Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BEBERAPA PEMANFAATANNYA
PAPER
Disusun Oleh:
Willyarta Yudisti
NRP. 4408418277
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. karena tas
berkat rahmat-Nya lah penulisan paper ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Paper ini betujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian
akhir semester genap. Sekaligus untuk menambah wawasan mengenai spesies mikroalga
Chlorella sp baik mengenai teknik kultur, pemanenan, dan pemanfaatannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Banyak sekali hambatan dan rintangan dalam penyelesaian paper ini. Namun karena
dukungan dari berbagai pihak, akhirnya paper ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang
telah ditentukan. Oleh Karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Aef Permadi, S.Pi, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan;
2. Bapak Sinung Rahardjo, S.Pi, M.Si selaku Ketua jurusan Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan;
3. Dra. Ratna Suharti selaku Ketua program studi Teknologi Akuakultur;
4. Bapak Sinar Pagi Sektiana, S.St.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan paper ini;
dan kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan paper ini yang tidak
mungkin disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak materi-materi yang belum penulis sertakan dalam
penulisan paper ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
guna perbaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya di masa yang akan datang. Akhir
kata penulis berharap agar paper ini dapat berguna bagi para pembaca khususnya dan juga
berguna bagi nusa dan bangsa umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 2
1.2. Tujuan ............................................................................................................................. 4
1.3. Batasan Masalah ............................................................................................................. 5
Bab 2 Pembahasan ................................................................................................................. 6
2.1. Budidaya Fitoplankton Secara Umum ............................................................................ 6
2.1.1. Sarana Budidaya Fitoplankton ............................................................................. 7
2.1.1.1. Sarana Untuk Kultur Murni .................................................................... 7
2.1.1.2. Sarana Untuk Kultur Semi Masal ........................................................... 9
2.1.1.3. Sarana Untuk Kultur Masal .................................................................... 9
2.1.1.4. Sistem Air Laut ....................................................................................... 10
2.1.1.5. Sistem Aerasi .......................................................................................... 12
2.1.1.6. Tata Letak ............................................................................................... 13
2.1.2. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Terkontrol .................................................... 14
2.1.3. Teknik Kultur Masal Fitoplankton ....................................................................... 19
2.2. Budidaya Chlorella sp .................................................................................................... 21
2.2.1. Kultur Murni......................................................................................................... 22
2.2.1.1. Kultur Sistem Batch................................................................................ 24
2.2.1.2. Kultur Sistem Semi Continous................................................................ 26
2.2.1.3. Kultur Sistem Continous......................................................................... 27
2.2.1.4. Konsentrasi Unsur Hara Pada Media dan Pertumbuhan Chlorella sp.... 29
2.2.2. Kultur Masal......................................................................................................... 33
2.2.3. Pemanenan............................................................................................................ 34
2.2.4. Pengeringan .......................................................................................................... 35
2.3. Pemanfaatan Chlorella sp ............................................................................................... 35
2.3.1. Sebagai Minuman Kesehatan ............................................................................... 35
2.3.2. Untuk Kegiatan Kultur Masal Rotifera ................................................................ 38
2.3.3. Sebagai Biofuel .................................................................................................... 40
2.3.4. Sebagai Bahan Kosmetik...................................................................................... 42
2.4. Kandungan Nutrisi Chlorella sp ..................................................................................... 43
Bab 3 Penutup ........................................................................................................................ 46
ii
3.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 46
3.2. Saran ............................................................................................................................... 46
Daftar Pustaka........................................................................................................................ 47
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Chlorella sp. merupakan mikroorganisme dengan tingkat organisasi sel nya termasuk
kedalam tumbuhan tingkat rendah tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (semu).
Chlorella sp. merupakan salah satu jenis alga hijau yang termasuk dalam kelas
Chlorophyceae dengan suku Chlorellaceae dan jenis Chlorella sp. merupakan ganggang
halus hijau yang umumnya disebut pula mikroalga hijau bersel tunggal, bentuknya bulat atau
bulat telur, serta memiliki kloroplas seperti cawan, dengan dinding selnya yang keras, padat
dan garis tengahnya 5 mikron. Chlorella sp. merupakan kelompok alga yang paling beragam,
dengan lebih dari 7000 spesies tumbuh dalam habitat yang beragam, seperti tumbuhan.
Namun, Chlorella sp. ini memiliki zat warna hijau daun (pigmen klorofil) yang mampu
melakukan fotosintesis dengan bantuan air (H2O), CO2, dan sinar matahari yang dapat
mengubah energy kinetik menjadi energi kimiawi dalam bentuk biomassa penghasil gula atau
yang lebih dikenal dengan karbohidrat (Kabinawa,2001).
Chlorella sp. merupakan tumbuhan akuatik yang dapat menghasilkan makanannya
sendiri, irganisme ini disebut “algae”. Nama umum lainnya dari Chlorella sp. adalah Sun
Chlorella atau alga hijau, sedangkan nama ilmiah atau kedokterannya adalah Chlorella
pyrenoidosa atau Chlorella vulgaris.
Perkembangbikkan Chlorella sp. terjadi secara aseksual dan banyak terdapat di
perairan tawar maupun laut dan dapat tumbuh dalam berbagai media yang mengandung
cukup unsure hara, seperti N, P, K, dan unsure mikro lainnya. Chlorella sp. akan tumbuh baik
baik pada temperatur optimal 25OC. Unsur nutrien yang diperlukan alga dalam jumlah besar
adalan karbon, Nitrogen, fosfor, sulfur, natrium, magnesium, dan kalsiuum.
Sedangkan unsure hara yang dibutuhkan dalam jumlah relative sedikit adalh besi,
tembaga, mangan, seng, boron, molybdenum, vanadium, dan kobalt (Manahan, 1984,
Chumaidi,dkk, 2004).
Pertumbuan Chlorella sp. biasanya diukur dari kepadatan selnya pada setiap volume
kulturnya (sel/ml). Dengan menggunakan pengukuran kepadatan sel pada selang waktu yang
tetap, maka kurva pertumbuhan mikroalga dapat dibuat. Tingkatan pertumbuhan yang
terdapat pada kurva pertumbuhan ini adalah fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner,
dan fase kematian.
Di Indonesia Chlorella sp. pada umumnya digunakan sebagai pakan alami biota laut
di panti-panti perbenihan ikan, udang, dan kekerangan. Di Negara maju seperti Amerika,
1
Jerman, dan lain-lain, Chlorella sp. telah dikembangkan sebagai suplemen ataupun makanan
kesehatan seperti Sun Chlorella, juga sebagai kosmetik kencatikan.
Perkembangan Bioteknologi Pada saat ini di Negara maju seperti, Jepang, Amerika,
Eropa, Australia, dan lainnya telah meluncurkan berbagai produk baik pangan maupun non
pangan. Contohnya seperti produk pangan yang paling banyak dikenal adalah makan
kesehatan merupakan suatu suplemen yang bahan dasarnya diperoleh dari mikroalga yang
banyak beredar di Indonesia diantaranaya dengan nama Hi-liena dari jenis Spirulina sp.,
Dunailiella dari Dunailella sp., Clostanin bahan dasarnya Chlorella sp., dan lain-lain.
Sedangkan non pangan yang banyak beredar di Indonesia merupakan kosmetik diantaranya
body lotion, sampo dengan merek Miho Body Lotion dan Miho Body Shampo yang bahan
dasarnya dari Chlorella sp.
Mikroalga merupakan tumbuhan bersel tunggal yang biasanya disebut ganggan halus
sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun biota perairan. Bagi kehidupan biota
perairan mikroalga merupakan produsen primer sebagai rantai makanan yang banyak
mengandung mineral dan vitamin. Begitu pula bagi kehidupan manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Mikroalga umumnya mempunyai peranan penting sebagai sumber
gizi pangan khususnya asam lemak omega 3, protein, dan vitamin-vitamin.
Pengaruh mikroalga bagi kehidupan manusia secara tidak langsung diantaranya bila
kita banyak mengkonsumsi ikan maupun biota yang ada di perairan akan mencegah berbagai
macam penyakit. Hal ini dikarenakan mikroalga merupakan pakan dasar dan kehidupan biota
yang terdapat di perairan tersebut.
Pengaruh mkroalga secara langsung bagi kehidupan manusia diantaranya dengan
munculnya berbagai produk makanan kesehatan yang banyak diproduksi oleh Negara maju
yang bahan dasarnya terbuat dari mikroalga. Berbagai merek makanan sehat yang bahan
dasarnya dari mikroalga jenis Chlorella sp. diantaranya Sun Chlorella dan Clostanin. Dimana
kandungan beta karotinnya 900 kali bila dibandingkan dengan wortel dan mengandung
banyak asam lemak omega-3 dan 6 protein serta serat dan vitamin (anonym, 1996, dan
Panggabean,dkk,1999).
