Vous êtes sur la page 1sur 13

TEKS PERMAINAN ANAK PANGPRING: STRUKTUR, KONTEKS

PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN FUNGSI

Latar Belakang Masalah


Tradisi lisan merupakan medium terindah dalam sejarah kesusastraan Nusantara
ini. Sebelum kertas ditemukan oleh Tsa’Lun, sebelum mesin cetak ditemukan oleh
Johann Gutenberg dimana keduanya menjadi medium tradisi tulis, peradaban dibangun
oleh berbagai tradisi lisan. Baik bergenre prosa, puisi, maupun drama.
Permainan anak Pangpring, merupakan salah satu bentuk dari tradisi lisan
tersebut. Dalam permainan anak Pangpring ini, terdapat sebuah teks yang dinyanyikan
sebagai pengiring dalam permainan. Tradisi permainan anak Pangpring merupakan
warisan turun-temurun dari si empunya cerita yang diwariskan dengan sisitem vertikal.
Meskipun hampir punah dan terdominasi oleh sastra tulisan atau modern. Akan
tetapi, permainan anak ini masih tetap hidup sampai sekarang, khususnya di kalangan
keluarga terdekat penulis sebagai ahli waris dari permainan anak ini. Warisan tersebut
dijaga keasliannya dengan cara terus dipelihara dan tentunya permainan ini terus
dilakukan, walaupun hanya terbatas dilingkungan dalam keluarga.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan berusaha mengungkap
makna yang ada dibalik permainan anak Pangpring ini, serta mengetahui fungsi teks
permainan anak tersebut dengan menganalisis struktur, isi, dan fungsi permainan anak
Pangpring tersebut.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana struktur teks permainan anak Pangpring?
2) Makna apa yang terkandung dalam permainan anak Pangpring?
3) Bagaimana fungsi permainan anak Pangpring dalam masyarakatnya?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memaparkan struktur teks dari permainan anak Pangpring.
2) Memaparkan makna yang terkandung dalam permainan anak Pangpring.
3) Memaparkan fungsi dari permainan anak Pangpring.

Populasi dan Sampel


Identitas informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Nama : Wiwi Kartiwi
Umur : 81 Tahun
Pendidikan : tidak sekolah
Hub. Dengan Penulis : Nenek penulis
Sumber tuturan : Dilisankan
Hari dan Tgl Perekaman : 20 April 2007
Tempat : Di rumah informan

Landasan Teoretis
Istilah folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris folklore. Kata
tersebut adalah kata mejemuk yang berasal dari dua kata folk dan lore. Dundes dalam
Danandjaja (2002:1-2) menyebutkan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki
ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan
kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal tersebut antara lain dapat berwujud:
warna kulit yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang
lebih pentig lagi adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang
telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat meraka akui
sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan
identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi
folk, yaitu sebagian kebudayaan, yang diwariskan turun-temurun secara lisan melalui
suatu contoh yang disetai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic
device).
Zidan (2000:74) menyebutkan bahwa semua folklor adalah semua tradisi rakyat,
seperti kepercayaan, warisan kebudayaan, dan adat istiadat yang tradisional. Istilah ini
berasal dari tradisi Anglo Saxon, Folk “rakyat” dan lore “pelajaran”, biasanya hanya
mencakup bahan-bahan yang disebarkan secara lisan, tetapi sekarang meliputi sumber
tertulis tentang tradisi, pandangan hidup, dan kebiasaan rakyat, balada rakyat, dongeng,
mitos, peribahasa, pepatah tradisi lisan.
Dalam analisis ini, jenis tradisi masyarakat tersebut berupa permainan anak yang
berasal dari kearifan budaya Sunda, yang menurut istilah bahasa Sunda sering disebut
dengan kaulinan budak. Permainan anak tradisional yang merupakan warisan turun-
temurun dari si empunya cerita hingga saat ini masih dipertahankan, dalam artian sampai
dengan penelitian ini dilakukan khazanah kebudayaan tersebut masih banyak dilakukan.
Untuk lebih jauhnya, permainan anak Pangpring ini diajarkan guna kelestarian khazanah
kebudayaan Sunda secara khususnya, dan kebudayaan Indonesia pada umumnya.

