Vous êtes sur la page 1sur 19

SYOK DAN KEHAMILAN

LATAR BELAKANG
Syok adalah suatu keadaan yang membahayakan perfusi jaringan yang dapat
menyebabkan hipoksia sel. Syok disebut sebagai suatu sindrom yang diawali oleh
hipoperfusi akut yang nantinya akan mengarah ke hipoksia jaringan dan disfungsi organ
vital. Syok merupakan suatu kelainan sistemik yang mempengaruhi banyak system organ.
Perfusi dapat turun secara menyeluruh maupun secara perlahan, seperti pada syok septic.
Sewaktu syok, perfusi jaringan tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme
yang akhirnya terjadilah hipoksia sel dan kerusakan organ.
Pengobatan syok pada kehamilan dibedakan dalam 2 hal penting daripada
pengobatan syok pada pasien yang tidak hamil. Pertama, perubahan-perubahan fisiologis
yang terjadi pada sebagian besar system organ sewaktu kehamilan. Kedua, pada
kehamilan melibatkan 2 pasien, ibu dan janin. Oleh karena itu diperlukan suatu
penanganan obstetric yang kritis termasuk penilaian secara simultan dan manajemen yang
baik untuk kedua pasien dimana masing-masing pasien memiliki keadaan fisiologis yang
berbeda.

FISIOLOGI KARDIVASKULAR PADA KEHAMILAN NORMAL


Pada kehamilan terjadi perubahan yang signifikan pada system kardiovaskular,
seperti perubahan pada blood volume, heart rate, stroke volume, cardiac output, dan
tahanan vascular sistemik. Memahami perubahan-perubahan fisiologi pada kehamilan
sangat penting untuk mengawasi dan menangani apabila terjadi sesuatu kelainan pada
wanita hamil.

Volume Darah
Volume darah maternal meningkat dari 25 – 52 % pada akhir kehamilan
(Lund,1967). Volume plasma meningkat 45 – 50 %, dibandingkan dengan peningkatan
20 % pada sel darah merah. Ketidakseimbangan ini menyebabkan hemodilusi atau
anemia pada kehamilan, yang puncaknya terjadi pada umur kehamilan 32 minggu.
Peningkatan esterogen dan progesterone meningkatkan level aldosteron plasma
dan aktivitas renin, hal ini menimbulkan retensi natrium dan meningkatkan jumlah cairan
tubuh, hipervolemia pada kehamilan. Selama kehamilan, volume darah meningkat 1 –
1,5L, jumlah level natrium meningkat menjadi 950 mEq/L, dan jumlah total cairan tubuh
adalah 6 – 8 L dimana 4 L merupakan cairan ekstraseluler. Peningkatan volume darah
dan cairan ekstraseluler dibutuhkan untuk mengoptimalkan sirkulasi uteroplasenta.

Tekanan Darah
Tekanan darah baik systole maupun diastole mengalami penurunan sampai
pertengahan kehamilan, hal ini berangsur-angsur akan kembali seperti nilai wanita yang
tidak hamil pada akhir kehamilan (MacGillivray, 1969). Penurunan tekanan darah terjadi
karena menurunnya tahanan vascular. Pada kehamilan, penilaian tekanan darah
berhubungan dengan usia kehamilan. Ukuran tekanan darah 130/80 mmHg adalah normal
untuk orang biasa, tapi hal ini adalah keadaan yang abnormal pada saat usia kehamilan 28
minggu, dimana seharusnya pada usia tersebut tekanan darah sekitar 110/60 mmHg.
Tekanan pembuluh vena pada tungkai meningkat secara progresif selama kehamilan, ini
dikarenakan kompresi pada vena pelvic dan vena cava inferior oleh uterus. Peningkatan
tekanan vena femoralis akan kembali normal setelah melahirkan. Tekanan arteri
brachialis tidak dapat menunjukkan tekanan dari arteri uterine karena tekanan arteri
uterine dapat sangat rendah, sementara tekanan darah di lengan normal.

Frekuensi Jantung
Frekuensi jantung ibu meningkat pada usia kehamilan 12 minggu; hal ini dicapai
dan menetap pada 120 % dari garis dasar pada kehamilan 32 minggu. (Wilson,1980).
Takikardi pada maternal terjadi karena adaptasi jantung terhadap banyaknya volume
darah dan peningkatan level serum tiroksin bebas.
Curah Jantung dan Isi sekuncup
Curah jantung ibu meningkat 30 – 50% selama kehamilan (Lees and Taylor, et al,
1967). Peningkatan ini terjadi pada kehamilan 10 minggu dan memuncak pada akhir
trimester kedua. Peningkatan curah jantung sewaktu kehamilan disebabkan karena
kenaikan frekuensi jantung dan isi sekuncup (stroke volume). Pada pertengahan pertama
kehamilan, stroke volume meningkat karena adanya sirkulasi uteroplasenta. Pada akhir
kehamilan, curah jantung ditingkatkan oleh frekuensi jantung (takikardi) (Katz, 1978).
Hipotesis alternative bagi peningkatan stroke volume; kurva volume tekanan ventrikel
mungkin bergeser ke kanan dikarenakan oleh dilatasi jantung secara hormonal, hal ini
meningkatkan pengisian diastolic.

