Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
di tingkat
di
Sejak tahun 1973, Indonesia hanya mengenal sistem satu setengah partai ,
yaitu tiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yang terdiri dari PPP dan PDI
ditambah satu golongan fungsional yaitu Golkar. Meskipun secara hukum
Golkar bukan partai politik, tetapi ia menjalankan seluruh fungsi parpol. Karena
Golkar mendominasi kehidupan kepartaian, bahkan sejak pemilihan umum
mulit-partai tahun 1971 ( Hermawan Sulistyo, 2009 : 186 )
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berdiri pada tanggal 4 Maret 1970. Partai ini
merupakan penggabungan atau fusi dari lima partai politik (parpol), yakni Partai
Nasional Indonesia (PNI), Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pada tanggal 14
Maret 1970 didirikan Partai Persatuan Pembangunan yang terdiri dari NU,
Parmusi, Partai Serikat Islam Indonesia) (PSII) dan Perti ( Persatuan Tarbiyah
Islamiyah )
Secara umum pemfusian membawa dua konsekuensi buruk bagi partai politik.
Pertama posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional
(baca:pemerintah) yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua,
fusi menjadikan parpol sulit menjelaskan secara esensi kehadirannya di hadapan
tata politik nasional yang ada. Kalaupun bisa, kehadiran itu akan selalu
berhubungan dengan keberadaan parpol-parpol yang menjadi unsur fusi dan itu,
bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pemerintah Orba.
Bagi PDI, pemfusian partai membawa sejumlah konsekuensi yang kurang lebih
sama dengan apa yang disampaikan Syamsuddin Harris. Konsekuenasi pertama,
timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Konflik intern
disebabkan oleh dua hal : persaingan antarunsur dan vested interes
antarindividu. Bagi sebagian pengamat, justru konflik antarindividu yang
dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh
PDI. Dan mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur
PNI.
Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar
belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI
kehilangan simbol dirinya. Itu berakibat langsung terhadap performa PDI di
depan massa pemilihnya. Tidak seperti PPP yang mengindentifikasikan dirinya
dengan Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis.
Selain itu, kondisi PDI pascafusi juga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal,
yakni disahkannya UU organisasi sosial politik dan UU Pemilu yang tidak
menguntungkan partai politik termasuk PNI. Kebijakan massa mengambang
yang melarang parpol memiliki satuan di tingkat kecamatan dan desa sehingga
menjadikan PDI lehilangan basis massa pendukung salah satu contoh. ( Arif
Zulkifli, 1996 : 58 59 )
Kebijakan massa mengambang telah dilakukan sejak awal Orba (1970).
Kebijakan ini pada intinya melarang parpol dan Golkar untuk melakukan
aktivitas politik di tingkat desa. Kebijaksanan massa mengambang itu kemudian
dijustifikasi dengan dikeluarkan UU No 3/1975 kemudian diperbaharui dengan
UU No 2/1985.
Ketentuan bahwa organisasi parpol hanya diizinkan aktif sampai tingkat ibu
kota kecamatan menyebabkan parpol kehilangan basis dukungan dari massanya
di desa-desa. Pada awalnya kebijaksanaan ini dimaksudkan untuk untuk
mengeliminasi konflik-konflik politik di desa serta menghapuskan kesan
politik adalah panglima yang pernah ada pada masa Orde Lama. Namun
lama kelamaan kebijakan ini justru menghambat proses perekutan dan atau
kaderisasi parpol. PDI yang terbentuk dari partai yang mengakar di rakyat
banyak, seperti PNI jelas kehilangan basis dukungannya karena kebijakan ini.
Struktur organisasi partai itu terbatas hanya sampai Derah Tingkat I, namun
tetap diizinkan menempatkan komisaris dan pembantu komisaris di tingkat
kecamatan. Hal yang sama ternyata tidak berlaku bagi Golkar. Identifikasi
Golkar dengan birokrasi memudahkan Golkar melakukan kaderisasi sampai ke
aparat pada level terbawah. (Arif Zulkifli, 1996 : 71 72 )
Konflik dalam tubuh PDI muncul segera setelah Kongres I PDI berakhir (1977).
Konflik terjadi antara Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranuwidaja ( ketua umum
dan ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I) melawan Achmad
Sukarmadiidjaja dan Muhidin Nasution (keduanya juga ketua Dewan Pimpinan
Pusat hasil Kongres I). Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di
antara anggota lain.
Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI
untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPR/DPR. Ketika itu Isnaeni terpilih
menjadi wakil ketua MPR/DPR dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun, hal ini
ditentang oleh lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI. Perbedaan pendapat
ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum Sanusi Hardjadinata dan
Usep Ranuwidjaja. Mereka digantikan secara sepihak oleh Mh Isnaeni sebagai
5
ketua umum dan Soenawar Soekawati sebagai ketua Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) dengan cara membentuk DPP Tandingan. Pembentukan DPP Tandingan
ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukamarddjaja. Tentu saja penggantian
dengan membentuk DPP Tandingan ini ditolak oleh Sanusi-Usep dan dianggap
inkonsitusional. Kemelut yang melibatkan sebagaian besar tokoh dari PNI ini
kemudian memecah pengurus PDI lainnya menjadi dua kubu. Pengurus dari
unsur IPKI dan Murba mendukung DPP Peralihan, sedangkan Partai Katolik
dan Parkindo menentangnya.
Setelah konflik berrlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978 tercapailah
kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun rujuk di
antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran pemerintah, dalam hal ini Bakin
(Badan Koordinasi Intelejen Negara) sebagai penengah. Bahkan desas-desus
yang beredar ketka itu menyebutkan bahwa ada peran Soedjono Hoemardhani,
asisten pribadi (Aspri) Presiden, dalam upaya mendamaikan dua kelompok yang
bertikai.
Rujuk tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi Hardjadinata
(ketua umum), Isnaeni, Soenawar Soekawati, Hardjanto, Usep Ranuwidjaja, dan
Abdul Madjid (ketua); Aberson M Silaloho, Adipranoto (wakil sekjen), dan
Notosukardjo (bendahara). Sedang komposisi wakil-wakil dari bekas unsur
politik lain tidak mengalami perubahan.
Namun, penyelesaian oleh pemerintah ternyata lebih merupakan penyelesaian
politis dan bukan organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini
terbukti beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata membebastugaskan
Isnaeni dan Soenawar Soekawati melalui Keputusan Ketua Umum No
003/XI/1979 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas dari
pembebastugasan ini. Isnaeni/Soenawar pun dengan mengatasnamakan wakil
DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menarik Sanusi Hardjadinata
dari kursi ketua umum. Situasi kemudian menjadi tidak menentu. Sampai
akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi mengundurkan diri dari jabatan
ketua umum PDI.
