Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
html
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu
ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan usaha yang
berdiri sendiri.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) :
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk
mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.
a. Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut:
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta
Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar
Rupiah)
Milik Warga Negara Indonesia
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar
Berbentuk usaha orang perorangan , badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
b. Sedangkan Glendoh (2001), menyebutkan usaha kecil dalam arti luas memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Industri kecil adalah industri berskala kecil, baik dalam ukuran modal, jumlah
produksi maupun tenaga kerjanya.
Perolehan modal umumnya berasal dari sumber tidak resmi seperti tabungan
keluarga, pinjaman dari kerabat dan mungkin dari lintah darat.
Karena skala kecil, maka sifat pengelolaannya terpusat, demikian pula
pengambilan, keputusan tanpa atau dengan sedikit pendelegasian fungsi dalam
bidang-bidang pemasaran, keuangan, produksi dan lain sebagainya.
Tenaga kerja yang ada umumnya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat
dekat, dengan sifat hubungan kerja yang informal dengan kualifikasi teknis
yang apa adanya atau dikembangkan sambil bekerja.
Hubungan antara keterampilan teknis dan keahlian dalam pengelolaan usaha
industri kecil ini dengan pendidikan formal yang dimiliki para pekerjanya
umumnya lemah.
Ada 3 jenis usaha yang bisa dilakukan oleh UKM untuk menghasilkan laba. Ketiga
jenis usaha tersebut adalah :
Yaitu usaha yang mengubah input dasar menjadi produk yang bisa dijual kepada
konsumen. Kalau anda bingung, contohnya adalah konveksi yang menghasilkan
pakaian jadi atau pengrajin bambu yang menghasilkan mebel, hiasan rumah,
souvenir dan sebagainya.
Adalah usaha yang menjual produk kepada konsumen. Contohnya adalah pusat
jajanan tradisional yang menjual segala macam jajanan tradisional atau toko
kelontong yang menjual semua kebutuhan sehari-hari.
Yakni usaha yang menghasilkan jasa, bukan menghasilkan produk atau barang
untuk konsumen. Sebagai contoh adalah jasa pengiriman barang atau warung
internet (warnet) yang menyediakan alat dan layanan kepada konsumen agar
mereka bisa browsing, searching, blogging atau yang lainnya.
1) Kesulitan pemasaran
Hasil dari studi lintas Negara yang dilakukan oleh James dan Akarasanee (1988)
di sejumlah Negara ASEAN menyimpulkan salah satu aspek yang terkait dengan
masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh pengusaha UKM adalah tekanantekanan persaingan, baik dipasar domestik dari produk-produk yang serupa
buatan pengusaha-pengusaha besar dan impor, maupun dipasar ekspor.
2) Keterbatasan Finansial
UKM di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial antara
lain: modal (baik modal awal maupun modal kerja) dan finansial jangka panjang
untuk investasi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan output jangka
panjang.
Keterbatasan bahan baku dan input-input lain juga sering menjadi salah satu
masalah serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi UKM
di Indonesia. Terutama selama masa krisis, banyak sentra-sentra Usaha Kecil dan
Menengah seperti sepatu dan produk-produk textile mengalami kesulitan
mendapatkan bahan baku atau input lain karena harganya dalam rupiah menjadi
sangat mahal akibat depresiasi nilai tukar terhadap dolar AS.
5) Keterbatasan teknologi
Berbeda dengan Negara-negara maju, UKM di Indonesia umumnya masih
menggunakan teknologi tradisonal dalam bentuk mesin-mesin tua atau alat-alat
produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya
membuat rendahnya jumlah produksi dan efisiensi di dalam proses produksi,
tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat serta kesanggupan bagi UKM
di Indonesia untuk dapat bersaing di pasar global. Keterbatasan teknologi
disebabkan oleh banyak faktor seperti keterbatasan modal investasi untuk
membeli mesin-mesin baru, keterbatasan informasi mengenai perkembangan
teknologi, dan keterbatasan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan
mesin-mesin baru.
Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.
Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha.
Sebagian sudah akses ke Perbankan dalam hal keperluan modal.
Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti
business planning.
Usaha kecil dapat berperan sangat potensial dan secara nyata menunjang
pembangunan di sektor ekonomi yaitu:
Usaha kecil merupakan penyerap tenaga kerja.
Usaha kecil merupakan penghasil barang dan jasa pada tingkat harga yang
terjangkau bagi kebutuhan rakyat banyak yang berpenghasilan rendah.
Usaha kecil merupakan penghasil devisa negara yang potensial, karena
keberhasilannya dalam memproduksi komoditi non migas.
Mulai 1 Juli 2013, pemerintah akan menarik pajak penghasilan (PPh) 1% kepada
pengusaha UKM dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Bagi pelaku UKM
yang ingin tahu soal penyetoran pajaknya bisa mengikuti kelas di kantor
pelayanan pajak (KPP).
"KPP buka kelas pajak sebulan 2 kali. Kalau ada yang belum mengerti, bisa minta
dibukakan kelas pajak tentang pajak ini, mereka akan melayani," kata
Kismantoro di kantor pusat Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat
(28/6/2013).
Soal aturan pajak UKM ini, Kismantoro mengatakan, perhitungan pajaknya akan
dimulai 1 Juli 2013. Sosialisasi akan dilakukan di berbagai media massa agar
para pelaku UKM beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun bisa mengetahuinya.
"Ini dihitungnya dari 1 Juli 2013, jadi kalau baru tahunya Desember maka
dihitungnya tetap dari 1 Juli 2013 karena ini terhutang. Sosialisasi sudah mulai,
di radio sudah, di televisi belum, nanti pertengahan bulan nanti. Lalu akan
sosialisasi ke seluruh Indonesia, ke kantong-kantong di mana pengusaha ini
ada," tutur Kismantoro.
Aturan pajak UKM ini tertuang dalam, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau yang dikenal
dengan Pajak untuk bisnis Usaha Kecil Menengah. UKM dengan tempat usaha
tetap dan beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan pajak 1% ini.
"Di dalam PP itu, yang kecil-kecil tidak masuk sini, asongan, PKL dan lain-lain,
tapi kalau besar, maka kena PPh sesuai ketentuan umum PPh, terkenanya tarif
umum," ujar Goro di Gedung Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat
(28/6/2013).
Selain itu, lanjut Goro, usaha waralaba dan bisnis online juga tidak terkena
aturan pajak ini. Namun, bukan tidak terkena bayar, melainkan harus mengikuti
aturan PPh Pasal 17, di mana bisnis tersebut terkena tarif pajak normal.
"Kalau franchise (warlaba) kena ketentuan umum, online juga kena pasal 17.
Yaitu yang berpenghasilan Rp 50 juta kena pajak 5%, Rp 50-250 juta sebesar
15%, Rp 250-500 juta sebesar 25%, dan di atas Rp 500 juta kena 30%," jelas
Goro.
Tapi untuk usaha franchise dan penjual online dengan omzet di bawah Rp 4,8
miliar, Goro menyatakan dikenakan pajak 1%.
"Ya kalau franchise yang gerobak itu kena 1%, tapi kalau gerobaknya banyak
kena tarif PPh Normal, begitu juga yang online, kalau di bawah Rp 4,8 miliar,
kena tarif PPh 1 persen ini," tandasnya.
Kemudian, untuk WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang
dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto (omzet) melebihi Rp 4,8 miliar.
padahal omset mereka miliaran dalam setahun?. Satu hal yang sering
dilupakan, berdasarkan ketentuan perpajakan, PPh tidak mengenal pengecualian
dalam pemungutannya, kecuali jika jumlah penghasilan Wajib Pajak dibawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Lebih lanjut, Dirjen Pajak menjelaskan, UKM harusnya dikenakan pajak 25% dari
laba, tapi kami hanya patok 1% (dari omset). Karena sasaran kami bukan di
pinggir-pinggir jalan tapi yang ada di Tanah Abang ataupun Mangga Dua.