Analisis terhadap teks permainan anak Pangpring


Teks yang dianalisis merupakan teks permainan anak Pangpring yang diperoleh
dari kampung Cikembar. Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi. Teks permainan
anak dianalisis merupakan nyanyian pengiring pada bentuk permainan anak-anak yang
dilakukan dengan berbagai gerakan. Teks permainan anak pangpring tersebut
menggunakan bahasa Sunda. Analisis ini akan mengacu pada analisis struktur, konteks
penuturan, fungsi, dan proses penciptaan.

Analisis Struktur
Analisis struktur meliputi analisis formula sintaksis, formula bunyi, formula
irama, majas, dan tema.
Formula sintaksis
Teks permainan anak pangpring ini terdiri dari enam larik, yang isinya antara lain;
Teks asli Teks terjemahan
(1) Pangpring, Pangpring (1) Habis, habis
sabulu gading semua bulu yang ada
(2) Bodasna ka ninikeun, (2) Yang putih untuk nenek
Hideungna ka akikeun Yang hitam untuk kakek
(3) Sorosot gedang, Sorosot gedang (3) Melorot pepaya, melorot pepaya
(4) Kotek, Kotek, ti Oo (4) Korek, korek, Tahi ayam

Larik pertama berupa satu kalimat yang terdiri dari 4 kata dan 8 suku kata, dengan
konstruksi kalimat berupa S+P. Kata /Panpring/ berfungsi sebagai subjek dan frasa
/Sabulu gading/ berfungsi sebagai predikat. Kata /Pangpring/ berkategori nomina, dan
frasa /Sabulu gading/ merupakan frasa Konektif yang berkategori nomina.
Analisis Sintaksis Pangpring Sabulu gading
Fungsi S P
Kategori N N
Peran Pelaku Penerima
Pada kalimat ini terdapat makna dari kata Pangpring (Habiskan) tersebut adalah
segala sesuatu yang kotor harus dihabiskan. Kata habiskan tersebut dapat dikolerasikan
dengan kata bersihkan. Jadi intinya kalimat ini mengajak si pendengar untuk selalu
menjaga kebersihan diri, terutama bagian sekitar kaki.
Larik kedua terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama /Bodasna ka ninikeun/
terdiri dari 2 kata dan 7 suku kata. Dengan kontruksi kalimat P+S. Kata /Bodasna/
berfungsi sebagai predikat dan Frasa /Ka ninikeun/ yang berupa frasa direktif berfungsi
sebagai subjek. Kata /Bodasna/ berkategori adjektif, dan frasa /ka ninikeun/ berkategori
Verba. Kata /Bodasna/ memiliki peran sebagai pelaku dan frasa /Ka ninikeun/ berperan
sebagai penerima.
Analisis Sintaksis Bodasna ka ninikeun
Fungsi P S
Kategori Ad V
Peran Pelaku Penerima

Kalimat kedua /Hideungna ka akikeun/ terdiri dari 2 kata dan 7 suku kata. Dengan
kontruksi kalimat P+S. Kata /Bodasna/ berfungsi sebagai predikat dan Frasa /Ka
ninikeun/ yang berupa frasa direktif berfungsi sebagai subjek. Kata /Bodasna/ berkategori
adjektif, dan frasa /ka ninikeun/ berkategori Verba. Kata /Bodasna/ memiliki peran
sebagai pelaku dan frasa /Ka ninikeun/ berperan sebagai penerima.
Analisis Sintaksis Hideungna ka akikeun
Fungsi P S
Kategori Ad V
Peran Pelaku Penerima

Larik ketiga dalam teks Pangpring ini terdiri dari 2 kata dan 14 suku kata.
Terdapat bentuk reduplikasi dalam larik ketiga ini. Kalimat /Sorosot gedang/ diucapkan
dua kali. Kalimat dalam larik ketiga ini mempunyai kontruksi kalimat S+P. kata /Sorosot/
berfungsi sebagai subjek dan kata /gedang/ berfungsi sebagai predikat. Kata /Sorosot/
berkategori sebagai verba (kata kerja), dan kata /gedang/ berkategori sebagai kata benda
(nomina). Kata /Sorosot/ berperan sebagai pelaku dan kata /gedang/ berperan sebagai
penerima.
Analisis Sintaksis Sorosot gedang
Fungsi S P
Kategori V N
Peran Pelaku Penerima

