Vous êtes sur la page 1sur 3

FIKIH VS TASAWUF DALAM KEHIDUPAN KONTEMPORER

Memang ada banyak kalangan yang akhir-akhir ini beranggapan bahwa


cara berpikir ala fikih, tidak selalu bisa menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat ISlam dewasa ini, apalagi kalau sudah
menyangkut kasus-kasus yang sifatnya multidisipliner, sehingga fikih
dianggap tidak memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Misalnya, ketika muncul isu-isu tentang globalisasi, kerukunan antar umat
beragama, multikulturalisme dan sebagainya, cara berpikir ala fikih selalu
ketinggalan ketika menjawab masalah-masalah tersebut, kalau tidak
justru menghalang-halangi munculnya konsep-konsep tersebut. Karena
itu, ada tarik ulur yang berkepanjangan tatkala fikih ikut campur ke dalam
ranah-ranah keilmuan tersebut. Banyak yang langsung memfonis dengn
mengatakan, "Paling-paling ujung-ujungnya mengharamkan" dan ada lagi
yang dengan tegas mengatakan, "Berbicara masalah ini jangan melihat
dari perspektif fikih pasti tidak akan ketemu". Melihat keadaan ini,
kadang-kadang, sebagai seorang muslim saya merasa prihatin, padahal
Islam menjadi besar pada masa kejayaannya dulu, salah satu
penyebabnya adalah karena berkembangnya ilmu fikih.

Menurut saya, kemunculan fikih sebenarnya merupakan alternatif untuk


mengatasi carut-marutnya kehidupan muslim,yang terlalu mengandalkan
gaya berpikir tasawuf, yang cenderung bebas dan serba boleh. Cara
berfikir ala tasawuf, menjadikan sebagian penganutnya lepas dari ranah-
ranah hukum syariat, sehingga muncullah pemikiran-pemikiran yang
permisif dalam segala bidang. Bagi seorang penganut sufisme falsafi,
mereka mengibaratkan semua jalan yang ditempuh manusia itu, seperti
sungai-sungai yang bermuara ke laut. Ada di antara sungai-sungai itu
yang besar, ada yang kecil ada yang jernih, ada yang keruh, ada yang
bersih dan ada yang kotor, tetapi tatkala sungai-sungai yang bermacam-
macam itu sampai di laut, maka semuanya menjadi bersih karena sifat-
sifat air laut yang dapat membersihkan dan menjernihkan segala macam
air yang masuk ke dalamnya. Dengan pandangan filsafat semacam inilah
para sufi beranggapan bahwa berbagai jalan kehidupan yang ditempuh
umat manusia di muka bumi ini, pada dasarnya seperti sungai-sungai
yang bermuara ke lautan tersebut. Ada manusia yang baik, ada yang
jahat, ada yang rajin, ada yang malas dan sebagainya tidak jadi masalah,
karena toh mereka akan kembali kepada Allah dan ALlah lah yang akan
menentukannya. Jalan pemikiran seperti ini, pada akhirnya memunculkan
sikap yang sangat permisif dalam kehidupan bertasawuf. Karena itu, para
ahli fikih berusaha untuk menandingi pemikiran tersebut dengan
mengatakan bahwa seseorang tidak akan bisa sampai kepada Allah, jika
dia tidak mematuhi aturan-aturan ALlah yang ada dalam syari'at-Nya,
sehingga seshaleh apa pun orang itu, tetapi tidak menjalankan syariat
maka dia tidak akan bisa sampai kepada Allah, alias keliru jalannya.
Karena itulah akhirnya muncul konsep-konsep tentang tasawuf sunni,
yang menggabungkan antara syari'at dan ma'rifat, yang mana seseorang
tidak akan sampai kepada ma'rifat jika tidak melalui jalan syari'at.

Dalam perjalanan sejarah umat ISlam, kedua pola pikir itu, yaitu pola pikir
fikih dan tasawuf itu, pernah mengalami kejayaannya masing-masing,
sehingga pada periode tertentu muncul kitab-kitab fikih yang hebat-hebat
seperti Al-Umm karya Imam Syafi'i, Mazahibul Arba'ah karya Ibnu Rusyd
dan sebagainya. Para periode lainnya, muncul kitab-kitab tasawuf hebat
seperti madariju salikin dan sebagainya.

