Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Rasanya pilu, tak kuasa menahan gejolak dada ini...ada sesuatu yang ingin
menyeruak keluar dan meneriakkan kata-kata sumpah serapah....negeri ini benar-
benar negeri bedebah seperti puisi Adi Masardi, ya..bulu kuduk terasa berdiri
menyaksikan drama yang mengharukan seorang nenek Minah..air mata mengalir
tiada bisa dibendung,...ya dia wanita yang sudah tua renta kini langkah kakinya
terantuk batu “kedurjanaan” ke sombongan orang-orang yang merasa kuasa
dengan jabatan dan gelimang sampah harta yang akan menjadi bahan bakar api
nereka...banyak para “bajingan” berbaju sang penjaga keadilan mati rasa. Akal dan
hatinya ditaruh dilorong gelap sampah yang membusuk hingga warnanya
menjijikkan dan baunya menyengat anyir..seperti anyirnya arogansi dan
kebiadaban manusia-manusia durhaka atas nama hukum.....
Kenapa moncong senjata hukum dinegeri bedebah ini tidak di tekan pemantiknya?
agar melesatkan peluru dan mesiu yang akan menembus jantung para cukong,
koruptor mega triulyun, dan pada pejabat-pejabat yang menjadi budak harta
dengan atas nama citra mengelabui dan membutakan banyak rakyat jelata....?
kenapa peluru itu menembak seorang tua renta nenek Minah???yang seharusnya
dia butuh uluran tangan karena hajat-hajatnya... Ya Rabb......musibah apalagi yang
akan Engkau sapakan kepada penduduk negeri bedebah ini, sebagai pembalasan
atas kedurjanaan atas hambamu yang renta itu...mungkin banyak nenek Minah-
Minah yang laiin...coba bacalah dan bacalah wahai saudaraku apa yang
terjadi,semisal berita yang ditulis diberbagai media...
Minah (55) yang buta huruf divonis di PN Purwokerto, Kamis kemarin. Ironi hukum di
Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di
Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa
Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA
untuk menanam kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao
yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk
disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak
disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor
itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah
mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak
boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum
terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus
pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Hanya kakau seharga 500 rupiah....hukum ini runtuh, lihatlah wahai manusia –
manusia yang buta dan tuli....bukankah negeri ini saatnya di robohkan dan
diganti..sistem saat ini makin hari makin membusuk dan menyuguhkan pandangan
yang memprihatinkan....apa kita hanya akan diem membisu? Apa hanya akan
menggerutu? Atau akan hanya dari diskusi ke diskusi sementara tidak berbuat
untuk perubahan itu sendiri? Atau jangan-jangan banyak orang berbusa bicara
perubahan tapi lupa amal dan kerja keras untuk merubah keadaan busuk itu
sendiri.....ku kiira ini bukan kemarahan,tapi ratapan kepada para pemilik ideologi
kebenaran!.....saatnya membuka mata, telinga, mulut hati dan akal..perubahan
sebuah kepastian jika kita mampu menyuarakan dan menggerakkan umat untuk
mengatakan TIDAAAKKK!terhadap sistem thagut ini. Ya Allah ampunilah hamba
yang selemah lemah iman ini...
Ungkapan "hubbul wathon minal iman" memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para
tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits.
Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil
agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.
Namun sayang, sebenarnya ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu
(maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits
yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.
Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah
mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara
khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :
1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh
Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-
Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan
2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir,
diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.
Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia,
sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :
2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);
Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits
"hubbul wathon minal iman".
Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut
diterangkan, bahwa hadits "hubbul wathon minal iman" adalah maudhu` (palsu). Demikianlah
penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-
Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.
Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-
Maudhu’at, halaman 8.
Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya
sebagai berikut :
1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;
2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal.
74;
3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.
(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala
Sayyid al-Mursalin, hal. 109)
Ringkasnya, ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu (maudhu’) alias
bukanlah hadits Nabi SAW.
Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja
diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.
Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang
sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud
Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).
Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram
hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa
besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat
Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).
Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan "hubbul
wathon minal iman" sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah
mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang
nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :
"Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di
neraka." (Hadits Mutawatir).
Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang
kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum
penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia
menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit,
mencekik, dan membelenggu.
Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng
palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah
kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh
dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan
Allah ini telah dekat kepada kita semua. Amin.
B. TEKS HADITS
ِ لْيَما
ن ِ نا
َ ن ِم
ِطَ ب اْلَو
ّ ح
ُ
Cinta tanah air termasuk iman.
TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:
7. Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.
9. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Ucapan ini bukan hadits nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di
lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.
C. MATAN HADITS
"Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang
tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda
melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun
mukmin?!
Allah berfirman:
ْل ّمْنُهم
ُ ل َقِلي
ّ جوا ِمن ِدَياِرُكم ّماَفَعُلوُه ِإ
ُ خُر
ْ سُكْم َأِوا
َ ن اْقُتُلوا َأنُف
ِ عَلْيِهْم َأ
َ َوَلْو َأّنا َكَتْبَنا
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:"Bunuhlah dirimu atau keluarlah
kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari
mereka.
* Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-
musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam
masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih
berharga baginya dari segala apapun".
* Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik
daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
ْ خْلِد اْلَيَم
ن ُ جّنُة اْل
َ بْ َه
ْطنَ ل اْلَو ُ ئ َيْعِد
َ شْي
َ لَ
Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman
Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.
* "Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar
keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri. Mereka sangat meremehkan sekali, sampai-
sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh
Ibnu Dabi' dalam Tarikhnya yang berjudul "Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun" dan
kitab lainnya yang berjudul "Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid" padahal beliau
termasuk ahli hadits.
* Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena
kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah
fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya".
ِ لْيَما
ن ِ نا
َ ن ِم
ِطَ ب اْلَو
ّ ح
ُ
Cinta tanah air termasuk iman.
* Kalau orang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang cinta kucing akan
membawakan hadits palsu lain:
ِلْيَمان
ِ نا
َ ب اْلِهّرِة ِم
ّ ح
ُ
Cinta kucing itu sebagian dari iman.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: "Kita apabila perang hanya untuk membela Negara
tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka.
Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun
kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam
yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang
ada di negeri kita. Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak
berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits "Cinta negeri termasuk
keimanan" maka ini adalah dusta.
Cinta Negara, apabila karena Negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya
karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah Negara kelahiran kita ataukan Negara Islam yang
jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena Negara Islam.
Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk
membela Islam di negeri kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya
karena sekedar Negara saja".
Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: "Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada
beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama Islam:
* Pertama: yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan
RasulNya.
* Ketiga: Memutuskan perhubungan antara lain-lain negeri Islam dengan alasan mereka bukan
sebangsa dan setanah air, walaupun Allah dan Rasul telah katakana mereka saudara yang mesti
bersatu.
Pengantar
Kitab Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. Abdurrahman al-Maliki termasuk kitab non-mutabannat
yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir dan tidak diajarkan di dalam halaqah-halaqah intensif.
Namun, para syabab Hizb dianjurkan membaca dan memahami kitab ini. Anjuran ini bisa
dimengerti karena kitab tersebut merupakan salah satu seri kitab yang menjelaskan bagian
terpenting dari sistem peradilan Islam, yakni sistem sistem persanksian.
1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam; meliputi macam-macam qâdhi, tugas dan
kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya).
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian (ahkâm al-bayyinah);
mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan
sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus
pidana dan perdata, dan lain-lain.
3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan
dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
lainnya.
Untuk itu, siapa saja yang ingin mendapatkan pemahaman utuh mengenai sistem peradilan Islam,
ia harus mendalami: sistem persanksian; sistem pembuktian; serta struktur dan birokrasi
peradilan Islam.
Hizbut Tahrir telah menjelaskan tiga hal tersebut di dalam tiga kitab terpisah. Untuk sistem
pembuktian, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab non-mutabannat berjudul Ahkâm al-Bayyinah,
karya ‘Allamah Ahmad Daur. Untuk sistem persanksian, Hizbut Tahrir juga mengeluarkan kitab
non-mutabannat berjudul Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki. Adapun sistem
birokrasi dan struktur (perangkat) peradilan telah dibahas di dalam kitab Nizhâm al-Hukmi fî al-
Islâm karya ‘Allamah Abdul Qadim Zallum, dalam bab al-Qadhâ’.
Kelebihan Buku
Pada dasarnya, sistem peradilan Islam beserta bagian-bagiannya sudah disitir dalam kitab-kitab
fikih klasik. Hanya saja, pembahasannya masih kurang sistematis, campur aduk, tercecer dalam
sub-sub pembahasan yang berbeda-beda, dan tidak membangun sebuah sistem yang hirarkis. Di
dalam kitab fikih klasik, pembahasan mengenai sanksi dan pembuktian, kadang-kadang
dijadikan satu dalam kitab Al-Hukm, ‘Aqdliyyah, Syahadah, dan Da’awiy wa al-Bayyinah.
