Vous êtes sur la page 1sur 9

ASKEP HIDROSEFALUS ASKEP HIDROSEFALUS A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1.

Pengertian
Hidrocefalus adalah keadaan patologik otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
cerebrospinal dan adanya tekanan intrakranial (TIK) yang meninggi sehingga terdapat pelebaran
ruangan tempat mengeluarkan likuor (Depkes RI, 1989). Hidrocefalus adalah kelebihan cairan
cerebrospinalis di dalam kepala. Biasanya di dalam sistem ventrikel atau gangguan hidrodinamik
cairan likuor sehingga menimbulkan peningkatan volume intravertikel (Setyanegara, 1998).
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat
pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat
penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi
besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328). 2. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu
tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang
subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005).
Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi. Beberapa penyebab
terjadinya hidrocefalus: a.
Kelainan bawaan 1) Stenosis Aquaductus sylvii Merupakan
penyebab yang paling sering pada bayi/anak (60-90%). Aquaductus dapat mengalami stenosis
dimana saluran ini menjadi lebih sempit dari biasanya. Umumnya gejala Hidrocefalus terlihat sejak
lahir/progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir. 2) Spina bifida dan cranium
bifida Biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis
dengan medula oblongata dan cerebelum, letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum
sehingga terjadi penyumbatan sebagian/total. 3) Sindrom Dandy-Walker Merupakan atresia
congenital foramen luscha dan mengendie yang mengakibatkan hidrocefalus obstruktif dengan
pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV sehingga merupakan krista yang besar di daerah
losa posterior. 4) Kista Arachnoid Dapat terjadi secara conginetal dan membagi etiologi menurut
usia. 5) Anomali pembuluh darah. b. Infeksi Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen
sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus
sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosepalus terdapat pasca meningitis. Pembesaran kepala
dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara
patologis terdapat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah
lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal
sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta
lokalisasinya lebih tersebar. c.
Perdarahan Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak,
dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan
yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360). d.
Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang
terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya
suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan
kraniofaringioma. 3. Patofisiologi Tekanan negatif CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh
pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan
arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat
dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah
CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur
kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005). CSS mengalir
dari ventrikel lateral melalui foramen Monro menuju ventrikel yang ketiga, tempat dimana cairan

tersebut menyatu dengan cairan yang telah disekresi ke ventrikel ketiga. Dari sana CSS mengalir
melalui akueduktus Sylvii menuju ventrikel keempat, tempat dimana cairan lebih banyak dibentuk,
kemudian cairan tersebut akan meninggalkan ventrikel keempat melewati foramen Luschka lateral
dan garis tengah foramen Magendie dan mengalir menuju sisterna magna. Dari sana CSS mengalir
ke serebral dan ruang subaraknoid serebellum, dimana cairan akan diabsorpsi. Sebagian besar
diabsorpsi melalui villi araknoid, tetapi sinus, vena dan substansi otak juga berperan dalam absorpsi.
Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan reabsorbsi CSS oleh sistem kapiler.
(DeVito EE et al, 2007:32). Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu : a.
Produksi likuor yang berlebihan b. Peningkatan resistensi aliran likuor c.
Peningkatan tekanan sinus venosa Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan
intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama
perkembangan hidrosefalus. Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi
yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam
upaya mempertahankan reabsorbsi yang seimbang. Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai
dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler
intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis
dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono, 2005:212). Berdasarkan hal
di atas akan terjadi penimbunan berlebihan (abnormal) cairan serebrosvinal pada ruang-ruang yang
secara normal terdapat CSS. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm. Pada umur 1
tahun lingkaran kepala tersebut dapat mencapai 45 cm. Pada penderita hidrosefalus lingkaran
kepala itu jauh di atas lingkaran yang normal. Kepala itu membesar out of proportion oleh karena :
a.
Tekanan intrakranium terus meningkat. Tekanan ini meningkat karena reabsorbsi dari likuor
itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Misalnya suatu stenosis pada akuaduktus Sylvii akan dapat
menimbulkan gangguan pada peredaran likuor, yang menimbulkan hdrocefalus. b. Sutura
diantara tulang-tulang kepala belum menutup, sehingga kepala terus membesar. Oleh karena itu,
maka penderita tidak banyak memperlihatkan gejala atau tanda tekanan intrakranium yang
meningkat. Penderita tidak akan menangis terus-menerus karena nyeri kepala; penderita tidak akan
memperlihatkan muntah proyektil. 4. Manifestasi Klinis Tanda awal dan gejala hidrosefalus
tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS
(Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial.
Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar
dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan
anterior posterior diatas proporsi ukuran wajah dan badan bayi. Ubun-ubun melebar atau tidak
menutup pada waktunya, teraba tegang atau menonjol. Dahi tampak melebar dengan kulit kepala
yang menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala. Sutura tengkorak belum
menutup dan teraba melebar. Didapatkan cracked pot sign yaitu bunyi seperti pot kembang yang
retak pada perkusi kepala. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang
supraorbita. Sclera tampak di atas iris sehingga iris seakan-akan matahari yang akan terbenam
(sunset sign). Pergerakan bola mata yang tidak teratur dan nigtagmus tidak jarang terjadi.
Kerusakan saraf yang memberikan gejala kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran, motoris
atau kejang, kadang kadang gangguan pusat vital, bergantung pada kemampuan kepala untuk
membesar dalam mengatasi tekanan intrakranial yang meninggi. Bila proses berlangsung lambat,
maka mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun terdapat pelebaran ventrikel yang hebat,
sebaliknya ventrikel yang belum begitu melebar akan tetapi prosesnya berlangsung dengan cepat