Kemelut mereka sepeninggal Sanusi. Tetapi konflik kemudian menghangat lagi
menjelang Kongres II, Januari 1981. Ketika itu terjadi perbedaan pendapat
6
menjadi
think-tank
PDI
dengan
lembaga
penelitian
dan
10
Identitas PDI sebagai partai orang-orang tersingkir juga tampak dari target
group yang dicanangkan PDI pada Pemilu 1992 lalu. Menurut Soerjadi tarhet
group itu ialah (1) lapisan masyarakat miskin dan papa, bukan janya dalam
artian kemiskinan dan kepapaan ekonomis, melainkan juga kemiskinan dan
kepapan non-ekonomis; (2) kaum wanita (3) generasi muda, baik pemuda,
pelajar maupun mahasiswa;(4) kelompok intelektual, dan (5) kelompok
masyarakat usia lanjut (manula)
Menguatnya identitas partai ini diikuti pula oleh dikembangkan sikap kritis PDI
baik terhadap pemerintah maupun sistim politik secara keseluruhaan. Setelah
Pemilu 1992 berakhir misalnya, PDI pernah menolak hasil pemilu dan
menganggapnya tidak sah karena banyak kecurangan. Soerjadi mengemukakan
bahwa banyak pelajar sekolah yang diteror, saksi PDI dihalang-halangi dan
adanya orang yang mencoblos beberapa kali. Meskipun akhirnya PDI mau
mendatangani hasil pemilu, tak urung protes itu mendapat kecaman dari Menko
Polkam, ketika itu Sudomo. Menurut Sudomo, sikap PDI itu merupakan usaha
untuk menggagalkan pemilu.
PDI pernah menggugat TAP MPR No. 3./ 1988 tentang pemilu. Dalam Sidang
Umum MPR 1992 PDI menggugat ketetapan itu dengan mengusulkan agar
pemilu diadakan pada hari libur. Usulan F-PDI itu tentu saja ditolak oleh tiga
fraksi pemerintah : G-ABRI, F-KP, dan F-UD (Utusan Daerah) yang kemudian
disusul oleh F-PPP. Penolakan fraksi pemerintah itu bisa dipahami mengingat
basis dukungan Golkar adalah pegawai negeri sehingga jika pemilu
dilaksanakan pada hari kerja kontrol terhadap dukungan pegawai negeri akan
mudah dilakukan. Meskipun akhirnya ditolak, gugatan PDI itu sempat menarik
perhatian masyarakat mengingat usulan itu menyebabkan F-PDI melakukan
11
PDI juga masuk ke dalam isu sensitif calon presiden. Dalam kampanye pemilu
1992, PDI mengembangkan isu perubahan dengan memunculkan isu
pembatasan masa jabatan presiden. Ketika itu Soerjadi mengatakan bahwa masa
jabatan presiden terpilih dari SU MPR haruslah dibatasi menjadi hanya dua kali.
Pernyatan Soerjadi ini sempat mendapat tanggapan dari presiden yang
mengatakan bahwa ada usaha pengebirian UUD 1945. Namun
Soerjadi
Semua itu tentu saja memperkuat kesan di kalangan pemilih bahwa PDI
merupakan partai alternatif. Namun, janji-janji PDI sebagai partai alternatif
kemudian banyak dilanggar pada saat SU MPR 1992. Terhadap isu pembatasan
masa jabatan presiden, misalnya, PDI akhirnya menerima Soeharto sebagai
presiden RI periode 1992 1997 setelah sebelumnya bertahan untuk tidak
12
13
Sejalan dengan kritik kalangan tua PDI itu, hanya setengah tahun setelah
Kongres III PDI berakhir muncul kasus Dewan Pimpinan Cabang (DPC)
Tandingan di Bandung.
Kasus ini
bermula
Gandamihardja sebagai pejabat ketua DPC PDI Bandung pada bulan Agustus
1986 Padahal ketua DPC Kodya Bandung waktu itu, Tarwia Sutendi, belum
diberhentikan atau dipecat. Dalih DPP untuk mengangkat Dodo Gandamihardja
adalah reorganisasi dan restukturisasi PDI Bandung. Tarwia sendiri menilai
tindakan DPP itu sewenang-wenang.
14
Keputusan DPP ini ternyata kemudian tidak dituruti oleh tiga orang anggota FPDI. Mereka adalah Kemas Fachruddin (ketua DPP PDI Sumatera Selatan0, FC
Paloensuka (ketua DPD PDI Kalimantan Barat) dan Ahmad Soebagio (tokoh
PDI dari Jawa Tengah). Menurut mereka, secara konsitusional pencalonan
mereka sebagai anggota DPR tetap sah, karena mereka dicalonkan oleh
musyawarah cabang dan DPP PDI. Kasus ini, kemudian berakhir ironis, karena
kemudian DPP tidak jadi menarik ketiga anggota F-PDI yang membangkang.
Bagi sebagaian pengamat, kenyataan ini membuktikan inkonsistensi dan
ketiadaan otonomi dalam tubuh PDI.
sengat penting
Konsep Nico Daryanto itu sebenarnya belum merupakan pendapat resmi PDI,
karena tidak semua anggota F-PDI menerimanya. Badan Pekerja (BP) MPR
juga konsep itu. Namun, karena konsep Nico Daryanto dimaksukan sebagai
bahan masukan untuk BP MPR guna menyiapkan rancangan GBHN dan
rancangan TAP MPR, maka 17 orang anggota DPR/MPR anggota F-PDI
melancarkan protes itulah mereka kemudian dikenal masyarakat sebagai
Kelompok 17. Mereka menilai konsep Nico bertentangan dengan Pasal 29 UUD
1945 dan dapat menciptakan keresahan, karena menyangkut masalah agama
yang sangat peka.
15
Persoalan konsep Nico tenyata hanyalah entry point bagi kelompok 17 untuk
menyerang DPP PDI pimpinan Soerjadi. Ini terbukti, pada tanggal 9 Desember
1987. Kelompok 17 mengirim pernyataan yang isinya menghendaki Nico
Daryanto mengundurkan diri dari jabatan sekjen. Kemudian disusul dengan
pernyataan dukungan kepada Sudharmono sebagai wakil presiden dalam SU
MPR 1988, mendahului F-PDI. Keadaan ini menjadikan F-PDI semakin
terpojok.
Sepak terjang Kelompok 17 itu dibalas dengan memecat delapan orang anggota
Kelompok 17 dengan tuduhan akan melakukan kudeta terhadap DPP yang sah.
