Vous êtes sur la page 1sur 9

TAK SEMUA PENYAKIT PERLU ANTIBIOTIK

Selama ini antibiotik dipercaya sebagai obat manjur yang dapat


mengenyahkan
berbagai penyakit. Padahal tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik!
Dunia kedokteran modern berkembang pesat dengan ditemukannya
antibiotik
pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming. Perkembangannya sungguh
fantastis,
hingga sekian puluh tahun kemudian masyarakat begitu mudah
mendapatkan
antibiotik di pasaran. Kala terserang flu atau pusing, orang dengan
mudah
mengobati dirinya sendiri dengan membeli antibiotik di apotek. Sebagian
beranggapan, kalau hanya sakit ringan tidak perlu ke dokter. Toh
paling-paling dokter akan memberikan resep yang sama dengan antibiotik
yang
bisa dibeli sendiri di apotek.
Padahal penggunaan antibiotik yang sembarangan dapat berakibat fatal.
"Apalagi tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik," tandas DR. Dr.
Rianto Setiabudy, dari Bagian Farmakologi FKUI.

HARUS SESUAI INDIKASI


Pada prinsipnya antibiotik adalah obat yang digunakan untuk membunuh
kuman
penyakit dalam tubuh manusia dan menyembuhkannya dari infeksi. Itu pun
hanya infeksi kuman yang harus dicermati lebih dulu, sehingga antibiotik
yang diberikan bisa cocok dengan infeksi yang diderita. "Penggunaan
antibiotik yang benar harus sesuai dengan indikasinya. Contohnya ada
infeksi kulit seperti bisul atau abses," kata Rianto.
Akan halnya infeksi virus, maka pada kasus ini tidak dibutuhkan
antibiotik.
Jadi pemakaian antibiotik untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus
seperti influenza tidak disarankan. "Influenza sebetulnya tidak dapat
diobati dengan antibiotik," ungkap Rianto. Apalagi kalau ada dokter yang
memberikan dua jenis antibiotik untuk sakit flu. "Ini sangat
disesalkan."
Antibiotik yang diberikan secara tidak tepat, alih-alih menyembuhkan
penyakit, yang ada justru menimbulkan banyak kerugian, di antaranya:

* Menimbulkan Kekebalan
Dalam tubuh manusia terdapat kuman-kuman "normal" yang memang
dibutuhkan
tubuh dan tidak memunculkan penyakit. Dengan konsumsi antibiotik
berulang,
kuman "normal" ini akan menjadi kebal. Lalu kekebalannya bisa ditularkan
pada kuman lain, termasuk kuman yang menyebabkan penyakit. Jadi
antibiotik
yang dikonsumsi berulang-ulang dapat menimbulkan kekebalan, apalagi bila
penggunaan itu sebenarnya tidak perlu. Dikhawatirkan, bila terjadi
infeksi
yang betul-betul membutuhkan antibiotik, obat tersebut sudah tidak lagi
efektif karena tubuh sudah resisten.

* Memunculkan Reaksi Alergi


Bila penggunaannya tidak tepat, antibiotik bisa menyebabkan alergi,
seperti
gatal, mual, pusing, dan sebagainya. Seringkali dokter menanyakan apakah
pasien memiliki alergi obat tertentu atau tidak. "Dokter yang menanyakan
hal ini pada pasiennya harus dipuji karena dia termasuk dokter yang
teliti," komentar Rianto. Sayangnya, yang sering terjadi pasien tidak
tahu
apakah dirinya alergi terhadap obat tertentu atau tidak.
Lalu bagaimana sebagai pasien kita harus menjawabnya? Seandainya sama
sekali tidak tahu pasti apakah punya riwayat alergi obat atau tidak,
"Sebaiknya ya jawab apa adanya. Dokter pasti akan membantu meresepkan
obat
yang aman. Tapi kalau tahu, misalnya alergi penisilin atau amoksilin,
tentu
dokter tidak akan meresepkannya."
Walaupun belum ada angka pasti berapa banyak orang yang alergi terhadap
antibiotik di Indonesia, yang paling banyak dijumpai adalah alergi
penisilin. Alergi terhadap obat biasanya ditandai dengan gejala
gatal-gatal, sesak napas ataupun reaksi lainnya.

