Vous êtes sur la page 1sur 26

NENEK MINAH; TRAGEDI PILU DI NEGERI “BEDEBAH”

Rasanya pilu, tak kuasa menahan gejolak dada ini...ada sesuatu yang ingin
menyeruak keluar dan meneriakkan kata-kata sumpah serapah....negeri ini benar-
benar negeri bedebah seperti puisi Adi Masardi, ya..bulu kuduk terasa berdiri
menyaksikan drama yang mengharukan seorang nenek Minah..air mata mengalir
tiada bisa dibendung,...ya dia wanita yang sudah tua renta kini langkah kakinya
terantuk batu “kedurjanaan” ke sombongan orang-orang yang merasa kuasa
dengan jabatan dan gelimang sampah harta yang akan menjadi bahan bakar api
nereka...banyak para “bajingan” berbaju sang penjaga keadilan mati rasa. Akal dan
hatinya ditaruh dilorong gelap sampah yang membusuk hingga warnanya
menjijikkan dan baunya menyengat anyir..seperti anyirnya arogansi dan
kebiadaban manusia-manusia durhaka atas nama hukum.....
Kenapa moncong senjata hukum dinegeri bedebah ini tidak di tekan pemantiknya?
agar melesatkan peluru dan mesiu yang akan menembus jantung para cukong,
koruptor mega triulyun, dan pada pejabat-pejabat yang menjadi budak harta
dengan atas nama citra mengelabui dan membutakan banyak rakyat jelata....?
kenapa peluru itu menembak seorang tua renta nenek Minah???yang seharusnya
dia butuh uluran tangan karena hajat-hajatnya... Ya Rabb......musibah apalagi yang
akan Engkau sapakan kepada penduduk negeri bedebah ini, sebagai pembalasan
atas kedurjanaan atas hambamu yang renta itu...mungkin banyak nenek Minah-
Minah yang laiin...coba bacalah dan bacalah wahai saudaraku apa yang
terjadi,semisal berita yang ditulis diberbagai media...
Minah (55) yang buta huruf divonis di PN Purwokerto, Kamis kemarin. Ironi hukum di
Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di
Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa
Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA
untuk menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao
yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk
disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak
disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor
itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah
mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak
boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum
terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus
pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Hanya kakau seharga 500 rupiah....hukum ini runtuh, lihatlah wahai manusia –
manusia yang buta dan tuli....bukankah negeri ini saatnya di robohkan dan
diganti..sistem saat ini makin hari makin membusuk dan menyuguhkan pandangan
yang memprihatinkan....apa kita hanya akan diem membisu? Apa hanya akan
menggerutu? Atau akan hanya dari diskusi ke diskusi sementara tidak berbuat
untuk perubahan itu sendiri? Atau jangan-jangan banyak orang berbusa bicara
perubahan tapi lupa amal dan kerja keras untuk merubah keadaan busuk itu
sendiri.....ku kiira ini bukan kemarahan,tapi ratapan kepada para pemilik ideologi
kebenaran!.....saatnya membuka mata, telinga, mulut hati dan akal..perubahan
sebuah kepastian jika kita mampu menyuarakan dan menggerakkan umat untuk
mengatakan TIDAAAKKK!terhadap sistem thagut ini. Ya Allah ampunilah hamba
yang selemah lemah iman ini...

Ungkapan "hubbul wathon minal iman" memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para
tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits.
Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil
agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.

Namun sayang, sebenarnya ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu
(maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits
yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.

Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah
mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara
khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :

1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh
Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-
Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir,
diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia,
sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :

1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);

2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);

3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya


Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).

Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits
"hubbul wathon minal iman".

Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut
diterangkan, bahwa hadits "hubbul wathon minal iman" adalah maudhu` (palsu). Demikianlah
penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-
Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.

Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-
Maudhu’at, halaman 8.

Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya
sebagai berikut :

1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;

2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal.
74;

3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.

(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala
Sayyid al-Mursalin, hal. 109)

Ringkasnya, ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu (maudhu’) alias
bukanlah hadits Nabi SAW.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja
diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.
Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang
sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud
Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram
hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa
besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat
Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).

Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan "hubbul
wathon minal iman" sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah
mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang
nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

"Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di
neraka." (Hadits Mutawatir).

Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang
kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum
penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia
menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit,
mencekik, dan membelenggu.
Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng
palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah
kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh
dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan
Allah ini telah dekat kepada kita semua. Amin.

B. TEKS HADITS

ِ ‫لْيَما‬
‫ن‬ ِ ‫نا‬
َ ‫ن ِم‬
ِ‫ط‬َ ‫ب اْلَو‬
ّ ‫ح‬
ُ
Cinta tanah air termasuk iman.

Derajat Hadits dan Komentar Ulama:

TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:

1. As-Shoghoni berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu”.

2. As-Suyuthi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.

3. As-Sakhowi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.

4. Al-Ghozzi berkata: “Ini bukan hadits”.

5. Az-Zarkasyi: “Saya belum mendapatinya”.

6. Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi berkata: “Ini bukan hadits”.

7. Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.