Kedelapan tokoh yang dipecat melalui SK 121/1988 itu ialah Dudy Singadilaga
( ketua DPP PDI Jawa Barat); Marsoesi (ketua DPP PDI Jawa Timur); H Kemas
Fachruddin (ketua DPP PDI Sumatera Selatan); FC Paloensuka (ketua DPP PDI
Kalimantan Selatan); H Teuki Thaib Ali ( ketua DPP PDI DI Aceh); M Darwis
(wakil ketua DPP PDI Bengkulu ); Suparman Adiwidjaja (wakil ketua DPD PDI
Jawa Barat)
orang Dudy Singadilaga selama tujuh jam. Meskipun bisa diakhiri, peristiwa ini
menandai puncak perseteruan kelompok Soerjadi-Nico dengan Kelompok 17
( Arif Zulkifli, 1996 : 73 85 )
Soerjadi bukan tanpa saingan. Tidak kurang lima tokoh PDI lainnya
meramaikan bursa pemilihan setidaknya sampai menjelang Kongres IV
berlangsung. Mereka ialah, Aberson M Silaloho, Budi Hardjono, Tarto Sydiro,
Ismunandar, dan Soetardjo Soerjogoeritno. Meskipun ada enam kandidat yang
akan bertanding memperebutkan kursi ketua umum, pada kenyatannya
perebutan ketua umum lebih menjadi ajang untuk menggolkan Soerjadi atau
bukan Soerjadi. Mereka yang menghendaki Soerjadi
beranggapan bahwa
prestasi Soerjadi mendongkrak suara pada dua kali pemilu merupakan prestasi
yang membuktikan Soerjadi masih mampu memimpin PDI untuk periode
berikutnya. Sementara yang menolak adalah mereka yang menganggap Soerjadi
sumber perpecahan dan pemimpin yang tidak demokratis. Kelompok ini
17
Hari pertama kongres, sidang diganggu dengan masuknya sejumlah orang DPP
Peralihan dan Kelompok 17 ke ruang sidang. Mereka mendobrak pintu dan
menganggap sidang tidak sah, karena mereka tidak diikutsertakan dalam
18
Pendudukan arena kongres ini berlanjut terus sampai akhir kongres, 25 Juli
1993. Panitia berusaha menghubungi pihak keamanan dan pemerintah, namun
tampaknya pemerintah memang menghendaki kongres buntu. Hal ini juga
terlihat dari tidak adanya seorang pejabat resmi pun yang berniat menutup
secara resmi Kongres PDI itu sesuatu yang diharapkan kubu Soerjadi, karena
dengan demikian mensahkan proses pemilihan Soerjadi pada hari kedua.
Akhirnya kongres ditutup dengan pernyataan resmi Nico Daryanto, sekjen PDI
yang menjabat ketua panitia. Menurut, Nico semua hasil kongres adalah sah.
Sementarta itu untuk mengisi kepemimpinan PDI yang kosong melalui Menteri
Dalam Negeri, pemerintah mengusulkan agar dibentuk caretaker, lembaga
perantara yang mengurus segala keperluan PDI selama masa vakum. Usulan
untuk membentuk caretaker ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Mereka
yang kontra adalah kubu Soerjadi, yang memandang semua keputusan kongres
Medan adalah sah. Sementara mereka yang pro adalah pemerintah dan
kelompok-kelompok lain yang dirugikan oleh keputusan kongres Medan.
Bahkan
disinyalir oleh media massa, peoses pembentukan formatur pun diwarnai oleh
penyuapan.
Soerjadi karena dari 23 personel, tak satu pun datang dari kubu Soerjadi.
Sementara Kwik Kian Gie, yang selama Kongres IV tampak menunjukkan sikap
tidak berpihak, didudukkan sebagai salah seorang ketua caretaker ( Arif
Zulkifli, 1996 : 87 93 )
Komposisi kandidat ketua umum pada Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya
pada 2 6 Desember 1993 pun bergeser. Secara tidak disangka muncul nama
Megawati Soekarnoputri, Mega yang selama Kongres IV Medan tidak terdengar
suaranya, merndadak muncul setelah pertama kali diusulkan oleh PDI cabang
Solo. Selanjutnya, dukungan terhadap Mega semakin banyak. Dukungan datang
dari berbagai cabang tidak kurang 100 fungsionaris dari 70 DPC menyatakan
dukungan terhadap Mega sekitar empat bulan sebelum KLB berlangsung serta
dari keluarga Bung Karno dan aktivis LSM, seperti Adnan Buyung Nasution,
20
bahkan juga dari partai politik seperti PPP. Tokoh PPP Sri Bintang Pamungkas
secara tegas menyatakan mendukung Mega.
Mega sendiri sebetulnya orang baru dalam pentas politik. Ia masuk PDI pada
tahun 1987 setelah diajak oleh Soerjadi, ketua PDI kala itu. Anak kedua
Presiden Soekarno dari ibu Fatmawati lahir pada 23 Januari 1947 dan banyak
menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Istana. Ketika muda ia sempat aktif
di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), sebuah organisasi onderbouw PNI. Ia sempat kuliah di Fakultas Pertanian Padjajaran Bandung dan
Fakultas Psikologi UI, namun kedua-duanya tidak diselesaikannya. Pada tahun
1987 Mega masuk PDI bersama suaminya, Taufik Kiemas. Sebagai orang
baru di kalangan PDI, Mega bersih dari konflik. Ketika konflik Soerjadi vs
Kelompok 17 dan DPP Peralihan merebak, nama Mega tidak pernah disebutsebut. Begitu pula dalam konflik-konflik sebelumnya.
21
Meskipun didukung secara luas, kenyatannya ada keberatan dari formasiformasi tertentu dalam negara terhadap Mega. Alasan keberatan tersebut di
antaranya karena Mega anak Soekarno dan dikhawatirkan akan membawa
ideologi Marhaen PNI. Usaha mengurangi dukungan kepada Mega bermula dari
halangan-halangannya sejumlah pendukung Mega mengikuti KLB dan
digantikan oleh mereka yang tidak mendukung Mega. Di cabang Jakarta Timur,
misalnya, dari tuga orang pendukung Mega, dua di antaranya didepak dari calon
utusan. Mereka adalah Tarmidji Suhardjo, Azis Boeang, dan Subur Budiman.
Lalu, yang diizinkan Alex Asmasoiebrata, ketua DPP PDI Jakarta, yakni
Tarmidji dan Jakob Nuwa Wea. Hal serupa juga terjadi pada cabang-cabang
lain.
Mega sendiri mendapat sejumlah kesulitan untuk ikut KLB. Ia pernah tidak
diberi mandat mengikuti kongres oleh DPD DKI Jakarta dengan alasan masih
ber-KTP Jakarta Pusat sedangkan ia utusan dari Jakarta Selatan. Mandat
akhirnya keluar beberapa jam sebelum KLB dilaksanakan.
