Vous êtes sur la page 1sur 15

Ilustrator by Timur Abimanyu, SH.

MH

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA


BERDASARKAN UU NO. 30 TAHUN 1999
SERTA ANALISANYA

Banyak perkara sengketa perdata maupun perkara perdata agama/syari’ah


yang diselesaikan di Pengadilan Umum maupun Pengadilan Agama/Syari’ah, hal
dikarenakan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan
peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman/yang sekarang karena sudah
merupakan sebagai peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung yang diatur oleh
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2005 Tentang Mahkamah Agung. Sebagai diketahui bahwa
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur
dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh
izin atau perintah untuk dieksekusi (exccutoir) dari pengadilan.

Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia


adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvdering,Staatblad 1847:52)dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang diperbarui
(Het Herziene Indonesisch Reglement , staatblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen
acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Builengewesten, Staatblad
1927:227). Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga
peradilan, dimana kelebihan tersebut adalah : a.dijamin kerahasiaan sengketa para
pihak, b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan
administratif; c.para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil, d.para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase, dan e.putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja atau langsung dapat dilaksanakan.

Akan tetapi pernyataan tersebut kurang relefan, karena banyak di negara-


negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase, dimana
arbitrase adalah sebagai alternatif pilihan dan salah satu kelebihan dari arbitrase
terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaanya karena keputusannya tidak
dipublikasikan, dan penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih atau sangat
diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak-kontrak bisnis bersifat internasional.
Sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang
perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada
umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Recthvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah dianggap tidak
sesuai lagi, sehingga perlu adanya penyesuaian karena pengaturan perdagangan
bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan condotio sine qua non sedangkan
hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen acara Perdata(Reglement op de
Recthvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Recthvordering) bailk secara filosofis
maupun substantive sudah saatnya harus dilaksanakan.

Arbitrase yang diatur dalam undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah


merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan
atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, akan tetapi tidak semua sengketa
dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata
sepakat mereka/kedua belah pihak.. Terdapatnya ketentuan yang melarang wanita
sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Recthvordering) adalah sudah dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan jaman di era Globalisasi yang sepenuhnya mengakui
persamaan hak wanita dengan hak pria. Terhadap alternatif penyelesaian sengketa
(diatur dalam Bab II) yaitu dengan melalui cara musyawarah para pihak yang
bersengketa, alternative penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution atau
ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, sedangkan pada bab III
adalah memberikan suatu ikhtisar khusus dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari
para pihak yang bersengketa dan pada bab IV diatur tata cara untuk beracara di
hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan,
memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta
mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli, sedangkan pada bab V mengatur
syarat-syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase yang daiatur oleh UU No.
30 Tahun 1999. Didalam bab V adalah untuk mengatur kemungkinan terjadi suatu
persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional
maupun internasional dan penolakan permohonan perintah pelaksanaan putusan
arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua
Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pengaturan dari UU Bo. 30 Tahun 1999 adalah untuk menjaga jangan sampai
penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut, didalam menjalankan
hukum formil yang utuh, maka Undang–undang tersebut memuat ketentuan tentang
pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional, dimana pada bab VI
mengatur tentang pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-
undang dapat dioperasionalkan sampai kepada pelaksannan putusan, baik yang
menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional, yang secara hukum
dapat dibenarkan.

Mengenai pembatalan putusan arbitrase (bab VII), akan dapat dimungkinkan


apabila terdapat beberapa hal yaitu :a. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu, b. setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja
disembunyikan pihak lawan atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Terhadap permohonan
pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap
putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Terhadap putusan arbitrase dianggap berakhir (diatur dalam bab VIII),
apabila tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau
kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter atau karena
meninggalnya salah satu pihak, yang dapat mengakibatkan tugas yang telah diberikan
kepada arbiter tersebut berakhir. Mengenai biaya arbitrase (diatur dalam bab IX) yang
ditentukan oleh arbiter, dimana dalam bab X adalah mengatur mengenai ketentuan
peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa
yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatatan
hukum tetap.