Belum ada pemilahan, mana kitab yang khusus membahas sanksi; mana yang membahas
pembuktian; dan mana yang membahas struktur peradilan. Nah, pengarang buku ini telah
memisahkan pembahasan sanksi dari pembahasan lainnya, kemudian menyusunnya menjadi
sebuah pembahasan yang sistemik, utuh, dan fokus.
Buku ini juga meletakkan beberapa panduan penting untuk menuntun para qâdhi (hakim) dalam
menetapkan sanksi yang tepat untuk kasus-kasus ta‘zîr; yakni kasus-kasus yang jenis dan kadar
sanksinya belum ditetapkan secara spesifik oleh hukum syariah. Ini ditujukan agar esensi dan
fungsi utama peradilan bisa ditegakkan, yakni menjamin keamanan dan keadilan di tengah-
tengah masyarakat serta menjaga eksistensi Daulah Islamiyah. Contohnya, qâdhi harus
menjatuhkan sanksi berat terhadap individu, kelompok, maupun organisasi yang mendirikan
partai yang berasaskan nasionalisme, sekularisme, maupun paham-paham lain yang bertentangan
dengan Islam; atau yang didirikan untuk memecah-belah kaum Muslim dan menghancurkan
eksistensi Khilafah Islamiyah; dan lain sebagainya. Dengan panduan tersebut, seorang qâdhi
diharapkan mampu menegakkan peradilan yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Dengan itu,
kaum yang lemah berani meminta haknya, kaum yang kuat tercegah untuk melakukan kezaliman
atas kaum yang lemah, dan musuh-musuh Negara Khilafah gentar menghadapi sistem hukum
dan peradilan yang begitu kuat.
Kelebihan lain yang bisa kita temukan dalam buku ini adalah adanya penjelasan filosofis dan
mendasar tentang persanksian di dalam Islam serta kasus-kasus yang wajib dikenai sanksi dan
mana yang tidak. Menurut buku ini, secara filosofis sanksi berfungsi sebagai zawâjir dan
jawâbir. Zawâjir adalah kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Jawâbir adalah
fungsi sanksi sebagai penebus dosa bagi pelakunya kelak pada Hari Kiamat. Adapun kasus yang
wajib dikenai sanksi adalah semua tindakan kejahatan, yakni melaksanakan perbuatan yang
secara tegas dilarang oleh syariah dan meninggalkan perbuatan yang secara tegas diperintahkan
oleh syariah. Perbuatan lain, selain perbuatan semacam ini, tidak akan dijatuhi sanksi.
Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudûd; (2) jinâyât; (3) ta‘zîr; dan (4) mukhâlafât. Kadang-
kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak
pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan
dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi
zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk istilah lainnya.
1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh
syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd
adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak
bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudûd dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf
(menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirâbah atau bughât.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk
sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi
rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah
cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan
dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-
syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi
syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena
kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain
sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam
dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan
kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.
Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan.
Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki
kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan
(deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman
mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan
disalib.
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke
pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang
melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif,
bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata
pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal
seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas
sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.
2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa
(pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh.
Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau
kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2)
mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau
memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan
mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di
antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di
antaranya bunting.
Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang
melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa
sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung,
namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir
harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis
pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah
dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2
bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak
wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan
membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya
adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara
mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan).
Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus
penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika
penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai
diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta
qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada
kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah,
ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan
apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan
yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak
disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta‘zîr
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya,
sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus,
pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki
mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2)
penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap
harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam
keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.
4. Mukhâlafât
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya
berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut
beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan
terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan
oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Kesimpulan
Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya
‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki.
Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya
Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem
peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami
sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah
keniscayaan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum; kecuali jika mereka
mengubah keadaan mereka sendiri” (QS ar-Ra’du [13]: 11)
Pengertian ayat ini adalah, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan manusia/masyarakat atau negeri; kecuali mereka memulai untuk
melakukan aktifitas perubahan. Apabila manusia melakukan perubahan dan
berjalan pada jalan yang benar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah,
maka Allah akan mengganti keadaan mereka; dari satu keadaan menuju
keadaan yang lain. Dengan begitu, terjadilah suatu perubahan.
dan masih banyak nash lain yang senada dengan ayat-ayat di atas.