sudah memperlihatkan kelainan neurologis yang nyata. Puncak orbital tertekan kebawah dan mata
terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak
adanya distensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh. Manifestasi klinis dari
hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu : a. Awitan hidrosefalus
terjadi pada masa neonatus. Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus
kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan
pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium
terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar
dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala
menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul
Rickham, 2003). b. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak Pembesaran kepala
tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala
tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua
tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan
sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas
ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
1) Fontanel anterior yang sangat tegang. 2) Sutura kranium tampak atau teraba melebar. 3)
Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol. 4) Fenomena matahari
tenggelam (sunset phenomenon). Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang
lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan
kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak
akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213). Selain hal di atas
menurut Ngastiyah, gejala yang nampak dapat berupa (Ngastiyah, 1997; Depkes;1998) 1) TIK
yang meninggi: muntah, nyeri kepala, edema pupil saraf otak II 2) Pada bayi biasanya disertai
pembesaran tengkorak 3) Kepala bayi terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh 4)
Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya teraba tegang dan mengkilat dengan
perebaran vena di kulit kepala 5) Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar 6.
Terdapat sunset sign pada bayi (pada mata yang kelihatan hitam-hitamnya, kelopak mata tertarik ke
atas) 6) Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang suborbita 7) Sklera
mata tampak di atas iris 8) Pergerakan mata yang tidak teratur dan nistagmus tak jarang terdapat
9) Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran motorik
atau kejang-kejang, kadang-kadang gangguan pusat vital. 5. Insidensi Insidensi hidrosefalus antara
0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000
kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan
bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Pada remaja dan
dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat
abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang
dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211). 6. Komplikasi Komplikasi Hidrocefalus
menurut Prasetio (2004), yaitu : a. Peningkatan TIK b. Pembesaran kepala c.
Kerusakan
otak d. Retardasi mental e.
Meningitis, ventrikularis, abses abdomen f.
Ekstremitas
mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun g. Kerusakan jaringan saraf h.
Proses aliran darah terganggu. 7. Pemeriksaan Diagnostik a.
Foto Rontgen. Foto rotgen
memperlihatkan kepala yang membesar dengan sutura dan fontanel yang masih terbuka. Tulangtulang kepala tampak sangat tipis. Bila fosa crania posterior tampak kecil dibandingkan fossa crania
medial dan anterior maka mungkin hidrocefalus tersebut ditimbulkan oleh suatu stenosis
akuaduktus sylvii. b. Pemeriksaan CT Scan. Memperlihatkan susunan ventrikel yang membesar