* Harga Obat Jadi Mahal


Penambahan antibiotik yang tidak perlu akan membuat harga obat yang
harus
ditebus pasien jadi makin mahal. Dalam hal ini pasien punya hak untuk
memberikan pandangannya kepada dokter. Misalnya kalau untuk sakit flu
dokter meresepkan antibiotik, tanyakan saja apakah itu memang perlu.
Lebih
baik lagi, berobat saja ke dokter yang memang selektif dalam meresepkan
antibiotik.

KEMUNGKINAN EFEK SAMPING


Efek samping antibiotik tidak mesti muncul dari penggunaan jangka
panjang
karena penggunaan jangka pendek pun bisa saja menimbulkan kerugian.
Misalnya, pada orang-orang tertentu, antibiotik yang masuk ke tubuh
dapat
memunculkan reaksi berlebihan. Akibat yang paling parah di antaranya
Sindrom Steven Johnson, yang bisa berujung kematian.
Adapun jangka waktu penggunaan antibiotik sangat bervariasi tergantung
pada
berat ringannya penyakit. Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan
selama lima hari sudah cukup. Sedangkan untuk infeksi kuman yang
sifatnya
khusus, seperti TBC, waktu yang dibutuhkan jelas lebih lama, minimal 6
bulan. Berikut beberapa contoh antibiotik dan kemungkinan efek samping
yang
bisa ditimbulkannya:
Namun, bukan berarti obat-obat tersebut tidak boleh dikonsumsi, karena
manfaatnya justru besar bila digunakan dengan indikasi yang benar. Sudah
banyak bukti bahwa antibiotik dapat menyelamatkan nyawa manusia. Yang
perlu
kita lakukan adalah bersikap hati-hati, karena penggunaannya yang salah
dapat berakibat fatal.

Jenis Efek
samping
antibioti
k
Gentamisi Kerusakan
ginjal
n

Kloramfen Kerusakan sumsum tulang sehingga berpengaruh pada produksi


sel
ikol darah merah dan sel darah putih, bisa mengakibatkan
kematian.

Penisilin Syok anafilaksis (turunnya tekanan darah secara drastis


dan
tiba-tiba, bisa menyebabkan kematian) atau reaksi pada
kulit

Sulfa Reaksi
hipersensitivitas

DOSIS DULU DAN SEKARANG


Selama pengobatan, biasanya antibiotik diminum 2-3 kali sehari. Akan
tetapi
seiring dengan kemajuan dunia kedokteran, antibiotik jenis tertentu bisa
dikonsumsi hanya satu kali sehari. Soal efektivitasnya, menurut Rianto
sama
saja. Kalau antibiotik yang diberikan 3 kali sehari punya masa kerja
kurang
lebih 8 jam, maka yang dosisnya 1 kali sehari pun dibuat dengan masa
kerja
yang lebih lama.
Ada keuntungan lebih yang didapat dengan mengonsumsi obat sekali sehari,
yakni terhindar dari kemungkinan lupa dan tidak harus terlalu sering
minum
obat. Lebih menyenangkan, bukan? Namun, harap diingat antibiotik yang
bisa
diminum sekali sehari belum tersedia untuk semua penyakit infeksi kuman.