Kalimat /Sorosot gedang/ dalam larik ini tidak ada kaitan makna dengan dua larik
sebelumnya. Karena kalimat ini hanya berupa tambahan kalimat yang digunakan sebagai
penggembira dalam permainan anak Pangpring ini.
Larik keempat terdiri dari 4 kata dan 8 suku kata. Kalimat dalam larik keempat ini
memiliki konstruksi kalimat S+P. Kata /Kotek/ berfungsi sebagai subjek dan Frase /ti Oo/
berfungsi sebagai predikat. Kata /kotek/ berkategori sebagai kata kerja (verba) dan frase
/ti Oo/ berkategori sebagai nomina. Kata /kotek/ memilki peran sebagai pelaku dan frase
/ti Oo/ berperan sebagai pelengkap.
Analisis Sintaksis Kotek ti Oo
Fungsi S P
Kategori V N
Peran Pelaku Pelengkap
Formula Bunyi
Pembahasan mengenai formula bunyi dalam teks permainan anak pangpring ini
dilengkapi dengan unsur asonansi dan aliterasi. Seperti diungkapkan oleh Pradopo,
bahwa pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi berserta
efek yang ditimbulkannya pada teks (Pradopo, 2002:31). Pada teks permainan anak
pangpring ini, larik pertama terdapat vokal /a/, /i/, /u/, yang berkombinasi dengan
konsonan-konsonan /p/, /b/, /g/. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi vokal dengan
konsonan tersebut membuat kata-kata yang diucapkan dalam larik pertama ini mudah,
ringan, dan tidak sulit untuk diucapkannya. Seperti terdapat pada kata: Pangpring, bulu,
gading
Larik kedua di isi dengan munculnya vokal /o/, /a/, /i/ yang dikombinasikan
dengan konsonan /b/, /h/, /k/. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi vokal dengan
konsonan tersebut sama halnya seperti terdapat pada larik pertama, yaitu memudahkan
kata-kata tersebut untuk diucapkan. Seperti terdapat pada kata: Bodasna, Hideungna.
Dalam larik kedua ini juga terdapat sufiks –keun yang berkategori sebagai verba. Seperti
pada kata: ka akikeun, ka ninikeun.
Pada larik ketiga terdapat vokal /o/, /a/, yang dikombinasikan dengan konsonan-
konsonan /s/, /r/, /d/, /g/. kombinasi tersebut menimbulkan efek bunyi yang padu antara
gabungan vokal dengan konsonan, sehingga kata-kata tersebut mudah untuk diucapkan.
Kemudahan pengucapan tersebut tidak bisa dilepaskan dari aliterasi yang timbul, dimana
konsonan /s/, /r/, /d/ merupakan bunyi alveolar. Seperti terdapat pada kata: Sorosot,
gedang.
Larik keempat di isi dengan kata-kata yang sebenarnya merupakan bentuk
perbuatan yang dilisankan separti pada kata Kotek (yang berarti mengkorek-korek).
Vokal yang dominan pada larik ini adalah vokal /o/, /e/, /a/, /u/ yang dikombinasikan
dengan konsonan /k/, /t/, /b/. kombinasi tersebut menimbulkan kata-kata yang terdapat
pada larik ini mudah untuk diucapkan. Seperti terdapat pada kata: Kotek, Bau. Terdapat
juga diftong (penggabungan dua vokal) pada larik ini. Seperti terdapat pada kata Bau,
Penggabungan vokal /a/ dan /u/ merupakan proses diftongnisasi.
Untuk memperjelas hasil analisis formula bunyi, di bawah ini dicantumkan
bentuk-bentuk asonansi dan aliterasi teks permainan anak Pangpring.
Tabel Asonansi dan Aliterasi
Larik Asonansi Aliterasi
1 /a/, /i/, /u/ /p/, /b/, /g/
2 /o/, /a/, /i/ /b/, /h/, /k/
3 /o/, /a/ /s/, /r/, /d/, /g/
4 /o/, /e/, /a/, /u/ k/, /t/, /b/

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa asonansi yang paling dominan adalah
bunyi vokal /a/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Terdapat juga bunyi
asonansi yang lain seperti vokal /o/, /u/, /e/, /i/, yang menimbulkan efek bunyi tertentu.
Aliterasi yang dominan adalah konsonan /b/ yang selalu ada pada setiap larik.
Konsonan lain seperti k/, /t/, /s/, /r/, /d/, /g /, /h/, /k/ /p/, muncul beberapa kali saja.