Dari berbagai jenis mikroalga dapat pula dijumpai berbagai macam warna yang
terkandung di dalamya diantaranya warna hijau pada Chlorella sp. sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai tambahan pewarna bagi pangan maupun non pangan.
2
Menurut Hadiwigeno, dkk (1993), menyatakan bahwa menurut undang-undang R.I
nomor 9 tahun 1985 tentang perikanan mikroalga merupakan komoditi prikanan, sehingga
setiap bentuk industri yang berbasiskan pada pemanfaatan mikroalga dapat dikatakan sebagai
industry perikanan.
Mikroalga adalah mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi selnya
termasuk ke dalam tumbuan tingkaat rendah dan dikelompokkan kedalam filum Thallophita
karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (semu).
Mikroalga mempunyai zat warna hijau daun (pigmen) klorofil yang mampu
melakukan fotosintesis (asimilasi) dengan bantuan air, CO2, dan sinar matahari. Hasilnya
yang berupa karbohidrat digunakan sebagai sumber energi dalam biosintesis sel,
pertumbuhan, dan pertambahan sel, bergerak atau berpindah, dan bereproduksi.
Mikroalga merupakan organism fotosintetik dengan pigmen yang berbeda-beda. Pada
kelompok Cyanobacterium memiliki pigmen klorofil- , karotenoid, dan pigmen fikobilin
(fikosianin dan fikoeritin). Kedia pigmen tersebut dapat digunakan dalam bidang farmasi,
kedokteran, dan kosmetika.
Warna fokobilin pada mikroalga dapat pula meningkatkan kekebalan tubuh,
disamping itu, adanya zat aktif dari protein dapat menghambat proses penuaan dan memiliki
daya biasorbsi yang kuat terhadap logam berat sehingga dapat pula dijadikan pengendalian
limbah cair agroindustri maupun electroplating (Kabinawa, 2001). Pada kelompok
Chlorophyceae pigmen terbesar adalah klorofil- sehingga warna selnya hijau. Disamping itu
juga mempunyai -karoten, xantofil dalam bentuk lutein.
Warna pigmen xantofil yang hijau, coklat, dan kekuningan banyak digunakan bagi
para peternak ikan hias untuk memperoleh warna yang menarik. Kandungan xantofil dan
lutein dapat pula digunakan untuk meningkatkan kualitas arna kuning telur, warna karkas
menjadi sunflower, daging dan organ dalam ayam potong menjadi Oxblood red.
Dinding sel kelompok chlorophyceae mengandung selulosa, hemiselulosa, dan pectin
sehingga dalam proses produksi dan pemanfaatannya sebagai pangan menyehatkan
diperlukan pemecah dinding sel sehingga cost of production-nya mnjadi tinggi dan nilai
jualnya menjadi tinggi pula.
Mikroalga mempunyai zat aktif yaitu protein dengan kandungan asam aminonya
setara dengan telor (Kabninawa, 2001). Dalam perkembangannya diketahui bahwa
kandungan proteinnya berkisar antara 50%-74%. Protein yang dihasilkan oleh
mikroorganisme bersel tunggal dikenal dengan nama protein sel tunggal. Protein Sel Tunggal
(PST) banyak digunakan sebagai tambahan pakan ternak, unggas, dan ikan. PST cukup
3
potensial digunakan sebagai protein pengganti dari protein nabati/hewani, sehingga dapat
dimanfaatkan pula sebagai sumber protein untuk mencukupi kebutuhan protein bagi
kehidupan manusia.
Dasar-dasar pemikiran untuk pengembangan Chlorella sp. sampai ke skala komersil
adalah sebagai berikut:
a. Produksi biomassa cepat;
b. Perawatan kultur relatif mudah;
c. Bersifat fototrofi dan mixotrofi sehingga kultur dapat bersifat terang ataupun gelap
dalam 24 jam;
d. Mempunyai kandungan protein 55%-65% dengan asam amino nya setara dengan
telor;
e. Kandungan klorofilnya 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman tingkat
tinggi;
f. Mengandung zat aktif anti bisul (anti staphylococcus);
g. Mengandung zat aktif pemacu pertumbuhan tanaman dan hewan;
h. Mempunyai rasa khas yang menyegarkan;
i. Dapat digunakan sebagai emulsifier;
j. Mengaktifasi mikroalga untuk menghasilkan interferon sehingga meningkatkan
kekebalan tubuh;
k. Kandungan xantofil dan lutein dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas warna
kuning pada telor, warna karkas menjadi sunflower;
l. Memiliki daya biasorbsi yang kuat terhadap logam-logam berat;
m. Memiliki zat aktif Chlorella Growth Factor yang bermanfaa untuk menghambat
proses penuaan.
1.2. Tujuan
4
1.3. Batasan Masalah
Dalam penyusunan paper ini penyusun membatasi permasalahan pada:
a. Budidaya fitoplankton secara umum;
b. Budidaya Chlorella sp.;
c. Pemanfaatan Chlorella sp.;
d. Uji logam berat pada Chlorella sp.
e. Kandungan nutrisi Chlorella sp.
5
BAB 2
PEMBAHASAN
Pesatnya usaha prikanandi Indonesia utamanya perbenihan baik ikan , udang, maupun
kekerangan menyebabkan peranan pakan alami semakin besar khususnya fitoplankton
sebagai pakan awal (initial feed) larva. Menurut Haryanti (2002), ketersediaan fitoplankton
yang sesuai, baik jumlah maupun mutu serta kesinambungan merupakan salah satu factor di
antara penentu keberhasilan pemeliharaan larva ikan, udang, kepiting, atau rajungan. Hal ini
berarti setiap usaha perbenihan, teknik kultur fitoplankton secara terkontrol harus dikuasai,
sehingga kegagalan pemeliharaan larva yang disebabkan oleh kekurangan pakan alami tidak
terjadi.
Teknik kultur fitoplankton secara umum dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu skala
laboratorium, skala semi massal, dan skala massal (Anonim, 2002). Namun demikian
keberhasilan dari tahapan kultur semi massal dan skala massal tentunya tidak terlepas dari
bibit yang dipergunakan (inokulan). Sementara teknik kultur fitoplankton skala laboratorium
banyak mengoleksi plankton dari berbagai jenis/strain yang tidak terkontaminasi (murni),
sehingga dapat digunakan sebagai bibit yang baik. Pada usaha perbenihan skala industry
sudah mulai dilakukan kultur fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam
memenuhi kebutuhan pakan alami sebagai pakan awal. Selama ini Laboratorium Plankton
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali masih memelihara dan
melakukan kultur fitoplankton secara terkontrol untuk mendukung kultur semi massal dan
massal.
Dalam suatu tahapan produksi perbenihan khususnya kultur fitoplankton hal yang
perlu diketahui dan dikuasai adalah pengetahuan tentang sarana kultur fitoplankton. Sarana
produksi akan turut menentukan besarnya biaya investasi maupun kemudahan dalam
operasional. Secara umum kegiatan kultur fitoplankton terbagi kedalam kultur skala
laboratorium, kultur semi massal, dan kultur massal. Kultur fitoplankton skala laboratorium
dimaksudkan sebagai persediaan bibit untuk kegiatan kultur massal. Sedangkan hasil kultur
skala massal dapat langsung digunakan dalam proses produksi benih ikan laut maupun tawar.
Kultur fitoplankton murni dimulai dari kegiatan isolasi kemudian dikembangkan
sedikit demi sedikit secara bertingkat. Media atau wadah kultur yang digunakan mula-mula
6
hanya beberapa ml saja, kemudian berangsur-angsur meningkat ke volume yang lebih besar
sehingga mencapai skala massal. Kultur fitoplankton sampai volume 3 Liter masih dilakukan
di dalam laboratorium. Sehingga sering disebut dengan kultur semi massal yang dapat
mencapai volume 1 m3. Kultur massal merupakan tahapan kultur selanjutnya, kultur massal
biasanya dimulai dari volume 10 m3 hingga lebih dari 50 m3, tergantung besar kecilnya skala
produksi benih.
Tidak semua unit produksi benih mampu melakukan tahapan kultur fitoplankton
secara lengkap, dari kultur skala laboratorium hingga kultur skala massal seperti di atas
tergantung ketersediaan fasilitas. Pada unit produksi benih skala kecil/rumah tangga hingga
skala sedang kultur fitoplankton biasanya hanya dilakukan dari tahapan kultur semi massal
kemudian dilanjutkan ke kultur massal.