HARUSKAH DIHABISKAN?
Bila penggunaan antibiotik tersebut tepat sesuai indikasi, tak ada cara
lain kecuali harus dihabiskan. Contohnya untuk infeksi saluran
pernapasan
bawah yang disebabkan oleh kuman. Kalau dokter meresepkan harus
dikonsumsi
selama 7 hari dan harus dihabiskan, maka selama 7 hari itu harus
benar-benar dihabiskan, supaya tidak terjadi pemburukan pada penyakit
tersebut.
Sedangkan antibiotik yang tidak tepat penggunaannya, misalnya untuk flu
yang memang tidak membutuhkan antibiotik ya sebaiknya segera dihentikan.
Makin cepat menghentikan konsumsi antibiotik yang tidak benar, tentu
semakin baik.

JANGAN UBAH BENTUKNYA


Yang juga harus diingat adalah jangan mengubah bentuk antibiotik yang
diresepkan dokter. Bila bentuknya tablet, maka obat itu harus dikonsumsi
apa adanya. Seringkali karena kesulitan minum obat, maka sebelum
diminum
tablet itu digerus dulu. Atau kalau berupa kapsul dibuka dulu
kemasannya.
Ini jelas tidak benar. Pemakaian obat yang salah tidak akan menghasilkan
efek maksimal lantaran obat tersebut tidak diserap tubuh secara optimal.
Contohnya, tidak semua tablet bisa digerus karena ada yang dilapisi
dengan
lapisan khusus agar tidak teroksidasi. Bila isi tablet tersebut terpapar
sinar matahari atau zat lainnya, maka stabilitasnya jadi menurun. Bahkan
obat yang digerus di apotek pun tidak sepenuhnya aman dari human error.
"Karena setelah digerus obat tersebut harus melalui beberapa proses
lagi,
seperti ditimbang dan sebagainya, sehingga rawan salah."
Belum lagi ada beberapa antibiotik tertentu yang dilapisi enteric coated
tablet. Pelapisan ini dimaksudkan supaya obat tidak pecah di lambung.
Ingat
lambung memiliki kondisi asam yang akan merusak antibiotik sebelum
diserap
oleh tubuh. Kalau obat tersebut dapat terjaga utuh sampai usus halus
yang
kondisinya sudah tidak asam lagi, maka obat tersebut terhindar dari
kerusakan dini dan dapat diserap tubuh dengan baik.
Itulah mengapa di beberapa negara maju, seperti Amerika dan Australia,
sudah tidak ada lagi obat yang dikonsumsi dalam bentuk puyer. "Semua
obat
dikonsumsi apa adanya, sehingga lebih aman."

ANTIBIOTIK GENERIK VS PATEN


Belakangan marak dikampanyekan pemakaian obat generik, termasuk jenis
antibiotik. Adakah perbedaan efektivitas antara antibiotik generik
dengan
yang paten? "Sama sekali tidak ada," tandas Rianto. Obat generik sama
manjurnya dengan obat paten. Bahkan seringkali diproduksi di pabrik yang
sama dengan proses yang sama pula.
Bedanya yang satu diberi nama dagang dan menjadi obat paten yang
harganya
lebih mahal. Sedangkan yang tidak memakai nama dagang atau dikenal
dengan
istilah generik, harganya relatif lebih murah.
Namun harus diingat tidak semua obat memiliki versi generiknya. Kalau
memang obat tersebut tidak ada generiknya, mau tidak mau pasien harus
membeli obat dengan merek paten.

MINUMLAH OBAT SEPERLUNYA


Ada beberapa hal yang dianjurkan Rianto sehubungan dengan konsumsi
antibiotik, berikut di antaranya;
- Orang tua sebaiknya "waspada" dengan mencari dokter yang bisa
meresepkan
obat secara baik dan benar.
- Bila diresepkan sederet obat dan banyak macamnya, sebaiknya langsung
tanyakan. Dokter yang baik hanya akan meresepkan obat yang memang
sesuai
dengan indikasi penyakit yang diderita pasien saja.
- Kalau demam, batuk, dan flu ringan, boleh saja menggunakan obat yang
dijual di pasaran sebagai pertolongan pertama tapi jangan langsung
mengandalkan antibiotik.
- Jangan sembarangan menggunakan antibiotik, meski mungkin bisa dibeli
sendiri di apotek.
Marfuah Panji Astuti. (tabloid nakita)