8. Al-Albani berkata: “Maudhu’ (palsu)”.

9. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Ucapan ini bukan hadits nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di
lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.

C. MATAN HADITS

Syaikh al-Albani berkata:

"Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang
tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda
melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun
mukmin?!
Allah berfirman:

ْ‫ل ّمْنُهم‬
ُ ‫ل َقِلي‬
ّ ‫جوا ِمن ِدَياِرُكم ّماَفَعُلوُه ِإ‬
ُ ‫خُر‬
ْ ‫سُكْم َأِوا‬
َ ‫ن اْقُتُلوا َأنُف‬
ِ ‫عَلْيِهْم َأ‬
َ ‫َوَلْو َأّنا َكَتْبَنا‬
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:"Bunuhlah dirimu atau keluarlah
kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari
mereka.

(QS. An-Nisa': 66)

* Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-
musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam
masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih
berharga baginya dari segala apapun".

* Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai kepada derajat memberhalakannya.

* Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik
daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:

ْ ‫خْلِد اْلَيَم‬
‫ن‬ ُ ‫جّنُة اْل‬
َ ‫ب‬ْ ‫َه‬
ْ‫طن‬َ ‫ل اْلَو‬ ُ ‫ئ َيْعِد‬
َ ‫شْي‬
َ ‫ل‬َ
Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman
Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.

Seorang lainnya mengatakan:


ُ‫عْنه‬
َ ‫خْلِد‬ ُ ‫ت ِباْل‬
ُ ‫شِغْل‬
ُ ‫ي َلْو‬ ْ ‫طِن‬َ ‫َو‬
ْ ‫س‬
‫ي‬ ِ ‫خْلِد َنْف‬
ُ ‫ي ِإَلْيِه ِفي اْل‬
ْ ‫عْتِن‬
َ ‫َناَز‬
Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya
Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.

D. SEBAB TERSEBARNYA HADITS


Al-Hafizh asy-Syaukani berkata menjelaskan sebab menyebarnya hadits-hadits palsu seperti ini:

* "Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar
keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri. Mereka sangat meremehkan sekali, sampai-
sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh
Ibnu Dabi' dalam Tarikhnya yang berjudul "Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun" dan
kitab lainnya yang berjudul "Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid" padahal beliau
termasuk ahli hadits.

* Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena
kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah
fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya".

jangan dibawa kalimat:

ِ ‫لْيَما‬
‫ن‬ ِ ‫نا‬
َ ‫ن ِم‬
ِ‫ط‬َ ‫ب اْلَو‬
ّ ‫ح‬
ُ
Cinta tanah air termasuk iman.

Ini dikatakan hadits Nabi, padahal bukan.

* Kalau orang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang cinta kucing akan
membawakan hadits palsu lain:
ِ‫لْيَمان‬
ِ ‫نا‬
َ ‫ب اْلِهّرِة ِم‬
ّ ‫ح‬
ُ
Cinta kucing itu sebagian dari iman.

F. HENDAKNYA UNTUK ISLAM BUKAN SEKADAR KEBANGSAAN

Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: "Kita apabila perang hanya untuk membela Negara
tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka.

Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun
kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam
yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang
ada di negeri kita. Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak
berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits "Cinta negeri termasuk
keimanan" maka ini adalah dusta.

Cinta Negara, apabila karena Negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya
karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah Negara kelahiran kita ataukan Negara Islam yang
jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena Negara Islam.

Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk
membela Islam di negeri kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya
karena sekedar Negara saja".

Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: "Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada
beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama Islam:

* Pertama: yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan
RasulNya.

* Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim di negerinya


yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia
mesti pandang seperti saudara.

* Ketiga: Memutuskan perhubungan antara lain-lain negeri Islam dengan alasan mereka bukan
sebangsa dan setanah air, walaupun Allah dan Rasul telah katakana mereka saudara yang mesti
bersatu.
Pengantar

Kitab Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. Abdurrahman al-Maliki termasuk kitab non-mutabannat
yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir dan tidak diajarkan di dalam halaqah-halaqah intensif.
Namun, para syabab Hizb dianjurkan membaca dan memahami kitab ini. Anjuran ini bisa
dimengerti karena kitab tersebut merupakan salah satu seri kitab yang menjelaskan bagian
terpenting dari sistem peradilan Islam, yakni sistem sistem persanksian.

<Sistem Peradilan Islam

Sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga subsistem penting:

1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam; meliputi macam-macam qâdhi, tugas dan
kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya).
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian (ahkâm al-bayyinah);
mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan
sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus
pidana dan perdata, dan lain-lain.

3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan
dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
lainnya.

Untuk itu, siapa saja yang ingin mendapatkan pemahaman utuh mengenai sistem peradilan Islam,
ia harus mendalami: sistem persanksian; sistem pembuktian; serta struktur dan birokrasi
peradilan Islam.

Hizbut Tahrir telah menjelaskan tiga hal tersebut di dalam tiga kitab terpisah. Untuk sistem
pembuktian, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab non-mutabannat berjudul Ahkâm al-Bayyinah,
karya ‘Allamah Ahmad Daur. Untuk sistem persanksian, Hizbut Tahrir juga mengeluarkan kitab
non-mutabannat berjudul Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki. Adapun sistem
birokrasi dan struktur (perangkat) peradilan telah dibahas di dalam kitab Nizhâm al-Hukmi fî al-
Islâm karya ‘Allamah Abdul Qadim Zallum, dalam bab al-Qadhâ’.