Pengaturan bab XI disebabkan karena berlakunya Undang- undang No. 30


Tahun 1999, maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651Reglemen acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering, Staatblad 1847:52) Pasal 377 Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui (Het Hertziene Indonesisch Reglement , Staatblad
1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar jawa dan Madura
(Recthtsregment Builengewesten, Staatblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.

Landasan Hukum
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945;
2. Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI tahun 1970 nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara nomor 2951);
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 2005 Tentang Mahkamah Agung.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa, dimana para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun publik, karena adanya suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum terjadi
sengketa , atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
terjadi sengketa, yang dapat diselesaikan melalui pengadilan negeri didaearh
hukumnya yang meliputi tempat tinggal termohon, dimana pihak pemohon adalah
sebagai pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
dengan bantuan seorang arbiter/lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase;

Dengan demikian Lembaga Arbitrase adalah suatu badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu,
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal sebelum timbul sengketa, sedangkan putusan
arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan menurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase internasional, terdapat pula alternatif penyelesaian sengketa yaitu lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.

Mengenai alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 6 UU No. 30


Tahun 1999 yaitu : (1).Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasrkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadialan negeri,
(2).Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaiakn dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis, (3).Dalam hal sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator, (4).Apabila
para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seseorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para
pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator, (5).Setelah penunjukan
mediator oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dala waktu paling lama 7
(tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai, (6).Usaha penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melaui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terkait, (7).Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan, (8).Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapatsebagaimana diamaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan, dan (9) Apabila usaha
perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat
dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

Ruang lingkup arbitrase adalah meliputi sengketa dari para pihak, syarat
arbitrase, pengangkatan arbiter dan hak ingkar, dimana para pihak dapat menyetujui
suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase dan dalam hal timbulnya suatu sengketa, maka pemohon harus
memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimile, e-mail atau dengan
buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon
atau termohon berlaku dengan tujuan untuk mengadakan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, atas dasar kepada perjnjian yang diadakan oleh para pihak tentang
jumlah arbiter, akan tetapi apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu,
pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam
jumlah ganjil, kemudian kesepakatan yang telah disetujui harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak, jika para pihak dapat
menandatangani perjanjian tertulis, maka perjanjian tertulis tersebut harus dibuat
dalam bentuk akta notaris.

Yang mana maksud dari perjanjian tertulis adalah harus memuat identitas
yang lengkap berikut masalahnya, karena jika perjanjian tertulis tidak memuat
persyaratan tersebut maka akan mengakibatkan batal demi hukum, akan tetapi terdapat
pengecualian, dimana suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal apabila :
a.meninggalnya salah satu pihak, b. bangkrutnya salah satu pihak, c.novasi, d.
insolvensi salah satu pihak, e. pewarisan, f. berlakunya syarat-syarat hapusnya
perikatan pokok, g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada
pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrse tersebut,
dan h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Jika sudah terdapat suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri, dimana Pengadilan negeri wajib menolak
dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal – hal tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang No. 30 Tahun 1999.

Jika para pihak sepakat akan diselesaikan di arbitrase, maka berdasarkan


Pasal 12, harus ditunjuk atau diangkat seorang arbiter yang memenuhi syarat sebagai
berikut : a.cakap melakukan tindakan hukum, b. berumur paling rendah 35 tahun,
c.tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajad
kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, d.tidak mempunyai kepentingan
finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan e. memiliki pengalaman
serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun ( Hakim, jaksa,
panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter). Apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan
arbiter/tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua
pengadilan negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 13), maka untuk
menghindari didalam prakteknya akan terjadi jalan buntu perlu sesuatu syarat didalam
arbitrase harus diatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh
didalam pengangkatan seorang arbiter.