Calon lain adalah Budi Hardjono. Calon ini dikenal luas sebagai tokoh yang
mendapat restu dari pemerintah Ia adalah tokoh GSNI (Gerakan Siswa Nasional
Indonesia) dan GMNI ( Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ) Dalam bidang
politik, Budi masuk DPR pada tahun 1987. Ia termasuk tokoh yang cukup vokal
di DPR. Selain Budi, calon yang lainnya ialah Ismunandar. Namun, nama
Ismunandar tidak terlalu laku pada KLB PDI. Jal yang sama juga terjadi pada
Soetardjo
22
Hari Keempat, 5 Desember 1993, masalah tata cara pemilihan ketua umum
dilanjutkan. Penetapan personel Komisi Organisasi yang bertugas mengatur tata
cara pemilihan ketua umum, menunjukkan pertarungan kepentingan di antara
kelompok-kelompok dalam KLB. Pada beberapa cabang lain soal gesermenggeser ini menyebabkan baku-pukul antar peserta. Penetapan ketua sidang
Komisi Organisasi juga menjadi problem. Caretaker memaksakan Latief
Pudjosakti, sedang peserta kongres menolaknya. Akhirnya ditetapkan Sardjito
Dharsoeki sebagai ketua sidang. Sidang hari keempat ini tidak membawa hasil
apa-apa dan tidak ada kesepakatan mengenai tata cara pemilihan.
Sepanjang hari kelima, 4 Desember 1993, tidak ada sidang. Menghadapi situasi
tak menentu ini 27 ketua DPD berkumpul dan membuat beberapa kesepakatan.
Pertama, mendukung Mega sebagai ketua umum periode 1993 1998. Kedua,
menjadikan ketua DPD sebagai formatur yang akan menentukan susunan DPP;
Ketiga, tidak akan menyerahkan penyelesaian kongres kepada pemerintah, dan
keempat, memberi waktu sampai pukul 20.00 WIB kepada caretaker untuk
melaksanakan Sidang Paripurna.
Sampai akhir pukul 24.00 WIB keadaan kongres masih tak menentu. Maka pada
pukul 23.56 WIB dihadapan massa pendukungnya Mega menyatakan bahwa ia
23
adalah ketua umum PDI secara de facto sedang secara de jure belum. Ia juga
meminta peserta kongres untuk tenang dan pulang ke daerahnya masingmasing. Tepat pukul 24.00 WOB kongres dibubarkan pihak keamanan karena
izin kongres memang hanya sampai pukul 24.00 tanggal 6 Desember 1993.
( Arif Zukifli, 1996 : 93 98 )
Penyusunan DPD ini menjadi alot karena ada tarik-menarik kepentingan antara
kubu Mega dan kubu caretaker, Misalnya Mega menghendaki Sekjen dijabat
YB Wiyandjono, sedangkan caretaker menghendaki Ismunandar. Tarik menarik
juga terjadi karena DPD sebelumnya jabatan sekjen selalu dipegang oleh tokoh
25
dari unsur Parkindo atau Partai Katolik. Akhirnya setelah melalui perdebatan
sengit susunan DPP PDI pun terbentuk. Megawati Soekarnoputri sebagai ketua
umum, dengan dibantu 14 ketua ( Soetardjo Soerjogoritno, Ismunandar, Fatimah
Achmad, Kwik Kian Gie, Gerry Mbatemoy, K.H. Cholid, Panangian Siregar,
Subagio, Slamet Mulyadi, Yahya Theo, Abdul Gani, I Gusti Ngurah Sara,
Mangara Siahaan dan Suparlan); Alexander Litay sebagai sekjen dan dibantu 5
wakil sekjen ( Syafei Ali Gumay, Andi Chaerul Muis M, Haryanto Taslam,
Ratna Purnami dan Edy Junaedy), dan Laksamana Sujardi sebagai Bendahara,
dengan dibantu 6 wakil bendahara (Mulyono Soetarmo, Neneng Alamia
Asmasoebrata, Untung Sutomo, Novianti Nasution, FX Urip Sujud dan Edwin
Soekowati.
26
Ternyata Soerjadi bersedia. Enam belas dari 27 pengurus DPP PDI ikut
bersamanya. Soerjadi kembali menghubungi orang-orangnya di cabang-cabang
dan daerah-daerah. Meskipun tidak sepenuhnya berhasil tapi ia masih bisa
mengumpulkan cukup orang di tambah pengurus-pengurus cabang dan daerah
yang berhasil ditekan aparat.
27
Tinggal setahun lagi pemilu dan setelah itu SU MPR. Megawati harus segera
didongkel. Maka tak heran jika gerakan ini begitu cepat dan terang-terangan.
Kongres PDI versi Soerjadi pun digelar di Medan 20 24 Juni 1996. Kongres
dibuka Merndagri Yogie S Memed. Tersiar kabar di Jakarta, bahwa para
konglomerat yang tergabung dalam Kelompok Jimbaran , lewat Sofyan
Wanandi menyuntik dana untuk kongres PDI ini sebesar Rp 3 milyar.
28
Dikabarkan delegasi dari daerah tidak akan dijinkan masuk arena kongres jika
tidak ada anggota ABRI yang mengawalnya. Aparat ABRI yang mengawal
utusan-urusan daerah ini di lokasi kongres mengenakan pakaian merah hitam
dengan antribut PDI. Sebagian besar dari mereka diberi tanda pengenal sebagai
Satgas PDI. Aparat keamanan tersebut diperintah untuk mendampingi utusanutusan cabang agar memilih Soerjadi Tapi Serjadi yang dikonfirmasi mengenai
kehadiran anggota ABRI dalam kongres ini membantahnya.
Sehari sebelum kongres versi Soerjadi dibuka, di Jakarta ribuan warga PDI ProMegawati melakukan long march menolak kongres. Mereka berjalan dari
Taman Monas ke Kantor DPP PDI melalui jalan MH Thamrin dan Jalan Imam
Bonjol. Aksi massa yang lebih besar diulangi lagi esok harinya, Tanggal 20
Juni 1996 ) . Kali ini long march yang diikuti oleh 12.000 orang, dibalik rutenya
yakni dari kantor DPP PDI ke Taman Monas. Di Gambir pasukan ABRI
mencegat mereka agar tidak mendekati Istana Presiden di Jalan Merdeka Utara.
Bentrokan berdarah tak terhindarkan. Lima orang warga PDI luka parah, 73
luka ringan, 48 ditahan dan 8 unit mobil warga PDI hancur. Diantara yang
cedera adalah Sophan Sophian, anggota Fraksi PDI DPR, dan Sukmawati
Soekarnoputri. Sementara itu 55 anggota ABRI mengalami luka-luka. ini yang
pertama dan yang terakhir , kata Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengancam
agar massa PDI pro-Megawati menghentikan aksinya. Jika aksi semacam ini
terjadi lagi ABRI akan bertindak tegas tambahnya. Sutijoso akhirnya
bernegoisasi dengan pihak Megawati dan keduanya bersepakat akan saling
menahan diri.
Pada hari itu juga di berbagai daerah terjadi aksi serupa. Di Semarang ratusan
massa PDI Pro-Megawati melakukan long march dari Stadion Diponegoro
menuju Balai Kota Semarang. Di Surabaya massa PDI melakukan doa bersama
di Taman Makam Pahlawan, kemudian berarak-arakan keliling kota. Di Solo
massa PDI melakukan long march sejaun lima kilomter. Di Lampung ratusan
aktivis Aliansi Pendukung Megawati (APM) melakukan aksi serupa sejauh 4
kilometer. Aksi serupa sejauh 4 kilometer. Aksi serupa terjadi juga di Ujung
Pandang, Denpasar dan Mataram.