secara simetris. Fungsi ventrikel kadang digunakan untuk menukurv tekanan intra kranial
menghilangkan cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan
pengaliran) c.
EEG : Untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik d. Transluminasi :
Untuk mengetahui apakah adanya kelainan dalam kepala e. MRI : ( Magnetik resonance imaging )
memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi 8. Therapi / Tindakan Penanganan
Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori live saving and live sustaining yang berarti penyakit
ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan
akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hidrocefalus harus
dipenuhi yakni: a.
Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis
dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang
menghambat pembentukan cairan serebrospinal. b. Memperbaiki hubungan antara tempat
produksi cairan serebrospinal dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan
subarakhnoid c.
Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni : 1)
Drainase ventrikule-peritoneal (Holter, 1992; Scott, 1995;Anthony JR, 1972) 2) Drainase LomboPeritoneal 3) Drainase ventrikulo-Pleural (Rasohoff, 1954) 4) Drainase ventrikule-Uretrostomi
(Maston, 1951) 5) Drainase ke dalam anterium mastoid 6) Mengalirkan cairan serebrospinal ke
dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang
memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang
dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus
diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis. d. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan
atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil
di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan
dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam
selang pintasan, antara ujung selang di kepala dan perut dihubungakan dengan selang yang ditanam
di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar. e. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan
bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. VRIES (1978)
mengembangkan fiberoptik yang dilengkapi perawatan bedah mikro dengan sinar laser sehingga
pembedahan dapat dipantau melalui televisi. f. Penanganan Sementara. Terapi konservatif
medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi
cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya. Pada hidrocefalus karena stenosis
akuaduktus sylvii , pengalihan aliran likuor dapat dilakukan dengan menghubungkan ventrikulus
lateralis dengan sisterna serebello medullari. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan
mengalihkan aliran likuor dengan menghubungkan ruang subaraknoidal dengan rongga peritoneum
atau dengan vena cava superior. akan tetapi untuk tindakan ini diperlukan adanya suatu katup untuk
mengatur aliran agar tetap ventrikulofugal. Terdapat dua katup yang digunakan dalah operasi
shunt yaitu, katup Spitz-Holter dan katup Pudenz-Heyer. B. KONSEP DASAR ASUHAN
KEPERAWATAN 1.Pengkajian Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan
laboratorium untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. Dari wawancara akan diperoleh informasi
tentang biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan atau penyakit di masa
lalu, riwayat kesehatan keluarga, pola aktifitas sehari-hari, dan riwayat psikososial. a.
Keadaan
Umum Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, dan tingkat kesadaran kualitatif atau
GCS. b. Tanda-tanda Vital Meliputi pemeriksaan : Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam
posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis. Pulse rate meningkat/menurun
tergantung dari mekanisme kompensasi, sistem konduksi jantung & pengaruh sistem saraf otonom.
Respiratory rate Suhu c.
Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi
Tampak adanya pembesaran
kepala. Lingkar kepala dapat mencapai 45 cm.
Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa.

Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat
tipis.
Kulit kepala tampak licin/mengkilap.
Adanya fenomena sun-set sign
Tampak
adanya hiperrefleksi ekstremitas
Adanya tanda-tanda paraparesis spastic dengan reflex tendon
lutut/Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang positif kanan dan kiri. 2) Perkusi
Perkusi pada bagian dibelakang tempat pertemuan os frontale dan os temporal, maka dapat timbul
resonnansi seperti bunyi kendi retak (cracked pot resonance). Tanda ini dinamakan Macewen`s sign.
3) Palpasi Sutura teraba melebar dan belum menutup. d. Pemeriksaan Diagnostik 1) Foto
Rontgen Foto rotgen memperlihatkan kepala yang membesar dengan sutura dan fontanel yang
masih terbuka. Tulang-tulang kepala tampak sangat tipis. Bila fosa crania posterior tampak kecil
dibandingkan fossa crania medial dan anterior maka mungkin hidrocefalus tersebut ditimbulkan
oleh suatu stenosis akuaduktus sylvii. 2) Pemeriksaan CT Scan Memperlihatkan susunan ventrikel
yang membesar secara simetris. 3) Fungsi ventrikel kadang digunakan untuk menukur tekanan
intra kranial menghilangkan cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk
pengulangan pengaliran). 4) EEG : untuk mengetahui kelainan genetikv atau metabolik 5)
Transluminasi : Untuk mengetahui apakah adanyav kelainan dalam kepala 6) MRI (Magnetik
resonance imaging) memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi Pada hidrosefalus
didapatkan : 1) Tanda-tanda awal:
Mata juling
Sakit kepala
Lekas marah
Lesu
Menangis jika digendong dan diam bila berbaring
Mual dan muntah yang proyektil

Melihat kembar
Ataksia
Perkembangan yang berlangsung lambat
Pupil edema

Respon pupil terhadap cahaya lambat dan tidak sama


Biasanya diikuti: perubahan
tingkat kesadaran, opistotonus dan spastik pada ekstremitas bawah
Kesulitan dalam
pemberian makanan dan menelan
Gangguan cardio pulmoner 2) Tanda-tanda selanjutnya:

