Vous êtes sur la page 1sur 57

Peristiwa Sabtu Kelabu

Pasca-peristiwa 1965, pemerintah Orde Baru dan pendukungnya melihat


mobilisasi terbuka yang menjadi kekuatan utama rakyat sebelumnya akan
menjadi hambatan serius ketika ingin mengosolidasikan kekuatan Orde Baru.
Mobilisasi politik yang selalu menjadi kekuatan di masa pemerintahan
Soekarno, oleh pemerintahan Orde Baru dianggap dapat mengancam
kekuasaannya sehingga harus ada upaya untuk mengakhiri secara permanen
segala bentuk mobilisasi terbuka. Untuk itu pemerintah Orde Baru melalui
Seminar Angkatan Darat II pada 1966, membentuk model struktur politik
komando, struktur politik sentralistis, terutama untuk menciptakan trilogi
pembangunan yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan
pembangunan, Bagi pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik dianggap kunci
utama untuk menangani persoalan ekonomi negara.
Untuk mewujudkan stabilitas politik tersebut, maka kemudian juga dimulai
kebijakan untuk merestrukturisasi politik di Indonesia agar dapat mengakhiri
secara permanen segala bentuk politik mobilisasi terbuka. Hal ini dapat
dimaknai sebagai pelarangan atau mengharamkan segala bentuk pergerakan di
Indonesia. Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan massa mengambang.
Untuk menerapkan politik massa mengambang, aparatur negara
memanfaatkan kedudukan dan kekuasaanya dengan menggunakan kebijakan
intimidasi, intervensi, pengawasam, teror dan penindasan, termasuk
penghilangan paksa, diarahkan ke partai atau organisasi massa dan
pimpinannya, yang paling efektif untuk menarik rakyat ke dalam aktivitas,
dengan tujuan untuk mengontrol, mengendalikan, bahkan mendikte aspirasi
masyarakat. Gerakan sosial, politik dan lainnya acapkali dipahami sebagai
ancaman dan dicap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan yang bertujuan
mengganggu stabilitas politik atau bahkan melakukan pemberontakan.
Dalam gagasannya, Ali Moertopo juga merumuskan penyederhanan partai
politik yang akan diterapkan pada pemilu 1976. Rakyat pedesaan, yang pada
1965 1975 merupakan mayoritas penduduk, diarahkan hanya untuk bekerja,
berproduksi, dan tidak memiliki peran dalam politik. Gagasan massa
mengambang itu memaksa rakyat Indonesia pasif dalam berpolitik dan tidak
terikat secara permanen sebagai anggota partai politik mana pun untuk
melancarkan agenda trilogi pembangunan.

Selain itu, untuk melengkapi strategi pengendalian terhadap masyarakat dan


menghilangkan pengaruh politik maka perwakilan kepentingan kelompokkelompok yang ada di masyarakat juga perlu dikendalikan. Maka dari itu, mulai
1971, pemerintah Orde Baru gencar membentuk serikat-serikat dan organisasiorganisasi, dengan basis satu organisasi untuk setiap sektor masyarakat. Semua
organisasi itu tetap dengan ketat ada di tangan pejabat-pejabat yang dipilih oleh
pemerintah Orde Baru, dalam beberapa kasus, para pimpinan organisasi ini
adalah tentara aktif atau purnawirawan. Beberapa pembentukan organisasi baru
tersebut antara lain: Korpri, FBSI (kemudian berubah menjadi SPSI), Kadin,
PWI, MUI, KNPI, HKTI, HSNI dan Kowani. Pendirian berbagai organisasi dan
serikat ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintahan Orde Baru untuk
menyalurkan kepentingan masyarakat dengan cara-cara yang bisa mencegah
ketidakstabilan.

Untuk menjalankan politik massa mengambang maka pemerintah Orde Baru


kemudian membangun struktur politik bayangan dengan membentuk struktur
organisasi territorial TNI-AD menjadi pararel dengan struktur administrasi
birokrasi sipil. Struktur tersebut dibekali dengan otoritas khusus untuk campur
tangan dalam urusan politik. Badan-badan koordinasi khusus

di tingkat

nasional, yang berbasis di markas Angkatan Bersenjata, didirikan untuk


mengkoordinasikan sistem manajemen politik tersebut. Yang pernah dinamakan
Komando Operasi Pemulihan Keamaman dan Ketertiban (Kopkamtib), yang
kemudian seperlunya saja direstrukturisasi dan diganti namanya menjadi Badan
Koordinasi Nasional (Bakorstranas). Pos komando militer ada hampir setiap
tingkatan masyarakat, dengan menempatkan personil di seluruh desa. Struktur
ini bertujuan untuk menjamin bahwa larangan aktivitas politik partai

di

pedesaan dengan ketat dilaksanakan.

Berlangsungnya penghilangan secara sistematis terhadap peranan masyarakat


sipil dalam politik melalui militer dan birokrasi merupakan esensi terpenting
dari kecenderungan politik Orde Baru. Hal ini disebabkan untuk melancarkan
serta tidak terganggunya agenda perekonomian yang dicanangkan pemerintah
Orde Baru pertama kali, yang akhirnya banyak digugat oleh rakyat Indonesia.

Pada awalnya, organisasi yang memiliki keistimewaan untuk memobilisasi


massa hanya diperuntukan untuk mahasiswa saja Melalui bendera Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka diperbolehkan menggalang massa
mahasiswa dalam perannya sebagai sekutu sipil utama Soeharto. Namun,
pemberian keistimewaan tersebut seperti bumerang bagi pemerintahan Orde
Baru. Sejak 1970 hingga 1978, beberapa kali aksi mahasiswa malah mengeritik
kebijakan pemerintah Orde Baru, yang berujung pada peristiwa Malapetaka 15
Januari (Malari) serta penolakan hasil pemilu 1977. Berbagai upaya mobilisasi
yang digalang mahasiswa mampu menggalang keterlibatan dari sektor
masyarakat lain. Untuk memastikan tidak terjadi perluasan keterlibatan
masyarakat akibat aksi mahasiswa, maka pemerintah Orde Baru kemudian
mencabut keistimewaan yang diberikan kepada mahasiswa dengan menerapkan
kebijakan yang disebut Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), sesuai dengan
konsep Ali Moertopo tentang massa mengambang ( Anak Agung Gde Putra,
2012 : 411 415 )

Sejak tahun 1973, Indonesia hanya mengenal sistem satu setengah partai ,
yaitu tiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yang terdiri dari PPP dan PDI
ditambah satu golongan fungsional yaitu Golkar. Meskipun secara hukum
Golkar bukan partai politik, tetapi ia menjalankan seluruh fungsi parpol. Karena
Golkar mendominasi kehidupan kepartaian, bahkan sejak pemilihan umum
mulit-partai tahun 1971 ( Hermawan Sulistyo, 2009 : 186 )

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berdiri pada tanggal 4 Maret 1970. Partai ini
merupakan penggabungan atau fusi dari lima partai politik (parpol), yakni Partai
Nasional Indonesia (PNI), Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pada tanggal 14
Maret 1970 didirikan Partai Persatuan Pembangunan yang terdiri dari NU,
Parmusi, Partai Serikat Islam Indonesia) (PSII) dan Perti ( Persatuan Tarbiyah
Islamiyah )
Secara umum pemfusian membawa dua konsekuensi buruk bagi partai politik.
Pertama posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional
(baca:pemerintah) yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua,
fusi menjadikan parpol sulit menjelaskan secara esensi kehadirannya di hadapan
tata politik nasional yang ada. Kalaupun bisa, kehadiran itu akan selalu
berhubungan dengan keberadaan parpol-parpol yang menjadi unsur fusi dan itu,
bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pemerintah Orba.
Bagi PDI, pemfusian partai membawa sejumlah konsekuensi yang kurang lebih
sama dengan apa yang disampaikan Syamsuddin Harris. Konsekuenasi pertama,
timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Konflik intern
disebabkan oleh dua hal : persaingan antarunsur dan vested interes
antarindividu. Bagi sebagian pengamat, justru konflik antarindividu yang
dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh
PDI. Dan mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur
PNI.
Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar
belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI
kehilangan simbol dirinya. Itu berakibat langsung terhadap performa PDI di
depan massa pemilihnya. Tidak seperti PPP yang mengindentifikasikan dirinya
dengan Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis.
Selain itu, kondisi PDI pascafusi juga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal,
yakni disahkannya UU organisasi sosial politik dan UU Pemilu yang tidak
menguntungkan partai politik termasuk PNI. Kebijakan massa mengambang
yang melarang parpol memiliki satuan di tingkat kecamatan dan desa sehingga

menjadikan PDI lehilangan basis massa pendukung salah satu contoh. ( Arif
Zulkifli, 1996 : 58 59 )
Kebijakan massa mengambang telah dilakukan sejak awal Orba (1970).
Kebijakan ini pada intinya melarang parpol dan Golkar untuk melakukan
aktivitas politik di tingkat desa. Kebijaksanan massa mengambang itu kemudian
dijustifikasi dengan dikeluarkan UU No 3/1975 kemudian diperbaharui dengan
UU No 2/1985.
Ketentuan bahwa organisasi parpol hanya diizinkan aktif sampai tingkat ibu
kota kecamatan menyebabkan parpol kehilangan basis dukungan dari massanya
di desa-desa. Pada awalnya kebijaksanaan ini dimaksudkan untuk untuk
mengeliminasi konflik-konflik politik di desa serta menghapuskan kesan
politik adalah panglima yang pernah ada pada masa Orde Lama. Namun
lama kelamaan kebijakan ini justru menghambat proses perekutan dan atau
kaderisasi parpol. PDI yang terbentuk dari partai yang mengakar di rakyat
banyak, seperti PNI jelas kehilangan basis dukungannya karena kebijakan ini.
Struktur organisasi partai itu terbatas hanya sampai Derah Tingkat I, namun
tetap diizinkan menempatkan komisaris dan pembantu komisaris di tingkat
kecamatan. Hal yang sama ternyata tidak berlaku bagi Golkar. Identifikasi
Golkar dengan birokrasi memudahkan Golkar melakukan kaderisasi sampai ke
aparat pada level terbawah. (Arif Zulkifli, 1996 : 71 72 )
Konflik dalam tubuh PDI muncul segera setelah Kongres I PDI berakhir (1977).
Konflik terjadi antara Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranuwidaja ( ketua umum
dan ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I) melawan Achmad
Sukarmadiidjaja dan Muhidin Nasution (keduanya juga ketua Dewan Pimpinan
Pusat hasil Kongres I). Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di
antara anggota lain.
Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI
untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPR/DPR. Ketika itu Isnaeni terpilih
menjadi wakil ketua MPR/DPR dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun, hal ini
ditentang oleh lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI. Perbedaan pendapat
ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum Sanusi Hardjadinata dan
Usep Ranuwidjaja. Mereka digantikan secara sepihak oleh Mh Isnaeni sebagai
5

ketua umum dan Soenawar Soekawati sebagai ketua Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) dengan cara membentuk DPP Tandingan. Pembentukan DPP Tandingan
ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukamarddjaja. Tentu saja penggantian
dengan membentuk DPP Tandingan ini ditolak oleh Sanusi-Usep dan dianggap
inkonsitusional. Kemelut yang melibatkan sebagaian besar tokoh dari PNI ini
kemudian memecah pengurus PDI lainnya menjadi dua kubu. Pengurus dari
unsur IPKI dan Murba mendukung DPP Peralihan, sedangkan Partai Katolik
dan Parkindo menentangnya.
Setelah konflik berrlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978 tercapailah
kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun rujuk di
antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran pemerintah, dalam hal ini Bakin
(Badan Koordinasi Intelejen Negara) sebagai penengah. Bahkan desas-desus
yang beredar ketka itu menyebutkan bahwa ada peran Soedjono Hoemardhani,
asisten pribadi (Aspri) Presiden, dalam upaya mendamaikan dua kelompok yang
bertikai.
Rujuk tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi Hardjadinata
(ketua umum), Isnaeni, Soenawar Soekawati, Hardjanto, Usep Ranuwidjaja, dan
Abdul Madjid (ketua); Aberson M Silaloho, Adipranoto (wakil sekjen), dan
Notosukardjo (bendahara). Sedang komposisi wakil-wakil dari bekas unsur
politik lain tidak mengalami perubahan.
Namun, penyelesaian oleh pemerintah ternyata lebih merupakan penyelesaian
politis dan bukan organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini
terbukti beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata membebastugaskan
Isnaeni dan Soenawar Soekawati melalui Keputusan Ketua Umum No
003/XI/1979 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas dari
pembebastugasan ini. Isnaeni/Soenawar pun dengan mengatasnamakan wakil
DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menarik Sanusi Hardjadinata
dari kursi ketua umum. Situasi kemudian menjadi tidak menentu. Sampai
akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi mengundurkan diri dari jabatan
ketua umum PDI.
Kemelut mereka sepeninggal Sanusi. Tetapi konflik kemudian menghangat lagi
menjelang Kongres II, Januari 1981. Ketika itu terjadi perbedaan pendapat
6

antara Soenawar/Isnaeni dengan mereka yang menamakan dirinya Kelompok


Empat mengenai pelaksanaan Kongres II. Soenawar dan Isnaeni mendukung
pelaksanaan kongres, sedangkan Kelompok Empat yang terdiri Usep
Ranuwidjaja, Abdul Madjid, Ny D Walandouw, dan Zakaria Raib menolak.
Menurut Kelompok Empat, penyelenggaraan Kongres II tidak sesuai dengan
UU No 3 /1975, AD/ART Partai dan Keputusan Kongres I. Keberatan mereka
adalah karena kongres akan dilangsungkan tanpa didahului pembentukan
Majelis Permusyawaratan Partai dan Dewan Pertimbangan Partai dan itu
bertentangan dengan AD/ART PDI. Selain itu, Kongres II juga dilangsungkan
dengan masih menyebut-nyebut faktor unsur, padahal dalam Kongres I sudah
disebutkan bahwa unsur sudah dianggap tidak ada.
Meskipun Kelompok Empat telah mengajukan keberatan penyelenggaran
Kongres II PDI kepada pemerintah, akhirnya pemerintah tetap mengizinkan
penyelenggaran kongres tersebut. Presiden Soeharto sendiri yang membuka
kongres itu. Kongres II ini kemudian menghasilkan pengurus baru DPP PDI.
Mereka adalah Soenawar Soekawati (ketua umum), Hardjantho Soemodisastro,
A Wenas, Ahmad Sukarmadidjaja, H Muhidin Nasution, Widnjosoemarsono,
dan Isnaeni (ketua), Sabam Sirait (sekjen), serta M.B. Samosir (bendahara).
Perlawanan Kelompok Empat ternyata berbuntut panjang setelah susunan DPP
PDI hasil Kongres II berfungsi. Anggota Kelompok Empat, ditambah dengan
Sulomo dan Santoso Donoseputro, kemudian di recall. Keruan saja mereka
mengajukan protes, namun protes itu tidak digubris
Menjelang Kongres III, konflik kembali muncul. Kali ini yang berseteru adalah
kubu Soenawar Soekowati melawan kubu Hardjantho Soemodisastro. Konflik
berasal dari sebuah pidato Soenawar pada 1985 yang menyebutkan bahwa
negara Indonesia adalah negara sekuler. Pidato ini mendapat reaksi pro dan
kontra dari kalangan PDI dan masyarakat luas. Pernyataan Soenawar ini
kemudian dipakai kubu Hardjantho untuk memukul kubu Soenawar Kebetulan,
ketika itu menjelang Kongres III. Soenawar, ketua umum hasil Kongres II,
menginginkan Kongres III diadakan setelah Pemilu 1987, sementara kubu
Hardjantho menghendakinya sebelum pemilu. Menurut Soenawat sebelum
pemilu sebaiknya hanya diadakan Munas.