7
Tabel 1. Peralatan Untuk Kultur Murni/Stok Fitoplankton
NO JENIS PERALATAN
1. Botol 0,5 L sampai dengan 20 L
2. Erlenmeyer, Carbouy
3. Pipet
4. Beacker Glass
5. Pipa glass
6. Cawan petri
7. Tabung reaksi 20 ml, rak
8. Lampu TL 10-40 watt
9. Refraktometer
10. Thermometer
11. Mikroskop
12. Autoclave
13. Oven
14. Refrigerator
15. Timbangan Sartorius
16. Haemacytometer
17. Pemanas Bunsen
18. Plankton net
19. Jarum ose
20. Selang aerasi, batu timah, dan batu aerasi
21. Ember/gayung plastic
22. pH meter/DO meter
23. Hi blower
8
1.1.1.2. Sarana untuk Kultur Semi Massal
Ruang kultur semi massal merupakan salah satu sarana dalam pelaksanaan kultur
semi massal. Ruangan ini adalah bangunan permanen semi outdoor yang berfungsi untuk
mengembangkan stok fitoplankton dari laboratorium menjadi skala massal semi “out door”
atau lazim dikenal dengan kultur semi massal. Dalam ruangan ini dilengkapi dengan
peralatan berupa wadah seperti akuarium, fiberglass, dengan volume 80 liter sampai dengan 1
m3 .
Ruang kultur semi massal didesain agar bisa mendapat sinar matahari yang cukup
sepanjang hari, sirkulasi udara cukup, dan dapat melindungi dari gangguan luar. Konstruksi
harus kuat dan menahan beban atap dengan kerangka dari bahan tahan karat dan tidak mudah
lapuk, beratap dari bahan yang tembus cahaya seperti kaca, fiberglass, atau polycarbonate.
Bak kultur massal (outdoor) berfungsi sebagai tempat kultur atau produksi massal
fitoplankton. Bak ini berukuran minimal 10 m3 tergantung dari jumlah fitoplankton yang
diperlukan per hari nya, semakin banyak kebutuhan fitoplankton, ukuran bak dapat
ditingkatkan sehingga dapat menghemat tenaga kerja dan lebih memudahkan dalam
pengelolaan.
Desain bak berbentuk segi empat maupun bundar dengan dasar bak dilengkapi lubang
pembuangan, berlantai miring kearah lubang pembuangan dan tidak ada sudut mati.
Konstruksi bak harus dapat menahan volume air, dengan permukaan halus yang bisa terbuat
dari pasangan kaca/fiberglass. Bahan yang digunakan harus tidak menghasilkan bahan
cemaran.
Dalam kutur massal fitoplankton skala massal, diperlukan intensitas penyinaran
(cahaya) yang cukup. Disarankan kedalaman bak kultur sebaiknya tidak lebih dari 1 meter
karena apabila kedalaman bak kultur lebih dari 1 meter dikhawatirkan daya tembus cahaya
tidak sempat sampai ke dasar bak. Apabila sinar matahari tidak sampai ke dasar, maka
fitoplankton yang dikultur akan mempunyai laju pertambahan sel yang lambat atau bahkan
bisa mati.
9
1.1.1.4. Sistem Air Laut
Tersedianya air laut bersih dan jernih mutlak diperlukan dalam kultur fitoplankton.
Untuk mendapatkan air bersih dan jernih sesuai dengan persyaratan, sarana yang dibutuhkan
akan sangat tergantung dari kondisi perairan yang ada, apabila perairan laut sangat jernih
filter air yang digunakan cukup sederhana, tetapi sebaliknya bila perairan tersebut agak
kering atau memiliki kelayakkan yang rendah, instalasi filter air laut yang digunakan akan
semakin kompleks. Dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan atau rendahnya kualitas
sumber air, biaya investasi maupun operasional akan semakin tinggi pula.
Untuk meningkatkan kualitas air laut banyak cara dilakukan yaitu dengan cara
mekanik, biologi, dan kimia. Peningkatan kualitas air laut yang umum dan mudah dilakukan
adalah dengan cara mekanik yaitu dengan mengendapkan atau dengan saringan pasir.
Pada kultur fitoplankton skala laboratorium air laut yang digunakan disterilkan
dengan cara perebusan atau dengan UV dan ozonisasi. Selanjutnya air laut disaring melalui
saringan 50 µm, 10 µm, 5µm, 2 µm. Sedangkan pada kultur fitoplankton skala massal dan
semi massal, air laut disterilkan dengan cara kimia, yaitu dengan menggunakan bahan
Chlorin (kaporit). Air laut yang akan digunakan sebelumnya disaring, lalu disterilkan dengan
kaporit 15-20 ppm selama 1-2 hari atau sampai netral. Untuk mengetahui atau mengecek
chlorine digunakan chlorine test.
Secara keseluruhan, untuk mebdapatkan air baku yang dimaksud maka harus melalui
serangkaian instalasi air laut yang terdiri atas filter, pompa, bak penampungan air/tandon dan
pipa pengadaan serta distribusi air laut.
Adapun komponen yang digunakan pada sistem air laut ini adalah filter hisap, filter
buang, pipa distribusi, dan bak penampungan.
a. Filter hisap
Sesuai dengan nama dan fungsinya, filter ini ditempatkan pada bagian hisap pompa.
Posisi penempatan filter bisa secara horizontal atau vertical disesuaikan dengan kontur dasar
perairan, pengaruh selisih pasang tinggi dan pasang surut terendah, kedalaman perairan, jenis
dasar perairan, dan sistem pompa yang dipergunakan. Fungsi filter adalah untuk mencegah
terhisapnya bagian kasar dari dasar perairan seperti batuan, jasad akuatik, dan bahan lain
yang dapat mengganggu atau menghambat kerja pompa. Penempatan filter sebaiknya
menggunakan kerangka tancap (rak) di dasar perairan.
10
Penempatan filter ini adalah pada bagian outlet (pengeluaran) pompa sebelum air
yang keluar dipergunakan. Filter ini terdiri dari dua macam filter yaitu filter terbuka dan filter
tertutup. Filter buang terbuka biasanya menggunakan bak semen atau fiberglass dan pasir
sebagai bahan penyaring. Mekanisme penyaringan pada filter terbuka dengan mengalirkan air
dari bawah ke atas “up welling filter”, pengaliran ini bertujuan agar penyaringan lebih
efisien. Filter buang tertutup biasanya terbuat dari fiberglass yang telah dilengkapi dengan
pasir sebagai penyaring. Filter ini biasanya sering dijumpai di pasaran dengan ukuran
bervariasi dari 1-2 ton.
Pipa diperlukan untuk mengalirkan air laut ke tandon (bak penampungan) atau dari
bak penampungan ke bak-bak yang membutuhkan. Dalam proses pengaliran atau diperlukan
“stop kran” untuk mengatur kebutuhan air sesuai kapasitas bak atau untuk menutup dan
membuka aliran air. Jaringan pipa distribusi terdiri dari pipa utama (primer), pipa pembagi
(sekunder), dan pipa pengguna (tersier). Perbandingan pipa primer, sekunder, dan tersier
adalah 4:2:1, atau 4:3:1 dengan tujuan agar air yang diterima bak dapat merata, khususnya
untuk distribusi yang menggunakan pompa langsung.
b. Bak Penampungan
Bak penampungan adalah bak yang digunakan untuk menampung air bersih yang
merupakan hasil penyaringan atau hasil sterilisasi dengan kaporit. Ketersediaan bak
penampungan ini mutlak dipelukan karena untuk mengurangi adanya kontaminan yang akan
masuk ke bak kultur fitoplankton. Kelebihan lain dari penggunaan bak tandon adalah:
- Air dapat didistribusikan secara gravitasi, untuk itu letak bak penampungan
harus lebih tinggi dibandingkan dengan bak kultur
- Sterilisasi air bisa dilakukan dengan penambahan bahan kimia misalnya
kaporit.
- Menghindari terbakarnya elekro motor pompa akibat pemakaian yang tidak
sesuai antara inlet dan outlet.
11
1.1.1.5. Sistem Aerasi
Sistem aerasi adalah rangkaian proses penambilan dan pemasukan udara ke dalam
media pemeliharaan. Dalam kultur fitoplankton secara massal sistem aerasi sangat penting
artinya selain sebagai sumber O2/CO2 juga berfungsi sebagai pengaduk (sirkulasi) air media
pemeliharaan, pemerataan cahaya, dan pepemerataan pupuk. Pengudaraan ke dalam bak
kultur sebaiknya dengan kekuatan aerasi sedang dan merata dengan maksud untuk lebih
meratakan dengan maksud untuk lebih memeratakan penyebaran pupuk ke seluruh bagian
bak kultur.