Resistensi Vaskular Sistemik


Resistensi vascular sistemik menurun dan mencapai titik terendah pada usia
kehamilan 24 minggu. Dua faktor penting dalam penurunan resistensi vascular sistemik
adalah dilatasi dari pembuluh darah perifer dan keberadaan sirkulasi plasenta.
Pembuluh plasenta memiliki resistensi yang rendah dengan curah jantung maternal yang
besar. Ukuran dan jumlah dari vena uterine meningkat selama kehamilan, dan resistensi
vascular uterine menurun salama kehamilan.

Efek dari Sikap Tubuh Ibu terhadap Hemodinamik


Aliran darah uterine meningkat dari 50 ml/menit sebelum hamil menjadi 500
ml/menit saat akhir kehamilan; hal ini mewakili perubahan dari curah jantung dari 2 %
(normal) menjadi 18 % sewaktu trimester III (Bieniarz, 1966 and 1968). Hipotensi dan
sinkop dapat terjadi bila ibu berdiri secara tiba-tiba dari posisi duduk atau pun tidur.
Seorang wanita hamil yang tidur dalam posisi supinasi dapat mengalami pusing, muka
pucat, takikardi, berkeringat, mual dan hipotensi. Uterus seseorang yang hamil besar akan
menekan aorta decendent dan vena cava inferior. Hal ini menimbulkan terkumpulnya
darah di tungkai, penurunan jumlah aliran darah ke jantung, penurunan curah jantung dan
hipotensi. Membuat posisi ibu miring ke sisi secara cepat dapat mengembalikan darah
yang terkumpul kembali ke dalam sirkulasi.
Hemodinamik Intrapartum
Respon kardiovaskular maternal dapat berubah dengan kontraksi uterus, rasa
sakit, persalinan, analgesi, pembedahan dan kehilangan darah peripartum. Curah jantung
meningkat pada beberapa fase pada persalinan. Kontraksi uterus menambah jumlah curah
jantung. Masuknya darah kembali ke dalam sirkulasi ibu meningkatkan aliran vena dan
juga stroke volume (isi sekuncup). Besarnya peningkatan curah jantung sewaktu
kontraksi berkurang 11 % pada persalinan dengan analgesi epidural (Lee, 1989). Konsep
ini penting untuk pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat mentoleransi fluktuasi
hemodinamik sewaktu persalinan..
Kehilangan darah pada persalinan pervagina sekitar 500 ml dan pada sectio
Caesar 1000 ml (Pritchard, 1965).
Diuresis postpartum meningkat antara hari ke 2 dan ke 5 setelah melahirkan, hal
ini menyebabkan penurunan berat badan sebanyak 3 kg pada minggu pertama.

FISIOLOGI PERNAPASAN
Perubahan Anatomi
Perubahan hormone pada kehamilan berpengaruh terhadap saluran napas atas dan
mukosa jalan napas. Hal itu dapat menyebabkan hiperemi, edema mukosa, hipersekresi,
dan meningkatkan friabilitas mukosa. Esterogen kemungkinan menjadi penyebab dari
edema jaringan, kongesti kapiler, dan hyperplasia kelenjar mukosa.
Pembesaran uterus dan efek hormonal menyebabkan perubahan anatomi dari
rongga thorak. Pembesaran uterus menyebabkan difragma terangkat ke atas sejauh 4 cm;
bertambahnya diameter anteroposterior dan diameter transversal dari thorak menjadikan
bentuk dinding dada bulat. Fungsi diafragma tetap normal.
Fungsi Paru
Perubahan anatomi pada thorak menyebabkan penurunan yang progresif
functional residual capacity (FRC), dimana berkurang sekitar 10 - 20% pada akhir
kehamilan. Volume residu dapat menurun perlahan selama kehamilan, tapi hal ini tdk
bersifat tetap. Penurunan volume cadangan ekspirasi adalah perubahan yang pasti.
Kapasitas vital tidak mengalami perubahan, dan kapasitas total paru menurun sangat
minimal. Perubahan hormonal tidak berpengaruh signifikan terhadap jalan napas.

Ventilasi
Ventilasi per menit meningkat secara signifikan, berawal pada trimester I dan
mencapai 20 – 40% diatas normal pada akhir kehamilan. Ventilasi alveolar meningkat 50
-70 %. Peningkatan ventilasi terjadi karena meningkatnya produksi karbondioksida dan
peningkatan respirasi disebabkan oleh peningkatan progesterone serum. Volume tidal
meningkat 30 – 35 %. Frekuensi pernapasan relative tetap konstan dan meningkat sedikit.