==================

TUBUH KEBAL KARENA "BELAJAR"


Setiap tubuh manusia dibekali sistem kekebalan. Semakin banyak kenal
bibit
penyakit, cara kerjanya semakin canggih.
"Makanya Bu, anak jangan terlalu bersih nanti malah jadi sering
sakit-sakitan," nasehat Ibu Farhan kepada Ibu Dewi. Anak Ibu Dewi yang
bernama Fandy memang kerap sakit. Padahal Ibu Dewi sangat berhati-hati
menjaga kondisinya. Ia tidak boleh jajan sembarangan, tidak boleh main
di
tempat kotor, bahkan kalau ada teman sekolah Fandy yang sedang batuk-
pilek,
Ibu Dewi memilih anaknya belajar di rumah. "Lo, daripada ketularan. Kan,
repot!" ujar Ibu Dewi.
Kasus ini menarik untuk dibahas, terutama pernyataan Ibu Farhan bahwa
anak
yang terlalu bersih malah gampang sakit-sakitan. Betulkah pendapat itu?
Menurut dr. Purnamawati Sujud Pujiarto, Sp.A(K). MMPaed., penelitian
memang
membuktikan anak yang terlalu dijaga kebersihannya cenderung memiliki
sistem kekebalan (imunitas) yang lemah. Ini berkaitan dengan cara kerja
sistem imunitas yang, menurut Wati, berdasarkan "memori". Saat mendapati
kuman tertentu, sistem kekebalan akan menyimpan datanya. Kala bertemu
lagi
dengan kuman yang sama, sistem ini dapat langsung mendeteksi dan
membuat
benteng pertahanan.
Nah, kesterilan akan membuat sistem kekebalan seolah-olah tak pernah
"belajar" mengenali kuman. Sekalinya bertemu, akan kebingungan. Tak
heran,
serangan kuman yang sedikit saja tak mampu dibendung.
Namun, Wati buru-buru menambahkan, bukan berarti anak yang sering main
kotor-kotoran akan lebih sehat. Jelas tidak. Hanya saja sistem kekebalan
tubuh yang dimilikinya lebih "canggih" dalam mendeteksi kuman karena
sudah
"sering" bertemu. Mungkin saja karena ketidaksterilan itu anak jadi
sakit.
Namun jangan lupa, sakit juga melatih badan dan sistem kekebalan untuk
mengenali kuman yang pernah datang sehingga bisa dilawan dengan
efisien.
"Jadi tak perlu terlalu melarang anak kalau ia mau bermain di tanah,
asalkan menggunakan alas kaki agar tidak dimasuki cacing yang dapat
membuat
sakit. Sesudah main, tangannya yang kotor kan bisa dicuci," ujar dokter
spesialis anak ini.