Lalu, dalam konteks sekarang, apa yang dituntut oleh syariat atas
kita.? Perubahan parsial atau perubahan mendasar.? Apakah kita cukup
melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya parsial; misalnya, dengan
melakukan perbaikan di bidang sosial atau ekonomi saja.? Ataukah kita
dituntut untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.?
Pada dasarnya, yang menentukan apakah dakwah yang kita lakukan
harus ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial) atau taghyir al-Judzri
(perubahan yang sifatnya mendasar) adalah fakta yang menjadi objek
dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah dakwah kita
harus bersifat perbaikan (ishlah al-Juz’i) atau perubahan (ishlah al-Judzri),
kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita harus melakukan kajian
seksama atas fakta objek dakwah kita. Kedua, kita juga wajib mengkaji dalil-
dalil syara’ yang berkaitan dengan fakta tersebut dan menentukan hukum
yang tepat atas fakta tersebut. Dengan cara semacam ini, kita dapat
menentukan apakah dakwah kita mesti bersifat ishlah atau taghyir.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi
menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita
adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang
bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang
sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan
orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah
bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum
yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini,
perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut
dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah
menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan
kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka
terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah
Islam yang ia peluk.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa
Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di
dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam
dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam
(perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik
yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.
Anton Alifandi
Produser BBC
"Kami juga akan mengkaji dasar-dasar pelarangan dan mengajukannya dalam peraturan
perundangan baru," katanya.
Ternyata kemudian tidak ada dasar hukum yang bisa dipakai untuk melarang Hizb-ut-Tahrir.
Tiga tahun kemudian organisasi ini masih aktif di Inggris dan mengundang media massa untuk
menghadiri konferensi pers.
Hizb ut Tahrir menggugat pemerintah Jerman ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, karena
melarang aktivitas Hizb-ut-Tahrir di negara itu.
"Kami yakin ide dan pikiran itu tidak bisa dilarang, apalagi ide dan pikiran yang kami bawa,
yaitu reunifikasi dunia Islam dan pembentukan kembali khilafah, semakin kuat di diterima
Jerman dan juga di kalangan Muslim Eropa, dan di dunia Islam," katanya.
Pelarangan ide
Seusai konperensi pers saya tanyakan kepada Jamal Harwood mengapa, di Indonesia Hizb ut
Tahrir menuntut pembubaran Ahmadiyah, sementara di Eropa mereka menentang segala macam
pelarangan terhadap ide dan keyakinan.
Bukankah sikap ini bertentangan? Harwood menjawab: "Tidak, point nya adalah kami selalu
jelas tentang platform kami yaitu Islam."
"Jadi kalau kami bicara soal dunia Islam, pendapat kami berdasarkan syariat Islam," katanya.
"Jadi apa kata shariah Islam tentang Ahmadiyah, itulah pendapat kami tentang keadaan di
Indonesia," tambah Harwood.
"Visi kami adalah agar Indonesia kembali ke khilafah. Jadi apa yang dikatakan syariah tentang
hak berserikat, tentang agama dan sebagainya itulah dasar sikap kami," katanya.
Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan memperjuangkan khilafah atau pemerintahan di bawah
seorang khalifah berdasarkan syariat Islam di dunia Islam.
'Mengagungkan teror'
Sebagai kelompok yang tidak melakukan kekerasan, Hizbut Hizbur Tahrir muncul di
Tahrir tidak bisa dilarang keberadaannya di Inggris. beberapa negara Eropa
Tetapi pemerintah Inggris juga memperluas definisi teror dengan mencatumkan pasal yang
disebut "glorifying terror" atau mengagungkan teror.
Ketika itu Perdana Menteri Blair mengatakan pasal ini tidak hanya menjerat pelaku terorisme
tetapi juga orang yang mendukung terorisme.
Pasal ini ditentang keras partai-partai oposisi dan berbagai kelompok lain.
Ketua organisasi HAM, Islamic Human Rights Commission, Massoud Shadjareh menjelaskan
pasal semacam ini belum pernah ada sebelumnya.
"Sebelumnya di Inggris tidak pernah ada legislasi semacam ini, soal mengagungkan terorisme,"
kata Shadjareh.
"Dulu orang-orang Katolik Irlandia sangat mendukung IRA, di pub-pub di London mereka
menyanyikan lagu-lagu mendukung IRA. Itu tidak pernah Sekarang orang Islam
dianggap sebagai perbuatan pidana," katanya. yang melihat bahan-bahan di
internet bisa dipenjara
"Sekarang orang Islam yang melihat bahan-bahan di internet
bisa dipenjara," tambahnya.