Kelebihan Buku

Pada dasarnya, sistem peradilan Islam beserta bagian-bagiannya sudah disitir dalam kitab-kitab
fikih klasik. Hanya saja, pembahasannya masih kurang sistematis, campur aduk, tercecer dalam
sub-sub pembahasan yang berbeda-beda, dan tidak membangun sebuah sistem yang hirarkis. Di
dalam kitab fikih klasik, pembahasan mengenai sanksi dan pembuktian, kadang-kadang
dijadikan satu dalam kitab Al-Hukm, ‘Aqdliyyah, Syahadah, dan Da’awiy wa al-Bayyinah.
Belum ada pemilahan, mana kitab yang khusus membahas sanksi; mana yang membahas
pembuktian; dan mana yang membahas struktur peradilan. Nah, pengarang buku ini telah
memisahkan pembahasan sanksi dari pembahasan lainnya, kemudian menyusunnya menjadi
sebuah pembahasan yang sistemik, utuh, dan fokus.

Buku ini juga meletakkan beberapa panduan penting untuk menuntun para qâdhi (hakim) dalam
menetapkan sanksi yang tepat untuk kasus-kasus ta‘zîr; yakni kasus-kasus yang jenis dan kadar
sanksinya belum ditetapkan secara spesifik oleh hukum syariah. Ini ditujukan agar esensi dan
fungsi utama peradilan bisa ditegakkan, yakni menjamin keamanan dan keadilan di tengah-
tengah masyarakat serta menjaga eksistensi Daulah Islamiyah. Contohnya, qâdhi harus
menjatuhkan sanksi berat terhadap individu, kelompok, maupun organisasi yang mendirikan
partai yang berasaskan nasionalisme, sekularisme, maupun paham-paham lain yang bertentangan
dengan Islam; atau yang didirikan untuk memecah-belah kaum Muslim dan menghancurkan
eksistensi Khilafah Islamiyah; dan lain sebagainya. Dengan panduan tersebut, seorang qâdhi
diharapkan mampu menegakkan peradilan yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Dengan itu,
kaum yang lemah berani meminta haknya, kaum yang kuat tercegah untuk melakukan kezaliman
atas kaum yang lemah, dan musuh-musuh Negara Khilafah gentar menghadapi sistem hukum
dan peradilan yang begitu kuat.

Kelebihan lain yang bisa kita temukan dalam buku ini adalah adanya penjelasan filosofis dan
mendasar tentang persanksian di dalam Islam serta kasus-kasus yang wajib dikenai sanksi dan
mana yang tidak. Menurut buku ini, secara filosofis sanksi berfungsi sebagai zawâjir dan
jawâbir. Zawâjir adalah kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Jawâbir adalah
fungsi sanksi sebagai penebus dosa bagi pelakunya kelak pada Hari Kiamat. Adapun kasus yang
wajib dikenai sanksi adalah semua tindakan kejahatan, yakni melaksanakan perbuatan yang
secara tegas dilarang oleh syariah dan meninggalkan perbuatan yang secara tegas diperintahkan
oleh syariah. Perbuatan lain, selain perbuatan semacam ini, tidak akan dijatuhi sanksi.

Sistem Persanksian dalam Islam

Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudûd; (2) jinâyât; (3) ta‘zîr; dan (4) mukhâlafât. Kadang-
kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak
pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan
dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi
zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk istilah lainnya.

1. Hudûd

Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh
syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd
adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak
bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.

Hudûd dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf
(menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirâbah atau bughât.

Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk
sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi
rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah
cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan
dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-
syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi
syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena
kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain
sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.

Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam
dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan
kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.

Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan.
Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki
kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan
(deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman
mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan
disalib.

Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke
pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang
melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif,
bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata
pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal
seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas
sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.

2. Jinâyât

Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa
(pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh.

Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau
kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2)
mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.

Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau
memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan
mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di
antaranya telah bunting.

Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di
antaranya bunting.

Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang
melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa
sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung,
namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir
harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis
pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah
dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2
bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak
wajib diyat.

Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan
membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.

Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya
adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara
mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan).
Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus
penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika
penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai
diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta
qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada
kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.

Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah,
ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan
apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan
yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak
disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.

3. Ta‘zîr

Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya,
sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus,
pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki
mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2)
penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap
harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam
keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.

4. Mukhâlafât

Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya
berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut
beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan
terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan
oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.

Kesimpulan

Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya
‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki.

Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya
Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem
peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami
sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah
keniscayaan.

Oleh: Ust. Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy


(Telaah Kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm)

Arah Dakwah kita: Ishlah atau Taghyir..?

Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah

Islam adalah dien yang sempurna yang emngatur seluruh aspek


kehidupan manusia. Tidak ada satupun masalah yang tidak diatur atau tidak
dijelaskan (hukumnya) oleh Islam. Lebih dari itu, tidak ada yang samar dan
kabur di dalam Islam, seluruhnya gamblang dan jelas.