Apabila dalam arbitrase ad hoc terdapat ketidaksepakatan dalam penunjukan


seorang atau beberapa arbiter, maka para pihak dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua pengadilan negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka
penyelesaian sengketa para pihak tersebut, setelah penunjukan olek Ketua Pengadilan
Negeri disepakati oleh para pihak bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan
diputus oleh arbiter tunggal, maka para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan
tentang pengangkatan arbiter tunggal (pemberitahuan seperti yang disyaratkan dalam
undang-undang) dan apabila dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon
menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka para pihak tidak
berhasil menentukan arbiter tunggal atas permohonan dari salah satu pihak, ketua
pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
Didalam hal Ketua pengadilan negeri akan mengangkat arbiter tunggal
berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari
organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, dengan
memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak
terhadap orang yang bersangkutan/ yang akan menajdi arbiter tersebut.Terdapatnya
suatu penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak yang memberi wewenang kepada
dua arbiter tersebut, untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga, dimana Arbiter
ketiga tersebut yang nantinya akan diangkat sebagai ketua majelis arbitrase.
(pemberitahuan paling lama 30 hari diatur dalam pasal 8 ayat (1)), Jika kedua arbiter
tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 hari, maka ketua
pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter ketiga yang tidak dapat diajukan upaya
pembatalan.

Atas dasar ditunjuknya seorang/beberapa arbiter oleh para pihak secara


tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut, maka seorang/beberapa arbiter secara
tertulis, dengan para pihak yang menunjuk dan arbiter tersebut ditentukan dalam suatu
perjanjian perdata, yang dituntut terhadap seorang arbiter atau para arbiter harus
memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan para pihak harus menerima putusannya secara final dan mengikat seperti telah
diperjanjikan bersama oleh para pihak.

Terhadap hal yang tertentu apabila seorang arbiter telah menyatakan


menerima penunjukan atau pengangkatan yang telah diperjanjikan, maka yang
bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak dan wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak, jika para pihak dapat
menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
yang bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan penetapan oleh
ketua pengadilan negeri (arbiter/majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak
memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka arbiter dapat
dihukum untuk mengganti biaya serta kerugian yang diakibatkan karena kelambatan
tersebut kepada para pihak) dan para arbiter/ majelis arbitrase tidak dapat dikenakan
tanggungjawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan arbiter
tersebut.
Terhadap seorang/para arbiter dapat dituntut ingkar apabila terdapat cukup
alasan dan bukti otentik dan menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan
tugasnya tidak secara bebas, karena akan berpihak di dalam mengambil keputusan dan
didapati adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu
pihak atau kuasanya (diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 26).

Pelaksanaan beracara yang berlaku dihadapam Majelis adalah pemeriksaan


sengketa oleh arbiter/majelis arbitrase dilakukan yang dilakukan secara tertutup, dalam
proses arbitrase dengan menggunakan bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan
arbiter/majelis arbitrase apabila para pihak ingin memilih bahasa lain yang akan
digunakan didalam proses arbitrase.

Didalam proses arbitrase dimana para pihak yang bersengketa mempunyai


hak dan kewajiban yang sama didalam mengemukakan pendapatnya dan dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus, begitupula terhadap pihak ketiga
diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang
terkait dan keturutsertaannya dan harus disepakati oleh para pihak yang bersengketa,
serta harus disetujui oleh arbiter/atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang
bersangkutan (diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 48 UU. No. 30 Tahun
1999).

Didalam pelaksanaan proses arbitrase, para pihak dapat menghadirkan saksi


dan saksi ahli atas perintah arbiter/majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak
untuk didengar keterangannya dan biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi
ahli dibebankan kepada pihak dari yang memintanya (dengan wajib mengucapkan
sumpah). Mengenai keterangan dari seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan
keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok
sengketa, yang kemudian arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan
saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa, apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas, maka atas
permintaan dari para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat
didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau
kuasanya (kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh sekretaris diatur oleh Pasal 49 sampai dengan Pasal 51 UU no. 30
Tahun 1999).

Terhadap hasil pendapat dan Putusan Arbitrase, dimana para pihak dalam
suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga
arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian dan terhadap pendapat
yang bersifat mengikat, tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum
apapun. Dan apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, maka pemeriksaan segera
ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase tersebut yang
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan dan putusan
diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup, begitu pula
dalam wakru paling lama 14 hari setelah putusan diterima oleh para pihak untuk dapat
mengajukan permohonan kepada arbiter/majelis arbitrase untuk melakukan koreksi
terhadap kekeliruan administratif atau yang isinya mengurangi sesuatu tuntutan
putusan (diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999).