Gas Darah Arteri


Hiperventilasi fisiologis menyebabkan alkalosis respiratory dengan kompensasi
ekskresi bikarbonat oleh ginjal. Tekanan CO2 arteri mencapai 28 – 32 mmHg, dan
bikarbonat diturunkan menjadi 18 – 21 mmol/L untuk menjaga pH darah arteri antara
7,40 – 7,47. Hipoksemia ringan dapat terjadi pada posisi supinasi. Konsumsi oksigen
meningkat pada awal trimester I dan meningkat 20 – 30 % pada akhir kehamilan karena
kebutuhan janin dan penigkatan proses metabolisme ibu.
Pada fase aktif, hiperventilasi dan takipnea disebabkan oleh karena nyeri dan
kecemasan kemungkinan disebabkan oleh hipokapnia & alkalosis respiratory. Hal ini
merugikan oksigenasi janin dengan jalan menurunkan aliran darah uteri. Pada beberapa
pasien, nyeri yang sangat dan kecemasan dapat menimbulkan terjadinya pernapasan cepat
dan dangkal dengan hipoventilasi alveolar, atelektasis dan hipoksemia ringan.
FISIOLOGI UTEROPLACENTA DAN JANIN
Pemahaman dasar dari fisiologi janin dibutuhkan untuk dapat merawat pasien
hamil. Suplai oksigen janin tergantung pada kadar oksigen arteri ibu & aliran darah uteri.
Aliran darah uteri meningkat selama kehamilan dari 2 % curah jantung pada pasien yang
tidak hamil sampai 18 % curah jantung pada pasien hamil trimester III. Karenanya faktor-
faktor yang mempengaruhi baik kadar O2 arteria atau aliran darah uteri juga
mempengaruhi oksigenasi janin. Faktor-faktor itu adalah hipotensi, vasokonstriksi
plasenta dan kontraksi uterus. Penyebab hipovolemia termasuk posisi supinasi, sepsis dan
pengaruh obat-obatan.
Vasokonstriksi arteri-arteri uterus terjadi pada preeklampsia atau obat
vasokonstriktor, dan aliran darah janin dapat menurun sebanyak 20 % dengan
vasokonstriksi. Pa O2 vena umbilicus adalah 35 – 40 mmHg karena tercampu dengan
darah deoxygenated dalam vena cava inferior janin. Level Pa O2 ini cukup untuk
mensaturasi hemoglobin fetal menjadi 80 – 85 % karena berada di sebelah kiri kurva
disosiasi. Konsumsi oksigen janin adalah 20 ml/menit.
Janin mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih lama dengan pendistribusian
aliran darah ke organ-organ vital. Penurunan 50 % aliran darah uteri masih dapat di
toleransi untuk beberapa saat, tetapi penurunan lebih lanjut menyebabkan metabolisme
anaerob, kerusakan otak & kematian janin (Lapinsky, 1995).

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Oksigen Janin


Penyaluran oksigen ke jaringan janin terdiri dari beberapa tahapan; aliran oksigen
dari ibu ke plasenta, plasenta transfer, dan pengiriman dari plasenta ke jaringan janin.

Faktor utama yang mempengaruhi aliran oksigen ke plasenta adalah:


 Kadar oksigen dari darah uteri, yang dipengaruhi oleh Pa O2 maternal.
 Konsentrasi hemoglobin ibu dan saturasi.
 Aliran darah uteri yang dipengaruhi oleh curah jantung maternal.
Jadi, penurunan PaO2 pada ibu dapat diimbangi sedikit dengan penambahan
konsentrasi Hb atau curah jantung. Kombinasi dari hipoksemia ibu dan penurunan curah
jantung berefek sangat buruk bagi oksigenasi janin.
Variasi dari pH ibu juga mempengaruhi oksigenasi; alkalosis menyebabkan
vasokonstriksi dari arteri uterine, menyebabkan penurunan aliran oksigen janin.
Interaksi antara sirkulasi ibu dan janin di dalam plasenta diikuti mekanisme
pertukaran secara bersamaan. PaO2 vena umbilikalis janin sekitar 32 mmHg, jauh lebih
rendah dari PaO2 vena uterine. Meskipun demikian, kadar oksigen janin sebenarnya
hampir sama dengan kadar oksigen ibu. Faktor lain dari plasenta yang mempengaruhi
oksigenasi janin adalah jumlah dari shunt intraplasenta, tingkat kesesuaian dari aliran
darah ibu dan janin, dan adanya kelainan dalam plasenta seperti infark plasenta. Darah
arteri dari janin memiliki PaO2 lebih rendah dari darah vena umbilical. Hal ini sedikit
dikompensasi dengan tingginya curah jantung janin relative terhadap konsumsi oksigen,
hal ini dapat memelihara aliran oksigen ke jaringan. Sedikit perubahan pada PaO 2 ibu
dapat menyebabkan perubahan yang signifikan pada kadar oksigen janin (Lapinsky,
1995).

Monitoring Janin
Monitoring janin ditampilkan lewat continuous electronic fetal heart rate ( FHR),
monitoring dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perubahan pada fisiologi janin.
Garis normal dari FHR adalah antara 120 – 160 detak /menit. Walaupun takikardi janin
mungkin penemuan yang nonspesifik, bradikardi janin mengindikasikan hipoksia sebagai
akibat dari uteroplacental insuficiensi. Hilangnya detak jantung antara detak yang satu
dengan yang berikutnya mungkin mengindikasikan adanya asfiksia & anemia janin.
Ketika penurunan awal dari FHR tidak berbahaya, penurunan lanjut, khususnya ketika
timbul kembali, hal ini dapat diwaspadai sebagai hipoksia janin.
Keabnormalan dari pola FHR dapat dievaluasi dengan riwayat biofisika janin.
Riwayat biofisika janin terdiri dari pergerakan janin dari ultrasonografi, pergerakan
pernapasan janin, pergerakan ekstremitas, volume cairan amnion dan reaktif pada
nonstress testing. Asam-basa janin diukur dari sampel darah kepala yang digunakan pada
persalinan untuk menilai keadaan fisiologi janin. Bila pH kurang dari 7,20
mengindiikasikan hipoksia janin, sedangkan pH lebih dari 7,25 memprediksi kelahiran
yang baik. Monitoring pH janin dapat dilakukan ketika selaput ketuban sudah pecah.
Saturasi oksigen janin adalah teknologi monitoring janin intrapartum yang baru,
yang diharapkan dapat memberikan penilaian keadaan janin secara komplit & lebih
akurat. Teknik ini secara langsung & objektif menilai status oksigen janin selama proses
persalinan dan kelahiran.