Jika kita cermati nash-nash al-Quran maupun sunnah Rasulullah Saw.;


kita akan mendapati bahwa Islam telah membedakan antara aktifitas
dakwah yang sifatnya perbaikan parsial (ishlah juz’i) dan perubahan yang
sifatnya mendasar (taghyir al-Judzri). Untuk perubahan yang sifatnya
mendasar; Allah SWT telah berfirman:

“Demikianlah itu sebabnya, karena Allah sekali-kali tiada mengubah nikmat


yang dianugrahkan-Nya pada suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS al-Anfal [8]: 53)

Syeikh Abdul Wadud Yusuf berkata: Sesungguhnya Allah mengubah


keadaan suatu umat berdasarkan sebuah aturan yang tetap. Yaitu, nikmat
Allah tidak akan hilang dari mereka jika mereka mengubah dien yang
menyebabkan datangnya nikmat tersebut. Keadaan sulit juga tidak akan
hilang kecuali apabila mereka berbuat dengan diri mereka sendiri dengan
mengubah sistem kehidupan yang mendatangkan kesulitan, serta mengikuti
dien yang mengantarkan pada kebaikan…

Selanjutnya Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum; kecuali jika mereka
mengubah keadaan mereka sendiri” (QS ar-Ra’du [13]: 11)
Pengertian ayat ini adalah, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan manusia/masyarakat atau negeri; kecuali mereka memulai untuk
melakukan aktifitas perubahan. Apabila manusia melakukan perubahan dan
berjalan pada jalan yang benar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah,
maka Allah akan mengganti keadaan mereka; dari satu keadaan menuju
keadaan yang lain. Dengan begitu, terjadilah suatu perubahan.

Imam al-Qurthuby menyatakan, “Di dalam ayat tersebut, Allah SWT


telah memberikan informasi, bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum
sampai terjadi pada mereka suatu aktifitas perubahan; bisa saja oleh
mereka, atau orang yang mencermati mereka, atau siapa saja dari mereka
karena sebab tertentu”.

Adapun untuk aktifitas perubahan yang sifatnya parsial (ishlah), Allah


SWT telah berfirman:

“Bukankah suatu kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka,


kecuali orang yang menyuruh bersedekah atau dengan makruf atau
memperdamaikan antara manusia” (an-Nisa’ [4]: 144)

Pengertian ishlah baina an-nas berbeda dengan ishlah an-nas. Sebab,


ishlah an-nas dilakukan dengan perbaikan jiwa, atau pribadi; dan pada saat
seseorang berjalan menuju jalan yang benar, maka ia telah berubah menjadi
bagian orang yang sholih. Sedangkan ishlah baina an-nas itu terjadi ketika
ada perselisihan atau percekkokan, baik antar pribadi, negara, maupun
masyarakat; sebagaimana yang telah dikemukakan Imam al-Qurthuby: hal
tersebut umum mencakup (perselisihan) dalam masalah darah, harta
maupun kehormatan, dan dalam semua hal yang mengakibatkan saling
tuduh dan berbeda pendapat antar kaum muslim.. Contoh lain dari
perubahan parsial adalah ishlah untuk menghentikan peperangan antar
bangsa atau kelompok yang sedang berselisih. Allah SWT berfirman:

“Jika dua golongan diantara orang-orang mukmin berperang, hendaklah


kamu perdamaikan antara keduanya” (QS al-Hujurat [49]: 9);

dan masih banyak nash lain yang senada dengan ayat-ayat di atas.

Lalu, dalam konteks sekarang, apa yang dituntut oleh syariat atas
kita.? Perubahan parsial atau perubahan mendasar.? Apakah kita cukup
melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya parsial; misalnya, dengan
melakukan perbaikan di bidang sosial atau ekonomi saja.? Ataukah kita
dituntut untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.?
Pada dasarnya, yang menentukan apakah dakwah yang kita lakukan
harus ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial) atau taghyir al-Judzri
(perubahan yang sifatnya mendasar) adalah fakta yang menjadi objek
dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah dakwah kita
harus bersifat perbaikan (ishlah al-Juz’i) atau perubahan (ishlah al-Judzri),
kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita harus melakukan kajian
seksama atas fakta objek dakwah kita. Kedua, kita juga wajib mengkaji dalil-
dalil syara’ yang berkaitan dengan fakta tersebut dan menentukan hukum
yang tepat atas fakta tersebut. Dengan cara semacam ini, kita dapat
menentukan apakah dakwah kita mesti bersifat ishlah atau taghyir.

Tentunya suatu perubahan, baik yang bersifat individual maupun


kolektif (masyarakat) harus dimulai dari asasnya. Sebab, asaslah yang
melahirkan setiap pemikiran dan aturan yang mengatur perilaku manusia,
sekaligus yang menentukan persepsi manusia atas kehidupan ini. Lebih dari
itu, asas dan semua hal yang berhubungan dengannya – pemikiran-
pemikiran maupun hukum-hukum cabang – merupakan faktor yang
menentukan apakah manusia bisa bangkit atau mundur, maju atau
terbelakang, dan sejahtera atau sengsara.

