Vous êtes sur la page 1sur 3

Balimau adat dan agama

Khusus di Minangkabau (Sumatera Barat), Ramadhan telah


dipandang sebagai bulan yang dinantikan dan sangat dirindukan.
Kita terbiasa menyambutnya dengan acara khas yang teradatkan,
merupakan penggambaran indah jalinan adat bersendi syarak,
syarak bersendi kitabullah. Kedatangannya dinanti dengan acara
balimau yang diperlakukan oleh masyarakat Minang sebagai suatu
kegiatan yang punya hubungan erat dengan Ramadhan.
Pada awalnya acara balimau didominasi oleh kegiatan
kekeluargaan berbentuk “jelang manjelang” antara anak menantu
dengan orang tua-tua, kemenakan dengan mamak, dan
selingkungan orang sekampung. Tujuannya memperdalam
hubungan silaturrahmi, memaafkan yang sudah tersalah, berbuat
baik kepada karib bait. Yang jauh dijelang, yang dekat didatangi.
Memperlihatkan putih hati dalam keadaan yang sebenarnya,
sebagai pembuktian bahwa telah datang hari baik bulan baik
(diantaranya Ramadhan).. Fa’fuu wash-fahuu. Tindakan ini selain
bernuansa adat, lebih dalam adalah suruhan agama. Syara’ (Agama
Islam) mangato adat memakai.
Gejala itu hari ini sudah mulai melemah. Lubuk, teluk, sungai,
pantai, danau, ngarai, lembah, bukit, hutan dan semak belukar
menjadi tempat ramai dikunjungi pencinta acara balimau. Jalan
raya dipadati kenderaan dipacu tak beraturan. Angka kecelakaan
dan pelanggaran lalulintas meningkat sebagai indikasi meriahnya
acara-acara balimau kini. Petugas keamanan melipat gandakan
jumlahnya. Rumah sakitpun menambah tenaga para medis, UGD,
obat-obatan, ambulance disiapkan secara istimewa. Wartawan
sibuk memantau berita-berita, membuat perbandingan
(kecelakaan) dengan tahun-tahun sebelumnya. Dihari-hari pertama
Ramadhan suratkabar berisikan berita korban yang jatuh dalam
acara balimau menyambut bulan puasa. Jauh panggang dari api.
Itulah yang sering dialami tahun-tahun terakhir ini. Acara balimau
tidak lagi indah dan bersih, tapi mulai suram dan sedih. Demikian
jadinya kalau agama hanya pada sebutan dan adat menjadi
mainan.
Kalaulah kita kembali ke akar kata “balimau”, ditemui sebuah
pengertian yang luar biasa. Balimau dalam pengertian istilah,
digunakan oleh orang Minang untuk menyatakan kegiatan mandi
wajib, mandi sesudah junub.. Seseorang akan dipertanyakan
“kebersihan”nya dengan pertanyaan: “Alah balimau ko tadi?”
Dengan kata lain, orang Minang mempertanyakan kebersihan orang
sebelum memasuki Ramadhan tanpa balimau sebagai sebuah
kegiatan mensucikan diri dari “hadats besar.” Melalui kebiasaan ini
orang Minang menterjemahkan semua perintah agama dalam
kebudayaan yang luar biasa indah. Begitu indahnya, sehingga kita
1
tidak mampu lagi menyatakan itu sebagai pelaksanaan ajaran
agama atau sebuah kegiatan budaya.
Beberapa kegiatan dalam siklus kehidupan seorang
Minangkabau terlihat sangat Islami sekaligus sangat khas
Minangkabauwi. Sebutlah antara lain, turun mandi yang dilanjutkan
dengan aqiqah yang mengawali keberagamaan dan keberadatan
orang Minang. Kemudian ada acara basunaik atau berkhitan.
Khatam Qur’an. Sampai kegiatan meminang, nikah-kawin yang
semuanya berjalin berkulindan dangan isi budaya dan syariat Islam,
termasuk pemberian nama anak turunan yang sangat agamis
(baca: merujuk kepada Kitabullah), juga maanta pabukoan di bulan
puasa, mengisi surau dan langgar dengan kegiatan ibadah tarawih
dan tadarus. Sebuah jalinan kebudayaan yang tidak lagi terlihat
batas perintah adat dan aturan syariat. Semua menyatu bagai
jarum dan kelindan. Dilaksanakan yang satu maka terlaksana yang
lain, dan seperangkat kegiatan yang sangat indah terjalin bersama
dengan syariat Islam.
Kemajuan zaman membawa pergeseran, jalan di aliah urang
lalu, tapian di asak urang mandi. Seakan-akan orang Minangkabau
tidak lagi hidup didalam keindahan kultur budayanya. Mereka mulai
larut dalam kebudayaan tak berbudaya. Dengan budaya sinkretik
(lapis atas campur aduk) dan gaya hidup hedonistik (mambuek apo
nan katuju).
Kultur menurut alur dan patut (baca: yang pantas ) mulai
ditinggalkan, berpindah kepada yang opatut dialur. Raso jo pareso
mulai kurang berperan. Raso dibao turun, pareso ka alam nyato
hanya ada pada sebutan. Pergaulan sangat permisif, sawah tak lagi
berpematang, ladang tidak lagi berbintalak. Anak dipangua
kamanakan dilantiangkan, penggambaran kehidupan permisivistik
yang tidak bertemu dalam tataran kebudayaan Minang masa
dahulu.
Ninik mamak nan gadang basa batuah dengan peran
mengamankan anak kemenakan, bertukar sebut dengan
‘memakan’ kemenakan. Kondisi itu berubah karena alam fikiran kita
tentang adat menjadi dangkal hanya berupa pidato petatah-petitih,
atau karena ritual agama hanya berbentuk ceremonial. Tidak jarang
bila hal ini diingatkan, cacian bergelar sumbang akan dilekatkan,
seperti “kolot tak mengenal kemajuan zaman”. Na’udzubillah.