Selanjutnya konflik mereda, karena pada Januari 1984 Soenawar Soekowati


meninggal dunia. Kubu Hardjantho merasa mendapat angin, karena kemudian
Kongres III berhasil dilaksanakan sebelum Pemilu 1987. Kongres III ini
dilaksanakan di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta tanggal 15 16 April 1986.
Bursa ketua umum yang beredar ketika itu ialah Gde Djaksa, Soerjadi,
Hardjantho dan Isnaeni. Namun sampai dengan berakhirnya Kongres III tidak
diperoleh kesepakatan mengenai siapa ketua umum PDI periode 1986 1991.
Kongres yang menemui jalan buntu akhirnya menyebabkan pembentukan
kepengurusan DPP PDI diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri yang ketika itu menterinya dijabat Soepardjo
Rustam.
Berdasarkan konsultasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan sejumlah
tokoh PDI, terpilih Soerjadi sebagai ketua umum ketika itu cukup mengejutkan,
karena dia bukanlah tokoh yang dikenal di kalangan PDI. Bahkan isu yang
berkembang ketika itu menyebutkan hanya beberapa hari menjelang kongres
Soerjadi memperoleh kartu anggota PDI. Meskipun demikian, di mata
pemerintah nilai plus Soerjadi adalah bersih dari konflik intern PDI selama ini.
Sehingga diharapkan ia bisa meredam konflik selama masa kepemimpinannya
( Arif Zulkifli, 1996 : 59 64 )
Kongres III PDI yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1986 ternyata
membawa perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tubuh PDI. Dipilihnya
Soerjadi sebagai ketua umum dan Nico Daryanto sebagai sekjen yang tidak lain
merupakan pilihan pemerintah setelah Kongres III PDI tidak mampu memilih
ketua umum di satu pihak meresahkan sejumlah orang, karena dengan
demikian mengekalkan ketergantungan PDI kepada pihak luar (negara), namun
di pihak lain duet Soerjadi-Nico telah membawa sejumlah perubahan besar
dalam tubuh PDI tanpa bermaksud merngesampingkan sejumlah kegagalan
yang dibuat duet itu.
DPP PDI pimpinan Soerjadi yang dibentuk segera setelah duet Soerjadi-Nico
terpilih banyak memunculkan tokoh muda, profesional dan hampir sama sekali
baru dalam kepengurusan PDI. Nama Nico Daryanto, mjisalnya baru muncul
setelah mendapat rekomendasi dari Frans Seda, seorang tokoh Partai Katolik,
8

yang dimintai pendapatnya oleh pemerintah ketika hendak menyusun


keanggotaan DPP. Nico yang ketika diangkat berusia 48 tahun, sebelumnya
ialah direktur PT Pacific Chemical Indonesia (PCI), sebuah perusahaan
patungan Amerika-Indonesia. Nico pernah belajar di Universitas Colorado, AS,
dan pernah menjadi direktur administrasi PT PCI yang berkedudukan di
Singapura dan membawahi anak perusahaan di tujuh negara. Menurut
pengakuan Nico, baru sepuluh hari sebelum Kongres III ia mengenal Soerjadi.
B.N. Marbun, salah seorang ketua PDI, adalah manajer Institut Pendidikan dan
Pembinaan Manajemen (IPPM). Ia lulusan Universitas Sumatera Utara dan
pernah belajar di Jerman Barat. Sukowaluyo, juga salah seorang ketua, adalah
dokter lulusan Universitas Gadjah Mada, kepala Rumah Sakit Mardi Waluyo,
Metro, Lampung. Marcel Beding dan Titi Juliasih, keduanya wakil ketua dan
wakil sekjen, adalah wartawan, Marcel adalah wartawan senior Kompas dan Titi
adalah wartawan mingguan Mutiara.

Dalam perjalanan kepengurusannya DPP PDI pimpinan duet Soerjadi-Nico juga


berhasil merekut sejumlah orang muda yang sebelumnya tidak atau sedikit
dikenal punya basis politik. Laksamana Sukardi, misalnya, bankir yang seharhari bekerja pada kelompok Lippo ini masuk PDI pada tahun 1990. Dua tahun
kemudian ia masuk DPR dari F-PDI setelah terpilih mewakili daerah pemilihan
Jawa Barat. Demikian pula Mangara Siahaan dan Sophan Sophian yang
mewakili kelompok artis. Dari kelompok intelektual, PDI berhasil merekut
Kwik Kian Gie, ekonom dan bekas pengusaha. Kwik Kian Gie-lah yang
kemudian

menjadi

think-tank

PDI

dengan

lembaga

penelitian

dan

pengembangan (litbang) yang dipimpinnya. Ia berhasil melahirkan sejumlah


terobosan dengan, misalnya memperkenalkan UU Persaingan Ekonomi yang
berbicara soal pedagang ekonmi lemah, konglomerat dan ekonoini. Lalu ada
juga Sugeng Sarjadi, salah seorang pemimpin Kodel mantan kader Golkar.

Masuknya anak-anak Soekarno bisa dikatakan merupakan keberhasilan


Soerjadi, mengingat ada kesepakatan di antara keluarga Soekarno, pada tahun
1982, untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, dengan alasan keluarga
Soekarno harus berdiri di atas semua golongan. Keberhasilan Soerjadi ini
memiliki pengaruh besar ketika masa pemilu tiba. Soerjadi berhasil menjadikan
Mega dan Guruh sebagai vote getter untuk meraup suara dari sisa-sisa
simpatisan PNI yang memang mengidolakan Soekarno dan dengan demikian
juga keluarganya.

Setelah berhasil memperbaharui pengurus DPP dan anggotanya DPP PDI di


bawah pimpinan Soerjadi juga melakukan profesionalisasi partai. Ini terlihat
dari dibentuknya divisi litbang dalam struktur kepengurusan PDI. Keberadaan
litbang ini kemudian banyak dimanfaatkan untuk memunculkan isu-isu yang
dapat mempopulerkan PDI di muka masyarakat, seperti dilansirnya UU
Persaingan Ekonomi, seperti yang telah disebutkan di atas, atau Kabinet
Bayangan, dan lain-lain.

Dalam hal identitas partai, PDI mulai berhasil mendefinisikan dirinya.


Meskipun bukan identitas yang permanen dalam arti formal berdasarkan
kesepakatan antar-partai yang berfusi melainkan semata-mata ditujukan untuk
memperjelas diri di depan massa pendukungnya, identitas bari PDI seperti
partai anak muda, partai metal, partai wong cilik berhasil memberi kesan
kepada masyarakat bahwa PDI adalah partai alternatif, Ini terlihat dalam setiap
kampanye PDI, terutama di DKI, yang selalu marak ketimbang kampanyer OPP
( organisasi peserta pemilu ) lain.

10

Identitas PDI sebagai partai orang-orang tersingkir juga tampak dari target
group yang dicanangkan PDI pada Pemilu 1992 lalu. Menurut Soerjadi tarhet
group itu ialah (1) lapisan masyarakat miskin dan papa, bukan janya dalam
artian kemiskinan dan kepapaan ekonomis, melainkan juga kemiskinan dan
kepapan non-ekonomis; (2) kaum wanita (3) generasi muda, baik pemuda,
pelajar maupun mahasiswa;(4) kelompok intelektual, dan (5) kelompok
masyarakat usia lanjut (manula)

Menguatnya identitas partai ini diikuti pula oleh dikembangkan sikap kritis PDI
baik terhadap pemerintah maupun sistim politik secara keseluruhaan. Setelah
Pemilu 1992 berakhir misalnya, PDI pernah menolak hasil pemilu dan
menganggapnya tidak sah karena banyak kecurangan. Soerjadi mengemukakan
bahwa banyak pelajar sekolah yang diteror, saksi PDI dihalang-halangi dan
adanya orang yang mencoblos beberapa kali. Meskipun akhirnya PDI mau
mendatangani hasil pemilu, tak urung protes itu mendapat kecaman dari Menko
Polkam, ketika itu Sudomo. Menurut Sudomo, sikap PDI itu merupakan usaha
untuk menggagalkan pemilu.

PDI pernah menggugat TAP MPR No. 3./ 1988 tentang pemilu. Dalam Sidang
Umum MPR 1992 PDI menggugat ketetapan itu dengan mengusulkan agar
pemilu diadakan pada hari libur. Usulan F-PDI itu tentu saja ditolak oleh tiga
fraksi pemerintah : G-ABRI, F-KP, dan F-UD (Utusan Daerah) yang kemudian
disusul oleh F-PPP. Penolakan fraksi pemerintah itu bisa dipahami mengingat
basis dukungan Golkar adalah pegawai negeri sehingga jika pemilu
dilaksanakan pada hari kerja kontrol terhadap dukungan pegawai negeri akan
mudah dilakukan. Meskipun akhirnya ditolak, gugatan PDI itu sempat menarik
perhatian masyarakat mengingat usulan itu menyebabkan F-PDI melakukan
11

interupsi pada SU MPR 1992, sesuatu yang seolah diharamkan dilakukan


ketika itu.

PDI juga masuk ke dalam isu sensitif calon presiden. Dalam kampanye pemilu
1992, PDI mengembangkan isu perubahan dengan memunculkan isu
pembatasan masa jabatan presiden. Ketika itu Soerjadi mengatakan bahwa masa
jabatan presiden terpilih dari SU MPR haruslah dibatasi menjadi hanya dua kali.
Pernyatan Soerjadi ini sempat mendapat tanggapan dari presiden yang
mengatakan bahwa ada usaha pengebirian UUD 1945. Namun

Soerjadi

berkelit. Menurutnya, ia tidak mengebiri UUD 1945, tapi memberi interprestasi


terhadap UUD 1945.

Mengenai isu calon presiden PDI juga pernah menjagokan kader-kadernya


untuk menjadi calon presiden. Guruh Soekarnoputra, misalnya, pernah
mencalonkan diri menjadi presiden. Sementara Soerjadi sendiri pernah
dicalonkan oleh massa PDI. Yahya Nasution, seorang tokoh senior PDI, pernah
menjagokan Rudini, ketika itu menjabat menteri dalam negeri, sebagai calon
presiden. Isu untuk memilih presiden selain Soeharto pernah menjadi isu sentral
dalam kampanye-kampanye PDI pada tahun 1992. Dalam sejumlah kampanye,
baik Soerjadi maupun juru kampanye PDI

Semua itu tentu saja memperkuat kesan di kalangan pemilih bahwa PDI
merupakan partai alternatif. Namun, janji-janji PDI sebagai partai alternatif
kemudian banyak dilanggar pada saat SU MPR 1992. Terhadap isu pembatasan
masa jabatan presiden, misalnya, PDI akhirnya menerima Soeharto sebagai
presiden RI periode 1992 1997 setelah sebelumnya bertahan untuk tidak

12

mengeluarkan pernyatan resmi mendukung Soeharto sementara hal itu sudah


dilakukan oleh keempat fraksi lain yang ada di MPR.

Ketidakkonsistenan PDI kemudian mengundang protes dari masyarakat yang


merasa tertipu dengan janji-janji PDI pada saat kampanye. Sejumlah mahasiswa
berdemontrasi di muka Wisma Kopo, Bogor, tempat penggodogan calon
presiden versi PDI dilakukan. Mereka menuding PDI telah bohong dengan
menyebarkan janji-janji muluk tentang calon presiden alternatif. Sophan
Sophian mengenakan pita hitam di lengan selama SU MPR 1992 sebagai tanda
berduka cita atas inkonsistensi PDI.

Keberhasilan PDI membenahi partai dan keberanian melontar isu-isu sensistif


meskipun kelak tidak menempati janji-janjinya ternyata menyebabkan
kenaikan perolehan suara PDI pada Pemilu 1987 dan 1992. kursi dan tahun
1992, PDI memperoleh 56 kursi.

Keberhasilan DPP-PDI Soerjadi mendongkrak perolehan suara pada Pemilu


1987 dan 1992, bukan berarti DPP ini sepi dari konflik. Sebagian dari tokohtokoh tua PDI banyak menyatakan ketidaksukaan terhadap DPP pimpinan
Soerjadi. Menurut mereka PDI terlalu dekat dengan kekuasaan. Sementara yang
lain menilai manajemen yang diterapkan Soerjadi laksana seorang manajer
mengurus ekspedisi muatan kapal laut, padahal mengurus partai lain dengan
mengurus barang. Yang lainnya lagi menilai bahwa prinsip musyawarah dan
mufakat belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Soerjadi.

13

Sejalan dengan kritik kalangan tua PDI itu, hanya setengah tahun setelah
Kongres III PDI berakhir muncul kasus Dewan Pimpinan Cabang (DPC)
Tandingan di Bandung.

Kasus ini

bermula

dari diangkatnya Dado

Gandamihardja sebagai pejabat ketua DPC PDI Bandung pada bulan Agustus
1986 Padahal ketua DPC Kodya Bandung waktu itu, Tarwia Sutendi, belum
diberhentikan atau dipecat. Dalih DPP untuk mengangkat Dodo Gandamihardja
adalah reorganisasi dan restukturisasi PDI Bandung. Tarwia sendiri menilai
tindakan DPP itu sewenang-wenang.

Ia kemudian berhasil menghimpun 72 tokoh PDI Bandung dan mengirimkan


surat protes kepada DPP pada tanggal 1 Oktober 1986. Sebagai jawaban atas
surat protes itu Tarwia kemudian dipecat dari PDI. Lalu, bersama 16
Komisariat, Tarwia pun mendirikan Sekretariat Bersama yang sebetulnya,
meskipun disangkal oleh Tarwia, adalah DPC Tandingan. Konflik itu kemudian
berakhir dengan hengkangnya 26.328 orang warga PDI Bandung ke Golkar.