DUA SISTEM KEKEBALAN


Sistem kekebalan tubuh sebenarnya merupakan hasil kerja sama berbagai
organ, jaringan tubuh, sel, dan molekul yang secara keseluruhan
melindungi
tubuh dari serangan berbagai "musuh". Untuk menjelaskan secara
gamblang,
Wati membagi sistem kekebalan tubuh menjadi dua bagian, yaitu sistem
kekebalan tubuh lini pertama dan sistem kekebalan tubuh lini kedua.
Sebagai gambaran sederhana, sistem ini dapat diibaratkan sebagai
barikade
yang berjuang mati-matian memproteksi tubuh. Barikade terdepan, yaitu
sistem kekebalan lini pertama, sudah dimiliki setiap manusia sejak
lahir.
Misalnya, kulit, asam lambung, sel berbulu getar di permukaan saluran
napas, selaput lendir di saluran napas dan saluran cerna, serta kuman-
kuman
jenis tertentu yang hidup di kulit dan di dalam usus.
Begitu bibit penyakit (patogen) menyerang, barikade terdepan mulai
mengadakan pertahanan. Kulit, misalnya, akan mengeluarkan penghalang
kimiawi, seperti keringat dan cairan kelenjar minyak yang bersifat asam
serta mengandung enzim penghancur. Patogen yang menyusup melalui
saluran
napas, saluran cerna, atau saluran kemih akan dihadang oleh selaput
lendir
yang kental dan lengket hingga akhirnya terperangkap. Selanjutnya,
patogen-patogen tersebut dihancurkan oleh berbagai zat kimia yang
dikerahkan sistem kekebalan tubuh.
Contoh lainnya, patogen yang masuk ke saluran cerna sebagian besar akan
dihancurkan oleh asam lambung. Yang masih selamat kemudian akan
dihancurkan
oleh basa dan enzim di usus halus. Di saluran napas, jasad renik yang
merupakan bibit penyakit akan dihadang bulu getar. Kalau ada yang
berhasil
masuk ke tenggorok, mereka akan ditelan atau dibatukkan keluar.
Walau terlihat kuat, barrier pertama yang bersifat fisik ini tetap bisa
ditembus. Misalnya kalau kulit robek atau terluka dan jumlah bibit
penyakitnya sangat banyak. Sistem kekebalan lini pertama juga bisa tak
berdaya kalau sifat bibit penyakit ini sangat virulen alias ganas.
Nah, kalau sampai sistem kekebalan primer kebobolan atau ada bibit
penyakit
yang berhasil lolos dari hadangannya, maka giliran sistem kekebalan
sekunderlah yang bekerja. Pertahanan lini kedua ini terdiri atas sel-sel
khusus (sel-sel darah putih) yang keberadaannya pun sudah dibawa sejak
lahir. Bedanya, dia baru bekerja saat dibutuhkan."Oleh karena itulah
sistem
kekebalan ini disebut juga sebagai sistem kekebalan adaptif. Ia melawan
patogen melalui pembentukan antibodi dan dengan menghancurkan sel
yang
berhasil disusupi patogen," kata Wati.
Sistem kekebalan sekunder ini memiliki karakteristik berupa memori,
spesifik, dan keberagaman. Contohnya, jika anak sembuh dari suatu
penyakit
menular, kemungkinan besar ia tidak akan mengalami lagi infeksi yang
sama
karena sel memori bisa mengenali patogen yang menyerang kembali. Tubuh
jadi
paham betul bagaimana menangkal musuh yang sama. Bersamaan dengan
itu, sel
memori akan "menggerakkan" sel-sel lain dalam sistem kekebalan untuk
memusnahkannya.
Namun, jangan langsung menganggap sistem kekebalan sekunder ini
sebagai
sistem sakti yang bisa selalu melawan bibit penyakit. Alasannya,
kekebalan
terhadap satu penyakit menular, tidak langsung disertai kekebalan
terhadap
penyakit menular lainnya. Inilah yang dimaksud dengan karakteristik
spesifik. Sedangkan yang dimaksud dengan keberagaman adalah tubuh bisa
mengembangkan kekebalan terhadap satu sumber penyakit yang
menimbulkan
berbagai jenis penyakit.