Massoud Shadjareh
Yang dimaksud Massoud Shajareh antara lain adalah seorang Ketua IHRC
pegawai bandara Heathrow bernama Samina Malik, yang sempat dihukum percobaan sembilan
bulan sebelum dibatalkan oleh pengadilan banding, karena menulis puisi jihad dan menyimpan
buku-buku Al Qaeda.
Hakim Pengadilan banding akhirnya memutus bahwa puisi dan buku-buku milik Nona Malik
tidak bisa digolongkan sebagai bantuan praktis untuk melakukan tindakan teror.
Di Majlis rendah parlemen Inggris pertengahan tahun ini, pemerintah berusaha menggolkan
pasal yang memungkinkan penahanan seorang tersangka selama 42 hari tanpa diajukan ke
pengadilan.
Dengan selisih suara tipis 315 lawan 306, majlis rendah menyetujui RUU yang diajukan
pemerintah. Perdana Menteri Gordon Brown dituduh memberi berbagai iming-iming agar
anggota partainya sendiri bersedia mendukung rencana pemerintah.
Ancaman kompleks
"Saya yakin di masa mendatang karena kompleksitas kasus yang dihadapi, kita akan butuh waktu
lebih lama untuk menahan para tersangka. Itu saran pihak kepolisian dan penilaian saya," kata
Gordon Brown.
Kontroversi soal penahanan 42 hari ini antara lain tercermin dari pendapat anggota majlis tinggi
dan mantan kepala dinas intelijen dalam negeri MI-5, Eliza Manningham Buller, ketika
menjelaskan penentangannya atas undang-undang itu.
Menurut dia, "argumen untuk menahan orang selama mungkin, bisa saja dibuat."
"Tetapi setelah menimbang-menimbang, secara prinsip saya tidak bisa mendukung penahanan 42
hari," katanya.
"Saya paham bahwa ada pendapat yang mengatakan sebaliknya. Tetapi dari segi prinsip maupun
praktis, saya tidak melihat RUU ini ada manfaatnya," tambah.
Pendapat bekas kepala dinas intelijen ini patut dicatat karena meski sudah disetujui majlis
rendah, RUU ini masih harus dibawa ke Majlis Tinggi.
'Solusi'
"Solusi kami adalah menyalurkan frustrasi itu ke dalam aktivisme politik Islam yang akan
berpuncak pada kembalinya khilafah di dunia Islam," tegas Harwood.
"Ini bukan pesan kekerasan. Jadi kami tidak bisa dituduh menghasut kekerasan," katanya.
Hizbut Tahrir hanya mewakili sebagian kecil opini kaum Muslim Inggris, apalagi masyarakat
inggris pada umumnya.
Tetapi analisis bahwa politik luar negeri Inggris di Irak dan Afghanistan paling tidak ikut
berperan dalam kekerasan di Inggris, juga disampaikan banyak kalangan lain.
Pemerintah Inggris sendiri menganggap politik luar negerinya dan kekerasan ektrimis Islam di
negara ini sebagai dua gejala yang terpisah.
Malu rasanya sering mengutip kiat sukses dari orang barat. Maka yang
ini kiat dari Rasulullah. Dijamin lebih mustajab. Saya kutip dari situs
Renungan Islam.
HADIS MUTHAHHARAH
Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab
desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah!
sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan
menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya
Tanyalah apa yang engkau kehendaki :
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah Baginda S.A.W menjawab :
Banyakkan zikrullah niscaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah
Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan
akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik)
Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika
engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan
cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat Baginda S.A.W
menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam
golongan mereka yang taat
Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa Baginda S.A.W
menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa niscaya engkau akan menemui Allah dalam
keadaan suci daripada dosa
Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya Baginda S.A.W
menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah
cahaya
Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat Baginda S.A.W menjawab :
Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain niscaya Allah akan mengasihanimu pada hari
qiamat
Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan
beristighfar niscaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu
Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia Baginda S.A.W menjawab : Jangan
mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain niscaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa
menyerah diri (tawakkal) kepada Allah niscaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia
Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa
berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) niscaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan
rasulNya Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya
maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka
Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat Baginda
S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain niscaya engkau akan terselamat daripada
kemurkaan Allah dan rasulNya
Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah
makanan haram niscaya segala permohonanmu akan diterimaNya
Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain niscaya Allah akan menutup
keaibanmu pada hari qiamat
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Elok
budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab :
Buruk akhlak dan sedikit ketaatan
Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ? Baginda
S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan
kasih sayang
Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat? Baginda
S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah