Vous êtes sur la page 1sur 3

Nama : Khairul Amin

NIM : 08720044

Prodi : Sosiologi

RESUME

MENYEGARKAN KEMBALI PEMIKIRAN ISLAM


Islam pertama-tama diletakkan sebagai “organisme” yang hidup sehingga selalu
berkembang seiring dengan perkembangan manusia, karena islam bukanlah sebuah
monument mati. Islam dalam hal ini di posisikan sebagai paket tuhan yang disuguhkan
kepada kita secara sederhana yang pada dasarnya dapat menghambat kemajuan islam itu
sediri. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang bukan sekedar sederhana untuk
kemajuan islam yang salah satunya adalah dengan cara melihat kembali bagaimana
seharusnya islam ditafsirkan pada saat sekarang ini dengan memberikan batasan yang
jelas terhadap penafsiran itu sendiri, yaitu dengan cara menafsirkan islam yang non-
literal, substansial, kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan hidup manusia atau dengan
kata lain sesuai dengan tuntutan zaman. Kemudian memperjelas antara islam sebagai
produk budaya dengan islam yang memiliki nilai fundamental dan transenden atau
dengan kata lain adanya pemisahan pemahaman dalam ranah sosial dan ranah ilahiyah,
karena nilai-nilai universal juga harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya
konteks arab, melayu, eropa dan lain sebagainya. Karena yang terpenting ialah
mengikuti nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek yang universal tersebut.
Selanjutnya, umat islam seharusnya memandang bahwa mereka dan umat non-islam
sebagai keluarga universal yang dilandasi oleh nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada
alasan untuk mendiskriminasikan golongan atau kelompok-kelompok agama tertentu.
Dan yang terakhir adalah harus ada pemisahan jelas antara urusan agama dan urusan
politik, karena jelas bahwa urusan agama adalah urusan pribadi sedangkan urusan politik
berada dalam ranah sosial yang diatur secara demokrasi. Namun demikian, hendaknya
nilai-nilai universal agama juga diharapkan berpengaruh dalam pembentukan nilai-nilai
public, tetapi doktrin dan praktek kagamanaan yang bersifat particular adalah urusan
masing-masing agama.

Dalam konteks sosial, tidak ada yang dinamakan dengan hukum tuhan(qisos, jual
beli, dls), tetapi yang ada hanyalah prinsip-prinsip umum yang bersifat universal dalam
tujuan umum syariat islam. Sama halnya ketika kita melihat posisi Rasulullah SAW
sebagai tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, karena konteks sosio-kultur pada
masa rasul dengan sekarang telah mengalami banyak perubahan, begitu halnya dengan
menerapkan konteks keislaman di madinah. Sehingga dapat dikatakan bahwa kita tidak
wajib mengikuti Rasulullah SAW secara harfiah karena perbedaan tempat, keadaan, dls.
Oleh karena itu, pada saat sekarang ini umat islam di tuntut untuk melakukan ijtihad
guna menemukan penafsiran baru yang relevan untuk menjawab berbagai persoalan
yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya umat islam
mengembangkan pemahaman dan penafsiran baru serta menniggalkan “klaim” bahwa
yang benar hanya berasal dari umat islam saja, karena sebuah kebenaran pada dasarnya
dapat berasal dari mana saja, sehingga sepatutnya pula umat islam menerima kebenaran
yang berasal dari golongan atau agama lain karena setiap nilai kebenaran sejatinya juga
milik islam.

Musuh utama umat islam sesungguhnya adalah “ketidakadilan”, kerena nilai


yang diutamakan islam adalah keadilan, dan musuh yang paling berbahaya adalah
dogmatism. jadi misi islam sesungguhnya adalah meletakkan keadilan di muka bumi ini
dalam berbagai aspek, baik itu sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Jadi, upaya-
upaya menegakkan syariat islam sebenarnya menunjukkan ketidak berdayaan umat
islam untuk menyelesaikan permasalahan yang subtansial karena mereka beranggapan
dengan syariat islam semua masalah dapat diselesaikan, padahal hal tersebut merupakan
penafsiran yang kolot dan sudah tidak relevan lagi pada saat sekarang ini. Kemudian,
umat islam harus secara tegas meghilangkan garis pemisah antara golongan allah
(islam) dan golongan setan (barat), karena kebenaran dapat dipelajari dimana-mana
sebagaimana yang tertulis sebelumnya, bahkan nilai islam mungkin akan banyak sekali
ditemukan dalam filsafat marxisme. Oleh karena itu, islam lebih tepat disebut dengan
“proses” yang senantiasa bergerak secara fleksibel dan tak pernah selesai ketimbang
sebuah “lembaga agama” yang bersifat beku, kaku dan lain sebagainya.

Syarat dasar memahami islam dengan tepat ialah senantiasa mengingat bahwa
penafsiran harus tetap tertuju pada kemaslahatan umat. Karena agama(islam) adalah
suatu kebaikan bagi umat manusia dan karena manusia senantiasa berkembang, maka
agama pun harus bisa mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan manusia itu
sendiri. Tetapi jika islam diarahkan pada penafsiran yang berlawanan dengan
kemaslahatan manusia, maka islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak
berguna bagi umat manusia.

Vous aimerez peut-être aussi