Pernyataan ini semakin memperjelas arah kebijakan yang memang ditujukan
untuk memberikan kemudahan dan insentif bagi Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya.
Dalam ketentuan perpajakan, seluruh Wajib Pajak, Badan maupun Orang Pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam
satu tahun kurang dari Rp4,8 Miliar wajib menyelenggarakan pencatatan. Hal ini
sesuai dengan prinsip self assessment yang saat ini digunakan dalam ketentuan
perpajakan di Indonesia. Tanpa pembukuan atau pencatatan, mustahil Wajib
Pajak dapat mengetahui laba usahanya, apalagi melaporkan pajaknya dengan
benar. Oleh karena itu pemberlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 seharusnya
dipandang sebagai fasilitas bagi Wajib Pajak karena memudahkan dalam
penghitungan pajaknya.
Penting untuk dipahami bahwa aturan ini merupakan suatu insentif. Pengenaan
tarif 1% terhadap omset jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tarif 25%
terhadap laba. Jika diasumsikan bahwa suatu usaha memiliki marjin laba sekitar
7% dalam setahun, maka pajak yang harus dibayar dengan ketentuan ini adalah
1% dari 7% atau hanya 14,3% dari laba. Bandingkan dengan tarif normal sebesar
25% dari laba.
Selain itu, penting untuk dicermati berbagai pengecualian dalam aturan ini
antara lain pengenaan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak ditujukan bagi
Wajib Pajak yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang serta menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Hal ini
diperjelas dengan pernyataan Dirjen Pajak bahwa aturan ini tidak menyasar
pelaku usaha seperti para pedagang kaki lima. Oleh karena itu, hilangkan semua
keraguan Anda terhadap aturan perpajakan terbaru ini, dan mulailah
menghitung pajak Anda, tentunya demi pembangunan Indonesia. Bangga Bayar
Pajak!
a. Wajib Pajak Orang Pribadi / Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha
Tetap.
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan
atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana / prasarana yang dapat
dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan
atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sebagian / seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
c. Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial.
d. Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Yang perlu dipahami adalah besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final
1% dari peredaran bruto selama setahun. Dalam hal peredaran bruto kumulatif
Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp. 4.8M dalam suatu Tahun
Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan
sesuai UU PPh no 36 tahun 2008.
Contoh Kasus A pada penentuan peredaran bruto, Bapak Roni adalah pedagang
pecah belah dengan beberapa lokasi kegiatan usaha. Dalam tahun 2013,
peredaran usaha lokasi A adalah Rp. 75 juta ; peredaran usaha lokasi B adalah
Rp. 55 juta dan peredaran usaha lokasi C adalah Rp. 65 juta maka Dasar
Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp. 195 juta.
PPh Final 1% adalah Rp. 1.950.000,-
Contoh Kasus C pada penentuan peredaran bruto bila ada kompensasi kerugian,
CV Android mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010, maka kerugian tersebut
Dokumen Terkait :
-) Siaran Pers Pajak Bruto Tertentu
-) Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2013
-) Undang-Undang Pajak Penghasilan no 36 tahun 2008
"Sebab, perpajakan dan koperasi merupakan dua hal penting yang perlu
dipahami. Perpajakan yang berkaitan dengan pajak, sementara koperasi
merupakan badan hukum yang menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 sebagai subyek pajak,katanya kepada Bisnis, Senin (17/6/2013).
Ketentuan dalam membayar pajak bagi koperasi bisa dilakukan secara seksama,
berupa pengawasan dan pendampingan kepada koperasi secara aktif. Hal ini
tentu saja dilakukan pemerintah melalui sosialisasi perpajakan.
Maka tujuan utama dari setiap kegiatan temu konsultasi adalah sosialisasi serta
konsultasi mengenai implementasi dari peraturan pemerintah tersebut. Selain itu
memberikan kemudahan kepada wajib pajak orang pribadi dan badan yang
memiliki peredaran bruto tertentu.