Formula Irama
Irama adalah pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi
bahasa dengan teratur (Pradopo, 2002: 31). Pola irama dari teks permainan anak
Pangpring ini tetap sama, artinya walaupun teks tersebut telah diwariskan kepada
generasi selanjutnya, pola irama dalam penuturannya tetap sama.
Permainan anak Pangpring ini merupakan bentuk kolaborasi antara teks yang
dinyayikan dengan suatu gerak sebagai sebuah permainan. Teks Pangpring terdiri dari
beberapa pola irama. Pada larik pertama terdiri atas 4 kata dan 8 suku kata. Pada larik
kedua terdiri dari 6 kata dan 14 suku kata. Pada larik ketiga terdapat bentuk reduplikasi
pada kalimat Sorosot gedang, pada larik ini terdiri dari 2 kata dan 10 suku kata. Pada
larik keempat terdiri dari 5 kata dan 6 suku kata.
Dari penjelasan di atas, telah terlihat bahwa teks permainan anak Pangpring
tersebut terdapat sebuah pola irama yang teratur. Keteraturan pola irama tersebut
memudahkan teks tersebut untuk diucapkan atau dinyayikan.

Majas
Bahasa yang digunakan dalam teks ini adalah bahasa Sunda. Kata-kata dalam teks
ini menggunakan kata-kata sederhana, akan tetapi tidak mengurangi estetika bahasa dari
teks tersebut. Teks permainan anak Pangpring ini menggunakan kata-kata yang
komunikatif, karena pada intinya teks ini berfungsi sebagai bahan pengajaran bagi anak-
anak, sehingga kata-kata yang dimunculkan bersifat komunikatif-estetik.
Majas yang digunakan dalam teks ini banyak menggunakan metafora.
Penggunaan metafora tersebut tercermin sebagai bentuk perumpamaan metafor-metafor
alam yang merupakan proses asosiasi dari kekayaan bahasa (kontemplasi). Peran metafor
tersebut membuat teks permainan anak ini telah sesuai dengan kaidah sastra yang
merupakan reka bahasa yang etis-estetis. Etis tersebut berupa pengajaran nilai yang
terkandung dalam teks, dan estetis yaitu berupa keindahan bahasa sebagai bentuk dari
kontemplasi. Hal tersebut tercermin pada dua larik terakhir pada teks ini, yaitu pada larik
ketiga dan keempat:
• Sorosot gedang, sorosot gedang
• Kotek,kotek, bau ti Oo
Dalam dua larik tersebut terdapat bentuk ajaran pendidikan dan menghibur. Inti
dari sastra itu menghibur. Akan tetapi, sastra tidak saja menghibur, sastra harus diberi
muatan nilai agar sastra itu bisa abadi. Seperti pada permainan anak pengpring ini terus
abadi sampai dengan saat ini.

Tema
Tema adalah kelompok ide yang digunakan secara teratur pada penciptaan cerita
pada gaya formulaik nyanyian tradisional. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang
dikemukakan oleh Greimas. Menurut Greimas yang dimaksudkan dengan isotopi adalah
suatu kesatuan kategori semantik yang timbul dari redudansi dan yang memungkinkan
pembacaan cerita seragam sebagaimana yang dihasilkan dari pembacaan ujaran itu
bagian demi bagian dan dari pemecahan ambiguitas yang dituntun oleh upaya pembacaan
yang senada (Greimas dalam Badrun,1994:36). Penjelasan mengenai isotopi pada teks
permainan anak Pangpring ini ada pada tabel berikut:

1. Isotopi Pekerjaan
Kata/Frasa Intensitas Denotatif (D) Komponen makna bersama
Perintah Aktivitas Sifat
yang termasuk Konotatif (K)
isotopi
pekerjaan
Pangpring 2x D/K + - -
Ka ninikeun 1x D + + -
Ka akikeun 1x D + + -
Sorosot 2x D/K - - -
Kotek 2x D/K - - -

Tabel 1, isotopi pekerjaan. Dari komponen makna yang digambarkan, terlihat


bahwa komponen makan perintah mendominasi pada teks Pangpring. Hal ini
menunjukan bahwa permainan anak Pangpring ini adalah sebuah perintah, atau lebih
tepatnya sebuah ajaran pendidikan. Komponen makna yang lain adalah aktivitas, yang
merupakan gerak dari permainan anak Pangpring ini.aktivitas tersebut dilakukan dengan
nyanyian dan gerakan sebagai bentuk permainan.