TIDAK 100 % MELINDUNGI


Yang perlu disadari, seperti dikatakan Wati, dua lapis barikade ini
tidak
dapat 100 persen melindungi tubuh dari bibit penyakit. Bila sistem
kekebalan kalah tempur, tubuh akan sakit.
Pertanyaan selanjutnya adalah, dalam kondisi bagaimana barikade-barikade
tersebut bisa tertembus patogen? Salah satunya, saat daya tahan tubuh
anak
sedang menurun. Faktor penyebabnya antara lain, kondisi tubuh yang
terlalu
lelah, pola makan yang buruk, kurang berolahraga, bibit penyakit yang
menyerang sangat berbahaya, atau serangannya terjadi secara bertubi-
tubi.
Namun biasanya kondisi kalah tempur ini terjadi singkat saja, kok.
"Jadi,
sakit dalam hitungan hari itu wajar. Seperti halnya mobil, kondisinya
juga
tidak akan prima terus," tandas Wati.
Jangan lupa, sebagian besar infeksi virus memiliki sifat self limiting
desease atau akan sembuh sendiri. Biasanya dalam 3-4 hari. Selebihnya
seperti infeksi virus hepatitis B yang diperoleh pada usia sangat dini,
virus hepatitis C, dan HIV tidak akan sembuh sendiri. Sistem kekebalan
juga
bisa rentan, tapi sedikit sekali orang yang dilahirkan dengan gangguan
sistem kekebalan permanen (immune deficiency syndrome).
Kesimpulannya, menjaga kebersihan itu tetap penting untuk menangkal
segala
macam penyakit. Bukankah pencegahan lebih baik ketimbang pengobatan.
Ajaklah anak menjaga kebersihan dengan mencuci tangan secara benar. Hal
ini
akan membawa dampak positif dalam mencegah atau mengurangi
penularan
penyakit infeksi.
Pola hidup sehat dengan cara memberikan makanan bergizi kepada anak
adalah
syarat wajib untuk membangun sistem kekebalan yang kuat. Tanamkan juga
kebiasaan berolahraga secara teratur. Beritahu anak agar menyisihkan
cukup
waktu untuk beristirahat. Yang tak kalah penting, sistem kekebalan dapat
dibangun secara efektif melalui imunisasi. Cara ini juga dapat memotong
rantai penularan penyakit.

ANTIBIOTIK PENGARUHI KEKEBALAN TUBUH


Secara tidak langsung, antibiotik berpengaruh pada kekebalan tubuh anak.
Pemakaian yang tidak tepat akan membuat daya tahan tubuhnya jadi rentan.
Saat masuk ke dalam tubuh, antibiotik tidak hanya akan membasmi bibit
penyakit tapi juga kuman-kuman lain yang "baik". Padahal kuman-kuman ini
merupakan bagian dari sistem kekebalan yang menjaga keseimbangan agar
kuman
jahat tak bisa tumbuh subur. Konsumsi antibiotik yang terlalu banyak
juga
akan mengakibatkan kuman jadi resisten sehingga membuat anak jadi lebih
sering sakit.

PERLUKAH SUPLEMEN UNTUK DAYA TAHAN TUBUH?


Kini banyak iklan yang menggaungkan khasiat produk suplemen atau
multivitamin demi meningkatkan kekebalan tubuh anak. Beberapa orang tua
pun
beranggapan bahwa suplemen multivitamin bisa membuat anaknya jauh dari
sakit-sakitan seperti batuk-pilek. Padahal menurut Wati, produk-produk
tersebut sampai saat ini tidak terbukti dapat meningkatkan daya tahan
tubuh, termasuk suplemen atau multivitamin yang berharga relatif mahal.
"Daya tahan tubuh anak terhadap infeksi virus flu akan menguat sejalan
dengan bertambahnya usia. Jadi tidak ada hubungan dengan suplemen atau
multivitamin."
Jadi, lanjut Wati, hendaknya orang tua tak perlu khawatir berlebihan
bahwa
daya tahan tubuh anaknya lemah. Karena sebetulnya, tubuh sudah
dikaruniai
sistem kekebalan yang luar biasa oleh Tuhan. "Apakah ada produk buatan
manusia yang bisa menyamai pemberian-Nya? Please be rational and be
wise.
Tugas kita adalah memelihara anak dengan menjalankan pola hidup sehat;
pola
hidup yang berimbang," tandas Wati.