30
Kepada ribuan warga PDI dan mahasiswa Yogyakarta yang hadir, Mbah Lim
mengajak membaca Al Fatihah sebelas kali untuk Megawati agar yang
bersangkutan tidak disia-siakan. Mbah Liem juga meminta agar Megawati terus
berdoa. Kepada ABRI, Mbah Lim juga menyerukan ajakan serupa, ABRI
bagamana shalatmu ? Seperti saya tidak ? Kalau kepingin seperti saya datanglah
ke Samberejo (desa tempat tinggal Mbah Lim). Bawalah tank, senapan,
mitraliur, saya tidak takjub. Saya tidak mau mengajak perang, tetapi bersalatlah
bersama saya. Kalau perang saya tidak mau. Saya tak punya senapan saya
punya doa, kata Mbah Lim.
31
Sokongan untuk Megawati seperti air yang terus mengalir. Massa semakin
mengental dan mungkin akan terus menjadi apa yang disebut Megawati sebagai
menuju kristalisasi . Walaupun ABRI dan pemerintah terus menyokong
Soerjadi namun Megawati tak kerkurangan akal. Ia menyeruhkan agar cabangcabang mengadakan konfercabsus dan konferdasus untuk konsolidasi
organisasi. Saat membuka Konferda PDI Jakarta Megawati sendiri memecat
Ketua DPD Jakarta Lukman Mokoginta yang mengikuti Kongres Medan, dan
menggantinya dengan Roy BB Janis.
kepada Megawati.
Cara
Megawati
mengkonsolidasi
organisasinya
ini
memang
cukup
sendiri bertekad akan terus melakukan aksi massa damai di sekitar Kantor DPP.
Jumat, 12 Juli 1996, ribuan mahasiswa dan kader PDI membentangkan kain
sepanjang satu kilometer di Tugu Proklamasi dan mengaraknya menuju Taman
Ismail Marzuki. Massa PDI dan masyarakat yang kebetulan di sana
membubuhkan tanda tangannya mendukung Megawati.
Aksi-aksi massa ini kontan ditanggapi oleh ABRI Assospol ABRI, Mayjen
Suwarno Adiwijoyo. Walaupun tidak langsung menunjuk Megawai, mengatakan
bahwa kini ada sebagian kecil masyarakat yang menginginkan demokrasi liberal
dan demokrasi proletar. Demokrasi proletar yang saya maksud adalah
kelompok yang menggunakan aksi massa atau menggerakkan masa untuk
memaksakan kehendak, katanya setelah membuka Dialog Dakwah Nasional
dan Rapat Kerja Nasional Majelis Tablig PP Muhammdiyah di Yogyakarta,
medio Juli 1996.
Selain konsolidasi partai DPP PDI Megawati juga melancarkan gugatan pertada
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan setebal 21 halaman berjudul
Demokrasi Pancasila Menggugat ini akan memperkarakan para penyelengara
Kongres. Fatimah Achmad bersama kelompok 16-nya diperkarakan sebagai
tergugat I. Sementara pimpian Kongres Medan, Fatimah Achmad dan Panangian
Siregar disebut sebagai tergugat II. Sedang Ketua dan Sekrataris DPP PDI hasil
Kongres Medan, Soerjadi dan Buttu Hutapea disebut sebagai tergugat III.
Tergugat lainnya adalah Pemerintah RI dalam hal ini Menteri Dalam Negeri
(sebagai tergugat IV), Panglima ABRI ( sebagai tergugat V) dan Kapolri
(sebagai tergugat VII). Jumlah tergugat seluruhnya 21 orang.
33
Gugatan ini dikuasakan kepada para pengacara senior yang menamakan dirinya
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Dalam gugatan TPDI hakim dapat
menetapkan tuntutan propisi (tuntutan pendahuluan) terlebih dahulu. Yakni,
kepemiminan Megawati Soekarnoputri diakui dalam status quo sehingga tidak
terjadi kepemimpinan selain Megawati dan kawan-kawannya. Selain itu harus
ada keputusan untuk melarang tergugat atau siapa pun melakukan peralihan
kepemiminan, beserta harta PDI dari tangan tergugat sampai putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum. Bagi yang melanggar putusan propisi, demikian
bunyi gugatan tersebut, diharuskan membayar uang paksa (dwinsom) sebesar
Rp 5 trilyun.
Menurut RO Tambunan, salah seorang anggota TPDI, uang paksa itu bukan
untuk PDI melainkan akan digunakan untuk pengembangan demokrasi hak
asasi manusia (HAM) dan dan keadilan di Indonesia. Jumlah itu dinilai wajar
mengingat sudah 51 tahun Indonesia merdeka supremasi hukum belum
ditegakkan. TPDI seluruhnya berjumlah tujuh orang, yaitu Amartiwi Saleh SH,
TO Tambunan SH, Max Junus Kamuda SH, Luhut MP Pangaribuan SH,
Nusyarwan A Tabrani SH, Bambang Widjoyanto dan Tumbuh Saraswati SH
Hingga medio Juli 1996, sulit untuk menebak bagaimana akhir dari kemelut ini,
ABRI yang semula sangat bersemangat mendukung Soerjadi kini tengah
berupaya mencari pembelaan diri. ABRI tidak berada di belakang
Soerjadi,sergah Soewarno Adiwijoyo. Menurut Suwarno, ABRI mendukung
Kongres PDI karena Depdagri menyatakan usulan-usulan cabang PDI sah,
jika ini bukan pendapat pribadi Suwarno, boleh jadi ABRI kini tengah
melempar tanggung jawab kepada Depdagri. ( Irawan Saptono dan Lukas
Luwarso, 1996 : 70 75 )
34
Mimbar bebas yang digelar hampir setiap hari di halaman Kantor PDI rupanya
tidak disukai oleh ABRI. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, bahkan
menuduh mimbar bebas itu sudah bisa dikategorikan tindakan makar atau
penggulingan pemerintah yang sah. Feisal memberi contoh tentang pernyatanpernyataan
dinilainya tidak sopan lagi. itu bukan bangsa Indonesia lagi. Saya kira itu
PKI kata Feisal.
mimbar
demokrasi
itu
hanyalah
sekedar
dampak
dari
Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak poranda dengan adanya
Kongres Medan, ujarnya.
Pelarangan terhadap mimbar bebas PDI, yang disusul dengan tuduhan makar
oleh Feisal Tanjung, diawali dengan protes Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang kantornya bersebelahan dengan kantor PDI. Protes PPP ini
disampaikan salah seorang pembicara mimbar bebas PDI menyatakan bahwa
PPP adalah kependekan Partai Pamong Praja dan Partai Perempuan
Perempuan. Protes ini diterima dan DPP PDI lewat Soetardjo Soerjogoeritno
meminta maaf dan berjanji hal itu tidak akan terulang lagi.