Nyeri kepala diikuti dengan muntah-muntah


Pupil edema
Strabismus
Peningkatan tekanan darah
Denyut nadi lambat
Gangguan respirasi
Kejang
Letargi
Muntah
Tanda-tanda ekstrapiramidal/ataksia
Lekas marah
Lesu
Apatis
Kebingungan
Kebutaaan 2. Diagnosa Keperawatan Beberapa diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan hidrocefalus antara lain : a. Diagnosa
keperawatan pre-op 1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial ditandai dengan gangguan aliran darah ke otak. 2) Nyeri akut berhubungan
dengan peningkatan tekanan intracranial akibat hidrocefalus ditandai dengan pasien mengeluh
nyeri kepala, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak melindungi area yang sakit dan
tamapk berhati-hati saat menggerakkan kepalanya. 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah sekunder akibat kompresi serebral dan iritabilitas.
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas bawah akibat
hidrocefalus ditandai dengan opistotonus dan spastic ekstremitas bawah, keterbatasan dalam
bergerak. 5) Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menyangga kepala yang
besar dan rasa tegang pada leher. 6) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
kerusakan kemampuan untuk menggerakan kepala sekunder akibat ukuran kepala yang tidak
normal. b. Diagnosa keperawatan post-op 1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
sekunder akibat tindakan operasi ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis dan
berhati-hati saat bergerak. 2) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif akibat
pemasangan VP shunt. 3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan penyakit dan perawatan
pasca operasi. 3. Rencana Keperawatan a.
Pre op 1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan gangguan aliran darah ke
otak. Tujuan Setelah diberikan askep diharapkan perfusi jaringan serebral adekuat, dengan out come
:
Tingkat kesadaran membaik (GCS: E4 M6 V5).
Tidak kaku kuduk.
Tidak terjadi
kejang.
TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah 105-165

mmHg, remaja 110/65 mmHg).


Tidak terjadi muntah progresif
Tidak sakit kepala
GDA normal( > 95%) Intervensi Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan
pantau tanda vital sesuai indikasi setelah dlakukan pungsi lumbal. Rasional : Perubahan tekanan
CSS mungkin merupakan potensi adanya risiko herniasi batang otak yang memerlukan tindakan
medis segera. Pantau/catat status neurologis, seperti GCS. Rasional : Pengkajian
kecenderungan adanya perubahan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK adalah sangat
berguna dalam menentukan lokasi, penyebaran/luasnya dan perkembangan dari kerusakan serebral.
Pantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung. Rasional : Perubahan pada
frekuensi,disritmia dan denyut jantung dapat terjadi, yang mencerminkan trauma batang otak pada
tidak adanya penyakit jantung yang mendasari. Pantau pernapasan, catat pola, irama
pernapasan dan frekuensi pernapsan. Rasional : Tipe dari pola pernapasan merupakan tanda yang
berat dari adanya peningkatan TIK/daerah serebral yang terkena. Tinggikan kepala tempat
tidur sekitar 15-45 derajat sesuai indikasi. Jaga kepala pasien tetap berada pada posisi netral.
Rasional : Peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK. Pantau GDA. Berikan
terapi oksigen sesuai kebutuhan. Rasional : Terjadinya asidosis dapat menghambat masuknya
oksigen pada tingkat sel yang memperburuk iskemia serebral. Berikan obat sesuai indikasi
seperti : Steroid ;deksametason, metilprednison (medrol). Rasional : Dapat menurunkan
permeabilitas kapiler untuk membatasi pembentukan edema serebral, dapat juga menurunkan risiko
terjadinya fenomena rebound ketika menggunakan manitol. 2) Nyeri akut berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial akibat hidrocefalus ditandai dengan pasien mengeluh nyeri kepala,
pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak melindungi area yang sakit. Tujuan Setelah
dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan nyeri dada klien hilang dengan kriteria hasil: pasien
mengatakan nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri 0), dan tampak rileks, tidak meringis
kesakitan, nadi normal dan RR normal. Intervensi : Kaji pengalaman nyeri pada anak, minta
anak menunjukkan area yang sakit dan menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 =
tidak nyeri, 5 = nyeri sekali) Rasional : Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri. Bantu anak
mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak untuk ketahanan dan
memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik. Rasional : Pujian yang diberikan akan
meningkatkan kepercayaan diri anak untuk mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus
berusaha menangani nyerinya dengan baik. Pantau dan catat TTV. Rasional : Perubahan TTV
dapat menunjukkan trauma batang otak. Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat
menangis lebih keras bila mereka ada, tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan
kepercayaan. Rasional : Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus
didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak. Gunakan
teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng menggunakan boneka. Rasional : Teknik
ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakan. 3)
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan muntah
sekunder akibat kompresi serebral dan iritabilitas. Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan
diharapkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria hasil :
tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak adanya mual-muntah.
Intervensi : Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah mengunyah
makanan. Rasional : Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan meninbulkan
mual. Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi perasaan tegang pada
lambung. Rasional : Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban saluran
pencernaan. Saluran pencernaan ini dapat mengalami gangguan akibat hidrocefalus. Atur
agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan pada saat individu ingin makan.
Rasional : Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat. Timbang berat badan pasien saat ia