Konflik lain yang merebak pada masa kepemimpinan Soerjadi adalah


pembangkangan tiga orang anggota F-PDI di DPR terhadap keputusan DPP No
059/1986. Keputusan DPP itu intinya berisi pembatasan masa jabatan warga
PDI yang duduk sebagai anggota DPR F-PDI hanya dua kali masa jabatan.
Menurut Nico Daryanto, pembatasan itu tidak hanya memberi peluang
peremajaan tapi juga membawa efek yang lebih penting, yakni mereka yang
sudah dua kali duduk di DPR memiliki pengalaman lebih bisa dibawa untuk
partai. Artinya setelah sepuluh tahun menjadi anggota DPR, mereka dapat
kembali menjadi pengurus partai.

14

Keputusan DPP ini ternyata kemudian tidak dituruti oleh tiga orang anggota FPDI. Mereka adalah Kemas Fachruddin (ketua DPP PDI Sumatera Selatan0, FC
Paloensuka (ketua DPD PDI Kalimantan Barat) dan Ahmad Soebagio (tokoh
PDI dari Jawa Tengah). Menurut mereka, secara konsitusional pencalonan
mereka sebagai anggota DPR tetap sah, karena mereka dicalonkan oleh
musyawarah cabang dan DPP PDI. Kasus ini, kemudian berakhir ironis, karena
kemudian DPP tidak jadi menarik ketiga anggota F-PDI yang membangkang.
Bagi sebagaian pengamat, kenyataan ini membuktikan inkonsistensi dan
ketiadaan otonomi dalam tubuh PDI.

Konflik lain yang kemudian meninggalkan fraksinasi permasalahan dalam


tubuh PDI adalah ketika Nico Daryanto, sebagai ketua F-PDI menghendaki
pendidikan agama dihapuskan dari kurikulum pendidikan formal. Menurut
Nico, pendidikan agama sebaiknya diberikan oleh keluarga dan organisasiorganisasi keagamaan, tidak perlu lewat pendidikan formal di sekolah-sekolah.
Usulan itu, masih menurut Nico, tidak berarti PDI sekuler, namun karena PDI
semata-mata menganggap bahwa dalam pendidikan formal

sengat penting

diberikan hal-hal yang menyatukan, sehingga memperluas persatuan dan


kesatuan bangsa.

Konsep Nico Daryanto itu sebenarnya belum merupakan pendapat resmi PDI,
karena tidak semua anggota F-PDI menerimanya. Badan Pekerja (BP) MPR
juga konsep itu. Namun, karena konsep Nico Daryanto dimaksukan sebagai
bahan masukan untuk BP MPR guna menyiapkan rancangan GBHN dan
rancangan TAP MPR, maka 17 orang anggota DPR/MPR anggota F-PDI
melancarkan protes itulah mereka kemudian dikenal masyarakat sebagai
Kelompok 17. Mereka menilai konsep Nico bertentangan dengan Pasal 29 UUD
1945 dan dapat menciptakan keresahan, karena menyangkut masalah agama
yang sangat peka.
15

Persoalan konsep Nico tenyata hanyalah entry point bagi kelompok 17 untuk
menyerang DPP PDI pimpinan Soerjadi. Ini terbukti, pada tanggal 9 Desember
1987. Kelompok 17 mengirim pernyataan yang isinya menghendaki Nico
Daryanto mengundurkan diri dari jabatan sekjen. Kemudian disusul dengan
pernyataan dukungan kepada Sudharmono sebagai wakil presiden dalam SU
MPR 1988, mendahului F-PDI. Keadaan ini menjadikan F-PDI semakin
terpojok.

Sepak terjang Kelompok 17 itu dibalas dengan memecat delapan orang anggota
Kelompok 17 dengan tuduhan akan melakukan kudeta terhadap DPP yang sah.
Kedelapan tokoh yang dipecat melalui SK 121/1988 itu ialah Dudy Singadilaga
( ketua DPP PDI Jawa Barat); Marsoesi (ketua DPP PDI Jawa Timur); H Kemas
Fachruddin (ketua DPP PDI Sumatera Selatan); FC Paloensuka (ketua DPP PDI
Kalimantan Selatan); H Teuki Thaib Ali ( ketua DPP PDI DI Aceh); M Darwis
(wakil ketua DPP PDI Bengkulu ); Suparman Adiwidjaja (wakil ketua DPD PDI
Jawa Barat)

Mereka diperlakukan tidak adil, kedelapan orang yang dipecat tersebut


membuat susunan DPP Tandingan yang terdiri atas Dudy Singadilaga sebagai
ketua umum, Marsoesi sekjen dan Jusuf Merukh wakil ketua umum. Sementara
beberapa tokoh yang dipecat lainnya menyatakan tidak akan mematuhi SK 121
tersebut.

Perlawanan Kelompok 17 terus bergulir. Pada tanggal 14 Desember 1989 terjadi


pendudukan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 56 Jakarta Pusat oleh orang16

orang Dudy Singadilaga selama tujuh jam. Meskipun bisa diakhiri, peristiwa ini
menandai puncak perseteruan kelompok Soerjadi-Nico dengan Kelompok 17
( Arif Zulkifli, 1996 : 73 85 )

Kongres IV di Wisma Haji Pangkalan Mansyur, Medan, tanggal 21 25 Juli


1993 membuktikan kebenaran spekulasi banyak pengamat bahwa Soerjadi akan
tergusur. Menjelang Kongres IV, dukungan terhadap Soerjadi untuk memimpin
kembali PDI masih dominan. Mayoritas DPD masih menginginkan Soerjadi
sebagai ketua umum. Sekitar 80 % suara peserta kongres sudah berada di tangan
Soerjadi. Dukungan tersebut bisa dianggap wajar mengingat sebagian besar
pemimpin DPD ketika itu adalah mereka yang diangkat ketika Soerjadi
memimpin PDI (1986 1993). Isyarat itu dikemukakannya ketika ia menolak
dukungan sebagian warga PDI agar ia bersedia dicalonkan sebagai presiden.
Selain itu, Soerjadi menilai, untuk bisa menuntaskan fusi ia membutuhkan
waktu satu periode kepemimpinan lagi.

Soerjadi bukan tanpa saingan. Tidak kurang lima tokoh PDI lainnya
meramaikan bursa pemilihan setidaknya sampai menjelang Kongres IV
berlangsung. Mereka ialah, Aberson M Silaloho, Budi Hardjono, Tarto Sydiro,
Ismunandar, dan Soetardjo Soerjogoeritno. Meskipun ada enam kandidat yang
akan bertanding memperebutkan kursi ketua umum, pada kenyatannya
perebutan ketua umum lebih menjadi ajang untuk menggolkan Soerjadi atau
bukan Soerjadi. Mereka yang menghendaki Soerjadi

beranggapan bahwa

prestasi Soerjadi mendongkrak suara pada dua kali pemilu merupakan prestasi
yang membuktikan Soerjadi masih mampu memimpin PDI untuk periode
berikutnya. Sementara yang menolak adalah mereka yang menganggap Soerjadi
sumber perpecahan dan pemimpin yang tidak demokratis. Kelompok ini
17

umumnya didukung oleh Kelompok 17 dan DPP Peralihan serta beberapa


lainnya yang pernah menderita karena kebijakan Soerjadi.

Beberapa minggu menjelang kongres dukungan terhadap Soerjadi cukup


dominan, tetapi memasuki hari-hari awal kongres keadaan berbalik. Beberapa
cabang yang mendukung Soerjadi tiba-tiba berbalik menjadi penentangnya.
Perubahan secara tiba-tiba ini terjadi setelah ada isyarat yang mulai terbuka dari
pemerintah dan militer bahwa mereka tidak lagi menghendaki Soerjadi. Isyarat
itu datang misalnya, dari Panglima ABRI dan kemudian diikuti oleh beberapa
perwira tinggi ABRI lainnya. Menurut Pangab, Menurut Pangab Jenderal Feisal
Tanjung, warga PDI sebaiknya tidak memilih pemimpin yang cacat hukum.
Pernyataan itu mengacu pada keterlibatan Soerjadi dalam kasus penculikan dua
orang pemuda PDI.

Mereka yang mula-mula mendukung Soerjadi lalu menjadi penentangnya,


misalnya, Latief Pudjosakti Ketua DPP PDI Jawa Timur. Sebelumnya iia
pendukung setia Soerjadi, bahkan pernah berencana menggalang warga PDI
Jawa Timur untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung Soerjadi. Namun,
belakangan ia berkelit dengan mengatakan bahwa dukungannya terhadap
Soerjadi itu bersifat luwes. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemimpin PDI
Jawa Tengah. Pemerintah setelah secara terang-terangan menolak Soerjadi,
diam-diam mendukung Budi Hardjono. Meskipun tidak terus terang, ABRI
berpihak pada Budi karena dinilai lebih mampu.

Hari pertama kongres, sidang diganggu dengan masuknya sejumlah orang DPP
Peralihan dan Kelompok 17 ke ruang sidang. Mereka mendobrak pintu dan
menganggap sidang tidak sah, karena mereka tidak diikutsertakan dalam
18

kongres. Suasana keruh berhasil ditangani setelah aparat keamanan masuk ke


ruang sidang. Hari kedua, kongres berjalan lancar. Namun, lamcarnya sidang
itu ternyata dimanfaatkan kelompok Soerjadi guna mengesahkan kepemimpinan
Soerjadi untuk masa bakti berikutnya. Seharusnya acara pemilihan ketua umum
dilaksanakan keesokan harinya. Keadaan ini tentu saja membuat marah
kelompok DPP Peralihan dan mereka yang tidak senang pada Soerjadi. Maka,
keesokan harinya sejumlah orang DPP Peralihan yang dipimpin oleh Jacob
Nuwa Wea mendobrak Wisma Haji Pangkalan Mansyur Medan. Sidang menjadi
kacau, bahkan sempat terjadi baku hantam antar peserta kongres.

Pendudukan arena kongres ini berlanjut terus sampai akhir kongres, 25 Juli
1993. Panitia berusaha menghubungi pihak keamanan dan pemerintah, namun
tampaknya pemerintah memang menghendaki kongres buntu. Hal ini juga
terlihat dari tidak adanya seorang pejabat resmi pun yang berniat menutup
secara resmi Kongres PDI itu sesuatu yang diharapkan kubu Soerjadi, karena
dengan demikian mensahkan proses pemilihan Soerjadi pada hari kedua.
Akhirnya kongres ditutup dengan pernyataan resmi Nico Daryanto, sekjen PDI
yang menjabat ketua panitia. Menurut, Nico semua hasil kongres adalah sah.

Sementarta itu untuk mengisi kepemimpinan PDI yang kosong melalui Menteri
Dalam Negeri, pemerintah mengusulkan agar dibentuk caretaker, lembaga
perantara yang mengurus segala keperluan PDI selama masa vakum. Usulan
untuk membentuk caretaker ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Mereka
yang kontra adalah kubu Soerjadi, yang memandang semua keputusan kongres
Medan adalah sah. Sementara mereka yang pro adalah pemerintah dan
kelompok-kelompok lain yang dirugikan oleh keputusan kongres Medan.

Proses pembentukan caretaker pun akhirnya tidak bisa terhindar dari


kekeruhan. Dalam rapat pembentukan formatur itu yang dipimpin oleh Latief
19

Pudjosakti, ketua DPP PDFI Jawa Timur faktor kepentingan unsur-kelompok


yang berseteru sangat menentukan pembentukan lembaga itu, Ketua DPP PDI
Kalimantan Selatan, Afwandi Masoed, misalnya, tidak berhasil mewakili
daerahnya untuk menghadiri rapat pembentukan formatur, Ia digeser oleh
wakilnya, Anang Khairin Noor, karena faktor kepentingan tadi.

Bahkan

disinyalir oleh media massa, peoses pembentukan formatur pun diwarnai oleh
penyuapan.

Rapat formatut dua hari, 25 27 Agustus 1993, akhirnya memutuskan susunan


resmi carekater sebagai berikut; Latief Pudjosakti sebagai ketua umum; H
Ismunandar sebagai sekretaris jenderal dan Markus Wauran sebagai Bendahara.
Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, Kwik Kian Gie, H Abdul Gani,
Joerjen Soempiet, I Gusti Ngurah Sara, Moh Amin dan Edwin Soekawati
sebagai ketua.

Pembentukan caretaker ini menandakan kekalahan kubu

Soerjadi karena dari 23 personel, tak satu pun datang dari kubu Soerjadi.
Sementara Kwik Kian Gie, yang selama Kongres IV tampak menunjukkan sikap
tidak berpihak, didudukkan sebagai salah seorang ketua caretaker ( Arif
Zulkifli, 1996 : 87 93 )

Komposisi kandidat ketua umum pada Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya
pada 2 6 Desember 1993 pun bergeser. Secara tidak disangka muncul nama
Megawati Soekarnoputri, Mega yang selama Kongres IV Medan tidak terdengar
suaranya, merndadak muncul setelah pertama kali diusulkan oleh PDI cabang
Solo. Selanjutnya, dukungan terhadap Mega semakin banyak. Dukungan datang
dari berbagai cabang tidak kurang 100 fungsionaris dari 70 DPC menyatakan
dukungan terhadap Mega sekitar empat bulan sebelum KLB berlangsung serta
dari keluarga Bung Karno dan aktivis LSM, seperti Adnan Buyung Nasution,
20

bahkan juga dari partai politik seperti PPP. Tokoh PPP Sri Bintang Pamungkas
secara tegas menyatakan mendukung Mega.

Mega sendiri sebetulnya orang baru dalam pentas politik. Ia masuk PDI pada
tahun 1987 setelah diajak oleh Soerjadi, ketua PDI kala itu. Anak kedua
Presiden Soekarno dari ibu Fatmawati lahir pada 23 Januari 1947 dan banyak
menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Istana. Ketika muda ia sempat aktif
di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), sebuah organisasi onderbouw PNI. Ia sempat kuliah di Fakultas Pertanian Padjajaran Bandung dan
Fakultas Psikologi UI, namun kedua-duanya tidak diselesaikannya. Pada tahun
1987 Mega masuk PDI bersama suaminya, Taufik Kiemas. Sebagai orang
baru di kalangan PDI, Mega bersih dari konflik. Ketika konflik Soerjadi vs
Kelompok 17 dan DPP Peralihan merebak, nama Mega tidak pernah disebutsebut. Begitu pula dalam konflik-konflik sebelumnya.

Mengapa dukungan kepada Mega begitu besar?.