Terhadap pembatalan putusan arbitrase adalah atas permohonan atau


permintaan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu, b. setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak
lawan, dan c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa, dengan diajukan secara tertulis dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada panitera pengadilan negeri, yang ditujukan kepada ketua kepada ketua
pengadilan negeri dan apabila permohonan tersebut dikabulkan maka ketua pengadilan
negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase. Dan terhadap putusan pengadilan pengadilan negeri tersebut dapat diajukan
permohonan banding ke mahkamah agung, yang akan memutus dalam tingkat pertama
dan terakhir dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding
tersebut diterima oleh mahkamah agung ( diatus dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal
72).

Tugas arbiter berakhir apabila : a. putusan mengenai sengketa telah diambil,


b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah
diperpanjang oleh para pihak telah lampau, atau c. para pihak sepakat untuk menarik
kembali penunjukan arbiter. Dapat dimungkinlain dimana tugas arbiter dapat berahir
disebabkan pula oleh : 1. karena meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan
tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir, 2 karena jangka waktu tugas arbiter
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ditunda paling lama 60 UU No. 30 Tahun 1999
atau sejak meninggalnya salah satu pihak.

Terhadap arbiter yang meninggal dunia, akan dikabulkannya tuntutan ingkar


atau penghentian seorang atau lebih arbiter, dimana para pihak harus mengangkat
arbiter pengganti dan kesepakatan untuk mengangkat arbiter pengganti maka ketua
pengadilan negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat
seorang atau lebih arbiter pengganti yang bertugas untuk melanjutkan penyelesaian
sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan
tersebut. Dan terhadap biaya-biaya proses arbitrase, arbiter menentukan biaya arbitrase
yang meliputi : a.honorarium arbiter, b.biaya perjalanan dan biaya lainnya yang
dikeluarkan oleh arbiter, c.biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa, dan d. biaya administrasi. Dan terhadap biaya arbitrase akan
dibebankan kepada pihak yang kalah sedangkan dalam hal penuntutan hanya
dikabulkan sebagian, maka biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara
seimbang/tanggung renteng sama rata.

Analisa faktor internal terhadap proses arbitrase nasional maupun arbitrase


internasional adalah melihat kepada instrumental dari UU No. 30 Tahun 1999, dimana
undang-undang tersebut adalah merupakan sebagai kebijakan dasar terhadap proses
mediasi nasional maupun mediasi internasional yang didasarkan oleh Undang Undang
No. 30 Tahun 1999 yaitu dilakukannya kebijakan perberlakukan yang merupakan
sebagai lembaga arbitrase didalam melaksanakan proses arbitrase nasional maupun
arbitrase internasional dengan didasarkan kepada penetapan atau putusan Pengadilan
Negeri dalam hal ini diwilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baik didalam
permohonan proses arbitrase maupun sampai kepada putusan arbitrase ditetakan.
Khususnya terhadap proses mediasi internasional, dimana terhadap putusan arbitrase
harus didasarkan kepada penetapan dan didaftarkan kepada pengadilan negeri pusat,
yang kemudian realisasinya diserahkan kepada pengadilan negeri diwalayah hukum
proses sengketa tersebut terjadi.(dalam realisasi sita eksekusi maupun permohonan
pelaksnaan eksekusi).
Analisa faktor eksternal terhadap proses arbitrase nasional maupun arbitrase
Internasional adalah dimana berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan
pemberlakuan terhadap proses penyelesaian sengketa oleh arbitrase yang merupakan
sebagai penyelesaian diluar peradilan, terhadap sengketa yang mengenai hak, akan
tertapi walaupun proses penyelesaian sengketa tersebut diselesaian diluar pengadilan,
tetap saja terhadap proses-proses seperti kesepakatan, permohonan/pendaftaran,
permintaan arbiter sampai keputusan lembaga arbitrase tersebut harus melalui
peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apalagi yang menyangkut
mengenai sita eksekusi sampai kepada permohonan eksekusi yang melaksanakan
putusan arbitrase tersebut.

