Vous êtes sur la page 1sur 2

Menyongsong Indonesia Menuju Pendidikan Kapitalis

Oleh: Dr. Munirul Abidin, M.Ag

Sejak dua atau tiga bulan yang lalu hingga bulan juli mendatang, hampir semua
lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi,
sedang sibuk melakukan penerimaan atau pendaftaran siswa dan mahasiswa baru.
Para orang tua yang mempunyai anak yang bru lulus dari jenjang sebelumnya, juga
sibuk memilih lembaga pendidikan mana yang akan dipilih sebagai tempat
pendidikan putra-putri mereka. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anak
mereka mndapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas, karena itu banyak orang
tua yang tidak ingin sembarangan menyekolahkan anak-anak mereka, sehingga
mereka harus pandai-pandai dalam memilihnya.

Tetapi di samping orang tua harus memilih lembaga pendidikan yang berkualitas,
mereka juga harus berhadapan dengan biaya administrasi yang cukup mahal.
Sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang menyatakan dirinya berkualitas, berani
memasang tarif tinggi dengan alasan bahwa biaya oprasional penyelenggaraan
pendidikan berkualitas juga mahal. Karena itu, orang tua harus pandai-pandai
dalam memilih lembaga pendidikan yang sesuai dengan kemampuan kantong
masing-masing.

Kasus di kota Malang, lembaga pendidikan tingkat dasar, baik MI maupun SD yang
dianggap berkualitas oleh masyarakat, rata-rata mematok harga 3 juta hingga 10
juta rupiah per anak. Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMP berkisar antara 5
sampai 7 juta rupiah. Adapun di tingkat perguruan tinggi, memiliki tarif yang
bervariasi juga, mulai dari 5 juta rupiah hingga ratusan juta rupiah tergantung pada
jurusan apa yang diambilnya.

Melihat fenomena di atas, akhir-akhir ini banyak bermunculan pertanyaan tentang


quo vadis pendidikan Indonesia? mau dibawa kemana arah pendidikan kita?

Tampaknya laju pertumbuhan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, telah


mengarah pada satu paradigma baru yang saya sebut dengan "Kapitalisme
Pendidikan". Pendidikan yang dulunya merupakan akitivitas sosial yang tidak
memperhitungkan keuntungan atau laba, sekarang sudah berbalik arah 180 derajat
menjadi "pabrik bisnis" yang paling hebat. Jika sekarang, banyak perusahaan yang
kolap akibat krisis global dan persaingan ketat antar perusahaan, sebaliknya dunia
pendidikan justru tumbuh subur dengan wajah "kapitalisme" barunya.

Bila kita membaca sejarah para ulama dulu, bagaiaman mereka mengajarkan ilmu
pengetahuan, maka kita tahu bahwa pada dasarnya pendidikan adalah aktivitas
sosial yang harus dilakukan oleh setiap orang untuk membebaskan manusia dari
kebodohan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, para ulama dulu, rela
mengeluarkan harta dan tenaga mereka untuk mendidik orang-orang yang datang
mnuntut ilmu kepada mereka secara gratis. Bahkan banyak di antara mereka yang
diberi beasiswa dari uang saku mereka sendiri. Masih adakah tindakan seperti itu
dilakukan oleh masyarakat akademik di lingkungan kita?

Jangankan orang pribadi, lembaga pendidikan negeri pun, yang dulunya sangat
bersifat sosial, yang telah digembar-gemborkan akan memberikan pendidikan gratis
kepada masyarakat, ternyata ikut-ikutan menjadi "vampir" masyarakat. Pada
awalnya, saya merasa gembira dengan isu-isu skeolah gratis bagi masyarakat.
Tetapi kenyataannya, hampir tidak ada satupun sekolah yang benar-benar gratis
seperti yang dijanjikan itu. Sekolah RSBI (Rintisan Sekolah berstandar Internasional)
atau SBI (Sekolah berstandar Internasional) yang dibentuk oleh pemerintah dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan tingkat menengah, ternyata ujung-
ujungnya juga menentang kebijakan pemerintah sendiri tentang "pendidikan
gratis". Karena setelah RSBI atau SBI itu berhasil, semua sekolah yang merasa
berstandar internasional itu, ramai-ramai memasang tarif mahal bagi siswa baru,
hingga akhirnya di Malang, dibatasi maksimal 5 juta rupiah. Sedikitkah uang 5 juta
itu?

Begitu juga Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang dulunya dibangun untuk
kepentingan sosial, juga berlomba-lomba untuk menjadi "vampir" penyedot darah
masyarakat. Beberapa PTN yang dulunya hanya menampung 5 ribu mahasiswa
dalam setahun, sejak tahun ini banyak yang berancang-ancang akan mengambil
mahasiswa hingga 12.000 mahasiswa, melalui lebih dari 10 jalur penerimaan.
Akibatnya, beberapa PTS yang ada di sekelilingnya, harus gigit jari karena
kekurangan mahasiswa.

Mahasiswa PTN yang dulunya hanya ditarik SPP sebesar ratusan ribu rupiah,
sekarang ditarik uang ini dan itu, sehingga mencapai puluhan hingga ratusan juga
rupiah.

Jika semua PTN yang dianggap berkualitas itu telah menerapkan "tarif mahal"
dalam penyelenggaraan pendidikannya, lantas bagaimana dengan anak-anak
petani atau buruh tani di desa yang untuk makan pun masih kurang? bagaimana
dengan anak-anak buruh yang jumlahnya lebih dari 50% dari penduduk Indonesia
itu? Tidak pantaskah mereka mengenyam pendidikan yang baik milik pemerintah
itu?

Wallalhu a'lam Bishawab

Vous aimerez peut-être aussi