MONITORING PERAWATAN KRITIS & PERTOLONGAN TERHADAP IBU


HAMIL
Pasien yang sedan hamil membutuhkan perawatan yang intensif. Ibu hamil yang
sedang sakit dan syok membutuhkan penanganan khusus karena pasien ini memiliki
fisiologi yang berbeda.

Intubasi dan Ventilasi Mekanik


Selama kehamilan, nasofaring, orofaring dan mukosa traktus respiratorius
membengkak. Karenanya, intubasi dan suctioning dapat menimbulkan luka pada mukosa
dan juga perdarahan. Endotracheal intubasi dilakukan secepat mungkin karena pasien
yang sedang hamil memiliki cadangan oksigen lebih rendah, hal ini karena menurunnya
kapasitas residu. Berikan ventilasi pada pasien hamil untuk menjaga PaCO2 nya pada
ukuran 30 mmHg, ukuran normal sewaktu kehamilan. Hindari terjadinya alkalosi
respiratorius karena hal ini dapat menurunkan aliran darah uteri dan akhirnya punurunan
oksigenasi janin.

Resusitasi Cardiopulmonal
Dalam situasi henti jantung, posisikan pasien miring ke kiri untuk menghindari
hipotensi supinasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bantal dibawah
pinggang kanan pasien. Advanced cardiac life support (ACLF) dilakukan sesuai dengan
prosedur standart. Hal yang menimbulkan cardiac arrest pada kehamilan antara lain :
emboli cairan amnion, emboli paru, cardiomyopathy, komplikasi anestesi, infark
myocard dan overdosis magnesium.
Monitoring Hemodinamik
Pasien hamil yang sakit kritis dan dalam keadaan syok mungkin memerlukan
pemasangan kateter arteri pulmonary. Indikasi kateter pulmonary adalah preeklampsia
berat dengan oliguria, edema pulmonal, penyakit jantung yang parah, acute respiratory
distress syndrome (ARDS), syok septic, emboli cairan amnion. Pada kehamilan normal,
curah jantung meningkat sebanyak 30 – 50 % dibandingkan keadaan yang tidak hamil,
tetapi tekanan pengisian jantung tidak berubah.

Terapi Obat
Untuk sedasi, biasanya digunakan meperidine dan fentanyl; pengalaman
penggunaan propofol sangat terbatas. Benzodiazepine dapat digunakan, namun obat ini
dapat menyebabkan depresi napas pada janin.
Pasien yang sakit cukup parah dan dalam keadaan syok membutuhkan obat-
obatan vasoaktif. Kurangnya data pada manusia menyebabkan kesulitan dalam
menentukan efektivitas obat-obatan ini pada kehamilan dan persalinan. Data percobaan
pada hewan menunjukan bahwa dobutamin, norepinefrin, dan epinefrin mengakibatkan
pengaruh buruk pada aliran darah uterine. Dopamin & efedrin dapat meningkatkan
tekanan darah ibu dan aliran darah uterine. Alfa-adrenergic yang murni seperti
phenylephrine & norepinefrin menyebabkan vasokonstriksi arteri uterine sehingga sebisa
mungkin dihindari penggunaanya. Efedrin, yang mana bekerja pada reseptor beta-2 &
alfa-1 agonis diketahui dapat meningkatkan aliran darah uteri dan tekanan darah ibu.
Efedrin adalah obat vasoaktif pilihan utama untuk mengatasi hipotensi pada pasien hamil.

SYOK HEMORRHAGIA
Enam sampai tujuh persen dari semua penyebab kematian pada kehamilan
disebabkan oleh trauma yang menyebabkan perdarahan. Penyebab trauma antara lain:
kecelakaan, terjatuh atau pun luka penetrasi. Di United States, perdarahan obstetric
merupakan 13,4 % dari seluruh penyebab kematian pada ibu. (Kaunitz, 1985)
Perdarahan antepartum dapat terjadi karena adanya masalah pada plasenta dan
juga rupture uteri baik spontan mau pun karena trauma.
Placenta previa adalah placenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim,
dengan tanda klasiknya; perdarahan pervagina tanpa nyeri dan uterus yang tegang.
Gangguan pada plasenta dapat terjadi pada plasenta yang implantasinya normal,
manifestasinya berupa nyeri pada uterus dan perdarahan. Nyeri pada uterus dirasakan
diantara kontraksi, dan uterus terasa lembut.
Gejala & tanda dari rupture uteri antara lain perdarahan pervagina, nyeri perut
bagian bawah. Ruptur uteri sering terjadi karena induksi dengan oksitosin atau
prostaglandin dosis tinggi. Pada perabaan fundus uteri terasa lembut. Kebanyakan
perdarahan pada obstetric terjadi postpartum dan biasanya disebabkan karena atonia uteri
dan laserasi servik atau pun vagina. Perdarahan antepartum jarang terjadi.
Perdarahan postpartum diperburuk dengan trombositopenia, koagulopathy yang
disebabkan oleh emboli cairan amnion atau sepsis. Banyaknya darah yang hilang pada
persalinan pervagina ±500 ml, sedankan pada sectio Caesar 1000 ml, hal ini masih dapat
ditoleransi oleh tubuh. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok
hipovolemik; bila terjadi pada antepartum hal ini dapat mengurangi alirah darah
uteroplacenta & menyebabkan fetal distress.