Demikianlah sekilas analisa penulis berdasarkan analisa faktor internal dan


faktor eksternal, dengan berlandaskan kepada kebijakan dasar maupun kebijakan
pemberlakukan dari Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Amrizal, Hukum Bisnis: Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia Teori dan
Praktik.Jakarta : Penerbit : Jambatan, 1996.
Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York,
Brisbane, Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Hukum Bisnis : Kepailitan. Jakarta :
PT.Rajagrafindo Persada, 1999.
A. Pilto, Pembuktian dan Daluwarsa menurut KUH Perdata Belanda, terjemahan
M.Isa Arief, Jakarta:Internusa, 19978.
Abadulkadir Muhammad, Hukum Perikatan.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Asmon, I.E.” Pemilikan Saham Oleh Karyawan: Suatu Sistem Demokrasi Ekonomi
Bagi Indonesia”, dalam Didik J.Rachbini, ed , Pemikiran Kea rah Demokrasi
Ekonomi. Jakarta, LP3ES, 1990.
Bernadette Waluto. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarn Utang.
Bandung : CV Mandar Maju, 1999.
Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and
Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.
Beach, Mary E.T.” Developments In Securities Refistration and Prospektus Delivery”.
ALI-BABA Course Materiels Journal, February 1997.
Beaver, William H. “ The Nature of Mandated Disclosure”, dalam Richard A. Posner
dan Kenneth E.Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities
Regulation.Boston, Toronto : Little Brown & Company, 1980.
Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Sixt Edition.ST.Paul. Minn: West
Publishing Co, 1990.
Bromberg, Alan R.” Corporate Information: Texas Gulf Sulphur and Its Implications”.
South-Western Law Journal, vol 22, 1968.
Bunch, Gary.” Chiarella : The Need For Equal Access Under Section 10(b)”. San
Diego Law Review, vol 17, 1980.
Chatamarrassjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Pencieng the Corporate Veil).Kapita
Selekta Hukum Perusahaan.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Carl, Bernd Kaeblig, Indonesia Intellectual Property Law, First Edition., editor :
Gregory J.Churchill, Maret 1993.
Coffe, Jhon C.Jr.” Market Failure And The Economic Case For A Mandatory
Disclosure System”.Virginia Law Review, vol. 70, 1984.
Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana
Law Journal, vol. 71, 1996.
Davis, Jeffry L.” Disorgement in Insider Trading Cases : A Proposed Rule”. Securities
Regulation Law Journal, vol.22, 1994.
Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment
Term “. Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media
Komputindo, 1991.
E. Suherman. Faillissement (Kepailitan).Bandung : Bina Cipta, 1988.
Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against
Mutual Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.
Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth
Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.
Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market
Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.
Freilich, Harold I. dan Ralph S,Janvery.” Understanding’Best Efforts’Of ferings”.
Securities Regulation Law Journal, vol .17, 1989.
Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market
Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.
Freilich, Harold I. dan Ralph S,Janvery.” Understanding’Best Efforts’Of ferings”.
Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York
Institute of Finance, 1988.
Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental
Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.
Grossfeld, Berhard.” The Strenght and Weakness of Comparative Law”.Oxford :
Clarendon, Press, 1990.
Gilson, Ronald J.dan reiner H. Kraakman.” The Mechanisms of Market
Efficiency”.Virginia Law Journal, vol. 24, 1997.
Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare
Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.
I. Jerry Hoff, Indonesia Bankruptcy Law, editor: Gregory.J, Churchill, Januari 1999.
J. Eggens, In En Uittreden Van Leden Bij Vennoot Schappen Onder Firma, Ptasaran
