mencapai kurang
lebih 100 ton/hari, dibandingkan dengan keempat pangkalan pendaratan ikan yang
lain yaitu Weru, Kranji, Labuhan dan Lohgung yang hanya mencapai 10 ton/hari.
Kecamatan Paciran Lamongan pada sektor perikanan tangkap memiliki luas areal
panjang pantai +14,6 km dengan lebar 4 mil laut dengan jumlah nelayan yang ada
sebanyak 20.058 orang (lamongankab.go.id, 2015). Sedangkan jumlah armada kapal
penangkapan yang digunakan sebanyak 3.390 unit dengan berbagai jenis alat tangkap.
Alat tangkap yang digunakan diantaranya adalah purse seine, gill net (bringsang,
rajungan), payang, pancing/rawai, bubu, dan tramel net. Ikan yang tertangkap terdiri
dari berbagai jenis antara lain; tongkol, kembung, kuningan, ajahan, layang, mata
besar/swangi, teri, rajungan, tongkol, cumi-cumi, udang, layur, tengiri dan lain-lain.
Sementara pemasaran ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tersebut didukung dengan
keberadaan 2 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan) yaitu: PPI Desa Weru dan PPI Desa
Kranji. Produksi ikan hasil tangkap yang didaratkan di PPI Kranji mencapai 3.997,6
ton dan PPI Weru mencapai 2.574,6 ton. Sedangkan Koperasi yang ikut mendukung
potensi perikanan dan kelautan di wilayah tersebut sebanyak tiga unit, yakni KUD
Tani Bahari Paciran, Koperasi Serba Usaha TONGKOL Desa Kranji dan Koperasi
Nelayan
Lamongan
(KOPNELA)
yang
memiliki
peran
strategis
dalam
367
Begitu halnya dengan kawasan Gresik yang berada antara 7 derajat dan 8
derajat Lintang Selatan dan antara 112 derajat dan 113 derajat Bujur Timur. Sebagian
besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di
atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di bagian utara (Kecamatan Panceng)
mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas permukaan laut. Bagian Utara
Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian Timur dibatasi oleh Selat Madura
dan Kota Surabaya, bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan
Kabupaten Mojokerto, sementara bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten
Lamongan. Hampir sepertiga bagian dari wilayah Kabupaten Gresik merupakan
daerah pesisir pantai, yaitu sepanjang 140 Km meliputi Kecamatan Kebomas,
sebagian Kecamatan Gresik, Kecamatan Bungah dan Kecamatan Ujungpangkah,
Sidayu dan Panceng, serta Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura yang
berada di Pulau Bawean.
Dalam pengembangan UMKM industri olahan hasil laut, Gresik tidak jauh
berbeda dengan Lamongan. Gresik sebagai tujuan pengembangan kawasan
Minapolitan tidak hanya terfokus pada pengembangan komoditas unggulan saja,
tetapi juga pengembangan agro industri sebagai faktor penunjang. Adapun produkproduk diversifikasi olahan ikan di kawasan Gresik adalah krupuk ikan, yang
merupakan kegiatan pengolahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Sidayu,
Ujung pangkah, Panceng dan Bungah. Hal ini dikarenakan pembuatan kerupuk ikan
yang relatif mudah, tetapi masih perlu penyediaan teknologi untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitasnya. Produk selanjutnya adalah kerajinan yang masih jarang di
jumpai di kawasan Gresik. Kerajinan ini lebih banyak memanfaatkan sisa kulit ikan
pari sebagai bahan baku tas dan dompet. Adapun produk lain yang dikembangkan
adalah petis di Kecamatan Bungah dan Sidayu. Produk ini memanfaatkan sisa-sisa
udang yang kualitasnya rendah. Produk-produk olahan hasil laut lain yang belum
dijumpai tetapi akan menjadi potensi diversifikasi olahan di kawasan Gresik adalah
ikan kaleng dan tepung ikan.
368
METODOLOGI
Kajian ini dilaksanakan di kawasan Lamongan dan Gresik yang masingmasing lokasi akan diambil 3 sampel industri olahan hasil laut sejenis (sebagai
perwakilan dari tipe usaha baik tingkat mikro, kecil dan menengah) 7 dengan total
enam sampel. Tahapan kajian diawali dari survei pendahuluan dan studi literatur,
identifikasi dan perumusan masalah, penentuan metode, perencanaan sampel,
penyusunan kuesioner, pengumpulan data, analisis data dan pengolahan hasil, analisis
TOWS, penyusunan QSPM, serta penyusunan kesimpulan dan saran. Identifikasi dan
perumusan masalah digunakan dalam kajian ini untuk memudahkan dalam
menentukan arah penyelesaian masalah perusahaan. Responden yang terdapat pada
penelitian adalah pihak yang berkompeten serta mengetahui secara keseluruhan
kondisi usahanya baik secara internal maupun eksternal. Pihak yang akan mengisi
kuesioner dari keenam sampel industri adalah pemilik usaha (owner), kepala unit
bagian pertokoan (pemasaran) dan kepala unit bagian pengolahan (produksi). Metode
yang digunakan dalam penentuan responden adalah non-random sampling, dimana
item yang dipilih sebagai sampel disesuaikan dengan kebutuhan, penilaian ahli, atau
jenis penelitian yang dilakukan secara sadar, dan pemilihan sampel tidak dilakukan
secara kebetulan (Willemse, 2009). Pendekatan Expert judgement (penilaian dari ahli)
juga digunakan untuk mengetahui bagaimana probabilitas dari akibat yang akan
muncul sebab adanya suatu kejadian. Metode ini memberikan kepercayaan kepada
ahli untuk mengetahui akibat yang akan terjadi (Harinaldi, 2005). Selanjutnya
7
USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM): Berdasar Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2008, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dengan aset maks. 50Juta dan omset maks. 300Juta;
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha
menengah atau usaha besar dengan asset maks. 50-500Juta dan omset maks. 300Juta-2,5M. Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan 500Juta-10M juta dan omset
maks. 2,5M-10M.
369
370
Identifikasi Masalah
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Identifikasi Variabel
Penentuan Responden
Penyusunan Kuesioner
Uji Validitas (Face
Validity)
Valid
Tidak
Ya
Penyebaran Kuesioner
Pengolahan Data;
Matriks IFE
Matriks IE
Matriks TOWS
Matriks QSP
Kesimpulan
371
Quantitative
Strategic
dilakukan dengan
372
organisasi saat ini dalam merespon faktor-faktor tersebut ditampilkan pada kolom
ketiga. Untuk matriks IFE ialah 1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan kecil, 3 =
kekuatan kecil, 4 = kekuatan utama. Sedangkan untuk matriks EFE digunakan 1 =
di bawah rata- rata, 2 = rata-rata, 3 = di atas rata- rata, dan 4 = sangat bagus.
Setiap rating digandakan dengan masing-masing bobot untuk memperoleh skor
pembobotan. Karena pakar berjumlah enam maka perlu penggunaan perhitungan
aritmatika. Total skor pembobotan antara 1 sampai dengan 4, dengan nilai 1 pada
matriks IFE menunjukkan kondisi internal perusahaan yang sangat buruk,
sedangkan nilai 4 mengindikasikan situasi internal perusahaan sangat baik.
373
strategi
W-T
(Weakness-Threat)
dengan
mencocokkan
374
Kerupuk/makanan ringan
Pemindangan
Pengeringan (ikan asin)
Terasi
Pengasapan
Nugget ikan
Pengesan (udang dingin)
Jumlah
Lamongan
Gresik
45
51
15
28
40
22
7
12
12
7
11
18
56
47
375
376
377
378
379
Bobot
Rata-Rata
Rating
Skor
0,12
0,11
0,10
0,13
0,13
0,09
0,68
2,4
3,2
3,4
4
4
4
0,28
0,38
0,32
0,52
0,53
0,34
2,37
0,10
0,09
0,08
0,05
0,32
1.00
1,9
1,2
1
1
0,18
0,12
0,09
0,02
0,41
2,78
Berlian Laut
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan
Rata-Rata
Bobot
Rating
Skor
0,11
0,13
0,16
0,12
0,12
0,09
0,73
2,4
3,2
4
4
4
2,2
0,21
0,36
0,31
0,42
0,43
0,24
1,97
0,15
0,07
0,04
0,01
0,27
1,00
1,6
1,5
3,9
1
0,18
0,11
0,08
0,07
0,44
2,41
380
Rata-Rata
Bobot
Rating
Skor
0,11
0,13
0,09
0,17
0,11
0,09
0,70
3,2
3,7
3,8
4
4
4
0,22
0,25
0,36
0,41
0,50
0,44
2,18
0,10
0,05
0,08
0,07
0,30
1,00
1,7
1,4
3,9
1
0,18
0,11
0,08
0,07
0,44
2,62
Bobot
Rata-Rata
Rating
Skor
0,16
0,15
0,12
0,11
0,18
0,06
0,78
2,9
3,4
4
3,8
4
4
0,28
0,35
0,38
0,52
0,52
0,34
2,39
0,10
1,6
0,19
0,02
0,02
0,08
0,22
1,00
1,8
1
3,6
0,13
0,09
0,08
0,49
2,88
381
Bobot
Rata-Rata
Rating
Skor
0,13
0,17
0,12
0,11
0,10
0,02
0,65
2,6
3,1
4
4
3,6
4
0,32
0,31
0,35
0,54
0,51
0,32
2,35
0,08
0,08
0,13
0,05
0,35
1,00
1,6
1,1
3,2
1
0,11
0,17
0,03
0,04
0,35
2,70
Laras Food
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Varian produk
2.
Mutu/kualitas produk
3.
Penetapan harga sesuai pasar
4.
Standardisasi
5.
Sertifikasi halal
6.
Penghargaan yang diperoleh
Total
Kelemahan
7.
Ketersediaan produk tidak memenuhi pasar
8.
Bahan baku tergantung alam
9.
Kurangnya media promosi/iklan
10. Kemasan yang sama dengan pesaing
Total
Total Keseluruhan
Rata-Rata
Bobot
Rating
Skor
0,17
0,13
0,13
0,11
0,18
0,04
0,76
2,9
3,1
4
3,3
4
3,5
0,25
0,32
0,31
0,51
0,56
0,31
2,26
0,12
0,05
0,04
0,03
0,24
1,00
1,5
1,9
3,5
1
0,15
0,12
0,04
0,09
0,40
2,66
382
383
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Skor
0.28
0.12
0.22
2.7
3.2
4
0.24
0.33
0.30
0.12
0.74
3.3
0.52
1.89
0.11
0.03
0.04
0.02
0.03
0.03
0.23
1.00
1.4
1.9
3.5
2.6
2.1
2.2
0.16
0.13
0.05
0.06
0.02
0.08
0,50
2.66
Berlian Laut
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Bobot
Rata-Rata
Rating
0.27
0.13
0.23
2.8
3.5
4
0.26
0.35
0.31
0.13
0.76
3.1
0.51
1.43
0.10
0.06
0.03
0.02
0.01
0.02
0.22
1.00
1.2
1.4
3.6
2.2
2.4
2.1
0.18
0.16
0.09
0.02
0.07
0.07
0.59
2.02
Skor
384
Hj. Nurhasanah
Rata-Rata
Bobot
Rating
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Skor
0.23
0.14
0.21
2.2
3.4
4
0.21
0.39
0.32
0.15
0.73
3.2
0.57
1.49
0.17
0.02
0.02
0.03
0.02
0.01
0.26
1.00
1.1
1.6
3.8
2.8
2.3
2.6
0.11
0.19
0.02
0.07
0.08
0.07
0.54
2.03
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Skor
0.25
0.18
0.21
2.6
3.2
4
0.29
0.33
0.38
0.11
0.75
3.3
0.51
1.49
0.16
0.05
0.09
0.01
0.02
0.02
0.35
1.00
1.6
1.3
3.2
2.2
2.8
2.8
0.15
0.15
0.08
0.03
0.06
0.09
0.56
2.05
385
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Skor
0.24
0.19
0.20
2.8
3.8
4
0.22
0.39
0.39
0.13
0.76
3.8
0.56
1.56
0.07
0.02
0.04
0.01
0.06
0.04
0.22
1.00
1.4
1.7
3.7
2.8
2.6
2.3
0.19
0.12
0.04
0.02
0.06
0.07
0.50
2.06
Laras Food
Rata-Rata
Bobot
Rating
Faktor Internal
Kekuatan
1.
Bahan baku yang melimpah
2.
Harga bahan baku yang murah
3.
Peningkatan PAD dan daya
masyarakat
4.
Perubahan gaya hidup masyarakat
Total
Kelemahan
5.
Fluktuasi harga bahan baku
6.
Perubahan iklim yang tidak menentu
7.
Persaingan produk sejenis
8.
Pendatang baru
9.
Penerapan kebijakan UMR
10. Regulasi
Total
Total Keseluruhan
beli
Skor
0.29
0.12
0.25
2.4
3.2
4
0.24
0.31
0.37
0.19
0.85
3.6
0.51
1.43
0.01
0.06
0.02
0.03
0.01
0.02
0.15
1.00
1.2
1.6
3.6
2.9
2.5
2.8
0.13
0.18
0.07
0.09
0.19
0.09
0.75
2.18
386
Matriks Internal-Eksternal
Berdasarkan matriks IFE dan EFE tersebut didapatkan total rata-rata tertimbang
matriks IFE sebesar 2,41 2,88 dengan total rata-rata tertimbang matriks EFE sebesar
2,02 2,66. Dari kedua titik tersebut ditemukan titik pertemuan dari kedua sumbu
yang berada pada sel ke V. Matriks IE dapat dilihat pada Gambar 3. Divisi pada sel
III, V, VII dapat melaksanakan strategi hold and maintain (jaga dan pertahankan)
(Siahaan, 2008). Sedangkan strategi yang umum yang diterapkan adalah melakukan
penetrasi pasar, dan pengembangan produk.
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,66) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
1
2. Matriks IE Berlian Laut
Total
Nilai Tertimbang
(2,41)
Rata22,0-2,9 IFE
Lemah1,0-1,99
Kuat 3,0-4,0
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,02) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
387
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,03) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,05) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
388
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,41) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
1
6. Matriks IE Laras Food
Total Nilai Tertimbang IFE (2,66)
Kuat 3,0-4,0 Rata22,0-2,9 Lemah1,0-1,99
4
Kuat
3,0-4,0
Total Nilai
3
Tertimbang Rata 2
EFE (2,18) 2,0-2,9
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
2
Lemah
1,0-1,99
1
Gambar 3. Matriks IE pada Masing-Masing Perusahaan
389
Strengths (S)
1. Variasi produk;
2. Mutu produk;
3. Harga kompetitif;
4. Standardisasi
pangan;
5. Sertifikat halal;
6. Penghargaanpenghargaan yang
pernah diterima.
Weaknesses (W)
1. Tidak mampu
memenuhi
Internal
permintaan pasar;
2. Bahan baku
tergantung
perubahan iklim
(musiman);
3. Media iklan dan
pemasaran yang
kurang;
Eksternal
4. Kemasan yang
hampir/mirip sama
dengan
kompetitor.
Opprtunities (O)
Strategi S-O
Strategi W-O
1. Produk olahan hasil
1. Menjaga dan
1. Menetapkan kuota
laut yang praktis dan
mempertahankan
sediaan (product
kaya gizi
mutu produk (ST 1)
stock) (ST 4)
2. Harga bahan baku
2. Mengembangkan
2. Difrensiasi
yang relatif murah;
inovasi pada variasi
kemasan (ST 5)
3. Peningkatan daya beli
produk (ST 2)
masyarakat
3. Melebarkan
4. Pergeseran gaya hidup
jaringan pemasaran
masyarakat
lebih luas (ST 3)
Treaths (T)
Strategi S-T
Strategi W-T
1. Fluktuasi harga bahan 1. Mengoptimalkan
1. Meningkatkan
baku produksi;
bahan baku dan
kegiatan promosi
2. Iklim yang tidak
menekan biaya
dengan mengikuti
dapat diprediksi;
produksi (ST 6)
ivent-ivent dan
3. Persaingan produk
2. Melakukan
pameran produksi
sejenis;
Kerjasama dengan
dengan
4. Pendatang Baru;
produsen/pemasok
menonjolkan
5. Upah Minimum
bahan baku (ST 7)
difrensiasi produk
Regional;
3. Pemberian upah
(ST 10)
6. Regulasi/kebijakan
pasti dan insentif
pemerintah terkait
(ST 8)
pengembangan
4. Menjalin kerjasama
UMKM.
institusi/lembaga/an
tar pengusaha
Sumber : Data Primer (2015)
Gambar 4. Matriks TOWS Industri Olahan Hasil Laut
390
Matriks TOWS
Alternatif strategi pengembangan didapatkan melalui Matriks TOWS dengan
menformulasikan strategi berdasarkan penggabungan antara faktor internal dan
eksternal. Matriks TOWS bertujuan untuk memberikan alternatif strategi utama
diantaranya strategi S-O (Strength-Opportunity), W-O (Weakness-Opprtunity), S-T
(Strenght-Threat), W-T (Weakness-Threat). Berdasarkan Matriks TOWS telah
didapatkan sepuluh alternatif strategi untuk industri olahan hasil laut di kawasan
Lamongan dan Gresik seperti pada Gambar 4.
391
392
393
KESIMPULAN
Alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam pemasaran bagi
industri/usaha pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik adalah
sebanyak sepuluh alternatif. Secara umum strategi pemasaran bagi industri/usaha
pengolahan hasil laut di kawasan Lamongan dan Gresik yang dapat diterapkan adalah
melebarkan jaringan pemasaran lebih luas. Tentu saja keberhasilan strategi tersebut
akan sangat tergantung dengan peningkatan kualitas produk akhir dengan
menggunakan kemasan yang baik dan menarik konsumen. Selain itu perusahaan harus
melakukan produksi sendiri dari hulu sampai dengan hilir untuk dapat memastikan
siklus usahanya tetap terjaga. Perusahaan harus selalu berupaya meningkatkan
kualitas produknya untuk mampu bersaing dalam pasar, selain meningkatkan modal
usaha tambahan dengan mengambil manfaat dari program-program perkreditan murah
dari Pemerintah, terutama bagi perusahaan yang masih berskala kecil dan mikro.
Persaingan pasar pada industri ini sangat rentan pada pergeseran harga, konsumen
cenderung beralih pada produk lain sejenis jika terjadi selisih harga jual, maka dari
itu, perusahaan harus mempertahankan stabilitas dari harga jual pada produk mereka.
Langkah yang tidak kalah penting adalah memperkuat promosi produk dengan
memanfaatkan fasilitas media elektronik, sosial media, direct promotion dengan
memperluas jaringan pemasaran dan konsumen, serta memelihara hubungan baik
dengan para pemasok sumber bahan baku produksinya.
Berdasarkan decision stages keenam perusahaan pengolahan hasil laut yang
diobservasi di kawasan Lamongan dan Gresik tersebut, terdapat tiga prioritas strategi
pemasaran yang dapat diterapkan. Perbedaan strategi pemasaran prioritas yang dapat
diterapkan antara industri berskala menengah, kecil dan mikro terletak pada masalah
promosi/memperkenalkan produk mereka pada konsumen atau masyarakat luas. Bagi
perusahaan pengolahan hasil laut yang berskala menengah pada dasarnya sudah
memiliki saluran permasaran tersendiri yang tersebar pada outlet-outlet atau retail
yang menjadi bagian dari cabang usahanya atau perusahaan pemasaran aliansnya.
Sedangkan bagi perusahaan yang berskala kecil melakukan pemasarannya secara
mandiri melalui media online, pasar-pasar lokal dan outlet yang mereka miliki. Lain
halnya bagi perusahaan pengolahan hasil laut yang berskla mikro, dalam pemasaran
394
395
DAFTAR PUSTAKA
Alma B. 2011. Manajemen Pemasaran & Pemasaran Jasa. Bandung (ID): Alfabeta
Barney, Jay B. 2007. Gaining and sustaining competitive advantage, Edisi 3., New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Biro Pusat Statistik. 2014. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2013. Diakses 2
Oktober 2015 dari http://www.bps.go.id/brs_file/pdb-10nov13.pdf.
Brink, H., Walt, C.V.D dan Rensburg, G.V. 2006. Fundamentals of Research Methodology
for Health-Care Professionals. Juta and Company Ltd. South Africa.
Cravens, D. W. 2008. Strategic marketing, Edisi 9. United States of America: McGraw Hill
Higher Education.
David F.R. 2004. Manajemen Strategis : Konsep, Edisi ketujuh. Sindoro A, penerjemah.
Jakarta (ID): PT INDEKS.
David F.R. 2006. Manajemen Strategis : Konsep,Edisi 10. Budi IS,penerjemah; Rahoyo S,
editor. Jakarta (ID): Salemba Empat
David F.R. 2009. Manajemen Strategis. Edisi ke 12. Sunardi D, penerjemah. Jakarta (ID):
Salemba Empat.
Departemen Kementerian Koperasi dan UKM (2015), Rencana Kerja 2014. Diakses 2
Oktober
2015
dari
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id
=126:rencana-kerja-pemerintah&Itemid=93
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2015), Pengolahan Hasil
Perikanan. Diakses pada 2 Oktober 2015 dari http://www.p2hp.kkp.go.id/artikel-817kelompok-pengolah-dan-pemasar-hasil-perikanan-dapatkan-dana-50-m-tahun2014.html
Dirgantoro C. 2001. Manajemen Stratejik. Jakarta (ID) : PT Grasindo.
Departemen Koperasi. 2008. PDB, Investasi Tenaga Kerja, Nilai Ekspor UKM di Indonesia.
Depkop. Jakarta.
Grant, R. M. 1991. The resource base theory of competitive advantage, California dalam
Journal Management Review, (2010); 33 (3), 114-135.
Hitt, Michael A, et al. 2001. Strategic management-competitiveness and globalization, Edisi
4., United States of America: Thomson Learning.
Kaplan and Norton. 2008. The execution premium: Linking strategy to operation for
competitive, Boston: Harvard Business School Publishing Corporation.
Kementrian Kelautan dan Perikanan RI 2015, Potensi PNBP Sektor Kelautan Capai Rp. 25
Triliun, diakses pada 2 Oktober 2015 pada http://kkp.go.id/index.php/berita/potensipnbp-sektor-kelautan-capai-rp-25-triliun/
Kotler P, Armstrong G. 2005. Dasar Dasar Pemasaran. Alexander S, penerjemah;
Bambang S, editor. Jakarta (ID): PT Indeks. Terjemahan dari : Principles of Marketing.
Ed ke-9.
396
Muhammad S. 2008. Manajemen Stratejik. Yogyakarta (ID) : Unit Penerbit dan Pencetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Pearce JA, Robinson RB. 2008. Manajemen Strategis-Formulasi, Implementasi, dan
Pengendalian Edisi sepuluh. Bachtiar Y, Christine, Penerjemah; Krista, Editor. Jakarta
(ID) : Salemba Empat.
Porter M. E. 1980. Strategi Bersaing. Maulana A, penerjemah; Hutauruk G, editor. Jakarta
(ID): Erlangga.
Porter, M. E. 1998. On competition, Boston : Harvard Business School Publishing
Corporation.
Prasetyo, B dan Janah, L. M. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.
Rajawali Pers. Jakarta
Rangkuti, F. 1998. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis, Jakarta: PT Gramedia.
Sari LN. 2012. Manajemen Strategi Pemasaran Koperasi Bina Usaha Al-Ihsan Kabupaten
Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Siahaan, P. E. 2008. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Restoran Rice Bowl. Tugas Akhir
Sarjana IPB. Bogor.
Sugiono. 2003. Metode penelitian bisnis, cetakan pertama, Bandung: Alfabeta.
Suyanto, M. 2006. Analisa Penerapan Strategi Bersaing Restoran Moi Garden dalam
Menghadapi Persaingan Bisnis Restoran di Surabaya Timur. Skripsi. Universitas
Kristem Petra. Surabaya.
Umar, H. 2007. Metodologi Penelitian: Aplikasi dan Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Walker, G. 2007. Modern competitive strategy, Edisi 2, New York: The Mc.Graw Hill
Companies, Inc.
Wheelen, T. L., and Hunger J. D. 2001. Strategic management and business policy, Edisi 5.,
United States of America: Addison-Wesley Publishing Company.
Winardi. 2003. Kreativitas dan teknik-teknik pemikiran kreatif dalam bidang manajemen,
Bandung: Citra Aditya.
Yonaldi, S. 2011. Analisis Pengaruh Variabel Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Terhadap
Loyalitas Konsumen Produk Minuman Teh Botol Frestea (Studi Kasus Mahasiswa
Universitas Andalas Padang). Jurnal Managemen dan Kewirausahaan. 2 (1) : 79-114
Yuwono, S., dan Ichsan. 2007. Petunjuk praktis penyusunan Balanced Scorecard, menuju
organisasi yang berfokus pada srategi, cetakan kelima, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
397
P-ALTEK 19
ABSTRAK
Pusat Inovasi merupakan salah satu satuan kerja di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang mempunyai tugas dan fungsi dalam pengelolaan hak
kekayaan intelektual dan alih teknologi menuju komersialisasi hasil litbang LIPI.
Sebagai unit yang mempunyai tugas di hilirisasi hasil-hasil litbang, Pusat Inovasi
menyediakan seluruh data hak kekayaan intelektual milik LIPI. Selain itu untuk
mendesiminasikan informasi terkait hasil-hasil penelitian kepada masyarakat
sekaligus media promosi produk LIPI kepada industri, Pusat Inovasi menyajikan
informasi tersebut pada website. Google Analytics menunjukkan bahwa halaman web
yang paling banyak dikunjungi setelah halaman utama/beranda adalah halaman
produk yang menyajikan produk-produk hasil penelitian LIPI. Tercatat pada tahun
2014 sebanyak lebih dari 12,25% dan tahun 2015 sebanyak 9,31%. Top pages pada
tahun 2015 hasil analisa google analytics sampai dengan bulan September
menunjukkan halaman produk mempunyai ranking pertama yang paling sering
dicari/dikunjungi oleh user. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan user atas
informasi mengenai produk-produk hasil penelitian LIPI cukup tinggi. Pada makalah
ini akan dilakukan analisa performance website Pusat Inovasi dengan menggunakan 6
web analyzer seperti WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO Workers dan
SEO Site Checkup. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dari
website Pusat Inovasi sehingga dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan yang
diperlukan untuk mendukung tugas dan fungsi Pusat Inovasi.
Kata Kunci: performance website, website Pusat Inovasi, web analyzer, media
promosi
398
PENDAHULUAN
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga penelitian
terbesar di Indonesia memiliki kekayaan intelektual yang cukup besar pula,
diantaranya 399 paten, 28 hak cipta, 16 desain industri, 27 merek dan 5 perlindungan
varietas tanaman, seperti ditunjukkan pada gambar 1. Pusat Inovasi merupakan salah
satu satuan kerja di LIPI yang mempunyai tugas dan fungsi mengelola hak kekayaan
intelektual tersebut dan mengupayakan alih teknologi menuju komersialisasi hasil
litbang LIPI. Dalam rangka mendukung komersialisasi hasil litbang LIPI berupa
kekayaan intelektual tersebut, salah satunya perlu dilakukan promosi yang luas
kepada para stakeholder pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
399
400
350
300
250
200
150
100
28
50
16
27
0
PATEN
HAK
CIPTA
DESAIN
INDUSTRI
MEREK
PVT
399
basis pelanggan untuk produk dan mempererat hubungan dengan pelanggan dan
pemasok (Greene, 2015).
Selain melalui pameran produk, Pusat Inovasi juga menyediakan media
promosi website dan media sosial dalam memperkenalkan serta mempromosikan hasil
litbang LIPI. Website Pusat Inovasi dengan domain http://inovasi.lipi.go.id
menyediakan informasi yang terdiri dari Profile, Berita, Produk, Publikasi, HKI,
Inkubator dan STP. Media sosial yang digunakan adalah facebook dan twitter dengan
akun InovasiLIPI. Pada menu Produk, ditampilkan informasi terkait produk-produk
hasil penelitian LIPI.
Google Analytics menunjukkan bahwa halaman web yang paling banyak
dikunjungi setelah halaman utama/beranda adalah halaman produk yang menyajikan
produk-produk hasil penelitian LIPI. Tercatat pada tahun 2014 sebanyak lebih dari
12,25% dan tahun 2015 sebanyak 9,31%. Top pages pada tahun 2015 hasil analisa
google analytics sampai dengan bulan September menunjukkan halaman produk
mempunyai ranking pertama yang paling sering dicari/dikunjungi oleh user. Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan user atas informasi mengenai produk-produk hasil
400
Gambar 9. Landing page website Pusat Inovasi dari hasil Google Analytics
Melihat halaman produk pada website Pusat Inovasi merupakan halaman yang
paling banyak dicari dan dibuka oleh pengguna, sehingga perlu dioptimalkan
penyajian informasi dan performance pada website. Pada makalah ini akan dilakukan
analisa performance pada website Pusat Inovasi dengan tujuan untuk mengetahui
performance website sehingga apabila diketahui kekurangannya dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan yang dapat mendukung promosi hasil litbang LIPI.
401
/ Profile
/ Berita
/ Produk
/ Beranda
0
100
200
300
400
500
600
2015
/ Beranda
522
/ Produk
299
/ Berita
280
/ Profile
279
2014
279
162
150
238
/ Profil
/ Beranda
/ Berita
en/ Home
/ Produk
0
50
100
150
200
250
300
2015
/ Produk
279
en/ Home
179
/ Berita
171
/ Beranda
157
/ Profil
107
2014
114
192
95
94
70
402
METODOLOGI
Analisa performance website Pusat Inovasi dilakukan dengan menggunakan
metodologi penilaian web /web assessment menggunakan 6 tool web analyzer yaitu
WooRank , Seoptimer, Lipperhey, iWebChk, SEO Workers dan SEO Site Checkup.
403
Google
0
1
1
0
1
Bing
0
1
1
0
0
Yahoo
0
1
1
0
1
Ask
0
0
0
0
1
Aol
0
1
1
0
0
0
1
5
0
1
4
0
1
5
0
0
1
0
1
4
404
7 elemen yang diukur pada web analyzer ini yaitu Visitors, Social Monitoring,
Mobile, Search Engine Optimization (SEO), Usability, Security dan Technologies.
Visitors menunjukkan jumlah pengunjung website. Social Monitoring menampilkan
apakah suatu website telah menggunakan/ memanfaatkan sosial media atau belum.
Mobile akan memperlihatkan suatu website apakah telah memiliki dukungan ke
perangkat mobile. SEO akan menunjukkan apakah website sudah baik dikenali dan
terindeks. Usability akan mengukur melalui kegunaan daripada website tersebut.