Pada kultur fitoplankton penambahan udara ke dalam media pemeliharaan dilakukan
dengan cara memompa udara dari luar dengan blower (pompa udara). Pompa udara yang
digunakan biasanya tergantung kedalaman air media kultur, akan tetapi yang banyak
digunakan adalah Hi Blow, Vortex Blower, dan Aerator akuarium. Untuk kultur fitoplankton
skala laboratorium biasanya menggunakan Vortex Hi Blow (mini Blower), sedangkan pada
skala massal (outdoor) digunakan “Vortex Blower” atau “Root Blower” tergantung skala
usaha yang digunakan. Vortex Blower bekerja berdasarkan gerakan berputar dan
menghasilkan hembusan udara hasil kerja kipas. Alat ini tidak dilengkapi katup udara pada
bagian hisapnya sehingga apabila mendapat hambatan tidak terjadi penempatan dan
gangguan motor. Tekanan udara yang dihasilkan relative rendah sehingga alat ini bisa
digunakan untuk bak dengan permukaan luas dan dengan kedalaman rendah (< 2 m). Root
Blower cocok digunakan untuk bak yang memiliki kedalaman tinggi seperti bak untuk
pemeliharaan induk dan pematangan gonad. Sedangkan Hi Blow lebih sesuai untuk usaha
pembenihan skala rumah tangga dimana kegiatan hanya pemeliharaan larva dan pemeliharaan
paan hidup.
Dalam sistem aerasi perlengkapan lain yang harus dipenuhi adalah pipa, stop kran,
selang, pemberat, dan batu aerasi. Pipa dan stop kran sebaiknya terbuat dari PVC atau bahan
lain yang tidak mudah berkarat. Untuk selang aerasi dipilih dari bahan plastic yang lentur,
sehingga jika terkena panas tidak cepat mengeras. Batu aerasi berfungsi menghasilkan
gelembung udara yang halus sehingga mempertinggi difusi oksigen atau karbon dioksida dari
udara ke dalam air media pemeliharaan,sehingga pompa udara yang digunakan akan
memberikan hasil yang optimum. Penempatan pipa dan batu aerasi di dalam bak kultur
fitoplankton diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi arus balik aliran air dari bak kultur
ke dalam blower.
Listrik merupakan sumber tenaga untuk menjalankan peralatan dan sistem penunjang
lainnya. Sumber tenaga listrik dapat berasal dari PLN atau generator. Untuk memudahkan
12
dalam operasional dan perawatan, sebaiknya lokasi dipilih yang sudah ada jaringan PLN.
Pemasangan generator mutlak dilakukan terutama di daerah yang sering terjadi pemadaman
aliran listrik.
13
Keterangan:
1. R laboratorium 4. R. Kultur Zooplankton
2. R Kultur Fitoplankton Hijau 5. R. Cuci dan Penyimapanan
3. R. Kultur Fitoplankton Coklat (Diatom) 6. R Rak Kultur
14
Gambar 3. Proses kultur alga
15
Tabel 2. Peralatan yang Digunakan Untuk Kultur Murni Fitoplankton
No. Jenis Peralatan
1 Erlenmeyer 100 ml
2 Labu glass 500 ml, 1.000 ml, 2.000 ml, 3.000 ml, 5.000 ml
3 Pipet, Mikropipet
4 Beacker glass
5 Pipa glass
6 Refraktometer
7 Thermometer
8 Autoclave
9 Drying sterilizer (oven)
10 Selang aerasi
12 Blower
13 Timbangan Sartorius
c. Pemupukan
Air laut yang steril selanjutnya dipupuk untuk media tumbuhnya fitoplankton.
Menurut Hiroki (1991), komposisi pupuk yang paling sesuai untuk media kultur fitoplankton
jenis diatom adalah Na medium (Tabel 3) sedangkan untuk jenis fitoplankton non diatom
digunakan komposisi pupuk MQ medium (Tabel 4)
Prosedur Pembuatan Pupuk:
1. Medium NaNO3
100 g NaNO3 dilarutkan dengan 1.000 ml akuades dan dimasukkan ke dalam
botol tahan panas, selanjutnya disterilkan dengan autoclave pada suhu 115 OC
selama 30 menit.
2. Medium NaHPO4
14 g NaHPO4.12H2O ditambah 12,6 g NaHCO3 dan 18,1 g EDTA.2Na dilarutkan
dalam 1.000 ml akuades dalam beacker glass, dan dimasukan ke dalam autoclave
pada suhu 115 OC selama 30 menit.
3. Medium Clewat-32
100 g Clewat-32 dilarutkan dalam 1.000 ml akuades kemudian sterilisasi.
16
4. Medium Na2SiO3
5 g Na2SiO3 dilarutkan dalam 1.000 ml akuades kemudian sterilisasi dengan
autoclave.
5. Vitamin mix
20 mg Thiamin dilarutkan dalam 100 ml akuades, selanjutnya tambahkan larutan
vitamin B-12 (pekat) dan 1 ml larutan Biotin, dicampur secara sempurna.
Kemudian ditambahkan akuades sehingga menjadi 200 ml, simpan di lemari
pendingin. Penggunaan tekanan dan suhu tinggi akan merusak vitamin sehingga
sterilisasi dengan autoclave tidak disarankan. Untuk mencegah kontaminasi,
pembuatan larutan vitamin harus menggunakan alat-alat yang sudah steril.
6. Vitamin B-12
Karena penggunaan Vitamin B-12 dosisnya sangat rendah, maka 0,2 g Vitamin B-
12 dilarutkan dahulu dengan 1.000 ml akuades, campur secara sempurna (larutan
Vit. B-12 pekat). Selanjutnya sebanyak 2 ml larutan tersebut dilarutkan dalam 200
ml akuades.
7. Larutan Biotin (Vitamin H)
1 mg biotin dilarutkan dalam 1.000 ml Akuades
8. Larutan A
202 g KNO3 dilarutkan dalam 500 ml akuades, dikocok hingga larut. Akuades
ditambahkan hingga menjadi 1.000 ml kemudian dimasukkan ke dalam autoclave
pada suhu 115 OC selama 30 menit.
9. Larutan B
50 g Na2HPO4.12H2O dilarutkan dalam 400 ml akuades, kemudian tambahkan 14
ml HCl p.a (larutan I).
Sebanyak 33,56 g CaCl2.H2O dimasukkan ke dalam 400 ml akuades dan
dilarutkan (larutan II). Larutan I dan larutan II dicampurkan ditambahkan lagi
akuades sampai menjadi 1.000 ml kemudian dimasukkan ke dalam autoclave pada
suhu 115 OC selama 30 menit.
d. Pemberian Inokulan
Setelah media kultur disiapkan langkah selanjutnya adalah pemberian bibit
fitoplankton.karena kultur skala laboratorium merupakan kultur fitoplankton yang murni atau
mono spesies, maka bibit fitoplankton yang dipakai harus diamati terlebih dahulu di bawah
mikroskop untuk memastikan bibit yang dipakai tidak terkontaminasi oleh ciliata, protozoa,
ataupun jenis fitoplankton lainnya. Pemberian bibit fitoplankton sebanyak 10-20% dari air
17
media. Setelah inokulan dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi media, diberi aerasi
(udara) agar fitoplankton dapat berkembang lebih cepat. Suhu ruangan kultur fitoplankton
diusahakan stabil sekitar 23-24OC. Sebagai sumber cahaya untuk berlangsungnya fotosintesis
digunakan lampu TL-40 watt dengan intensitas cahaya 3.000-4.500 lux. Penggantian air
media dilakukan setiap 4-5 hari sekali, yaitu di mana fitoplankton dalam masa pertumbuhan.
Penggunaan bibit yang sudah tua (lebih dari 7 hari) akan menurunkan kualitas fitoplankton,
karena sudah banyak sel yang mati
e. Produksi Fitoplankton
Fitoplankton yang dikultur skala laboratorium dapat digunakan sebagai inokulan pada
skala semi massal setelah 5-7 hari pemeliharaan. Fitoplankton dapat digunakan sebagai pakan
larva yang secara visual ditandai dengan warna air yang sesuai dengan pigmentasi sel
plankton yang dikultur, kepadatan sel yang tinggi , dan bentuk sel yang baik.
Tabel 4. Komposisi Pupuk Medium Untuk non diatom Berbagai Volume Air Laut
Volume Air Laut (ml)
Bahan Kimia
500 1.000 2.000
Larutan A 1 2 4
Larutan B 0,5 1 2
Vitamin Mix 0,5 1 2
Clewat-32 1 3 6
18
Gambar 4. Tahapan Produksi Fitoplankton
Persediaan Kulur (250 ml atau kurang) kembali diisolasi dibawah sinar lampu dan
lingkungan terkontrol (suhu rendah) dan hanya digunakan sebagai inokulan saat dibutuhkan.
Kultur pertama (250 ml – 4 l) ditumbuhkan dengan cepat selama 7-14 hari pada suhu dan
intensitas cahaya yang lebih tinggi dengan diperkaya suplai CO2. Ketika telah siap, sejumlah
kecil volume diambil dan digunakan sebagai bbibit untuk kultur skala semi massal (biasanya
4-20 L) dapat digunakan sebagai makanan larva atau memulai kultur massal (biasanya > 50
L)
2.1.3. Teknik Kultur Massal Fitoplankton
Berikut ini akan dijelaskan mengenai produksi pakan alami (fitoplankton) yang
digunakan pada produksi yuana kerapu bebek.