2. Isotopi Manusia
Kata/Frasa Intensitas Denotatif (D) Komponen makna bersama
Tubuh Berakal Aktivitas
yang termasuk Konotatif (K)
budi
isotopi
pekerjaan
Ka ninikeun 1x D + + -
Ka akikeun 1x D + + -

Tabel 2 isotopi manusia. Ada dua frasa yang termasuk kedalam isotopi manusia.
Komponen tubuh, berakal budi yang digunakan dalam isotopi ini menunjukan bahwa
permainan anak Pangpring ini dilakukan oleh manusia dan dikhususkan untuk manusia.
Isotopi-isotopi yang telah dijelaskan diatas tidak lepas dari motif-motif yang
dibentuk sebagai komponen dalam permainan anak Pangpring ini. Isotopi dalam
permainan anak ini ada dua, yaitu isotopi pekerjaan dan isotopi manusia. Hal ini
menjelaskan bahwa permainan ini memang merupakan sebuah bentuk aktivitas yang
dilakukan oleh manusia. Aktivitas tersebut berupa permainan yang dilakukan oleh
manusia sebagai bentuk penyampaian ajaran (pendidikan) bagi anak-anak.
Konteks Penuturan Permainan anak Pangpring
Permainan anak Pangpring merupakan bentuk permainan anak yang dilakukan
dengan perpaduan antara nyanyian dan laku (gerak). Teks tersebut dalam prakteknya
dinyanyikan oleh penutur dengan sebuah gerakan-gerakan sebagai representasi objek
tersebut. Biasanya si pendengar yang diajak oleh si penutur dalam permainan ini,
diperintahkan untuk menjulurkan kaki. Dengan demikian, sembari menyanyikan lagu
teks Pangpring tersebut penutur dapat menepuk-nepuk kaki si pendengar. Permainan
anak Pangpring ini biasa dilakukan oleh ibu dengan anaknya, sebagai bentuk pola asuh
(mengasuh anak).
Permainan anak Pangpring sarat dengan muatan pendidikan. Pola pendidikan
tersebut dibentuk dengan sebuah permainan anak. Seperti kita ketahui bahwa dalam
pengajaran terhadap anak dibutuhkan sebuah interaksi yang membuat anak tersebut
berminat dalam permainan ini, dan tentunya dapat mengambil pelajaran dari permainan
ini. Konteks penuturan yang diberikan harus sesuai dengan kondisi psikologis dan
perkembangan otak anak yang masih terbatas. Isi tuturan dalam permainan anak tersebut
telah berhasil menerapkan unsur-unsur diatas, sehingga makna pengajaran tersebut dapat
dilakukan dengan media sebuah permainan.
Permainan anak Pangpring tersebut biasanya dilakukan dalam waktu senggang,
ketika si penutur sedang ngasuh (mengasuh anak). Kemudian si anak sebagai pendengar
dibaringkan dengan kedua kakinya dijulurkan. Teks tersebut dinyanyikan sambil
menepuk-nepuk kaki si anak secara bergantian, mulai dari kaki sebelah kanan lalu kaki
sebelah kiri. Pada akhir permainan ini, si penutur kemudian mengkorek-korek kaki si
anak, kemudian menempelkan hasil korekan di kaki tersebut kehidung si anak. Kemudian
mengucapkan “Bau ti Oo”.
Dalam kaitannya dengan permainan anak Pangpring tersebut, penulis juga
mengalami permainan tersebut atau pernah melakukannya, baik sebagai penutur maupun
sebagai pendengar. Permainan anak Pangpring ini diwariskan secara turun temurun
dalam keluarga penulis.

Proses Penciptaan Permainan anak Pangpring


Proses penciptaan merupakan tradisi yang sangat tergantung kepada masyarakat
pemilik dan sifat isi yang diciptakannya. Proses penciptaan itu dapat terjadi dalam suatu
kelompok masyarakat. Oleh karena itu, pilihan proses penciptaan dapat dikembalikan
pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi lisan (Badudu, 2003:18).
Dalam proses penciptaan dapat dilihat cara masyarakat membuat karya cipta
tersebut. Secara garis besar proses penciptaan dapat dibagi dalam dua kategori; secara
spontan, dan terstruktur. Secara spontan terjadi dengan begitu saja tanpa
mempertimbangkan aspek lain, sehingga dalam konteks penuturan selanjutnya sering
terjadi proses interpolasi (penambahan atau pengurangan isi cerita). Proses penciptaan
terstruktur, ada dua proses yang dilakukan yaitu proses membaca dan menghapal.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, permainan anak Pangpring diperoleh
berdasarkan sistem vertikal antara si empunya dengan si pewaris. Seperti yang penulis
dapatkan, bahwa permainan anak Pangpring ini penulis dapatkan dari orang tua sebagai si
empunya. Proses penciptaan teks permainan anak Pangpring ini dapat dikategorikan
terstruktur. Artinya terdapat proses pembelajaran dengan cara menghapal dalam cara
pewarisan permainan ini. Permainan anak Pangpring ini sangat mudah untuk dilakukan,
maka dari itu permainan ini tetap bisa bertahan.

Fungsi Permainan anak Pangpring


Sebagai tradisi dimasyarakat, folklor tentunya berkaitan dengan nilai-nilai yang
terkandung dari tradisi tersebut. Manusia adakalanya memiliki sebuah kejenuhan akan
nilai-nilai yang mengikatnya, yang pada hakikatnya manusia cenderung menginginkan
kebebasan. Manusia akan merasakan nikmatnya kebebasan tersebut tatkala terikat. Oleh
karena itu, tradisi dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral merupakan sebuah ikatan
yang mengatur manusia dalam masyarakatnya.
Dengan melihat fungsi folklor tersebut, sebaiknya dikembalikan lagi kepada
masyarakat pemiliknya. Fungsi-fungsi itu bisa saja hilang atau tinggal nama-nama
semata. Oleh karena itu, fungsi-fungsi tersebut bergantung kepada sikap masyarakat
dalam menyikapi keberadaannya pada konteks tradisi yang masih mengandalkan
pelisanan.
Menurut William R.Bascom, fungsi folklor adalah sebagai berikut:
1) Sistem proyeksi, sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif
2) Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
3) Alat pendidikan anak-anak
4) Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan dipatuhi
kolektif.

Berdasarkan pandangan William R.Bascom diatas, maka dalam permainan anak


Pangpring mempunyai fungsi sebagai berikut:
Pertama, sebagai pengesahan budaya. Artinya, sebagai produk budaya dari suatu
kelompok masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam suatu
masyarakat kolektif.
Kedua, sebagai alat pendidikan anak-anak. Artinya, walaupun hanya berupa
permainan tetapi dalam permainan tersebut terdapat ajaran-ajaran yang merupakan
sebuah bentuk pendidikan. Dalam kaitannya dengan permainan anak Pangpring ini,
bentuk pengajaran berupa pentingnya menjaga kebersihan, khususnya kebersihan diri
sendiri.

Kesimpulan
Folklor atau sering disebut sebagai tradisi lisan, merupakan tradisi yang sudah
lama ada sebelum tradisi tulis ada di Nusantara. Sebagai sebuah tradisi tentunya banyak
muatan yang terkandung dalam setiap tuturannya. Dalam penelitian ini, permainan anak
Pangpring merupakan khazanah tradisi lisan tersebut. Permainan anak tradisional seperti
ini banyak sekali muatan filosofisnya, tentang ajaran pendidikan, tentang ajaran
kehidupan, dan masih banyak hal lainnya. Hal tersebut dapat terlihat ketika analisis
struktur meliputi analisis formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas, dan
tema dilakukan terhadap teks permainan anak Pangpring ini
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan, ataupun sebagai bentuk
upaya pelestarian budaya tersebut. Hal tersebut seperti sesuai dengan hakikat sebuah
karya cipta, yang merupakan sebuah sumbangsih individu terhadap masyarakatnya.
Adapun muatan nilai yang terkandung di dalam permainan anak Pangpring ini,
merupakan sebuah elemen yang ada sebagai pelestari dari tradisi tersebut. Karena setiap
karya yang mengandung muatan nilai (filosofis) tidak akan musnah termakan oleh
zaman. Nilai yang ada akan abadi, karena nilai tersebut memang bersifat abadi. Untuk itu
sebagai generasi muda sudah semestinya kita musti melestarikannya sebagai khazanah
budaya.

Daftar Pustaka
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

-------, 2002. Kajian Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Kaplan, David Kaplan dan Albert A.M. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Vous aimerez peut-être aussi