(Praeadvies) untuk Konggres ke 4 Ned Indise Juristen Vereeniging di zaman
tahun 1936 di Jakarta : diumumkan dalam lampiran pada T.144.
Kansil, C.S.T. Hukum Perusahaan Indonesia (aspek Hukum Dalam
Ekonomi),Jakarta : Pradnya Paramita, 1995.
Kartini Mujadi. Hakim Pengawas dan Kurator dalam Kepailitan dan dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Newslleter No. 33 Tahun IX, Jakarta : Yayasan
Pusat Pengkajian Hukum, 1998.
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafe’I Antonio, “Apa dan Bagaimana
Bank Islam”, PT.Dara Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, 1992.
Karmel, Roberta S.” Is the Shingle Theory Dead”.Washington & Lee Law Review,
vol 52, 1995.
M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid.8 : Perwasitan,
Kepailitan dan Penundaan Pebayaran. Jakarta : PT. Djambatan, 1992.
Martiman Prodjohamidjo. Proses Kepailitan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. I Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
tentang Kepailitan, Bandung : CV Mandar Maju, 1999.
M. Polak, Handboek voor het Ned. Handels-en Faillis-sementsrecht. Jilid I, cetakan ke
5, cetakan ke 4 dan cetakan ke 3.Disingkat dengan Polak I(5), Polak I(4) dan
Polak I(3) , cetakan ke 3 ini adalah yang masih paling cocok dengan KUHD.
Muhammad Syafe’I Antonio,”Bank Syariah”, dari Teori kePraktik, Gema Insani,
2001.
Nsngoi, Ronald.Peningkatan Produktifitas Organisasi Perusahaan, Analisis Nomor 3
Vol. 15 Maret 1986,p.232-239.
N. Lapolwa dan Daniel S. Kuswandi, “ Akintansi Bank”, Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia, Jakarta, 1993.
Parwoto Wignjosumarto, Tugas dan Wewenang Hakum Pemeriksa/Pemutus Perkara
Hakim Pengawas dan Kuratir/Pengurus, Juli 2001.
--------- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. I Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang=Undang tentang Kepailitan ,edisi bahasa Indonesia
dan Inggris.
Retnowulan Sutantio. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan. Jakarta :
Mahkamah Agung RI, 1996.
Rachmadi Usman. Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah. Jakarta : PT.
Djambatan, 1998.
R.M. Mac Iver dan Charles H.Page. “ Society an Introductory analysis.” Mac Millian
& Co,Ltd.London, 1961, hal 213.
Subekti. Hukum Perjanjian.Jakarta : Internusa, 1980.
Subekti dan R Tjitrosudibio. KUH Dagang dan Undang-Undang Kepailitan,
terjemahan Wetboek van Koophandel en Faillissementsverodening. Jakarta :
Pradnya Paramita, 1982.
Wirjono Prodjodikoro. Azasazas Hukum Perjanjian.Bandung: Sumur, 1993.
Sukrisno, “ Perencanaan Strategis Bank”, Lembaga Pengembangan Perbankan
Indonesia, Jakarta 1992.
Securities Regulation Law Journal, vol .17, 1989.
Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters
Groningen. Jakarta, 1950.
Thomas Suryono DKK, “ Kelembagaan Perbankan”, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta,
1998.
Tirole, Jean. The Theory of Industrial Organisasi.USA Masachusetts Institute of
Technology, 1989.
Treuman, Walter et al.US Busness Law, 2nd Verlag Otto Schmidi KG Koeln, 1990.
----------- UU Kepailitan di Indonesia, I Jerry Hoff, Penerjemah Kartini Muljadi,
Oktober 2000.
----------- UU No. 10 Tahun 1998.
----------- UU No. 23 Tahun 1999.
----------- UU No. 3 Tahun 2004.
----------- UU No. 30 Tahun 1999.
Zainal Asikin. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada, 2001.
Soewardu. “ Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia “Jakarta, 1950, hal..60.
Ceramah Koesano tentang “ Pembangunan Hukum Adat”.
Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta, 1968,
Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil)
Bandung, 1970, hal. 21-23.
Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. ” Proe Advies Derde Juristen Conggres”. Di Jakarta
disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch
Gewoonterechtelijke Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934.
Koentjaraningrat. “ Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia.” Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan
Nasional, Jakarta, 1969, hal. 19.

Vous aimerez peut-être aussi