Manajemen Syok Hemorragia


Syok hemorrhagia membutuhkan penanganan resusitasi yang cepat. Seperti,
pemberian oksigen, pasang infuse 2 jalur, dan pemeriksaan darah seperti golongan darah
lalu di crossmatch untuk keperluan tranfusi PRC. Pada keadaan emergency, darah yang
tipe nya sama, tidak harus di crossmatch. Segera sewaktu pasien dalam keadaan stabil,
dilakukan USG abdomen untuk mencari penyebab perdarahan uteri. Pasien yang
diberikan pengganti cairan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan koagulopathy yang
harus diatasi dengan produk darah yang sesuai. Monitoring janin dilakukan dengan
menggunakan fetal heart rate monitoring untuk mendeteksi fetal distress atau pun fetal
hipoksia, hasil dari pemeriksaan tersebut dapat mengarahkan kita dalam memilih metode
terbaik untuk persalinan.
Pada perdarahan postpartum, atonia uteri dapat diatasi dengan massage pada
uterus, methylergonovin 0,2 mg IM dan oksitosin infuse. Oksitosin adalah first-line drug
dan ini biasanya diberikan secara drip infuse (20-40 U/L), karena jika di bolus dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer, takikardi, dan hipotensi. Langkah selanjutnya adalah
pemberian prostaglandin, prostaglandin meningkatkan kalsium bebas intraseluler
miometrium. Hemabate ( 15-metil prostaglandin F2 alpha) dengan dosis 250 mcg IM
setiap 15 – 30 menit (jangan melebihi 2 mg) biasa diberikan. Efek sampingnya
bronkospasme, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan hipoksemia. Ergonovin dan
methylergonovin adalah alkaloid ergot yang menyebabkan kontraksi uterus tetanik
dengan cepat & biasa digunakan untuk memperbaiki atonia uteri. Dosisnya 0,2 mg IM.
Obat-obatan ini dapat menyebabkan masalah kardiovaskular yang serius seperti
hipertensi, vasokonstriksi & meningkatkan tekanan arteri pulmonal.
Apabila penggunaan obat-obatan gagal, terapi embolisasi pada arteri iliaca interna
atau arteri uterine dapat dilakukan untuk mengontrol perdarahan karena obstetric. Untuk
mengurangi kehilangan darah dapat dilakukan laparatomi eksplorasi dengan cara
memperbaiki laserasi dan ligasi arteri ataupun histerektomi sebagai tindakan life-saving.
Transcatheter arterial embolization merupakan metode yang dikenal untuk
mengatasi perdarahn dan telah sukses dalam mengatasi perdarahan postpartum. Beberapa
keuntungan dari embolisasi arteri uterine adalah; mempermudah mengidentifikasi daerah
perdarahan, memelihara keadaan uterus & fertilitas, dan menurunkan perdarahan kembali
dari pembuluh kolateral. Dari 138 kasus perdarahan postpartum yang diatasi dengan
embolisasi arteri didapatkan 94,9% berhasil dan 8,7% mengalami komplikasi.
Komplikasi yang paling sering adalah demam ringan, komplikasi lainnya infeksi pelvis,
hematom pada paha, perforasi arteri iliaca, iskemia sementara pada bokong & kaki,
gangrene vesica urinaria.

SYOK SEPTIK
Syok septic dapat terjadi sewaktu kehamilan karena infeksi yang disebakan oleh
bakteri Gram positif, virus & jamur. Bakteri Gram negative seperti E.coli, Klebsiella sp,
Pseudomonas aeruginosa dan Serratia sp banyak menyebabkan syok septic.
Mikroorganisme menghasilkan endotoksin yang mengaktifkan system komplemen dan
sitokin, hal ini memicu respon peradangan. Mediator-mediator dari sepsis adalah
penyebab terjadinya vasodilatasi, penurunan tahanan perifer pembuluh darah dan
hipotensi. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya disribusi aliran
darah, perfusi yang tidak adekuat pada beberapa organ, kerusakan sel, kerusakan banyak
organ dan akhirnya kematian.
Mediator-nmediator dari proses radang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan intravascular ke luar, lebih spesifik lagi ke
parenkim paru, dan hal ini dapat menyebabkan edema paru. Sewaktu sepsis, kerusakan
pada pneumocytes tipe II mengurangi produksi surfaktan, hal ini dapat menimbulkan
kolapsnya alveolar, penurunan compliance paru, dan hipoksemia berat. Kumpulan gejala
klinik dan fisiologi ini disebut ARDS.
Beberapa penyebab syok septic adalah aborsi septic, infeksi postpartum dan
khorioamnion, pyelonefritis dan infeksi traktus respiratorius. Walau pun syok septic
dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian pada pasien obstetric, namaun masih
lebih rendah insidensi kematiannya jika dibandingkan dengan kasus syok septic pada
pasien non obstetric ( 0,3 % pada pasien obstetric VS 10 – 80 % pada pasien non
obstetric). Ketuban pecah dalam waktu yang lama, tertinggalnya hasil konsepsi, peralatan
yang berhubungan dengan traktus genitourinaria adalah faktor-faktor resiko yang
signifikan sebagai penyebab sepsis.
Pasien dengan syok septik memperlihatkan adanya demam, menggigil,
hipotensi, gangguan mental, takikardia, takipnea dan kulit yang memerah. Bila keadaan
memburuk dapat timbul kulit yang dingin, bradikardi dan sianosis.
Pengobatan mifepristone intravagina pada pengobatan aborsi telah memberikan
hasil yang baik dalam mengatasi fulminant dan syok septic lethal karena Clostridium
sordellii. Dengan memblok reseptor progesterone dan glukokortikoid, mifepristone
melepaskan kortisol dan sitokin Gagalnya pelepasan kortisol dan sitokin menyebabkan
penurunan mekanisme pertahanan tubuh yang mana hal itu sangat diperlukan untuk
mencegah penyebaran infeksi C. sordellii di endometrium.