Banyak spekulasi dari

pengamat untuk menjawab hal ini. Sebagian pengamat, misalnya, menjawab


bahwa dukungan terhadap Mega muncul karena kehadiran Mega diharapkan
akan memperkuat realigment (penjejaran kembali) PDI terhadap Golkar sebagai
partai pemerintah. Hilangnya suara Golkar di beberapa daerah dan naiknya
suara PDI di daerah tertentu pada Pemilu 1987 dan 1992 menunjukkan
realigment itu mengingat sejumlah pemilih Golkar bukan memilih karena hati
nurani melainkan karena sebab-sebab tertentu diluar dirinya. Selain itu, Mega
muncul dalam sosok yang bebas konflik yang sudah sangat menjemukan bagi
warga PDI. Naiknya Mega memimpin PDI diharapkan akan mengakhiri konflik
dalam PDI.

21

Meskipun didukung secara luas, kenyatannya ada keberatan dari formasiformasi tertentu dalam negara terhadap Mega. Alasan keberatan tersebut di
antaranya karena Mega anak Soekarno dan dikhawatirkan akan membawa
ideologi Marhaen PNI. Usaha mengurangi dukungan kepada Mega bermula dari
halangan-halangannya sejumlah pendukung Mega mengikuti KLB dan
digantikan oleh mereka yang tidak mendukung Mega. Di cabang Jakarta Timur,
misalnya, dari tuga orang pendukung Mega, dua di antaranya didepak dari calon
utusan. Mereka adalah Tarmidji Suhardjo, Azis Boeang, dan Subur Budiman.
Lalu, yang diizinkan Alex Asmasoiebrata, ketua DPP PDI Jakarta, yakni
Tarmidji dan Jakob Nuwa Wea. Hal serupa juga terjadi pada cabang-cabang
lain.

Mega sendiri mendapat sejumlah kesulitan untuk ikut KLB. Ia pernah tidak
diberi mandat mengikuti kongres oleh DPD DKI Jakarta dengan alasan masih
ber-KTP Jakarta Pusat sedangkan ia utusan dari Jakarta Selatan. Mandat
akhirnya keluar beberapa jam sebelum KLB dilaksanakan.

Calon lain adalah Budi Hardjono. Calon ini dikenal luas sebagai tokoh yang
mendapat restu dari pemerintah Ia adalah tokoh GSNI (Gerakan Siswa Nasional
Indonesia) dan GMNI ( Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ) Dalam bidang
politik, Budi masuk DPR pada tahun 1987. Ia termasuk tokoh yang cukup vokal
di DPR. Selain Budi, calon yang lainnya ialah Ismunandar. Namun, nama
Ismunandar tidak terlalu laku pada KLB PDI. Jal yang sama juga terjadi pada
Soetardjo

Soerjogoeritno. Kandidat lain adalah Aberson Marle Silaloho.

Namun, ketika KLB berlangsung, ia memilih mundur dan menyatakan


mendukung Megawati.

22

Sidang KLB PDI, dimulai tanggal 2 Desember 1993. Pembahasan mengenai


tata cara pemilihan ketua umum merupakan hal yang krusial. Ada yang
menghendaki sistem formatur sebagai cara pemilihan, sementara sebagian
peserta menghendaki voting. Dalam pandangan umum terlihat dukungan
terhadap Mega semakin besar. Sebanyak 226 DPC mendukung Mega, 33 DPC
mendukung Budi Hardjono dan 13 DPC mendukung Soetardjo Soerjogoeritno.

Hari Keempat, 5 Desember 1993, masalah tata cara pemilihan ketua umum
dilanjutkan. Penetapan personel Komisi Organisasi yang bertugas mengatur tata
cara pemilihan ketua umum, menunjukkan pertarungan kepentingan di antara
kelompok-kelompok dalam KLB. Pada beberapa cabang lain soal gesermenggeser ini menyebabkan baku-pukul antar peserta. Penetapan ketua sidang
Komisi Organisasi juga menjadi problem. Caretaker memaksakan Latief
Pudjosakti, sedang peserta kongres menolaknya. Akhirnya ditetapkan Sardjito
Dharsoeki sebagai ketua sidang. Sidang hari keempat ini tidak membawa hasil
apa-apa dan tidak ada kesepakatan mengenai tata cara pemilihan.

Sepanjang hari kelima, 4 Desember 1993, tidak ada sidang. Menghadapi situasi
tak menentu ini 27 ketua DPD berkumpul dan membuat beberapa kesepakatan.
Pertama, mendukung Mega sebagai ketua umum periode 1993 1998. Kedua,
menjadikan ketua DPD sebagai formatur yang akan menentukan susunan DPP;
Ketiga, tidak akan menyerahkan penyelesaian kongres kepada pemerintah, dan
keempat, memberi waktu sampai pukul 20.00 WIB kepada caretaker untuk
melaksanakan Sidang Paripurna.

Sampai akhir pukul 24.00 WIB keadaan kongres masih tak menentu. Maka pada
pukul 23.56 WIB dihadapan massa pendukungnya Mega menyatakan bahwa ia
23

adalah ketua umum PDI secara de facto sedang secara de jure belum. Ia juga
meminta peserta kongres untuk tenang dan pulang ke daerahnya masingmasing. Tepat pukul 24.00 WOB kongres dibubarkan pihak keamanan karena
izin kongres memang hanya sampai pukul 24.00 tanggal 6 Desember 1993.
( Arif Zukifli, 1996 : 93 98 )

Setelah KLB berakhir, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang banyak


berperan. Ia memanggil masing-masing kubu yang bertikai; kelompok Mega,
caretaker, Kelompok 17, dan DPP Peralihan (Setelah KLB, Kelompok 17 dan
DPP Peralihan lalu mengubah nama menjadi Kelompok Persatuan dan
Kesatuan, KPK), Dalam pertemuan dengan Mega, Mendagri memberi isyarat
bahwa Mega akan dapat memimpin PDI, meskipun dengan syarat melalui
sebuah pertemuan resmi berupa musyawarah nasional (Munas).

Musyawarah Nasional PDI pun diadakan pada tanggal 22 23 Desember 1993.


Bagian sebagian pengamat, sebetulnya Munas ini hanya menjadi ajang ketuk
palu untuk mengesahkan Mega, meskipun karena sebelumnya beberapa
menteri, tokoh Golkar, termasuk Panglima ABRI, menyatakan tidak keberatan
terhadap Mega. Bahkan ideologi Marhaenisme yang sempat dikhawatirkan akan
dibawa Mega ke dalam PDI, setelah KLB tidak lagi terlihat Kaspuspen ABRI
ketika itu, Mayjen Syarwan Hamid, menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut
tidak perlu ada karena ideologi kita saat ini hanyalah Pancasila. Selain itu,
pendekatan Mega terhadap beberapa tokoh nasional banyak dianggap sebagai
upaya Mega mengakhiri ketegangan antara dirinya dengan suprastruktur.

Sebetulnya rencana pelaksanaan Munas tidaklah sepenuhnya berjalan mulus.


Ganjalan dari caretaker masih nampak misalnya, dari bertahtanya caretaker
24

agar Munas dilasanakan di Wisma Kopo, Bogor sementara DPD menghendaki


dilaksanakan di Jakarta. Ketika itu caretaker bahkan sempat mengirimkan surat
undangan bernomor 137.CT-DPP/IN/1993 kepada semua DPD agar datang ke
Munas yang dilaksanakan di Bogor, namun surat ini tidak diperhatikan oleh
DPD. Keputusan melaksanakan Munas di Jakarta baru bisa terlaksana setelah
Direktur A Bais Brigjen Agum Gumelar dan Asintel Kodam Jaya Kol. Zacky
Anwar berembuk dengan caretaker dan Megawati, selain ada pertemuan antara
Pangdam Jaya, Hendroprijono dengan Mendagri.

Soal perutusan DPD juga dipermasalahkan oleh caretaker. Menurut kesepakatan


DPD se-Indonesia ketika itu, utusan DPD ke Munas adalah ketua dan sekretaris
DPD. Tetapi kesepakatan itu ditolak oleh caretaker dengan mengatakan bahwa
utusan DPD bisa saja kader PDI di daerah. Selain itu, caretaker juga
menetapkan akan me-litsus (penelitian khusus) semua calon peserta Munas
meskipun peserta itu sudah mengantongi mandat dari DPD.

Munas akhirnya dilaksanakan di Hotel Garden, Jakarta. Pada hari pertama,


Mega terpilih menjadi ketua umum PDI. Yang kemudian menjadi masalah ialah
susunan DPP. Penyusunan pengurus DPD menjadi sulit karena kelompokkelompok yang berseteru menghendaki posisi dalam DPP. Untuk menyusun
DPP dibentuklah tim formatur yang terdiri dari lima utusan DPD dan tiga
anggota mantan caretaker.

Penyusunan DPD ini menjadi alot karena ada tarik-menarik kepentingan antara
kubu Mega dan kubu caretaker, Misalnya Mega menghendaki Sekjen dijabat
YB Wiyandjono, sedangkan caretaker menghendaki Ismunandar. Tarik menarik
juga terjadi karena DPD sebelumnya jabatan sekjen selalu dipegang oleh tokoh
25

dari unsur Parkindo atau Partai Katolik. Akhirnya setelah melalui perdebatan
sengit susunan DPP PDI pun terbentuk. Megawati Soekarnoputri sebagai ketua
umum, dengan dibantu 14 ketua ( Soetardjo Soerjogoritno, Ismunandar, Fatimah
Achmad, Kwik Kian Gie, Gerry Mbatemoy, K.H. Cholid, Panangian Siregar,
Subagio, Slamet Mulyadi, Yahya Theo, Abdul Gani, I Gusti Ngurah Sara,
Mangara Siahaan dan Suparlan); Alexander Litay sebagai sekjen dan dibantu 5
wakil sekjen ( Syafei Ali Gumay, Andi Chaerul Muis M, Haryanto Taslam,
Ratna Purnami dan Edy Junaedy), dan Laksamana Sujardi sebagai Bendahara,
dengan dibantu 6 wakil bendahara (Mulyono Soetarmo, Neneng Alamia
Asmasoebrata, Untung Sutomo, Novianti Nasution, FX Urip Sujud dan Edwin
Soekowati.

Susunan DPP itu dengan jelas menunjukkan rekonsiliasi di antara kelompok


yang bertikai. Beberapa orang Mega, seperti Aberson M Sihaholo dan Sophan
Sophian tidak masuk dalam susunan DPP. Namun beberapa lainnya seperti
Mangara Siahaan, I Gusti Ngurah Sara, Syafei Ali Gumai, masuk. Dari
caretaker tokoh seperti Budi Hardjono serta Latierf Pudjosakti tersingkir. Tetapi
tokoh muda caretaker seperti Ismunandar, Neneng Alamia Asmasoebrata dan
Yahya Theo mendapat tempat di dalamnya. (Arif Zulkifli, 1996 : 98 102 )

Soerjadi didongkel sudah jelas alasannya karena ia melawan Soeharto dan


menyrang bisnis keluarganya. Sekarang Mega ingin dijegal. Jegalan terhadap
Megawati sudah dimulai jauh-jauh hari. DPD PDI Jawa Timur dibuat terus
bermasalah tanpa ada penyelesaian. Jegalan terhadap Megawati diteruskan
dengan dibiarkan Jusuf Merukh mendirikan DPP PDI Reshuffle dan diberikanya
lampu hujau kepada Kelompok Persaudaraan dan Kesatuan DPP PDI di bawah

26

Gerry Mbatemoy dan Edwin Sukowati untuk menyelenggarakan KLB (Kongres


Luar Biasa)

Rongrongan terhadap Megawati terus terjadi ketika DPP PDI Tandingan


dibiarkan pemerintah mengadakan rapat pimpinan di Jakarta, bahkan dipinjami
mobil berplat merah dan didukung peserta dari Golkar. Rapim ini gagal karena
diserbu pendukung Megawati. Rorongan paling kasar terjadi ketika Taufik
Kiemas, suami Megawati, diisukan tersangkut peristiwa G30-S sebuah stigma
politik yang biasanya efektif untuk membungkam lawan politik.

Namun goyangan itu tak mampu menjungkalkan Megawati. Tokoh-tokoh


seperti Latief Pudjosakti, Yusuf Merukh, Gerry Mbatemboy dan Edwin
Sukowati, teranyata tak mampu menandingi populeritas Megawati hingga sulit
memperoleh dukungan partai. Di tengah kebuntuan ini ditemukanlah Soerjadi.
Bukankah Soerjadi masih punya banyak orang di PDI baik di cabang-cabang,
daerah-daerah dan bahkan di DPP. Dengan demikian hanyalah Soerjadilah yang
mampu menjatuhkan Megawati. Tapi masalahnya Soerjadi dulu pernah dihajar
habis-habisan. Apakah Soerjadi masih bersedia membantu pemerintah
mendongkel Megawati ?

Ternyata Soerjadi bersedia. Enam belas dari 27 pengurus DPP PDI ikut
bersamanya. Soerjadi kembali menghubungi orang-orangnya di cabang-cabang
dan daerah-daerah. Meskipun tidak sepenuhnya berhasil tapi ia masih bisa
mengumpulkan cukup orang di tambah pengurus-pengurus cabang dan daerah
yang berhasil ditekan aparat.

27

Tinggal setahun lagi pemilu dan setelah itu SU MPR. Megawati harus segera
didongkel. Maka tak heran jika gerakan ini begitu cepat dan terang-terangan.
Kongres PDI versi Soerjadi pun digelar di Medan 20 24 Juni 1996. Kongres
dibuka Merndagri Yogie S Memed. Tersiar kabar di Jakarta, bahwa para
konglomerat yang tergabung dalam Kelompok Jimbaran , lewat Sofyan
Wanandi menyuntik dana untuk kongres PDI ini sebesar Rp 3 milyar.

Kongres yang berlangsung di Asrama Haji, Pangkalan Mansyur Medan itu


dihadiri oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung yang memberikan pidato
dukungannya. Kongres kali ini seperti berlangsung di luar tradisi kongres PDI
sebelumnya yang sarat dengan perbedaan pendapat yang tajam Sidang-sidang
yang diwarnai interupsi dan adu argumen yang cenderung menegang yang
biasanya terjadi di forum-forum pertemuan PDI, tak ditemui dalam kongres ini.

Sidang-sidang berjalan aman-aman saja. Di luar kongres aparat keamanan yang


terdiri dari petugas gabungan dari polisi, polisi militer dan tentara berjaga-jaga
di luar arena kongres. Tiga buah kendaraan lapis baja dan sejumlah kendaraan
angkut militer berukuran besar di parkir menutup satu sisi jalan di depan
Asrama Haji. Sejak pagi hingga Kamis (20/6) tengah hari, di mana Mendagri
dan Panglima ABRI membuka kongres Jalan Karya Jasa Pangkalan Mansyur
ditutup untuk umum. Aparat keamanan juga mendirikan tenda-tenda berukuran
besar di muka lokasi kongres. Tenda-tenda serupa juga didirikan di sudut-sudut
jalan menuju Asrama Pangkalan Mansyur Sejumlah polisi dan tentara bersenjata
api dan alat-alat kekerasaan lain nampak berjaga-jaga menjaga segala
kemungkan. Di seberang Asrama Haji, sebuah kantor milik Departemen
Pekerjaan Umum dipakai sebagai pos komando darurat oleh aparat keamanan.