Security akan menilai suatu website apakah aman atau merupakan website yang tidak
dapat dipercayai sedangkan Technologies akan mengukur teknologi pada website
yang digunakan yang mempengaruhi performance website.
Hasil pengukuran performance website Pusat Inovasi pada masing-masing
web analyzer adalah sebagai berikut:
1. WooRank
a. Visitor
WooRank menilai website inovasi.lipi.go.id menduduki peringkat 51.092
dunia dan peringkat 732 di Indonesia, hal ini termasuk dalam kategori low
impact. Pengunjung situs hanya terpusat di kawasan Indonesia, belum tersebar
menyeluruh di dunia.
b. Social Monitoring
WooRank menilai website inovasi.lipi.goid
jejaring sosial. Hal ini terbukti wooRank tidak menemukan facebook page,
twitter, dan google+ page
c. Mobile
WooRank menilai website inovasi.lipi.go.id memiliki dukungan ke perangkat
mobile, terbukti pada halaman website ini dapat terbaca oleh pengunjung yang
menggunakan mobile, namun tampilan yang diterima pengunjung adalah
standar. Hal ini terbukti dengan tidak terdeteksinya mobile framework yang
digunakan
d. Search Engine Optimization
WooRank menilai web site inovasi.lipi.go.id sudah cukup baik dikenali dan
terindeks oleh mesin pencarian khususnya Google. Namun, ada beberapa
405
406
2. Seoptimer
a. Visitor
Seoptimer tidak menjelaskan profil kunjungan ke web site inovasi.lipi.go.id,
dikarenakan tools ini tidak memiliki penilaian pada unsur ini.
b. Social Monitoring
Seoptimer menilai web site inovasi.lipi.go.id terdapat sharing ke sosial media
yaitu facebook sebanyak 2 yang di sharing sedangkan geogle +1 tidak ada
sharing
c. Mobile
Seoptimer tidak menyediakan penilaian untuk unsur ini.
d. Search Engine Optimization
Seoptimer menilai melalui aspek header situs inovasi.lipi.go.id. yang perlu
diperhatikan adalah
-
Perlu cek semua gambar, karena dari 42 gambar terdapat 28 tanpa alt
atribut
e. Usability
Seoptimer tidak menyediakan penilaian situs untuk unsur ini.
f. Security
Seoptimer tidak menyediakan penilaian situs untuk unsur ini.
g. Technologies
Seoptimer menilai teknologi yang digunakan oleh web site inovasi.lipi.go.id
memiliki HTTP Headers yang sudah baik karena memiliki HTTP 200 OK
yang menandakan fungsi halaman situs yang berjalan dengan baik, apabila
suatu situs memiliki nilai HTTP yang berbeda maka peran mesin pencarian
tidak dapat bekerja dengan optimal.
407
3. Lipperhey
a. Visitor
Lipperhey menilai
web site
inovasi.lipi.go.id dapat
dibaca
dengan
kunci
tersebut.
Kerana
setiap
halaman
berisi
teks,
maka
Security
Lipperhey tidak menyediakan penilaian pada unsur ini
408
g. Technologies
Mobile
iWebChk tidak menyediakan penilaian pada unsur ini.
409
g. technologies
iWebChk menilai situs inovasi tidak sesuai dengan W3C Marup karena
terdapat 67 error. Alat bantu berupa web analytic terdapat dalam situs ini yaitu
google analytic, sehingga dapat membantu menganalisis tren kunjungan ke
situs. Waktu loading Situs inovasi dan responnya lambat yaitu 56%
5. SEO Workers
a. Visitor
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
b. Social Monitoring
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
c. Mobile
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
d. Search Engine Optimization
SEO Workers memberi penilaian pada elemen title tag dan kesesuaian dengan
konten yang baik, meta description yang menjelaskan situs dinilai kurang baik
karena meta description hanya 36 karakter, meta keyword di situs ini terlalu
sedikit yaitu hanya 3 kata kunci, sehingga menjatuhkan peringkat situs pada
mesin pencarian.
e. Usability
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
f. Security
SEO Workers tidak memiliki penilaian pada unsur ini
g. Technologies
Pada elemen Headers yang terbaca pada situs inovasi menunjukkan status 200
yang menandakan situs dalam kondisi baik, teknologi Server yang digunakan
juga dapat terbaca dengan baik (Apache/2.2.22 & Ubuntu Operating Systems)
410
SEO Site Checkup menilai situs inovasi telah terhubung ke dua jaringan sosial
yaitu facebook dan twitter.
c. Mobile
SEO Site Checkup menilai dari elemen title tag pada situs inovasi hanya
terdapat 36 karakter, yang padahal kebanyakan mesin pencari akan memotong
meta title ini sebanyak 70 karakter. Dari elemen meta description SEO Site
Checkup menilai pada situs inovasi hanya 37 karakter padahal kebanyakan
mesin pencarian akan memotong meta description sebanyak 160 karakter.
Dengan demikian penilaian menurut SEO Site Checkup terhadap situs inovasi
kurang baik
e. Usability
SEO Site Checkup menilai situs inovasi melalui HTML Page size test, yaitu
13.26 Kb merupakan di bawah rata-rata ukuran halaman web yaitu 33 Kb. Hal
ini menyebabkan waktu loading halaman lebih cepat dari rata-rata.
f.
Security
SEO Site Checkup menilai situs inovasi aman dikunjungi siapapun karena
terbukti tidak termasuk dalam golongan situs yang menyebarkan malware /
phishing, dan lain sebagainya
g. Technologies
SEO Site Checkup menilai situs inovasi memiliki 54 inline CSS styles,
sehingga membantu menangani kebutuhan disain yang terpisah dengan
konten.
411
WooRank
Seoptimer
Web Analyzers
Lipperhey
iWebChk
SEO Workers
Visitor Rank
Social
Monitoring
Mobile
Search Engine
Optimization
Usability
Security
Low
High
Medium
SEO Site
Checkup
-
Low
Medium
Medium
-
Low
Medium
Low
-
Medium
-
Medium
High
High
Medium
-
Medium
Low
-
Medium
High
High
Low
-
Low
Low
High
Technology
Medium
High
Low
Low
High
High
412
Memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter untuk promosi event
maupun produk hasil litbang LIPI.
Update informasi cukup dilakukan pada salah satu media, namun secara
otomatis menambah informasi pada media lain
2.
3.
Format image yang digunakan sama yaitu JPEG dan sesuaikan resolusi
gambar dengan skala yang sama
413
DAFTAR PUSTAKA
EBiz. (2015). Top 15 Most Popular Search Engines. Retrieved 2015, from eBiz|MBA:
http://www.ebizmba.com/articles/search-engines
Greene, F. (2015). What Is Marketing Communication Strategy? Retrieved 10 10, 2015, from
Small Business Chron: http://smallbusiness.chron.com/marketing-communicationstrategy-3442.html
Gunadarma. (2015). DocModul. Retrieved 10 11, 2015, from Elearning Gunadarma:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pemasaran/Bab_9.pdf
Lestari, D. (2014, April 24). Berita. Retrieved 10 10, 2015, from AntaraNews.Com:
http://www.antaranews.com/berita/430987/bppt-peroleh-royalti-rp15-miliar-daripaten
Provost, P. (2014, 5 5). 7 Steps to Develop an Effective Marketing Communications Strategy.
Retrieved
10
11,
2015,
from
6P
Marketing:
http://www.6pmarketing.com/articles/branding-science/72-marketing-strategy/359-7steps-to-develop-an-effective-marketing-communications-strategy
Ristek. (2011). Peta Kemampuan Litbang dan Kemampuan Diseminasi Lembaga Litbang
Pemerintah. Jakarta: Ristek.
Siti Kania Kushadiani, G. M. (2014). Performance Analysis and Improvement
Recomendations of LIPI Press Official Website. Teknologi Indonesia, 50-63.
414
P-ALTEK 20
ABSTRAK
Hasil riset bidang teknologi energi terbarukan yang telah diaplikasikan
diantaranya turbin air, generator permanent magnet kecepatan rendah, instalasi biogas
dan teknologi turbin angin. Teknologi yang dikembangkan tersebut belum banyak
diproduksi pada dunia industri. Potensi energi terbarukan meliputi tenaga air, angin,
surya maupun biomassa jika diterapkan di Indonesia dengan maksimal akan menjadi
peluang tumbuhnya industri-industri yang bergerak pada bidang energi terbarukan.
Agar hasil-hasil riset energy terbarukan dapat dikembangkan sampai tahap
industrialisasi maka perlu strategi-strategi yang diperlukan. Pada bahasan ini
membahas langkah-langkah dalam mewujudkan produk hasil riset energi terbarukan
hingga tahap industrialisasi. Pengembangan hasil riset energi terbarukan menuju
industri pada makalah ini melalui pendekatan model diamond porter yaitu factor
conditions, demand conditions, related and supporting industries dan strategy,
structure and rivalry. Untuk membangun industri baru energi terbarukan maka
diperlukan strategi dan sinergi yang baik antara industri, pemerintah serta lembaga
riset agar terwujud produk mampu bersaing.
415
PENDAHULUAN
Potensi energi terbarukan Indonesia menurut data Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral tahun 2014 masih melimpah dengan kapasitas terpasang baru
mencapai 10% untuk hidro, panas bumi 4,8% dan biomassa 5,4 % seperti pada tabel 1
(Hutapea,2015). Penggunaan energi terbarukan akan menumbuhkan potensi
penghematan energi yang besar. Potensi yang sedemikian besar jika tidak
dimanfaatkan dan diusahakan dengan baik akan menjadikan negara Indonesia
ketergantungan pemenuhan kebutuhan energinya pada pihak asing. Produk- produk
pendukung sistem energi terbarukan terus diupayakan di berbagai lembaga riset dan
lembaga pendidikan. Riset-riset teknologi energi terbarukan pada sistem energi air,
angin, pembangkit listrik tenaga surya telah banyak dihasilkan oleh peneliti Indonesia.
Hasil-hasil riset ini dapat dijadikan start up industri energi terbarukan di Indonesia.
Industri energi terbarukan di Indonesia saat ini terbatas walaupun sumber energi
terbarukan di Indonesia melimpah. Menumbuhkan industri nasional pada sektor
industri terbarukan tidaklah mudah. Perkembangan industri energi terbarukan di
Indonesia jika diterapkan akan dapat menentukan keunggulan suatu negara.
Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan dan Potensi Penghematan Energi
416
Michael
Porter mendefinisikan
empat
METODOLOGI
Kajian ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan data primer dan data
sekunder melalui kunjungan lapangan ke laboratorium di Pusat penelitian Tenaga
Listrik dan Mekatronik LIPI Bandung serta mengikuti perkembangan energi
terbarukan melalui workshop dan musyawarah di Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia. Pengumpulan data sekunder melalui internet berupa hasil kajian,
kebijakan, dan sumber literatur lainnya. Melalui data primer dan sekunder yang ada,
selanjutnya dianalisis dengan membandingkan empat faktor model Porter terhadap
kelebihan, kekurangan, dan permasalahanIndonesia dalam pengembangan industri
417
Condition factor
Model Porter pada kajian industri energi terbarukan ini akan menyoroti
beberapa kondisi faktor yang sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program
industri energi terbarukan. Kondisi-kondisi faktor tersebut antara lain adalah sumber
daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia peneliti bidang energi terbarukan di Indonesia tersebar
di berbagai lembaga riset serta di perguruan tinggi. RisetPenelitian Insentif Ristek
yang berjumlah 4.067 judulpada tahun 2009 2011 ada sebannyak 19% riset berkaitan
dengan bidang energi terbarukan (Sudibyo, 2014). Riset energi terbarukan meliputi
panas bumi, angin, batubara peringkat rendah, biofuels : termasuk biodiesel dan
bioethanol, biomasa dan biogas, surya-fotovoltaik, hidrogen dan fuel-cell, nuklir,
energi laut, termasuk gelombang dan arus laut, coal bed methane, dan konservasi
energi. Riset itu telah banyak menghasilkan prototipe sistem energi terbarukan namun
belum banyak dimanfaatkan industri untuk diproduksi. Potensi energi terbarukan di
Indonesia ini besar namun sebenarnya belum disertai dengan besarnya sumberdaya
manusia yang bisa memanfaatkan potensi ini. Sumberdaya manusia ahli di bidang
energi terbarukan belum merata di tiap daerah di Indonesia. Lembaga pendidikan
ditingkat SMK, politeknik, maupun Universitas sebagai pencetak tenaga ahli unggul
di bidang energi terbarukan masih terbatas. Pengiriman pelatihan sumber daya
manusia di bidang energi terbarukan ke negara maju dalam pemanfaatan energi
terbarukan
terhadap pentingnya
418
Indek Pembangunan Manusia Indonesia atau IPM di Asean ada pada rangking
lima dibawah negara Singapura, Brunai, Malaysia dan Thailand. Secara dunia masuk
pada peringkat 108/107 dan termasuk dalam kategori menengah (Sartono,2015).
Indek Pembangunan Manusia Indonesia saat ini ditingkatkan dengan implementasi
wajib belajar 12 tahun, pengembangan politeknik, pendidikan vokasi dan
pengembangan community college. Dengan pendidikan yang bagus dan terampil serta
kualitas manusia yang makin tinggi pada bidang energi terbarukan maka
pengembangan industri energi terbarukan berbasis teknologi terkini mudah
diimplementasikan dengan dukungan banyak faktor lain.
pengembangan mikrohidro tersedia sebesar 75.000 MW. Potensi energi surya juga
sangat besar. lebih besar dari potensi yang dimiliki negara-negara lain di dunia.
Potensi energi surya yang dimiliki Indonesia sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan
112.000 GWp. Sementara itu, cadangan panas bumi kita mencapai 40% dari cadangan
dunia. Panas bumi adalah sumber daya energi yang ramah lingkungan karena rendah
419
emisi karbonnya. Disamping sumper daya alam yang mendukung untuk penerapan
industri energi terbarukan Indonesia juga memiliki sumber daya alam pendukung atau
material pembuat sistem energi terbarukan. Turbin untuk energi hidro maupun angin
untuk material besi mudah didapat di Indonesia
Infrastruktur
Infrastruktur pendukung pengembangan industri energi terbarukan di
Indonesia masih kurang. Pemerintah masih banyak pada tahap perencanaan untuk
membangun infrastruktur energi terabrukan Rencana peningkatan produksi energi
terbarukan sangat bergantung kepada adanya investasi yang besar pada jaringan
transmisi dan investasi pada pembangunanpembangkit listrik terutama panas bumi,
energi surya dan energi angin. Demikian pula dalam halpembentukan pasar gas
sebagai
sumber
energi
terbarukan
juga
sangat
membutuhkan
2.
Demand Factor
Permintaan energi untuk kebutuhan listrik maupun energi lainnya terus
420
421
3.
dengan potensi energi air, angin, dan biomassa yang jumlahnya besar di Indonesia,
namun permasalahan adalah bagaimana kesiapan untuk membangun industri
manufaktur di Indonesia yang saat ini hanya beberapa industri manufaktur bergerak di
bidang energi terbarukan dan terkonsentrasi hanya di wilayah tertentu saja.
Tabel 4. Organisasi di Bidang Energi Terbarukan Pembangkit Tenaga Air.
No
1
Jenis organisasi
Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines
Project Developer
Project Developer
Project Developer
MHP
Consultant
Contractor
Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines
9
10
Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines
11
Manucature-Electronic
Controller
Manufactur-Re Other
Manufacture -Turbines
12
13
or
Nama organisasi
CV. Tepat Guna
Teknik
CV. Hidro Cipta
Mandiri
PT. Bumiloka
Bumijaya
Energi
PT.
Selo
Kencana Energi
PT. Pelita Prima
Nusantara
Cahzaro
Gerbang
International
Ragil Perdana
Teknik
Kramatraya
Sejahtera
Heksa Hydro
Chhanjuang Inti
Teknik (CIT)
Renerconsys
Solare
Hidro
Tempat
Sragen
Propinsi
Central java
Lumajang
East Java
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Bandung
West Java
Bandung
West Java
Bandung
Bandung
West Java
West Java
Bandung
West Java
Bandung
Daya Bandung
West Java
West Java
422
14
15
Manufacture -Turbines
Manufacture -Turbines
Kinerja
(HADEKA)
Linggih
Ferdianus
Mamasa
Mamasa
Sulawesi barat
Sulawesi barat
423
424
Jenis
Pembangkit
Kendala
PLTBiomassa
PLTA/PLTM
PLTP
PLTBayu
PLTS
PLT
laut
energi
425
bidang energi terbarukan diperlukan sinergi yang kuat antara berbagai institusi untuk
mencapai suatu tujuan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Hutapea, M. 2015. Arah Kebijakan Dan Strategi Pengembangan EBTKE.Musyawarah
Nasional METI VI, Jakarta, 28 Mei 2015.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, Brooklyn,
Massachuset
Sudibyo, H. 2014. Penelitian Insentif Ristek Mendukung Pembangunan Nasional
BidangEnergi dan Peralatan Transportasi. Proseding Forum Tahunan Pengembangan
Iptek dan Inovasi Nasional IV, Jakarta
Sartono, A. MoT as a Key Success Factor for Unlocking Indonesias MoT as a Key
Success Factor for Unlocking Indonesias Economic Potentials.Indonesian Japan
Symposium, Bandung, 10 September 2015
International Energy Agency. 2015. Indonesia 2015.nine rue de la Fdration, Paris Cedex,
France
426
Basuki, Budi. 2015. Usaha Medco dalam Percepatan Program Energi Terbarukan dan
Konservasi Energi, METI, Jakarta, 28 Mei 2015.
Sebayang, Nasri. 2015. Pengembangan Energi Terbarukan 2015-2024. PT.PLN- METI,
Jakarta
Subekti, R dan H.Sudibyo .2014. Model Diamond Porter Dalam Analisis Ekonomi Industri
Mobil Listrik Nasional. Proseding Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi
Nasional IV, Jakarta
427
P-ALTEK 21
ABSTRAK
Teori-teori yang berkembang dalam alih teknologi (technology transfer) yang
mendukung perilaku kewirausahaan (entrepreneurial behavior) dari peneliti
(researcher) adalah sesuatu hal baru dan memerlukan pengembangan, supaya dapat
memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi. Ini adalah salah satu
bentuk upaya dalam pengembangan alih teknologi yang berorientasi bisnis. Dalam
makalah ini, kami memanfaatkan literatur salah satu model bisnis, yaitu business
model canvas atau lebih dikenal sebagai BMC untuk merumuskan kerangka kerja
untuk model bisnis dalam alih teknologi. BMC adalah alat analisis dalam manajemen
strategis dan perilaku kewirausahaan, dalam menggambarkan, mendesain, dan
menciptakan poros model bisnis. Kami menyajikan analisis untuk kasus alih teknologi
dari hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI. Analisis dengan menggunakan BMC ini
dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014 yang
sudah didaftarkan paten oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Hak Kekayaan
Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, Republik Indonesia. Kami menganalisis
9 elemen dalam BMC; key partners, activities, value proposition, customer
relationship, segment, resources, channel, cost, dan revenue stream. Ini
menggambarkan kerangka kerja konseptual dimana elemen key partners
menunjukkan strategi yang memberikan model bisnis yang lebih cocok. Aplikasi
model bisnis pasti memerlukan adaptasi. Namun demikian, analisis ini dapat
menawarkan pelajaran berguna, terutama bagaimana analisis bisnis untuk alih
teknologi dari hasil-hasil penelitian bidang botani di LIPI.
Kata Kunci: alih teknologi, perilaku kewirausahaan, business model canvas, key
partners, penelitian botani LIPI.
428
PENDAHULUAN
Alih teknologi merupakan daerah yang sangat menarik tidak hanya untuk
pebisnis, ekonom, industrialis, dan teknokrat tetapi juga untuk disiplin lain seperti
antropologi dan sosiologi (Zhao, L.M. and Reisman, A., 1992). Sementara para
antropolog menekankan dampak alih teknologi pada perubahan pola budaya
masyarakat, dan sosiolog lebih peduli dengan perannya sebagai kendaraan untuk
mengembangkan kapasitas individu dan masyarakat untuk mengatasi modernisasi dan
perubahan terkait
menyertainya
(Ramanathan,
K.,
2007).
Untuk
ekonom,
429
Namun demikian, model linier alih teknologi tidak lagi memadai, atau bahkan
mungkin tidak relevan lagi, untuk menjelaskan nuansa dan kompleksitas proses alih
teknologi yang mencirikan kegiatan komersialisasi yang sedang berlangsung dari
universitas dan lembaga R&D pemerintah (Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link,
A.N, 2013). Kekurangan dari model linier alih teknologi termasuk ketidakakuratan,
seperti linearitas yang ketat dan penyederhanaan proses, komposisi, satu ukuran cocok
untuk semua pendekatan, dan penekanan yang berlebihan pada paten, dan beberapa
kekurangan lain seperti gagal untuk memperhitungkan mekanisme informal alih
teknologi, gagal untuk mengakui dampak budaya organisasi, dan gagal untuk
mewakili sistem reward.
Organisasi R&D yang efektif dan baik adalah organisasi kolaboratif yang
memfasilitasi koneksi akademik industri dengan mengumpulkan data dari semua
lembaga yang berpartisipasi, dan saling terkoneksi dengan satu database, seperti yang
dijelaskan oleh Gambar 2. Organisasi kolaboratif berfungsi sebagai platform untuk
pencocokan inovator dengan mitra dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk
mengembangkan produk mereka. Mereka adalah tuan rumah, memelihara, dan
meningkatkan organisasi berbasis database (Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link,
A.N, 2013). Dalam pandangan ini, akademisi dan industri dapat terhubung langsung
melalui database dengan menggunakan sebuah organisasi kolaboratif.
430
Dengan demikian, alternatif dilihat dari alih teknologi yang disajikan di sini
yang
lebih
baik
menangkap
perkembangan
universitas
terhadap
lembaga
kewirausahaan dan dinamis, dan muka bahwa tubuh pengetahuan tentang usaha ini
akademis penting. Akan tetapi, teori-teori yang berkembang dalam alih teknologi
(technology transfer) yang mendukung perilaku kewirausahaan (entrepreneurial
behavior) dari peneliti (researcher) adalah sesuatu hal baru dan memerlukan
pengembangan, sehingga memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan
ekonomi. Ini adalah salah satu bentuk upaya dalam pengembangan alih teknologi
yang berorientasi bisnis.
Kami menyajikan analisis untuk kasus alih teknologi dari hasil-hasil penelitian
bidang botani LIPI. Analisis dengan menggunakan BMC ini dilakukan terhadap hasilhasil penelitian bidang botani LIPI periode 2002-2014 yang sudah didaftarkan paten
oleh Pusat Inovasi LIPI ke Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum
dan HAM, Republik Indonesia. Untuk mengelompokkan Value Proposition, kami
mengolah data hasil-hasil penelitian bidang botani terhadap consumer insight seperti
yang dijelaskan oleh Gambar 3 (Jatraningrum, D.A., 2015), karena dalam hal ini
market needs pada akhirnya adalah milik konsumen.
431
Gambar 3. Pemetaan Hasil Penelitian Bidang Botani LIPI Terhadap Consumer Insight
Health Promotion
Kuadran II.
Kuadran III.
Disability Limitation
Kuadran IV.
Rehabilitation
Dalam makalah ini, kami memanfaatkan literatur salah satu model bisnis, yaitu
business model canvas atau lebih dikenal sebagai BMC untuk merumuskan kerangka
kerja untuk model bisnis dalam alih teknologi. BMC adalah alat analisis dalam
432
METODOLOGI
Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kami menghubungkan
pemetaan hasil-hasil penelitian bidang botani terhadap consumer insight dengan
model bisnisnya.
Salah satu analisis deskriptif yang dilakukan adalah menggunakan pemodelan
Business Model Canvas (BMC) seperti yang dijelaskan oleh Gambar 4. Dalam BMC
terdapat 9 elemen, sebagai berikut:
1. key partners (kemitraan utama),
2. key activities (aktivitas kunci),
3. value proposition (proposisi nilai),
4. customer relationship (hubungan pelanggan),
5. customer segment (segmen pelanggan),
6. key resources (sumber daya utama),
7. channel (saluran),
8. cost structure (struktur biaya), dan
9. revenue stream (arus pendapatan).
433
434
I.
Kuadran
Penelitian LIPI
Health
Promotion
Tahapan Model
Konteks
Sumber daya R&D dan Aktivitasaktivitas Kunci dipusatkan pada
in house: gagasan hanya ditemukan
di dalam, hasil digali hanya di
dalam.
Tantangan
Struktur Biaya R&D sangat
mahal dan membuat produktivitas
merosot.
Deskripsi Model
Solusi
Sumber Daya R&D dan Aktivitas Kunci
internal ditingkatkan melalui memanfaatkan mitra
luar. Hasil-hasil R&D internal diubah menjadi
bentuk Proposisi Nilai dan ditawarkan kepada
Segmen Pelanggan yang tertarik.
Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Health Promotion,
peredaran jenis produk di pasaran sangat banyak
dan bagi industri yang penting adalah promosi.
Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan menambah
beban produksi. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada bidang ini, kemungkinan akan
sedikit jumlah peminatnya, karena pelanggan dapat melakukannya sendiri.
II.
Specific
Protection/
Early
Diagnosis
and
Promotion
Konteks
Solusi
Tantangan
Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Specific Protection/Early
Diagnosis and Promotion, peredaran jenis produk
di pasaran cukup banyak dan bagi industri yang
penting adalah promosi dan channel.
435
Kuadran
Penelitian LIPI
Tahapan Model
Deskripsi Model
Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan menambah
beban produksi. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada bidang ini, kemungkinan akan
sedikit jumlah peminatnya. Namun demikian, dapat dilakukan untuk UMKM atau
industri yang baru berkembang dalam bentuk bantuan teknis.
III.
Disability
Limitation
Konteks
Solusi
Tantangan
Segmen Pelanggan
Pada umumnya pada Dissability Limitation,
peredaran jenis produk di pasaran mulai sedikit
dan bagi industri ini adalah peluang baru dalam
bisnis dan membutuhkan eksternal R&D.
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan mengurangi
beban produksi jika dilakukan eksternal R&D. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada
bidang ini, kemungkinan akan mulai banyak jumlah peminatnya. Dapat dilakukan untuk
kerjasama dengan industri yang sudah kuat dengan produk-produk di area ini.
IV.
Rehabilitation
Konteks
Solusi
Tantangan
Struktur Biaya R&D sangat mahal dan
membuat produktivitas merosot.
Dasar pemikiran
Penguasaan R&D dari sumber eksternal dengan Segmen Pelanggan akan mengurangi
beban produksi jika dilakukan eksternal R&D. Jika LIPI melakukan alih teknologi pada
bidang ini, kemungkinan akan banyak jumlah peminatnya. Kredibilitas LIPI juga sangat
berpengaruh dalam menghasilkan produk-produk mahal pada bagian ini. Dapat
dilakukan untuk kerjasama dengan industri-industri yang sudah sangat kuat dengan
produk-produk di area ini.
436
437
Gambar 5. Model Bisnis yang Dihasilkan dari Deskripsi Kondisi dalam Alih Teknologi
dengan Segmen Pelanggan dari Hasil-hasil Penelitian Bidang Botani LIPI Periode 2002-2014
Menggunakan BMC
Benchmarking
Dalam beberapa tahun terakhir, eksternal R&D telah berkembang dan
meningkat secara signifikan. Seperti apa yang dilakukan oleh Chesbrough
(Chesbrough, H. W., 2003) (Chesbrough, H. W., 2006), dengan mengembangkan
sebuah organisasi R&D dengan inovasi terbuka - Open Innovation. Inovasi terbuka ini
memberikan manfaat dua arah dalam pertukaran kekayaan intelektual untuk
meningkatkan inovasi teknologi. Dua arah manfaat (bi-directional) tersebut adalah ke
dalam dan ke luar. Ke dalam, perusahaan mengambil keuntungan dari eksternal R&D
untuk berinovasi dalam produk dan layanan mereka. Sebaliknya, manfaat ke luar,
bekerja secara proaktif untuk mengembangkan lisensi sendiri untuk orang lain
berbasis pengetahuan dan penelitian (Porter, A. L., 2007). Metode ini telah terbukti
dalam berbagai proyek-proyek pengembangan produk, terutama produk dari industri
untuk pemenuhan kebutuhan konsumen yang biasa disebut fast moving consumer
goods FMCG. Huston (Huston, L. S, 2006) menggambarkan bagaimana Procter &
Gamble P&G telah menempatkan eksternal R&D ini ke dalam praktek R&D seharihari untuk menciptakan setidaknya 35% dari berbagai elemen produk mereka sebagai
produk inovatif baru. Ini merupakan hasil yang sangat menguntungkan dan
mengambil manfaat dari inovasi terbuka.
438
DAFTAR PUSTAKA
Bradley, S.R., Hayter, C.S., and Link, A.N. (2013). Models and Methods of University
Technology Transfer. Journal of Technology Transfer , 1-73.
Chesbrough, H. W. (2006). Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting
from Technology. Cambridge: Harvard Business School.
Chesbrough, H. W. (2003). The Era of Open Innovation. MIT Sloan Management Review,
44(9) , 35-41.
Huston, L. S. (2006). Connect and Develop. Harvard Business Review, March Ed. , 58-66.
Jatraningrum, D.A. (2015). Pemetaan Peluang Pasar dari Penelitian Botani LIPI: Pendekatan
Consumer Insight. Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional V.
Yogyakarta.
439
Leavell, H.R., Clark, E.G. (1965). Preventive Medicine for Doctor in His Community: an
epidemiological approach (3rd Ed). New York: McGraw-Hill Book Co.
Mansfield, E. (1975). East-West technological transfer issues and problems, international
technology transfer: Forms, resource requirements, and policies. American Economic
Review, 65(2) , 372-376.
Osterwalder, A., Pigneur, Y. (2009). Business Model Generation. Self Published.
Porter, A. L. (2007). Technology Mining to Drive Open Innovation. International Conference
on Technology Innovation, Risk Management and Supply Chain Management
(TIRMSCM) (pp. 1-13). Beijing: Universe Academic Press Toronto.
Ramanathan, K. (2001). E-strategies for technological capability development. Proceedings
of the Portland International Conference on Management and Technology, July 29August 2. Portland.
Ramanathan, K. (2007). The role of technology transfer services in technology capacity
building and enhancing the competitiveness of SMEs. Mongolia National Workshop
on Subnational Innovation systems and Technology Capacity-building Policies to
Enhance Competitiveness of SMEs. Organized by UN- ESCAP and ITMRC.