Penatalaksanaan
Syok septic memrlukan resusitasi segera, identifikasi penyebab dasar, dan
pengobatan dengan antibiotic. Kultur sputum, darah, urin dilakukan sebelum pemberian
antibiotic. Pemberian antibiotic intravena dilakukan untuk mengatasi bakteri Gram positif
dan Gram negative. Selanjutnya terapi antibiotic disesuaikan dengan respin pasien
terhadap antibiotika yang diberikan dan hasil dari kultur dan sensitivitas test. Kombinasi
obat yang sering dipakai adalah penisilin, aminoglikosida dan klindamicin atau
metronidazole. Kombinasi alternative adalah cephalosporin generasi kedua atau ketiga
dengan metronidazole. Piperacilin – tazobactam adalah kombinasi lain yang dapat
dipakai untuk sepsis yang bersumber dari intraabdominal.
Pada syok septic, diperlukan pemeliharaan oksigenasi jaringan yang adekuat,
tekanan arteri rata-rata yang optimal, volume darah sirkulasi, curah jantung,dan saturasi
oksihemoglobin yang cukup. Pasien dengan respiratory distress atau hipoksemia berat
memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Karena pasien dengan syok septic sering
jatuh ke ARDS, tujuan dari ventilasi mekanik adalah menggunakan volume tidal yang
rendah dan tekanan ekspirasi postif. Hal ini dapat membuat paru lebih compliance dan
memperbaiki oksigenasi.
Pasien dengan syok septic memerlukan bantuan hemodinamik dengan perbaikan
volume sirkulasi yang adekuat, dengan cara pemberian obat-obatan vasoaktif. Pasien ini
memerlukan resusitasi yang segera dengan kristaloid dan koloid untuk menjaga volume
intravascular sebelum pemberian terapi dengan vasopressor. Walau pun dopamine telah
digunakan pada pasien dengan syok septic, namun norepinefrin mehasilkan tekanan
perfusi dan hemodinamik yang lebih baik dan membantu memperbaiki aliran oksigen ke
organ-organ yang mengalami hipoperfusi. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi
aliran darah uterine. Efedrin yang merupakan alfa & beta agonis adalah vasopressor
pilihan bagi pasien dengan hipotensi akut sewaktu kehamilan.
Ringkasnya, prinsip penanganan syok septic, sama seperti penanganan syok septic
pada kasus lain, antara lain:
1. Pengenalan atau identifikasi yang cepat
2. Terapi antibiotika yang adekuat
3. Kontrol sumber infeksi
4. Resusitasi hemodinamik
5. Kortikosteroid
6. Drotrecogin alfa
7. Kontrol gula darah
8. Manajemen ventilator yang tepat dengan volume tidal yang rendah pada ARDS

