Vous êtes sur la page 1sur 3

Antara “saya” dan “SAYA”

“We all just live as ordinary people with an extra-ordinary THING”

“Sesungguhnya kita semua hidup sebagai manusia biasa dengan SESUATU yang luar biasa”.
Petikan kalimat ini sebenarnya bukan merupakan kreasi “saya” secara pribadi, namun
mengadaptasi sebuah slogan dari seorang guru yang menjadi sebuah role-model dalam
beberapa aspek kehidupan “saya”.

Rangkaian kata-kata di atas mungkin dapat memberikan makna yang berarti dalam seluruh
lubuk kesadaran diri saat menghadapi garis waktu kehidupan ini. Karena dalam gerak langkah
yang kita jalani, mungkin seringkali terdapat beberapa hal yang terus saja terlewatkan,
terlupakan, ataupun terabaikan secara sengaja dan tidak sengaja oleh diri kita sendiri. Beberapa
hal yang tidak selaras oleh keinginan, beberapa perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan,
beberapa tindakan yang berlawanan dengan kehendak pikiran, dan sebagainya.

Padahal tentunya kita selalu berpikir untuk menjadi yang paling mulia, bercita-cita menjadi
yang paling ideal, dan merencanakan hal-hal terbaik lainnya bagi diri kita sendiri ataupun bagi
orang lain. Namun sayangnya apa yang kita pikirkan belum tentu menjadi apa yang kita
lakukan. Bahkan sebuah ironi bisa terjadi pula saat sebuah desain sinergis dari kemauan dan
kemampuan telah terbentuk untuk melakukan sinkronisasi dari pikiran dan perbuatan, ternyata
hal tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang selaras dengan harmonisasi kehidupan ini.

Upaya untuk menciptakan sesuatu yang terbaik bagi diri sendiri dan manusia lainnya sebagai
kondisi yang maha sempurna merupakan hal yang menjadi angan-angan tertinggi dari dalam
nurani manusia secara sejati. Tapi mengapakah hal ini seringkali tidak timbul secara serta-merta
dalam perkataan kita, tidak hadir secara spontan dalam perbuatan kita, dan bahkan tidak ada
dalam pikiran kita?

Dimanakah kondisi yang terbaik, kondisi yang maha sempurna, atau apalah namanya yang
mungkin tidak mampu dituliskan dalam sebuah kosakata ini sesungguhnya berada? Sesuatu
yang pernah terefleksi dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita di kehidupan ini? Ini benar-
benar menjadi pertanyaan yang besar bagi “saya”!

Karena “saya” sebagai manusia biasa dengan tiada kesempurnaan ini bukanlah “SAYA” sebagai
SESUATU yang LUAR BIASA bagi “saya” sendiri maupun orang lain. Dalam suatu waktu, mungkin
“saya” pernah bertindak sebagai “SAYA”, namun pada saat lainnya pula “saya” hanyalah
berperilaku sebagai “saya”, bahkan ketika “saya” telah merasa menjadi “SAYA”.
Mungkin inilah yang menjadi sebuah filosofi pertanyaan kehidupan sejati yang dimantrakan
dalam pola pandang meditatif dan aspek spiritual transendental lainnya, dengan
mempertanyakan kepada diri sendiri: “Siapakah saya?” (“Who am I?”). Dan “saya” tidak tahu
dengan pasti kemanakah pertanyaan ini ditujukan: kepada “saya”, ataukah kepada “SAYA”?
Atau mungkinkah kepada kedua-duanya? Mungkin pulakah sebagai sebuah kesatuan kosakata
“saya-SAYA” yang tidak terpisahkan?

Bahkan “saya” berpikir, menjadi hal yang bijaksana bagi Anda semua ketika menyadari bahwa
“saya” yang ‘beruntung’ menjadi “SAYA” dalam sebuah kesempatan, belum tentu menjadi
“SAYA” secara utuh dalam setiap langkah kehidupan ini sehingga tidaklah perlu berterimakasih
kepada “saya” atas segala pemikiran, tutur kata, dan perilaku yang sesungguhnya bukanlah dari
“saya” sendiri! Tidaklah perlu memandang kagum ataupun bahkan mengikuti segala macam
pikiran, perkataan, dan perilaku dari “saya” dalam setiap aspek hidup pribadi Anda!

Sebaliknya ketika “saya” menjadi “saya” seutuhnya, ataupun bahkan dengan penuh ekspektasi
menganggap telah menjadi “SAYA” dalam melakukan pemikiran, tutur kata, serta perbuatan
yang menyakitkan Anda, alangkah baiknya apabila Anda tetap memahami “saya” sebagai “saya”
yang tentunya tidak sesempurna “SAYA” seperti harapan Anda, dan bahkan sesuai dengan
keinginan diri “saya” sendiri pula! Dan segala macam tindakan apapun dari diri Anda atas
perlakuan yang tidak mengenakkan dari diri “saya” tersebut, bisa jadi pantas dilakukan kepada
“saya”, namun tentunya mutlak tidak kepada “SAYA”!

Menjadi sebuah pertanyaan yang mungkin perlu dipertimbangkan kepada kita semua,
setidaknya oleh “saya” sendiri:

“Siapakah “saya”?” dan “Siapakah “SAYA”?”

“Apakah “saya”?” dan “Apakah “SAYA”?”

“Bagaimanakah “saya”?” dan “Bagaimanakah “SAYA”?”

“Kapankah “saya” ada, kapankah “saya tiada”?” dan “Kapankah “SAYA” ada, kapankah “SAYA”
tiada”?”

“Ataukah sebenarnya salah satunya atau semuanya tidak pernah ada, atau sebaliknya tidak
pernah tiada?”

Seorang rekan guru yang lain, yang telah menjadi guru bagi “saya” pula, yaitu Bp. Cipto Hadi
Wiyono pernah memberikan pesan secara bijak kepada “saya” untuk tidak mengutamakan
ataupun bahkan menyebut-nyebut kosakata “saya” dalam segala aspek perilaku kita. Namun,
pada kesempatan ini “saya” berpikir dan berharap bahwa dapat memperoleh hal yang
dikecualikan, karena siapakah “saya”, yang tentunya bukan siapa-siapa ini, apabila berani
menggurui Anda dengan mengganti semua kosakata “saya” pada tulisan kali ini dengan
kosakata “Anda”.

Tentu saja, sekali lagi bisa jadi tulisan ini semua hanyalah hasil dari pemikiran “saya”, dannya
bukan “SAYA”, yang bahkan saat ini “saya” sendiri pun tidak mengetahuinya dengan pasti.
Sehingga Anda tidak perlu mengiyakan ataupun mempercayai secara serta-merta apa yang
“saya” tuliskan disini tanpa adanya kesadaran yang sejati dari diri Anda…

Teriring salam termulia kepada “SAYA” yang berada dalam diri Anda…! (Apabila perbedaan
antara “saya” dan “SAYA” itu ada), ataupun “saya-SAYA” yang sejati bagi diri Anda sendiri..!
(Apabila tidak ada perbedaan yang hakiki dari “saya” dan “SAYA” pada Anda)….

Willy Wong
Manusia Setengah Dewa Separuh Iblis (supaya tidak dianggap serius-serius amat…!
Wakakaka…!)

Vous aimerez peut-être aussi