Namun pihak PPP belum puas. Tidak cukup hanya meminta maaf. Mimbar
bebas itu harus dihentikan, kata Mohammad Buang, anggota FPP DPR. Karena
merasa kurang puas PPP meminta pemerintah melarang mimbar bebas PDI.
Setelah protes PPP, Kasospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid di depan 61 ormas
pendukung Golkar, diantaranya, Majelis Dakwah Indonesia, Pemuda Pancasila,
FKPPI, AMPI dan Gema Kosgoro. Mengatakan bahwa mimbar bebas PDI telah
mengganggu ketertiban dan keamanan. Ormas-ormas itu kemudian membuat
pernyataan agar pemerintahan melarang mimbar bebas itu. Berbekal
permintaan-permintaan inilah Syarwan Hamid akhirnya menyatakan akan
menghentikan mimbar bebas itu. Tapi pihak PDI berpendapat bahwa protes ke61 ormas itu direkayasa oleh Syarwan Hamid. Kwik Kian Gie, Kalitbang PDI
dalam Konferensi pers (23 Juli 1996) mengatakan bahwa ke-61 ormas itu tidak
semuanya menandatangani nota protes.
Pasukan Satgas PDI sudah siap mempertahankan kantor itu dari serbuan pihak
manapun. Mereka bahkan sudah menandatangi surat pernyataan tidak akan
menuntut Megawati jika mereka harus kehilangan nyawanya. Dukungan
masyarakat terhadap pendukung Megawati yang berjaga-jaga siang malam di
kantor DPP juga terus mengalir. Sumbangan berupa uang, bahan makanan
seperti beras dan Supermie mengalir terus dari berbagai lapisan masyarakat.
( Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1996 : 75 77 )
Presiden Soeharto akhirnya menerima DPP PDI versi Soerjadi tanggal 25 Juli
1996. Seakan mendapat lampu hijau, maka skenario perebutan kantor DPP
PDI pun segera dirancang. Seperti sebuah operasi inteljen, Kantor DPP PDI di
Jalan Diponegoro yang dikuasai pendukung Megawati akhirnya diserbu di saat
fajar, Sabtu 27 Juli 1996. Isu tentang penyerbuan ini memang sudah merebak
seminggu sebelumnya. Sabtu pagi itu, sekitar pukul 06.30 WIB, Satgas PDI
yang berjaga semalam masih tidur ketika tiba-tiba datang serbuan dari ratusan
massa PDI pro-Soerjadi. Mereka berseragam kaos merah dengan tulisan
Pendukung Kongres IV Medan serta ikat kepala berwarna merah. Mereka
berteriak memaki-maki dan menghujani dengan batu para pendukung Megawati
yang bertahan di dalam kantor. Para penyerbu juga membakar spandukspanduk
yang tertancap di sekeliling pagar.
37
Massa pro-Soerjadi dengan leluasa menyerbu markas PDI karena ratusan aparat
kepolisian dan tentara mengamankan (memblokir) wilayah sekitar kantor PDI.
Praktis, satgas pendukung Megawati yang jumlahnya kurang dari 100 terkepung
dan mempertahankan markas sendirian tanpa ada bantuan dari luar. Setelah
lebih dari dua jam perang batu dihentikan Kapolres Jakarta Pusat, Letkol
Abubakar. Ia melakukan negoisasi dengan wakil pendukung Megawati.
Abubakar meminta markas PDI dikosongkan untuk diambilalih polisi dan
dinyatakan dalam kondisi status quo. Namun massa PDI pro-Megawati
menolak. Mereka mau keluar kalau memang diperintahkan Megawati.
Megawati yang dikontak lewat hanphone mernyatakan akan datang dan siap
berunding, asalkan didampingi wartawan Kompas dan wartawan asing. Karena
kedua wakil wartawan dimaksud tidak ada dilokasi, negoisasi macet. Oleh para
penasehatnya Megawati tidak diperbolehkan menuju arena pertempuran,
karena dikhawatirkan akan semakin membangkitkan emosi massa.
Karena negoisasi macet, massa penyerbu melempari lagi markas PDI. Tidak
hanya itu, mereka juga membakar dua sepeda motor yang parkir di depan kantor
PDI. Saat pelemparan berlangsung, puluhan pasukan anti huru-hara yang
bertameng mulai mendekati pagar halaman, sambil melindungi massa pro
Soerjadi di belakang mereka. Pagar halaman berhasil dijebol. Mereka kemudian
berhamburan masuk ke dalam. Sementara satgas PDI yang bertahan di dalam
kantor, sebagian lari lewat pintu belakang dan sebagian besar lainnya tertahan di
dalam gedung. Sekitar pukul 09.00 WIB Markas PDI akhirnya berhasil dikuasai
dan diobrak-abrik pasukan anti huru-hara. Satgas PDI, sekitar 139 orang yang
masih bertahan satu persatu digelandang keluar dan diangkut dua truk militer
sedangkan yang luka parah ditandu menuju mobil ambulans yang sudah
dipersiapkan polisi.
38
Tim gabungan pasukan ABRI dari jajaran Polda Metro Jaya, Yon Kaveleri 7 dan
Yon Armed 7 Kodam Jaya telah mengepung Sekretariat PDI hingga massa tak
bisa masuk. Ruas jalan seputar Jalan Diponegoro ditutup. Antara lain jalan
Proklamasi, Cikini dan Pegangsaan. Juga sepanjang Jalan Salemba sampai
Buindaran HI. Termasuk jalan-jalan kecil seperti Jalan Semarang, Jalan
Surabaya dan Jalan Bonang. Barikade pasukan ABRI diperkuat dengan dua
panser dan penyemprot air siaga di bawah rel kereta KRL. Lima truk tentara
diparkir di depan stasiun Cikini dan tiga lainnya menutup Jalan Diponegoro dari
arah Bunderan Hotel Indonesia. Polisi berada di bagian depan barikade, tentara
berada di belakang. Posisi demikian rupanya membuat posisi dalam keadaan
sulit karena mereka harus berhadapan langsung dengan massa yang marah.
Massa rupanya memang sangat marah, terlebih saat sebagian tentara berjagajaga berlagak mengangkat tongkat rotan untuk menghalau. Pukul saya, Pak
Pukul saya kalau berani ! Saya siap mati! Membela Megawati dan PDI teriak
39
Tak puas dengan perang batu, massa beramai-ramai menjebol pagar besi yang
ada di bawah jembatan rel kereta KR, Jakarta Bogor di dekat Jalan
Diponegoro. Massa juga merobohkan pagar gedung bioskop Metropole
Megaria. Dengan amarah yang meluap mereka merangsek ke arah tentara yang
menghadang. Tiba-tiba
membuat massa jadi kacau balau. Mereka berlarian kembali ke silang Megaria.