PENYEBAB LAIN SYOK PADA KEHAMILAN


Syok Kardiogenik
Kemungkinan syok kardiogenik harus diwaspadai selama kehamilan. Penyebab
paling sering dari syok kardiogenik adalah beberapa penyakit kelainan katup. Dalam syok
kardiogenik, ventrikel kiri tidak mampu untuk memompa darah dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Sebagai respon kompensasi awal
adalah terjadinya takikardia, tetapi pada akhirnya akan terjadi hipervolemia, kongesti
vena pulmonalis dan edema generalisata. Tidak adekuatnya pemenuhan kebutuhan
oksigen dapat memulai terjadinya kerusakan sel, kegagalan organ-organ lain, takipnea,
timbulnya bunyi jantung III, murumur sistolik atau diastolic dan edema generalisata.
Kardimiopati peripartum adalah suatu kelainan idiopatik yang banyak terjadi
selama bulan terakhir kehamilan dan lebih dari 6 bulan postpartum. Angka kejadian
terhadap penyakit ini adalah 1 kasus dalam 1500 – 4000 kelahiran. Yang termasuk faktor
resiko adalah umur tua, multiparitas, gemelli dan preeklampsia. Kardiomiopati
peripartum saat ini menggambarkan tanda dan gejala dari gagal jantung kongestif. Angka
kematian yang berhubungan dengan kardiomiopati peripartum adalah 25 – 50 %
(Lampert,1995). Penyakit cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Sebagian kecil
pasien tersebut menunjukkan adanya inflamasi miokarditis setelah analisa specimen
biopsy endomiokard. Pengobatan masih bergantung pada diuretic, vasodilator untuk
mengurangi afterload, digoksin dan pengawasan yang hati-hati. Inflamasi miokarditis
mungkin berespon dengan terapi immunosupressan.
Pasien postpartum dapat mempunyai abses local, organisme resistant atau
trombophlebitis pelvis septic yang biasanya disertai dengan demam yang persisten.
Diagnosis mungkin dapat dipercayai jika ditemukan melalui CT-Scan pelvis. Pengobatan
yang dipakai adalah antibiotic spectrum luas dan antikoagulasi standar.
Penyakit arteri koroner adalah penyakit yang tidak biasa terjadi pada wanita usia
reproduktif. Tetapi infark miokard dapat terjadi Karena tekanan hemodinamik yang
berlebihan dalam kehamilan. Manajemen dari penyakit arteri koroner pada pasien hamil
sama dengan pasien yang tidak hamil.
Pecahnya arteri koroner scara spontan adalah sesuatu yang jarang terjadi, dan
menyebabkan iskhemik miokard dan kematian mendadak. Manifestasi klinik yang
terjadi termasuk nyeri angina, infark miokard, syok kardiogenik, dan kematian. Tidak
ada faktor resiko jantung yang berhubungan dengan kejadian. Pada pasien postpartum,
mekanisme robeknya/pecahnya pembuluh darah dipikirkan karena kehamilan
menginduksi degenerasi kolagen dan tambahan stress pada persalinan. Pengobatan
dilakukan sesuai kebutuhan individual pasien.

Emboli Cairan Amnion


Emboli cairan amnion (ECA) adalah syndrome peripartum yang meliputi dispneu
yang sangat parah serta terjadi mendadak, hipoksemia, kolaps hemodinamik, koagulopati
dan kelainan lainnya. Emboli cairan amnion adalah kelainan yang jarang terjadi, terjadi
hanya sekitar 1 kasus dalam 10.000 – 30.000 kehamilan, tetapi ini menyebabkan sampai
10 % dari seluruh kematian maternal (Clark, 1995). ECA dapat terjadi selama kehamilan
dan persalinan.
Manipulasi terhadap uterus atau trauma biasanya selalu mendahului terjadinya
emboli cairan amnion. Namun, apakah patogenesis sekunder terjadinya embolisasi berisi
partikel seluler atau terjadi sekunder akibat faktor humoral saat ini belum dapat diketahui.
Sebuah penelitian yang baru saja dilakukan dari 46 kasus ECA yang diperiksa,
sebelumnya tidak mempunyai faktor predisposisi yang mendukung terjadinya ECA, 12 %
dari kasus tersebut menunjukkan wanita tersebut memiliki membrane yang intak, 70 %
selama persalinan, 11 % setelah persalinan pervaginam dan 19 % sewaktu section caesar
atau tanpa kelahiran.
Substansi janin mungkin memulai terjadinya reaksi anafilaktik dan berakibat
dengan meningkatnya mediator endogen dan menyebabkan hipotensi, takikardi,
hipoksemia dan akibat fatal lainnya. Ini mungkin mempunyai peranan penting dalam
vasospasme arteri pulmonal sementara, diikuti oleh kegagalan ventrikel kiri, menurunkan
curah jantung, serta edema paru hidrostatik. Disfungsi ventrikel kiri akut mungkin dapat
disebabkan oleh mediator humoral atau sitokin yang berisi cairan amnion yang
meningkat selama reaksi anafilaktik.
Emboli cairan amnion tidak dapat diperkirakan sebelumnya, walaupun
kebanyakan kasus terjadi setelah persalinan, beberapa mungkin terjadi diluar persalinan,
dan ECA sangat sulit diperkirakan atau pun dicegah. Kegawatan pernapasan dan sianosis
yang terjadi mendadak dalam beberapa menit pertama serta diikuti hipotensi yang cepat,
edema paru, syok dan menifestasi neurologik seperti perasaan berputar dan kehilangan
kesadaran atau pun kejang. Lebih dari 80 % dari pasien mengalami henti jantung dan
nafas pada saat serangan. Kira-kira 50 % dari pasien tidak dapat bertahan hidup dengan
masalah kardiopulmonal, tetapi bagi yang dapat bertahan, 40 – 50 % mengalami
koagulopati dan perdarahan 4 jam kemudian. Hal ini mengindikasikan emboli cairan
amnion.
Diagnosis emboli cairan amnion berdasarkan dari karakteristik gambaran klinik.
Penanganan terdiri dari perbaikan oksigenasi dan hemodinamik. Pasien sering
membutuhkan pengawasan yang invasive untuk menilai adekuatnya volume cairan
intravascular dan mengarahkan terapi inotropik. Kortikosteroid telah sering digunakan,
tetapi keuntungannya tidak terlalu terlihat. Angka kematian karena emboli cairan amnion
cukup tinggi; 86 % pasien meninggal karena kelainan ini, 40 % dari kasus ini mengalami
kematian janin.
Manajemen pada kasus ini adalah penanganan yang tepat dan cepat. Tiga prinsip
dasar pada kegawatdaruratan obstetric adalah:
1. Oksigenasi
2. Pemeliharaan curah jantung dan tekanan darah
3. Koreksi koagulopati
Janin harus diawasi secara ketat. Untuk menjaga agar perfusi uterine optimal, ibu
diposisikan miring ke kiri.
Prioritas pertama adalah resusitasi ibu dan pemberian oksigen ( Konsentrasi
100%). Pasien mungkin memerlukan intubasi dan ventilator. Langkah selanjutnya adalah
terapi cairan dan pemberian obat-obatan yang berguna untuk memelihara tekanan darah
dan curah jantung yang optimal. Penggantian cairan dan terapi untuk disfungsi ventrikel
kiri harus diarahkan untuk memperbaiki inotropi. Pedoman klinik adalah untuk
memelihara tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 90 mmHg, dengan perfusi
organ yang baik yang ditandai oleh pengeluaran urine sebanyak 25 ml/jam atau lebih.
Pemberian tranfusi darah dan komponen darah adalah penanganan pertama untuk
mengkoreksi koagulopati yang berhubungan dengan emboli cairan amnion. Pemberian
kortikosteroid intravena untuk mengatasi respon peradangan mungkin dapat membantu.
Emboli Paru
Resiko untuk terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru meningkat secara
nyata selama kehamilan tingkat lanjut dan terbesar terjadi selama postpartum. Tingkat
kematian maternal akibat emboli paru yang pernah dilaporkan adalah 2.6 kasus per
100.000 kelahiran hidup pada wanita kulit putih dan 2.5 kali lipat lebih tinggi pada
wanita kulit hitam. Kejadian meningkat nyata mengikuti persalinan Caesar dibandingkan
dengan persalinan pervaginam (Franks, 1990).
Tanda dan gejala emboli paru menjadi masalah penting karena dispneu dan
takipneu yang muncul saat kehamilan. Pada pasien yang sedang tidak mengandung,
takipneu, dispneu, nyeri dada (pleuritis), rasa gelisah tampak hanya pada kurang lebih
50% pasien.
Rontgen thorak yang abnormal ditemukan pada lebih dari 80 % pasien dengan
emboli paru. EKG juga menunjukkan abnormal pada 70 % pasien dengan emboli paru.
Tekanan oksigen arteri rendah pada kebanyakan pasien dengan emboli paru.

