Vous êtes sur la page 1sur 2

Haruskah Setiap Perubahan Memakan Korban?

Ada satu ungkapan yang sering kita dengar di masyarakat bahwa setiap
perubahan membutuhkan pengorbanan dan tidak ada perubahan yang
berjalan mulus tanpa pengorbanan. Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan ungkapan tersebut? Apakah yang dimaksud dengan pengorbanan
itu adalah pengorbanan harta, jiwa dan raga? Ataukah itu hanya
merupakan kiasan untuk lebih gigih dalam menggapai suatu perubahan?

Memang dalam kehidupan kita sehari-hari, setiap ada perubahan, baik


dalam skala kecil maupun besar, akan terjadi suatu gejolak yang sesuai
dengan tingkat besar dan kecilnya perubahan tersebut. Mungkin kita
masih ingat apa yang terjadi pada bangsa ini pada tahun 1997-an, yaitu
ketika awal-awal terjadinya era reformasi di Indonesia, dari masa orde
baru kepada orde reformasi. Pada saat itu, semua elemen masyarakat
merasa resah dan gelisah. Ekonomi menjadi tidak menentu, terjadi
demonstrasi di mana-mana, mahasiswa setiap hari melakukan orasi dan
turun ke jalan-jalan untuk melakukan demonstrasi. Sebagian ada yang
sepakat dengan adanya perubahan dan sebagian lain ada yang menolak.
Tetapi arus perubahan terus bergulir hingga akhirnya tumbanglah era
Orde Baru dan berganti dengan Era Reformasi.

Dalam perubahan ini, tidak sedikit korban yang berjatuhan. Mungkin


puluhan nyawa melayang sia-sia, milyaran rupiah hangus dimakan api,
dan ribuan orang harus terluka baik jiwa maupun raga. Kerusuhan terjadi
di mana-mana, toko-toko dibakar, barang-barangnya dijarah, problem
etnis bermunculan dan banyak orang-orang dari etnis China terutama,
yang harus mengungsi karena takut dengan amukan masa yang tidak
tahu arah tentang makna perubahan.

Beberapa waktu yang lalu, ketika akan dilakukan relokasi makam mbah
Priuk, juga terjadi bentrokan yang hebat antara penduduk setempat
dengan aparat pemerintah. Tidak sedikit korban yang jatuh akibat
bentrokan tersebut. Menurut berita, sedikitnya ada satu korban meninggal
dunia, ada beberapa orang yang cacat permanen dan puluhan orang yang
luka-luka, mulai dari yang luka ringan hingga luka parah. Dalam bentrokan
itu, kedua belah pihak bersikukuh bahwa mereka memiliki hak yang sama
dalam keterkaitan dengan makam mbah priuk. Pihak masyarakat merasa
bahwa mereka berhak untuk melestarikan makam leluhur mereka yang
merupakan cikal-bakal daerah Tanjung Priuk. Sementara aparat pamong
praja dan kepolisian, yang dikerahkan untuk menertibkan lokasi, berdalih
hanya menjalankan tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak sedikit
kerugian yang disebabkan oleh peristiwa itu, puluhan mobil aparat hancur
diamuk masa dan masih banyak lagi korban lainnya yang berjatuhan.

Menurut hemat saya, memang tidak mudah untuk melakukan suatu


perubahan, karena sifat manusia pada umumnya adalah menyukai
ketenangan, sedangkan perubahan biasanya akan selalu mengusik
ketenangan yang ada. Seseorang yang ingin melakukan perubahan harus
berhadapan dengan ketenangan yang selama ini dijalani oleh masyarakat
di sekitarnya. Jika seseorang memiliki gagasan untuk merubah suatu
sistem, kendala terberat biasanya bukan berasal dari luar sistem, tetapi
justru dari dalam sistem itu sendiri, baik para penguasa, pejabat, atau
masyarakat organisasi yang telah lama menjalani sistem yang ada.

Besar dan kecilnya benturan, sangat ditentukan oleh sejauhmana orang


tersebut mampu mempertemukan antara budaya lama dengan budaya
baru yang akan diperkenalkannya. Jika orang tersebut membenturkan
begitu saja antara budaya lama dengan budaya baru tersebut, maka pasti
akan terjadi benturan yang hebat, mana yang kuat akan menang dan
yang kalah akan hancur. Di sinilah yang pada gilirannya akan
menyebabkan munculnya korban-korban perubahan yang dikehendaki.
Tetapi jika dia mampu melakukan perubahan secara gradual tanpa
menimbulkan riak di dalam masyarakat, dengan cara-cara yang lebih
dialektis, maka di situlah letak kehebatan orang tersebut dalam
melakukan perubahan tanpa menimbulkan korban.

Menurut Hegel, proses dialektika sangat diperlukan dalam melakukan


setiap perubahan budaya atau kultur, karena melalui dialektika itulah
sebuah kultur baru akan muncul, yaitu kultur yang merupakan perpaduan
dari kultur lama dan kultur yang baru. Proses dialektika yang sempurna,
tidak akan menyebabkan adanya korban, melainkan sebaliknya akan
memunculkan kreativitas-kreativitas baru yang menjadikan budaya
masyarakat semakin kaya dan berkembang. Dalam dialektika tersebut
akan terjadi proses thesis dan antithesis. Tesis-tesis lama akan
dipertemukan dengan ide-ide baru yang akhirnya akan menimbulkan
antitesis-antitesis baru. Jika antitesis itu telah menjadi mapan, maka dia
akan menjadi tesis yang diakui. Setelah itu akan muncul tesis-tesis baru
yang menyanggah tesis-tesis lama dan seterusnya. Begitulah proses
dialektika akan terus terjadi dalam masyarakat, sehingga proses
perubahan akan terus terjadi di masyarakat tanpa menimbulkan korban.
Jika proses dialektika mampu dijalankan secara baik dan benar, maka
perubahan tidak harus menimbulkan korban. Memang perubahan
membutuhkan pengorbanan tetapi perubahan tidak harus menimbulkan
korban…wallahu a’lam bishawab.

Vous aimerez peut-être aussi