Ulaanbaatar.
Siegel, D.S., D.A. Waldman, L. Atwater and A.N. Link. (2004). Toward a model of the
effective transfer of scientific knowledge from academicians to practitioners:
qualitative evidence from the commercialization of university technologies. Journal
of Engineering and Technology Management, 21(1-2) , 115-142.
Zhao, L.M. and Reisman, A. (1992). Toward meta research on technology transfer. IEEE
Transactions on Engineering Management, 39(1) , 13-21.
440
P-ALTEK 22
ABSTRAK
Indonesia sebagai negara dengan kekayaan hayati memilliki potensi dan peluang yang
cukup besar untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini yang kemudian menjadi daya tarik bagi lembaga maupun
perusahaan asing untuk melakukan kerjasama di bidang alih teknologi. Kerjasama
yang dilakukan antara Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dengan lembaga atau perusahaanlain baik domestik maupun internasional dalam
kurun waktu 2 tahun terakhir tercatat terdapat 4 perjanjian kerjasama. Kerjasama
tersebut didanai oleh lembaga yang berasal dari negara yang melakukan kerjasama.
Dalam tulisan ini akan dijabarkan mengenai kontribusi dari masing-masing pihak
dalam melakukan kerjasama. Kontribusi dari masing-masing pihak ini kemudian akan
dilakukan analisa untuk mengetahui keuntungan yang didapat oleh Pusat Inovasi
LIPI. Selain itu tulisan ini juga akan menganalisa peraturan atau payung hukum yang
berlaku di Indonesia terkait alih teknologi dan Penanaman Modal Asing (PMA).
Metode yang digunakan pada kajian ini yaitu metode desk study, review, dan
perbandingan perjanjian kerjasama Pusat Inovasi dengan lembaga atau perusahaan
asing.
441
PENDAHULUAN
Dunia saat ini tengah berada pada era global, yang menyebabkan semua
kawasan di seluruh dunia saling terkait dan terintegrasi. Globalisasi tersebut terjadi di
berbagai aspek salah satunya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan dalam era globalisasi
seperti saat ini, sebab negara maju memiliki keunggulan dalam berbagai hal yang
tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi
tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya.
Alih teknologi yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh
kemajuan penelitian dan pengembangan teknologi yang ada di Indonesia. Teknologi
yang merupakan hasil dari penelitian dan pengembangan dinegara-negara maju dan
berkembang juga turut meramaikan alih teknologi dalam negeri. Sumber daya yang
dimiliki oleh Indonesia turut mempengaruhi minat dari negara asing untuk melakukan
investasi di Indonesia. Investasi yang dilakukan tersebut bukan berupa penanaman
modal langsung, namun juga penanaman modal secara tidak langsung.
Produk hukum yang dimiliki Indonesia saat ini dinilai belum mampu
memberikan pedoman bagi alih teknologi asing. Beberapa produk hukum telah
mencantumkan mengenai alih teknologi di Indonesia. Pengaturan tersebut pada
umumnya merujuk pada penanaman modal yang dilakukan oleh pihak asing ke
Indonesia. Beberapa produk hukum Indonesia yang mengatur mengenai alih teknologi
baik secara tersirat maupun tersurat, yaitu:
1. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam undang-undang ini menyebutkan mengenai teknologi pada Pasal 2
mengenai pengertian modal asing, yakni:
a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan
devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk
pembiyaan perusahaan di Indonesia
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan dari milik orang
asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah
Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa
Indonesia.
442
2.
tenaga
kerja
asing,
maka penanam
modal
modal
tersebut
443
terkait
langsung
teknologi
dalam
kegiatan
industri
tekstil.
SK Menperin tersebut
menyebut secara eksplisit tentang cara peralihan teknologi yang bisa dilakukan
melalui penyuluhan, seminar, penataran, pendidikan, dan latihan.
METODOLOGI
Kajian ini menggunakan telaah literature yang terkait dengan kerjasama alih
Teknologi dalam lingkup penanaman modal asing di Indonesia. Perbandingan antara
kerjasama alih teknologi yang ada pada kurun waktu 2 tahun terakhir ini akan
dibandingkan memalui komparatif study. Perbandingan tersebut dilakukan untuk
mendapatkan data mengenai kontribusi dari masing-masing pihak. Perbandingan
perjanjian kerjasama alih teknologi ini dilakukan terhadap 4 (empat) perjanjian yang
mana salah satu pihak adalah Pusat Inovasi LIPI.
444
definisi
alih teknologi
yang terdapat
dalam
Transnatioal
Coorporations and Technology Transfer: Effects and Policy Issues. Dalam dokumen
tersebut definisi alih teknologi secara lengkap disebutkan sebagai berikut:
The word technology itself used in at least two senses. In the first, it means
technical knowledge related or know-how-that is, knowledge, the methods and
techniques of production of goods and services. In the sense it may include the human
skills required for the apllication of techniques, since it is difficult to separate such
application from a knowledge of the techniques themselves. In the second, broader
sense, technology also encompasses capital themselves the embodiment of
technical knowledge. In some instance, the term embodied technology is used to
distinguish capital goods from technical knowledge proper (kata teknologi sendiri
setidaknya digunakan dalam dua sudut pandang, pertama, ini berarti berhubungan
pengetahuan teknis atau tentang bagaimana, pengetahuan, metode dan teknik produksi
barang-barang dan jasa. Pengertian lain juga termasuk persyaratan kemampuan
manusia untuk menerapkan teknik, karena sulit dipisahkan penerapan pengetahuan
dari teknik itu sendiri. Kedua, pemikiran secara luas teknologi juga meliputi modal
sendiri perwujudan dari teknik pengetahuan. Dalam beberapa contoh, istilah
perwujudan teknologi, digunakan membedakan modal berupa barang dengan
teknologi tepat guna) UNCTC, Transnational Corporations and Technology
Transfer: Effects and Policy Issues, United Nation, 1987, h. 1.
Dalam pengaturan hukum di Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1967
telah mengatur mengenai alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu :
a. Transfer of knowledge or skill
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 undang-undang tersebut
mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya
pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu sarana untuk alih
teknologi.
b. Transer of share (divestasi)
Transfer of share bertujuan untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan.
Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994
445
446
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian atau seluruhnya.
Kontrak merupakan hubungan hukum atara subjek hukum yang satu dengan subjek
hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati (Salim H.S 2008 : 27)
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Pusat Inovasi mendasarkan pada asas
saling menguntungkan dan kedudukan yang sama diantara pada pihak. Meskipun
begitu, alih teknologi yang terjadi di Indonesia dinilai masih lemah, karena alih
teknologi pada umumnya merupakan dasar bagi inovasi teknologi dan seringkali
menjadi efek lanjutan dari difusi teknologi (Elijido, 2010). Jika melihat pada alih
teknologi yang ada saat ini, peran LIPI khususnya Pusat Inovasi dinilai masih sedikit.
Hal ini terlihat dalam tabel Perbandingan Perjanjian Kerjasama berikut ini:
447
448
Berdasarkan tabel perbandingan tersebut, nampak bahwa ruang lingkup dari perjanjian
kerjasama tersebut yaitu pengujian daru teknologi yang telah dihasilkan oleh pihak asing
terhadap kondisi maupun ketersediaan bahan yang ada di Indonesia. Peran yang diberikan
Pusat Inovasi masih sebatas pendukung dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini dapat dilihat
dari penyedia teknologi yang dijadikan subjek kegiatan berasal dari pihak asing.
Meskipun bergitu Pusat Inovasi sebagai mitra dalam kerjasama tersebut juga
mendapat keuntungan dengan meningkatnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).
SDM Pusat Inovasi yang terlibat dalam kegiatan tersebut menjadi memilliki kemampuan dan
pemahaman mengenai teknologi yang dibawa pihak asing untuk dilakukan alih teknologi.
Peluang Pusat Inovasi sebagai institusi tujuan alih teknologi asing memiliki
beberapa keunggulan, yakni keunggulan mutlak (absolute advantage) dan keunggulan
komparatif (comparative advantage)
(Gunawan
Keunggulan mutlak (absolute advantage) yang dimiliki Pusat Inovasi adalah terkait dengan
ketersediaan sumber bahan baku penelitian maupun pengembangan yang tidak dimiliki pihak
asing. Sedangkan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Pusat
Inovasi adalah berkaitan dengan ketersediaan SDM. Keunggulan yang dimiliki Pusat Inovasi
tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak asing untuk melakukan alih teknologi di
Indonesia.
449
DAFTAR PUSTAKA
Blakeney, M. (1989). Legal Aspects of Technology Transfer to Developing Countries (Oxford: ESC
Publishing).
Elijido-Ten, E., Kloot, L., Clarkson, P. 2010. Extending the Application of Stake- Holder Influence
Strategies to Environmental Disclosures. Accounting, Auditing and Accountability. 23(8):
10321059.
Gnyawali, D.R., He, J. and Madhaven, R. (2006) Impact of co-opetition on firm competitive
behaviour: An empirical examination. Journal of Management 32 (4): 507530.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001. Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis Internasional: EksporImpor dan Imbal-Beli, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
McAdam, R., McAdam, M., Brown, V. 2009. Proof of Concept Processes in UK University
Technology Transfer: An Absorptive Capacity Perspective. R&D Management. 39(2): 111
130.
Salim H.S. 2008. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
UNCTC, Transnational Corporations and Technology Transfer: Effects and Policy Issues, United
Nation, 1987, h. 1.
Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Undang-undang No. 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten
Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, serta Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2005
Keputusan Menteri Perindustrian No. 41/M/SK/3/1979
Peraturan Kepala LIPI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
BidangP-ALTEK
450
ABSTRAK
Komposbioposka merupakan salah satu produk hasil teknologi pengolahan sampah
organik di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PKT KR - LIPI). Sampah organik berupa serasah daun dan potongan rumput menjadi bahan
baku utama pembuatan kompos bioposka. Kegiatan alih teknologi kompos bioposka telah
dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan pembentukan masyarakat binaan
yang didukung oleh beberapa program. Selain itu, kompos bioposka telah dimanfaatkan oleh
masyarakat melalui unit bisnis lembaga berupa Garden Shop PKT KR LIPI. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan pengolahan sampah daun tumbuhan
koleksi PKT KR LIPImenjadi produk kompos bioposka dan mengevaluasi proses alih
teknologinya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
berdasarkan informasi kegiatan produksi yang dilakukan oleh Unit Kompos, Subbidang
Pemeliharaan Koleksi PKT KR LIPI. Data pemanfaatan produk oleh masyarakat
didapatkan dari database Garden Shop, Unit Kerja Sama dan Promosi, Subbidang Kerja
Sama dan Informasi PKT KR LIPIpada tahun 2010 2014 serta bulan Januari Agustus
2015. Tulisan ini mendeskripsikan bahwa proses produksi kompos bioposka telah dilakukan
secara masal melalui tahapan pengumpulan sampah daun dan potongan rumput,
penggilingan, fermentasi, penyaringan dan pengemasan. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa pemanfaatan produk kompos bioposkaoleh masyarakat melalui Garden
Shopberfluktuatif pada tahun 2010 2014. Penjualan kompos bioposka lebih tinggi pada
tahun 2015 dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya meskipun pengumpulan data
penjualan pada tahun 2015 baru sampai bulan Agustus. Kegiatan promosi yang lebih intensif
pada tahun 2015 terbukti dapat meningkatkan penjualan kompos bioposka di Garden Shop
PKT KR LIPI.
Kata kunci: Alih Teknologi,Bioposka, Garden Shop, Kebun Raya, Kompos.
BidangP-ALTEK
451
PENDAHULUAN
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (Kebun Raya Bogor) memiliki
sumber bahan organik berupa sampah daun yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan kompos. Setiap bulannya Kebun Raya Bogor menghasilkan sekitar 36
ton sampah organik (Ruhimat, 2008). Ketersediaan bahan organik sampah daun akan menjadi
ciri khas Kebun Raya dalam menghasilkan pupuk organik atau kompos.Metode pembuatan
kompos cukup beragam karena sangat tergantung dari jenis bahan organik. Sampah dari
pasar akan memiliki penanganan yang berbeda dengan sampah dari kebun atau lahan
pertanian. Darwis dan Rachman (2013) menyatakan bahwa sampah organik yang dihasilkan
oleh suatu wilayah berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik.
Manfaat kompos organik adalah salah satunya dapat memperbaiki kondisi media
tanam sehingga dapat mendorong pertumbuhan tanaman secara alami. Ketersediaan kompos
bermutu dapat dihasilkan melalui proses pengolahan yang sesuai dengan standar pengolahan
kompos yang tepat. Kompos bioposka yang diproduksi oleh Kebun Raya Bogor memiliki
manfaat untuk perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. Helmanto et al. (2015)
membuktikan bahwa penambahan kompos bioposka pada media pasir dapat meningkatkan
daya kecambah biji Quassia indica. Rivai et al. (2015) menambahkan bahwa kompos
bioposka terbukti dapat meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan bibit Alpinia
malaccensis terutama pada parameter pertumbuhan organ vegetatif dan kandungan klorofil.
Damayanti dan Helmato (2015) juga telah membuktikan bahwa kompos bioposka dapat
digunakan sebagai media maupun pupuk tambahan pada perkecambahan biji Clausena
excavata. Penelitian Isnaini et al. (2015) telah mengungkapkan bahwa penambahan kompos
bioposka pada media tanam juga terbukti dapat menghasilkan umbi Amorphophallus
paeoniifolius menjadi lebih besar.
Kompos selain memiliki sifat ramah lingkungan dan bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman juga memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Alih teknologi berupa
penyebaran informasi maupun distribusi manfaat hasil penelitian perlu dirasakan oleh
masyarakat luas. Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan
pengolahan sampah daun tumbuhan koleksi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI
(Kebun Raya Bogor)
teknologinya.
BidangP-ALTEK
452
Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
berdasarkan informasi kegiatan produksi yang dilakukan oleh Unit Pengolahan Kompos,
Subbidang Pemeliharaan Koleksi, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun RayaLIPI. Data
penjualan didapatkan dari database Garden Shop, Unit Kerja Sama dan Promosi, Subbidang
Kerja Sama dan Informasi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun RayaLIPIpada tahun 2010
2014 serta bulan Januari Agustus 2015.
BidangP-ALTEK
453
Pengumpulan
Sampah Daun
Penggilingan
Pembalikan
Fermentasi
Penyiraman
Penyaringan
Karung 30 Kg
Pengemasan
Plastik 5 Kg
Distribusi
danPemasaran
Gambar 1. Tahapan pembuatan kompos bioposka di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI
Tahap kedua adalah proses penggilingan. Tujuan dari penggilingan adalah untuk
mengahancurkan bahan organik menjadi bagian yang lebih kecil. Bahan yang berukuran lebih
kecil akan lebih cepat terdekomposisi.Bahan yang telah digiling selanjutnya dimasukkan ke
dalam bak penampung sebagai tempat untuk proses fermentasi.
Tahap ketiga merupakan proses fermentasi. Tahapan ini merupakan tahapan yang
paling penting dalam proses pengomposan. Komposisi utama dalam proses fermentasi adalah
sampah daun yang telah digiling, air dan bahan aktivator. Pola fermentasi dibuat dengan
sistem tumpukan (1.5 x 2 x 1.5) m3. Bahan aktivator salah satunya mengandung inokulan
mikroba yang berperan memecah selulosa. Proses pembuatan kompos dari sampah organik
sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bahan aktivator yang digunakan (Yuniwati et al.,
2012). Proses fermentasi berlangsung selama 30 45 hari. Selama proses tersebut dilakukan
juga kegiatan pembalikan dan penyiraman dengan tujuan untuk menjaga suhu, aerasi dan
kelembaban. Kompos yang sudah matang dicirikan dengan bentuknya menyerupai tanah,
berwarna hitam dan tidak berbau. Subali dan Ellianawati (2010) mengungkapkan bahwa
BidangP-ALTEK
454
Indikator
pH
Kadar air
C-Total
N-Total
C/N
P2O5
K2O
Fe
Mn
Cu
Zn
Pb
Cd
Co
Satuan
%
%
%
%
%
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
Nilai
*6.8
57.92
9.34
*1.26
7
0.04
0.17
*9374
*555
*21
*85
*19
*0
*1.7
SNI
6.8 7.49
50
9.8 32
0.4
10 20
0.10
0.20
20000
1000
100
500
150
3
34
Keterangan: SNI= Standar Nasional Indonesia; Angka yang didahului oleh tanda * menunjukkan nilai tersebut
telah sesuai dengan SNI.
Produk kompos bioposka selain yang dikemas dalam kemasan 30 kg dan 5 kg, juga
dimanfaatkan secara internal berupa kompos galian. Gambar 2 menunjukkan produksi kompos
bioposka pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 (Januari Agustus). Pada tahun 2012-2013
BidangP-ALTEK
455
4000
3500
Produksi (unit)
3000
2500
5 kg (unit)
2000
30 kg (unit)
Galian (karung)
1500
1000
500
0
2012
2013
2014
2015 (Jan-Agu)
Tekno Ekonomi
a. Perhitungan Biaya Produksi
Hasil perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos curah yang
menggunakan bahan utama serasah daun. Berdasarkan tabel 2, kapasitas produksi kompos
bioposka selama 1 tahun sebanyak 180 Ton.
b. Perhitungan Keuntungan
Keuntungan atau laba (rugi) dapat diketahui setelah penerimaan hasil penjualan
produk dikurangi dengan harga pokok dan biaya produksi. Dimana jumlah produksi kompos
bioposka sebanyak 180.000 kg akan dihasilkan bioposka curah sebanyak 162.000 kg (13,5
ton/bulan). Pendapatan dan keuntungan yang diperoleh pabrik dengan produksi 162.000 kg
dan harga kompos Rp 1.000,00 /kg adalah sebagai berikut:
BidangP-ALTEK
456
Keuntungan
2.
3.
4.
5.
6.
Uraian
Biaya Investasi (5 Tahun)
Mesin Pencacah (crusher)
Mesin Penyaring
Genset 5 KVA
Bangunan
Lantai pengeringan
Timbangan
Mesin Jahit Karung
Mesin Sealer
Troli
Sub Total A
Biaya produksi (Operasional)
Bahan
- Bioaktifator
- Bahan baku serasah daun
- Kemasan karung
- Kemasan plastik
- Plastik fermentasi
- Benang jahit karung
- Bahan bakar
Peralatan pendukung (garpu,
sekop,
cangkul,
golok,
termometer batang)
Tenaga Kerja
- Pengolah kompos
Biaya ATK
Promosi pemasaran
Penyusutan (10% biaya
investasi)*
Sub Total B
Total Biaya (A+B)
Volume
Satuan
Jumlah (Rp)
60.000.000
22.000.000
5.000.000
2.500.000
2.000.000
2.000.000
1.500.000
800.000
600.000
1
1
1
120
40
1
1
1
3
Unit
Unit
Unit
m2
m2
Unit
Unit
Unit
Unit
60.000.000
22.000.000
5.000.000
300.000.000
80.000.000
2.000.000
1.500.000
800.000
1.200.000
472.500.000
30.000
3.000
20.000
500.000
10.000
7.500
600.000
400
260
180
18
8
60
700
1
Kg
Ton
Lembar
Pak
Rol
Gulung
Liter
Paket
12.000.000
540.000
360.000
4.000.000
600.000
5.250.000
600.000
75.000
300.000
20
10.000
960
1
180.000
3.000
4/HOK
Paket
Kg
Kg
72.000.000
300.000
3.600.000
47.250.000
146.500.000
619.000.000
BidangP-ALTEK
457
keuntungan
biaya produksi
=
Rp 15.500.000,00
Rp 146.500.000,00
= 0,1
Berdasarkan perhitungan diatas menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan kompos Bioposka
ini berdasarkan B/C sangat layak untuk direalisasikan. Nilai B/C = 0,6 artinya bahwa setiap
Rp. 1.000,00 yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 100,00.
nilai invetasi
BidangP-ALTEK
458
Total Biaya
Harga Penjualan
=
Rp. 146.500.000,00
Rp. 1.000,00
= 146.500 Kg
BEP Harga
Total Biaya
Total Produksi
=
Rp. 146.500.000,00
162.000 Kg
= Rp.904,32/Kg
BEP ini merupakan titik impas usaha, dari nilai BEP dapat diketahui pada tingkat
produksi dan harga berapa suatu usaha pengolahan limbah daun (pembuatan pupuk organik)
tidak memberikan keuntungan dan tidak pula mengalami kerugian.Sebagai contoh untuk
pembuatan kompos bioposka, usaha tidak mengalami kerugian atau memberikan keuntungan
jika total produksi kompos curah sebanyak 146.500 kg atau harga pupuk kompos bioposka
hanya Rp. 904,32 per kg.
Peningkatan keuntungan suatu usaha dapat dilakukan dengan cara menaikan produksi.
Produksi akan meningkat ketika permintaan pasar juga meningkat. Promosi merupakan salah
satu cara yang tepat dalam menyebarkan informasi suatu produk, termasuk kompos bioposka.
Menurut Julianto (2006), promosi memiliki pengaruh terhadap brand image suatu produk.
Brand image yang kuat dapat merubah perilaku konsumen untuk cenderung mengenal,
mengingat, mencoba dan akhirnya membelinya. Selain itu, menurut Santoso et al. (2013)
menambahkan bahwa perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh kualitas produk, harga dan
promosi yang ditetapkan oleh suatu unit usaha.
BidangP-ALTEK
459
Komersialisasi Produk
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI memiliki unit bisnis lembaga berupa
Garden Shop. Fungsi utama Garden Shop adalah sebagai show room tempat penjualan dan
promosi produk LIPI kepada pengunjung Kebun Raya Bogor. Produk utama yang dipasarkan
berupa kompos bioposka, tanaman, buku-buku ilmu pengetahuan, cinderamata, herbal,
makanan dan minuman.
Kompos bioposka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sejak tahun 2010. Gambar 3
menunjukkan pemanfaatan kompos bioposka oleh masyarakat dengan indikator terukur
berupa grafik penjualan kompos bioposka tahunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2015 (Januari Agustus).Kegiatan komersialisasi kompos bioposka dapat berupa penjualan
langsung produk ke masyarakat terutama pengunjung Kebun Raya Bogor. Berdasarkan
gambar 3, menunjukkan bahwa fluktuasi kompos bioposka yang dimanfaatkan oleh
masyarakat dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Meskipun data penjualan pada tahun
2015 masih sampai bulan Agustus, namun terlihat bahwa angka penjualan tertinggi ada pada
tahun tersebut. Promosi yang lebih intensif pada tahun 2015 merupakan salah satu faktor
utama dalam mendongkrak angka pemanfaatan produk kompos bioposka oleh masyarakat.
BidangP-ALTEK
460
14000
13245
12970
12075
12000
10265
10000
9120
Penjualan (kg)
8000
6000
4910
4000
2000
0
2010
2011
2012
2013
2014
2015 (Jan-Agu)
Gambar 3. Grafik penjualan produk kompos bioposka pada tahun 2010 2015
Promosi yang dilakukan salah satunya melalui media sosial sangat signifikan dalam
membantu penyebaran informasi terkait produk kompos bioposka. Menurut Lesmana (2012),
media sosial merupakan trend dalam komunikasi pemasaran pada masa kini. Perkembangan
penggunaan media sosial di Indonesia sangat berkembang pesat. Penyebaran informasi yang
dulunya hanya satu arah, pada era sekarang penyebaran informasi dapat berantai dan
menyebar secara cepat ke semua lapisan masyarakat. Andreani (2013) menambahkan bahwa
media sosial yang paling berpengaruh terhadap promosi suatu produk adalah facebook,
twitter dan YouTube. Sebagian masyarakat juga memanfaatkan instagram dalam
mempromosikan produknya di media sosial. Nugroho dan Kastaman (2014) juga mendukung
pernyataan sebelumnya, bahwa media sosial facebook dapat digunakan untuk melakukan
promosi produk secara efektif dan efisien.
Perilaku konsumen dalam memanfaatkan produk kompos bioposka sangat
berfluktuatif. Gambar 4 menunjukkan fluktuasi penjualan bulanan kompos bioposka pada
tahun 2015. Angka penjualan tertinggi ada pada bulan April. Konsumen tetap merupakan
salah satu penyumbang utama angka penjualan pada bulan tersebut. Menurut Suardika et al.
(2014) faktor psikologis konsumen yang terdiri atas motivasi, pembelajaran dan sikap
berpengaruh terhadap keputusan pembelian suatu produk. Promosi produk merupakan cara
yang tepat dalam memengaruhi pola perilaku konsumen.
BidangP-ALTEK
461
462
7000
6000
Penjualan (kg)
5000
4000
3000
2000
1000
0
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Gambar 4. Grafik penjualan bulanan produk kompos bioposka pada tahun 2015
BidangP-ALTEK
500
447
450
413
406
400
P
en350
ju300
al
a 250
n
(u200
ni150
t)
100
328
271
295 293
213
198
160
137
116
50
0
2010
2011
Penjualan (unit) 5 kg
2012
2013
Penjualan (unit) 30 kg
2014
2015
(Jan-Agu)
Gambar 5. Penjualan produk kompos bioposka berdasarkan kemasan pada tahun 2010-2015
KESIMPULAN
Sampah organik dengan material utama berupa daun tumbuhan koleksi Kebun RayaLIPI memiliki peningkatan nilai ekonomi setelah diolah menjadi produk kompos bioposka.
Proses alih teknologi produk kompos bioposka dapat dilakukan dengan diseminasi dan
komersialisasi melalui unit bisnis satuan kerja (Garden Shop Pusat Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya LIPI). Promosi melalui berbagai media, salah satunya media sosial dapat
meningkatkan penjualan produk kompos bioposka.
BidangP-ALTEK
463
DAFTAR PUSTAKA
Andreani G. 2013. Pengaruh Promosi melalui Media Sosial terhadap Minat Beli Samsung Berbasis
Android pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas
Sumatera Utara.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. Standar
Nasional Indonesia-SNI 19-7030-2004.
Damayanti F dan H Helmanto. 2015. Perkecambahan dan pertumbuhan kecambah Clausena excavata
pada perlakuan pemberian kompos bioposka. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 1(4): 856-859.
Darwis V dan B Rachman. 2013. Potensi pengembangan pupuk organik insitu mendukung percepatan
penerapan pertanian organik. Forum Penelitian Agro Ekonomi 31(1): 51-65.
Helmanto H, F Damayanti dan DW Purnomo. 2015. Pengaruh pupuk kompos bioposka dalam proses
perkecambahan dan pertumbuhan biji Quassia indica. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 1(4): 852-855.
Isnaini Y, I Handayani dan Yuzammi. 2015. Aplikasi kompos bioposka untuk aklimatisasi suweg
(Amorphophallus paeoniifolius) hasil perbanyakan kultur jaringan. Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi
Hijau halaman 179-186.
Julianto A. 2006. Pengaruh Promosi terhadap Brand Image Sabun Mandi Lifebuoy. Skripsi. Fakultas
Bisnis dan Manajemen. Universitas Widyatama.
Lesmana IGNA. 2012. Analisis Pengaruh Media Sosial Twitter terhadap Pembentukan Brand
Attachment. Tesis. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Nugroho H dan Kastaman. 2014. Pengaruh media sosial Facebook dalam peningkatan penjualan
bisnis online. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi halaman 161-168.
Rivai RR, FF Wardani and MG Devi. 2015. Germination and breaking seed dormancy of Alpinia
malaccensis. Nusantara Bioscience 7(2): 67-72.
Ruhimat R. 2008. Pemanfaatan sampah daun sebagai bahan dasar kompos organik di Kebun Raya
Bogor. Warta Kebun Raya 8(2): 93-100.
Santoso KW, HD Waluyo dan S Listyorini. 2013. Pengaruh kualitas produk, harga dan promosi
terhadap keputusan pembelian permen tolak angina di Semarang. Diponegoro Journal of Social
and Politic 1(1): 1-10.
Suardika IMP, IGAA Ambarawati dan IP Sukaatmadja. 2014. Analisis perilaku konsumen terhadap
keputusan pembelian sayur organik CV Golden Leaf Farm Bali. Jurnal Manajemen Agribisnis
2(1): 1-10.
Subali B dan Ellianawati. 2010. Pengaruh waktu pengomposan terhadap rasio unsur C/N dan jumlah
kadar air dalam kompos. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY halam 49-53.
Surat Keputusan Kepala LIPI. 2013. Pelaksanaan Penerapan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi di Daerah oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tahun 2014.
BidangP-ALTEK
464
BidangP-ALTEK
465
ABSTRAK
Pengembangan e-Health dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada
masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Kelebihan teknologi
e-Health, diantaranya fitur pemantauan kondisi kesehatan secara remote yang diaplikasikan
pada perawatan secara mandiri/personal melalui perangkat bergerak. Angka statistik
kepemilikan dan penggunaan telepon cerdas pada masyarakat perkotaan dan pedesaan di
Indonesia menunjukkan trend yang terus meningkat setiap tahunnya. Dan penetrasi
ketersediaan koneksi internet melalui perangkat bergerak (telepon cerdas dan tablet) terus
diupayakan dengan diikuti oleh peningkatan bandwidth oleh operator telekomunikasi di
Indonesia.
maksimal. Salah satunya faktor penyebabnya karena minimnya startup company yang
bergerak dibidang jasa layanan e-Health yang dapat menyediakan layanan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pada paper ini akan diusulkan model layanan startup
company bidang kesehatan dengan menerapkan framework service engineering yang
dipadukan dengan lean startup model. Framework ini menjadi acuan bagi startup company
dalam menginisiasi dan pengembangan produk sehingga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat serta pihak-pihak terkait (stakeholder). Pada paper ini disajikan pula pengujian
framework service engineering dan lean startup model pada studi kasus startup company ehealth untuk layanan pemantauan kesehatan jantung.
Kata kunci : startup company, service engineering, lean startup model
BidangP-ALTEK
466
PENDAHULUAN
Secara terminologi, startup company yang merupakan serapan dari bahasa Inggris
adalah tindakan atau proses memulai sebuah organisasi baru atau suatu bisnis. Startup
biasanya dirujuk pada aktivitas organisasi atau usaha yang belum lama dimulai atau
beroperasi.
Istilah startup mulai popular ketika era bubble dot-com sekitar tahun 1998-200,
dimana secara bersamaan banyak didirikan perusahaan dot-com yang menandakan era
perkawinan teknologi, web, internet dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu. Pada masa
itu berbagai perusahaan gencar membuat website untuk kepentingan pengembangan usaha.