bangun dari tidur dan setelah berkemih pertama. Rasional : Menimbang berat badan saat baru
bangun dan setelah berkemih untuk mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan
nutrient Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang realistis dan
adekuat. Rasional : Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai indikasi dan
kebutuhan kalorinya. 4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas
bawah akibat hidrocefalus ditandai dengan opistotonus dan spastic ekstremitas bawah, keterbatasan
dalam bergerak. Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan hambatan mobilitas
fisik teratasi dengan kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi umum
Intervensi : Hindari berbaring atau duduk dalam posisi yang sama dalam waktu lama.
Rasional : Berbaring atau duduk dalam posisi yang sama dalam waktu lama dapat meningkatkan
kekakuan otot dan menimbulkan risiko dekubitus. Ajarkan latihan rentang gerak aktif pada
anggota gerak yang sehat sedikitnya 4x sehari. Rasional : Untuk merelaksasikan otot agar imobilitas
fisik perlahan-lahan dapat teratasi Lakukan mandi air hangat. Rasional : Mandi air hangat
dapat mengurangi kekakuan tubuh pada pagi hari dan memperbaiki mobilitas Anjurkan untuk
ambulasi, dengan atau tanpa alat bantu. Rasional : Untuk melatih otot agar terbiasa untuk mobilisasi
Lakukan pengukuran kekuatan otot. Rasional : Untuk mengkaji sejauhmana kemampuan otot
pasien. 5) Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menyangga kepala yang
besar dan rasa tegang pada leher. Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan
cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil : o Tidak ada luka o Pasien tidak terjatuh Intervensi :
Orientasikan anak pada kondisi di sekelilingnya. Rasional : Mengetahui kondisi sekeliling
membantu mencegah terjadinya cidera. Diskusikan dengan orang tua perlunya pemantauan
konstan terhadap anak kecil. Rasional : Anak yang hidrocefalus dapat mengalami kebingungan dan
penurunan kesadaran. Oleh karen itu, orang tua perlu melakukan pemantauan yang dilakukan
secara terus-menerus untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mengenai anak. Lakukan
kewaspadaan keamanan pada anak yang bingung. Rasional : Kewaspadaan dapat menghindarkan
anak dari kemungkinan mengalami cidera. Gunakan tempat tidur rendah, dengan pagar yang
terpasang Rasional : Penggunaan tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang dapat
menghindari terjatuhnya anak dari tempat tidur. Gunakan matras pada lantai Rasional :
Mencegah anak mengalami cidera dan mengantisipasi kemungkinan anak terjatuh ke lantai. 6)
Risiko kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan kerusakan kemampuan untuk menggerakan
kepala sekunder akibat ukuran kepala yang tidak normal. Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan
keperawatan selama diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil : o
Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet ) o Tidak adanya Gangguan jaringan epidermis dan
dermis Intervensi : Dorong latihan rentang gerak dan mobilitas kepala, bila memungkinkan.
Rasional : Latihan menggerakkan kepala mencegak penekanan pada area tertentu yang dapat
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Ubah posisi atau instruksikan anak untuk berbalik
dan menggerakkan kepala. Rasional : Membantu mengurangi tekanan pada hanya pada area
tertentu saja. Amati adanya eritema dan kepucatan, dan lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya area yang hangat dan jaringan seperti spon pada setiap perubahan posisi. Rasional : Eritema,
kepucatan dapat mengindikasikan adanya kerusakan integritas kulit. b. Post op 1) Nyeri akut
berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat tindakan operasi ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri, tampak meringis dan berhati-hati saat bergerak. Tujuan Setelah dilaksakan asuhan
keperawatan diharapkan nyeri yang dirasakan klien hilang dengan kriteria hasil: pasien mengatakan
nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri 0), dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi
normal dan RR normal. Intervensi : Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien, minta anak
menunjukkan area yang sakit dan menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 = tidak
nyeri, 5 = nyeri sekali) Rasional : Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri. Bantu anak

mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak untuk ketahanan dan
memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik. Rasional : Pujian yang diberikan akan
meningkatkan kepercayaan diri anak untuk mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus
berusaha menangani nyerinya dengan baik. Pantau dan catat TTV. Rasional : Perubahan TTV
dapat menunjukkan trauma batang otak. Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat
menangis lebih keras bila mereka ada, tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan
kepercayaan. Rasional : Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus
didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak. Gunakan
teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng menggunakan boneka. Rasional : Teknik
ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakan. Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian analgetik. Rasional : pemberian analgetik dapat membantu
menghilangkan rasa nyeri. 2) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif akibat
pemasangan VP shunt. Tujuan : Setelah diberi asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi/
adanya gejala gejala infeksi dengan kriteria hasil : o Tidak demam, tidak adanya kemerahan, tidak
adanya bengkak, dan tidak adanya penurunan fungsi. o Tidak ada nyeri setempat Intervensi : Dorong teknik mencuci tangan dengan baik Rasional : Mencegah infeksi nosokomial saat perawatan.
Bersihkan daerah pemasangan VP shunt secara berkala Rasional : mencegah infeksi dengan
mencegah pertumbuhan bakteri di daerah pemasangan. Kaji kondisi luka pasien Rasional :
Mengetahui apakah terjadinya tanda-tanda infeksi Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi
Rasional : Pemberian antibiotik dapat mecegah terjadinya infeksi. 3) Kurang pengetahuan
berhubungan dengan penyakit dan perawatan pasca operasi. Tujuan : Setelah diberi asuhan
keperawatan diharapkan pasien mengetahui tentang penyakit yang dialami dan memahami tentang
perawatan pasca operasi dengan kriteria hasil : o Pasien dan keluarga memahami tentang penyakit
Pasien o menunjukan perubahan prilaku Intervensi : Tentukan tingkat pengetahuan pasien
dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi Rasional : mempengaruhi pilihan
terhadap intervensi yang akan dilakukan Jelaskan kembali mengenai penyakit yang diderita
pasien dan perlunya pengobatan atau penanganan. Rasional : memberikan kesempatan untuk
mengklrifikasi kesalahan persepsi. Anjurkan untuk mengungkapkan apa yang dialami,
bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya. Rasional : meningkatkan kembali pada perasaan
normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada. Bekerja dengan orang terdekat
untuk menentukan peralatan yang diperlukan dalam rumah sebelum pasien pulang. Rasional : jika
pasien dapat kembali kerumah, perawatan dapat difasilitasi dengan alat bantu. 4. Evaluasi Evaluasi
merupakan penilaian dari implementasi yang dilakukan. a.
Pre-op 1) Tercapainya perfusi
jaringan serebral adekuat, tingkat kesadaran normal (GCS: E4 M6 V5), tidak kaku kuduk, tidak
terjadi kejang dan TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah 105165 mmHg, remaja 110/65 mmHg). 2) Nyeri berkurang, hilang, atau dapat dikontrol serta tampak
rileks dan tidur/istirahat dengan baik, skala nyeri 0, dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan,
nadi normal dan RR normal 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi,
tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak adanya mual-muntah. 4)
Tercapainya mobilitas secara mandiri, tercapainya peningkatan kekuatan dan fungsi umum. 5)
Cidera tidak terjadi. Tidak ada lukadan. Pasien tidak terjatuh. 6) Kerusakan integritas kulit tidak
terjadi. Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet ). Tidak adanya gangguan jaringan epidermis
dan dermis. b. Post-op 1) Nyeri berkurang, hilang, atau dapat dikontrol serta tampak rileks dan
tidur/istirahat dengan baik, skala nyeri 0, dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal
dan RR normal 2) Infeksi tidak terjadi dan tanda-tanda infeksi tidak ada. Tidak demam, tidak
adanya kemerahan, tidak adanya bengkak, dan tidak adanya penurunan fungsi. 3)
Pasien
mengetahui tentang penyakit yang dialami dan memahami tentang perawatan pasca operasi. Pasien

dan keluarga memahami tentang penyakit. Pasien menunjukan perubahan prilaku. DAFTAR
PUSTAKA Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia: Suddart,
& Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2.
Media Aesculapius. FKUI.1982. Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Ed4. Jakarta. EGC. 1995. Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta,
EGC, 1997. Ngoerah, I Gusti Ngoerah. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Vous aimerez peut-être aussi