Pada dasarnya, landasan hidup seorang Muslim adalah aqidah Islam.


Tidak hanya itu saja, aqidah Islam merupakan asas bagi partai politik,
negara, masyarakat serta seluruh interaksi yang ada di dalamnya; baik yang
menyangkut aspek pemerintahan dan politik, hukum, ekonomi, sosial
budaya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. memulai
dakwah beliau dengan dakwah pada aqidah Islam terlebih dahulu di Makkah
sebelum beliau mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah. Hal ini
dimaksudkan untuk menjadikan aqidah Islam yang hendak diwujudkan oleh
Rasulullah Saw. Ketika sebagian orang telah masuk Islam, dan aqidah Islam
telah tertanam kuat dalam diri mereka, beliau Saw. juga memperhatikan
pemikiran serta kecenderungan mereka. Ini dilakukan oleh Rasulullah Saw.
untuk memastikan bahwa aqidah tersebut telah menyatu di dalam diri
mereka. Setelah beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah,
beliau mengajarkan ayat-ayat Allah, dan menjelaskan hukum-hukum Islam
kepada kaum Muslim. Dengan demikian, dakwah beliau merupakan dakwah
yang sifatnya total dan menyeluruh; dakwah beliau bukanlah dakwah yang
sifatnya islah juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial)

Sedangkan ishlah; meskipun di dalamnya terdapat unsur perubahan


(taghyir), akan tetapi ishlah lebih berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya
cabang, bukan asas. Misalnya, dakwah yang ditujukan untuk keselamatan,
meluruskan dan menjaga kemurnian asas (aqidah). Oleh karena itu, apabila
asas tersebut – aqidah Islam – sudah ada, namun terkotori dengan bid’ah,
khurafat, filsafat, atau bahkan agama lain, maka perbaikan yang mesti
dilakukan adalah ishlah, bukan taghyir. Aktifitas yang dilakukan adalah
mengupayakan mengembalikan kemurnian Islam. Misalnya, bila ada seorang
Muslim yang terpengaruh oleh tsaqofah barat, maka tindakan yang mesti
dilakukan padanya adalah membersihkan aqidahnya dari kotoran yang
ditimbulkan oleh tsaqofah barat tersebut. Setelah aqidahnya bersih,
tentunya dia tidak akan menerima HAM, liberalisme, demokrasi, seruan
untuk menanggalkan hukum pidana – seperti potong tangan, qishash –
dalam Islam, dan lain sebagainya. Ishlah juga dilakukan terhadap seorang
Muslim yang melakukan kemaksiyatan kepada Allah.

Begitu pula ketika Khilafah Islamiyyah. Ketika Khilafah Islamiyyah lalai


terhadap jihad serta futuhat – seperti halnya ketika dihentikannya futufat di
Eropa padahal pasukan kaum Muslim telah mengepung dinding kota Wina
pada abad 11 Hijriyyah –, maka, dalam keadaan seperti ini yang dilakukan
bukan mengubah (taghyir) daulah yang ada dan mendirikan daulah yang
baru. Namun, yang dilakukan adalah melakukan perbaikan atas Khilafah
Islamiyyah pada waktu itu agar tidak melalaikan jihad serta
meremehkannya. Mengapa.? Sebab, Khilafah Islamiyyah ketika itu asasnya
tetap aqidah Islam, namun ada pemahaman yang kurang tepat atau adanya
kelalaian atas sebagian hukum Islam, dalam hal ini adalah hukum jihad.

Bagaimana menentukan Aktifitas Dakwah Kita

Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah


terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilah
menjadi dua; individu dan masyarakat.

Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi
menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita
adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang
bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang
sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan
orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah
bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum
yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini,
perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut
dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah
menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan
kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka
terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah
Islam yang ia peluk.

Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya


mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah
Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu,
aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat
ishlah, bukan taghyir.

Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan


perbaikan masyarakat.? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita
mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-
Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya
terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi
karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan
tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak
kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda
dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam
memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan
tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang
kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan
(masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya
berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia
mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di
atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-
perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa
menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu:
manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang
diterapkan.

Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa
Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di
dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam
dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam
(perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik
yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.

Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat


yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12
abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada
masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari
kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan
masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-
pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum
yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat
Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan
syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah
yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya,
ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah
memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai
aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan
menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.

Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup


bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah
Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan
yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri
(perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang
tidak Islami menjadi masyarakat Islam.

Ditulis Oleh: Mohammad Mushthofa Ramadlan dalam Kitab “Reformasi Vs Revolusi”

“Bagaimana cara untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.?


Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberikan contoh pada kita dengan
gamblang, bagaimana cara mengubah masyarakat yang tidak Islamiy menjadi
masyarakat Islam; yaitu dengan thoriqoh (metode) dakwah Rasulullah Saw..”