Sebenarnya startup tidak melulu perusahaan yang bersentuhan dengan teknologi, dunia maya,
aplikasi atau produk, namun bisa juga berupa jasa dan gerakan ekonomi kerakyatan yang
mandiri tanpa bantuan korporasi-korporasi besar dan mapan.
Karakteristik perusahaan yang termasuk kategori startup antara lain: (a) usia
perusahaan kurang dari 3 tahun, (b) jumlah pegawai kurang 20 orang, (c) penghasilan kurang
dari USD 20.000 / tahun, (d) masih dalam tahap berkembang, (e) umumnya beroperasi dalam
bidang teknologi, (f) produk yang dibuat dalam bentuk digital, (g) beroperasi melalui
website.
Seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia, hal ini berdampak pada
semakin pesatnya pertumbuhan startup di Indonesia. Berdasarkan data yang tercatat pada
situs http://www.startupranking.com/top/indonesia, saat ini ada sekitar 787 startup Indonesia
yang telah berjalan. Angka ini akan terus berjalan dengan bertambahnya inkubator dan
investor yang menjadi pendorong bertumbuhnya startup di Indonesia.
Startup Indonesia yang bergerak di bidang layanan kesehatan terus bertambah seiring
dengan upaya mempermudah akses layanan kesehatan melalui media internet. Secara garis
besar, layanan yang diberikan antara lain konsultasi kesehatan, informasi dokter, informasi
obat dan apotek, serta layanan laboratorium.
Menurut Laurence McCahill, secara umum permasalahan yang dihadapi oleh
mayoritas startup, antara lain : (a) visi dan misi yang tidak jelas, (b) kurang fokus, (c) desain
yang tidak menarik user (user friendly), (d) produk yang tidak populer, (e) fokus hanya
kepada investor bukan pada pelanggan, (f) fokus pada penjualan dan melupakan product
market fit, (g) meluncurkan produk terlalu cepat, (h) tidak memiliki mentor, (i) tidak
memiliki rencana jangka panjang, (j) salah merektur anggota tim.
BidangP-ALTEK
467
METODOLOGI
Pada paper ini akan dijabarkan metodologi penelitian yang digunakan yaitu
framework service engineering dengan pendekatan simple approach. Sedangkan lean startup
model dan lean startup process digunakan sebagai rujukan dalam mengkreasi dan mengatur
startup agar dapat menyediakan produk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
BidangP-ALTEK
468
BidangP-ALTEK
469
Alat bantu
Metoda dan
hasil
2. Desain
Fase desain terdiri dari bagian yaitu desain layanan (service design) dan implementasi SOA.
Desain layanan
Tahap ini dilakukan berdasarkan hasil analisa ada fase identifikasi. Alat bantu yang
digunakan adalah service blueprint dan business process diagram (BPD). Hasil dari tahap ini
akan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan operasi layanan pada implementasi SOA.
Pada tabel 2 disajikan rincian dari desain layanan.
BidangP-ALTEK
470
Alat bantu
Implementasi SOA
Layanan yang telah didefinisikan selanjutnya akan diimplementasikan dengan menggunakan
metoda SOA. Pada tahap ini akan dihasilkan inovasi-inovasi layanan yang diperlukan. Pada
tabel 3 disajikan rincian dari implementasi SOA.
Tabel 3. Implementasi SOA
Data
Alat bantu
BidangP-ALTEK
471
Tools
4. Deploy
Pada fase ini, prototipe sistem akan diuji untuk memastikan sistem yang dibuat telah sesuai
dengan desain sistem. Pengujian menggunakan metoda black box testing dan security testing.
Tabel 5. Tahap deploy sistem layanan
Data
Tools
Methods &
Results
Berdasarkan rujukan lean stratup model / lean startup process, fase selanjutnya adalah
mengujicobakan sistem pada calon pengguna dalam lingkup terbatas. Tujuannya adalah
untuk mengetahui bagian-bagian dari sistem yang masih harus ditambahkan dan
disempurnakan. Hasilnya akan dijadikan sebagai acuan dalam proses perbaikan dan
penyesuaian prototipe sistem.
BidangP-ALTEK
472
DAFTAR PUSTAKA
_, https://www.maxmanroe.com/apa-itu-startup-bgmn-perkembangan-dunia-bisnis-startup-diindonesia.html.
A.J. Lopes and R. Pineda, Service System Engineering Application, Procedia Comput. Sci.,
vol. 16, pp. 678-687, 2013.
Anis Uzaman, Startup Pedia, Penerbit Bentang, 2015.
Suhardi, P.M. Budhiputra, and P. Yustianto, Service Engineering Framework: A Simple
Approach, in International Conference on Information Technology System and
Innovation (ICITSI), 2014.
BidangP-ALTEK
473
ABSTRAK
Inkubator teknologi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan hasil litbang
menjadi produk komersial atau bahkan menjadi suatu unit bisnis tertentu. Inkubator teknologi
tidak hanya dikembangkan oleh sektor industri, namun juga oleh lembaga litbang maupun
perguruan tinggi, terutama dalam hal komersialisasi hasil litbang. Makalah ini bertujuan
untuk mengkaji bagaimana pola komersialisasi hasil litbang perguruan tinggi melalui
inkubator teknologi, dengan fokus pada interaksi antar perguruan tinggi, inkubator teknologi
dan pengguna. Metode yang digunakan adalah studi kasus tunggal pada inkubator teknologi
di PTN X di bidang teknik (engineering). Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pola
komersialisasi melalui inkubator teknologi merupakan pola technology push, dimana
interaksi antara perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi dengan pengguna masih rendah.
Hasil studi kasus juga menunjukkan bahwa peran inkubator teknologi lebih sebagai
intermediary institution, yaitu memfasilitasi hasil litbang untuk didaftarkan menjadi paten,
namun belum berperan sebagai pendorong hasil litbang menjadi perusahaan spin-off.
Kata Kunci: inkubator teknologi, pola komersialisasi, litbang perguruan tinggi.
BidangP-ALTEK
474
PENDAHULUAN
Kegiatan litbang merupakan kegiatan yang dilakukan baik oleh industri maupun
lembaga litbang publik untuk menghasilkan inovasi baru di berbagai bidang penelitian. Nilai
kebaruan dari suatu inovasi merupakan sumber nilai tambah yang bisa dikembangkan secara
ekonomi. Agar dapat dikembangkan menjadi nilai tambah ekonomis, inovasi yang dihasilkan
dari proses litbang harus melalui tahap komersialisasi, misalnya menjadi produk yang bisa
dipasarkan secara umum. Komersialisasi hasil inovasi dapat dilakukan melalui berbagai cara,
salah satu konsep yang banyak digunakan adalah melalui inkubator teknologi. Inkubator
teknologi didefinisikan sebagai media yang memiliki fungsi untuk inkubasi hasil litbang
menjadi produk komesial atau perusahaan baru berbasis teknologi (Rubin dkk, 2015). Dalam
literatur, klasifikasi inkubator bisnis dan teknologi sangat beragam dan bervariasi, baik
berdasarkan tujuan, output yang diharapkan, kepemilikan modal, serta interaksi dalam
inkubator. Makalah ini mengacu pada klasifikasi inkubator teknologi yang dikembangkan
oleh Grimaldi dan Grandi (2005) dimana mengklasifikasikan inkubator menjadi empat yaitu:
(i) pusat inovasi bisnis, (ii) inkubator teknologi universitas, (iii) inkubator swasta independen,
dan (iv) inkubator perusahaan.
Secara umum, inkubator teknologi dikembangkan baik oleh industri maupun oleh unit
litbang publik. Perusahaan yang memiliki unit litbang menghasilkan inovasi teknologi dalam
bentuk prototipe atau desain produk baru. Umumnya, inovasi hasil litbang tersebut tidak
secara langsung dikomersialisasikan, namun harus melalui tahap inkubasi tertentu. Tahap
inkubasi ini dilakukan di inkubator teknologi, output inkubator teknologi di industri biasanya
berupa lisensi, paten, produk baru, dll. Bahkan di beberapa kasus, jika inovasi yang
dihasilkan memiliki potensi besar, hasil inkubator teknologi dapat berupa proses spin-off
perusahaan baru. Literatur menunjukkan bahwa perusahaan yang dikembangkan melalui
inkubator teknologi memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak dikembangkan melalui inkubator teknologi, kesuksesan tersebut
meliputi peningkatan penjualan dan lapangan kerja, kemampuan perusahaan untuk dapat
bertahan di pasar dan relasi kerjasama komersil maupun teknis (Mian, 1997; Reitan, 1997;
Colombo dan Delmastro, 2002).
BidangP-ALTEK
475
476
karakteristik
inkubator
teknologi
di
perguruan
tinggi
memiliki
ketergantungan pendanaan dari perguruan tinggi dan dari industri. Pendanaan dari perguruan
tinggi untuk kegiatan litbangnya, sedangkan pendanaan dari industri diperoleh untuk tranfer
paten atau HKI dari inkubator.
Di Indonesia, perguruan tinggi juga telah mengalami transformasi fungsi, bukan
hanya sebagai media edukasi konvensional, namun juga telah memiliki fungsi mendorong
komersialisasi inovasi hasil litbang. Hasil litbang perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya
sampai tahap publikasi ilmiah atau paten saja. Namun juga didorong untuk sampai pada tahap
komersialisasi inovasi tersebut sehingga memiliki nilai tambah secara ekonomis. Salah satu
cara yang dilakukan oleh universitas/ perguruan tinggi adalah dengan mengembangkan
inkubator teknologi. Pengembangan inkubator teknologi ini dilakukan oleh perguruan tinggi
negeri maupun universitas swasta. Makalah ini mengkaji mengenai pengembangan inkubator
teknologi melalui studi kasus tunggal di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN X) di Jawa
Barat. Tujuan makalah ini adalah untuk memahami bagaimana pola komersialisasi yang
dilakukan di inkubator teknologi studi kasus. Selain itu makalah ini juga akan menganalisa
interaksi yang terjadi antara inkubator teknologi, peneliti di perguruan tinggi serta pihak
industri dalam proses komersialisasi tersebut.
TINJAUAN TEORI
Pola komersialisasi dari hasil inovasi sangat beragam, tergantung dari dimensi
komersialisasi apa yang digunakan. Salah satu yang banyak dirujuk dalam literatur adalah
pola komersialisasi berdasarkan faktor pendorong inovasi (Brem dan Voigt, 2009), dimana
pola komersialisasi dibedakan menjadi dua, yaitu:
BidangP-ALTEK
2. Market pull
Pada pola komersialisasi ini, ide inovasi secara langsung bersumber dari
ketidakcukupan kepuasan dari kebutuhan konsumen, yang berimplikasi pada
munculnya kebutuhan baru dari konsumen. Kebutuhan konsumen yang tidak dapat
dipenuhi oleh produk yang telah ada di pasaran akan membuka celah untuk produk
baru dengan spesifikasi tertentu.
Selain perbedaan mendasar berdasarkan sumber ide inovasi, Burgelman dan Sayles
(2004) juga mengemukakan perbedaan pola komersialisasi technology push dan market pull
seperti pada Tabel 1 berikut ini.
Market pull
Beresiko dengan memulai dari apa yang Beresiko hanya fokus pada kebutuhan
dapat diteliti atau dievaluasi dengan mudah
konsumen yang mudah diidentifikasi saja,
namun potensi pasarnya kecil
Beresiko tidak sesuai dengan kebutuhan Beresiko terjebak dengan definisi peluang
konsumen atau pasar
pasar dan kehilangan peluang pasar
Berpotensi terpaku pada solusi teknis
BidangP-ALTEK
477
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode studi
kasus tunggal. Studi kasus dilakukan pada proses komersialisasi yang dilakukan di satu
inkubator teknologi di perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, Indonesia. Pengumpulan data
dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara terbuka. Wawancara mendalam
dilakukan dengan narasumber dari inkubator teknologi, dan peneliti dari perguruan tinggi
tersebut sebagai penghasil inovasi. Selain data primer, penelitian juga dilakukan melalui
pengumpulan data sekunder berupa data dan informasi mengenai pembentukan inkubator
teknologi tersebut.
Analisis kualitatif dilakukan pada hasil wawancara dengan metode content analysis.
Fokus analisis untuk mengetahui bagaimana pola komersialisasi inovasi yang merupakan
hasil litbang peneliti di perguruan tersebut, dengan media inkubator teknologi. Di sisi lain,
analisis juga dilakukan untuk memahami bagaimana interaksi antar aktor yang berperan
dalam proses komersialisasi.
BidangP-ALTEK
478
BidangP-ALTEK
479
Inovasi
Inkubator
Teknologi
Inovasi
R&D
Industri
Paten
Intermediary
Komersialisasi
BidangP-ALTEK
480
KESIMPULAN
Pola komersialisasi yang dilakukan di inkubator teknologi PTN X merupakan pola
technology push, dimana interaksi antara perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi
dengan pengguna masih rendah. Hasil studi kasus juga menunjukkan bahwa peran inkubator
teknologi lebih sebagai intermediary institution, yaitu memfasilitasi hasil litbang untuk
didaftarkan menjadi paten, namun belum berperan sebagai pendorong hasil litbang menjadi
perusahaan spin-off.
DAFTAR PUSTAKA
Brem A., Voigt K.I. 2009. Intergration of market pull and technology push in the corporate
front-end and innovation management Insights from the German software industry.
Technovation (29): 351-367.
Burgelman R.A, Sayles L.R. 2004. Transforming invention into innovation: the
conceptualization stage. In: Christensen, C.M, Wheelwright S.C. Strategic
Management of Technology and Innovation. McGraw-Hill, Boston: 682-690.
Chesbrough H.W. 2003. The era of open innovation. MIT Sloan Management Review (44):
35-41.
Colombo M.G., Delmastro M. 2002. How effective are technology incubators? Evidence
from Italy. Research Policy (31): 1102-1122.
BidangP-ALTEK
481
BidangP-ALTEK
482
P-ITSTP 01
ABSTRAK
Technopark
intervensi teknologi dengan tujuan alih pengetahuan kepada masyarakat perdesaan secara
luas guna meningkatkan kesejahteraan. Inovasi-teknologi baru tersebut belum banyak
dipahami oleh sebagian besar masyarakat peternak setempat yang tentunya membutuhkan
waktu dan proses alih teknologi. Suatu program alih teknologi akan memberikan manfaat
bila didasarkan atas pemahaman kondisi sosial budaya dan potensi ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, minimnya analisis sosial budaya dan ekonomi masyarakat dalam
mengimplementasikan program inovasi technopark mengakibatkan tujuan utama dari
technopark sulit dapat tercapai secara optimal. Artikel ini menganalisis dan membahas
kesiapan sosial ekonomi peternak dalam menerima inovasi baru yang berusaha
diimplementasikan pada program kegiatan technopark di Banyumulek.
Analisis dan pembahasan dilakukan dengan metode analisis sosial-ekonomi dan
kebijakan, menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), observasi lapangan dan penyebaran
kuesioner pada komunitas peternak sapi di sekitar kawasan technopark serta sentra
peternakan sapi di Lombok. Selain itu, data sekunder yang digunakan berasal dari berbagai
publikasi resmi instansi pemerintah di tingkat Kabupaten dan Provinsi.
Hasil studi menunjukkan bahwa proses alih teknologi di Agro Technopark
Banyumulek sudah pernah dilakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya masih kurang
1
Makalah ini merupakan bagian dari penelitian Manfaat Sosial Ekonomi Masyarakat dengan Dibentuknya
Kawasan Technopark Bussines Center. Pusat Penelitian Ekonomi dan Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI, 2015.
Bidang P-ITSTP
483
optimal. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidaktepatan sasaran antara teknologi tepat guna
yang berusaha diperkenalkan dengan implementasinya oleh peternak. Beberapa aspek sosial
dan budaya menjadi penyebab terjadinya gap tersebut. Salah satunya, adalah perbedaan status
sosial
ekonomi
peternak berimplikasi
pada
pola
alih teknologi
yang berusaha
PENDAHULUAN
Usaha peternakan terintegrasi dapat dijadikan harapan masyarakat perdesaan dalam
meningkatkan perekonomian rumah tangga. Upaya mendorong berkembangnya kegiatan
ekonomi masyarakat perdesaan tersebut dapat dijalankan dengan mengadopsi konsep agro
technopark.
Konsep technopark merupakan suatu aktivitas pengembangan kegiatan, dalam hal ini
pertanian dan peternakan, yang saling terintegrasi berbasis teknologi yang menyajikan,
memeragakan dan menginformasikan temuan terkini berdasar berbagai disiplin ilmu dengan
harapan dapat diimplementasikan oleh masyarakat khususnya petani dan peternak. Dengan
demikian akan terjadi alih pengetahuan kepada masyarakat sekitar secara luas. Hasil
pengembangan diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat dalam
rangka peningkatan kesejahteraan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
ditetapkan oleh Pemerintah sebagai sumber bibit sapi Bali dan sekaligus sebagai sapi potong
sehingga kerap disebut sebagai bumi sejuta sapi. Oleh karena itu Provinsi NTB
menetapkan ternak sapi sebagai salah satu komoditas unggulan disamping komoditas lainnya,
yaitu jagung dan rumput laut, yang selanjutnya dikemas dalam program unggulan daerah
yang dikenal dengan PIJAR (sapi, jagung, dan rumput laut). Program peternakan sapi sebagai
salah satu program unggulan mentargetkan dicapainya populasi sapi sebanyak 1.000.000 ekor
pada tahun 2013, dengan pencapaian 1.002.731 sapi (NTB dalam Angka 2014).
Bidang P-ITSTP
484
485
Upaya pengembangan komoditas unggulan PIJAR menjadi salah satu pemicu dari
terbentuknya kawasan agro edu wisata melalui konsep technopark yang berlokasi di Desa
Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat. Kawasan tersebut diharapkan menjadi etalase
produk unggulan PIJAR dan showcase pengembangan komoditas tersebut melalui penerapan
teknologi tepat guna. Oleh karena itu, kawasan tersebut berupaya untuk mengintegrasikan
pengembangan peternakan, pertanian dan perikanan dengan konsep pariwisata. Integrasi
tersebut diharapkan menjadi salah satu kunci sukses dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan. Konsep technopark yang mengembangkan kawasan pertanian dan
perternakan berbasis teknologi, diharapkan akan menciptakan alih pengetahuan (transfer of
knowledge) kepada masyarakat perdesaan. Salah satu upaya untuk mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani dan peternak dilakukan melalui kegiatan technopark di
Banyumulek, Lombok (NTB) oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Permasalahannya adalah, technopark yang dibangun di Banyumulek, Lombok (NTB)
merupakan bentuk inovasi baru yang belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat
petani peternak setempat. Introduksi inovasi baru akan memberikan manfaat bila didasarkan
atas pemahaman kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat serta potensi ekonomi yang
ada. Sebaliknya, bilamana inovasi tersebut tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan
terjadinya ketimpangan struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah
penting untuk memahami kesiapan peternak dalam menerima inovasi baru, sehingga dapat
dipetakan berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi
program
technopark.
TINJAUAN PUSTAKA
Tradisi Kerjasama Pemeliharaan Ternak Sapi
Upaya mempercepat proses pembangunan subsektor peternakan dilaksanakan
melalui program penyebaran dan pengembangan ternak, diantaranya adalah ternak sapi.
Secara tradisi, di sentra-sentra peternakan sapi di Indonesia telah dikenal kerjasama
kemitraan dengan istilah gaduhan atau di Lombok dikenal dengan istilah kadasan.
Selain tradisi kerjasama yang dilakukan masyarakat peternak, pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan penyebaran ternak melakukannya dengan mengadopsi dari tradisi
masyarakat. Meskipun demikian, sistem gaduhan yang dikembangkan pemerintah tidak
Bidang P-ITSTP
sepenuhnya mengadopsi sistem gaduhan tradisional yang dianut kebanyakan peternak tetapi
lebih memilih sistem sumba kontrak dengan berbagai modifikasi. Sistem sumba kontrak
awalnya diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1906 (Diwyanto, 2008; Ditjen
Peternakan, 2009) dengan menempatkan
Sumba. Skema pelaksanaan sistem sumba kontrak di Pulau Sumba dilakukan dengan cara
meminjamkan 12 indukan dan satu pejantan Ongole (dikenal dengan istilah koppel) kepada
seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan dengan menyerahkan anakannya dalam
jumlah, umur dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam
ditambah dengan seekor anakan (jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak
belum melunasi pinjamannya. Untuk akad pinjaman, peternak menandatangani kontrak
dengan pemerintah, yang kemudian dikenal dengan istilah sumba kontrak.
Pola ini menuntut kewajiban bagi peternak dan pemilik modal
untuk membuat
perjanjian (kontrak) di awal, yang isinya meliputi jangka waktu pemeliharaan dan ketentuan
jumlah pengembalian. Dengan demikian, setelah kewajiban penggaduh dilunasi, maka
seluruh ternak yang ada menjadi milik penggaduh. Upaya penyebaran sapi Ongole tersebut
dapat berhasil, dan dalam perkembangannya sistem sumba kontrak lebih diminati peternak
dibandingan dengan sistem gaduhan secara tradisional (Paturachman, 2001). Sistem ini
kemudian ditiru dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk menyebarkan berbagai
jenis ternak ruminansia ke masyarakat dengan jumlah ternak yang tidak sama untuk setiap
Koppel.
Kebijakan
ini
dirumuskan
melalui
SK
Direktorat
Jenderal
peternakan
Bidang P-ITSTP
486
yang diberikan kepada peternak menurut SK Gubernur DIY tersebut dibagi dalam dua paket 2,
yaitu:
a. Seekor sapi betina.
Dalam jangka waktu 5 tahun, penerima ternak bantuan harus menyerahkan anakan
sebanyak 2 ekor dengan umur antara 1,5-2 tahun, yang diserahkan pada tahun ke-3 dan ke4 atau tahun ke-5.
b. Seekor sapi jantan.
Dalam jangka waktu 5 tahun, penerima ternak bantuan harus menyerahkan anakan
sebanyak 1 ekor umur antara 1,5-2 tahun, yang diserahkan pada tahun ke-5.
Ternak-ternak pengembalian dari hasil gaduhan tersebut selanjutnya harus
dikembangkan lagi ke peternak lainnya melalui skema bergulir (revolving) untuk selanjutnya
dipelihara dengan menggunakan sistem gaduhan pula.
Selain pola gaduhan tersebut di atas, pemerintah Daerah Sukabumi juga
mengembangkan kerjasama penggemukan sapi dengan peternak. Biasanya kerjasama
penggemukan dilakukan dalam jangka pendek, yang hasil akhirnya untuk dijual. Umumnya
kerjasama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hewan kurban pada hari raya Idul Adha.
Oleh karena itu, ternak yang dikerjasamakan adalah jenis jantan. Perhitungan ekonomi dalam
kerjasama penggemukan adalah, dihitung selisih antara bobot akhir dikurangi bobot awal
dikalikan harga jual per-kg hidup. Hasilnya dibagi menurut perjanjian awal antara pemilik
dengan penggaduh.
Program penyebaran dan pengembangan ternak telah banyak dilakukan pemerintah,
tetapi peningkatan produktivitas secara massal masih banyak terkendala. Berbagai kendala
yang berhasil diidentifikasi pada kasus ternak ruminansia kecil, adalah3:
1. Peternak rakyat menganggap beternak adalah usaha sampingan. Mereka menjalankan
usahanya tanpa memperhitungkan laba rugi dan proyeksi terhadap bisnis yang
berkelanjutan. Banyaknya rumput dan hijauan yang tersedia di alam secara gratis,
2
Lihat Mochammad Nadjib, 2009. Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (Editor). Efektivitas Model Pembiayaan Syariah dalam
Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, halaman 175-212.
Lihat Mochammad Nadjib, 2010. Potensi Pembiayaan Syariah pada Agribisnis Peternakan DombaKambiing dalam Mahmud Thoha (Penyunting). Model Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan
Agribisnis. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 63-96.
Bidang P-ITSTP
487
menyebabkan peternak skala rakyat tidak pernah berhitung biaya yang harus dikeluarkan
untuk setiap ternaknya.
2. Usaha pembibitan (breeding) dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan
penggemukan (fattening) ataupun usaha perdagangan ternak. Perputaran uang usaha
pembibitan lebih lama dibandingkan dengan penggemukan. Untuk usaha pembibitan
domba kambing betina memerlukan masa kiding interval antara 8-10 bulan untuk dapat
beranak kembali, dalam hal ini domba kambing dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun.
Sebaliknya usaha penggemukan domba kambing jantan, dari saat penyediaan bibit bakalan
yang umurnya antara 6-8 bulan, hanya diperlukan waktu antara 4-6 bulan untuk mencapai
bobot potong dan sudah dapat dijual.
Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus ternak ruminansia besar, khususnya sapi
potong. Usaha pembibitan ternak sapi potong memerlukan masa calving interval paling cepat
antara 12-15 bulan agar dapat melakukan reproduksi kembali. Sebaliknya usaha
penggemukan (fattening) sapi potong, dari penyediaan bakalan yang umurnya antara 8-12
bulan, hanya diperlukan waktu antara 5-6 bulan untuk mencapai bobot potong ideal dan
sudah dapat dijual. Oleh karena itu kebanyakan sektor swasta lebih tertarik pada usaha
penggemukan (fattening) dibanding pembibitan (breeding), karena akan dapat diperoleh
perputaran usaha secara cepat. Diperlukan peran pemerintah untuk dapat turun tangan dalam
menyediakan stock bibit sapi secara seimbang dan berkelanjutan. Diantaranya adalah adanya
pemberian kridit untuk dunia usaha dalam usaha pembibitan sapi dengan skema waktu
pengembalian secara khusus.
Bidang P-ITSTP
488
Usaha non-komersil pemeliharaan sapi ini juga ditemui di wilayah NTB. Meskipun
NTB dikenal sebagai salah satu sentra sapi potong Indonesia namun, tradisi yang
berkembang menunjukkan peternakan masih merupakan komponen dari sistem usaha tani.
Nilai fungsional ternak sapi tidak dapat dipisahkan dengan pemanfaatannya dalam
aktifitas masyarakat sebagai petani, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah
dan kotorannya sebagai pupuk. Tercipta harmonisasi hubungan antara peternakan sapi
dengan pertanian sawah. Di Lombok, sapi dinilai sebagai ternak tabungan, dan simbol
status masyarakat. Sebagai ternak tabungan dan simbol status, maka di Lombok yang
mayoritas masyarakatnya berasal dari etnis Sasak dikenal falsafah peliharalah sapi, Insya
Allah (yang diinginkan) akan kesampaian4. Falsafah tersebut secara turun temurun
diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, terutama dalam memenuhi kebutuhan dana yang
cukup besar, misalnya kebutuhan sekolah, pernikahan ataupun berangkat ibadah haji.
Sosialisasi dan internalisasi masyarakat terhadap beternak sapi diwujudkan melalui proses
pengenalan terutama terhadap anak laki-laki dengan memberinya tanggungjawab memelihara
sapi. Di sela-sela aktivitas sekolah, belajar Al Quran dan bermain, dituntut tanggungjawab
mengurus sapi. Dalam hal ini dikenal kosa kata Sasak istilah ngarat sampi atau memelihara
sapi. Dalam konteks petani Lombok, ngarat sampi
masyarakat,
diartikan sebagai kearifan lokal (local knowledge) yang bisa dijadikan sebagai pijakan dalam
membangunan masyarakat. Menurut Pramoda (2012), kearifan lokal berkaitan dengan sistem
nilai yang mendasari tradisi masyarakat di suatu daerah, atau pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu masyarakat, atau sebagai kumpulan pengetahuan, praktik dan keyakinan
yang berkembang melalui proses yang sifatnya adaptif. Pengetahuan yang demikian
merupakan refleksi kebudayaan masyarakat setempat, yang di dalamnya terkandung etika,
norma, dan ketrampilan dalam memenuhi kebutuhan hidup (Rahyono, 2009). Meskipun
perubahan zaman dan pemikiran moderen berpengaruh besar pada pola pikir dan pola tindak
Falsafah ini diceriterakan oleh Kepala Desa Banyumulek dalam wawancara tanggal 09 Mei 2015 dan dikenal
secara meluas di kalangan peternak etnis Sasak, baik di Banyumulek maupun beberapa desa lainnya termasuk
di Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Bidang P-ITSTP
489
490
masyarakat, namun pengaruh tersebut tidak dengan serta merta menggerus habis sistem nilai
yang telah mengakar pada masyarakat. Seandainya pengaruh
kearifan yang ada, perubahan yang terjadi akibat pengaruh tersebut sebenarnya telah
terlembagakan sebagai sistem nilai yang baru dan kearifan baru yang menyertainya
(Poespowardojo, 1986).
Technopark
peternakan ruminansia besar yang diinisiasikan oleh LIPI. Inovasi ini merupakan bentuk
perubahan dari tradisi ngarat sampi ke bentuk bisnis peternakan yang mengedepankan
keberlanjutan sumberdaya alam. Oleh karena itu, penting untuk diketahui persepsi
masyarakat Banyumulek dalam menilai institusi technopark. Persepsi pada dasarnya adalah
suatu pengenalan seseorang atau sekelompok orang untuk mengetahui dan memahami
tentang suatu hal yang dilihat dan maupun masih dalam gagasan, gejala dan peristiwa.
Menurut Zulkarnain dkk (2013) persepsi seseorang atau sekelompok orang yang terbentuk
dapat dipengaruhi oleh tiga karakteristik, yaitu yang berkesan, target spesifik dan situasi dari
objek yang dipersepsikan. Dengan demikian, ada situasi tertentu yang mempengaruhi, antara
lain perilaku, tindakan, sikap, keyakinan individu atau kelompok masyarakat. Sementara itu,
persepsi sosial disini adalah pandangan yang berkembang di sekelilingnya yang
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang dalam mempersepsikan sesuatu. Dengan
demikian pola pikir seseorang akan sangat menentukan persepsinya. Persepsi terjadi melalui
suatu tahapan yang dimulai dari input dan ditentukan oleh kualitas informasi yang masuk,
kemudian diproses dalam diri individu, lalu terjadi output berupa sikap, perilaku maupun
ungkapan secara verbal. Variabel-variabel tersebut yang kemudian menjadi parameter dalam
melihat persepsi para pemangku kepentingan terkait dengan isu adanya technopark.
METODE PENELITIAN
Makalah ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tentang Manfaat Sosial Ekonomi
Masyarakat
dengan
Dibentuknya
Kawasan
Technopark
Bussines
Center
yang
dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Penelitian dilakukan pada beberapa
komunitas peternak sapi di desa sekitar kawasan Technopark Banyumulek.
Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan
(kuesioner), metode wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber dan informan
Bidang P-ITSTP
491
kunci serta melakukan Focus Group Discussion dan observasi lapangan. Nara sumber yang
diwawancara meliputi peternak, baik pemilik maupun pemelihara (pengkadas) serta para
pedagang ternak. Informan kunci terdiri dari orang-orang yang banyak mengetahui dan
memahami permasalahan peternakan yang diteliti. Sumber informasi dipilih melalui metode
triangulasi yakni informasi yang diperoleh dari seorang informan, dikembangkan untuk
menggali informasi yang lebih mendalam serta untuk mendapatkan informan kunci lainnya.
Analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan
melakukan
pemahaman
yang
komprehensif.
Pemahaman
yang
komprehensif
ini
menempatkan objek kajian dalam konteks hubungan kausalitas, dan konsep empati sebagai
pendekatan. Pendekatan empati yang dimaksud adalah pendekatan yang berupaya memahami
permasalahan penelitian dari perspektif pelaku.
terletak di Dusun Lelede, desa Banyumulek, secara administratif selanjutnya berada di Desa
Lelede. Oleh kerena awalnya kawasan tersebut merupakan bagian dari desa induk
Banyumulek maka sampai sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Banyumulek.
Bidang P-ITSTP
laporan potensi desa menunjukkan sebagian besar merupakan lahan absentee dimana pemilik
lahan pertanian bukanlah warga setempat tetapi warga yang berasal dari luar desa. Sehingga
penduduk yang mata pencaharian sebagai petani pemilik sangat minim. Mata pencaharian
penduduk Desa Banyumulek yang sangat dominan adalah buruh tani, buruh serabutan dan
pengerajin gerabah. Kerajinan gerabah berkembang semenjak ada bantuan dari pemerintah
New Zealand, yang pada tahun 1989 meletakkan fondasi industri rumah tangga pembuatan
gerabah. Meskipun demikian, pemasaran gerabah masih tergantung pada kondisi pariwisata
Bali, sehingga semenjak terjadinya kasus boom Bali ke dua, usaha gerabah di Banyumulek
mengalami penurunan drastis. Dengan penurunan produksi gerabah, maka penduduk kembali
menekuni usaha pertanian dan peternakan, utamanya sebagai buruh tani dan pemelihara
ternak sapi dengan sistem kadasan( gaduhan).
Kondisi Sosial Ekonomi dan Sistem Kerjasama Beternak Sapi di sekitar Kawasan
Technopark
Kegiatan peternakan di sekitar Banyumulek umumnya terintegrasi dengan kegiatan
pertanian. Selain sebagai peternak, umumnya mereka juga bekerja sebagai buruh tani, buruh
serabutan serta sebagai buruh pengrajin gerabah. Gambaran kondisi sosial dan ekonomi
peternak disekitar kawasan technopark Banyumulek didapatkan dari observasi langsung dan
wawancara dengan tokoh unci. Selain itu, pengambilan data juga dilakukan melalui
Bidang P-ITSTP
492
Gambar 1
Bidang P-ITSTP
493
kandang jauh lebih baik, karena secara tidak langsung terbangun kelembagaan informal
diantara kelompok ternak yang berimplikasi pada pembagian kewajiban dan hak. Misalnya,
untuk kewajiban membersihkan kandang, peternak secara bergiliran dapat membersihkan
kandang dan menjaga keamanan ternak serta mempermudah penyuluh peternakan dalam
memberikan pemahaman dalam beternak secara lebih baik. Demikian pula dengan beban
biaya yang dapat ditanggung bersama dalam bentuk iuran bulanan tyang digunakan baik
untuk listrik, air dan keamanan sehingga beban biaya menjadi lebih ringan. Pengelompokan
merupakan embrio untuk membentuk suatu usaha bersama, dengan demikian peternak akan
dapat memperoleh berbagai informasi ekonomi, teknologi beternak
serta penanganan
kesehatan yang berkaitan dengan peternakan secara lebih cepat, murah dan lebih efisien.
Meskipun demikian, pengelompokan ini masih belum mampu dimanfaatkan secara optimal,
karena peternak masih melakukan segala aktivitasnya secara individu diantaranya pemberian
pakan, melakukan kebersihan ternak dan penjualan menjadi tanggungjawab masing-masing
peternak. Dengan kata lain, kelembagaan informal ini belum dioptimalkan sebagai media
untuk berbagi pengetahuan, sosialisasi dan usaha komersil bersama.
Dilihat dari struktur sosialnya usaha peternakan terdiri dari pemilik ternak dan
pengkadas (penggaduh). Dalam hal ini, pola pemeliharaan sapi di Lombok Barat mayoritas
merupakan pola kadasan (gaduhan). Dalam pola kadasan ini, pemilik modal menitipkan satu
atau beberapa ekor ternak sapi untuk dipelihara pengkadas. Kewajiban pengkadas adalah
memelihara, mencarikan pakan dan menjaga keamanannya. Dengan demikian, pengkadas
merupakan kelompok yang sebenarnya bergelut dengan ternak. Secara fisik kelompok ini
yang menguasai ternak tetapi kepemilikannya ada pada kelompok pemilik ternak.
Pola kadasan ini sangat umum dilakukan oleh peternak yang tidak memiliki modal.
Selain penghasilan yang diperoleh dari bagi hasil pemeliharaan, maka pemanfaatan sapi
untuk mengolah sawah menjadi hak pengkadas. Umumnya bagi hasil yang diterapkan
menggunakan skema setengah-setengah, meskipun beberapa kasus mulai menunjukkan
pergeseran menjadi 45-555.
menggeser dan meminggirkan peran sapi. Masuknya teknologi traktor ini menyebabkan
pengkadas tidak lagi memiliki penghasilan tambahan sebagai pemelihara ternak. Mereka
Bidang P-ITSTP
494
hanya bergantung sepenuhnya dari skema bagi hasil pemeliharaan. Rata-rata dalam sebulan
penghasilannya dari memelihara sapi relatif rendah, demikian pula dari pekerjaan sampingan
sebagai buruh serabutan yang nilainya relatif kecil pula. Meskipun masyarakat Lombok
mayoritas masih bertani tetapi nilai fungsional sapi di persawahan mulai tergeser oleh traktor.
Umumnya, kelompok pengkadas adalah kelompok dari strata rendah, dalam substitusi
pertanian mereka merupakan kelompok pekerja yang tidak memiliki sawah ataupun ternak.
Posisi tawar (bargaining position) kelompok ini cenderung lemah dibandingkan kelompok
pemilik.
Untuk usaha pembibitan (breeding) ada tradisi aturan tersendiri sesuai kesepakatan,
tetapi intinya tetap dengan skema bagi hasil setengah-setengah. Tradisi bagi hasil yang dianut
peternak setempat untuk pola breeding adalah, anak pertama menjadi hak pengkadas,
sedangkan anak kedua menjadi hak pemilik. Skema ini menempatkan pengkadas hanya
memiliki hak dari anak yang dilahirkan, bila indukan dijual maka hasil penjualan sepenuhnya
menjadi hak pemilik. Perkembangan selanjutnya terjadi perubahan bagi hasil yang dinilai
lebih dil. Setiap kelahiran anak akan dinilai harga jualnya setelah lepas sapih. Hasil penjualan
atau estimasi penjualan anak dibagi dua antara pemilik dengan pengkadas. Pembagian
biasanya dilakukan setelah lepas sapih, yaitu sekitar 3 bulan
sebelum lepas sapih, anakan masih tergantung pada susu indukannya. Apabila indukan
tersebut dijual, maka selisih harga penjualan dikurangi dengan pembelian dibagi dua antara
pemilik dengan pengkadas. Konsekuensinya adalah bilamana sebelum lepas sapih terjadi
kematian pada anakan, maka kerugian menjadi tanggungjawab bersama antara pemilik
dengan pengkadas.
Bidang P-ITSTP
495
sosial ekonominya memanfaatkan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk
memberikan pengayoman serta mendapatkan keuntungan dari individu yang lebih rendah
status sosial ekonominya (klien). Imbal baliknya adalah, klien memberi ketaatan dan
kepatuhan kepada patron6. Pola kadasan di Banyumulek ini lebih mirip dengan pola
hubungan patron-klien, meskipun dalam beberapa kasus ketaatan dan kepatuhan klien telah
semakin luntur. Dalam analisa patron-klien, pemilik modal yang berfungsi selaku patron
berkewajiban menyediakan dana untuk memenuhi kebutuhan investasi, operasional serta saat
pengkadas (klien)
anak). Kewajiban klien adalah menyediakan tenaga dan ketaatan-ketaatan kepada patronnya,
termasuk kepada siapa harus menjual. Untuk lebih menjamin ketaatan dari klien itulah
sebabnya patron harus memikirkan kelangsungan hidup rumah tangga klien. Perhatian yang
kurang dari pemilik menyebabkan pengkadas mengalihkan ketaatannya atau bahkan
melakukan kecurangan yang merugikan pemilik. Beberapa kasus menunjukkan sapi kadasan
telah diganti oleh pengkadasnya dengan kualitas yang lebih buruk atau dari gemuk menjadi
kurus7.
Usaha peternakan sapi merupakan usaha yang hasilnya tidak cepat, dibutuhkan waktu
sekitar 6 bulan dari seekor sapi bakalan menjadi sapi siap potong. Bahkan untuk usaha
breeding dibutuhkan jangka waktu lebih lama. Penerimaan hasil yang cukup lama tersebut
menyebabkan rata-rata pengkadas masih membutuhkan pekerjaan sampingan guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi semenjak masuknya teknologi traktor
menggantikan tenaga sapi untuk mengolah sawah, menyebabkan pengkadas tidak lagi
memiliki penghasilan tambahan sebagai pemelihara ternak. Mereka sepenuhnya hanya
bergantung dari skema bagi hasil pemeliharaan sebagai pengkadas atau melakukan pekerjaan
sampingan sebagai buruh serabutan.
Hasil penelitian menunjukkan, pekerjaan sampingan rata-rata peternak adalah sebagai
buruh serabutan (26,7%), buruh tani (18,33%) dan pedagang kecil (6,67%) (Lihat Gambar 1).
Pekerjaan sampingan sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan sehari-hari rumah
6
Lihat James C Scott,1996. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Resistence in Southeast Asia.
New Haven: Yale University Press
Wawancara dengan seorang manajer hotel pada tanggal 06 Oktober 2015. Informan kapok" melakukan
pemeliharaan sapi dengan sistem kadasan, karena sapinya telah dijual pengkadas dan diganti dengan yang
lebih kurus.
Bidang P-ITSTP
496
tangga peternak pengkadas. Oleh karena itu di kalangan pemilik yang memiliki orientasi
bisnis, untuk mengikat pengkadas agar dapat lebih fokus merawat ternak, maka pemilik
memberikan usaha sampingan kepada rumah tangga pengkadas disamping pendampingan
beternak secara intensif. Usaha sampingan ini diberikan bagi pengkadas yang memelihara
sapi di atas lima (5) ekor, karena jumlah tersebut menyulitkannya untuk mengerjakan
pekerjaan sampingan. Dalam salah satu kasus di Lombok Timur, pemilik meminjamkan
kepada pengkadasnya lahan sawah untuk ditanami tanaman jangka pendek, seperti sayuran
atau palawija. Hasilnya dibagi dua antara pemilik lahan dengan pekerja yang menjadi
pengkadas. Selain itu ada pula yang memberikan pinjaman sekitar lima puluh ekor ternak
bebek, dimana dari hasil telurnya dapat untuk menopang kehidupan rumah tangga pengkadas
sehari-hari. Kalau sudah afkir, bebek tersebut dijual untuk kemudian dibelikan lagi bebek
yang masih produktif guna dipinjamkan kepada keluarga pengkadas untuk dipelihara dan
diambil telurnya 8. Kerjasama usaha yang dilakukan ini cenderung sebagai bentuk hubungan
ekonomi yang lebih rasional. Dalam konteks kerjasama ekonomi merupakan bentuk
hubungan yang berpola inti-plasma, karena pihak inti tidak hanya menyediakan kebutuhan
investasi tetapi juga pendampingan cara beternak yang menguntungkan, pemberian pakan
tambahan serta menerima hasilnya untuk dijual.
Sebaliknya hubungan patron-klien, secara ekonomi cenderung dinilai sebagai
hubungan yang eksploitatif, meskipun eksploitasi yang terjadi tersebut kelihatannya masih
lebih baik karena mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi permasalahan
ekonomi. Akses peternak rakyat terhadap institusi pembiayaan formal sangat terbatas 9, sebab
mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Umumnya,
kelompok pengkadas adalah kelompok dari strata rendah, dalam substitusi pertanian mereka
merupakan kelompok pekerja yang tidak memiliki sawah maupun aset ternak. Bargaining
position kelompok ini cenderung lemah dihadapan pemilik.
Wawancara dengan seorang peternak pemilik di Lombok Timur yang mengelola usaha peternakan sapinya
melalui sistem kadasan tanggal 04 Oktober 2015.
Informasi Pimpinan Cabang BRI Mataram dalam Temu Bisnis yang diinisiasi oleh Program Technopark
Banyumulek tanggal 02 Oktober 2015. Dikatakan bahwa Kredit BRI yang diberikan kepada peternak sapi di
Lombok proporsinya relatif sangat kecil. Selain skema kredit yang tidak sesuai dengan karakteristik pola
usaha peternakan sapi, kebanyakan karena kendala dalam penyediaan agunan serta persyaratan administrasi.
Bidang P-ITSTP
497
Tecnopark
Banyumulek
sementara
pemerintah
daerah
sendiri
berencana
Bidang P-ITSTP
498
menunjukkan sebagian besar peternak menyatakan tidak pernah masuk kawasan technopark
Banyumulek.
Gambar di atas menunjukkan sebagian besar peternak tidak pernah masuk kawasan
technopark Banyumulek (56%). Yang pernah masuk kawasan, mayoritas (20%) hanya untuk
kepentingan di luar tujuan berhubungan dengan lembaga pengembangan teknologi
peternakan, kebanyakan diantara mereka berkepentingan mengambil rumput sebagai pakan
ternaknya. Hanya sebagian kecil yang bertujuan untuk mendapatkan informasi pengetahuan
atau membeli hasil produk salah satu institusi di dalam kawasan technopark. Dari yang
memiliki kepentingan dengan institusi tersebut, kebanyakan (12%) berkepentingan untuk
mendapatkan produk dari Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD), mempunyai kepentingan
dengan Rumah Potong Hewan (5%), membeli produk atau mendapatkan informasi tentang
pakan ternak (4%), dan ke Rumah Sakit Hewan (3%). Oleh karena kecilnya persentase
peternak yang telah melakukan interaksi untuk mendapatkan alih teknologi dari institusi
teknis di kawasan technopark, menunjukkan secara teknis ada jarak sosial antara peternak
dengan kawasan technopark Banyumulek. Teknologi peternakan yang dimiliki oleh institusi
di kawasan technopark ini masih belum optimal dimanfaatkan oleh para peternak, mereka
masih belum dapat memanfaatkan sepenuhnya informasi teknologi yang telah tersedia.
Dengan demikian sangat masuk akal bilamana sebagian besar peternak di sekitar kawasan
technopark masih beternak secara tradisional. Usaha alih teknologi cara beternak secara lebih
baik melalui penerapan teknologi, masih sangat sulit diterima oleh mayoritas peternak.
Bidang P-ITSTP
499
Bidang P-ITSTP
500
dipotong, dan semakin banyak untuk aktivitas pertanian maka hasil dagingnya semakin
keras10. Selain itu, kualitas pakan mempengaruhi kualitas daging. Kalau hanya bergantung
dari hijauan semata yang masih banyak mengandung kadar air tanpa pakan tambahan, maka
kualitas dagingnya kurang bagus. Bobot daging akan mengalami penyusutan. Demikian pula
ketepatan waktu menjual sangat mempengaruhi harga jual. Di Lombok dikenal tiga kali
dalam setahun harga sapi mencapai puncaknya, yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud atau
bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kalau hari-hari itu sapi dijual, maka peternak akan
mendapatkan harga jual yang paling bagus.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda dalam upaya untuk
mengintrodusir teknologi tepat guna bagi peternak namun juga sejalan dengan kearifan local
atau budaya setempat. Teknologi pakan yang membutuhkan biaya untuk investasi permesinan
tidak akan mampu bersaing selama pakan murah dan masih mudah didapatkan. Orientasi
bisnis untuk mendapatkan keuntungan dengan perhitungan proses produksi dan siklus
pemeliharaan tidak akan bermanfaat sejauh masyarakat masih menganggap bahwa beternak
sapi adalah sandaran hidup atau tabungan untuk waktu-waktu insidental. Berbagai pelatihan
dan pendampingan tidak akan diimplementasikan jika pengkadas bukanlah pemilik sapi yang
secara finansial memiliki modal untuk meneruskan pengetahuan yang didapatkan sementara
usaha pemeliharaan sapi adalah pekerjaan sampingan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang dianggap menghasilkan.
Dengan demikian diperlukan perubahan orientasi dalam memelihara ternak sapi untuk
mempermudah terjadinya proses alih teknologi. Teknologi tepat guna harus diperkenalkan
bukan untuk memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat dengan rentang waktu
produksi (pemeliharaan) yang cukup lama, namun bagaimana selama rentang waktu produksi
tersebut peternak bisa mendapatkan manfaat dari diversifikasi produk sampingan yang
dihasilkan dari pemeliharaan sapi. Artinya, sapi dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan
atau kegiatan ekonomi misalnya, sapi sebagai alat bajak, kotoran sapi dimanfaatkan sebagai
pupuk kompos ataupun bahan biogas untuk pengganti energy rumah tangga, dan pada saat
bersamaan peternak dapat bekerja sebagai petani maupun petani hortikultura. Dengan upaya
10
Wawancara dengan seorang peternak yang pernah belajar beternak sapi di Jepang dan telah menerapkan
prinsip-prinsip teknologi dalam beternak sapi pada tanggal 06 Oktober 2015.
Bidang P-ITSTP
501
pendiversifikasian kegiatan ini maka diharapkan secara perlahan kegiatan yang sebelumnya
bersifat subsisten akan berkembang menjadi kegiatan komersil dan orientasi pemelihaaan
sapi berkembang dari budaya ke orientasi bisnis ekonomi. Lebih lanjut, pemanfaatan alih
teknologi akan dapat berjalan secara maksimal tetap harus dilakukan pendampingan secara
berkelanjutan dengan perbaikan pola kerjasama pemeliharaan sapi. Pola patron klien yang
telah umum dilakukan dapat ditingkatkan melalui rasionalisasi hubungan kerjasama dalam
bentuk hubungan inti-plasma berbasis tradisi dan kebiasaan setempat dalam skema ekonomi
untuk pemeliharaan sapi. Untuk itu, inti haruslah orang yang berorientasi bisnis disamping
memahami budaya masyarakat setempat dalam beternak sapi, serta melakukan pendampingan
dalam pemanfaatan teknologi yang dibutuhkan untuk beternak sapi.
biaya tambahan.
Dengan demikian posisi tawar (bargaining position) kelompok ini cenderung lemah
terhadap pemilik aset.
Untuk dapat dilakukan alih teknologi secara optimal, sasaran sebaiknya bukanlah
kelompok pengkadas, tetapi diperlukan pelibatan peternak pemilik. Peternak pemilik
Bidang P-ITSTP
502
haruslah dipilih dari kalangan setempat yang memahami budaya lokal serta
berorientasi bisnis, bukan semata untuk kesenangan. Dengan demikian program alih
teknologi akan dapat diintervensi melalui pemilik. Selain itu, alih teknologi akan
dapat dilakukan lebih baik bilamana disertai dengan pendampingan secara
berkelanjutan. Pola inti plasma merupakan salah satu bentuk pendampingan teknologi
peternakan serta pemasaran produk. Meskipun demikian kerjasama ini masih tetap
berbasis kultural setempat, agar tidak menimbulkan ketimpangan struktural dalam
masyarakat.
3. Penghasilan peternak utamanya dari harga jual sapi semata yang fluktuatif dan
pekerjaan sampingan.
dapat mengayominya.
kelompok arisan, kelompok usaha ataupun koperasi. Lembaga ini yang akan
mengelola dana-dana yang terkumpul untuk kepentingan bersama. Dalam lingkup
lebih besar dapat berbentuk korporasi, dimana peternak skala kecil dapat berusaha
bersama dengan sistem saham. Karena peternak skala kecil akan mengalami kesulitan
bilamana harus berhubungan dengan perbankan, sehingga hubungan dengan lembaga
pembiayaan dapat dilakukan melalui lembaga korporasi.
Untuk itu, embrio dari suatu kelembagaan adalah adanya kelompok ternak. Kelompok
dalam kandang komunal yang telah mapan dapat diinisiasi menjadi kelompok usaha
Bidang P-ITSTP
503
504
bersama, tidak hanya terbatas dalam pemeliharaan ternak tetapi meluas menjadi usaha
ekonomi peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen
dalam
Diwyanto, Kusuma, 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Dan Inovasi Teknologi dalam
Mendukung Pengembangan sapi Potong di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Egaliter, Razakisme, 2013.Ngarat Sampi salah satu Basis Perekonomian Warga. Wanasaba:
Lombok.http://www.wanasaba.com/ngarat-sampi-adalah-salah-satu-basis-prekonomianwarga/
Harmini, Ratna Winandi Asmarantaka, dan Juniar Atmakusuma, 2011.Model Dinamis Sistem
Ketersediaan Daging Sapi Nasional dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, volume 12 (1),
Juni 2011.
Legg, Keith. R. 1983. Tuan Hamba dan Politisi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Lembaga Studi
Pembangunan.
Nadjib, Mochammad, 2009. Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (Editor). Efektivitas Model Pembiayaan
Syariah dalam Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
______, 2010. Potensi Pembiayaan Syariah pada Agribisnis Peternakan Domba-Kambiing dalam
Mahmud Thoha (Penyunting). Model Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Agribisnis.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Paturachman, Maman, 2001. Studi PerbandinganSistem Kredit Ternak Domba dan Kerbau di
Sumedang dan Tasikmalaya. Bandung: Fakultas Peternekan Universitas Padjadjaran.
Pramoda, P; R. Triyanti, 2012. Pengelolaan Perairan Danau Tempe Berbasis Kearifan Lokal: Studi
Kasus di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 14(1).
2012.
Poespowardojo, S, 1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi, dalam
Ayatrohaedi (ed). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Rahyono, F.X, 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Scott, James C.1996. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Resistence in Southeast Asia.
New Haven: Yale University Press.
Zulkarnain, Iskandar; TN. Pudjiastuti; MT. Sambodo; M. Nadjib; AH. Fuadi; ET. Sumarnadi, 2013.
Kajian Persepsi Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap Kegiatan
Pertambangan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bidang P-ITSTP
P-ITSTP 02
ABSTRAK
Kemandirian pangan menjadi prioritas untuk diwujudkan dan salah satunya melalui
pemenuhan pasokan sapi potong dan bibit. Populasi sapi di Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) dapat dijadikan sebagai pemasok bagi kebutuhan daging nasional mengingat pada
tahun 2014, kebutuhan sapi nasional yang berasal dari NTB adalah sebanyak 20.793 ekor
sapi potong dan 16.743 ekor sapi bibit. Hal ini tentu menjadi basis dalam upaya
pengembangan usaha pertanian sektor peternakan sapi di masa yang akan datang. Namun
demikian, pengembangan usaha peternakan sapi tidak hanya berfokus pada upaya
meningkatkan jumlah sapi, tetapi juga harus dapat memberikan manfaat ekonomi lebih bagi
masyarakat. Melalui kegiatan usaha pertanian dan peternakan terintegrasi diharapkan
ekonomi masyarakat dapat meningkat dan artinya aspek pemasaran produk menjadi faktor
kunci. Berbagai hal yang mendukung pemasaran produk pertanian dan peternakan
masyarakat terus diupayakan sehingga kendala yang dihadapi penting untuk dikaji. Artikel ini
mengkaji proses alih inovasi-teknologi di bidang pemasaran ternak terkait dengan
Technopark Banyumulek, NTB. Selain itu, kendala, tantangan, dan peluang pemasaran usaha
ternak menjadi sasaran kunci dalam optimalisasi peran dari Technopark. Analisis dalam
kajian ini menggunakan analisis deskriptif analitis dengan lokus kajian desa-desa yang ada di
sekitar kawasan Technopark Banyumulek dan jaringan pasar ternak. Analisis didasarkan pada
data sekunder dan primer. Data sekunder bersumber dari Dinas Peternakan NTB, Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Barat, NTB, serta Badan Pusat Statistik. Data
primer bersumber dari para pemangku kepentingan yang memahami usaha peternakan rakyat
serta jejaring pasar ternak baik lingkup lokal maupun nasional. Langkah pengumpulan
informasi dilakukan melalui kegiatan focus group discussion (FGD) dan observasi lapangan
Bidang P-ITSTP
505
secara langsung. Analisis kajian ini mencakup gambaran dinamika kegiatan usaha peternakan
masyarakat perdesaan, rantai pemasaran produk ternak dan kendala, tantangan, serta peluang
ke depan. Temuan yang didapat menjelaskan bahwa peternakan yang dijalankan oleh
masyarakat perdesaan di sekitar kawasan Technopark mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, kegiatan usaha peternakan masih dijalankan dengan cara tradisional tanpa ada
intervensi teknologi. Kedua, pasar ternak dilakukan dengan cara langsung ke pasar hewan
dan melalui perantara (blantik) hingga sampai pada pembeli. Ketiga, pemasaran sapi potong
dan bibit ke luar Pulau Lombok masih memiliki peluang besar sedangkan untuk produk
daging sapi tidak mampu masuk ke pasar di luar Pulau Lombok sehingga hanya untuk
memenuhi kebutuhan lokal. Untuk itu, efisiensi rantai pemasaran menjadi salah satu kunci
dalam optimalisasi peran Technopark yang menempatkan peternakan rakyat menjadi aktor
utama.
PENDAHULUAN
Kegiatan peternakan yang ada di wilayah Nusa Tenggara Barat menjadi sebuah usaha
ekonomi pertanian yang sangat menjanjikan bila dikelola dengan tepat dan penetapan
teknologi yang sesuai kebutuhan masyarakat. Langkah untuk mendorong kegiatan ekonomi
pertanian
(khususnya
kegiatan
peternakan
sapi)
diharapkan
dapat
meningkatkan
Bidang P-ITSTP
506
Bidang P-ITSTP
507
peternakan mampu bersaing, dengan berdasarkan kondisi riil baik berupa kapasitas
pengelolaan kegiatan peternakan, input serta proses yang mengarah pada peningkatan
kualitas produk yang dikelola masyarakat perdesaan. Selain itu agar produk yang dihasilkan
masyarakat mampu bersaing kiranya pemahaman atas berbagai aspek yang mempengaruhi
pemasaran produk pertanian dan peternakan menjadi suatu hal penting untuk di pahami (salah
satunya tata niaga). Artikel ini berupaya menjelaskan berbagai hal yang telah dijelaskan
diatas dengan fokus pemasaran, selain itu penjelasan diharapkan akan menjadi informasi
dalam melakukan pendekatan terkait pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat
perdesaan di wilayah Propinsi NTB.
Tinjauan Pustaka
Sentra pertanian dan peternakan masyarakat merupakan potensi ekonomi yang harus
terus ditingkatkan untuk mencapai kemandirian pangan Nasional. Agar keberadaan sentra
pertanian dan peternakan yang secara umum berbasiskan kegiatan masyarakat perdesaan
maka pengenalan inovasi teknologi penting diupayakan. Langkah pengenalan teknologi
selain bertujuan meningkatkan usaha pertanian dan peternakan juga diharapkan
menumbuhkan kegiatan usaha lain yang mampu menyerap tenaga kerja. Pengenalan inovasi
teknologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana pemerintah Presiden Joko Widodo
menetapkan program pendirian kawasan technopark. Secara umum yang dimaksud dengan
tecknopark merupakan suatu kawasan yang dirancang untuk memberikan informasi
pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat luas sehingga kegiatan masyarakat yang
berbasis pertanian dan peternakan dapat meningkat. Selain itu technopark merupakan alat
untuk mensinergikan para pihak dalam pengembangan dan implementasi ilmu pengetahuan
antara perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan atau bisnis, serta pemerintah.
Kegiatan yang ada di kawasan technopark utamanya adalah bentuk alih pengetahuan
kepada masyarakat. Artinya temuan-temuan terbaru di bidang teknologi dapat diinformasikan
dan selanjutnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tujuan peningkatan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan pandangan Peter Drucker (1985) dimana inovasi yang berasal dari
pengetahuan dan teknologi merupakan sarana mengekploitasi perubahan serta menemukan
kesempatan bisnis yang berbeda.
Bidang P-ITSTP
508
diimplementasikan, yaitu kerjasama antara pemerintah daerah (Prov. NTB dan Pemda
Lombok Barat), LIPI dan akademisi (dalam hal ini Universitas Mataram), bisnis (dalam hal
ini BUMD PT GNE maupun perusahan swasta lain), serta masyarakat.
METODOLOGI
Pemahaman atas kondisi rill terkait kegiatan peternakan sapi dalam perspektif
ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonomi manajemen, khususnya
pemasaran. Terkait dengan pendekatan pemasaran maka data sekunder dan primer menjadi
dasar utama untuk menjelaskan berbagai aspek yang ada. Dalam mengumpulkan informasi
dan data langkah yang dilakukan berupa kegiatan focus group discussion (FGD) dan
observasi lapangan secara langsung. Berbagai informasi dan data yang terkumpul diolah
Bidang P-ITSTP
509
dengan menggunakan metode triangulasi, yakni informasi yang diperoleh dari seorang
informan akan dikembangkan untuk mengumpulkan informasi yang lebih mendalam
sehingga mendapatkan informasi yang paling akurat. Lokus kajian ini adalah desa-desa yang
ada di sekitar kawasan technopark Banyumulek, jaringan pasar ternak dan produk
turunannya.
Analisis kajian ini mencakup gambaran dinamika kegiatan usaha peternakan
masyarakat perdesaan, rantai pemasaran produk ternak dan kendala, tantangan, serta peluang
ke depan. Hasil temuan yang berupa data primer dan sekunder akan dianalisis dengan
menggunakan kerangka Nine Factor Model dari Cho dan Moon (2000) yang merupakan
perluasan Diamond Model dari Porter (Porter, 1980; 1996). Model Nine Factor dari Cho dan
Moon ini menggambarkan determinan yang dapat membangun daya saing atas produk dilihat
dari berbagai hal. Determinan tersebut terbagi menjadi tiga faktor utama, yaitu fisik, manusia,
dan eksternal (external chance events). Untuk determinan fisik, ada beberapa faktor yang
dapat membangun daya saing, seperti sumber daya pendukung (endowed resources),
lingkungan bisnis, industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta
permintaan domestik (domestic demand). Sementara untuk determinan manusia berdasarkan
pada beberapa faktor, seperti tenaga kerja, politik dan birokrasi, pengusaha, serta kalangan
profesional. Untuk menjelaskan mengenai bagaimana mengoptimalkan keberadaan
technopark dengan melalui peningkatan kegiatan pemasaran usaha peternakan, artikel ini
membahasnya dalam kerangka model pengembangan daya saing produk dengan merujuk
pada Nine Factor Model dari Cho dan Moon (2000). Melalui pemahaman tersebut langkah
untuk memberikan pemahaman akan pentingnya teknologi dalam kegiatan peternakan sapi
kepada masyarakat perdesaan di wilayah NTB akan lebih tepat dan pada akhirnya akan
mendorong keunggulan produk.
Bidang P-ITSTP
510
Politicians and
Bureaucrats
Workers
Business
Environment
Endowed Resources
Domestic Demand
Related and
Supporting Industries
Professional
Managers and
Engineers
Entrepreneurs
Chance Events
Bidang P-ITSTP
511
512
Universitas, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Langkah kerjasama tersebut
diperlukan agar kegiatan peternakan dapat meningkat dari segi produktivitas dan kualitas
produk termasuk industri turunan (pengolahan). Hal ini juga sejalan dengan tujuan kebijakan
ketahanan pangan Nasional, dimana langkah alih teknologi dapat dilakukan oleh masyarakat
yang pada akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat perdesaan.
Penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas peternakan penting untuk
diperkenalkan kepada masyarakat perdesaan karena akan bermanfaat untuk mempercepat
transformasi ekonomi. Integrasi kegiatan pertanian dan peternakan berbasiskan teknologi
diwujudkan
dalam
technopark).
bentuk
Technopark
pengembangan
yang
secara
kawasan
peternakan
terpadu
(melalui
konseptual
merupakan
sebuah
kawasan
pengembangan kegiatan pertanian dan peternakan yang saling terintegrasi berbasis teknologi
berupaya untuk menyajikan, memeragakan dan menginformasikan temuan terkini
berdasarkan pada berbagai disiplin ilmu dengan harapan akan tercipta alih pengetahuan
kepada masyarakat.
Technopark sejatinya diharapkan dapat memberi manfaat ekonomi kepada
masyarakat, tentunya harus diimbangi dengan upaya optimalisasi kegiatan pemasaran.
Mengingat pemasaran yang dilakukan untuk produk pertanian dan peternakan bukan sematamata dalam bentuk sapi potong semata, produk hasil olahan perlu diupayakan menjadi
produk unggulan. Selain itu, hal terpenting dalam kegiatan pemasaran adalah terpenuhinya
standar kualitas produk sesuai dengan keinginan pasar. Artinya standar kualitas dan efisiensi
produk menjadi kunci sehingga produk peternakan dan turunannya memiliki kemampuan
bersaing dalam pasar yang lebih luas. Strategi pemasaran diharapkan dapat mendorong
keunggulan produk dan untuk menyusun strategi tersebut harus didasarkan pada kondisi riil,
baik berupa kemampuan/keahlian pengelolaan usaha peternakan serta dukungan dari berbagai
pihak terkait.
Bidang P-ITSTP
sehingga memelihara sapi bagi masyarakat perdesaan di NTB tidak asing. Kondisi tersebut
menjadi modal dasar untuk mengenalkan teknologi sehingga kegiatan peternakan dapat
diarahkan menjadi usaha peternakan yang berorientasi ekonomi. Pemeliharaan sapi oleh
masyarakat perdesaan NTB penuh dengan falsafah lokal, dimana masyarakat Sasak dalam
melakukan aktivitas pemeliharaan sapi memiliki pandangan jika memelihara sapi, insya
Allah akan sampe (tercapai utamanya berhaji). Nilai-nilai kearifan lokal ini perlu
disandingkan dengan upaya pengenalan teknologi sehingga mendorong perkembangan usaha
peternakan sapi, pada akhirnya usaha peternakan tersebut akan mampu memasok kebutuhan
pangan nasional. Produk hasil peternakan oleh masyarakat harus mampu di serap oleh pasar,
merujuk pada Smith (2010) dalam konsep pemasaran di bidang peternakan sasaran harus
ditentukan terlebih dahulu berdasarkan pada sumberdaya yang ada seperti pakan, tanah, dan
air. Artinya, ada beberapa aspek yang dapat menjadi pertimbangan ketika akan menjalankan
kegiatan usaha peternakan termasuk dalam mengenalkan teknologi. Peluang atas ternak sapi
di wilayah Propinsi NTB untuk menjadi pemasok kebutuhan daging Nasional dapat dilihat
dari jumlah populasi ternak sapi. Jumlah populasi ternak sapi di Propinsi NTB terus
mengalami peningkatan, sehingga potensi tersebut diharapkan dapat terserap oleh kebutuhan
akan daging di wilayah pulau Jawa.
Bidang P-ITSTP
513
Modal dasar kegiatan peternakan sapi di NTB berupa populasi sapi yang meningkat
serta ketersediaan pakan yang melimpah dan keterampilan masyarakat dalam beternak sapi
tentu harus dijadikan sebagai pendorong untuk mengembangkan sektor peternakan menjadi
kegiatan skala industri. Namun demikian, perlu disadari meskipun wilayah NTB memiliki
daya dukung pakan hijauan dalam jumlah yang besar akan tetapi para peternak belum
menggunakan berbagai variasi pakan lain yang bertujuan meningkatkan kualitas sapi
(khususnya dalam bobot sapi). Secara teknis, kualitas pakan ternak harus diupayakan
menggunakan berbagai cara agar sapi yang dipelihara dapat tumbuh dan berkembang, agar
menghasilkan bobot yang ideal dan sehat. Untuk itu pakan ternak seharusnya tidak hanya
mengandalkan pada pakan hijaun semata, namun diperlukan pakan tambahan. Salah satu cara
menyediakan pakan tambahan adalah dengan menggunakan teknologi, dimana diperlukan
campuran tertentu selain pakan hijauan. Pakan tambahan pada dasarnya merupakan suatu
bentuk implementasi dari proses alih teknologi dan harapannya adalah peningkatan
produktivitas. Kondisi berlimpahnya pakan hijauan dan pola pemeliharaan ternak yang
tradisional membuat sebagaian besar peternak kurang berminat untuk menggunakan pakan
tambahan karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat atau pun
membeli pakan tambahan. Hal tersebut menjadi penting dipahami karena proses alih
teknologi menjadi aktivitas yang strategis dalam rangka memberikan pemahaman kepada
masyarakat terkait peningkatan kualitas ternak dengan menggunakan pakan tambahan.
Bidang P-ITSTP
514
515
sistem
taksiran
ketika
bertransaksi
jual-beli
dibandingkan
dengan
menggunakan sistem timbangan bobot ternak. Metode taksiran masih dinilai memiliki daya
tarik dan menguntungkan di mata peternak, padahal kenyataanya penghitungan bobot ternak
dengan menggunakan taksiran justru akan menimbulkan spekulasi terkait dengan harga yang
sesungguhnya dari ternak yang dijual. Berkaitan dengan harga jual ternak, meskipun ada
intervensi pemerintah daerah dalam upaya mengurangi harga pasar ternak sapi melalui
informasi harga di pasar hewan ternak, sebagai contoh Pasar Mesbagik, namun belum efektif.
Kondisi tersebut terjadi karena praktik jual beli ternak tidak hanya berdasarkan aspek
kuantitatif saja, melainkan juga kualitatif (dalam hal bentuk fisik sapi yang dinilai baik dan
memiliki nilai lebih dari perspektif tradisional, bila terjadi pemahaman tersebut maka
transaksi jula beli baru akan terjadi). Kondisi transaksi jual beli sapi dikalangan masyarakat
tidak terlepas dari aspek budaya dan hal tersebut masih mengakar kuat pada masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan bisnis usaha peternakan terkait dengan aspek
tata niaga di NTB masih perlu terus di dorong untuk mengubah dari cara-cara tradisional
menjadi cara yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain hal tersebut lingkungan
bisnis terkait dengan aspek fisik juga perlu terus di tingkatkan seperti kebersihan kandang
dan lingkungan.
Bidang P-ITSTP
Individu Rumah
Tangga (IRT)
Restaurant
Konsumen
Akhir
Pengusaha Catering
Pasar
Tradisional
Hotel
Pasar Modern
Rumah Potong
Hewan (RPH)
Pedagang
Lokal
Pedagang
Antar Pulau
Pasar Ternak
Pedagang
Pengumpul/
Blantik
Petani
Peternak
Bidang P-ITSTP
516
Nasional
Sumber: BPS, 2014
Berdasarkan Gambar 4 dan 5, menandakan adanya potensi besar ternak sapi yang
berasal dari NTB sehingga amat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan daging
Nasional. Terlebih bila dikaitkan dengan konsumsi masyarakat, dimana produk daging sapi
lokal lebih diminati ketimbang daging impor. Namun yang terjadi karena produk daging sapi
impor dari sisi harga lebih bersaing dibanding harga produk daging sapi lokal maka ada
sebagian masyarakat memilih produk daging sapi impor. Dari segi kualitas produk pada
dasarnya daging sapi lokal dapat di upayakan kualitasnya sama seperti daging impor, namun
diperlukan cara/tekhnik pemeliharaan tertentu, artinya teknologi perlu diperkenalkan kepada
peternak terkait cara dan teknik yang seharusnya dapat dilakukan. Dengan demikian
keberadaan technopark sebagai wahana pembelajaran teknologi pemeliharaan sapi, kiranya
dapat di akses oleh masyarakat secara luas agar kualitas dan kuantitas sapi yang dipelihara
oleh masyarakat perdesaan meningkat dari segi populasi dan memiliki kualitas yang sesuai
kebutuhan pasar. Hal tersebut penting karena hasil peternakan sapi masyarakat akhirnya akan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar, dari perspektif peternak terserapnya ternak sapi
akan berdampak bagi pendapatan sehingga kesejahteraan peternak akan terjamin.
Bidang P-ITSTP
517
Pembibitan :
Usaha pembibitan sapi yang dilakukan oleh peternak sapi sebagian besar masyarakat
perdesaan dilakukan dengan pembibitan alami dimana sapi jantan dan sapi betina
dibiarkan secara alami melakukan perkawinanan. Hanya sebagian kecil yang telah
menggunakan cara inseminasi buatan. Metode pengembangbiakan ternak dengan
inseminasi buatan sebenarnya telah difasilitasi dengan adanya Balai Inseminasi Buatan
milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi NTB. Namun cara
pengembangbiakan ini belum mencakup seluruh peternak yang ada di wilayah NTB.
Langkah pengenalan teknologi inseminasi buatan perlu terus dilakukan sebagai bagian
dari pengenalan inovasi teknologi pada masyarakat perdesaan.
Penggemukan
Penggemukan sapi merupakan sebuah bentuk usaha yang memegang peran kunci dalam
bisnis sapi potong. Keberadaan usaha penggemukan bukan hanya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan akan sapi potong lokal namun juga terkait perdagangan sapi antar
pulau. Usaha penggemukan sapi yang ada di lakukan oleh pengusaha di wilayah NTB
dapat dikatakan masih memiliki potensi yang besar. Kebutuhan akan sapi potong untuk
wilayah pulau Lombok yang memenuhi standar RPH yang dikelola oleh BUMD Propinsi
NTB (PT Gerbang NTB Emas) pun masih belum dapat terpenuhi baik dari segi bobot.
Penggemukan sapi yang ditujukan untuk sapi potong pada dasarnya dapat efisien dengan
Bidang P-ITSTP
518
Pakan Ternak :
Input utama dan memegang peran penting dalam peternakan sapi adalah ketersediaan
pakan. Pakan berupa rumput, hijauan daun, bonggol tanaman pisang dan jerami padi
melimpah hampir di seluruh wilayah NTB, potensi pakan tersebut sejauh ini telah
dimanfaatkan oleh banyak peternak tradisional. Akan tetapi dilihat dari sebuah usaha
peternakan serta terkait dengan kebutuhan pasar termasuk dalam kaitan daya saing
produk, cara pemberian pakan berupa rumput, hijauan daun, bonggol tanaman pisang
dan jerami padi kurang efisien dan efektif. Artinya perlu adanya pengenalan seperti apa
pakan yang dapat menghasilkan sapi potong yang baik. Usaha untuk menghasilkan
berbagai produk pakan terbaik telah diupayakan, baik oleh Dinas peternakan dan
kesehatan hewan Propinsi NTB (melalui UPTD BP3TR), Universitas Mataram termasuk
LIPI sendiri juga memperkenalkan teknologi pakan. Dengan populasi sapi yang ada di
NTB maka usaha pakan ternak sangat menjanjikan, namun tantangan dalam usaha pakan
ternak adalah meyakinkan para peternak tradisional bahwa penggunaan pakan ternak
selain pakan hijauan sangat lah penting dan menjadikan kegiatan peternakan yang
mereka jalani menjadi lebih efisien dan efektif. Tantangan lain berdasar hasil wawancara
dengan salah seorang pelaku usaha peternakan yang menggunakan pakan ternak selain
pakan hijauan adalah perlunya modal awal, dan hal ini dirasa membebani ekonomi
peternak tradisional. Dengan adanya technopark seharusnya upaya untuk mendorong
masyarakat peternak tradisional menggunakan pakan tambahan selain pakan hijauan
dapat diimplementasikan.
Produk Turunan
Potensi ternak yang besar namun kebutuhan akan daging yang relatif terbatas,
memberikan peluang untuk merintis industri pengolahan produk turunan. Hal ini sangat
berpeluang, terlebih dengan meningkatnya arus wisatawan yang datang ke Pulau
Lombok. Komoditas olahan produk turunan akan menjadi buah tangan dan dengan
tagline sebagai Bumi Sejuta Sapi seharusnya ada produk unggulan daerah yang berupa
produk olahan berbasis daging sapi. Memang di beberapa wilayah terdapat pengolahan
Bidang P-ITSTP
519
produk yang berasal dari sapi, namun masih sebatas skala kegiatan rumah tangga. Bila
kegiatan pengolahan produk olahan dari sapi yang skala rumah tangga tersebut di
koordinasikan dimungkinkan akan menjadi sebuah usaha yang strategis, termasuk
manfaat berupa lapangan pekerjaan. Melalui keberadaan technopark, usaha pengolahan
produk turunan dapat dirahkan menjadi sebuah usaha skala industri (misal pembuatan
sosis serta nugget). Langkah ke arah tersebut telah dirintis oleh LIPI dengan memberikan
pelatihan terhadap kelompok masyarakat, dengan harapan dapat mendorong munculnya
usahawan yang bergerak dalam pengolahan produk turunan sapi.
Bidang P-ITSTP
520
terhadap ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kebutuhan akan daging sapi yang dipasok
oleh daerah sentra peternakan sapi memang masih belum mencukupi sehingga secara
Nasional kebijakan tata niaga daging sapi dilakukan dengan sapi lokal (dari sentra peternakan
sapi) dan impor (sapi potong termasuk daging)
Khusus untuk kegiatan tata niaga perdagangan sapi yang berasal dari Propinsi NTB
tujuan luar pulau dilakukan dengan menetapkan jumlah sapi yang akan di jual ke luar NTB
oleh pemerintah daerah (kuota sapi keluar NTB). Berdasar atas referensi kuota jumlah sapi
yang dapat dikeluarkan dari Propinsi NTB, maka ditetapkan beberapa perusahaan yang
berhak untuk dapat melakukan transaksi perdagangan sapi dengan pihak pembeli (pengusaha,
perusahaan dan pemerintah daerah lain). Perusahaan lokal pemasok sapi mengajukan ijin
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atas adanya permintaan sapi potong atau
bakalan dari pihak pembeli. Setelah secara administrasi ijin diperoleh maka pihak pemasok
sapi melakukan pengumpulan sapi (membeli dari berbagai tempat) hingga permintaan
terpenuhi. Setelah terkumpul maka dilakukan pemeriksaan atas kondisi kesehatan sapi yang
akan dikirim, hal ini untuk menghindari terjadinya penyakit menular. Berdasar hasil
wawancara dengan pelaku perdagangan sapi antar pulau diungkapkan setelah persyaratan
asministrasi dan pemeriksaan terpenuhi maka pengiriman sapi baru dapat dilakukan, namun
pengiriman tidak dapat langsung ke tujuan pembeli. Pengiriman sapi akan transit di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada saat transit berdasarkan penjelasan narasumber
dikenakan kembali pemeriksaan sampel darah. Demikian pula halnya pada saat sapi telah
sampai di tempat tujuan dilakukan kembali pemeriksaan sampel darah untuk mengetahui
membawa penyakit atau tidak. Kegiatan pemeriksaan sampel darah dalam kegiatan tata niaga
perdagangan sapi menurut pelaku perdagangan sapi antar pulau dirasa memberatkan, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi harga.
Kegiatan tata niaga perdagangan sapi akan terkait dengan kondisi permintaan dan
penawaran atas ternak sapi potong dan daging. Berdasar data sensus pertanian 2013 yang
dilakukan BPS, populasi sapi dan kerbau menurun sebanyak 2,56 juta ekor dari 16,73 juta
ekor pada tahun 2012 menjadi hanya sebanyak 14,17 juta ekor pada tahun 2013. Kondisi ini
mengindikasikan kebutuhan sapi potong belum dapat dipenuhi oleh sentra peternakan sapi,
akhirnya dapat dipahami kebijakan impor dilakukan. Terlepas dari persoalan impor sapi
potong dan daging, kondisi kegiatan perdagangan sapi menjadi peluang bagi Propinsi NTB
Bidang P-ITSTP
521
Bidang P-ITSTP
522
Peternak tradisional diarahkan untuk terlibat aktif dalam komunitas peternak, bukan
hanya sekedar dalam pemeliharaan bersama (kandang komunal).
Perlu dorongan untuk mengenalkan teknologi peternakan yang efektif dan efisien,
dengan menjalin kerjasama pionir dengan kelompok peternak.
Pendampingan kepada peternak tradisional perlu terus dilakukan para pihak dengan
fasilitasi pionir.
Terkait kapasitas SDM, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi para
pionir di setiap wilayah. Pionir bidang peternakan merupakan individu yang memiliki
kemampuan kewirausahaan yaitu kreatif dan inovatif serta mampu mengelola kondisi sosial
budaya masyarakat peternak tradisional. Pendekatan terhadap peternak tradisional yang akan
dilakukan pionir harus didasarkan pada metode bertindak kreatif dan inovatif sehingga
mampu menggerakkan perubahan dari cara beternak tradisional menjadi beternak yang
efektif dan efisien. Selain itu hal yang penting dari kapasitas sumber daya manusia adalah
menumbuhkan sifat-sifat kepercayaan diri (yakni: optimis, penuh komitmen), berinisiatif
(energik dan percaya diri), memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan
kedepan), memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda) dan berani mengambil resiko
dengan penuh perhitungan karena itu suka akan tantangan) kepada pada peternak tradisional.
Tantangan yang dihadapi terkait kondisi dan kapasitas SDM adalah melakukan pendekatan
pada masyarakat terkait inovasi teknologi peternakan berdasar kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
Bidang P-ITSTP
523
Bidang P-ITSTP
524
pada usaha peternakan sapi yang menghasilkan sapi berkualitas baik dapat dilakukan melalui
peran pelaku bisnis yang memiliki pengaruh pada para peternak pengkadas. Kondisi yang
ada, dimana sebaran lokasi pengusaha yang memiliki kemampuan menerapkan usaha
peternakan yang menggunakan cara-cara beternak yang efisien belum merata di semua
wilayah sedangkan peternakan sapi di wilayah Pulau Lombok cukup menyebar. Pola yang
dapat dibangun melalui kemitraan dengan menggandeng mitra strategis yang telah dilatih dan
memiliki kemampuan menerapkan dan menjadi contoh bagi masyarakat perdesaan. Hal yang
paling penting lagi adalah sapi-sapi yang mereka pelihara akan dibeli oleh pengusaha ternak
sesuai kualitas dan kriteria yang telah di tentukan.
Bidang P-ITSTP
525
ternak sapi yang baik, berlokasi di wilayah Desa Jatisele, Kecamatan Gunung Sari. Bila hal
yang dilakukan di banyak tempat di wilayah perdesaan di NTB maka sangat mungkin
kegiatan peternakan sapi menjadi sebuah kegiatan usaha skala industri.
Hal lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan para pionir tersebut adalah
mengkaitkan kegiatan usaha peternakan yang dijakankan dengan upaya pengentasan
kemiskinan. Langkah ini menjadi penting karena dengan mengentaskan para pengkadas
menjadi pemilik maka upaya penerapan teknologi akan lebih mudah. Penggunaan teknologi
dalam peternakan akan mendorong daya saing baik dari segi kuantitas maupun kualitas sapi
ras bali.
Bidang P-ITSTP
526
Modal budaya beternak sapi yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan di wilayah
propinsi NTB serta populasi ternak sapi yang terus meningkat menjadi dasar penting untuk
membangun daya saing. Kegiatan usaha peternakan sapi oleh masyarakat perlu diarahkan
menjadi sebuah usaha yang ditujukan bukan hanya untuk pemenuhan pasar lokal namun juga
pasar regional. Pasar di luar wilayah NTB memerlukan pasokan sapi dan daging sapi
terutama di wilayah pulau Jawa (khususnya wilayah Jakarta). Artinya sapi dan daging yang
berasal dari wilayah NTB harus mampu memenuhi kriteria atau keinginan pasar. Untuk
mencapai kearah tersebut teknologi memegang peran penting, teknologi yang terkait
pengembangan produk dan proses pembangunan produk menurut Porters menjadi kunci
(Tidd et al., 1999). Daya saing yang terbangun berlandaskan teknologi memerlukan
komitmen yang kuat dari seorang pemimpin yang memiliki kreativitas dan mampu
menanggung resiko. Para pengusaha peternakan skala kecil dan menengah yang ada di
wilayah NTB dapat menjadi pionir dalam meningkatkan daya saing produk peternakan
sapi. Pionir yang dimaksud pada dasarnya adalah para pemilik sapi dalam jumlah relative
banyak akan menjadi panutan/contoh bagi masyarakat peternak. Selain itu hubungan pasar
yang selama ini di miliki oleh para pionir akan menjadi jalan bagi pemasaran produk sapi
potong khususnya dan menjadi pemasok usaha pemotongan sapi yang memproduksi daging
sapi.
Bidang P-ITSTP
527
pengetahuan dan teknologi yang mampu menghasilkan produk sama dengan daging impor
kepada masyarakat peternak.
Kegiatan peternakan sapi masyarakat yang dilakukan oleh rumah tangga perdesaan
yang hanya memelihara maksimal 3 sapi dan sebagian besar sebagai pengkadas merupakan
tantangan dalam kontek mengenalkan inovasi dan teknologi melalui technopark.
Pengenalan inovasi dan teknologi memiliki kaitan erat dengan upaya meningkatkan daya
saing sapi ras bali. Karena kebutuhan pasar yang besar seharusnya peningkatan kualitas
sapi menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan akan daging Nasional. Kemitraan santar
pengusaha peternakan dengan masyarakat peternak menjadi salah satu langkah untuk
menjadikan kegiatan peternakan NTB mengarah pada kegiatan industri peternakan. Hal yang
tidak kalah penting terkait pengenalan inovasi dan teknologi adalah upaya meningkatkan
pengetahuan terkait pakan ternak. Pakan ternak menjadi hal penting karena dengan
penggunaan teknologi maka kegiatan peternakan akan menghasilkan kualitas dan bobot sapi
yang baik selain mengefisienkan kegiatan peternakan itu sendiri.
Kekuatan budaya peternak yang telah lama dijalankan oleh para peternak di perdesaan
NTB menjadi tantangan dalam mengenalkan inovasi dan teknologi. Pengenalan inovasi dan
teknologi penting sebagai bagian dari meningkatkan daya saing ternak sapi NTB. Keberadaan
kelompok-kelompok peternak dan pengusaha yang memiliki kemampuan kewirausahaan
menjadi peluang dalam mengarahkan kegiatan peternakan menjadi kegiatan peternakan
intensif. Pengunaan pakan selain pakan hijauan serta pemeliharaan yang dicontohkan melalui
pionir diharapkan menjadi cara untuk mengenalkan inovasi dan teknologi. Kearifan lokal
serta hubungan emosional antara peternak pengkadas dengan pengusaha pionir
digarapkan akan mendorong peningkatan kualitas ternak yang pada akhirnya akan
meningkatkan pemasaran sapi ras bali asal Propinsi NTB.
Bidang P-ITSTP
528
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, AM., (2011). Pengembangan Teknologi Pakan Sapi Potong di Daerah Semi-Arid Nusa
Tenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Cho, D.S., dan Moon, H.C. (2000). From Adam Smith to Michael Porter: Evolution of
Competitiveness Theory. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Carayanis, E. G., and Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix
and How Do Knowledge, Innovation and the Environment Relate to Each Other? A Proposed
Framework for Trans-disciplinary Analysis of Sustainable Development and Social Ecology.
International Journal of Social Ecology and Sustainable Development, Vol. 1(1), pp. 41-69.
Drucker, P.F. , (1985). The Practice of Innovation, Innovation dan Entreperneurship Practice and
Principles, Harper and Row, New York.
Hadi, P.U., et al., (2002). Improving Indonesias Beef Industry. Canberra: Australian Centre for
International Agricultural Research (ACIAR).
Monke EA, dan Pearson S. K. (1989). The Policy Analysis for Agricultural Development. Itacha
(US): Cornell University Press.
Nadjib, M. (2009). Efektivitas Pola Pembiayaan Syariah dalam Pengembangan Sub-Sektor
Peternakan dalam Mahmud Thoha dan Yeni Saptia (editor). Efektivitas Model Pembiayaan
Syariah dalam Mengembangkan Sektor Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Patrick, I.W., et al. (2010). Social Capital and Cattle Marketing Chains in Bali and Lombok,
Indonesia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).
Porter, M. E. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors.
New York: The Free Press.
______. (1996). What is strategy?. Harvard Business Review.
Smith, R. (2010). Production, Marketing Strategies Essential for Cattle Operation. Diunduh dari
www.southwestfarmpress.com.
Sasongko W.R. (2010). Pemasaran Ternak Sapi di NTB masih Tradisional. Lombok: BPTP Nusa
Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian on line.
Suhendar, Y. (2007). Harus Terus Impor Susu dan Daging? Agrina, 11 Desember 2007.
Tidd, J., Bessant, J., dan Pavitt, K. (1999). Managing Innovation (Integrating Technological, Market
and Organizational Change). John Wiley & Sons Ltd
Zulkarnain, I., et al. (2013). Kajian Persepsi Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap
Kegiatan Pertambangan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bidang P-ITSTP
529
530
P-ITSTP 03
ABSTRAK
Pengembangan pertanian organik di Indonesia menghadapi permasalahan teknologi
budidaya, sosialisasi, dan dukungan pemerintah. Model pengembangan sayuran organik ini
merupakan merupakan salah satu kegiatan dari Techno Park berbasis peternakan-LIPI di
Banyumulek, Nusa Tenggara Barat. Kegiatan juga maksud untuk mendukung program ekoedu-wisata, Pemda NTB.
lingkungan. Produk organik tersebut dapat dicapai melalui sistem managemen produksi
pertanian secara holistik untuk meningkatkan kesehatan agroekosistem. Rangkaian produksi
agrobisnis sayuran organik meliputi investasi sarana budidaya, panen, paska panen dan
pemasaran. Kawasan Banyumulek merupakan daerah dataran rendah dengan kondisi tanah
berpasir, curah hujan tahunan relatif tinggi, yaitu 1845,5 mm/tahun dengan 4 bulan musim
kering
organik yang dikembangkan meliputi: (a) model budidaya secara hemat air; (b) pupuk
organik padat,
(d)
biopestisida; (e) sertifikasi produk; (f) panen, paska panen dan pemasaran. Selain itu juga
sosialisasi, pelatihan dan pembinaan kelompok tani, kerjasama dengan lembaga penelitian
dan perguruan tinggi setempat.
Bidang P-ITSTP
PENDAHULUAN
Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara
hayati yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik
menganut hukum pengembalian (law of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha
untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu
dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberikan makanan
pada tanaman dengan mengandalkan bibit lokal dan menghindari penggunaan pupuk dan
pestisida kimia sintetis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan (Suwantoro, 2008).
Pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian alternatif berwawasan
lingkungan yang ditujukan untuk pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia. Sistem
ini sedapat mungkin menghindari perlakuan tanaman dengan menggunakan pupuk kimia
sintesis dan pestisida kimia. Kesadaran dan tingkat pendidikan mendorong masyarakat
memilih kualitas dan kesehatan demi pola makan sehat dibanding harga, sehingga produk
organik semakin meningkat permintaannya. Banyaknya lahan produktif yang terancam kritis
karena kekurangan unsur hara dan kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dan
pestisida serta kandungan racun pestisida pada produk pertanian membuat pertanian organik
semakin mendesak untuk diterapkan (Hartati, 2007).
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan
alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan pabrik. Tujuan utama pertanian organik
adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi
kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat
demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk
pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food-safety attributes), kandungan nutrisi tinggi
(nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen
seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat makin pesat
(Nurhidayati et al., 2008).
Definisi pertanian organik menurut Florida Organik Certification Program adalah:
sistem produksi pangan yang didasarkan pada metode dan praktek pengelolaan lahan
pertanian dengan pemanfaatan rotasi tanaman, recycling sampah organik, aplikasi mineral
Bidang P-ITSTP
531
alami untuk menjaga kesuburan tanah, dan jika perlu pengendalian jasad pengganggupun
secara biologi. Menurut Budianto (2002): pertanian organik merupakan cara memproduksi
bahan pangan dengan menggunakan bahan-bahan alami baik yang diberikan melalui tanah
maupun secara langsung kepada tanaman dan hewan (Nurhidayati et al. 2008).
Menurut IFOAM (2005), terdapat beberapa prinsip pertanian organik yang harus
digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang, yakni: 1. Prinsip
Kesehatan, 2. Prinsip Ekologi, 3. Prinsip Keadilan dan 4. Prinsip Perlindungan (Nurhidayati
et al. 2008).