Untuk memproduksi sekitar 20.000 yuana kerapu bebek dan 2 bak larva ukuran 3 x 3
x 1 m (9 ton) diperlukan persesiaan pakan alami berupa plankton sebanyak 2 bak ukuran 1
ton, 2 bak ukuran 5 ton, dan 2 bak ukuran 25 ton. Alat dan bahan yang digunakan antara lain:
air, filter bag, chlorine, sodium thiosulfat, selang aerasi, batu aerasi, gayung, ember, dan
pupuk teknis yang terdiri dari urea, ZA, TSP, EDTA, dan FeCl3. Cara kulturnya adalah
sebagai berikut:
1. Bak kultur volume 1 ton dicuci dan diisi dengan air laut bersih sebanyak 900 L
dan disterilkan dengan chlorine sebanyak 100 ppm, aduk sebentar dengan aerasi
19
yang kuat agar chlorine tercampur merata kemudian aerasi dimatikan. Diamkan
selama 24 jam agar chlorine bekerja efektif membunuh semua mikroorganisme
yang ada di dalam air.
2. Timbang 50 g (50 ppm) sodium thiosulfat, larutkan dengan sedikit air dan
masukkan ke dalam air yang telah diberi chlorin dan aerasi dihidupkan kembali.
Sodium thiosulfat berfungsi untuk menetralkan kembali pengaruh chlorin dalam
air.
3. Timbang pupuk sesuai dosis yang diperlukan. Untuk kultur 1.000 L biasanya
diperlukan pupuk teknis berupa urea 75 g, TSP 30 g, ZA 15 g, EDTA 5 g, dan
FeCl3 2,5 g. larutkan pupuk dengan air secukupnya kemudian masukkan ke dalam
bak kultur, aduk dengan aerasi yang kuat. Untuk melarutkan pupuk TSP
sebaiknya pupuk direndam terlebih dahulu.
4. Langkah selanjutnya adalah memasukkan inokulan yang bisa didapat dari sub
kultur atau plankton murni dari laboratorium sebanyak 100 L sehingga volume
kultur menjadi 1.000 L.
5. Untk mengetahui kepadatan selnya, fitoplankton dapat dihitung di bawah
mikroskop dengan menggunakan haemacytometer.
6. Haemacytometer merupakan suatu alat yang terbuat dari gelas yang dibagi
menjadi kotak-kotak pada dua tempat bidang pandang. Kotak tersebut berbentuk
bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1 mm; sehingga apabila ditutup
dengan cover glass volume ruangan yang terdapat di atas bidang bergaris adalah
0,1 mm3 atau 10-4ml. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
haemacytometer dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu dengan tisu,
kemudian teteskan fitoplankton dengan pipet tetes dan tutup dengan cover glass.
Selanjutnya amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali atau 400 kali
dan dicari bidang yang berkotak-kotak. Fitoplankton yang terlihat pada kotak-
kotak bujur sangkar yang mempunyai sisi 1 mm, dihitung jumlahnya. Apabila
jumlah fitoplankton yang diperoleh adalah N, maka kepadatan selnya adalah N x
104 sel / ml.
7. Kultur missal fitoplankton (dalam hal ini dicontohkan dengan Nanochloropsis
oculata) pada bak volume 5 ton dan 25 ton, persiapkan air dan cara pemupukan
serta cara inokulasinya sama dengan kultur volume 1 ton (dengan dosis pupuk
disesuaikan). Bibit fitoplankton yang diperlukan untuk inokulan sebanyak 10%-
20
20% dari volume bak kultur. Plankton pada bak 5 ton yang sudah berumur 4-5
hari bisa dipakai bibit untuk kultur volume 25 ton.
8. Fitoplankton yang dipakai untuk pakan rotifer dan untuk dimasukkan ke dalam
bak pemeliharaan larva (sebagai green water) diambil dari kultur volume 25 ton
pada saat fitoplankton berumur 5-6 hari.
Kepadatan awal kultur fitoplankton Nannochloropsis oculata biasanya 2-3 juta sel/ml,
jika kondisi normal (sinar matahari cukup) akan berkembang dan siap digunakan setelah 4-5
hari yaitu pada saat sebelum puncak pertumbuhan (stationary) dengan kepadatan 12-15 juta
sel/ml. pola petumbuhan Nannochlloropsis oculata dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5. Grafik pola pertumbuhan Nannochlropsis oculata (Sugama et all.,
1993)
Pada masa tersebut plankton sudah dapat dipakai sebagai bibit untuk kultur volume 5
ton atau inokulan untuk sub kultur (bibit untuk kultur 1 ton). Tetapi sebelum dipakai untuk
bibit, sebaiknya plankton diperikasa di laboratoruium dengan menggunakan mikroskop untuk
memastikan plankton tidak terkontaminasi dengan mikroorganisme lain.
Kebutuhan fitopankton perhari untuk 2 bak larva lebih kurang 500 L (kepafatan 12-15
juta sel/l)
21
2.2.1. Kultur Murni
22
Pupuk TSP (Triple Super Posphate) merupakan pupuk anorganik yang kaya
akan kandungan fosfat.
2. Pupuk Anorganik Pro Analis tingkat kemurniannya lebih tinggi.
Conwy media (Amini, 2004) dibagi menjadi dua, yaitu:
- Larutan makro nutrient:
NaNO3, NaH2PO2.2H2O, Na-EDTA, H3BO3, FeCl3, MnCl2.4H2O
- Larutan trace elemen:
ZnCl2, CoCl2.6H2O, CuSO4.5H2O
Budidaya Chlorella dapat dilakukan dalam skala laboratorium dan skala lapangan.
Dalam budidaya Chlorella di skala laboratorium digunakan wadah berupa erlenmeyer. Hasil
budidaya pada skala laboratorium pada umumnya digunakan sebagai stock untuk budidaya
massal. Dalam kegiatan budidaya skala laboratorium wadah harus dibersihkan dan disanitasi.
Umumnya pencucian dapat menggunakan deterjen dan dibilas sampai bersih kemudian
dikeringkan. Setelah kering kemudian wadah disanitasikan dengan cara direbus pada suhu
110 OC. Air yang digunakan juga harus bersih. Air yang digunakan dapat berupa air sumur
atau air mata air atau akuades. Untuk air mata air atau air sumur sebaik air difilter terlebih
dahulu untuk menyaring partikel yang tersuspensi dalam air. Selajutnya air juga harus
disanitasi dengan cara merebus air sampai mendidih, sehingga air yang digunakan bebas dari
kontaminasi plankton lain. Selanjutnya erlenmeyer yang sudah diisi air sebanyak satu liter
ditempatkan pada rak yang dilengkapi dengan selang aerasi dan lampu neon. Hal ini
dilakukan supaya cahaya cukup untuk proses fotosintesis Chlorella, yang memerlukan
intensitas cahaya antara 2500 – 5000 lux dan agar Chlorella tidak mengendap. Dalam
budidaya di dalam laboratorium sebaiknya dilakukan pada suhu antara 21-25OC, dengan
tujuan agar pertumbuhannya tidak terlalu cepat.
23
Setelah persiapan wadah selesai kemudian dilakukan pemupukan. Pemupukan ini
dilakukan agar kebutuhan unsur hara dari Chlorella terpenuhi sehingga Chlorella dapat
berkembang. Adapun pupuk yang dapat digunakan untuk skala laboratorium ini adalah pupuk
Walne.
- Larutan A
Larutkan 100 g NaNO3, 20 g NaH2PO2.2H2O, 45 g Na-EDTA, 33,6 g H3BO3,
0,78 g FeCl3, 0,36 g MnCl2.4H2O dalam 1.000 ml akuades.
- Larutan B
2,1 g ZnCl2, 2 g CoCl2.6H2O, 0,9 g CuSO4.5H2O, 10 ml HCl pekat, dalam 100
ml akuades.
- Tambahkan pada media akuades per liter dengan larutan A 1ml dan larutan B
0,001 ml
Kultur Chlorella sp dapat menggunakan 3 metode atau sistem yaitu sistem batch
(curah), sistem semi continous, dan sistem continous.pada semua sistem tersebut terjadi
proses pencampuran substrat dan sel yang digunakan untuk bioproses secara sempurna dan
seragam sehingga keadaan reaksi biokatalisme dalam keadaan homogen. Pada kultur dengan
menggunakan sistem ini tidak dulakukan penambahan kompoinen substrat/nutrient setelah
inokulasi mikroba ke dalam medium, penambahan O2 antibuih dan asam/basa untuk mengatur
pH tetap dilakukan seperlunya, pertumbuhan logaritmik hanya berlangsung beberapa
generasi. Pertumbuhan pada fase eksponensial dinyatakan dengan rumus:
25
( . / + )= ( / )
V maks: aktivitas biokatalisme maksimal per satuan volume bioreactor
- Variasi substrat terhadap waktu:
. = 0/ + ( 0 - )
S0: konsentrasi awal substrat,
Adapun kelebihan kultur sistem batch adalah paling murah dan mudah untuk
dilakukan secara teknis karena tinggal memasukkan inokulum, media dan sebagainya
kedalam suatu wadah dan kemudian dikultur di tempat itu juga. Sedangkan kekurangan dari
kultur sistem batch ini adalah bersifat ekstensif, membutuhkan ruang luas, kualitas air tidak
terjaga, dan perlu inokulasi.
Gambar 7. Prinsip Kerja Discontinous Stirred Tank Reaktor
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa air dan nutrisi dimasukkan ke dalam
tanki kemnudian dihomogenkan, setelah waktunya, Chlorella sp dipanen, kemufdian wadah
dipersiapkan lagi untuk melakukan kultur kembali.
2.2.1.2. Kultur Chlorella sp sistem semi continous (sistem feed batch)
Kultur Chlorella sp merupakan sistem kultur batch dengan penambahan substrat pada
selang waktu dan volume tertentu. Dengan cara memanen Chlorella sp sebagian dan sisanya
dibiarkan sebagai bibit untuk kultur berikutnyan dengan penambahan nutrisi essensial
kembali sesuai dengan dosis yang diperlukan. Peningkatan volume kultur sesuai dengan
pertambahan waktu yang dapat digambarkan dengan persamaan berikut:
+ ( - )
Keterangan: X1 = konsentrasi biomassa akhir
X0 = konsentrasi biomassa awal
Y = koefisien factor hasil
SR = konsentrasi awal substrat
S = konsentrasi sisa substrat
26
Keuntungan dari sistem ini adalah produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan
sistem batch namun kekurangannya adalah mudah terkontaminasi karena seringnya campur
tangan alat atau penanganan pada media kultur.
Pengertian dari Kultur sistem continous adalah penambahan nutrient steril ke dalam
fermentor (wadah kultur) secara berkesinambungan, di mana dalam waktu yang sama larutan
yang berisi sel dan produk hasil metabolism dikeluarkan dari wadah kultur dengan volume
yang sama dengan substrat yang diberikan. Kondisi tersebut bisa menghasilkan keadaan yang
“STEADY STATE”= pembentuikkan sel-sel baru sama dengan sel-sel yang dikeluarkan dari
wadah kultur. Pada kondisi ini, konsentrasi nutrient, konsentrasi sel, laju pertumbuhan, dan
konsentrasi produk tidak berubah walaupun waktu kultur semakin lama. Laju pertumbuhan
spesifik dipengaruhi oleh perbandingan antara laju aliran medium dan volume kultur yang
dikenal dengan “LAJU DILUSI” (D)
a. Sistem khemostat
Khemostat (berasal dari lingkugan kimia yang statis) adalah sebiah bioreactor yang
mana medium baru ditambahkan terus menerus sementara larutan kultur dikeluarkan juga
terus menerus untuk menjaga volume kultur tetap konstan. Dengan merubah tingkat
penambahan medium ke dalam bioreactor, tingkat pertumbuhan dari Chlorella sp dapat
dengan mudah dikendalikan.
27
Gambar 8. Skema pengontrolan Kepadatan Sistem Khemostat
b. Sistem Turbidostat
Turbidostat adalah alat kultur berkesinambungan, mirip dengan khemostat yang
saling berhubungan dengan kekeruhan media kultur, dan laju dilusi. Secara teori hubungan
antara pertumbuhan dalam media kultur dengan laju dilusi adalah sesuatu yang sangat
kompleks, karena bagiannya mirip. Secara teknis khemostat memiliki volume dan laju aliran
tetap sehingga menghasilkan laju dilusi yang tetap. Ketika ukuran sel seragam dan sama,
operasi khemostat dan turbidustat seharusnya identik. Hanya saja ketika asumsi khemostat
tidak benar (contohnya, tidak sama, atau sel-sel nya bermutasi) turbidostat fungsinya berbeda.
Dalam suatu kasus mungkin sel-sel tumbuh pada laju pertumbuhan maksimum, yang mana
dalam kasis seperti ini sulit untuk mengatur laju dilusi yang sesuai. Sementara ini kebanyakan
peralatan turbidostat menggunakan spectrophometer/turbidimeter untuk mengukur kepadatan
optic dengan tujuan untuk control, ada juga pilihan lain, seperti kondutifitas listrik.
Gambar 9. Skema Sistem Kultur Continous (turbidostat)
28
4. Resistor bebas cahaya (ORP 12)
5. Saringan cartridge
6. Media kultur (80 L)
7. Enam buah, lampu flour 80 watt
8. Tanki penampungan untuk menampung hasil panen (125 L)
2.2.1.4. Konsentrasi unsur hara pada media dan pertumbuhan Chlorella vulgaris
dengan pupuk anorganik teknik dan analis.
31
Gambar 10. Pertumbuhan sel C. vulgaris dengan perlakuan pupuk anorganik
32
anorganik teknis menghasilkan konsentrasi antara 0,04-2,08 ppm kisaran ini
masih berada dalam batas yang dapat mendukung kehidupan biota akuatik. Untuk
mendukung pertumbuhan Chlorella dapat tumbuh dengan baik padamba
kandungan nitrat antara 0,9-3,5 ppm. Pada kadar di bawah 0,1 ppm atau di atas 45
ppm, nitrat dapat merupakan daktor pembatas kesuburan (Lapu, 1994).
Kultur di laboratorium dilakukan untuk persiapan stok atau biakan murni yang
nantinya bias dikembangkan atau dibudidayakan di dalam bak-bak ukuran lebih besar dari 1
ton dan ditempatkan di luar ruangan yang umumnya disebut dengan kultur outdoor.
Untuk kelanjutannya Chlorella sp dibudidayakan di luar ruangan umumnya disebut
kultur outdoor dengan menggunakan cahaya matahari sebagai proses pertumbuhan selnya
dengan pemberian aerasi secara kuat untuk menghomogenkan larutan media dan selnya.
Budidaya secara besar-besaran Chlorella sp (kultur missal) dapat dilakukan di bak-
bak beton atau pun di tambak-tambak dengan media air tawar maupun air laut yang diperkaya
dengan unsure hara seperti penambahan dalam jumlah besar adalah C, N, P, S, Na, Mg, dan
33
Ca. Adapun pemberian pupuk untuk kultur massal adalah: pupuk teknis (Amini, 2005;
Kadek, 1999; Sapto, dkk, 2003) dengan dosis : urea 150 ppm, TSP 80 ppm, ZA 30 ppm,
FeCl3 4 ppm).
2.2.3. Pemanenan
Chlorella umumnya langsung digunakan dengan media budidayanya setelah populasi
Chlorella mencapai puncaknya. Hasil panen tersebut dapat langsung digunakan sebagai
makanan rotifera atau ditambahkan ke dalam media budidaya larva ikan. Chlorella beserta
media budidayanya dapat dipindahkan ke bak pemeliharaan larva atau rotifera dengan cara
mengalirkan media melalui selang dengan cara perbedaan tinggi. Cara ini adalah yang paling
sederhana. Untuk mengurangi kotoran yang dapat terbawa bersama fitoplankton maka pada
ujung selang dapat digunakan plankton net dengan lubang mata jaring 50–70 mm.
Pemanenan dapat dilakukan sekaligus untuk seluruh volume atau hanya 50% volume. Lima
puluh persen volume yang tertinggal berguna sebagai inokulan Chlorella Bak diisi air
kembali dan dipupuk dengan dosis dan macam pupuk yang sama pada awal budidaya.
Chlorella dapat dipanen kembali setelah 5-7 hari. Pada budidaya Chlorella yang
berkesinambungan ini biasanya hanya dapat berlangsung 3 kali panen. Setelah 3 kali panen,
biasanya budidaya Chlorella sudah terkontaminasi dengan phytoplankton atau
mikroorganisme lain, sehingga harus dimulai lagi dari awal. Cara lain pemanenan adalah
dengan menggunakan pompa air. Media beserta Chlorella dapat dipindahkan ke bak lain
dengan menggunakan pompa air.
Gambar 12. Pemanenan Chlorella Saat Mencapai Puncak Populasi
Pemanenan umumnya dilakukan pada umur mikroalga 5-7 hari pemeliharaan pada
fase eksponensial (fasse pertumbuhan). Bila kultur lebih dari 15 hari mikroalga mengalami
34
fase stationary atau fase menuju kematian dengan diketahui bahwa kepadatan sel di dalam
kultur sudah mempunyai nilai yang sama / tetap kemudian menurun menuju fasse kematian.