Sekelompok aktivis PDI dan aktivis LSM kemudian berupaya mendirikan
mimbar bebas. Dengan tangan bergadengan mereka membentuk lingkaran
besar.
Sebuah mimbar bebas darurat dibuat diatas pagar besi perempatan Diponegoro.
Tadi pagi saya mendapat berita seorang kawan saya asal Timor Timur di bunuh
di kantor kita, ujar seorang aktivis PDI asal Irian. Di sini saya sendirian. Saya
berasal dari Irian Jaya. Saya nyatakan bahwa negara ini adalah negara fasis,
negara militer. Jangan mundur. Terus lawan.
Teriaknya lewat megaphone. Seorang aktivis PDI dari Maluku menyatakan,
Bila kita tak berhasil melawan Soerjadi dan Togie. Salah Melulu, warga PDI
Maluku akan jadi Golput. Seorang aktivis PDI lainnya mengambil alih corong.
Ia mengajak massa untuk bersama-sama mengheningkan cipta menghormati
mereka yang tewas akibat serbuan brutal di Kantor DPP PDI. Terbetik berita
bahwa korban mati berjumlah 47 orang. Termasuk seorang ibu yang selama ini
mengurus dapur umum di DPP PDI beserta seorang anaknya..
Beberapa kali massa sempat merangsek petugas yang membuat pagar betis
empat lapis. Sambil menyanyikan lagu-lagu yang bernada mendukung
Megawati mereka mencoba menerobos barikade. Dengan pagar besi mereka
mencoba melindungi diri dari serangan pentungan polisi. Tapi tindakan ini surut
begitu ada komando untuk bersabar. : Kita beri mereka batas waktu hingga
pukul 15.00. Bila saatnya tiba kita akan bereaksi kembali untuk menguasai
DPP, ujar salah seorang yang mengfungsikan diri sebagai komandan lapangan.
Begitu seterusnya, situasi naik turun. Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang
ketua DPP PDI pro-Megawati datang pukul 14.00 dengan dikawal barisan
satgas dan massa yang membentuk lingkaran bergandengan tangan. Mereka
berjalan dari kantor YLBHI, menuju kantor DPP PDI yang diduduki aparat
militer untuk melakukan negoisasi.
41
Konflik fisik akhirnya tak terhindarkan lagi. Massa pro Megawati yang berada
di lapisan depan di perempatan Megaria yang sejak pagi hari berada dalam
posisi berhadap-hadapan dengan barikade pasukan Brimob yang dibentengi tiga
panser mencoba mendesak barikade. Terjadi saling lempar batu. Beberapa
saling pukul. Sebagian massa melempari kantor Polsek Megaria dengan batubatu berukuran besar. Kaca-kaca pecah berhamburan. Pasukan Brimob tak dapat
lagi mengatasi
42
Pasukan militer tak berhenti. Merasa di atas angin mereka mengejar dan
memukul massa pro-Mega dengan pentungan. Massa tercerai-berai. Mereka
berlarian kearah Salemba. Sebagian masuk ke Jalan Borobudur dan
bersembunyi di gang-gang kecil sekitar Jalan Surabaya Timur. Sebagian massa
yang terpukul mundur melakukan konsolidasi di perempatan Jalan Salemba di
depan kampus UI.
Sementara itu, mereka yang menjadi korban dari penyerbuan pagi hari diberi
pengobatan sementara di kantor YLBHI. Menurut keterangan saksi-mata
satgas yang pagi itu bertugas sebenarnya ada puluhan rekan-rekannya yang
cedera, baik berat maupun ringan. Korban-korban itu dilemparkan ke truk-truk
tentara yang telah disediakan. Beberapa pengacara YLBHI termasuk Ketua
YLBHI Bambang Widjojanto, melakukan wawancara untuk mengumpulkan
keterangan dari para saksi mata. Seorang ibu dengan bercucuran air mata
mengaku melihat sendiri adanya korban yang tewas. Ibu tersebut segera dibawa
ke suatu ruangan untuk diwawancara para pengacara YLBHI. Tiba-tiba
dikejutkan oleh datangnya seorang ibu yang meraung-raung untuk menjumpai
anaknya yang sedang dirawat. Kamu selamat, nak. Allahu akbar, seru ibu itu
sambil memeluk sang anak. YLBHI sendiri belum bisa merinci berapa korban
tewas dan luka. Tapi menurut sejumlah satgas PDI yang selamat dan
penyerbuan, YLBHI untuk sementara menyimpulkan sedikitnya 7 orang
anggota PDI pro-Megawati tewas.
43
Asap hitam pekat membumbung tinggi hingga bisa dilihat radius lima kilometer
Di depan Bank Mayapada sebuah Suzuki Carry warna putih yang sudah dirusak
massa didorong keluar ke arah Polsek Matraman, mobil diberhentikan di depan
kantor polsek dan terjadi lempar-melempar batu. Polisi menembakkan senapan
ke atas dan massa mundur sementara ke arah Jalan Pramuka.
Menjelang sore sebagian dari ribuan orang yang tumpah disepanjang Jalan
Pramuka menghentikan kereta api yang menyeberang ruas jalan tersebut. Kareta
api berhasil dihentikan para penumpangnya dipaksa turun. Beberapa saat
kemudian dua buah panser yang diatasnya penuh tentara dan polisi bergerak
maju dan membubarkan massa yang menghentikan kereta api. Kereta api
akhinya bisa melepaskan diri dari kepungan massa. Karena serangan panser
ini massa mundur dan masuk ke gang-gang di sepanjang ruas jalan jalan
tersebut. Dengan pengeras suara pasukan ABRI yang berada di atas tank
menyerukan agar massa bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Kalau
44
tetap di jalanan maka akan berhadapan dengan ABRI demikian bunyi ancaman
yang keluar dari dalam kendaraan lapis baja itu. Helikopter polisi dengan sirene
yang dibunyikan berputar-putar dan meraung-raung di sekitar lokasi. Rumahrumah, toko-toko dan pompa-pompa bensin di sepanjang Jalan Pramuka tutup.
Informasi tentang jumlah korban luka dan kemungkinan korban tewas masih
simpang siur. Menurut keterangan resmi Pangdam Jaya hanya 26 orang lukaluka dan 2 orang tewas. Dua orang yang tewas ini
serangan jantung. Satunya lagi seorang Satpam. Dia meninggal karena meloncat
dari lantai tujuh karena gedung itu hendak dibakar massa, katanya Tidak
disebut dan di mana pendukung Soerjadi itu tewas,
Tapi informasi yang diperoleh dari YLBHI mengatakan bahwa 47 orang dirawat
di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini dan seorang lagi di RS Fatmawati. Di
Rumah Sakit Cikini, Minggu 27 Juli 1996, sekitar pukul 09.00 WIB Tiga unit
mobil jenazah keluar dari rumah sakit tersebut. Setiap mobil dikawal oleh
tentara . Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang
siapapun untuk mendekat. Sejumlah wartawan yang sempat masuk kamar mayat
RSCM pada hari Sabtu siang menjumpai puluhan mayat yang penuh luka
karena dianiaya . Petugas kamar mayat tidak bersedia memberi penjelasan
identitas dan penyebab kematiannya.
Megawati
terus
berusaha
menghalang-halangni
Soerjadi
Dikejutkan
oleh
keberanian
para
pendukung
Megawati,
pemerintah
27 Juli pada PRD (Partai Rakyat Demokratik). PRD dikenal sebagai organisasi
kiri-baru. PRD adalah korban kambing hitam yang cukup mengundang
perhatian. PRD memproklamirkan dirinya sebagai partai hanya beberapa hari
sebelum terjadinya penyerangan terhadap kantor DPP PDI pada tanggal 27 Juli
1996. Walaupun PRD mendukung demokrasi multipartai, namun analisis PRD
tentang krisis politik di Indonesia menempatkan tanggung jawab persoalannya
pada kebijakan-kebijakan Orde Baru yang memihak kapitalisme global dan
kelas pemilik modal. Kosakata politik PRD mengikuti model kiri Marxian,
meski dalam bentuk yang belum tertata rapi. Dan tidak biasanya, pertepatan
dengan penyerangan kantor PDI, dan itu dalam pandangan sejumlah pengamat
dijadikan alasan pemerintah untuk mengkambinghitamkan Peristiwa 27 Juli
kepada PRD. Hari-hari berikutnya setelah Persitiwa 27 Juli, orang-orang
pemerintah menyebut PRD sebagai dalang Peristiwa 27 Juli dan PKI sebagai
tuan PRD. ( Robert W Hefner, 2007 : 308 315 )
1996 merupakan tindakan kekerasaan yang dilakukan DPP PDI Kongres Medan
dan kelompok pendukungnya, bersama dengan aparat keamanan. Hal ini
merupakan peristiwa lanjutan dari urutan kejadian-kejadian sebelumnya yang
bertalian dengan penciptaan konflik terbuka dalam tubuh PDI, di si
pemerintah/aparatur telah melibatkan diri secara berlebihan dan berpihak, serta
di luar proporsi fungsinya sebagai pembina politik dan aparat keamanan.
Sementara dalam laporan Komnas HAM disebutkan bahwa peristiwa kerusuhan
sosial di sekitar jalan Diponegoro, Proklamasi, Salemba, Matraman, Kramat
Raya, Senen terpengaruh oleh efek penggunaan kekerasaan dari peistiswa
pengambialihan gedung sekretariat DPP PDI.
Berbeda jauh dengan laporan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, pemerintah
Orde Baru menuding peristiwa 27 Juli 1996 disebabkan penunggangan unsurunsur PKI dalam mimbar bebas itu. Namun ini tentu saja sangat berbeda dengan
temuan Komnas HAM, yang tidak menyebut sama sekali tentang PKI. Bahkan,
dalam temuan Komnas HAM disebutkan terjadinya perristiwa 27 Juli 1996
karena adanya keterlibatan pemerintah/aparatur untuk memihak salah satu kubu
dalam konflik PDI. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Pangab Jenderal Feisal
Tanjung yang mengatakan bahwa aktivitas mimbar bebas sudah menjurus ke
arah makar dan menyerupai cara-cara yang dilakukan PKI, atau pernyataan
kalangan DPR khususnya Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi
49
Persatuan Pembangunan (FPP) pun ketika itu juga berusaha mendesak ABRI
segera membubarkan mimbar bebas di kantor DPP PDI
Yang
pertama
(menyudutkan
ABRI)
mereka
menuntut
Terus yang ketiga (menyudutkan negara), semua lembaga tinggi negara mereka
jelek-jelekan. Misalnya, dalam kasus Eddy Tansil, Pak Sudomo dan Pak
Sumarlin diserang. Siapa mereka ? Ketua DPA dan Ketua BPK. Lalu dalam
kasus Adi Andoyo, ketua MA juga diserang. DPR juga dianggap tidak berfungsi
. Jadi mereka mendeskreditkan semua lembaga tinggi negara yang ada. Sampai
50
Nah, dari upaya-upaya itu jelas sasaran utama mereka. Apa lagi kalau bukan
mau makar ?
pemerintah
berbohong,
NU
menuntut
supaya
pemerintah
Banyak pengamat menganggap salah satu kesalahan fatal Amien Rais dalam
karir politiknya sebagai ketua Muhamadiyah dan pengeritik Soeharto ketika
Amien mendukung tuduhan pemerintah bahwa orang-orang komunislah yang
berada di belakang kerusahn 27 Juli. Dengan diketemukannya bahan-bahan
peledak, bom-bom Molotov, dan bensin, katanya, menunjukkan bahwa di
sana ada kemungkinan mendestabilisasi negara dalam bentuk yang lebih
bahaya. Lebih lanjut Amien memberi nasihat bahwa Megawati harus
mengambil hikmah dari kasus Peristiwa 27 Juli ini, tapi ia tidak menyebut
pelajaran apa yang harus diambil pemerintah dari kasus ini.
Lebih
52
53
pendukungnya
terancam
kehilangan
kontrak-kontraknya.
merasa yakin bahwa musuh bebuyutannya Adi Sasono, dan dibantu Eggi
Sudjana dari CIDES, telah mengarahkan kampanye dan gerakan untuk melawan
dirinya (Sebuah tuduhan yang tidak bisa saya konfirmasikan ). Pada bulan
September 1996, Andurrachman membantah bahwa dirinya punya hubungan
dekat dengan PRD dan mengatakan bahwa Adi Sasonolah yang memiliki
hubungan dekat dengan PRD. Adi Sasono menolak mentah-mentah tiuduhan
tersebut dan balik menyerang Abdurrachman. Kalau Abdurrachman sangat
jengel dengan kasus 27 Juli, tanya Adi, lalu di mana dia berada waktu kasus
Tanjung Priok yang terjadi pada tahun 1984, di mana banyak orang Islam
terbunuh ? Bukankah setelah kasus Tanjung Priok, Abdurrachman mengajak
orang yang bertanggung jawab terhadap kasus Tanjung Priok, Benny Moerdani
berkeliling ke pondok-pondok pesantren ? Lalu kemana loyalitas Abdurrachman
?
persiapan
untuk
membangun
koalisi
illegal
untuk
terus
Komite
Nasional
Perjuangan
Demokrasi
(KNPD)
kemudian
dideklarasikan .
massa mengambang
yang
selama ini diusung Orde Baru. Untuk itulah, pemerintah Orde Baru
melancarkan serangan langsung terhadap agen utama yang mempromosikan
aksi yaitu PRD. ( Anak Agung Gde Putra, 2012 : 424 426 )
57