Debat soal kebijakan antiterorisme

Anton Alifandi
Produser BBC

Dalam pidatonya tanggal 5 Agustus 2005, Perdana Menteri


Inggris ketika itu, Tony Blaiir mengumumkan sebelas
langkah untuk memerangi teror di Inggris Raya menyusul
pemboman atas sistem transportasi kota London yang
menewaskan 56 orang termsuk pelaku serangan.
Pendukung Hizbut Tahrir
"Kami akan melarang Hizb-ut-Tahrir dan organisasi yang muncul di London dan
menjadi penerus Al Muhajirun," kata Balir. beberapa kota Eropa

"Kami juga akan mengkaji dasar-dasar pelarangan dan mengajukannya dalam peraturan
perundangan baru," katanya.

Ternyata kemudian tidak ada dasar hukum yang bisa dipakai untuk melarang Hizb-ut-Tahrir.
Tiga tahun kemudian organisasi ini masih aktif di Inggris dan mengundang media massa untuk
menghadiri konferensi pers.

Simak Bag 2 Laporan Khusus tentang Muslim di Inggris

Hizb ut Tahrir menggugat pemerintah Jerman ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, karena
melarang aktivitas Hizb-ut-Tahrir di negara itu.

Anggota pengurus pusat Hizb-ut-Tahrir, Jamal Harwood, menjelaskan alasan gugatannya.

"Kami yakin ide dan pikiran itu tidak bisa dilarang, apalagi ide dan pikiran yang kami bawa,
yaitu reunifikasi dunia Islam dan pembentukan kembali khilafah, semakin kuat di diterima
Jerman dan juga di kalangan Muslim Eropa, dan di dunia Islam," katanya.

Pelarangan ide

Seusai konperensi pers saya tanyakan kepada Jamal Harwood mengapa, di Indonesia Hizb ut
Tahrir menuntut pembubaran Ahmadiyah, sementara di Eropa mereka menentang segala macam
pelarangan terhadap ide dan keyakinan.

Bukankah sikap ini bertentangan? Harwood menjawab: "Tidak, point nya adalah kami selalu
jelas tentang platform kami yaitu Islam."

"Jadi kalau kami bicara soal dunia Islam, pendapat kami berdasarkan syariat Islam," katanya.
"Jadi apa kata shariah Islam tentang Ahmadiyah, itulah pendapat kami tentang keadaan di
Indonesia," tambah Harwood.

"Visi kami adalah agar Indonesia kembali ke khilafah. Jadi apa yang dikatakan syariah tentang
hak berserikat, tentang agama dan sebagainya itulah dasar sikap kami," katanya.

Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan memperjuangkan khilafah atau pemerintahan di bawah
seorang khalifah berdasarkan syariat Islam di dunia Islam.

'Mengagungkan teror'

Di Eropa dan kawasan non-Islam lainnya, Hizb-ut-Tahrir


mengatakan tidak berniat mengganti sistem pemerintahan tetapi
juga tidak membolehkan anggotanya ikut serta dalam sistem
politik sekuler Barat.

Di Inggris, Hizbut Tahrir juga tidak terdaftar sebagai sebuah


badan hukum walau tampil secara terbuka.

Sebagai kelompok yang tidak melakukan kekerasan, Hizbut Hizbur Tahrir muncul di
Tahrir tidak bisa dilarang keberadaannya di Inggris. beberapa negara Eropa

Tetapi pemerintah Inggris juga memperluas definisi teror dengan mencatumkan pasal yang
disebut "glorifying terror" atau mengagungkan teror.

Ketika itu Perdana Menteri Blair mengatakan pasal ini tidak hanya menjerat pelaku terorisme
tetapi juga orang yang mendukung terorisme.

Pasal ini ditentang keras partai-partai oposisi dan berbagai kelompok lain.

Ketua organisasi HAM, Islamic Human Rights Commission, Massoud Shadjareh menjelaskan
pasal semacam ini belum pernah ada sebelumnya.

"Sebelumnya di Inggris tidak pernah ada legislasi semacam ini, soal mengagungkan terorisme,"
kata Shadjareh.

"Dulu orang-orang Katolik Irlandia sangat mendukung IRA, di pub-pub di London mereka
menyanyikan lagu-lagu mendukung IRA. Itu tidak pernah Sekarang orang Islam
dianggap sebagai perbuatan pidana," katanya. yang melihat bahan-bahan di
internet bisa dipenjara
"Sekarang orang Islam yang melihat bahan-bahan di internet
bisa dipenjara," tambahnya.
Massoud Shadjareh
Yang dimaksud Massoud Shajareh antara lain adalah seorang Ketua IHRC
pegawai bandara Heathrow bernama Samina Malik, yang sempat dihukum percobaan sembilan
bulan sebelum dibatalkan oleh pengadilan banding, karena menulis puisi jihad dan menyimpan
buku-buku Al Qaeda.

Hakim Pengadilan banding akhirnya memutus bahwa puisi dan buku-buku milik Nona Malik
tidak bisa digolongkan sebagai bantuan praktis untuk melakukan tindakan teror.

Di Majlis rendah parlemen Inggris pertengahan tahun ini, pemerintah berusaha menggolkan
pasal yang memungkinkan penahanan seorang tersangka selama 42 hari tanpa diajukan ke
pengadilan.