Ramadhan dan tahun baru.


Tahun ini bulan puasa bersamaan dengan tahun baru miladiyah
(1998). Penyambutan Ramadhan didorong oleh kesadaran diri dari
dalam (inner side) untuk siap memelihara kebersihan yang
berbekas pada ketundukan dan kepatuhan, serta berbuah kepada
iman, shabar, syukur dan bertaqwa (berhati-hati) senantiasa.
Sungguh beda dengan acara penyambutan tahunbaru terlihat
meriah dengan banyaknya remaja turun ke jalanan dengan
kegembiraan hura-hura yang seringkali diiringi mabuk-mabukan.
2
Tahun Baru (1998) yang beriringan dengan Ramadhan (1418 H),
baiknya kita peringati dengan banyak dzikir di Masjid, melakukan
hisab dan introspeksi. Kelak pasti berbuah tindakan positif memacu
kemajuan masa datang. Pembangunan fisik amat ditentukan oleh
berhasilnya pembangunan jiwa (mental spiritual).
Seorang penyair Islam menyenandungkan seungkaian kata,
“innama umamul akhlaqu maa baqiyat, wa inhumu dzahabat
akhlaquhum dzahabu”, artinya “tegaknya rumah di atas sendi,
sendi runtuh rumah binasa., tegaknya bangsa karena budi, budi
hilang, hancurlah Bangsa”.
Inilah rahasia Ajaran Islam, bahwa bangsa yang kuat adalah
bangsa yang kokoh taqwanya, dan baik akhlaqnya.“Innama
bu’isttu li utammi makarimul akhlaq”, yakni “aku di utus untuk
menyempurnakan akhlaq yang mulia”.
Diranah bundo Minangkabau, kita diingatkan dengan “nan
kuriak kundi, nan sirah sago, nanbaik budi nan indah baso”, atau
ungkapan sastrawan Minangkabau ,“Pulau Pandan jauh di tangah,
dibaliak pulau si angso duo, hancua badan di kanduang tanah, budi
baik dikana juo”
Sumatera Barat yang dikenal “negeri beradat, dengan adatnya
bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah , bisa berperan
dalam pembangunan bangsa dan negara, selama adat dan agama
terjaga jalinan berkulindan tertuang di dalam tindak perbuatan
sehari-hari.
Insya Allah.***

Padang, Desember 1997.

H.Mas’oed Abidin.

Vous aimerez peut-être aussi