Test Diagnostik Objektif


Sama dengan trombosis vena dalam, emboli paru memerlukan test diagnostic
objektif untuk menegaskan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Hal tersebut
merupakan bukti yang benar dalam kehamilan karena diagnosis dari trombosis vena
dalam atau emboli paru memerlukan pemantauan sebagai berikut:
 Terapi jangka panjang ( Penggunaan heparin potensial selama 40 minggu
kehamilan)
 Terapi profilaksis selama kehamilan berikutnya
 Menghindari pemakaian pil kontrasepsi oral.

Test diagnostic objektif yang merupakan pilihan utama adalah USG. Pilihan
lainnya plethysmografi, ventilasi-perfusi scanning dan angiografi pulmonal.
Pengelolaan
Penanganan emboli paru, baik pada pasien hamil atau pun tidak harus dilakukian
secara cepat. Pengobatan dengan pemberian heparin intravena, kecuali adanya resiko
tinggi ataupun kontraindikasi terhadap antikoagulan. Pengalaman klinik dan hasil dari
studi kohort mengemukakan bahwa heparin adalah antikoagulan teraman untuk
digunakan pada kehamilan, karena heparin tidak melewati sawar darah plasenta. Dosis
awal adalah 5000 – 10.000 U. Dosis lanjutan sebesar 18 U/Kg di dalam infuse. Monitor
APTT.
Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH), yang mana tidak melewati sawar
darah plasenta dapat diberikan 1 kali sehari dan tanpa pengawasan. LMWH tidak
menunjukkan menimbulkan resiko perdarahan pada pembedahan, termasuk section
Caesar.
Warfarin harus dihindari pemakaiannya selama kehamilan karena dapat
menyebabkan embriopathy seperti retardasi mental, atrofi opticus, bibir sumbing,
katarak, dan perdarahan. Efek teratogenik terutama muncul pada trimester I.

Durasi dari Antikoagulasi


Pasien dengan trombosis vena dalam atau emboli paru harus mendapatkan terapi
dengan heparin selama kehamilan. Setelah persalinan, pemberian warfarin dapat dimulai.
Pemberian warfarin dilanjutkan setidaknya 6 minggu postpartum atau 3 bulan sampai
terapi antikoagulan selesai.

Komplikasi dari Pengobatan


Osteopenia telah dilaporkan dengan pemberian heparin lebih dari 6 bulan. Tidak
terdapat informasi mengenai efek yang menguntungkan dari pemberian secara bersamaan
multivitamin, kalisum, atau suplemen vitamain D. Masalah osteopenia & osteoporosis
mungkin dapat berkurang jika LMWH digunakan, tetapi pemberian suplemen kalsium,
vitamin D kepada pasien yang mendapatkan heparin jangka panjang selama kehamilan
cukup beralasan.
REFERENCE :
http://www.emedicine.com/emedicinespecialities/medicineObs/Gyn/critical_care.
June 27,2006.

Vous aimerez peut-être aussi