Biomassa yang akan dipanen dipindahkan dahulu ke dalam bak 1 ton kemudian diberi
NaOHsampai pH mencapai 9-10 kemudian diaerasi selama 1 jam dan dibiarkan selama 24
jam. Sesudah itu akan terjadi pengendapan biomassa mikroalga yang kemudian dipindahkan
dengan cairan yang jernih, endapan biomassa dikeluarkan lalu dicuci dengan air tawar
beberapa kali kemudian biomassa lalu dikeringkan, atau disimpan di dalam kulkas. Bila akan
menggunakan produk ini harus dinetralisir lebih dahulu dengan asam sitrat sampai pH
menjadi 7 sebab selama pemanenan ini biomassa mempunyai pH 10. Dari hasil penelitian ini
mikroalga yang dipanen dengan menggunakan NaOH dapat disimpan selama 1 bulan di
dalam kulkas kemudian untuk menumbuhkan kembali biomassa dinetralkan dahulu pH nya
menjadi 7 baru dikultur kembali.
2.2.4. Pengeringan
Chlorella sp sesudah dipanen dapat dikeringkan langsung dengan matahari atau dapat
dikeringkan pada ruangan be AC. Pengeringan dengan sinar matahari langsung dan terlalu
lam dapat merubah warna dari biomassa mikroalga. Dapat pula Chlorella sp dikeringkan
dengan menggunakan alat drysprayer hasilnya cukup bagus dan tidak merubah warna.
Asam lemak omega-3 pada akhir-akhir ini telah mendapat perhatian luar biasa
sehubungan peranannya dalam pencegahan penyakit generative khususnya gangguan
jantung.penyakit jantung ini menempati peringkat ke 2 di dunia sebagai penyebab kematian
manusia. Beberapa studi juga telah menunjukkan peran suplementasi omega-3 pada berbagai
35
penyakit degenerative seperti arthrisis, psoriasis, colititis, ulcerative, penghambatan
pertumbuhan kanker, dan diabetes (Anonymus, 1992). Selain hal tersebut asam lemak
omega-3 telah terungkap peranannya dalam tubuh dan perkembangan otak manusia. Asam
lemak ini sangat dibutuhkan untuk struktur dan fungsi sistem saraf termasuk otak. Peran
omega-3 sejalan dengan senyawa turunannya yaitu poslaglandin yang sangat penting dalam
pengaturan berbagai fungsi fisiologis tubuh. Dengan demikian kebutuhan asam lemak
omega-3 dapat dipenuhi dari makanan yang berasal dari mikroalga.
Dari berbagai ragam nilai kandungan mikroalga meliputi pigmen, vitamin-vitamin,
asam lemak omeg-3 dan 6, serta protein sel tunggal yang begiti pentingnya dalam menunjang
kesehatan manusia dapat dioptimalisasikan penggunaannya baik sebagai pangan ataupun
nonn pangan. Optimalisasi pemanfaatan mikroalga dapat dapat dijadikan substitusi kedalam
minuman kesehatan atau suplemen bagi manusia.
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai penelitian mengenai penambahan
Chlorella sp pada minmuan kesehatan.
a. Bahan dan Metode
Sebagai bahan baku yang dipakai dalam riset ini adalah mikroalga jenis Chlorella sp.
Mikroalga ini hasil kultivasi selama 5 hari dalam bak semen dengan ukuran 8 ton atau di
dalam fiber tank ukuran 5-10 ton dengan menggunakan air laut salinitas 30 ppt dan
ditambahkan pupuk urea, TSP, NPK, dan ZA dengan perbandingan 2:2:1, diaerasi kuat terus
menerus dan sinar matahari digunakan sebagai proses fotosintesis miroalga (Kadek, 1999 dan
Sapto, dkk, 2001).
Hasil ekstraksi mikroalga yang telah dipanen dikeringkan dengan sinar matahari,
kemudian dilakukan penepungan dan penghancuran menjadi partikel yang halus dengan cara
menghancurkan dinding selnya.
Pemecahan dinding sel dilakukan dengan alat Dynatech Sonic Dismembrator Model
150, voltz 230 Hz, serial No E 2030 (USA) dengan menggunakan kecepatan 90 Hz menjadi
partikel yang ukurannya 0,5-1 mikron. Secara manual dengan menumbuknya dengan alat
tumbuk dari besi.
Pemanfaatannya ke dalam minuman kesehatan adalah dalam bentuk tepung (0,64%)
dan dicampur dengan fruktosa (12%), essen (100 ml) dan sisanya air, direbus hingga
mendidih, kemudian dipak dalam gelas plastik tahan panas dan ditutup rapat dengan plastik.
Setelah dingin disimpan dalam suhu rendah atau dalam kulkas.
36
Hasil uji pendahuluan konsentrasi pada penambahan mikroalga 0,64% masih
memberikan bau yang cukup amis dan uji organoleptik memberikan hasil penerimaan masih
kurang disukai.
Penelitian formulasi minuman ini mengacu pada pembuatan minuman alginate
(Yunizal, 2003). Analisa bakteri dilakukan dengan menggunakan metoda Katsutoshi Miwa
dan Low Suji (1992). Analisa nutrisi dengan menggunakan metoda Apriyantono, dkk (1990).
Analisa logam berat meggunakan cara Hutagalung et al (1997).
b. Hasil dan Pembahasan
Analisa logam berat pada bahan baku Chlorella sp hasil panen kering untuk persiapan
bahan minuman kesehatan meliputi Cu, Cd, Hg, dan Pb telah dilakukan. Nilai-nilai logam
berat pada persiapan bahan baku Chlorella sp menunjukkan nilai di bawah ambang batas.
Menurut anynomus (2004) standar logam berat yang masih diperbolehkan bagi makanan dari
mikroalga tidak melebihi 1 ppm.
Hasil analisa asam nukleat pada bahan baku Chlorella sp sebesar 1.873 ppm. Batas
maksimum konsumsi mikroalga per hari tidak boleh melebihi 35 g per hari (becker, 1992).
Hasil uji bakteriologi dengan Total Plate Count (TPC) pada penambahan konsentrasi
mikroalga menunjukkan nilai rata-rata pada semua perlakuan dibawah ambang batas (10%).
Hal tersebut dimungkinkan pada penambahan konsentrasi lebih tinggi tidak ada perubahan
bakteri dimungkinkan mikroalga memiliki antibiotic atau anti mikroba.
37
Nilai nutrisi pada perlakuan konsentrasi penambahan Chlorella sp. menunjukkan nilai
seperti pada tabel 7 di bawah ini. Kandungan omega-3 pada Chlorella sp. menunjukkan nilai
tertinggi 2,77-13,87%, EPA 0,55-2,73%, DHA 0,48-2,42%. Di sini dapat dilihat bahwa
Chlorella sp mempunyai nilai tertinggi pada asam lemak tidak jenuhnya.
c. Kesimpulan
Hasil penelitian minuman kesehatan menunjukkan bahan baku mikroalaga Chlorella
sp mempunyai kandungan logam berat dari Cu, Cd, Hg, dan Pb serta asam nukleat masih di
bawah ambang batas kesehatan.
Uji organoleptik yang disukai panelis menunjukkan pada penambahan konsentrasi
0,03.
Uji bakteriologi pada semua konsentrasi minuman masih di bawah ambang batas.
Uji nutrisi pada Chlorella sp tertinggi terdapat pada kandungan omega-3 dan DHA.
38
mencukupi untuk kultur rotifer terutama selama musim dingin, musim panas, dan musim
hujan, karena kultur masal alga dipengaruhi cuaca. Produksi Nannochloropsis oculata
ternyata merupakan factor pembatas dalam produksi juvenile ikan.
Penggunaan C. vulgaris kering sebagai pakan rotifer pertama kalai dimulai pada tahun
1982. C. vulgaris dan N. oculata berturut-turut termasuk pada kelas chlorophyceae dan
eustigmatophyceae. Posisi taksonomi kedua alga ini cukup berbeda. Perbedaan intraselular
sel antara keduanya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Keterangan mengenai gambar tersebut dapat dijelaskan melalui tabel 8. Di bawah ini.
39
Pigmen yang dominan Klorofil- Klorifil-
Karoten Klorofil-b
Violaxanthin Karoten
Ester vaucheriaxanthin lutein
1
Maruyama et al., 1989
2
Fott & Navakova, 1969
Chlorella vulgaris cocok untuk diproduksi secara massal karena memiliki tingkat
pertum uhan yang tinggi dan dapat tum uh tanpa memperhatikan metode kultur (seperti
autotrofi, heterotrofi, dan mixotrofi).
N. oculata masih diproduksi di anyak hatchery dan iasanya digunakan ersama C.
vulgaris kering untuk produksi rotifer. Bagaimanapun, pentingnya C. vulgaris telah dianggap
le ih penting untuk digunakan pada produksi massal rotifer karena tingkat pemanfaatan alga
ini le ih tinggi.