Memasuki era globalisasi saat ini, perseteruan antara tasawuf dan fikih
itu, pada dasarnya masih belum usai. Setiap ada permasalahan baru
muncul, pikiran-pikiran ala tasawuf selalu berhadapan dengan pikiran-
pikiran ala fikih. Munculnya isu-isu kontemporer, seperti
multikulturalisme, kerukunan antar umat beragama, doa bersama antar
agama, dan sebagainya, selalu memunculkan polemik yang panjang
antara kelompok yang membolehkan dan tidak membolehkan. Adanya
kegiatan-kegiatan bersama, seperti doa bersama antar agama misalnya,
akan memunculkan polemik apakah kegiatan seperti itu boleh atau tidak
boleh. Mereka yang berpikir ala fikih akan cenderung mengatakan “tidak
boleh” karena Allah mengatakan “lakum dinukum wa liya din”. Bagi
mereka yang berfikir ala fikih akan mengatakan bahwa dalam urusan
agama sendiri-sendiri dan kalau dalam urusan dunia boleh bersama-sama.
Sedangkan mereka yang berpikir ala sufi akan membolehkan kegiatan
seperti itu, karena bagi mereka, doa bersama itu diibaratkan seperti
sungai-sungai yang bermacam-macam bentuk dan airnya, toh semuanya
akan bermuara ke dalam lautan.

Disadari atau tidak, sebenarnya cara berpikir ala fikih justru berkembang
di zaman modern, terutama pada masa-masa industrialisasi dan
modernisasi hingga sekarang. Tampaknya manajemen dunia industri dan
perusahaan-perusahaan modern pada saat ini, justru cocok dengan gaya
berpikir ala fikih, bukan gaya berpikir ala tasawuf. Mengapa demikian?
Karena manajemen perusahaan memerlukan ketertiban, akuntabilitas,
penghargaan dan hukuman. Karena itu, setiap perusahaan maju, memiliki
standar mutu pelayanan yang jelas, target yang jelas, dan aturan-aturan
yang jelas. Barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan tersebut,
atau tidak memenuhi standard yang ditetapkan, maka dia akan terkenai
sangsi-sangsi administratif dan tidak bisa bergabung dengan sistem yang
diperlakukan di dalalm organisasi perusahaan tersebut. Karena itu
muncullah konsep-konsep manajemen ala fikih seperti Total Quality
Manajemen (TQM), Manajemen Mutu Terpadu (MMT), sistem ISO
9000:2001 dan sebagainya, yang menetapkan standard dan aturan-aturan
tertentu yang harus dipatuhi secara ketat oleh semua anggota dan warga
perusahaan (organisasi).

Sementara itu, cara berpikir tasawuf tidak bisa berkembang dalam dunia
perusahaan, tetapi justru berkembang pada dunia sosial dan politik. Ketika
menyangkut masalah sosial dan kehidupan sosial, masalah fikih banyak
dikesampingkan, karena dinamika kehidupan sosial berkembang jauh
lebih cepat daripada dunia-dunia lain, sehingga gaya berpkir tasawuf
cenderung lebih pas digunakan daripada berpikir ala fikih. Karena itu,
banyak para aktivis sosial yang berpikir jauh melampaui fikih dan fikih
selalu datang belakangan dengan cara membahas apakah ini boleh
ataukah tidak boleh, sehingga tidak heran jika para aktivis sosial enggan
berpikir ala fikih.

Kapan sebenarnya gaya berpikir ala fikih diperlukan dan kapan gaya
berpikir ala tasawuf diperlukan?

Bila anda menginginkan suatu keadaan yang tertib dan aman, maka fikih
perlu ditegakkan, bila keadaan di sekitar anda carut marut, banyak
pelanggaran HAM, dan banyak kejahatan maka fikih perlu ditegakkan.
Tetapi jika masyarakat anda statis, tidak ada perkembangan, tidak ada
dinamika, maka anda perlu menerapkan ala berpikir tasawuf dengan
sedikit mengabaikan fikih agar muncul gejolak, muncul isu-isu, muncul
dinamika dan seterusnya.

Bila anda ingin menjadi seorang pemimpin yang dinamis dan berwawasan
ke depan, maka melompatlah di atas fikih, tanpa melanggar fikih, yaitu
dengan cara berpikir ala tasawuf tetapi tindak meninggalkan fikih. Bila
anda ingin menjadi pegawai yang baik, maka patuhilah fikih dan jangan
banyak bertasawuf. Wallahu a’lam bishawab.

Vous aimerez peut-être aussi