Beberapa persyaratan tanaman yang akan ditanam dalam sistem pertanian organik,
antara lain: 1. Mempunyai nilai ekonomis tinggi, 2. Kesesuaian antara tanaman dengan jenis
tanah dan kondisi lingkungan, dan 3. Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
Komoditas yang Layak Dikembangkan dengan Sistem Pertanian Organik, adalah: 1.
Tanaman Pangan (Padi), 2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho
putih, kubis tunas, bayam, daun, labu siyam, oyong dan baligo; Buah: nangka, durian, salak,
mangga, jeruk dan manggis, 3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili
dan kopi, 4. Rempah dan Obat Jahe, kunyit, temulawak, dan temutemuan lainnya. 5.
Peternakan (Susu, telur dan daging) (Nurhidayati et al., 2008).
Bidang P-ITSTP
532
Terwujudnya sebuah model budidaya pertanian ramah lingkungan yang menjadi satu
mata rantai dari program besar pengembangan budidaya peternakan secara berkelanjutan.
b.
c.
dan urine serta limbah pakan dari budidaya ternak sapi, dimanfaaatkan menjadi biogas dan
sebagai pupuk organik untuk budidaya pertanian dan pakan hijauan. Model rangkaian
produksi sayuran organik, meliputi: aspek-aspek Agronomi
hayati baik pupuk padat, cair maupun kompos; penyediaan benih dan bibit; penanaman pada
rumah inseknet dan lahan terbuka, panen dan paska panen), aspek Sosial ekonomi khususnya
pemasaran, dan aspek kebijakan pemerintah yang memihak pada pemasaran produk pertanian
orgtanik (Gambar 1).
Aspek-aspek
Agronomi
Aspek-aspek
Sosial Ekonomi
Dukungan
kebijakan
terhadap pasar
produk organik
Bidang P-ITSTP
533
2.
3.
Bidang P-ITSTP
534
4.
Bidang P-ITSTP
535
Bidang P-ITSTP
536
5.
Data Pendukung
a. Iklim Mikro pada saat penanaman
1) Monitoring data iklim (hujan, suhu, kelembapan, kecepatan angin) dari BMKG
2) Diusulkan menginstalasi alat pemantau data iklim (Automatic Weather Station)
b. Kualitas air irigasi
1) Monitoring kualias air (mikrobilogis, fisik dan kimiawi)
c. Tingkat kesuburan tanah
1) Monitoring tingkat kesubuan tanah (hayati, fisik, kimia)
d. Kualitas produksi sayuran
1) Kualitas fisik (warna, bentuk, keutuhan dari hama dan penyakit, berat)
2) Kimiawi dan mikrobilogis (pengujian di laboratorium)
Tomat mulsa
Pompa air
lsa
mu
ng
o
lsa
r
Te
mu
bai
Ca
Cabai
jerami
Paria
Cabai
Pot
Cabai pot
Rumah
Plast ik
Rumah
Paranet
Rmh
paska
panen
Terong pot
Kang
kung
Pot
kom
Rmh
Kom
pos
Cabai pot
Gambar 2.
Sebagai model kegiatan, digunakan lahan seluas 800 m 2, merupakan lahan bekas
kompleks perkandangan ayam, yang telah lama tidak digunakan. Lahan yang telah lama
diberokan (lebih dari 3 tahun) tersebut, menjadi faktor yang baik untuk budidaya pertanian
Bidang P-ITSTP
537
organik agar diperoleh ekosistem yang sehat. Pada lahan tersebut dirancang untuk lokasi
bedeng-bedeng tanaman, tanaman menggunakan plastik polibag, bangunan rumah inseknet,
rumah kompos, rumah paska panen, dan sumur pompa serta tower air (Gambar 2).
b.
c.
d.
e.
f.
: 27 JULI 2015
PANEN KE-1
: 27 SEPTEMBER 2015
: 04 JULI 2015
PANEN KE-1
: 04 SEPTEMBER 2015
: 01 AGUSTUS 2015
PANEN KE-1
: 01 OKTOBER 2015
: 20 JULI 2015
PANEN KE-1
: 20 SEPTEMBER 2015
: 19 JUNI 2015
PANEN KE-1
: 19 AGUSTUS 2015
: 19 JUNI 2015
PANEN KE-1
: 19 AGUSTUS 2015
Bidang P-ITSTP
538
Disusun data rata-rata hujan dan evaporasi harian (mm/hari) berdasarkan rata-rata hujan
bulanan (mm/bulan), pada tahun 2004-2013, di Banyumulek, NTB.
Bidang P-ITSTP
539
c.
d.
Ditentukan fase pertumbuhan tanaman cabai, terong dan tomat. Untuk tanaman semusim
fase pertumbuhan tanaman adalah fase awal
(development stage), fase pertengahan musim (mid season) dan dan fase pertumbuhan
akhir (late season). Periode fase pertumbuhan tanaman cabai, terong dan tomat adalah
30/40/40/20 atau umur seluruh musim tanam 130 hari. Koefisien tanaman pada fase
pertumbuhan adalah 0,6; fase perkembangan dan pemasakan buah 1,15; dan fase akhir
pertumbuhan adalah 0,8.
b.
Air tersedia (Readily Available Water/RAW), diketahui dari Total Air Tersedia (Totally
Available Water/TAW) dan fraksi deplesi (Depletion Fraction), yaitu:
RAW = TAW * p .................................................................................................... (5)
d.
Air tersedia total (Totally Available Water/TAW), berdasarkan tekstur tanah, diketahui
dari Tabel 1 (Qassim and Tatura, 2006).
Bidang P-ITSTP
540
e.
Untuk tanah di kawasan Banyumulek dengan tekstur pasir, diketahui nilai TAW 49
mm/m.
f.
Fraksi deplesi (Depletion Factor) atau p, untuk tanaman sayuran berkisar 0,3 0,5
(Qassim and Tatura, 2006).
g.
Volume Irigasi Bersih (Net Irigation Depth/NID), diketahui dari air tersedia (RAW) dan
kedalaman akar (Roof Depth). Untuk tanaman cabai, terong dan tomat, kedalaman akar
berkisar 0,5 1,5 m (Qassim and Tatura, 2006). Volume irigasi bersih digunakan
sebagai indikator volume air yang harus diberikan, bila kumulatif air tanah telah
mencapai volume tersebut.
h.
Dari hasil simulasi di atas, total volume air yang harus diberikan sepanjang fase
pertumbuhan tanaman dan per satuan luas lahan dapat diketahui.
Gambar 3. Rata-rata curah hujan dan evaporasi bulanan pada tahun 2004-2013 di Kecamatan
Kediri, Lombok Barat, NTB
Dari kondisi defisit dan surplus air di suatu wilayah dapat dibuat simulasi kebutuhan
air tanaman berdasarkan fase pertumbuhannya.
Bidang P-ITSTP
541
Dari hasil simulasi, diketahui tanaman cabai, terong dan tomat yang mulai ditanam
pada bulan Januari dan Februari tidak mengalami kondisi kritis sepanjang periode
pertumbuhannya. Hal ini, karena curah hujan harian > dari nilai evapotranspirasi potensial
dan kebutuhan air tanaman. Namun demikian apabila mulai ditanam pada bulan Maret dan
April, tanaman mengalami masa kritis, terutama pada sepertiga hingga setengah pada fase
akhir pertumbuhannya.
Dari hasil simulai, ditunjukkan apabila tanaman cabai, terong dan tomat mulai
ditanam pada bulan Mei, hanya terpenuhi kebutuhan airnya pada fase awal pertumbuahn,
Bahkan tanaman yang mulai ditanam pada bulan Juni, Juli dan Agustus mengalami periode
defisit air sepanjang pertumbuhannya.
Dari hasil simulasi, ditunjukkan tanaman yang mulai ditanam pada bulan September
dan Oktober mengalami periode kritis pada sepertiga hingga setengah fase awal
pertumbuhannya.
543
3.
maupun di dunia. Nilai produksi cabai di Indonesia merupakan yang ke empat di dunia,
dengan nilai produksi mencapai 1,7 ribu ton pada tahun 2012 (FAO, 2015). Nilai produksi
yang besar tersebut sangat terkait dengan luasan pertanaman dan juga penyediaan benih.
Umumnya benih didapatkan dari pasar dan benih yang berkualitas dan tahan penyakit adalah
benih hibrida. Keungguan benih hibrida ini hanya didapatkan pada penanaman pertama
dengan hasil panen yang seragam dan produktivitas yang sangat baik. Sedangkan untuk
penanaman kedua dari benih yang dipanen sendiri, kualitas hasil panen menurun dan tidak
seragam. Hal ini menyebabkan petani harus membeli kembali benih di pasar.
Produksi benih cabai sebenarnya dapat dilakukan oleh petani secara mandiri untuk
pemenuhan kebutuhan sendiri dan untuk membuka peluang usaha di bidang benih. Untuk
memproduksi benih yang berkualitas terdapat beberapa hal yang harus diketahui terlebih
dahulu, seperti jenis benih dan teknik pertanaman dan teknik prosesing benih.
Benih dapat dihasilkan dengan membuat persilangan buatan antar varietas target dan
persilangan sendiri (selfing) antara serbuk sari dan polen yang berasal dari satu tanaman.
Benih hasil persilangan dapat dikelompokkan menjadi: 1.
BS); 2.
Benih
sebar / Extention Seed (ES). Jika benih ingin dipasarkan, maka benih perlu disertifikasi oleh
BPSB setempat setiap masa tanam. Tujuan sertifikasi adalah untuk memberikan jaminan
kualitas benih kepada pembeli.
Bidang P-ITSTP
4.
5.
Biopestisida
Penggunaan pestisida nabati (biopestisida) merupakan salah satu komponen penting
dalam budidaya sayuran organik. Indonesia sebagai negara yang kaya dengan biodiversitas
flora, memiliki berbagai jenis tanaman lokal yang berfungsi sebagai biopestisida. Di dalam
Bidang P-ITSTP
544
6.
Sertifikasi Organik
Sertifikasi organik adalah proses untuk mendapatkan pengakuan bahwa proses
budidaya pertanian organik atau proses pengolahan produk organik dilakukan berdasarkan
standar dan regulasi yang ada. Apabila memenuhi prinsip dan kaidah organik, produsen dan
atau pengolah (prosesor) akan mendapatkan sertifikat organik dan berhak mencantumkan
label organik pada produk yang dihasilkan dan pada bahan-bahan publikasinya (Nurhidayati
et al. 2008).
Sertifikasi Bahan dan Produk Organik
Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang
tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen maka diperlukan sertifikasi.
Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
(a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih
mentoleransi penggunaan pupuk kimia buatan pabrik dalam jumlah yang minimal atau
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi
penggunaan pestisida buatan pabrik. Pengendalian OPT dengan menggunakan
biopestisida, varietas toleran, maupun agen hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi
nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi
dan pihak-pihak lain yang terkait.
(b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri,
seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan
produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi
persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik (Nurhidayati et al. 2008).
Bidang P-ITSTP
545
7.
yang terdiri dari unsur-unsur yang mewakili Pemerintah Daerah, Peminat Bisnis, Perguruan
Tinggi Dosen dan Mahasiswa (Unram) dan Kelompok Tani. Narasumber dari Perguruan
Tinggi dan Dinas Pertanian Provinsi. Dari pelatihan dan diskusi tersebut diperoleh informasi
tentang kegiatan pertanian organik yang telah dikembangkan di Mataram, NTB dan rencana
kerjasama yang dapat dilakukan lebih lanjut, seperti: kerjasama penelitian, pembimbingan
mahasiswa, dan revitalisasi asosiasi pertanian organik.
8.
dan Pasar Swalayan di Mataram NTB. Selain itu juga telah diikuti Festival Hortikultura
Nasional dengan mengikutsertakan produk sayuran organik, tanaman sayuran organik, starter
padat dan cair, dan kompos di dalam pameran tersebut.
Bidang P-ITSTP
546
Menengah hingga ke Perguruan Tinggi diharapkan berwisata sambil belajar di demplotdemplot yang disediakan. Oleh karena dari hasil kegiatan diharapkan dapat diperoleh manfaat
dan dampak sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, maka seluruh pemangku kepentingan,
yaitu Pemda, Mitra Bisnis, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, Tokoh Masyarakat,
Kelompok-Kelompok Tani diharapkan berperan serta dalam program ini.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes & M. Smith. 1990. FAO Irrigation and Drainage Paper, No. 56.
Crop Evapotranspiration (guidline for computing crop water requiremens). FAO, Rome.
300p.
Hartati, A. 2007. Pertanian Organik sebagai Solusi alternatif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.
Prosiding seminar inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan agribisnis industrial
pedesaan di wilayah marjinal. Penyunting: Muryanto [et al.]. - - Ungaran: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Tengah, 2007, 723 hlm; ills.; 20 cm: 433-442. (Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman)
Nurhidayati, Istirochah Pujiwati, Anis Solichah, Djuhari dan Abd. Basit. 2008. E-Book Pertanian
Organik, Suatu Kajian Sistem Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan (Program Studi
Agroteknologi Jurusan Budidaya Oertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang).
Bidang P-ITSTP
547
Bidang P-ITSTP
548
P-ITSTP 04
ABSTRAK
Sentra Hak Kekayaan Intelektual (Sentra HKI) merupakan salah satu pusat yang
diharapkan dapat melakukan fungsi pembinaan pada berbagai persoalan berkaitan dengan
HKI. Sentra HKI memiliki fungsi sebagai technology lisensing organization bagi inventor
dengan investor, maupun masyarakat secara luas, sehingga produk-produk hasil penelitian
dan pengembangan dapat di daftarkan HKI-nya. Kota Batu merupakan salah satu kota yang
berkembang cukup pesat, termasuk di bidang industrinya. Namun, hingga saat ini jumlah
aplikasi HKI relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah industri kecil yang
ada. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi HKI pada industri kecil di
wilayah Kota Batu. Dalam jangka panjang, diharapkan dapat mendorong program penelitian
dan pengembangan berorientasi HKI pada industri kecil dan dapat memberikan layanan pada
industri kecil dalam upaya memperoleh perlindungan HKI. Kegiatan dilakukan bulan Januari
s/d Juni 2014. Pengambilan data dilakukan pada 30 Industri kecil yang ada di wilayah Kota
Batu, berupa data primer dan sekunder. Data diperoleh menggunakan metode observasi
lapang dengan pengamatan terlibat (participant observation); wawancara mendalam (indepth interview), metode dokumenter (documentary studyi) dan teknik purposive sampling
(sampling bertujuan) terhadap wilayah per kecamatan. Hasil kegiatan menunjukkan,
mayoritas industri kecil di Kota Batu adalah berupa Industri Makanan Olahan (60,00 %),
dengan wilayah pemasaran 43,33 % pada skala pasar nasional dan 26,67 % pasar regional
Jawa Timur. Sejumlah 70,00 % industri kecil-menengah belum pernah mengalami
permasalahan HKI, namun 30,00 % sudah pernah mengalami permasalahan HKI khususnya
di bidang permasalahan Merek Dagang. Dalam kegiatan ini diperoleh data 30% potensi hak
cipta, 6,67 % patent dan 3,33 % desain industri dan sejumlah 90,00 % industri kecil
menengah di kota Batu membutuhkan pembinaan HKI.
Kata Kunci: Hak Kekayaan Intelektual, Industri Kecil, Kota Batu-Malang
Bidang P-ITSTP
549
PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada intinya merujuk kepada usaha
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan dan / atau badan usaha
perorangan atau badan usaha dengan kriteria masing-masing. Menurut undang-undang nomor
20 tahun 2008, perbedaan kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah adalah
didasarkan pada nilai kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. UMKM telah mengambil
peranan aktif dalam perekonomian Indonesia. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia
sekitar tahun 1997, UMKM tetap bertahan bahkan peranannya semakin meningkat dan
terlihat sangat jelas dalam mendukung perekonomian Indonesia. Pada saat itu bentuk usaha
inilah yang paling cepat pulih dari krisis ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha skala
besar yang banyak terpuruk pada saat itu.
Dari berbagai data menunjukan bahwa sektor UMKM memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam perekonomian dan dalam mengatasi masalah pengangguran dan tenaga
kerja di Indonesia. Selain itu, UMKM juga memberikan kontribusi yang besar pada Produk
Domestik Bruto (PDB), dimana lebih dari separuh ekonomi kita didukung oleh produksi dari
UMKM (Utami, 2010). Kegiatan ini dibatasi pada kajian potensi hak kekayaan intelektual
pada industry kecil di kota Batu-Malang. Kriteria industry kecil menurut UU No. 20 tahun
2008 adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah
sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha (UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Tidak
dapat dipungkiri bahwa potensi UMKM sangat besar dalam menggerakkan kegiatan
perekonomi masyarakat, sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar
masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Eksistensi dan peran UMKM tampak
sangat nyata, pada tahun 2008, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 51,36 juta unit usaha.
Hal ini berarti, 99,99 persen dari pelaku usaha nasional (Biro Perencanaan Kementerian
UMKM, 2008).
tenaga kerja, pembentukan produk domestic bruto (PDB) nasional, devisa nasional dan
investasi nasional (Utami, 2010).
Keberadaan UMKM tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Hak Kekayaan
Intelektual. Mulai dari produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha UMKM, teknologi yang
digunakan, desain dari setiap produk yang dihasilkan, maupun penggunaan merek dagang
Bidang P-ITSTP
550
METODOLOGI
Kegiatan dilakukan di Kota Batu Malang yang merupakan salah satu kota di
Propinsi Jawa Timur yang berkembang cukup pesat, pada bulan Januari sampai dengan Juni
2014. Di kota ini jumlah penduduk yang cukup padat, dan berkembang banyak industri kecil
(milik mayarakat dan pengusaha dengan jenis industry yang beragam).
Data yang dipergunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berupa informasi mengenai pelaku (informant), tempat dan peristiwa (melalui
site inspection). Informant terdiri dari masyarakat selaku pelaksana industri kecil di Kota
Batu-Malang, Selain itu juga akan dilakukan wawancara kepada Dinas Perindustrian dan
Bappeda kota Batu selaku pelaksana tangung jawab dan Perancang Peraturan Daerah dalam
pengembangan industri. Data sekunder berupa berbagai dokumen yang relevan dari institusi
yang berkaitan dengan aktifitas Perindustrian. Data dikumpulkan dengan menggunakan
berbagai metode, yakni: Observasi lapang dengan pengamatan terlibat (participant
observation), wawancara mendalam (in-depth interview), metode dokumenter (documentary
Bidang P-ITSTP
551
Dinas Koperasi dan Industri Kecil Kota Batu-Malang) serta dari Searching
internet, 7) Survei lapang ke 30 industri kecil, 8) Analisis dan Interpretasi Data, 9) Diskusi
dan 10) Penulisan Laporan Kegiatan. Kegiatan survey telah dilakukan ke 30 industry kecil
yang tersebar di wilayah Kota Batu-Malang.
kerajinan, 3 industri (16,67 %) dibidang pertanian (budidaya tanaman hias, tanaman pangan,
tanaman obat-obatan / herbal) dan 2 industri kecil (6,67 %) yang memproduksi kaos.
Bidang P-ITSTP
552
Jumlah (Persentase)
18 (60,00 %)
5 (16,67 %)
5 (16,67 %)
2 (6,67 %)
Bidang P-ITSTP
553
Dari data Tabel 2 menunjukkan bahwa pemasaran produk industry kecil kota Batu
menunjukkan bahwa 9 industri kecil (30 %) wilayah pemasarannya masih berada di kota
Batu dan Malang Raya, sebanyak 8 industri (26,67 %) wilayah pemasarannya di tingkat
regional (seputar Jawa Timur), 13 industri (43,33 %) memasarkan produksinya di seluruh
wilayah Indonesia, dan belum ada yang memasarkan secara international.
Bidang P-ITSTP
554
9 (30 %)
8 (26,67 %)
13 (43,33 %)
0
wilayah pemasaran produk industry kecil kota Batu sebenarnya sudah sangat
beragam. Oleh karena itu, maka perlunya perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi
semakin tinggi, sebab bila barang yang dijual tanpa dilindungi HKI nya maka akan berpotensi
besar untuk diakui sebagai produk dari orang /industry lain.
Data Tabel 3 menunjukkan potensi hak kekayaan intelektual pada Industri kecil di
wilayah Batu. Potensi HKI berupa Merek Dagang sangat mendominasi. Dari 30 industri kecil
yang di survey, menunjukkan bahwa 23 industri ( 76,67 %) memiliki potensi untuk
pendaftaran Merek. Disamping itu, ada 9 industri (30,00 %) yang bemiliki potensi hak cipta,
dua industri (6,67 %) memiliki potensi patent dan 1 indusy (3,33 %) yang memiliki potensi
desain industry.
Bidang P-ITSTP
555
timbulnya hak, sebagai bukti bagi pemilik merek tersebut sebagai dasar untuk melakukan
penolakan terhadap pemalsuan atau kesamaan merek oleh produsen lain. Oleh karena itu,
maka penting bagi pengusaha untuk mendaftarakan mereknya. Merek yang kuat ditandai
dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu
produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek tersebut. Dengan
adanya merk, dapatlah membuat produk yang satu berbeda dengan yang lain sehingga
diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan
dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap
suatu merek (brand loyalty). Hasilsurvei menunjukkan bahwa dari 30 industri kecil yang di
survey, menunjukkan bahwa 23 industri (76,67 %) memiliki potensi untuk pendaftaran
Merek, namun baru 30,43 % yang mereknya telah terdaftar.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dari
hasil survey diperolah bahwasannya terdapat 2 potensi paten (6,67 %).
Pada patent
sederhana, perlindungan diberikan adalah dalam jangka waktu 10 tahun sedangkan pada
paten biasa jangka waktu perlindungannya adalah 20 tahun. Dalam kenyataannya, secara
umum industry kecil belum memahami invensi yang dapat di daftarkan paten sehingga
invensi yang dilakukan dianggap sebagai hal yang biasa. Ivensi yang merupakan pemecahan
Bidang P-ITSTP
556
yang spesifik
dibidang
teknologi
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses yang memiliki kebaruan dan langkah
inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa,
budaya dan agama serta kekayaan yang melimpah di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra berikut pengembangan-pengembangannya. Sebagai potensi nasional, semua itu
memerlukan adanya perlindungan yang memadai terhadap kekayaan intelektual khususnya
Ciptaan yang lahir dari keanekaragaman dan kekayaan tersebut. Perlindungan hukum Hak
Cipta, tentu akan sangat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek
perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional. Kondisi ini diharapkan dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas, terutama bagi mereka
yang bergerak di sektor industri kreatif, seperti: industri musik, film, media massa,
perbukuan, arsitektur, dan piranti lunak. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan terhadap ide
atau gagasan karena Ciptaan harus telah diekspresikan dalam bentuk nyata di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra.
moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan dan
produk Hak Terkait. Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku
Pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan, dirusak, atau dihapus tanpa alasan apa pun,
walaupun hak ekonomi atas Ciptaan dan produk Hak Terkait tersebut telah dialihkan. Hasil
kegiatan ini menunjukkan potensi hak cipta yang dapat ditemukan antara lain pada industry
kecil kerajinan kayu, kerajinan gips, desain gambar kaos, dll.
Tabel 4. Kejadian Permasalahan HKI pada Industri Kecil
di Kota Batu-Malang.
Sudah pernah terjadi
permasalahan HKI
9 (30,00 %)
Bidang P-ITSTP
557
Jumlah (persentase)
7 (77,78 %)
1 (11,11 %)
1 (11,11 %)
Tidak Memerlukan
Pembinaan HKI
27 (90,00 %)
3 (10,00 %)
Secara umum hasil kegiatan ini melum menunjukkan bahwa potensi HKI pada
industry kecil cukup tinggi, namun industry kecil belum memahami arti pentingnya
pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual bagi perkembangan dan keberlanjutan usaha mereka.
Disamping pemahaman yang rendah,
masyarakat industry kecil, sehingga minat untuk mendaftarkan hak kekayaan industrialnya
masih sangat rendah.
Bidang P-ITSTP
558
DAFTAR PUSTAKA
Biro Perencanaan Kementerian Usaaha Kecil dan Menengah. 2008. Statistik Usaha Kecil dan
Menengah Thun 2007-2008. www.depkop.go.id.
Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual bagi Usaha Mikro Kecil Menengah. 2013. Dinas Koperasi dan
UMKM Propinsi Riau. riau.go.id.
Setyowati, K. et.al. 2005. Hak Kekayaan Intelektual, dan Tantangan Implementasinya di Perguuruan
Tinggi. Institute Pertanian Bogor.
Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. 2012.
Kementerian Hukum dan HAM RI.
Undang-undang No.20 tahun 2008. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Departemen Koperasi RI.
Utami MWB. 2010. Pemanfaatan Desain Industri bagi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah : Antara Kenyataan dan Harapan. Media HKI, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM- RI, VII/01 : 13-15. www.dgip.go.id
Bidang P-ITSTP
559
ABSTRAK
Kabupaten Banyuwangi banyak mengembangkan kegiatan usaha perikanan tangkap
dan unit-unit kegiatan pendukungnya. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang
mengandalkan potensi selat Bali tersebut telah melampaui kuota kelestarian lingkungan yang
ditetapkan melalui SKB Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Nomor 238 Tahun 1992//674
Tahun 1992, sehingga cenderung mengancam kelestarian sumber daya perikanan dan
lingkungan perairannya. Sementara itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam
upaya mendorong ekonomi daerah khususnya dikawasan pesisir secara bertahap akan
membangun 24 taman teknologi (techno park) kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk
mendorong pengembangan inovasi dan bisnis kelautan maupun perikanan guna penumbuhan
dan pembinaan wirausaha baru. Banyuwangi sebagai pusat pendidikan maritim nasional
ditetapkan sebagai salah satu dari empat Marine Technopark (MTP) yang akan dibangun
pada tahun 2015 yang sekitar 80% aktivitas ekonomi masyarakat di kawasan tersebut
bergantung pada perikanan tangkap.
Kajian ini bertujuan untuk menyusun arah pengembangan MTP di Banyuwangi
melalui pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) dengan mempertimbangan lima
program kegiatan MTP Banyuwangi. Metode analisis bersifat deskriptif kualitatif. Analisis
pertama adalah mengidentifikasi karakteristik kegiatan industri perikanan dengan
menggunakan pendekatan delphi, selanjutnya menganalisis faktor penentu pengembangan
kawasan industri perikanan dengan pendekatan analisis faktor, dan yang terakhir
merumuskan model pengembangan MTP untuk mendukung industri perikanan di
Banyuwangi dengan pendekatan input-output.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan MTP semestinya memperhatikan
tiga faktor yang merupakan penentu PEL, yaitu bahan baku, infrastruktur dan pemasaran.
Kemudian peningkatan usaha melalui pengembangan produk olahan hasil perikanan,
khususnya usaha pengasinan. Selanjutnya peningkatan wawasan pemasaran bagi pelaku
usaha dengan membangun branding produk, pengemasan dan outlet pemasaran secara online
maupun offline.
Kata Kunci: Marine Technopark, pengembangan ekonomi lokal, kawasan industri
perikanan
Bidang P-ITSTP
560
PENDAHULUAN
Menurut Mudrajat (2004), bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya secara bersama mengelola sumber daya yang
ada dengan membentuk suatu pola kemitraan. Tentu saja pola kemitraan tersebut harus
didukung oleh pihak swasta dalam upaya penciptaan lapangan kerja baru serta mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan jumlah, jenis dan peluang kesempatan kerja bagi
masyarakat daerah. Pembangunan ekonomi daerah secara umum dimulai pada kawasan
pedesaan, dan sektor yang menjadi prioritasnya adalah pertanian dan perindustrian, karena
kedua sektor tersebut tidak bersifat pasif dan bukan sebagai sektor penunjang dalam proses
pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Untuk itu dalam meningkatkan pembangunan
daerah terutama pada kawasan pedesaan yang sebagian besar merupakan daerah pertanian
dan kawasan pantai (kawasan pedesaan nelayan), maka pemerintah daerah harus berupaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menggali dan mengembangkan potensipotensi yang ada di kawasan tersebut melalui pengembangan ekonomi lokal. Pengembangan
ekonomi lokal sendiri menurut Blakely dan Bradshaw (1994) adalah merupakan proses
dimana pemerintah lokal dan organisasi masyarakat terlibat dalam mendorong, merangsang,
memelihara adanya aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakatnya.
Banyuwangi merupakan kabupaten paling ujung timur Propinsi Jawa Timur yang
memiliki luas wilayah 5.782,50 km2 dengan panjang garis pantai 291,5 Km yang menyimpan
potensi sumber daya pesisir cukup yang sangat besar dan beragam, khususnya potensi
perikanan laut. Sementara itu, pantai timur Banyuwangi yaitu selat Bali merupakan salah satu
penghasil komoditi perikanan terbesar di Provinsi Jawa Timur. Adapun kawasan perikanan di
Banyuwangi sendiri terpusat di Kecamatan Muncar. Fungsi pengembangan kawasan
perikanan Muncar adalah kawasan pengembangan perikanan rakyat dan industri perikanan
terpadu (Banyuwangi dalam Angka, 2013).
Merujuk pada RPJMD11 Banyuwangi tahun 2010-2015 menunjukkan bahwa
pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan belum seperti yang diharapkan. Hal ini
11
RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah adalah merupakan dokumen strategis yang
merupkan penjabaran dari visi misi daerah dalam bentuk Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renstra SKPD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Prioritas PRJMD Kabupaten Banyuwangi
Bidang P-ITSTP
561
RTP: Rumah Tangga Perikanan; adalah bentuk kegiatan usaha Pembudidaya atau penangkap/nelayan yang
lebih ditekankan pada kegiatan usaha berbasis kegiatan ekonomi, dimana kegiatan yang dilakukan hasilnya
tidak sepenuhnya hanya untuk dikonsumsi keluarga saja, melainkan sebahagian besar untuk usaha.
Bidang P-ITSTP
562
13
Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) (wastewater treatment plant, WWTP), adalah sebuah sistem dan
struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air
tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain. Fungsi dari IPAL mencakup; (a) Pengolahan air limbah dari
usaha pertanian atau perikanan dengan membuang kotoran hewan, residu-residu (toksin) dan sebagainya dari
lingkungan; (b) Pengolahan air limbah pemukiman, untuk membuang limbah manusia dan limbah rumah tangga
lainnya; (c) Pengolahan air limbah industri, untuk mengolah limbah cair dari aktivitas manufaktur sebuah
industri dan komersial.