Dengan selisih suara tipis 315 lawan 306, majlis rendah menyetujui RUU yang diajukan
pemerintah. Perdana Menteri Gordon Brown dituduh memberi berbagai iming-iming agar
anggota partainya sendiri bersedia mendukung rencana pemerintah.

Ancaman kompleks

Pemerintah Inggris berpendapat ancaman teror yang dihadapi


Inggris dewasa ini begitu kompleks dan canggih sehingga masa
penahanan 42 hari diperlukan, seperti dikatakan Perdana
Menteri Gordon Brown.

"Kita sudah lihat dalam kasus-kasus belakangan ini yang begitu


rumit dan canggih, misalnya soal rencana peledakan pesawat
terbang tahun 2006," kata Brown.
Polisi bersenjata semakin
Di menambahkan: "Ada 400 komputer, 8000 CD dan 25,000 sering terlihat di tempat umum
barang bukti yang harus diperiksa, oleh karena itu beberapa
tersangka ditahan selama 27 hari."

"Saya yakin di masa mendatang karena kompleksitas kasus yang dihadapi, kita akan butuh waktu
lebih lama untuk menahan para tersangka. Itu saran pihak kepolisian dan penilaian saya," kata
Gordon Brown.

Rancangan Undang-undang kontroversial ini bertentangan dengan prinsip kuno dalam


perundangan Inggris bahwa seorang tersangka harus segera dibawa ke pengadilan agar bisa
diputus bersalah, atau dibebaskan.

Kontroversi soal penahanan 42 hari ini antara lain tercermin dari pendapat anggota majlis tinggi
dan mantan kepala dinas intelijen dalam negeri MI-5, Eliza Manningham Buller, ketika
menjelaskan penentangannya atas undang-undang itu.

Menurut dia, "argumen untuk menahan orang selama mungkin, bisa saja dibuat."

"Tetapi setelah menimbang-menimbang, secara prinsip saya tidak bisa mendukung penahanan 42
hari," katanya.
"Saya paham bahwa ada pendapat yang mengatakan sebaliknya. Tetapi dari segi prinsip maupun
praktis, saya tidak melihat RUU ini ada manfaatnya," tambah.

Pendapat bekas kepala dinas intelijen ini patut dicatat karena meski sudah disetujui majlis
rendah, RUU ini masih harus dibawa ke Majlis Tinggi.

'Solusi'

Bagi Hizbut Tahrir, segala macam perundangan anti teror ini


hanyalah dalih untuk menindas komunitas Islam.

Jamal Harwood yakin, Ini hanya dalih pemerintah untuk


mengajukan kebijakan anti Islam dan ide-ide politik islam
seperti yang disampaikan oleh Hizbut Tahrir.

Dia menambahkan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa Warga muslim Inggris


penyebab terjadinya kekerasan di London dan New York atau berdemo antikekerasan
Madrid adalah politik luar negeri barat yang agresif di negara-
negara Islam.

"Solusi kami adalah menyalurkan frustrasi itu ke dalam aktivisme politik Islam yang akan
berpuncak pada kembalinya khilafah di dunia Islam," tegas Harwood.

"Ini bukan pesan kekerasan. Jadi kami tidak bisa dituduh menghasut kekerasan," katanya.

Hizbut Tahrir hanya mewakili sebagian kecil opini kaum Muslim Inggris, apalagi masyarakat
inggris pada umumnya.

Tetapi analisis bahwa politik luar negeri Inggris di Irak dan Afghanistan paling tidak ikut
berperan dalam kekerasan di Inggris, juga disampaikan banyak kalangan lain.

Pemerintah Inggris sendiri menganggap politik luar negerinya dan kekerasan ektrimis Islam di
negara ini sebagai dua gejala yang terpisah.

Kiat sukses dunia akhirat dari Nabi

Filed under: Kecerdasan Spiritual, Kiat, Topik Personal, Cara Bahagia

Malu rasanya sering mengutip kiat sukses dari orang barat. Maka yang
ini kiat dari Rasulullah. Dijamin lebih mustajab. Saya kutip dari situs
Renungan Islam.

HADIS MUTHAHHARAH
Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab
desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah!
sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan
menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya
Tanyalah apa yang engkau kehendaki :

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang alim


Baginda S.A.W menjawab : Takutlah kepada Allah maka engkau akan jadi orang yang alim

Dia berkata : Aku mau menjadi orang paling kaya


Baginda S.A.W menjawab : Jadilah orang yang yakin pada diri engkau maka engkau akan jadi
orang paling kaya

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang adil


Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah manusia yang lain sebagaimana engkau kasih pada diri
sendiri maka jadilah engkau seadil-adil manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang paling baik


Baginda S.A.W menjawab: Jadilah orang yang berguna kepada masyarakat maka engkau akan
jadi sebaik-baik manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah Baginda S.A.W menjawab :
Banyakkan zikrullah niscaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah

Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan
akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik)
Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika
engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan
cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat Baginda S.A.W
menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam
golongan mereka yang taat

Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa Baginda S.A.W
menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa niscaya engkau akan menemui Allah dalam
keadaan suci daripada dosa

Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya Baginda S.A.W
menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah
cahaya
Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat Baginda S.A.W menjawab :
Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain niscaya Allah akan mengasihanimu pada hari
qiamat

Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan
beristighfar niscaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu

Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia Baginda S.A.W menjawab : Jangan
mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain niscaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa
menyerah diri (tawakkal) kepada Allah niscaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia

Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa
berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) niscaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan
rasulNya Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya
maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka

Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat Baginda
S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain niscaya engkau akan terselamat daripada
kemurkaan Allah dan rasulNya

Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah
makanan haram niscaya segala permohonanmu akan diterimaNya

Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain niscaya Allah akan menutup
keaibanmu pada hari qiamat

Dia berkata : Siapa yang terselamat daripada dosa?