RAGAM CARA PENULARAN PENYAKIT


Dari ribuan kuman, bakteri, dan virus yang sudah berhasil
diidentifikasi,
hanya sejumlah kecil saja yang bisa menimbulkan penyakit, terutama yang
patogen. Mekanisme penularan yang paling sering terjadi yaitu melalui
beberapa organ tubuh, sebagai berikut:
* Saluran napas (dengan cara inhalasi atau terhirup). Ditularkan oleh
penderita melalui semburan cairan yang keluar saat penderita batuk atau
bersin.
* Saluran cerna (dengan cara tertelan). Patogen yang keluar melalui
tinja
bisa mencemari makanan dan minuman yang kemudian dimakan. Penularan
ini
disebut fecal-oral atau dari tinja ke mulut.
* Kontak langsung. Patogen ditularkan melalui jabatan tangan atau
ciuman.
* Kulit, selaput lendir (inokulasi). Kuman-kuman jahat bisa masuk ke
dalam
tubuh melalui kulit atau selaput lendir yang koyak. Misalnya karena luka
operasi, transfusi, tato, tindik dan lain-lain.
* Plasenta. Beberapa penyakit menular ibu dapat ditularkan melalui
plasenta
ke janin. Umpamanya, Hepatitis B, HIV, Rubella dan lain-lain.

SUMBER PENYEBAB PENYAKIT


Umumnya, penyakit yang paling sering menyerang bayi dan anak adalah flu,
selesma (influenza), dan diare. Sumber penyakit (infeksi) tersebut bisa
berasal dari luar maupun dalam tubuh. Terbanyak berasal dari luar tubuh
atau yang disebut infeksi eksogen. Sumber infeksi tersebut antara lain:
* Manusia
Sumber ini paling sering terjadi. Seseorang yang tengah menderita suatu
penyakit menular dapat menyebarkan patogennya pada orang lain.
Penularannya
bisa saat si penderita belum menunjukkan gejala sakit tapi kuman sudah
masuk ke dalam tubuh, misalnya hepatitis A. Namun penularan lebih sering
terjadi saat di tengah-tengah rentang sakitnya, seperti batuk rejan. Ada
juga penyakit yang ditularkan setelah penderita menunjukkan kesembuhan,
misal demam tifus. Namun ada cara penularan "tersembunyi". Contohnya
hepatitis B yang bercokol untuk jangka waktu lama, tanpa menimbulkan
gejala, tapi si penderita potensial menulari orang lain.
* Binatang
Penularan dari binatang ke manusia bisa terjadi seperti oleh rotavirus
sehingga manusia berisiko mengalami infeksi tertentu. Produk binatang
seperti susu, daging, juga dapat menjadi sumber penularan penyakit
infeksi
tertentu. Ini karena pengolahan yang tak baik atau terkontaminasi.
* Gigitan serangga atau nyamuk
Penyebaran penyakit menular bisa terjadi lewat perantara nyamuk seperti
pada penyakit malaria dan demam berdarah.
* Tanah
Tanah mengandung jasad renik dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian
besar
tak membahayakan tapi ada pula yang dapat mengancam jiwa. Misalnya,
kuman
penyebab tetanus. Udara dan debu juga bisa terkontaminasi jasad renik
dari
berbagai sumber.
* Makanan dan minuman
Makanan dan minuman sangat mudah terkontaminasi patogen bila diolah
oleh
orang yang tengah menderita suatu penyakit menular. Penyakit tifus
(suatu
infeksi kuman) dan hepatitis A (suatu infeksi virus) bisa ditularkan
melalui makanan dan minuman. Oleh karena itu, risiko penularan penyakit
menular ini akan meningkat pada kondisi sanitasi dan higiene yang buruk.
* Barang sehari-hari seperti handuk, pakaian, dan peralatan makan
Barang-barang yang dipakai penderita suatu penyakit infeksi dapat
menularkannya pada orang lain yang memakainya.
Dedeh Kurniasih. (tabloid nakita)

--- End forwarded message ---

================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: balita-anda-
unsubscribe@balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: peraturan_milis@balita-anda.com

Vous aimerez peut-être aussi