Akhir-akhir ini metode kultur rotifer aru sedang dikem angkan seperti, kultur rotifer
dengan kepadatan tinggi, dan kultur terus menerus pada skala komersial (Yoshimura et al.,
1994; Nakao & Hagiwara, 1995; Fu et al., 1996). Metode kultur ini terganrung pada
penggunaan suspensi C. vulgaris kering, karena itu memiliki 2 keunggulan di anding dengan
kultur secara tradisional dengan menggunakan N. oculata. Pertama adalah kandungan vit. B
12 yang tinggi, dan yang kedua adalah kepadatan sel yang tinggi (140 g per erat kering).
40
serta “tanpa” pem erian pakan pupuk kandang. Penam ahan glokosa cenderung
mengaki atkan keha isan persedian Nitrogen se agai hasil dari peningkatan lemak yan
gsangat tinggi. Hal itu sangat tampak ahwa penam ahan glukosa pada saat fase stasioner
ias menjadi metoda aru untuk meningkatkan kandungan lemak dalam Chlorella vulgaris.
Pupuk kandang kaya akan nutrisi terutama untuk nutrisi yang anyak diperlukan
aeperti Nitrogen, posfor, dan ahkan se agai pemicu pertum uhan sel seperti glysin yang
dihasilkan dari proses penguraian pupuk kandang (Schefferle, 1965). Berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Magid et al. (1995), e erapa nutrisi yang iasa terkandung dalam
komposisi pupuk kandang meliputi (g/Kg): potassium 37,5, posfat 25,5, nitrogen 55,7.
Nitrogen iasa er entuk asam uric (Nahm, 2003) dan sekitar 66% nya dihasilkan dari proses
(Ruiz Diaz et al., 2008). Selain itu, kajian terse ut juga menunjukkan ahwa trace elemen
lain, seperti Mg, Ca, Fe, Cu, Zn, Ni, Cr terdapat dalam sisa penguraian pupuk kandang (Bao
et al., 2008; Ortiz Esco ar and Hue 2008; Faridullah et al., 2009; Vu et al., 2009).
Singkatnya, pupuk kandang telah menjadi pupuk organic tradisional dan sum er daya yang
menarik saat ini dari nutrisi yang anyak di utuhkan dan dapat didaur ulang. Penggunaan
nutrisi pupuk kandang dapat digunakan juga untuk udidaya alga dengan kondisi yang
terkontrol (intensitas cahaya, pH, Suhu, Peralatan) untuk meningkatkan produksi iomass.
Pendekatan penggunaan pupuk kandang ini dapat menjadi sesuatu yang aru apa ila
peru ahan kepadatan sel yang tinggi dapat meningkatkan iofiksasi CO2 (Jaco -Lopes et al.,
2008; Jaco -Lopes et al., 2009) di awah kondisi kultur autotropi atau mixotropi. Cara
pengolahan erikutnya (mixotrophic) yang dapat di andingkan telah menunjukan suatu
kemungkinan dalam produksi jumlah iomass yang tinggi menurut (Liang et al., 2009).
Biomass alga yang digunakan se agai persediaan agi produksi uofuel ukan merupakan
sesuatu yang eru dijelaskan dalam kajian ini, penelitian-penelitian dan perkem angan yang
kian memuncak terutama dise a kan oleh krisis energy, peru ahan iklim dan lingkungan.
Karena perhatian mengenai alga se agai ahan akar masa depan ini meningkat, ke utuhan
untuk menjadikan alga se agai iofuel yang erkelanjutan jatuh kepada kategori e an
ekonomi untuk merekayasanya. Salah satunya adalah meru ah sampah (industry dan rumah
tangga) menjadi iomass mikroalga yang menjanjikan keuntungan merupakan sutau cara
yang menarik untuk memproduksi iofuel alga skala esar. Pupuk kandang merupakan salah
satu contoh lim ah dan merupakan pusat perhatian dalam kajian ini yang menggunakan
pupuk kandang untuk melihat perkem angan mikroalga Chlorella vulgaris yang sedang
digunakan se agai ahan akar, dapat meningkatkan iomass alga, itu adalah konsentrasi sel
dan kandungan lemak di dalam sel. Pupuk kandang merupakan ahan organic yang
41
membutuhkan penguraian untuk melepaskan nutrisi yang dapat diserap alga dalam
pengelolaan budidaya. Penguraian dengan menggunakan aerasi sederhana (dekomposisi)
dapat ditautkan untuk memproduksi padatan sisa penguraian setelah penyaringan. Simple
aerated biodigestion (decomposition) can be engaged to produce PMD after filtration
(aqueous). Oleh karena itu, tujuan dari kajian ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh dari
penambahan padatan sisa penguraian (PMD) ini terhadap mikroalga Chlorella vulgaris yang
sekarang digunakan sebagai bahan bakar mikroalga. Kajian ini mencari solusi untuk
mengembangkan penggunaan pupuk kandang dalam budidaya alga sebgaia bahan bakar.
43
Valin 6,61
Lysine 6,68
Arginin 6,22
Histidin 1,97
Alanin 8,33
Asam aspartan 9,80
Asam glutamic 12,66
Glysin 6,07
Prolin 4,90
Serine 4,32
Cystin 1,28
Tryptopan 2,30
Asam Lemak (%Asam lemak total)
Asam palmitik 13.9
Asam palmitolik 5,7
Asam stearat 3,1
Asam oleat 2,2
Asam linoleat 25,3
Asam linolenik 24,2
Asam arachidonic 0
Asam eicosapantaenoic 0
Asam docosahexaenoic 0
Mineral (µg/g berat kering)
Ca 1,6
Mg 3,6
K 11,3
Fe 2,0
Vitamin (µg/g berat kering)
Vitamin B1 24
Vitamin B2 60
Vitamin B6 10
Vitamin B12 0,001 (2-6)2
Vitamin C 1000
44
Vitamin E 200
45
BAB III
PENUTUP
2.2. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan yang telah dijabarkan pada bab pembahasan, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Chlorella sp dapat dikultur dalam berbagai skala baik skala laboratorium, semi
missal, maupun secara missal;
b. Chlorella sp dapat digunakan sebagai pengganti Nannochloropsis sp sebagai
pakan dalam kultur rotifer;
c. Pemanfaatan Chlorella sp mencakup bidang kesehatan, pangan, dan budidaya;
d. Kandungan nutrisi Chlorella sp cocok digunakan untuk bahan bakar (biofuel).
2.3. Saran
a. Dalam budidaya Chlorella sp perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang kultur adar proses
kultur dapat berlangsung dengan baik;
b. Sebelum memproduksi Chlorella sp perlu diketahui mengenai kandungan
nutrisinya dengan tujuan agar dapat merekayasa jenis zat gizi tertentu yang
akan ditingkatkan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Jacob-Lopes E, Ferreira Lacerda LMC, Teixeira Franco T (2008) Biomass production and
carbon dioxide fixation by Aphanothece microscopica Nageli in a bubble column
photobioreactor. Biochem Eng J 40: 27-34
Liang Y, Sarkany N, Cui Y (2009) Biomass and lipid productivities of Chlorella vulgaris
under autotrophic, heterotrophic and mixotrophic growth conditions. Biotechnol Lett
31: 1043-1049.
Nakao, T, & A. Hagiwara, 1995. High Density Culture of Rotifer by Bubbling With Air And
Enrichment Culture In Short Time (in Japanese) Suisa. No Kenkyu 14: 64-70
A.Hagiwara, T. W. Snell, E. Lubzens & C.S Tamaru (cds). 1997. Live Food in Aquaculture.
Kluwer Academic Publisher. Printed in Belgium
Amini, Sri dan Hastarini, Ema. Uji Logam Berat Pada Mikroalga Jenis Spirulina sp dan
Chlorella sp. Seminar Internasional Perikanan. 2007. 11-12 Desember
Kadek. 1999. Kajian Pendahuluan Pembuatan Nata de Chlorella. Balai Budidaya Laut
Lampung. Ditjen Perikanan-Deptan. 5 hal.
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/KULTUR%20FITOPLA
NKTON.PDF
http://jms.fmipa.itb.ac.id/index.php/jms/article/viewFile/224/221
http://m4r14m4h.wordpress.com/pakan-alami-daphnia/
http://sumarsih07.files.wordpress.com/2009/02/pertemuan-4-sistem-batch.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Chemostat
http://en.wikipedia.org/wiki/Turbidostat
http://www.fao.org/docrep/007/y5720e/y5720e08.htm
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/14287/2/C04aht.pdf
http://www.omicsonline.org/ArchiveJMBT/2010/March/01/JMBT-02-051.pdf
http://pat-o-logy.blogspot.com/2009/05/chlorella-sargassum.html
http://aergot.wordpress.com/2008/09/03/menuju-swasembada-bahan-bakar-murah/
http://www.kimiawan.org/journal/index.php/jki/article/viewFile/35/pdf_32
diakses tanggal 21 Mei 2010 pukul 0105 WIB
47