Vous êtes sur la page 1sur 3

SEMPURNAKAN EVOLUSI TUHAN

Oleh: Munirul Abidin, M.Ag.

Secara historis polemik tentang tuhan telah bergulir sejak pertama kali

manusia ada. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa tuhan? Berapa jumlahnya? Di

mana letaknya? dan sebagainya adalah pertanyaan-pertanyaan teologis yang selalu

dipertanyakan manusia sepanjang zaman, namun tidak pernah memberikan jawaban

yang berakhir dengan kesepakatan.

Perkembangan hidup manusia dari waktu ke waktu, telah memberikan

gambaran yang bermacam-macam tentang tuhan. Satu kelompok masyarakat ada

yang menggambarkan tuhan bak raksasa yang bertubuh besar, galak, beringas,

kejam dan sebagainya. Masyarakat lain ada yang menggambarkan tuhan sebagai

dzat yang pengasih, lembut, serba boleh, pemaaf, tidak beringas, tidak kejam dan

tidak pemarah. Ada pula sekelompok masyarakat yang memadukan antara dua

pandangan itu sehingga di satu sisi tuhan itu galak, beringas, dan kejam, tetapi di

sisi lain juga pemurah, pengasih, dan pemaaf.

Dari segi jumlah, pandangan manusia tentang tuhan juga memberikan

gambaran yang bermacam-macam, ada kalangan masyarakat tertentu yang

menganggap tuhan berjumlah banyak, politeis; dua, tiga, empat bahkan lebih, dan

ada pula yang menganggap tuhan berjumlah satu, monoteis. Dari segi sarana

penyembahan juga memberikan gambaran yang beragam, seperti batu, pohon, roh,

patung, dan bahkan hewan. Karena beragamnya pandangan manusia tentang tuhan

inilah, Karen Amstrong dalam History of Godnya mempertanyakan tentang hakikat

keberadaan tuhan, sebenarnya tuhan yang menciptakan manusia ataukah

manusia yang menciptakan tuhan?


Menurutnya, pandangan manusia tentang tuhan telah mengalami evolusi

dari waktu ke waktu, dari bertuhan banyak, politeis, menjadi bertuhan satu,

monoteis. Evolusi tuhan ini berjalan seiring dengan perkembangan pemikiran

manusia; semakin manusia maju, maka perkembangan evolusi tuhan pun akan

semakin cepat.

Tesis Amstrong ini didasarkan pada penelitiannya terhadap masyarakat

dunia, dari yang paling primitif hingga modern, bahwa kebanyakan masyarakat

primitif menyembah banyak tuhan yang kemudian dikenal dengan dewa-dewa;

dewa tanah, dewa angin, dewa laut, dewa air, dan sebagainya, yang jumlahnya

ratusan bahkan jutaan. Munculnya dewa-dewa itu, menyebabkan adanya persaingan

yang ketat antar dewa sendiri, sehingga terjadilah peperangan-peperangan antar

dewa-dewa itu. Karena semakin ketatnya persaingan antar dewa itu dalam berebut

pengaruh terhadap manusia, maka lama kelamaan dewa-dewa itu pun jatuh

bergururan, bahkan Nitsche menyatakan bahwa tuhan telah mati. Matinya tuhan

ini bukan berarti mati yang sebenarnya, melainkan manusia sudah tidak percaya lagi

kepada ketuhanannya, sehingga mereka tidak menyembahnya. Keadaan semacam

ini menyebabkan jumlah dewa atau tuhan itu semakin hari semakin berkurang,

baik kualitas maupun kuantitasnya, hingga akhirnya muncullah singgle majority

yang dalam bahasa Islam disebut tauhid.

Dalam pengertian ini, sebenarnya tauhid adalah simbol kemenangan Tuhan

Yang Hakiki atas tuhan-tuhan lain, dalam peperangannya yang panjang, di alam

pikiran manusia. Setelah kemenangan itu, bukannya Tuhan Yang Hakiki lepas dari

aral, rintangan dan gangguan tuhan-tuhan kecil lainnya, tetapi mereka akan terus

mengganggu-Nya dari berbagai macam arah, untuk menggoyahkan status dan


kedudukan-Nya. Gangguan itu bermacam-macam bentuknya, seperti thaghut, syirik,

nifak hawa nafsu dan sebagainya, yang sepanjang waktu terus berkelindan

menebarkan racun untuk melumpuhkan kekuatan kerajaan tauhid.

Untuk memperkuat kerajaan tauhid itu, para tentara tauhid perlu

mempersenjatai diri dengan berbagai macam sarana yang telah dipersiapkan Tuhan

melalui syariat dan hukum-Nya. Salah satu senjata ampuh untuk mempertahankan

diri sekaligus menyerang musuh-musuh tauhid itu adalah puasa.

Puasa, yang secara harfiah berarti menahan diri, dianggap Tuhan sebagai

senjata terampuh untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya, yang berupa tuhan-tuhan

kecil seperti hawa nafsu makan, minum dan seks. Bila puasa ini dilakukan secara

terus-menerus maka secara berangsur-angsur musuh-musuh Tuhan itu akan jauh

menyingkir.

Sebagai senjata, puasa bagaikan pisau bermata dua, ke dalam dia akan

menjaga kesucian hati tempat bersemayamnya Tuhan dan ke luar dia akan

menyerang musuh-musuh Tuhan dan bahkan membunuh mereka. Bila keadaan

semacam ini terus berlangsung, maka amanlah kerajaan Tuhan. Bila kerajaan

Tuhan aman dari gangguan dan serangan musuh, maka evolusi Tuhan menuju

kesempurnaan tauhid pun akan segera tercapai. Bila evolusi Tuhan menuju

kesempurnaan tauhid telah tercapai, maka tidak ada lagi manusia yang akan

menyekutukan-Nya, tidak ada lagi manusia yang menghamba kepada tuhan-tuhan

kecil lainnya. Itulah makna kesempurnaan evolusi Tuhan menuju tauhid yang

sesungguhnya.

Vous aimerez peut-être aussi