Bidang P-ITSTP
563
Bidang P-ITSTP
564
565
Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di atas maka dapat dilihat bahwa arah pengembangan
technopark berbasis kelautan atau Marine Technopark lebih difokuskan pada sertifikasi
kompetensi, budidaya ikan sidat, produksi garam, budidaya udang, dan pengolahan produk.
Pada skala ini terlihat bahwa pengembangan program tersebut belum dikaitkan dengan
pendekatan
pengembangan
ekonomi
lokal
Banyuwangi
yang
kegiatan
ekonomi
Bidang P-ITSTP
TINJAUAN LITERATUR
Pembangunan Daerah
Menurut Tjokrowidjoyo (1995) Pembangunan Daerah dapat dilihat dari berbagai
aspek, yaitu: 1) segi pembangunan sektoral, pencapaian sasaran pembangunan dilakukan
melalui berbagai pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral
disesuaikan dengan yang dimiliki oleh masing-masing daerah; 2) segi pembangunan wilayah,
yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi
wilayah; dan 3) segi pemerintahnnya, agar tujuan pembangunan daerah dapat berhasil dengan
baik maka pembangunan daerah perlu berfungsi dengan baik karena itu pembangunan
merupakan usaha-usaha untuk mengembangkan dan mempererat pemerintah dalam rangka
makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Sedangkan menurut Arsyad (1999) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan
ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa
dari luar daerah. Menurut Glasson (1990) konsep dasar basis ekonomi membagi
perekonomian menjadi dua sektor yaitu: 1) Sektor-sektor basis adalah sektor-sektor yang
mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekomian masyarakat yang
bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar
perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan; dan 2) Sektor-sektor bukan basis
adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang
bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan.
Bidang P-ITSTP
566
Bidang P-ITSTP
567
Bidang P-ITSTP
568
Lahan yang menarik dan berisi bangunan arsitektur yang indah yang memiliki fungsi
sebagai pusat ilmu pengetahuan dan R & D perusahaan untuk menghasilkan penemuan
baru atau aplikasi teknologi, khususnya di bidang kematiman;
Bidang P-ITSTP
569
Kerjasama dalam R & D antara perusahaan terkenal dengan pihak MTP untuk memperoleh
keuntungan dari teknologi yang mereka hasilkan dalam bidang kemaritiman;
Tempat terjadinya transfer teknologi kematiman yang kuat antara universitas, laboratorium
penelitian dan industri.
Selain pengertian di atas, terdapat pengertian lain sebagai berikut; MTP adalah istilah
Stakeholder
bekerjasama
pemanfaatan bangunan komersial, fasilitas riset, conference center, sampai dengan fasilitas
penginapan. Bagi pemerintah daerah MTP menciptakan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan daerah. Bagi para pekerja yang berpendapatan cukup tinggi, MTP
memiliki daya tarik karena situasi, lokasi, dan lifestyle.
Dalam sejarahnya, MTP adalah turunan dari Science and Technopark sendiri mulai
dikembangan sejak tahun 1950, dimana staf perguruan tinggi yang memiliki jiwa
entrepreneur ingin mengkonversikan pengetahuan dan hasil penelitian yang di kembangkan
menjadi nilai ekonomi. Science and Technopark pertama dibuat oleh Stanford University di
Amerika Serikat. Science and Technopark tidak identik dengan inkubator bisnis. Sebuah
Science and Technopark biasanya memiliki sebuah inkubasi bisnis. Sementara itu bisnis yang
diinkubasi tidak harus secara fisik berada di Science and Technopark. Ada beberapa tujuan
dari adanya MTP yang merupakan turunan dari Science and Technopark. Berikut ini
beberapa tujuan MTP yang dikumpulkan dari berbagai sumber:
Meningkatkan daya saing bisnis perusahaan lokal dengan menggunakan fasilitas MTP
untuk melakukan R & D. Banyak perusahaan lokal yang tidak mampu melakukan R & D
sendiri karena keterbatasan dana, SDM, dan peralatan. MTP biasanya memiliki SDM dan
peralatan. Masalah dana bisa ditanggung bersama-sama oleh beberapa perusahaan dan atau
oleh pemerintah;
Bidang P-ITSTP
570
Dari uraian di atas, secara umum fungsi dari MTP itu dapat dibagi dua, yaitu:
Membawa hasil riset perguruan tinggi ke luar dengan membuat bisnis dengan pelaku
bisnis atau venture capital yang sudah ada, misalnya melalui inkubasi hasil riset;
Membawa industri masuk ke perguruan dengan membawa masalah yang ada di industri ke
dalam MTP tersebut, dan Balai Diklat memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan
industri teknologi.
METODOLOGI
Kajian ini bersifat deskiptif kualitatif, yaitu mencari fakta dengan intrepetasi yang
tepat. Adapun metode penghimpunan data primer melalui penyebaran kuisioner dan
wawancara dengan masyarakat usaha perikanan, Dinas KKP, Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyuwangi dan stakeholder terkait, sedangkan data sekunder dihimpun dari dokumentasi,
tabulasi stakeholders terkait dan referensi dari penelitian terdahulu. Adapun teknik analisis
yang digunakan dalam kajian ini adalah melalui dua tahap. Tahap pertama adalah
menggunakan pendekatan delphi, yaitu pendekatan deskriptif dengan cara mengumpulkan
pendapat yang dilakukan secara berulang dengan tidak memberikan gambaran jawaban antar
responden satu dengan yang lainnya. Metode lebih menekankan pada teknik membuat
keputusan yang dibuat oleh suatu kelompok, dimana anggotanya terdiri dari para ahli atas
masalah yang akan diputuskan yang dimulai dengan identifikasi masalah yang akan dicari
penyelesaiannya (Harol et al., 1984). Tujuan metode Delphi adalah untuk mendapatkan
konsensus tentang hal-hal yang tidak mempunyai kriteria obyektif, dimana tingkat konsensus
di pandang lebih tinggi daripada hasil pertemuan tatap muka (Rachel, et al., 1985). Adapun
proses metode Delphi adalah sebagai berikut:
Bidang P-ITSTP
571
Kasus/
Masalah
Responden
Ahli/Pakar
Penyajian
Masalah
Rekomendasi
Ahli/Pakar
Penghimpunan
Rekomendasi
Ahli/Pakar
(Moderator)
Pengacakan
Saling-silang
Pertukaran
Rekomendasi
antar Ahli/Pakar
Tidak Terdapat
Konsensus
Pengambilan
Keputusan
Terdapat
Konsensus
Solusi
Bidang P-ITSTP
572
Kawasan Industri/Usaha
Perikanan BWI*
Pengembangan Ekonomi
Lokal (PEL)
Analisis Deskripsi
Analisis Faktor
Analisis Input-Output
Karakteristik
Usaha/Industri
Perikanan BWI
Faktor-faktor Penentu
PEL Usaha/Industri
Perikanan BWI
Alternatif model
Pengembangan Kawasan
MTP** BWI
Keterangan:
*BWI : Banyuwangi
**MTP : Marine Technopark
Bidang P-ITSTP
573
Bidang P-ITSTP
574
Bidang P-ITSTP
575
Faktor
Sub Faktor
Pemasaran
Cara pemasaran
Wilayah pemasaran
Dukungan pemerintah dalam pemasaran
Aksesibilitas
Utilitas
Listrk
Air bersih
Tempat penampungan sampah
Sanitasi
Drainase
Bahan baku
Sumber Daya
Manusia
Pengolahan
Limbah
Pembinaan
Untuk merumuskan model pengembangan kawasan MTP berbasis PEL pada usaha
perikanan di Banyuwangi maka dipergunakan analisis input-output. Analisis input-output ini
untuk mengetahui aliran uang, sumber daya atau produk antara produsen dan konsumen
didalam perekonomian kawasan. Dalam melakukan analisis input-ouput ini data yang
digunakan adalah data wawancara ketujuh jenis input, yaitu nelayan, pemindangan,
pengasinan, cold storage, minyak ikan dan petis serta pedagang. Adapun dari hasil analisis
proses usaha perikanan di Banyuwangi adalah sebagai berikut:
Bidang P-ITSTP
576
Nelayan
Petis
1. Nelayan ke Pemindangan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke usaha pemindangan
1. Petis ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang
2. Nelayan ke Pengasinan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke usaha pengasinan
Minyak Ikan
4. Nelayan ke Pengasinan
Nelayan menjual hasil tangkapan ke pedagang langsung
Pengasinan
Pedagang
1. Pengasinan ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang
Pemindangan
1. Pemindangan ke Pedagang
Hasil produksi di jual ke pedagang
2. Pemindangan ke permintaan akhir
Hasil produksi di jual ke konsumen akhir
Berdasarkan analisis input-output maka didapatkan diagram alur sebagaimana tampak pada
gambar 1.
Nelayan
1.62
Pemindangan
1.54
0.17
1.81
1.03
Permintaan Akhir
Pengasinan
1.82
1.67
1.27
cp
Cold Storage
1.02
1.57
1.32
1.06
1.83
0.22
Minyak Ikan
0.72
Pedagang
0.72
Industri
Besar
0.47
Petis
Bidang P-ITSTP
577
Pengembangan Kawasan
Antar Nelayan
Nelayan ke Pedagang
Pemindangan ke Nelayan
Bidang P-ITSTP
578
Pemindangan ke Pengasinan
Pemindangan ke Pedagang
Pengasinan ke Nelayan
Pengasinan ke Pemindangan
Pengasinan ke Pengasinan
Bidang P-ITSTP
579
Cold Storage ke
Pemindangandan
Cold Storage
Ke Pedagang
Bidang P-ITSTP
580
Bidang P-ITSTP
581
Bidang P-ITSTP
582
Rekomendasi
Terkait dengan peningkatan SDM, MTP dapat berperan sebagai agen dalam
peningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para pengusaha industri kecil baik dalam model,
bentuk, cara atau proses produksi olahan hasil laut yang efisien, selain pengembangan
diversifikasi produk sampai proses pemasaran, pengemasan, pelebelan dan lain-lain. Untuk
itu perlukan kerjasama berbagai pihak dalam mendorong pengembangan MTP dengan
memperhatikan aspek-aspek pengembangan ekonomi lokal di Banyuwangi. Pada aspek ini,
Bidang P-ITSTP
583
Bidang P-ITSTP
584
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo (2005) Dasar dasar ekonomi wilayah.Yogyakarta : Graha ilmu
Arsyad, Lincolin (1999) Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta, STIE YKPN
Blakely, Edward J., (1989) Planning Local Economic Development (Theory and Practice). Sage
Publication, Inc, Newburry Park, California
Boediono (1993) Ekonomi Makro, BPFE:Yogyakarta
Dahuri, R., J, Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2000, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Jakarta
Departemen Kelautan & Perikanan RI (2002) Keputusan Menteri Kelautan & Perikanan Nomor: Kep.
18/Men/2002 Tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan & Perikanan Tahun 2001
2004. Jakarta: Departemen Kelautan & Perikanan
Effendi, Irzal dan Oktariza, Wawan (2006) Manajemen Agribisnis Perikanan. Depok :Penebar
Swadaya
Ghozali, H, Imam (2007) Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro :Semarang.
Handayani, Wiwandari dan Tubagus F. Sofhani (2003) Efisiensi Kolektif Pada Sentra Industri
MebelKayu Jepara. Tataloka. Vol. 5, no. 1. Januari 2003, hal. 67.
Hoover, E.M. (1977) Pengantar Ekonomi Regional (Terjemahan A. Chandra). LembagaPenerbit FE
UI :Jakarta
Hair, Joseph F., Rolph E Anderson, Ronald L. Tatham dan William C. Black (1998) Multivariate
Data Analysis. New Jersey (USA): Prentice-Hall
Kartasasmita, Ginanjar (1996) Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta, PT. Pusaka Cidesindo
Kuncoro, Mudrajad. (1996) Analisis Spasial dan Regional: Aglomerasi dan Kluster Industri di
Indonesia. Yogjakarta : YKPN
Kuncoro, Mudrajat (2004) Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan Peluang. Jakarta, Airlangga
Kuncoro, M. (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, AMP YKPN,
Yogyakarta
Munir, Risfan. (2005) Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan dan Panduan
Pelaksanaan Kegiatan. Jakarta : LGSP
Mulyadi (2005) Ekonomi kelautan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Maryunani (2003) Telaah Ekonomi Regional dan Daya Saing antar Daerah, makalah tidak
diterbitkan, Malang: Pascasarjana Unibraw
Nawawi, H.Hadari (2003) Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press
Bidang P-ITSTP
585
Whitney, F.L. (1960) The elements of Research, Asian Eds. Osaka: Overseas Book Co.
Bidang P-ITSTP
586
2)
ABSTRAK
Kedaulatan pangan merupakan program pemerintah prioritas nasional dapat diwujudkan
dengan terciptanya ketahanan pangan berbasis pemanfaatan bioresources secara
berkelanjutan. Unsur ketahanan pangan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pangan,
peningkatan daya saing produk peternakan dan pertanian, pendapatan peternak dan petani,
serta kelestarian sumber daya alam. Kelestarian sumber daya alam saat ini semakin berkurang
sehingga diperlukan dukungan IPTEK dan pemanfaatannya secara berlanjutan. Daging sapi
salah satu prioritas sumber protein hewani yang belum menunjukkan kedaulatan pangan
secara nasional. Langkah strategis yang digunakan dalam jangka menengah dan panjang
adalah dengan membangun Techno Park (TP) diberbagai daerah. Tujuan pembangunan TP
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi IPTEK kepada masyarakat.
Metodologi pembangunan TP yang digunakan dengan mengintegrasikan seluruh kegiatan
berbasis pemanfaatan bioresources dan AgroEduWisata secara berkelanjutan. Program
pembangunan TP Banyumulek-NTB dilaksanakan secara terintegrasi dalam 6 klaster yaitu
pengolahan pakan, pengolahan limbah, pembibitan sapi Bali dan penggemukan sapi potong,
pertanian organik, pengolahan pasca panen, dan sosial ekonomi masyarakat yang dikemas
dalam manajemen bisnis dan pelayanan kepada masyarakat. Pemilihan Banyumulek-NTB
berdasarkan potensi besar dibidang peternakan sapi dan pendukung bioresources lainnya.
Peternakan sapi menjadi pondasi utama dalam mencapai swasembada daging nasional.
Pembangunan TP sinergi dengan pemerintah daerah NTB mengembangkan AgroEduWisata
menjadi kawasan terpadu yang menyediakan teknologi pertanian secara luas, pusat edukasi
melalui pelatihan dan pemagangan, dan sebagai tempat tujuan wisata pertanian yang ramah
lingkungan. TP Banyumulek-NTB ditargetkan menjadi etalase pusat informasi IPTEK yang
menyediakan paket teknologi, SDM, pusat pelatihan dan pemagangan, diseminasi teknologi,
advokasi bisnis, dan inisiasi produk komersil yang dapat diproduksi dalam skala besar.
Kata kunci: Kedaulatan Pangan, Techno Park, Bioresources, AgroEduWisata, Etalase
IPTEK
Bidang P-ITSTP
587
PENDAHULUAN
Kedaulatan pangan merupakan suatu agenda pemerintah yang menjadi program
prioritas nasional saat ini. Kedaulatan pangan dapat diwujudkan dengan terciptanya
kemandirian ketahanan pangan yang berbasis pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Unsur
ketahanan pangan dapat diciptakan melalui peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani, kelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam
secara berkelanjutan. Prioritas nasional tersebut sesuai dengan yang dituangkan dalam
sasaran capaian pembangunan nasional RPJMN 2015-2019. Salah satu sumber pangan yang
belum menunjukkan kedaulatan secara nasional adalah daging sapi. Langkah strategis jangka
menengah dan jangka panjang harus dilakukan program peningkatan produksi bibit dan
bakalan sapi secara berkelanjutan. Fokus peningkatan produksi sapi harus dilakukan oleh
masing-masing daerah dengan memanfaatkan potensi daerah. Salah satu upaya pencapaian
tujuan tersebut dapat direalisasikan salah satunya dengan membangun Techno Park (TP).
Technopark merupakan suatu kawasan pengembangan yang disiapkan secara khusus
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi IPTEK oleh kalangan lembaga
Penelitian dan Pengembangan (litbang), universitas, perusahaan, dan pemerintah (Ozel and
Canitez, 2010). IPTEK yang telah dikembangkan oleh lembaga litbang atau universitas
selanjutnya dilakukan diseminasi peningkatan produksi menjadi produk komersil skala
besar/industry. Arahan kebijakan pembangunan TP di Kabupaten/Kota yaitu dapat berfungsi
sebagai pusat penerapan teknologi untuk mendorong perekonomian di kabupaten/kota,
tempat pelatihan, pemagangan, pusat disseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke
masyarakat luas (Kemenristekdikti, 2015).
Berdasarkan Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-3 (2015-2019) adalah
memantapkan pembangunan secara menyuluruh dengan menekankan pembangunan
keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang
berkualitas dan kemampuan IPTEK. Daerah Banyumulek Nusa Tenggara Barat dipilih karena
memiliki potensi besar di bidang peternakan terutama peternakan sapi dan pendukung
bioresouces lainnya (Disnakkeswan-NTB, 2015). Peternakan sapi menjadi salah satu pondasi
utama dalam mencapai swasembada daging nasional. Swasembada akan tercapai apabila
mendapat dukungan dari berbagai elemen. Elemen yang penting menurut Sanni dan
Egbetokun (2010) untuk mencapai kesuksesan dalam mengimplementasikan STP/TP ada 3
Bidang P-ITSTP
588
METODOLOGI
Kegiatan pada tahun pertama TP Banyumulek NTB dibagi menjadi 6 klaster terdiri
dari pengolahan pakan, pembibitan dan penggemukan sapi, pengolahan limbah, pengolahan
pasca panen, pertanian organik terintegrasi, dan pengelolan kelembagaan terkait dengan
sosial ekonomi, kajian marketing dan diseminasi produk hasil TP Banyumulek NTB. Techno
Park menjadi permodelan kawasan industri berbasis pemanfaatan sumber daya lokal dengan
menggunakan hasil-hasil penelitian. Selama ini hasil-hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan baru sebatas bisa menghasilkan produk dalam skala laboratorium dalam
jumlah kecil dan belum bisa diimplementasikan kepada masyarakat secara luas. Untuk
meningkatkan manfaat dari produk tersebut maka diperlukan peningkatan kapasitas produksi
dalam skala yang lebih besar dan kualitas yang baik serta mensosialisasikannya ke
masyarakat. Upaya peningkatan kapasitas produksi diperlukan proses inkubasi. Proses ini
merupakan serangkaian usaha untuk mengoptimalkan proses produksi. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah memfokuskan kegiatan inkubasi melalui pembangunan STP/TP
(Soenarso et al., 2013).
Penunjukan daerah Banyumulek NTB sebagai lokasi dibangunya TP didasarkan atas
ketersediaan fasilitas pengembangan produk berbasis peternakan dan pertanian terpadu
dengan skala yang cukup besar yaitu tersediannya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
yang terdapat dalam satu kawasan yang dikelola oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Prov. NTB. Namun pada tahun sebelumnya kegiatan dalam kawasan tersebut belum
terintegrasi dengan baik dan belum tersosialisasikan secara menyeluruh ke masyarakat.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah sistem manajemen kurang berjalan dengan baik
sehingga tidak terjalinnya kerjasama diantara seluruh bidang yang ada. Permasalahan ke dua
Bidang P-ITSTP
589
Bidang P-ITSTP
590
Bidang P-ITSTP
591
Bidang P-ITSTP
592
Bidang P-ITSTP
593
Bidang P-ITSTP
594
Bidang P-ITSTP
595
Bidang P-ITSTP
596
Bidang P-ITSTP
597
DAFTAR PUSTAKA
[Disnakkeswan-NTB, 2015] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
[Kemenristekdikti-RI, 2015] Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia.
Dael MV, SV Passel, L Pelkmans, R Guisson, P Reumermann, NM Luzardo, N Witters and J Broeze.
2013. A techno-economic evaluation of a biomass energy conversion park. Applied Energy
104: 611622.
Desrosier NW.1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.
Direktorat Industri, IPTEK, dan Parekraf. BAPPENAS. 2014. Rancangan Teknokratik RPJMN 20152019. Bidang pembangunan IPTEK.
Guisson, RV Dael, MV Passel, S Pelkmans and Luc. 2012. A bio-energy conversion park in the
province of Limburg (Belgium)-an economic viability check of a biomass utilization concept
Bidang P-ITSTP
598
Bidang P-ITSTP
599
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor KM 47,
Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-21-87917221
email: andi_budiansyah_s@yahoo.com.
2
Pusat Penelitian Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor
KM 46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
ABSTRAK
Produksi perekat kayu berbasis lateks karet alam (LKA) merupakan salah satu dari
rangkaian kegiatan strategis dari Taman Sains dan Teknologi (TST) yang diprakasai oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pengembangan produk ini merupakan upaya
akselerasi produk agar dapat diadopsi oleh industri perkayuan. Produk ini mempunyai potensi
untuk dikembangkan dalam skala indutri mengingat keunggulan produknya. Produk ini
berkompetensi dengan perekat sejenis seperti Aqueous Polymer Isocyanate (API) karena
berbasis bahan lokal terbarukan yang memungkinkan diaplikasikan untuk produk laminasi
temperatur rendah. Namun, pengembangan produksi dari skala laboratorium ke industri akan
menghadapi risiko bisnis. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi potensi awal faktor-faktor yang dapat menjadi risiko yang akan dihadapi
pada pengembangan produk skala industri. Identifikasi awal menggunakan Analisis SWOT
untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Analisis ini dapat digunakan
untuk menentukan strategi yang tepat dalam meningkatkan nilai tambah pada pengembangan
produk. Hasil dari kajian ini adalah menunjukan bahwa produk perekat kayu API berbasis
LKA ada pada kuadran progresif (I) (0,9 , 0,7) dimana manajemen harus melakuan perbaikan
secara terus menerus dan selalu mengenalkan produk perekat kayu API berbasis LKA ini
kepada masyarakat.
Kata kunci: Strategi, peningkatan produksi, lateks karet alam, low temperature setting,
analisis SWOT
Bidang P-ITSTP
600
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam di dunia dengan luas
perkebunan pada tahun 2013 sebesar 3.555.946 Ha. Pada tahun 2015,nilai pertumbuhan
diprediksi mencapai1,38% atau 3.656.057 Ha dengan total produksi karet lebih dari 3 juta
ton/tahun (BPS, 2015). Berdasarkan pohon industri pengembangan karet, kayu, koagulum
dan lateks pohon karet dapat dijadikan sumber sebagai bahan baku (Departemen Pertanian,
2010). Lateks dapat menghasilkan berbagai ragam produk turunan (Silaen, 2010) yang
bernilai ekonomi cukup baik seperti karet busa, sarung tangan medis, benang karet dan
lainnya.Pada Salah satu kegiatan strategis yang berpeluang untuk dikembangkan dalam
kegiatan Taman Sains dan Teknologi (TST) yang diinisiasi LIPI adalah produksi perekat
berbasis lateks karet alam (LKA) (Buletin TST, 2015).
Pengembangan produk perekat alami untuk aplikasi produk biokomposit dan produk
perkayuan berpeluang untuk dikembangkan. Salah satu perekat berbasis sumber daya hayati
yang berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh dalam skala produksi adalah perekat berbasis
LKA. Hal ini mengingat segi keterbaharuan bahan baku, kontinuitas bahan, teknologi
pembuatannya yang relatif sederhana, rendah atau tidak ada emisi formaldehida dan bersifat
water-based. Upaya pengembangan perekat kayu berbasis LKA ini sejalan dengan tuntutan
pasar dalam pembatasan emisi bahan beracun dari produk akhir (seperti emisi formaldehida)
yang ditimbulkan dari bahan perekat yang dipakai dalam proses produksi panel kayu. Dalam
pembuatan produk biokomposit dan panel kayu, kontribusi perekat dalam biaya produksi
dapat mencapai sekitar 30% dari biaya produksi keseluruhan. Hal ini mendorong
dikembangkannya teknologi produksi perekat berbasis LKA dalam skala produksi yang
relatif besar. Upaya introduksi perekat berbasis LKA dalam industri perkayuan selama ini
terkendala dengan skala produksinya yang masih dalam skala laboratorium.
Pengembangan perekat LKA dalam skala laboratorium telah diinisiasi sejak tahun
2000 melalui berbagai skema pembiayaan penelitian pemerintah melalui program tematik
(DIPA) juga pendanaan penelitian dari International Foundation of Sciences (IFS). Perekat
yang pertama dikembangkan adalah untuk aplikasi hot thermosetting. Teknologi yang
dikembangkan berupa proses pencangkokan monomer stirena ke dalam molekul poliisoprena
LKA. Melalui program DIKTI-KNRT telah dicoba scale up produksi perekat LKA-St
berkapasitas 10 L. Hal tersebut merupakan upaya untuk mempersiapkan teknologi produksi
perekat berbasis LKA agar dapat diaplikasikan dalam skala pemakaian lebih besar. Setelah
Bidang P-ITSTP
601
Bidang P-ITSTP
602
Bidang P-ITSTP
603
Tabel 1. Perbandingan harga produk perekat API berbasis LKA dengan kompetitor
Produk kompetitor
Produk API
Merk A
berbasis LKA
Rp. 41.670-53.560
Rp. 111.120
Rp. 152.790-164.680
Merk B
Rp. 50.000
Rp. 87.500
Perhitungan hasil kuesioner merujuk pada proses teknik analisis SWOT tanpa skala
industri yang dilakukan Putong (2003), skala yang seharusnya adalah nilai tertinggi untuk
skor (bobot x peringkat) adalah 1 2 (kuat) dan 0 1 (lemah). Namun pada data yang kami
hasilkan nilai 0,2 - 0,4. Hasil ini diduga karena belum maksimalnya indikator dan responden
yang kami rujuk untuk hasil dari kuesioner ini. Hasil dari analisis SWOT menggunakan
metode ini dapat dilihat pada Tabel 2 (indikator internal) dan Tabel 3 (indikator eksternal).
Tabel 2. Indikator Internal
Indikator Internal
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
Bobot
Relatif
Peringkat
Skor
0,10
0,3
0,10
0,4
0,10
0,4
0,10
0,10
0,09
4
4
3
0,4
0,4
0,3
0,08
0,3
0,08
0,07
0,06
3
3
3
0,2
0,2
0,2
0,07
0,05
1,00
3
3
0,2
0,2
Bidang P-ITSTP
604
605
Bobot
Relatif
Peringkat
Skor
0,10
0,3
0,09
0,3
0,08
0,3
0,07
0,08
0,09
3
3
4
0,2
0,3
0,3
0,08
0,08
0,09
3
3
4
0,2
0,3
0,3
0,09
0,08
0,08
1,00
3
3
3
0,2
0,2
0,2
Bidang P-ITSTP
Bidang P-ITSTP
606
607
Gambar 4. Pilihan Rencana Strategis untuk Perekat Kayu API Berbasis LKA
Kekuatan (S)
1.
2.
3.
Proses
Kelemahan (W)
pembuatan
produk
1.
(rentan
mikroorganisme)
2.
Eksternal
terhadap
Jumlah
pekerja
serangan
pada
saat
produksi sedikit
3.
ruang
4.
Belum
5.
6.
Harga bersaing
adanya
mitra
untuk
6.
Strategi
bisnisnya
belum
terbentuk
Bidang P-ITSTP
Strategi (SO)
1.
baku
sintetis
tidak
ramah
yang
lingkungan
3.
3.
Pertumbuhan Pasar
5.
Regulasi
6.
Menggunakan
2.
baku
(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)
(0.4, 0.3)
3.
(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)
(0.4, 0.2)
4.
(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)
(0,4, 0.3)
5.
(Kuat, Kuat)
6.
bahan
(0.4, 0.3)
(Kuat, Lemah)
5.
(0.3, 0.3)
(Kuat, Kuat)
(Kuat, Kuat)
4.
4.
1.
(Kuat, Kuat)
(0.3, 0.3)
(Kuat, Kuat)
2.
menggunakan
Strategi (WO)
(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)
(0.3, 0.3)
6.
(Kuat, Kuat)
(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)
terbarukan (renewable)
Ancaman (T)
1.
Harga
Strategi (ST)
karet
dunia
masih
1.
fluktuatif
2.
2.
4.
PPn 10%
5.
6.
1.
(0.4, 0.3)
3.
(0.4, 0.3)
2.
(0.4, 0.2)
3.
(0.4, 0.2)
4.
(0.3, 0.2)
(Kuat, Lemah)
(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)
5.
(Kuat, Lemah)
6.
(0.2, 0.3)
(Lemah, Kuat)
(Kuat, Lemah)
5.
(0.2, 0,3)
(Lemah, Kuat)
(Kuat, Kuat)
4.
(0.3, 0.2)
(Kuat, Kuat)
(Kuat, Kuat)
(0.3, 0.2)
(Kuat, Kuat)
oleh pemakai
3.
Strategi (WT)
(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)
6.
(0.2, 0.2)
(Lemah, Lemah)
Berdasarkan dari matriks SWOT pada Tabel 4, Ganbar 3 dan Gambar 4 maka
beberapa strategi bisnis dapat diindentifikasi sebagai berikut :
1. Strategi pemasaran yang akan dilakukan pada produk ini haruslah sangat kuat, karena
indikator kekuatan dan peluang sangat mendominasi dibanding dengan indikator lainnya.
Namun harus diperhatikan bahwa terdapat ancaman dan kelemahan dimana produk
kompetitor lebih dikenal oleh konsumen.
2. Untuk strategi SO dapat dilihat bahwa rata-rata S > O, namun dalam kondisi yang kurang
lebih sama kuatnya. Namun pada indikator peluang dapat dikatakan lebih lemah karena
diduga konsumen masih kurang memperhatikan produk dengan bahan baku yang ramah
lingkungan atau tidak, namun lebih menekankan pada aspek harga.
Bidang P-ITSTP
608
Bidang P-ITSTP
609
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2015. Statistik Karet Indonesia. Jakarta.
Putong, I. 2003. Teknik Pemanfaatan Analisis SWOT Tanpa Skala Industri. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis No. 2 (8): 65-71.
Rangkuti, F. 1997. Teknik membedah kasus bisnis dengan Analisis SWOT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Silaen, S.J. 2010. Strategi Pengembangan Bisnis Karet Alam Olahan (Studi Kasus : PT ADEI
Crumb Rubber Industry, Tebing Tinggi,Sumatera Utara). Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Suharman, Sukardi, S. Honggokusumo dan A. Suryani. 2013. Analisis Potensi
Pengembangan Industri Barang Jadi Karet di Sumatera Selatan. Jurnal Riset Industri
Vol. 7 : 243-249.
Bidang P-ITSTP
610