28

Pendukung Megawati di Medan pun seperti menghilang dari kota. Namun


sejumlah tokoh PDI pro-Megawati di Medan mengatakan ada permintaan dari
Megawati agar mereka tidak melakukan tindakan apapun karena kongres di
Medan itu dianggap tidak ada. Sebelumnya ratusan warga PDI pro-Megawati
yang marah terhadap Patauwi dan Buttu R Hutapea, ketua dan sekretaris PDI
Sumatera Utara, menyerbu kantor DPD PDI. Namun aksi mereka dihentikan
oleh aparat keamanan yang dipimpin langsung oleh Pangdam Bukit Barisan
Mayjen Sesdaryanto.

Dikabarkan delegasi dari daerah tidak akan dijinkan masuk arena kongres jika
tidak ada anggota ABRI yang mengawalnya. Aparat ABRI yang mengawal
utusan-urusan daerah ini di lokasi kongres mengenakan pakaian merah hitam
dengan antribut PDI. Sebagian besar dari mereka diberi tanda pengenal sebagai
Satgas PDI. Aparat keamanan tersebut diperintah untuk mendampingi utusanutusan cabang agar memilih Soerjadi Tapi Serjadi yang dikonfirmasi mengenai
kehadiran anggota ABRI dalam kongres ini membantahnya.

Tanpa halangan sedikitpun kongres akhirnya menetapkan Soerjadi sebagai ketua


umum sekaligus sebagai ketua tim formatur untuk menyusun DPP PDI. Di hari
penutupan mendagri Yogie S Memet mengucapkan selamat atas terpilihnya
Soerjadi sebagai ketua umum (Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1996 : 65
70 )

Upaya mendongkel Megawati belumlah tuntas. Walaupun pemerintah sibuk


mengakui DPP PDI versi Soerjadi namun perlawanan massa pro-Megawati
terus berlangsung. Tigapuluh Organisasi Masyarakat menyatakan dukungannya
kepada Megawati.
29

Sehari sebelum kongres versi Soerjadi dibuka, di Jakarta ribuan warga PDI ProMegawati melakukan long march menolak kongres. Mereka berjalan dari
Taman Monas ke Kantor DPP PDI melalui jalan MH Thamrin dan Jalan Imam
Bonjol. Aksi massa yang lebih besar diulangi lagi esok harinya, Tanggal 20
Juni 1996 ) . Kali ini long march yang diikuti oleh 12.000 orang, dibalik rutenya
yakni dari kantor DPP PDI ke Taman Monas. Di Gambir pasukan ABRI
mencegat mereka agar tidak mendekati Istana Presiden di Jalan Merdeka Utara.
Bentrokan berdarah tak terhindarkan. Lima orang warga PDI luka parah, 73
luka ringan, 48 ditahan dan 8 unit mobil warga PDI hancur. Diantara yang
cedera adalah Sophan Sophian, anggota Fraksi PDI DPR, dan Sukmawati
Soekarnoputri. Sementara itu 55 anggota ABRI mengalami luka-luka. ini yang
pertama dan yang terakhir , kata Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengancam
agar massa PDI pro-Megawati menghentikan aksinya. Jika aksi semacam ini
terjadi lagi ABRI akan bertindak tegas tambahnya. Sutijoso akhirnya
bernegoisasi dengan pihak Megawati dan keduanya bersepakat akan saling
menahan diri.

Pada hari itu juga di berbagai daerah terjadi aksi serupa. Di Semarang ratusan
massa PDI Pro-Megawati melakukan long march dari Stadion Diponegoro
menuju Balai Kota Semarang. Di Surabaya massa PDI melakukan doa bersama
di Taman Makam Pahlawan, kemudian berarak-arakan keliling kota. Di Solo
massa PDI melakukan long march sejaun lima kilomter. Di Lampung ratusan
aktivis Aliansi Pendukung Megawati (APM) melakukan aksi serupa sejauh 4
kilometer. Aksi serupa sejauh 4 kilometer. Aksi serupa terjadi juga di Ujung
Pandang, Denpasar dan Mataram.

30

Aksi menentang sokongan pemerintah dan ABRI terhadap kongres ini


berlangsung, terus tiap hari di berbagai daerah. Sehari sesudah Insiden Gambir
, di Bandung 10 orang mahasiswa mengalami luka-luka setelah bentrokan
dengan aparat keamanan. Bersama dengan ratusan warga PDI merka melakukan
mimbar bebas di Kampus Universitas Padjadjaran Jalan Dipati Ukur. Ketika
hendak melakukan long march mereka dihadapi sekitar 80 aparat keamanan di
gerbang utama kampus. Bentrokan tak terhindarkan, Pada hari yang sama di
Jakarta ribuan warga PDI melakukan mimbar bebas di Kantor DPP-PDI.

Mimbar-mimbar bebas terus berlangsung dimana-mana. Di Yogyakarta, Kyai


kharismatis Nahdlatul Ulama (NU) dari Klaten. KH Ahmad Muslim Rifai
Imampuro yang akrab dipanggil Mbah Lim mengajak ribuan massa PDI yang
berkumpul di depan Kantor DPD PDI berdoa agar Soeharto bisa bertindak adil
terhadap Megawati. Doa itu dimaksudkan agar Presiden Soeharto memikirkan
putri Bung Karno tersebut. Jika tidak ada Bung Karno, tak ada Indonesia dan
segala isinya, kata pimpinan Pondok Pesantren Pancasila Sakti Klaten tersebut.

Kepada ribuan warga PDI dan mahasiswa Yogyakarta yang hadir, Mbah Lim
mengajak membaca Al Fatihah sebelas kali untuk Megawati agar yang
bersangkutan tidak disia-siakan. Mbah Liem juga meminta agar Megawati terus
berdoa. Kepada ABRI, Mbah Lim juga menyerukan ajakan serupa, ABRI
bagamana shalatmu ? Seperti saya tidak ? Kalau kepingin seperti saya datanglah
ke Samberejo (desa tempat tinggal Mbah Lim). Bawalah tank, senapan,
mitraliur, saya tidak takjub. Saya tidak mau mengajak perang, tetapi bersalatlah
bersama saya. Kalau perang saya tidak mau. Saya tak punya senapan saya
punya doa, kata Mbah Lim.

31

Sokongan terhadap Megawati juga dilancarkan oleh kelompok Yayasan


Kerukunan Persatuan Kebangsaan (YKPK) yang mengeluarkan Keprihatinan 1
Juli. Pernyataan ini diprakarsai oleh Letnan Jenderal (Purn) Bambang Triantoro
( mantan Kasospol ABRI ), K.H. Abdurrcahman Wahid, Jrnderal (Purn) Kharis
Suhud (mantan Ketua MPR/DPR), Matori Abdul Djalil, dan sejumlah tokoh
Golkar. Pernyataan ini, menurut Gus Dur akan diperluas dengan mengumpulkan
sejuta tanda tangan.

Sokongan untuk Megawati seperti air yang terus mengalir. Massa semakin
mengental dan mungkin akan terus menjadi apa yang disebut Megawati sebagai
menuju kristalisasi . Walaupun ABRI dan pemerintah terus menyokong
Soerjadi namun Megawati tak kerkurangan akal. Ia menyeruhkan agar cabangcabang mengadakan konfercabsus dan konferdasus untuk konsolidasi
organisasi. Saat membuka Konferda PDI Jakarta Megawati sendiri memecat
Ketua DPD Jakarta Lukman Mokoginta yang mengikuti Kongres Medan, dan
menggantinya dengan Roy BB Janis.

Kepengurusan hasil konferdasus dan konfercabsus ini antara lain akan


menyeleksi daftar calon legislatif dan mempersiap tahap-tahap pemilu
berikutnya di daerah-daerah dan cabang-cabang. Para pendukung Megawati di
daerah-daerah yang secara de facto mernguasai mekanisme organisasi berjanji
akan menyerahkan formulir caleg (calon legislatif)

kepada Megawati.

Konfercabsus-konferdasus kini memang sedang berlangsung dimana-mana.

Cara

Megawati

mengkonsolidasi

organisasinya

ini

memang

cukup

mengkhawatirkan pemerintah. Namun yang lebih dikhawatirkan adalah massa


pro Megawati yang dari hari ke hari semakin menggelembung. Megawati
32

sendiri bertekad akan terus melakukan aksi massa damai di sekitar Kantor DPP.
Jumat, 12 Juli 1996, ribuan mahasiswa dan kader PDI membentangkan kain
sepanjang satu kilometer di Tugu Proklamasi dan mengaraknya menuju Taman
Ismail Marzuki. Massa PDI dan masyarakat yang kebetulan di sana
membubuhkan tanda tangannya mendukung Megawati.

Aksi-aksi massa ini kontan ditanggapi oleh ABRI Assospol ABRI, Mayjen
Suwarno Adiwijoyo. Walaupun tidak langsung menunjuk Megawai, mengatakan
bahwa kini ada sebagian kecil masyarakat yang menginginkan demokrasi liberal
dan demokrasi proletar. Demokrasi proletar yang saya maksud adalah
kelompok yang menggunakan aksi massa atau menggerakkan masa untuk
memaksakan kehendak, katanya setelah membuka Dialog Dakwah Nasional
dan Rapat Kerja Nasional Majelis Tablig PP Muhammdiyah di Yogyakarta,
medio Juli 1996.

Selain konsolidasi partai DPP PDI Megawati juga melancarkan gugatan pertada
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan setebal 21 halaman berjudul
Demokrasi Pancasila Menggugat ini akan memperkarakan para penyelengara
Kongres. Fatimah Achmad bersama kelompok 16-nya diperkarakan sebagai
tergugat I. Sementara pimpian Kongres Medan, Fatimah Achmad dan Panangian
Siregar disebut sebagai tergugat II. Sedang Ketua dan Sekrataris DPP PDI hasil
Kongres Medan, Soerjadi dan Buttu Hutapea disebut sebagai tergugat III.
Tergugat lainnya adalah Pemerintah RI dalam hal ini Menteri Dalam Negeri
(sebagai tergugat IV), Panglima ABRI ( sebagai tergugat V) dan Kapolri
(sebagai tergugat VII). Jumlah tergugat seluruhnya 21 orang.

33

Gugatan ini dikuasakan kepada para pengacara senior yang menamakan dirinya
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Dalam gugatan TPDI hakim dapat
menetapkan tuntutan propisi (tuntutan pendahuluan) terlebih dahulu. Yakni,
kepemiminan Megawati Soekarnoputri diakui dalam status quo sehingga tidak
terjadi kepemimpinan selain Megawati dan kawan-kawannya. Selain itu harus
ada keputusan untuk melarang tergugat atau siapa pun melakukan peralihan
kepemiminan, beserta harta PDI dari tangan tergugat sampai putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum. Bagi yang melanggar putusan propisi, demikian
bunyi gugatan tersebut, diharuskan membayar uang paksa (dwinsom) sebesar
Rp 5 trilyun.

Menurut RO Tambunan, salah seorang anggota TPDI, uang paksa itu bukan
untuk PDI melainkan akan digunakan untuk pengembangan demokrasi hak
asasi manusia (HAM) dan dan keadilan di Indonesia. Jumlah itu dinilai wajar
mengingat sudah 51 tahun Indonesia merdeka supremasi hukum belum
ditegakkan. TPDI seluruhnya berjumlah tujuh orang, yaitu Amartiwi Saleh SH,
TO Tambunan SH, Max Junus Kamuda SH, Luhut MP Pangaribuan SH,
Nusyarwan A Tabrani SH, Bambang Widjoyanto dan Tumbuh Saraswati SH

Hingga medio Juli 1996, sulit untuk menebak bagaimana akhir dari kemelut ini,
ABRI yang semula sangat bersemangat mendukung Soerjadi kini tengah
berupaya mencari pembelaan diri. ABRI tidak berada di belakang
Soerjadi,sergah Soewarno Adiwijoyo. Menurut Suwarno, ABRI mendukung
Kongres PDI karena Depdagri menyatakan usulan-usulan cabang PDI sah,
jika ini bukan pendapat pribadi Suwarno, boleh jadi ABRI kini tengah
melempar tanggung jawab kepada Depdagri. ( Irawan Saptono dan Lukas
Luwarso, 1996 : 70 75 )
34

ABRI agaknya mulai tidak sabar menyaksikan aksi-aksi para pendukung


Megawati yang terus digelar di sekitar kantor DPP. Awal Juli ribuan mahasiswa,
simpatisan PDI dan warga PDI menggelar aksi seribu bunga. Aksi damai ini
berlangsung tertib dengan mengumpulkan tanda tangan di kain sepanjang satu
kilometer dan membagi-bagikan bunga kepada polisi, tentara dan masyarakat
di sekitar aksi. Aksi ini memang diilhami aksi serupa di Makari Manila,
Filipina yang dilakukan oleh pendukung Corazon Aquino, ketika rejim Marcos
berkuasa, kata seorang aktifis mahasiswa.

Mimbar bebas yang digelar hampir setiap hari di halaman Kantor PDI rupanya
tidak disukai oleh ABRI. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, bahkan
menuduh mimbar bebas itu sudah bisa dikategorikan tindakan makar atau
penggulingan pemerintah yang sah. Feisal memberi contoh tentang pernyatanpernyataan

yang dimunculkan dalam mimbar bebas. Juga kata-kata yang

dinilainya tidak sopan lagi. itu bukan bangsa Indonesia lagi. Saya kira itu
PKI kata Feisal.

Tuduhan Feisal itu segera ditanggapi Megawati. Ia mengatakan bahwa


munculnya

mimbar

demokrasi

itu

hanyalah

sekedar

dampak

dari

terselenggaranya Kongres Medan. Mimbar bebas ini janganlah dilihat dari


segi provokasi, tetapi harus dipandang sebagai saluran komunikasi dari rakyat
yang merasa terinjak-injak kepribadiannya sehubungan dengan Kongres
Medan, kata Megawati di depan puluhan wartawan asing dan nasional di
Jakarta akhir Juli. Jadi, keliru jika mimbar bebas itu dituduh makar.
Kegiatannya sangat jelas. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Jadi imposible kalau
ada makar di sini. Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan.
35

Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak poranda dengan adanya
Kongres Medan, ujarnya.