Baginda S.A.W menjawab : Orang yang sentiasa mengalir air mata penyesalan,mereka yang
tunduk pada kehendakNya dan mereka yang ditimpa kesakitan

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Elok
budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab :
Buruk akhlak dan sedikit ketaatan

Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ? Baginda
S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan
kasih sayang
Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat? Baginda
S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah

1. Menyatukan komitmen dalam berumah tangga, yaitu untuk mencapai


keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dalam naungan Islam. Suami-istri
harus memiliki cita-cita untuk menerapkan ideologi Islam. Pendekatan yang
makruf dengan disertai dalil yang kuat dapat ditempuh ketika salah satu dari
pasangan belum memahami kewajiban ini. Pembinaan selanjutnya dapat
diarahkan bersama jamaah laki-laki untuk suami dan jamaah perempuan
untuk istri.
2. Mengenal secara rinci karakter pasangan kita. Hal ini penting untuk
mengetahui cara pendekatan yang tepat untuk saling memberi masukan dan
mengingatkan. Misalnya, ada tipe suami yang tidak ingin terlalu sering
diingatkan dengan kata-kata, bisa dilakukan dengan cara tidak langsung,
seperti dengan bercerita seolah yang dimaksud adalah orang lain. Ada pula
tipe suami yang suka jika diingatkan secara rinci sehingga istri yang harus
rajin memantau, atau sebaliknya suami terhadap istri.
3. Mengetahui kegiatan harian satu sama lain, beserta target dakwah yang
ingin dicapai. Misalnya, jika suami banyak waktu di luar rumah seperti di
kantor, di sekolah, di tempat usaha, dll, dapat ditentukan komunitas dan
target apa yang hendak menjadi sasaran dakwahnya. Sebaliknya, istri yang
memiliki banyak waktu di rumah, juga bisa melakukan hal yang sama.
Keduanya bisa saling mendorong dan memberi semangat untuk mencapai
target dakwah masing-masing.
4. Jalin komunikasi yang lancar, melalui telepon atau SMS yang berisi kata-
kata, ayat-ayat, atau hadis yang berisi motivasi untuk tetap konsisten dan
bersemangat dalam dakwah. Misalnya, Sesungguhnya Allah pasti akan
menolong orang-orang yang menolong (agama-Nya) (QS al-Hajj [22]: 40);
Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang
beriman, dengan memberikan surga untuk mereka (QS at-Taubah [9]: 111);
Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih
baik bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit hingga
terbenam (HR al-Bukhari dan Muslim); dll .
5. Sempatkan untuk sama-sama mengikuti perkembangan berita lewat
televisi, radio atau koran, kemudian bahas dari sudut pandang Islam.
Tujuannya untuk mengembangkan cara berpikir Islam dengan proses analisis
fakta serta mengaitkannya dengan pemahaman yang telah dimiliki.
6. Guna memperkuat perasaan Islam (nafsiyah islamiyah), suami-istri dapat
melaksanakan shalat berjamaah, shaum sunnah, qiyamul lail dan tadarus al-
Quran bersama-sama. Bisa juga dengan mengajak anak-anak ataupun
kerabat yang lain, agar suasana ruhiah anggota keluarga tetap terpelihara di
dalam rumah.
7. Sesekali melakukan kajian tentang sirah Rasul atau kisah para Sahabat di
antara anggota keluarga, untuk menggugah semangat juang dan kerelaan
berkurban di jalan Allah dengan mencontoh teladan dari Rasul dan para
Sahabat dalam memperjuangkan agama Allah Swt.
8. Melakukan shillah ukhuwah terhadap teman-teman seperjuangan yang
memiliki komitmen tinggi terhadap dakwah, untuk mendapatkan energi baru
dalam berdakwah melalui contoh dari orang lain.
9. Mengajak seluruh keluarga untuk hadir pada acara-acara tertentu, seperti
tablig akbar, aksi bersama (masîrah), agar tersuasana semangat juang yang
tinggi dan keyakinan yang kuat akan dekatnya pertolongan Allah Swt. kepada
umat Islam.
10. Membuat perencanaan dakwah bersama untuk mewarnai lingkungan
sekitar rumah. Istri terhadap kaum perempuan dan suami terhadap kaum
laki-laki. Apalagi jika telah memiliki anak yang sudah beranjak dewasa, juga
dapat dilibatkan dalam rencana ini, khususnya terhadap para remajanya.

Catatan Rahmat Supena: Agar semangat berdakwah ba'da


nikah :

Vous aimerez peut-être aussi