Pelarangan terhadap mimbar bebas PDI, yang disusul dengan tuduhan makar
oleh Feisal Tanjung, diawali dengan protes Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang kantornya bersebelahan dengan kantor PDI. Protes PPP ini
disampaikan salah seorang pembicara mimbar bebas PDI menyatakan bahwa
PPP adalah kependekan Partai Pamong Praja dan Partai Perempuan
Perempuan. Protes ini diterima dan DPP PDI lewat Soetardjo Soerjogoeritno
meminta maaf dan berjanji hal itu tidak akan terulang lagi.

Namun pihak PPP belum puas. Tidak cukup hanya meminta maaf. Mimbar
bebas itu harus dihentikan, kata Mohammad Buang, anggota FPP DPR. Karena
merasa kurang puas PPP meminta pemerintah melarang mimbar bebas PDI.
Setelah protes PPP, Kasospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid di depan 61 ormas
pendukung Golkar, diantaranya, Majelis Dakwah Indonesia, Pemuda Pancasila,
FKPPI, AMPI dan Gema Kosgoro. Mengatakan bahwa mimbar bebas PDI telah
mengganggu ketertiban dan keamanan. Ormas-ormas itu kemudian membuat
pernyataan agar pemerintahan melarang mimbar bebas itu. Berbekal
permintaan-permintaan inilah Syarwan Hamid akhirnya menyatakan akan
menghentikan mimbar bebas itu. Tapi pihak PDI berpendapat bahwa protes ke61 ormas itu direkayasa oleh Syarwan Hamid. Kwik Kian Gie, Kalitbang PDI
dalam Konferensi pers (23 Juli 1996) mengatakan bahwa ke-61 ormas itu tidak
semuanya menandatangani nota protes.

Megawati sendiri bertekad akan mempertahannya. Kami tidak menyukai


tindak kekerasaan, tapi lihat sajalah nanti, katanya. Menurut Megawati gedung
36

DPP PDI merupakan pemberian pemerintah kepada PDI. Pemerintah itu


didukung oleh rakyat. jadi gedung ini juga milik rakyat. Di antara rakyat itu ada
warga PDI. Jadi adalah hak dari warga PDI yang ada di sini untuk
menggunakannya, katanya. Menurut Megawati jika ada warga PDI berjagajaga siang dan malam itu berkaitan dengan Kongres Medan . Gedung ini milik
rakyat dan sekarang rakyat tengah mempertahankan haknya, ujarnya.

Pasukan Satgas PDI sudah siap mempertahankan kantor itu dari serbuan pihak
manapun. Mereka bahkan sudah menandatangi surat pernyataan tidak akan
menuntut Megawati jika mereka harus kehilangan nyawanya. Dukungan
masyarakat terhadap pendukung Megawati yang berjaga-jaga siang malam di
kantor DPP juga terus mengalir. Sumbangan berupa uang, bahan makanan
seperti beras dan Supermie mengalir terus dari berbagai lapisan masyarakat.
( Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1996 : 75 77 )

Presiden Soeharto akhirnya menerima DPP PDI versi Soerjadi tanggal 25 Juli
1996. Seakan mendapat lampu hijau, maka skenario perebutan kantor DPP
PDI pun segera dirancang. Seperti sebuah operasi inteljen, Kantor DPP PDI di
Jalan Diponegoro yang dikuasai pendukung Megawati akhirnya diserbu di saat
fajar, Sabtu 27 Juli 1996. Isu tentang penyerbuan ini memang sudah merebak
seminggu sebelumnya. Sabtu pagi itu, sekitar pukul 06.30 WIB, Satgas PDI
yang berjaga semalam masih tidur ketika tiba-tiba datang serbuan dari ratusan
massa PDI pro-Soerjadi. Mereka berseragam kaos merah dengan tulisan
Pendukung Kongres IV Medan serta ikat kepala berwarna merah. Mereka
berteriak memaki-maki dan menghujani dengan batu para pendukung Megawati
yang bertahan di dalam kantor. Para penyerbu juga membakar spandukspanduk
yang tertancap di sekeliling pagar.
37

Massa pro-Soerjadi dengan leluasa menyerbu markas PDI karena ratusan aparat
kepolisian dan tentara mengamankan (memblokir) wilayah sekitar kantor PDI.
Praktis, satgas pendukung Megawati yang jumlahnya kurang dari 100 terkepung
dan mempertahankan markas sendirian tanpa ada bantuan dari luar. Setelah
lebih dari dua jam perang batu dihentikan Kapolres Jakarta Pusat, Letkol
Abubakar. Ia melakukan negoisasi dengan wakil pendukung Megawati.
Abubakar meminta markas PDI dikosongkan untuk diambilalih polisi dan
dinyatakan dalam kondisi status quo. Namun massa PDI pro-Megawati
menolak. Mereka mau keluar kalau memang diperintahkan Megawati.
Megawati yang dikontak lewat hanphone mernyatakan akan datang dan siap
berunding, asalkan didampingi wartawan Kompas dan wartawan asing. Karena
kedua wakil wartawan dimaksud tidak ada dilokasi, negoisasi macet. Oleh para
penasehatnya Megawati tidak diperbolehkan menuju arena pertempuran,
karena dikhawatirkan akan semakin membangkitkan emosi massa.

Karena negoisasi macet, massa penyerbu melempari lagi markas PDI. Tidak
hanya itu, mereka juga membakar dua sepeda motor yang parkir di depan kantor
PDI. Saat pelemparan berlangsung, puluhan pasukan anti huru-hara yang
bertameng mulai mendekati pagar halaman, sambil melindungi massa pro
Soerjadi di belakang mereka. Pagar halaman berhasil dijebol. Mereka kemudian
berhamburan masuk ke dalam. Sementara satgas PDI yang bertahan di dalam
kantor, sebagian lari lewat pintu belakang dan sebagian besar lainnya tertahan di
dalam gedung. Sekitar pukul 09.00 WIB Markas PDI akhirnya berhasil dikuasai
dan diobrak-abrik pasukan anti huru-hara. Satgas PDI, sekitar 139 orang yang
masih bertahan satu persatu digelandang keluar dan diangkut dua truk militer
sedangkan yang luka parah ditandu menuju mobil ambulans yang sudah
dipersiapkan polisi.
38

Massa pro-Soerjadi yang merasa telah memenangkan pertempuran dengan


girang berbagai rokok, makanan dan minuman Mereka saling berjabat tangan.
Beberapa diantaranya saling memberi hormat ala militer. Kemudian salah
seorang yang berpakaian preman memegang HT memerintahkan mereka
untuk segera mencopot seragam PDI yang mereka kenakan. Dari perawakan
dan potongan rambut, serta tongkat yang mereka bawa, jelas banyak diantara
mereka adalah aparat keamanan, bukan murni massa PDI pro-Soerjadi.
Sinyalemen ini semakin terbukti, ketika yang berambut cepak, membubarkan
diri, ternyata diangkut oleh truk yang telah disiapkan, sementara sisanya
berlindung di halaman kantor Polsek Menteng.

Tim gabungan pasukan ABRI dari jajaran Polda Metro Jaya, Yon Kaveleri 7 dan
Yon Armed 7 Kodam Jaya telah mengepung Sekretariat PDI hingga massa tak
bisa masuk. Ruas jalan seputar Jalan Diponegoro ditutup. Antara lain jalan
Proklamasi, Cikini dan Pegangsaan. Juga sepanjang Jalan Salemba sampai
Buindaran HI. Termasuk jalan-jalan kecil seperti Jalan Semarang, Jalan
Surabaya dan Jalan Bonang. Barikade pasukan ABRI diperkuat dengan dua
panser dan penyemprot air siaga di bawah rel kereta KRL. Lima truk tentara
diparkir di depan stasiun Cikini dan tiga lainnya menutup Jalan Diponegoro dari
arah Bunderan Hotel Indonesia. Polisi berada di bagian depan barikade, tentara
berada di belakang. Posisi demikian rupanya membuat posisi dalam keadaan
sulit karena mereka harus berhadapan langsung dengan massa yang marah.

Massa rupanya memang sangat marah, terlebih saat sebagian tentara berjagajaga berlagak mengangkat tongkat rotan untuk menghalau. Pukul saya, Pak
Pukul saya kalau berani ! Saya siap mati! Membela Megawati dan PDI teriak
39

seseorang demonstran sambil membuka bajunya di hadapan tentara. Teriakan


tersebut benar-benar mendirikan bulu roma. Kemarahan lantas meledak jadi
perang batu. Baru merah dan botol berterbangan ke arah barikade. Beberapa di
antara demonstran malah melempar bamboo yang telah diruncingkan.

Tak puas dengan perang batu, massa beramai-ramai menjebol pagar besi yang
ada di bawah jembatan rel kereta KR, Jakarta Bogor di dekat Jalan
Diponegoro. Massa juga merobohkan pagar gedung bioskop Metropole
Megaria. Dengan amarah yang meluap mereka merangsek ke arah tentara yang
menghadang. Tiba-tiba

dari arah barikade ditembakkan gas air mata yang

membuat massa jadi kacau balau. Mereka berlarian kembali ke silang Megaria.
Sekelompok aktivis PDI dan aktivis LSM kemudian berupaya mendirikan
mimbar bebas. Dengan tangan bergadengan mereka membentuk lingkaran
besar.

Seorang aktivis kemudian dengan garang berpidato, di tangannya

tergenggam bamboo runcing yang teracung dengan bendera merah putih di


pucuknya. Hari ini, narkas kita telah direbut ABRI dengan sewenang-wenang.
Beberapa kawan kita dibunuh karena mempertahankan markas. Kita di sini tak
bisa diam. Kita harus melawan, seru aktivis tersebut disambut tepuk tangan
dan kepalan tangan massa ke atas. Tapi kita tidak boleh bergerak sendirisendiri. Kita sekarang bergerak di bawah satu komando, yaitu komando dari ibu
Megawati Soekarnoputri, sambungnya.

Massa kembali bergemuruh meneriakkan slogan, Satu gerakan! Satu


komando! terus berulang-ulang dan menyanyikan lagu Kita Pasti Menang!.
Mereka melambai-lambaikan tangan setiap ada kereta KRL yang lewat di atas
rel layang, sebaiknya mereka mengacungkan tinju ke arah tiga pesawat
helikopter ABRI yang meraung-raung di atas silang Megaria.
40

Sebuah mimbar bebas darurat dibuat diatas pagar besi perempatan Diponegoro.
Tadi pagi saya mendapat berita seorang kawan saya asal Timor Timur di bunuh
di kantor kita, ujar seorang aktivis PDI asal Irian. Di sini saya sendirian. Saya
berasal dari Irian Jaya. Saya nyatakan bahwa negara ini adalah negara fasis,
negara militer. Jangan mundur. Terus lawan.
Teriaknya lewat megaphone. Seorang aktivis PDI dari Maluku menyatakan,
Bila kita tak berhasil melawan Soerjadi dan Togie. Salah Melulu, warga PDI
Maluku akan jadi Golput. Seorang aktivis PDI lainnya mengambil alih corong.
Ia mengajak massa untuk bersama-sama mengheningkan cipta menghormati
mereka yang tewas akibat serbuan brutal di Kantor DPP PDI. Terbetik berita
bahwa korban mati berjumlah 47 orang. Termasuk seorang ibu yang selama ini
mengurus dapur umum di DPP PDI beserta seorang anaknya..

Beberapa kali massa sempat merangsek petugas yang membuat pagar betis
empat lapis. Sambil menyanyikan lagu-lagu yang bernada mendukung
Megawati mereka mencoba menerobos barikade. Dengan pagar besi mereka
mencoba melindungi diri dari serangan pentungan polisi. Tapi tindakan ini surut
begitu ada komando untuk bersabar. : Kita beri mereka batas waktu hingga
pukul 15.00. Bila saatnya tiba kita akan bereaksi kembali untuk menguasai
DPP, ujar salah seorang yang mengfungsikan diri sebagai komandan lapangan.
Begitu seterusnya, situasi naik turun. Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang
ketua DPP PDI pro-Megawati datang pukul 14.00 dengan dikawal barisan
satgas dan massa yang membentuk lingkaran bergandengan tangan. Mereka
berjalan dari kantor YLBHI, menuju kantor DPP PDI yang diduduki aparat
militer untuk melakukan negoisasi.

41

Kedatangan Soetardjo disambut yel-yel massa yang meneriakan dukungannya


kepada Megawati. Tapi upaya perundingan dengan pihak aparat tak berhasil.
Keadaan ini tak memuaskan massa pro-Megawati, hingga suasana makin
memanas. Gelombang massa terus bertambah. Terutama dengan bergabungnya
para pelajar yang baru pulang sekolah. Mereka terus meneriakan yel-yel dan
menyanyikan lagu-lagu perjuangan . Kian sore, suasana kian memanas. Massa
yang mencapai jumlah ribuan itu bukan lagi hanya massa PDI pro-Megawati
tapi juga berasal dari segala lapisan masyarakat.

Konflik fisik akhirnya tak terhindarkan lagi. Massa pro Megawati yang berada
di lapisan depan di perempatan Megaria yang sejak pagi hari berada dalam
posisi berhadap-hadapan dengan barikade pasukan Brimob yang dibentengi tiga
panser mencoba mendesak barikade. Terjadi saling lempar batu. Beberapa
saling pukul. Sebagian massa melempari kantor Polsek Megaria dengan batubatu berukuran besar. Kaca-kaca pecah berhamburan. Pasukan Brimob tak dapat
lagi mengatasi

amukan massa. Mereka lari berhamburan mundur ke jalan

Pegangsaan Timur. Sebagian dari mereka luka-luka kena lemparan batu.

Melihat pasukan Brimbob mundur, massa bergerak maju sambil terus


melermpari batu, kayu dan apa saja yang bisa mereka temukan. Mereka tak lagi
memperhitungkan senjata dan kemungkinan serangan balik polisi. Mengetahui
massa semakin beringas, pasukan militer yang telah disiapkan di depan kantor
DPP PNI dan Pegangsaan Timur segera maju ke depan. Dengan dentuman
pukulan tameng dan btongkat mereka bergerak maju. Massa agak gentar.
Sebagian mundur. Tapi sejumlah besar terus bertahan dengan batu di tangan.
Tanpa diduga tentara tiba-tiba melepaskan sejumlah tembakan ke udara.

42

Letusan suara senapan agaknya berhasil mengintimidasi massa yang marah.


Secara bertahap mereka surut ke belakang.

Pasukan militer tak berhenti. Merasa di atas angin mereka mengejar dan
memukul massa pro-Mega dengan pentungan. Massa tercerai-berai. Mereka
berlarian kearah Salemba. Sebagian masuk ke Jalan Borobudur dan
bersembunyi di gang-gang kecil sekitar Jalan Surabaya Timur. Sebagian massa
yang terpukul mundur melakukan konsolidasi di perempatan Jalan Salemba di
depan kampus UI.

Sementara itu, mereka yang menjadi korban dari penyerbuan pagi hari diberi
pengobatan sementara di kantor YLBHI. Menurut keterangan saksi-mata
satgas yang pagi itu bertugas sebenarnya ada puluhan rekan-rekannya yang
cedera, baik berat maupun ringan. Korban-korban itu dilemparkan ke truk-truk
tentara yang telah disediakan. Beberapa pengacara YLBHI termasuk Ketua
YLBHI Bambang Widjojanto, melakukan wawancara untuk mengumpulkan
keterangan dari para saksi mata. Seorang ibu dengan bercucuran air mata
mengaku melihat sendiri adanya korban yang tewas. Ibu tersebut segera dibawa
ke suatu ruangan untuk diwawancara para pengacara YLBHI. Tiba-tiba
dikejutkan oleh datangnya seorang ibu yang meraung-raung untuk menjumpai
anaknya yang sedang dirawat. Kamu selamat, nak. Allahu akbar, seru ibu itu
sambil memeluk sang anak. YLBHI sendiri belum bisa merinci berapa korban
tewas dan luka. Tapi menurut sejumlah satgas PDI yang selamat dan
penyerbuan, YLBHI untuk sementara menyimpulkan sedikitnya 7 orang
anggota PDI pro-Megawati tewas.

43

Sekitar pukul 16.00 WIB, terjadi pembakaran dan pengerusakan sejumlah


gedung dan mobil oleh massa di seputar Jalan Salemba Raya dan Jalan
Proklamasi yakni Gedung Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra
Kirana milik Angkatan Darat di sebelah RS St Carolus, gedung Departemen
Pertanian, gedung Swansarindo International Bank, Show Room Auto 200
Toyota Astra, Wisma Honda, Bank Mayapada, Bank Kesawan, BDN, BHS
Cikini dan BCA Proklamasi. Selain gedung dibakar sejumlah mobil dan bis.
Tercatat 91 kendaraan terbakar termasuk sejumlah mobil baru yang dipamerkan
di Show Room Astra Auto 2000. Dua puluh mobil operasional milik Telkom
juga hangus terbakar di Jalan Panataran. Sejumlah kendaraan pribadi yang
terjebak dalam keramaian di Jalan Matraman Raya juga hangus dibakar massa.

Asap hitam pekat membumbung tinggi hingga bisa dilihat radius lima kilometer
Di depan Bank Mayapada sebuah Suzuki Carry warna putih yang sudah dirusak
massa didorong keluar ke arah Polsek Matraman, mobil diberhentikan di depan
kantor polsek dan terjadi lempar-melempar batu. Polisi menembakkan senapan
ke atas dan massa mundur sementara ke arah Jalan Pramuka.

Menjelang sore sebagian dari ribuan orang yang tumpah disepanjang Jalan
Pramuka menghentikan kereta api yang menyeberang ruas jalan tersebut. Kareta
api berhasil dihentikan para penumpangnya dipaksa turun. Beberapa saat
kemudian dua buah panser yang diatasnya penuh tentara dan polisi bergerak
maju dan membubarkan massa yang menghentikan kereta api. Kereta api
akhinya bisa melepaskan diri dari kepungan massa. Karena serangan panser
ini massa mundur dan masuk ke gang-gang di sepanjang ruas jalan jalan
tersebut. Dengan pengeras suara pasukan ABRI yang berada di atas tank
menyerukan agar massa bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Kalau
44

tetap di jalanan maka akan berhadapan dengan ABRI demikian bunyi ancaman
yang keluar dari dalam kendaraan lapis baja itu. Helikopter polisi dengan sirene
yang dibunyikan berputar-putar dan meraung-raung di sekitar lokasi. Rumahrumah, toko-toko dan pompa-pompa bensin di sepanjang Jalan Pramuka tutup.

Megawati Soekarnoputri mengecam penyerbuan brutal yang disebutnya srbagai


orang-orang yang tidak dikenal indentitasnya dan didukung oleh oknumoknum aparat keamanan. Megawati juga menyatakan bahwa Soerjadi, ketua
umum DPP PDI versi Kongres Medan harus bertanggung jawab, yang
menurutnya, jelas-jelas tidak mampu memimpin anggota-anggotanya agar
senantiasa bertindak melalui jalur hukum. Kami sangat menentang cara-cara
dan tindakan tersebut, karena jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang
berlaku, bertentangan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebagai
negara hukum. Tindakan tersebut merupakan contoh penyalagunaan kekuatan
dan harus ada yang bertanggung jawab, lanjut Megawati.

Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso, tentang penyerbuan kantor DPP PDI


mengatakan bahwa massa penyerbu adalah massa PDI Pro-Soerjadi.
Menurutnya, ABRI kemudian berusaha melerai bentrokan antara kubu
Megawati dan kubu Soerjadi untuk menghindari jatuhnya korban karena
keadaan makin memburuk. Pangdam mengatakan bahwa kantor tersebut kini
dinyatakan status quo dan dikuasai oleh ABRI.

Informasi tentang jumlah korban luka dan kemungkinan korban tewas masih
simpang siur. Menurut keterangan resmi Pangdam Jaya hanya 26 orang lukaluka dan 2 orang tewas. Dua orang yang tewas ini

pun bukan dari kubu

Megawati yang diserang. Yang meninggal itu pendukung Soerjadi karena


45

serangan jantung. Satunya lagi seorang Satpam. Dia meninggal karena meloncat
dari lantai tujuh karena gedung itu hendak dibakar massa, katanya Tidak
disebut dan di mana pendukung Soerjadi itu tewas,

Tapi informasi yang diperoleh dari YLBHI mengatakan bahwa 47 orang dirawat
di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini dan seorang lagi di RS Fatmawati. Di
Rumah Sakit Cikini, Minggu 27 Juli 1996, sekitar pukul 09.00 WIB Tiga unit
mobil jenazah keluar dari rumah sakit tersebut. Setiap mobil dikawal oleh
tentara . Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang
siapapun untuk mendekat. Sejumlah wartawan yang sempat masuk kamar mayat
RSCM pada hari Sabtu siang menjumpai puluhan mayat yang penuh luka
karena dianiaya . Petugas kamar mayat tidak bersedia memberi penjelasan
identitas dan penyebab kematiannya.

Penyerbuan kantor DPP PDI yang berakibat dengan meluasnya kerusuhan


massa menyebabkan kemelut PDI semakin rumit. Siapa sebenarnya yangb
paling bertanggung jawab terhadap meluasnya persoalan ini ? Pemerintah,
ABRI, Soerjadi dan kawan-kawannya atau Megawati Soekarnoputri ? Yang
jelas pihak yang paling dirugikan adalah PDI sendiri. (Irawan Saptono dan
Lukas Luwarso, 1996 : 77 86 )

Dua minggu sebelum penyerangan, menurut Robert W Herfner, para pendukung


Soerjadi dilatih lebih dahulu di sebuah kamp militer di luar Jakarta. Yang paling
banyak di antara pendukung Soerjadi adalah kader-kader Pemuda Pancasila.
Walaupun dengan kekuatan yang kasar seperti ini, preman-preman pemerintah
merasa terkejut dengan keberanian pendukung Megawati. Setelah setengah jam
penyerangan berlangsung, pasukan Soerjadi mundur dan diantaranya ada yang
46

luka betdarah. Dalam sebuah diskusi tentang kekerasaan beberapa minggu


sesudahnya, ahli-ahli strategi pemerintah mengakui bahwa mereka salah
mengestimasi kesetiaan para pendukung Megawati. Para ahli strategi
pemerintah mengakui kesalahan kalkulasi mereka, terutama karena mereka
tidak mampu menjaga kerja samanya dengan aparat inteljen. Penasihat militer
yang terlibat dalam serangan itu merasa enggan untuk melibatkan aparat inteljen
ke dalam rencana mereka, karena mereka tahu bahwa pada umumnya aparat
intelejen tidak ingin ikut-ikutan dengan gerakan anti Megawati.

Setelah insiden tersebut, Megawati menyeruhkan kepada para pendukungnya


untuk bersikap tenang dan sabar sambil menunggu hasil gugatannya terhadap
pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Akan tetapi, pada saat yang sama, para
pendukung

Megawati

terus

berusaha

menghalang-halangni

Soerjadi

mengunjungi DPD-DPD-nya di seluruh Indonesia. Meskipun protes-protes


maupun gugatan Megawati ke pengadilan (meski akhirnya gugatan itu ditolak)
tidak mampu memulihkan kembali kepemimpinan Megawati ke kursi ketua
umum untuk bisa ikut Pemilu 1997, namun mereka berhasil melecehkan
kelompok Soerjadi. Soerjadi sangat tidak popular, sehingga orang-orang di
pemerintahan mempunyai pikiran lain untuk mendukung Soerjadi. Mereka
mendesak Soeharto untuk merekonsiliasi dua faksi yang ada dalam PDI.
Kendati pada akhirnya, ahli-ahli strategi pemerintah tidak memilih jalan ini.
Tekanan pemerintah terhadap Megawati menyebabkan dirinya sangat popular,
sehingga mereka pikir tidak ada jalan lain kecuali menyingkirkan Megawati dari
dunia politik.

Dikejutkan

oleh

keberanian

para

pendukung

Megawati,

pemerintah

meningkatkan gerakan propagandanya dengan melayangkan tuduhan Peristiwa


47

27 Juli pada PRD (Partai Rakyat Demokratik). PRD dikenal sebagai organisasi
kiri-baru. PRD adalah korban kambing hitam yang cukup mengundang
perhatian. PRD memproklamirkan dirinya sebagai partai hanya beberapa hari
sebelum terjadinya penyerangan terhadap kantor DPP PDI pada tanggal 27 Juli
1996. Walaupun PRD mendukung demokrasi multipartai, namun analisis PRD
tentang krisis politik di Indonesia menempatkan tanggung jawab persoalannya
pada kebijakan-kebijakan Orde Baru yang memihak kapitalisme global dan
kelas pemilik modal. Kosakata politik PRD mengikuti model kiri Marxian,
meski dalam bentuk yang belum tertata rapi. Dan tidak biasanya, pertepatan
dengan penyerangan kantor PDI, dan itu dalam pandangan sejumlah pengamat
dijadikan alasan pemerintah untuk mengkambinghitamkan Peristiwa 27 Juli
kepada PRD. Hari-hari berikutnya setelah Persitiwa 27 Juli, orang-orang
pemerintah menyebut PRD sebagai dalang Peristiwa 27 Juli dan PKI sebagai
tuan PRD. ( Robert W Hefner, 2007 : 308 315 )

Berdasarkan pernyataan Komnas HAM mengenai peristiwa 27 Juli 1996,


disebutkan bahwa pada 27 Juli 1996 di Jakarta di Jakarta terjadi dua peristiwa
pokok yaitu: 1 ) Pengambialihan yang disertai kekerasaan di gedung sekretariat
DPP PDI di Jalan Diponegoro No. 58 Jakarta Pusat. Proses itu berlangsung
antara kurang lebih pukul 06.15 hingga 09.15 pagi hari; dan 2) Kerusuhan sosial
berupa perusakan, pembakaran, penghancuran barang-barang milik umum dan
pribadi secara serentak di beberapa wilayah sektar Jalan Diponegoro, Salemba,
Proklamasi, Kramat Raya, dan Senen. Persitiwa itu berlangsung antara pukul
11.00 pagi hari hingga melewati pukul 23.00 malam hari itu.

Dalam pernyataannya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa peristiwa


pengambilalihan gedung sekretariat DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli
48

1996 merupakan tindakan kekerasaan yang dilakukan DPP PDI Kongres Medan
dan kelompok pendukungnya, bersama dengan aparat keamanan. Hal ini
merupakan peristiwa lanjutan dari urutan kejadian-kejadian sebelumnya yang
bertalian dengan penciptaan konflik terbuka dalam tubuh PDI, di si
pemerintah/aparatur telah melibatkan diri secara berlebihan dan berpihak, serta
di luar proporsi fungsinya sebagai pembina politik dan aparat keamanan.
Sementara dalam laporan Komnas HAM disebutkan bahwa peristiwa kerusuhan
sosial di sekitar jalan Diponegoro, Proklamasi, Salemba, Matraman, Kramat
Raya, Senen terpengaruh oleh efek penggunaan kekerasaan dari peistiswa
pengambialihan gedung sekretariat DPP PDI.

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas HAM, dalam peristiwa 27 Juli


1996, diungkapkan 5 korban tewas, 149 mengalami luka-luka, 23 orang hilang
dan 136 ditahan. Namun dalam laporannya, Komnas HAM memberikan catatan
tidak tertutup kemungkinan angka korban yang meninggal yang berhubungan
dengan Persitiwa 27 Juli 1996 tersebut bertambah.

Berbeda jauh dengan laporan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, pemerintah
Orde Baru menuding peristiwa 27 Juli 1996 disebabkan penunggangan unsurunsur PKI dalam mimbar bebas itu. Namun ini tentu saja sangat berbeda dengan
temuan Komnas HAM, yang tidak menyebut sama sekali tentang PKI. Bahkan,
dalam temuan Komnas HAM disebutkan terjadinya perristiwa 27 Juli 1996
karena adanya keterlibatan pemerintah/aparatur untuk memihak salah satu kubu
dalam konflik PDI. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Pangab Jenderal Feisal
Tanjung yang mengatakan bahwa aktivitas mimbar bebas sudah menjurus ke
arah makar dan menyerupai cara-cara yang dilakukan PKI, atau pernyataan
kalangan DPR khususnya Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi
49

Persatuan Pembangunan (FPP) pun ketika itu juga berusaha mendesak ABRI
segera membubarkan mimbar bebas di kantor DPP PDI

Sementara Kasum ABRI, Letjen Soeyono, memaparkan sinyalemen Megawati


telah dijadikan kuda troya oleh simpatisan PKI. Menurut Letjen Soeyono,
dasar-dasar mimbar bebas tersebut terindikasi perbuatan makar karena tiga hal
yaitu

Yang

pertama

(menyudutkan

ABRI)

mereka

menuntut

pertanggungjawaban Pangab dan Kasum terhadap peristiwa apa saja yang


berkaitan dengan ABRI. Peristiwa yang terjadi di daerah-daerah beberapa waktu
lalu, hingga yang dulu-dulu diungkit-ungkit lagi, seperti kasus Tanjung Priok,
Lampung, Ujung Pandang, sampai peristiwa pembunuhan orang-orang PKI
pada 1965. Jadi, mereka menuntut pertanggungjawaban Pangab atas semua
peristiwa itu. Setelah Pangab, mereka juga menuntut pertanggungjawaban
panglima tertinggi. Siapa panglima tertinggi? Pak Harto

Yang kedua, (menyudutkan pemerintah), semua kasus yang yang terjadi di


lingkungan kabinet diungkit-ungkit. Mendagri, Menparpostel, Menhub, Menkeh
dan beberapa menteri lainnya

terus mereka sudutkan. Macam-macam saja

kasusnya, pokoknya semua dimintai pertanggungjawaban. Terus, akhirnya


disudutkan adalah kepala pemerintahan. Siapa ? Pak Harto lagi.

Terus yang ketiga (menyudutkan negara), semua lembaga tinggi negara mereka
jelek-jelekan. Misalnya, dalam kasus Eddy Tansil, Pak Sudomo dan Pak
Sumarlin diserang. Siapa mereka ? Ketua DPA dan Ketua BPK. Lalu dalam
kasus Adi Andoyo, ketua MA juga diserang. DPR juga dianggap tidak berfungsi
. Jadi mereka mendeskreditkan semua lembaga tinggi negara yang ada. Sampai

50

akhirnya mereka meminta pertanggungjawaban terhadap kepala negaranya.


Siapa ? Pak Harto lagi.

Nah, dari upaya-upaya itu jelas sasaran utama mereka. Apa lagi kalau bukan
mau makar ?

Pemerintah Orde Baru pun melakukan pengambing-hitaman terhadap


organisasi-organisasi yang melakukan mobilisasi politik untuk mendukung PDI
dan Megawati. Dalam konperensi pers yang digelar seusai Rapat Koordinasi
Bindang Politik dan Keamanan (Rakor Polkam) pada 30 Juli 1996, Menko
Polkam Soesilo Soedarman menyatakan bahwa pemerintah akan terus
melakukan berbagai bentuk tindakan tegas terhadap para pelaku kerusuhan 27
Juli 1996 baik yang terlibat langsung

seperti Partai Rakyat Demokratik

(PRD) dan kelompok lain yang bermasalah. Pemerintah berpendapat bahwa


mereka secara nyata melawan Orde Baru. Selain itu, Menko Polkam juga
membantah persitiwa 27 Juli merupakan luapan rakyat yang kecewa. Dia
mengatakan, Di belakang massa itu ada pihak yang mengarahkan. Kalau itu
gerakan massa murni ada perusakan maupun pembakaran gedung-gedung
strategis. ( Anak Agung Gde Putra, 2012 : 421 424 )

Respons organisasi-oragnisasi Islam Indonesia terhadap tuduhan pemerintah


sangat beragam. Ketua PB NU menyatakan keraguan-raguannya. Daripada
menuduh

pemerintah

berbohong,

NU

menuntut

supaya

pemerintah

membuktikannya. Sedang reaksi kalangan Islam modernis lebih beragam lagi.


Salah seorang anggota Komnas HAM, Nurcholis Madjid, sadar betul akan hal
itu ketika mengetahui klaim pemerintah bahwa PRD dan orang komunis berada
di belakang Peristiwa 27 Juli. Dalam penolakannya atas laporan pemerintah itu,
51

Nurcholis Madjid menegaskan bahwa tuduhan komunis-subversi adalah


bahasa lama

guna menyembunmyikan penyebab Peristiwa 27 Juli yang

sebenarnya, yaitu terhambatnya saluran-saluran politik publik resmi yang telah


diblokir oleh negara. Nurcholis Madjid mendesak umat Islam dan kalangan
demokrat lainnya untuk tetap tenang, tetapi tetapi memikirkan strategi jangka
panjang untuk mewujudkan civil society yang kuat guna menandingi kekuatan
negara.

Sedang di kalangan modernis lainnya, reaksinya kurang kritis terhadap klaim


pemerintah tersebut. Pimpinan Muhammadiyah merasa terkejut dengan begitu
cepat naiknya kasus PDI dan juga terprediksikan tampilnya politik beraliran
kiri. Walaupun Muhammadiyah berada di bawah kepemimpinan Amien Rais
punya komitemen terhadap gerakan demokratisasi, namun Muhammadiyah
tetap sangat antikomunis dan merasa alergi dengan hal-hal yang berbau kiri.
Sebenarnya, orang-orang Muhamadiyah paham bahwa pemerintahlah yang
merekayasa penyerangan terhadap PDI, namun tidak sedikit yang percaya atas
tuduhan pemerintah bahwa PDI Mega diinfiltrasi oleh kelompok kiri.

Banyak pengamat menganggap salah satu kesalahan fatal Amien Rais dalam
karir politiknya sebagai ketua Muhamadiyah dan pengeritik Soeharto ketika
Amien mendukung tuduhan pemerintah bahwa orang-orang komunislah yang
berada di belakang kerusahn 27 Juli. Dengan diketemukannya bahan-bahan
peledak, bom-bom Molotov, dan bensin, katanya, menunjukkan bahwa di
sana ada kemungkinan mendestabilisasi negara dalam bentuk yang lebih
bahaya. Lebih lanjut Amien memberi nasihat bahwa Megawati harus
mengambil hikmah dari kasus Peristiwa 27 Juli ini, tapi ia tidak menyebut
pelajaran apa yang harus diambil pemerintah dari kasus ini.

Lebih
52

menyakitkan, menurut pengamatan Amien, tuduhan yang mengatakan bahwa


militer bertindak secara berlebihan dalam menangani kasus 27 Juli sangat tidak
bisa diterima. Sebelumnya, menurut Amien, militer telah menggunakan caracara persuasi ketimbang cara-cara kekerasan untuk menangani kerusuhan atau
para perusuh. Amien tidak mengemukakan fakta bahwa sebenarnya
pemerintahlah yang harus bertanggung jawab terhadap kasus PDI, atau bahwa
agen-agen provokator pemerintah justru memprovokasi kerusuhan-kerusuhan
yang muncul kemudian. Tidak seperti Nurcholis Madjid, Amien juga tidak
menyebut soal kegagalan pemerintah menyediakan saluran bagi bentuk
partisipasi publik yang demokratis

Kelompok ultrakonservatif Islam bahkan lebih mendukung langkah-langkah


pemerintah, Ahmad Soemargono, Ketua KISDI, menyatakan keyakinannya
bahwa PKI-lah yang berada di belakang kasus 27 Juli karena kekerasan
merupakan cara-cara PKI. Hussein Umar daro DDI juga berpendapat sama,
dengan mengatakan taktik-taktik PKI adalah penyusupan, gerakan bawah
tanah, perang psikologis, sabotase, dan penyerangan. Semua itu adalah doktrin
PKI. Sampul majalah Media Dakwah, edisi Agustus, mengangkat masalah yang
sama. Gambar sampul itu ialah setan gundul (PKI) menunggangi lambang PDI,
di atasnya ditulisi Siapa Di Belakang Setan Gundul? Media Dakwah edisi
September memuat lebih lengkap analisis provokatif tentang kasus 27 Juli.
Gambar sampulnya adalah palu arit yang diatasnya ditulisi kata-kata
Menumpas Orang-Orang Komunis: Orang Islam yang Pertama Kali Akan
Melawan PKI. Akan tetapi, banyak tokoh muda DDI yang merasa terganggu
atau kurang senang dengan dirangkulnya organisasi mereka oleh rezim.

53

Dua minggu setelah kerusuhan 27 Juli, tepatnya 11 Agustus 1996, sekitar


40.000 umat Islam berkumpul di Stadion Utama Senayan Jakarta untuk
mendukung klaim pemerintah bahwa PRD dan orang-orang komunis adalah
penghasut kasus 27 Juli. Ada logika politik yang membuat umat Islam
menunjukkan kekuatannya itu. Pada minggu-minggu setelah kerusuhan 27 Juli,
pemerintah menekan tokoh-tokoh umat Islam untuk mengutuk PRD dan
menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Organisasi-organisasi yang
menolak akan dijadikan sasaran serangan pemerintah. Mereka dipersulit
mendapat izin guna menyelenggarakan pertemuan terbuka; kader-kader
organisasi yang menolak itu juga digaruk aparat untuk diinterogasi, dan
bisnis-bisnis

pendukungnya

terancam

kehilangan

kontrak-kontraknya.

Menghadapi represi seperti ini, pada umumnya organisasi-organisasi Islam


patuh kepada permintaan pemerintah. Walaupun Abdurrachman Wahid dan
pemimpin senior NU menolak permintaan pemerintah itu, namun ada sebagian
kecil anak-anak muda NU yang tidak menolak permintaan pemerintah itu.

Seperti pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, Abdurrachman tetap


menunjukkan independensinya. Pada bulan Agustus dan September 1996,
muncul fitnah terhadap Abdurrachman di kalangan Islam yang disponsori
pemerintah. Tuduhan itu ialah bahwa Wahid tidak shalat, tidak puasa, dan
mendukung kristenisasi. Tuduhan terhadap Abdurrachman Wahid yang juga
kalah anehnya adalah bahwa ia bergabung dengan Partai Bath pada tahun 1960an ketika belajar di Irak, dan karena latar belakang sosialis itu Abdurrachman
mendukung PRD.

Bagaimanapun menggelihkannya tuduhan ini, Abdurrachman tetap khawatir


jangan-jangan opini punlik orang-orang Islam balik menyerang dirinya. Ia
54

merasa yakin bahwa musuh bebuyutannya Adi Sasono, dan dibantu Eggi
Sudjana dari CIDES, telah mengarahkan kampanye dan gerakan untuk melawan
dirinya (Sebuah tuduhan yang tidak bisa saya konfirmasikan ). Pada bulan
September 1996, Andurrachman membantah bahwa dirinya punya hubungan
dekat dengan PRD dan mengatakan bahwa Adi Sasonolah yang memiliki
hubungan dekat dengan PRD. Adi Sasono menolak mentah-mentah tiuduhan
tersebut dan balik menyerang Abdurrachman. Kalau Abdurrachman sangat
jengel dengan kasus 27 Juli, tanya Adi, lalu di mana dia berada waktu kasus
Tanjung Priok yang terjadi pada tahun 1984, di mana banyak orang Islam
terbunuh ? Bukankah setelah kasus Tanjung Priok, Abdurrachman mengajak
orang yang bertanggung jawab terhadap kasus Tanjung Priok, Benny Moerdani
berkeliling ke pondok-pondok pesantren ? Lalu kemana loyalitas Abdurrachman
?

Pada akhir 1996, sikap tuduh menuduh ini menyebabkan kebingunan di


kalangan umat Islam dan kalangan demokrat sekuler. Siapa pun yang benar di
antara Adi Sasono dan Abdurrachman Wahid, bagi sebagian pengamat, kejadian
itu menunjukkan kemenangan kalangan garis keras dalam pemerintahan.
Pemerintah berhasil menyingkirkan Megawati, merangkul Islam konservatif
guna dilawankan dengan komunisme, serta mendemontrasikan (melemahkan
semangat) kalangan oposisi demokratik. Pada penghujung tahun 1996,
masyarakat proreformasi kian lemah dan lebih terfragmentasi dibandingkan
sejak akhir 1980-an. Menurut Adnan Butung Nasution, peristiwa-peristiwa yang
terjadi selama tahun 1996 membuat gerakan prodemokrasi mengalami
disorientasi dan juga tanpa gagasan apa pun tentang apa yang harus
dilakukan pada masa mendatang . Yang lebih buruk lagi, kasus 27 Juli
merupakan awal dari lingkaran kekerasan yang sangat menyakitkan. ( Robert W
Hefner, 2001 : 308 - 315 )
55

Konsekuensinya, para aktivis organisasi tersebut mulai dikejar, ditangkap dan


diculik, selain itu juga dilakukan penggrebekan terhadap kantor organisasi itu
sejak Juli 1996, baik karena memang anggota PRD atau orang yang dituduh
PRD. Hal itu juga dialami Hendrik Sirait, yang ketika itu aktif sebagai Kepala
Biro Advokat Divisi Aksi Pijar Indonesia. Hendrik ditangkap sejak 1 Agustus
1996, setelah menghadiri sidang gugatan Megawati di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Ketika dia menunggu bus di bawah jembatan penyeberangan
Gadjah Mada, tiba-tiba dia dihajar dan dikeroyok oleh beberpa orang yang tak
dikenal. Hendrik kemudian dimasukkan ke mobil Suzuki Jimny putih dan
wajahnya ditutup dengan kaos yang dipakainya. Sampai di tempat tujuan, dia
kemudian kembali dihajar dengan tangan kosong oleh beberapa orang.
Walaupun pada awalnya, Hendrik tidak mengetahui lokasi penyekapan tersebut,
akhirnya dia dapat mengindentifikasi tempat penyekapannya. Saya baru
mengetahui setelah membaca tulisan Inteldam Jaya di mesin tik yang dipakai
untuk menginterogasi saya. Saya pikir ini pasti Bakorstranasda. Para penculik
tersebut juga memaksa Hendrik mengaku sebagai anggota PRD.

Pengejaran dan penangkapan juga dilakukan hingga ke berbagai daerah di


Indonesia, yang diindikasikan menjadi tempat organisasi itu. Puluhan anggota
PRD dan organisasi di bawahnya pun ditahan oleh aparat keamanan dan
kepolisian, termasuk Ketua Umum PRD. Budiman Sudjatmiko, serta pimpinan
organisasi PRD. PRD dan semua organisasi yang bernaung di bawahnya
kemudian dilarang oleh pemerintah Orde Baru pada 30 Oktober 1996.

Karena itulah, pimpinan PRD dari dalam penjara kemudian mengeluarkan


instruksi kepada seluruh kader partai ini untuk terus bergerak dalam kondisi
56

represif dan status PRD serta ormas-ormasnya yang illegal. Kami


memerintahkan agar semua PRD bergerak di bawah tanah, kader-kader PRD,
baik yang bergerak di sektor mahasiswa, buruh,tani dan kaum miskin kota agar
tetap meneruskan perjuangan dengan cara mendirikan komite aksi tanpa
mencamtumkan nama PRD. Para kader PRD tersebut kemudian mulai
melakukan

persiapan

untuk

membangun

koalisi

illegal

untuk

terus

mengkampanyekan agenda PRD, dengan cara menjalin kerja sama dengan


berbagai kelompok, termasuk para pendukung PDI Pro-Megawai. Pada April
1997,

Komite

Nasional

Perjuangan

Demokrasi

(KNPD)

kemudian

dideklarasikan .

Bagi pemerintah Orde Baru, pengejaran, penangkapan, penyiksaan terhadap


aktivis PRD bukan sekedar mencari kambing hitam dalam peristiwa 27 Juli
1996. Menurut Max Lane, peristiwa 27 Juli 1996 merupakan peningkatan krisis
politik yang menyebabkan kehancuran politik

massa mengambang

yang

selama ini diusung Orde Baru. Untuk itulah, pemerintah Orde Baru
melancarkan serangan langsung terhadap agen utama yang mempromosikan
aksi yaitu PRD. ( Anak Agung Gde Putra, 2012 : 424 426 )

57

Vous aimerez peut-être aussi